Tiba-tiba tergerak hati Lan
See giok dengan nada tak mengerti dia bertanya.
"Mengapa sih empek begitu
takut terhadap si kakek berjubah kuning tersebut?"
Berubah paras muka si Manusia
cacad telinga Oh Tin san setelah mendengar ucapan mana, serunya gusar:
"Omong kosong, empek
sebagai seorang pemilik benteng yang menjagoi seputar telaga ini belum pernah
takut kepada orang lain.."
Ketika mengutarakan ucapan
tersebut, alis matanya berkerut, matanya melotot wajah-nya menyeringai seram,
agaknya ia benar--benar sedang diliputi hawa amarah.
Selama ini Say nyoo-hui Ki Ci
hoa cuma membungkam diri belaka, berhubung dia memang tak tahu duduknya
persoalan di samping kuatir salah berbicara.
Namun setelah melihat Oh Tin
san men-jadi gusar karena jengah, buru-buru selanya:
"Tin san, bocah kecil
tahu apa sih? Masa kata katanya kau masukan dalam hati hingga membuatnya
menjadi marah?"
Sembari berkata dia mengerling
sekejap ke arah Oh Tin san.
Oh Li cu pun merasa tidak puas
dengan si-kap ayahnya, dengan nada tak senang hati serunya pula.
"Ayah memang jelek dalam
hal ini, sedikit-sedikit jadi marah!"
Sesungguhnya Oh Tin-san
merupakan seo-rang manusia licik yang pandai mengen-dalikan perasaan sendiri,
namun berhubung perkataan dari Lan See giok tadi telah me-nyinggung aib yang
pernah dijumpainya dan justru mengena pada penyakit hatinya, tak heran kalau
hawa amarahnya segera mele-dak.
Namun setelah digerutui
istrinya dan pu-trinya menunjukkan wajah tak senang hati, buru-buru dia
mengendalikan emosinya dan tertawa terbahak bahak.
"Haaah . . haaah . .
haaah . . . . bayangkan saja aku Oh Tin san adalah seorang tokoh silat yang
nama nya sangat menggetarkan telaga Phoan yang oh, dengan ilmu Hun sui ciang
hoat (ilmu pukulan pemisah air) yang kumiliki puluhan tahun belum pernah
ber-sua dengan musuh tangguh, manusia-manu-sia golongan putih maupun golongan
hitam dari dunia persilatan pada jeri tiga bagian kepadaku, bayangkan saja
betapa tidak marah aku setelah dituduh takut dengan kakek berjubah kuning
ter-sebut".
Kemudian setelah tertawa
terbahak bahak kembali, katanya lebih jauh kepada Lan See giok.
"Sebenarnya empek tidak
menampakkan diri waktu itu karena aku tak ingin men-cari urusan yang tak
berguna dalam keadaan be-gitu"
Dalam hati kecilnya Lan See
giok tert-awa dingin, ia tahu jawaban dari Oh Tin san ini tidak jujur,
sedangkan mengenai keterangan Wi lim poo dalam dunia persilatan, ia pun masih
tanda tanya besar sebab belum pernah hal ini di dengar dari ayahnya.
Dalam hati kecilnya sekarang
cuma ada satu masalah saja yang perlu diketahui sece-patnya, yakni asal usul
dari si kakek berju-bah kuning tersebut.
Maka dengan perasaan tak habis
mengerti dia bertanya.
"Empek, sebenarnya siapa
sih kakek berju-bah kuning itu?"
Oh Tin san mendengus dingin.
"Hmmm! Empek cuma tahu
kalau dia bu-kan orang baik-baik, sedangkan tentang siapa namanya dan dari mana
asal usulnya, belum pernah kudengar tentang hal ini . . .""
Lan See giok pura-pura merasa
kaget dan tercengang, katanya kemudian:
"Aku lihat ilmu silat
yang dimiliki kakek berjubah kuning itu lihay sekali, mestinya kedudukannya
dalam dunia persilatanpun amat tinggi . . . "
"Darimana kau tahu?"
belum habis Lan See giok berkata, Oh Tin san telah menukas de-ngan perasaan
dalam.
Tanpa ragu-ragu sahut Lan See
giok:
"Aku dengar kakek
bercambang yang ber-nama naga sakti pembalik sungai itu selalu membahasai kakek
berbaju kuning itu seba-gai locianpwe . . ."
Tidak sampai Lan See giok
menyelesaikan kata-katanya, Oh Tin san dengan mata me-lotot dan menggertak gigi
telah berseru lebih dulu:
"Thio-Lok-heng, manusia
tak tahu malu, ia bermoral bejad, suka merendahkan derajat sendiri .. . "
Lan See giok sama sekali tidak
menggubris ocehan dari Manusia cacad telinga tersebut, dia berkata lebih jauh:
"Kepandaian silat yang dimiliki
kakek ber-jubah kuning itu memang amat lihay, se-waktu ia membentak kemarin,
padahal tubuhnya masih berada berapa kaki dariku, tapi jalan darahku tahu-tahu
sudah kena ditotok olehnya."
Ketika selesai mendengar
perkataan dari Lan See giok ini, Oh Tin san tak bisa me-ngendalikan hawa
amarahnya lagi, ia segera berseru keras.
"Bocah bodoh, ilmu silat
itu tiada batas batasnya, dan beraneka ragam jenisnya, masing-masing kepandaian
memiliki keisti-mewaan yang berbeda beda, masih mendi-ngan kalau kakek berbaju
kuning itu tidak datang ke benteng Wi lim poo ku ini. bila ia sampai berani
datang kemari, hmm. . . aku pasti akan menyuruh si anjing tua ini merasakan
enaknya air Phoan yang oh!"
Lan See giok segera merasakan
semangat nya bangkit kembali, dengan nada gembira dia berseru.
"Empek tua, kau sebagai
seorang pocu yang namanya termasyhur di seantero dunia, ilmu dalam airmu tentu
lihay sekali, mulai besok aku ingin menyuruh empek untuk mengajarku ilmu dalam
air . .""
Mendapat pujian dari Lan
See-giok, paras muka Oh Tin-san yang semula suram segera berubah menjadi cerah
kembali, ia tertawa bangga dan menganggukkan kepalanya berulang kali:
"Baik, baik, asal kau
bersedia untuk mem-pelajarinya secara tekun, empek akan mewa-riskan segenap
kepandaian yang empek miliki untukmu. . ."
Lan See-giok berlagak
kegirangan, dia melompat-lompat dan segera menjura dalam-dalam, serunya dengan
girang:
"Kalau begitu kuucapkan
banyak terima kasih lebih dulu kepada empek . . !"
Oh Tin san yang licik den
banyak tipu muslihatnya ini mengira rencana kejinya berhasil dengan sukses,
tanpa terasa ia men-dongakkan kepalanya dan tertawa terbahak bahak.
Say-nyoo-hui yang selama ini
cuma mem-bungkam, sekarang turut berseru pula de-ngan nada girang.
"Nak, asal kau bersedia
untuk belajar, be-berapa jurus ilmu Cau hong jiu (ilmu sakti menggapai lebah)
yang kumilikipun akan kuwariskan juga kepadamu!" ..
Lan See giok sama sekali tidak
bertanya apakah ilmu yang dimaksudkan sebagai Cau hong jiu tersebut,
cepat-cepat dia membalik kan badan dan menjura dalam-dalam, lalu serunya dengan
naga girang.
"Terima kasih banyak
bibi!"
Kemudian dia membalikkan badan
dan duduk kembali ke kursi semula . . .
Waktu itu Oh Tin san sudah
dibikin kegi-rangan sehingga sedikit tak dapat mengenda-likan diri, matanya
yang jalang mengerling sekejap ke arah Oh Li cu yang sedang berseri, kemudian
ujarnya sambil tersenyum.
""Mulai besok, biar
enci Cu mu yang mewakiliku mengajarkan dasar ilmu di dalam air kepadamu, bila
dasar dasarnya sudah kau ketahui baru aku yang mengajarkan langsung
kepadamu!"
Mendengar perkataan ini Lan
See giok ter-tawa, kali ini suara tertawanya benar-benar timbul dari hati
sanubarinya.
Sebab diantara lima cacad dari
tiga telaga, tak seorangpun yang paling dicurigai, berda-sarkan julukan yang
mereka miliki paling ti-dak dari lima cacad ada tiga yang bercokol di atas air,
oleh sebab itu kepandaian berenang boleh dibilang merupakan kepandaian yang
paling penting baginya.
Oh Li cu yang mendengar
ayahnya meme-rintahkan kepadanya untuk mengajar kan ilmu berenang kepada Lan
See giok, kontan saja hatinya menjadi kegirangan, sebab hal tersebut memang
sesuai dengan kehendak hatinya, tak tahan lagi ia tersenyum genit.
Pada saat itulah dari luar
ruangan muncul seorang dayang berbaju hijau yang menghampiri Oh Tin san dengan
langkah tergesa gesa, setelah memberi hormat kata-nya:
"Lapor lo pocu, Be
congkoan, Thio Gi si dan Li Tok cay datang mohon bertemu!"
Mendengar laporan tersebut
paras muka Say nyoo-hui dan 0h Li cu berubah hebat, dengan pandangan terkejut
mereka berpaling ke arah Oh Tin San.
Perlu diketahui, di hari-hari
biasa kecuali Oh Tin San suami istri, orang lain belum pernah mengunjungi
tempat kediaman dari Oh Li cu, tapi malam ini tiga orang kongkoan yang
berkedudukan di bawah Oh Tin san te-lah datang, ini menunjukkan kalau di dalam
benteng telah terjadi suatu peristiwa yang maha besar.
Menyaksikan keterkejutan Say
nyoo-hui dan Oh Li cu, Lan See giok merasa terperan-jat sekali, apalagi saat
ini menunjukkan kentongan ke empat, hal tersebut membuat-nya makin terkesiap.
Oh Tin San memang sudah
mengetahui hal ini, tapi di luar dia berlagak seolah-olah kaget dan tercengang,
sambil mengerut-kan dahinya ia berseru.
"Silahkan mereka
masuk!"
Dayang itu mengiakan dengan
hormat ke-mudian membalikkan badan dan buru-buru berlalu dari situ.
Say nyoo-hui maupun Oh Li cu
meman-dang ke arah Oh Tin san dengan pandangan terkesiap, tanyanya kemudian
dengan nada tak mengerti:
"Ada apa sih? Masa hari
begini juga datang menghadap?"
Oh Tin san tidak menjawab
dengan segera, hanya matanya yang sesat mengawasi depan pintu dengan termangu,
seolah-olah sedang memikirkan persoalan tersebut.
Tak selang berapa saat
kemudian, terde-ngar suara langkah kaki manusia berkuman-dang memecahkan
keheningan.
Meminjam cahaya yang memancar
ke luar dari balik ruangan, Lan See giok dapat meli-hat ada tiga sosok bayangan
manusia sedang melangkah masuk ke dalam ruangan dengan langkah tergesa-gesa.
Orang yang berada ditengah
berperawakan kecil dan pendek, dia adalah seorang kakek bungkuk bermata segi
tiga, beralis tebbal dan memelihajra jenggot kambging, tampangnyba menunjukkan
kelicikan, mengenakan jubah panjang warna putih yang kedodoran, sepasang
matanya memancarkan cahaya ta-jam yang berkilauan, membuat kakek ini tampak mengerikan.
Sedangkan orang yang berada di
sebelah kanan berperawakan tinggi langsing, berusia antara tiga puluh tahunan,
berjubah hitam dengan celana kombrang, tampangnya kurus macam monyet dengan
hidung yang meleng-kung seperti hidung betet, matanya yang bulat memancarkan
juga cahaya tajam.
Orang yang berada di sebelah
kiri adalah seorang pemuda berusia dua puluh lima-enam tahunan, tubuhnya kekar
dengan alis mata yang tebal, tapi matanya kecil, hidungnya agak mancung dan
bibirnya terasa amat tebal.
Ia mengenakan topi model
seorang busu, telinganya dihiasi anting-anting besar, pakaiannya ringkas dan
ikat pinggangnya merah, diantara rekan rekannya dia memang kelihatan lebih
tampan.
Di antara ke tiga orang ini,
seorang ber-tampang licik, seorang lagi bertampang keji dan pemuda ini meski
masih muda namun wajahnya memancarkan pula hawa sesat dan hawa kecabulan.
Lan See giok segera menduga
kalau ke tiga orang ini adalah para anggota penting dari benteng Wi-lim-poo.
Dalam pada itu ke tiga orang
tersebut su-dah memasuki ruangan, enam buah sorot mata mereka yang jeli
mengawasi wajah Lan See giok yang sedang duduk dihadapan Oh Li cu itu dengan
pandangan terkejut.
Terutama sekali pemuda
berpakaian ring-kas tersebut, ia nampak berkerut kening setelah menyaksikan
ketampanan wajah Lan See giok serta kegagahannya.
Biarpun Lan See giok hanya
seorang bocah berusia lima enam belas tahunan, tapi dalam pandangannya bocah
itu sudah terhitung se-orang pemuda yang amat ganteng.
Oleh sebab itulah sebelum
melangkah ke dalam ruangan, keningnya sudah berkerut dan wajahnya diliputi hawa
napsu mem-bunuh.
Menyaksikan wajah cemburu yang
terpan-car dari wajah pemuda tersebut, senyuman yang semula menghiasi wajah Oh
Li cbu kini telah bejrubah menjadi dgingin seperti ebs.
Perubahan wajah Oh Li cu,
kontan saja semakin mengobarkan api cemburu yang berkobar di dalam dada pemuda
berpakaian ringkas tersebut.
Manusia cacad telinga Oh Tin
San maupun Say-nyoo-hui Ki-Ci-hoa menyaksikan per-u-bahan wajah ke dua orang
itu dengan jelas, akan tetapi mereka berlagak seolah-olah ti-dak memperhatikan.
Dalam pada itu ke tiga orang
tersebut su-dah memasuki ke dalam ruangan, lalu de-ngan hormat mereka menjura
seraya ber-kata:
"Mengunjuk hormat buat Lo
pocu, hujin dan nona!"
Say nyoo-hui dan Oh Li cu
segera memba-las hormat sambil tersenyum . . .
Hanya Lan See giok seorang
yang masih tetap duduk tak bergerak, karena dia me-mang tidak kenal dengan ke
tiga orang ini, terhadap sorot mata permusuhan dari pemu-da berpakaian ringkas
tersebut, diapun pada hakekatnya tidak memandang sebelah mata-pun.
Setelah meletakkan cawan
araknya, berla-gak tidak mengerti Oh Tin San segera berta-nya:
"Malam-malam begini
kalian bertiga datang ke sini, entah ada urusan apa?"
Kakek bungkuk tersebut segera
menjura, sahutnya dengan sikap yang sangat meng-hormat:
"Hamba sekalian mendengar
Lo pocu marah-marah yang mungkin disebabkan peristiwa terbunuhnya si setan
pengejar ikan paus, oleh sebab itu hamba sekalian khusus datang ke mari untuk
melaporkan kejadian yang sebenarnya".
Lelaki setengah umur berwajah
monyet segera menyambung pula dengan hormat.
"Setelah menerima
laporan, hamba lang-sung memeriksa sendiri di tempat kejadian, di sekitar sana
ditemukan sebuah sampan nelayan dalam keadaan terbalik, di dasar sampan dijumpai
sebuah lubang yang persis sebesar luka mematikan di tubuh si setan pengejar
ikan paus "
Lan See giok yang mendengar
perkataan tersebut menjadi sangat mendongkol, dia merasa kejadian tersebut
perlu diterangkan sejelas-jelasnya kepada semua orang . . .
Belum habis ia berpikir,
tiba-tiba pemuda berpakaian ringkas itu sudah berdiri dengan kening berkerut,
tiba-tiba serunya dengan penuh kegusaran.
"Menurut hasil
rpenyelidikan atzas sumber dari wsampan tersebutr, diketahui perahu itu milik
dusun nelayan setempat, hamba yakin perbuatan ini pasti hasil karya si naga
sakti pembalik sungai, kini segenap saudara dari benteng sudah diliputi emosi
dan gusar sekali, kami merasa belum puas sebelum da-pat mencuci dusun nelayan
itu dengan darah . . . ."
Ucapan itu menggusarkan Lan
See giok, ia jadi lupa kalau dirinya berada di mulut hari-mau, dengan kening
berkerut dia siap melompat bangun.
Belum lagi hal tersebut
dilakukan, Oh Tin San sudah mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak bahak.
Gelak tertawa ini langsung
membungkam kan pemuda berpakaian ringkas itu, agak termangu ia mengawasi
pocunya, sementara hatinya keheranan dan tidak habis mengerti apa sebabnya Oh
Tin San tertawa tergelak...
Lan See giok, Say-nyoo-hui
serta Oh Li cu juga mengawasi Oh Tin San dengan perasaan tidak habis mengerti.
Setelah menghentikan gelak
tertawanya, Oh Tin san berkata dengan lantang:
"Kukira ada kejadian
besar apa, oooh. ru-panya hanya masalah sekecil ini, biarpun sampan tersebut
milik dusun nelayan se-tem-pat, namun aku percaya si setan pengejar ikan paus
bukan tewas di tangan si Naga Sakti pembalik sungai."
Berbicara sampai di situ,
matanya yang sesat memandang sekejap ke arah Lan See-giok, kemudian sambil
berpura pura gembira katanya dengan suara lantang:
"Persoalan ini tak usah
kita bicarakan dulu untuk sementara waktu, ayo kuper-kenalkan dulu kalian
bertiga dengan sau poocu kalian Lan See giok."
Seraya berkata dia menunjuk ke
arah pe-muda Lan.
Kecuali kakek bungkuk, dua
orang lain-nya nampak tertegun, terutama sekali pemuda berpakaian ringkas
tersebut, paras mukanya segera beruban hebat.
Lan See giok masih tetap
bersikap tenang, senyum hambar menghiasi ujung bibirnya, matanya bersinar
tajam, oleh karena Oh Tin san telah bangkit berdiri, maka dia pun turut
beranjak.
la cukup tahu bahwa kesemuanya
ini me-rupakan bagian dari perangkap Oh Tin san, tapi mengapa? ia kurang jelas,
namun ada satu hal dia merasa yakin, bisa jadi hal ini akan semakin membantu
usahanya untuk melarikan diri.
Dalam pada itu si kakek
bungkuk itu su-dah maju ke depan dengan senyuman di ku-lum, sembari menjura
katanya dengan hor-mat:
"Congkoan dari benteng
Wi-lim-poo, Be-Siong-pak memberi hormat buat sau pocu."
Buru-buru Lan See giok
membalas hormat, sahutnya sambil tersenyum ringan:
"Aku masih muda dan
berpengetahuan rendah, untuk di kemudian hari masih ba-nyak membutuhkan
petunjuk dari Be lo-enghiong"
Betapa gembiranya Be Siong-pak
ketika Mendengar Lan See giok membahasai diri sendiri sebagai Be lo-enghiong,
buru-buru dia membungkukkan badan dan berkata sambil tersenyum:
"Hamba tidak berani,
hamba tidak berani"
Sambil tersenyum Oh Tin san
segera menimbrung dari samping.
"Bocah bodoh, Be congkoan
sudah amat berpengalaman di dalam dunia persilatan ke-cerdasan otaknya seperti
Khong-Beng yang menjelma kembali, dialah otak dari empek mu, semua masalah dan
pekerjaan merupa-kan hasil kerjanya, di kemudian hari kau memang perlu minta
banyak petunjuk dari Be congkoan."
Lan See giok menganggukkan
kepalanya berulang kali sementara hatinya bergetar keras, ia tahu Be Siong pak
merupakan pe-rintang utama bagi usahanya melarikan diri di kemudian hari.
Umpakan dari Oh Tin san itu
kontan mem-banggakan hati Be Siong-pak, saking senangnya dia sampai
mendongakkan kepala nya dan tertawa terbahak bahak, katanya ber-ulang kali:
"Aaah, lo-pocu terlalu
memuji!""
Lelaki setengah umur berwajah
seperti monyet itu segera maju pula ke depan, kata nya kepada Lan See giok
dengan hormat:
"Hamba Thio-Wi-kang,
memberi hormat buat Sau pocu."
Sembari berkata dia membungkukkan
badan sambil menjura dalam-dalam . ....
Melihat hal ini Oh Tin-san
kembali berkata:
""Dia adalah
Thio-Wi-kang, orang me-nye-butnya sebagai Sam-ou kau-ong (Raja monyet air dari
tiga telaga), kepandaian dalam airnya tiada tandingan, saat ini dia termasuk
se-orang tokoh yang amat menonjol namanya dalam dunia persilatan."
"Selamat bersua, selamat
bersuba!" seru Lan Seje giok berulangg kali sambil mebnjura.
Pemuda berpakaian ringkas yang
berada di belakang, dengan dahi berkerut dan mulut mencibir menunjukkan sikap
angkuh tetap berdiri di tempat, hanya ujarnya ketus:
"Lin Ci cun menjumpai sau
pocu!"
Tapi dikala menyaksikan
senyuman seram menghiasi ujung bibir Oh Tin san, matanya berkilat tajam, kontan
hatinya bergetar keras.. sehingga terburu buru ia membung-kukkan badannya
memberi hormat.
Agaknya Oh Tin san merasa tak
senang hati terhadap sikap angkuh yang dipancar-kan Li Ci cun di hadapannya,
maka diapun memberi penjelasan secara ringkas.
"Dia adalah Li Ci cun,
orang menyebut-nya Long Ii hu tiap (kupu-kupu di tengah ombak)."
Lan See giok tidak menyangka
kalau pen-jelasan Oh Tin san sedemikian ringkasnya, maka setelah termenung
sejenak, ia baru berkata sambil tersenyum.
"Selamat bersua, selamat
bersua!"
Kupu-kupu dibalik ombak
Li-Ci-cun merasa sangat tidak puas, di samping itu diapun dapat menyadari kalau
manusia ca-cad telinga yang termasyhur sebagai manusia licik yang berhati keji
ini menaruh perasaan tak puas terhadapnya, kesemuanya itu mem-buat perasaannya
dicekam rasa kaget.
Akan tetapi setelah
menyaksikan Oh Li cu, kekasihnya yang selama ini hidup bagaikan suami istri
dengannya sama sekali tidak ber-paling ke arahnya, walaupun sudah sedari tadi
ia muncul di situ, kontan saja api cem-burunya makin lama semakin ber-kobar.
Dalam pada itu, Lan See-giok
telah berkata kepada Oh Tin sari sambil tersenyum.
""Empek, persilahkan
Be lo enghiong berti-ga turut menghadiri perjamuan ini !"
Baru saja ucapan tersebut
diutarakan, Oh Li cu segera menarik wajahnya sambil cem-berut.
Agaknya kakek bungkuk itu amat
berke-nan dihati atas sebutan Be to-enghiong dari Lan See giok tersebut, dengan
wajah berseri ia berkata:
"Tidak usah sau pocu,
besok hamba masih ada urusan yang mesti diselesaikan se-hingga tak
berkesempatan untuk menemani sau pocu bersantap, tapi untung saja waktu di
kemudian hari masih panjang, toh tak usah tebrburu napsu bukjan?"
Selesaig berkata kembalbi ia
tertawa terbahak bahak, agaknya ia belum bisa menduga asal usul Lan See giok
yang sesungguhnya.
Sesungguhnya Oh Tin san memang
berniat mempersilahkan ke tiga orang bawahannya untuk menghadiri perjamuan
tersebut, na-mun setelah menyaksikan ketidak senangan putrinya, apalagi Be
Siong pak juga telah beralasan masih ada urusan lain, maka sem-bari mengulapkan
tangannya ia berkata:
"Baiklah, lain waktu saja
kita minum ber-sama sama!"
Si kakek bungkuk, Thio-Wi-kang
maupun Li Ci cun tahu bahwa mereka sudah seha-rusnya pergi, maka serentak ke
tiga orang itu memberi hormat dan mohon diri.
Baru ke luar dari pintu
ruangan, menda-dak terdengar Oh Tin san berseru lagi dengan suara dalam dan
bertenaga.
"Be congkoan, sebelum
fajar besok harap siapkan semua kapal perang yang kita miliki, kumpulkan
segenap anggota kita di lapangan air, setiap pasukan harus berpakaian lengkap
dan panji kebesaran kita kibarkan di setiap tiang perahu, nah pergilah!"
Lan See-giok terkejut oleh
ucapan tersebut, sementara Say nyoo-hui serta Oh Li cu di-buat tertegun.
Kakek bungkuk, Thio-Wi-kang
maupun Li Ci cun nampak agak tertegun pula, tapi ke-mudian dengan semangat berkobar
serentak ia mengiakan dan berlalu dengan langkah ter-buru buru.
Kejut dan gusar perasaan Lan
See giok waktu itu, dia tahu bisa jadi Oh Tin san ber-niat membasmi kampung
nelayan tersebut dengan kekerasan.
Maka setelah merenung sejenak,
dengan kening berkerut katanya dengan gusar:
"Empek, si setan pengejar
ikan paus . ."
Setelah menurunkan perintah
tadi tam-paknya Oh Tin san mulai berpikir kalau ta-ruhan yang dilakukan olehnya
kali ini kele-wat besar, mendingan kalau berhasil meraih keuntungan, jika
kalah, bukankah urusan bakal berabe? Perasaannya tiba-tiba saja menjadi gugup
dan sangat tak tenang.
Itulah sebabnya sebelum Lan
See giok menyelesaikan perkataannya, dengan tak sa-dar ia menyela:
"Sirapa suruh si seztan
pengejar ikwan paus mencarir kematian sendiri, waktu itu aku su-dah
memperingatkan dia, dasar kepandaian silatnya masih jauh di bawah mu sekarang.
. ."
"Empek" tukas Lan
See giok tak puas, "mengapa kau menitahkan kepadanya agar diam-diam
mendorongku, bahkan sekalipun sudah di dorong sampai ke tengah telaga pun belum
jua menampakkan diri untuk memberi penjelasan?"
Agaknya Oh Tin san sudah dapat
mene-nangkan hatinya sekarang, katanya sambil tertawa hambar:
"Waktu itu aku mengira
kau sudah semaput lantaran kaget, karena sejak ber-sembunyi di dalam sampan tak
pernah menampakkan diri kembali, maka kuperintah kan kepada si setan pengejar
ikan paus agar mendorongmu ke mari secara diam-diam, bila pembicaraan dilakukan
waktu itu, niscaya hal mana akan menarik perhatian si kakek berjubah kuning---"
Belum habis dia berkata,
bayangan manu-sia nampak berkelebat lewat di depan pintu.
Be Congkoan, si kakek bungkuk
yang be-lum lama meninggalkan ruangan kini sudah melompat masuk kembali ke
dalam ruangan dengan wajah gugup dan pucat pias.
Kemunculannya yang sangat
mendadak ini tentu saja sangat mengejutkan Lan See giok sekalian, serta merta
mereka melompat ba-ngun.
Para dayang yang berdiri
berjajar di kedua belah pintu pun sama-sama memperdengar kan jeritan kaget yang
melengking.
Sebagai manusia yang berwatak
licik dan pandai membawa diri, Oh Tin san cukup tahu bila Be Siong pak yang
tersohor karena kecerdasan otaknya pun menunjukkan sikap kaget dan gugup
seperti ini, berarti di dalam bentengnya sudah terjadi suatu peristiwa yang
luar biasa sekali.
Maka sambil berusaha untuk
mengendali-kan perasaan gugup dan kalut dalam pikir-annya dia menegur.
"Ada urusan apa?"
Be Siong pak menunjukkan sikap
kaget dan cemas, peluh sebesar kacang kedelai jatuh bercucuran membasahi
seluruh tubuh-nya, dengan tergesa gesa dia menghampiri majikannya kemudian
membisikkan sesuatu di sisi telinganya.
Mengikuti komat kamitnya mulut
Be Siong pak, paras muka Oh Tin san pun turut berubah ubah juga, dari gugup,
takut sampai pucat pias dan matanya memancarkan sinar ketakutan.
Begitu Be congkoan
menyelesaikan kata katanya, tak tahan lagi dia bertanya dengan gelisah.
"Sekarang --sekarang dia
berada di mana?"
Kakek bungkuk itu semakin
tegang, sete-lah menghembuskan napas panjang sahut-nya:
"Sekarang dia berada di
ruang tamu!"
Jawaban ini segera
menggetarkan perasaan si manusia cacad telinga Oh Tin san seluruh tubuhnya
gemetar keras, matanya terbelalak dan ia benar-benar tertegun saking kaget dan
takutnya.
Dari sikap tegang, takut dan
gugup yang diperlihatkan Oh Tin san maupun kakek bungkuk tersebut, Lan See giok
segera men-duga kalau di dalam benteng tersebut pasti sudah kedatangan seorang
musuh yang sa-ngat lihay.
Bukan saja kepandaian silat
yang dimiliki pendatang tersebut hebat sekali, sudah pasti tangannya amat keji
dan membunuh orang tanpa berkedip, kalau tidak mustahil Si manusia cacad
telinga Oh Tin San akan menunjukkan rasa takut yang begitu hebat.
Agaknya Say-nyoo-hui Ki-Ci-hoa
juga dapat merasakan betapa seriusnya masalah terse-but. sambil menarik ujung
baju Oh Tin San, bisiknya lirih:
"Tin San siapa sih yang
telah datang?"
Seperti baru mendusin dari
kagetnya Oh Tin San tak sempat lagi menjawab perta-nyaan dari Ki-Ci-hoa,
buru-buru serunya kepada Be congkoan:
"Ayo, kita segera
berangkat."
Buru-buru mereka berdua
melompat ke luar dari ruangan tersebut dan melejit ke atas atap rumah, kemudian
dalam beberapa kali lompatan saja bayangan tubuh mereka sudah lenyap dari
pandangan mata.
Sepeninggalb ayahnya dan Bej
Congkoan, Oh Lgi cu baru berpabling ke arah ibunya sambil bertanya dengan
perasaan tak habis me-ngerti:
"Ibu, menurut pendapatmu
siapa sih yang telah datang?"
ooo0ooo
BAB 7
SAY-NY00-HUI Ki-Ci-hoa
memandang se-kejap ke arah Lan See giok yang masih tetap duduk dengan tenang,
kemudian sambil berkernyit dahi katanya seraya tertawa paksa:
""Ayahmu selalu
dapat mengendalikan diri bila menjumpai sesuatu persoalan, padahal masalah nya
bukan sesuatu yang luar biasa""
Oh Li cu tidak setuju dengan
pendapat itu, ujarnya dengan wajah bersungguh sungguh.
"Be congkoan orangnya
cerdik dan sangat pandai menghadapi masalah, dia pun ter-masyhur sebagai
Khong-Beng yang menitis kembali, bila dilihat dari sikapnya yang gugup dan
kelabakan..."
Melihat putrinya tak tahu
keadaan, dengan kening berkerut Say nyoo-hui segera mene-gur:
"Betapa pun besarnya
persoalan yang di hadapi, asal ayahmu sudah ke situ niscaya urusan akan beres
dengan sendirinya, ber-dasarkan kelihaian ilmu silat dari ayahmu serta pamornya
yang besar, siapa sih yang berani mencabut gigi dari mulut harimau?"
Lalu setelah mengerling
sekejap ke arah Oh Li cu penuh arti, sambungnya lebih jauh:
"Lagi pula kita
Wi-lim-poo sudah lama menjagoi di seputar telaga ini, sekeliling benteng
dilingkari air telaga, di luar ada hu-tan gelaga yang lebat, di dalam ada ranjau
air, jago lihay yang tinggal disinipun tak ter-hitung jumlahnya, bahkan hampir
semua-nya pandai ilmu berenang, di dalam air ada pen-jaga, di atas benteng ada
pengawal, jangan lagi perahu sampan, biar burungpun sukar untuk terbang lewat
tanpa ketahuan, diban-dingkan dengan Lok ma oh dimasa lalu, benteng tersebut
paling-paling cuma begitu saja ...."
Makin berbicara Say nyoo-hui
semakin bersemangat, sedangkan Lan See giok makin lama semakin terkejut, ia tak
tahu benarkah benteng Wi-lim-poo mempunyai penjagaan sedemikian ketatnya, bisa
juga perempuan tua itu sedang mengibul.
Sementara dia masih
termenung,b terdengar Say jnyoo-hui telah gberkata lebih jbauh.
"Kalau dilihat dari
kegugupan ayahmu tadi, bisa jadi mata-mata kita yang di tugaskan di luar telah
pulang dengan membawa berita besar yang luar biasa, sebab seandainya ada orang
luar yang masuk ke mari, mengapa dari pihak loteng penjaga tidak dikeluarkan
tanda peringatan , . , ?"
Ketika berbicara sampai di
situ, nampak semangat Say nyoo-hui berkobar kembali, sikap angkuhnya menghiasi
wajahnya.
Mendengar ucapan dari ibunya,
Oh Li cu segera merasakan semangatnya turut berko-bar, perasaan tak tenang yang
semula mencekam perasaannya pun kini bilang le-nyap tak berbekas.
Sebaliknya Lan See giok yang
mendengar ucapan tersebut, kian lama hatinya kian bertambah berat, walaupun di
luaran ia ma-sih tetap mempertahankan ketenangan nya.
Sedangkan Say nyoo-hui
sendiri, sesung-guhnya amat menguatirkan pula kesela-matan dari Oh Tin san,
apalagi kalau dilihat dari sikap gugup dan takut yang menghiasi wajah suaminya,
namun sebisa nya ia beru-saha untuk mengendalikan diri.
Kembali ujarnya sambil tertawa
paksa:
"Anak Cu.. sekarang aku
sudah kenyang, temanilah adik Giok mu untuk minum be-berapa cawan lagi, aku
hendak menengok dulu keadaan di sana."
Sambil berkata ia beranjak dan
menuju ke luar ruangan.
Buru-buru Lan See giok berseru
dengan hormat:
"Silahkan bibi, akupun
sudah kenyang.."
Bersama Oh Li cu mereka
bangkit berdiri dan menghantar Say nyoo-hui Ki-Ci-hoa sampai di luar pintu.
Pelayan pun segera membereskan
hida-ngan dari atas meja perjamuan---
Setibanya di depan pintu, Say
nyoo-hui menitahkan kedua orang itu agar berhenti.
Lan See giok dan Oh Li cu
menurut perin-tah dan berhenti, mereka berdiri di situ hingga bayangan tubuh
perempuan tua tersebut melangkah ke luar dari pintu hala-man.
Mendadak berkilat sepasang
mata Oh Li cu, seakan akan teringat akan sesuatu, buru baru serunya:
"Ibru, tunggu
dulu!z"
Sambil berwseru dia memburru
ke luar pintu dan menghampiri ibunya.
Menyaksikan kejadian itu,
tergeletik hati Lan See giok, cepat dia menarik napas pan-jang, berpaling
sekejap memperhatikan seke-liling tempat itu kemudian melejit ke arah pintu dan
menyembunyikan diri di balik pintu halaman.
Sementara itu dari luar
halaman terdengar Say nyoo-hui sedang bertanya dengan nada tak mengerti.
"Ada apa anak CU?"
Oh Li cu nampak agak sangsi
dan sukar untuk menjawab, sampai lama kemudian ia baru menyahut agak tergagap.
"Ibu, aku ingin meminjam
sebentar bangau kecil Siau sian hok terbuat dari emas itu-"
Belum habis Oh Li cu berkata,
Say nyoo-hui telah menukas dengan nada terkejut:
"Apa? Kau--kau
menghendaki dupa lebah bermain di putik bunga---?"
Lan See giok yang menyadap
pembicaraan tersebut menjadi tak habis mengerti, dia tak tahu apa yang
dinamakan "dupa lebah ber-main di putik bunga" itu?
Maka pikirnya kemudian:
"Aaah, mungkin dupa untuk
mengharum-kan tubuh Oh Li cu ....?"
Tapi setelah dipikir kemudian
ia merasa hal tersebut kurang begitu cocok ....
Selanjutnya ia tidak mendengar
jawaban dari Oh Li-cu, mungkin gadis itu sedang manggut-manggut.
Terdengar kemudian Say
nyoo-hui berkata lagi.
"Terus terang kukatakan,
sekarang dia ma-sih kecil, tak mungkin akan memberi ke-pu-asan
kepadamu....""
Tapi sebelum Say nyoo-hui
menyelesaikan kata-katanya, Oh Li cu telah berseru kembali agak ngotot.
"Tidak, tidak..."
Selang berapa saat, akhirnya
dengan nada apa boleh buat Say nyoo-hui berkata lagi:
"Baiklah, mari ikuti aku
sekarang!"
Menyusul kemudian terdengar
suara lang-kah kaki manusia yang makin lama semakin menjauhi tempat tersebut.
Lan See giok merasa sangat
kebingungan oleh pembicaraan itu, dia mencoba untuk mengintip ke luar,
dilihatnya Oh Li cu telah mengikuti ibunya berjalan sejauh beberapa puluh kaki
dan menuju ke depan sebuah pintu halaman bercat merah.
Ketika berpaling lagi ke ruang
dalam, di li-hatnya para dayang masih sibuk bekerja, maka diapun berlagak
seolah-olah tak ada urusan, sambil bergendong tangan balik kembali ke dalam
ruangan.
Kentongan ke empat sudah
lewat, suasana waktu itu amat gelap, kecuali lentera merah yang tergantung di
puncak loteng benteng, segala sesuatunya berada dalam keadaan gelap gulita dan
sunyi senyap tak kedengaran sedikit suarapun.
Lan See giok memandang lagi ke
arah de-pan, di situ terbentang sebuah lorong air yang lebarnya beberapa kaki,
di bawah un-dak undakan tetap tertambat sampan kecil yang ditumpangi Oh Li cu
tadi.
Di depan lorong air terdapat
sederet ba-ngunan yang berupa pagoda air, sedang di sebelah kanan terbentang
pula sebuah lorong air yang agak sempit dan tampaknya lang-sung menuju ke pintu
gerbang benteng, tapi berhubung di sekitarnya berderet bangunan rumah maka
pemandangan tak dapat ter-lihat lurus ke depan.
Menelusuri tepi tanggul,
pelan-pelan Lan See giok berjalan pula menuju ke arah Say nyoo-hui dan Oh Li cu
berlalu.
Dalam pada itu Say nyoo-hui
serta Oh Li cu sudah masuk ke dalam bangunan bercat merah tersebut, namun ia
tak berani mem-percepat langkahnya. kuatir gerak geriknya diawasi orang secara
diam-diam . .
Setelah maju beberapa kaki,
dib depan sana ditjemukan sebuah jgembatan bambu ybang le-barnya hanya dua depa
dan melingkar ke arah kanan, di sebelah kanan bangunan tunggal tampak pula
sebuah pagoda ber-bentuk bulat, dari balik jendela yang berada di empat penjuru
nampak cahaya lentera mencorong ke luar.
Tergerak hati Lan See-giok,
pelan-pelan dia berjalan menelusuri jembatan bambu itu, agar tidak menarik
perhatian, sambil berjalan ia berlagak seolah-olah sedang menikmati pemandangan
di sekelilingnya.
Tiba di mulut jembatan, dia
saksikan jem-batan bambu itu membentang terus ke depan dan menghubungi sebuah
bangunan tinggi yang besar dan luas di tengah telaga.
Bangunan itu terdiri dari tiga
tingkat, dasar bangunan hampir menempel pada permukaan air, daun-daun bunga
teratai yang lebar dan berwarna hijau hampir menutupi seluruh permukaan telaga,
ter-pantul cahaya lentera dari balik bangunan, tampak daun-daun itu memantul
kan cahaya yang berkilauan.
Memandang keadaan bangunan
tersebut, Lan See giok segera tahu bisa jadi bangunan tinggi ini adalah tempat
tidur dari si Manusia cacad telinga Oh Tin san.
Sejak melihat kegugupan dan
kebingungan dari Oh Tin san, Lan See giok memang sudah diliputi perasaan ingin
tahu yang meluap luap, dia ingin tahu sebenarnya manusia li-hay macam apakah
yang telah berkunjung ke situ sehingga membuat Oh Tin san yang keji dan
licikpun dibuat ke-takutan setengah mati.
Sementara otaknya masih
berputar, tubuh-nya sudah menelusuri jembatan bambu kecil itu, secepat mungkin dia
mempersiapkan diri sebaik baiknya untuk menghadapi segala kemungkinan yang tak
diinginkan, biarpun di luaran ia berusaha untuk berjalan se-santai mungkin.
Baru saja hampir sampai di
ujung jem-batan, mendadak ia mendengar suara Oh Tin san yang sedang menyahut
dengan nada yang amat menaruh hormat.
Dari nada suara itu, Lan See
giok tahu. bahwa dugaannya tak salah . . malam ini benteng Wi-lim-poo
betul-betul sudah ke-datangan seorang manusia yang berkedu-dukan amat tinggi di
dalam dunia persilatan dewasa ini.
Setelah maju lagi beberapa
langkah, dari ujung tikungan jembatan kecil itu se-cara ke-betulan sekali dapat
menyaksikan selurbuh keadaan di djalam pagoda tergsebut.
Seandbainya tidak melihat
masih mendi-ngan, begitu menyaksikan keadaan yang ter-bentang di depan mata,
rasa kaget yang di alami Lan See giok saat ini sama sekali tidak berada di
bawah To oh cay-jin sendiri.
Mimpipun dia tak menyangka
kalau orang yang duduk di depan meja bundar dalam pa-goda tersebut ternyata tak
lain adalah si kakek berjubah kuning tersebut.
Kakek berjubah kuning itu
masih tetap nampak ramah dan lembut, sorot matanya memancarkan pula cahaya
tajam yang me-mikat sambil mengelus jenggotnya dia seperti lagi merenungkan
sesuatu.
Sedangkan Oh Tin san berdiri
lima langkah di hadapannya dengan sikap yang munduk-munduk dan menghormat
sekali, sepasang tangannya menjulur ke bawah sedangkan sepasang mata sesatnya
hampir boleh dibi-lang tak berani saling beradu pandangan dengan kakek berjubah
kuning itu.
Be congkoan, si kakek bungkuk
apakah tu-rut hadir dalam pagoda tersebut, sayang tak sempat dilihat oleh Lan
See giok, setelah menyaksikan sikap munduk-munduk dari Oh Tin san tersebut, Lan
See giok segera teringat kembali dengan ucapan se-sumbar yang di-katakan
sewaktu ada dalam perjamuan tadi:
"Masih mendingan kalau
kakek berjubah kuning itu tidak datang ke benteng Wi-lim-poo kami, bila berani,
hmm hmmm. . aku pasti akan menyuruh anjing tua itu men-cicipi rasanya air
telaga Huan yang oh."
Tapi kenyataannya sekarang?
Tak sepatah katapun dari ucapan sesumbar Oh Tin san yang diwujudkan dengan
tindakan, rupanya dia cuma pandai omong besar saja ketimbang melaksanakannya .
. .
Mendadak . . .
Sepasang mata si kakek
berjubah kuning yang tajam bagaikan sembilu itu diarahkan ke wajah See giok
Seketika itu juga Lan See-giok
merasakan tubuhnya gemetar keras, saking kagetnya sepasang kaki sampai terasa
lemas tak ber-tenaga, cepat-cepat ia berpegangan tiang jembatan.
Detak jantungnyra turut
berdebazr keras karena wtegang, saking rngerinya nyaris dia membalikkan badan
untuk melarikan diri.
Sekarang ia merasa menyesal
sekali, me-nyesal karena telah menelusuri jembatan kecil tersebut hingga tiba
di situ . . .
Mendadak terdengar kakek
berjubah kuning itu bertanya kepada Oh Tin-san de-ngan suara dalam
"Oh pocu. benarkah Lan
See giok si bocah itu tidak berada dalam bentengmu?"
"Lapor locianpwe.."
sahut Oh Tin-san mun-duk-munduk, Lan See-giok betul-betul tiada dalam benteng
kami, masa boanpwe berani membohongi locianpwe?"
Lan See giok menjadi mendongkol
sekali, ia tidak menyangka kalau Oh Tin san begitu berani ngotot dengan
mengatakan ia tidak berada dalam bentengnya.
"Baiklah" demikian
ia berpikir, "biar aku masuk ke dalam dan tunjukkan diriku di de-pan kakek
berjubah kuning itu . . "
Namun sebelum dia beranjak
maju ke de-pan. kembali terdengar kakek berjubah kuning itu berkata.
"Oh pocu, kau harus tahu,
sudah hampir sepuluh tahun lamanya aku mencari Lan Khong-tay, lantaran apa
pasti kau lebih mengerti dari pada diriku, dan sekarang soal kitab pusaka Tay
loo hud bun pay yap-cinkeng hanya diketahui Lan See giok se-orang, akupun tak
ingin kelewat mendesak dirimu, aku harap kau suka mengutus bebe-rapa orang
untuk mencari jejaknya di empat penjuru, bila jejak Lan See giok telah
ditemu-kan, kau harus mengantarnya ke rumah kediaman Huan kang ciong liong
(naga sakti pembalik sungai) Thio-Lok-heng di dusun nelayan sana, aku akan
menunggu di situ..."
Betapa gusar dan mendongkolnya
Lan See giok sehabis mendengar perkataan itu. dia mendengus gusar dan membalikkan
badan berlalu dari sana, pikirnya:
"Hmm, jangan harap kalian
bisa peroleh kitab pusaka Tay lo hud bun cinkeng ter-se-but, biar aku matipun
tak nanti akan ku serahkan kepada kalian manusia - manusia jahat".
Baru saja ia berjalan turun
dari jembatan kecil itu, kembali terdengar manusia ber-jubah kuning itu berkata
lagi:
"Baiklah kita tentukan
dengan sepatah kata ini, sekarang aku hendak pergi dulu"
Lan See giok amat terkejut di
samping merasa keheranan. . padahal jarak antara pagoda tersebut dengan tepi
kolam sudah mencapai puluhan kaki, namun kenyataan nya suara pembicaraan dari
kakek jubah kuning itu masih dapat kedengaran dengan jelas.
(Bersambung ke Bagian 09)