Anak Harimau Bagian 16

Baca Cersil Mandarin Online: Anak Harimau Bagian 16

Bagian 16

Seraya berkata dia lantas merogoh ke dalam pinggangnya dan meloloskan senjata andalannya.

Tampak cahaya keemas emasan yang amat menyilaukan mata memancar ke empat pen-juru, tahu-tahu senjata gurdi emas Kang luan tui milik Lan See giok sudah diloloskan bagaikan seekor ular emas hidup.

Pemuda berbaju abu-abu itu segera ter-tegun dan serentak menghentikan langkah-nya, dengan pandangan termangu serta ke-heranan dia awasi senjata gurdi emas di ta-ngan Lan See giok tanpa berkedip, sesaat kemudian dia baru menegur dengan perasaan tak habis mengerti:

"Senjata aneh apa sih yang kau perguna-kan itu?"

Lan See giok tertawa dingin, sebelum dia sempat menjawab, dari balik pohon siong te-lah muncul kembali seseorang, gerakan tubuh orang ini terasa satu kali lipat lebih cepat daripada pemuda berbaju abu-abu itu.

Pemuda berbaju abu-abu tadi segera mem-balikkan tubuhnya, kemudian berseru keras.

"Khu suheng, barusan dialah yang ber-pekik keras!"

Sambil berkata dia lantas menuding ke arah Lan See giok.

Ketika Lan See giok berpaling, dia saksi-kan pendatang itu baru berusia tiga puluh tahu-nan, kulit mukanya kuning dan tubuh-nya kurus ceking tinggal kulit pembungkus tu-lang, namun sepasang matanya berkilat kilat dan gerak geriknya amat tinggi hati, orang inipun mengenakan baju berwarna abu-abu.

Lelaki setengah umur itu berjalan men-dekat kemudian memperhatikan Lan See giok sekejap dengan pandangan tanpa emosi, ke-mudian dia baru menegur dingin.

"Mengapa kau sembarangan berpekik di tempat ini dan tak suka mengindahkan nasehat?" "

Sembari berkata, dengan langkah lebar dia berjalan menuju ke hadapan Lan See giok.

Pemuda berbaju abu-abu itu terkejut, mendadak cegahnya. "Khu suheng, jangan terlampau dekat, dia memiliki semacam kepandaian aneh, biar jalan darah nya sudah tertotok namun tubuhnya sama sekali tidak roboh."

Tertegun lelaki setengah umur itu, setelah berseru tertahan dia lantas menghentikan langkahnya, sementara sepasang matanya yang tajam mengawasi Lan See giok dengan pandangan terkejut bercampur keheranan.

Dalam anggapan Lan See giok semula, dengan datangnya kakak seperguruan dari pemuda tersebut maka urusan akan bisa di-bereskan dengan segera, siapa tahu suheng nya ini lebih tak tahu aturan, maka setelah mendengus katanya sinis.

"Hmmm, berpengetahuan picik sok kehe-ranan saja?

Namun lelaki setengah umur itu seakan- akan tidak mendengar apa yang dikatakan Lan See giok, dengan kening berkerut ter-de-ngar ia berguman seorang diri:

"Aku merasa sedikit tidak percaya!"

Tiba-tiba saja dia menubruk ke muka, jari tangan kanannya langsung menotok jalan darah Cong hiat-hiatnya.

Tak terlukiskan amarah Lan See giok me-nyaksikan datangnya ancaman tersebut, se-bagaimana diketahui, jalan darah Cong--hiat merupakan salah satu jalan darah penting di tubuh manusia, bila sampai ter-totok, sekali-pun tak sampai mati juga bakal terluka, itu-lah sebabnya hawa napsu mem-bunuh segera menyelimuti seluruh wajahnya.

"Bagus sekali" ia membentak. "bila kau ti-dak percaya, silahkan saja dicoba sendiri."

Sambil membentak, gurdi emasnya menusuk ke muka secepat sambaran petir dengan jurus Pau hou pay wi ( harimau ga-nas mengebaskan ekor ), dengan gerakan ilmu cambuk dia menyambar pinggang lelaki setengah umur itu.

Menganggap kepandaian silat yang dimili-kinya cukup tinggi tentu saja lelaki setengah umur itu tidak memandang sebelah matapun terhadap Lan See giok, sambil ter-tawa dingin tubuhnya berkelebat dan tahu-tahu lenyap dari pandangan.

Sebelum itu, Lan See giok sudah pernah menyaksikan gerakan aneh dari pemuda ber-baju abu-abu itu.. dia tahu musuhnya telah menyelinap ke belakang punggungnya.

Maka tanpa menggerakkan badan, gurdi emasnya segera menyerang lagi dengan jurus wi ceng pat hong (menggemparkan delapan penjuru)...

Serentetan suara desingan tajam segera menderu deru, cahaya tajam berkilauan me-mancar ke empat penjuru, dalam waktu singkat muncul beribu ribu bayangan gurdi emas yang melindungi seluruh badan Lan See-giok.

Agaknya lelaki setengah umur itu tidak menyangka kalau Lan See giok begitu hebat dalam perubahan - jurus tangan kanannya yang baru saja melepaskan totokan nyaris tersapu oleh gurdi emas tersebut, dia segera menjerit kaget lalu mundur sejauh delapan depa lebih.

Lan See giok sudah diliputi oleh hawa napsu membunuh, sudah barang tentu ia tak akan membiarkan lelaki setengah umur itu pergi dengan begitu saja, sambil membentak keras hawa murninya disalurkan ke dalam gurdi itu, kemudian dengan jurus Kim coa toh sim (Ular emas menjulurkan lidah) ia lepaskan sebuah tusukan dengan gerakan pedang---

Sebelum lelaki setengah umur itu berhasil berdiri tegak, gurdi emas dari Lan See giok telah menusuk tiba, sekali lagi dia menjerit keras lalu mundur ke belakang dengan ce-pat---

Mencorong sinar tajam dari balik mata Lan See giok, tanpa menghentikan tubuhnya dia meneruskan terjangannya ke muka, gurdi emasnya melepaskan tiga jurus serangan se-cara beruntun, ditengah deruan angin sera-ngan, cahaya emas berkilauan, bagaikan hujan badai menyambar tiada hentinya, sungguh mengerikan sekali keadaannya.

Dengan cekatan lelaki setengah umur itu berkelit ke kiri dan menghindar ke kanan. karena didesak oleh Lan See giok sehingga kalang kabut dengan gugup ia mundur.

Pemuda berbaju abu-abu itu menjadi ter-tegun saking kagetnya, dia sampai lupa un-tuk turun tangan membantu kakak sepergu-ruan-nya melepaskan diri dari bahaya.

Pads saat itulah . . .

"Tiba-tiba ia mendengar bentakan keras berkumandang memecahkan keheningan.

"Cepat tahan . . . . "

Suaranya sangat nyaring seperti suara genta amat menusuk pendengaran, men-de-ngar itu Lan See giok segera menghentikan gerak serangannya.

Sewaktu ia berpaling, lebih kurang dua kaki di tepi arena tampak orang kakek berju-bah panjang warna abu-abu dan berjenggot panjang berdiri tegak di sana.

Kakek itu berwajah amat ramah tapi me-mancarkan sinar kewibawaan amat tinggi, di antara bayangan manusia yang berkelebat lewat, lelaki setengah umur dan pemuda ber-baju abu-abu sudah melompat ke hadapan kakek tadi dengan wajah tersipu -sipu, setelah memberi hormat, mereka ber-bisik lirih:

"Suhu!"

Dalam pada itu, Lan See giok sedang ber-pikir pula dihati.

"Dengan murid yang begitu berpikiran picik dan berdada sempit, gurunya pasti seorang manusia latah yang berjiwa sempit pula"

Oleh karena berpendapat demikian, maka dia hanya berdiri tegak di situ tanpa memberi hormat.

Dengan wajah penuh kegusaran lelaki berjubah panjang itu memandang sekejap ke arah kedua orang muridnya, kemudian kata nya dengan suara dalam.

"Mundur kalian!"

Lelaki setengah umur dan pemuda itu segera mengiakan dengan hormat dan me-ngundurkan diri ke sisi tubuh gurunya, di atas wajah kedua orang itu sama sekali tidak dijumpai sinar keangkuhan lagi.

Sambil mengelus jenggotnya yang panjang kakek berjubah panjang itu memandang wa-jah Lan See giok, kemudian tanyanya sambil tersenyum: "Siauhiap membawa gurdi emas, apakah kau adalah keturunan dari Lan tay-hiap?"

Menyinggung soal ayahnya, paras muka Lan See giok segera berubah menjadi serius kembali, cepat-cepat dia menjura seraya menjawab dengan hormat..

"Lan Khong-tay adalah guruku, boleh aku tahu siapa nama cianpwe dan dari mana kau bisa mengenali senjata tajam andalan dari guruku ini-- ?"



Manusia berjubah panjang itu mendongak kan kepalanya lalu tertawa terbahak bahak:

"Aaah -- haaahhh - haaahhh.. ayahmu Lan Khong-tay sangat termasyhur dikolong langit, senjata gurdi emasnya merajai dunia persi-latan, sembilan butir peluru peraknya selalu tepat dan tak pernah meleset, dan aku per-nah berjumpa dengan ayahmu, sudah barang tentu kenal juga dengan senjata kenamaan-nya"

Mengetahui kalau dia kenal dengan ayah-nya Lan See giok segera berkata dengan serius:

"Oooh rupanya Ban locianpwe, apabila boanpwe Lan See giok berbuat ceroboh dan mengganggu ketenangan locianpwe, harap locianpwe sudi memaafkan,"

Selesai berkata, kembali dia menjura dalam-dalam, Sekali lagi Ban peng cuan ter-tawa tergelak.

"Tiada induk harimau yang melahirkan an-jing, ayah ibumu selalu hidup bagaikan dewa dewi, sedang ibumu Hu-yong siancu juga su-dah banyak tahun tak menampakkan diri, apakah selama ini dia selalu berada dalam keadaan baik-baik?"

Lan See giok segera merasakan hatinya bergetar keras, dia sangat kebingungan, de-ngan kening berkerut dan nada tidak me-ngerti tanyanya.

"Ibuku adalah Ki lu lihiap Ong Si hoa, bu-kan Hu-yong siancu bibi wan, pertanyaan dari locianpwe ini sungguh membuat boan-pwe tidak habis mengerti!"

Merah padam selembar wajah Ban peng coan. dia tahu kalau dirinya khilaf, dengan nada minta maaf katanya kemudian:

"Oh betul, aku memang sudah tua dan ingatanku tidak tajam lagi. andaikata kau tidak mengingatkan kembali, hampir saja aku lupa dengan Ong lihiap."

Setelah berhenti sejenak, seakan akan se-ngaja mengalihkan pokok pembicaraan ke soal lain, dia bertanya lebih jauh dengan nada tidak mengerti.

"Apakah kedatangan hiantit kemari hanya untuk berpesiar saja?"

Sejak semula Lau See giok sudah merasa kalau hubungan bibi Wan dengan ayahnya tidak biasa. apabila setelah mendengar per-kataan dari Ban Peng cuan, kecurigaannya semakin berlipat ganda.

Namun bila teringat kembali tujuan ke-datangannya ke bukit Hoa san kali ini, ter-paksa kecurigaannya terhadap bibi Wabn ha-rus ditundja sampai lain wgaktu.

Sahutnyab kemudian dengan hormat:

"Boanpwe ingin buru-buru menjumpai To seng cu, karena itu khusus aku berangkat dari kota Tek an kemari, tapi tak kuketahui di manakah letak puncak Giok-li--hong, karena itu . . . "

Belum habis ia bercerita, pemuda berbaju abu-abu itu sudah tertawa geli.

Lan See giok menjadi tertegun, tanpa terasa dia memandang ke arah pemuda ber-baju abu-abu itu dengan termangu.

Ban Peng cuan sendiripun tak dapat me-nahan rasa gelinya, sambil tersenyum ia segera berkata.

"Agaknya baru pertama kali ini kau datang kemari, disinilah letak puncak Giok-li- hong!"

Sambil berkata, dia lantas menuding ke arah sebuah puncak bukit yang berada pulu-han kaki jauhnya.

Sementara itu matahari senja telah ter-benam, maghrib pun menjelang tiba, kegela-pan mulai menyelimuti seluruh bukit Hoa san, ketika Lan See giok mengangkat kepala nya, didapati puncak Giok li hong memang jauh berbeda dengan bukit-bukit lainnya.

Terdengar Ban Peng cuan bertanya lagi dengan ragu.

"Apakah kau sudah mengetahui tempat kediaman dari To seng-cu locianpwe?"

Lan See giok segera menggelengkan kepalanya berulang kali.

"Boanpwe tidak tahu, tapi konon berada di bawah puncak Giok li hong-.."

"Keponakanku" ujar Ban Peng cuan dengan bersungguh sungguh, "bukan aku sengaja hendak menghilangkan kegembiraanmu. kami guru dan murid bertiga sudah banyak tahun berdiam di puncak ini, tapi belum per-nah bertemu dengan "To seng cu" locianpwe barang satu kalipun, cerita tentang berdiam-nya dia orang tua di bawah puncak Giok li hong sudah mulai beredar semenjak sepuluh tahun berselang"

Mendengar perkataan tersebut, Lan See giok segera merasakan kepalanya seperti diguyur dengan sebaskom air dingin, tapi ia percaya kakek berjubah kuning yang ramah itu tidak bakal membohonginya.

"Setelah boanpwe datang kemari, boanpwe tetap akan mencarinya, kalau toh akhirnya tidak kutemukan tentu saja aku akan pulang ke rumah" ucapnya pelan.

Ban Peng coan berpikir sebentabr, kemudian menjgangguk.

"Baikglah kalau begitbu, memang tak ada salahnya untuk dicoba, namun kuharap kau jangan membawa pengharapan yang kelewat besar." "Terima kasih atas petunjuk locian-pwe, boanpwe ingin mohon diri lebih dulu" Setelah memberi hormat, pemuda itu mem-balikkan badan dan melompat turun dari puncak itu.

Suasana di bawah puncak gelap gulita, pemandangan yang berada tujuh delapan kaki dihadapannya sukar untuk dilihat Seca-ra jelas.

Tempat dimana Lan See- giok berhenti sekarang tak lain adalah lembah yang meng-hubungkan puncak Tiau yang-hong dengan puncak Giok- li-hong...-

Udara dalam lembah tersebut ternyata hangat lagi nyaman, aneka bunga tumbuh dengan suburnya, pohon siong tumbuh me-rata, air mengalir sangat tenang, pemanda-ngan alam di situ sungguh mempesonakan- -

Dengan penuh perhatian Lan See giok mengawasi sekejap keadaan di sekitar sana, di situ tidak nampak bangunan rumah, tidak pula gua atau tempat lain yang bisa di-pakai sebagai tempat berteduh, sudah barang tentu To seng cu tak mungkin ber-diam di sana.

Maka dengan mengerahkan ilmu meri-ngankan tubuhnya, dia berjalan lebih ke de-pan.

Lambat laun pepohonan siong tumbuh se-makin rapat, tumbuhan bambu menghutan, makin ke dalam suasananya semakin ber-tambah gelap.

Akhirnya pemuda itu merasa percuma untuk berlarian secara membuta tanpa arah tujuan tertentu, karena dengan cara demikian tak mungkin dia bisa menemukan tempat kediaman To seng cu, tanpa terasa ia lantas teringat kembali dengan pesan dari kakek berjubah kuning itu, dia bertekad hendak mencobanya.

Berpikir demikian. pemuda itu segera melompat naik ke atas sebuah batu cadas, kemudian setelah menghimpun tenaga dalamnya, dia berseru dengan lantang:

"Boanpwe Lan See giok datang dari tempat jauh untuk menyambangi To seng-cu locian-pwe, bila diperkenankan mohon diberi pe-tunjuk untuk menemui beliau!"

Selesai berteriak, dia lantas memusatkan semua perhatiannya untuk mengawasi dan mendengarkan suasana di sekelilingnya. biarpun dihati kecilnya dia tidak mempunyai harapan yang terlalu bersar.

Mendadak-z-----

Dari balwik kegelapan lerbih kurang seratus kaki dihadapannya sana muncul setitik ca-haya lentera, ternyata cahaya itu berasal

dari sebuah lentera merah yang bergoyang goyang karena terhembus angin gunung.

Lan See giok amat terperanjat setelah meli-hat cahaya lentera itu, hatinya terkejut ber-campur gembira. pikirnya kemudian:

"jangan-jangan To seng cu memang benar-benar berdiam dalam lembah ini?"

BAB 13

LAN SEE GIOK mengawasi lentera merah yang muncul di balik kegelapan sana dengan perasaan kejut bercampur girang di samping perasaan tak habis me-ngerti, dia tak tahu mengapa kejadian bisa berlangsung begitu kebetulan, baru saja dia berteriak, cahaya lentera lantas muncul kan diri?

Tanpa terasa, ia teringat kembali akan perkataan dari Ban Peng coan, sudah banyak tahun mereka berdiam di situ namun belum pernah berjumpa dengan To seng cu, mung-kinkah kemunculan lentera merah tersebut hanya suatu kejadian secara kebetulan saja?

Menyusul kemudian dia berpikir lebih jauh:

"Jangan-jangan di situ terdapat rumah pemburu" Atau mungkin si penebang kayu yang sesat jalan?"

Akhirnya dia memutuskan untuk meme-riksa sendiri, andaikata di situ menang ber-diam penduduk, dia berniat untuk menyeli-diki tempat tinggal To seng cu dari mereka.

Berpikir demikian, diapun berangkat me-nuju ke arah lentera merah yang muncul pada seratus kaki di hadapannya itu.

la telah berlarian amat cepat, paling tidak seratus kaki sudah dilalui, akan tetapi lente-ra merah tersebut masih kelihatan berada di tempat yang begitu jauh.



Dengan cepat dia melompat naik ke atas sebuah pohon besar, betul juga, ternyata lentera merah yang berada di depan sana tampaknya sedang berlarian ke depan.

Tergerak hatinya setelah menjumpai hal itu, kembali dia berpikir di hati,

"Yaa, jangan-jangan lentera merah itu memang bermaksud membawanya un-tuk menjumpai To seng cu?"

karena berpendapat demikian, dia me-mu-tuskan untuk membuktikan sendiri, agar ti-dak sampai terjerumus ke dalam perangkap lawan..

Dengan menghimpun tenaga dalamnya dia berseru lantang:

"Wahai lentera merah yang berada di depan apakah, kau sedang memberi petunjuk jalan kepadaku untuk berjumpa dengan To seng cu locianpwe? Kalau memang demikian. harap gerakkan lentera merahmu ke kiri dan ke kanan ......

Baru selesai dia berseru, lentera merah tersebut benar-benar bergerak ke kiri dan ke kanan.

Melihat hal ini Lan See giok malah men-jadi sangsi, entah mengapa, dalam saat itu-lah dalam hati kecilnya timbul suatu firasat yang tidak menguntungkan.

Di samping itu diapun terbayang kembali wajah bibi Wan serta enci Cian nya yang sedih dan murung ketika berpisah tempo hari.

Dalam pada itu, lentera merah yang berada ditengah kegelapan itu masih digoyangkan tiada hentinya, seakan akan sedang mende-saknya agar melanjutkan perjalanan.

Lan See giok segera teringat kembali akan tujuan kedatangannya, harapan dari enci Cian serta bibi Wannya, kemudian dendam berdarah dari ayahnya " . . akhirnya dia menggigit bibir dan membulatkan tekadnya untuk mengejar lebih jauh.

Lentera merah yang berada di depan itu memang aneh sekali, seakan akan dia memiliki beribu ribu mata, begitu Lan See giok maju, diapun turut maju, ketika Lan See giok berhenti, diapun turut berhenti biarpun Lan See giok sudah mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya, namun dia belum berhasil juga menyusul lentera merah terse-but.

Begitulah dengan berlarian mengejar lente-ra merah itu, tanpa terasa dia telah melewati puncak Giok li hong dan tiba di sebuah lem-bah lain.

Perasaan mendongkol dan curigab berkeca-muk dij dalam benak Lagn See giok, di btak tahu permainan setan apakah yang sedang diperbuat lentera merah tersebut.

Lambat laun dia mulai menangkap suara yang amat keras diantara pepohonan siong yang bergoyang terhembus angin, di samping itu memandang alam dalam lembah itu sa-ngat indah, jauh berbeda dengan keadaan ditempati lain.

Lan See giok tidak berniat untuk memper-hatikan kesemuanya itu, dia masih melan-jutkan pengejarannya terhadap lentera merah tersebut". .

Mendadak------

Dari balik kegelapan puluhan kaki dihada-pannya, muncul kembali sebuah lentera merah lain yang menyongsong kedatangan lentera merah yang pertama.

Tapi lentera kedua yang menyongsong tadi lebih sampai dua kaki itu tahu-tahu saja padam dengan begitu saja.

Lan See giok merasa sungguh tak habis mengerti dia mengalihkan kembali panda-ngan matanya, ternyata lentera merah yang pertama masih tetap tak berkutik di tempat semula.

Dia tahu, bisa jadi di tempat inilah meru-pakan tempat kediaman dari To seng cu, karenanya tanpa ragu-ragu lagi dia menyusul kearah mana lentera merah tersebut berada.

Dalam perjalanan majunya, lambat laun dia dapat melihat sebuah tebing yang tinggi-nya ratusan kaki menghadang jalan perginya, sedang lentera merah itu agaknya berada di tangan seorang manusia yang tinggi besar.

Setelah dekat dengan tempat itu baru dia ketahui bayangan tinggi besar itu bukan orang melainkan sebatang pohon yang telah mengering, lentera tersebut tergantung di atas pohon tadi dan bergoyang tiada hentinya ketika terhembus angin.

Lan See giok merasa sangat keheranan, pikirnya:

"Kalau toh dia adalah penunjuk jalan, mengapa tidak ditunjukkan sampai ke pintu depan?"

Tapi ingatan lain segera melintas dalam benaknya, mungkin saja To seng-cu berdiam di dalam hutan itu.

Ia mendongakkan kepalanya, hutan pohon yang mulai mengering itu, dalamnya menca-pai dua tiga puluh kaki sebelum tiba di de-pan dinding tebing tersebut, di dalam hutan tidak dijumpai rumah gubuk ataupun rumah batub, ia bertekad ajkan menuju ke dginding tebing tbersebut untuk melakukan pemerik-saan.

Berhubung timbulnya firasat yang kurang enak tadi, di dalam langkah majunya kali ini, ia bertindak dengan berhati-hati sekali.

Setelah ke luar dari hutan dan mencapai jarak berapa kaki dari tebing, tiba-tiba saja ia merasakan pandangan matanya menjadi te-rang...

Pada sisi kanan tebing curam itu dijumpa sebuah gua, sebatang pohon siong persis tumbuh didepannya sehingga menutup mu-lut gua tadi, jika tidak diperhatikan dengan seksama, mulut gua tersebut memang sukar ditemukan.

Dengan perasaan gembira ia segera menu-bruk ke depan gua, itu dengan cepat dia sak-sikan mulut gua penuh ditumbuhi lumut hi-jau serta sarang laba-laba, suasana gua itu gelap gulita, seolah-olah tidak ada yang me-netap di situ.

Lan See giok segera berkerut kening, dia percaya tokoh nomor satu seperti To seng cu tak mungkin akan mendiami gua yang begitu suram dan kotor seperti itu.

Baru saja dia akan beranjak pergi" men-dadak di atas dinding gua yang sudah dipe-nuhi lumut hijau itu ia saksikan ada gura-tan-guratan aneh yang sangat mirip dengan tulisan.

Sekali lagi tergerak hatinya, cepat-cepat dia menghampiri dinding tebing dan memeriksa dengan seksama, betul juga, garis-garis itu merupakan serangkaian kata yang diukir dengan pisau, tapi berhubung lumut nya amat tebal, sulit untuk membaca kata-kata tersebut.

Terdorong oleh perasaan ingin tahunya lalu dia mengambil sekeping batu, kemudian menghapus lumut hijau yang menempel diatasnya, dalam waktu singkat dia dapat membaca gaya tulisan yang indah, jelas tuli-san seorang wanita.

Lan See giok mundur dua langkah, kemu-dian membaca huruf-huruf tersebut dengan pelan.

"Musim gugur pergi musim dingin lewat, musim semipun tiba.

Rindu dan kangen menyerang setiap malam..

Air mata bercucuran bagaikan mutiara.

Hari berganti hari, bulan berganti bulan. .

Wajah telah basah entah oleh air mata atau embun.

Thian tidak menrgasihi aku. .

zSepasang merpatwi harus terbangr berpisah.

Kemesraan di masa lalu.

Kini tinggal kepedihan dan air mata.

0h Thian... Oh Thian, betapa buruknya na-sibku."

Membaca sampai di sini, Lan See giok se-makin bimbang, dipandangnya sekejap mulut gua yang gelap gulita itu, dia percaya dalam gua tersebut tentu berdiam seorang perem-puan yang menderita karena cinta, atau mungkin juga tersebut merupakan kuburan dari perempuan yang bernasib buruk itu.

Sebenarnya anak muda ini sudah tak ber-niat untuk memasuki gua, tapi sekarang tanpa disadari dia telah melakukan masuk ke dalam gua tersebut. "

Gua itu dalam sekali, keadaannya gelap gulita sehingga sukar melihat kelima jari ta-ngan sendiri, biarpun dia telah mengerahkan tenaga dalamnya ke mata, apa yang bisa dili-hatpun hanya mencapai sejauh lima depa.

Pelan-pelan dia maju ke depan, segera ditemukan gua itu miring ke sebelah kanan, ketika berpaling, ia sudah tidak melihat mu-lut gua tersebut lagi.

Suasana dalam gua amat hening dan sepi, kecuali langkah kakinya, tak kedengaran Lagi suara yang lain.

Mendadak lima depa di depan sana, telah merupakan ujung jalan, setelah pemuda itu maju lagi dua tiga langkah, baru diketahui di depan sana terbentang sebuah pintu batu yang sangat berat.

Dia mencoba untuk meraba, pintu batu itu sangat licin seperti cermin, ketika di-dorong dengan sekuat tenaga, pintu tersebut segera terbuka dengan sendiri, cahaya terang yang menusuk mata segera mencorong ke luar dari balik pintu.



Dengan perasaan terkejut Lan See giok mundur dua langkah, ternyata dibalik pintu itu yang terbentang sebuah undak undakan batu yang sangat lebar dan menjurus ke atas.

Untuk sesaat dia berdiri ragu di depan pintu, tak diketahui harus melanjutkan per-jalanan atau mundur dengan begitu saja, tapi dorongan rasa ingin tahu yang kuat mengki-lik hatinya, membuat pemuda tersebut se-makin bertekad untuk menyelidiki apa gerangan yang terdapat dalam ruangan tersebut.

Akhirnya dia putuskan untuk masuk ke dalam dan menyelidiki sendiri sebab ia merasa nasib perempuan itu kelewat menge-naskan, bila dia masih berada di dalam mungkin dia akan mengetahui tempat tinggal dari To seng cu.

Berpikir demikian diapun berjalan masuk ke dalam ruangan, ternyata cahaya tajam tadi berasal dari sebutir mutiara yang di pasang di atas pintu masuk.

Undak undakan batu itu menjurus naik ke atas, setiap tikungan selalu diberi sebutir mutiara kecil sebagai penerangan, sehingga keadaan di dalam gua bisa terlihat secara lamat-lamat.

Itulah sebabnya dia dapat meneruskan -perjalanannya dengan cepat, dalam waktu singkat puluhan kaki telah dilewati.

Setelah membelok pada sebuah tikungan, sepasang matanya kembali terasa silau, ca-haya terang memancar ke empat penjuru dari depan sana, pada ujung undak undakan batu kembali muncul sebuah pintu batu raksasa yang tingginya satu kaki dan lebarnya dela-pan depa, pintu tersebut tertutup rapat-ra-pat.

Tujuh butir batu mulia yang sangat indah berserakan di atas pintu, sinarnya tajam dan sangat menyilaukan mata.

Ketika diamati lebih seksama di atas pintu tersebut tergantung pula sebuah lian dengan huruf-huruf yang amat besar.

Pada kanan pintu tertuliskan kata-kata.

"Hati di langit barat, tubuh di alam se-mesta, melatih ilmu membenahi watak menanti datangnya saat gembira,"

Sedangkan di sebelah kiri pintu bertulis-kan.

"Seratus tahun menghadap dindibng lepas tulangj jadi dewa, takg akan tergo-da boleh gadis dan cinta!"

Lan See giok menjadi melongo setelah sele-sai membaca tulisan itu, walaupun ia tak bisa memahami arti sari tulisan tersebut se-cara tepat, tapi ia percaya nada tulisan dari sepasang Lian tersebut tidak cocok satu, sama lainnya:

Kalau berbicara dari tulisan yang terukir dimuka gua, gua tersebut seharusnya didiami oleh seorang perempuan yang hidup sengsara karena cinta, tapi bila dilihat dari arti sepasang lian tersebut agak nya penghu-ni gua tersebut adalah seorang pertapa.

Bila ada orang bertapa di dalam gua ini waktunya pasti cukup lama, bisa jadi orang ini adalah To seng cu sendiri maka pemuda ini bertekad untuk masuk lebih ke dalam, kepada pintu batu tersebut diapun menjura, kemudian berkata dengan lantang:

"Boanpwe Lan See giok tertarik oleh syair di luar gua sehingga masuk kemari dengan ceroboh, kini boanpwe merasa tidak habis mengerti, mohon locianpwe sudi memberi petunjuk"

Ucapan mana diutarakan dengan suara nyaring sehingga nada suaranya menggema di seluruh ruangan gua.

Lan See giok berdiri menanti di luar gua dengan tenang, tapi lama sekali belum juga kedengaran suara jawaban, lantas mengambil kesimpulan gua itu kosong tak berpenghuni.

Maka dia maju ke depan dan menempelkan telapak tangannya di atas pintu, ketika dido-rong dengan sepenuh tenaga, terdengarlah suara gemerutuk yang amat berat---

Pintu batu yang sangat besar itu pelan-pe-lan terbuka sebuah celah lebar, segulung bau harum yang semerbak pun segera berhembus ke luar dari balik pintu, Lan See giok melo-ngok ke dalam, ternyata dibalik pintu ter-bentang sebuah ruangan gua yang meman-jang, dalamnya mencapai lima kaki, di sisi kiri dan kanan masing-masing terdapat se-buah ruangan.

kedua ruangan itu tanpa pintu semua, se-dang di ujung gua terdapat pula sebutir batu manikam yang besar berwarna kuning, caha-ya yang terpancar ke luar sangat lembut.

Lan See giok menyelinap masuk ke balik pintu, ia merasakan kakinya menginjak tem-pat yang lembut, ketika diperiksa, ternyata lantai gua dilapisi oleh permadani kuning te-bal.

Sewaktu masuk ke dalam kedua ruangan ia jumpai di situ terdapat masing-masing se-buah kasur untuk duduk, namun tak nam-pakb seorang manusija pun.

Di bawagh mutiara kuninbg di ujung gua ter-dapat sebuah meja pendek yang panjang diatasnya dilapisi kain kuning sampai ter-ku-lai ke atas lantai.

Di muka meja pendek terletak pula se-buah kasur duduk yang besar dan tebal, selain itu, dalam gua tersebut tidak di jumpai benda apapun.

Menyaksikan kesemuanya ini, Lan See giok tahu bahwa dalam goa ini paling tidak terda-pat tiga orang yang bertapa di situ, tapi sekarang sudah tak ada lagi, mungkin sudah menjadi dewa semua.

Sewaktu sorot matanya terbentur dengan benda di atas kain kuning di meja rendah itu tergerak hati Lan See giok, dengan langkah cepat dia menghampirinya.

Apa yang kemudian terlihat segera mem-buat paras mukanya berubah hebat, saking kagetnya dia sampai mundur dua langkah sembari berseru kaget.

Ternyata di atas kain kuning pada meja rendah itu tertera sembilan huruf besar yang terbuat dari emas, tulisan itu berbunyi demikian. "TAY-LO PWE CIN-KENG."

Lan See giok berdiri termangu mangu, sekarang dia baru tahu kalau gua tersebut adalah tempat To seng cu bertapa.

Mendadak terdengar suara tertawa cekiki-kan berkumandang dari belakang tubuhnya.

Dengan perasaan terkejut Lan See giok segera membalikkan badan, ia saksikan dari sisi pintu ruangan sebelah kiri, lebih kurang tiga kaki dihadapannya seperti ada bayangan hitam berkelebat lewat, tanpa sangsi dia segera menubruk ke sana.

Ketika tiba diantara kedua belah pintu, ia celingukan sekejap ke kiri kanan, dalam ru-angan masih terletak dua buah kasur duduk yang kosong, namun tak nampak se-sosok bayangan manusiapun.

Diam-diam Lan See giok terkesiap, tapi ia segera berpikir, kemungkinan besar orang itu bersembunyi di sisi kiri atau kanan pintu.

maka diapun siap beranjak .....

Pada saat itulah, tiba-tiba dari depan ger-bang melayang masuk se sosok bayangan kuning.

Mula-mula Lan See giok agak terperanjat ketika melihat kemunculan orang itu, me-nyusul kemudian denganr perasaan terkezjut bercampur gwirang, seolah-orlah bertemu kem-bali dengan sanak keluarga sendiri, teriaknya keras-keras.

"Locianpwe- - "

Sambil berseru dia segera menubruk ke muka.

Ternyata orang yang melayang masuk ke dalam gua saat ini bukan lain adalah kakek berjubah kuning yang berwajah ramah itu.

Kakek berjubah kuning itu masuk sambil membawa banyak sekali buah anggur yang segar, ketika melihat pemuda itu menubruk tiba dia segera mengangkat ke dua belah ta-ngannya dan tertawa terbahak bahak, sikap-nya nampak gembira sekali.

Lan See giok memeluk kakek berjubah kuning itu erat-erat, saking gembiranya air mata sampai jatuh bercucuran, tiada henti-nya dia memanggil:

"Locianpwe . . locianpwe . . . "

Tiba-tiba kakek berjubah kuning itu menghentikan gelak tertawanya, kemudian dengan penuh kasih sayang dia berkata.

Kalian berdua sudah berani bermain setan, melanggar perintah guru, ayo cepat kau teri-ma buah buahan ini!"

Lan See giok yang mendengar perkataan itu menjadi, kebingungan setengah mati, ketika berpaling tampak olehnya si nona ber-baju merah Si Cay soat dengan wajah ter-sipu-sipu dan senyum dikulum sedang melompat mendekat.

Siau thi gou yang berkulit hitam sedang melototkan sepasang biji matanya yang be-sar.

"Suhu, Thi gou tak berani, semuanya ini merupakan ide enci Soat seorang, dia bilang kita takut takuti Lan See giok agar bisa membalaskan rasa mendongkol Gou ji!"

Sembari berkata, dia tetap berdiri tak ber-gerak di depan pintu ruangan.

"Hmmm!" kakek berjubah kuning itu mendengus marah, "siapa suruh kau berdiam diri saja? Ayo cepat memasang lentera."



Setelah menyerahkan buah buahan itu kepada Si Cay soat yang berdiri dengan wajah gembira tapi agak tersipu sipu itu, dia mem-belai rambut Lan See giok sambil ujarnya dengan ramah.

"Nak, ternyata kau benar-benar datang, ayo jalan mari kita berbicara di dalam."

Ditariknya tangan pemuda itu dan diajak menuju ke bantal duduk di depan meja ren-dah.

Sekarang Lan See giok baru mengerti, rupa kakek berjubah kuning ini adalah To seng cu, anehnya perasaan benci yang semula mencekam perasaannya kini sudah lenyap tak berbekas, entah mengapa ia sudah tak percaya sekarang kalau To seng cu adalah orang yang mencelakai ayahnya.

Dalam perjalanan itu, Lan See giok dapat melihat pula kalau di antara alis mata sebe-lah kiri kakek berjubah kuning itu benar-benar terdapat sebuah tahi lalat merah, tahi lalat tersebut hampir tertutup oleh alis mata yang tebal, hal ini semakin membuktikan kalau kakek berjubah kuning ini memang To--seng-cu.

Tiba di depan meja rendah, To seng cu segera menunjuk ke sisi kasur duduk itu sambil berkata dengan gembira.

"Duduklah anak giok!"

Sembari berkata ia sendiri duduk bersila pula di atas kasur duduk tersebut. Lan See giok mengiakan dengan hormat dan segera duduk bersila di sebelah kanan To seng cu, ia merasa kasur duduk itu empuk sekali se-hingga sangat nyaman untuk ditempati.

SI CAY SOAT telah meletakkan pula buah buahan segar itu di depan kasur duduk ke-mudian ia sendiri duduk di sebelah kiri To seng-cu, dengan wajah bersemu merah dan mata yang jeli tiada hentinya dia mengawasi Lan See giok.

Siau thi gou berjalan ke depan kasur tanpa berbicara, kemudian sambil mengambil sepuluh biji anggur besar yang disodorkan ke hadapan Lan See giok, katanya dengar ber-sungguh hati:

"Kau sudah menempuh perjalanan selama seharian suntuk, sekarang tentu merasa amat dahaga, cepatlah makan anggur ini, tapi ingat, setiap kali makan buah anggur seperti ini, kau hanya boleh makan sepuluh biji."

Berjumpa dengan Siau thi gou, Lan See giok segera teringat pula dengan peristiwa di dusun nelayan tempo hari, dimana ia btelah menotok jjalan darahnya, gtanpa terasa tibmbul perasaan menyesal di dalam hatinya.

Ketika ia saksikan Siau thi gou sama sekali tidak mendendam kepadanya, malah menghadiahkan buah anggur, segera ujarnya sambil menjura.

"Terima kasih banyak, adik Thi gou!"

Siau thi gou tertawa lebar, dia segera duduk pula di samping Si Cay soat.

Sementara itu To seng cu telah berkerut kening, kemudian sambil memandang ke arah Siau Thi gou dengan wajah tak mengerti, ia bertanya cepat:

"Thi gou, siapa yang bilang kalau setiap kali makan hanya boleh makan sepuluh biji buah anggur?"

Mendengar pertanyaan itu, paras muka Si Cay soat segera berubah menjadi merah padam.

Siau thi gou segera menuding ke arah Si Cay soat, dengan melototkan sepasang mata nya dia menjawab:

"Enci soat yang berkata demikian, ia bilang kalau makan sebelas biji perutnya akan sa-kit, bila makan dua belas biji akan mencret-mencret, bila makan tiga betas biji maka se-lama hidup akan selalu kontet (cebol)!".

Belum habis perkataan itu diutarakan, To seng cu sudah tak dapat menahan rasa ge-linya lagi, dia tertawa terbahak bahak.

Agaknya Lan See giok juga dapat mende-ngar kalau ucapan semacam itu hanya ulah Si Cay soat untuk mempermainkan Siau thi gou, tanpa terasa diapun jadi ter-ingat kem-bali bagaimana dia sendiripun di permainkan ketika baru datang ke sana.

Dengan wajah merah padam Si Cay soat tertawa terkekeh kekeh, dengan cepat ia menjelaskan:

"Adik Gou paling suka makan buah ang-gur, setiap kali makan dia bisa menghabis-kan empat lima biji tanpa dikunyah lagi, kalau ditanya bagaimana rasanya, diapun tidak tahu.

Belum habis perkataan itu diselesaikan. To seng cu telah menghentikan tertawanya dan berkata dengan suara dalam tapi ramah.

"Hei si binal, kau kan enci masa senang mempermainkan adik? Sekarang anak giok telah datang. dia adalah kakakmu, akan kulihbat apakah dia ajkan menganiaya gkau si adik atabu tidak."

Siau thi gou mencibirkan bibir tanpa berbi-cara, sedangkan Si Cay-soat melirik sekejap ke arah Lan See giok kemudian menunduk-kan kepalanya rendah-rendah.

Paras muka Lan See giok juga berubah menjadi merah padam, sekarang dia baru tahu rupanya dia menjadi kakak bukan se-bagai adik seperti apa yang diduganya se-mula.

Ketika dilihatnya hubungan To-seng cu dengan murid muridnya tidak disertai dengan peraturan yang ketat, bahkan kasih sayangnya bagaikan seorang ayah terhadap putra putrinya, kesemuanya ini membuat rasa hormatnya terhadap To seng cu makin bertambah.

Terbayang kembali maksud tujuannya datang ke situ, diapun mengeluarkan kotak kecil bungkus kuning itu dari sakunya dan dipersembahkan ke hadapan To seng cu sambil ujarnya dengan hormat:

"Anak giok telah menuruti perintah dengan membawa cinkeng tersebut datang ke mari."

Memandang kotak kecil itu, terlintas perasaan sedih di atas wajah To seng cu, diterimanya kotak itu serta diperhatikan se-kejap kemudian ia berkata:

"Kitab pusaka ini sudah menemani aku setengah hidupku, sepuluh tahun berselang, kotak ini tercuri di luar dugaan, sungguh tak disangka hari ini bisa bertemu kembali."

Sembari berkata dia lantas meletakkan kotak kecil itu di depan kasur duduknya.

Mendengar kata "dicuri," paras muka Lan See giok segera berubah menjadi merah padam karena malu, saking tak tahannya dia sampai menundukkan kepalanya rendah-rendah.

Melihat hal tersebut, To seng cu segera tahu kalau pemuda itu telah salah paham, sambil tertawa ramah dia lantas menjelas-kan:

"Segala sesuatu yang ada di dunia ini su-dah di atur oleh takdir, yang tak ada masalah yang dapat dipaksakan, waktu itu Oh Tin san dan komplotannya berhasil mencuri cinkeng tersebut, dari tempatku tapi kemudian karena ketahuan olehnya sehingga melarikan diri, di dalam gugupnya kotak tersebut telah terjatuh ditengah jalan tanpa mereka sadari . .. "

Mendengar penjelasan tersebut. Lan See -giok segera mengangkat kepalanya sambil bertanya:

"Locianpwe, bagraimana ceritanyza sampai ayahkuw berhasil mendarpatkan kotak kecil ini?"

"Menurut apa yang kuketahui, dia me-ne-mukan benda itu dalam keadaan yang sangat kebetulan, duduk persoalan yang sebenarnya bibi Wan mu yang mengetahui paling jelas"

Lan See giok segera merasakan hatinya bergetar keras, tanpa terasa ia bertanya de-ngan gelisah.

"Kalau toh bibi Wan tahu, mengapa dia ti-dak menerangkannya kepada anak giok?"

To seng cu segera tertawa riang.

"Seperti apa yang diucapkan bibimu, kalian masih kanak-kanak dan tak perlu mengeta-hui semua kejadian itu"

"Jadi locianpwe telah berkunjung ke rumah kediaman bibi Wan pada malam itu?" seru Lan See giok terkejut.

To seng cu manggut-manggut.

"Oleh karena kulihat kau sudah berangkat maka aku tidak jadi masuk.

Sekarang Lan See giok baru mengerti, diapun segera teringat apa yang menyebab-kan jalan darah tidur Oh Li cu tertotok, menyusul kemudian hatinya tergerak, de-ngan nada menyelidik dia segera bertanya:

"Apakah locianpwe juga yang tertawa di-ngin di kuburan Ong leng serta memancing kepergian si Tongkat baja kaki tunggal serta Beruang tunggal?"

To seng cu memandang anak muda itu sambil tersenyum, dia hanya manggut saja tanpa menjawab.

Menyusul kemudian Lan See giok teringat kembali dua kali jeritan kaget yang mengeri-kan itu, dengan nada tak mengerti kembali dia bertanya:

"Apakah dalam gusarnya locianpwe telah menghabisi nyawa kedua orang itu?"

To seng cu segera tertawa terbahak bahak:

"Sudah puluhan tahun lamanya aku tak pernah melakukan pembunuhan, masa kedua orang itu kubunuh? Waktu itu aku hanya menotok jalan darah kaku mereka se-cara diam-diam, mungkin karena kaget mereka baru berteriak keras!"

"Locianpwe, kalau toh kau selalu mengikuti di sisi anak giok, mengapa tidak munculkan diri untuk menempuh perjalanan bersama-sama ku?"

Sekali lagi To seng cu tertawa terbahak ba-hak.

"Anak giok, bukan aku sengaja bermain setan denganmu. berhubung ayahmu mati terbunuh orang, dihati kecilmu pasti mena-ruh banyak prasangka serta kecurigaan, bila tidak berbuat begini kau belum tentu akan menyusul ke mari."

Kemudian setelah memandang sekejap ke arah Si Cay soat serta Siau thi gou yang mendengarkan dengan seksama, dia melan-jutkan:

(Bersambung ke Bagian 17)
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar