Anak Harimau Bagian 02

Baca Cersil Mandarin Online: Anak Harimau Bagian 02

Bagian 02

Tak terlukiskan rasa sedih yang menyelimuti perasaan Lan See-giok waktu itu melihat ayahnya mati secara begitu mengenaskan, dia menjerit keras lalu muntah darah segar, tubuhnya segera terkapar di atas tanah dan tak sadarkan diri.

Isak tangis dalam kuburan itu segera terhenti, yang tersisa hanya suara dengungan keras yang memantul ke mana-mana.

Di luar kuburan, angin malam berhembus kencang mengiringi suara hujan yang turun dengan deras, malam itu benar-benar suatu malam yang amat mengenaskan.

Mendadak---

Lan See-giok yang lambat-lambat mulai sadar kembali dari pingsannya merasa ada seseorang menotok jalan darah Hek ci hiat nya keras-keras.

Menyusul kemudian sebuah tangan dengan gugup dan panik menggeledah seluruh tubuhnya, orang itu seperti sedang mencari sesuatu dari dalam saku dan bagian tubuh lainnya---

Kejut, gusar dan takut segera menyelimuti seluruh perasaan Lan See-giok, ia tak tahu siapakah orang itu? Tapi ia yakin orang itu sudah pasti adalah pembunuh biadab yang telah membunuh ayah nya.

Dia ingin membalikkan badan sambil me lancarkan serangan, kalau bisa dengan suatu gerakan secepat kilat untuk membinasakan orang yang sedang menggeledah sakunya itu.

Tapi dia tahu, asal dia mengerahkan tenaga, pihak lawan pasti akan menyadari akan hal itu, dengan kepandaian silat ayahnya yang begitu lihai pun bukan tandingan lawan, bila dia sampai melakukan suatu gerakan, bukankah tindakan tersebut ibaratnya telur diadu dengan batu?

Maka dia bermaksud untuk mengintip dulu siapa gerangan orang itu, asal wajahnya teringat, usaha membalas dendam bisa dilakukan di masa mendatang.

Berpikir begitu, diam-diam ia membuka matanya dan mencoba untuk mengintip. . .

"Blaam!" tiba-tiba orang itu menendang tubuhnya keras-keras sampai mencelat dan terbalik.

Lan See-giok menggigit bibirnya kencang-kencang menahan rasa sakit, merintih pun tidak.

la merangkak di tanah dan pelan-pelan membuka matanya lalu melirik ke arah orang itu.

Kebetulan orang itu berdiri di belakang tubuhnya sehingga di atas dinding tertera sesosok bayangan manusia yang tinggi besar.

Lan See-giok membuka matanya lebar-lebar, dia berharap bisa menyaksikan raut wajah orang itu dari bayangan badannya.

Orang itu berperawakan, tinggi besar, hidungnya mancung, kening dan dagunya sempit, jenggotnya tidak banyak, cuma beberapa gelintir, memakai baju pendek celana panjang. dia sedang berdiri di sana seperti lagi termenung memikirkan sesuatu.

Mendadak terdengar orang itu berguman dengan perasaan keheranan. "Aneh, kenapa tidak ada juga?"

Walaupun Lan See-giok tak berpengalaman dalam dunia persilatan hingga tak dapat membedakan dialek setiap propinsi, tapi dia yakin, orang ini pasti tinggal di sekitar telaga Huan-yang ou.

Setelah berguman, orang itu sekali lagi membungkukkan badan dan menggeledah seluruh badan Lan See-giok ....

"Tiba-tiba tangan itu berhenti menggeledah kalau dilihat dari bayangan yang tertera di atas dinding, tampaknya orang itu seperti memasang telinga dan memperhatikan sesuatu.

Kemudian tampak bayangan manusia berkelebat lewat, tahu-tahu orang itu sudah lenyap dari pandangan.

Lan See-giok tak berani bergerak, tahu orang itu belum pergi, sebab menurut arah bergeraknya bayangan di atas dinding, nam-paknya orang itu sedang menyembunyikan diri di sisi pembaringan.

Tapi ia tak habis mengerti mengapa orang itu menyembunyikan diri secara tiba-tiba ?

Pada saat itulah terdengar suara ujung baju terhembus angin berkumandang datang dari arah mulut lorong rahasia:

Lan See-giok terperanjat, dia tahu kembali ada jago lihay berkunjung ke situ, bersamaan itu pula dia lantas paham kenapa orang itu secara tiba-tiba menyembunyikan diri ke belakang pembaringan.

Tapi setelah dipikir lebih lanjut, sekali lagi hatinya merasa bergetar keras, syukur dia tidak jadi melancarkan serangan gelap terhadap orang itu, sebab menurut perasaan nya, kesempurnaan tenaga dalam yang di miliki orang ini benar-benar luar biasa.

Sementara itu suara ujung baju yang terhembus angin kedengaran semakin jelas, bahkan ada kalanya diiringi pula suara benda berat yang menyentuh lantai.

Tampak bayangan manusia berkelebat lewat, kemudian terdengar seseorang tertawa terbahak-bahak.

Lan See-giok yang tertelungkup di tanah merasa telinganya sakit sekali oleh getaran suara tertawa yang memekikkan te1inga itu, darah segar dalam rongga dadanya serasa bergelora keras, hampir saja dia mengeluar-kan suara.

Terdengar pendatang itu menghentikan suara tertawanya, kemudian tanpa perasaan takut barang sedikitpun jua, dia berseru lantang:

"Lan Khong-tay wahai Lan Khong-tay, sungguh tak disangka Kim cui gin tan (gurdi emas peluru perak) Lan tayhiap juga akan mengalami nasib seperti hari ini, hmmm .... bayangkan saja betapa gagahmu dimasa lalu, tapi... haaah.. haaah.. sekalipun mempunyai barang itu, apalah gunanya?"

Selesai berkata, kembali dia tertawa terbahak-bahak, menyusul kemudian terdengar suara ketukan keras bergema semakin dekat.

Lan See-giok tahu, pendatang adalah seseorang yang kenal dengan ayahnya, bahkan mempunyai ikatan dendam dengan ayahnya.

Sementara dia masih termenung, orang itu sudah tiba di depan jenazah ayahnya, suara ketukan keras yang bergema kian bertambah keras, bahkan terasa pula getaran keras yang menggetarkan sukma.

Kini Lan See-giok tidak merasa takut, karena dalam hatinya penuh diliputi kobaran api dendam yang membara, dia hanya ingin tahu siapakah pembunuh ayahnya.

Ia merasa perlu untuk memperhatikan wajah orang ini, siapa tahu dari orang ini di kemudian hari dia bisa menyelidiki siapa gerangan orang berjenggot yang berhidung mancung itu?

Baru saja Lan See-giok akan membuka matanya, orang itu sudah berjalan ke arah-nya, maka cepat-cepat dia memejamkan ma-tanya kembali, meski demikian ia sempat melihat kaki kiri orang itu sudah kutung, se-dang di bawah ketiaknya terdapat sebuah tongkat besi yang amat berat menyanggah tubuhnya.

Kalau diamati dari suara tertawa serta nada pembicaraan orang itu, bisa diperkirakan kalau usianya di atas empat puluh tahunan.

Setibanya di sisi tubuh Lan See-giok, orang itu mulai menyentuh badannya dengan ujung tongkat besi itu meski maksudnya untuk menggeledah namun hal itu dilakukan tidak serius.

Karena pendatang itu sudah menduga bahwa pembunuh yang telah membinasakan si Gurdi emas peluru perak Lan Khong-tay tentu sudah menggeledah pula tubuh bocah itu, maka ia tidak menganggap serius akan hal itu.

Lan See-giok yang tubuhnya ditusuk-tusuk oleh toya besi itu merasakan sekujur badannya kesakitan, tapi dia menggertak gigi sambil menahan diri, dalam hati dia bersumpah, suatu ketika sakit hati ini pasti akan dituntut balas.

Mendadak orang itu menghentikan perbuatannya, kemudian sambil mendongak kan kepala dia membentak keras, "Siapa di situ?"

Di tengah bentakan tersebut, bayangan manusia nampak berkelebat lewat, tahu-tahu orang itu sudah lenyap dari panda-ngan.

Lan See-giok merasa telinganya kembali mendengung keras oleh suara bentakan la-wan yang memekikkan telinga, saking kagetnya dia sampai bergidik dan lupa kalau dia sedang berlagak seakan akan tertotok jalan darahnya, buru-buru dia membalikkan badan sambil berpaling---

Tampak olehnya di balik lorong di samping pembaringannya sana terdapat dua sosok bayangan manusia sedang berkelebat saling mengejar.



Lan See-giok tahu bahwa orang yang berada di depan adalah orang yang telah membinasakan ayahnya, sedang yang berada di belakang adalah orang yang berkaki buntung.

Sebelum dia sempat berbuat sesuatu, orang yang berkaki buntung telah membentak lagi dengan suara keras:

"Sobat, sebelum meninggalkan barang itu, jangan harap kau bisa kabur dari sini?"

Ditengah bentakan, dia mengayunkan tongkat besinya sambil menghantam tubuh orang itu.

Orang yang berada di depan tidak mengeluarkan suara berang sedikitpun juga, dia masih berlarian terus ke depan, hanya secara tiba-tiba tangan kanannya diayunkan ke belakang...

Serentetan cahaya tajam bagaikan anak panah yang terlepas dari busurnya segera meluncur ke arah orang yang berkaki buntung.

Segera itu juga orang yang berkaki buntung itu tertawa terbahak-bahak, tongkat bajanya di angkat ke atas dan... "traaang!" terdengar suara benturan keras yang disertai percikan bunga api tersebar dalam lorong gelap tersebut.

Kemudian terdengar pula suara senjata rahasia yang bergelinding ke sisi lorong, se-mentara kedua sosok bayangan manusia itu-pun lenyap dari pandangan mata.

Dengan cepat Lan See-giok melompat bangun, dia merasakan sekujur badannya linu dan sakit, tapi sambil menahan rasa sakit dia mengejar ke luar, dia berharap dengan mengandalkan kehapalannya dengan daerah di sekitar tempat itu, dia sempat menyaksikan paras muka yang sebenarnya dari pembunuh keji tersebut.

Siapa tahu belum sempat dia melangkah ke depan mendadak dari luar kuburan telah terdengar suara si pincang sedang mencaci maki dengan penuh kegusaran.

"Anak jadah. anak bangsat peliharaan anjing, kau anggap barang itu dapat kau telan seorang diri? Tidak begitu mudah, sekalipun kau kabur ke ujung langit, locu akan mengejarnya sampai dapat!"

Lan See-giok tahu kedua orang itu sudah pergi amat jauh sekalipun hendak dikejar juga tak ada gunanya.

Maka dia berjalan kembali ke samping jenazah ayahnya yang terkapar ditengah genangan darah, kemudian sambil berlutut dan mbenangis terseduj sedu, katanyag:

"Ayah--- bsungguh kasihan kau--- tahukah kau anak Giok telah pulang--- tahukah kau anak Giok telah menyelesaikan perintahmu dan menyerahkan kotak kecil tersebut ke pada bibi Wan- -"

Lan See-giok makin menangis semakin sedih, makin menangis semakin tak ingin hidup.

Dia memang ingin mati, dia ingin mati bersama ayah dan ibunya, tapi bila teringat akan dendam kesumatnya yang lebih dalam dari samudra, dia merasa tidak seharusnya mati sebelum sakit hati itu terbalas, dia harus membinasakan pembunuh berhidung mancung itu sebelum menyusul ayah dan ibunya di alam baqa.

Maka sambil memandang wajah ayahnya yang penuh noda darah, diam-diam ia berdoa, dia berharap arwah ayahnya di alam baqa dapat melindunginya dan membantu nya untuk membalas dendam.

Sementara itu tengah malam sudah menjelang tiba, di luar kuburan hanya terdengar suara rintikan hujan serta angin malam yang menderu-deru.

Seorang diri Lan See-giok bersembunyi di dalam kuburan, duduk di samping jenazah ayahnya dan di bawah cahaya lentera dia membersihkan noda darah dari atas wajah ayahnya yang pucat.

Titik-titik air mata jatuh bercucuran mem-basahi pipinya. pipi yang telah berubah menjadi merah karena dendam.

Di luar kuburan kembali terdengar suara pekikan burung hantu yang menyeramkan, tapi dia tidak takut, dia tidak merasa ngeri, karena dia hanya memikirkan soal dendam kesumat.

Dia berpikir, sekalipun badan harus hancur, sekalipun harus menjelajahi sampai ke ujung langit, pembunuh ayahnya akan di kejar terus dan dibunuh sampai mati.

ooo0ooo

BAB 2

BAYANGAN IBLIS MULAI BERMUNCULAN

MALAM semakin kelam . . .

Angin berhembus semakin kencang...

Sambil melelehkan air mata, Lan See-giok masih memperhatikan wajah kelabu ayah-nya yang sudah membujur kaku di tanah. b

Mendadak . j. . terdengar sguara pekikan pabnjang yang memekakkan telinga berkumandang datang dari luar kuburan.

Suara pekikan itu amat tajam dan memekakkan telinga, membuat siapa saja yang mendengarnya merasakan bulu kuduknya pada bangun berdiri.

Terutama sekali bagi Lan See-giok yang seorang diri berada dalam kuburan, di bawah sinar lentera yang redup serta didampingi jenazah ayahnya yang membujur kaku.

Tapi sikap Lan See-giok masih tetap kaku tanpa perasaan, dia seolah-olah tidak mendengar suara pekikan itu.

Waktu itu, hatinya sedang merasa amat pedih, karena dia tak tahu bagaimana caranya untuk menutup kembali sepasang mata ayahnya yang melotot besar penuh kemarahan itu.

Pekikan seram makin lama semakin mendekat, di balik pekikan itu penuh diliputi perasaan gelisah bercampur gusar.

Tapi Lan See-giok masih tidak berkutik, tangannya yang kecil masih saja mengelus mata ayahnya yang melotot besar.

Lambat laun suara pekikan aneh itu makin keras dan menusuk pendengaran agaknya orang itu sudah tiba di luar kuburan.

Tergerak hati Lan See-giok. . dia bertekad hendak melihat jelas paras muka pendatang itu, tapi. ada satu hal yang tidak dimengerti olehnya, mengapa kuburan yang sudah banyak tahun tak pernah dikunjungi orang, tahu-tahu kebanjiran pengunjung pada ma-lam ini.

Benda apa pula yang dimaksudkan si pin-cang tadi?

Mendadak suara pekikan itu berhenti, lalu mendengar suara ujung baju terhembus angin menggema datang.

"Sungguh cepat gerakan tubuh orang ini..." Dengan terkejut Lan See-giok segera ber-pikir, "kalau dilihat dari kecepatan gerak tubuhnya jelas dia adalah seorang jago kelas satu dalam dunia persilatan. . ."

Belum habis dia berpikir, hembusan angin tersebut sudah kedengaran semakin jelas.

Lan See-giok merasa makin terkejut lagi, sebab orang itu selain sempurna dalam ilmu meringankan tubruh, juga amat hzapal dengan daewrah dalam kuburran tersebut.

Buru-buru dia melompat bangun dan me-mandang sekejap sekeliling tempat itu, akhirnya dia merasa di belakang meja batu besar itu merupakan tempat persembunyian yang baik, tanpa berpikir panjang dia segera menerobos kedalamnya. . .

Saat itulah bayangan manusia nampak berkelebat lewat, tahu-tahu orang itu muncul di dalam ruangan dan langsung menerjang ke depan pembaringan ayahnya.

Lan See-giok merasa tegang bercampur cemas, peluh telah membasahi telapak ta-ngannya, dengan perasaan gusar bercampur berdebar dia mengintip ke luar . .

Ternyata orang itu adalah seorang lelaki berjubah hitam, rambutnya sepanjang bahu berwarna kelabu, ia tidak bersenjata, wajahnya juga tak nampak karena sedang menghadap ke arah pembaringan.

Dengan perasaan gusar, gelisah dan tak tenang orang itu nampak menggeledah seluruh pembaringan, selimut dan bantal ayahnya.

Kemudian dengan marah dia melemparkan semua benda itu ke atas tanah, lalu dengan gugup ia mulai meraba empat kaki pembaringan di empat penjuru...

Tergerak hati Lan See-giok setelah menyaksikan kejadian itu, dia merasa besar kemungkinan orang ini adalah orang yang menotok jalan darahnya serta menggeledek seluruh badannya tadi.

Kalau dilihat dari tindak tanduk orang itu sewaktu ke dalam kuburan serta tingkah lakunya yang tergesa-gesa sewaktu melakukan penggeledahan atas seluruh isi ruangan itu, dapat diketahui orang itu belum sempat melakukan penggeledahan setelah berhasil melaksanakan perbuatan kejinya tadi.

Makin dipikir Lan See-giok merasa apa yang diduga makin cocok, dia segera mem-tuskan kalau orang inilah pembunuh yang telah membinasakan ayahnya.



Kemarahannya segera bergelora, diam-diam hawa murninya dihimpun ke dalam telapak tangannya, ia siap sedia menyergap orang itu dari belakang. Mendadak... orang berbaju hitam itu membalikkan badannya.

Lan See-giok tersentak kaget, peluh di-ngin segera membasahi seluruh tubuhnya, se-mentara jantungnya seakan akan mau me-lompat ke luar dari dalam rongga dadanya.

Apa yang dilihat? Ternyata orang itu berwajah hijau penuh dengan bekas bacokan yang dalam, gigi taringnya nampak panjang, matanya yang tinggal sebelah melotot besar seperti gundu. wajahnya benar-benar mengerikan sekali.

Mata sebelah kanannya yang buta ditutup dengan selembar kulit berwarna hitam, hal ini menambah seramnya tampang orang ini. Setelah membalikkan badan tadi, dengan mata tunggalnya yang tajam ia mulai memeriksa setiap sudut ruangan yang mencurigakan, sementara wajahnya nampak makin gelisah, peluh sebesar kacang ijo nampak bercucuran membasahi seluruh jidatnya.

Berada dalam keadaan seperti ini, Lan See-giok tak berani berkutik, dia kuatir si mata tunggal itu menemukan tempat persembu-nyian nya.

Ia tidak takut mati, tapi dia tak ingin mati sebelum dendam sakit hati ayahnya di- balas.

Begitulah, setelah memeriksa seluruh ru-angan itu, dengan nada gemas orang ber-mata satu itu berguman:

"Aneh, disembunyikan di manakah barang itu...?"

Begitu mendengar suara gumaman orang itu, sekali lagi Lan See-giok merasa kebingungan, dia dapat mengenali suara orang ini tidak sama dengan suara orang yang menggeledah tubuhnya tadi, sebab suara orang itu parau dan berat.

Selain itu. diapun menyaksikan perawakan orang ini tidak sekekar orang yang menggeledah tubuhnya tadi, lagi pula orang ini mengenaskan pakaian pendek.

Diam-diam Lan See-giok berkerut kening, ditatapnya orang bermata satu itu lekat-lekat, sementara di hati kecilnya dia bertanya: Siapakah orang bermata satu ini ? Benarkah ayahnya tewas di tangan orang ini . . . . ?.

Belum habis dia berpikir, tampbak olehnya oranjg bermata satu gitu sudah mengubmbar hawa amarahnya, kakinya terlihat diayunkan ke sana kemari, semua barang yang berada di sekelilingnya segera beterbangan di angkasa.

Dalam waktu singkat seluruh ruangan itu dipenuhi dengan suara hiruk pikuk serta pecahan barang yang tersebar ke mana-mana.

Dengan penuh bernapsu, orang bermata satu itu menyepak dan menendang hancur barang-barang itu, dia berharap dari balik pecahan barang-barang tersebut bisa dite-mukan barang yang sedang dicari.

Tapi akhirnya ia menghela napas dengan perasaan kecewa.

Kini sorot matanya mulai dialihkan ke atas lubang bangunan di langit-langit kuburan, gigi taringnya yang panjang kedengaran bergemerutuk keras, hal ini membuat wajahnya nampak semakin mengerikan.

Lan See-giok semakin tak berani berkutik, dia merasa hatinya bergidik dan bulu romanya pada bangun berdiri, tampang orang bermata satu itu betul-betul menggetarkan hatinya.

Mendadak mencorong sinar tajam dari balik mata tunggalnya, sekilas perasaan girang menghiasi wajahnya yang seram, dengan suatu kecepatan tinggi tiba-tiba ia melompat ke depan meja batu itu.

Lan See-giok yang bersembunyi di belakangnya menjadi sangat terperanjat, begitu kagetnya dia sampai jantungnya seolah-olah terlepas.

Untung saja meja batu itu tinggi lagi besar, jaraknya dengan dindingpun amat sempit, maka bila orang itu tidak memeriksa dengan teliti, sulit rasanya untuk menemukan tempat persembunyian itu.

Ternyata orang bermata satu itu tidak bermaksud untuk menggeledah tempat itu, sebab setelah mengambil senjata gurdi emas yang terletak di meja, ia melayang kembali ke tempat semula.

Diam-diam Lan See-giok menghembuskan napas lega, ia segera mengintip kembali ke luar.

Ternyata orang bermata satu itu sedang mengorek setiap lubang angin yang berada di langit-langit kuburan dengan senjata gurdi emas milik ayahnya..

Tapi, akhirnya orang bermata satu itu kembali menghela napas dengan wajah kecewa, ia tidak berhasil menemukan sesuatu darbi balik lubang jangin itu.. g

Kekecewaan yanbg berulang kali kontan saja membuat orang itu bertambah marah, paras mukanya yang memang sudah mengerikan kini berubah semakin menggidikkan hati.

"Sungguh menggemaskan?" gumamnya menahan geram.

Dengan penuh perasaan mendongkol, akhirnya dia melemparkan senjata gurdi emas yang berada di tangannya itu ke depan keras-keras.

Sekilas cahaya emas berkelebat lewat bagaikan serentetan cahaya bianglala, gurdi tersebut menyambar ke arah dinding sebelah kiri.

Lan See-giok mengenali, di balik dinding itulah terletak kamar tidurnya.

"Blaaammm!" diiringi suara nyaring senjata gurdi emas itu menancap di atas dinding dan tembus hingga ke belakang.

Tiba-tiba --- terdengar suara jeritan ngeri yang menyayatkan hati berkumandang datang dari balik ruangan tersebut.

Lan See-giok terkesiap, hampir saja ia menjerit keras saking kagetnya. Mimpipun dia tak menyangka kalau di dalam kamar tidurnyapun terdapat kawanan musuh yang sedang menyembunyikan diri.

Orang bermata tunggal itu sendiri juga nampak agak tertegun, lalu dengan wajah berubah hebat dia menerjang masuk ke dalam ruangan sebelah.

Tak lama kemudian ia mendengar orang bermata satu itu menjerit kaget:

"Haaah, kau?"

Suara ujung baju yang terhembus angin segera berkumandang saling menyusul, makin lama suara itu makin lirih dan akhirnya lenyap di luar kuburan sana.

Untuk sesaat suasana dalam kuburan kuno itu menjadi sepi, hening, tak kede-ngaran sedikit suarapun.

Lan See giok juga duduk termangu mangu, dia tak tahu siapakah orang tadi? Masih hidupkah orang itu? Atau sudah mati?

Tapi dia berharap orang itu sudah mati, karena dia menduga orang yang bersembunyi dalam kamar sebelah tentu sudah mendengar doanya kepada ayahnya tadi .. dia telah menyerahkan kotak kecil terrsebut kepada Bizbi Wan...

Sekawrang, Lan See griok sudah dapat men-duga, kemungkinan besar kehadiran orang-orang tak dikenal pada malam ini dikarena-kan kotak kecil tersebut, tapi apakah isi kotak kecil itu?

Kepergian si orang bermata satu yang tergesa-gesa tadi membuat Lan See giok merasa amat gelisah, dia tidak berharap orang bermata satu itu menolong orang tadi, karena hidupnya orang itu berarti ben-cana besar bagi bibi Wan.

Sekalipun mereka tak akan mengetahui nama dari bibi Wan, tapi jika mereka mau melakukan penyelidikan dengan seksama, tak sulit untuk menemukan tempat tinggal bibi Wan nya.

Terbayang akan semua peristiwa tersebut, Lan See giok merasakan peluh dingin jatuh bercucuran, ia merasa bila kedatangan orang-orang itu benar-benar dikarenakan kotak kecil tersebut, dia harus segera melaporkan kejadian ini kepada bibi Wan, agar dia tahu kalau-kalau ayahnya sudah mati.

Mendadak Lan See giok merasakan firasat tak enak, ia merasa dalam kuburan itu seakan akan bukan cuma dia seorang, ia seperti merasa ada sesosok tubuh manusia sedang berjalan mendekatinya dari belakang.

Tanpa sadar dia segera membalikkan kepalanya ke belakang. . . .

Tapi baru saja kepalanya digerakkan, mendadak tampak sesosok bayangan hitam menyambar tiba disertai segulung angin tajam yang maha dahsyat. Lan See giok amat terperanjat, tanpa sadar ia menjerit keras.

"Blammm---!" sebuah benda yang mem-punyai daya pantul yang amat keras tahu-tahu sudah menghajar di belakang batok kepalanya.

Kontan Lan See giok merasakan kepalanya seperti mau pecah. langit serasa menjadi gelap, seluruh bumi serasa berputar, panda-ngan matanya menjadi gelap dan tak ampun ia roboh tak sadarkan diri.



Sesaat sebelum jatuh pingsan, secara lamat-lamat dia masih sempat menyaksikan orang yang berada di belakang tubuhnya adalah seseorang yang berambut putih.

la tak bisa membedakan apakah orang itu seorang kakek atau seorang nenek, tapi sudah pasti orang itu adalah seseorang yang telah berusia lanjut bahkan berperawakan tidak begitu tinggi.

la tidak merasakan tubuhnya mencium tanah, mungkin orang yang berada di belakangnya keburu menyambar badannya dan membaringkan ke tanah, mungkin juga ia keburu tak sadarkan diri. . .

Entah berapa saat sudah lewat. . .

Pelan-pelan Lan See giok membuka matanya- - - pandangan pertama yang sempat terlihat olehnya adalah setitik cahaya len-tera, kemudian sesosok bayangan manusia berbaju kuning. . .

Lan See giok merasakan kelopak matanya sangat berat, tak kuasa ia memejamkan matanya kembali, ia merasa tak bertenaga lagi, meski hanya untuk membuka kelopak matanya.

Tiba-tiba terdengar seseorang menegur dengan suara yang lembut dan penuh perhatian:

"Nak, kau telah sadar ? Bagaimanakah perasaanmu sekarang?"

Tiba-tiba Lan See-giok teringat kembali kejadian yang belum lama menimpa dirinya, begitu mendengar teguran tersebut, mendadak dia melompat bangun kemudian melotot dengan mata besar, ternyata orang yang berada di hadapannya adalah seorang kakek berambut putih.

Kemarahan yang mencekam dalam dada nya tak bisa ditahan lagi, sambil membentak keras, tenaga dalamnya sebesar sepuluh bagian dihimpun ke dalam tangan kanannya, kemudian . . . "Weess!" dihan-tamkan ke atas dada kakek itu keras-keras.

Menghadapi perubahan yang terjadi amat mendadak, apa lagi dalam jarak sedemikian dekatnya, tak mungkin lagi buat kakek itu untuk menghindarkan diri.

"Blammm!" pukulan dari Lan See giok itu secara telak bersarang di atas dada kakek itu.

Betapa terkejutnya Lan See giok setelah melepaskan pukulan itu, secara beruntun dia mundur sejauh dua langkah, kepalan kanannya yang menghajar dada kakek itu serasa menghantam di atas gumpalan ka-pas, ternyata segenap kekuatannya serasa hilang lenyap tak berbekas.

Sementara itu, kakek yang berada di hada-pannya telah tertawa ramah, lalu tanya nya lembut:

"Nak, kau lagi marah kepada sibapa? Mengapa kaju lampiaskan kegmarahanmu itu kbepadaku?"

Seraya berkata dia tertawa tergelak dengan penuh keramahan.

Buru-buru Lan See giok memusatkan pikirannya sambil perhitungan, dia cukup tahu keterbatasan tenaga dalam yang dimilikinya, dibandingkan dengan kemampuan lawan, selisih tersebut ibarat langit dan bumi, diam-diam ia lantas memperingatkan diri sendiri agar jangan bertindak secara gegabah.

Selain itu, diapun berpendapat hanya kakek bertenaga dalam selihai ini yang sanggup membunuh ayahnya di dalam sekali pu-kulan.

Ia menggosok gosok matanya, kemudian melototi kakek ramah di hadapannya dengan pandangan penuh kebencian.

Tampak kakek itu berambut putih, bermuka merah dan bermata tajam tapi penuh keramahan, ia memakai jubah berwarna kuning dan bersikap amat gagah sekali.

Lan See giok segera merasa kalau kakek ini tidak mirip dengan orang jahat, diam-diam pikirnya.

"Orang yang menghantam kepalaku tadi berhati kejam, tapi. . siapakah dia?"

Diamatinya kakek berambut putih itu sekali lagi, kemudian pikirnya lebih jauh:

"Sudah pasti dia"

Tapi ia tidak habis mengerti, apa sebab-nya kakek berwajah ramah tapi berhati kejam ini tidak segera meninggalkan tempat itu setelah menghantam pingsan dirinya, malahan menunggu sampai ia mendusin kembali.

Mendadak satu ingatan melintas kembali dalam benaknya, dengan cepat ia menyadari apa sebabnya kakek itu belum juga pergi.

"Yaa, sudah pasti dia ingin menanyakan tempat tinggal Bibi Wan" demikian dia ber-pikir.

Maka sambil mendengus dingin, pikiran nya lebih jauh.

"Hmmm, jangan bermimpi di siang hari bolong, sekalipun badan harus hancur tak nanti aku akan memberitahukan hal ini kepadamu."

Sementara itu, si kakek berjubah kuning kembali tertawa terbahak bahak setelah menyaksikan sinar mata Lan See giok berkedip dan wajahnya berubah, berulang kali tanpa menjawab pertanyaannya. dengan penuh pebrhatian kembalij dia bertanya: g

"Nak, siapakahb yang telah merobohkan dirimu?"

Kemarahan dalam dada Lan See giok se-makin membara, dia menganggap semakin ramah kakek itu, semakin menaruh perha-tian kepadanya, berarti semakin berbahaya dan jahat orang itu.

Setelah mendengus marah, serunya de-ngan suara dingin:

"Siapakah yang menghantamku sampai roboh? Heeehhh- heeehhh--- heeehhh, mustahil kau tidak tahu!"

Tertegun si kakek berjubah kuning itu setelah mendengar dampratan tersebut, di-tatapnya Lan See giok dengan termangu, lama-lama kemudian ia baru sadar seperti memahami sesuatu dan segera tertawa.

"Nak!" katanya kemudian sambil menga-lahkan pembicaraan ke soal lain:

"Apakah Lan Khong tay adalah ayahmu?"

Api yang berkobar dalam dada Lan See -giok sekarang hanyalah dendam kesumat, ia su-dah bertekad tak akan melayani pembi-cara-an si kakek yang dianggapnya manusia munafik ini.

Sambil tertawa dingin segera ejeknya sinis:

"Huuuh, sudah tahu pura-pura bertanya lagi, benar- benar tak tahu malu . . . !"

Kakek berjubah kuning itu kembali berk-erut kening, kekasaran serta kekurang ajaran bocah itu sangat di luar dugaannya.

Sedangkan Lan See giok meski tahu kalau kepandaian silatnya tak mampu menandingi kepandaian kakek berjubah kuning itu, tapi diapun percaya bahwa musuhnya tak nanti akan membinasakannya meski berada dalam keadaan yang bagaimana gusarpun.

Sebab dia menganggap kakek berjubah kuning itu ingin mengetahui tempat tinggal Bibi Wan nya serta jejak dari kotak kecil ter-sebut, karenanya bagaimanapun marahnya lawan tak nanti ia berani bersikap kasar.

Benar juga, kakek berjubah kuning itu menghela napas panjang, lalu berkata lagi dengan ramah:

"Nak, aku sudah mengetahui perasaanmu sekarang, aku tahu kau mendendam kepadaku karena mengira ayahmu mati di tanganku, aku tidak menyalahkan kau, se-dang me-ngenai alasan ayahmu sampai dice-lakai orang, mungkin akupun jauh lebih je-las dari pada dirimu..."

Ucapan tersebutr semakin membuazt Lan See giok wpercaya kalau orrang yang memu-kul nya sampai pingsan tadi adalah kakek berjubah kuning ini, diam-diam dia lantas mendengus dingin:

"Tentu kau adalah seorang yang berkomplot untuk membunuh ayahku, tentu saja kau mengetahui jelas sebab kematian dari ayahku." demikian pikirnya lagi.

"... yang membuat hatiku amat pedih adalah keterlambatanku datang ke mari malam ini, kalau tidak niscaya pembunuh ayahmu itu pasti akan berhasil kutang-kap..-" terdengar kakek berjubah kuning itu melanjutkan kembali kata katanya.

"Bedebah, kakek sialan, manusia licik---" kontan saja Lan See giok menyumpah di hati.

Dalam pada itu, si kakek berjubah kuning itu sudah berhenti sejenak sebelum kemu-dian melanjutkan kembali kata katanya:

"Nak, coba ceritakanlah kisah pembu-nuhan yang telah menimpa ayahmu malam tadi, ceritakan pula bagaimana terjadinya Pertarungan, berapa orang yang datang serta manusia-manusia macam apa saja yang telah kemari, mungkin aku bisa membantumu untuk mengenali orang-orang itu serta merebut kembali kotak kecil tersebut."

Lan See giok tertawa dingin:

"Heeehhh.. heeehhh... heeehhh... buat apa kau mesti bertanya kepadaku? Aku yakin, kau sudah pasti jauh lebih mengerti dari pada diriku sendiri..."

Merah padam selembar wajah kakek berju-bah kuning itu setelah mendengar uca-pan tersebut, paras mukanya agak berubah, jeng-gotnya gemetar keras, jelas orang itu merasa agak tak senang hati, tapi hanya sejenak ke-mudian ia telah bersikap lembut kembali.

Ditatapnya wajah Lan See giok lekat-lekat, kemudian katanya dengan serius:

"Nak, aku tidak habis mengerti mengapa kau bersikap kasar, emosi dan tak menggu-nakan akal terhadap diriku? Ketahuilah per-buatan semacam ini akan memporak poran-dakan keadaan, tidak bermanfaat bagi ma-salah yang sebenarnya, kau harus mawas diri, dinginkan otakmu dan terutama sekali harus tahu kalau keselamatanmu sedang terancam bahaya..."



Belum habis kakek berbaju kuning itu menyelesaikan kata katanya, Lan See giok telah tertawa keras penuh kegusaran, tukas-nya dengan perasaan benci yang me-luap.

"Sudah sedari tadi aku tak pernah me-mikirkan soal mati hidupku, kenapa aku mesti takut mati? Hmmm, aku rasa justru ada orang yang kuatir bila aku sampai mati!"

Sekali lagi kakek berbaju kuning itu me-ngerutkan dahinya rapat-rapat, berkilat sepasang matanya, kemudian seakan akan memahami sesuatu, dia manggut-manggut.

"Ehmmm, benar, ketika aku mendengar suara jeritan tadi dan menerobos masuk ke dalam kuburan Ong-leng, kusaksikan ada sesosok bayangan manusia yang kurus pendek sedang kabur ke arah utara, gera-kan tubuh nya secepat sambaran petir..."

Tergerak hati Lan See giok setelah mendengar ucapan itu, terutama sekali kata bayangan manusia kurus pendek, dengan cepat dia teringat kalau orang yang menghantamnya sampai pingsan tadi me-mang seorang kakek yang berperawakan ku-rus lagi pendek.

Maka dia segera mengamati tubuh kakek berbaju kuning itu sekali lagi, ia merasa meski perawakan orang ini tidak termasuk tinggi besar, tapi jika dia bersembunyi di be-lakang meja batu, niscaya jejaknya akan ditemukan olehnya.

Berpikir sampai di sini, Lan See giok sema-kin kebingungan dibuatnya, dia lantas ber-pikir lagi:

"Jangan-jangan bukan si kakek berjubah kuning ini yang menghantamku sampai ping-san tadi . . ?"

Tapi ingatan lain dengan cepat melintas kembali di dalam benaknya, dia merasa walaupun bukan kakek ini, tapi ia sudah pasti termasuk salah seorang yang berniat jahat kepada ayahnya, kalau tidak, menga-pa dia bisa tahu kalau tujuan orang-orang itu adalah untuk mendapatkan kotak kecil milik ayahnya?

Dari sini bisa disimpulkan kalau orang inipun bukan orang luar, ia bisa mencari sampai di sana, berarti diapun bukan manu-sia sembarangan.

Karena berpendapat demikian, maka apa yang selanjutnya diucapkan kakek berjubah kuning itu sama sekali tak terdengar olehnya.

Dalam pada itu, si kakek berbaju kuning tadi sudah berkata lagi:

"Oleh karena itu, kau harus mebngikuti aku untjuk menyingkir dgulu ke dusun kabum nela-yan Ho hi cun, kemudian baru berusaha untuk menemukan beberapa orang itu serta merampas kembali kotak kecil itu."

Setelah mendengar ucapannya yang tera-khir ini, Lan See giok dapat segera meng-am-bil kesimpulan kalau kakek ini belum lama datangnya, sebab jika ia sudah men-dengar kalau kotak kecil tersebut telah di-serahkan kepada bibi Wan nya, niscaya dia tak akan berkata begitu.

Tapi mengapa dia bisa datang terlambat? Maka tak tahan lagi dia lantas bertanya:

"Dari mana kau bisa tahu kalau ayahku tinggal di sini?"

"Aaaah kau ini . . kenapa bertanya lagi? Bukankah tadi sudah kukatakan kepada-mu?"

"Apa yang kau ucapkan tadi? Tak sepatah katapun yang kudengar!"

"Tujuh delapan tahun berselang, aku per-nah berjumpa muka dengan ayahmu di bawah puncak Giok- li-hong di bukit Hoa san, oleh karena ayahmu memberi kesan yang sangat mendalam bagiku, maka begitu masuk ke mari dan menyaksikan jenazah yang ter-kapar di atas genangan darah, aku segera mengenalinya sebagai Kim wi-gin tan Lan Khong tay yang termasyhur di kolong langit dimasa dulu..."

Mendengar sampai di situ, Lan See giok merasa amat sedih sekali sehingga tanpa terasa dia berpaling dan memandang seje-nak ke arah jenazah ayahnya, titik-titik air segera jatuh bercucuran membasahi wajah-nya.

Terdengar kakek berjubah kuning itu ber-kata lebih jauh:

"Aku hanya tahu kalau ayahmu si gurdi emas peluru perak Lan Khong tay berdiam di sekitar telaga Huan-yang ou, tapi tidak kuketahui jika ia berdiam dalam kuburan Ong leng."

"Setengah jam berselang, karena suatu persoalan secara kebetulan aku lewat di sini. mendadak kudengar suara jeritan ngeri yang menyayatkan hati bergema dari sini, dalam kagetnya aku bergerak berangkat ke mari.

Baru tiba di depan pintu gerbang yang bo-brok itu, kujumpai dari belakang kuburan muncul sesosok bayangan kecil dan kurus sedang kabur ke arah utara, sebenarnya aku hendak mengejarnya, tapi setelah ku-temukan di belakang kuburan terdapat pintu yang ter-buka lebar, maka akupun masuk ke mari.

Apba yang kulihat jpertama kalinyag adalah ayahmu byang terkapar di atas genangan da-rah bila kuperiksa ternyata mayatnya sudah kaku dan ia sudah meninggal cukup lama, itu berarti jeritan yang kudengar tadi bukan berasal dari ayahmu."

Tanpa terasa Lan See giok mengangguk ia tahu jeritan ngeri yang didengar kakek berju-bah kuning tadi sudah pasti orang yang kena ditembusi gurdi emas di balik dinding itu.

Tanpa terasa dia lantas mengerling seke-jap ke arah senjata "gurdi emas" yang me-nembusi dinding ruangan itu.

Terdengar kakek berjubah kuning itu ber-kata lebih jauh:

"Waktu itu aku merasa keheranan, kemu-dian kusaksikan kau terkapar di balik meja sana, ketika kuperiksa ternyata kau belum mati."

"Pertama tama kutarik dulu badanmu ke luar dari situ, baru kuketahui kau sedang pingsan, tapi ada satu hal yang tidak kupa-hami, mengapa orang yang telah mem-bina-sa-kan ayahmu telah melepaskan kau de-ngan begitu saja --"

Tentu saja Lan See giok tahu apa sebab-nya dia tak mati, cuma dia enggan untuk meng-utarakannya.

Terdengar kakek berjubah kuning itu ber-kata lebih jauh:

"Sampai kini aku tidak tahu apa sebabnya orang itu tidak membunuhmu, tapi aku ya-kin orang itu pasti menganggap kau mem-punyai kegunaan yang amat berharga, na-mun bila apa yang berharga itu sudah dapat diraih, jelas kau pun akan dibunuh juga."

"Oleh sebab itu, sekarang kau harus pergi meninggalkan tempat ini, demi keselama-tan-mu kau harus pergi dari sini-- --"

"Tidak" tukas Lan See giok dengan cepat: "aku tak akan meninggalkan tempat ini"

Jawaban tersebut sama sekali di luar dugaan kakek berjubah kuning itu, tanpa terasa serunya dengan perasaan terperan-jat:

"Mengapa?"

"Aku hendak menunggu orang itu datang kembali, aku hendak membunuh orang itu untuk membalaskan dendam bagi ayahku"

Kakek berjubah rkuning itu termzenung se-bentarw, akhirnya diaprun manggut-manggut.

"Baiklah", katanya kemudian, "tunggu saja di sini, sekarang aku harus pergi dulu, semo-ga kau bisa baik-baik menjaga diri dan ber-hati-hati dalam setiap tindakan."

Selesai berkata, dia lantas membalikkan badan dan bertalu dari tempat itu.

Lan See giok hanya mengawasi kakek ber-baju kuning itu dengan pandangan di-ngin, ia tidak menahannya pun tidak menghantar kepergiannya, karena ia masih ragu terhadap apa yang telah diucapkan orang itu.

Setelah berjalan beberapa langkah, men-da-dak kakek itu berhenti lagi, sambil ber-paling ke arah Lan See giok pesannya:

"Nak, jika kau mempunyai kesulitan atau membutuhkan bantuanku, datang saja ke rumahnya Huan kang ciang liong (naga sakti pembalik sungai) di dusun Hong hi cun un-tuk mencari diriku, saat itulah aku akan mem-beritahukan kepadamu apa sebabnya orang--orang itu membunuh ayahmu."

Selesai berkata, tidak menanti jawaban dari bocah itu lagi, dia segera berlalu dari situ, hanya dalam sekejap mata saja baya-ngan tubuhnya sudah lenyap dari panda-ngan mata.

Lan See-giok agak terkejut pula me-nyaksi-kan kelihaian ilmu meringankan tubuh yang dimiliki orang itu.

Setelah berpikir sejenak, diapun terme-nung:

"Orang-orang itu semuanya berilmu tinggi, untuk membalas dendam ... aaai tampaknya sulit melebihi mendaki ke langit..."

Dengan sedih dia memandang ke arah ayahnya sekali lagi, sementara air mata kem-bali jatuh bercucuran.

Pelan-pelan dia berjalan ke sisi jenazah ayahnya, membungkukkan badannya dan bermaksud untuk membopong tubuh ayah-nya.

Mendadak mencorong sinar tajam dari balik matanya, dengan cepat dia berjongkok untuk memeriksa dengan lebih seksama.

Ternyata ujung jari telunjuk jenazah si Gurdi emas peluru perak Lan Khong tay se-dang menancap di atas tanah, sementara di atasnya telah terukir sebuah goresan, entah goresan lukisan atau tulisan . ..

Dengan cepat Lan See giok menduga kalau goresan itu pasti dibuat oleh ayahnya menje-lang ajal merenggut nyawanya.

(Bersambung ke Bagian 03)





DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar