Sementara itu bibi Wan telah
membuka jendela belakang secara hati-hati, kemudian dengan cekatan dia menengok
sekeliling jendela luar.
Ketika Lan See giok menyusul
sampai di situ, ia lihat langit nan biru, beribu bintang bertebaran diangkasa. suasana
kegelapan menyelimuti seluruh dusun. Tiba-tiba Hu-yong siancu berpaling dan
bisiknya lirih:
"Anak giok, berangkatlah
sekarang, tam-paknya belakang dusun tidak ada se-orang manusiapun!"
Lan See giok memandang ke arah
bibinya airmata bercucuran amat deras, bibirnya bergetar seperti ingin
mengucapkan sesuatu. namun tak sepatah katapun yang dikeluar-kan.
Hu-yong siancu segera tertawa,
sambil pura-pura gembira, katanya dengan suara rendah.
"Anak giok, mumpung saat
ini tiada orang cepatlah berangkat, semoga kau selamat dan sukses sepanjang
jalan"
Kemudian dengan penuh
keramahan dia menepuk bahu pemuda itu, sementara air matanya tak tahan jatuh
bercucuran.
Lan See giok manggut-manggut,
sekali lagi dia menengok sekejap ke arah encinya, ke-mudian baru melompat ke
luar dari jendela dan secepat kilat meluncur ke luar dari pagar rumah.
Setelah celingukan sekejap ke
sekeliling tempat itu, dengan menyembunyikan diri di-balik pepohonan dia
meneruskan perjala-nannya ke depan.
Setelah sampai di belakang
sebatang pohon yang rimbun, ia berhenti sebentar seraya berpaling, jendela
rumah bibinya telah di tutup, namun dari celah-celah jendela, ia da-pat
merasakan ada empat buah sorot mata yang tak tenang dan gelisah sedang
menga-wasi dirinya.
Dengan cekatan sekali lagi dia
mengawasi sekeliling tempat itu, kemudian mengulap-kan tangannya ke arah
jendela belakang, setelah itu baru membalikkan badan dan melanjut-kan
perjalanannya.
Tiba-tiba . . .
Pada saat dia membalikkan
badan itu-lah, dari bawah pohon yang ke tiga dijumpai ada sesosok bayangan
manusia sedang berjong-kok di situ.
Tak terlukiskan rasa kaget Lan
See giok, saking terkejutnya ia membentak seraya menerjang ke muka dengan
sebuah pukulan siap dilontarkan.
Tapi setelah berhasil
mendekati dihadapan nya, ia baru tertegun karena kaget, ternyata orang itu tak
lain adalah Oh Li cu yang telah ditotok jalan darahnya.
Lan See giok segera berusaha
mengen-dalikan diri, kemudian berjongkok dan me-meluk Oh Li cu ke dalam
rangkulannya.
Waktu itu Oh Li cu sudah
tertidur dengan nyenyak sekali. napasnya sangat teratur, je-las ia sudah
ditotok jalan darah tidurnya.
Dalam keadaan begini Lan See
giok sudah tak bisa memikirkan lagi bagaimana akibat nya bila dia menyadarkan
kembali Oh Li -cu. telapak tangannya segera di angkat siap membebaskan
totokannya.
Pada saat itulah...
Mendadak terdengar ujung baju
terhembus angin berkumandang datang . . .
Dengan perasaan terkejut Lan
See giok mengangkat kepalanya, dari antara pepo-honan ia saksikan ada dua sosok
bayangan manusia sedang meluncur datang dengan kecepatan luar biasa ternyata
mereka adalah bibi Wan serta enci Cian yang mungkin mendengar suara bentakannya
tadi.
Belum habis Ingatan tersebut
melintas le-wat, Hu-yong siancu dan Ciu Siau cian de-ngan wajah pucat dan gerak
gerik gugup te-lah meluncur tiba.
Ketika kedua orang itu melihat
Oh Li cu dalam rangkulan Lan See giok, sekali lagi paras muka mereka berubah
hebat.
Dengan nada gelisah Hu-yong
siancu segera menegur:
"Anak giok, kau tak boleh
membunuhnya."
Seraya berkata ia berjongkok
dengan gugup.
"Bibi, bantah Lan See
giok, ia sudah dito-tok lebih dulu jalan darah tidurnya oleh orang lain. aku
menemukannya bersandar di tempat ini!"
Sekarang Hu-yong siancu sudah
merasa-kan kalau gelagat kurang beres, ia segera me-nerima 0h Li cu dari
rangkulan Lan See-giok dan secara beruntun melepaskan tiga buah tepukan, akan
tetapi Oh Li cu masih tetap tidur amat nyenyak.
Dengan perasaan tegang Lan See
giok segera berbisik "Bibi, agaknya jalan darah tidurnya telah ditotok
serangan dengan se-macam ilmu totokan khusus!"
Hu-yong siancu
manggut-manggut, menyusul kemudian dia periksa keadaan di sekeliling tempat itu
dengan seksama, se-telah itu bisiknya lirih:
"Anak Giok, cepat pergi,
persoalan di sini biar aku yang hadapi, bila ada orang menghalangimu, tak usah
dilayani."
Lan See giok mengangguk
berulang kali, kemudian, dengan cekatan dia awasi sekeli-ling tempat itu, lalu
bisiknya:
"Bibi, anak giok
berangkat dulu!"
Sekali lagi dia menengok ke
arah encinya yang berwajah pucat pias itu kemudian membalikkan badan segera
berangkat me-ninggalkan tempat itu.
Dengan menghimpun tenaga
dalamnya ke dalam telapak tangan untuk berjaga jaga atas segala kemungkinan
yang tak diingin-kan, Lan See giok percepat langkahnya mening-galkan tempat
itu, sorot matanya yang tajam memperhatikan keadaan di sekitarnya de-ngan
seksama, beberapa lompatan kemudian ia telah tiba di luar dusun.
Dalam keadaan begini, dia
sudah tak ber-minat lagi untuk memikirkan soal Oh Li cu yang ditotok orang, apa
yang dipikirkan sekarang adalah secepatnya meninggalkan daerah pesisir telaga.
Sekeluarnya dari dusun, dia
membenarkan arah tujuannya, kemudian meneruskan per-jalanan ke depan.
Tanah persawahan yang
dilewati, berada dalam kegelapan yang luar biasa, di sana sini hanya terdengar
suara jengkerik serta kunang-kunang yang terbang kian kemari.
Dikejauhan sana nampak tanah
perbu-kitan secara lamat-lamat serta hutan lebat yang gelap gulita,
Lan See giok tidak merubah
arah, dia meneruskan perjalanannya menembusi hu-tan melewati bukit langsung ke
arah barat laut, dalam waktu singkat tujuh delapan li telah dilalui.
Perasaan tegang dan panik yang
semula mencekam perasaannya, lambat laun dapat ditenangkan kembali.
Setelah melalui sebuah tanah
perbukitan, lamat-lamat di kejauhan sana sudah terlihat jalan raya menuju ke
kota Tek an.
Pada saat itulah..
Serentetan suara gelak tertawa
yang sangat keras dan nyaring berkumandang datang dari arah utara sana.
Dengan perasaan terkejut Lan
See giok segera menyembunyikan diri di belakang se-batang pohon besar, kemudian
baru mene-ngok kearah utara.
Satu dua li dari tempat
persembunyian nya merupakan sebuah hutan pohon siong yang lebat, dari tempat
itulah gelak tertawa nya-ring tadi berasal.
Kembali terdengar suara
bentakan penuh kegusaran:
"Hei orang she Gui, kau
jangan kelewat memojokkan orang, aku To pit him (beruang berlengan tunggal)
Kiong-Tek-ciong selalu mengalah kepadamu, bukan berarti aku ta-kut kepadamu,
kau harus tahu hanya mereka yang berjodoh dan punya rejeki besar yang akan mendapatkan
benda mestika, bila kau memang punya kepandaian, ayolah ma-suk sendiri, aku tak
nanti akan mengincar dirimu."
Mendengar pembicaraan
tersebut, Lan See giok segera memastikan kalau suara tertawa itu berasal dari
To tui thi koay (tongkat ber-kaki tunggal) Gui Pak ciang, hanya tidak di-pahami
olehnya masalah yang membuat kedua orang itu ribut sendiri.
Dari balik hutan kembali
kedengaran suara Gui Pak ciang yang kasar.
"Beruang berlengan
tunggal, kau tidak usah bermain kembangan dihadapanku, kita boleh dibilang
musuh bebuyutan yang merasa jalan kelewat sempit, bila kau tidak serahkan benda
tersebut pada malam ini, jangan harap kau bisa pulang ke bukit Tay ang-san mu
dalam keadaan hidup!"
Tergerak hati Lan See giok,
sekarang dia baru mengerti bahwa markas besar si beru-ang berlengan tunggal
berada di bukit Tay ang san.
"Orang she Gui!"
bentakan nyaring kembali berkumandang, "aku akan beradu jiwa de-nganmu,
hari ini kaupun jangan harap bisa kembali ke benteng Pek-hoo-cay!"
Diiringi suara gelak tertawa yang
nyaring, menyusul kemudian bergema suara desingan suara tajam dan deruan angin
pukulan.
Lan See giok tahu bahwa kedua
orang itu sudah mulai melibatkan diri dalam pertaru-ngan sengit, tergerak
hatinya, cepat-cepat dia lari turun dari bukit dan kabur menuju ke-gelapan di
arah utara.
Dalam perjalanan tersebut, ia
dapat meli-hat kalau tempat kegelapan di depan sana memang sebuah hutan pohon
siong.
Tapi setelah maju lebih ke
muka, dengan perasaan terkejut pemuda itu segera berhen-ti, ia jumpai dibalik hutan
pohon siong terse-but ternyata bukan lain adalah puncak ku-buran Ong-leng yang
sangat dikenal olehnya.
Sekarang Lan See giok baru
mengerti, ter-nyata hutan pohon siong di depan sana tak lain adalah kuburan
Ong-leng yang didia-minya selama banyak tahun.
Ketika ia mencoba untuk
memasang telinga kembali, ternyata suasana dalam hutan tersebut sudah pulih
kembali dalam ketena-ngan. agaknya pertarungan yang semula berlangsung kini
telah mereda.
"Aduh celaka" pekik
Lan See giok dalam bad.
Dengan cepat dia
menyembunyikan diri ke belakang bantuan cadas yang berada tak jauh dari sana.
Rupanya pemuda itu segera
menyadari karena agaknya pertarungan dari si tongkat besi berkaki tunggal dan
Beruang berlengan tunggal segera di akhiri ber-hubung mereka telah menangkap
suara ujung bajunya yang terhembus angin.
Benar juga, dari balik hutan
pohon siong di depan sana segera muncul dua sosok baya-ngan manusia, ke empat
buah sorot mata mereka yang tajam bagaikan sembilu segera dialihkan ke arah
tanah persawahan sana.
Buru-buru Lan See giok
menundubkkan kepalanya jsambil menyembugnyikan diri, habtinya sangat gelisah
selain menyesal, di samping itu diapun lantas teringat kembali pesan bibinya
sebelum berpisah tadi.
Sewaktu mengangkat kepalanya
kembali, dia jadi gemetar karena ketakutan, ternyata si tongkat besi kaki
tunggal serta si beruang berlengan tunggal dengan senjata disiapkan sedang
melakukan pencarian ke arahnya.
Dalam keadaan begini, di
samping Lan See giok menyesali kecerobohan sendiri, diapun hanya bisa menunggu
sampai kedua orang itu mencari sampai ke arahnya.
Untuk kabur, jelas hal ini tak
mungkin akan berhasil, mau bertarung diapun sadar bahwa kemampuannya belum
mampu untuk menghadapi kedua orang tersebut, terpaksa satu satunya jalan adalah
beradu jiwa . . .
Di dalam waktu yang amat
singkat itu, rasa menyesal, malu, gelisah berkecamuk di dalam benaknya kalau
bisa dia ingin segera menghabisi nyawa sendiri..
Teringat bibi Wan serta enci
Cian nya. mereka berdua tentu tak akan menyangka kalau dia sudah terperosok ke
dalam keadaan yang sangat berbahaya kini.
Tanpa terasa dia meraba kotak
kecil dalam sakunya, ia tahu benda tersebut tentu akan sukar dipertahankan
lagi, dari pada benda mestika itu terjatuh ke tangan dua orang penjahat itu.
lebih baik ia hancurkan kitab pusaka tersebut.
Berpikir demikian, diam-diam
ia merogoh ke dalam sakunya, ia merasa telapak tangan nya sudah mulai basah
oleh keringat dingin.
Pada saat tangan kanan Lan See
giok ham-pir menyentuh kotak kecil tersebut, menda-dak terdengar suara tertawa
dingin seseorang yang sangat rendah berkumandang datang dari arah hutan pohon
siong sana.
Beruang berlengan tunggal
berdua merasa sangat terkejut, dengan cepat dia membalik-kan badan seraya
membentak:
"Siapa di situ?"
Tapi suasana dalam hutan
sangat hening dan tak kedengaran sedikit suarapun.
Mendadak terdengar si tongkat
baja kaki tunggal membentak nyaring:
"Manusia sialan mana yang
tak berani bertemu orang, kalau tidak segera ke luar..."
Belum habis umpatan tersebut
dbiutarakan, darij balik hutan teglah meluncur keb luar dua titik bayangan
hitam yang langsung me-n-yambar ke hadapan tongkat baja kaki tunggal berdua
dengan membawa desingan suara tajam.
Berhubung gerakannya sangat
cepat dan luar biasa, kedua orang itu tak sempat lagi untuk menghindarkan diri.
"Plaaakkk,
plaaakkk!"
Debu bertebaran ke angkasa,
tahu-tahu saja kedua titik hitam tadi sudah menghajar di atas kening si Tongkat
baja kaki tunggal dan si beruang berlengan tunggal secara te-lak.
Kedua orang tersebut menjadi
tertegun kemudian berteriak kesakitan, mereka meraba pipinya, ternyata senjata
rahasia yang bersarang di atas pipi mereka berdua tak lebih hanya dua gumpal
lumpur belaka.
Kontan saja si Tongkat baja
kaki tunggal serta si Beruang berlengan tunggal jadi gusar sekali, sambil
membentak nyaring serentak mereka menyerbu ke dalam hutan.
Lan See giok segera memperoleh
peluang yang baik sekali, pekiknya dalam hati:
"Kalau sekarang tidak
angkat kaki, masa aku harus menunggu sampai datangnya saat kematian?"
Berpikir demikian, dengan
cepat dia melompat bangun dan segera kabur menuju ke arah barat laut.. .
Belum sampai lima kaki Lan See
giok mela-rikan diri, tiba-tiba saja dari arah hutan, po-hon siong telah
berkumandang dua kali jeri-tan kaget yang tinggi melengking serta penuh
mengandung nada seram den ngeri.
Gemetar sekujur badan Lan See
giok, ia tak berani berpaling lagi, larinya semakin diper-cepat, bagaikan
segulung asap ringan dia langsung melarikan diri menuju ke arah jalan raya.
Pemuda itu dapat menduga, si Tongkat
baja kaki tunggal serta Beruang berlengan tunggal tentu sudah bertemu dengan
gem-bong-gembong iblis yang kejam dan buas, kalau ditinjau dari jeritan
kagetnya yang menyeramkan tadi. bisa diketahui kalau kedua orang tersebut tentu
ketakutan sekali menjumpai lawannya.
Sementara masih termenung, ia
sudah tiba dijalan raya, ketika berpaling kecuali pepo-honan rendah yang
tersebar di belakang sana, ia tidak melihat ada manusia yang mengejar ke
arahnya.
Dalam hati kecirlnya Lan See
gizok tiada hentinwya bersyukur. dria tak menyangka dalam bahayanya tadi
ternyata muncul seo-rang bintang penolong yang tak sempat di-jumpai wajahnya.
Sekalipun orang yang berada di
belakang itu tidak mengejarnya, tapi pemuda kita ber-larian terus dengan
kencang, ia tak berani melambatkan gerakan tubuhnya barang se-bentarpun karena
sekarang dia baru mengi-ngatkan diri atas pesan dari bibinya, jangan mencampuri
urusan yang bukan masalah sendiri.
Waktu berlangsung amat cepat,
tak lama kemudian tengah malam pun telah tiba.
Dalam kegelapan di kejauhan
sana lamat-lamat dia melihat munculnya sebuah kota besar dengan beberapa titik
lentera merah digantungkan ke tengah angkasa, meski hanya setitik cahaya namun
cukup menda-tangkan semangat bagi Lan See giok yang sedang -berlarian ditengah
kegelapan.
Dia tahu, cahaya lentera
tersebut berasal dari kota Tek-an, karenanya tanpa terasa semangatnya kembali
berkobar.
Berhubung pada siang harinya
dia sudah tidur cukup, saat ini semangatnya terasa berkobar-kobar, apalagi
semenjak dia me-ne-lan pil racun pemberian dari manusia buas bertelinga tunggal
Oh Tin san, selain tenaga dalamnya telah peroleh kemajuan yang pesat, diapun
sama sekali tidak merasa lelah, me-ngapa bisa demikian, hingga sekarang
ma-salah tersebut masih merupakan sebuah tanda tanya besar.
Sementara masih termenung dia
telah tiba di kota Tek-an, tapi oleh sebab dia tidak merasa lelah, diputuskan
untuk melanjutkan perjalanannya lebih jauh.
Maka dengan melingkari kota,
dia langsung berangkat menuju ke kota Toan cong.
Malam semakin kelam, suasana
di sekeli-ling tempat itupun sangat hening, di bawah cahaya rembulan yang amat
redup Lan See giok berlarian seorang diri ditengah jalan raya yang lenggang.
Satu kentongan sudah lewat,
entah berapa jauh perjalanan telah ditempuh, dari keja-uhan sana ia mulai
mendengar suara ayam jago berkokok, angin malam terasa makin dingin, kegelapan
malam yang mencekam makin terasa gelap.
Lan See giok tahu, sesaat lagi
fajar akan menyingsing, akan tetapi bayangan kota Toan-cong belum juga nampak.
Sementara itu rasa lapar,
dahaga, lelah dan gelisah telah menyerang datang bersama sama. air peluh sudah
mulai membasahi se-luruh jidatnya.
Tiba-tiba---
Bau harum semerbak yang sangat
aneh muncul secara mendadak dari dalam tenggo-rokannya.
Berbareng itu juga, dia
merasakan mun-culnya cairan harum yang amat luar biasa dari bawah lidah dan
kerongkongan nya.
Dengan perasaan terkejut Lan
See giok segera memperlambat gerakan tubuhnya. Dia merasa cairan harum itu
berasal dari dalam tubuhnya sendiri, persis seperti bau harum yang dirasakan
setelah menelan pil berwarna hitam pemberian dari Oh Tin san sewaktu berada di
dalam kuburan kuno tempo hari.
Dalam keadaan begini dia
merasa tak bisa melanjutkan perjalanannya lagi, dia harus bersemedi lebih dulu
sebelum melanjutkan perjalanan.
Maka dengan sorot mata yang
tajam dia mulai mengawasi keadaan di sekeliling tem-pat itu, akhirnya ia duduk
bersila di bawah sebatang pohon yang rindang, enam tujuh kaki di sebelah kiri
jalan.
Entah sedari kapan, bau harum
tersebut makin lama terasa semakin menebal, dengan cepat pula rasa lapar yang
semula merong-rong dirinya kini hilang lenyap tak berbekas, kerongkongannya
juga tidak terasa dahaga lagi, malah rasa lelah yang semula mencekam tubuhnya
kini sudah jauh berkurang.
Ia tidak berniat untuk
berpikir lebih jauh, tapi ia percaya, hal ini pasti bukan ditimbul-kan oleh
cairan racun pil pemberian Oh Tin san tempo hari.
Lan See giok memejamkan
matanya sambil mengatur pernapasan, dalam waktu singkat timbul hawa panas yang
sangat hangat dari pusarnya yang dalam waktu singkat telah menyebar ke seluruh
tubuhnya, rasa lapar, bdahaga dan lelajh yang semula mgenghantui dirinbya.
sekarang telah hilang lenyap tak ber-bekas.
ENTAH berapa lama sudah lewat,
dari ke-jauhan sana mulai terdengar suara anjing menggonggong, ketika Lan See
giok membuka matanya, dia lihat fajar mulai menyingsing, dusun di kejauhan sana
pun lamat-lamat sudah mulai kelihatan.
Lan See giok segera melompat
bangun, ia merasakan tubuhnya telah segar bugar kem-bali, penuh semangat dan
tenaga, pada hakekatnya bagaikan dua manusia yang ber-beda bila dibandingkan
sebelum bersemedi tadi.
Dengan perasaan girang dia
meneruskan perjalanannya, sekali melompat tahu-tahu saja sepasang kakinya sudah
melayang turun ditengah jalan raya, kejadian tersebut kem-bali membuat anak
muda tersebut ter-mangu-mangu karena kaget.
Padahal jarak antara pepohonan
dimana ia bersemedi tadi dengan jalan raya men-capai enam tujuh kaki lebih,
sebelum ia bersemedi tadi, jelas hal semacam ini tak mungkin bisa dilakukannya,
tapi sekarang selesai ia bersemedi, ternyata hal mana bisa dilakukan olehnya
dengan begitu mudah.
Rasa terkejut. gembira, girang
membuat semangatnya semakin berkobar-kobar, dia meneruskan perjalanannya juga
lebih cepat lagi.
Langit baru saja terang tanah,
namun jalan raya itu sudah banyak manusia yang berlalu lalang, kota Toan-cong
pun kini sudah mun-cul di depan mata, maka dengan langkah le-bar dia segera
berjalan menuju ke depan.
Ketika Lan See-giok masuk ke
jalan Lam-kwan, matahari baru saja muncul, saat para pedagang mulai
meninggalkan rumah penginapan untuk melanjutkan per-jalanan.
Ia segera memilih sebuah rumah
pengina-pan yang agak besar untuk beristirahat.
Para pelayan rumah penginapan
kebanya-kan adalah orang-orang yang sudah berpe-ngalaman, dalam sekilas
pandangan saja, mereka sudah tahu kalau Lan See giok adalah anggota persilatan
yang baru saja menempuh perjalanan semalam suntuk.
Apalagi kalau melihat usianya
yang paling banter baru lima enam belas tahunan, orang yang berani menempuh
perjalanan malam dalam usia seperti ini jelas sudah kalau kepandaian silat yang
dimiliki nya pasti amat hbebat.
Beberapaj orang pelayan
gtersebut tak bebrani berayal, cepat-cepat mereka maju menyam-but
kedatangannya, lalu dengan senyuman di wajah sapanya:
"Siauya, silahkan masuk
ke dalam, di sana tersedia kamar tunggal yang dikelilingi ke-bun, ada kacung
ada pelayan, semua persediaan lengkap, tanggung siauya akan puas"
Lan See giok tidak ingin
melakukan pem-borosan, jangan lagi bekalnya amat sedikit, kendati pun dia
membawa sejumlah uang yang lebih besar pun tak nanti dia akan boros seperti
itu.
Karenanya dengan kening
berkerut dia awasi beberapa orang pelayan itu, kemudian berkata dengan hambar:
"Aku hanya ingin
beristirahat sebentar saja, seusai bersantap nanti aku masih melanjutkan
perjalanan kembali."
Kemudian sambil menuding
sebuah kamar tunggal di depannya, dia melanjutkan:
"Biar aku menyewa kamar
itu saja!"
Pelayan segera mengiakan
berulang kali dan mengajak Lan See giok menuju ke ru-angan.
Ruangan tersebut sangat
sederhana, selain sebuah meja dua bangku dan sebuah pem-baringan kayu, tidak
nampak perabot yang lain, tapi biar sederhana namun segalanya bersih.
Maka pemuda itu pun memesan
sejumlah makanan yang sederhana untuk mengisi pe-rut.
Beberapa orang pelayan itu
saling ber-pan-dangan sekejap lalu sama-sama mengundur-kan diri, diam-diam
mereka memuji akan ke-sederhanaan pemuda itu, biarpun berasal dari keluarga
kaya namun hidupnya bersa-haja. selain tidak sombong, orangnya selalu merendah.
Seusai bersantap, Lan See giok
segera membaringkan diri untuk beristirahat, per-tama tama dia teringat akan
enci Cian serta bibi Wannya.
Ditinjau dari kejadian
berkumpul dan berpisah dengan encinya, dia tahu kalau enci Cian amat
mencintainya. maka ia bertekad dihati, apabila kepergiannya ke bukit Hoa--san
kali ini berhasil mempelajari kepandai-an silat sehingga dendamnya bisa
terbalas, dia akan hidup selamanya bersama enci Cian serta bibi Wannya.
Dari pembicaraan Oh Tin san
suami istri, diapun tahu kalau bibinya dahulu terkenal sebagai seorang pendekar
wanita yang ber-nama Hu-yong siancu, kemudian berdasar-kan pembicaraan kemarin,
diapun menjum-pai kalau antara bibi Wan dengan ayahnya tentu pernah mempunyai
suatu hubungan ryang luar biasaz.
Lantas dia pwun terbayang
kermbali Oh Li cu yang jalan darah tidurnya ditotok orang, en-tah bagaimana
keadaannya sekarang? Dia pikir, bibi Wan dan enci Cian pasti akan baik-baik
merawat dirinya.
Setelah itu diapun
membayangkan si Tongkat baja kaki tunggal serta Beruang berlengan tunggal, dua
jeritan kagetnya yang memekikkan telinga tadi entah merupakan jerit kesakitan
ataukah jeritan ngeri men-je-lang saat ajalnya tiba? Bila kedua orang itu sudah
tewas, berarti dia tak akan bisa me-nyelidiki lagi sebab musabab mereka bisa
mendatangi kediaman ayahnya pada malam itu.
Cairan harum itu yang muncul
dari kerongkongannya pagi tadi serta ber-tambah-nya tenaga dalam yang dimiliki,
semuanya membuat dia bingung dan tidak bebas mengerti, sekarang dia berani
memastikan kalau selama berada dalam kuburan kuno tempo hari, ia memang telah
memperoleh penemuan luar biasa.
Akhirnya diapun membayangkan
kembali soal To seng-cu, dari nasehat dan teguran dari bibinya, ia tidak
terlalu yakin sekarang bahwa To seng cu adalah musuh besar pem-bunuh ayahnya,
namun ia tetap menaruh curiga kepadanya.
Teringat akan To seng cu, dia
jadi ingin sekali tiba di bukit Hoa san secepatnya.
Maka dia segera melompat
bangun, lalu duduk bersila, menutup mata dan mengatur pernapasan, dalam waktu
singkat ia telah berada dalam keadaan tenang'
Entah berapa saat kemudian,
ketika mem-buka matanya, waktu sudah mendekati pu-kul sembilan, dengan cepat
dia mem-benahi diri, membayar rekening dan meneruskan perjalanan.
Lewat tengah hari, dia sudah
memasuki wilayah propinsi Ou pak. Sepanjang perja-lanan Lan See giok selalu
menuruti nasehat dari bibinya, dia selalu menempuh perjalanan dengan berhati
hati dan hemat.
Dalam satu bulan perjalanan,
walaupun beberapa kali ia menjumpai hujan salju yang lebat, namun sama sekali
tidak mem-penga-ruhi perjalanannya.
Dalam sepanjang perjalanan,
Lan See giok pun telah memperoleh banyak pengetahuan dan pengalaman, ia menjadi
jauh lebih ma-tang daripada ketika berada di benteng Wi-lim-poo.
Hanya saja, selama ini dia tak
pernah da-pat melupakan dendam sakit hatinya, dalam benaknya juga sering muncul
bayangan wa-jah dari enci Cian nya yang cantik dan lem-but serta bibi Wan nya
yang anggun dan ramah.
Diapun amat berterima kasih
kepada kakek berjubah kuning itu, bukan saja tidak melarikan kitab pusaka Tay
lo hud bun pwee tiap cinkeng. malah dia sempat memberita-hukan kepadanya
bagaimana caranya mem-pelajari kitab pusaka tersebut.
Kadangkala diapun teringat Oh
Li cu, ter-utama rasa terima kasihnya atas pemberian beberapa butir pil pemunah
racun untuknya.
Dia juga berterima kasih
kepada gadis ber-baju merah Si Cay-soat, hanya sewaktu ter-ingat Siau thi-gou
yang polos dia selalu merasa agak menyesal.
Hari ini ia menyeberangi Han
sui, bukit Hoa san yang tinggi dan angkerpun sudah muncul di kejauhan sana.
Dari jauh memandang, bukit itu
nampak angker dan bersambungan dengan awan di angkasa, begitu angker, gagah tak
malu di sebut bukit kenamaan di daratan Tionggoan
Baru pertama kali ini dia
berkunjung Ke bukit Hoa san, boleh dibilang dia sama sekali tidak mengenal
dengan keadaan situasi di sekitar situ, akhirnya pemuda itu memutus-kan untuk
menginap di sebuah kota kecil yang jaraknya hanya sepuluh li dari kaki bukit.
Seorang diri pemuda itu duduk
di loteng rumah makan sambil memandang bukit yang menjulang tinggi ke angkasa
dengan panda-ngan termangu, ia tak tahu bukit manakah yang dinamakan Giok li
hong, dan dia pun tak tahu harus masuk melalui jalan bukit yang mana.
Seorang pelayan yang sudah
sejak lama mengamati tamunya ini, segera datang menghampiri sambil menegur:
"Tuan, araknya sudah
mulai dingin rupa-nya, apakah perlu hamba hangatkan dulu?"
Melihat pelayan tersebut,
tergerak hati Lan See giok, dia tertawa ramah kemudian meng-geleng, setelah itu
menunjuk ke tanah per-bukitan di depan sana, ia bertanya:
"Tolong tanya, diantara
sekianb banyak bukit dji bukit Hoa sang, puncak manakabh yang paling
indah?"
Menghadapi pertanyaan itu,
sang pelayan segera merasakan semangatnya bangkit kembali, dia menunjuk kearah
deretan pe-gunungan itu lalu, menerangkan:
"Tiga puncak bukit Hoa
san sukar di beda-kan satu dengan lainnya, puncak di bagian tengah yang paling
tinggi disebut puncak Lian hoa hong, di sebelah timur adalah Sian jin hong,
sedangkan Lok-eng-hong terletak di sebelah selatan, di atas puncak terdapat
kuil Pek tee bio, gardu Nyoo kong teng, kolam Lok eng ti, tugu Jian jip pit
masih ada lagi tem-pat-tempat kenamaan lain.."
Melihat si pelayan sama sekali
tidak me-nyinggung soal puncak Giok li hong, Lan See giok segera berkerut
kening, kemudian ta-nyanya dengan nada tidak mengerti:
"Masa di atas bukit Hoa
san hanya ter-da-pat tiga buah puncak kenamaan saja . .?"
"Aaah, tentu saja banyak
sekali," jawab pelayan itu bersungguh sungguh, "seperti Im tay hong,
Kun cu hong, Giok li hong.. "
"Giok li hong . ."
mencorong sinar terang dari balik mata Lan See giok.
Tidak menanti sampai pemuda
itu me-nye-lesaikan kata katanya, sang pelayan kembali telah menimbrung:
"Giok li hong amat tinggi
bukitnya dan se-lalu tertutup awan putih, pohon siong, tum-buhan bambu, batuan
air kolam penuh ber-serakan dimana mana, semua tempat indah seperti gadis
cantik yang tinggi semampai.
Menyaksikan pelayan itu
bercerita dengan penuh semangat sampai mukanya turut menjadi merah, lama
kelamaan ia menjadi tak tega, segera selanya:
"Tolong beri petunjuk
kepadaku Giok-li--hong adalah puncak yang mana?"
Pelayan itu segera
menggelengkan kepala nya berulang kali, katanya sambil tertawa paksa:
"Maaf tuan, puncak Giok
li hong tertutup oleh puncak Lok eng hong, jadi tidak ter-lihat dari tempat
ini."
Sambil berkata dia lantas
mengalihkan pandangannya kearah Lok eng hong, kemu-dian sambit menuding katanya
lagi.
"Tuan, bila kau ingin
berkunjung ke Giok- li-hong. masuklah ke gunung lewat mulut lembah sempit, setibanya
pada puncak bke tujuh Tiau yjang hong, langsgung pergilah keb Lok eng hong.
dari situ akan kau jumpai Giok li hong."
Mengikuti arah yang ditunjuk
Lan See- giok mengangkat kepalanya, awan putih nampak menyelimuti puncak-puncak
bukit itu se-hingga kelihatan seperti bersambungan satu dengan lainnya, sukar
diketahui berapa jauh jaraknya dari tempat itu.
"Kau pernah berkunjung ke
Giok li hong?" tanyanya kemudian dengan kening berkerut.
Merah padam selembar wajah
pelayan itu, sambil tertawa paksa ia menggelengkan kepalanya berulang kali.
"Hamba hanya manusia
kasar yang tidak berkependidikan, aku tidak memiliki jiwa seni yang begitu
tinggi. apalagi dari sini sam-pai di Giok li hong memakan waktu perja-la-nan
selama dua hari lebih, di atas gunung pun banyak harimau, ular besar, binatang
buas dan lain lainnya, salah-salah aku bisa kehilangan nyawa"
Lan See giok tersenyum saja
mendengar cerita itu, dia pun manggut-manggut.
Dengan dilangsungkannya
pembicaraan tersebut, banyak manfaat yang berhasil di-raih olehnya, menurut
cerita pelayan itu, orang biasa dapat mencapai tujuan dalam dua hari
perjalanan, andaikata dia menggu-nakan ilmu meringankan tubuh, berarti hanya
setengah harian saja dia akan tiba di tempat tujuan.
"Begitulah, keesokan
harinya ketika fajar baru menyingsing, Lan See giok telah me-ninggalkan kota
kecil itu langsung menuju ke jalan raya yang berhubungan dengan kaki bukit
bagian selatan dari bukit Hoa-san.
Waktu itu udara sangat cerah,
bintang bertaburan diangkasa, terhembus angin pagi yang segar tubuh terasa
lebih bersemangat- dan segar bugar.
Memandang jauh ke depan, meski
kabut pagi masih menyelimuti angkasa, namun pegunungan Hoa san dapat terlihat
secara lamat-lamat.
Lan See giok menempuh
perjalanannya dengan cepat, ketika matahari belum muncul dia sudah tiba di kaki
selatan bukit Hoa san.
Setelah membenarkan arah
menuju ke puncak Tiau yang hong sesuai dengan pe-tunjuk pelayan.. Lan See giok
meninggalkan jalan raya menuju ke sebuah mulut bukit.
Setelah memasukri daerah
pegunuzngan, suasananywa segera berubarh, kabut masih menyelimuti angkasa,
tumbuhan, akar rotan tumbuh dimana mana, batuan cadas berse-rakan, jauh berbeda
dengan apa yang semula dibayangkan.
Baru pertama kali ini Lan See
giok mema-suki sebuah bukit besar yang begitu angker, jauh memandang ke atas,
hanya awan putih yang menyelimuti dimana mana.
Setelah membenarkan arah, dia
meneruskan perjalanannya bagaikan terbang, makin lama makin sesukar medan yang
ha-rus di lewatinya...
Dua jam kemudian, kakinya
sudah mulai menginjak lapisan salju, awan putih yang berkuntum kuntum lewat di
sisi tubuhnya membuat pemuda itu kadangkala tak bisa membedakan lagi arah mata
angin.
Sewaktu tiba di sebuah sudut
bukit, dia sudah tak tahu dimanakah dirinya berada, mendongakkan kepalanya dia
hanya melihat pantulan sinar matahari yang amat menyi-laukan mata.
Tapi pemuda itu tidak putus
asa, selang-kah demi selangkah dia melanjutkan perja-lanannya ke atas, akhirnya
pandangan ma-tanya menjadi terang dan ia sudah menem-busi lapisan awan.
Sejauh mata memandang hanya
lautan mega yang tak bertepian, puncak bukit ber-munculan seperti hutan. puncak
Tiau yang- hong yang berjejer dengan puncak Lok eng hong ternyata masih berada
dua tiga puluh li jauhnya.
Mendongkol dan gelisah segera
menye-li-muti perasaan Lan See giok, ia mencoba un-tuk mendongakkan kepalanya,
puncak terse-but masih ada ratusan kaki tingginya, pada-hal tengah hari sudah
tiba.
Dalam keadaan begini dia mulai
merasa gugup, sebab bila keadaan seperti ini ber-langsung terus, biarpun
berlarian sampai be-sok tengah haripun belum tentu dia akan menemukan puncak
Giok li hong.
Segera diamatinya suasana di
sekeliling tempat itu dengan seksama, dengan cepat ia temukan antara puncak
dengan puncak lain boleh dibilang semuanya berhubungan, di samping itu diapun
berhasil menemukan ki-lauan cahaya dinding kuil di punggung bukit di kejauhan
sana.
Pemuda itu segera mengambil
keputusan untuk melanjutkan perjalanan, dalam angga-pannya setelah mencapai
puncak bukit itu, tidak akan sulit untuk menemu-kan Giok li hong.
Maka dia membuka perbekalannya
untuk menangsal perut, kemudian baru meneruskan perjalanannya ke depan.
Benar juga, setelah melewati
beberapa buah puncak bukit, puncak Lok eng hong makin lama semakin dekat,
semangatnya segera berkobar kembali, gerakan tubuhnya juga dipercepat.
Tak lama kemudian dia telah
tiba di pun-cak Tiau yang hong.
Pemandangan di atas puncak ini
sangat indah, pohon siong tumbuh berjajar jajar, lautan awan yang tak bertepian
menyelimuti empat penjuru, kabut melayang dekat per-mukaan sementara suara air
terjun bergema entah dari mana.
Lan See giok sangat gembira,
tanpa terasa lagi ia berteriak keras-keras.
Suara teriakannya segera
menggema di seluruh angkasa dan mengalun sampai di tempat kejauhan sana, lama
sekali belum juga mereda.
Lan Se giok benar-benar amat
kegirangan, walaupun dia merasa dirinya sangat kecil ditengah bukit yang luas
namun perasaan-nya sangat lega dan membuat orang merasa se-gar, tanpa terasa
sekali lagi dia berpekik panjang...
Suara pekikannya mengalun di
seluruh angkasa dan membumbung tinggi ke angka-sa.
Dengan pekikan itu, semua
perasaan kesal, marah, resah, gelisah hampir terlampiaskan ke luar, dadanya
terasa lega sekali.
Mendadak....
Ia menangkap suara ujung baju
yang ter-hembus angin berkumandang datang dari belakang tubuhnya.
Dengan perasaan terkejut Lan
See giok membalikkan badan, dia saksikan seorang pemuda berbaju abu-abu dan
berusia dua puluh satu dua tahunan sedang berlarian datang dari balik hutan
pohon siong dengan langkah tergesa gesa.
Pemuda berbaju abu-abu itu,
berwajah tampan dan menyoren sebilah pedang di punggungnya, pita kuning
tergantung pada gagang pedangnya dan bergoyang tiada hen-tinya sewaktu
terhembus angin.
Memandang wajah gusar yang
menbyelimuti pemudaj berbaju abu-abgu itu, Lan See bgiok segera mengerti,
kedatangan orang itu pasti hendak menyelidiki sumber dari pekikan-nya tadi.
Benar jaga, setibanya di situ
pemuda ber-baju abu-abu itu langsung menghampirinya, lalu dengan sorot mata
yang tajam meng-awa-si Lan See giok dari atas hingga ke bawah, kemudian seperti
menahan amarah yang meluap-luap, dia menegur dengan suara dalam.
"Apakah kau baru pertama
kali ini tiba di sini?"
Mendongkol juga Lan See giok
melihat kesombongan pemuda berbaju abu-abu itu, terutama sikapnya yang sangat
tidak ber-sa-habat itu. "namun dia manggut- manggut juga sambil menjawab:
"Benar. baru pertama kali
ini aku tiba di sini!"
"Ada urusan apa kau
datang ke mari? Mengapa berpekik panjang disini? "Sudah kau bertanya
kepada para pendeta dan tosu dari pelbagai kuil...?" kembali pemuda
ber-baju abu-abu itu menegur:
Usia pemuda berbaju abu-abu
itu paling banter hanya berapa tahun lebih tua ketim-bang Lan See giok, tapi
kesombongan nya luar biasa, selain memojokkan orang lagi pula bernada menegur.
.
Karena itu dengan perasaan
mendongkol dan sikap yang lebih angkuh pemuda kita menggelengkan kepalanya
berulang kali, jawabnya dengan suara hambar.
"Aku ke mari bukan untuk
memasang hio menyembah Buddha, buat apa mesti ber-kunjung ke kuil?"
Amarah yang semula sudah sukar
terken-dali, kontan saja meledak dengan hebatnya, pemuda berbaju abu-abu itu
segera berkerut kening, lalu bentaknya dengan penuh kegusaran:
"Apakah kau tidak
mengetahui pantangan dan larangan kami?" Lan See giok segera tertawa dingin.
"Hmmm, aku hanya tahu,
datang kemari untuk berpesiar, soal-soal semacam itu mah tidak mengerti!"
"Tutup bacotmu"
hardik pemuda berbaju abu-abu itu semakin gusar. "masih muda sudah bicara
sengak, hmmm! kalau tidak di-kasih sedikit pelajaran, kau pasti tak akan
menyesal!"
Sembari berkata ia menerjang
kbe muka, lalu dejngan jurus Lik gpit hoa san (mebm-bacok runtuh Hoa san) dia
langsung meng-hajar batok kepala Lan See giok dengan kekuatan besar.
Lan See giok cukup sadar,
biasanya pegunungan yang terpencil merupakan daerah pertapaan tokoh-tokoh
persilatan yang ber-ilmu tinggi, oleh sebab itu melihat datang-nya bacokan maut
dari pemuda ber-baju abu-abu itu, dia tak berani menyambut dengan kekerasan,
ujung kakinya segera menjejak tanah dan melayang mundur se-jauh dua kaki lebih.
Pemuda berbaju abu-abu itu
tertawa di-ngin, tubuhnya berkelit ke samping kemu-dian mengejar lebih ke
depan. . .
Belum lagi Lan See giok dapat
berdiri tegak, pemuda berbaju abu-abu itu sudah menubruk datang, dalam kejutnya
dia mem-bentak keras, sebuah bacokan tangan kanan segera dilontarkan ke luar.
Gulungan angin pukulan yang
maha dahsyat dengan cepatnya menerjang ke dada lawan.
Pemuda berbaju abu-abu itu
mendengus dingin, tubuhnya berkelebat dan tahu-tahu sudah lenyap tak berbekas.
"Blaammm!"
Benturan nyaring menggelegar
memeca-h-kan keheningan, pasir dan debu beterbangan ke mana-mana, ternyata
serangan dari Lan See giok menghajar permukaan tanah.
Menyaksikan kejadian tersebut
Lan See giok merasa gelagat tidak menguntung-kan, dengan perasaan terkejut dia
segera memba-likkan badan:
Pada saat dia sedang
membalikkan badan secara tiba-tiba itulah, jalan darah Pay tui hiat dipinggang
belakangnya sudah kena di totok oleh pemuda berbaju abu-abu itu.
Lan See giok berlagak seolah-olah
tidak merasa, sambil membentak telapak tangan kanannya sekali lagi didorong ke
muka...
Tak terlukiskan rasa terkejut
pemuda ber-baju abu-abu itu, saking kagetnya dia menje-rit keras. sepasang
telapak tangannya segera disilangkan untuk melindungi dada, disam-butnya
serangan tersebut dengan kekuatan penuh.
"Blaammm!" benturan
keras menggelegar lalu terdengar suara dengusan tertahan, di antara suara
langkah kaki yang mundur dengan berat, Lan See giok serta pemuda baju abu-abu
itu saling berpisahr dengan sempoyozngan.
Secara bweruntun Lan Seer giok
mundur se-jauh lima langkah lebih, sebaliknya pemuda berbaju abu-abu itu
terjatuh hingga pantat-nya beradu keras dengan tanah.
Akibatnya ke dua orang itu
sama-sama membelalakkan matanya lebar-lebar dan tertegun.
Pemuda berbaju abu-abu itu
membuka mulutnya dengan napas terengah engah, dia tak tahu kepandaian silat
apakah yang telah dipelajari bocah berbaju perlente itu sehingga totokan jalan
darahnya sama sekali tak mempan.
Lan See giok merasakan juga lengan
kanannya linu dan kaku bahkan secara lamat-lamat terasa sakit, dia tahu pemuda
berbaju abu-abu itu tentu anak murid se-orang jago yang lihay yang menetap di
atas bukit tersebut.
Gerakan tubuh dari pemuda
berbaju abu--abu itu selain indah dan cekatan, tenaga dalamnya masih jauh
melebihi dirinya, justru pemuda itu bisa roboh lantaran dia sedang tertegun
karena totokan jalan darah nya tak mempan.
Padahal dalam keadaan tak siap
saja lawan sanggup membuat dirinya terdorong mundur sejauh lima langkah, bisa
dibayangkan sam-pai dimanakah taraf tenaga dalam yang dimi-liki orang ini.
Sementara dia masih berpikir.
Pemuda berbaju abu-abu itu sudah bangkit berdiri, keningnya berkerut kencang,
kemudian per-gelangan tangan kanannya diputar dan... "Criing!" dia
telah meloloskan pedangnya yang tersoren di punggung.
Mimpi pun Lan See giok tidak
me-nyangka kalau gara-gara pekikan nyaringnya tadi bakal mendatangkan kerepotan
bagi-nya, melihat pemuda berbaju abu - abu itu sudah meloloskan pedangnya,
tanpa terasa dia ber-paling memandang matahari senja yang mu-lai tenggelam di
langit barat.
Ia sadar gerakan tubuhnya
mungkin tidak selincah dan seenteng lawan, akan tetapi dalam permainan senjata
belum tentu dia sampai kalah, cuma saja senja telah hampir lewat, padahal dia belum
mengetahui di ma-nakah letak puncak Giok li hong. hal inilah yang membuat
hatinya merasa sangat geli-sah.
Sementara itu pemuda berbaju
abu-abu itu sudah mengejar datang sambil tertawa di-ngin, kemudian tegurnya:
dengan suara dalam: "Bagaimana? Kau masih ingin kabur?"
Lan See giok yang didesak
terus menerus akhirnya menjadi naik darah juga, segera bentaknya dengan gusar:
"Kau jangan kelewat
memojokkan orang, Hoa san adalah tempat umum yang boleh di datangi setiap
orang, bukan daerah khusus yang menjadi milikmu. Hamm, jarang sekali kujumpai
manusia yang tak tahu sopan santun seperti kau. Aku bukan bermaksud melarikan
diri, tapi langit sudah malam, aku takut urusanku jadi tertunda, maka aku tak
ingin melayanimu lebih jauh, Tapi jika kau bersikeras juga hendak menjajal
senjata ta-jamku, baik, akupun ingin melihat sampai dimana kah kehebatan ilmu
pedang yang kau miliki itu"
(Bersambung ke Bagian 16)