-------------------------------
----------------------------
Bagian 49
Suara tertawanya amat
mengerikan dan penuh diliputi kesedihan yang luar biasa, nada suaranya tak jauh
berbeda seperti suara tertawa Si to cinjin sebelum menemui ajalnya tadi.
Kemudian sambil menatap wajah
Lan See giok yang hijau membesi, ia berseru dengan penuh kebencian:
""Bocah keparat,
dalam hidupmu kali ini, jangan harap kau dapat bersua lagi dengan Cia Keng si
anjing tua itu..."
Baru berbicara sampai di situ.
Lan See giok sudah mendesak maju ke depan sambil membentak keras, sepasang telapak
tangan-nya yang telah disertai tenaga Hud-kong sinkang. langsung dihantamkan ke
depan dada makhluk tua itu.
Tenaga dalam yang dimiliki Lan
See-giok sekarang, pada hakekatnya masih lebih tinggi daripada gurunya sendiri,
bisa di bayangkan betapa dahsyatnya serangan yang dilancar-kan dengan segenap
kekuatan yang dimiliki-nya itu.
Begitu sepasang telapak
tangannya di dorong ke depan gejolak hawa murni di dalam pusarnya mengikuti
tenaga Hud kong sinkang yang penuh, serta merta meluncur keluar dari balik tangannya.
segumpal kabut putih yang
lamat-lamat disertai kilauan cahaya tajam dengan mem-bawa suara ledakan yang
keras menghantam ke tubuh musuh.
"Blaaammmm...."
Ditengah ledakan keras, batu
dan pasir beterbangan diangkasa. diantaranya terselip juga hancuran daging dan
darah.-.
Lam hay lokoay si manusia
iblis yang telah membunuh orang tanpa berkedip, kini telah menyusul Si to
cinjin kembali ke alam baka dan tak pernah akan mampu melaku-kan ke-jahatan
lagi.
Kawanan laki perempuan yang
berdiri di kejauhan sana. entah semenjak kapan telah mengundurkan diri sejauh
puluhan kaki dari posisi semula. wajah mereka memucat nyali mereka pecah. rasa
kaget dan terkesiap me-nyelimuti perasaan setiap orang.
Sesudah berhasil membunuh Lam
hay lo koay, tampaknya amarah yang berkobar dalam dada Lan See giok belum juga
mereda, dia berpaling. dilihatnya Siau cian dan Cay soat masih bertarung sengit
melawan Wan san popo, bahkan dengan jelas dia melihat kalau tenaga dalam yang
dimiliki Cay soat sudah tidak mampu menghadapi keadaan.
Maka dengan suara yang keras
dia mem-bentak,
"Kalian berdua segera
minggir---"
Didalam bentakan tersebut dia
melepaskan senjata gurdi emasnya yang melilit di ping-gang dengan sebuah
sentakan cepat. di antara cahaya emas yang berkilauan, senjata tersebut
tahu-tahu sudah disiapkan.
Bersamaan waktunya, Cay soat
dan Siau cian segera mengundurkan diri sejauh dua kaki dari tempat semula,
Wan san popo sudah melihat
dengan jelas akan kehebatan dari ilmu pedang Tong-kong-kiam hoat. dia hanya
bisa berta-han tak mampu melepaskan serangan bala-san. bila ingin meraih
kemenangan maka ia harus bertempur sampai lama hingga tenaga dalam yang mereka
miliki mulai tak sanggup menahan diri, ia baru manfaatkan kesem-patan tersebut
untuk melancarkan serangan.
Siapa tahu pada saat itulah
terdengar bentakan keras menggelegar diangkasa, ca-haya tujuh warna
segera-segera lenyap dan kedua orang gadis Itu mundur dari arena.
Dihadapannya kini berdiri si
pemuda ber-baju biru dengan hawa napsu membunuh menyelimuti seluruh wajahnya.
dia membawa sebuah senjata lunak berbentuk gurdi yang aneh sekali.
Melihat benda itu, mencorong
sinar terang dari balik mata Wan san popo. dia segera mendongakkan kepalanya
dan tertawa terge-lak:
"Haahhh... hahhh...
haahhhh.... aku me-ngira siapa, rupanya kau adalah anjing kecil anak si gurdi
emas peluru perak Lan Khong tay, tempo hari andaikata aku tidak berbaik hati
dengan melepaskan selembar nyawa an-jing Lan Khong tay. malam ini mana mungkin
kau Lan See giok si bocah keparat dapat munculkan diri?"
Dengan senjata terhunus
selangkah demi selangkah Lan See giok mendesak maju ke muka, mendengar
perkataan tersebut ia segera berkerut kening, kemudian tegurnya.
"Kau bilang dimasa lalu
kau pernah me-nyelamatkan selembar jiwa ayahku?"
Hu yong siancu tahu bahwa Lan
See giok adalah seorang pemuda yang berperasaan, andaikata Wan san popo pernah
menolong jiwa ayahnya, maka dia pasti tak akan ber-tindak secara kelewat batas
terhadap nenek iblis tersebut.
Tahu akan maksud lawan, dengan
suara dalam toh ia segera berseru keras.
"Anak Giok. kau jangan
percaya dengan ocehannya itu, selama hidup dia hanya tahu membunuh orang dan
belum pernah mengerti bagaimana caranya menolong orang.."
"Belum selesai upacara
tersebut diutarakan
sekali lagi Wan san popo telah
tertawa ter-gelak dengan suara yang tinggi melengking.
Haaaahh... haahhh....
Haaahhh.... benar, selama hidup belum pernah kubiarkan korbanku tetap berada
dalam keadaan hidup. tidak terkecuali pula pada malam ini ........
Lan See giok menjadi amat
gusar, kening nya berkerut lalu bentaknya keras-keras.
"Malam ini, kaupun jangan
harap bisa lolos dari kematian dalam keadaan mengerikan. "
Begitu selesai berkata ia
lantas menerjang ke muka, senjata gurdi emasnya digetarkan menciptakan selapis
cahaya keemasan yang menyilaukan mata, dengan kecepatan luar biasa cahaya itu
mengurung seluruh badan Wan-san popo,
Saat ini Wan san popo sudah
mengetahui secara pasti bahwa tenaga dalam yang di miliki Lan See giok sudah
mencapai tingka-tan yang luar biasa, sementara pembicaraan masih berlangsung
tadi, secara diam-diam hawa murninya telah dihimpun menjadi satu.
Diiringi gelak tertawa yang
menyeramkan. toya bajanya langsung menyapu ke depan diiringi desingan suara
yang sangat meme-kikkan telinga.
Lan See giok tertawa dingin,
tubuhnya melambung di tengah udara sementara gurdi emasnya diayunkan ke bawah
untuk melilit toya baja lawan bagaikan seutas tali.
Cahaya emas berkelebat lewat
dan segera membelenggu toya baja musuh.
Tubuh Lan See giok yang masih
di udara dengan cepat berubah diri dalam posisi kepala di bawah kaki diatas,
Mengikuti gerak toya dia berputar setengah lingkaran, kemu-dian sambil
membentak keras ujung baju kirinya dikebaskan ke depan kuat-kuat.
Segulung tenaga pukulan yang
maha dah-syat langsung menyerang wajah Wan san popo.
Tak terlukiskan rasa terkejut
Wan San popo menghadapi ancaman seperti ini, agaknya dia tak mengira datangnya
ancaman seperti tersebut, untuk menghindar sudah tak sempat lagi, sedang
membuang badan pun sudah terlambat, satu satunya jalan tinggal melepaskan toya
untuk menyelamat-kan diri...
Dalam gelisah dan cemasnya.
tangan kiri menggenggam toyanya kencang-kencang, sementara telapak tangan
kanannya diayun kan ke depan untuk menyongsong datangnya ancaman tersebut.
Blaaamm---!"
Ditengah benturan keras, Lan
See giok manfaatkan tenaga pantulan yang timbul akibat benturan tersebut untuk
meluncur ke bawah dalam bentakan yang keras, tangan kanannya digetarkan
keras-keras.
Tidak ampun lagi toya baja
yang berada dalam genggeman Wan san popo telah ter-lepas dari cekalan Wan san
popo menjerit kaget, tubuhnya cepat-cepat mundur sejauh lima kaki lebih,
Dengan gurdi emas terhunus Lan
See giok siap sedia melakukan pengejaran, tapi Hu yong siancu telah berseru
tiba-tiba.
"Anak Giok. berhenti!"
Ditengah bentakan tersebut, Hu
yong siancu segera terjun ke dalam arena dengan kecepatan luar biasa.
Baru saja Lan See giok berdiri
tegak, Hu yong siancu telah memberi hormat kepada Wan San popo sambil berkata.
"Cianpwe, harap kau sudi
memaklumi pe-rangai anak Giok yang terlalu menguatirkan keselamatan gurunya,
sehingga dia telah tu-run tangan secara gegabah, kuharap popo sudi memaafkan,
mohon sudilah kiranya popo menunjukkan dimanakah To Seng-cu locianpwe disekap,
agar boanpwe sekalian dapat pergi menjumpainya."
Mendengar perkataan ini sekali
lagi Wan san popo mendongakkan kepalanya sambil tertawa seram. dibalik suara
tertawa itu ter-kandung nada sedih yang tak kalah dengan kepedihan hati Si to
cinjin maupun Lam hay lo koay.
Tampaknya rombongan laki
perempuan yang berada puluhan kaki dari arena terse-but sudah mulai memahami
maksud keda-tangan Lan See giok sekalian, kembali mereka mendesak maju ke
depan, wajah mereka ada yang diliputi perasaan takut dan kaget. tapi ada pula
yang diliputi kemarahan.
Yang membuat mereka kaget dan
takut adalah kemampuan si anak muda berbaju biru itu, di samping mampu membunuh
Lam hay lo koay. diapun berhasil mengalahkan Wan san popo
Yang membuat mereka gusar atau
murung adalah rasa kuatir mereka atas kehadiran Hu yong siancu dan naga sakti
pembalik sungai sebagai guru anak-anak muda tersebut, kalau muridnya saja sudah
begini hebat, ba-gaimana pula dengan guru mereka? .
Dalam pada itu, Wan San popo
telah menghentikan gelak tertawanya, lalu serunya dengan perasaan benci:
"Cia Keng menganggap
dirinya agung dan suci, enggan mengotori diri dengan pertaru-ngan melawan kami,
dia lebih suka berdiam di pulau Ang sik to selama satu tahun lebih, apakah dia
masih hidup hingga kini aku tak tahu, lebih baik kalian pergi mencarinya
sendiri ....,."
Lan See giok, Cay soat serta
Siau thi gou yang mendengar perkataan tersebut, dalam hatinya merasa amat sedih
bagaikan disayat sayat dengan pisau, tanpa terasa serunya dengan air mata
bercucuran:-
"Bila suhuku sampai
mengalami sesuatu musibah, kau nenek siluman jangan harap bisa hidup
terus..:."
Belum selesai ketiga prang itu
berbicara sekali lagi Wan san popo telah tertawa seram:
"Haaahhh...
haaahhh...haahhh..b..tahun lalu akju pernah berkatga kepada Cia Kebng, asal apa
yang dibilang sebagai pimpinan dunia persilatan mendatang telah kemari dan
mampu menghadapi seratus jurus ilmu toyaku, maka aku akan segera mengakhiri
hidupku di dunia ini dan tak perlu kalian re-pot-repot untuk membereskan diriku
lagi ........
Berbicara sampai di sini,
telapak tangan kanannya segera diayunkan untuk menghantam ubun-ubun sendiri:
Hu yong siancu sangat
terperanjat, buru-buru teriaknya:
"Popo, tunggu dulu!"
Lan See giok tahu bahwa
bibinya belum selesai berbicara, cepat-cepat dia menyentil-kan kelima jari
tangannya ke depan untuk menotok jalan darah Ci ti hiat di tubuh Wan san popo
.......
"Sayang sekali keadaan
sudah terlambat...
Praaakkk .......
Cairan darah dan isi benak
bertebaran ke-mana mana, seorang jagoan yang sudah ba-nyak tahun menjagoi dunia
persilatan dan termasyhur sebagai nenek iblis yang suka membunuh dan kemudian
tinggal di pula Wan San selama puluhan tahun ini telah mengakhiri kehidupannya
yang penuh de-ngan dosa.
Gi Hui hong serta Huan Giok
lien segera berteriak memanggil gurunya, cepat mereka menubruk ke atas jenasah
Wan san popo.
Sebaliknya Hu yong siancu
menghela na-pas sedih, setelah memandang sekejap ke arah jenasah Wan san popo
sambil mengge-lengkan kepalanya berulang kali, dia berpa-ling ke arah naga
sakti pembalik sungai sam-bil ujarnya:
"Lo enghiong, setengah
tahun berselang pernahkah kau perhatikan pulau Ang sik to tersebut?"
"Sebelah utara kepulauan
ini rasanya me-mang terdapat puluhan buah pulau berbatu merah," jawab naga
sakti pembalik sungai dengan kening berkerut, "tapi aku tidak tahu di
pulau yang manakah Cia locianpwe disekap, hal ini perlu kita tanyakan sampai
jelas..."
Belum selesai dia berkata, Cay
spat telah mendengus marah sambil berseru:
"sekarang, masih ada
siapa lagi yang tak mau memberitahukan soal ini...."
Hu Yong siancu dan naga sakti
bpembalik sungaij sama-sama termgenung, sementarba sorot mata mereka pun,
dialihkan ke wajah Gi-Hui hong yang sedang menangis menge-rang di sisi jenasah
gurunya.
Dengan kening berkerut Lan See
giok ber-seru kemudian dengan suara penuh amarah:
"Kenapa mesti memohon
bantuan mereka, biarpun bukit golok hutan pedang, apa pula yang mesti kita
takuti...?"
Belum selesai ia berkata, si
bocah perem-puan berbaju hijau yang sedang menangis tersedu itu sudah melompat
bangun, kemu-dian berteriak keras:
"Percuma kalian pergi ke
sana,, Cia lo cianpwe sudah lama mati kelaparan."
Mendengar jawaban ini, Hu yong
siancu sekalian menjerit kaget dan segera berdiri tertegun.
Dalam pada itu sebagian besar
dari ka-wanan laki perempuan yang berdiri di luar arena telah mengurung Hu yong
siancu sekalian, walaupun wajah mereka dicekam perasaan sedih dan duka, namun
tak seorang pun yang maju ke depan untuk menangisi jenasah tersebut.
Hal ini menunjukkan dengan
jelas bahwa mereka hanya jago-jago lihay yang ditugas-kan untuk menjaga istana
Tiang siu kiong dan sama sekali bukan murid dari ke tiga manusia aneh tersebut.
Setelah tertegun beberapa
saat, Hu yong siancu baru bertanya dengan gelisah:
"Adik cilik, darimana kau
bisa tahu?"
Gi Hui hong merasa amat kalut
pikirannya waktu itu, dia segera menyahut:
"Semula suhu sekalian
berjanji akan me-ngirim beras setiap bulannya untuk Cia lo cianpwe, tapi selama
ini suhu bertiga tak pernah mengirim orang untuk mewujudkan janji itu."
Pucat pias selembar wajah Lan
See giok sekalian saking kagetnya, kembali mereka berseru:
""Darimana kau bisa
tahu?"
Sambil menuding Wan san popo
yang ter-geletak di atas tanah, Gi Hui hong berkata.
Dua orang kakek dan suhu
bertiga, me-ngajakku untuk menghantar Cia locianpwe menuju ke pulau tersebut,
dalam perjalanan kembali tiba-tiba saja empek Lam hay dan suhu membinasakan
kedua orang kakek yang kami ajak serta dalam perjalanan terse-but kemudian
mayatnya dibuang ke dalam laut."
Baru selesai perkataan itu
diutarakan, ka-wanan laki perempuan yang mengepung sekeliling arena telah
menrjerit kaget kemzu-dian saling bwerpandangan denrgan penuh tanda tanya.
Dengan sekujur tubuh gemetar
keras, Lan See giok berkata sambil menahan bencinya:
"Kalau begitu ke tiga
manusia aneh sudah berniat untuk membunuh suhu secara pelan-pelan, nyatanya
mereka benar-benar terma-suk manusia berhati bisa yang paling kejam dan manusia
yang paling takkan menepati janji di dunia ini..:"
Tiba-tiba satu ingatan
melintas dalam benak Hu yong siancu, sambil berusaha mengendalikan rasa sedih
dan gelisahnya, dia menengok bocah perempuan itu, dan bertanya dengan lembut:
"Adik cilik, menurut pandanganmu, benarkah, tindakan yang te-lah dilakukan
empek Lam hay mu sekalian"
Dengan pandangan agak takut Gi
Hui hong melirik sekejap ke arah ,jenasah Wan san popo yang tergeletak di
tanah, jelas dalam hati kecilnya dia sudah merasa tak puas ter-hadap segala
perbuatan yang telah dilakukan suhu serta empek Lam hay nya.
Ketika ia mendongakkan
kepalanya me-mandang Hu yong siancu, air mata telah ber-cucuran amat deras
membasahi wajah nya, kembali dia berkata:
"Cia locianpwe adalah
orang yang amat baik, dalam tiga hari kehadirannya di sini, dia seringkali
memberi petunjuk ilmu pedang kepadaku..."
Satu ingatan segera melintas
dalam benak Lan See giok, dengan wajah gelisah namun dengan nada lembut kembali
tanyanya:
"Adik cilik, tahukah kau
Cia locianpwe berada di pulau yang mana?"
nona cilik berbaju hijau itu
segera me-ngangguk berulang kali: "Yaa, aku tahu..."
Belum habis ucapan tersebut
diutarakan, mendadak dari antara rombongan manusia yang berkumpul di sekitar
arena, kedengaran seorang lelaki beralis-mata tebal mendehem dengan suara
dalam.
Mendengar suara deheman
tersebut, paras muka si nona cilik berbaju hijau itu segera berubah hebat,
dengan ketakutan dia menghentikan pembicaraannya dengan cepat.
Lan See giok gusar sekali,
sambil mende-ngus telapak tangannya diayunkan ke depan sambil melepaskan sebuah
sentilan jari kearah orang tersebut.
Tahu-tahu lelaki beralis mata
tebal itu menjerit kesakitan, sambil menutupi wajah-nya dengan kedua belah
tangan ia roboh terjungkal ke atas tanah, darah segar bercu-curan keluar dengan
derasnya dari sela jari-jari tangannya.
Huan Giok lien yang selama ini
hanya menangisi jenasah Wan San popo tanpa mendongakkan kepalanya, saat ini
berpaling dan memandang pula kearah lelaki yang te-lah tewas itu sekejap, namun
dia tidak mem-perlihatkan reaksi apapun, bahkan mengu-capkan sepatah katapun
tidak .....
Melihat keadaan demikian ini,
Hu yong siancu tahu bertanya lagi kepada si nona berbaju hijau itupun percuma
sebab bocah itu tak akan berbicara lagi, maka sambil ber-paling ke arah Lan See
giok sekalian dia ber-seru:
"Ayo berangkat, mari kita
pergi mencari sendiri!"
ooo0ooo
BAB 38
DALAM hati kecilnya Lan See
giok benar-benar amat membenci lelaki beralis mata te-bal itu, andaikata tiada
peringatan darinya, nona cilik berbaju hijau itu niscaya sudah mengatakan
semuanya kepada mereka.
Sementara itu Hu yong siancu
berpendapat andaikata mereka gagal menemukan pulau batu merah yang digunakan
untuk menyekap To Seng cu, bisa jadi mereka akan datang kembali untuk minta
pertolongan Gi Hui hong, maka dengan ramah ditatapnya Huan Giok lien serta Gi
Hui hong, kemudian ujar nya:
"Nona Lien, adik cilik,
selamat tinggal jika kebetulan datang ke daratan Tionggoan, si-lahkan mampir ke
rumahku di tepi telaga Phoa yang"
Huan Giok lien dan Gi Hui hong
tak bisa berkata apa-apa, mereka segera bangkit ber-diri dan mengangguk
berulang kali:
Makba Hu yong siancju dan Lan
See ggiok sekalian sebgera mengerahkan ilmu meri-ngankan tubuh masing-masing
dan melun-cur ke arah mana mereka datang semula.
Perasaan mereka berenam waktu
itu sa-ngat berat, mereka tak menyangka sama sekali kalau tiga manusia aneh
dari luar lautan adalah manusia-manusia busuk yang ingkar janji.
Kini mereka sudah mati semua,
tapi di di-bandingkan dengan dosa yang pernah diper-buat, kematian mereka
sungguh kelewat keenakan ...
Tiba di pantai, mereka berenam
segera kembali ke atas perahu dan didayung oleh Cay soat serta Siau cian,
mereka berangkat kembali menuju ke perahu keraton.
Waktu itu fajar telah mulai
menyingsing, saat semacam ini merupakan saat air laut sedang pasang, angin
berhembus kencang dan ombak menggulung amat besar, sampan tersebut segera oleng
dan goncang hebat.
Sambil menghela napas panjang
Naga sakti pembalik sungai segera berkata memecahkan keheningan:
"Tampaknya Cia locianpwe
lebih banyak terancam bahaya daripada selamat."
Mendengar perkataan ini, Lan
See giok, Cay soat dan Siau thi gou tak dapat menahan rasa sedihnya lagi,
mereka sama-sama menangis sedih.
Walaupun Hu yong siancupun
berperasaan demikian, tapi ia toh menghibur juga:
"Tenaga dalam yang
dimiliki Cia locianpwe amat sempurna, biarpun saban bulan cuma minum air dan
makan buah liar, ia masih sanggup untuk melanjutkan hidupnya, malah kadangkala
bila ia sedang bersemedi, maka selama berbulan bulan lamanya dia tak pernah
makan, sekalipun dalam setahun ini ke tiga manusia aneh tersebut tak pernah
mengirim makanan, aku pikir dengan ke-mampuan yang dimiliki Cia locianpwe,
hidup selamat selama setahun pasti bukan masalah baginya."
Naga sakti pembalik sungai
merasa perka-taan ini ada benarnya juga, ia segera mang-gut-manggut berulang
kali.
Tiba kembali di perahu
keraton, ke enam orang itu segera melompat naik ke atas kapal dan memerintahkan
kepada ke empat ko-mandan agar mengumpulkan segenap kapal perang di lautan
sebelah timur laut, kembu-dian perahu kjeraton pun segegra berlayar.
Kbetika Hu yong siancu
sekalian masuk kembali ke dalam ruangan, para dayang telah mempersiapkan
sarapan yang amat lezat.
Dari luar perahu kedengaran
suara benta-kan-bentakan nyaring disusul jangkar dan layar dinaikkan,
pelan-pelan kapal besar itu mulai bergerak.
Dari kejauhan sana kedengaran suara
terompet dibunyikan orang, kemudian segenap kapal perang mulai bergerak menuju
ke utara .......
Hu yong siancu dan Lan See
giok sekalian buru-buru bersantap, kemudian mereka mengambil peta laut dan
mulai meneliti posisi dari kepulauan yang terletak di sebelah timur laut.
Tapi apa yang kemudian
terlihat membuat ke enam orang itu jadi tertegun, sebab di situ tercantum ada
sembilan belas buah pulau di timur laut yang berbatu merah, air yang mengalir
di situ berwarna hitam, tanahnya gundul dan gersang, tiada burung tiada
tum-buhan bahkan udang dan ikanpun tak ada, menurut catatan arus yang beredar
di situ amat deras sehingga mengancam ke selama-tan setiap pelayaran....
Selesai melihat hal ini,
dengan gelisah Lan See giok segera berseru.
"Bagaimana baiknya
sekarang ....?"
Pelan-pelan Hu yong siancu
meletakkan kembali peta laut itu ke meja, kemudian menjawab.
"Yang penting bagi kita
sekarang adalah meninjau dulu keadaan situasinya, kemudian baru mengambil
keputusan,"
Selesai berkata dia lantas
bangkit berdiri dan menuju keluar ruangan diikuti yang lain.
Waktu itu matahari sudah
terbit, cahaya keemas emasan memancar di seluruh ang-kasa sinar keemas emasan
memancar di samudra luas memantulkan cahaya yang menyilaukan mata.
Tiga buah layar telah
dinaikkan pada perahu tersebut, gerakan kapalpun makin cepat, dikejauhan sana
nampak semua kapal perang sedang berkumpul.
Nun jauh di depan sana mereka
pun me-nyaksikan belasan buah pulau kecil tersebar di balik lautan, di bawah
pantulan cahaya matahari, pulau-pulau tersebut kelihatan seperti kobaran api
yang sedang membara.
Jam tujuh sudah lewat, sinar
keemas emasan di permukaan laut telah mereda, ra-tusan buah kapal perang darri
Wi lim poo dzengan posisi huwruf delapan mulrai bergerak ke depan lalu
mengurung ke sembilan belas pulau batu merah itu.
Keadaan di sekitar pulau ini
memang keli-hatan aneh, air laut yang berwarna hijau dengan buih putih,
ternyata berubah menjadi hitam ketika mengalir lewat sisi pulau terse-but,
semakin ke arah timur laut, air tersebut berubah semakin gelap dan kental,
barulah setelah melalui kepulauan tadi, air laut kem-bali berubah menjadi
hijau.
Yang lebih hebat lagi adalah
keadaan dari ke sembilan belas buah pulau itu, semuanya gundul dan gersang,
tiada tumbuhan tiada pepohonan, apalagi burung yang beterba-ngan.
Dari setiap pulau yang
tersebut, diantara nya terdapat sebuah pulau batu merah yang panjangnya
mencapai tiga li dengan lebar setengah li.
Perahu keraton membuang sauh,
setengah li dari jarak kepulauan batu merah, ke empat komandan kapal segera
berdatangan semua dengan menggunakan sampan kecil.`
Ketika mereka berempat
menyaksikan Lan See giok sekalian berdiri dengan kening berk-erut dan wajah
sedih. maka setelah memberi hormat mereka hanya berdiri di sisi arena tanpa
banyak berbicara.
Menggunakan kesempatan
tersebut, si naga Sakti pembalik sungai segera menyam-paikan kisah pengalaman
mereka dalam bertarung melawan tiga manusia aneh terse-but.
Ketika empat orang komandan
tersebut mendengar kalau tiga manusia aneh dari luar lautan telah tewas semua,
paras muka mereka segera berubah hebat.
Kemudian naga Sakti pembalik
sungai menjelaskan pula bahwa To Seng cu telah disekap ke tiga manusia aneh itu
di dalam pulau batu merah yang terdiri dari sembilan belas buah tersebut, Sekalian
dia menjelas-kan pula keadaan kepulauan tersebut.
Akhirnya dengan nada memohon
ia berta-nya:
"Dengan pengalaman kalian
berempat se-lama banyak tahun diatas air, berdasarkan keterangan yang kuucapkan
barusan, dengan cara apakah kami harus mendarat di pulau batu merah itu?"
Ke empat orang komandan itu
segera ber-kerut kening, kemudian komandan Ciang dari pasukan naga perkasa
bertanya dengan tidak mengerti.
"Pulau manakah yang harus
kita periksa dulu?".
"Kita periksa dulu pulau
yang terbesar" sela Lan See giok segera.
Komandan Nyoo dari pasukan
macan kumbang hitam segera menyahut dengan suara keras.
"Itu mah gampang sekali,
kita berlayar dulu sampai di sisi arus laut yang sangat deras di luar pulau
tersebut kemudian kita lepaskan sebuah sampan kosong sebagai percobaan,
kemudian kita baru mendaratkan orang dengan mempergunakan sampan kecil...
Mendengar keterangan itu,
semua orang segera manggut-manggut dan merasa bahwa cara tersebut memang
merupakan cara yang paling baik.
Dari atas puluhan buah kapal
besar, ke empat komandan Itu segera memilih enam orang ahli memegang kemudi
untuk turut berlayar, kemudian menurunkan pula enam buah sampan kecil.
Maka kapal keratonpun
pelan-pelan berge-rak menuju ke luar arus laut yang amat deras itu.
Waktu itu, meski ombak amat
besar na-mun angin sudah lebih lembut, dari keja-uhan memandang, arus laut yang
amat deras di barat daya itu kelihatan memanjang bagai-kan sebuah jalan raya
yang lebar.
Akhirnya kapal keraton itu
membuang sauh pada jarak belasan kaki dari arus laut tersebut, Hu yong siancu
sekalian masih saja berdiri di ujung geladak dengan kening ber-kerut, mereka
mengawasi pulau besar di de-pan situ dengan perasaan kalut.
Tak lama kemudian enam buah
sampan telah meluncur ke depan, mula-mula mereka melepaskan dulu dua buah
sampan kosong menuju ke area arus laut yang deras tadi, kemudian mendorongnya
ke depan, Oleh dorongan dari kedua lelaki kekar di sampan lain, sampan tersebut
segera meluncur ke arah arus laut yang amat deras tadi.. Hingga mencapai sisi
arus laut yang deras itu, sam-pan tadi masih bergerak tidak terlampau ce-pat,
tapi lambat laun gerakannya semakin bertambah cbepat dan akhirnjya bagaikan
anagk panah yang tebrlepas dari busurnya sampan itu meluncur kearah gulungan
om-bak berwarna hitam tersebut.
"Blaaammm!" Diiringi
benturan keras, sampan tersebut sudah dilemparkan ombak ke udara dan hancur
berantakan.
Hu yong siancu sekalian segera
berkerut kening setelah menyaksikan kejadian ini, se-dangkan ke enam lelaki
yang bertugas sama-sama berubah wajahnya.
Sebaliknya komandan Nyoo
segera mende-lik kearah ke enam orang lelaki kekar itu sambil membentak marah:
"Manusia yang tak berguna, para pelaut dari Wan san mampu mendayung sampan
mendekati pulau terse-but, apakah kalian sama sekali tidak berke-mampuan?
Jangan lupa, kalian adalah pen-dayung-pendayung andalan dari Wi lim Poo."
Oleh bentakan tersebut, ke
enam orang le-laki kekar itu memperoleh kembali kebera-nian mereka, rasa takut
dan ngeri yang se-mula mencekam perasaan, kini sudah hilang lenyap tak
berbekas.
Melihat bentakannya berhasil
memulihkan kembali semangat anak buahnya, komandan Nyoo segera berteriak lagi:
"Tio Ji hay, kau maju lebih dulu!"
Sampan kecil yang berada
ditengah dengan seorang lelaki kekar di atasnya segera me-nyahut, dengan
memegang kencang sepasang dayungnya dia siap untuk berangkat, namun keraguan
sempat menghiasi wajahnya ...
Dengan suara lantang Komandan
Nyoo berteriak:
`Bila bertemu ombak miringkan
sampan, bertemu karang putar kemudi, bila merasa terseret arus laut, putarkan
badan dengan kencang Tio Ji hay, jangan lupa, segenap saudara yang berada di
atas kapal sedang memperhatikan dirimu dari kejauhan."
Baru selesai perkataan
tersebut diutarakan sampan kecil Tio Ji hay telah meluncur ke arah depan....
Lan See giok sekalian
membelalakkan ma-tanya lebar-lebar sambil mengawasi sampan kecil yang
dikemudikan Tio Ji hay itu tanpa berkedip.
Sementara itu sampan telah
melesat ke de-pan dengan cepat, Tio Ji hay segera mengen-cangkan genggamannya
pada dayung tutupb mulutnya rapatj-rapat dan menggawasi kepu-lauabn di
hadapannya dengan mata melotot besar.
Tatkala mendekati gelombang
laut berwar-na hitam itu mendadak sampan meluncur ke depan dengan kecepatan
makin tinggi, dan secepat kilat meluncur ke balik gulungan ombak hitam
tersebut.
Hu yong siancu dan Lan See
giok sekalian segera mengepal tinju masing-masing dengan kencang, peluh dingin
membasahi tubuh setiap orang hampir semuanya menguatirkan keselamatan jiwa Tio
Ji hay tersebut.....
Dalam pada itu, sampan kecil
Tio Ji hay telah mulai menerobos karang-karang tajam itu sambil meluncur terus
ke depan sana, dalam waktu singkat dia telah berhasil melampaui empat buah
pulau karang yang amat berbahaya, asal maju seratus kaki lagi maka dia akan
tiba di pulau batu merah.
Mendadak diantara
gulungan-gulungan ombak, muncul pula segulung ombak raksa-sa yang segera
menyapu sampan Tio Ji hay.
Semua orang yang menyaksikan
peristiwa tersebut menjadi terperanjat, paras muka mereka berubah hebat, hampir
semuanya menjerit kaget.
Ketika ombak raksasa itu
menyapu tiba, sampan Tio Ji hay segera terhisap sehingga meluncur ke depan
dengan kecepatan yang sukar dikendalikan lagi.
Dengan hati gelisah naga sakti
pembalik sungai segera menghimpun tenaga dalamnya dan berteriak keras.
"Lurus ke kiri putar ke
kanan, miringkan posisi kapal ke arah kanan..."
Sayang sekali sebelum teriakan
itu di laksanakan, kapal kecil itu sudah terlempar ke atas sebuah pulau
karang...
"Blaammm .... "
Sampan tersebut hancur
berantakan seke-tika, sedang bayangan tubuh Tio Ji hay hi-lang lenyap tak
berbekas.
Peristiwa ini berlangsung amat
cepat, se-mua orang sama-sama terbelalak dengan perasaan amat sedih, Siau cian
dari Cay soat pun merasa pedih sekali atas nasib tragis yang telah menimpa Tio
Ji hay, tanrpa terasa titikz air mata jatuhw bercucuran.
Dri pihak lain, Komandan Nyoo
telah me-nengok sekejap ke arah lima orang lelaki kekar di belakangnya,
kemudian ia berseru:
"Thio Lip heng..."
Seseorang menyahut dengan
keras, kemu-dian sebuah sampan meluncur kembali ke arah arus laut yang sangat
deras itu.
Lan See giok segera berkerut
kening, men-dadak bentaknya dengan suara keras:
"Kembali!"
Mendengar perintah ini, Thio
Lip heng. segera memutar kemudi dan mendayung kembali sampan tersebut,
Seruan ini tibanya sangat
mendadak, serta merta ke empat komandan kapal menengok ke arah Lan See giok
dengan pandangan ti-dak habis mengerti.
Dengan suara dalam Lan See
giok segera berseru:
"Tio Ji hay tadi bukannya
tak sempurna dalam ilmu kemudi perahu, melainkan tenaga dalamnya tak sempurna
sehingga ke-kuatannya untuk mengendalikan kemudi tak sesuai dengan kehendak
hati."
Hu Yong siancu serta naga
sakti pembalik sungai serentak manggut-manggut membe-narkan.
Dengan kening berkerut
komandan Nyoo lantas berseru:
"Kalau memang begitu,
biar hamba saja yang mencoba sendiri.."
Sambil berkata dia melepaskan
senjata an-dalannya dan diletakkan di atas kapal.
"Tunggu dulu,"
tiba-tiba naga sakti pemba-lik sungai mencegah, "lebih baik biar aku saja
yang pergi mencoba.
Hu Yong siancu juga merasa
kalau Naga sakti pembalik sungai yang lebih tepat untuk mencoba, bukan saja
tenaga dalam yang di-milikinya amat sempurna, diapun sangat pandai dalam
mengendalikan sampan, karena itu dia mengangguk menyatakan per-setujuannya:
"Yaa, memang paling baik
jika Thio lo eng-hiong yang pergi mencoba sendiri...",
Tiba-tiba satu ingatan
melintas dalam benak Lan See giok, serunya kemudian:-
"Bibi, setelah pelajaran
dari musibah yang menimpa Tio Ji hay, aku yakin dengan tenaga dalam serta
pengalaman yang dimiliki Thio Loko, kami pasti akan berhasil mencapai tempat
tujuan, karenanya anak Giok ingin pergi bersama sama Thio loko."
Hu yong siancu ragu sejenak,
akhirnya dia mengangguk.
"Baiklah, cuma kau mesti
berhati hati!"
Siau cian dan Cay soat yang
mendengar ucapan tersebut, wajahnya berubah sangat hebat, mereka meminta agar
diijinkan untuk turut serta, demikian pula dengan Siau thi gou.
Hu yong siancu tahu, bukan
saja mereka menguatirkan keselamatan jiwa To Seng cu, yang pasti mereka lebih
menguatirkan kese-lamatan jiwa Lan See giok, akan tetapi tanpa ragu permintaan
mereka bertiga segera di-tampik.
Sebab menurut rencananya,
apabila naga "Sakti pembalik sungai serta Lan See giok mengalami kegagalan
dan tenggelam ke laut, maka dia dan Siau cian akan mencoba sekali lagi.
Dalam pada itu, Lan See giok
dan naga sakti pembalik sungai telah melayang turun ke atas sebuah sampan.
Lan See giok duduk bersila
ditengah sam-pan dengan memegang dayung kiri dan kanan, sebaliknya naga sakti
pembalik su-ngai duduk di buritan dengan mengendalikan kemudi, dalam sebuah
hentakkan keras, sampan meluncur ke depan dengan cepat.
Ketika memasuki daerah arus
laut yang deras, sampan tersebut segera meluncur dengan kecepatan tinggi ....
Lan See giok mengawasi
gulungan ombak hitam berapa puluh kaki di depan sana, ke-mudian serunya
tiba-tiba Kepada naga sakti pembalik sungai yang berada
belakangnya: "Thio loko,
kau gunakan tenagamu untuk mendayung, sedang siaute akan melepaskan pukulan
untuk mendorong ke depan, coba kita lihat apakah dengan cara ini kecepatan
luncur sampan dapat diku-rangi."
Naga Sakti pembalik sungai
segera mem-beri persetujuannya, dengan cepat dia melak-sanakan apa yang
diucapkan pemuda tadib, sementara Lanj See giok melongtarkan puku-lanbnya ke
depan. Di tengah percikan bunga air yang memancar ke tengah udara daya luncur
sampan itu segera terhambat dan menjadi jauh lebih lambat ......
Menyaksikan kejadian ini,
semua orang yang berada diatas kapal keraton maupun kapal perang lainnya sama
lama bersuara memuji.
Hu yong siancu, Cay soat dan
Siau cian sekalian yang melihat kejadian ini, tanpa terasa mereka sama-sama
mengendorkan pikiran yang dicekam ketegangan.
Ketika Lan See giok dan naga
Sakti pem-balik sungai menarik kembali tenaga dalam mereka, sampan tersebut
meluncur kembali ke depan dengan kecepatan tinggi: "Srreet...l"
sampan itu terlempar ke udara dan kemu-dian jatuh kembali ke bawah.
Dengan disertai goncangan yang
luar biasa sampan itu terombang ambing diantara per-mainan ombak dahsyat di
sela-sela batu karang, keadaannya berbahaya sekali.
Untung saja Naga sakti
pembalik sungai amat pandai mengendalikan sampan, di tam-bah pula Lan See giok
menggunakan tenaga dalamnya untuk menghambat kecepatan ka-pal, karenanya bagian
yang paling berbahaya berhasil mereka lalui.
Pulau batu merah yang berada
di depan sana, makin lama semakin mendekat ....
Lan See giok merasa pulau itu
merah membara seperti api, sedang sekelilingnya merupakan tebing karang yang
curam dan amat tajam, gulungan air laut dan arus yang deras makin lama semakin
menghebat ......
Sampan kecil yang sedang
meluncur ke muka bagaikan terbang itu mendadak mem-buat belokan tajam sehingga
menyongsong datangnya segulung ombak yang maha dahsyat...
Mendadak dari belakang bergema
suara bentakan keras.
"Naik..."
Di tengah bentakan, sampan
kembali membuat belokan tajam menyusul kemudian, meluncur ke depan dengan
mengambil posisi sejajar dengan pantai...
Lan See giok tak berani
berayal lagi, mendengar seruan mana sepasang telapak tangan nya ditekan ke atas
sampan lalu tubuhnya melejit ke tengah udara dan mela-yang ke atas sebuah
tebing batu merah di pantai pulau tersebut.
Mendadak terdengar Naga sakti
bpembalik sungaij berteriak lagig dengan suara kberas.
"Gunakan pekikan panjang
sebagai tanda, nanti aku datang menjemputmu lagi..."
Lan See giok mengebaskan ujung
bajunya dan melayang turun ke atas tebing yang lain.
Menanti dia berpaling kembali
sampan yang dikendalikan naga sakti Pembalik su-ngai telah meluncur ke lautan
sebelah timur laut dengan kecepatan bagaikan anak panah yang terlepas dari
busurnya dalam sekejap mata dia sudah berada dalam enam puluh kaki dari posisi
semula.
Memandang pula ke tempat
kejauhan sana tampak ratusan buah perahu berkumpul di antara kepulauan yang
menyebar sepanjang ujung langit, Siau cian, Cay soat dan Siau thi gou yang
berada di atas kapal keraton sedang menggapai ke arahnya.
Keberhasilannya tiba di pulau
batu merah membuat pemuda tersebut selain bersyukur dan gembira, diapun
gelisah, tak tenang di samping sedih dan takut.
Ia merasa keberhasilannya
mencapai pulau batu merah merupakan suatu pekerjaan yang sangat tidak mudah,
tapi diapun tidak tahu apakah gurunya masih hidup di dunia ini atau bagaimana
caranya ia menemukan orang tua tersebut.
Maka setelah balas mengulapkan
tangan ke arah Siau cian sekalian, dia membalikkan badan dan berlarian menuju
ke tengah pu-lau.
Sepanjang jalan dia merasa
bahwa pulau batu merah memang berbentuk sangat aneh, daerah seluas berapa li
itu tidak ditumbuhi sama sekali oleh pepohonan ataupun rum-put, segala
sesuatunya hanya terdiri dari batuan berwarna merah menyala.
Setelah bergerak maju lagi ke
depan, ia menangkap suara deburan ombak yang me-mekikkan telinga, dengan
perasaan terkejut Lan See giok segera menghentikan langkah-nya sambil memasang
telinga dengan seksa-ma, dia merasa suara itu seperti bukan berasal dari
lautan, melainkan datang dari tengah pulau ini.
Maka dengan mengerahkan ilmu
meri-ngankan tubuhnya dia bergerak menuju ke arah mana berasalnya suara tadi.
Ketika tiba di bagian pulau
yang paling tinggi, ia saksikan setengah li di depan sana seperti terdapat
sebuah lembah bukit yang besar, dari sanalah deburan ombak yang amat besar itu
berasal.
Setelrah mendekati tezmpat
tadi, dia wbaru tahu bahwar tempat tersebut merupakan se-buah telaga yang besar
dengan air berwarna hitam yang menggulung gulung, tampaknya saja seperti mau
meluap dan menggenangi permukaan pulau.
Tak terlukiskan rasa terkejut
Lan See giok menyaksikan kejadian ini, seandainya air hitam tersebut
benar-benar meluap, niscaya diapun akan terseret ke dalam samudra luas, Lan See
giok tak ingin menyaksikan keadaan yang mengerikan itu lebih jauh, dengan cepat
pemuda itu bergerak menuju kearah utara, dia berharap bisa menemukan tempat
yang berpepohonan.
Tapi, biarpun sebagian besar
pulau terse-but telah dijelajahi, namun tak sepotong tumbuhanpun yang
ditemukan.
Melihat kejadian seperti ini,
membayang kan pula kalau suhunya sudah satu tahun tidak diberi kiriman rangsum,
pemuda ini semakin pesimis atas keselamatan gurunya, teringat akan hal yang
memedihkan hatinya, tak kuasa lagi pemuda itu menangis tersedu sambil berseru:
"Suhu...oooh suhu....anak
Giok datang. menjemputmu...."
Tapi selain suara deburan
ombak yang mengerikan itu, tiada kedengaran suara lain diatas pulau tersebut.
Mendadak ....
Suara helaan napas panjang
yang entah darimana datangnya lamat-lamat bergema di udara, Lan See giok amat
terperanjat, tanpa terasa dia membelalakkan matanya lebar-le-bar sambil
mendengarkan dengan seksama, namun suara tersebut tidak kedengaran lagi.
Diam-diam pemuda tersebut
berseru kehe-ranan jangan lagi helaan napas. Biar daun yang rontok pada jarak
sepuluh kaki pun dia masih dapat membedakan dengan jelas, apalagi suara helaan
napas?
Pemuda itu yakin tak salah
mendengar, tanpa terasa dengan menghimpun tenaga dalamnya ia berseru lagi:
"Suhu, anak Giok datang
menjemput kau orang tua..."
Teriakan itu sangat keras dan
membum-bung sampai ke balik awan sana rasanya....
Baru selesai dia berteriak.
tiba-tiba terde-ngar seseorang berseru dengan suara lembut tapi penuh
kegembiraan,
"Anak Giok kah di
sana?"
Kejut dan gembira melampaui
batas seke-tika membuat Lan See giok tertegun, helaan napas tersebut tak
disangka menghasilkan seruan yang amat dikenal olehnya, maka setelah berhasil
menguasai diri. dengan perasaan gembira ia berteriak lagi:
(Bersambung ke Bagian 50)