Di wajah Hay leng cu yang angkuh tampak marah, katanya
dingin:
“Aku tidak perlu melatih segala ilmu cengkeraman kuku
garuda.”
Si Raja Garuda Lengan Satu pendelikkan matanya dan
berkata:
“Kau tidak perlu mempelajari atau melatih, apakah kau
tidak pandang mata ilmu cengekeraman kuku garuda loyamu ini?”
Sebelah tangannya yang masih berlumur darah segera sudah
menyambar kepada Hay leng cu.
Hay leng-cu lompat mundur hingga delapan kaki, parasnya
semakin pucat.
Si Raja Garuda Lengan Satu mendongakkan kepala dan
tertawa besar, katanya:
“Imam kecil, kau tak usah takut, aku si loya hanya
main-main menggertak kau saja. Aku dengan imam tua gurumu itu adalah sahabat
baik, bagaimana aku boleh menghina kau si bocah ini?”
Hay leng-cu sudah berusia lima puluh tahun lebih, tak
disangka masih ada orang panggil ia bocah, hingga dua tangannya gemetaran bahna
menahan hawa amarahnya, namun ia tidak mempunyai nyali untuk menghunus keluar
pedangnya.
Kekuatan tenaga si Raja Garuda Lengan Satu yang dapat
menoblos perut sapi dan mengambil hati dari dalam perutnya, bukan saja
menunjukkan kekuatan tenaganya yang besar, tetapi juga menunjukkan sifatnya
yang kejam, benar-benar membuat orang lenyap keberaniannya.
Perjamuan makan yang diadakan di ruangan besar rumah
makan itu, sudah mulai masuk dalam ronde ketujuh.
Masakan Ma Hwe Hwe benar-benar luar biasa, ia bisa
membuat daging sapi dimasak seperti daging ayam, seperti daging bebek yang
gemuk, seperti rasanya ayam arak, ada kalanya demikian lunak seperti tahu.
Ia bisa masak daging sapi menjadi beberapa macam hidangan
yang berlainan rasanya, yang lebih aneh ialah rasa daging itu tidak seperti
daging sapi rasanya.
Ketika tiba gilirannya hidangan kedelapan, diantar
sendiri oleh Ma Hwe Hwe, pemilik plus tukang masak rumah makan itu berkata
kepada para tamunya:
“Hidangan meskipun kurang baik, tetapi araknya masih
boleh juga, cianpwe semua harap minum lebih banyak sedikit.”
Si Raja Garuda Lengan Satu mendadak menggeprak-geprak
meja, lalu katanya dengan suara keras:
“Araknya juga tidak baik.”
Ma Hwe Hwe terkejut, hingga saat itu berdiri terpaku di
tempatnya.
Masih untung Thio Bu Kek segera menyambungnya sambil
tertawa:
“Araknya meskipun arak baik, tetapi jikalau tidak ada
selendang merah yang menemani arak, rasa arak juga menjadi tawar.”
Si Raja Garuda Lengan Satu tertawa besar, katanya:
“Benar, itu tidak salah! Kau yang sudah pernah sekolah
sudah tentu harus tahu bahwa arak sekali-kali tidak boleh dipisahkan dengan
paras elok.”
Ma Hwe Hwe juga tertawa, katanya:
“Boanpwee sebetulnya juga belum pernah memikirkan hal
itu, tetapi karena kwatir bahwa perempuan-perempuan di sini umumnya biasa saja,
mungkin nanti malah akan tidak dipandang oleh cianpwe sekalian.”
“Kabarnya perempuan di sini kesohor, apakah seorang yang
elok saja sudah tidak ada?” tanya si Raja Garuda Lengan Satu sambil mengerutkan
alisnya.
“Ada sih ada, tapi cuma satu saja......”
Si Raja Garuda Lengan Satu kembali menggeprak meja dan
berkata:
“Satu sudah cukup! Imam tua ini adalah seorang beribadat,
Thio Bu Kek terkenal seorang laki-laki takut istri, dan tua bangka she To ini
meskipun kemauannya ada, tetapi tenaganya sudah kurang, maka kau tidak perlu
khawatirkan terhadap mereka, mereka pasti tidak suka!”
To Siao Thian berkata sambil tertawa:
“Benar, asal kau mencarikan seseorang saja untuk Su khong
cianpwe sudah cukup, aku si tua bangka ini hanya ingin menonton di samping
saja. Sebagai orang yang sudah lanjut usianya, asal dapat menonton dari samping
juga sudah cukup puas.”
Thio Bu Kek juga ikut-ikutan berkata sambil berkata:
“Lelaki yang takut istri, menonton saja juga tidak baik,
tetapi jikalau tidak menonton sebentar, aku masih benar-benar berat untuk
pergi. Toa Ma, tolong kau pergi panggil satu kali ini saja.”
“Boanpwe sekarang hendak mencari, tapi....”
“Kenapa?” bertanya si Raja Garuda Lengan Satu sambil
pendelikkan matanya.
“Nona itu sangat terkenal dengan sikapnya yang terlalu
angkuh, belum tentu dapat diketemukan dengan segera” menjawab Ma Hwe Hwe.
“Itu tidak halangan, aku justru senang kepada perempuan
yang angkuh, sebab perempuan yang angkuh pasti mempunyai apa yang berlainan
dengan yang lain. Jikalau tidak, bagaimana ia bisa berlaku angkuh?” berkata si
Raja Garuda Lengan Satu sambil tertawa besar.
“Kalau begitu, harap supaya cianpwe suka menunggu
sebentar....”
“Menunggu lama sedikit juga tidak apa. Buat urusan lain
aku si loya meskipun tidak mau menunggu, tetapi kesabaranku untuk menunggu
perempuan justru aku mempunyai.”
Sudah hampir satu jam si Raja Garuda Lengan Satu
menunggu, namun perempuan elok itu masih belum datang juga.
To Siao Thian, terus menenggak araknya berkata sambil
menggelengkan kepala:
“Perempuan ini benar-benar sangat angkuh sekali.”
Si Raja Garuda Lengan Satu juga berkata sambil
menggelengkan kepala:
“Kalau tua bangka ini benar-benar tidak mengerti adat
perempuan, pantas kau menjadi buangan selama-lamanya....... apa kau kira
perempuan itu benar-benar beradat angkuh?”
“Apakah tidak?” bertanya tiba-tiba To Siao Thian.
“Dia berbuat demikian, bukanlah karena adatnya yang
benar-benar angkuh, itu hanya sengaja menarik perhatian atau kesukaan kaum
lelaki saja.”
“Menarik kesukaan kaum lelaki?”
“Benar, ia tahu kaum laki-laki semuanya adalah orang yang
tidak berharga, semakin lama menunggu, semakin besar perasaan tertariknya,
sehingga semakin merasakan betapa berharganya perempuan itu. Perempuan yang
begitu diundang segera datang, lelaki umumnya menganggap tidak berarti.”
“Sungguh suatu pendapat yang hebat, aku tak sangka
saudara Su-khong bukan saja tinggi kepandaian ilmu silatmu, tetapi terhadap
perempuan juga ternyata mempunyai pengertian yang mendalam.”
“Hendak mempelajari soal sifat dan adat perempuan, jauh
lebih sulit dari pada mempelajari ilmu silat.”
Mendadak si Raja Garuda Lengan Satu itu berdiam sambil
tertawa, lalu pasang telinga, kemudian berkata sambil tertawa:
“Nah, itu dia sudah datang.”
Baru saja ucapan itu keluar dari mulutnya, di luar pintu
sudah terdengar suara langkah kaki yang halus.
Hay leng-cu sendiri juga sudah berpaling untuk melihat,
ia sebetulnya ingin menyaksikan bagaimana rupanya orang yang dikatakan luar
biasa eloknya itu.
Pintu ruangan itu memang terbuka, hanya ditutup dengan
selapis tirai saja.
Di bawah tirai tampak sepasang kaki.
Sepatu yang dikenakan oleh orang yang mempunyai kaki itu,
meskipun hanya sepasang sepatu lemas yang terbuat dari kain berwarna hijau,
tetapi modelnya indah, hingga membuat sepasang kaki itu juga tampak indah.
Meskipun hanya baru melihat sepasang kakinya saja, si
Raja Garuda Lengan Satu sudah merasa puas.
Kepala yang luar biasa besarnya itu mulai
bergoyang-goyang, satu matanya yang memancarkan sinar berkilauan terus menatap
sepasang sepatu itu tanpa berkedip, sedang biji matanya juga seolah-olah
seperti mau melompat keluar.
Dari luar tirai, terdengar suara orang bertanya:
“Apakah aku boleh masuk?”
Nada suaranya itu sedemikian dingin, tetapi lembut halus
dan sangat merdu.
Si Raja Garuda Lengan Satu tertawa besar, katanya:
“Kau tentu saja boleh masuk, lekas.... masuklah.”
Kaki di luar tirai masih belum bergerak. Dari luar itu
tiba-tiba tampak diulurkan masuk sebuah tangan.
Tangan itu sangat putih, jari-jari tangannya panjang dan
halus, kukunya dipotong demikian bersih dan ramping, tetapi tidak mirip dengan
seorang perempuan yang suka bersolek. Di atas kukunya hanya dipoles dengan
minyak kembang.
Jari itu bukan saja indah, tetapi juga mempunyai sifat
lain.
Hanya melihat tangan itu saja, sudah menimbulkan kesan
bahwa perempuan itu benar-benar lain dari pada yang lain.
Si Raja Garuda Lengan Satu tidak berhentinya
mengangguk-anggukkan kepala dan berkata sambil tertawa:
“Bagus,bagus....bagus sekali...”
Tangan itu perlahan-lahan mulai menyingkap tirai.
Perempuan yang berbeda dengan perempuan lainnya itu,
akhirnya berjalan masuk juga.....
Dalam bayangan To Siao Thian, perempuan yang sangat
angkuh itu, pasti berpakaian sangat mewah, bersolek dengan pupur tebal atau
dipenuhi oleh berbagai perhiasan barang permata.
Tetapi anggapan demikian itu ternyata keliru.
Perempuan itu hanya mengenakan pakaian kain hijau yang
span, tampak sederhana sekali, di wajahnya tidak terlihat bedak, atau pupur dan
lipstik. Hanya di daun telinganya ada sepasang giwang yang terbuat dari mutiara
kecil.
To Siao Thian merasa heran, ia sungguh tidak menyangka
perempuan tuna susila dandanannya demikian sederhana, bahkan boleh dikata
sedikit bersolekpun tidak ada.
To Siao Thian sudah berusia lanjut, tetapi pengertiannya
terhadap kaum wanita sebenarnya tidaklah banyak. Sedangkan pengertian perempuan
itu terhadap kaum pria agaknya lebih banyak. Rupanya dia tahu benar, bila ia
bersolek terlalu menyolok, akan kelihatan seperti biasa saja.
Hati kaum pria memang benar-benar sangat aneh, mereka
selalu mengharapkan perempuan golongan tuna susila tidak mirip dengan perempuan
tuna susila, tetapi mencari yang mirip dengan gadis bangsawan, atau gadis
pingitan dari keluarga baik-baik.
Tetapi apabila mereka bertemu dengan perempuan yang
baik-baik, bersih suci, mereka sebaliknya mengharap wanita ini bisa mirip
dengan wanita tuna susila.
Maka itu, apabila perempuan tuna susila yang bersikap dan
berdandan seperti perempuan biasa golongan baik-baik, pasti menjadi terkenal,
dan gadis golongan baik-baik jikalau mirip dengan perempuan tuna susila, juga
pasti bisa menarik banyak kaum lelaki yang mengejar-ngejar padanya.
Thio Bu Kek meskipun takut istri, tetapi suami yang takut
istri kadang-kadang juga bisa menyeleweng di luar. Di dalam dunia ini, umumnya
tidak ada orang laki yang tidak suka menyeleweng seperti juga tidak ada kucing
yang tidak rakus.
Begitu juga Thio Bu Kek ini, ia pernah menyeleweng
beberapa kali, dalam kesannya, setiap perempuan tuna susila begitu masuk ke
dalam menemui tamunya, di wajahnya selalu tersungging senyum manis.... sudah
tentu senyuman itu bersifat profesional.
Akan tetapi perempuan yang duduk bersama-sama ini
sebaliknya berbeda dengan wanita biasa.
Ia bukan saja tidak tertawa atau tersenyum, bahkan
sepatah katapun tidak keluar dari mulutnya.
Begitu berjalan masuk, lalu duduk di atas kursi, sikapnya
demikian dingin, seolah-olah sebuah patung.
Hanya patung ini benar-benar sangat elok.
Usianya agaknya sudah tidak muda lagi tetapi juga tidak
terlalu tua, sepasang matanya jernih berkilat di ujungnya agak berdiri ke atas,
tampaknya malah semakin menggiurkan.
Mata si Raja Garuda Lengan Satu sudah menyipit, katanya
sambil tertawa:
“Baik,baik... silahkan duduk.”
Wanita itu memandang padanyapun tidak, jawabnya dingin:
“Aku sudah duduk”
“Oya benar benar! Kau sudah duduk, dudukmu bagus sekali.”
berkata si Raja Garuda Lengan Satu sambil tertawa.
“Kalau begitu kau bileh lihatlah sepuas hatimu, aku
memang sudah ditakdirkan hidup untuk dilihat orang” menjawab perempuan itu.
Si Raja Garuda Lengan Satu menepok meja, katanya sambil
tertawa besar:
“Tua bangka, kau lihatlah.... kau lihatlah. Perempuan ini
betapa menyenangkan, setiap patah kata yang keluar dari mulutnya berbeda sekali
dengan orang lain, ia ternyata berani membantah aku.”
Jikalau ada orang lain berani membantah ucapannya ia
pasti akan pukul kepala orang itu hingga pecah, tetapi wanita itu sudah
membantah ucapannya sebaliknya ia malah merasa kesenangan.
Aih kaum wanita benar-benar hebat.
“Ku tidak tahu nona ini suka memberitahukan namanya atau
tidak?” demikian To Siao Thian berkata juga tertawa.
“Namaku Sie Nio.” menjawab wanita itu lekas.
“Sie Nio?..... Pantas kau demikian tidak gembira,
kelihatannya kiranya kau sedang memikirkan ibumu? Apakah ibumu juga demikian
cantik seperti kau?” bertanya si Raja Garuda Lengan Satu sambil tertawa besar.
Sie Nio tidak berkata apa-apa, ia bangkit dari tempat
duduknya dan lalu berjalan keluar.
Si Raja Garuda Lengan Satu berseru:
“Tunggu dulu, tunggu dulu! Kau hendak ke mana?”
“Aku hendak pergi.”
“Pergi? Kau mau pergi? Baru saja kau datang, apa sudah
mau pergi lagi?” tanya si raja garuda lengan satu heran.
“Meskipun aku adalah seorang perempuan yang jual tawa dan
muka manis, tetapi ibuku bukan demikian! Aku datang ke mari juga bukanlah
hendak mendengar ucapan kalian yang membawa-bawa ibuku untuk dibuat permainan,”
jawab Si Nio dingin.
Ia ternyata mengerti sifat laki-laki yang benar-benar, ia
tahu laki-laki yang kedudukannya semakin tinggi dan semakin banyak akal tentu
semakin senang kepada perempuan yang tidak dengar kata. Sebab mereka sudah
terbiasa melihat banyak orang yang selalu dengar katanya.
Jarang melihat perempuan semacam dia itu baru senang
dengar perempuan yang membuat mabuk dirinya.
Benar saja, si Raja Garuda Lengan Satu sedikit pun tidak
marah, sebaliknya malah tertawa semakin senang, katanya:
“Benar, benar, benar! Selanjutnya, siapa yang berani
main-main dengan ibumu, aku akan potes lebih dulu lehernya!”
Kini Si Nio barulah dengan terpaksa duduk lagi.
Thio Bu Kek lalu berkata:
“Kalau nona tidak suka main-main, apakah yang nona
sukai?”
“Apa pun aku tidak suka, apa pun aku tidak senang,”
menjawab Si Nio.
“Satu jawaban yang sangat bagus, benar-benar lebih
menarik daripada suara orang menyanyi!” berkata si Raja Garuda Lengan Satu
sambil tertawa besar.
“Ucapan nona sudah demikian enaknya, nyanyiannya pasti
lebih enak lagi. Entah nona bisa menyanyi apa? Sudikah nona menyanyi, supaya
kami semua bisa turut merasa senang?” berkata Thio Bu Kek sambil tertawa.
HATI PEREMPUAN
“Aku tidak bisa menyanyi,” menjawab Si Nio.
“Kalau begitu......... nona tentunya bisa main mandolin?”
bertanya pula Thio Bu Kek.
“Juga tidak bisa.”
“Bagaimana kalau main Tipa?”
“Lebih tidak bisa.”
Thio Bu Kek tertawa, katanya:
“Kalau begitu......... nona sebetulnya bisa main apa?”
“Aku datang hanya untuk menemani kalian minum arak, sudah
tentu bisanya cuma minum arak.”
Si Raja Garuda Lengan Satu tertawa besar ketika mendengar
ucapan itu, kemudian berkata:
“Bagus sekali! Bagus sekali! Bisa minum arak sudah cukup
bagus, aku justru senang sekali kepada perempuan yang bisa minum arak.”
Wanita yang mengaku bernama Si Nio ini benar-benar boleh
dikata bisa minum arak. Thio Bu Kek sebetulnya sengaja hendak meloloh ia hingga
mabuk, supaya perempuan itu bisa lebih cepat menunjukkan tingkah-lakunya yang
sebenarnya.
Tetapi Si Nio semakin banyak menenggak arak, sinar
matanya semakin terang, sedikit pun tidak dapat dijejaki sampai di mana kuatnya
dia minum arak. Maka itu, Thio Bu Kek sebaliknya tidak berani mengajak ia minum
lagi.
Si Raja Garuda Lengan Satu sendiri tidak berani meloloh
ia minum arak. Ia adalah seorang laki yang mengerti, bahwa buat menikmati orang
perempuan itu sedikit mabuk, perempuan itu tidak boleh mabuk arak benar-benar.
Ia juga mengerti caranya menguasai waktu.
Ketika saatnya tiba, ia sendiri yang lebih dulu
berpura-pura mabuk.
Sementara itu, Thio Bu Kek juga tahu diri, telah
menganggap saatnya tiba, ia berkata sambil tertawa:
“Saudara Su-khong beberapa hari ini terlalu lelah,
sekarang barangkali tidak sanggup minum arak lagi!”
“Ingin tidur saja...... aku sudah mabok, hendak
tidur........”
“Toa Ma sudah menyediakan satu rumah yang tenang di
belakang sana, tolong nona ini antar saudara Su-khong ke kamar!” berkata Thio
Bu Kek.
Si Nio mendelikkan matanya tetapi tidak menolak, ia
membimbing si Raja Garuda Lengan Satu berjalan ke luar. Perbuatan seperti ini
rupanya sudah biasa dilakukannya.
To Siao Thian berkata sambil tertawa:
“Aku masih menganggap ia benar-benar tidak ada apa-apanya
yang berlainan, kiranya pada akhirnya juga sama saja seperti perempuan yang
lain.”
Thio Bu Kek juga lantas berkata sambil tertawa:
“Pada akhirnya, setiap perempuan dalam dunia ini memang
semua sama saja. Terutama perempuan semacam ini, mereka memang lantaran hendak
menjual diri baru keluar melakukan pekerjaan semacam ini. Kalau tidak buat
menjual diri, tidak mungkin dia mau berbuat demikian.”
“Hanya cara menjual diri perempuan ini tadi sebetulnya
agak berlainan dari yang lain,” berkata To Siao Thian sambil tertawa.
Rumah yang disediakan oleh Ma Hwe Hwe untuk keperluan si
Raja Garuda Lengan Satu benar saja sangat tenang.
Begitu masuk pintu, Si Nio mendorongnya sekuat tenaga,
katanya dingin:
“Mabukmu seharusnya sudah waktunya untuk sadarkan diri!”
“Mabuk arak mana bisa sadar demikian cepat?” berkata si
Raja Garuda Lengan Satu sambil tertawa.
“Kau sebetulnya memang tidak mabuk, apa kau kira aku bisa
kau kibuli?” berkata Si Nio sambil tertawa dingin.
“Juga tahu, sadar ialah mabuk, mabuk berarti sadar,
penghidupan manusia memang seperti main sandiwara. Perlu apa kau bedakan
demikian jelas?”
Ia mencari poci teh sendiri, lalu ditenggaknya begitu
saja, sedang mulutnya menggumam:
“Arak terbuat dari air, tapi air benar-benar tidak
seperti arak enaknya.”
Si Nio memandang padanya dengan sinar mata dingin,
katanya:
“Sekarang aku sudah antar kau pulang, kau masih hendak
suruh aku bikin apa?”
Dengan tangannya yang tinggal satu, si Raja Garuda Lengan
Satu menarik tangan Si Nio, lalu berkata sambil menyipitkan matanya:
“Orang laki pada saat seperti ini hendak melakukan apa,
apakah betul-betul kau tidak mengerti?”
Si Nio mengibaskan tangannya, katanya dengan suara keras:
“Dengan hak apa kau mengira aku perempuan semacam itu?
Dengan hak apa kau mengira aku bisa melakukan perbuatan semacam itu?”
“Aku hanya bisa berbuat dengan hak ini,” berkata si Raja
Garuda Lengan Satu, yang sudah lantas mengeluarkan sepotong uang mas,
dilemparkan di atas meja, sedang matanya tak lepasnya terus melirik kepada Si
Nio dan mulutnya berkata:
“Ini kau mau tidak?”
“Kami yang melakukan pekerjaan seperti ini, tujuannya
memang buat mencari uang semata-mata. Jikalau bukan lantaran hendak mencari
uang, siapa yang kesudian harus dianggap botol arak oleh orang lain?”
Si Raja Garuda Lengan Satu tertawa besar, katanya:
“Kiranya kau masih mau uang? Kalau begitu mudah sekali.”
Kembali ia menarik tangan Si Nio, dan Si Nio mengibaskan
lagi, katanya dingin:
“Meskipun aku mau uang, tetapi aku juga harus memilih
orangnya.”
Wajah si Raja Garuda Lengan Satu berubah, katanya:
“Kau mau memilih orang macam apa? Lelaki tampan?”
“Lelaki tampan sudah banyak aku melihatnya, yang
kukehendaki ialah laki-laki yang benar-benar jantan!”
“Itu benar, kau memilih aku tidak bisa salah lagi, aku
adalah laki-laki yang jantan benar-benar,” berkata si Raja Garuda Lengan Satu
sambil tertawa.
Si Nio mengawasi padanya dari atas sampai ke bawah,
kemudian berkata:
“Yang kukehendaki ialah laki-laki yang hebat, apakah kau
ya?”
“Sudah tentu.”
“Jikalau kau benar-benar memiliki kehebatan,
perlihatkanlah padaku. Jikalau kau bisa menggerakkan hatiku, sekalipun kau
tidak memberikan uang sama sekali, aku juga bersedia melayani kau.......”
“Kau tidak kenal aku, sudah tentu tidak tahu betapa
hebatnya aku ini. Tetapi orang-orang dunia Kang-ouw yang pernah mendengar
namaku, kalau aku sudah suruh ia pergi ke timur, ia tidak mungkin berani menuju
ke barat,” berkata si Raja Garuda Lengan Satu sambil tertawa.
“Membual setiap orang pun bisa.”
“Kau tidak percaya? Baik, aku perlihatkan padamu.”
berkata si Raja Garuda Lengan Satu.
Ia menggunakan tangannya dan memotong perlahan di atas
meja, meja itu telah terpapas bagaikan oleh pisau tajam.
“Baik, benar kau mempunyai kepandaian. Tetapi dalam
mataku masih belum cukup.........” berkata Si Nio hambar.
“Tidak perduli bagimu sudah cukup atau belum, tapi aku
sudah tidak bisa sabar menunggu lagi,” berkata si Raja Garuda Lengan Satu
sambil tertawa besar.
Ia menarik perlahan, Si Nio hampir jatuh dalam
pelukannya.
Si Nio memejamkan matanya tanpa bergerak, katanya:
“Tenagamu besar, kalau kau hendak memperkosa aku, aku
juga tidak berdaya untuk melawan. Tetapi seorang laki yang benar-benar jantan,
seharusnya suruh perempuan yang mengikuti kemauannya dengan kerelaan hatinya
sendiri.”
Si Raja Garuda Lengan Satu bungkam, sebab tangannya sudah
bergerak, meskipun ia hanya memiliki satu tangan saja, tetapi gerakannya lebih
cepat dan lebih hebat daripada orang laki lain yang mempunyai tangan dua.
Si Nio menggertak gigi, katanya sambil tertawa dingin:
“Percuma saja kau berani mengatakan sendiri seorang
laki-laki jantan, kiranya kau hanya bisanya menghina seorang perempuan. Orang
laki yang menghina orang perempuan bukan saja seorang yang tidak tahu malu,
juga paling tidak ada harganya. Aku sungguh tidak menduga kau adalah seorang
laki bertipe demikian.”
Si Raja Garuda Lengan Satu mendengus, katanya sambil
tertawa:
“Kau kira aku ini orang macam apa?”
“Kulihat meskipun mukamu buruk, namun masih ada sedikit
sifat laki-laki, maka aku baru mau mengikuti kau datang kemari. Tapi jikalau
diganti dengan tiga orang itu, sekalipun mereka mabok dan rubuh di tanah, aku
juga tidak sudi membangunkan mereka” kata Sie Nio.
Ia menarik napas perlahan, lalu katanya lagi dengan suara
hambar:
“Siapa sangka aku ternyata sudah keliru melihat tentang
dirimu. Tapi ini juga terpaksa cuma bisa sesalkan diriku sendiri, tidak dapat
menyesalkan orang lain…………, baik… kalau kau mau lekaslah, biar bagaimana urusan
ini juga tidak memerlukan banyak waktu”.
Tangan si Raja Garuda lengan satu sekarang sudah tidak
begitu aktif lagi, orangnya juga diam. Sekian lama ia berada dalam keadaan
tercengang, barulah lompat bangun dan berkata dengan suara keras:
“Kau sebenarnya menghendaki aku berbuat bagaimana?”
Sie Nio duduk dan berkata:
“Aku dengar, orang yang memiliki kepandaian semakin
tinggi, semakin tidak suka memperlihatkan. Contohnya, Hansin di jaman dahulu,
meskipun terhina disuruh merangkak di bawah selangkangan kaki orang, ia menurut
saja. Orang-orang dikemudian hari baru merasakan bahwa ia itu benar-benar
seorang yang hebat, sebab pada saat itu ketika ia dibunuh oleh kaum bajingan
itu, masih ada yang mengaguminya dengan prestasinya dikemudian hari”.
“Apakah kau menghendaki aku merangkak di bawah selangkanganmu?”
Sie Nio merasa geli hingga tidak dapat menahan tawanya.
Kalau disaat ia tidak tertawa, hanya merupakan seorang
cantik seperti patung, tapi setelah tertawa, benar-benar sangat menggiurkan,
jikalau ada pria yang melihatnya dan tidak tergerak hatinya, orang itu pasti
seorang laki-laki yang sudah tidak bernyawa.
Si Raja Garuda Lengan Satu tentu bukan orang mati, dengan
mata terbelalak ia berkata sambil tertawa:
“Aku Su-khong Cu pernah malang melintang dalam dunia
kang-ouw, tetapi jika kau benar-benar suruh aku merangkak di bawah
selangkanganmu, aku juga bisa menurut.”
“Bukan itu maksudku. Tapi………..” berkata Sie Nio.
Biji matanya berputaran, kemudian berkata pula:
“Kalau kau kupukul sekali, namun tidak membalas, itulah
baru laki-laki bersifat jantan. Baru benar-benar seorang laki-laki yang
mempunyai keberanian.”
Si Raja Garuda Lengan satu berkata sambil tertawa besar:
“Ini sangat mudah. Kalau kau mau, kau boleh pukul aku
sepuasnya, apa salahnya?”
“Benarkah?”
“Sudah tentu benar! Sekarang kau boleh coba pukul. Pukul
lebih berat juga tidak halangan.” “Kalau begitu aku benar-benar hendak
memukulmu”
Ia menggulung lengan bajunya, sehingga tampak tangannya
yang putih.
Si Raja Garuda lengan Satu benar-benar sama sekali tidak
bergerak, ia rupanya sudah terima dirinya dipukul orang.
Itulah orang lelaki yang patut dikasihani. Karena hendak
menunjukkan dirinya seorang laki-laki berjiwa jantan di hadapan perempuan,
karena hendak menunjukkan keberaniannya, oarng laki-laki benar-benar dapat
melakukan apa saja.
Sie Nio tertawa, tangannya lalu memukul ringan.
Ia bergerak lambat, tetapi sewaktu hendak memukul muka
Raja Garuda Lengan Satu, lima jari tangannya yang runcing dengan tiba-tiba
melakukan totokan demikian cepat dan dengan beruntun beberapa kali, menotok
empat tempat di bagian jalan darah orang itu.
Si Raja Garuda Lengan Satu jelas tidak menduga sama
sekali akan tindakan Hong Sie Nio itu, ketika ia menyadari, sudah tidak keburu
lagi…….. hingga ia sendiri seketika itu juga sudah berubah menjadi patung
Sementara itu Sie Nio sudah memperdengarkan suara
tertawanya yang nyaring, setelah itu ia berkata:
“Baik, Raja Garuda Lengan Satu benar saja memiliki jiwa
laki-laki jantan, aku kagum kepadamu!”
Si Raja Garuda Lengan Satu hanya mendelikkan matanya
memandang padanya, matanya itu sudah merah membara, tapi dari mulutnya sepatah
katapun tidak dapat keluar, seluruh mukanya sudah kaku.
Sie Nio berkata pula:
“Sebetulnya kau tidak perlu marah, tidak perlu sedih.
Sebab tidak perduli bagaimana pintarnyapun laki-laki, kalau sudah melihat
perempuan cantik, juga bisa berubah jadi linglung.”
Ia tertawa gembira, kemudian berkata lagi:
“Maka itu, ada beberapa gadis cilik berusia tujuh belas
tahunan, juga bisa menipu seorang tua bangka licik yang gemar paras elok. Dalam
dunia ini urusan semacam ini banyak sekali…….”
Sambil berkata demikian, tangannya meraba-raba seluruh
tubuh si Raja Garuda Lengan Satu.
Si Raja Garuda Lengan Satu memakai pakaian pendek tetapi
lebar.
Bungkusan kuning yang tadi berada di tangannya, justru
disembunyikan dalam pakaiannnya.
Sie Nio setelah menemukan bungkusan itu, matanya bersinar
semakin terang.
Ia membuka bungkusan kuning itu, di dalamnya ternyata ada
kotak untuk menyimpan golok.
Golok dalam kotak itu memancarkan sinarnya yang
berkilauan.
Sie Nio lama memandang golok dalam kotak itu, sedang
mulutnya menggumam:
“Siauw Cap-it-long, Siauw Cap-it-long! Kau anggap dengan
seorang diri aku tidak dapat merampas golok ini? Kau bukan saja terlalu
memandang rendah diriku, tetapi juga terlalu memandang rendah kepada kaum
wanita, betapakah besar kepintaran seorang wanit, barangkali tidak dapat
dipikirkan untuk selama-lamanya oleh kalian kaum pria.”
Aih, sungguh seorang perempuan yang hebat!
Hong Sie Nio benar-benar boleh dikata seorang perempuan
yang hebat.
Tetapi Hong Sie Nio bagaimanapun juga adalah seorang
wanita.
Wanita jikalau melihat barang yang disenangi sendiri,
lalu tidak melihat bahaya yang mengancam dirinya.
Betapa banyak laki-laki yang gemar paras elok kebanyakan
semua tahu kelemahan kaum wanita ini, maka sering menggunakan barang hadiah
yang menyolok dan menarik, dan menjaga serangan yang membahayakan dirinya
sendiri.
Saat itu, seluruh perhatian Hong Sie Nio sedang
dicurahkan ke golok pusaka itu, hingga tidak melihat kalau bibir si Raja Garuda
Lengan Satu sudah tersungging satu senyuman yang menyeramkan.
Ketika ia hendak berjalan, sudah tidak keburu lagi.
Lengan yang panjangnya seperti orang hutan dari si Raja
Garuda Lengan Satu itu dengan tiba-tiba dan secepat kilat sudah diulur
menyambar dada Hong Sie Nio, hingga setengah badannya menjadi kesemutan sesaat
itu juga, sudah tentu golok di tangannya lalu jatuh terlempar ke tanah.
Gerakan tangannya yang demikian cepat gesit, membuat Hong
Sie Nio tidak mendapat kesempatan untuk mengelak.
Si Raja Garuda Lengan Satu berkata sambil tertawa besar:
“Jikalau kau anggap aku benar-benar seorang tolol, itu
berarti kau bukan saja sudah pandang rendah diriku, juga terlalu pandang rendah
kami kaum pria. Kepintaran laki-laki sebetulnya ada berapa besar, barangkali
tidak dapat terpikirkan oleh kalian orang-orang perempuan yang biasanya kerja
di dapur!”
Hati Hong Sie Nio waktu itu meskipun sudah seperti
tenggelam, tetapi di wajahnya masih tersungging senyuman manis. Sebab ia tahu
senjata satu-satunya pada saat itu ialah senyuman.
Ia melirik si Raja Garuda Lengan Satu, lalu berkata
sambil tersenyum manis:
“Perlu apa kau marah-marah? Orang laki satu kali ditipu
oleh orang perempuan bukankah itu merupakan suatu hal yang sangat interesan?
Jikalau terlalu menganggap benar-benar tambah tidak ada artinya lagi.”
“Orang perempuan satu kali diperkosa oleh orang laki-laki,
bukankah juga suatu hal yang sangat interesan?”
Tangannya dengan mendadak mencengkeram hebat, hingga
sekujur tubuh Hong Sie Nio kini menjadi kesemutan, sedikit tenagapun ia sudah
tidak punya. Ketika sekali lagi ia dipukul oleh punggung telapak tangan si Raja
Garuda, waktu itu juga tubuhnya lantas terjatuh di atas pembaringan.
Si Raja Garuda Lengan Satu sudah berjalan menghampirinya
sambil unjukkan tertawanya yang menyeramkan. Hong Sie Nio terpaksa mengertak
gigi, dengan menggunakan sisa kekuatan tenaga yang ada padanya, kakinya
menjejak ke depan.
Tetapi tendangan itu belum dilakukan, kakinya sudah
terpegang oleh si Raja Garuda Lengan Satu.
Ketika jari tangan si Raja Garuda Lengan Satu menekan
kaki itu, kaki Hong Sie Nio dirasakan seperti mau patah, air matanya juga
hampir keluar.
Sepatu kain warna hijau yang tipis juga sudah berobah
menjadi robek sehingga tampak kaki Hong Sie Nio yang putih halus, sedikitpun
hampir tidak ada cacatnya.
Si Raja Garuda Lengan Satu ketika melihat sepasang kaki
yang indah itu, seolah-olah sudah menjadi kesima, sedang mulutnya menggumam:
“Sepasang kaki yang indah.....”
Ia menundukkan kepala, mencium telapakan kaki Hong Sie
Nio.
Tiada ada seorang perempuan yang tidak takut geli di
telapakan kakinya, terutama Hong Sie Nio. Kumis si Raja Garuda Lengan Satu yang
kaku bagaikan rumput menusuk telapakan kakinya, sedangkan suara dengusan napas
seperti kerbau dipotong menusuk-nusuk hatinya. Ia boleh terkejut, takut dan
marah.... namun apa daya?....
Dalam keadaan demikian, ia benar-benar sudah tidak
sanggup lebih lama.
Meskipun hatinya sudah hampir meledak, tetapi orangnya
masih bisa tertawa tergelak-gelak, hingga mengeluarkan air matanya. Ia sambil
tertawa, mulutnya terus memaki-maki tidak berhentinya.
“Binatang, kau binatang yang tidak mau mampus ini, lekas
bebaskan aku.....”
Segala ucapan yang paling keji ia sudah keluarkan semua,
namun masih tidak dapat mengendalikan rasa gelinya.
Si Raja Garuda Lengan Satu pendelikkan matanya, sepasang
matanya seperti api membara, mendadak ia mengulurkan tangannya, baju didepan
dada Hong Sie Nio telah dirobek, sehingga tampak buah dadanya yang bulat
menonjol.
Hampir saja Hong Sie Nio jatuh pingsan. Ia hanya
merasakan bahwa tubuh si Raja Garuda Lengan Satu kini sudah mulai menindihi
tubuhnya, ia hanya dapat menggunakan sepasang kakinya untuk melilit dan
meronta, bagaimanapun juga tidak mau melepaskan.
Terdengar suara mendengus si Raja Garuda Lengan Satu :
“Kau perempuan busuk ini, ini adalah kau sendiri yang
mencari mampus, tidak boleh sesalkan aku”
Tangannya sudah mencengkeream leher Hong Sie Nio sampai
perempuan ini hampir2 tidak bisa bernapas, mana masih mempunyai tenaga untuk
melawan? Matanya perlahan2 menjadi lemas, dan sepasang kakinya perlahan2 juga
mulai kendur........
Dalam keadaan seperti itu, mendadak terdengar suara
gempuran dijendela, dan daun jendela telah terbuka lebar.
SEorang berbaju warna hijau bagaikan anak panah melesat
dari busurnya mencelat masuk, merampas golok yang terjatuh ditanah.
si Raja Garuda Lengan Satu benar-benar tidak kecewa
menjadi seorang tokoh kenamaan yang sudah banyak pengalaman, dalam keadaan
seperti itu, ternyata tidak menjadi gugup dengan satu gerakan mencelat balik,
lengan tangannya yang panjang berbulu menyambar kepala orang itu.
Orang itu tidak keburu memungut golok, tubuhnya
dikerutkan dan lompat mundur setengah kaki.
Tiba tiba terdengar suara krak, lengan si Raja Garuda
yang tinggal satu itu mendadak jadi tambah panjang setengah kaki, tempat yang
tadi tidak dapat dijangkaunya, sekarang sudah dalam kekuasaannya.
Itulah kepandaian tunggal si Raja Garuda Lengan Satu yang
membuat ia bisa malang melintang didunia Kang ouw. Tetapi, orang itu ternyata
bukan orang sembarangan. Jikalau orang lain, bagaimanapun juga rasanya sulit
untuk mengelakkan samberan tangannya itu.
Tak disangka oleh si Raja Garuda, orang berpakaian hijau
itu sungguh memiliki kegesitan yang tidak habis dipikir, dengan tiba2 ia
memutar tubuhnya, tangannya sudah membacok pergelangan tangan si Raja Garuda,
sedang ujung kakinya menyontek golok ditanah hingga golok itu terbang kearah
Hong Sie Nio
Hong Sie Nio dengan sebelah tangannya menutupi baju
bagian depannya yang terkoyak, tangan yang lainnya menyambuti datangnya golok,
lalu berkata sambil tertawa terkekeh-kekeh :
“Terima kasih kuucapkan padamu....”
Diantara suara tertawanya, orangnya sudah terbang dan
melesat keluar dari lubang jendela.
Orang berbaju hijau itu menghela napas, ia membalikkan
tangan dan mengibas, saat itu juga ada sebilah golok bersinar berkilauan
bagaikan rantai yang menyambar bahu Raja Garuda Lengan Satu.
Kecepatan gerak golok itu, benar-benar sulit dilukiskan.
Seorang tokoh kenamaan seperti Raja Garuda Lengan Satu
yang sudah malang melintang beberapa puluh tahun didunia Kang-ouw, sesungguhnya
juga belum pernah melihat, menyaksikan ilmu golok yang demikian cepat, bahkan
dengan cara bagaimana golok itu keluar dari sarungnya. Ia juga tidak melihat
nyata, dalam keadaan terkejut, ia lompat balik, dan membentak dengan suara
bengis :
“Kau siapa?”
Orang berbaju hijau itu juga tidak menjawab, ia mencecar
dengan hebatnya, hanya nampak sinar goloknya yang berputar putaran demikian
rapat, mengancam si Raja Garuda Lengan Satu.
Si Raja Garuda Lengan Satu berhasil mengelakkan serangan
gencar itu, dengan tiba tiba ia lompat mundur dan berkata sambil tertawa
terbahak bahak :
“Siauw Tjap-it-long! Kiranya adalah kau!”
Orang berbaju hijau itu juga berkata sambil tertawa
besar:
“Raja Garuda benar2 tajam matamu!”
Diantara suara tertawanya, orang berikut goloknya sekali
dengan tiba2 sudah menjadi satu, merangsak kedepan.
Begitu sinar goloknya berkelebat, orangnya sudah lompat
keluar melalui lobang dijendela.
Si Raja Garuda Lengan Satu memperdengarkan suara
hardiknya, ia juga lompat keluar pergi mengejar.
Diluar gelap gulita dan sunyi senyap, hanya sinar bintang
yang menyinari bumi, sudah tidak tertampak lagi bayangan Siauw Tjap-it-long.
Hong Sie Nio yang waktu itu sudah berada didalam kamar,
sambil menukar pakaian mulutnya terus memaki2 dengan suara yang sangat
perlahan, tidak tahu siapa yang dimaki olehnya, juga entah ucapan apa yang
keluar dari mulutnya.
Hanya diwajahnya tidak tampak tanda marah, sebaliknya
malah merasa gembira terutama ketika ia melihat kotak golok diatas tempat
tidur, dibibirnya tersungging senyum manis
Hong Sie Nio dengan sebelah tangannya menutupi baju
bagian depannya yang terkoyak, tangan yang lainnya menyambuti datangnya golok,
lalu berkata sambil tertawa terkekeh kekeh :
“Terima kasih kuucapkan padamu... "
Diantara suara tertawanya, orangnya sudah terbang dan
melesat keluar dari lubang jendela.
Orang berbaju hijau itu menghela napas, ia membalikkan
tangan dan mengibas, saat itu juga sebilah golok bersinar berkibaran bagaikan
rantai yang menyambar bahu Raja Garuda Lengan Satu.
Kecepatan gerak golok itu, benar benar sulit dilukiskan.
Seorang tokoh kenamaan seperti Raja Garuda Lengan Satu
yang sudah malang melintang beberapa puluh tahun didunia Kang-ouw, sesungguhnya
juga belum pernah melihat, menyaksikan ilmu golok yang demikian cepat, bahkan
dengan cara bagaimana golok itu keluar dari sarungnya. Ia juga tidak melihat
nyata, dalam keadaan terkejut, ia lompat balik, dan membentak dengan suara
bengis :
“kau siapa ?”
Orang berbaju hijau itu juga tidak menjawab, ia mencecar
dengan hebatnya, hanya tampak sinar goloknya yang berputar piteran demikian
rapat, mengamcam di Raja Garuda Lengan Satu.
Si Raja Garuda Lengan Satu berhasil mengelakkan serangan
genjar itu, dengan tiba tiba ia lompat mundur dan berkata sambil tertawa
terbahak bahak :
“Siauw Cap it-long ! kiranya adalah kau !”
Orang berbaju hijau itu juga berkata sambil tertawa lebar
:
“Raja Garuda benar benar tajam matamu !”
Diantara suara tertawanya, orang berikut goloknya sekali
dengan tiba tiba sudah menjadi satu, merangsek kedepan.
Begitu sinar goloknya berkelebat, orangnya sudah lompat
keluar melalui lobang jendela.
SI Raja Garuda Lengan Satu memperdengarkan suara
hardiknya, ia juga lompat keluar pergi mengejar.
Diluar gelap gulita dan sunyi senyap, hanya sinar bintang
yang menyinari bumi, sidah tidak tampak lagi bayangan Siauw Cap it-long.
Hong Sie Nio waktu itu sudah berada didalam kamar, sambil
meukar pakain mulutnya terus memaki maki dengan suara yang sanat perlahan,
tidak tahu siapa yang dimaki olehnya, juga entah ucapan apa yang keluar dari
mulutnya.
Hanya diwajahnya tidak tampak tanda marah, sebaliknya malah
merasa gembira terutama ketika ia melihat kotak golok diatas tempat tidur,
dibibirnya tersungging senyum manis.
Golok Kwa-liok-to yang dipikirkan siang hari malam
olehnya itu, akhirnya terjatuh juga ketangannya.
Lantaran golok itu, Hong Sie Nio benar benar sudah
memeras otak dan tenaga, beberapa hari berselang, ia sudah tiba dikota itu,
sebab ia sudah menghitung dengan pasti bahwa Thio Bu Kek pasti melalui kota
ini.
Diluar kota, ia menyewa sebuah rumah kecil ditempat sepi,
lalu pergi mencari lagi kepada Ma Hwe Hwe. Ma Hwe Hwe adalah seorang yang cukup
setia kawan, dahulu karena pernah hutang budi padanya, sudah tentu ia tak boleh
tidak harus memberikan bantuannya.
Tetapi si Raja Garuda Lengan Satu sesungguhnya merupakan
seorang tokoh yang tangguh, hingga hampir saja ia sendiri yang terjatuh
dicengkeraman raja garuda. Djikalau bukan lantaran datangnya Siauw
Tjap-it-long.....
Teringat diri Siauw Tjap-it-long, ia mendadak merasa
gemas.
Baru saja ia membetulkan kancing leher dibajunya, diluar
jendela tiba tiba terdengar suara orang menghela napas panjang, katanya dengan
suara sedih :
“Dinasehatkan tuan tuan sekali2 jangan berkawan dengan
orang perempuan, lebih2 jangan membantu perempuan. Kalau kau membantu juga
padanya, ia sebaliknya bisa kabur, dan meninggalkan kau seorang diri biar
terjemur juga.”
Mendengar suara itu, wajah Hong Sie Nio semakin merah,
tanpa disadari olehnya kancing yang baru diperbaiki tadi juga dipatahkan
olehnya, tampaknya ia sudah ingin menendang hancur jendela tetapi kemudian ia
menahan sabar lagi, sebaliknya malah tertawa terkekeh kekeh dan berkata:
“Sedikitpun tidak salah, aku justru merasa gemas dan
ingin kau terjemur mati disitu biar si Raja Garuda Lengan satu itu mengorek
hatimu, sebetulnya bagaimana rupanya entah hitam atau merah?”
Daun jendela terbuka sedikit, Siauw Tjap-it-long
menongolkan mukanya, katanya sambil tertawa cekikikan:
“Entah hatiku entah hatimu yang hitam?”
“Kau masih berani mengatai aku? Aku ini sejujur hatiku
minta kau bantu aku, tapi kau menolaknya dengan alasan rupa2, lantaran terpaksa
aku pergi sendiri, tapi kau diam2 mengikuti aku, hampir aku akan berhasil kau
muncul dengan mendadak. Ingin enak2 tanpa mengeluarkan keringat memungut hasil
orang. Coba kau pikir sendiri, kau ini orang apa?”
Ia semakin berkata semakin marah, akhirnya ia tidak dapat
kendalikan emosinya dan lompat menerjang jendela hingga dijendela itu terbuka
satu lubang besar, ia rupanya begitu gemas sekali, dan mengharap bahwa yang
ditendang tadi adalah muka Siauw Tjap-it-long.
Namun Siauw Tjap-it-long siang2 sudah kabur jauh2,
setelah itu ia balik kembali dan berkata sambil tertawa:
“Sudah tentu aku bukan barang, sudah jelas aku adalah
orang, bagaimana kau katakan barang?”
Ia menghela napas dan lalu menggumam sendiri:
“Mungkin aku benar2 tidak harus datang biar saja sisetan
kepala besar tadi mencium kakimu yang bau busuk, biar ia mabok dan mati, dan
aku juga sudah tidak perlu lagi.....”
Hong Sie Nio berteriak, katanya sambil memaki-maki:
“Kentutmu! Bagaimana kau tahu kalau kakiku bau busuk? Apa
kau sudah pernah menciumnya?”
“Aku tidak mempunyai kegembiraan seperti itu” menjawab
Siauw Tjap-it-long sambil tertawa.
Hong Sie Nio saat itu juga merasakan bahwa dengan
ucapannya itu, sebetulnya mencari kesulitan sendiri, maka ia lalu berkata lagi
dengan muka merah:
“Sekalipun benar kau telah membantu aku, tapi aku juga
tidak suka menerima budimu. Sebab kau sama sekali bukan menolong aku tadi, yang
kau maksudkan hanya golok itu saja”
“oh!”
“Jikalau kau benar datang hendak menolong aku, mengapa
kau tidak perdulikan orangnya, sebaliknya merampas goloknya lebih dahulu?”
Siauw Tjap-it-long geleng-gelengkan kepala, katanya
sambil tertawa getir:
“Perempuan ini sedikitpun tidak mengerti akal muslihat
suara ditimur menyerang dibarat..... Sekarang kutanya padamu. jikalau aku tidak
merampas goloknya itu lebih dulu, mana bisa demikian mudah ia melepaskan kau?”
Itu memang benar juga, hingga Hong Sie Nio jadi terdiam.
Sebab apabila Siauw Tjap it long waktu itu tidak merampas
goloknya lebih dulu, atau kalau ia menyerang orangnya lebih dahulu, ia sendiri
mungkin sudah dilukai oleh raja garuda lengan satu.
Sementara itu Siauw Tjap it long sudah berkata:
“Jikalau ada seekor tikus coba naik ke gelasmu, apa kau
dapat menggunakan batu untuk memukulnya? Apakah kau tidak takut akan memecahkan
gelasmu sendiri?”
“Ialah, hitung-hitung kau pandai bicara.....” berkata
Hong Sie Nio dengan muka cemberut.
“Aku tahu dalam hatimu juga sudah mengerti kesalahanmu,
tetapi mulutmu tetap tidak mau mengakui.” berkata Siauw Tjap it long sambil
tertawa geli.
“Bagaimana kau tahu isi hatiku? Apakah kau cacing dalam
perutku?”
Justru karena dalam hatimu mengakui salah, lalu kau
berterima kasih kepadaku, maka aku jadi berani demikian galak. Asal dalam
hatimu sudah berterima kasih kepadaku, apa yang keluar dari mulutmu juga tidak
ada arti apa-apa.
Hong Sie Nio meskipun ingin cemberutkan mukanya, tapi
akhirnya tak tahan merasa gelinya.
Hati perempuan memang sangat aneh, terhadap laki-laki
yang tidak ia senangi, hatinya bisa keras bagaikan baja, tetapi kalau ketemu
laki=laki yang disukanya, hatinya tidka bisa keras lagi.
KEPANDAIAN ORANG LELAKI
Siauw Cap-it-long terus memandang ke arah Hong Sie Nio,
seolah-olah orang terkesima.
Hong Sie Nio pendelikan matanya, katanya sambil tertawa
geli :
“Apa yang kau lihat ?”
“Kau ternyata tidak mengerti. Saatnya yang paling menarik
dan paling manis bagi seorang perempuan, sewaktu ia sedang cemberut, tetapi
tidka sanggup menahan rasa gelinya. Kesempatan ini mana boleh aku lewatkan
begitu saja?” jawab Siauw Cap-it-long.
“Cis! Kau jangan terlalu menyanjung aku. Sebetulnya apa
yang sedang terpikir dalam hatimu, semua aku tahu.”
“Oh! sejak kapan kau juga sudah berubah menjadi cacing
dalam perutku ?”
“Kali ini dugaanmu meleset, dalam hatimu sudah tentu
penasaran, selalu pikir dari aku sini untuk mendapat kembali sedikit
keuntungan. Betul tidak ?”
“Itu juga bukan, tapi.... "
Ia tertawa dan berkata lagi :
“Kau sudah memiliki golok Kwa-liok-to, untuk apa pedangmu
Na-giok itu ?”
“Aku sudah tahu kau bangsat kecil ini memang sedang
mengincar pedangku itu.... , Tapi baiklah, mengingat kau masih demikian
berbakti terhadap aku, sekarang biarlah pedang pusaka ini kuhadiahkan
kepadamu.”
Ia lalu mengeluarkan pedang, dilemparkan keluar jendela.
Siauw Cap-it-long menyambut datangnya pedang dengan kedua
tangannya, lalu berkata sambil tertawa :
“Terima kasih.”
Ia menghunus pedangnya, dielus-elus dengan mesra, sedang
mulutnya mengguman sendiri :
“Benar saja sebilah pedang yang sangat bagus sekali, Tapi
sayangnya dipakai hanya oleh kaum wanita saja.”
Hong Sie Nio mendadak bertanya :
“Oh ya, kau menghendaki pedang kaum wanita ini untuk apa
?”
“Sudah tentu hendak kuberikan kepada seorang wanita.”
menjawab Siauw Cap-it-long sambil tertawa.
“Hendak kau berikan kepada siapa ?” bertanya Hong Sie Nio
sambil mendelikkan matanya.
“Kuberikan kepada siapa, sekarang ini aku masih belum
tahu, tapi biar bagaimana aku pasti akan dapat menemukan seorang wanita yang
cocok untuk kuberikan pedang ini, kau jangan khawatir.”
Hong Sie Nio gigit bibir, katanya :
“Baik! Tapi kalau kau nanti sudah menemukan, kau harus
beritahukan padaku!”
“Baik sekarang aku hendak pergi mencari.”
Siauw Cap-it-long lalu memutar dirinya hendak berlalu,
Hong Sie Nio kembali berseru padanya :
“Tunggu dulu.”
Siauw Cap-it-long lambat-lambat membalikkan tubuhnya dan
bertanya :
“Masih ada perintah apa lagi ?”
Sepasang biji mata Hong Sie Nio berputaran , ia mengambil
golok Kwa-liok-to di atas pembaringan katanya :
“Apakah kau tidak ingin melihat golok ini ?”
“Tidak.”
Jawabannya itu ternyata demikian tegas, hingga
mengejutkan Hong Sie Nio, tanyanya :
“Kenapa ?”
Siauw Cap-it-long tertawa, kemudian berkata :
“Sebab ......., jikalau dugaanku tidak keliru, golok ini
tentunya barang palsu!”
“Barang palsu ? berdasar atas apa kau menganggap golok
ini palsu ?”
“Sekarang hendak ku tanya kepadamu, Thio Bu-kek, To Siao
Thian, dan Hay-leng-tju, tiga orang ini bagaimana dalam pandangan matamu?”
“Tiga orang itu semua bukanlah orang baik-baik.” menjawab
Hong Sie Nio sambil tertawa dingin.
“Kalau begitu, kenapa mereka mencari siluman tua si raja
garuda lengan satu itu dan dengan rela hati mereka malah di bikin mendongkol
olehnya, bahkan masih mennyerahkan golok kepadanya, dan setelah urusan berhasil
juga dia seorang nanti yang akan unjuk muka ? Seorang tokok lihay seperti Thio
Bu-kek, sebab apa dapat melakukan perbuatan setolol itu ?”
“Coba kau kata apa sebabnya ?”
“Justru disebabkan mereka hendak menggunakan si Raja
Garuda Lengan Satu ini sebagai setan pengganti nyawa mereka menjadi sasaran
anak panah.”
“Sasaran anak panah ?”
“Mereka sudah tahu betul bahwa sepanjang jalan ini sudah
pasti ada banyak orang yang bisa merampas golok pusaka itu dan orang yang
berani merampas golok itu, sudah tentu memiliki kepandaian cukup, maka itu mereka
lalu menyerahkan sebilah golok yang palsu pada Su khong Cu biar semua orang
pergi merampas golok paslu itu, dan dengan demikian mereka baru dapat
mengantarkan golok yang tulen ke tempatnya dengan selamat.”
Ia menghela nafas dan berkata pula :
“Coba kau pikir, jikalau mereka tidak tahu golok itu
sebenarnya adalah palsu, disini kita bertempur demikian hebat, mengapa mereka
bertiga tidak ada satupun yang datang membantu ?”
“Dalam hal ini mungkin disebabkan mereka takut mengganggu
Su-khong Cu...... bahkan mereka memang berdiam di tempat lain, Ma Hwe Hwe hanya
menyediakan satu tempat saja untuk Su-khong Cu seorang menginap.
“Jikalau benar golok yang di bawa Su-khong Cu itu adalah
golok yang tulen, apakah mereka tidak khawatir ia seorang diri berdiam disini
?”
Hong Sie Nio kini tidak dapat berkata apa-apa lagi.
Ia berdiam sekian lama, dengan mendadak mengeluarkan
goloknya, katanya dengan suara keras :
“Tidak peduli apa juga katamu, aku tetap tidak percaya
kalau golok ini kau bilang barang palsu!”
Golok itu kelihatannya memang sangat bagus, sinarnya
berkilauan menyilaukan mata. Tetapi kalau diperiksa dengan seksama dapat di
temukan bahwa sinarnya yang berkilauan itu ada buram-buram sedikit, seperti
tusuk konde yang yang di lapis mas.
Siauw Cap-it-long menghunus pedang Na-gioknya dan berkata
:
“Jikalau kau tidak percaya, coba saja kau uji!”
Sambil gigit bibir Hong Sie Nio melesat keluar dari
lubang jendela, dan goloknya digunakan untuk membabat pedang Na-giok di tangan
Siauw Cap-it-long.
Sesaat kemudian terdengar suara nyaring beradunya dua
senjata tajam itu.
Hasilnya, golok yang tadinya berkilauan sinarnya itu kini
telah terkutung menjadi dua potong!
Hong Sie Nio berdiri terpaku di tempatnya, samapi
sepotong golok yang lain juga terlepas dari tangannya dan terjatuh ditanah. Ia
juga masih belum merasa, bila ada orang mengatakan bahwa Hong Sie Nio tidak
bisa tua, maka saat itu dalam waktu sekejapan saja, benar-benar kelihatan sudah
lebih tua beberapa tahun.
Siauw Cap-it-long menggeleng-gelengkan kepalanya dan
mulutnya mengguman :
“Semua orang kata bahwa orang perempuan lebih pintar dari
lelaki, akan tetapi orang perempuan apa sebab selalu bisa tertipu oleh orang
lelaki ?”
Hong Sie Nio mendadak lompat dan berkata dengan suara
marah :
“Kau jelas sudah tahu bahwa golok ini adalah palsu, namum
kau masih menipu pedangku, kau benar-benar seorang bajingan, seorang berandal.”
Siauw Cap-it-long berkata sambil menghela nafas :
“Aku memang benar tidak seharusnya menipu kau. Akan
tetapi oleh karena aku mengenal seorang nona yang sangat pintar, cantik, juga
polos, lagi sudah lama aku tidak bertemu muka dengannya, maka kupikir hendak
cari sebuah barang hadiah untuknya agar ia senang.”
Hong Sie Nio membelalakan matanya lebar-lebar, tanyanya :
“Siapa perempuan itu?”
Siauw Cap-it-long memandang lurus ke depan, dibibirnya
lalu tersungging senyuman yang hangat, katanya lambat-lambat :
“Dia bernama Hong Sie Nio, entah kau kenal dia atau tidak
?”
Sekonyong-konyong dalam hati Hong Sie Nio timbul perasaan
hangat, segala marah semua telah lenyap bagaikan asap tertiup angin sekujur
badannya merasa lemas, ia menyender di jendela seperti tidak bertenaga, katanya
sambil gigit bibir ;
“Kau, kau orang ini ..... aku kenal denganmu paling
sedikit juga harus dikurangi tigapuluh tahun umurku.”
Siauw Cap-it-long menyerahkan pedang Na-giok kepadanya
dengan kedua tangan, katanya sambil tertawa :
“meskipun kau tidak mendapatkan golok Kwa-liok-to, tetapi
ada orang yang menghadiahkan pedang Na-giok-kiam, bukankah kau seharusnya juga
merasa senang ?”
CEMBURU
Didalam sebuah kedai minuman teh di kota Ce-lam.
Kota Ce-lam meskipun merupakan kota yang terkenal dengan
banyaknya orang Kang-ouw yang berkepandaian tinggi, tetapi hendak mencari suatu
tempat yang lebih ramai dan lebih banyak pembicaraan orang dari pada kedai
minuman teh, barangkali sedikit sekali.
Hong Sie Nio sebetulnya tidak banyak waktu untuk duduk di
kedai minuman teh, tetapi setiap kali duduk disitu, ia selalu merasa gembira.
Ia senang kalau ada pria yang memandangnya, memperhatikan dirinya.
Seorang wanita yang bisa menarik perhatian kaum pria,
biar bagaimana merupakan suatu hal yang menyenangkan.
Sebagian besar mata kaum pria yang duduk di dalam kedai
minuman teh itu, memang benar semua ditujukan kepadanya. Kaum wanita yang duduk
minum di kedai minuman teh jumlahnya memang tidak banyak, apalagi perempuan
yang demikian cantiknya, semakin sedikit jumlahnya.
Hong Sie Nio dengan menggunakan sebuah cangkir teh yang
kecil, perlahan-lahan minum tehnya, teh itu tidak begitu harum, teh semacam itu
dia biasanya tidak suka minum tetapi sekarang ia seolah-olah berat untuk
meletakan cangkirnya.
Ia sedikitpun tiada maksud untuk menikmati rasanya teh,
ia sendiri merasa bahwa sikapnya minum teh itu sangat indah menarik, juga masih
dapat membiarkan orang lain menikmati sepasang tangannya yang putih, halus dan
indah.
Siauw Cap-it-long juga sedang mengawasi dirinya, pemuda
itu merasa senang.
Ia kenal dengan Hong Sie Nio sudah banyak tahun, ia
memahami betul adatnya Hong Sie Nio.
Jago betina yang oleh orang-orang dunia Kang-ouw di sebut
sebagai siluman perempuan itu, meskipun susah didekati karena terlalu galaknya,
tetapi ada kalanya ia bisa berlaku kekanak-kanakan yang benar-benar seperti
anak kecil.
Siauw Cap-it-long selama itu suka padanya, setiap kali
berada bersama-sama dengannya, selalu merasa gembira. tetapi di kala berpisah
dengannya, sudah tidak merasa berat.
Ini sebetulnya perasaan semacam apa ? Ia sendiri juga
tidak terang.
Mereka menuju ke kota Ce-lam, sebab golok Kwa-liok-to
juga sudah tiba di kota tersebut.
Masih ada banyak lagi orang-orang terkemuka yang tiba di
kota itu....
Sekonyong-konyong, semua mata yang tadinya di tujukan
kepada Hong Sie Nio, dalam waktu sekejap mata sudah beralih keluar pintu, ada
yang cuma menongolkan kepalanya, ada juga yang sudah bangkit dari tempat
duduknya, lari ke depan pintu.
“Apakah diluar ada datang orang perempuan lain yang jauh
lebih cantik dari padaku ?” demikian Hong Sie Nio bertanya-tanya kepada diri
sendiri.
Ia agak mendongkol, tetapi juga agak heran, hingga ia
juga ingin pergi melihat ke luar pintu.
Setiap kali kalau dalam hatinya ingin melakukan sesuatu,
ia selalu tidak akan ragu-ragu.
Ia keluar ke depan pintu, barulah menyaksikan bahwa apa
yang mereka sedang saksikan itu adalah sebuah kereta.
Kerena itu meskipun sedikit mewah dari pada kereta biasa,
tetapi juga tidak ada bagian yang luar biasa. Baik jendelanya maupun pintunya.
Semuanya tertutup rapat, tidak diketahui orang macam apa sebenarnya yang duduk
di dalamnya.
Kuda yang menarik kereta itu jalannya juga tidak tepat,
kusir yang mengendalikan kuda itu tampaknya sangat berhati-hati hingga
cemetinya juga tidak berani digunakan, seolah-olah takut cemetinya akan melukai
orang di jalanan.
Kuda yang menarik kereta itu boleh dikatakan cukup baik,
tetapi juga bukanlah merupakan kuda yang jempolan.
Yang mengherankan ialah semua mata di tujukan kepada
kereta itu, ada beberapa orang bahkan masih kasak kusuk membicarakannya,
seolah-olah diatas kereta itu telah tumbuh kembang dengan mendadak.
Hong Sie Nio benar-benar tidak habis mengerti, apakah
kaum pria di tempat ini semuanya gila ?
“Apakah orang-orang disini belum pernah melihat kereta ?
Sebuah kereta berkuda saja, apanya yang perlu ditonton?” demikian ia
bertanya-tanya pada dirinya sendiri.
Orang yang berada di sisinya berpaling dan melihatnya
sejenak, kembali mengalihkan pandangan matanya ke arah kereta itu lagi, hanya
seorang tua bungkuk yang menjawabkan pertanyaannya :
“Nona, Kau tidak tahu, Kereta itu meskipun biasa, tapi
orang yang didalam kereta adalah seorang nomor satu di daerah kita ini.”
“Oh! Siapa ?” bertanya Hong Sie Nio.
“Berbicara tentang orang ini, ia benar-benar seorang yang
sangat kesohor, ia adalah nona besar dari keluarga Siem yang bernama Siem Pek
Kun, juga merupakan seorang wanita tercantik dalam rimba persilatan.” berkata
laki-laki tua tadi sambil tertawa.
Ia tampaknya demikian gembira, seolah-olah turut merasa
bangga, katanya :
“Ucapanku tadi keliru, nona Siem sebetulnya sudah tidak
seharusnya dipanggil nona Siem lagi, seharusnya dipanggil Nyonya Lian, baru
betul. Tampaknya nona juga seorang yang banyak pengetahuan dan pengalaman sudah
tentu tahu bahwa di daerah Kow sow ada sebuah perkampungan yang dinamakan Bu
kee san-kung, perkampungan itu adalah perkampungan seorang hartawan nomor satu
di daerah selatan sungai Tiang-kang, suami nona Siem adalah kungcu dari
perkampungan dari perkampungan Bu kee san-kung itu, ialah Lian Seng Pek
kongcu.”
“Lian Seng Pek ... ? Nama ini aku rasanya pernah dengar.”
berkata Hong Sie Nio hambar.
Nama ini sebenarnya sudah pernah dengar dari mulut orang
banyak.
Nama Lian Seng Pek itu pada waktu belakangan ini sangat
terkenal sekali dikalangan Kang-ouw, bagaikan matahari yang sedang berada di
tengah-tengah, baik kawan maupun lawan semua mengakui ketangkasan dan
kegagahannya.
Orang tua bungkuk itu makin lama tampaknya semakin
gembira, katanya pula :
“Nona Siem menikah sudah dua tiga tahun lamanya, bulan
yang lalu baru pulang ke rumah orang tuanya, maka kaum tua dan saudara-saudara
dalam kota ini, semua ingin melihat selama dua tahun ini apakah dia menjadi
semakin cantik atau berkurang kecantikannya.
Tamu-tamu dalam kedai minuman teh itu, semua mengeluarkan
suara seruan kaget, tak disangka2 orang itu hanya mundur selangkah, dan
tangannya sudah berhasil menarik les kuda, dan kereta itu ditariknya hingga
berhenti seketika itu juga.
Sedang kedua kakinya seperti terpantek ditanah, kekuatan
tangannya yang menahan larinya kuda itu barangkali mempunyai kekuatan ribuan
kati, oleh karenanya hingga membuat orang yang menyaksikannya pada memberi
pujian riuh.
Namun orang itu se-olah2 tidak mendengar, dan minta maaf
kepada kusir kereta yang ketakutan setengah mati.
Sehabis minta maaf kepada kusir kereta, orangnya sudah
lari masuk kedalam kedai minuman teh, mulutnya baru tersungging senyuman lebar,
katanya:
“Sie Nio, akhirnya aku dapat menemukan kau juga.”
Hong Sie Nio mendelikkan matanya, lalu katanya dingin:
“Perlu apa kau ber-teriak2 seperti orang gila? Orang lain
tentunya mengira aku hutang uang kepadamu, sampai perlu kau ber-teriak2 tidak
keruan.”
Senyum orang itu tampaknya meskipun agak getir, namun ia
masih tertawa dan berkata:
“Apa salahku?”
Hong Sie Nio mengeluarkan suara dari hidung, katanya:
“Perlu apa kau mencari aku?”
“Tidak.. tidak ada apa-apa.”
“Tidak ada apa-apa? Kalau tidak ada urusan perlu apa
mencari aku?” berkata Hong sie Nio sambil mendelikkan matanya.
Orang itu tampaknya sangat gelisah, katanya:
“Aku.... aku hanya merasa.... sudah lama kita tidak
ketemu muka denganmu, maka itu....”
Oleh karena gelisah, hingga suaranya menjadi gelagapan.
Seorang yang terkenal sopan, saat itu dengan mendadak
berubah seperti orang kebingungan.
Hong Sie Nio juga tidak dapat menahan perasaan gelinya,
maka lalu tertawa, kemudian berkata:
“Sekalipun lama tidak ketemu, kau juga tidak perlu
berkaok-kaok sambil berdiri ditengah jalan, tahu?”
Karena melihat Hong Sie Nio tertawa, orang sopan itu baru
bisa bernapas lega, katanya sambil tertawa juga:
“Kau.... seorang diri?”
Hong Sie Nio menunjuk kepada Siauw Tjap-it-long yang
duduk tidak jauh dengannya katanya:
“Berdua”
sudah dididik keras dengan ilmu kitab dan sopan santun
rumah tangga, hingga jarang sekali keluar. Aku si orang tua sudah menunggu
hampir duapuluh tahun, juga hanya pernah melihat dia satu dua kali saja.”
“Kalau begitu nona Sim ini benar-benar merupakan sebuah
mustika dalam mata kalian orang-orang kota Celam.”
Orang tua itu tidak mengerti bahwa ucapan Hong Si Nio
tadi ada mengandung maksud menyindir, ia malah berkata sambil menganggukkan
kepala dan tertawa:
“Sedikit pun tidak salah, sedikit pun tidak
salah........”
“Ia duduk di dalam kereta, apakah kalian juga bisa
melihat dia?”
“Orang yang tidak dapat melihat dirinya, melihat
keretanya saja juga sudah harus merasa puas.”
Hong Si Nio mendongkol mendengar ucapan itu, untung pada
saat itu kereta sudah berjalan hampir ke ujung jalan, kalau membelok lagi sudah
tidak tertampak lagi, barulah semua orang banyak tadi baru mulai duduk di
tempat masing-masing lagi.
Ada orang masih ramai membicarakan soal kereta tadi:
“Kau lihat orang pulang ke rumah sendiri, sudah dua bulan
lebih lamanya, baru keluar kota satu kali. Aih, siapa yang beruntung dapat
mengawini seorang wanita seperti nona Sim ini, benar-benar sangat beruntung.”
“Tetapi Lian-kongcu juga baik, bukan saja pintar ilmu
surat, hartawan yang banyak uang, kelakuannya juga cukup baik, demikian pula
wajahnya, tetapi juga kabarnya kepandaian ilmu silatnya cukup dapat digolongkan
dalam salah satu orang kuat rimba persilatan. Lelaki semacam itu, ke mana
hendak dicari lagi?”
“Itulah yang dinamakan pasangan yang benar-benar
setimpal.”
“Kabarnya dua hari berselang Lian-kongcu juga pernah
datang ke sini, tapi entah benar atau tidak.........”
Semua mulut pada membicarakan tentang mereka, yang
dibicarakan hanya soal yang menyangkut diri Lian Seng Pek dan Sim Pek Kun
suami-istri itu sebagai orang-orang yang beruntung dan yang jarang ada di dalam
dunia.
Hong Si Nio juga malas untuk mendengar cerita orang
banyak itu lagi, selagi hendak mengajak Siauw Cap-it-long lekas membayar
uangnya dan melakukan perjalanannya, mendadak ia menampak kedatangan seseorang.
Di seberang kedai minuman teh itu, ada sebuah perusahaan
bank yang memakai merk Goan Ki.
Para pedagang dan pelancong yang melakukan perjalanan
jauh pada waktu itu, kalau merasa membawa uang banyak sekali terlalu berat,
boleh ditukar dengan cek dari bank tersebut. Bank-bank yang sudah mendapat
kepercayaan baik di mata rakyat, ceknya berlaku di seluruh negeri. Yang
kepercayaannya agak kurang, sama sekali tidak bisa berdiri lagi.
Waktu itu, banyak perusahaan bank-bank semacam itu,
disebabkan karena kepercayaan mereka dipegang teguh, hingga mendapat nama baik
di mata rakyat.
Dan perusahaan bank merk Goan Ki itu merupakan salah satu
bank terbesar dalam kota itu.
Hong Si Nio melihat orang itu, yang saat itu baru saja
keluar dari perusahaan bank Goan Ki.
Orang itu usianya baru kira-kira tigapuluh tahunan,
mukanya berbentuk persegi, demikian pula mulutnya, mengenakan pakaian berwarna
biru muda, sedang di luarnya memakai jubah panjang warna hijau, tampaknya
seperti orang sopan, demikian pula kelakuannya.
Tetapi Hong Si Nio ketika menampak orang itu, dengan
cepat menggunakan tangannya untuk menutupi muka sendiri, ia menundukkan kepala
dan menggeser mundur tempat duduknya, seolah-olah takut ditagih hutang.
Apa mau, mata orang itu juga sangat tajam, baru saja
keluar dari perusahaan bank Goan Ki, ia sudah melihat Hong Si Nio yang duduk di
kedai minuman teh, begitu melihat Hong Si Nio, matanya segera memancarkan sinar
terang, sedang mulutnya memanggil-manggil:
“Si Nio, Si Nio......... Hong Si Nio..........”
ENAM ORANG SOPAN YANG KESOHOR DI DUNIA
SUARA orang itu sangat nyaring, orang-orang yang berada
di tempat jauh mungkin juga bisa mendengar.
Hong Si Nio terpaksa membatalkan maksudnya hendak pergi,
dan mulutnya menggumam sendiri:
“Sialan! Kenapa aku bisa ketemu dengan setan sial ini?”
Sedang orang itu tadi sudah berjalan dengan langkah
lebar.
Ia begitu melihat Hong Si Nio, agaknya semua apa sudah
tidak ada di matanya lagi, dari sebuah tikungan jalan justru ada sebuah kereta
yang dilarikan, karena tidak keburu berhenti, hingga kereta itu hendak menubruk
padanya.
Tamu-tamu dalam kedai minuman teh itu, semua mengeluarkan
suara seruan kaget, tak disangka2 orang itu hanya mundur selangkah, dan
tangannya sudah berhasil menarik les kuda, dan kereta itu ditariknya hingga
berhenti seketika itu juga.
Sedang kedua kakinya seperti terpantek ditanah, kekuatan
tangannya yang menahan larinya kuda itu barangkali mempunyai kekuatan ribuan
kati, oleh karenanya hingga membuat orang yang menyaksikannya pada memberi
pujian riuh.
Namun orang itu se-olah2 tidak mendengar, dan minta maaf
kepada kusir kereta yang ketakutan setengah mati.
Sehabis minta maaf kepada kusir kereta, orangnya sudah
lari masuk kedalam kedai minuman teh, mulutnya baru tersungging senyuman lebar,
katanya:
“Sie Nio, akhirnya aku dapat menemukan kau juga.”
Hong Sie Nio mendelikkan matanya, lalu katanya dingin:
“Perlu apa kau ber-teriak2 seperti orang gila? Orang lain
tentunya mengira aku hutang uang kepadamu, sampai perlu kau ber-teriak2 tidak
keruan.”
Senyum orang itu tampaknya meskipun agak getir, namun ia
masih tertawa dan berkata:
“Apa salahku?”
Hong Sie Nio mengeluarkan suara dari hidung, katanya:
“Perlu apa kau mencari aku?”
“Tidak.. tidak ada apa-apa.”
“Tidak ada apa-apa? Kalau tidak ada urusan perlu apa
mencari aku?” berkata Hong sie Nio sambil mendelikkan matanya.
Orang itu tampaknya sangat gelisah, katanya:
“Aku.... aku hanya merasa.... sudah lama kita tidak
ketemu muka denganmu, maka itu....”
Oleh karena gelisah, hingga suaranya menjadi gelagapan.
Seorang yang terkenal sopan, saat itu dengan mendadak
berubah seperti orang kebingungan.
Hong Sie Nio juga tidak dapat menahan perasaan gelinya,
maka lalu tertawa, kemudian berkata:
“Sekalipun lama tidak ketemu, kau juga tidak perlu
berkaok-kaok sambil berdiri ditengah jalan, tahu?”
Karena melihat Hong Sie Nio tertawa, orang sopan itu baru
bisa bernapas lega, katanya sambil tertawa juga:
“Kau.... seorang diri?”
Hong Sie Nio menunjuk kepada Siauw Tjap-it-long yang
duduk tidak jauh dengannya katanya:
“Berdua”
Wajah orang itu segera berubah, matanya menatap Siauw
Tjap it long, seolah olah ingin menelannya, dengan muka merah ia bertanya
dengan suara gelagapan:
“Dia.... dia itu siapa?”
“Dia itu siapa ada hubungan apa dengan mu? Dengan hak apa
kau menanya siapa dia?” berkata Hong Sie Nio sambil pendelikkan mata.
Orang itu demikian gelisah, untung pada saat itu Siauw
Tjap it long sudah berjalan menghampiri dan berkata dengan tertawa:
“Aku adalah adik sepupunya, tuan ini....”
Mendengar Siauw Tjap it long mengauk adik sepupu, orang
sopan ini kembali menghela napas lega, suara dari ucapannya juga berubah
menjadi jelas lagi, katanya sambil mengangkat tangan memberi hormat:
“Oh, kiranya tuan adalah adik sepupu Hong Sie Nio? Bagus,
bagus... aku bernama Yo Khay Thay, selanjutnya harap tuan suka banyak2 memberi
petunjuk kepadaku.”
Siauw Tjap it long agak merasa diluar dugaan ia berkata:
“Tuan apakah bukan direktur muda bank Goan Kie yang oleh
sahabat2 dunia Kang ouw diberi nama julukan Thiat-kun-cu Yo tayhiap ?”
“Ah, itukan hanya omongan mereka saja yang memberikan
nama yang bukan2 saja...” menjawab Yo Khay Thay sambil tertawa.
“Aku merasa beruntung dapat bertemu, denganmu....”
berkata Siauw Tjap it long juga sambil tertawa.
Ia terkejut bukan disebabkan karena orang ini adalah
direktur muda perusahaan Goan Kie yang kekayaannya dapat dibandingkan dengan
kekayaan negara, melainkan karena orang ini adalah satu2nya murid golongan
orang biasa dari padri gereja Siao-lim-sie Thian-san Taysu, ilmunya pukulan
tangan yang dinamakan Siao-lim-lim sin koan kabarnya sudah memiliki sembilan
puluh persen keatas kemahirannya, dalam kalangan Kang-ouw semua sudah mengakui
bahwa dia adalah tokoh kuat nomor satu diantara murid2 orang biasa dari gereja
Siao-lim-sie.
Seorang yang tampaknya seperti orang tolol dan ketika
melihat Hong Sie Nio hampir tidak bisa bicara jelas, ternyata adalah seorang
tokoh kuat yang namanya sangat kesohor didalam benteng itu, sudah tentu kalau
Siauw Tjap-it-long merasa diluar dugaannya.
Sepasang mata Yo Khay Thay kembali dialihkan kepada Hong
Sie Nio, katanya sambil tertawa:
“Kalian berdua mengapa tidak duduk mengobrol?”
“Kami justru hendak pergi.” menjawab Hong Sie Nio.
“Pergi? Kemana?”
“Kami justru hendak mencari orang yang mau mengajak makan
kami.” berkata Hong Sie Nio.
“Perlu apa mencari orang? Aku.... Aku.....”
“Apa kau ingin mengundang kami makan?” tanya Hong Sie Nio
sambil meliriknya.
“Sudah tentu, sudah tentu.....: kabarnya miepaikut
disebelah ini sangat lezat, begitu pula pangsitnya.....”
“Kalau hanya makan mie paikut saja aku sendiri masih
sanggup mengeluarkan uang, tidak perlu kau yang mengundang makan. Pergilah
kau.”
Yo Khay Thay menyeka air peluhnya yang menetes keluar,
katanya sambil tertawa:
“Kau..... ingin makan apa? Aku sedia mentraktir semua...”
“Jikalau kau benar2 hendak mengundang makan orang, undang
kami kerumah makan Wat Pin Lauw, aku ingin makan hidangan yang enak dirumah
makan itu.”
Yo Khay Thay mengigit bibir, katanya:
“Baik! Baik! Mari kita berangkat sekarang juga ke Wat Pin
Lauw.”
Sebagaimana biasanya, setiap kota ada memiliki sebuah
atau dua rumah makan yang mempunyai hidangan spesial, tetapi umumnya rumah
makan kota2 besar hampir semuanya ramai dikunjungi orang, sebab orang2 yang
beruang suka sekali makan hidangan yang enak2 diluaran.
Duduk dan makan dirumah makan yang luar biasa mahalnya,
seseorang se-olah2 bisa berubah menjadi orang beruang atau orang gedean, ia
merasa dirinya benar-benar seperti orang.
Sebetulnya dirumah makan Wat Pin Lauw itu, dengan hanya
membawa lima tjie uang perak saja, sudah dapat dibeli semacam hidangan, juga
belum tentu lebih enak daripada hidangan dari rumah makan lain yang berharga
satu tjie. Tapi sifat manusia memang begitu, dianggapnya rumah makan besar
hidangannya lebih enak dari pada yang kecil.
Yo Khay Thay yang jalan naik ketangga loteng hingga
duduk, sedikitnya sudah tujuh delapan kali menyeka keringatnya.
Hong Sie Nio yang sudah duduk, sudah mulai menulis
beberapa macam hidangan, wajah Yo Khay Thay tampaknya sudah mulai agak pucat,
dengan mendadak ia bangkit dari tempat duduknya dan berkata:
“Aku....... aku hendak keluar sebentar, segera akan
kembali.”
Hong Sie Nio juga tidak perdulikan padanya, ia masih
tetap menulis menunya yang ia sukai, ia menunggu setelah Yo Khay Thay turun
dari tangga loteng, sudah memesan enam tujuh belas rupa hidangan, barulah
berhenti menulis dan berkata:
“Kau tau, ia keluar itu untuk apa?”
“Pergi mengambil uang!” menjawab Siauw Tjap-it-long
sambil tertawa.
“Sedikitpun tidak salah, orang semacam ini kalau keluar
pintu, uang yang berada disakunya tidak bisa lebih dari satu tail uang perak.”
“Biar bagaimana, dia adalah seorang sopan, kau juga tidak
seharusnya makan habis2an uangnya.”
“Apa Thiat kuncu, aku lihat ia itu lebih mirip daripada
ayam besi, kau sama dengannya, satu senpun tidak mau keluar, orang semacam ini
kalau tidak dimakan, mau makan siapa lagi?”
“Tetapi dia toh berlaku baik terhadapmu...”
“Aku dengan cara ini memakan dia, ialah supaya ia lain
hari takut mengajak aku makan lagi.”
Ia memonyongkan mulutnya dan berkata lagi:
“Kau juga bisa tahu betapakah menjemukannya orang ini,
sejak bertemu muka satu kali didalam perjamuan ulang tahun nyonya Ong dahulu,
setiap hari hampir seperti anjing saja terus mengintil dibelakangku.”
“Aku sebaliknya merasa dia itu orang baik, orangnya
jujur, juga dari golongan baik2, tetapi kekayaan rumah tangganya tidak perlu
dikatakan lagi, kepandaian ilmu silatnya juga merupakan dari golongan orang
kuat yang terpilih, aku lihat kau sebaiknya menikah dengannya.....”
Belum habis ucapannya, Hong Sie Nio sudah berseru dan
berkata:
“Kentutmu! Sekalipun orang laki didalam dunia ini sudah
mati semua, aku juga tidak bisa menikah dengan orang yang seperti ayam itu.”
Siauw Tjap-it-long menghela napas, katanya sambil tertawa
getir:
“Orang perempuan benar2 sangat aneh, sebelum menikah,
selalu mengharapkan suaminya itu seorang yang royal, tetapi setelah menikah
dengannya, lantas mengharap supaya berlaku pelit, lebih pelit lebih baik,
sebaiknya jangan mengundang orang makan, dan uangnya dia menginginkan semua
diberikan kepadanya sendiri.”
Sewaktu hidangan yang kedua sudah disajikan, Yo Khay
Thaybaru balik, tiba2 seorang setengah baya yang baru saja duduk disatu sudut,
ketika menampak kedatangannya, segera bangkit dan memberi hormat.
Yo Khay Thay membalas hormatnya, satu sama lain sikapnya
sangat sopan.
Orang setengah baya itu juga datang seorang diri,
pakaiannya tidak begitu perlente, namun tampaknya beruang juga, dipinggangnya
menggantung sebilah pedang dalam sarungnya yang hitam, tampaknya bukan pedang
sembarangan.
Sepasang matanya bersinar, tampaknya juga berwibawa,
jelas merupakan seorang pemimpin entah dari golongan mana.
Hong Sie Nio sejak tadi sudah perhatikan padanya, dan
kini ia sudah tidak sabar lagi, maka lau bertanya kepada Yo Khay Thay.
“Siapakah orang itu?”
“Kau tidak kenal padanya? Sungguh aneh...” berkata Yo
Khay Thay.
“Mengapa aku harus kenal dia?”
Dengan suara sangat perlahan sekali, Yo Khay Thay
berkata: “Dia adalah murida dari Koo Tojin digunung Pa-san dahulu, namanya Liu
Sek ceng. Jikalau kita berbicara soal ilmu pedang di kalangan Kang-ouw
barangkali sedikit sekali orangnya yang dapat menandingi ilmu pedangnya.”
Hong Sie Nio juga sampai merasa tertarik, katanya:
“Kabaranya ilmu pedangnya Hee-hong-liong-kiam yang terdiri dari empatpuluh
sembilan jurus, sudah mendapat seluruh warisan dari Koo tojin, bahkan melebihi
dari gurunya sendiri. Apakah kau pernah menyaksikan ilmu pedangnya?”
“Orang ini adatnya tidak suka mengagulkan diri, selamanya
tidak suka bergaul dengan orang lain, maka dalam kalangan Kang-ouw orang yang kenal
padanya sedikit sekali. Tetapi dengan Kang-kaouw Suheng di gunung Siong san
adalah sahabat karib, maka aku barulah kenal dengannya.”
Hal 75-78 missing/tidak ada...
padanya, golok ini harus beserta dengan orangnya selama
masih hidup, tidak boleh terjatuh ditangan orang kedua, urusan ini nampaknya
sangat mudah, tetapi kalau dilakukan lebih susah dari pada naik kelangit”
berkata Yo Khay Thay.
Ia tertawa getir sebentar, kemudian berkata lagi:
“Sekarang ini dari kalangan Kang-ouw entah sudah berapa banyak orang yang tahu
berita tentang golok ini. Maka itu tidak peduli siapa yang berhasil mendapatkan
golok ini namanya segera menjadi kesohor, dan akan menggemparkan dunia Kang-ouw,
bergerak di kalangan Kang-ouw dengan membawa bawa golok ini, sama juga seperti
membawa bungkusan berisi bahan peledak yang setiap saat bisa meledak dan
menghancurkan dirinya sendiri”
Ucapannya ini memang benar, aku sendiri mungkin juga
ingin menonton keramaian” berkata Hong Sie Nio sambil tertawa.
“Tetapi soal pertama ini kalau dibandingkan dengan soal
yang kedua, soal yang pertama itu masih jauh lebih mudah” berkata yo Khay Thay.
“Oh! Ia suruh kau melakukan apa? Apakah mengambil
rembulan dari atas langit?”
“Ia suruh kami berjanji padanya, setelah mendapatkan
golok ini, dengan golok ini harus menyingkirkan seorang berandal besar pada
dewasa ini yang namanya paling busuk...”
Belum habis ucapannya, Hong Sie Nio sudah tidak sabar dan
bertanya: “Siapakah yang ia maksudkan dengan berandal besar itu?”
“Siauw cap it long!” lambat lambat Yo Kay Thay menjawab,
diucapkan sepatah demi sepatah.
saat itu, hidangan yang kesepuluh sudah mulai disajikan.
Yo Khay Thay yang menyaksikan demikian banyak hidangan
yang memenuhi meja, wajahnya seperti mengguman : “Sayurnya terlalu banyak, mana
sanggup kita makan habis semua?”
Ucapan ini seharusnya keluar dari mulut tamu yang
diundang, sedangkan sebagai tuan rumah seharusnya berkata : Sayurnya kurang
baik, sayurnya terlalu sedikit.... “Autran begitu saja apakah kau masih tidak
mengerti?” menegor Hong Sie nio
Yo Khay Thay kembali menyeka peluhnya, sedang mulutnya
berkata :
“Maaf, aku..... jarang sekali jadi tuan rumah”
Beng Sie Nio juga tidak dapat menahan rasa gelinya,
katanya : “Kau ini meskipun pelit, tetapi masih terhitung seorang jujur”
Siaw Tjap-it-leng mendadak berkata : “Entah saudara Yo
kenal dengan Siaw Tjap-it long atau tidak ?”
“Tidak kenal”
“Saudara Yo belum pernah kenal orangnya, nanti setelah
mendapatkan golok itu, apa saudara Yo tega membunuhnya?”
“Benar aku tidak kenal dia, tapi tahu bahwa dia itu
adalah seorang berandala besar yang tidak pernah dilakukan, orang semacam itu
memang seharusnya disingkirkan, mengapa aku tidak tega membunuhnya?”
“Apakah saudara Yo pernah menyaksikan dengan mata kepala
sendiri bahwa dia melakukan perbuatan yang tidak patut?”
“Itu.... tidak, aku hanya mendengar orang kata saja” Siaw
Tjap-it long tertawa, kemudian berkata.
“Kejadian atau urusan yang disaksikan oleh mata kepala
sendiri masih belum tentu jitu seluruhnya apalagi hanya dengan kabar saja”
Yo Khay Thay berdiam sekian lama, tiba tiba tertawa dan
berkata :
“Sebetilnya, sekalipun aku ingin embunuh dia, juga belum
tentu dapat membunuhnya. Dikalangan Kang-ouw entah berapa banyak orang yang
ingin membunuh dia, tetapi bukan kah ia masih hidup dalam keadaan segar bugar?”
“Sedikitpun tidak salah, jikalau kau mau dengar
nasihatku, sebaiknya jangan kau mau mendapat golok itu. Kalau tidak, bukan saja
kau tidak sanggup membunuh Siaw Tjap it Long, salah salah mungkin kau sendiri
yang mati ditangannya” kata Hong Sie Nio sambil tertawa dingin.
“Terus terang, harapanku untuk mendapatkan golok itu,
sebetulnya juda tidak besar” berkaya Yo Khay Thay.
“Menurut pendapatmu, siapa yang paling besar harapannya
mendapatkan golok itu?” bertanya HongSie Nio.
Yo Khay Thay tampak berpikir, kemudian baru berkata :
“May Kang sudah terkenal namanya paling lama, pukulan
tangannya juga sudah mahir benar benar, sayang orangnya terlalu jujur, hingga
ilmu pukulannya juga agak kaku sedikit, tidak ada perobahannya.”
“Jikalau demikian halnya, tentunya juga sudah tidak ada
harapan lagi.” berkata Hong Sie Nio. ‘Dia belum tentu dapat menangkan aku”
“Bagaimana dengan Chie Ceng Teng?”
Chie Ceng Teng adalah murid kesayangan ketua Bu Tong Pay,
baik ilmu pedangnya, maupun ilmu tangan kosongnya, semuanya sudah dilatih
damapai mencapai ketaraf sangat tinggi, ilmunya meringankan tubuh juga mahir,
kabarnya kalau ia menggunakan ilmu pedang, orangnya sudah seperti terkurung
dalam bayangan pedangnya, hanya sayang.... "
“Hanya sayang apa?”
“Dia adalah keturunan seorang jendral dari kota Hang-ciu,
biasanya hidup senang dan, seorang dikalau pernah hidup terlalu senang,
biasanya juga ilmu silatnya susah mendapat kemajuan”
“Oleh karena itu, kau merasa ia juga tidak ada harapan lagi,
betul tidak?”
Yo Khay Thay tak menjawab, dengan demikian berarti bahwa
ia sudah membenarkan ucapan Hong Sie Nio.
“Dan bagaimana dengan Cu Pek Cui?” bertanya pula Hong SIe
Nio.
“Aku dengar kabar bahwa ia memiliki kepandaian dari
golongan Ngo-bie dan Tiam Cong, juga merupakan anak tunggal nyonya Cu yang
dahulu terkenal namanya sebagai ahli senjata rahasia yang mendapat nama julukan
Koan im seribu tangan. Ilmu menggunakan senjata rahasianya, kabarnya sudah
tidak ada yang dapat menandingi”
“Orang ini memang benar benar memiliki kepandaian sangat
tinggi, lagi pula cerdas sekali, hanya sayang ia terlalu pintar.
Kabarnya sudah menyadari kotornya keduniawian, maka ia
sudah siap hendak menyuruk rambut menyucikan diri, maka kali ini ia datang atau
tidak masih menjadi suatu pertanyaan”
“Bagaimana kalau ia datang?”
“Karena ia sudah hendak menyucikan diri, sekalipun ia
mungkin bakal datang, juga tidak akan mengeluarkan seluruh kepandaiannya”
“Kalau begitu dia juga sudah tidak ada harapan?”
“Harapannya tidak besar”
Hong Sie Nio kembali mengawasi liu Sek Ceng yang duduk
minum seorang diri dilain sudut, lalu tanyanya perlahan : “Bagaimana dengan
dia?”
“Orang ini keahliannya dan kemahirannya dalam ilmu
pedang, tak usah dikata lagi, hanya sayang orangnya terlalu jumawa, kalau
bertanding dengan lawan suka telalu pandang ringan lawannya, bahkan jikalau
seliwatnya seratus jurus masih belum merebut kemenangan, bisa berubah sifatnya,
tidak dapat kendalikan emosinya sendiri !”
“Penilaian saudara Yo benar benar sangat berharga...
" berkata Siaw Cap it long.
“Kau bisa menilai orang lain, mengapa tidak menilai diri
sendiri?” mendadak Hong Sie Nio, bertanya.
“Aku sejak berusia sepuluh tahun, sudah dibawah didikan
Insu, hingga kini sudah dua puluh tahun lamanya, selama duapuluh satu tahun
ini, tiap hari pagi dan malam aku selalu melatih ilmu yang diturunkan Insu
tidak pernah terputus, sekalipun musimhujan, musim panas atau musim dingin
kejuga tidak berani melalaikan pelajaranku. Dikalau ditilik dari kekuatan
tenaga tanganku, dan kekuatan tenaga dalamku,barangkali jarang sekali yang
dapat dibandingkan denganku”
Saudara Yo benar saja tidak kecewa menjadi seorang sopan,
menilai diri orang lain tidak merendahkan orang lain juga tidak mengagulkan
diri sendiri, bahkan... " berkata Siaw Cap it long sambil menghela napas.
:Bahkan dalam hatinya tidak perduli ada urusan apa,
semuanya ia tidak dapat merahasiakannya, diwajahnya segera mengentarkan apa
yang terkandung dalam hatinya, ada orang minta ia mengundang makan, wajahnya
lantas berubah demikian rupa, jadi lebih bukur dari pada muka kuda” menyelak
Hong Sie Nio sambil tertawa.
Muka Yo Khat Thay saat itu juga kembali menjadi merah,
katanya: “Aku... aku... aku hanya... hanya... "
“Kau hanya dapat dibanggakan karena sifatmu yang terlalu
pelit. Meskipun kekuatan tenaga dalammu sangat hebat, namun kalau tanganmu
selalu terikat kencang tidak pernah terlepas, selalu... tidak menginginkan dan
memikirkan hasilnya, cuma lantaran takut sampai terjadi kesalahan buat orang
lain boleh jadi juga sulit dapat menangkan kau, tetapi kalau kau mau menangkan
orang lain secara mudah, barangkali juga masih belum dapat”
Ia tertawa kemudian berkata lagi : “Kau sudah selesai
menilai orang lain, biar sekarang aku juga akan coba menilai dirimu, boleh
tidak ?”
Lama Yo Khay Thay menjublek,barulah berkata sambil
menghela napas panjang : ” ...Sie Nio, kau benar benar tidak kecewa menjadi
sahabat akrabku”
“Istilah akrab, aku tidak sanggup menerima, hanya tentang
penyakitmu, aku mengetahui dengan jelas”
“Justru kerana itu, maka aku baru merasa tidak sebanding
dengan Lian Seng Pek !” kata Yo Khay Thay tawar.
“Kalau Begitu bagaimana kau tahu bahwa kepandaian ilmu
silatnya lebih tinggi dari padamu?” Kau jangan salah mengerti, justru lantaran
ia jarang sekali menunjukkan kepandaian ilmu silatnya, barulah membuat orang
semakin merasa bahwa kepandaiannya sulit dijejaki”
Siaw Cap it long lao berkata : “Kabarnya orang ini adalah
orang bauj dan supan santun, dalam usia enam tahun sudah mendapat julukan bocah
sakti, dalam usia sepuluh tahun ilmu pedangnya sudah mencapai ketaraf dangat
tinggi, sebelas tahun ia sudah bisa mengadakan pertandingan pedang dengan salah
seorang ketua partay persilatan dari negara timur yang datang kedaerah Tiong
goan, hingga tiga ratus jurus belum terkalahkan, sejak saat itu, namanya
demikian terkenal sehingga kenegeri timur, hingga orang orang rimba persilatan
disana mengetahui bahwa didaerah Tiong goan ada muncul seorang bocah sakti
didalam rimba persilatan”
Ia tertawa dan tiba tiba berkata lagi : “Tetapi aku juga
sudah pernah dengar, Siauw Cap-it-long juga seorang berkepandaian luar biasa
tingginya yang jarang muncul dirimba persilatan, ilmu goloknya merupakan
semacam ilmu tersendir, setelah muncul dikalangan Kang-ouw,belum pernah
menemukan tandingan, entah Lian Kongcu itu bagaimana kalau dibandingkan dengan
dia?”
“Ilmu golok Siaw Cap it long cepatnya bagaikan angin dan
bagaikan kilat, ilmu pedang Lian Seng Pek sebaliknya seperti angin dimusim
semi, dua orang itu, yang satu berasal dari golongan keras, yang lain dari
golongan lunak, tetapi semuanya sudah mengcapai ketaraf yang tidak ada taranya.
Namun demikian, sejak dahulu kala semua orang telah tahu bahwa lunak dapat
menundukan keras. Ditinjau dari keadaan rimba persilatan pada dewasa ini,
jikalau mau dikata masih ada orang yang bisa menagkan Siaw Cap it long,
barangkali hanya satu orang saja, ialah Lian Seng Pek itu” berkata Yo Khay
Thay.
Siauw Cap-it-long dian saja mendengarkan uraian Yo Khay
Thay, lalu berkata sambil tersenyum :
“Dengar ucapanmu ini, ia berdua yang satu dari golongan
keras, sedang yang lain dari golongan lunak, mirip denagn pasangan lawan yang
setimpal”
“Tetapi Siauw Cap-it-long masih mempunyai beberapa
keunggulan yang tidak didapatkan pada diri Lian Seng Pak!”
“Oh !. Apakah yang saudara Yo maksudkan ? aku ingin
mendapat penjelasannya!”
Liang Seng Pek adalah keturunan orang berada,
perbuatannya selalu baik baik dan suka membela keadilan, bahkan dalam segala
hal ia memikirkan diri orang lain, tidak pernah mencari nama sendiri, selama
beberapa tahun paling belakang ini, nama harumnya tiada orang yang dapat
menandingi,boleh dianggap sebagai pendekar besar benar-benar! Orang semacam ini
tidak perduli berjalan kemana saja, orang lain semua berlaku hormat
terhadapnya, boleh dikata sudah mendapat keuntungan banyak dari bantuan
kawan-kawannya”
Hong Sie Nio berkata sambil menggigit bibir : “Dan
bagaimana pendapatmu tentang diri Siauw Cap-it-long?”
“Siauw Cap-it-long sebalinya adalah seorang berandal
besar yang namanya terlalu jelek sekali, sudah tidak ada famili, juga tidak ada
kawan, tidak perduli berjalan kemana saja, sudah tentu tidak akan ada orang
yang mau memberikan bantuan padanya”
Siauw Cap-it-long masih tertawa terus, tetapi tertawanya
itu begitu hambar seperti orang putus asa, ia mengangkat secawan arak,
diminumnya hingga kering. Lalu berkata :
“Benar, benar! coba saja pikir, Siauw Cap-it-long hanya
merupakan anak dari seorang kusir kereta, bagaimana dapat dibandingkan dengan
Lian Seng Pek, keturunan seorang ningrat kaya raya?”
“Kecuali ini Lian Seng Pek masih ada mempunyai satu hal,
juga orang tidak dapat menandinginya”
“Dalam hal apa?” bertanya Hong Sie Nio :
“Ia masih ada mempunyai seorang pembantu yang baik, ialah
istrinya yang bijaksana”
“Apakan Sim Pek Kun itu yang kau maksudkan?”
“Benar! Nyonya Lian ini adalah cucu perempuan Sim Thay
Kun yang terkenal dengan senjata rahasianya yakni jarum mas, bukan saja
memiliki kepandaian sangat tinggi, tetapi juga lemah lembut orangnya, ia
merupakan seorang istri yang sangan ideal”
“Hanya sayang ia sudah menikah, jikalau tidak kau boleh
pergi meminangnya” Kata Honf Sie Nio dingin.
Maka Yo Khat Thay kembali menjadi merah seketika, katanya
sambil tertawa :
“Aku... aku... aku hanya... "
Hong Sie Nio perlahan lahan menghirup arak dalam cawannya,
katanya seperti menggumam :
“Entah bagaimana senjata rahasia jarum mas keluarga
Simkalau dibandingkan dengan senjata rahasia jarum perakku... ?”
Tiba tiba ia mengangkat kepalanya dan berkata sambil
tertawa :
“Kapan kalian hendak pergi keperkampungan keluarga Sim ?”
“Besok sore... Su Khong Cu yang melindungi golok pusaka
itu masuk kebenteng, selambat lambatnya besok pagi baru bisa tiba dibenteng”
Biji mata Hong SIe Nio tampak berputaran lalu katanya :
“entah mereka masih mengundang siap siapa lagi ?”
“Tamu tidak banyak... "
Mendadak seperti ingat apa, ia berkata sambil menatap
Hong SIe Nio : “Apakah kau juga ingin pergi kesana?”
Orangtoch tidak mengundang aku? Aku tidak mempunyai muka
demikian tebal” berkata Hong Sie Nio sambil tertawa dingin.
“Akan tetapi aku boleh mengajak kau pergi, anggap saja
sebagai... "
Sebagai apamu?” bertanya Hong Sie Nio sambil pendelikan
mata.
Muka Yo Khat Thay kembali menjadi merah, katanya dengan
suara gelegapan : “Ka... ka... kawan! ...”
KEBESARAN SIM THAY KUN
Letaknya perkampungan Sim-kee-chung ditepi telaga
Tay-beng-ouw adalah membelakangi gunung dan menghadao telaga. Asal orang melihat
sepasang singa-singaan batu di depan pintu gerbang yang sudah demikian tua
usianya, dapat membanyangkan sendiri bahwa perkampungan ini mempunyai riwayat
yang cukup lama dan gemilang.
Pelayan perkampungan Sim-kee-cung jumlahnya tidak banyak,
tetapi setiap orang berlaku sangat sopan, mereka sudah terlatih baik, tidak
membuat setiap orang merasa diperlakukan dingin.
Sejak Chungcu yang tua Sim Keng Hong suami istri pergi
membasmi kawanan pemberontak, dan keduanya mati dimedan perang, Sim-kee0cung
selama beberapa tahun sebetulnya nampak mulai tidak terurus, hanya tinggal Sim
Thay Kun seorang yang mempertahankan utuhnya perkampungan itu.
Akan tetapi, dimata orang orang Kang Ouw, perkampungan
Sim-kee-chung ini kedudukannya selama itu tidak sampai mundur bahkan sebaliknya
malah semakin tinggi. ini bukan disebabkan karena semua orang menaruh simpati
atas kematian Sing Keng Hong suami istri, itu juga bukan disebabkan karena
orang orang menghormati jasanya, melainkan karena Sim Thay Kun ini, yang
menjadi ibu Sim Keng Hong, benar benar memiliki ketnagkasan san kepandaian
mengurus rumah tangga membuat orang kagum.
Lian Seng Pek pagi pagi sudah keluar kota untuk menyambut
orang yang melindungi golok pusaka, dan orang yang menyambut para tamu
diruangan tengah saat itu, ialah keponakan Sim Thay Kun dan Ban Tong San yang
mendapat nama julukan Siang-yang-kiam khek yang berarti Jago pedang dari kota Siang-yang.
Tamu tamu yang datang jumlahnya tidak terlalu banyak,
yang datang paling pagi ialah Yo Khay Thay.
Ia datang dengan membawa du kawan, satu ialah seorang
pelajar bermuka putij bersih yang tampaknya sangat gagah dan tampan, ia bernama
Pang Su Liang, yang lain bernama Pang Ngo yang menjadi adik sepupu Pang Su
Liang.
Ban Tiong San yang sudah banyak mengalaman, telah merasa
bahwa kedua tetamunya tuan Pang itu, semuanya adalah orang orang gagah, juga
jelas kepandaian ilmu silatnya sudah mencapai ketarap sangat tinggi, Seharusnya
orang orang yang bukan tidak ada nama dalam kalangan Kang-ouw.
Tetapi ia yang sudah lama berkecimpungan didunia
Kang-ouw, belum pernah mendengar nama dua orang ini.
Meskipun dalam hati Ban Tiong San merasa heran, tetapi
diluarnya tidak menunjukkan sikap apa apa, bahkan sedikitpun tidak pernah
menyatakan maksudnya, ia percaya kepada Yo Khay Thay, ia percaya kawan yang
dibawa oleh Yo Khay Thay, tidaklah mungkin orang orang jahat.
Tetapi tidaklah demikian oendirian May Kang.
May Kang yang juga datang pagi pagi setelah kedua
tatamunya itu diperkenalkan oelh Ban Tiong-san kepadanya sepasang matanya yang
tajam bagaikan ujung belati terus menatap dua tuan Pang itu.
Jago terkenal dirimba persilatan dengan pukulan tangan
kosongnya yang terdiri dari tiga puluh enam jurus,bukan saja sepasang matanya
yang tajam, tetapi orangnya juga seperti sebilah golok yang sudah keluar daru
sarungnya.
Sifat orang She May ini keras dan tidak takut segal apa.
Hong Sie Nio yakin saudara sepupu Pang Su Liang alias
Pang Ngo, hampir tidak sanggup menahan emosinya, akan tetapi Siauw Cap it Long
atau Pang Su Liang sendiri, sebaliknya masih tenang tenang saja, ia tersenyum
sama sekali tidak menghiraukan sikap orang she May terhadapnya.
Perbedaan Siauw Cap it Long dengan orang lain ialah dalam
segala hal ia agaknya bersikap tenang dan acuh tak acuh.
Kemudian, Liu Sek Ceng juga tiba.
Kedatangannya disusul oleh Chie Ceng Teng, ekturunan
Jendral dikota Hang-Ciu ini benar saja merupakan seorang pemuda romantis,
pakaiannya sangat perlente, diatas topinya tampak dihiasi sebutir mutiara
sebesar telur, siapa yang melihatnyua sudah tentu dapat menilai sendiri betapa
herganya mutiara sebesar itu. akan tetapi dia terhadap orang berlaku sopan dan
merendahkan diri, tidak lantaran kekayaannya ia lantas berkalu sombong dan
tidak pandang sebelah mata orang lain.
SElanjutnya, dengan beruntun datang pula beberapa orang
tamuy, sudah tentu semuanya juga merupakan orang tingkatan tua dari rimba
persilatan yang mempunyai nama dan kedudukan baik, tetapi sepasang mata May
Kang masih terus juda memperhatikan Siauw Cap it long.
Yo Khay Thay juga merasakan gelagat tidak baik, ia coba
mengalihkan perhatiannya orang she May itu kelain soal, maka ia selalu bertanya
kepadanya :
“Saudara May, apakah selama ini pernah berkunjung
kegereja Siao-lim?”
May Kang menganggukkan kepala dengan muka cemberut, tiba
tiba bertanya : “Saudara Pang ini apakah kawanmu?” “Benar” menjawab Yo Khay
Thay.
“Benarkah dia seorang she Pang?” bertanya pula May Kang.
Hong Sie Nio agaknya tidak dapat kendalikan emosinya
lagi, maka saat itu lalu menyelak sambil tertawa dingin: “Jikalau tuan
menganggap kami bukannya orang orang she Pang, maka kami ini jadi harus memakai
she apa ?”
“Jiewie tidak perduli she apa, semua tidak ada hubungan
denganku siorang she May. Tapi aku siorang she May ini selamanya tidak senang
ada orang yang sembunyi sembunyikan diri atau menukar nama. Apalagi kalau aku
tahu, sudah terang tidak akan melepaskannya begitu saja” berkata May Kang
dengan muka masam.
Wajah Hong Sie Nio sudah berubah, tetapi Ban Tiong San
cepat menyelak, dan berkata sambil tertawa :
“Saudara May ini orangnya keras dan jujur, semua tahu
tentang dia”
Liu Sek Ceng juga segera bertanya sambil tertawa :
“Eh, dimana sudara Pek Cui? mengapa masih belum juga
datang ?”
Ban Tiong San menghela napas perlahan dan berkata :
“Saudara Pek Cui sudah mencukur rambut dipucak gunung
Ngo-bie, kali ini barangkali sudah tidak bisa datang lagi”
Kenapa ia tidak bisa pikir penjang? apakah didalam ini
masih ada rahasia apa-apa?” bertanya Chie Ceng Teng.
May Kang mendadak menepok meja dan berkata dengan suara
bengis: “Tidak perduli lantaran apa, yang terang itu tidaklah seharusnya.
Keluarga Cu hanya menurunkan anak dia seorang, dia adalah anak tunggal. Kenapa
dia menyucikan diri menjadi padri, sedangkan pribahasa nenek moyang kita ada
kata : Tidak berbakti ada tiga hal, tidak berketurunan itulah yang paling tidak
baik. Ia toch sudah pernah melajar ilmu surat, mengapa pepatah nenek moyangnya
saja sudah dilupakan? Jikalau aku ketemu dengannya... hmm!”
Ban Tiong San dengan Chie Ceng Teng saling berpandangan,
tiada satupun yang buka mulut lagi.
Sementara itu, hawa amarah Hong Sie Nio masih belum reda,
maka ai lalu berkata sambil tertawa dingin :
“Kau lihat orang ini betapakah anehnya. Urusan orang lain
ia juga mau turut campur tangan”
May Kang dengan mendadak bangkit dari tempat duduknya dan
berkata dengan suara marah:
“Aku justru paling suka mencampuri urusan orang lain, kau
mau apa?”
Yo Khay Thay juga bangkit berdiri, katanya dengan suara
keras:
“Saudara May jangan lupa, dia adalah kawanku”
Kalau kawanmu lalu mau apa ? aku siorang she Kang ini
justru hendak memberi pelajaran kepada kawanmu ini”
Muka Yo Khay Thay menjadi merah, katanya :
“Baik, baik, baik, kau... kau... tidak halangan kau
memberi hajaran lebih dulu kepadaku !”
Kedua orang sama sama sudah menggulung lengan bajunya,
seolah-olah sudah akan segera melakukan pertempuran, yang mengherankan,
demikian banyak orang diruangan itu, ternyata tidak ada satu yang berdiri untuk
memisah, sebab semua tahu adat May Kang itu, dengan begitu, siapaun jadi tidak
suka kebentrok dengannya.
Tiba-tiba terdengar suara orang berkata : “Kedatangan
kalian kesini, apakah buat berkelahi ?”
Dalam suasana panas seperti itu, ucapan ini sebetulnya
kurang cerdik, bukan saja tidak akan membawa pengaruh, tetapi juga kurang
sopan, bahkan ada mirip dengan ucapan orang biasa yang hendak mencari penyakit
sendiri.
Tetapi sekarang ucapan itu dikeluarkan dari mulut orang
ini, pengaruhnya seolah-olah berubah dengan mendadak, siapa juga tidak merasa
kata-katanya kurang sopan, atau kurang cerdik... sebab keluarnya justru dari
mulut Nyonya Sim yang tua.
Sim Thay Kun sinenek yang menjadi kepala rumah tangga
perkampungan itu, baik usianya maupun kedudukannya, semua sudah mencapai
ketaraf yang ia boleh mengeluarkan perkataan sesukanya, orang yang dicaci maki
olehnya, dalam hati bukan saja tidak merasa tidak senang, sebaliknya malah
merasa bangga. Jikalau ia berlaku merendahkan diri terhadap seseorang, orang
itu sebaliknya malah merasa tidak enak.
Dalam hal ini, Sim Thay Kun selamanya mengerti.
Tidak perduli urusan apa saja ia semua mengerti, ia sudah
cukup banyak mendengar, cukup banyak melihat, juga cukup banyak pengalaman,
sekarang meskipun daya pendengarannya sudah agak berkurang, tetapi asal
perkataan yang ia ingin dengar, suara orang lain betapapun kecilnya ia masih
mengdengar dengan jelas.
Kata kata yang tidak suka didengarnya sekalipun diucapkan
dengan suara keras ia juga tidak mau dengar.
Meskipun matanya juga tidak seperti dahulu demikian tajam
mungkin untuk melihat wajah seseorang saja sudah kurang nyata, tetapi setiap
isi hati orang is seperti dapat melihat dengan jelas.
Ketika pelayan perempuan membimbingnya keluar, mulutnya
sedang mengunyah sebutir buah Co, agaknya sedang menikmati rasanya, seluruh
perhatiannya dipusatkan kepada buah Co yang sedang dikunyahnya.
Dan kata kata tadi seperti bukan keluar dari mulutnya.
Akan tetapi, May Kang dan Yo Khay Thay semua sudah
menundukkan kepala dengan muka ke-merah merahan, ia miringkan setengah tubuhnya
untuk membetulkan lengan bajunya yang tadi pada digulung.
Semua orang yang ada didalam ruangan memberi hormat
dengan sikap sangat menghormat sekali.
Nenek tua itu meng-angguk anggukkan kepala sambil
tertawa, kemudian nerkata:
“Chie ceng Teng, mutiara diatas topimu itu benar benar
sangat bagus. Tetapi kau taruh diatas topimu, bukankah itu terlalu royal?
Mengapa tidak kau taruh dilubang hidungmu saja, supaya orang lain bisa
melihatnya dengan lebih nyata ?”
Wajah Chje Ceng Teng menjadi merah, ia tidak berani
menjawab.
Sim Thay Kun kembali mengawasi Liu Sek Ceng sambil
tertawa-tawa, setelah itu ia berkata pula:
Bagian 2 Selesai