Anak Harimau Bagian 15

Baca Cersil Mandarin Online: Anak Harimau Bagian 15

Bagian 15

Sementara itu bibi Wan telah membuka jendela belakang secara hati-hati, kemudian dengan cekatan dia menengok sekeliling jendela luar.

Ketika Lan See giok menyusul sampai di situ, ia lihat langit nan biru, beribu bintang bertebaran diangkasa. suasana kegelapan menyelimuti seluruh dusun. Tiba-tiba Hu-yong siancu berpaling dan bisiknya lirih:

"Anak giok, berangkatlah sekarang, tam-paknya belakang dusun tidak ada se-orang manusiapun!"

Lan See giok memandang ke arah bibinya airmata bercucuran amat deras, bibirnya bergetar seperti ingin mengucapkan sesuatu. namun tak sepatah katapun yang dikeluar-kan.

Hu-yong siancu segera tertawa, sambil pura-pura gembira, katanya dengan suara rendah.

"Anak giok, mumpung saat ini tiada orang cepatlah berangkat, semoga kau selamat dan sukses sepanjang jalan"

Kemudian dengan penuh keramahan dia menepuk bahu pemuda itu, sementara air matanya tak tahan jatuh bercucuran.

Lan See giok manggut-manggut, sekali lagi dia menengok sekejap ke arah encinya, ke-mudian baru melompat ke luar dari jendela dan secepat kilat meluncur ke luar dari pagar rumah.

Setelah celingukan sekejap ke sekeliling tempat itu, dengan menyembunyikan diri di-balik pepohonan dia meneruskan perjala-nannya ke depan.

Setelah sampai di belakang sebatang pohon yang rimbun, ia berhenti sebentar seraya berpaling, jendela rumah bibinya telah di tutup, namun dari celah-celah jendela, ia da-pat merasakan ada empat buah sorot mata yang tak tenang dan gelisah sedang menga-wasi dirinya.

Dengan cekatan sekali lagi dia mengawasi sekeliling tempat itu, kemudian mengulap-kan tangannya ke arah jendela belakang, setelah itu baru membalikkan badan dan melanjut-kan perjalanannya.

Tiba-tiba . . .

Pada saat dia membalikkan badan itu-lah, dari bawah pohon yang ke tiga dijumpai ada sesosok bayangan manusia sedang berjong-kok di situ.

Tak terlukiskan rasa kaget Lan See giok, saking terkejutnya ia membentak seraya menerjang ke muka dengan sebuah pukulan siap dilontarkan.

Tapi setelah berhasil mendekati dihadapan nya, ia baru tertegun karena kaget, ternyata orang itu tak lain adalah Oh Li cu yang telah ditotok jalan darahnya.

Lan See giok segera berusaha mengen-dalikan diri, kemudian berjongkok dan me-meluk Oh Li cu ke dalam rangkulannya.

Waktu itu Oh Li cu sudah tertidur dengan nyenyak sekali. napasnya sangat teratur, je-las ia sudah ditotok jalan darah tidurnya.

Dalam keadaan begini Lan See giok sudah tak bisa memikirkan lagi bagaimana akibat nya bila dia menyadarkan kembali Oh Li -cu. telapak tangannya segera di angkat siap membebaskan totokannya.

Pada saat itulah...

Mendadak terdengar ujung baju terhembus angin berkumandang datang . . .

Dengan perasaan terkejut Lan See giok mengangkat kepalanya, dari antara pepo-honan ia saksikan ada dua sosok bayangan manusia sedang meluncur datang dengan kecepatan luar biasa ternyata mereka adalah bibi Wan serta enci Cian yang mungkin mendengar suara bentakannya tadi.

Belum habis Ingatan tersebut melintas le-wat, Hu-yong siancu dan Ciu Siau cian de-ngan wajah pucat dan gerak gerik gugup te-lah meluncur tiba.

Ketika kedua orang itu melihat Oh Li cu dalam rangkulan Lan See giok, sekali lagi paras muka mereka berubah hebat.

Dengan nada gelisah Hu-yong siancu segera menegur:

"Anak giok, kau tak boleh membunuhnya."

Seraya berkata ia berjongkok dengan gugup.

"Bibi, bantah Lan See giok, ia sudah dito-tok lebih dulu jalan darah tidurnya oleh orang lain. aku menemukannya bersandar di tempat ini!"

Sekarang Hu-yong siancu sudah merasa-kan kalau gelagat kurang beres, ia segera me-nerima 0h Li cu dari rangkulan Lan See-giok dan secara beruntun melepaskan tiga buah tepukan, akan tetapi Oh Li cu masih tetap tidur amat nyenyak.

Dengan perasaan tegang Lan See giok segera berbisik "Bibi, agaknya jalan darah tidurnya telah ditotok serangan dengan se-macam ilmu totokan khusus!"

Hu-yong siancu manggut-manggut, menyusul kemudian dia periksa keadaan di sekeliling tempat itu dengan seksama, se-telah itu bisiknya lirih:

"Anak Giok, cepat pergi, persoalan di sini biar aku yang hadapi, bila ada orang menghalangimu, tak usah dilayani."

Lan See giok mengangguk berulang kali, kemudian, dengan cekatan dia awasi sekeli-ling tempat itu, lalu bisiknya:

"Bibi, anak giok berangkat dulu!"

Sekali lagi dia menengok ke arah encinya yang berwajah pucat pias itu kemudian membalikkan badan segera berangkat me-ninggalkan tempat itu.

Dengan menghimpun tenaga dalamnya ke dalam telapak tangan untuk berjaga jaga atas segala kemungkinan yang tak diingin-kan, Lan See giok percepat langkahnya mening-galkan tempat itu, sorot matanya yang tajam memperhatikan keadaan di sekitarnya de-ngan seksama, beberapa lompatan kemudian ia telah tiba di luar dusun.

