Tentu saja kakek itu tidak
menggubris per-kataan bocah tersebut, sebelum Lan See -giok menyelesaikan kata
katanya, dia telah melo-loskan pedang yang lain.
Bentuk pedang ini hampir
serupa dengan pedang yang pertama tadi, hanya bedanya di tengah sarung pedang
ini berukirkan sebuah rembulan.
la mencoba untuk mengenali
tulisan kuno di gagang pedang tersebut, tapi tak dikenal, akhirnya dengan wajah
memerah dia pura--pura bertanya:
"Giok ji, kau kenal
dengan nama pedang ini?"
"Pedang itu adalah Gwat
hui kiam!" jawab Lan See giok tanpa sangsi.
Kakek bertelinga tunggal itu
segera manggut-manggut sambil memuji.
"Ehmm, ucapanmu memang
benar, kedua bilah pedang ini memang merupakan pedang Jit hoa dan Gwat hui kiam
yang menjadi idaman dari setiap umat persilatan---"
"Klik!" di tengah
dentingan nyaring, segera memancar ke luar serentetan cahaya ber-warna emas
yang menyilaukan mata.
"Empek" dengan
perasaan tak habis mengerti Lan See giok berseru, "menurut ayah, sepasang
pedang ini adalah Jit gwat tong kong kiam. jarang diketahui umat per-silatan,
meski sudah bersejarah ribuan ta-hun, namun jarang sekali muncul dalam
dunia.."
Seketika itu juga paras muka
kakek itu berubah menjadi merah padam, sambil me-lotot besar teriaknya.
"Ayahmu dengar pula dari
siapa? "
Sembari berkata dia
menyarungkan kembali pedang itu.
"Ayah pernah membaca
risalah sejarah dalam kitab pusaka kedua pedang itu, maka ayah tahu dengan
jelas."
Mendengar perkataan itu,
perasaan si kakek bertelinga tunggal itu kembali tergerak, sepasang matanya
yang licik tanpa terasa melirik sekejap. ke atas kotak emas kecil di sisi hiolo
tersebut.
Lan See-giok masih teringat
selalu dengan pesan ayahnya dulu, maka ketika dilihatnya kakek bertelinga
tunggal itu belum juga mengembalikan pedang mestika itu ke tem-patnya semula,
dengan gelisah dia lantas berseru:
"Empek, cepat kembalikan
pada tempatnya!"
Sekilas hawa amarah segera
melintas di atas wajah kakek itu, tapi hanya sejenak ke-mudian dia telah
bersikap tenang kembali, sambil manggut-manggut dia letakkan kem-bali ke dua
bilah pedang itu di tempat semu-la.
Lan See giok segera mengangguk
puas, katanya kemudian:
"Empek, mari kita tutup
peti mati itu!".
Sembari berkata dia berjalan
lebih dulu menuju ke depan peti mati orang tuanya.
Kakek bertelinga tunggal itu
mengikuti di belakangnya, ketika ia memandang ke dalam peti mati tersebut.
mendadak paras mukanya berubah, peluh dingin segera ber-cucuran.
Rupanya sepasang mata si Gurdi
emas peluru perak Lan Khong tay yang semula melotot besar, kini telah terpejam
kembali.
Dengan perasaan terkesiap
buru-buru seru nya kepada Lan See giok: "Coba lihat, mata ayahmu telah
memejam kembali, kapan mata ayahmu memejam kembali?"
Ketika mengucapkan perkataan
itu mata nya yang sesat menunjukkan perasaan kuatir wajahnyapun merasa ngeri,
meski dia tidak percaya dengan setan, namun di dalam ku-buran yang sepi dan
mengerikan ini, tak urung hatinya merasa bergidik juga.
Lan See giok memandang sekejap
wajah orang tuanya, lalu menjawab:
"Sepasang mata ayahku
terpejam kembali ketika aku bersumpah akan mencincang tubuh musuh besar
pembunuhnya!"
Agak berubah wajah kakek itu,
sebelum senyuman menyeramkan segera menghiasi bibirnya, tapi dia tidak berkata
apa-apa lagi, dengan cepat ia membantu bocah itu untuk menutup kembali peti
mati tembaga tersebut, Setelah semua selesai, Lan See giok baru menyembah
beberapa kali di depan peti mati itu, lalu sambil berdiri katanya:
"Empek, mari kita
berangkat."
Dia lantas berjalan menuju ke
arah luar.
Kakek bertelinga tunggal itu mengikuti
di belakangnya, sewaktu lewat di sini pedang Jit-hoa-gwat hui kiam, dia melirik
sekejap dengan sinar mata rakus, kemudian baru ke luar dari sana.
Setelah ke luar dari ruangan
kuburan, Lan See giok segera menuju ke kamar sebelah kiri dan memutar kembali
gelang besi di atas pintu besar itu, pelan-pelan pintu besi yang besar tadi
merapat kembali.
Kemudian mereka berjalan
kembali ke ru-angan depan, Lan See giok mulai membenahi pakaian serta barang
keperluan sehari -harinya.
Kakek bertelinga tunggal itu
nampak geli-sah sekali. beberapa kali dia nampak seperti kehabisan sabar tapi
secara tiba-tiba wajah-nya berseri, satu ingatan dengan cepat melintas dalam
benaknya.
Dengan suara ramah dan penuh
kasih sayang diapun segera berkata:
"Giok ji, ambilkan makanan
untuk empek mengisi perut, aku pikir kau sendiri pun tentu sudah lapar
bukan."
Lan See giok memang lapar,
maka dengan cepat dia mengambil makanan dari ruangan lain sekalian membawa
serta sebotol arak ayahnya yang belum sempat diminum.
Setelah meneguk secawan arak,
kakek itu menghela napas panjang, kemudian katanya:
"Giok ji, orang bilang
perubahan cuaca su-kar diduga, nasib manusia sukar ditebak, seperti misalnya
ayahmu, apakah kemarin dia akan menduga bakal terjadi peristiwa seperti hari
ini? Seperti juga adik Wan, apakah dia akan menduga kalau engkohnya bakal
tiada, secara mendadak ---"
Terkesiap hati Lan See giok
mendengar perkataan itu, tanpa terasa serunya;
"Empek maksudkan bibi
Wan?"
"Benar,"" sahut
kakek itu sambil mengang-guk tenang, "yang kumaksudkan adalah bibi Wanmu
-itu!"
Lan See giok segera termenung
sebentar, kemudian katanya kembali:
"Empek. benarkah bibi Wan
adalah adik kandung ayahku?"
"Untuk sesaat kakek
bertelinga tunggal itu merenung sebentar, kemudian setelah me-mandang cawan
arak di meja sekejap sahut-nya:
"Mengapa secara tiba-tiba
kau ajukan per-tanyaan ini? Apakah bibi Wan mu tidak me-nyayangi dirimu?"
"Bukan, bukan
begitu." seru bocah itu serius. "bibi Wan sangat baik kepadaku, cuma
aku tidak habis mengerti kenapa ayah ibuku belum pernah membicarakan hal itu
kepadaku? Mengapa mereka tak pernah memberitahukan kepadaku kalau mempu-nyai
bibi Wan yang begitu cantik."
Setelah berhenti sebentar,
kembali dia melanjutkan:
"Kalau dibilang bibi Wan
adalah adik kandung ayahku, padahal ayahku she Lan sedang bibi Wan she Han,
sedang suami bibi Wan she Ciu . . . "
Kakek bertelinga tunggal itu
hanya mendengarkan dengan seksama, dia lama sekali tidak memberi komentar
apa-apa.
Mendadak dengan kening
berkerut Lan See-giok berseru
"Empek, apakah kalian
pernah bersua dengan bibi Wan?"
Agak tertegun kakek bertelinga
tunggal itu mendengar pertanyaan tersebut, agaknya dia tidak menduga akan
menjumpai pertanyaan semacam itu, setelah berhasil menenangkan dia menyahut :
"Tentu saja pernah
berjumpa!"
Sambil berkata dia lantas
mereguk arak-nya setegukan, agaknya dia hendak mengguna-kan kesempatan itu
untuk menenangkan kembali hatinya.
Berapa saat kemudian ia baru
melanjut-kan, "Cuma waktu itu dia masih seorang gadis yang berusia lima
enam belas ta-hunan."
Tanpa terasa Lan See giok
terbayang kem-bali dengan bayangan tubuh enci Cian nya, dia lantas berseru.
"Putri bibi Wan sekarang
telah berusia enam belas tahun!"
Kakek bertelinga tunggal itu
segera me-ng-iakan dengan mengandung sesuatu mak-sud, serunya sambil tersenyum.
"Kalau begitu, kaupun
sebaya dengan usia enci Cu mu"
"Enci Cu? Enci Cu yang
mana?" Lan See -giok tertegun.
Kakek bertelinga tunggal itu
segera tertawa terbahak-bahak.
"Haaah . . haaah . .
haaah . . . anak bodoh.. enci Cu. adalah Siau cu putri empek!"
Merah padam selembar wajah Lan
See -giok karena jengah, buru-buru dia menundukkan kepalanya rendah-rendah.
Terdengar kakek bertelinga
tunggal itu berkata lebih lanjut dengan gembira.
"Anak dungu, mengapa
harus malu? Di kemudian hari kau akan siang malam hidup bersama dengan enci Cu
mu, berlatih ilmu silat bersama, bermain bersama ...."
"Empek, jadi kau hendak
mengajarkan Ilmu silat kepada Giok ji?" seru Lan See giok gembira.
Sekali lagi kakek itu tertawa
tergelak.
"Tentu saja!"
Dengan cepat Lan See giok
menggebrak meja keras-keras, kemudian dengan mata melotot serunya:
"Bila Giok ji telah
berhasil memiliki ilmu silat selihai empek, aku tak akan takut lagi terhadap
musuh besarku."
Paras muka kakek bertelinga
tunggal itu kembali mengejang keras, tapi ia segera men-dongakkan kepalanya
sambil tertawa terge-lak, pujinya berulang kali:
"Punya semangat, punya
semangat, empek memang paling suka dengan orang yang bersemangat seperti
kau."
Lan See giok merasa perlu
untuk memberi kabar kepada Bibi Wan nya tentang musibah yang menimpa ayahnya,
maka dia berkata kembali:
"Cuma, sekarang aku belum
bisa ikut em-pek untuk belajar silat--"
"Kenapa?" tanya
kakek bertelinga tunggal itu terkejut, senyuman yang semula me-nye-limuti wajahnya
seketika lenyap tak ber-bekas.
"Sebab Giok-ji merasa
perlu untuk mem-beri kabar dulu kepada bibi Wan atas musi-bah yang telah
menimpa ayahku---"
Belubm lagi Lan See-jgiok
menyelesaigkan kata-katanyba, sekilas perasaan kejut ber-campur girang telah
menghiasi wajah si kakek yang jelek, tapi ia cukup waspada.
Dengan cepat ujarnya lagi
dengan suara dalam:
"Yaa, betul! Kabar duka
ini memang harus cepat-cepat disampaikan kepadanya "
Setelah berhenti sebentar, ia
seperti ter-ingat akan sesuatu dengan cepat dia melirik sekejap kearah bocah
itu, lalu ujarnya lebih jauh.
"Cuma, setelah bersantap
nanti kita mesti beristirahat dulu sebelum berangkat . . . .
"Tidak usah, Giok ji
tidak lelah!" tukas Lin See giok sambil menggeleng. "Haaah . haaah .
. haaah . . anak bodoh, empek bukan kuatir kau kecapaian, tapi aku hendak
mewariskan ilmu silat dulu kepadamu. Maka selesai ber-santap nanti akan kuberi
sebutir pil penam-bah tenaga lebih dulu untukmu, kemudian kau mesti duduk
bersemedi sesaat sebelum khasiat obat itu dapat diserap oleh tubuh-mu."
Setelah tahu kalau dia hendak
diberi pela-jaran silat yang hebat, tentu saja Lan See giok tidak mengotot
lagi.
Selesai bersantap, kakek
bertelinga tunggal itu mengeluarkan sebuah buli-buli hitam dari sakunya dan
membuka penutupnya,
Bau pedas yang menusuk hidung
dengan cepat menyebar ke luar dari balik buli-buli tersebut.
Diam-diam Lan See giok
berkerut kening sesudah mengendus bau tersebut, segera pikirnya:
"Huuuh, bau obat apaan
ini?, busuknya bukan buatan ---"
Sementara ia masih termenung,
kakek bertelinga tunggal itu telah mengeluarkan se-butir pil kecil berwarna
hitam dan mengang-surkan ke hadapan bocah itu, katanya ke-mudian sambil
tersenyum ramah:
"Giok ji, telanlah pil
ini!"
Lan See-giok bernapsu untuk
cepat me-miliki ilmu silat tinggi, meski bau obat itu busuknya menusuk hidung,
ternyata diteri-ma-nya juga tanpa sangsi, tapi sebelum dite-lan ia bertanya
lagi.
"Empek tua, pil apaan
ini?"
"Obat ini merupakan pil
penguat badan penambah tenaga yang empek buat selama puluhan tahun lamanya
dengan mengumpulb-kan pelbagai bjahan obat mestigka dari se-antebro jagad.
Minum sebutir saja, tenaga dalammu akan bertambah dengan berapa tahun hasil
latihan, selain dapat mengusir hawa dingin, menawarkan racun juga mem-bersihkan
darah. pokoknya obat mestika se-macam ini amat langka di dunia dewasa
ini..."
Mendengar kalau pil itu
berkhasiat sangat banyak, tak sampai kakek bertelinga tunggal itu menyelesaikan
katanya, mendadak Lan See giok jejalkan obat itu ke dalam mulut-nya, lalu
ditelan ke dalam perut secara "paksa.."
Bau busuk yang memualkan dan
hawa panas yang menyengat badan segera menye-limuti seluruh isi perutnya, tapi
demi mem-peroleh ilmu hebat, sekalipun obat racun dia juga tak ambil perduli.
Bau busuk dari pil itu makin
mengocok isi perutnya dengan makin menghebat, dia merasa semakin mual dan
hampir saja muntah-muntah.
Tapi sambil menggertak gigi
bocah itu berusaha untuk mempertahankan diri.
Selintas senyum yang licik,
busuk dan pe-nuh perasaan bangga segera menghiasi wajah si kakek yang jelek,
tapi di mulut ia masih berkata lagi dengan lemah lembut.
"Anak Giok, jangan kau
tumpahkan, keta-huilah betapa sulit dan sengsaranya empek untuk membuat pil
tersebut, bahan-bahan obatnya langka dan susah ditemukan, kalau sudah tak
tahan, cepat berbaring atau duduk di atas pembaringan."
Sambil menggigit bibir dan
menahan napas Lan See giok manggut-manggut, ia segera naik ke atas pembaringan
dan duduk bersila di situ.
"Kau harus ingat
baik-baik," kata si kakek bertelinga tunggal lagi dengan wajah ber-sungguh
sungguh, "mulai hari ini, setiap bulan kau harus minum sebutir, kalau
tidak selain khasiat obatnya tak akan menghasil-kan apa-apa, bahkan tiga hari
setelah masa yang ditetapkan lewat, kau bisa muntah da-rah sampai mati!"
Tak terlukiskan, rasa kaget
Lan See giok setelah mendengar perkataan itu, sambil berusaha keras menekan
perasaan sakit dan menderita yang mengocok isi perutnya, dia bertanya:
"Berapa butir lagi yang
harus kutelan?"
"Dua belas butir, tepat
setahun!" jawab kakek itu sambil tertawa bangga penuh keli-cikan.
Lan See giok tidak berbicara
lagi, ia segera mengangguk.
Baginya, seoranrg lelaki
hendakz membalas dendawm, sepuluh tahurnpun belum terhitung lambat, apalagi
cuma setahun.
Sementara ingatan tersebut
melintas dalam benaknya, seluruh tubuhnya terasa remuk dan sakitnya bukan
kepalang, tulang belu-lang-nya seakan-akan hancur berantakan, peluh sebesar
kacang kedelai jatuh bercu-curan membasahi sekujur badannya.
Lan See-giok makin terkesiap,
meski ia belum pernah minum pil penambah tenaga, tapi ia percaya bau sebutir
pil mestika tak akan, sebusuk pil yang telah diminumnya barusan --
Belum habis ingatan tersebut
melintas le-wat, mendadak terdengar kakek itu ber-kata lagi. "
"Giok-ji. jangan
mencabangkan pikiran-mu, sekarang daya kerja obat itu baru me-nyebar cepat,
kerahkan tenaga dalammu untuk membawa sari obat ke seluruh bagian tu-buhmu,
kemudian seraplah khasiat obat itu dengan tenaga dalammu."
Mendengar pesan itu, buru-buru
Lan See- giok mengerahkan tenaga dalamnya untuk menghisap sari obat yang
dimaksudkan.
Dalam penderitaan yang luar
biasa, men-dadak ia merasa kepalanya amat pusing dan kelopak matanya makin lama
terasa semakin berat.
Tapi dia masih sempat
mendengar kakek itu berpesan:
" - - Kau harus tahu,
orang bilang obat yang pahit justru merupakan obat paling mujarab untuk
menyembuhkan penyakit"
Dalam keadaan setengah sadar
setengah tidak, Lan See giok masih sempat mendengar sepatah dua patah kata
lagi, tapi lambat laun kesadarannya makin pudar dan menghilang, sebelum ingatan
terakhir lenyap dari benaknya, dia seakan akan mendengar kakek bertelinga
tunggal itu tertawa terbahak- bahak dengan seramnya.
Entah berapa saat kemudian . .
.
Pelan-pelan Lan See giok sadar
kembali dari pingsannya, entah mengapa ternyata dalam mulutnya masih tersisa
sedikit bau harum yang semerbak dan menyegarkan badan.
Ia merasa amat keheranan
mengapa pil yang busuk baunya bisa berubah menjadi harum dan segar setelah
dipakai untuk me-ngatur pernapasan?
Dengan cepat dia berpaling ke
sekitar situ, namun empek bertelinga tunggal itu sudah tidak nampak lagi,
segera pikirnya:
"Heran, ke mana perginya
empek tua?"
Dengan cepat dia melompat
turun dari atas pembaringan, baru saja menggunakan sedikit tenaga, mendadak
lambungnya terasa mual sekali hingga tak tahan dia segera tumpah-tumpah.
Sebenarnya dia masih ingat
dengan pesan empeknya dan ia tak berani muntah, tapi rasa mual dalam perutnya
sungguh tak ter-tahan lagi sehingga tak tahan lagi...
"Uaakk.." . . .
gumpalan bau busuk ber-campur air berwarna hitam, segera berham-buran keluar
dari mulutnya dan berceceran di atas tanah.
Memandang gumpalan air hitam
yang ber-ceceran di tanah, tanpa terasa timbul perasa-an curiga dalam hati Lan
See giok, dengan cepat dia mencoba untuk mengatur perna-pasan, ternyata segala
sesuatunya berjalan lancar, bahkan tidak terasa adanya ham-batan apa-apa.
Maka sambil menghimpun tenaga
dalam-nya ke dalam telapak tangan kanan, dia lepaskan sebuah pukulan dahsyat ke
arah mulut lorong...
Hembusan angin puyuh yang
dahsyat di-iringi suara desingan yang memekakkan telinga langsung menggulung ke
dalam lorong itu dan membawa habis seluruh debu dan pasir yang berada di
sekitar situ.
Ketika angin pukulan itu sudah
lewat, permukaan tanah kelihatan licin dan rata, malah di balik lorong sana
kedengaran suara gemuruh yang memekakkan telinga.
Kejut dan girang Lan See giok
setelah men-yaksikan kejadian itu, ternyata tenaga dalamnya telah peroleh
kemajuan pesat, se-hingga tanpa terasa dengan perasaan.
Menyesal dan jengkel dia
memandang se-kejap lagi ke arah gumpalan air hitam yang ditumpahkan ke luar
tadi, pikirnya :
"Coba kalau air hitam itu
tidak muntah ke luar, oooh betapa beruntungnya aku, tentu tenaga dalam yang
kumiliki akan jauh lebih dahsyat . . "
Pada saat itulah . . . .
Mendadak ia mendengar suara
jebritan kaget yanjg parau dan memgekakkan telingab berkumandang datang dari
arah kuburan raja-raja dalam lorong rahasia sana, suara jeritan itu penuh
disertai perasaan ngeri.
Menyusul kemudian kedengaran
pula suara gemuruh yang dahsyat menggoncang kan seluruh permukaan bumi, banyak
lapisan langit-langit kuburan yang bergu-guran ke tanah
Lan See-giok terkejut sekali
dia merasa amat kenal dengan jeritan kaget itu, sambil tampaknya sangat mirip
dengan suara jeritan empeknya.
Maka sambil menghimpun tenaga
dalam-nya ke dalam telapak tangan, lalu mengerah-kan ilmu meringankan tubuhnya,
dia ber-gerak menuju ke dalam lorong rahasia terse-but.
Semakin ke dalam, dia
merasakan getaran pada dinding gua makin keras, suaranya juga makin lama
semakin mengerikan.
Lan See giok gugup sekali,
dengan cepat-nya dia lari menuju be depan pintu besi di muka kuburan raja-raja.
Waktu itu suara aneh tadi
sudah sirap, suasana dalam kuburan pun telah pulih kembali dalam keheningan,
pintu gerbang besi tetap tertutup sedangkan mutiara itupun masih memancarkan
sinar yang redup.
Lan See giok makin keheranan,
dia tidak habis mengerti mengapa empek bertelinga satu itu belum juga
ditemukan, terpaksa dengan suara pelan dia berseru.
"Empek tua, empek tua - -
-!"
Namun kecuali suara yang
mengandung dan memantul di empat penjuru tidak ke-de-ngaran suara lainnya.
Terpaksa Lan See giok
menghimpun tenaga dalamnya ke dalam sepasang tangan, yang satu dipakai untuk
menutupi muka, yang lain dipakai melindungi dada, dengan sorot mata yang tajam
pelan-pelan dia berjalan menuju ke depan . . .
Dia tahu ada orang bersembunyi
di dalam kuburan kuno itu, dan jelas apa yang telah dibicarakan dengan empeknya
tadipun sudah didengar oleh orang yang "bersembunyi" di balik
kegelapan tersebut.
Makin dipikirkan pemuda itu
merasa se-makin terkesiap, dengan kepandaian si em-pek bertelinga satu yang
begitu libhaypun ia tak bjerhasil menemukgan orang yang mben-yembunyikan diri
itu, bukankah hal ini menunjukkan kalau kepandaian yang dimili-ki orang itu
sudah mencapai ke tingkatan yang luar biasa ?
Sementara pelbagai ingatan
berkecamuk dalam benaknya, ia sudah tiba di kamar batu sebelah kiri, tapi apa
yang kemudian terlihat membuatnya terperanjat.
Tombol rahasia untuk membuka
pintu ger-bang kuburan raja-raja telah terbuka, sedang sesosok bayangan hitam
terkapar di atas tanah.
Ketika orang itu diperiksa
dengan seksama, ternyata dia adalah si empek bertelinga satu.
Buru dia memburu ke sisinya
dan meme-riksa keadaan empeknya, tampak empek bertelinga satu terkapar dengan
wajah pucat, wajah penuh air keringat dan napas membu-ru, dia kelihatan amat
ketakutan selain merasa terperanjat sekali.
Gejala ini menunjukkan gejala
seseorang yang terkena totokan, maka Lan See giok segera berjongkok dan menepuk
pelan di atas jalan darah Mia bun hiatnya.
Kakek bertelinga satu itu
menghembuskan napas panjang-panjang lalu mendusin.
Mendadak dia melompat dari
atas tanah sambil membentak keras, telapak tangan kanannya langsung dibabat ke
atas tubuh Lan See giok.
Dengan terperanjat bocah itu
segera men-jerit.
"Empek, aku. . ."
Telapak tangan kanannya yang
penuh dengan himpunan tenaga dalam itu segera diayunkan pula untuk menyongsong
datang-nya ancaman tersebut.
"Blaaammm. ..!" di
tengah benturan keras, hawa tajam segera memancar ke empat pen-juru, akibatnya
Lan See giok dan kakek ber-telinga tunggal itu sama-sama mundur dengan
sempoyongan dan. . .
"Duuuk!" bahu
masing-masing menumbuk di atas dinding.
Mimpipun Lan See giok tidak
menyangka kalau dia bisa menyambut serangan si empek bertelinga tunggal yang
maha dahsyat itu, cepat dia mencoba untuk mengatur napas, ternyata tidak
ditemukan sesuatu gejala yang menunjukkan ketidak beresan.
Maka ditatapnya si empek yang
sedang bersandar di atas dinding dengan wajah tertegun, kemudian teriaknya
keras-keras:
"Empek, aku yanrg datang,
aku azdalah Giok ji!"w
Dengan cepat rkakek itu
menenangkan kembali pikirannya, dalam keadaan seperti ini dia tak sempat lagi
untuk memikirkan mengapa Lan See giok bisa mendusin kem-bali, mengapa tenaga
pukulannya masih be-gitu dahsyat dan hebat walaupun sudah mi-num pil hitam
pemberiannya.
Maka dengan mata melotot
bentaknya keras-keras.
"Apakah kau yang
menyergapku barusan?"
Lan See giok agak tertegun,
kemudian menggelengkan kepalanya berulang kali.
"Bukan, bukan aku, aku
baru memburu ke mari setelah mendengar teriakanmu tadi."
Dengan cepat kakek itu
membalikkan badannya lalu mencari ke arah ruang dalam dengan gugup, sesudah itu
teriaknya gelisah:
"Mana pedang dan kotak
kecil itu?"
Sekali lagi Lan See giok
tertegun, menanti dia berpaling lagi, di jumpai batu di atas permukaan tanah
telah terbuka, dia segera menjerit kaget:
"Haaah, gelang besar
pembuka pintu besi telah rusak!"
Dengan cepat dia memburu ke
depan dengan terburu-buru.
Dalam pada itu kesadaran si
kakek bertelinga tunggalpun telah pulih kembali seperti sedia kala, sekarang
dia mengerti su-dah bahwa orang yang menotok jalan darah-nya barusan bukanlah
Lan See giok.
Diapun melihat gelang besi di
permukaan batu itu sudah dihancurkan berkeping- ke-ping oleh seorang dengan
ilmu Tay-lek-kim- kong ci, sedang rantainya juga telah pada menyusup masuk ke
dalam lubang bagian bawah.
Menyaksikan kesemuanya itu,
paras muka si kakek berubah menjadi pucat pias, sinar matanya memancarkan rasa
kaget dan cemas peluh sebesar kacang kedelai pun jatuh ber-cucuran dengan
deras.
"Empek, kunci yang
mengendalikan pintu gerbang menuju ke makam raja-raja telah putus, sejak kini
tiada orang yang bisa me-masuki makam tersebut lagi, kata Lan See giok secara
tiba-tiba dengan gelisah.
Kakek itu tidak menjawab, dia
hanya berdi-ri termangu-mangu, dia tahu hari ini telah berjumpa dengan seorang
jago lihay.
Setelah menutup kembali
lapisan batu itu, sambil memandang si kakek dengan kehe-ranan Lan See giok
bertanya.
"Empek tua, sebenarnya
apa yang telah terjadi?"
Kakek bertelinga tunggal itu
hanya me-na-tap wajah Lan See giok lekat-lekat, sampai lama sekali tak
mengucapkan se-patah kata-pun.
Melihat empeknya tidak
berbicara Lan See giok terpaksa harus berkata lagi:
"Waktu Giok ji bangun,
tiba-tiba kudengar empek berteriak, menyusul kemudian terde-ngar suara gemuruh
nyaring, buru-buru Giok ji menyusul ke mari, ternyata jalan darah empek sudah
ditotok orang."
Sementara itu paras muka si
kakek ber-telinga tunggal telah pulih kembali seperti sedia kala, meski dia
masih kesal tapi ia ma-sih mempunyai pengharapan, maka kata-nya setelah
menghela napas sedih.
"Aaai, tampaknya kehendak
takdirlah yang menentukan segala sesuatunya, sungguh tak nyana kedatangan empek
terlambat selang-kah sehingga pedang Jit hoa gwat hui tong kong kiam serta
kedua macam kotak kecil itu keburu dicuri orang."
Lan See giok merasa terkejut
sekali set-elah mendengar perkataan itu, buru-buru tanya-nya dengan gelisah.
"Empek, siapakah orang
itu?"
"Entahlah, waktu itu
empek sedang berse-medi, mendadak kudengar suara gemerin-cing, seperti pintu
besi makam raja-raja dibuka orang. aku jadi curiga dan memburu ke situ.
Kujumpai pintu makam sudah
terbuka se-dang kedua bilah pedang dan kotak kecil itu sudah terletak di atas
tanah, empek menjadi keheranan, baru saja akan masuk ke dalam pintu, tahu-tahu
jalan darahku telah ditotok orang."
Lan see giok tidak berpikir
lebbih jauh, ia mejnganggap kesemuganya itu benar,b maka tanyanya lagi dengan
keheranan:
"Lantas di manakah orang
itu sekarang?" Ketika mendengar pertanyaan itu, mencorong sinar tajam dari
balik mata kakek bertelinga tunggal itu, dia seperti teringat akan sesuatu,
mendadak ditariknya tangan Lan See giok dan diajak berlarian menuju ke luar
makam tersebut. "Cepat lari!"
Lan See giok dibuat
kebingungan oleh tin-dakan yang amat tiba-tiba itu, tapi me-lihat kegugupan
kakek itu, dia tahu kalau keadaan pasti gawat, maka tanpa komentar, dia mengikuti
di belakang nya.
Ilmu meringankan tubuhnya
memang lihay tapi sekarang anak itu merasa ilmunya se-makin lihay lagi,
kenyataan tersebut mem-buatnya semakin berterima kasih atas pem-berian pil bau
dan hitam dari si empek.
Setibanya di ruang tengah, kakek
itu sama sekali tidak memberi kesempatan kepada Lan See giok untuk berhenti,
tanpa berhenti dia menarik Lan See giok menuju ke luar makam.
Dalam waktu singkat mereka
sudah tiba di luar makam, waktu itu matahari sedang bersinar terang, pepohonan
siong melambai lambai terhembus angin.
Kakek bertelinga tunggal itu
tidak menghi-raukan keadaan alam di sekitar sana, dengan cepat dia menghentikan
gerakan tubuhnya sambil bertanya :
"Di manakah letak kunci
pengatur pintu masuk ke dalam makam?"
"Di bawah meja altar dari
batu itu," jawab si bocah gugup.
Buru-buru mereka berdua
menyelinap ke depan makam dan tiba di depan altar yang dimaksudkan.
Lan See giok segera
membungkukkan badan menyingkap rerumputan di balik ku-buran dan membuka sebuah
batu, di bawah batu itu terdapat sebuah gelang besi kecil.
Kakek itu nampak terkejut
bercampur gi-rang, dengan mata berkedip dia mendorong Lan See giok ke samping.
Karena tak diduga akan
didorong, Lan See-giok jatuh terduduk di atas tanah, se-mentara sepasang
matanya terbelalak lebar dengan wajah tidak habis mengerti.
Dengan sikap tergesa-gesa,
kakek itu segera menarik gelang besi itu keras-keras. Suara gemerincing
terdengar, pintu bbela-kang makam jkosong itu segegra menutup ra-pbat.
Tiba-tiba kakek itu membentak
keras, tela-pak tangan kirinya secepat kilat membabat rantai besi yang sedang
dicengkeram dengan tangan kirinya itu--
Tak terlukiskan rasa
terperanjat Lan See giok menyaksikan kejadian itu, segera te-riak-nya
terperanjat.
"Empek, jangan----"
Belum habis dia berkata,
rantai di bawah gelang besi itu sudah terpapas kutung.
"Blaaammm!"
Pintu belakang makam segera
merapat keras-keras, menyusul kemudian terdengar suara gemuruh dan goncangan
yang amat dahsyat----
ooo0ooo
BAB 4
PERISTIWA DI TEPI TELAGA
KAKEK bertelinga tunggal itu
segera mem-buang gelang besi di tangannya dan men-do-ngakkan kepalanya sambil
tertawa terba-hak bahak.
Suara tertawanya keras dan
mengerikan, membuat siapa pun yang mendengar merasakan bulu kuduknya pada
bangun ber-diri.
Lan See giok merasa terkejut
sampai duduk termangu mangu, untuk sesaat lama-nya dia sampai tak sanggup
mengucapkan sepatah katapun.
Menanti kakek itu telah
berhenti tertawa, ia baru berseru agak tergagap:
"Empek, kau. . . ."
Sebelum habis Lan See giok
berkata, si kakek bertelinga tunggal itu telah tertawa tergelak kembali.
"Haaah . . . haaah . . .
haaah . -aku hendak menggunakan cara ini untuk menunjukkan betapa lihainya aku
Oh Tin san!"
Sekarang Lan See giok baru
mengerti, ru-panya kakek itu bertujuan untuk merusak pintu masuk makam raja
tersebut, agar orang yang mencuri pedang tewas terkurung di dalam makam
tersebut
Berpikir sampair di situ, dia
lzantas berseru :w
"Tapi, bukankrah di dalam
makam terdapat pula tombol rahasia untuk membuka pintu tersebut?"
"Haaah--- haaah---
haaah... bocah bodoh, jika tombol di depan sudah putus, yang di dalam pun ikut
rusak, sebab rantai itu kan saling berhubungan satu sama lain nya." sela
Oh Tin san sambil tertawa seram.
Lan See giok menjadi gugup,
mendadak sambil melompat bangun serunya cemas:
"Tapi empek. . .
pakaianku masih berada dalam ruangan dalam!"
"Aaah, apalah artinya
pakaian? Biar lain kali enci Cu mu yang buatkan pakaian baru buat dirimu "
"Tapi di sana masih ada
pula senjata raha-sia andalan ayahku Khong sim liang gin tan, semuanya berada
dalam buntalan."
"Empek akan mewariskan
segenap kepan-daianku kepadamu, kepandaian empek jus-tru jauh lebih hebat
daripada kepandaian peluru perak ayahmu itu, sudahlah, kau tak usah memikirkan
soal itu lagi."
Selesai berkata dia lantas
menarik tangan Lan See giok sambil menambahkan:
"Hayo berangkat, kita
bersama sama men-cari bibi Wan mu lebih dulu." Dia lantas menarik tangan
bocah itu berlalu dari sana.
Walaupun Lan See giok merasa
tak senang hati, tapi setelah pintu makam tertutup, -dia tahu gelisahpun
percuma, terpaksa sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya ia mengikuti di
samping kakek tersebut.
Dalam hati kecilnya dia yakin
kalau orang mencuri pedang dan kotak kecil itu sudah berhasil ke luar dari
makam, itu berarti tin-dakan yang dilakukan empek bertelinga tunggal hanya
sia-sia belaka.
Sebaliknya berbeda dengan
jalan pemikiran Oh Tin san. dia mengira pencuri itu masih bersembunyi dalam
kuburan dan mencuri dengar pembicaraan Lan See giok, ter-utama tentang jejak
kotak kecil tersebut.
Begitulah, setelah ke luar
dari kompleks makam raja-raja, mereka lantas menelusuri jalan-jalan kecil
menuju ke depan.
Sepanjang jalan, Lan See giok
memper-hati-kan sekejap pemandangan di sekitar kom-pleks makam itu dengan
pandangan sayu, ia merasa pemandangan di sekeliling tempat itu seakan akan
telah berubah, berubah menjadi lebih mengenaskan dari pada kematian ibunya
dulu.
Sekarang, ayahnya yang
dicintai pun telah tiada, suasana riang gembira yang masih mencekam perasaannya
kemarin, kini telah berubah menjadi kesedihan yang luar biasa.
Teringat akan kematian
ayahnya, diapun teringat pula pada masalah siapakah musuh besar pembunuh
ayahnya . . .
Mendadak satu ingatan melintas
dalam benaknya, dengan cepat tanyanya: "Empek, menurut pendapatmu,
mungkinkah orang yang mencuri pedang itu adalah orang yang telah membunuh
ayahku?"
Agaknya Oh Tin san sendiripun
sedang membayangkan kembali peristiwa yang baru dialaminya, mendengar
pertanyaan tersebut ia ragu sejenak, kemudian sahutnya.
"Yaa, kemungkinan saja
benar, mungkin memang dia!"
Mendengar itu Lan See giok
segera berke-rut kening, pikirnya.
"Andaikata orang yang
membunuh ayah adalah orang yang mencuri pedang, berarti sekalipun, kupelajari
segenap ilmu silat yang dimiliki empek juga percuma, toh empek sendiripun bukan
tandingannya. . .?" Berpikir sampai di situ, dia lantas ber-tekad untuk
mencari tokoh persilatan lain untuk belajar silat darinya- - -
Sementara dia masih termenung,
menda-dak terdengar Oh Tin san menegur dengan suara dalam:
"Giok ji, apa yang sedang
kau pikirkan?"
"Oooh- - - aku sedang
berpikir, dengan kepandaian silat empek yang begitu lihai pun, kau tidak merasa
ada orang menguntit di belakangmu, hal ini menunjukkan kalau kepandaian silat
yang dimiliki orang itu luar biasa sekali!"
Merah padam selembar wajah Oh
Tin san mendengar ucapan tersebut, ia segera ter-tawa dingin, lalu katanya.
"Hmmm, kalau kerjanya
hanya mabin kun-tit, maijn sergap secarag pengecut, meskbi ber-ilmu tinggi juga
tidak terhitung seorang eng-hiong"
Kemudian sambil mendengus
marah dia percepat gerakan tubuhnya menuruni bukit tersebut.
Lan See giok tahu kalau
empeknya lagi marah, maka diapun tak berani banyak ber-bicara lagi, sambil
memperketat larinya dia menyusul ke sisi tubuh kakek itu.
Setelah turun dari bukit,
sebuah sungai kecil terbentang di depan mata. di depan sungai merupakan sebuah
kompleks tanah pekuburan yang telah terbengkalai.
Ketika tiba di tepi sungai, Oh
Tin san sama sekali tidak berhenti, melejit ke udara untuk menyeberanginya.
Terpaksa Lan See-giok ikut
mengenjotkan badannya dan menyusul pula dari belakang...
Tiba-tiba mencorong sinar
tajam dari balik mata Oh Tin san, dia seperti teringat akan sesuatu, mendadak
bentaknya keras-keras:
"Giok -ji,
berhenti!"
Seraya berseru keras, dia
segera meng-hen-tikan gerakan tubuhnya lebih dahulu.
Lan See-giok segera
menghentikan pula gerakan tubuhnya, tapi ia sudah terlanjur maju delapan depa
dari pada empeknya.
Dengan kening berkerut Oh Tin
San segera mengawasi wajah Lan See giok yang putih segar itu lekat-lekat,
sementara pe-rasaan tertegun bercampur keheranan menyelimuti wajahnya yang
jelek.
Dihampirinya bocah itu dengan
langkah le-bar, kemudian diamatinya jalan darah Sim keng hiat diantara alis
mata Lan See giok lekat-lekat, sampai lama kemudian ia baru bertanya
"Giok ji, bagaimana
rasamu sekarang?"
Ditatap sedemikian tajam oleh
empek nya, Lan See giok merasa jantungnya ber-debar keras, dia mengira empek
bertelinga tunggal ini sudah tahu kalau obat busuk yang dimi-numnya telah
muntah ke luar, maka dengan agak takut-takut sahutnya
"Sekarang aku merasa baik
sekali empek, benar-benar sangat baik, bahkan tenaga dalamku telah memperoleh
kemajuan yang cukup pesat".
Sekali lagi Oh Tin sun
mengamati kening Lan See giok dengan mata sesatnya, betul juga ia tidak
menjumpai gejala keracunan diabntara wajah bocjah tersebut.
Mgalah sebaliknyab dia nampak
lebih cerah lebih bersemangat dan matanya lebih tajam, bahkan ilmu meringankan
tubuhnya tidak kalah kalau dibandingkan dengan kemam-puan sendiri.
Itu berarti di balik
kesemuanya itu pasti ada hal-hal yang luar biasa sekali.
Maka sambil manggut-manggut
pura-pura menaruh perhatian khusus. dia menuding ke arah sebuah bongpay (batu
nisan) yang ter-geletak tak jauh dari situ, lalu katanya dengan serius:
"Coba bacoklah batu nisan
ini!"
Lan See giok merasa amat
tegang, dia kuatir empeknya merasa tidak puas dengan hasil yang diperolehnya,
maka setelah mengi-akan, sambil menghimpun tenaga sebesar sepuluh bagian,
pelan-pelan dia berjalan mendekati batu nisan tersebut.
Oh Tin san makin tercengang
lagi ketika melihat jalan darah Thian teng hiat di tubuh Lan See giok tidak
menunjukkan gejala hijau kehitam hitaman sewaktu menyalurkan tenaga, ia tidak
habis mengerti apa gerangan yang sebenarnya telah terjadi.
Dalam pada itu, Lan See giok
sudah ber-henti pada tujuh langkah di depan batu ni-san tersebut.
Sambil mengawasi batu nisan
itu lekat-lekat, tenaga dalam yang dihimpun ke dalam telapak tangan kanannya
makin diperkuat, ia berharap batu nisan tersebut bisa di-hajarnya sampai hancur
menjadi dua bagian.
Maka diiringi bentakan
nyaring, telapak tangan kanannya sekuat tenaga diayunkan ke bawah--
"Blaaammm.. ."
diantara ledakan keras yang terjadi, asap hijau mengepul diantara percikan batu
dan pasir.
Lan See giok menjadi tertegun,
dia tak -tahu bagaimana caranya untuk menarik kembali telapak tangan kanannya
yang telah dilon-tarkan ke depan tersebut. . .
Paras muka Oh Tin san kontan
saja berubah hebat, mimpipun dia tak menyangka kalau Lan See giok memiliki
tenaga dalam yang begitu sempurna, bahkan pengaruh racun keji Cui bean hwe khi
ngo tok wan (pil panca bisa pembawa hawa ngantuk dan bodoh) kehilangan
kemampuannya.
Setelah berhasil menenangkan
hatinya, Lan See giok merasa terkejut bercampur gembira, mendadak dia
membalikkan badan nya dan menubruk ke arah Oh Tin san sam-bil bersorak sorai.
Melihat itu buru-buru Oh Tin
san menun-jukkan sikap senyum dan ramahnya, bahkan menyambut kedatrangan bocah
ituz dengan uluran wtangannya.
Begritu menubruk masuk ke
dalam pelukan kakek itu, Lan See giok segera berteriak me-manggil nama empeknya
dengan penuh ke-gembiraan.
"Empek--- oooh,
empek---"
Oh Tin san pura-pura turut
tertawa gem-bira, katanya:
"Giok ji, bakatmu bagus,
tulangmu baik asal mau belajar dengan bersungguh hati, niscaya segenap
kepandaian silat empek yang lihai dapat kau pelajari semua.
Berbicara sampai di situ,
tangannya meraba bahu, kepala dan punggung bocah itu, kemudian sambil tertawa
dia baru ber-tanya.
"Giok ji, apakah tenaga pukulanmu
dulu dapat menghancurkan batu nisan ini?"
Sambil mendongakkan kepalanya
yang basah karena air mata kegirangan, Lan See giok menggelengkan kepalanya
berulang kali.
"Tidak, dulu aku hanya
sanggup menghantam, batu nisan itu hingga terbelah menjadi dua, tapi selamanya
tak pernah me-nimbulkan ledakan yang menghancur lumat kan batu nisan
tersebut".
Oh Tin san makin berkerut
kening semen-tara dalam hatinya merasa terkejut, dia lantas menduga Lan See
giok pasti sudah menjumpai sesuatu penemuan aneh ketika ia meninggalkan nya
seorang diri tadi.
Maka diapun kembali tertawa
terbahak ba-hak pura-pura gembira.
Belum sempat dia bertanya
lagi, tiba-tiba berkumandang suara rintihan penuh rasa kesakitan dari sisi
tempat itu.
Lan See giok segera menangkap
suara itu, dengan wajah terkejut bercampur heran ta-nyanya, kepada Oh Tin san:
"Empek, suara apakah
itu?"
Oh Tin san tidak menjawab
pertanyaan itu, hanya sepasang matanya yang tajam mem-perhatikan sekeliling
tanah pekuburan itu dengan seksama dan amat berhati-hati.
Sekali lagi terdengar suara
rintihan, kali ini suara tersebut kedengaran berasal dari balik sebuah kuburan
bobrok.
Sambil membentak nyaring Lan
See giok segera menubruk ke arah mana datangnya suara tersebut.
Begitu sampai di tempat
tujuan, paras mu-kanya Segera berubah hebat, ia tak me-n-yangka kalau di dalam
kuburan yang ter-bengkalai dan peti mati, yang hancur bakal ditemukan sesosok
tubuh manusia yang pe-nuh bermandikan darah segar.
Orang Itu mengenakan pakaian
kasar dengan jenggot pendek di bawah dagunya, muka ceking yang berbentuk segi
tiga pucat pias tak nampak warna darah, terutama sekali atas ubun ubunnya yang
tumbuh se-buah bisul besar, membuat tampangnya ke-lihatan aneh sekali.
(Bersambung ke Bagian 05)