Tak terlukiskan rasa sedih
yang menyelimuti perasaan Lan See-giok waktu itu melihat ayahnya mati secara
begitu mengenaskan, dia menjerit keras lalu muntah darah segar, tubuhnya segera
terkapar di atas tanah dan tak sadarkan diri.
Isak tangis dalam kuburan itu
segera terhenti, yang tersisa hanya suara dengungan keras yang memantul ke
mana-mana.
Di luar kuburan, angin malam
berhembus kencang mengiringi suara hujan yang turun dengan deras, malam itu
benar-benar suatu malam yang amat mengenaskan.
Mendadak---
Lan See-giok yang
lambat-lambat mulai sadar kembali dari pingsannya merasa ada seseorang menotok
jalan darah Hek ci hiat nya keras-keras.
Menyusul kemudian sebuah
tangan dengan gugup dan panik menggeledah seluruh tubuhnya, orang itu seperti
sedang mencari sesuatu dari dalam saku dan bagian tubuh lainnya---
Kejut, gusar dan takut segera
menyelimuti seluruh perasaan Lan See-giok, ia tak tahu siapakah orang itu? Tapi
ia yakin orang itu sudah pasti adalah pembunuh biadab yang telah membunuh ayah
nya.
Dia ingin membalikkan badan
sambil me lancarkan serangan, kalau bisa dengan suatu gerakan secepat kilat
untuk membinasakan orang yang sedang menggeledah sakunya itu.
Tapi dia tahu, asal dia
mengerahkan tenaga, pihak lawan pasti akan menyadari akan hal itu, dengan
kepandaian silat ayahnya yang begitu lihai pun bukan tandingan lawan, bila dia
sampai melakukan suatu gerakan, bukankah tindakan tersebut ibaratnya telur
diadu dengan batu?
Maka dia bermaksud untuk
mengintip dulu siapa gerangan orang itu, asal wajahnya teringat, usaha membalas
dendam bisa dilakukan di masa mendatang.
Berpikir begitu, diam-diam ia
membuka matanya dan mencoba untuk mengintip. . .
"Blaam!" tiba-tiba
orang itu menendang tubuhnya keras-keras sampai mencelat dan terbalik.
Lan See-giok menggigit
bibirnya kencang-kencang menahan rasa sakit, merintih pun tidak.
la merangkak di tanah dan
pelan-pelan membuka matanya lalu melirik ke arah orang itu.
Kebetulan orang itu berdiri di
belakang tubuhnya sehingga di atas dinding tertera sesosok bayangan manusia
yang tinggi besar.
Lan See-giok membuka matanya
lebar-lebar, dia berharap bisa menyaksikan raut wajah orang itu dari bayangan
badannya.
Orang itu berperawakan, tinggi
besar, hidungnya mancung, kening dan dagunya sempit, jenggotnya tidak banyak,
cuma beberapa gelintir, memakai baju pendek celana panjang. dia sedang berdiri
di sana seperti lagi termenung memikirkan sesuatu.
Mendadak terdengar orang itu
berguman dengan perasaan keheranan. "Aneh, kenapa tidak ada juga?"
Walaupun Lan See-giok tak
berpengalaman dalam dunia persilatan hingga tak dapat membedakan dialek setiap
propinsi, tapi dia yakin, orang ini pasti tinggal di sekitar telaga Huan-yang
ou.
Setelah berguman, orang itu
sekali lagi membungkukkan badan dan menggeledah seluruh badan Lan See-giok ....
"Tiba-tiba tangan itu
berhenti menggeledah kalau dilihat dari bayangan yang tertera di atas dinding,
tampaknya orang itu seperti memasang telinga dan memperhatikan sesuatu.
Kemudian tampak bayangan
manusia berkelebat lewat, tahu-tahu orang itu sudah lenyap dari pandangan.
Lan See-giok tak berani
bergerak, tahu orang itu belum pergi, sebab menurut arah bergeraknya bayangan
di atas dinding, nam-paknya orang itu sedang menyembunyikan diri di sisi
pembaringan.
Tapi ia tak habis mengerti
mengapa orang itu menyembunyikan diri secara tiba-tiba ?
Pada saat itulah terdengar
suara ujung baju terhembus angin berkumandang datang dari arah mulut lorong
rahasia:
Lan See-giok terperanjat, dia
tahu kembali ada jago lihay berkunjung ke situ, bersamaan itu pula dia lantas
paham kenapa orang itu secara tiba-tiba menyembunyikan diri ke belakang
pembaringan.
Tapi setelah dipikir lebih
lanjut, sekali lagi hatinya merasa bergetar keras, syukur dia tidak jadi
melancarkan serangan gelap terhadap orang itu, sebab menurut perasaan nya,
kesempurnaan tenaga dalam yang di miliki orang ini benar-benar luar biasa.
Sementara itu suara ujung baju
yang terhembus angin kedengaran semakin jelas, bahkan ada kalanya diiringi pula
suara benda berat yang menyentuh lantai.
Tampak bayangan manusia
berkelebat lewat, kemudian terdengar seseorang tertawa terbahak-bahak.
Lan See-giok yang tertelungkup
di tanah merasa telinganya sakit sekali oleh getaran suara tertawa yang
memekikkan te1inga itu, darah segar dalam rongga dadanya serasa bergelora
keras, hampir saja dia mengeluar-kan suara.
Terdengar pendatang itu
menghentikan suara tertawanya, kemudian tanpa perasaan takut barang sedikitpun
jua, dia berseru lantang:
"Lan Khong-tay wahai Lan
Khong-tay, sungguh tak disangka Kim cui gin tan (gurdi emas peluru perak) Lan
tayhiap juga akan mengalami nasib seperti hari ini, hmmm .... bayangkan saja
betapa gagahmu dimasa lalu, tapi... haaah.. haaah.. sekalipun mempunyai barang
itu, apalah gunanya?"
Selesai berkata, kembali dia tertawa
terbahak-bahak, menyusul kemudian terdengar suara ketukan keras bergema semakin
dekat.
Lan See-giok tahu, pendatang
adalah seseorang yang kenal dengan ayahnya, bahkan mempunyai ikatan dendam
dengan ayahnya.
Sementara dia masih termenung,
orang itu sudah tiba di depan jenazah ayahnya, suara ketukan keras yang bergema
kian bertambah keras, bahkan terasa pula getaran keras yang menggetarkan sukma.
Kini Lan See-giok tidak merasa
takut, karena dalam hatinya penuh diliputi kobaran api dendam yang membara, dia
hanya ingin tahu siapakah pembunuh ayahnya.
Ia merasa perlu untuk
memperhatikan wajah orang ini, siapa tahu dari orang ini di kemudian hari dia
bisa menyelidiki siapa gerangan orang berjenggot yang berhidung mancung itu?
Baru saja Lan See-giok akan
membuka matanya, orang itu sudah berjalan ke arah-nya, maka cepat-cepat dia
memejamkan ma-tanya kembali, meski demikian ia sempat melihat kaki kiri orang
itu sudah kutung, se-dang di bawah ketiaknya terdapat sebuah tongkat besi yang
amat berat menyanggah tubuhnya.
Kalau diamati dari suara
tertawa serta nada pembicaraan orang itu, bisa diperkirakan kalau usianya di
atas empat puluh tahunan.
Setibanya di sisi tubuh Lan
See-giok, orang itu mulai menyentuh badannya dengan ujung tongkat besi itu
meski maksudnya untuk menggeledah namun hal itu dilakukan tidak serius.
Karena pendatang itu sudah
menduga bahwa pembunuh yang telah membinasakan si Gurdi emas peluru perak Lan
Khong-tay tentu sudah menggeledah pula tubuh bocah itu, maka ia tidak
menganggap serius akan hal itu.
Lan See-giok yang tubuhnya
ditusuk-tusuk oleh toya besi itu merasakan sekujur badannya kesakitan, tapi dia
menggertak gigi sambil menahan diri, dalam hati dia bersumpah, suatu ketika
sakit hati ini pasti akan dituntut balas.
Mendadak orang itu
menghentikan perbuatannya, kemudian sambil mendongak kan kepala dia membentak
keras, "Siapa di situ?"
Di tengah bentakan tersebut,
bayangan manusia nampak berkelebat lewat, tahu-tahu orang itu sudah lenyap dari
panda-ngan.
Lan See-giok merasa telinganya
kembali mendengung keras oleh suara bentakan la-wan yang memekikkan telinga,
saking kagetnya dia sampai bergidik dan lupa kalau dia sedang berlagak seakan
akan tertotok jalan darahnya, buru-buru dia membalikkan badan sambil
berpaling---
Tampak olehnya di balik lorong
di samping pembaringannya sana terdapat dua sosok bayangan manusia sedang
berkelebat saling mengejar.
Lan See-giok tahu bahwa orang
yang berada di depan adalah orang yang telah membinasakan ayahnya, sedang yang
berada di belakang adalah orang yang berkaki buntung.
Sebelum dia sempat berbuat
sesuatu, orang yang berkaki buntung telah membentak lagi dengan suara keras:
"Sobat, sebelum
meninggalkan barang itu, jangan harap kau bisa kabur dari sini?"
Ditengah bentakan, dia
mengayunkan tongkat besinya sambil menghantam tubuh orang itu.
Orang yang berada di depan
tidak mengeluarkan suara berang sedikitpun juga, dia masih berlarian terus ke
depan, hanya secara tiba-tiba tangan kanannya diayunkan ke belakang...
Serentetan cahaya tajam
bagaikan anak panah yang terlepas dari busurnya segera meluncur ke arah orang
yang berkaki buntung.
Segera itu juga orang yang
berkaki buntung itu tertawa terbahak-bahak, tongkat bajanya di angkat ke atas
dan... "traaang!" terdengar suara benturan keras yang disertai
percikan bunga api tersebar dalam lorong gelap tersebut.
Kemudian terdengar pula suara
senjata rahasia yang bergelinding ke sisi lorong, se-mentara kedua sosok
bayangan manusia itu-pun lenyap dari pandangan mata.
Dengan cepat Lan See-giok
melompat bangun, dia merasakan sekujur badannya linu dan sakit, tapi sambil
menahan rasa sakit dia mengejar ke luar, dia berharap dengan mengandalkan
kehapalannya dengan daerah di sekitar tempat itu, dia sempat menyaksikan paras
muka yang sebenarnya dari pembunuh keji tersebut.
Siapa tahu belum sempat dia
melangkah ke depan mendadak dari luar kuburan telah terdengar suara si pincang
sedang mencaci maki dengan penuh kegusaran.
"Anak jadah. anak bangsat
peliharaan anjing, kau anggap barang itu dapat kau telan seorang diri? Tidak
begitu mudah, sekalipun kau kabur ke ujung langit, locu akan mengejarnya sampai
dapat!"
Lan See-giok tahu kedua orang
itu sudah pergi amat jauh sekalipun hendak dikejar juga tak ada gunanya.
Maka dia berjalan kembali ke
samping jenazah ayahnya yang terkapar ditengah genangan darah, kemudian sambil
berlutut dan mbenangis terseduj sedu, katanyag:
"Ayah--- bsungguh kasihan
kau--- tahukah kau anak Giok telah pulang--- tahukah kau anak Giok telah
menyelesaikan perintahmu dan menyerahkan kotak kecil tersebut ke pada bibi Wan-
-"
Lan See-giok makin menangis
semakin sedih, makin menangis semakin tak ingin hidup.
Dia memang ingin mati, dia
ingin mati bersama ayah dan ibunya, tapi bila teringat akan dendam kesumatnya
yang lebih dalam dari samudra, dia merasa tidak seharusnya mati sebelum sakit
hati itu terbalas, dia harus membinasakan pembunuh berhidung mancung itu
sebelum menyusul ayah dan ibunya di alam baqa.
Maka sambil memandang wajah
ayahnya yang penuh noda darah, diam-diam ia berdoa, dia berharap arwah ayahnya
di alam baqa dapat melindunginya dan membantu nya untuk membalas dendam.
Sementara itu tengah malam
sudah menjelang tiba, di luar kuburan hanya terdengar suara rintikan hujan
serta angin malam yang menderu-deru.
Seorang diri Lan See-giok
bersembunyi di dalam kuburan, duduk di samping jenazah ayahnya dan di bawah
cahaya lentera dia membersihkan noda darah dari atas wajah ayahnya yang pucat.
Titik-titik air mata jatuh
bercucuran mem-basahi pipinya. pipi yang telah berubah menjadi merah karena
dendam.
Di luar kuburan kembali
terdengar suara pekikan burung hantu yang menyeramkan, tapi dia tidak takut,
dia tidak merasa ngeri, karena dia hanya memikirkan soal dendam kesumat.
Dia berpikir, sekalipun badan
harus hancur, sekalipun harus menjelajahi sampai ke ujung langit, pembunuh
ayahnya akan di kejar terus dan dibunuh sampai mati.
ooo0ooo
BAB 2
BAYANGAN IBLIS MULAI
BERMUNCULAN
MALAM semakin kelam . . .
Angin berhembus semakin
kencang...
Sambil melelehkan air mata,
Lan See-giok masih memperhatikan wajah kelabu ayah-nya yang sudah membujur kaku
di tanah. b
Mendadak . j. . terdengar
sguara pekikan pabnjang yang memekakkan telinga berkumandang datang dari luar
kuburan.
Suara pekikan itu amat tajam
dan memekakkan telinga, membuat siapa saja yang mendengarnya merasakan bulu
kuduknya pada bangun berdiri.
Terutama sekali bagi Lan
See-giok yang seorang diri berada dalam kuburan, di bawah sinar lentera yang
redup serta didampingi jenazah ayahnya yang membujur kaku.
Tapi sikap Lan See-giok masih
tetap kaku tanpa perasaan, dia seolah-olah tidak mendengar suara pekikan itu.
Waktu itu, hatinya sedang
merasa amat pedih, karena dia tak tahu bagaimana caranya untuk menutup kembali
sepasang mata ayahnya yang melotot besar penuh kemarahan itu.
Pekikan seram makin lama
semakin mendekat, di balik pekikan itu penuh diliputi perasaan gelisah
bercampur gusar.
Tapi Lan See-giok masih tidak
berkutik, tangannya yang kecil masih saja mengelus mata ayahnya yang melotot
besar.
Lambat laun suara pekikan aneh
itu makin keras dan menusuk pendengaran agaknya orang itu sudah tiba di luar
kuburan.
Tergerak hati Lan See-giok. .
dia bertekad hendak melihat jelas paras muka pendatang itu, tapi. ada satu hal
yang tidak dimengerti olehnya, mengapa kuburan yang sudah banyak tahun tak
pernah dikunjungi orang, tahu-tahu kebanjiran pengunjung pada ma-lam ini.
Benda apa pula yang
dimaksudkan si pin-cang tadi?
Mendadak suara pekikan itu
berhenti, lalu mendengar suara ujung baju terhembus angin menggema datang.
"Sungguh cepat gerakan
tubuh orang ini..." Dengan terkejut Lan See-giok segera ber-pikir,
"kalau dilihat dari kecepatan gerak tubuhnya jelas dia adalah seorang jago
kelas satu dalam dunia persilatan. . ."
Belum habis dia berpikir,
hembusan angin tersebut sudah kedengaran semakin jelas.
Lan See-giok merasa makin
terkejut lagi, sebab orang itu selain sempurna dalam ilmu meringankan tubruh,
juga amat hzapal dengan daewrah dalam kuburran tersebut.
Buru-buru dia melompat bangun
dan me-mandang sekejap sekeliling tempat itu, akhirnya dia merasa di belakang
meja batu besar itu merupakan tempat persembunyian yang baik, tanpa berpikir
panjang dia segera menerobos kedalamnya. . .
Saat itulah bayangan manusia
nampak berkelebat lewat, tahu-tahu orang itu muncul di dalam ruangan dan
langsung menerjang ke depan pembaringan ayahnya.
Lan See-giok merasa tegang
bercampur cemas, peluh telah membasahi telapak ta-ngannya, dengan perasaan
gusar bercampur berdebar dia mengintip ke luar . .
Ternyata orang itu adalah
seorang lelaki berjubah hitam, rambutnya sepanjang bahu berwarna kelabu, ia
tidak bersenjata, wajahnya juga tak nampak karena sedang menghadap ke arah
pembaringan.
Dengan perasaan gusar, gelisah
dan tak tenang orang itu nampak menggeledah seluruh pembaringan, selimut dan
bantal ayahnya.
Kemudian dengan marah dia
melemparkan semua benda itu ke atas tanah, lalu dengan gugup ia mulai meraba
empat kaki pembaringan di empat penjuru...
Tergerak hati Lan See-giok
setelah menyaksikan kejadian itu, dia merasa besar kemungkinan orang ini adalah
orang yang menotok jalan darahnya serta menggeledek seluruh badannya tadi.
Kalau dilihat dari tindak
tanduk orang itu sewaktu ke dalam kuburan serta tingkah lakunya yang
tergesa-gesa sewaktu melakukan penggeledahan atas seluruh isi ruangan itu,
dapat diketahui orang itu belum sempat melakukan penggeledahan setelah berhasil
melaksanakan perbuatan kejinya tadi.
Makin dipikir Lan See-giok
merasa apa yang diduga makin cocok, dia segera mem-tuskan kalau orang inilah
pembunuh yang telah membinasakan ayahnya.
Kemarahannya segera bergelora,
diam-diam hawa murninya dihimpun ke dalam telapak tangannya, ia siap sedia
menyergap orang itu dari belakang. Mendadak... orang berbaju hitam itu
membalikkan badannya.
Lan See-giok tersentak kaget,
peluh di-ngin segera membasahi seluruh tubuhnya, se-mentara jantungnya seakan
akan mau me-lompat ke luar dari dalam rongga dadanya.
Apa yang dilihat? Ternyata
orang itu berwajah hijau penuh dengan bekas bacokan yang dalam, gigi taringnya
nampak panjang, matanya yang tinggal sebelah melotot besar seperti gundu.
wajahnya benar-benar mengerikan sekali.
Mata sebelah kanannya yang
buta ditutup dengan selembar kulit berwarna hitam, hal ini menambah seramnya
tampang orang ini. Setelah membalikkan badan tadi, dengan mata tunggalnya yang
tajam ia mulai memeriksa setiap sudut ruangan yang mencurigakan, sementara
wajahnya nampak makin gelisah, peluh sebesar kacang ijo nampak bercucuran
membasahi seluruh jidatnya.
Berada dalam keadaan seperti
ini, Lan See-giok tak berani berkutik, dia kuatir si mata tunggal itu menemukan
tempat persembu-nyian nya.
Ia tidak takut mati, tapi dia
tak ingin mati sebelum dendam sakit hati ayahnya di- balas.
Begitulah, setelah memeriksa
seluruh ru-angan itu, dengan nada gemas orang ber-mata satu itu berguman:
"Aneh, disembunyikan di
manakah barang itu...?"
Begitu mendengar suara gumaman
orang itu, sekali lagi Lan See-giok merasa kebingungan, dia dapat mengenali
suara orang ini tidak sama dengan suara orang yang menggeledah tubuhnya tadi,
sebab suara orang itu parau dan berat.
Selain itu. diapun menyaksikan
perawakan orang ini tidak sekekar orang yang menggeledah tubuhnya tadi, lagi
pula orang ini mengenaskan pakaian pendek.
Diam-diam Lan See-giok
berkerut kening, ditatapnya orang bermata satu itu lekat-lekat, sementara di
hati kecilnya dia bertanya: Siapakah orang bermata satu ini ? Benarkah ayahnya
tewas di tangan orang ini . . . . ?.
Belum habis dia berpikir,
tampbak olehnya oranjg bermata satu gitu sudah mengubmbar hawa amarahnya,
kakinya terlihat diayunkan ke sana kemari, semua barang yang berada di
sekelilingnya segera beterbangan di angkasa.
Dalam waktu singkat seluruh
ruangan itu dipenuhi dengan suara hiruk pikuk serta pecahan barang yang
tersebar ke mana-mana.
Dengan penuh bernapsu, orang bermata
satu itu menyepak dan menendang hancur barang-barang itu, dia berharap dari
balik pecahan barang-barang tersebut bisa dite-mukan barang yang sedang dicari.
Tapi akhirnya ia menghela
napas dengan perasaan kecewa.
Kini sorot matanya mulai
dialihkan ke atas lubang bangunan di langit-langit kuburan, gigi taringnya yang
panjang kedengaran bergemerutuk keras, hal ini membuat wajahnya nampak semakin
mengerikan.
Lan See-giok semakin tak
berani berkutik, dia merasa hatinya bergidik dan bulu romanya pada bangun
berdiri, tampang orang bermata satu itu betul-betul menggetarkan hatinya.
Mendadak mencorong sinar tajam
dari balik mata tunggalnya, sekilas perasaan girang menghiasi wajahnya yang
seram, dengan suatu kecepatan tinggi tiba-tiba ia melompat ke depan meja batu
itu.
Lan See-giok yang bersembunyi
di belakangnya menjadi sangat terperanjat, begitu kagetnya dia sampai
jantungnya seolah-olah terlepas.
Untung saja meja batu itu
tinggi lagi besar, jaraknya dengan dindingpun amat sempit, maka bila orang itu
tidak memeriksa dengan teliti, sulit rasanya untuk menemukan tempat
persembunyian itu.
Ternyata orang bermata satu
itu tidak bermaksud untuk menggeledah tempat itu, sebab setelah mengambil
senjata gurdi emas yang terletak di meja, ia melayang kembali ke tempat semula.
Diam-diam Lan See-giok
menghembuskan napas lega, ia segera mengintip kembali ke luar.
Ternyata orang bermata satu
itu sedang mengorek setiap lubang angin yang berada di langit-langit kuburan
dengan senjata gurdi emas milik ayahnya..
Tapi, akhirnya orang bermata
satu itu kembali menghela napas dengan wajah kecewa, ia tidak berhasil
menemukan sesuatu darbi balik lubang jangin itu.. g
Kekecewaan yanbg berulang kali
kontan saja membuat orang itu bertambah marah, paras mukanya yang memang sudah mengerikan
kini berubah semakin menggidikkan hati.
"Sungguh
menggemaskan?" gumamnya menahan geram.
Dengan penuh perasaan
mendongkol, akhirnya dia melemparkan senjata gurdi emas yang berada di
tangannya itu ke depan keras-keras.
Sekilas cahaya emas berkelebat
lewat bagaikan serentetan cahaya bianglala, gurdi tersebut menyambar ke arah
dinding sebelah kiri.
Lan See-giok mengenali, di
balik dinding itulah terletak kamar tidurnya.
"Blaaammm!" diiringi
suara nyaring senjata gurdi emas itu menancap di atas dinding dan tembus hingga
ke belakang.
Tiba-tiba --- terdengar suara
jeritan ngeri yang menyayatkan hati berkumandang datang dari balik ruangan
tersebut.
Lan See-giok terkesiap, hampir
saja ia menjerit keras saking kagetnya. Mimpipun dia tak menyangka kalau di
dalam kamar tidurnyapun terdapat kawanan musuh yang sedang menyembunyikan diri.
Orang bermata tunggal itu
sendiri juga nampak agak tertegun, lalu dengan wajah berubah hebat dia
menerjang masuk ke dalam ruangan sebelah.
Tak lama kemudian ia mendengar
orang bermata satu itu menjerit kaget:
"Haaah, kau?"
Suara ujung baju yang
terhembus angin segera berkumandang saling menyusul, makin lama suara itu makin
lirih dan akhirnya lenyap di luar kuburan sana.
Untuk sesaat suasana dalam
kuburan kuno itu menjadi sepi, hening, tak kede-ngaran sedikit suarapun.
Lan See giok juga duduk
termangu mangu, dia tak tahu siapakah orang tadi? Masih hidupkah orang itu?
Atau sudah mati?
Tapi dia berharap orang itu
sudah mati, karena dia menduga orang yang bersembunyi dalam kamar sebelah tentu
sudah mendengar doanya kepada ayahnya tadi .. dia telah menyerahkan kotak kecil
terrsebut kepada Bizbi Wan...
Sekawrang, Lan See griok sudah
dapat men-duga, kemungkinan besar kehadiran orang-orang tak dikenal pada malam
ini dikarena-kan kotak kecil tersebut, tapi apakah isi kotak kecil itu?
Kepergian si orang bermata
satu yang tergesa-gesa tadi membuat Lan See giok merasa amat gelisah, dia tidak
berharap orang bermata satu itu menolong orang tadi, karena hidupnya orang itu berarti
ben-cana besar bagi bibi Wan.
Sekalipun mereka tak akan
mengetahui nama dari bibi Wan, tapi jika mereka mau melakukan penyelidikan
dengan seksama, tak sulit untuk menemukan tempat tinggal bibi Wan nya.
Terbayang akan semua peristiwa
tersebut, Lan See giok merasakan peluh dingin jatuh bercucuran, ia merasa bila
kedatangan orang-orang itu benar-benar dikarenakan kotak kecil tersebut, dia
harus segera melaporkan kejadian ini kepada bibi Wan, agar dia tahu kalau-kalau
ayahnya sudah mati.
Mendadak Lan See giok
merasakan firasat tak enak, ia merasa dalam kuburan itu seakan akan bukan cuma
dia seorang, ia seperti merasa ada sesosok tubuh manusia sedang berjalan
mendekatinya dari belakang.
Tanpa sadar dia segera
membalikkan kepalanya ke belakang. . . .
Tapi baru saja kepalanya
digerakkan, mendadak tampak sesosok bayangan hitam menyambar tiba disertai
segulung angin tajam yang maha dahsyat. Lan See giok amat terperanjat, tanpa
sadar ia menjerit keras.
"Blammm---!" sebuah
benda yang mem-punyai daya pantul yang amat keras tahu-tahu sudah menghajar di
belakang batok kepalanya.
Kontan Lan See giok merasakan
kepalanya seperti mau pecah. langit serasa menjadi gelap, seluruh bumi serasa
berputar, panda-ngan matanya menjadi gelap dan tak ampun ia roboh tak sadarkan
diri.
Sesaat sebelum jatuh pingsan,
secara lamat-lamat dia masih sempat menyaksikan orang yang berada di belakang
tubuhnya adalah seseorang yang berambut putih.
la tak bisa membedakan apakah
orang itu seorang kakek atau seorang nenek, tapi sudah pasti orang itu adalah
seseorang yang telah berusia lanjut bahkan berperawakan tidak begitu tinggi.
la tidak merasakan tubuhnya
mencium tanah, mungkin orang yang berada di belakangnya keburu menyambar
badannya dan membaringkan ke tanah, mungkin juga ia keburu tak sadarkan diri. .
.
Entah berapa saat sudah lewat.
. .
Pelan-pelan Lan See giok
membuka matanya- - - pandangan pertama yang sempat terlihat olehnya adalah
setitik cahaya len-tera, kemudian sesosok bayangan manusia berbaju kuning. . .
Lan See giok merasakan kelopak
matanya sangat berat, tak kuasa ia memejamkan matanya kembali, ia merasa tak
bertenaga lagi, meski hanya untuk membuka kelopak matanya.
Tiba-tiba terdengar seseorang
menegur dengan suara yang lembut dan penuh perhatian:
"Nak, kau telah sadar ?
Bagaimanakah perasaanmu sekarang?"
Tiba-tiba Lan See-giok
teringat kembali kejadian yang belum lama menimpa dirinya, begitu mendengar
teguran tersebut, mendadak dia melompat bangun kemudian melotot dengan mata
besar, ternyata orang yang berada di hadapannya adalah seorang kakek berambut
putih.
Kemarahan yang mencekam dalam
dada nya tak bisa ditahan lagi, sambil membentak keras, tenaga dalamnya sebesar
sepuluh bagian dihimpun ke dalam tangan kanannya, kemudian . . .
"Weess!" dihan-tamkan ke atas dada kakek itu keras-keras.
Menghadapi perubahan yang
terjadi amat mendadak, apa lagi dalam jarak sedemikian dekatnya, tak mungkin
lagi buat kakek itu untuk menghindarkan diri.
"Blammm!" pukulan
dari Lan See giok itu secara telak bersarang di atas dada kakek itu.
Betapa terkejutnya Lan See
giok setelah melepaskan pukulan itu, secara beruntun dia mundur sejauh dua
langkah, kepalan kanannya yang menghajar dada kakek itu serasa menghantam di
atas gumpalan ka-pas, ternyata segenap kekuatannya serasa hilang lenyap tak
berbekas.
Sementara itu, kakek yang
berada di hada-pannya telah tertawa ramah, lalu tanya nya lembut:
"Nak, kau lagi marah
kepada sibapa? Mengapa kaju lampiaskan kegmarahanmu itu kbepadaku?"
Seraya berkata dia tertawa
tergelak dengan penuh keramahan.
Buru-buru Lan See giok
memusatkan pikirannya sambil perhitungan, dia cukup tahu keterbatasan tenaga
dalam yang dimilikinya, dibandingkan dengan kemampuan lawan, selisih tersebut
ibarat langit dan bumi, diam-diam ia lantas memperingatkan diri sendiri agar
jangan bertindak secara gegabah.
Selain itu, diapun berpendapat
hanya kakek bertenaga dalam selihai ini yang sanggup membunuh ayahnya di dalam
sekali pu-kulan.
Ia menggosok gosok matanya,
kemudian melototi kakek ramah di hadapannya dengan pandangan penuh kebencian.
Tampak kakek itu berambut
putih, bermuka merah dan bermata tajam tapi penuh keramahan, ia memakai jubah
berwarna kuning dan bersikap amat gagah sekali.
Lan See giok segera merasa
kalau kakek ini tidak mirip dengan orang jahat, diam-diam pikirnya.
"Orang yang menghantam
kepalaku tadi berhati kejam, tapi. . siapakah dia?"
Diamatinya kakek berambut
putih itu sekali lagi, kemudian pikirnya lebih jauh:
"Sudah pasti dia"
Tapi ia tidak habis mengerti,
apa sebab-nya kakek berwajah ramah tapi berhati kejam ini tidak segera
meninggalkan tempat itu setelah menghantam pingsan dirinya, malahan menunggu
sampai ia mendusin kembali.
Mendadak satu ingatan melintas
kembali dalam benaknya, dengan cepat ia menyadari apa sebabnya kakek itu belum
juga pergi.
"Yaa, sudah pasti dia
ingin menanyakan tempat tinggal Bibi Wan" demikian dia ber-pikir.
Maka sambil mendengus dingin,
pikiran nya lebih jauh.
"Hmmm, jangan bermimpi di
siang hari bolong, sekalipun badan harus hancur tak nanti aku akan
memberitahukan hal ini kepadamu."
Sementara itu, si kakek
berjubah kuning kembali tertawa terbahak bahak setelah menyaksikan sinar mata
Lan See giok berkedip dan wajahnya berubah, berulang kali tanpa menjawab
pertanyaannya. dengan penuh pebrhatian kembalij dia bertanya: g
"Nak, siapakahb yang
telah merobohkan dirimu?"
Kemarahan dalam dada Lan See
giok se-makin membara, dia menganggap semakin ramah kakek itu, semakin menaruh
perha-tian kepadanya, berarti semakin berbahaya dan jahat orang itu.
Setelah mendengus marah, serunya
de-ngan suara dingin:
"Siapakah yang
menghantamku sampai roboh? Heeehhh- heeehhh--- heeehhh, mustahil kau tidak
tahu!"
Tertegun si kakek berjubah
kuning itu setelah mendengar dampratan tersebut, di-tatapnya Lan See giok
dengan termangu, lama-lama kemudian ia baru sadar seperti memahami sesuatu dan
segera tertawa.
"Nak!" katanya
kemudian sambil menga-lahkan pembicaraan ke soal lain:
"Apakah Lan Khong tay
adalah ayahmu?"
Api yang berkobar dalam dada
Lan See -giok sekarang hanyalah dendam kesumat, ia su-dah bertekad tak akan
melayani pembi-cara-an si kakek yang dianggapnya manusia munafik ini.
Sambil tertawa dingin segera
ejeknya sinis:
"Huuuh, sudah tahu
pura-pura bertanya lagi, benar- benar tak tahu malu . . . !"
Kakek berjubah kuning itu kembali
berk-erut kening, kekasaran serta kekurang ajaran bocah itu sangat di luar
dugaannya.
Sedangkan Lan See giok meski
tahu kalau kepandaian silatnya tak mampu menandingi kepandaian kakek berjubah
kuning itu, tapi diapun percaya bahwa musuhnya tak nanti akan membinasakannya
meski berada dalam keadaan yang bagaimana gusarpun.
Sebab dia menganggap kakek
berjubah kuning itu ingin mengetahui tempat tinggal Bibi Wan nya serta jejak
dari kotak kecil ter-sebut, karenanya bagaimanapun marahnya lawan tak nanti ia berani
bersikap kasar.
Benar juga, kakek berjubah
kuning itu menghela napas panjang, lalu berkata lagi dengan ramah:
"Nak, aku sudah
mengetahui perasaanmu sekarang, aku tahu kau mendendam kepadaku karena mengira
ayahmu mati di tanganku, aku tidak menyalahkan kau, se-dang me-ngenai alasan
ayahmu sampai dice-lakai orang, mungkin akupun jauh lebih je-las dari pada
dirimu..."
Ucapan tersebutr semakin
membuazt Lan See giok wpercaya kalau orrang yang memu-kul nya sampai pingsan
tadi adalah kakek berjubah kuning ini, diam-diam dia lantas mendengus dingin:
"Tentu kau adalah seorang
yang berkomplot untuk membunuh ayahku, tentu saja kau mengetahui jelas sebab
kematian dari ayahku." demikian pikirnya lagi.
"... yang membuat hatiku
amat pedih adalah keterlambatanku datang ke mari malam ini, kalau tidak niscaya
pembunuh ayahmu itu pasti akan berhasil kutang-kap..-" terdengar kakek
berjubah kuning itu melanjutkan kembali kata katanya.
"Bedebah, kakek sialan,
manusia licik---" kontan saja Lan See giok menyumpah di hati.
Dalam pada itu, si kakek
berjubah kuning itu sudah berhenti sejenak sebelum kemu-dian melanjutkan
kembali kata katanya:
"Nak, coba ceritakanlah
kisah pembu-nuhan yang telah menimpa ayahmu malam tadi, ceritakan pula
bagaimana terjadinya Pertarungan, berapa orang yang datang serta
manusia-manusia macam apa saja yang telah kemari, mungkin aku bisa membantumu
untuk mengenali orang-orang itu serta merebut kembali kotak kecil
tersebut."
Lan See giok tertawa dingin:
"Heeehhh.. heeehhh...
heeehhh... buat apa kau mesti bertanya kepadaku? Aku yakin, kau sudah pasti
jauh lebih mengerti dari pada diriku sendiri..."
Merah padam selembar wajah
kakek berju-bah kuning itu setelah mendengar uca-pan tersebut, paras mukanya
agak berubah, jeng-gotnya gemetar keras, jelas orang itu merasa agak tak senang
hati, tapi hanya sejenak ke-mudian ia telah bersikap lembut kembali.
Ditatapnya wajah Lan See giok
lekat-lekat, kemudian katanya dengan serius:
"Nak, aku tidak habis
mengerti mengapa kau bersikap kasar, emosi dan tak menggu-nakan akal terhadap
diriku? Ketahuilah per-buatan semacam ini akan memporak poran-dakan keadaan,
tidak bermanfaat bagi ma-salah yang sebenarnya, kau harus mawas diri, dinginkan
otakmu dan terutama sekali harus tahu kalau keselamatanmu sedang terancam bahaya..."
Belum habis kakek berbaju
kuning itu menyelesaikan kata katanya, Lan See giok telah tertawa keras penuh
kegusaran, tukas-nya dengan perasaan benci yang me-luap.
"Sudah sedari tadi aku
tak pernah me-mikirkan soal mati hidupku, kenapa aku mesti takut mati? Hmmm,
aku rasa justru ada orang yang kuatir bila aku sampai mati!"
Sekali lagi kakek berbaju
kuning itu me-ngerutkan dahinya rapat-rapat, berkilat sepasang matanya,
kemudian seakan akan memahami sesuatu, dia manggut-manggut.
"Ehmmm, benar, ketika aku
mendengar suara jeritan tadi dan menerobos masuk ke dalam kuburan Ong-leng,
kusaksikan ada sesosok bayangan manusia yang kurus pendek sedang kabur ke arah
utara, gera-kan tubuh nya secepat sambaran petir..."
Tergerak hati Lan See giok
setelah mendengar ucapan itu, terutama sekali kata bayangan manusia kurus
pendek, dengan cepat dia teringat kalau orang yang menghantamnya sampai pingsan
tadi me-mang seorang kakek yang berperawakan ku-rus lagi pendek.
Maka dia segera mengamati
tubuh kakek berbaju kuning itu sekali lagi, ia merasa meski perawakan orang ini
tidak termasuk tinggi besar, tapi jika dia bersembunyi di be-lakang meja batu,
niscaya jejaknya akan ditemukan olehnya.
Berpikir sampai di sini, Lan
See giok sema-kin kebingungan dibuatnya, dia lantas ber-pikir lagi:
"Jangan-jangan bukan si
kakek berjubah kuning ini yang menghantamku sampai ping-san tadi . . ?"
Tapi ingatan lain dengan cepat
melintas kembali di dalam benaknya, dia merasa walaupun bukan kakek ini, tapi
ia sudah pasti termasuk salah seorang yang berniat jahat kepada ayahnya, kalau
tidak, menga-pa dia bisa tahu kalau tujuan orang-orang itu adalah untuk
mendapatkan kotak kecil milik ayahnya?
Dari sini bisa disimpulkan
kalau orang inipun bukan orang luar, ia bisa mencari sampai di sana, berarti
diapun bukan manu-sia sembarangan.
Karena berpendapat demikian,
maka apa yang selanjutnya diucapkan kakek berjubah kuning itu sama sekali tak
terdengar olehnya.
Dalam pada itu, si kakek
berbaju kuning tadi sudah berkata lagi:
"Oleh karena itu, kau
harus mebngikuti aku untjuk menyingkir dgulu ke dusun kabum nela-yan Ho hi cun,
kemudian baru berusaha untuk menemukan beberapa orang itu serta merampas
kembali kotak kecil itu."
Setelah mendengar ucapannya
yang tera-khir ini, Lan See giok dapat segera meng-am-bil kesimpulan kalau
kakek ini belum lama datangnya, sebab jika ia sudah men-dengar kalau kotak
kecil tersebut telah di-serahkan kepada bibi Wan nya, niscaya dia tak akan
berkata begitu.
Tapi mengapa dia bisa datang
terlambat? Maka tak tahan lagi dia lantas bertanya:
"Dari mana kau bisa tahu
kalau ayahku tinggal di sini?"
"Aaaah kau ini . . kenapa
bertanya lagi? Bukankah tadi sudah kukatakan kepada-mu?"
"Apa yang kau ucapkan
tadi? Tak sepatah katapun yang kudengar!"
"Tujuh delapan tahun berselang,
aku per-nah berjumpa muka dengan ayahmu di bawah puncak Giok- li-hong di bukit
Hoa san, oleh karena ayahmu memberi kesan yang sangat mendalam bagiku, maka
begitu masuk ke mari dan menyaksikan jenazah yang ter-kapar di atas genangan
darah, aku segera mengenalinya sebagai Kim wi-gin tan Lan Khong tay yang
termasyhur di kolong langit dimasa dulu..."
Mendengar sampai di situ, Lan
See giok merasa amat sedih sekali sehingga tanpa terasa dia berpaling dan
memandang seje-nak ke arah jenazah ayahnya, titik-titik air segera jatuh
bercucuran membasahi wajah-nya.
Terdengar kakek berjubah
kuning itu ber-kata lebih jauh:
"Aku hanya tahu kalau
ayahmu si gurdi emas peluru perak Lan Khong tay berdiam di sekitar telaga
Huan-yang ou, tapi tidak kuketahui jika ia berdiam dalam kuburan Ong
leng."
"Setengah jam berselang,
karena suatu persoalan secara kebetulan aku lewat di sini. mendadak kudengar
suara jeritan ngeri yang menyayatkan hati bergema dari sini, dalam kagetnya aku
bergerak berangkat ke mari.
Baru tiba di depan pintu
gerbang yang bo-brok itu, kujumpai dari belakang kuburan muncul sesosok
bayangan kecil dan kurus sedang kabur ke arah utara, sebenarnya aku hendak
mengejarnya, tapi setelah ku-temukan di belakang kuburan terdapat pintu yang
ter-buka lebar, maka akupun masuk ke mari.
Apba yang kulihat jpertama
kalinyag adalah ayahmu byang terkapar di atas genangan da-rah bila kuperiksa
ternyata mayatnya sudah kaku dan ia sudah meninggal cukup lama, itu berarti
jeritan yang kudengar tadi bukan berasal dari ayahmu."
Tanpa terasa Lan See giok
mengangguk ia tahu jeritan ngeri yang didengar kakek berju-bah kuning tadi
sudah pasti orang yang kena ditembusi gurdi emas di balik dinding itu.
Tanpa terasa dia lantas
mengerling seke-jap ke arah senjata "gurdi emas" yang me-nembusi
dinding ruangan itu.
Terdengar kakek berjubah
kuning itu ber-kata lebih jauh:
"Waktu itu aku merasa
keheranan, kemu-dian kusaksikan kau terkapar di balik meja sana, ketika
kuperiksa ternyata kau belum mati."
"Pertama tama kutarik
dulu badanmu ke luar dari situ, baru kuketahui kau sedang pingsan, tapi ada
satu hal yang tidak kupa-hami, mengapa orang yang telah mem-bina-sa-kan ayahmu
telah melepaskan kau de-ngan begitu saja --"
Tentu saja Lan See giok tahu
apa sebab-nya dia tak mati, cuma dia enggan untuk meng-utarakannya.
Terdengar kakek berjubah
kuning itu ber-kata lebih jauh:
"Sampai kini aku tidak
tahu apa sebabnya orang itu tidak membunuhmu, tapi aku ya-kin orang itu pasti
menganggap kau mem-punyai kegunaan yang amat berharga, na-mun bila apa yang
berharga itu sudah dapat diraih, jelas kau pun akan dibunuh juga."
"Oleh sebab itu, sekarang
kau harus pergi meninggalkan tempat ini, demi keselama-tan-mu kau harus pergi
dari sini-- --"
"Tidak" tukas Lan
See giok dengan cepat: "aku tak akan meninggalkan tempat ini"
Jawaban tersebut sama sekali
di luar dugaan kakek berjubah kuning itu, tanpa terasa serunya dengan perasaan
terperan-jat:
"Mengapa?"
"Aku hendak menunggu
orang itu datang kembali, aku hendak membunuh orang itu untuk membalaskan
dendam bagi ayahku"
Kakek berjubah rkuning itu
termzenung se-bentarw, akhirnya diaprun manggut-manggut.
"Baiklah", katanya
kemudian, "tunggu saja di sini, sekarang aku harus pergi dulu, semo-ga kau
bisa baik-baik menjaga diri dan ber-hati-hati dalam setiap tindakan."
Selesai berkata, dia lantas
membalikkan badan dan bertalu dari tempat itu.
Lan See giok hanya mengawasi
kakek ber-baju kuning itu dengan pandangan di-ngin, ia tidak menahannya pun
tidak menghantar kepergiannya, karena ia masih ragu terhadap apa yang telah
diucapkan orang itu.
Setelah berjalan beberapa
langkah, men-da-dak kakek itu berhenti lagi, sambil ber-paling ke arah Lan See
giok pesannya:
"Nak, jika kau mempunyai
kesulitan atau membutuhkan bantuanku, datang saja ke rumahnya Huan kang ciang
liong (naga sakti pembalik sungai) di dusun Hong hi cun un-tuk mencari diriku,
saat itulah aku akan mem-beritahukan kepadamu apa sebabnya orang--orang itu
membunuh ayahmu."
Selesai berkata, tidak menanti
jawaban dari bocah itu lagi, dia segera berlalu dari situ, hanya dalam sekejap
mata saja baya-ngan tubuhnya sudah lenyap dari panda-ngan mata.
Lan See-giok agak terkejut
pula me-nyaksi-kan kelihaian ilmu meringankan tubuh yang dimiliki orang itu.
Setelah berpikir sejenak,
diapun terme-nung:
"Orang-orang itu semuanya
berilmu tinggi, untuk membalas dendam ... aaai tampaknya sulit melebihi mendaki
ke langit..."
Dengan sedih dia memandang ke
arah ayahnya sekali lagi, sementara air mata kem-bali jatuh bercucuran.
Pelan-pelan dia berjalan ke
sisi jenazah ayahnya, membungkukkan badannya dan bermaksud untuk membopong
tubuh ayah-nya.
Mendadak mencorong sinar tajam
dari balik matanya, dengan cepat dia berjongkok untuk memeriksa dengan lebih
seksama.
Ternyata ujung jari telunjuk
jenazah si Gurdi emas peluru perak Lan Khong tay se-dang menancap di atas
tanah, sementara di atasnya telah terukir sebuah goresan, entah goresan lukisan
atau tulisan . ..
Dengan cepat Lan See giok
menduga kalau goresan itu pasti dibuat oleh ayahnya menje-lang ajal merenggut nyawanya.
(Bersambung ke Bagian 03)