Dalam keadaan begini, dia sudah tak ber-minat lagi untuk memikirkan soal Oh Li cu yang ditotok orang, apa yang dipikirkan sekarang adalah secepatnya meninggalkan daerah pesisir telaga.

Sekeluarnya dari dusun, dia membenarkan arah tujuannya, kemudian meneruskan per-jalanan ke depan.

Tanah persawahan yang dilewati, berada dalam kegelapan yang luar biasa, di sana sini hanya terdengar suara jengkerik serta kunang-kunang yang terbang kian kemari.

Dikejauhan sana nampak tanah perbu-kitan secara lamat-lamat serta hutan lebat yang gelap gulita,

Lan See giok tidak merubah arah, dia meneruskan perjalanannya menembusi hu-tan melewati bukit langsung ke arah barat laut, dalam waktu singkat tujuh delapan li telah dilalui.

Perasaan tegang dan panik yang semula mencekam perasaannya, lambat laun dapat ditenangkan kembali.

Setelah melalui sebuah tanah perbukitan, lamat-lamat di kejauhan sana sudah terlihat jalan raya menuju ke kota Tek an.

Pada saat itulah..

Serentetan suara gelak tertawa yang sangat keras dan nyaring berkumandang datang dari arah utara sana.

Dengan perasaan terkejut Lan See giok segera menyembunyikan diri di belakang se-batang pohon besar, kemudian baru mene-ngok kearah utara.

Satu dua li dari tempat persembunyian nya merupakan sebuah hutan pohon siong yang lebat, dari tempat itulah gelak tertawa nya-ring tadi berasal.

Kembali terdengar suara bentakan penuh kegusaran:

"Hei orang she Gui, kau jangan kelewat memojokkan orang, aku To pit him (beruang berlengan tunggal) Kiong-Tek-ciong selalu mengalah kepadamu, bukan berarti aku ta-kut kepadamu, kau harus tahu hanya mereka yang berjodoh dan punya rejeki besar yang akan mendapatkan benda mestika, bila kau memang punya kepandaian, ayolah ma-suk sendiri, aku tak nanti akan mengincar dirimu."

Mendengar pembicaraan tersebut, Lan See giok segera memastikan kalau suara tertawa itu berasal dari To tui thi koay (tongkat ber-kaki tunggal) Gui Pak ciang, hanya tidak di-pahami olehnya masalah yang membuat kedua orang itu ribut sendiri.

Dari balik hutan kembali kedengaran suara Gui Pak ciang yang kasar.

"Beruang berlengan tunggal, kau tidak usah bermain kembangan dihadapanku, kita boleh dibilang musuh bebuyutan yang merasa jalan kelewat sempit, bila kau tidak serahkan benda tersebut pada malam ini, jangan harap kau bisa pulang ke bukit Tay ang-san mu dalam keadaan hidup!"



Tergerak hati Lan See giok, sekarang dia baru mengerti bahwa markas besar si beru-ang berlengan tunggal berada di bukit Tay ang san.

"Orang she Gui!" bentakan nyaring kembali berkumandang, "aku akan beradu jiwa de-nganmu, hari ini kaupun jangan harap bisa kembali ke benteng Pek-hoo-cay!"

Diiringi suara gelak tertawa yang nyaring, menyusul kemudian bergema suara desingan suara tajam dan deruan angin pukulan.

Lan See giok tahu bahwa kedua orang itu sudah mulai melibatkan diri dalam pertaru-ngan sengit, tergerak hatinya, cepat-cepat dia lari turun dari bukit dan kabur menuju ke-gelapan di arah utara.

Dalam perjalanan tersebut, ia dapat meli-hat kalau tempat kegelapan di depan sana memang sebuah hutan pohon siong.

Tapi setelah maju lebih ke muka, dengan perasaan terkejut pemuda itu segera berhen-ti, ia jumpai dibalik hutan pohon siong terse-but ternyata bukan lain adalah puncak ku-buran Ong-leng yang sangat dikenal olehnya.

Sekarang Lan See giok baru mengerti, ter-nyata hutan pohon siong di depan sana tak lain adalah kuburan Ong-leng yang didia-minya selama banyak tahun.

Ketika ia mencoba untuk memasang telinga kembali, ternyata suasana dalam hutan tersebut sudah pulih kembali dalam ketena-ngan. agaknya pertarungan yang semula berlangsung kini telah mereda.

"Aduh celaka" pekik Lan See giok dalam bad.

Dengan cepat dia menyembunyikan diri ke belakang bantuan cadas yang berada tak jauh dari sana.

Rupanya pemuda itu segera menyadari karena agaknya pertarungan dari si tongkat besi berkaki tunggal dan Beruang berlengan tunggal segera di akhiri ber-hubung mereka telah menangkap suara ujung bajunya yang terhembus angin.

Benar juga, dari balik hutan pohon siong di depan sana segera muncul dua sosok baya-ngan manusia, ke empat buah sorot mata mereka yang tajam bagaikan sembilu segera dialihkan ke arah tanah persawahan sana.

Buru-buru Lan See giok menundubkkan kepalanya jsambil menyembugnyikan diri, habtinya sangat gelisah selain menyesal, di samping itu diapun lantas teringat kembali pesan bibinya sebelum berpisah tadi.

Sewaktu mengangkat kepalanya kembali, dia jadi gemetar karena ketakutan, ternyata si tongkat besi kaki tunggal serta si beruang berlengan tunggal dengan senjata disiapkan sedang melakukan pencarian ke arahnya.

Dalam keadaan begini, di samping Lan See giok menyesali kecerobohan sendiri, diapun hanya bisa menunggu sampai kedua orang itu mencari sampai ke arahnya.

Untuk kabur, jelas hal ini tak mungkin akan berhasil, mau bertarung diapun sadar bahwa kemampuannya belum mampu untuk menghadapi kedua orang tersebut, terpaksa satu satunya jalan adalah beradu jiwa . . .

Di dalam waktu yang amat singkat itu, rasa menyesal, malu, gelisah berkecamuk di dalam benaknya kalau bisa dia ingin segera menghabisi nyawa sendiri..

Teringat bibi Wan serta enci Cian nya. mereka berdua tentu tak akan menyangka kalau dia sudah terperosok ke dalam keadaan yang sangat berbahaya kini.

Tanpa terasa dia meraba kotak kecil dalam sakunya, ia tahu benda tersebut tentu akan sukar dipertahankan lagi, dari pada benda mestika itu terjatuh ke tangan dua orang penjahat itu. lebih baik ia hancurkan kitab pusaka tersebut.

Berpikir demikian, diam-diam ia merogoh ke dalam sakunya, ia merasa telapak tangan nya sudah mulai basah oleh keringat dingin.

Pada saat tangan kanan Lan See giok ham-pir menyentuh kotak kecil tersebut, menda-dak terdengar suara tertawa dingin seseorang yang sangat rendah berkumandang datang dari arah hutan pohon siong sana.

Beruang berlengan tunggal berdua merasa sangat terkejut, dengan cepat dia membalik-kan badan seraya membentak:

"Siapa di situ?"

Tapi suasana dalam hutan sangat hening dan tak kedengaran sedikit suarapun.

Mendadak terdengar si tongkat baja kaki tunggal membentak nyaring:

"Manusia sialan mana yang tak berani bertemu orang, kalau tidak segera ke luar..."

Belum habis umpatan tersebut dbiutarakan, darij balik hutan teglah meluncur keb luar dua titik bayangan hitam yang langsung me-n-yambar ke hadapan tongkat baja kaki tunggal berdua dengan membawa desingan suara tajam.

Berhubung gerakannya sangat cepat dan luar biasa, kedua orang itu tak sempat lagi untuk menghindarkan diri.

"Plaaakkk, plaaakkk!"

Debu bertebaran ke angkasa, tahu-tahu saja kedua titik hitam tadi sudah menghajar di atas kening si Tongkat baja kaki tunggal dan si beruang berlengan tunggal secara te-lak.

Kedua orang tersebut menjadi tertegun kemudian berteriak kesakitan, mereka meraba pipinya, ternyata senjata rahasia yang bersarang di atas pipi mereka berdua tak lebih hanya dua gumpal lumpur belaka.

Kontan saja si Tongkat baja kaki tunggal serta si Beruang berlengan tunggal jadi gusar sekali, sambil membentak nyaring serentak mereka menyerbu ke dalam hutan.

Lan See giok segera memperoleh peluang yang baik sekali, pekiknya dalam hati:

"Kalau sekarang tidak angkat kaki, masa aku harus menunggu sampai datangnya saat kematian?"

Berpikir demikian, dengan cepat dia melompat bangun dan segera kabur menuju ke arah barat laut.. .

Belum sampai lima kaki Lan See giok mela-rikan diri, tiba-tiba saja dari arah hutan, po-hon siong telah berkumandang dua kali jeri-tan kaget yang tinggi melengking serta penuh mengandung nada seram den ngeri.

Gemetar sekujur badan Lan See giok, ia tak berani berpaling lagi, larinya semakin diper-cepat, bagaikan segulung asap ringan dia langsung melarikan diri menuju ke arah jalan raya.

Pemuda itu dapat menduga, si Tongkat baja kaki tunggal serta Beruang berlengan tunggal tentu sudah bertemu dengan gem-bong-gembong iblis yang kejam dan buas, kalau ditinjau dari jeritan kagetnya yang menyeramkan tadi. bisa diketahui kalau kedua orang tersebut tentu ketakutan sekali menjumpai lawannya.

Sementara masih termenung, ia sudah tiba dijalan raya, ketika berpaling kecuali pepo-honan rendah yang tersebar di belakang sana, ia tidak melihat ada manusia yang mengejar ke arahnya.

Dalam hati kecirlnya Lan See gizok tiada hentinwya bersyukur. dria tak menyangka dalam bahayanya tadi ternyata muncul seo-rang bintang penolong yang tak sempat di-jumpai wajahnya.

Sekalipun orang yang berada di belakang itu tidak mengejarnya, tapi pemuda kita ber-larian terus dengan kencang, ia tak berani melambatkan gerakan tubuhnya barang se-bentarpun karena sekarang dia baru mengi-ngatkan diri atas pesan dari bibinya, jangan mencampuri urusan yang bukan masalah sendiri.

Waktu berlangsung amat cepat, tak lama kemudian tengah malam pun telah tiba.

Dalam kegelapan di kejauhan sana lamat-lamat dia melihat munculnya sebuah kota besar dengan beberapa titik lentera merah digantungkan ke tengah angkasa, meski hanya setitik cahaya namun cukup menda-tangkan semangat bagi Lan See giok yang sedang -berlarian ditengah kegelapan.

Dia tahu, cahaya lentera tersebut berasal dari kota Tek-an, karenanya tanpa terasa semangatnya kembali berkobar.

Berhubung pada siang harinya dia sudah tidur cukup, saat ini semangatnya terasa berkobar-kobar, apalagi semenjak dia me-ne-lan pil racun pemberian dari manusia buas bertelinga tunggal Oh Tin san, selain tenaga dalamnya telah peroleh kemajuan yang pesat, diapun sama sekali tidak merasa lelah, me-ngapa bisa demikian, hingga sekarang ma-salah tersebut masih merupakan sebuah tanda tanya besar.

Sementara masih termenung dia telah tiba di kota Tek-an, tapi oleh sebab dia tidak merasa lelah, diputuskan untuk melanjutkan perjalanannya lebih jauh.

Maka dengan melingkari kota, dia langsung berangkat menuju ke kota Toan cong.

Malam semakin kelam, suasana di sekeli-ling tempat itupun sangat hening, di bawah cahaya rembulan yang amat redup Lan See giok berlarian seorang diri ditengah jalan raya yang lenggang.



Satu kentongan sudah lewat, entah berapa jauh perjalanan telah ditempuh, dari keja-uhan sana ia mulai mendengar suara ayam jago berkokok, angin malam terasa makin dingin, kegelapan malam yang mencekam makin terasa gelap.

Lan See giok tahu, sesaat lagi fajar akan menyingsing, akan tetapi bayangan kota Toan-cong belum juga nampak.

Sementara itu rasa lapar, dahaga, lelah dan gelisah telah menyerang datang bersama sama. air peluh sudah mulai membasahi se-luruh jidatnya.

Tiba-tiba---

Bau harum semerbak yang sangat aneh muncul secara mendadak dari dalam tenggo-rokannya.

Berbareng itu juga, dia merasakan mun-culnya cairan harum yang amat luar biasa dari bawah lidah dan kerongkongan nya.

Dengan perasaan terkejut Lan See giok segera memperlambat gerakan tubuhnya. Dia merasa cairan harum itu berasal dari dalam tubuhnya sendiri, persis seperti bau harum yang dirasakan setelah menelan pil berwarna hitam pemberian dari Oh Tin san sewaktu berada di dalam kuburan kuno tempo hari.

Dalam keadaan begini dia merasa tak bisa melanjutkan perjalanannya lagi, dia harus bersemedi lebih dulu sebelum melanjutkan perjalanan.

Maka dengan sorot mata yang tajam dia mulai mengawasi keadaan di sekeliling tem-pat itu, akhirnya ia duduk bersila di bawah sebatang pohon yang rindang, enam tujuh kaki di sebelah kiri jalan.

Entah sedari kapan, bau harum tersebut makin lama terasa semakin menebal, dengan cepat pula rasa lapar yang semula merong-rong dirinya kini hilang lenyap tak berbekas, kerongkongannya juga tidak terasa dahaga lagi, malah rasa lelah yang semula mencekam tubuhnya kini sudah jauh berkurang.

Ia tidak berniat untuk berpikir lebih jauh, tapi ia percaya, hal ini pasti bukan ditimbul-kan oleh cairan racun pil pemberian Oh Tin san tempo hari.

Lan See giok memejamkan matanya sambil mengatur pernapasan, dalam waktu singkat timbul hawa panas yang sangat hangat dari pusarnya yang dalam waktu singkat telah menyebar ke seluruh tubuhnya, rasa lapar, bdahaga dan lelajh yang semula mgenghantui dirinbya. sekarang telah hilang lenyap tak ber-bekas.

ENTAH berapa lama sudah lewat, dari ke-jauhan sana mulai terdengar suara anjing menggonggong, ketika Lan See giok membuka matanya, dia lihat fajar mulai menyingsing, dusun di kejauhan sana pun lamat-lamat sudah mulai kelihatan.

Lan See giok segera melompat bangun, ia merasakan tubuhnya telah segar bugar kem-bali, penuh semangat dan tenaga, pada hakekatnya bagaikan dua manusia yang ber-beda bila dibandingkan sebelum bersemedi tadi.

Dengan perasaan girang dia meneruskan perjalanannya, sekali melompat tahu-tahu saja sepasang kakinya sudah melayang turun ditengah jalan raya, kejadian tersebut kem-bali membuat anak muda tersebut ter-mangu-mangu karena kaget.

Padahal jarak antara pepohonan dimana ia bersemedi tadi dengan jalan raya men-capai enam tujuh kaki lebih, sebelum ia bersemedi tadi, jelas hal semacam ini tak mungkin bisa dilakukannya, tapi sekarang selesai ia bersemedi, ternyata hal mana bisa dilakukan olehnya dengan begitu mudah.

Rasa terkejut. gembira, girang membuat semangatnya semakin berkobar-kobar, dia meneruskan perjalanannya juga lebih cepat lagi.

Langit baru saja terang tanah, namun jalan raya itu sudah banyak manusia yang berlalu lalang, kota Toan-cong pun kini sudah mun-cul di depan mata, maka dengan langkah le-bar dia segera berjalan menuju ke depan.

Ketika Lan See-giok masuk ke jalan Lam-kwan, matahari baru saja muncul, saat para pedagang mulai meninggalkan rumah penginapan untuk melanjutkan per-jalanan.

Ia segera memilih sebuah rumah pengina-pan yang agak besar untuk beristirahat.

Para pelayan rumah penginapan kebanya-kan adalah orang-orang yang sudah berpe-ngalaman, dalam sekilas pandangan saja, mereka sudah tahu kalau Lan See giok adalah anggota persilatan yang baru saja menempuh perjalanan semalam suntuk.

Apalagi kalau melihat usianya yang paling banter baru lima enam belas tahunan, orang yang berani menempuh perjalanan malam dalam usia seperti ini jelas sudah kalau kepandaian silat yang dimiliki nya pasti amat hbebat.

Beberapaj orang pelayan gtersebut tak bebrani berayal, cepat-cepat mereka maju menyam-but kedatangannya, lalu dengan senyuman di wajah sapanya:

"Siauya, silahkan masuk ke dalam, di sana tersedia kamar tunggal yang dikelilingi ke-bun, ada kacung ada pelayan, semua persediaan lengkap, tanggung siauya akan puas"

Lan See giok tidak ingin melakukan pem-borosan, jangan lagi bekalnya amat sedikit, kendati pun dia membawa sejumlah uang yang lebih besar pun tak nanti dia akan boros seperti itu.

Karenanya dengan kening berkerut dia awasi beberapa orang pelayan itu, kemudian berkata dengan hambar:

"Aku hanya ingin beristirahat sebentar saja, seusai bersantap nanti aku masih melanjutkan perjalanan kembali."

Kemudian sambil menuding sebuah kamar tunggal di depannya, dia melanjutkan:

"Biar aku menyewa kamar itu saja!"

Pelayan segera mengiakan berulang kali dan mengajak Lan See giok menuju ke ru-angan.

Ruangan tersebut sangat sederhana, selain sebuah meja dua bangku dan sebuah pem-baringan kayu, tidak nampak perabot yang lain, tapi biar sederhana namun segalanya bersih.

Maka pemuda itu pun memesan sejumlah makanan yang sederhana untuk mengisi pe-rut.

Beberapa orang pelayan itu saling ber-pan-dangan sekejap lalu sama-sama mengundur-kan diri, diam-diam mereka memuji akan ke-sederhanaan pemuda itu, biarpun berasal dari keluarga kaya namun hidupnya bersa-haja. selain tidak sombong, orangnya selalu merendah.

Seusai bersantap, Lan See giok segera membaringkan diri untuk beristirahat, per-tama tama dia teringat akan enci Cian serta bibi Wannya.

Ditinjau dari kejadian berkumpul dan berpisah dengan encinya, dia tahu kalau enci Cian amat mencintainya. maka ia bertekad dihati, apabila kepergiannya ke bukit Hoa--san kali ini berhasil mempelajari kepandai-an silat sehingga dendamnya bisa terbalas, dia akan hidup selamanya bersama enci Cian serta bibi Wannya.

Dari pembicaraan Oh Tin san suami istri, diapun tahu kalau bibinya dahulu terkenal sebagai seorang pendekar wanita yang ber-nama Hu-yong siancu, kemudian berdasar-kan pembicaraan kemarin, diapun menjum-pai kalau antara bibi Wan dengan ayahnya tentu pernah mempunyai suatu hubungan ryang luar biasaz.

Lantas dia pwun terbayang kermbali Oh Li cu yang jalan darah tidurnya ditotok orang, en-tah bagaimana keadaannya sekarang? Dia pikir, bibi Wan dan enci Cian pasti akan baik-baik merawat dirinya.

Setelah itu diapun membayangkan si Tongkat baja kaki tunggal serta Beruang berlengan tunggal, dua jeritan kagetnya yang memekikkan telinga tadi entah merupakan jerit kesakitan ataukah jeritan ngeri men-je-lang saat ajalnya tiba? Bila kedua orang itu sudah tewas, berarti dia tak akan bisa me-nyelidiki lagi sebab musabab mereka bisa mendatangi kediaman ayahnya pada malam itu.

Cairan harum itu yang muncul dari kerongkongannya pagi tadi serta ber-tambah-nya tenaga dalam yang dimiliki, semuanya membuat dia bingung dan tidak bebas mengerti, sekarang dia berani memastikan kalau selama berada dalam kuburan kuno tempo hari, ia memang telah memperoleh penemuan luar biasa.

Akhirnya diapun membayangkan kembali soal To seng-cu, dari nasehat dan teguran dari bibinya, ia tidak terlalu yakin sekarang bahwa To seng cu adalah musuh besar pem-bunuh ayahnya, namun ia tetap menaruh curiga kepadanya.

Teringat akan To seng cu, dia jadi ingin sekali tiba di bukit Hoa san secepatnya.

Maka dia segera melompat bangun, lalu duduk bersila, menutup mata dan mengatur pernapasan, dalam waktu singkat ia telah berada dalam keadaan tenang'

Entah berapa saat kemudian, ketika mem-buka matanya, waktu sudah mendekati pu-kul sembilan, dengan cepat dia mem-benahi diri, membayar rekening dan meneruskan perjalanan.

Lewat tengah hari, dia sudah memasuki wilayah propinsi Ou pak. Sepanjang perja-lanan Lan See giok selalu menuruti nasehat dari bibinya, dia selalu menempuh perjalanan dengan berhati hati dan hemat.

Dalam satu bulan perjalanan, walaupun beberapa kali ia menjumpai hujan salju yang lebat, namun sama sekali tidak mem-penga-ruhi perjalanannya.



Dalam sepanjang perjalanan, Lan See giok pun telah memperoleh banyak pengetahuan dan pengalaman, ia menjadi jauh lebih ma-tang daripada ketika berada di benteng Wi-lim-poo.

Hanya saja, selama ini dia tak pernah da-pat melupakan dendam sakit hatinya, dalam benaknya juga sering muncul bayangan wa-jah dari enci Cian nya yang cantik dan lem-but serta bibi Wan nya yang anggun dan ramah.

Diapun amat berterima kasih kepada kakek berjubah kuning itu, bukan saja tidak melarikan kitab pusaka Tay lo hud bun pwee tiap cinkeng. malah dia sempat memberita-hukan kepadanya bagaimana caranya mem-pelajari kitab pusaka tersebut.

Kadangkala diapun teringat Oh Li cu, ter-utama rasa terima kasihnya atas pemberian beberapa butir pil pemunah racun untuknya.

Dia juga berterima kasih kepada gadis ber-baju merah Si Cay-soat, hanya sewaktu ter-ingat Siau thi-gou yang polos dia selalu merasa agak menyesal.

Hari ini ia menyeberangi Han sui, bukit Hoa san yang tinggi dan angkerpun sudah muncul di kejauhan sana.

Dari jauh memandang, bukit itu nampak angker dan bersambungan dengan awan di angkasa, begitu angker, gagah tak malu di sebut bukit kenamaan di daratan Tionggoan

Baru pertama kali ini dia berkunjung Ke bukit Hoa san, boleh dibilang dia sama sekali tidak mengenal dengan keadaan situasi di sekitar situ, akhirnya pemuda itu memutus-kan untuk menginap di sebuah kota kecil yang jaraknya hanya sepuluh li dari kaki bukit.

Seorang diri pemuda itu duduk di loteng rumah makan sambil memandang bukit yang menjulang tinggi ke angkasa dengan panda-ngan termangu, ia tak tahu bukit manakah yang dinamakan Giok li hong, dan dia pun tak tahu harus masuk melalui jalan bukit yang mana.

Seorang pelayan yang sudah sejak lama mengamati tamunya ini, segera datang menghampiri sambil menegur:

"Tuan, araknya sudah mulai dingin rupa-nya, apakah perlu hamba hangatkan dulu?"

Melihat pelayan tersebut, tergerak hati Lan See giok, dia tertawa ramah kemudian meng-geleng, setelah itu menunjuk ke tanah per-bukitan di depan sana, ia bertanya:

"Tolong tanya, diantara sekianb banyak bukit dji bukit Hoa sang, puncak manakabh yang paling indah?"

Menghadapi pertanyaan itu, sang pelayan segera merasakan semangatnya bangkit kembali, dia menunjuk kearah deretan pe-gunungan itu lalu, menerangkan:

"Tiga puncak bukit Hoa san sukar di beda-kan satu dengan lainnya, puncak di bagian tengah yang paling tinggi disebut puncak Lian hoa hong, di sebelah timur adalah Sian jin hong, sedangkan Lok-eng-hong terletak di sebelah selatan, di atas puncak terdapat kuil Pek tee bio, gardu Nyoo kong teng, kolam Lok eng ti, tugu Jian jip pit masih ada lagi tem-pat-tempat kenamaan lain.."

Melihat si pelayan sama sekali tidak me-nyinggung soal puncak Giok li hong, Lan See giok segera berkerut kening, kemudian ta-nyanya dengan nada tidak mengerti:

"Masa di atas bukit Hoa san hanya ter-da-pat tiga buah puncak kenamaan saja . .?"

"Aaah, tentu saja banyak sekali," jawab pelayan itu bersungguh sungguh, "seperti Im tay hong, Kun cu hong, Giok li hong.. "

"Giok li hong . ." mencorong sinar terang dari balik mata Lan See giok.

Tidak menanti sampai pemuda itu me-nye-lesaikan kata katanya, sang pelayan kembali telah menimbrung:

"Giok li hong amat tinggi bukitnya dan se-lalu tertutup awan putih, pohon siong, tum-buhan bambu, batuan air kolam penuh ber-serakan dimana mana, semua tempat indah seperti gadis cantik yang tinggi semampai.

Menyaksikan pelayan itu bercerita dengan penuh semangat sampai mukanya turut menjadi merah, lama kelamaan ia menjadi tak tega, segera selanya:

"Tolong beri petunjuk kepadaku Giok-li--hong adalah puncak yang mana?"

Pelayan itu segera menggelengkan kepala nya berulang kali, katanya sambil tertawa paksa:

"Maaf tuan, puncak Giok li hong tertutup oleh puncak Lok eng hong, jadi tidak ter-lihat dari tempat ini."

Sambil berkata dia lantas mengalihkan pandangannya kearah Lok eng hong, kemu-dian sambit menuding katanya lagi.

"Tuan, bila kau ingin berkunjung ke Giok- li-hong. masuklah ke gunung lewat mulut lembah sempit, setibanya pada puncak bke tujuh Tiau yjang hong, langsgung pergilah keb Lok eng hong. dari situ akan kau jumpai Giok li hong."

Mengikuti arah yang ditunjuk Lan See- giok mengangkat kepalanya, awan putih nampak menyelimuti puncak-puncak bukit itu se-hingga kelihatan seperti bersambungan satu dengan lainnya, sukar diketahui berapa jauh jaraknya dari tempat itu.

"Kau pernah berkunjung ke Giok li hong?" tanyanya kemudian dengan kening berkerut.

Merah padam selembar wajah pelayan itu, sambil tertawa paksa ia menggelengkan kepalanya berulang kali.

"Hamba hanya manusia kasar yang tidak berkependidikan, aku tidak memiliki jiwa seni yang begitu tinggi. apalagi dari sini sam-pai di Giok li hong memakan waktu perja-la-nan selama dua hari lebih, di atas gunung pun banyak harimau, ular besar, binatang buas dan lain lainnya, salah-salah aku bisa kehilangan nyawa"

Lan See giok tersenyum saja mendengar cerita itu, dia pun manggut-manggut.

Dengan dilangsungkannya pembicaraan tersebut, banyak manfaat yang berhasil di-raih olehnya, menurut cerita pelayan itu, orang biasa dapat mencapai tujuan dalam dua hari perjalanan, andaikata dia menggu-nakan ilmu meringankan tubuh, berarti hanya setengah harian saja dia akan tiba di tempat tujuan.

"Begitulah, keesokan harinya ketika fajar baru menyingsing, Lan See giok telah me-ninggalkan kota kecil itu langsung menuju ke jalan raya yang berhubungan dengan kaki bukit bagian selatan dari bukit Hoa-san.

Waktu itu udara sangat cerah, bintang bertaburan diangkasa, terhembus angin pagi yang segar tubuh terasa lebih bersemangat- dan segar bugar.

Memandang jauh ke depan, meski kabut pagi masih menyelimuti angkasa, namun pegunungan Hoa san dapat terlihat secara lamat-lamat.

Lan See giok menempuh perjalanannya dengan cepat, ketika matahari belum muncul dia sudah tiba di kaki selatan bukit Hoa san.

Setelah membenarkan arah menuju ke puncak Tiau yang hong sesuai dengan pe-tunjuk pelayan.. Lan See giok meninggalkan jalan raya menuju ke sebuah mulut bukit.

Setelah memasukri daerah pegunuzngan, suasananywa segera berubarh, kabut masih menyelimuti angkasa, tumbuhan, akar rotan tumbuh dimana mana, batuan cadas berse-rakan, jauh berbeda dengan apa yang semula dibayangkan.

Baru pertama kali ini Lan See giok mema-suki sebuah bukit besar yang begitu angker, jauh memandang ke atas, hanya awan putih yang menyelimuti dimana mana.

Setelah membenarkan arah, dia meneruskan perjalanannya bagaikan terbang, makin lama makin sesukar medan yang ha-rus di lewatinya...

Dua jam kemudian, kakinya sudah mulai menginjak lapisan salju, awan putih yang berkuntum kuntum lewat di sisi tubuhnya membuat pemuda itu kadangkala tak bisa membedakan lagi arah mata angin.

Sewaktu tiba di sebuah sudut bukit, dia sudah tak tahu dimanakah dirinya berada, mendongakkan kepalanya dia hanya melihat pantulan sinar matahari yang amat menyi-laukan mata.

Tapi pemuda itu tidak putus asa, selang-kah demi selangkah dia melanjutkan perja-lanannya ke atas, akhirnya pandangan ma-tanya menjadi terang dan ia sudah menem-busi lapisan awan.

Sejauh mata memandang hanya lautan mega yang tak bertepian, puncak bukit ber-munculan seperti hutan. puncak Tiau yang- hong yang berjejer dengan puncak Lok eng hong ternyata masih berada dua tiga puluh li jauhnya.

Mendongkol dan gelisah segera menye-li-muti perasaan Lan See giok, ia mencoba un-tuk mendongakkan kepalanya, puncak terse-but masih ada ratusan kaki tingginya, pada-hal tengah hari sudah tiba.

Dalam keadaan begini dia mulai merasa gugup, sebab bila keadaan seperti ini ber-langsung terus, biarpun berlarian sampai be-sok tengah haripun belum tentu dia akan menemukan puncak Giok li hong.

Segera diamatinya suasana di sekeliling tempat itu dengan seksama, dengan cepat ia temukan antara puncak dengan puncak lain boleh dibilang semuanya berhubungan, di samping itu diapun berhasil menemukan ki-lauan cahaya dinding kuil di punggung bukit di kejauhan sana.



Pemuda itu segera mengambil keputusan untuk melanjutkan perjalanan, dalam angga-pannya setelah mencapai puncak bukit itu, tidak akan sulit untuk menemu-kan Giok li hong.

Maka dia membuka perbekalannya untuk menangsal perut, kemudian baru meneruskan perjalanannya ke depan.

Benar juga, setelah melewati beberapa buah puncak bukit, puncak Lok eng hong makin lama semakin dekat, semangatnya segera berkobar kembali, gerakan tubuhnya juga dipercepat.

Tak lama kemudian dia telah tiba di pun-cak Tiau yang hong.

Pemandangan di atas puncak ini sangat indah, pohon siong tumbuh berjajar jajar, lautan awan yang tak bertepian menyelimuti empat penjuru, kabut melayang dekat per-mukaan sementara suara air terjun bergema entah dari mana.

Lan See giok sangat gembira, tanpa terasa lagi ia berteriak keras-keras.

Suara teriakannya segera menggema di seluruh angkasa dan mengalun sampai di tempat kejauhan sana, lama sekali belum juga mereda.

Lan Se giok benar-benar amat kegirangan, walaupun dia merasa dirinya sangat kecil ditengah bukit yang luas namun perasaan-nya sangat lega dan membuat orang merasa se-gar, tanpa terasa sekali lagi dia berpekik panjang...

Suara pekikannya mengalun di seluruh angkasa dan membumbung tinggi ke angka-sa.

Dengan pekikan itu, semua perasaan kesal, marah, resah, gelisah hampir terlampiaskan ke luar, dadanya terasa lega sekali.

Mendadak....

Ia menangkap suara ujung baju yang ter-hembus angin berkumandang datang dari belakang tubuhnya.

Dengan perasaan terkejut Lan See giok membalikkan badan, dia saksikan seorang pemuda berbaju abu-abu dan berusia dua puluh satu dua tahunan sedang berlarian datang dari balik hutan pohon siong dengan langkah tergesa gesa.

Pemuda berbaju abu-abu itu, berwajah tampan dan menyoren sebilah pedang di punggungnya, pita kuning tergantung pada gagang pedangnya dan bergoyang tiada hen-tinya sewaktu terhembus angin.

Memandang wajah gusar yang menbyelimuti pemudaj berbaju abu-abgu itu, Lan See bgiok segera mengerti, kedatangan orang itu pasti hendak menyelidiki sumber dari pekikan-nya tadi.

Benar jaga, setibanya di situ pemuda ber-baju abu-abu itu langsung menghampirinya, lalu dengan sorot mata yang tajam meng-awa-si Lan See giok dari atas hingga ke bawah, kemudian seperti menahan amarah yang meluap-luap, dia menegur dengan suara dalam.

"Apakah kau baru pertama kali ini tiba di sini?"

Mendongkol juga Lan See giok melihat kesombongan pemuda berbaju abu-abu itu, terutama sikapnya yang sangat tidak ber-sa-habat itu. "namun dia manggut- manggut juga sambil menjawab:

"Benar. baru pertama kali ini aku tiba di sini!"

"Ada urusan apa kau datang ke mari? Mengapa berpekik panjang disini? "Sudah kau bertanya kepada para pendeta dan tosu dari pelbagai kuil...?" kembali pemuda ber-baju abu-abu itu menegur:

Usia pemuda berbaju abu-abu itu paling banter hanya berapa tahun lebih tua ketim-bang Lan See giok, tapi kesombongan nya luar biasa, selain memojokkan orang lagi pula bernada menegur. .

Karena itu dengan perasaan mendongkol dan sikap yang lebih angkuh pemuda kita menggelengkan kepalanya berulang kali, jawabnya dengan suara hambar.

"Aku ke mari bukan untuk memasang hio menyembah Buddha, buat apa mesti ber-kunjung ke kuil?"

Amarah yang semula sudah sukar terken-dali, kontan saja meledak dengan hebatnya, pemuda berbaju abu-abu itu segera berkerut kening, lalu bentaknya dengan penuh kegusaran:

"Apakah kau tidak mengetahui pantangan dan larangan kami?" Lan See giok segera tertawa dingin.

"Hmmm, aku hanya tahu, datang kemari untuk berpesiar, soal-soal semacam itu mah tidak mengerti!"

"Tutup bacotmu" hardik pemuda berbaju abu-abu itu semakin gusar. "masih muda sudah bicara sengak, hmmm! kalau tidak di-kasih sedikit pelajaran, kau pasti tak akan menyesal!"

Sembari berkata ia menerjang kbe muka, lalu dejngan jurus Lik gpit hoa san (mebm-bacok runtuh Hoa san) dia langsung meng-hajar batok kepala Lan See giok dengan kekuatan besar.

Lan See giok cukup sadar, biasanya pegunungan yang terpencil merupakan daerah pertapaan tokoh-tokoh persilatan yang ber-ilmu tinggi, oleh sebab itu melihat datang-nya bacokan maut dari pemuda ber-baju abu-abu itu, dia tak berani menyambut dengan kekerasan, ujung kakinya segera menjejak tanah dan melayang mundur se-jauh dua kaki lebih.

Pemuda berbaju abu-abu itu tertawa di-ngin, tubuhnya berkelit ke samping kemu-dian mengejar lebih ke depan. . .

Belum lagi Lan See giok dapat berdiri tegak, pemuda berbaju abu-abu itu sudah menubruk datang, dalam kejutnya dia mem-bentak keras, sebuah bacokan tangan kanan segera dilontarkan ke luar.

Gulungan angin pukulan yang maha dahsyat dengan cepatnya menerjang ke dada lawan.

Pemuda berbaju abu-abu itu mendengus dingin, tubuhnya berkelebat dan tahu-tahu sudah lenyap tak berbekas.

"Blaammm!"

Benturan nyaring menggelegar memeca-h-kan keheningan, pasir dan debu beterbangan ke mana-mana, ternyata serangan dari Lan See giok menghajar permukaan tanah.

Menyaksikan kejadian tersebut Lan See giok merasa gelagat tidak menguntung-kan, dengan perasaan terkejut dia segera memba-likkan badan:

Pada saat dia sedang membalikkan badan secara tiba-tiba itulah, jalan darah Pay tui hiat dipinggang belakangnya sudah kena di totok oleh pemuda berbaju abu-abu itu.

Lan See giok berlagak seolah-olah tidak merasa, sambil membentak telapak tangan kanannya sekali lagi didorong ke muka...

Tak terlukiskan rasa terkejut pemuda ber-baju abu-abu itu, saking kagetnya dia menje-rit keras. sepasang telapak tangannya segera disilangkan untuk melindungi dada, disam-butnya serangan tersebut dengan kekuatan penuh.

"Blaammm!" benturan keras menggelegar lalu terdengar suara dengusan tertahan, di antara suara langkah kaki yang mundur dengan berat, Lan See giok serta pemuda baju abu-abu itu saling berpisahr dengan sempoyozngan.

Secara bweruntun Lan Seer giok mundur se-jauh lima langkah lebih, sebaliknya pemuda berbaju abu-abu itu terjatuh hingga pantat-nya beradu keras dengan tanah.

Akibatnya ke dua orang itu sama-sama membelalakkan matanya lebar-lebar dan tertegun.

Pemuda berbaju abu-abu itu membuka mulutnya dengan napas terengah engah, dia tak tahu kepandaian silat apakah yang telah dipelajari bocah berbaju perlente itu sehingga totokan jalan darahnya sama sekali tak mempan.

Lan See giok merasakan juga lengan kanannya linu dan kaku bahkan secara lamat-lamat terasa sakit, dia tahu pemuda berbaju abu-abu itu tentu anak murid se-orang jago yang lihay yang menetap di atas bukit tersebut.

Gerakan tubuh dari pemuda berbaju abu--abu itu selain indah dan cekatan, tenaga dalamnya masih jauh melebihi dirinya, justru pemuda itu bisa roboh lantaran dia sedang tertegun karena totokan jalan darah nya tak mempan.

Padahal dalam keadaan tak siap saja lawan sanggup membuat dirinya terdorong mundur sejauh lima langkah, bisa dibayangkan sam-pai dimanakah taraf tenaga dalam yang dimi-liki orang ini.

Sementara dia masih berpikir. Pemuda berbaju abu-abu itu sudah bangkit berdiri, keningnya berkerut kencang, kemudian per-gelangan tangan kanannya diputar dan... "Criing!" dia telah meloloskan pedangnya yang tersoren di punggung.

Mimpi pun Lan See giok tidak me-nyangka kalau gara-gara pekikan nyaringnya tadi bakal mendatangkan kerepotan bagi-nya, melihat pemuda berbaju abu - abu itu sudah meloloskan pedangnya, tanpa terasa dia ber-paling memandang matahari senja yang mu-lai tenggelam di langit barat.

Ia sadar gerakan tubuhnya mungkin tidak selincah dan seenteng lawan, akan tetapi dalam permainan senjata belum tentu dia sampai kalah, cuma saja senja telah hampir lewat, padahal dia belum mengetahui di ma-nakah letak puncak Giok li hong. hal inilah yang membuat hatinya merasa sangat geli-sah.

Sementara itu pemuda berbaju abu-abu itu sudah mengejar datang sambil tertawa di-ngin, kemudian tegurnya: dengan suara dalam: "Bagaimana? Kau masih ingin kabur?"

Lan See giok yang didesak terus menerus akhirnya menjadi naik darah juga, segera bentaknya dengan gusar:

"Kau jangan kelewat memojokkan orang, Hoa san adalah tempat umum yang boleh di datangi setiap orang, bukan daerah khusus yang menjadi milikmu. Hamm, jarang sekali kujumpai manusia yang tak tahu sopan santun seperti kau. Aku bukan bermaksud melarikan diri, tapi langit sudah malam, aku takut urusanku jadi tertunda, maka aku tak ingin melayanimu lebih jauh, Tapi jika kau bersikeras juga hendak menjajal senjata ta-jamku, baik, akupun ingin melihat sampai dimana kah kehebatan ilmu pedang yang kau miliki itu"

(Bersambung ke Bagian 16)
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar