Anak Harimau Bagian 04

Baca Cersil Mandarin Online: Anak Harimau Bagian 04

Bagian 04

Tentu saja kakek itu tidak menggubris per-kataan bocah tersebut, sebelum Lan See -giok menyelesaikan kata katanya, dia telah melo-loskan pedang yang lain.

Bentuk pedang ini hampir serupa dengan pedang yang pertama tadi, hanya bedanya di tengah sarung pedang ini berukirkan sebuah rembulan.

la mencoba untuk mengenali tulisan kuno di gagang pedang tersebut, tapi tak dikenal, akhirnya dengan wajah memerah dia pura--pura bertanya:

"Giok ji, kau kenal dengan nama pedang ini?"

"Pedang itu adalah Gwat hui kiam!" jawab Lan See giok tanpa sangsi.

Kakek bertelinga tunggal itu segera manggut-manggut sambil memuji.

"Ehmm, ucapanmu memang benar, kedua bilah pedang ini memang merupakan pedang Jit hoa dan Gwat hui kiam yang menjadi idaman dari setiap umat persilatan---"

"Klik!" di tengah dentingan nyaring, segera memancar ke luar serentetan cahaya ber-warna emas yang menyilaukan mata.

"Empek" dengan perasaan tak habis mengerti Lan See giok berseru, "menurut ayah, sepasang pedang ini adalah Jit gwat tong kong kiam. jarang diketahui umat per-silatan, meski sudah bersejarah ribuan ta-hun, namun jarang sekali muncul dalam dunia.."

Seketika itu juga paras muka kakek itu berubah menjadi merah padam, sambil me-lotot besar teriaknya.

"Ayahmu dengar pula dari siapa? "

Sembari berkata dia menyarungkan kembali pedang itu.

"Ayah pernah membaca risalah sejarah dalam kitab pusaka kedua pedang itu, maka ayah tahu dengan jelas."

Mendengar perkataan itu, perasaan si kakek bertelinga tunggal itu kembali tergerak, sepasang matanya yang licik tanpa terasa melirik sekejap. ke atas kotak emas kecil di sisi hiolo tersebut.

Lan See-giok masih teringat selalu dengan pesan ayahnya dulu, maka ketika dilihatnya kakek bertelinga tunggal itu belum juga mengembalikan pedang mestika itu ke tem-patnya semula, dengan gelisah dia lantas berseru:

"Empek, cepat kembalikan pada tempatnya!"

Sekilas hawa amarah segera melintas di atas wajah kakek itu, tapi hanya sejenak ke-mudian dia telah bersikap tenang kembali, sambil manggut-manggut dia letakkan kem-bali ke dua bilah pedang itu di tempat semu-la.

Lan See giok segera mengangguk puas, katanya kemudian:

"Empek, mari kita tutup peti mati itu!".

Sembari berkata dia berjalan lebih dulu menuju ke depan peti mati orang tuanya.

Kakek bertelinga tunggal itu mengikuti di belakangnya, ketika ia memandang ke dalam peti mati tersebut. mendadak paras mukanya berubah, peluh dingin segera ber-cucuran.

Rupanya sepasang mata si Gurdi emas peluru perak Lan Khong tay yang semula melotot besar, kini telah terpejam kembali.

Dengan perasaan terkesiap buru-buru seru nya kepada Lan See giok: "Coba lihat, mata ayahmu telah memejam kembali, kapan mata ayahmu memejam kembali?"

Ketika mengucapkan perkataan itu mata nya yang sesat menunjukkan perasaan kuatir wajahnyapun merasa ngeri, meski dia tidak percaya dengan setan, namun di dalam ku-buran yang sepi dan mengerikan ini, tak urung hatinya merasa bergidik juga.

Lan See giok memandang sekejap wajah orang tuanya, lalu menjawab:

"Sepasang mata ayahku terpejam kembali ketika aku bersumpah akan mencincang tubuh musuh besar pembunuhnya!"

Agak berubah wajah kakek itu, sebelum senyuman menyeramkan segera menghiasi bibirnya, tapi dia tidak berkata apa-apa lagi, dengan cepat ia membantu bocah itu untuk menutup kembali peti mati tembaga tersebut, Setelah semua selesai, Lan See giok baru menyembah beberapa kali di depan peti mati itu, lalu sambil berdiri katanya:

"Empek, mari kita berangkat."

Dia lantas berjalan menuju ke arah luar.

Kakek bertelinga tunggal itu mengikuti di belakangnya, sewaktu lewat di sini pedang Jit-hoa-gwat hui kiam, dia melirik sekejap dengan sinar mata rakus, kemudian baru ke luar dari sana.

Setelah ke luar dari ruangan kuburan, Lan See giok segera menuju ke kamar sebelah kiri dan memutar kembali gelang besi di atas pintu besar itu, pelan-pelan pintu besi yang besar tadi merapat kembali.

Kemudian mereka berjalan kembali ke ru-angan depan, Lan See giok mulai membenahi pakaian serta barang keperluan sehari -harinya.

Kakek bertelinga tunggal itu nampak geli-sah sekali. beberapa kali dia nampak seperti kehabisan sabar tapi secara tiba-tiba wajah-nya berseri, satu ingatan dengan cepat melintas dalam benaknya.

Dengan suara ramah dan penuh kasih sayang diapun segera berkata:

"Giok ji, ambilkan makanan untuk empek mengisi perut, aku pikir kau sendiri pun tentu sudah lapar bukan."

Lan See giok memang lapar, maka dengan cepat dia mengambil makanan dari ruangan lain sekalian membawa serta sebotol arak ayahnya yang belum sempat diminum.

Setelah meneguk secawan arak, kakek itu menghela napas panjang, kemudian katanya:

"Giok ji, orang bilang perubahan cuaca su-kar diduga, nasib manusia sukar ditebak, seperti misalnya ayahmu, apakah kemarin dia akan menduga bakal terjadi peristiwa seperti hari ini? Seperti juga adik Wan, apakah dia akan menduga kalau engkohnya bakal tiada, secara mendadak ---"

Terkesiap hati Lan See giok mendengar perkataan itu, tanpa terasa serunya;

"Empek maksudkan bibi Wan?"

"Benar,"" sahut kakek itu sambil mengang-guk tenang, "yang kumaksudkan adalah bibi Wanmu -itu!"

Lan See giok segera termenung sebentar, kemudian katanya kembali:

"Empek. benarkah bibi Wan adalah adik kandung ayahku?"

"Untuk sesaat kakek bertelinga tunggal itu merenung sebentar, kemudian setelah me-mandang cawan arak di meja sekejap sahut-nya:

"Mengapa secara tiba-tiba kau ajukan per-tanyaan ini? Apakah bibi Wan mu tidak me-nyayangi dirimu?"

"Bukan, bukan begitu." seru bocah itu serius. "bibi Wan sangat baik kepadaku, cuma aku tidak habis mengerti kenapa ayah ibuku belum pernah membicarakan hal itu kepadaku? Mengapa mereka tak pernah memberitahukan kepadaku kalau mempu-nyai bibi Wan yang begitu cantik."

Setelah berhenti sebentar, kembali dia melanjutkan:

"Kalau dibilang bibi Wan adalah adik kandung ayahku, padahal ayahku she Lan sedang bibi Wan she Han, sedang suami bibi Wan she Ciu . . . "

Kakek bertelinga tunggal itu hanya mendengarkan dengan seksama, dia lama sekali tidak memberi komentar apa-apa.

Mendadak dengan kening berkerut Lan See-giok berseru

"Empek, apakah kalian pernah bersua dengan bibi Wan?"

Agak tertegun kakek bertelinga tunggal itu mendengar pertanyaan tersebut, agaknya dia tidak menduga akan menjumpai pertanyaan semacam itu, setelah berhasil menenangkan dia menyahut :

"Tentu saja pernah berjumpa!"

Sambil berkata dia lantas mereguk arak-nya setegukan, agaknya dia hendak mengguna-kan kesempatan itu untuk menenangkan kembali hatinya.

Berapa saat kemudian ia baru melanjut-kan, "Cuma waktu itu dia masih seorang gadis yang berusia lima enam belas ta-hunan."

Tanpa terasa Lan See giok terbayang kem-bali dengan bayangan tubuh enci Cian nya, dia lantas berseru.

"Putri bibi Wan sekarang telah berusia enam belas tahun!"



Kakek bertelinga tunggal itu segera me-ng-iakan dengan mengandung sesuatu mak-sud, serunya sambil tersenyum.

"Kalau begitu, kaupun sebaya dengan usia enci Cu mu"

"Enci Cu? Enci Cu yang mana?" Lan See -giok tertegun.

Kakek bertelinga tunggal itu segera tertawa terbahak-bahak.

"Haaah . . haaah . . haaah . . . anak bodoh.. enci Cu. adalah Siau cu putri empek!"

Merah padam selembar wajah Lan See -giok karena jengah, buru-buru dia menundukkan kepalanya rendah-rendah.

Terdengar kakek bertelinga tunggal itu berkata lebih lanjut dengan gembira.

"Anak dungu, mengapa harus malu? Di kemudian hari kau akan siang malam hidup bersama dengan enci Cu mu, berlatih ilmu silat bersama, bermain bersama ...."

"Empek, jadi kau hendak mengajarkan Ilmu silat kepada Giok ji?" seru Lan See giok gembira.

Sekali lagi kakek itu tertawa tergelak.

"Tentu saja!"

Dengan cepat Lan See giok menggebrak meja keras-keras, kemudian dengan mata melotot serunya:

"Bila Giok ji telah berhasil memiliki ilmu silat selihai empek, aku tak akan takut lagi terhadap musuh besarku."

Paras muka kakek bertelinga tunggal itu kembali mengejang keras, tapi ia segera men-dongakkan kepalanya sambil tertawa terge-lak, pujinya berulang kali:

"Punya semangat, punya semangat, empek memang paling suka dengan orang yang bersemangat seperti kau."

Lan See giok merasa perlu untuk memberi kabar kepada Bibi Wan nya tentang musibah yang menimpa ayahnya, maka dia berkata kembali:

"Cuma, sekarang aku belum bisa ikut em-pek untuk belajar silat--"

"Kenapa?" tanya kakek bertelinga tunggal itu terkejut, senyuman yang semula me-nye-limuti wajahnya seketika lenyap tak ber-bekas.

"Sebab Giok-ji merasa perlu untuk mem-beri kabar dulu kepada bibi Wan atas musi-bah yang telah menimpa ayahku---"

Belubm lagi Lan See-jgiok menyelesaigkan kata-katanyba, sekilas perasaan kejut ber-campur girang telah menghiasi wajah si kakek yang jelek, tapi ia cukup waspada.

Dengan cepat ujarnya lagi dengan suara dalam:

"Yaa, betul! Kabar duka ini memang harus cepat-cepat disampaikan kepadanya "

Setelah berhenti sebentar, ia seperti ter-ingat akan sesuatu dengan cepat dia melirik sekejap kearah bocah itu, lalu ujarnya lebih jauh.

"Cuma, setelah bersantap nanti kita mesti beristirahat dulu sebelum berangkat . . . .

"Tidak usah, Giok ji tidak lelah!" tukas Lin See giok sambil menggeleng. "Haaah . haaah . . haaah . . anak bodoh, empek bukan kuatir kau kecapaian, tapi aku hendak mewariskan ilmu silat dulu kepadamu. Maka selesai ber-santap nanti akan kuberi sebutir pil penam-bah tenaga lebih dulu untukmu, kemudian kau mesti duduk bersemedi sesaat sebelum khasiat obat itu dapat diserap oleh tubuh-mu."

Setelah tahu kalau dia hendak diberi pela-jaran silat yang hebat, tentu saja Lan See giok tidak mengotot lagi.

Selesai bersantap, kakek bertelinga tunggal itu mengeluarkan sebuah buli-buli hitam dari sakunya dan membuka penutupnya,

Bau pedas yang menusuk hidung dengan cepat menyebar ke luar dari balik buli-buli tersebut.

Diam-diam Lan See giok berkerut kening sesudah mengendus bau tersebut, segera pikirnya:

"Huuuh, bau obat apaan ini?, busuknya bukan buatan ---"

Sementara ia masih termenung, kakek bertelinga tunggal itu telah mengeluarkan se-butir pil kecil berwarna hitam dan mengang-surkan ke hadapan bocah itu, katanya ke-mudian sambil tersenyum ramah:

"Giok ji, telanlah pil ini!"

Lan See-giok bernapsu untuk cepat me-miliki ilmu silat tinggi, meski bau obat itu busuknya menusuk hidung, ternyata diteri-ma-nya juga tanpa sangsi, tapi sebelum dite-lan ia bertanya lagi.

"Empek tua, pil apaan ini?"

"Obat ini merupakan pil penguat badan penambah tenaga yang empek buat selama puluhan tahun lamanya dengan mengumpulb-kan pelbagai bjahan obat mestigka dari se-antebro jagad. Minum sebutir saja, tenaga dalammu akan bertambah dengan berapa tahun hasil latihan, selain dapat mengusir hawa dingin, menawarkan racun juga mem-bersihkan darah. pokoknya obat mestika se-macam ini amat langka di dunia dewasa ini..."

Mendengar kalau pil itu berkhasiat sangat banyak, tak sampai kakek bertelinga tunggal itu menyelesaikan katanya, mendadak Lan See giok jejalkan obat itu ke dalam mulut-nya, lalu ditelan ke dalam perut secara "paksa.."

Bau busuk yang memualkan dan hawa panas yang menyengat badan segera menye-limuti seluruh isi perutnya, tapi demi mem-peroleh ilmu hebat, sekalipun obat racun dia juga tak ambil perduli.

Bau busuk dari pil itu makin mengocok isi perutnya dengan makin menghebat, dia merasa semakin mual dan hampir saja muntah-muntah.

Tapi sambil menggertak gigi bocah itu berusaha untuk mempertahankan diri.

Selintas senyum yang licik, busuk dan pe-nuh perasaan bangga segera menghiasi wajah si kakek yang jelek, tapi di mulut ia masih berkata lagi dengan lemah lembut.

"Anak Giok, jangan kau tumpahkan, keta-huilah betapa sulit dan sengsaranya empek untuk membuat pil tersebut, bahan-bahan obatnya langka dan susah ditemukan, kalau sudah tak tahan, cepat berbaring atau duduk di atas pembaringan."

Sambil menggigit bibir dan menahan napas Lan See giok manggut-manggut, ia segera naik ke atas pembaringan dan duduk bersila di situ.

"Kau harus ingat baik-baik," kata si kakek bertelinga tunggal lagi dengan wajah ber-sungguh sungguh, "mulai hari ini, setiap bulan kau harus minum sebutir, kalau tidak selain khasiat obatnya tak akan menghasil-kan apa-apa, bahkan tiga hari setelah masa yang ditetapkan lewat, kau bisa muntah da-rah sampai mati!"

Tak terlukiskan, rasa kaget Lan See giok setelah mendengar perkataan itu, sambil berusaha keras menekan perasaan sakit dan menderita yang mengocok isi perutnya, dia bertanya:

"Berapa butir lagi yang harus kutelan?"

"Dua belas butir, tepat setahun!" jawab kakek itu sambil tertawa bangga penuh keli-cikan.

Lan See giok tidak berbicara lagi, ia segera mengangguk.

Baginya, seoranrg lelaki hendakz membalas dendawm, sepuluh tahurnpun belum terhitung lambat, apalagi cuma setahun.

Sementara ingatan tersebut melintas dalam benaknya, seluruh tubuhnya terasa remuk dan sakitnya bukan kepalang, tulang belu-lang-nya seakan-akan hancur berantakan, peluh sebesar kacang kedelai jatuh bercu-curan membasahi sekujur badannya.

Lan See-giok makin terkesiap, meski ia belum pernah minum pil penambah tenaga, tapi ia percaya bau sebutir pil mestika tak akan, sebusuk pil yang telah diminumnya barusan --

Belum habis ingatan tersebut melintas le-wat, mendadak terdengar kakek itu ber-kata lagi. "

"Giok-ji. jangan mencabangkan pikiran-mu, sekarang daya kerja obat itu baru me-nyebar cepat, kerahkan tenaga dalammu untuk membawa sari obat ke seluruh bagian tu-buhmu, kemudian seraplah khasiat obat itu dengan tenaga dalammu."

Mendengar pesan itu, buru-buru Lan See- giok mengerahkan tenaga dalamnya untuk menghisap sari obat yang dimaksudkan.

Dalam penderitaan yang luar biasa, men-dadak ia merasa kepalanya amat pusing dan kelopak matanya makin lama terasa semakin berat.

Tapi dia masih sempat mendengar kakek itu berpesan:

" - - Kau harus tahu, orang bilang obat yang pahit justru merupakan obat paling mujarab untuk menyembuhkan penyakit"

Dalam keadaan setengah sadar setengah tidak, Lan See giok masih sempat mendengar sepatah dua patah kata lagi, tapi lambat laun kesadarannya makin pudar dan menghilang, sebelum ingatan terakhir lenyap dari benaknya, dia seakan akan mendengar kakek bertelinga tunggal itu tertawa terbahak- bahak dengan seramnya.

Entah berapa saat kemudian . . .

Pelan-pelan Lan See giok sadar kembali dari pingsannya, entah mengapa ternyata dalam mulutnya masih tersisa sedikit bau harum yang semerbak dan menyegarkan badan.



Ia merasa amat keheranan mengapa pil yang busuk baunya bisa berubah menjadi harum dan segar setelah dipakai untuk me-ngatur pernapasan?

Dengan cepat dia berpaling ke sekitar situ, namun empek bertelinga tunggal itu sudah tidak nampak lagi, segera pikirnya:

"Heran, ke mana perginya empek tua?"

Dengan cepat dia melompat turun dari atas pembaringan, baru saja menggunakan sedikit tenaga, mendadak lambungnya terasa mual sekali hingga tak tahan dia segera tumpah-tumpah.

Sebenarnya dia masih ingat dengan pesan empeknya dan ia tak berani muntah, tapi rasa mual dalam perutnya sungguh tak ter-tahan lagi sehingga tak tahan lagi...

"Uaakk.." . . . gumpalan bau busuk ber-campur air berwarna hitam, segera berham-buran keluar dari mulutnya dan berceceran di atas tanah.

Memandang gumpalan air hitam yang ber-ceceran di tanah, tanpa terasa timbul perasa-an curiga dalam hati Lan See giok, dengan cepat dia mencoba untuk mengatur perna-pasan, ternyata segala sesuatunya berjalan lancar, bahkan tidak terasa adanya ham-batan apa-apa.

Maka sambil menghimpun tenaga dalam-nya ke dalam telapak tangan kanan, dia lepaskan sebuah pukulan dahsyat ke arah mulut lorong...

Hembusan angin puyuh yang dahsyat di-iringi suara desingan yang memekakkan telinga langsung menggulung ke dalam lorong itu dan membawa habis seluruh debu dan pasir yang berada di sekitar situ.

Ketika angin pukulan itu sudah lewat, permukaan tanah kelihatan licin dan rata, malah di balik lorong sana kedengaran suara gemuruh yang memekakkan telinga.

Kejut dan girang Lan See giok setelah men-yaksikan kejadian itu, ternyata tenaga dalamnya telah peroleh kemajuan pesat, se-hingga tanpa terasa dengan perasaan.

Menyesal dan jengkel dia memandang se-kejap lagi ke arah gumpalan air hitam yang ditumpahkan ke luar tadi, pikirnya :

"Coba kalau air hitam itu tidak muntah ke luar, oooh betapa beruntungnya aku, tentu tenaga dalam yang kumiliki akan jauh lebih dahsyat . . "

Pada saat itulah . . . .

Mendadak ia mendengar suara jebritan kaget yanjg parau dan memgekakkan telingab berkumandang datang dari arah kuburan raja-raja dalam lorong rahasia sana, suara jeritan itu penuh disertai perasaan ngeri.

Menyusul kemudian kedengaran pula suara gemuruh yang dahsyat menggoncang kan seluruh permukaan bumi, banyak lapisan langit-langit kuburan yang bergu-guran ke tanah

Lan See-giok terkejut sekali dia merasa amat kenal dengan jeritan kaget itu, sambil tampaknya sangat mirip dengan suara jeritan empeknya.

Maka sambil menghimpun tenaga dalam-nya ke dalam telapak tangan, lalu mengerah-kan ilmu meringankan tubuhnya, dia ber-gerak menuju ke dalam lorong rahasia terse-but.

Semakin ke dalam, dia merasakan getaran pada dinding gua makin keras, suaranya juga makin lama semakin mengerikan.

Lan See giok gugup sekali, dengan cepat-nya dia lari menuju be depan pintu besi di muka kuburan raja-raja.

Waktu itu suara aneh tadi sudah sirap, suasana dalam kuburan pun telah pulih kembali dalam keheningan, pintu gerbang besi tetap tertutup sedangkan mutiara itupun masih memancarkan sinar yang redup.

Lan See giok makin keheranan, dia tidak habis mengerti mengapa empek bertelinga satu itu belum juga ditemukan, terpaksa dengan suara pelan dia berseru.

"Empek tua, empek tua - - -!"

Namun kecuali suara yang mengandung dan memantul di empat penjuru tidak ke-de-ngaran suara lainnya.

Terpaksa Lan See giok menghimpun tenaga dalamnya ke dalam sepasang tangan, yang satu dipakai untuk menutupi muka, yang lain dipakai melindungi dada, dengan sorot mata yang tajam pelan-pelan dia berjalan menuju ke depan . . .

Dia tahu ada orang bersembunyi di dalam kuburan kuno itu, dan jelas apa yang telah dibicarakan dengan empeknya tadipun sudah didengar oleh orang yang "bersembunyi" di balik kegelapan tersebut.

Makin dipikirkan pemuda itu merasa se-makin terkesiap, dengan kepandaian si em-pek bertelinga satu yang begitu libhaypun ia tak bjerhasil menemukgan orang yang mben-yembunyikan diri itu, bukankah hal ini menunjukkan kalau kepandaian yang dimili-ki orang itu sudah mencapai ke tingkatan yang luar biasa ?

Sementara pelbagai ingatan berkecamuk dalam benaknya, ia sudah tiba di kamar batu sebelah kiri, tapi apa yang kemudian terlihat membuatnya terperanjat.

Tombol rahasia untuk membuka pintu ger-bang kuburan raja-raja telah terbuka, sedang sesosok bayangan hitam terkapar di atas tanah.

Ketika orang itu diperiksa dengan seksama, ternyata dia adalah si empek bertelinga satu.

Buru dia memburu ke sisinya dan meme-riksa keadaan empeknya, tampak empek bertelinga satu terkapar dengan wajah pucat, wajah penuh air keringat dan napas membu-ru, dia kelihatan amat ketakutan selain merasa terperanjat sekali.

Gejala ini menunjukkan gejala seseorang yang terkena totokan, maka Lan See giok segera berjongkok dan menepuk pelan di atas jalan darah Mia bun hiatnya.

Kakek bertelinga satu itu menghembuskan napas panjang-panjang lalu mendusin.

Mendadak dia melompat dari atas tanah sambil membentak keras, telapak tangan kanannya langsung dibabat ke atas tubuh Lan See giok.

Dengan terperanjat bocah itu segera men-jerit.

"Empek, aku. . ."

Telapak tangan kanannya yang penuh dengan himpunan tenaga dalam itu segera diayunkan pula untuk menyongsong datang-nya ancaman tersebut.

"Blaaammm. ..!" di tengah benturan keras, hawa tajam segera memancar ke empat pen-juru, akibatnya Lan See giok dan kakek ber-telinga tunggal itu sama-sama mundur dengan sempoyongan dan. . .

"Duuuk!" bahu masing-masing menumbuk di atas dinding.

Mimpipun Lan See giok tidak menyangka kalau dia bisa menyambut serangan si empek bertelinga tunggal yang maha dahsyat itu, cepat dia mencoba untuk mengatur napas, ternyata tidak ditemukan sesuatu gejala yang menunjukkan ketidak beresan.

Maka ditatapnya si empek yang sedang bersandar di atas dinding dengan wajah tertegun, kemudian teriaknya keras-keras:

"Empek, aku yanrg datang, aku azdalah Giok ji!"w

Dengan cepat rkakek itu menenangkan kembali pikirannya, dalam keadaan seperti ini dia tak sempat lagi untuk memikirkan mengapa Lan See giok bisa mendusin kem-bali, mengapa tenaga pukulannya masih be-gitu dahsyat dan hebat walaupun sudah mi-num pil hitam pemberiannya.

Maka dengan mata melotot bentaknya keras-keras.

"Apakah kau yang menyergapku barusan?"

Lan See giok agak tertegun, kemudian menggelengkan kepalanya berulang kali.

"Bukan, bukan aku, aku baru memburu ke mari setelah mendengar teriakanmu tadi."

Dengan cepat kakek itu membalikkan badannya lalu mencari ke arah ruang dalam dengan gugup, sesudah itu teriaknya gelisah:

"Mana pedang dan kotak kecil itu?"

Sekali lagi Lan See giok tertegun, menanti dia berpaling lagi, di jumpai batu di atas permukaan tanah telah terbuka, dia segera menjerit kaget:

"Haaah, gelang besar pembuka pintu besi telah rusak!"

Dengan cepat dia memburu ke depan dengan terburu-buru.

Dalam pada itu kesadaran si kakek bertelinga tunggalpun telah pulih kembali seperti sedia kala, sekarang dia mengerti su-dah bahwa orang yang menotok jalan darah-nya barusan bukanlah Lan See giok.

Diapun melihat gelang besi di permukaan batu itu sudah dihancurkan berkeping- ke-ping oleh seorang dengan ilmu Tay-lek-kim- kong ci, sedang rantainya juga telah pada menyusup masuk ke dalam lubang bagian bawah.

Menyaksikan kesemuanya itu, paras muka si kakek berubah menjadi pucat pias, sinar matanya memancarkan rasa kaget dan cemas peluh sebesar kacang kedelai pun jatuh ber-cucuran dengan deras.



"Empek, kunci yang mengendalikan pintu gerbang menuju ke makam raja-raja telah putus, sejak kini tiada orang yang bisa me-masuki makam tersebut lagi, kata Lan See giok secara tiba-tiba dengan gelisah.

Kakek itu tidak menjawab, dia hanya berdi-ri termangu-mangu, dia tahu hari ini telah berjumpa dengan seorang jago lihay.

Setelah menutup kembali lapisan batu itu, sambil memandang si kakek dengan kehe-ranan Lan See giok bertanya.

"Empek tua, sebenarnya apa yang telah terjadi?"

Kakek bertelinga tunggal itu hanya me-na-tap wajah Lan See giok lekat-lekat, sampai lama sekali tak mengucapkan se-patah kata-pun.

Melihat empeknya tidak berbicara Lan See giok terpaksa harus berkata lagi:

"Waktu Giok ji bangun, tiba-tiba kudengar empek berteriak, menyusul kemudian terde-ngar suara gemuruh nyaring, buru-buru Giok ji menyusul ke mari, ternyata jalan darah empek sudah ditotok orang."

Sementara itu paras muka si kakek ber-telinga tunggal telah pulih kembali seperti sedia kala, meski dia masih kesal tapi ia ma-sih mempunyai pengharapan, maka kata-nya setelah menghela napas sedih.

"Aaai, tampaknya kehendak takdirlah yang menentukan segala sesuatunya, sungguh tak nyana kedatangan empek terlambat selang-kah sehingga pedang Jit hoa gwat hui tong kong kiam serta kedua macam kotak kecil itu keburu dicuri orang."

Lan See giok merasa terkejut sekali set-elah mendengar perkataan itu, buru-buru tanya-nya dengan gelisah.

"Empek, siapakah orang itu?"

"Entahlah, waktu itu empek sedang berse-medi, mendadak kudengar suara gemerin-cing, seperti pintu besi makam raja-raja dibuka orang. aku jadi curiga dan memburu ke situ.

Kujumpai pintu makam sudah terbuka se-dang kedua bilah pedang dan kotak kecil itu sudah terletak di atas tanah, empek menjadi keheranan, baru saja akan masuk ke dalam pintu, tahu-tahu jalan darahku telah ditotok orang."

Lan see giok tidak berpikir lebbih jauh, ia mejnganggap kesemuganya itu benar,b maka tanyanya lagi dengan keheranan:

"Lantas di manakah orang itu sekarang?" Ketika mendengar pertanyaan itu, mencorong sinar tajam dari balik mata kakek bertelinga tunggal itu, dia seperti teringat akan sesuatu, mendadak ditariknya tangan Lan See giok dan diajak berlarian menuju ke luar makam tersebut. "Cepat lari!"

Lan See giok dibuat kebingungan oleh tin-dakan yang amat tiba-tiba itu, tapi me-lihat kegugupan kakek itu, dia tahu kalau keadaan pasti gawat, maka tanpa komentar, dia mengikuti di belakang nya.

Ilmu meringankan tubuhnya memang lihay tapi sekarang anak itu merasa ilmunya se-makin lihay lagi, kenyataan tersebut mem-buatnya semakin berterima kasih atas pem-berian pil bau dan hitam dari si empek.

Setibanya di ruang tengah, kakek itu sama sekali tidak memberi kesempatan kepada Lan See giok untuk berhenti, tanpa berhenti dia menarik Lan See giok menuju ke luar makam.

Dalam waktu singkat mereka sudah tiba di luar makam, waktu itu matahari sedang bersinar terang, pepohonan siong melambai lambai terhembus angin.

Kakek bertelinga tunggal itu tidak menghi-raukan keadaan alam di sekitar sana, dengan cepat dia menghentikan gerakan tubuhnya sambil bertanya :

"Di manakah letak kunci pengatur pintu masuk ke dalam makam?"

"Di bawah meja altar dari batu itu," jawab si bocah gugup.

Buru-buru mereka berdua menyelinap ke depan makam dan tiba di depan altar yang dimaksudkan.

Lan See giok segera membungkukkan badan menyingkap rerumputan di balik ku-buran dan membuka sebuah batu, di bawah batu itu terdapat sebuah gelang besi kecil.

Kakek itu nampak terkejut bercampur gi-rang, dengan mata berkedip dia mendorong Lan See giok ke samping.

Karena tak diduga akan didorong, Lan See-giok jatuh terduduk di atas tanah, se-mentara sepasang matanya terbelalak lebar dengan wajah tidak habis mengerti.

Dengan sikap tergesa-gesa, kakek itu segera menarik gelang besi itu keras-keras. Suara gemerincing terdengar, pintu bbela-kang makam jkosong itu segegra menutup ra-pbat.

Tiba-tiba kakek itu membentak keras, tela-pak tangan kirinya secepat kilat membabat rantai besi yang sedang dicengkeram dengan tangan kirinya itu--

Tak terlukiskan rasa terperanjat Lan See giok menyaksikan kejadian itu, segera te-riak-nya terperanjat.

"Empek, jangan----"

Belum habis dia berkata, rantai di bawah gelang besi itu sudah terpapas kutung.

"Blaaammm!"

Pintu belakang makam segera merapat keras-keras, menyusul kemudian terdengar suara gemuruh dan goncangan yang amat dahsyat----

ooo0ooo

BAB 4

PERISTIWA DI TEPI TELAGA

KAKEK bertelinga tunggal itu segera mem-buang gelang besi di tangannya dan men-do-ngakkan kepalanya sambil tertawa terba-hak bahak.

Suara tertawanya keras dan mengerikan, membuat siapa pun yang mendengar merasakan bulu kuduknya pada bangun ber-diri.

Lan See giok merasa terkejut sampai duduk termangu mangu, untuk sesaat lama-nya dia sampai tak sanggup mengucapkan sepatah katapun.

Menanti kakek itu telah berhenti tertawa, ia baru berseru agak tergagap:

"Empek, kau. . . ."

Sebelum habis Lan See giok berkata, si kakek bertelinga tunggal itu telah tertawa tergelak kembali.

"Haaah . . . haaah . . . haaah . -aku hendak menggunakan cara ini untuk menunjukkan betapa lihainya aku Oh Tin san!"

Sekarang Lan See giok baru mengerti, ru-panya kakek itu bertujuan untuk merusak pintu masuk makam raja tersebut, agar orang yang mencuri pedang tewas terkurung di dalam makam tersebut

Berpikir sampair di situ, dia lzantas berseru :w

"Tapi, bukankrah di dalam makam terdapat pula tombol rahasia untuk membuka pintu tersebut?"

"Haaah--- haaah--- haaah... bocah bodoh, jika tombol di depan sudah putus, yang di dalam pun ikut rusak, sebab rantai itu kan saling berhubungan satu sama lain nya." sela Oh Tin san sambil tertawa seram.

Lan See giok menjadi gugup, mendadak sambil melompat bangun serunya cemas:

"Tapi empek. . . pakaianku masih berada dalam ruangan dalam!"

"Aaah, apalah artinya pakaian? Biar lain kali enci Cu mu yang buatkan pakaian baru buat dirimu "

"Tapi di sana masih ada pula senjata raha-sia andalan ayahku Khong sim liang gin tan, semuanya berada dalam buntalan."

"Empek akan mewariskan segenap kepan-daianku kepadamu, kepandaian empek jus-tru jauh lebih hebat daripada kepandaian peluru perak ayahmu itu, sudahlah, kau tak usah memikirkan soal itu lagi."

Selesai berkata dia lantas menarik tangan Lan See giok sambil menambahkan:

"Hayo berangkat, kita bersama sama men-cari bibi Wan mu lebih dulu." Dia lantas menarik tangan bocah itu berlalu dari sana.

Walaupun Lan See giok merasa tak senang hati, tapi setelah pintu makam tertutup, -dia tahu gelisahpun percuma, terpaksa sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya ia mengikuti di samping kakek tersebut.

Dalam hati kecilnya dia yakin kalau orang mencuri pedang dan kotak kecil itu sudah berhasil ke luar dari makam, itu berarti tin-dakan yang dilakukan empek bertelinga tunggal hanya sia-sia belaka.

Sebaliknya berbeda dengan jalan pemikiran Oh Tin san. dia mengira pencuri itu masih bersembunyi dalam kuburan dan mencuri dengar pembicaraan Lan See giok, ter-utama tentang jejak kotak kecil tersebut.



Begitulah, setelah ke luar dari kompleks makam raja-raja, mereka lantas menelusuri jalan-jalan kecil menuju ke depan.

Sepanjang jalan, Lan See giok memper-hati-kan sekejap pemandangan di sekitar kom-pleks makam itu dengan pandangan sayu, ia merasa pemandangan di sekeliling tempat itu seakan akan telah berubah, berubah menjadi lebih mengenaskan dari pada kematian ibunya dulu.

Sekarang, ayahnya yang dicintai pun telah tiada, suasana riang gembira yang masih mencekam perasaannya kemarin, kini telah berubah menjadi kesedihan yang luar biasa.

Teringat akan kematian ayahnya, diapun teringat pula pada masalah siapakah musuh besar pembunuh ayahnya . . .

Mendadak satu ingatan melintas dalam benaknya, dengan cepat tanyanya: "Empek, menurut pendapatmu, mungkinkah orang yang mencuri pedang itu adalah orang yang telah membunuh ayahku?"

Agaknya Oh Tin san sendiripun sedang membayangkan kembali peristiwa yang baru dialaminya, mendengar pertanyaan tersebut ia ragu sejenak, kemudian sahutnya.

"Yaa, kemungkinan saja benar, mungkin memang dia!"

Mendengar itu Lan See giok segera berke-rut kening, pikirnya.

"Andaikata orang yang membunuh ayah adalah orang yang mencuri pedang, berarti sekalipun, kupelajari segenap ilmu silat yang dimiliki empek juga percuma, toh empek sendiripun bukan tandingannya. . .?" Berpikir sampai di situ, dia lantas ber-tekad untuk mencari tokoh persilatan lain untuk belajar silat darinya- - -

Sementara dia masih termenung, menda-dak terdengar Oh Tin san menegur dengan suara dalam:

"Giok ji, apa yang sedang kau pikirkan?"

"Oooh- - - aku sedang berpikir, dengan kepandaian silat empek yang begitu lihai pun, kau tidak merasa ada orang menguntit di belakangmu, hal ini menunjukkan kalau kepandaian silat yang dimiliki orang itu luar biasa sekali!"

Merah padam selembar wajah Oh Tin san mendengar ucapan tersebut, ia segera ter-tawa dingin, lalu katanya.

"Hmmm, kalau kerjanya hanya mabin kun-tit, maijn sergap secarag pengecut, meskbi ber-ilmu tinggi juga tidak terhitung seorang eng-hiong"

Kemudian sambil mendengus marah dia percepat gerakan tubuhnya menuruni bukit tersebut.

Lan See giok tahu kalau empeknya lagi marah, maka diapun tak berani banyak ber-bicara lagi, sambil memperketat larinya dia menyusul ke sisi tubuh kakek itu.

Setelah turun dari bukit, sebuah sungai kecil terbentang di depan mata. di depan sungai merupakan sebuah kompleks tanah pekuburan yang telah terbengkalai.

Ketika tiba di tepi sungai, Oh Tin san sama sekali tidak berhenti, melejit ke udara untuk menyeberanginya.

Terpaksa Lan See-giok ikut mengenjotkan badannya dan menyusul pula dari belakang...

Tiba-tiba mencorong sinar tajam dari balik mata Oh Tin san, dia seperti teringat akan sesuatu, mendadak bentaknya keras-keras:

"Giok -ji, berhenti!"

Seraya berseru keras, dia segera meng-hen-tikan gerakan tubuhnya lebih dahulu.

Lan See-giok segera menghentikan pula gerakan tubuhnya, tapi ia sudah terlanjur maju delapan depa dari pada empeknya.

Dengan kening berkerut Oh Tin San segera mengawasi wajah Lan See giok yang putih segar itu lekat-lekat, sementara pe-rasaan tertegun bercampur keheranan menyelimuti wajahnya yang jelek.

Dihampirinya bocah itu dengan langkah le-bar, kemudian diamatinya jalan darah Sim keng hiat diantara alis mata Lan See giok lekat-lekat, sampai lama kemudian ia baru bertanya

"Giok ji, bagaimana rasamu sekarang?"

Ditatap sedemikian tajam oleh empek nya, Lan See giok merasa jantungnya ber-debar keras, dia mengira empek bertelinga tunggal ini sudah tahu kalau obat busuk yang dimi-numnya telah muntah ke luar, maka dengan agak takut-takut sahutnya

"Sekarang aku merasa baik sekali empek, benar-benar sangat baik, bahkan tenaga dalamku telah memperoleh kemajuan yang cukup pesat".

Sekali lagi Oh Tin sun mengamati kening Lan See giok dengan mata sesatnya, betul juga ia tidak menjumpai gejala keracunan diabntara wajah bocjah tersebut.

Mgalah sebaliknyab dia nampak lebih cerah lebih bersemangat dan matanya lebih tajam, bahkan ilmu meringankan tubuhnya tidak kalah kalau dibandingkan dengan kemam-puan sendiri.

Itu berarti di balik kesemuanya itu pasti ada hal-hal yang luar biasa sekali.

Maka sambil manggut-manggut pura-pura menaruh perhatian khusus. dia menuding ke arah sebuah bongpay (batu nisan) yang ter-geletak tak jauh dari situ, lalu katanya dengan serius:

"Coba bacoklah batu nisan ini!"

Lan See giok merasa amat tegang, dia kuatir empeknya merasa tidak puas dengan hasil yang diperolehnya, maka setelah mengi-akan, sambil menghimpun tenaga sebesar sepuluh bagian, pelan-pelan dia berjalan mendekati batu nisan tersebut.

Oh Tin san makin tercengang lagi ketika melihat jalan darah Thian teng hiat di tubuh Lan See giok tidak menunjukkan gejala hijau kehitam hitaman sewaktu menyalurkan tenaga, ia tidak habis mengerti apa gerangan yang sebenarnya telah terjadi.

Dalam pada itu, Lan See giok sudah ber-henti pada tujuh langkah di depan batu ni-san tersebut.

Sambil mengawasi batu nisan itu lekat-lekat, tenaga dalam yang dihimpun ke dalam telapak tangan kanannya makin diperkuat, ia berharap batu nisan tersebut bisa di-hajarnya sampai hancur menjadi dua bagian.

Maka diiringi bentakan nyaring, telapak tangan kanannya sekuat tenaga diayunkan ke bawah--

"Blaaammm.. ." diantara ledakan keras yang terjadi, asap hijau mengepul diantara percikan batu dan pasir.

Lan See giok menjadi tertegun, dia tak -tahu bagaimana caranya untuk menarik kembali telapak tangan kanannya yang telah dilon-tarkan ke depan tersebut. . .

Paras muka Oh Tin san kontan saja berubah hebat, mimpipun dia tak menyangka kalau Lan See giok memiliki tenaga dalam yang begitu sempurna, bahkan pengaruh racun keji Cui bean hwe khi ngo tok wan (pil panca bisa pembawa hawa ngantuk dan bodoh) kehilangan kemampuannya.

Setelah berhasil menenangkan hatinya, Lan See giok merasa terkejut bercampur gembira, mendadak dia membalikkan badan nya dan menubruk ke arah Oh Tin san sam-bil bersorak sorai.

Melihat itu buru-buru Oh Tin san menun-jukkan sikap senyum dan ramahnya, bahkan menyambut kedatrangan bocah ituz dengan uluran wtangannya.

Begritu menubruk masuk ke dalam pelukan kakek itu, Lan See giok segera berteriak me-manggil nama empeknya dengan penuh ke-gembiraan.

"Empek--- oooh, empek---"

Oh Tin san pura-pura turut tertawa gem-bira, katanya:

"Giok ji, bakatmu bagus, tulangmu baik asal mau belajar dengan bersungguh hati, niscaya segenap kepandaian silat empek yang lihai dapat kau pelajari semua.

Berbicara sampai di situ, tangannya meraba bahu, kepala dan punggung bocah itu, kemudian sambil tertawa dia baru ber-tanya.

"Giok ji, apakah tenaga pukulanmu dulu dapat menghancurkan batu nisan ini?"

Sambil mendongakkan kepalanya yang basah karena air mata kegirangan, Lan See giok menggelengkan kepalanya berulang kali.

"Tidak, dulu aku hanya sanggup menghantam, batu nisan itu hingga terbelah menjadi dua, tapi selamanya tak pernah me-nimbulkan ledakan yang menghancur lumat kan batu nisan tersebut".

Oh Tin san makin berkerut kening semen-tara dalam hatinya merasa terkejut, dia lantas menduga Lan See giok pasti sudah menjumpai sesuatu penemuan aneh ketika ia meninggalkan nya seorang diri tadi.

Maka diapun kembali tertawa terbahak ba-hak pura-pura gembira.

Belum sempat dia bertanya lagi, tiba-tiba berkumandang suara rintihan penuh rasa kesakitan dari sisi tempat itu.

Lan See giok segera menangkap suara itu, dengan wajah terkejut bercampur heran ta-nyanya, kepada Oh Tin san:

"Empek, suara apakah itu?"

Oh Tin san tidak menjawab pertanyaan itu, hanya sepasang matanya yang tajam mem-perhatikan sekeliling tanah pekuburan itu dengan seksama dan amat berhati-hati.

Sekali lagi terdengar suara rintihan, kali ini suara tersebut kedengaran berasal dari balik sebuah kuburan bobrok.

Sambil membentak nyaring Lan See giok segera menubruk ke arah mana datangnya suara tersebut.

Begitu sampai di tempat tujuan, paras mu-kanya Segera berubah hebat, ia tak me-n-yangka kalau di dalam kuburan yang ter-bengkalai dan peti mati, yang hancur bakal ditemukan sesosok tubuh manusia yang pe-nuh bermandikan darah segar.

Orang Itu mengenakan pakaian kasar dengan jenggot pendek di bawah dagunya, muka ceking yang berbentuk segi tiga pucat pias tak nampak warna darah, terutama sekali atas ubun ubunnya yang tumbuh se-buah bisul besar, membuat tampangnya ke-lihatan aneh sekali.

(Bersambung ke Bagian 05)
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar