Peristiwa ini membuat Lan
See-giok tidak habis mengerti, mungkinkah sepasang bu-rung bangau itu
peliharaan orang? Kalau benar berarti si pemelihara tersebut adalah se-orang
tokoh persilatan yang sedang hidup mengasingkan diri di sini.
Sementara pemuda itu masih
termenung, tiba-tiba dari tengah udara berkumandang suara pekikan bangau yang
sangat keras.
Dengan perasaan "terkejut
"Lan See-giok mendongakkan kepalanya ....
Tampak seekor burung bangau
besar se-dang meluncur datang dari arah utara dan menukik ke bawah sambil
menyambar sang pemuda yang berdiri di tepi kolam itu.
Pemuda itu lantas menduga,
bisa jadi bu-rung bangau besar ini adalah sang induk dari sepasang burung
bangau kecil itu.
Bangau raksasa tersebut
sungguh hebat, sambil menukik ke bawah dengan paruhnya yang panjang itu
menyerang ubun-ubun Lan See giok.
Pemuda itu sama sekali tak
berniat melu-kainya, karena menganggap sebagai kewa-jiban sang induk untuk
melindungi anak anaknya, itulah sebabnya ketika sang bangau menyerang, serta
merta dia melompat mun-dur sejauh dua kaki lebih untuk meloloskan diri.
Siapa sangka. baru saja Lan
See giok menggerakkan tubuhnya, sayap kanan ba-ngau itu sudah menyerang dengan
membawa deruan angin pukulan yang amat dahsyat, begitu dahsyatnya kebasan tadi
membuat anak muda itu tertegun.
Dengan perasaan terkejut Lan
See giok segera menjejakkan kakinya ke atas tanah dan melayang mundur sejauh
lima kaki le-bih..
Bangau raksasa tersebut memang
sangat hebat, disaat Lan See giok sedang melompat ke belakang itulah, mendadak
ia rentangkan sayapnya sambil menyerang ke depan, sepasang cakarnya secepat
kilat menceng-keram jalan darah cian keng hiat dibahu pe-muda itu.
Tak terlukiskan rasa terkejut
Lan See giok menghadapi kejadian ini, sekarang dia yakin kalau burung bangau
itu merupakan bina-tang peliharaan orang, sebab sudah jelas mengerti gerakan
ilmu silat.
Karenanya anak muda itu
mengebaskan kembali ujung bajunya dan melesat mundur ke belakang.
Bangau raksasa itu memang luar
biasa sambil menyingkap sayapnya, kini dia me-nyerang dengan paruhnya.
Sebagai pemuda yang berjiwa
luhur, Lan See giok tak ingin melukai burung itu, dii-ringi bentakan keras dia
mengeluarkan tehnik lembek dari ilmu kebasan baju me-nyapu angkasa, untuk
menghantam burung itu . .
Segulung angin pukulan yang
lembut tapi sangat kuat dengan cepat menyambar bu-rung bangau tersebut.
Agaknya burung bangau itu
cukup me-ngetahui akan kelihaian serangan mana, sambil berpekik keras ia lantas
melayang ke tengah udara untuk menghindarkan diri.
Kedua ekor burung bangau kecil
itupun segera turut terbang pula ke atas tebing.
Pada saat itulah ....
Bentakan gusar yang amat keras
menda-dak berkumandang dari balik pepohonan siong.
"Tak tahu malu, ingin
mencuri bangau kecil milikku rupanya...?"
Lan See giok amat gusar pada
mulanya setelah mendengar tuduhan itu namun sete-lah mengetahui orangnya,
hilang lenyap se-mua amarah dalam dadanya, tak tahan dia ter-tawa geli:
Ternyata pendatang adalah
seorang gadis cilik berumur sebelas dua belas tahunan. dia mengenakan baju
hijau dan menyoren pedang pendek di punggung, waktu itu dia sedang meluncur
datang dengan kecepatan tinggi.
Gadis itu mengenakan baju
hijau, mempu-nyai sepasang mata yang besar, kulit badan yang halus dan muka
berbentuk buah apel, selain cantik, juga nampak polos, lincah dan amat
menyenangkan.
sementara dia masih mengamati
nona cilik itu, si nona telah berada dihadapannya sam-bil berteriak marah:
"Baru saja ia pergi dari
sini, kau sudah datang mencuri bangau ku. hmm! Baiklah, akupun tak ingin
menyalahkan kau, juga tak ingin memukulmu, ayo cepat pergi dari sini!"
Sembari berkata, dia
mengulapkan ta-ngannya berulangkali memberi tanda agar pemuda itu pergi
secepatnya.
Lan See giok segera tertawa,
dia merasa gadis cilik ini memang menarik sekali, tanpa terasa semua rasa kesal
hilang lenyap dari benaknya, sambil tersenyum katanya kemu-dian.
"Adik. cilik, aku hanya
tersesat dan kehi-langan arah, sehingga tidak kuketahui ba-gaimana caranya ke
luar dari sini!
Nona cilik itu seperti tak percaya,
ia mendengus.
"Hmmm, bohong! Kau sudah
dewasa, masa tidak tahu jalan?"
Dengan cepat Lan See giok
menggelengkan kepalanya berulang kali. "Sungguh, aku betul-betul
tersesat!" katanya sambil berlagak kebingungan.
Gadis cilik itu segera
menuding ke empat penjuru seraya berseru keras,
"Di situ adalah timur,
sana utara, sana selatan dan sini barat --"
Lan See giok mencoba untuk
mengamati sekeliling situ, segera terasa olehnya arah utara dan selatan sukar
dilewati, hanya te-bing di sebelah timur yang nampaknya paling mudah dilalui,
kepada nona cilik berbaju hi-jau itu kata nya kemudian sambil tersenyum:
"Adik cilik, selamat
tinggal kalau begitu, semoga kita berjodoh dan bisa berjumpa kembali.,!
"Hmm, siapa sih yang sudi
bertemu lagi dengan mu?" nona cilik itu mencibir dengan sinis, "kau
orang dewasa sedang aku cuma anak kecil, aku tak senang bermain dengan-mu!
Lan See giok merasa gadis ini
menarik sekali, tanyanya kemudian sambil tersenyum:
"Kalau begitu kau senang
bermain dengan siapa?.,
"Huuh, aku mah tak sudi
memberitahu-kan kepadamu!"
Timbul kegembiraan Lan See
giok setelah melihat kelincahan dan kepolosan gadis cilik itu, ditambah pula
dia memang berniat me-nyelidiki asal usul nona itu, maka sambil berpura pura
menebak katanya kemudian setelah termenung sebentar.
"Apakah paman
gurumu?"
None cilik berbaju hijau itu
segera mendengus. "Hmmm, paman guru punya jenggot aku sih tak senang
bermain dengan-nya!"
"Kalau begitu dengan
suhumu?" desak See giok lagi. .
Kali ini nona cilik itu hanya mengerutkan
hidungnya sebagai pertanda tidak benar Lan See giok tahu kalau gadis cilik itu
senang bermain dengan burung bangau, tapi ia jus-tru tak mau menanyakan hal
itu.
keningnya dikerutkan kemudian
dan ber-la-gak seakan akan tak mampu menebaknya.
Nona cilik itu menjadi
mendongkol sekali melihat Lan See-giok tak bisa menebaknya secara jitu, serunya
tiba-tiba:
"Kau memang goblok, sudah
begini besar masa tak bisa menebaknya dengan tepat!"
"Oooh.. tahu aku
sekarang, tentunya si bu-rung bangau raksasa itu bukan ?" pemuda itu
segera berlagak seakan akan baru mengerti.
Siapa tahu nona cilik berbaju
hijau itu justru menganggap Lan See giok sebagai ma-nusia yang paling bodoh,
dengan suara keras ia berteriak tiba-tiba:
"Kau memang goblok
sekali, orang itu adalah Tek lim siau suheng, mengerti?
"Haaahhh..
haaahhh...haaahhh...sumoay suka dengan suheng, kejadian semacam ini memang
lumrah, ya, yaa aku memang goblok sekali, masa hal seperti inipun, tak dapat
kuduga..."
Merah padam selembar pipi si
nona karena jengah, buru-buru dia berseru:
"Kau jahat, aku harus
menghajarmu !"
Tubuhnya menubruk ke depan,
sepasang tangannya yang kecil direntangkan dan segera menyerang dada pemuda
itu.
Pada dasarnya Lau See giok
tidak berminat sama sekali untuk bertarung dengan nona cilik itu. begitu
usahanya menyelidiki asal usul nona itu menemui kegagalan. dia me-mutuskan
untuk meninggalkan tempat tersebut secepatnya.
Sekali lagi ia tertawa
terbahak bahak.
`Adik cilik, selamat tinggal
kalau begitu, harap kau jangan marah-marah!"
Dengan cepat dia melompat ke
muka dan bergerak menuju ke bawah tebing sebelah timur,
Tiba-tiba paras muka nona
berbaju hijau itu berubah hebat. cepat dia bergerak mengejar sambil berteriak
keras.
"Berhenti-berhenti, kau
tak boleh kesana!"
Lan See giok tahu pasti ada
hal yang tak beres diarah tersebut, cepat dia menghenti-kan langkahnya,
kemudian bertanya dengan nada tak habis mengerti.
Kenapa adik cilik?"
"Sucou sedang bersemedi
disini, siapapun dilarang mengusik ketenangannya!"
"Oooh ....."
Dengan perasaan kaget Lan See
giok ber-paling, betul juga, di bawah tebing di bela-kang deretan pepohonan ia
saksikan sebuah mulut gua secara lamat-lamat.
Tergerak hatinya untuk sekali
lagi menyeli-diki asal usul nona cilik itu, tanyanya kemu-dian.
"Adik cilik. siapa sih
sucoumu itu?"!
Berhubung Lan See-giok masih
saja berdiri tak bergerak di situ, dengan cemas nona cilik berbaju hijau itu
mendepak depakkan kaki-nya berulang kali sambil berseru.
"Hei, kemarilah dulu,
setelah kemari aku baru akan memberitahukan kepadamu."
Lan See giok sudah menduga
bahwa nona cilik ini binal dan banyak akal muslihat-nya tentu saja dia tak
ingin dipecundangi orang dengan begitu saja.
Maka katanya kemudian sambil
tetap tak bergerak dari posisinya semula.
"Kau enggan
memberitahukan kepadaku juga tak mengapa, aku kan bisa masuk dan menanyakan
sendiri kepada sucou mu."
Paras muka nona cilik berbaju
hijau itu berubah hebat, ia menjadi gugup sekali, se-runya kemudian dengan
gelisah:
"Baik, baik , aku akan
memberitahukan kepadamu, kau jangan ke situ sucou ku adalah Keng-hian sian
tiang!"
Lan See-giok terkejut sekali
sesudah mendengar nama tersebut, ia tak menyangka kalau penghuni lembah hijau
ini adalah keng-hian sian tiang, tianglo angkatan yang tua dari Bu-tong-pay.
Sadar kalau dia bsudah
melanggarj panta-ngan besgar umat persilabtan, pemuda itu me-mutuskan untuk
berlalu secepatnya dari situ, dari pada menimbulkan hal-hal yang tidak
diinginkan.
Pada saat dia hendak melangkah
pergi, satu ingatan kembali melintasi di dalam benaknya, dia teringat kembali
dengan surat gurunya To Seng cu yang konon dititipkan kepada Keng hian Sian
tiang dari luar lautan.
Cepat pemuda itu melayang ke
hadapan si nona, kemudian tanyanya lirih."
"Adik cilik, maksudmu
sucou mu Keng hian sian tiang sedang menutup diri""
Nona cilik berbaju hijau itu
nampak lega sekali setelah melihat Lan See giok menghampirinya, mendengar
pertanyaan itu dengan cepat dia mengangguk,
Lan See giok kembali bertanya
dengan nada penuh-perhatian. "Sudah berapa lama dia orang tua menutup
diri?"
"Sudah hampir tiga
tahun" jawab si nona cilik itu tanpa ragu-ragu, Berubah hebat paras muka
Lan See giok, saking kagetnya dia sampai termangu mangu.
Suatu firasat tak enak cepat
menyelimuti hatinya. Dia seperti merasa bahwa kepergian- To Seng-cu menuju ke
luar lautan nampak-nya lebih banyak bahayanya dari pada sela-mat.
Nona cilik itu mengira Lan
See-giok di buat ketakutan oleh nama besar sucounya sehing-ga mukanya berubah
jadi pucat, peluh ber-cucuran dan sinar matanya mendelong, bentaknya kemudian:
"He!, mengapa kau belum
juga pergi?"
Lan See-giok berusaha
mengendalikan perasaan sendiri dengan cepat, kemudian dengan membawa suatu
pengharapan ia bertanya lagi.
"Adik cilik, apakah tahun
berselang Keng hian sian tiang pernah meninggalkan daratan Tionggoan menuju ke
luar lautan?"
Nona cilik itu menjadi tak
senang hati ber-hubung Lan See-giok bertanya terus tiada hentinya, sedikit agak
marah dia berseru:
"Kau ini memang aneh
sekali, aku kan su-dah bilang sucou telah tiga tahun menutup diri? Itu berarti
dia tak pernah meninggalkan guanya barang selangkahpun, buat apa dia mesti
bersusah payah pergi ke luar lautan?"
bHabis sudah semjua
pengharapan gLan See giok, kbini dia sudah tidak berminat untuk bertanya lebih
lanjut, sambil mengendalikan gejolak perasaannya yang panik dan tak tenang,
kepada bocah perempuan itu kata nya kemudian:
"Selamat tinggal adik
cilik, maaf kalau aku telah mengganggu ketenanganmu!"
Tiba-tiba saja dia meluncur
kearah tebing sebelah muka.
Sekali lagi paras muka bocah
perempuan itu berubah hebat, sambil membentak keras ia berusaha untuk mengejar
dari belakang. tapi, baru saja dia menggerakkan badannya, Lan See-giok sudah
mencapai tebing sebelah muka dan melambung ke tengah udara, dalam waktu singkat
ia sudah mencapai puncak tebing dan sekali berkelebat, baya-ngan tubuhnya sudah
lenyap dari pandangan mata.
Belum pernah nona cilik
berbaju hijau itu menyaksikan ilmu meringankan tubuh seperti ini, tanpa sadar
dia hentikan gerak majunya dan membelalakkan matanya le-bar-lebar sambil
menyaksikan bayangan tubuh Lan See-giok lenyap dari pandangan mata.
Perasaan Lan See-giok saat itu
amat kalut dengan membawa perasaan-perasaan pedih bercampur gusar dia menembusi
hutan men-daki bukit, semua perjalanan ditempuh de-ngan ilmu Liat-hong-hui-heng
yang hebat se-hingga gerakannya cepat bagaikan kilat.
Dalam keadaan begini, dia
hanya ingin se-cepatnya kembali ke telaga Phoa yang-oh dan mencari si naga
sakti pembalik sungai untuk menanyakan apa maksudnya dengan per-mainan surat
palsu tersebut:
Walaupun begitu, diapun tidak
membenci si Naga sakti pembalik sungai sebab ia tahu si naga sakti pembalik
sungai sampai berbuat demikian pasti diperuntungkan maksud baik.
Kemudian diapun membayangkan
kembali bagaimana si naga sakti pembalik sungai su-dah setengah tahun lamanya
tak pernah berkunjung ke bukit Hoa-san, menurut Si Cay-soat, kejadian semacam
ini belum per-nah dialaminya.
Dari sini bisa dibuktikan pula
bahwa si naga sakti pembalik sungai bisa jadi sudah tidak berada di perkampungan
nelayan lagi.
Diapun masih ingat perkataan
dari si naga sakti pembalik sungai yang mengatakan di saat menerima surat
tersebut dari gurunya. bibi Wan juga kebetulan hadir di situ. bila dipikirkan
kembali, bisa jradi itupun meruzpa-kan tipuan swi naga sakti permbalik sungai.
Ke luar dari wilayah Bu
tong-pay. hari su-dah mendekati malam, pemuda itu mengisi perutnya secara
tergesa-gesa di sebuah kota kecil bawah bukit, kemudian meneruskan kembali
perjalanannya menuju kota Kou-sia.
Pada hari ketiga, ketika
matahari sudah tenggelam di langit barat, sampailah pemuda itu di depan kota
Siang-yang.
Suasana di dalam kota ramai
sekali, apalagi malam itu adalah malam Cap go--meh tidak heran kalau banyak
orang yang berlalu lalang ditengah jalan......
Sementara dia masih melamun
tak karuan tiba-tiba dari belakang tubuhnya berku-man-dang suara derap kaki
kuda yang amat ra-mai.
menyusul kemudian terdengar
seseorang berseru dengan nada terkejut bercampur kegirangan.
"Adik Giok-adik Giok,
akhirnya aku berha-sil juga menyusulmu ...."
Dengan perasaan terkejut Lan
See-Giok berpaling, ternyata Tok Nio-cu dengan mantel dan pakaian ringkasnya
berwarna hitam se-dang menggapai ke arahnya dari atas kuda-nya yang berwarna
putih.
Pemuda itu segera berkerut
kening, berba-gai ingatan melintas dalam benaknya dia tak habis mengerti
mengapa perempuan itu menyusulnya?
Belum habis dia berpikir, Tok
Nio-cu telan menghampirinya sambil tersenyum, malah tubuhnya sudah melompat
turun dari atas kuda.
kehadiran yang secara
tiba-tiba dari Tok Nio-cu dengan cepat meningkatkan kewaspa-daan dalam hati Lan
See giok, namun diluar-nya dengan senyuman dikulum dia segera menyapa:
"Nyonya, ada urusan apa
kau buru-buru datang ke kota Siang yang,..."
Tok Nio-cu tersenyum,
"Mari kita masuk kota sebelum berbincang!"
"Baik mari kita
berangkat."
Sambil menuntun kudanya Tok
Nio-cu ma-suk ke kota bersama-sama Lan See-giok, senyuman manis selalu
menghiasi ujung bibirnya, sementara rasa - penat yang di ala-minya selama
beberapa hari, nampaknya su-dah ikut lenyap tak berbekas.
Sebaliknya Lan See-giok penuh
diliputi perasaan curiga, ia tak tahu apa maksud dan tujuan Tok-Nio-cu
menyusulnya sampai di situ, tapi bila ditinjau dari kehadirannya yang cuma
seorang diri, bisa jadi ia tidak memba-wa maksud jahat.
Makin ke kota, orang yang
berlalu lalang dijalananpun semakin ramai, kini mereka harus jalan
berdesak-desakan.
Sepanjang jalan boleh dibilang
Tok Nio-cu selalu menempel di sisi badan See giok, bau harum semerbak yang
memancar ke luar dari tubuhnya, selalu masuk hidung pemuda itu, apalagi
sepasang payudaranya yang montok dan padat berisi, setiap kali seperti sengaja
tak sengaja di gesek-gesekan pada lengan pemuda itu.
Tok Nio-cu adalah seorang
nyonya muda yang berusia dua puluh lima-enam tahunan, badannya boleh dibilang
sudah matang dan menyiarkan api birahi yang membara, penampilannya itu tentu
saja sangat me-mancing perhatian orang banyak.
Namun sayang pikiran dan
perasaan Lan See-giok waktu itu diliputi kekalutan, dia hanya tahu menempuh
perjalanan cepat, di tambah lagi dia belum mengetahui secara pasti akan maksud
kedatangan Tok Nio-cu. hal mana membuat hatinya kesal dan mu-rung.
Itulah sebabnya, pemuda itu
sama sekali tidak merasakan ataupun menggubris terha-dap senggolan-senggolan
payudara yang montok dari perempuan tersebut.
Sementara perjalanan ditempuh,
tiba--tiba Tok Nio-cu menjawil tangan pemuda itu sam-bil berbisik lembut:
"Adik Giok, bagaimana
kalau kita me-ngi-nap di rumah penginapan yang merangkap dengan rumah makan
ini?"
Lan See giok memang berharap
bisa sele-kasnya mengetahui sebab musabab Tok Nio cu menyusulnya sampai ke
situ, melihat bangunan rumah itu memang megah, diapun manggut-manggut
menyetujui,
Ketika mereka berdua tiba di
pbintu rumah pengjinapan, dua oragng pelayan segebra me-nyambut kedatangan
mereka, seorang mene-rima kuda sedang yang lain membawa Lan See giok berdua
memasuki ruangan.
Tok Nio-cu segera minta sebuah
pavilliun dengan perabot lengkap dan pelayan.
Walaupun Lan See giok
menganggap pem-bicaraan mereka membutuhkan suatu tem-pat yang tenang, namun ia
tak setuju me-nyewa sebuah pavilliun secara tersendiri, apalagi dengan
kehadiran pelayan, otomatis pembicaraan akan semakin tak leluasa.
Tapi sebelum ia kemukakan
pikiran ter-se-but kepada Tok Nio-cu, pelayan telah mem-bawa mereka ke depan
sebuah pavilliun yang indah sekali, karenanya pemuda itu pun mengurungkan
niatnya untuk berbicara lebih jauh . . .
Pelayan segera mengetuk pintu,
empat dayang membuka pintu dan menyambut ke-datangan mereka.
"Tuan, nona, silahkan
masuk !" seru me-reka hampir bersama sama. Pavilliun itu sa-ngat indah
dengan perabot yang mewah dan dekorasi yang menawan hati. selain dua kamar yang
mewah, dilengkapi juga dengan sebuah ruang tamu.
Setelah masuk ke dalam
ruangan. Lan See--giok baru menjura sambil katanya:
"Nyonya, silahkan
duduk."
Tok Nio-cu tertawa genit.
"Siauhiap adalah tamu,
sudah sepantasnya kau yang duduk di kursi utamanya, maaf-kan sebutan adik Giok
yang kupakai tadi, mak-lum karena banyak orang"
"Aaah, sebutan siauhiap
atau adik, bagiku sama saja, nyonya tak perlu memikirkannya di hati"
Tanpa sungkan dia lantas
mengambil tem-pat duduk.
Paras muka Tok Nio-cu berseri,
katanya kemudian penuh rasa gembira.
"Kalau memang begitu,
biar aku memba-hasa diri sebagai enci saja. cuma aku takut sebutan ini justru
akan menodai nama adik"
Sebenarnya Lan See-giok
bermaksud untuk bersungkan sungkan saja, ia tak menyangka kalau Tok Nio-cu
justru menunggangi ke-sempatan tersebut.
Untuk sesaat ia dibikin
mendongkol se-lain geli, namun diapun tak bisa berbuat banyak.
Sementara itu dua orang
dayangb telah menghidajngkan makanan kgecil dan air tebh,
kemudian muncul dua orang
dayang meng-hidangkan sebuah mangkuk besar yang diberikan kepada Lan See giok
dan Tok Nio-cu seraya berkata:
"Tuan, nyonya, silahkan
makan Goan siau dulu."
Dengan hormat sekali mereka
letakkan mangkuk ke atas meja sambil membuka pe-nutupnya, nampak ronde yang
hangat di atas mangkuk tersebut.
Merah jengah selembar wajah
Lan See giok mendengar sebutan yang digunakan pelayan-pelayan itu, meski
sebutan itu memang tak ada salahnya. tapi jika digabungkan dengan Tok Nio cu,
maka akan menimbulkan makna yang lain.
Biarpun demikian, tentu saja
pemuda itu pun merasa kurang leluasa untuk mencegah pelayan-pelayan tersebut
menggantikan se-butan demikian.
Lain dengan Tok Nio cu, ia
segera menger-ling sekejap ke arah Lan See giok sambil tersenyum jengah.
Lan See giok sama sekali tak
berniat makan ronde sebelum mengetahui maksud kedatangan Tok Nio-cu, kepada
perempuan itu dia segera bertanya:
"Nyonya, sebetulnya ada
urusan apa sih kau menyusulku sampai disini?"
Tok Nio-cu melirik sekejap
wajah Lan See giok yang gelisah, kemudian tertawa genit:
"Sebenarnya urusan itu
penting sekali, tapi sesudah berhasil menyusulmu, urusan men-jadi tak penting
lagi"
Lan See giok segera berkerut
kening de-ngan perasaan tak mengerti, rasa tak senang hati pun segera
menyelimuti wajahnya:
Tok Nio cu tertawa cekikikan.
"Sudahlah, jangan panik
dulu, mari kita habiskan wedang ronde ini lebih dulu, tak usah kuatir, cici
tentu akan memberitahukan kepadamu- .-�
Menyaksikan tingkah laku Tok
Nio-cu, Lan See-giok jadi teringat kembali dengan Oh Li-cu dari Wi-lim-poo, ia
merasa perempuan ini bagaikan duplikat dari Oh Li-cu, apalagi jika dihubungkan
dengan julukannya yang tak sedap, tiba-tiba saja timbul perasaan muak dihati
kecil arak muda itu..
Tapi untuk melerpaskan diri
seczepatnya dari pewrempuan itu, terrpaksa dia habiskan semangkuk wedang ronde
tersebut.
Hampir tertawa geli Tok Nio-cu
melihat si-kap Lan See-giok yang seolah-olah dibuat apa boleh buat. "
Kalau pemuda Itu menghabiskan
wedang nya secara tergesa gesa. maka Tok Nio-cu justru meneguk wedangnya amat
lamban, ini membuat pemuda itu semakin mendongkol, tentu saja yang bisa
dilakukan olehnya hanya menahan diri belaka.
Jangan dilihat sikap Tok Nio
cu yang genit dan jalang, sewaktu bersantap caranya halus lagi anggun, selesai
makan wedang, dia mengeluarkan secarik sapu tangan untuk menyeka bibirnya yang
merah.
Setelah itu semua dia baru
memandang sekejap kearah Lan See giok yang sudah marah sambil tertawa dan
tanyanya hambar:
"Bukankah kau hendak
pergi ke bukit Tay-ang-san?"
Sudah setengah harian Lan See
giok me-nunggu, ternyata pertanyaan pertama adalah bertanya apakah dia akan ke
bukit Tay-ang san, saking gemasnya dia mengangguk seraya menjawab singkat:
"Benar!"
Sekali lagi Tok Nio cu
memandang wajah sang pemuda dengan lembut, lalu tanyanya lagi.
"Tahukah kau, bagaimana
caranya menuju ke sana?"
Pertanyaan itu segera
mengobarkan hawa amarah dalam dada Lan See-giok. tapi ia ma-sih berusaha untuk
menahan diri, sahut nya dingin.
"Aku bisa menelusuri
jalan raya menuju ke sana. dalam hal ini nyonya tak perlu mengu-atirkan."
Tok Nio cu tertawa tenang,
kembali dia bertanya:
"Tay ang san dengan tiga
tebing, sembilan puncak serta dua belas benteng merupakan daerah yang rawan dan
berbahaya, pos pen-jagaan berada dimana mana, penjaganya ter-diri dari
jagoan-jagoan tangguh, di samping anak buahnya mencapai puluhan ribu, ter-dapat
pula perangkap-perangkap serta jeba-kan-jebakan yang berbahaya, jangan lagi
manusia, burungpun sulit terbang melewati nya. Apakah kau sudah tahu tentang
keadaan-keadaan tersebut?"
Lan See giok cukup sadar bahwa
persoa-lan-persoalan tersebut merupakan masalah yang besar dari penting,
apalagi dia memang tak pernah menyangka kalau Tay ang san memiliki kekuasaan
dan pengaruh sebegitu besarnya.
Namun ia masih mendongkol
sekali terha-dap perempuan itu, maka katanya kemudian lantang.
"Biarpun Tay ang san terdiri
dari bukit golok dan hutan pedang, apa yang mesti ku-takuti--"
Tok Nio cu tidak memberi
kesempatan kepada Lan See giok untuk menyelesaikan kata katanya, dengan cepat
dia menyela lagi. Oooh. jadi maksudmu asal kau labrak ke tiga tebing, sembilan
puncak lain merobohkan kedua belas pemimpin benteng, maka si beruang berlengan
tunggal dapat ditemukan secara mudah?"
Lan See-giok tertegun,
ditatapnya Tok Nio-cu yang tampaknya sudah mempunyai persiapan matang itu
lekat-lekat, sementara mulutnya terbungkam dalam seribu bahasa.
Tok Nio-cu kembali tertawa
ringan. Terus-nya:
"Berbicara soal
kepandaian silatnya, si Beruang berlengan tunggal memang hanya bisa
dibandingkan dengan kawasan jago lihay biasa, pada hakekatnya ia tak akan mampu
menandingi kemampuanmu.
"Tapi ia didukung dan
dilindungi oleh be-gini banyak pemimpin benteng serta jago-jago berilmu tinggi.
apalagi orang--orang tersebut merupakan kawanan manusia nekad yang tak takut
mati, biar kau hendak membantai merekapun tak bakal habis dibantai, keadaannya
masih mendingan jika kau ter-masuk manusia kejam, tapi aku tahu kau saleh dan
penuh welas kasih, kecuali terha-dap seseorang manusia yang sangat jahat dan
berdosa, kau tak akan tega untuk mem-bunuhnya . . . "
"Aaah. belum tentu"
Lan See giok segera mendengus, namun ia sadar apa yang diu-capkan Tok Nio-cu
memang merupakan titik kelemahannya, "bila keadaan memang me-maksa, aku
tidak akan memperdulikan hal--hal semacam itu"
Kembali Tok Nio-cu tertawa.
"Misalkan si Beruang
berlengan tunggal selalu berusaha menghindarkan diri dan eng-gan berjumpa
dengan dirimu, bila kau datang ke tebing Bong thian nia, ia pergi ke puncak Ti
seng hong. bila kau pergi ke benteng Gi sim cay. dia pergi ke benteng Ka cu cay
. . . bagaimana tindakanmu. Ooh. adik Giok ku!b Kau toh bukan jdewa, Ji long
sgeng atau Na chab si pangeran ketiga yang mampu merubah diri, akhirnya kau
sendirilah yang bakal ke-habisan tenaga dan mati lelah di bukit Tay ang
san"
Diam-diam Lan See giok gelisah
sekali, setelah mendengar keterangan tersebut. na-mun dia toh masih juga tak
mau mengaku kalah. kembali katanya:
"Aku toh bisa menyusup
ditengah malam buta, dan secara langsung menuju ke puncak utama, dengan suatu
sergapan mendadak, aku yakin musuh pasti akan kelabakan. dan asalkan si Beruang
berlengan tunggal sudah kutemukan, aku yakin dia tak bakal bisa ka-bur
lagi!"
Tok Nio-cu mengerling sekejap
ke arah Lan See-giok, lalu manggut-manggut memuji. tapi dia toh berkata lagi.
Bagaimana kalau sebelum,
kedatanganmu sudah ada orang lain tiba dulu di bukit Tay ang san dan melaporkan
kejadian ini kepada si Beruang berlengan tunggal? Bila ia sudah mendapat kabar
bahwa di dalam waktu sing-kat kau hendak mencari balas kepadanya, apakah dia
bakal menantikan kedatangan-mu?..
Lan See-giok merasa terkejut
sekali, paras mukanya berubah hebat dan tanpa sadar ia berseru.
"Aaah, masa akan terjadi
peristiwa se-macam ini?"
Tok Nio co tertawa dingin.
"Kau anggap dengan susah
payah aku me-nempuh perjalanan ratusan li untuk menyu-sulmu, tujuannya cuma
ingin membohongi diri-mu saja .. ?"
Dengan cepat si anak muda
tersebut me-rasakan betapa gawatnya masalah yang se-dang dihadapi, seandainya
ada orang telah menyampaikan kabar tersebut, dengan wila-yah yang begitu luas
di bukit Tay ang san, memang menjadi kesulitan yang besar bagi nya untuk
menemukan si Beruang berlengan tunggal bila yang bersangkutan berniat
menghindarkan diri.
Apalagi di seputar wilayah
tersebut me-mang telah dipersiapkan pelbagai macam je-bakan dan alat perangkap,
selangkah saja kurang berhati hati, akibatnya dia bakal mati konyol di tangan
musuh.
Membayangkan kesemuanya itu,
Lan See--giok merasa bertambah gelisah, tiada henti nya ia berusaha untuk
bertanya kepada diri sendiri, siapa gerangan orang yang menyam-paikan berita
tersebut kepada musuhnya?
Tibba-tiba satu ingjatan
melintas dgi dalam benaknyba, ia segera berseru tertahan:
"Apakah Lo caycu sudah
berangkat ke Tay ang san?"
Sementara itu Tok Nio-cu
sedang men-dongkol karena maksud baiknya tidak di-tanggapi sebagaimana yang
diharapkan se-mula, mendengar pertanyaan itu, dia hanya mendengus dingin:
"Hmm! Mereka adalah musuh
bebuyutan, setiap kali bertemu pasti saling gebuk--gebu-kan sampai muncrat
darah, mana mungkin ia berkesudian hati untuk mem-beri kabar kepada Beruang
berlengan tunggal?"
"Lantas siapakah orang
itu?" tanya Lan See giok berkerut kening, wajahnya gelisah ber-campur tak
habis mengerti.
Tok Nio-cu menjadi tak tega
sendiri melihat kegelisahan si pemuda tersebut, kata nya Kemudian lirih:
"Orang itu tak lain
adalah pelindung ben-teng kami, si harimau berkaki cebol! "
"Oooh, kau maksudkan
manusia yang ku-tendang sampai mencelat pada malam itu?" Lan See giok
seperti baru memahami.
"Ya. betul, dialah
orangnya!"
"Sejak kapan ia
meningggalkan Pek-ho cay!"
"Setengah jam setelah kau
meninggalkan benteng Pek hoo cay!"
Diam-diam Lan See giok
memperhitung-kan waktunya, mendadak berkilat sepasang ma-tanya, cepat ia
bangkit berdiri dun ber-seru kepada Tok Nio-cu sambil menjura.
"Aku mengucapkan banyak
terima kasih atas perhatian nyonya. budi kebaikanmu pasti akan kubalas di
kemudian hari, nah aku hendak memohon diri lebih dulu."
Namun Tok Nio-cu masih tetap
duduk tak bergerak sama sekali, ditatapnya Lan See--giok kemudian katanya
sambil ter-tawa di-ngin.
"Kau anggap bila
berangkat ke Tang ang san sekarang juga, maka kau sudah dapat mendahului si
Harimau berkaki cebol sampai di tempat tujuan?"
Tanpa ragu-ragu Lan See giok
mengang-guk.
Sekali lagi Nio-cu tertawa
dingin.
"Heeehhh....heeehrhh....heeehhh....
szi hari-mau berkwaki cebol itu mrembawa bekal ba-nyak, lagi pula dia telah
bertekad untuk sampai di tempat tujuan mendahuluimu, sa-ban tempat
pem-berhentian ia pasti menukar kuda, siang malam ia menempuh perjalanan tiada
hentinya, selang beberapa hari berse-lang ia telah menyeberangi Han-sui, aku
rasa hari ini sudah tiba di Tiang- an tian dan mu-lai memasuki wilayah bukit
Tay-ang-san."
Lan See-giok benar-benar
merasakan hati nya gelisah sekali, alis matanya berkerut sepasang matanya
berapi-api. peristiwa se-macam ini benar-benar merupakan suatu peristiwa yang
mimpipun tak pernah diba-yangkan olehnya.
Tanpa terasa ia bertanya
dengan suara mendongkol:
"Menurut pendapatmu, apa
yang harus kulakukan?"
Tok Nio-cu tertawa cekikikan
penuh perasaan bangga, katanya kemudian angkuh:
"Bukankah sudah
kujelaskan tadi? Sebe-tulnya persoalan ini penting sekali- tapi setelah
berhasil menyusulmu menjadi sama sekali tak berarti lagi."!
Dengan perasaan tidak habis
mengerti Lan See-giok menengok kearah Tok Nio-cu, ke-mudian tanyanya pula
dengan gelisah,
`Mengapa demikian?",
Kebetulan sekali para pelayan
datang menghidangkan sayur dan arak sehingga pembicaraanpun terhenti sejenak.
Tok Nio cu memandang sekejap
hidangan-hidangan yang lezat itu. lalu tertawa gesit.
"Sekarang, minumlah
arakmu dengan hati tenang, pokoknya enci jamin akan memberi-kan seorang Beruang
berlengan tunggal yang utuh kepadamu untuk diperiksa dan mem-balas
dendam."
Lan See giok pun sadar bahwa
gelisah terus tidak ada gunanya, hal ini memang perlu diatasi dengan pemikiran
yang masak, lagi pun Tok Nio-cu berani berkata demikian, hal ini sudah
mempunyai keyakinan untuk berhasi1.
Walaupun demikian, berhubung
pikirannya sedang kalut, biarpun hidangan yang berada dihadapannya rata-rata
sangat lezat, tak sesuappun yang tega ditelan.
Tok Nio cu turun tangan
sendiri memenuhi cawan Lan See giok dengan arak, sikapnya wajar senyuman manis
dikulum, seakan akan dia sedang merayakan hari cap-go-meh tersebut bersama sama
kekasihnya.
Lama kelamaan habis sudah
kesabaran Lan See giok, tidak tahan kembali dia berta-nya.
"Nyonya mempunyai akal
bagus apa sih yang bisa memaksa Beruang berlengan tung-gal untuk munculkan diri
menjumpai aku?"
"Tok Nio cu tertawa
misterius.
"Selesai bersantap nanti,
mari kita berdua berjalan jalan melihat keramaian dulu di jalan raya- --"
"Kalau kau ingin pergi,
pergilah sendiri" tampik Lin See giok agak marah, "aku mah tak
berhasrat sama sekali untuk merayakan hari cap go meh ini!"
Sekali lagi Tok Nio tertawa
cekikikan, de-ngan cepat dia memberi penjelasan.
"Setelah mendapat laporan
bahwa Harimau berkaki cebol melarikan diri pada malam itu, segera kukirim dua
puluh ekor kuda cepat untuk mengejarnya dengan pesan entah dibunuh atau ditawan
hidup-hidup, mereka harus bertindak menurut keadaan, selain telah kujanjikan
pula agar malam ini berkumpul semua di kota Siang-yang. Maka selesai bersantap
nanti kita memakai alasan melihat keramaian di dalam kata, padahal yang
sebetulnya kita pergi mencari mereka.
Lan See giok tidak bisa
berbicara lagi, dia mengerti biarpun si harimau berkaki cebol berhasil disusul
olehnya. namun dengan anggota benteng yang begitu banyak di bukit Tay ang san,
rasanya memang bukan suatu pekerjaan yang gampang untuk ber-jumpa dengan si
beruang berlengan tunggal.
Begitu selesai bersantap,
kedua orang itu segera meninggalkan rumah penginapan.
Suasana di jalan raya sangat
rbamai, manu-sia jyang berlalu laglang sangat banbyak sehing-ga mereka harus
saling berdesak -desakan.
Sementara Lan See giok dan Tok
Nio-cu masih berdiri di depan pintu menyaksikan manusia yang berdesakan di
tengah jalan. tiba-tiba berkilat sepasang mata pemuda itu sekujur tubuhnya
gemetar keras dan sorot matanya ditujukan ke arah sebuah jendela dengan
pandangan tertegun:
Tok Nio-cu segera merasakan
keanehan dari pemuda itu, ia segera menyikutnya pe-lan.
Dengan cepat Lan See-giok
menjadi sadar kembali, dia seperti teringat akan sesuatu tanpa mengucapkan
sepatah katapun, ter-gopoh-gopoh membalikkan badan dan lari masuk ke dalam
ruangan.
Tertegun Tok Nio-cu melihat
hal ini, seru-nya cepat.
"Adik Giok!"
Sambil membalikkan tubuh. dia
menyusul ke dalam ruangan.
Pada saat yang bersamaan, dari
arah jendela rumah makan seberang berkuman-dang pula suara teriakan keras yang
penuh mengandung nada terkejut bercampur gem-bira.
"Adik Giok!"
Tok Nio-cu yang sedang kabur
menjadi tertegun, segera ia berhenti seraya berpaling, namun apa yang terlihat
membuatnya tertegun.
Rupanya seorang gadis berwajah
cantik dengan pakaian ringkas warna putih dan menyoren pedang di punggungnya,
sedang menyeberangi jalan mengejar ke arahnya.
Tok Nio cu merasa wajah gadis
itu seperti sangat dikenal olehnya seakan akan pernah bersua di suatu tempat,
hidungnya yang mancung. matanya yang jeli, bibirnya yang mungil serta wajah
berbentuk kwaci yang diliputi kegelisahan.
BAB 19
YANG lebih aneh lagi, ternyata
gadis itu ber-wajah mirip sekali dengan wajah sendiri.
Sementara dia masih mengawasi
gadis terse-but dengan seksama, si nona berbaju putih itu sudah sampai
dihadapannya dan lang-sung mengejar ke ruang dalam---
Dengan cepat Tok Nio-cu
berhasil mempe-roleh kembali ketenangan pikirannya, segera bentaknya penuh
amarah:
"Hei,b hei! Mau mencajri
siapa kau?" g
Sambil membentbak gusar, dia
menerjang ke arah gadis tersebut---
Nona berbaju putih itu sama
sekali tidak menggubris, dia masih melanjutkan penge-jarannya ke ruang dalam.
Meledak amarah Tok Nio cu
melihat tindakan lawan, sambil membentak ia melejit ke te-ngah udara dan
langsung melayang turun di hadapan gadis tersebut.
Disaat tubuhnya sedang
melayang turun itulah, si nona berbaju putih itu sudah mengeluarkan jurus
burung hong kembali ke sarang dan langsung menyusup ke dalam pavilliun. .
Gagal dengan hadangannya, Tok
Nio-cu malu bercampur gelisah, dengan cepat dia nyusul di belakangnya.
Kali ini dia berhasil
menghadang persis di hadapan gadis berbaju putih itu, lalu dengan kening
berkerut bentaknya keras-keras:
"Hei. siapakah kau?
Mengapa berniat mengejar adik Giok?"
Sementara itu si nona berbaju
putih itu merasa gelisah bercampur mendongkol karena melihat Lan See-giok
berusaha menghindari dirinya, pucat pias wajahnya dan titik air mata jatuh
bercucuran, sekujur badannya gemetar keras menahan emosi.
Ketika dilihatnya Tok Nio-cu
menghadang di depan mata sambil membentak-bentak, amarahnya segera memuncak,
dia memben-tak pula dengan suara keras.
"Siapa kau? Siapa suruh
kau mencampuri urusanku?"
Sebagai seseorang yang sudah
lama berkecimpungan dalam dunia persilatan dan memiliki pengalaman yang matang.
Tok Nio-cu tahu kalau antara si nona dengan Lan See -giok pasti mempunyai
hubungan yang luar biasa itulah sebabnya sambil menahan hawa amarahnya, ia
tertawa dingin:
"Dia adalah adik Giok ku,
sedangkan aku adalah encinya. mengapa aku tak boleh men-campuri
urusannya?"
Nona berbaju putih itu semakin
gusar:
"Dia adalah suamiku, aku
adalah istrinya Oh Li cu, mengapa pula aku tidak boleh menge-jarnya?"
Tok Nio cu melongo kemudian
berdiri tertegun.
Sementara ke empat dayang yang
berada dalam ruangan menjadi kaget dan ketakutan.
Selama berapa trahun terakhir
izni, boleh di-biwlang Oh Li cu srudah banyak menderita, dia berkelana ke
seantero jagad dengan tujuan mencari Lan See-giok.
Akhirnya setelah bersusah
payah, ia berhasil juga menemukan adik Giok yang di cintainya, apa mau dikata,
belum saja berjumpa. adik Giok nya sudah lari terbirit birit karena keta-kutan,
seakan akan ia telah melihat kala-jengking yang sangat berbisa saja.
Teringat akan hal yang sangat
menyedihkan hati ini, dia pingin menangis saja -jadinya, sambil memandang ke
ruang pavilliun, seru-nya berulang kali dengan suara gemetar:
"Adik Giok, adik Giok.
aku adalah Li cu, su-dah hampir setahun lamanya aku mencari-mu!"
Namun ruang pavilliun berada
dalam keadaan sunyi dan hening, tak terdengar jawaban dari Lan See giok.
Dalam pada itu, Tok Nio cu
telah berhasil menenangkan hatinya, dia seperti memahami sesuatu, sambil
tertawa dingin jengeknya kemudian:
"Hei, kalau memang kau
adalah bininya, heran mengapa ia justru sama sekali tidak menggubrismu ?"
Oh Li cu naik darah, keningnya
berkerut dan bentaknya keras-keras, "Minggir kau se jauh jauhnya dari
sini, siapa suruh kau banyak bertanya?"
Ditengah bentakan keras,
telapak tangan nya secepat kilat menyapu wajah Tok Nio cu de-ngan jurus menyapu
rata bukit mega.
Tok Nio-cu semakin berani
setelah mengeta-hui Lan See giok sama sekali tidak menggu-bris Oh Li cu, sambil
membentak dia berte-kuk pinggang lalu melejit ke depan, telapak tangannya
dibalik mencengkeram urat nadi Oh Li cu.
Sebagai ahli waris dari Oh Tin
san serta Say nyoo-hui, ilmu silat yang dimiliki Oh Li cu memang luar biasa
sekali, dia tertawa dingin, telapak tangannya yang sedang menyapu ke muka
mendadak berubah menjadi bacokan langsung membabat dada lawan.
Dengan pengalamannya yang
cukup luas dalam dunia persilatan, meskipun Tok Nio cu agak terkejut menghadapi
ancaman tersebut, namun dia tak sampai menjadi gugup atau panik.
Serta merta tubuh bagian
atasnya di-buang ke belakang, ujung kakinya menjejak permu-kaan tanah dan
melompat mundur ke bela-kang,
Ke empat dayang yang berdiri
didekat-nya menjerit kaget karena ketakutan, dengan wajah pucat pias serentak
melarikan diri mencari selamat.
Setelah berhasil mendesak
mundur Tok Nio-cu, Oh Li cu sama sekali tidak meng-gubris lawannya lagi, dia
langsung menerjang ma-suk ke ruang dalam.
(Bersambung ke Bagian 24)