Seraya berkata dia lantas
merogoh ke dalam pinggangnya dan meloloskan senjata andalannya.
Tampak cahaya keemas emasan
yang amat menyilaukan mata memancar ke empat pen-juru, tahu-tahu senjata gurdi
emas Kang luan tui milik Lan See giok sudah diloloskan bagaikan seekor ular
emas hidup.
Pemuda berbaju abu-abu itu
segera ter-tegun dan serentak menghentikan langkah-nya, dengan pandangan
termangu serta ke-heranan dia awasi senjata gurdi emas di ta-ngan Lan See giok
tanpa berkedip, sesaat kemudian dia baru menegur dengan perasaan tak habis
mengerti:
"Senjata aneh apa sih
yang kau perguna-kan itu?"
Lan See giok tertawa dingin,
sebelum dia sempat menjawab, dari balik pohon siong te-lah muncul kembali
seseorang, gerakan tubuh orang ini terasa satu kali lipat lebih cepat daripada
pemuda berbaju abu-abu itu.
Pemuda berbaju abu-abu tadi
segera mem-balikkan tubuhnya, kemudian berseru keras.
"Khu suheng, barusan
dialah yang ber-pekik keras!"
Sambil berkata dia lantas
menuding ke arah Lan See giok.
Ketika Lan See giok berpaling,
dia saksi-kan pendatang itu baru berusia tiga puluh tahu-nan, kulit mukanya
kuning dan tubuh-nya kurus ceking tinggal kulit pembungkus tu-lang, namun
sepasang matanya berkilat kilat dan gerak geriknya amat tinggi hati, orang inipun
mengenakan baju berwarna abu-abu.
Lelaki setengah umur itu
berjalan men-dekat kemudian memperhatikan Lan See giok sekejap dengan pandangan
tanpa emosi, ke-mudian dia baru menegur dingin.
"Mengapa kau sembarangan
berpekik di tempat ini dan tak suka mengindahkan nasehat?" "
Sembari berkata, dengan
langkah lebar dia berjalan menuju ke hadapan Lan See giok.
Pemuda berbaju abu-abu itu
terkejut, mendadak cegahnya. "Khu suheng, jangan terlampau dekat, dia
memiliki semacam kepandaian aneh, biar jalan darah nya sudah tertotok namun
tubuhnya sama sekali tidak roboh."
Tertegun lelaki setengah umur
itu, setelah berseru tertahan dia lantas menghentikan langkahnya, sementara
sepasang matanya yang tajam mengawasi Lan See giok dengan pandangan terkejut
bercampur keheranan.
Dalam anggapan Lan See giok
semula, dengan datangnya kakak seperguruan dari pemuda tersebut maka urusan
akan bisa di-bereskan dengan segera, siapa tahu suheng nya ini lebih tak tahu
aturan, maka setelah mendengus katanya sinis.
"Hmmm, berpengetahuan
picik sok kehe-ranan saja?
Namun lelaki setengah umur itu
seakan- akan tidak mendengar apa yang dikatakan Lan See giok, dengan kening
berkerut ter-de-ngar ia berguman seorang diri:
"Aku merasa sedikit tidak
percaya!"
Tiba-tiba saja dia menubruk ke
muka, jari tangan kanannya langsung menotok jalan darah Cong hiat-hiatnya.
Tak terlukiskan amarah Lan See
giok me-nyaksikan datangnya ancaman tersebut, se-bagaimana diketahui, jalan
darah Cong--hiat merupakan salah satu jalan darah penting di tubuh manusia,
bila sampai ter-totok, sekali-pun tak sampai mati juga bakal terluka, itu-lah
sebabnya hawa napsu mem-bunuh segera menyelimuti seluruh wajahnya.
"Bagus sekali" ia
membentak. "bila kau ti-dak percaya, silahkan saja dicoba sendiri."
Sambil membentak, gurdi
emasnya menusuk ke muka secepat sambaran petir dengan jurus Pau hou pay wi (
harimau ga-nas mengebaskan ekor ), dengan gerakan ilmu cambuk dia menyambar
pinggang lelaki setengah umur itu.
Menganggap kepandaian silat
yang dimili-kinya cukup tinggi tentu saja lelaki setengah umur itu tidak
memandang sebelah matapun terhadap Lan See giok, sambil ter-tawa dingin
tubuhnya berkelebat dan tahu-tahu lenyap dari pandangan.
Sebelum itu, Lan See giok
sudah pernah menyaksikan gerakan aneh dari pemuda ber-baju abu-abu itu.. dia
tahu musuhnya telah menyelinap ke belakang punggungnya.
Maka tanpa menggerakkan badan,
gurdi emasnya segera menyerang lagi dengan jurus wi ceng pat hong
(menggemparkan delapan penjuru)...
Serentetan suara desingan
tajam segera menderu deru, cahaya tajam berkilauan me-mancar ke empat penjuru,
dalam waktu singkat muncul beribu ribu bayangan gurdi emas yang melindungi
seluruh badan Lan See-giok.
Agaknya lelaki setengah umur
itu tidak menyangka kalau Lan See giok begitu hebat dalam perubahan - jurus
tangan kanannya yang baru saja melepaskan totokan nyaris tersapu oleh gurdi
emas tersebut, dia segera menjerit kaget lalu mundur sejauh delapan depa lebih.
Lan See giok sudah diliputi
oleh hawa napsu membunuh, sudah barang tentu ia tak akan membiarkan lelaki
setengah umur itu pergi dengan begitu saja, sambil membentak keras hawa
murninya disalurkan ke dalam gurdi itu, kemudian dengan jurus Kim coa toh sim
(Ular emas menjulurkan lidah) ia lepaskan sebuah tusukan dengan gerakan
pedang---
Sebelum lelaki setengah umur
itu berhasil berdiri tegak, gurdi emas dari Lan See giok telah menusuk tiba,
sekali lagi dia menjerit keras lalu mundur ke belakang dengan ce-pat---
Mencorong sinar tajam dari
balik mata Lan See giok, tanpa menghentikan tubuhnya dia meneruskan
terjangannya ke muka, gurdi emasnya melepaskan tiga jurus serangan se-cara
beruntun, ditengah deruan angin sera-ngan, cahaya emas berkilauan, bagaikan
hujan badai menyambar tiada hentinya, sungguh mengerikan sekali keadaannya.
Dengan cekatan lelaki setengah
umur itu berkelit ke kiri dan menghindar ke kanan. karena didesak oleh Lan See
giok sehingga kalang kabut dengan gugup ia mundur.
Pemuda berbaju abu-abu itu
menjadi ter-tegun saking kagetnya, dia sampai lupa un-tuk turun tangan membantu
kakak sepergu-ruan-nya melepaskan diri dari bahaya.
Pads saat itulah . . .
"Tiba-tiba ia mendengar
bentakan keras berkumandang memecahkan keheningan.
"Cepat tahan . . . .
"
Suaranya sangat nyaring
seperti suara genta amat menusuk pendengaran, men-de-ngar itu Lan See giok
segera menghentikan gerak serangannya.
Sewaktu ia berpaling, lebih
kurang dua kaki di tepi arena tampak orang kakek berju-bah panjang warna
abu-abu dan berjenggot panjang berdiri tegak di sana.
Kakek itu berwajah amat ramah
tapi me-mancarkan sinar kewibawaan amat tinggi, di antara bayangan manusia yang
berkelebat lewat, lelaki setengah umur dan pemuda ber-baju abu-abu sudah
melompat ke hadapan kakek tadi dengan wajah tersipu -sipu, setelah memberi
hormat, mereka ber-bisik lirih:
"Suhu!"
Dalam pada itu, Lan See giok
sedang ber-pikir pula dihati.
"Dengan murid yang begitu
berpikiran picik dan berdada sempit, gurunya pasti seorang manusia latah yang
berjiwa sempit pula"
Oleh karena berpendapat
demikian, maka dia hanya berdiri tegak di situ tanpa memberi hormat.
Dengan wajah penuh kegusaran
lelaki berjubah panjang itu memandang sekejap ke arah kedua orang muridnya,
kemudian kata nya dengan suara dalam.
"Mundur kalian!"
Lelaki setengah umur dan
pemuda itu segera mengiakan dengan hormat dan me-ngundurkan diri ke sisi tubuh
gurunya, di atas wajah kedua orang itu sama sekali tidak dijumpai sinar
keangkuhan lagi.
Sambil mengelus jenggotnya
yang panjang kakek berjubah panjang itu memandang wa-jah Lan See giok, kemudian
tanyanya sambil tersenyum: "Siauhiap membawa gurdi emas, apakah kau adalah
keturunan dari Lan tay-hiap?"
Menyinggung soal ayahnya,
paras muka Lan See giok segera berubah menjadi serius kembali, cepat-cepat dia
menjura seraya menjawab dengan hormat..
"Lan Khong-tay adalah guruku,
boleh aku tahu siapa nama cianpwe dan dari mana kau bisa mengenali senjata
tajam andalan dari guruku ini-- ?"
Manusia berjubah panjang itu
mendongak kan kepalanya lalu tertawa terbahak bahak:
"Aaah -- haaahhh -
haaahhh.. ayahmu Lan Khong-tay sangat termasyhur dikolong langit, senjata gurdi
emasnya merajai dunia persi-latan, sembilan butir peluru peraknya selalu tepat
dan tak pernah meleset, dan aku per-nah berjumpa dengan ayahmu, sudah barang
tentu kenal juga dengan senjata kenamaan-nya"
Mengetahui kalau dia kenal
dengan ayah-nya Lan See giok segera berkata dengan serius:
"Oooh rupanya Ban
locianpwe, apabila boanpwe Lan See giok berbuat ceroboh dan mengganggu
ketenangan locianpwe, harap locianpwe sudi memaafkan,"
Selesai berkata, kembali dia
menjura dalam-dalam, Sekali lagi Ban peng cuan ter-tawa tergelak.
"Tiada induk harimau yang
melahirkan an-jing, ayah ibumu selalu hidup bagaikan dewa dewi, sedang ibumu
Hu-yong siancu juga su-dah banyak tahun tak menampakkan diri, apakah selama ini
dia selalu berada dalam keadaan baik-baik?"
Lan See giok segera merasakan
hatinya bergetar keras, dia sangat kebingungan, de-ngan kening berkerut dan
nada tidak me-ngerti tanyanya.
"Ibuku adalah Ki lu
lihiap Ong Si hoa, bu-kan Hu-yong siancu bibi wan, pertanyaan dari locianpwe
ini sungguh membuat boan-pwe tidak habis mengerti!"
Merah padam selembar wajah Ban
peng coan. dia tahu kalau dirinya khilaf, dengan nada minta maaf katanya
kemudian:
"Oh betul, aku memang
sudah tua dan ingatanku tidak tajam lagi. andaikata kau tidak mengingatkan
kembali, hampir saja aku lupa dengan Ong lihiap."
Setelah berhenti sejenak,
seakan akan se-ngaja mengalihkan pokok pembicaraan ke soal lain, dia bertanya
lebih jauh dengan nada tidak mengerti.
"Apakah kedatangan
hiantit kemari hanya untuk berpesiar saja?"
Sejak semula Lau See giok
sudah merasa kalau hubungan bibi Wan dengan ayahnya tidak biasa. apabila
setelah mendengar per-kataan dari Ban Peng cuan, kecurigaannya semakin berlipat
ganda.
Namun bila teringat kembali
tujuan ke-datangannya ke bukit Hoa san kali ini, ter-paksa kecurigaannya
terhadap bibi Wabn ha-rus ditundja sampai lain wgaktu.
Sahutnyab kemudian dengan
hormat:
"Boanpwe ingin buru-buru
menjumpai To seng cu, karena itu khusus aku berangkat dari kota Tek an kemari,
tapi tak kuketahui di manakah letak puncak Giok-li--hong, karena itu . . .
"
Belum habis ia bercerita,
pemuda berbaju abu-abu itu sudah tertawa geli.
Lan See giok menjadi tertegun,
tanpa terasa dia memandang ke arah pemuda ber-baju abu-abu itu dengan termangu.
Ban Peng cuan sendiripun tak
dapat me-nahan rasa gelinya, sambil tersenyum ia segera berkata.
"Agaknya baru pertama
kali ini kau datang kemari, disinilah letak puncak Giok-li- hong!"
Sambil berkata, dia lantas
menuding ke arah sebuah puncak bukit yang berada pulu-han kaki jauhnya.
Sementara itu matahari senja
telah ter-benam, maghrib pun menjelang tiba, kegela-pan mulai menyelimuti
seluruh bukit Hoa san, ketika Lan See giok mengangkat kepala nya, didapati
puncak Giok li hong memang jauh berbeda dengan bukit-bukit lainnya.
Terdengar Ban Peng cuan
bertanya lagi dengan ragu.
"Apakah kau sudah
mengetahui tempat kediaman dari To seng-cu locianpwe?"
Lan See giok segera
menggelengkan kepalanya berulang kali.
"Boanpwe tidak tahu, tapi
konon berada di bawah puncak Giok li hong-.."
"Keponakanku" ujar
Ban Peng cuan dengan bersungguh sungguh, "bukan aku sengaja hendak
menghilangkan kegembiraanmu. kami guru dan murid bertiga sudah banyak tahun
berdiam di puncak ini, tapi belum per-nah bertemu dengan "To seng cu"
locianpwe barang satu kalipun, cerita tentang berdiam-nya dia orang tua di
bawah puncak Giok li hong sudah mulai beredar semenjak sepuluh tahun
berselang"
Mendengar perkataan tersebut,
Lan See giok segera merasakan kepalanya seperti diguyur dengan sebaskom air
dingin, tapi ia percaya kakek berjubah kuning yang ramah itu tidak bakal
membohonginya.
"Setelah boanpwe datang
kemari, boanpwe tetap akan mencarinya, kalau toh akhirnya tidak kutemukan tentu
saja aku akan pulang ke rumah" ucapnya pelan.
Ban Peng coan berpikir
sebentabr, kemudian menjgangguk.
"Baikglah kalau begitbu,
memang tak ada salahnya untuk dicoba, namun kuharap kau jangan membawa
pengharapan yang kelewat besar." "Terima kasih atas petunjuk
locian-pwe, boanpwe ingin mohon diri lebih dulu" Setelah memberi hormat,
pemuda itu mem-balikkan badan dan melompat turun dari puncak itu.
Suasana di bawah puncak gelap
gulita, pemandangan yang berada tujuh delapan kaki dihadapannya sukar untuk
dilihat Seca-ra jelas.
Tempat dimana Lan See- giok
berhenti sekarang tak lain adalah lembah yang meng-hubungkan puncak Tiau
yang-hong dengan puncak Giok- li-hong...-
Udara dalam lembah tersebut
ternyata hangat lagi nyaman, aneka bunga tumbuh dengan suburnya, pohon siong
tumbuh me-rata, air mengalir sangat tenang, pemanda-ngan alam di situ sungguh
mempesonakan- -
Dengan penuh perhatian Lan See
giok mengawasi sekejap keadaan di sekitar sana, di situ tidak nampak bangunan
rumah, tidak pula gua atau tempat lain yang bisa di-pakai sebagai tempat
berteduh, sudah barang tentu To seng cu tak mungkin ber-diam di sana.
Maka dengan mengerahkan ilmu
meri-ngankan tubuhnya, dia berjalan lebih ke de-pan.
Lambat laun pepohonan siong
tumbuh se-makin rapat, tumbuhan bambu menghutan, makin ke dalam suasananya
semakin ber-tambah gelap.
Akhirnya pemuda itu merasa
percuma untuk berlarian secara membuta tanpa arah tujuan tertentu, karena
dengan cara demikian tak mungkin dia bisa menemukan tempat kediaman To seng cu,
tanpa terasa ia lantas teringat kembali dengan pesan dari kakek berjubah kuning
itu, dia bertekad hendak mencobanya.
Berpikir demikian. pemuda itu
segera melompat naik ke atas sebuah batu cadas, kemudian setelah menghimpun
tenaga dalamnya, dia berseru dengan lantang:
"Boanpwe Lan See giok
datang dari tempat jauh untuk menyambangi To seng-cu locian-pwe, bila
diperkenankan mohon diberi pe-tunjuk untuk menemui beliau!"
Selesai berteriak, dia lantas
memusatkan semua perhatiannya untuk mengawasi dan mendengarkan suasana di
sekelilingnya. biarpun dihati kecilnya dia tidak mempunyai harapan yang terlalu
bersar.
Mendadak-z-----
Dari balwik kegelapan lerbih
kurang seratus kaki dihadapannya sana muncul setitik ca-haya lentera, ternyata
cahaya itu berasal
dari sebuah lentera merah yang
bergoyang goyang karena terhembus angin gunung.
Lan See giok amat terperanjat
setelah meli-hat cahaya lentera itu, hatinya terkejut ber-campur gembira.
pikirnya kemudian:
"jangan-jangan To seng cu
memang benar-benar berdiam dalam lembah ini?"
BAB 13
LAN SEE GIOK mengawasi lentera
merah yang muncul di balik kegelapan sana dengan perasaan kejut bercampur
girang di samping perasaan tak habis me-ngerti, dia tak tahu mengapa kejadian
bisa berlangsung begitu kebetulan, baru saja dia berteriak, cahaya lentera
lantas muncul kan diri?
�Tanpa
terasa, ia teringat kembali akan perkataan dari Ban Peng coan, sudah banyak
tahun mereka berdiam di situ namun belum pernah berjumpa dengan To seng cu,
mung-kinkah kemunculan lentera merah tersebut hanya suatu kejadian secara
kebetulan saja?
Menyusul kemudian dia berpikir
lebih jauh:
"Jangan-jangan di situ
terdapat rumah pemburu" Atau mungkin si penebang kayu yang sesat
jalan?"
Akhirnya dia memutuskan untuk
meme-riksa sendiri, andaikata di situ menang ber-diam penduduk, dia berniat
untuk menyeli-diki tempat tinggal To seng cu dari mereka.
Berpikir demikian, diapun
berangkat me-nuju ke arah lentera merah yang muncul pada seratus kaki di
hadapannya itu.
la telah berlarian amat cepat,
paling tidak seratus kaki sudah dilalui, akan tetapi lente-ra merah tersebut masih
kelihatan berada di tempat yang begitu jauh.
Dengan cepat dia melompat naik
ke atas sebuah pohon besar, betul juga, ternyata lentera merah yang berada di
depan sana tampaknya sedang berlarian ke depan.
Tergerak hatinya setelah
menjumpai hal itu, kembali dia berpikir di hati,
"Yaa, jangan-jangan
lentera merah itu memang bermaksud membawanya un-tuk menjumpai To seng
cu?"
karena berpendapat demikian,
dia me-mu-tuskan untuk membuktikan sendiri, agar ti-dak sampai terjerumus ke
dalam perangkap lawan..
Dengan menghimpun tenaga
dalamnya dia berseru lantang:
"Wahai lentera merah yang
berada di depan apakah, kau sedang memberi petunjuk jalan kepadaku untuk
berjumpa dengan To seng cu locianpwe? Kalau memang demikian. harap gerakkan
lentera merahmu ke kiri dan ke kanan ......
Baru selesai dia berseru,
lentera merah tersebut benar-benar bergerak ke kiri dan ke kanan.
Melihat hal ini Lan See giok
malah men-jadi sangsi, entah mengapa, dalam saat itu-lah dalam hati kecilnya
timbul suatu firasat yang tidak menguntungkan.
Di samping itu diapun
terbayang kembali wajah bibi Wan serta enci Cian nya yang sedih dan murung
ketika berpisah tempo hari.
Dalam pada itu, lentera merah
yang berada ditengah kegelapan itu masih digoyangkan tiada hentinya, seakan
akan sedang mende-saknya agar melanjutkan perjalanan.
Lan See giok segera teringat
kembali akan tujuan kedatangannya, harapan dari enci Cian serta bibi Wannya,
kemudian dendam berdarah dari ayahnya " . . akhirnya dia menggigit bibir
dan membulatkan tekadnya untuk mengejar lebih jauh.
Lentera merah yang berada di
depan itu memang aneh sekali, seakan akan dia memiliki beribu ribu mata, begitu
Lan See giok maju, diapun turut maju, ketika Lan See giok berhenti, diapun
turut berhenti biarpun Lan See giok sudah mengerahkan ilmu meringankan
tubuhnya, namun dia belum berhasil juga menyusul lentera merah terse-but.
Begitulah dengan berlarian
mengejar lente-ra merah itu, tanpa terasa dia telah melewati puncak Giok li
hong dan tiba di sebuah lem-bah lain.
Perasaan mendongkol dan
curigab berkeca-muk dij dalam benak Lagn See giok, di btak tahu permainan setan
apakah yang sedang diperbuat lentera merah tersebut.
Lambat laun dia mulai
menangkap suara yang amat keras diantara pepohonan siong yang bergoyang
terhembus angin, di samping itu memandang alam dalam lembah itu sa-ngat indah,
jauh berbeda dengan keadaan ditempati lain.
Lan See giok tidak berniat
untuk memper-hatikan kesemuanya itu, dia masih melan-jutkan pengejarannya
terhadap lentera merah tersebut". .
Mendadak------
Dari balik kegelapan puluhan
kaki dihada-pannya, muncul kembali sebuah lentera merah lain yang menyongsong
kedatangan lentera merah yang pertama.
Tapi lentera kedua yang
menyongsong tadi lebih sampai dua kaki itu tahu-tahu saja padam dengan begitu
saja.
Lan See giok merasa sungguh
tak habis mengerti dia mengalihkan kembali panda-ngan matanya, ternyata lentera
merah yang pertama masih tetap tak berkutik di tempat semula.
Dia tahu, bisa jadi di tempat
inilah meru-pakan tempat kediaman dari To seng cu, karenanya tanpa ragu-ragu
lagi dia menyusul kearah mana lentera merah tersebut berada.
Dalam perjalanan majunya,
lambat laun dia dapat melihat sebuah tebing yang tinggi-nya ratusan kaki
menghadang jalan perginya, sedang lentera merah itu agaknya berada di tangan
seorang manusia yang tinggi besar.
Setelah dekat dengan tempat
itu baru dia ketahui bayangan tinggi besar itu bukan orang melainkan sebatang
pohon yang telah mengering, lentera tersebut tergantung di atas pohon tadi dan
bergoyang tiada hentinya ketika terhembus angin.
Lan See giok merasa sangat
keheranan, pikirnya:
"Kalau toh dia adalah
penunjuk jalan, mengapa tidak ditunjukkan sampai ke pintu depan?"
Tapi ingatan lain segera
melintas dalam benaknya, mungkin saja To seng-cu berdiam di dalam hutan itu.
Ia mendongakkan kepalanya,
hutan pohon yang mulai mengering itu, dalamnya menca-pai dua tiga puluh kaki
sebelum tiba di de-pan dinding tebing tersebut, di dalam hutan tidak dijumpai
rumah gubuk ataupun rumah batub, ia bertekad ajkan menuju ke dginding tebing
tbersebut untuk melakukan pemerik-saan.
Berhubung timbulnya firasat
yang kurang enak tadi, di dalam langkah majunya kali ini, ia bertindak dengan
berhati-hati sekali.
Setelah ke luar dari hutan dan
mencapai jarak berapa kaki dari tebing, tiba-tiba saja ia merasakan pandangan
matanya menjadi te-rang...
Pada sisi kanan tebing curam
itu dijumpa sebuah gua, sebatang pohon siong persis tumbuh didepannya sehingga
menutup mu-lut gua tadi, jika tidak diperhatikan dengan seksama, mulut gua
tersebut memang sukar ditemukan.
Dengan perasaan gembira ia
segera menu-bruk ke depan gua, itu dengan cepat dia sak-sikan mulut gua penuh
ditumbuhi lumut hi-jau serta sarang laba-laba, suasana gua itu gelap gulita,
seolah-olah tidak ada yang me-netap di situ.
Lan See giok segera berkerut
kening, dia percaya tokoh nomor satu seperti To seng cu tak mungkin akan
mendiami gua yang begitu suram dan kotor seperti itu.
Baru saja dia akan beranjak
pergi" men-dadak di atas dinding gua yang sudah dipe-nuhi lumut hijau itu
ia saksikan ada gura-tan-guratan aneh yang sangat mirip dengan tulisan.
Sekali lagi tergerak hatinya,
cepat-cepat dia menghampiri dinding tebing dan memeriksa dengan seksama, betul
juga, garis-garis itu merupakan serangkaian kata yang diukir dengan pisau, tapi
berhubung lumut nya amat tebal, sulit untuk membaca kata-kata tersebut.
Terdorong oleh perasaan ingin
tahunya lalu dia mengambil sekeping batu, kemudian menghapus lumut hijau yang
menempel diatasnya, dalam waktu singkat dia dapat membaca gaya tulisan yang
indah, jelas tuli-san seorang wanita.
Lan See giok mundur dua
langkah, kemu-dian membaca huruf-huruf tersebut dengan pelan.
"Musim gugur pergi musim
dingin lewat, musim semipun tiba.
Rindu dan kangen menyerang
setiap malam..
Air mata bercucuran bagaikan
mutiara.
Hari berganti hari, bulan
berganti bulan. .
Wajah telah basah entah oleh
air mata atau embun.
Thian tidak menrgasihi aku. .
zSepasang merpatwi harus
terbangr berpisah.
Kemesraan di masa lalu.
Kini tinggal kepedihan dan air
mata.
0h Thian... Oh Thian, betapa
buruknya na-sibku."
Membaca sampai di sini, Lan
See giok se-makin bimbang, dipandangnya sekejap mulut gua yang gelap gulita
itu, dia percaya dalam gua tersebut tentu berdiam seorang perem-puan yang
menderita karena cinta, atau mungkin juga tersebut merupakan kuburan dari
perempuan yang bernasib buruk itu.
Sebenarnya anak muda ini sudah
tak ber-niat untuk memasuki gua, tapi sekarang tanpa disadari dia telah
melakukan masuk ke dalam gua tersebut. "
Gua itu dalam sekali,
keadaannya gelap gulita sehingga sukar melihat kelima jari ta-ngan sendiri,
biarpun dia telah mengerahkan tenaga dalamnya ke mata, apa yang bisa
dili-hatpun hanya mencapai sejauh lima depa.
Pelan-pelan dia maju ke depan,
segera ditemukan gua itu miring ke sebelah kanan, ketika berpaling, ia sudah
tidak melihat mu-lut gua tersebut lagi.
Suasana dalam gua amat hening
dan sepi, kecuali langkah kakinya, tak kedengaran Lagi suara yang lain.
Mendadak lima depa di depan
sana, telah merupakan ujung jalan, setelah pemuda itu maju lagi dua tiga
langkah, baru diketahui di depan sana terbentang sebuah pintu batu yang sangat
berat.
Dia mencoba untuk meraba,
pintu batu itu sangat licin seperti cermin, ketika di-dorong dengan sekuat
tenaga, pintu tersebut segera terbuka dengan sendiri, cahaya terang yang
menusuk mata segera mencorong ke luar dari balik pintu.
Dengan perasaan terkejut Lan
See giok mundur dua langkah, ternyata dibalik pintu itu yang terbentang sebuah
undak undakan batu yang sangat lebar dan menjurus ke atas.
Untuk sesaat dia berdiri ragu
di depan pintu, tak diketahui harus melanjutkan per-jalanan atau mundur dengan
begitu saja, tapi dorongan rasa ingin tahu yang kuat mengki-lik hatinya,
membuat pemuda tersebut se-makin bertekad untuk menyelidiki apa gerangan yang
terdapat dalam ruangan tersebut.
Akhirnya dia putuskan untuk
masuk ke dalam dan menyelidiki sendiri sebab ia merasa nasib perempuan itu
kelewat menge-naskan, bila dia masih berada di dalam mungkin dia akan
mengetahui tempat tinggal dari To seng cu.
Berpikir demikian diapun
berjalan masuk ke dalam ruangan, ternyata cahaya tajam tadi berasal dari
sebutir mutiara yang di pasang di atas pintu masuk.
Undak undakan batu itu
menjurus naik ke atas, setiap tikungan selalu diberi sebutir mutiara kecil
sebagai penerangan, sehingga keadaan di dalam gua bisa terlihat secara
lamat-lamat.
Itulah sebabnya dia dapat
meneruskan -perjalanannya dengan cepat, dalam waktu singkat puluhan kaki telah
dilewati.
Setelah membelok pada sebuah
tikungan, sepasang matanya kembali terasa silau, ca-haya terang memancar ke
empat penjuru dari depan sana, pada ujung undak undakan batu kembali muncul
sebuah pintu batu raksasa yang tingginya satu kaki dan lebarnya dela-pan depa,
pintu tersebut tertutup rapat-ra-pat.
Tujuh butir batu mulia yang
sangat indah berserakan di atas pintu, sinarnya tajam dan sangat menyilaukan
mata.
Ketika diamati lebih seksama
di atas pintu tersebut tergantung pula sebuah lian dengan huruf-huruf yang amat
besar.
Pada kanan pintu tertuliskan
kata-kata.
"Hati di langit barat,
tubuh di alam se-mesta, melatih ilmu membenahi watak menanti datangnya saat
gembira,"
Sedangkan di sebelah kiri
pintu bertulis-kan.
"Seratus tahun menghadap
dindibng lepas tulangj jadi dewa, takg akan tergo-da boleh gadis dan
cinta!"
Lan See giok menjadi melongo
setelah sele-sai membaca tulisan itu, walaupun ia tak bisa memahami arti sari
tulisan tersebut se-cara tepat, tapi ia percaya nada tulisan dari sepasang Lian
tersebut tidak cocok satu, sama lainnya:
Kalau berbicara dari tulisan yang
terukir dimuka gua, gua tersebut seharusnya didiami oleh seorang perempuan yang
hidup sengsara karena cinta, tapi bila dilihat dari arti sepasang lian tersebut
agak nya penghu-ni gua tersebut adalah seorang pertapa.
Bila ada orang bertapa di
dalam gua ini waktunya pasti cukup lama, bisa jadi orang ini adalah To seng cu
sendiri maka pemuda ini bertekad untuk masuk lebih ke dalam, kepada pintu batu
tersebut diapun menjura, kemudian berkata dengan lantang:
"Boanpwe Lan See giok
tertarik oleh syair di luar gua sehingga masuk kemari dengan ceroboh, kini
boanpwe merasa tidak habis mengerti, mohon locianpwe sudi memberi
petunjuk"
Ucapan mana diutarakan dengan
suara nyaring sehingga nada suaranya menggema di seluruh ruangan gua.
Lan See giok berdiri menanti
di luar gua dengan tenang, tapi lama sekali belum juga kedengaran suara
jawaban, lantas mengambil kesimpulan gua itu kosong tak berpenghuni.
Maka dia maju ke depan dan
menempelkan telapak tangannya di atas pintu, ketika dido-rong dengan sepenuh
tenaga, terdengarlah suara gemerutuk yang amat berat---
Pintu batu yang sangat besar
itu pelan-pe-lan terbuka sebuah celah lebar, segulung bau harum yang semerbak
pun segera berhembus ke luar dari balik pintu, Lan See giok melo-ngok ke dalam,
ternyata dibalik pintu ter-bentang sebuah ruangan gua yang meman-jang, dalamnya
mencapai lima kaki, di sisi kiri dan kanan masing-masing terdapat se-buah
ruangan.
kedua ruangan itu tanpa pintu
semua, se-dang di ujung gua terdapat pula sebutir batu manikam yang besar
berwarna kuning, caha-ya yang terpancar ke luar sangat lembut.
Lan See giok menyelinap masuk
ke balik pintu, ia merasakan kakinya menginjak tem-pat yang lembut, ketika
diperiksa, ternyata lantai gua dilapisi oleh permadani kuning te-bal.
Sewaktu masuk ke dalam kedua
ruangan ia jumpai di situ terdapat masing-masing se-buah kasur untuk duduk,
namun tak nam-pakb seorang manusija pun.
Di bawagh mutiara kuninbg di
ujung gua ter-dapat sebuah meja pendek yang panjang diatasnya dilapisi kain
kuning sampai ter-ku-lai ke atas lantai.
Di muka meja pendek terletak
pula se-buah kasur duduk yang besar dan tebal, selain itu, dalam gua tersebut
tidak di jumpai benda apapun.
Menyaksikan kesemuanya ini,
Lan See giok tahu bahwa dalam goa ini paling tidak terda-pat tiga orang yang
bertapa di situ, tapi sekarang sudah tak ada lagi, mungkin sudah menjadi dewa
semua.
Sewaktu sorot matanya
terbentur dengan benda di atas kain kuning di meja rendah itu tergerak hati Lan
See giok, dengan langkah cepat dia menghampirinya.
Apa yang kemudian terlihat
segera mem-buat paras mukanya berubah hebat, saking kagetnya dia sampai mundur
dua langkah sembari berseru kaget.
Ternyata di atas kain kuning
pada meja rendah itu tertera sembilan huruf besar yang terbuat dari emas,
tulisan itu berbunyi demikian. "TAY-LO PWE CIN-KENG."
Lan See giok berdiri termangu
mangu, sekarang dia baru tahu kalau gua tersebut adalah tempat To seng cu
bertapa.
Mendadak terdengar suara
tertawa cekiki-kan berkumandang dari belakang tubuhnya.
Dengan perasaan terkejut Lan See
giok segera membalikkan badan, ia saksikan dari sisi pintu ruangan sebelah
kiri, lebih kurang tiga kaki dihadapannya seperti ada bayangan hitam berkelebat
lewat, tanpa sangsi dia segera menubruk ke sana.
Ketika tiba diantara kedua
belah pintu, ia celingukan sekejap ke kiri kanan, dalam ru-angan masih terletak
dua buah kasur duduk yang kosong, namun tak nampak se-sosok bayangan
manusiapun.
Diam-diam Lan See giok
terkesiap, tapi ia segera berpikir, kemungkinan besar orang itu bersembunyi di
sisi kiri atau kanan pintu.
maka diapun siap beranjak
.....
Pada saat itulah, tiba-tiba
dari depan ger-bang melayang masuk se sosok bayangan kuning.
Mula-mula Lan See giok agak
terperanjat ketika melihat kemunculan orang itu, me-nyusul kemudian denganr
perasaan terkezjut bercampur gwirang, seolah-orlah bertemu kem-bali dengan
sanak keluarga sendiri, teriaknya keras-keras.
"Locianpwe- - "
Sambil berseru dia segera
menubruk ke muka.
Ternyata orang yang melayang
masuk ke dalam gua saat ini bukan lain adalah kakek berjubah kuning yang
berwajah ramah itu.
Kakek berjubah kuning itu
masuk sambil membawa banyak sekali buah anggur yang segar, ketika melihat
pemuda itu menubruk tiba dia segera mengangkat ke dua belah ta-ngannya dan
tertawa terbahak bahak, sikap-nya nampak gembira sekali.
Lan See giok memeluk kakek
berjubah kuning itu erat-erat, saking gembiranya air mata sampai jatuh
bercucuran, tiada henti-nya dia memanggil:
"Locianpwe . . locianpwe
. . . "
Tiba-tiba kakek berjubah
kuning itu menghentikan gelak tertawanya, kemudian dengan penuh kasih sayang
dia berkata.
Kalian berdua sudah berani
bermain setan, melanggar perintah guru, ayo cepat kau teri-ma buah buahan
ini!"
Lan See giok yang mendengar
perkataan itu menjadi, kebingungan setengah mati, ketika berpaling tampak
olehnya si nona ber-baju merah Si Cay soat dengan wajah ter-sipu-sipu dan
senyum dikulum sedang melompat mendekat.
Siau thi gou yang berkulit
hitam sedang melototkan sepasang biji matanya yang be-sar.
"Suhu, Thi gou tak
berani, semuanya ini merupakan ide enci Soat seorang, dia bilang kita takut
takuti Lan See giok agar bisa membalaskan rasa mendongkol Gou ji!"
Sembari berkata, dia tetap
berdiri tak ber-gerak di depan pintu ruangan.
�"Hmmm!"
kakek berjubah kuning itu mendengus marah, "siapa suruh kau berdiam diri
saja? Ayo cepat memasang lentera."
Setelah menyerahkan buah
buahan itu kepada Si Cay soat yang berdiri dengan wajah gembira tapi agak
tersipu sipu itu, dia mem-belai rambut Lan See giok sambil ujarnya dengan
ramah.
"Nak, ternyata kau
benar-benar datang, ayo jalan mari kita berbicara di dalam."
Ditariknya tangan pemuda itu
dan diajak menuju ke bantal duduk di depan meja ren-dah.
Sekarang Lan See giok baru
mengerti, rupa kakek berjubah kuning ini adalah To seng cu, anehnya perasaan
benci yang semula mencekam perasaannya kini sudah lenyap tak berbekas, entah
mengapa ia sudah tak percaya sekarang kalau To seng cu adalah orang yang
mencelakai ayahnya.
Dalam perjalanan itu, Lan See
giok dapat melihat pula kalau di antara alis mata sebe-lah kiri kakek berjubah
kuning itu benar-benar terdapat sebuah tahi lalat merah, tahi lalat tersebut
hampir tertutup oleh alis mata yang tebal, hal ini semakin membuktikan kalau
kakek berjubah kuning ini memang To--seng-cu.
Tiba di depan meja rendah, To seng
cu segera menunjuk ke sisi kasur duduk itu sambil berkata dengan gembira.
"Duduklah anak
giok!"
Sembari berkata ia sendiri
duduk bersila pula di atas kasur duduk tersebut. Lan See giok mengiakan dengan
hormat dan segera duduk bersila di sebelah kanan To seng cu, ia merasa kasur
duduk itu empuk sekali se-hingga sangat nyaman untuk ditempati.
SI CAY SOAT telah meletakkan
pula buah buahan segar itu di depan kasur duduk ke-mudian ia sendiri duduk di
sebelah kiri To seng-cu, dengan wajah bersemu merah dan mata yang jeli tiada
hentinya dia mengawasi Lan See giok.
Siau thi gou berjalan ke depan
kasur tanpa berbicara, kemudian sambil mengambil sepuluh biji anggur besar yang
disodorkan ke hadapan Lan See giok, katanya dengar ber-sungguh hati:
"Kau sudah menempuh
perjalanan selama seharian suntuk, sekarang tentu merasa amat dahaga, cepatlah
makan anggur ini, tapi ingat, setiap kali makan buah anggur seperti ini, kau
hanya boleh makan sepuluh biji."
Berjumpa dengan Siau thi gou,
Lan See giok segera teringat pula dengan peristiwa di dusun nelayan tempo hari,
dimana ia btelah menotok jjalan darahnya, gtanpa terasa tibmbul perasaan
menyesal di dalam hatinya.
Ketika ia saksikan Siau thi
gou sama sekali tidak mendendam kepadanya, malah menghadiahkan buah anggur, segera
ujarnya sambil menjura.
"Terima kasih banyak,
adik Thi gou!"
Siau thi gou tertawa lebar,
dia segera duduk pula di samping Si Cay soat.
Sementara itu To seng cu telah
berkerut kening, kemudian sambil memandang ke arah Siau Thi gou dengan wajah
tak mengerti, ia bertanya cepat:
"Thi gou, siapa yang
bilang kalau setiap kali makan hanya boleh makan sepuluh biji buah
anggur?"
Mendengar pertanyaan itu,
paras muka Si Cay soat segera berubah menjadi merah padam.
Siau thi gou segera menuding
ke arah Si Cay soat, dengan melototkan sepasang mata nya dia menjawab:
"Enci soat yang berkata
demikian, ia bilang kalau makan sebelas biji perutnya akan sa-kit, bila makan
dua belas biji akan mencret-mencret, bila makan tiga betas biji maka se-lama
hidup akan selalu kontet (cebol)!".
Belum habis perkataan itu
diutarakan, To seng cu sudah tak dapat menahan rasa ge-linya lagi, dia tertawa
terbahak bahak.
Agaknya Lan See giok juga
dapat mende-ngar kalau ucapan semacam itu hanya ulah Si Cay soat untuk
mempermainkan Siau thi gou, tanpa terasa diapun jadi ter-ingat kem-bali
bagaimana dia sendiripun di permainkan ketika baru datang ke sana.
Dengan wajah merah padam Si
Cay soat tertawa terkekeh kekeh, dengan cepat ia menjelaskan:
"Adik Gou paling suka
makan buah ang-gur, setiap kali makan dia bisa menghabis-kan empat lima biji
tanpa dikunyah lagi, kalau ditanya bagaimana rasanya, diapun tidak tahu.
Belum habis perkataan itu
diselesaikan. To seng cu telah menghentikan tertawanya dan berkata dengan suara
dalam tapi ramah.
"Hei si binal, kau kan
enci masa senang mempermainkan adik? Sekarang anak giok telah datang. dia
adalah kakakmu, akan kulihbat apakah dia ajkan menganiaya gkau si adik atabu
tidak."
Siau thi gou mencibirkan bibir
tanpa berbi-cara, sedangkan Si Cay-soat melirik sekejap ke arah Lan See giok
kemudian menunduk-kan kepalanya rendah-rendah.
Paras muka Lan See giok juga
berubah menjadi merah padam, sekarang dia baru tahu rupanya dia menjadi kakak
bukan se-bagai adik seperti apa yang diduganya se-mula.
Ketika dilihatnya hubungan
To-seng cu dengan murid muridnya tidak disertai dengan peraturan yang ketat,
bahkan kasih sayangnya bagaikan seorang ayah terhadap putra putrinya,
kesemuanya ini membuat rasa hormatnya terhadap To seng cu makin bertambah.
Terbayang kembali maksud
tujuannya datang ke situ, diapun mengeluarkan kotak kecil bungkus kuning itu
dari sakunya dan dipersembahkan ke hadapan To seng cu sambil ujarnya dengan
hormat:
"Anak giok telah menuruti
perintah dengan membawa cinkeng tersebut datang ke mari."
Memandang kotak kecil itu,
terlintas perasaan sedih di atas wajah To seng cu, diterimanya kotak itu serta
diperhatikan se-kejap kemudian ia berkata:
"Kitab pusaka ini sudah
menemani aku setengah hidupku, sepuluh tahun berselang, kotak ini tercuri di luar
dugaan, sungguh tak disangka hari ini bisa bertemu kembali."
Sembari berkata dia lantas
meletakkan kotak kecil itu di depan kasur duduknya.
Mendengar kata
"dicuri," paras muka Lan See giok segera berubah menjadi merah padam
karena malu, saking tak tahannya dia sampai menundukkan kepalanya
rendah-rendah.
Melihat hal tersebut, To seng
cu segera tahu kalau pemuda itu telah salah paham, sambil tertawa ramah dia
lantas menjelas-kan:
"Segala sesuatu yang ada
di dunia ini su-dah di atur oleh takdir, yang tak ada masalah yang dapat
dipaksakan, waktu itu Oh Tin san dan komplotannya berhasil mencuri cinkeng
tersebut, dari tempatku tapi kemudian karena ketahuan olehnya sehingga
melarikan diri, di dalam gugupnya kotak tersebut telah terjatuh ditengah jalan
tanpa mereka sadari . .. "
Mendengar penjelasan tersebut.
Lan See -giok segera mengangkat kepalanya sambil bertanya:
"Locianpwe, bagraimana
ceritanyza sampai ayahkuw berhasil mendarpatkan kotak kecil ini?"
"Menurut apa yang
kuketahui, dia me-ne-mukan benda itu dalam keadaan yang sangat kebetulan, duduk
persoalan yang sebenarnya bibi Wan mu yang mengetahui paling jelas"
Lan See giok segera merasakan
hatinya bergetar keras, tanpa terasa ia bertanya de-ngan gelisah.
"Kalau toh bibi Wan tahu,
mengapa dia ti-dak menerangkannya kepada anak giok?"
To seng cu segera tertawa
riang.
"Seperti apa yang
diucapkan bibimu, kalian masih kanak-kanak dan tak perlu mengeta-hui semua
kejadian itu"
"Jadi locianpwe telah
berkunjung ke rumah kediaman bibi Wan pada malam itu?" seru Lan See giok
terkejut.
To seng cu manggut-manggut.
"Oleh karena kulihat kau
sudah berangkat maka aku tidak jadi masuk.
Sekarang Lan See giok baru
mengerti, diapun segera teringat apa yang menyebab-kan jalan darah tidur Oh Li
cu tertotok, menyusul kemudian hatinya tergerak, de-ngan nada menyelidik dia
segera bertanya:
"Apakah locianpwe juga
yang tertawa di-ngin di kuburan Ong leng serta memancing kepergian si Tongkat
baja kaki tunggal serta Beruang tunggal?"
To seng cu memandang anak muda
itu sambil tersenyum, dia hanya manggut saja tanpa menjawab.
Menyusul kemudian Lan See giok
teringat kembali dua kali jeritan kaget yang mengeri-kan itu, dengan nada tak
mengerti kembali dia bertanya:
"Apakah dalam gusarnya
locianpwe telah menghabisi nyawa kedua orang itu?"
To seng cu segera tertawa
terbahak bahak:
"Sudah puluhan tahun
lamanya aku tak pernah melakukan pembunuhan, masa kedua orang itu kubunuh?
Waktu itu aku hanya menotok jalan darah kaku mereka se-cara diam-diam, mungkin
karena kaget mereka baru berteriak keras!"
"Locianpwe, kalau toh kau
selalu mengikuti di sisi anak giok, mengapa tidak munculkan diri untuk menempuh
perjalanan bersama-sama ku?"
Sekali lagi To seng cu tertawa
terbahak ba-hak.
"Anak giok, bukan aku
sengaja bermain setan denganmu. berhubung ayahmu mati terbunuh orang, dihati
kecilmu pasti mena-ruh banyak prasangka serta kecurigaan, bila tidak berbuat
begini kau belum tentu akan menyusul ke mari."
Kemudian setelah memandang
sekejap ke arah Si Cay soat serta Siau thi gou yang mendengarkan dengan
seksama, dia melan-jutkan:
(Bersambung ke Bagian 17)