Begitu ucapan tersebut
diutarakan, seruan kaget kembali berkumandang dari atas ka-pal-kapal perang
itu, beratus pasang sinar mata pun serentak dialihkan bersama ke wajah Hu-yong
siancu.
Sinar mata itu penuh diliputi
perasaan bimbang den tercengang, seandainya per-kataan ini bukan diucapkan oleh
tongcu bagian hukuman perkumpulan mereka sendiri niscaya tak ada yang percaya
kalau nyonya muda yang cantik jelita itu tak lain adalah Hu-yong siancu yang
sudah mulai tersohor semenjak dua puluhan tahun berselang.
Dengan sorot mata berkilat
bagaikan sinar pedang, sekali lagi Hu-yong siancu memben-tak keras.
"Bajingan tengik yang tak
tahu malu, tak usah banyak berbicara lagi, segera kau serahkan jiwa
anjingmu!"
Biarpun tenang di luar,
sesungguhnya Pek In hong ngeri di dalam hati, biar begitu ia toh memaksakan
diri juga untuk tertawa terba-hak bahak sambil mengejek.
"Han Sin Wan kau jangan
lupa, tempo hari aku Pek In hong Cuma datang terlambat se-langkah ketimbang Ciu
Ki san, kalau tidak saat inipun kita sama saja merupakan sepasang suami istri
yang berbahagia----haaahhh-- haaahhh---"
Merah padam selembar wajah
Hu-yong siancu, saking gusarnya dia segera mem-bentak keras.
"Bajingan tengik yang tak
tahu malu, serahkan jiwa badakmu!""
Lan See giok turut merasa naik
darah karena kecabulan musuhnya itu, diam-diam ia menghimpun tenaga dalamnya ke
dalam tangan kanan dan siap melepaskan sebuah sentilan maut- --
Untung Siau cian bermata jeli,
dengan ce-pat dia cengkeram lengan kanan pemuda itu sambil mencegah.
"Bila kau berbuat begini,
betul Pek In hong bakal mampus, tapi belum bisa me-nebus se-mua dosanya,
biarlah ibuku yang menjagal bajingan keparat ini sehingga ibu tak akan menyesal
lagi di kemudian hari"
Lan See giok segera menyadari
kesalahan-nya, hingga dia mengangguk berulang kali.
Menggunakan kesempatan
tersebut bisik-nya kepada nona itu.
"Enci Cian, siapa sih Ciu
Ki san yang di maksudkan oleh Pek In hong itu . . . ?"
"Dia adalah ayahku . ,
." sahut Siau cian sedih.
Mendadak dari atas perahu sebelah
depan kedengaran Hu-yong siancu membentak lagi.
"Pek In hong, kejahatanmu
sudah bertum-puk-tumpuk, lebih baik serahkan saja batok kepala anjingmu. dari
pada membiarkan orang lain yang tak bersalah menjadi setan pengganti
nyawamu".
Tatkala semua orang berpaling
lagi ke muka, terlihat Pek In hong sedang mem-beri perintah kepada lelaki
setengah umur ber-baju kuning itu agar turun lebih dulu ke arena untuk
bertarung melawan Hu-yong siancu.
Lelaki setengah umur berbaju
kuning itu tak berani melanggar perintah dari Pek In hong. meski ia tahu
berbuat demikian sama artinya dengan mencari kematian. toh mau tak mau terpaksa
ia mesti maju juga ke dalam arena.
Cay soat tidak ambil diam,
sudah lama ia menunggu kesempatan untuk mendemon-strasikan kebolehannya,
serentak bentaknya keras.
"Bibi. silahkan mundur,
biar Soat ji yang menghabisi nyawa bajingan ini!"
Sambil berkata tubuhnya sudah
melejit setinggi beberapa kaki dan langsung me-ner-jang ke muka.
Sebenarnya tujuan Pek In hong
memerin-tahkan si setan gantung kuning Ciang In sian maju ke arena adalah
mencoba dulu kemam-puan yang dimiliki Hu-yong siancu, dengan mengetahui data
kemampuan lawan niscaya ia bisa membuat perhitungan dalam per-ta-rungannya
nanti.
Siapa tahu seorang gadis
berbaju merah telah menghadang niatnya itu, hal tersebut membuatnya mendongkol
sekali.
Sementara itu Cay soat sudah
mencapai ke tengah arena persis disaat musuhnya si se-tan gantung kuning baru
mencapai arena kontan saja ia membentak sambil me-nerjang ke depan, pedang Jit
hoa kiam nya langsung ditusukkan ke dada lawan.
Setan gantung kuning cukup
licik dan ja-hat, tapi ia tak menyangka kalau gadis itu akan menusuknya sebelum
dia berhasil ber-diri tegak, dalam keadaan begini, ia menjadi nekad.
Sambil membentak keras cambuk
beran-tainya membuat satu lingkaran bunga untuk melindungi badan, kemudian
tubuh berikut senjata bersama - sama menggulung nona tersebut.
Pertarungan macam ini pada
hakekatnya merupakan suatu pertarungan beradu jiwa melihat hal ini Hu-yong
siancu segera menje-rit kaget.
"Hati- hati anak
soat!"
Pek In-hong sendiri malah
segera meng-ejek sambil tertawa terbahak bahak.
Haaahhh....Haaahhh......haaahhh
Ciang In-sian, dalam keadaan seperti ini pun kau masih ditemani mati oleh
seorang gadis yang begitu cantik, aku lihat kau sudah se-pantas-nya merasa
puas......"
Kemudian sekali lagi ia
tertawa terbahak bahak.
Agaknya Cay soat hendak meniru
cara Siau cian tadi yang mana mencari kemenangan dengan menyerempet bahaya.
Tiba-tiba nona itu membentak
keras. tubuhnya melejit setinggi satu kaki ping-gangnya berputar dan kakinya
berubah jadi di atas, sementara hawa murninya disalur-kan ke dalam tubuh
pedang.
Cahaya tajam segera memancar
berapa depa lebih panjang dari pedang Jit boa kiam itu sendiri,
"Bajingan tengik.
serahkan nyawamu ...." bentaknya lagi dengan suara keras.
Pedangnya secepat kilat
meluncur ke bawah menembusi bayangan, cambuk lawan yang membukit.
Percikan bunga api segera
memancar ke empat penjuru menyusul bergemanya suara dentingan keras, jeritan ngeri
yang menya-yatkan hati bergema pula menyusul kemu-dian darah memercik ke empat
penjuru.
Batok kepala si setan gantung
kuning telah tersambar pedang lawan sehingga terlepas dari tubuhnya dan
menggelinding sejauh berapa kaki, tak ampun habis sudah riwayat si setan
gantung kuning.
Cay soat gembira sekali atas
keberhasilan serangannya itu. menggunakan kesempatan disaat tenaga murninya
belum habis, dia berputar satu lingkaran di tengah udara lalu melayang kembali
ke samping bibinya .....
Kini, Pek In hong berdiri
tertegun, begitu pula dengan segenap jago yang berada di puluhan buah kapal
perang itu.
Di tengah keheningan yang
kemudian mencekam seluruh jagad. tiba-tiba Hu-yong siancu membentak lagi.
"Bajingan cabul nyawamu
begitu kecil, ji-wamu begitu pengecut, tidakkah kau kuatir ditertawakan oleh
semua anak buahmu?"
Di hari-hari biasa Pek In hong
selalu di sanjung dan dihormati orang sebagai pemim-pin yang disegani. tak
heran kalau ejekan mana sangat menyakitkan hatinya.
Keningnya kontan saja berkerut,
lalu de-ngan penuh amarah bentaknya keras- keras'
"Budak rendah Han Sin
wan, kau anggap aku Pak In hong benar-benar takut kepada mu? Berulang kali kau
memanasi hatiku, kau anggap aku tak bisa melupakan hubungan mesra kita dimasa
lampau."
Perkataan ini semakin membuat
gusarnya Hu-yong siancu. sekujur tubuhnya sampai gemetar keras karena marahnya,
ia menghardik keras:
"Tutup bacotmu yang bau,
bajingan tengik
Semakin marah Hu-yong siancu,
semakin gembira Pak in hong, kembali ia mendongak kan kepala sambil tertawa
terbahak-bahak:
"Haaahhh.. haaahhh-
haaahhh.. Han Sin wan apabila aku takut kepadamu, sejak tadi sudah kabur dengan
menceburkan diri ke dalam air, biarpun kau akan maju bersama sama kedua orang
gadis berbaju merah itu, aku Pak Im hong tak bakal menjadi jeri."
Hu-yong siancu sangat membenci
kepada Pak lm hong, din tak berani mendekatinya, maka kepada Si Cay soat yang
berada di sisi-nya dia berseru cemas:
"Soat-ji, mundurlah kau
dari sini!"
Merasa dipanggil sebagai
`Soat-ji" Si Cay seat menjadi girang setengah mati, karena nya satu
ingatan segera melintas di dalam benaknya, dia kuatir Hu-yong siancu yang gusar
kelewat batas malah kurang waspada dalam pertarungan nanti, maka dengan pe-nuh
rasa kuatir bisiknya:
"Bibi. kau harus berhati
, hati, jangan sampai terkena tipu muslihat bajingan terse-but!"
Selesai berkata-dia baru
melompat kembali ke sisi tubuh See giok dan Siau cian.
Melihat Si Cay soat sudah
mengundurkan diri. Hu-yong siancu baru berteriak lagi de-ngan suara keras.
"Kini nona Si sudah
mengundurkan diri, bajingan tengik, apa lagi yang hendak kau katakan sekarang?
Ketika Pek Im hong melihat Si
Cay soat te-lah kembali ke perahu besar, dia menjadi le-bih lega, sambil
mendongakkan kepala nya dan tertawa terbahak bahak serunya.
"Budak sialan, berdiri
yang baik, aku orang she Pek segera datang !"
Bersamaan dengan selesainya
perkataan itu. tubuhnya segera melejit ke tengah udara, diantara ujung baju
yang berkibar terhembus angin, dengan jurus "naga perak masuk
samudra" ia melayang turun di atas geladak perahu itu.
Tempik sorak yang gegap
gempita kembali berkumandang dari puluhan perahu besar yang mengelilingi tempat
itu.
Setelah berdiri tegak di
geladak, Pek Im hong pun meloloskan sebilah pedang dari pinggangnya, kemudian
sambil menengok ke arah Hu-yong siancu yang bermuka hijau membesi, dia berseru
sambil tertawa seram.
"Aku tahu, Pedang Hu-yong
merupakan sebilah pedang mestika yang tajam sekali, tapi pedangku ini, tak akan
kalah tajamnya daripada pedangmu!"
Dalam keadaan begini, kalau
bisa Hu-yong siancu ingin mengayunkan pedangnya dan membacok bajingan itu
sampai mampus, maka tanpa berpikir panjang dia menyahut.
""Aku bertekad tak
akan menggunakan pedangku ini untuk mengutungi senjatamu!"
Pek Im hong berlagak seperti
tidak percaya. sambil tertawa tergelak kembali jengeknya. "Bagaimana kalau
pedangku terpapas kutung oleh senjatamu itu ...?"
"Aku Han Sin wan tentu
akan mebnggorok leherkuj sendiri." jawagb. Hu-yong sianbcu de-ngan alis
mata berkernyit.
Lan See giok yang ikut mendengarkan
pembicaraan tersebut, kontan saja mendepak depakkan kakinya berulang kali
seraya ber-seru:
"Aai. bibi terjebak juga
oleh perangkap licik bajingan tengik itu, dengan demikian biar-pun bibi
mempunyai pedang yang tajam, ia malah dibatasi sekali ruang geraknya!"
Belum habis dia berguman. Pek
Im hong dengan kening berkerut telah berteriak gem-bira, pedangnya segera
diayun sambil tubuhnya menubruk ke muka. dengan jurus "menguakkan rumput
mencari ular" dia ba-bat pinggang Hu-yong-siancu
Melihat kejadian ini, Hu-yong
siancu baru tahu bahwa dirinya tertipu. andaikata ia ti-dak terlanjur
mengucapkan kata - kata tadi, niscaya dia mampu mendesak mundur pedang bajingan
tersebut dengan jurus "ja-rum emas penenang samudra" kemudian dengan
melepaskan serangan "Ular putih memperlihatkan lidah", ia akan bisa
menyele-saikan nyawa si bajingan tersebut.
Kini sambil membentak keras
terpaksa ia mesti menyingkir ke samping, kemudian de-ngan jurus
"Menyingkap liu memetik bunga" menutuk wajah musuh,
Pek Im-hong amat gembira
melihat keja-dian ini, biarpun sudah banyak tahun ia tak bersua dengan musuhnya
ini, ternyata kepesatan ilmu pedang yang dicapai perem-puan itu belum mencapai
apa yang diba-yangkan semula.
Berpendapat begini
semangatnya. segera berkobar, secara beruntun ia lancarkan tiga buah serangan
berantai.
Hu-yong siancu sendiri tetap
tidak me-mandang sebelah matapun terhadap musuh-nya, kendatipun ruang geraknya
sudah di batasi sekali, dia membentak keras kemudian berkelit ke samping,
setelah itu serangkaian serangan gencar mendesak Pak lm-hong ha-rus mundur ke
belakang.
Pada saat itulah ....
Serentetan suara tambur yang
keras berkumandang datang dari arah utara, suaranya keras dan sangat memekikkan
telinga.
Menyusul suara tambur
tersebutb, seluruh permujkaan telaga dirgamaikan oleh subara te-riakan yang
begitu keras hingga mem-bum-bung ke angkasa.
Lan See giok, Si Cay soat dan
siau Cian serentak berpaling, ternyata di luar kepungan puluhan perahu itu
kembali muncul puluhan buah perahu besar lagi.
Sedangkan suara tambur yang
keras berasal dari atas sebuah perahu besar, dima-na suasana terang benderang
bermandikan cahaya, dari jauh memandang perahu itu nampak sangat megah dan
mewah, persis seperti perahu seorang pembesar.
Berkilat sepasang mata Lan See
giok, sebab melihat perahu itu, hatinya berdebar dan bibirnya terkatup kencang,
dia yakin musuh besar pembunuh ayahnya Toan Ki tin pasti akan munculkan diri---
Sementara itu dipihak lain
Pek-Im-hong sedang membentak keras sambil melompat mundur dari arena pertarungan,
kemudian teriaknya lantang.
"Pemimpin kami telah
datang, jika ada urusan boleh dibicarakan langsung dengan pemimpin kami"
Kedatanganku malam ini adalah
untuk mencarimu, urusan ini sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan Toan
Ki-tin!" jawab Hu-yong siancu amat gusar.
Mendengar jawaban ini Pak
Im-hong terke-siap, ia sudah semakin merasa kalau per-mainan pedang Hu-yong
siancu makin lama semakin bertambah hebat, biarpun cuma tiga jurus serangan
namun mampu mendesak nya sampai kalang kabut, ia sadar bila perta-rungan ini
berlangsung lebih lanjut niscaya selembar jiwanya akan terancam bahaya
maut.."..
Mendengar kalau kehadiran,
pemimpin mereka sama sekali tak ada hubungan nya dengan Hu-yong siancu,
bajingan ini menjadi semakin ketakutan, tanpa terasa dia melirik sekejap ke
arah permukaan air yang berada di belakang perahu.
Melihat sikap lawan, sambil
tertawa dingin Hu-yong siancu segera mengejek:
"Pek In hong, apakah kau
ingin me-lang-sungkan pertarungan di dalam air?"
Pak lm-hong cukup mengerti,
sepasang pahlawan dalam air yang selama ini merajai dua telaga pun masih bukan
tanding-an Hu-yong siancu di air, maka jika dia berharap dapat meraih
kemenangan dalam air, tinda-kan mana tak lebih hanya tindakan untuk mencari
kematian bagi diri sendiri.
Maka dia pun merlirik sekejap
kzearah perahu mewwah yang bergerrak semakin mendekat itu, tiba-tiba ia menjadi
nekad dan memutuskan untuk beradu jiwa saja, siapa tahu dengan perbuatan
nekadnya ini, jiwanya bisa diperpanjang hingga tibanya pemimpin mereka?
Berpikir sampai di situ,
diapun membentak keras sambil menerjang lagi kearah Hu-yong siancu, pergelangan
tangan kanannya di pu-tar kencang, secara beruntun dia lancar-kan tiga buah
serangan yang mengancam alis mata, lutut dan pusar lawan.
Menjumpai musuhnya sudah
menyerang secara nekad. Hu-yong siancu kuatir keha-diran Toan Ki tin nanti
malah akan meng-ganggu pertarungannya maka satu ingatan melintas pula di dalam
benaknya.
Diiringi suara bentakan
nyaring, tubuh nya berputar secepat kilat lalu maju ke muka ba-gaikan segulung
asap, dalam berapa kali kelebatan saja pedangnya memancarkan ca-haya tajam yang
berkilauan bagaikan seekor naga sakti langsung menggulung ke tubuh Pek In-hong,
Terkesiap sekali Pek In-hong
menghadapi serangan tersebut, saking kagetnya ia sampai berteriak-teriak keras,
pedangnya di putar semrawut untuk menyelamatkan diri, ia ber-harap pedang itu
dapat dikutungi oleh musuh, dengan begini ia pasti punya alasan untuk mendesak
Hu-yong siancu agar bunuh diri.
Berhasil dengan serangannya.
Hu-yong siancu mendesak lebih jauh, tiba-tiba per-mainan pedangnya berubah,
diantara kilat-an cahaya pedang yang menyilaukan mata, se-cepat kilat ia
melepaskan serangkaian sera-ngan berantai.
Pada saat itu pula dari atas
perahu mewah kedengaran seseorang berteriak keras dengan penuh rasa kuatir,
"Han lihiap, harap
tahan!"
Sayang sekali keadaan sudah
terlambat.
Batok kepala Pek In hong
tahu-tahu sudah mencelat ke tengah udara termakan oleh se-rangkaian serangan
berantai Hu-yong siancu yang gencar dan dahsyat itu.
Sedangkan mayat Pek In hong
yang tanpa kepala itu sempat berputar putar berapa kali sebelum akhirnya roboh,
terjengkang ke atas geladak dengan darah segar me-nyembur ke luar seperti
pancuran.....
Lan See giok tertegun. dia tak
menyangka kalau bibinya dapat mempergunakan jurus guntur langit meledak
hebat" dari ilmu pedang Tong-sim kiam hoat untuk menghabisi nyawa Pek In
hong.
Tapi teriakan keras yang penuh
kegelisa-han tadi sempat menarik perhatian-nya, suara tersebut sangat dikenal
olehnya hingga tanpa terasa gemetar keras sekujur tubuhnya.
Sewaktu ia berpaling, tampak
di atas perahu mewah itu telah berdiri berbagai ragam manusia, seorang
diantaranya berdiri di ujung geladak dengan wajah penuh keku-atiran ..,
Orang itu berambut sepanjang
bahu, ber-jubah hitam dan wajah penuh codet, dua biji taringnya menonjol amat
menyolok, matanya tunggal dan wajahnya bengis, ternyata orang itu bukan lain
adalah Lim- To pacu Toan Ki tin dari telaga Tong ting.
Tampaknya Toan Ki tin di buat
tertegun oleh gerak serangan pedang Hu-yong siancu yang lihay sewaktu
menghabisi nyawa Pak Im hong tadi, untuk sesaat dia terbungkam dalam seribu
bahasa.
Bertemu dengan musuh besarnya,
Lan See giok tak sanggup mengendalikan emosinya, tapi dengan wajah diliputi
hawa napsu mem-bunuh dia membentak keras-keras:
"Bajingan tua, kembalikan
selembar jiwa ayahku --" .
Ditengah bentakan. tubuhnya
melejit ke tengah udara dan langsung melayang ke perahu lawan.
Siau cian dan Cay soat tahu,
kalau musuh besar pembunuh ayah See giok telah datang, sambil membentak keras,
mereka meloloskan pedang sambil menyusul di belakang Lan See giok.
Hu-yong siancu kuatir Lan See
giok dike-cohi musuhnya, terutama sekali jarak antara perahu besar Toan Ki tin
dengan perahu di-mana mereka berada masih amat jauh, maka cegahnya keras-keras.
"Anak Giok
jangan..."
Tapi keadaan Lan See giok
waktu itu sudah mendekati kalap. Dengan sorot mata yang tajam seperti sembilu
dia awasi Toan Ki tin tanpa berkedip. walaupun tubuhnya sedang melewati sisi
bibinya, namun tak terdengar olehnya teriakan dari bibinya itu.
Setelah sampai di ujung
perahub, dia segera mejnerjang ke atasg perahu mewah tbadi "
Hu-yong siancu tahu, amarah
Lan See giok telah mencapai pada puncaknya dan tak mungkin dapat dicegah lagi.,
dengan pedang Hu-yong masih terhunus, dia memberi tanda kepada Cay soat dan
Siau cian yang masih ragu, kemudian ia melayang ke arah perahu mewah tersebut
menyusul sang pemuda.`
Sementara itu suasana di atas
perahu me-wah itu sudah berubah menjadi sangat kacau, puluhan komandan atau
hiangcu ber-sama sama membentak, mereka bersama sama meloloskan senjata untuk
menghalangi usaha See giok naik ke atas perahu mereka.
Kilauan senjata yang gegap
gempita dengan segera memancar di seluruh angkasa, suasa-na yang mencekam
sekitar situ pun kian lama kian bertambah tegang.
bila See giok ingin naik ke
atas perahu keraton yang ditumpangi Toan Ki tin, maka dia harus melewati perahu
besar berlentera merah lebih dulu.
Waktu itu tubuhnya masih
berada di udara melihat ujung geladak sudah di depan mata, pemuda itu membentak
keras, ujung baju kanannya segera dikebutkan ke depan dan melepaskan segulung
angin pukulan yang maha dahsyat.
Segera benturan yang amat
keras bergema memecahkan keheningan, disusul berku-mandangnya beberapa kali
jeritan ngeri. di-antara bayangan manusia yang berpencaran, empat lelaki kekar
yang berada dipaling muka telah terpental sejauh tujuh delapan langkah dan
roboh terjengkang ke atas tanah.
See giok segera menjejakkan
kakinya di ujung geladak. menyusul kemudian dalam sekali lompatan ia sudah
menyerbu ke arah buritan kapal.
Kawanan jago lihay yang berada
di perahu berpanji kuning dan perahu berlentera merah itu menjadi termangu
saking kagetnya, se-mua orang hanya berdiri mematung di posisi semula tanpa
mengetahui apa yang harus diperbuat.
Bentakan nyaring kembali
bergema di ang-kasa, Hu-yong siancu, Cay soat dan Siau cian bersama sama
menyerbu pula ke atas perahu berlentera merah itu.
Suasana di atas geladak
semakin bertam-bah kalut, jeritan-jeritan kaget bergema di sana sini, kawanan
jago yang sudah pecah nyali dan ketakutan itu bersama sama terjun ke dalam
telaga, suasana bertambah kalut percikban air menghambjur pula kemana-g mana.
Dalam kbeadaan begini Hu-yong
siancu tak ingin melukai orang yang tak berdosa, ter-buru buru dia menyusul ke
belakang See-giok.
Dalam pada itu, Toan Ki-tin
sedang di bikin bingung dan tak tahu apa gerangan yang te-lah terjadi, dikala
ia jumpai ada seorang pe-muda berbaju biru menyerbu datang seperti orang kalap
sambil mengumpat "Bajingan tua" kepadanya. apalagi setelah menjumpai
tiga orang perempuan menyusul di belakang-nya, dia semakin tidak mengerti.
Kepada seorang kakek berusia
lima puluh tahunan yang berdiri di belakangnya, ia pun bertanya dengan
keheranan:.
"Adakah diantara kalian
yang kenal dengan pemuda yang berbaju biru itu ....."
Dengan bingung dan tidak
mengerti, ketiga kakek berpakaian ringkas itu menggelengkan kepalanya berulang
kali.
Mendadak Toan Ki-tin
melototkan mata tunggalnya. kemudian kepada ke empat lelaki kekar berbaju hitam
yang berdiri di kiri kanannya ia membentak.
"Cepat kalian bekuk
pemuda tersebut!"
Ke empat lelaki kekar itu
mengiakan ber-sama, kemudian serentak melompat ke atas perahu berlentera merah
itu dan menyong-song kedatangan See-giok.
Amarah yang berkobar di dalam
dada See giok telah membuat si anak muda itu dicekam oleh hawa napsu membunuh
yang membara, melihat datangnya ke empat lelaki bengis yang menerjangnya,
dengan suara menggeledek ia segera membentak.
"Minggir
kalian.."",
Dalam bentakan mana, ke empat
lelaki bengis itu sudah menerjang tiba, masing-masing mengayunkan kepalannya
menghajar tubuh anak muda tersebut.
Napsu membunuh yang berkobar
di dada See giok semakin membara setelah melihat hal ini, dia berkelit dengan
cekatan, lalu sepasang tangannya diayunkan berulang kali melepaskan empat buah
serangan berantai.
Dimana bayangan tangannya
berkelebat, empat jeritan ngeri yang memilukan hati ber-gema memecahkan
keheningan. ke empat lelaki tersebut telah terhajar hancur batok kepalanya dan
roboh binasa.
Pada saat itu prula, dari
buritzan kapal telah wbergema datang rsuara bentakan gusar yang amat keras,
tiga orang kakek berpakaian ringkas itu secara beruntun telah menerjang tiba.
See giok segera mendongakkan
kepala nya sambil tertawa seram, teriaknya keras-keras.
"Jika toh kalian pingin
mampus. jangan salahkan kalau aku berhati keji- lagi!
Sepasang lengannya diputar
lalu menolak bersama ke arah depan---
Segulung tenaga pukulan yang
maha dahsyat, diiringi suara desingan yang amat tajam langsung menghajar ke
tiga orang kakek berpakaian ringkas yang mendekat itu,
"Blaaammmm -.!"
Suatu ledakan keras bergema,
memecah-kan keheningan, debu dan hancuran kayu beterbangan ke empat penjuru,
tampak tiga sosok bayangan manusia diiringi tiga kali jerit kesakitan,
tahu-tahu sudah terpental jatuh ke dalam telaga.
Keadaan Lan See giok waktu itu
tak ubah-nya seperti orang kalap. tubuhnya melejit ke udara dan menyerbu lebih
ke muka, bentak-nya keras-keras. "
"Bajingan tua, serahkan
nyawamu!"
Dia langsung menerjang ke arah
perahu, besar dimana Toan Ki tin berada.
Tak terkirakan rasa marah dan
dendam Toan Ki tin menyaksikan ulah si anak muda itu, berkilat sorot mata yang
terpancar dari balik mata tunggalnya, sambil mengawasi Lan See giok yang
meluncur tiba, ia tertawa seram tiada hentinya, sem-bilan butir paku penyesak
hati yang teramat beracun segera dikeluarkan dan siap dibidikkan ke arah
la-wan.
BAB 27
HU-YONG SIANCU dapat
menyaksikan ke-jadian tersebut dengan sangat jelas, ia cukup mengetahui akan
kelihaian paku penyesak hati dari Toan Ki tin tersebut, tanpa sadar teriaknya
kaget.
"Anak Giok, hati-hati
dengan senjata raha-sia!"
Dalam teriakan tersebut, dia
bersama Siau cian dan Cay soat telah memutar pedang masing-masing menciptakan
selapis kabut cahaya di depan mata, lalu menyusul di be-lakang Lan See giok
menerjang ke atas perahu bermodel keraton itu.
Keadaan Lan See giok selama
ini tak ubah-nya seperti orang kalap, hawa sakti Hud--kong sinkang telah
dipancarkan menyelimuti selu-ruh badan, hasratnya sekarang hanya satu yakin
membunuh Toan Ki tin dalam sekali pukulan, bahkan terhadap peringatan dari
Hu-yong siancu pun seolah-olah sudah tidak terdengar lagi.
Tubuhnya bagaikan sambaran
petir me-luncur ke bawah terus dengan cepatnya.
Sekarang, Toan Ki tin baru
mengerti apa gerangan yang telah terjadi, namun dia tetap tidak paham, mengapa
pemuda berbaju biru itu hendak beradu jiwa dengannya?"
Melihat Lan See giok menyerang
ke arah-nya secepat petir, sekali lagi ia tertawa di-ngin, sambil membentak
keras, ke tiga batang paku penyumbat hati yang telah dipersiapkan itu segera
dibidikkan ke wajah Lan See giok.
Biarpun Toan Ki tin sendiri
diliputi oleh kobaran amarah, namun berhubung di bela-kang Lan See giok
mengikuti Hu-yong siancu maka timbul pula perasaan segan dan jeri dihati
kecilnya."
Alhasil dia tak berani
melepaskan serangan mematikan ke tubuh Lan See giok, biar pun ke tiga paku
penyumbat hati itu dibidikkan secepat kilat, namun sasarannya bukan ubun-ubun
lawan.
Dalam pada itu, Lan See giok
tidak me-nyangka kalau Toan Ki tin bakal membidik-kan senjata rahasia ke
arahnya, dalam kejut-nya, tiga titik bayangan hitam telah mendekati kepalanya
dengan disertai desi-ngan angin tajam.
Dalam gugup dan gelisahnya, ia
segera membentak keras, secepat kilat tangan kanannya dikebaskan ke depan,
serta merta ke tiga titik bayangan hitam itu sudah di ha-jar hingga terpental
ke tengah udara..,.:.,
Tapi dengan demikian, hawa
murninya jadi membuyar, tubuhnya otomatis ter-perosok ke bawah dan meluncur ke
arah telaga . . . .
Menyaksikan kejadian ini, Toan
Ki tin segera tertawa terbahak - bahak sambil ber-seru:
"Bocah yang tak tahu
diri, tanpa sebab tanpa musabab berani amat kau menyerang aku . . . ?
Belum selesai perkataan itu
dibucapkan. angin jtajam melesat lgewat, diantara bkilatan cahaya pedang.
Hu-yong siancu. Si Cay soat serta Ciu Siau cian telah mendarat pula di atas
perahu tersebut.
Dalam saat yang bersamaan, Lan
See -giok yang terperosok kearah telaga itu sudah membentak keras, sepasang
ujung bajunya bersama sama dihantamkan ke arah permu-kaan telaga . . .
Blaaammmm . . "
Percikan bunga air memancar
setinggi berapa kaki dari permukaan telaga, meman-faatkan tenaga pantulan yang
dihasilkan atas pukulan ini, Lan See giok melejit kembali ke udara dan hampir
bersamaan waktunya de-ngan kehadiran Hu-yong siancu bertiga. ia mendarat pula
di atas perahu.
Toan Ki tin menjadi amat
terperanjat -sam-bil membentak, cepat-cepat dia mengayun-kan telapak tangannya
melepaskan sebuah pukulan dahsyat ke tubuh Lan See giok yang sementara itu
belum sempat berdiri tegak.
Waktu itu Lan See giok telah
menghimpun segenap tenaga sinkangnya mengelilingi selu-ruh badan, tenaga
pukulan juga telah diper-siapkan dalam telapak tangan kanan.
Belum lagi tubuhnya berdiri
tegak, ia su-dah merasakan datangnya serangan musuh yang semakin mendekat. maka
dalam ke-re-potan ia membentak seraya melontarkan- ta-ngan kanannya ke muka...
Segulung angin pukulan yang
dahsyat dengan disertai desingan angin yang meme-kikkan telinga langsung membendung
datangnya serangan dahsyat dari Toan Ki tin yang disertai tenaga pukulan
sebesar pulu-han tahun hasil latihan itu.
"Blaammm..::""
Sekali lagi terdengar suara
ledakan keras yang memekikkan telinga, angin puyuh me-mancar ke empat penjuru,
perahu bergon-cang keras, seluruh lentera pun padam se-mua di buatnya.
Secara beruntun Toan Ki tin
mundur bebe-rapa langkah, wajahnya yang jelek berubah menjadi pucat pias
seperti mayat.
Sepasang tangannya menekan
dada sambil menahan penderitaan yang hebat, keadaan-nya nampak dicekam
kesakitan.
Berhubung serangan dilancarkan
secara terburu buru. Lan See giok tidak dapat me-lancarkan serangan dengan
sepenuh tenagab, akibatnya ia jtergetar pula sgampai tubuhnya bgontai dan
nyaris terjatuh ke dalam air.
Bayangan manusia tiba-tiba
berkelebat le-wat. Siau cian dan Cay soat menerjang ke muka untuk membimbing si
anak muda tersebut---
Disaat mereka sedang menahan
tubuh Lan See giok, Toan Ki tin juga tak mampu mena-han diri lagi sehingga
tubuhnya roboh terdu-duk di atas lantai geladak. bahkan sempat muntah darah
segar.
Waktu itu, suasana di
sekeliling telaga dicekam keheningan yang luar biasa, hampir semua orang yang
berada di perahu-perahu perang itu berdiri tertegun karena kaget dan termangu
oleh peristiwa tersebut.
Hu-yong siancu dengan pedang
terhunus sedang bersiap siap menegur Toan Ki tin.
Ketika secara tiba-tiba Lan
See giok yang baru saja dapat berdiri tegak telah mem-ben-tak nyaring.
"Bajingan tua, serahkan
nyawamu . . "
Dalam bentakan tersebut,
tubuhnya menerjang tiba, tiba-tiba telapak tangan kanannya diayunkan ke depan
membacok ubun-ubun Toan Ki tin . . . .
Saat itu. Toan Ki tin sudah
luka parah, isi perutnya telah goncang dan kehilangan ke-kuatan untuk
menghindar, menghadapi an-caman demikian, dia hanya bisa memejam-kan matanya
menunggu seat kematian tiba.
Pada saat inilah ..
Sesosok bayangan ungu
berkelebat lewat, Hu-yong siancu telah meluncur ke muka sambil membentak keras,
secepat kilat dia cengkeram pergelangan tangan Lan See giok yang sedang melepaskan
bacokan itu.
Mimpi pun Lan See giok tidak
menyangka kalau orang yang menghalangi usahanya membunuh Toan Ki tin adalah
Hu-yong siancu, dalam keadaan tanpa persiapan per-gelangan tangan kanannya
segera kena di cengkeram.
Peristiwa ini kontan membuat anak
muda tersebut berdiri tertegun.
Siau cian serta Cay soat juga
dibikin tertegun oleh kejadian tersebut.
Untuk sesaat suasana yang
semula di-cekam keheningan. kini diledakkan kembali oleh teriakan-teriakran
yang keras dzi seluruh kapalw perang yang merngepung di sekitar tela-ga,
bersama sama bergerak mendekat...
Hu-yong siancu takut terjadi
kesalahan paham, atas diri Lan See-giok. dengan cepat dia melepaskan
cengkeramannya kemudian bertanya dengan wajah serius.
"Anak Giok, apakah kau
tidak merasa kelewat gegabah dengan membacok mati Toan Ki tin dengan begitu
saja?"
Lan See giok terkesiap,
teringat kematian ayahnya masih menyangkut pula keterlibatan Oh Tin san dan
Makhluk bertanduk tunggal yang hingga kini masih merupakan sebuah -teka teki
besar, untuk sesaat dia menjadi ter-bungkam den tak mampu menjawab.
Hu-yong siancu segera
memperhatikan se-kejap sekeliling arena yang dipenuhi perahu-perahu besar itu,
kemudian dengan sikap yang tenang, tanpa kegugupan barang sedikitpun jua, dia
berpaling lagi ke arah Lan See giok seraya berkata.
"Kita harus membuat Toan
Ki tin mati de-ngan perasaan puas, jangan membiarkan dia mati dalam keadaan
bingung dan tidak habis mengerti, walaupun perbuatan kita sah dan benar, toh
paling tidak mesti memberi penje-lasan dulu agar semua anggota Lim lo pah yang
hadir di sekitar sini ikut memahami duduk persoalan yang sebenarnya..."
Selama ini, Lan See giok
memang selalu menganggap Hu-yong siancu sebagai ibu kandung sendiri. tentu saja
diapun tak be-rani membantah ucapan mana.
Sambil menahan hawa amarah
yang ber-kobar di dalam dadanya, dia segera me-ngangguk berulang kali.
Sementara itu Toan Ki-tin
sedang berusaha mengerahkan hawa murninya guna menyem-buhkan luka yang
dideritanya, ketika mendengar ucapan tersebut, ia membuka mata tunggalnya
dengan lemah dan meman-dang sekejap ke arah Hu-yong siancu dengan sinar mata
penuh kekaguman...
Dengan langkah lebar Hu-yong
siancu Segera berjalan mendekati Toan Ki tin.
Waktu itu semua kapal perang
telah saling berhimpitan sehingga tak mampu bergerak maju lebih ke depan lagi,
tatkala semua orang menyaksikan Hu-yong siancu mendekati pemimpin mereka dengan
pedang terhunus, serentak semua orang berteriak -teriak keras bagaikan orang
kalap.
Namun Hu-yong siancu tak acuh
atas teri-akan-teriakan kalap yang gegap gempita itu, dia tetap melanjutkan
langkahnya mengham-piri Toan Ki-tin, ia yakin. asal Toan Ki-tin ti-dak
dibantai, mustahil ada orang berani membidikkan panahnya kearah mereka.
Sementara itu Lan See giok
dibikin terke-siap juga menghadapi situasi yang rawan dan gawat itu, ia segera
memutar otak untuk mencari jalan bagaimana caranya meloloskan diri sehabis
membunuh Toan Ki tin nanti.
Dipihak lain, Hu-yong siancu
telah tiba di depan Toan Ki tin yang masih duduk bersila sambil mengobati
lukanya itu, dengan suara yang dalam ia segera menegur.
"Lo pacu, kenalkah kau
dengan pemuda berbaju biru yang berdiri dihadapanmu sekarang?"
Sambil berkata ia menunjuk ke
arah Lan See giok yang berdiri dengan wajah penuh amarah dan napsu membunuh
itu.
Toan Ki tin masih memegangi
dadanya dengan kedua belah tangan, mukanya pucat pasi, dibukanya mata yang
tunggal itu de-ngan lemah, lalu setelah melirik sekejap ke arah Lan See giok,
ia menggelengkan kepala-nya berulang kali sementara mata tunggalnya kemba1i
dipejamkan rapat-rapat.
Waktu itu agaknya semua orang
yang berada di kapal-kapal perang pun ingin me-ngetahui apa sebabnya orang
prang tersebut hendak membunuh Lo pacu mereka, karenanya setelah Hu-yong siancu
berseru, suara teriakan yang ramai pun segera ter-henti sama sekali.
Hu-yong siancu melirik sekejap
ke arah Toan Ki-tin, dari mimik wajah orang dia tahu kalau luka yang diderita
orang ter-sebut amat parah, tapi begitu teringat bahwa orang ini besar
kemungkinan adalah musuh besar mereka, tanpa berpikir panjang lagi diapun
berseru dengan suara lantang:
"Kalau toh kau tidak
kenal, tak ada salah nya bila kuberitahukan kepadamu sekarang, dia bukan lain
adalah Lan See giok putrab tunggal dari sji Gurdi emas pegluru perak Lanb
tayhiap. Toan Ki tin nampak sedikit terpe-ranjat, tapi setelah membuka sebentar
mata-nya, pelan-pelan ia memejam kembali.
"Sekarang, kau sudah
mengetahui akan asal usul dari Lan See giok, tentunya juga sudah paham bukan
mengapa dia datang mencarimu..-!-" ujar Hu-yong siancu lebih jauh.
Tapi Toan Ki tin menggelengkan
kembali dengan pelan, mata tunggalnya masih tetap dipejamkan rapat-rapat.
Lan See giok menjadi naik
darah melihat sikap Toan Ki tin yang berlagak bisu tadi, namun teringat akan
perkataan bibinya ba-rusan, dengan kening berkerut dan bibir ter-katup rapat,
akhirnya ia berusaha untuk tetap menahan diri.
Hu-yong siancu memandang
sekejap ke arah Toan Ki-tin, kemudian setelah tertawa dingin serunya dengan
gusar: "Sekarang Lan See giok datang untuk membalas dendam sakit hati
ayahnya, dia hendak menuntut mu agar mengembalikan nyawa ayahnya.
mengerti?"
Seluruh tubuh Toan Ki tin
bergetar keras, lalu dengan wajah penuh amarah dia mem-buka mulutnya agak
gemetar, tapi baru saja hendak berbicara, sekali lagi darah segar menyembur ke
luar dari mulutnya..
Hu-yong siancu dan Lan See
giok men-jadi amat terkejut, cepat-cepat mereka mundur sejauh tiga depa dan
saling ber-pandangan sekejap, baru sekarang mereka tahu kalau Toan Ki tin telah
menderita luka dalam yang cukup parah.
Sekali lagi suasana di
sekeliling arena di li-puti kegemparan dan kegaduhan, demi me-nyelamatkan jiwa
Lo pacu mereka, meski busur dan panah telah mereka persiapkan. namun tak
seorangpun diantara mereka yang berani bertindak secara gegabah. Waktu itu
semua jago lainnya juga telah meloloskan senjata masing-masing dan mengawasi
Hu-yong siancu serta Lan See giok dengan wajah terkejut bercampur gelisah, tapi
kuatir akan keselamatan pemimpinnya, mereka pun tidak berani bergerak secara
sembarangan.
Bagaimanapun juga, Hu-yong
siancu ada-lah seorang perempuan yang amat cerdas. ia segera menduga kalau
dibalik peristiwa tersebut nampak nya masih terdapat persoal-an lain, karena
itu sambil maju ke depan dan mengawasi Toan Ki-tin yang masih terengah engah,
tanyanya dengan tenang.
Lo pacu, kau bilang Sbi Gurdi
emas pej-luru perak Lang tayhiap bukan btewas ditangan mu?"
Toan Ki tin sama sekali tidak
membuka matanya, namun ia mengangguk dengan ce-pat.
Melihat pengakuan ini, Lan See
giok kem-bali merasakan hatinya tergetar keras. diam-diam ia pun bertanya
kepada diri sendiri, mungkinkah pembunuh tersebut adalah si Makhluk bertanduk
tunggal?
Hu-yong siancu merasakan juga
hatinya tergerak, buru-buru serunya kepada Lan See giok.
"Anak Giok. cepat kau
ambil cairan kemala Leng sik giok ji!"
Lan See giok tahu, Hu-yong
siancu ingin mencari tahu duduk persoalan yang sebenar nya dari mulut Toan
ki-tin maka tanpa ragu-ragu dia mengeluarkan botol kemala kecil itu dari dalam
sakunya.
Pertama tama Hu-yong siancu
menyarung-kan dulu pedangnya, kemudian setelah menerima botol porselen kecil
ini dia berpa-ling dan berteriak keras kepada sekawanan yang sedang bersembunyi
di belakang pintu ruangan kapal.
"Cepat kalian ambil
sebatang sumpit perak akan kuselamatkan jiwa pacu kalian!"
Seketika itu jua, puluhan
orang jago yang berada di atas perahu tersebut dibikin kebi-ngungan, akhirnya
seorang kakek berusia lima puluh tahunan melompat masuk ke dalam ruangan dan
memerintahkan seorang dayang untuk menyiapkan benda yang di-minta,
Tak selang berapa saat
kemudian, seorang dayang telah muncul dari ruang perahu de-ngan langkah
terburu-buru-
Bayangan merah berkelebat
lewat, Si Cay soat segera menyongsong kedatangan dayang tersebut dan
menerimanya sebelum diserah kan kepada Hu-yong siancu.
Ketika Hu-yong siancu membuka
penutup botol kemala itu, bau harum semerbak yang segar segera menyebar ke
seluruh angkasa membuat para jago yang masih berdiri kaget sama-sama merasakan
semangatnya berko-bar kembali.
Ketika Toan Ki tin, mendengar
jiwanya ada harapan untuk diselamatkan, ia segera membuka pula mata tunggalnya
dan melirik sekejap ke arah Hu-yong siancu dengan perasaan berterima kasih.
Dengan amat cekratan Hu-yong
sizancu menutulkanw setetes cairanr putih ke ujung sumpit itu, kemudian
menitahkan kepada si dayang yang masih berdiri termangu di ke-jauhan sana untuk
menghantarkan ke mulut Toan Ki tin.
Toan Ki tin mencoba untuk
menjilat de-ngan ujung lidahnya, merasakan bau segar yang membangkitkan
semangat, ia tahu kalau obat itu teramat mujarab, cepat-cepat dia menghimpun
kembali tenaganya untuk mengatur napas.
Dari mimik wajah Toan Ki tin.
Hu-yong siancu tahu kalau orang tersebut sudah menaruh kepercayaan kepadanya,
maka sambil mengangkat kepala serunya kepada kawanan jago di kejauhan sana
"Pacu kalian sedang
bersemedi sekarang,
kalian jangan gaduh lebih
dulu, paling baik jika kalian titahkan kepada semua kapal agar menjauh dari
sini."
Ketika mendengar ucapan mana
kakek berusia lima puluh tahunan tadi kelihatan agak ragu, tapi kemudian ia
membisikkan sesuatu ke sisi telinga seorang lelaki setengah umur berbaju
abu-abu yang berdiri di sisi-nya.
Lelaki setengah umur itu
segera melirik se-kejap ke arah Hu-yong siancu dengan pan-dangan terkejut
bercampur gelisah, tapi ia mengangguk dengan cepat dan beranjak pergi.
Dalam pada itu, Hu-yong siancu
sudah mempunyai perhitungan yang matang dihati kecilnya, dia lama sekali tidak
memikirkan persoalan tersebut di dalam hati, pelan-pelan perempuan itu balik ke
depan Lan See giok. ketika dilihatnya pemuda itu masih berdiri dengan bimbang,
ia pun berbisik dengan suara lembut.
"Sebentar lagi, bila Toan
pacu telah selesai bersemedi, kau bisa menanyakan secara langsung kepadanya
tentang duduk perso-alan yang sebenarnya, bila diketahui uca-pannya saling
bertentangan satu sama lain nya. kita bisa bertindak cepat untuk me-nyanderanya
kembali..."
Maksud dari perkataan itu
sudah jelas, nanti bilamana keadaan memaksa mereka harus menyandera pemimpin
tersebut guna meloloskan diri dari kepungan.
Terhadap kejadian seperti ini
Lan See giok telah mempunyai pengalaman berapa tali, maka diapun mengangguk
tanda mengerti.
Dalam pada itu, kawanan kapal
perang yang mengepung sekeliling tempat itu sudah pada mengundurkan diri,
kecuali suara air yang diterjang perahu, suasana terasa amat hening dan tak
kedengaran suara apa pun.....
Ketika Hu-yong siancu dan Lan
See giok mendongakkan kepalanya, mereka jumpai di atas Tiang layar perahu
keraton yang tinggi itu tampak sesosok bayangan manusia se-dang menggoyangkan
sebuah lentera berwar-na biru dan sebuah lentera hijau.
(Bersambung ke Bagian 35)