Anak Harimau Bagian 18

Baca Cersil Mandarin Online: Anak Harimau Bagian 18

Bagian 18

"Suhu, ketika kau ke luar dari gua, sudah pasti pintu depan lupa kau tutup kembali?"

"Benar"! To seng cu segera mengangguk, waktu itu aku memang kelewat gegabah, menanti aku tiba kembali di gua, baru ku-jumpai kotak kecil di atas meja telah lenyap. segera aku sadar bahwa kotak itu tercuri, dengan perasaan gelisah akupun segera menyusul ke luar lembah."

Berbicara sampai di situ dia, memandang sekejap ke arah Lan See giok yang sedang mendengarkan dengan seksama, kemudian baru lanjutnya lebih jauh.

"Sewaktu aku mengejar sampai di luar hutan tho, Hu-yong siancu belum pergi, tapi di sisinya telah bertambah seseorang, orang itu tak lain adalah ayahmu. si peluru perak gurdi emas Lan Khong-tay."

Berhubung To seng cu bercerita sambil menengok ke arahnya, Lan See giok sudah memahami maksud gurunya, itulah sebab-nya ia tidak merasa keheranan ketika ayah-nya disinggung:

"Waktu itu aku paling mencurigai ayahmu, tapi setelah mendengar perkenalan dari Hu-yong siancu, barulah kuketahui kalau ayahmu adalah Lan tayhiap yang termasyhur namanya dalam dunia persilatan, karena itu rasa curigaku segera lenyap. Atas perta-nyaanku, baru kuketahui ayahmu telah ber-jumpa dengan Pek-ho-caycu si toya guntur Gui Pak-cian, serta Wi-lim pocu Oh Tin-san di mulut lembah.

"Kedua orang itu merupakan pentolan kaum hitam yang termasyhur sekali."

"Kemunculan mereka di bukit Hoa San segera menimbulkan kecurigaanku, segera kukejar mereka ke luar lembah, sedang ayahmu serta Hu-yong siancu juga menyusul di belakangku.

Setelah mengejar melampaui dua buah puncak bukit, diantara hutan bambu dan pohon siong kulihat ada lima sosok bayang-an manusia sedang kabur ke luar bukit. Aku pun segera mengeluarkan ilmu berjalan ter-bang menempel angin untuk menyusul di belakang mereka.

"Sampai aku sudah berada di belakangnya, kelima orang itu baru merasakan kehadiran-ku, saat itu juga mereka kabur terbirit -birit ke empat penjuru.

"Dalam keadaan begini, mustahil bagiku untuk mengejar mereka satu persatu, maka di dalam gelisahnya dicampur gusar dan mendongkol, terpaksa aku turun tangan keji."

"Mula pertama kukutungi dulu kaki kiri dari Gui Pak ciang, Caycu dari Pek- ho cay, kemudian Pek toh oh cu si binatang bertan-duk tunggal Si Yu gi menjadi ketakutan dan berlutut minta ampun sambil menerangkan kalau cinkeng tersebut berada di tangan Kiong Tek ciong, Cong Caycu dari bukit Tay ang san,

"Waktu itu aku tidak tahu siapa yang ber-nama Kiong Tek ciong, karena itu ku kejar Toan Ci tin dari telaga Tong Ong oh sambil melepaskan sebiji biji cemara untuk menghalangi niatnya melarikan diri, siapa tahu ketika biji cemara itu hampir mengenai tubuhnya, kebetulan Toan Ci tin sedang me-nengok ke belakang, tak ampun lagi biji ce-mara itu bersarang telak di mata sebelah kirinya.

"Atas pertanyaanku baru kuketahui arah Kiong Tek ciong melarikan diri, waktu itu Oh Tin San sedang kabur membuntuti Kiong Tek ciong, walaupun alasannya hendak me-lindungi padahal tujuannya yang utama adalah mengawasi gerak gerik rekannya.

"Ketika aku mengejar mereka lebih jauh dalam keadaan terpojok ternyata ke dua orang itu melakukan perlawanan, maka dalam gusarnya kubacok kutung lengan kiri Kiong Tek ciong sedangkan Oh Tin san segera berlutut minta ampun, berhubung aku tahu kalau dia orangnya keji dan berbahaya maka segera kupotong sebuah telinga kirinya seba-gai hukuman.

"Setelah kuperiksa kedua orang itu, baru-lah diketahui kalau kotak kecil tadi sudah terjatuh dalam perjalanan, tapi ketika kemu-dian kucari, kotak tersebut sama sekali tak berhasil kutemukan kembali, biar begitu aku percaya kalau Kiong Tek ciong dan Oh Tin san tidak berbohong.

"Menanti pikiran dan perasaanku sudah mulai mereda kembali, baru kusesalkan per-buatan berdarah yang telah kulakukan, itu-lah sebabnya kubebaskan Oh Tin san ber-lima.

"Waktu itu meski akupun sedikit menaruh curiga kepada ayahmu dan Hu-yong siancu yang tidak menyusul datang, tapi aku perca-ya bila kotak cinkeng itu berhasil mereka te-mukan niscaya akan dikembalikan kepadaku, tapi sampai matahari tenggelam di langit barat aku belum juga melihat ayah-mu datang, akhirnya baru kuketahui apa sebab-nya ayahmu tidak datang mencariku:

"Pertama mereka tidak tahu siapakah aku, mengapa mengejar Oh Tin san sekalian dan kedua mereka tahu kalau kotak kecil itu milikku, namun tidak mengetahui bagai-mana caranya untuk mengembalikan, sebab ketika Hu-yong siancu mengukir syair di depan gua. pintu gua berada dalam keada-an tertutup, menanti aku membukanya. dia telah berada di luar hutan tho.

"Berhubung orang tuamu dan Hu-yong siancu kemudian lenyap secara tiba-tiba dari dunia persilatan. Oh Tin san sekalian-pun mulai menelusuri jejak ayahmu, itulah se-babnya mereka dapat membuktikan pula kalau kitab Cinkeng tersebut memang berha-sil ditemukan oleh ayahmu serta bibi Wan mu . . .

Si Cay soat yang membungkam selama ini, tiba-tiba menimbrung:

"Suhu, Hu-yong siancu yang sudah mem-buat tulisan di atas dinding gua saja tidak menemukan mulut gua tersebut, mengapa Oh Tin san sekalian bisa tahu kalau suhu berdiam di dalam gua tersebut? To seng cu segera menghela napas panjang

"Aai, peristiwa ini sesungguhnya bersum-ber pada perbuatan Hu-yong siancu ketika mengukir syair di atas dinding gua sana, se-bagaimana diketahui Hu-yong siancu adalah seorang perempuan yang cantik jelita bak bidadari dari kahyangan, entah berapa ba-nyak lelaki yang pernah jatuh hati kepadanya dimasa lalu. Ketika Oh Tin san sekalian menjumpai kemunculan Hu-yong siancu di bawah puncak giok li hong mereka pun menjadi tertarik dan diam-diam menguntit dari belakang.

"Tatkala Hu-yong siancu selesai mengukir tulisan kemudian berlalu, Oh Tin san sekalian dengan perasaan ingin tahu segera munculkan diri untuk melihat tulisan apakah yang diukir Hu-yong siancu di atas dinding, siapa sangka pada saat itulah secara kebe-tulan aku membuka pintu gua.!"

Siau thi gou yang mendengar sampai di situ segera menyela pula dengan suara lan-tang:

"Waah, itu namanya sudah takdir!"

Dengan ramah dan penuh kasih sayang To-seng cu memandang sekejap kearah Siau thi gou, lalu manggut-manggut seraya men-jawab:

"Benar, akupun berpendapat demikian, oleh sebab itu aku segera kembali ke gua dan minta ampun kepada sucou kalian. bahkan bersumpah selama hayat masih dikandung badan pasti akan mendapatkan kembali kitab cinkeng tersebut..

"Suhu, cousu yaa berada di mana? Menga-pa Gou ji tidak tahu?" Siau thi gou segera bertanya dengan nada tidak mengerti.

"Gua ini merupakan hasil pembangunan dari cousu di masa lalu, beliau merubahnya dari sebuah gua alam menjadi sebuah tempat tinggal yang indah. Ketika itu akupun cuma berusia sebelas dua belas tahunan, masih lebih kecil daripada kalian, sebelum sucou kalian kembali ke alam baka. dia khusus membuat sepasang "lian" di kedua belah pintu gua yang terbuat dari tatahan mutu manikam serta intan permata yang tak ter-nilai harga nya, itulah sebabnya setiap kali aku peroleh kesulitan, pasti akan berlutut di depan pintu itu sambil berdoa dan minta pengarahan."

Tergerak hati Lan See giok sesudah men-dengar perkataan itu, segera ujarnya kemu-dian dengan hormat.

"Tatkala anak giok membaca sepasang "lian" yang berada di depan pintu gua sudah terasa olehku bahwa tulisan mana merupa-kan hasil karya seorang Bulim Cianpwe yang amat saleh dan hebat. Kini anak giok telah masuk perguruan dan membonceng ketena-ran suhu dan sucou, apakah suhu bersedia menerangkan nama sucou kami agar anak giok sekalianpun mendapat tahu siapa nama sebenarnya sucou kami yang mulia itu.""

Paras muka To seng cu segera berubah menjadi amat serius, dipandangnya aneka bunga di luar ruangan dengan ter-mangu, sampai lama kemudian pelan-pelan ia baru berkata:

"Sucou kalian Thian ih siu telah berusia dua ratusan tahun, beliau merupakan se-o-rang dewa pedang yang paling hebat pada seratus lima puluh tahun berselang, beliau sudah bertapa hampir seratus tahun di dalam gua ini. Sebelum kembali ke alam baka, sucou kalian khusus mencatatkan segenap ilmu silatnya di atas Hud bun- pwee yap cinkeng tersebut dan diwariskan kepadaku, kemudian dengan membawa pedangnya beliaupun berangkat ke alam baka untuk menjadi dewa abadi---



Ketika menyelesaikan perkataan itu, paras muka To seng cu nampak berubah menjadi merah segar dan penuh dengan perasaan kagum.

Biarpun ketiga orang muda mudi itu masih kecil, mereka pun dapat melihat pancaran sinar hormat dan perasaan kagum .yang tak terhingga dari suhu mereka ter-hadap sucou-nya.

Siau thi gou merasa sedih sekali tiba-tiba ia bertanya:

"Suhu, semenjak sucou menjadi dewa, per-nah beliau pulang untuk menengokmu?"

"Tidak pernah" To Seng cu menggelengkan kepalanya dengan sedih, "semenjak dia orang tua menjadi dewa, beliau hidup bebas di alam sana dan tak pernah akan kembali ke dunia yang fana lagi"

Lan See giok serta Si Cay soat yang melihat kemurungan suhunya. kini jadi menyesal karena sudah menanyakan soal sucou mereka sehingga memancing rasa murung bagi gurunya, karena itu mereka semua merasa turut tak tenang.

Siau thi gou yang melihat gurunya sedih, kembali bertanya dengan tidak habis mengerti:

"Suhu, baikkah bila sucou menjadi dewa?"" To seng-cu tertegun dibuatnya, tapi sahut nya juga meski tidak memahami maksud muridnya"

"Tentu saja amat baik, dia orang tua telah berhasil memperoleh apa yang di kehendaki-nya, kita sebagai angkatan muda tentu saja harus ikut bergembira."

"Lantas apa sebabnya kau orang tua nam-pak tak senang hati?" seru Siau thi--gou polos.

Kontan saja To seng-cu dibuat tersumbat mulutnya oleh ucapan Siau thi gou, tak tahan lagi ia segera mendongakkan kepala-nya dan tertawa terbahak-bahak.

Melihat Siau thi gou berhasil memancing gelak tertawa guru mereka, Lan See giok serta Si Cay soat juga ikut tertawa, mereka sama-sama menengok ke arah Thi gou de-ngan sorot mata kagum.

Sambil mengelus jenggotnya dan me-man-dang ketiga orang bocah itu dengan riang To seng cu berkata:

"Tengah malam nanti. aku akan mewaris-kan ilmu silat maha sakti yang tercantum dalam Hud bun pwee yap cin keng kepada engkoh giok kalian, Soat-ji serta Thi gou ha-rus menjadi pelindung pada saatnya nanti, bselewat malam njanti kalian bergtiga harus su-dbah mempersiapkan diri baik-baik dan menunggu perintah dihadapanku,"

Kejut dan gembira Lan See giok mendengar perkataan itu, sedangkan Si Cay soat, dan Siau thi gou segera mengiakan dengan hor-mat.

Santapan siang itu dilewatkan dalam sua-sana riang gembira, guru dan murid empat orangpun nampak sedikit agak mabuk..

Matahari senja sudah mulai tenggelam di balik awan, senja yang gelap mulai menyeli-muti Giok-li-hong...

Lan See giok dan Siau thi gou sedang mengeringkan pakaian dengan asap dupa.

Lan See giok tidak mempunyai banyak pakaian untuk berganti, karena itu dia hanya mengeringkan jubahnya yang berwarna biru saja serta pakaian dalamnya.

Tiba-tiba Siau thi gou bertanya dengan nada tak mengerti:

"Engkoh Giok, kau tidak membawa bunta-lan pakaian?"

Lan See giok menggelengkan kepalanya bertulang kali.

"Berhubung aku datang dengan tergesa gesa, bibi Wan tak sempat mempersiapkan segala sesuatunya bagiku, apalagi pakaianku kebanyakan masih tertinggal di dalam kubu-ran kuno"

Mencorong sinar tajam dari balik mata Siau thi gou, seakan akan teringat akan se-suatu, ia segera melompat bangun sambil berkata.

"Aaah, teringat aku sekarang, buntalanmu itu berada dalam kamar enci Soat, bahkan masih terdapat pula Sembilan butir peluru perak yang berkilauan"

Lan See giok segera merasakan hatinya bergetar keras setelah mendengar perkataan itu, paras mukanya berubah, serunya tak tertahan lagi.

"Apa kau bilang?"

Siau thi gou segera meletakkan pakaian nya ke atas lantai, kemudian bisiknya:

"Enci Soat sedang mandi di atas, ia tidak berada di kamarnya, ayo biar kuambilkan untukmu"

Sambil berkata, ia segera menarik Lan See giok menuju ke kamar tidur Si Cay soat.

Lan See giok merasa amat gelisah bercam-pur bimbang, saat ini dia seolah-olah lupa kalau tidak patut seorang lelaki memasuki bkamar tidur seojrang dara, menggikuti Siau thi bgou mereka langsung menuju ke arah kamar tersebut.

Tiba dalam kamar tidur Si Cay soat, teren-dus bau harum semerbak yang menyegar-kan badan, saat itulah Lan See giok baru mendu-sin dari kekhilafannya dan segera berhenti di pintu luar.

Siau thi gou masih polos kekanak- kanakan, apalagi usianya dua tiga tahun lebih muda dari pada Lan See giok, dia langsung memasuki kamar tidur enci Soat-nya tanpa canggung.

Tapi Siau thi gou sendiripun tidak me-nyangka kalau di atas permadani ruangan tergeletak pakaian luar serta pakaian dalam Si Cay soat yang baru dilepas.

Lan See giok segera merasakan hati-nya berdebar keras dan wajahnya merah padam, dengan perasaan kaget dia mundur dua langkah dari posisi semula.

Berbeda sekali dengan Siau thi gou, de-ngan acuh tak acuh dia melanjutkan lang-kahnya melewati celana dalam, pakaian dalam dan gaun gadis tersebut sambil mema-suki ruang dalam.

Lan See giok segera mengalihkan kembali pandangan matanya ke dalam ruangan, kali ini paras mukanya berubah, rupanya pedang Jit hoa kiam beserta kotak kecil emas itu diletakkan menjadi satu dengan buntalan-nya, hanya pedang Jit hui kiam serta kotak kecil itu yang lain tidak diketahui berada di mana?

Waktu, Siau thi gou sudah bermaksud mengembalikan bungkusan kecil itu, bahkan bisiknya dengan girang.

"Coba kau lihat engkoh giok, bukankah bungkusan ini milikmu?"

Lan See giok segera mengenali bungkusan itu sebagai miliknya yang tertinggal di dalam kuburan kuno, namun diapun mengerti bahwa bungkusan itu tidak boleh diambil sekarang, oleh sebab itu dengan gelisah ia lantas berseru:

"Adik Thi gou, cepat kembalikan ke tempat asalnya, ayo cepat ke luar-.-!"

Melihat wajah tegang dan peluh bercu-curan yang membasahi muka Lan See giok yang gelisah, Siau thi gou segera tahu kalau persoalannya tidak semudah itu, dengan terkejut ia meletakkan kembali bungkusan tersebut ke tempat semula, kemudian melompat ke luar dari dalam ruangan.

Lan See giok lebih-lebih tak berani berayal lagi, sambil menarik tangan Siau thi gou mereka segera mengundurrkan diri dari zsitu.

Siau thiw gou sungguh dirbuat bingung dan tak habis mengerti, setibanya di kamar sendiri ia baru bertanya dengan suara tak mengerti:

"Engkoh giok, apa yang terjadi?"

Setelah berusaha menenangkan hatinya, Lan See giok baru berkata dengan ber-sung-guh sungguh.

"Adik Thi-gou, sebentar bila adik Soat datang, kau tak boleh mengatakan telah mengajakku pergi ke kamarnya untuk me-ngambil bungkusan kecil itu mengerti?"

Berhubung Lan See giok berbicara dengan wajah serius dan bersungguh sungguh, Siau thi gou segera mengangguk berulang kali, meski demikian ia toh bertanya lagi dengan nada tak mengerti.

"Pakaian itu kan milikmu? Mengapa tak boleh diambil?"

Tentu saja Lan See giok merasa kurang le-luasa untuk menerangkan alasannya, ter-paksa sahutnya.

Kalau hendak diambil pun harus bertanya dulu kepada suhu mengerti?"

Siau thi gou segera manggut-manggut berulang kali dan melanjutkan pekerjaannya menggarang pakaian.

Sekarang Lan See giok sudah memahami segala sesuatunya, rupanya To seng cu sama sekali tidak meninggalkan kuburan kuno tersebut pada malam itu, melainkan selalu menyembunyikan diri di seputar sana.

Ia pun berani menyimpulkan bahwa tujuan suhunya menyembunyikan diri tak lain adalah berharap bisa mengamati gerak gerik-nya secara diam-diam sehingga dapat me-ngetahui dimana kotak kecil tersebut disim-pan, sampai kemudian On Tin san muncul di situ dia baru mengganti kedudukannya seba-gai pelindung keselamatan jiwanya,



"Teringat bau harum semerbak yang terasa di mulut, sekarang ia baru mengerti tentang bau harum itu berasal dari obat mestika pemberian gurunya yang segera memaksa ke luar sari racun dalam tubuhnya di samping menambah tenaga dalamnya.

Sekarang, hanya ada satu hal yang belum dipahami yakni ke mana perginya pedang Gwat-hui kiam tersebut?"

Berpikir sampai di situ, tanpa terasa dia-mati ruangan dimana ia berada sekarang namun kecuali dua lembar selimut kulit serta bungkusan berisi pakaian milik Siau thi-gou, di sana tidak ditemukan sesuatu apapun.

Pada saat itulah mendadak terdengar Siau Thi gou berbisik:

"Engkoh giok, enci Soat datang""

Lan See giok segera pasang, telinga, benar juga ia mendengar suara langkah kaki manu-sia berjalan mendekat,

angin lembut terasa berhembus lewat.

bayangan merah berkelebat di depan mata, tahu-tahu Si Cay soat telah muncul di depan pintu ruangan.

Lan See giok segera menengok ke arahnya, tampak olehnya Si Cay soat yang habis mandi kelihatan lebih segar, lebih cantik jelita dan menawan hati.

Siau thi gou segera berseru:

"Enci Soat, engkoh giok tak punya pakaian untuk ganti!"

"Mengapa kami tidak mengambilnya di kamarku?" omel Si Cay soat setelah mende-ngar perkataan itu.

Siau thi-gou memandang sekejap ke arah Lan See giok yang duduk dengan wajah merah padam, kemudian jawabnya:

"Engkoh giok bilang, mau menunggu sam-pai kedatanganmu!"

Si Cay soat melirik sekejap ke arah Lan See giok, kemudian serunya kembali kepada Siau thi gou:

"Mari, ikut cici untuk mengambilnya!" Sambil berkata dia lantas membalikkan badan dan beranjak pergi dari situ.

Siau thi gou mengiakan dengan bgembira dia segjera melompat bagngun dan siap mbe-nuju ke luar kamar.

Tapi baru berjalan beberapa langkah, ba-yangan merah kembali berkelebat lewat. de-ngan gugup dan panik Si Cay soat telah muncul kembali di situ.

Tampak paras muka Si Cay soat merah padam seperti kepiting rebus, wajahnya gugup bercampur gelagapan, bahkan dengan wajah tersipu sipu dia menggoyangkan ta-ngannya berulang kali sambil mencegah:

"Adik Thi gou, kau tak usah kemari, biar cici saja yang segera mengambilkan untuk mu."

Selesai berkata kembali dia melayang pergi.

Tentu saja Siau thi gou jadi melongo dan berdiri tertegun di tempat, hari ini dia benar-benar dibikin kebingungan setengah mati dan tak tahu apa gerangan yang telah terjadi.

Hanya Lan See giok yang mengerti apa yang telah menyebabkan Si Cay soat gelisah serta gelagapan setengah mati.

Sesaat kemudian, Si Cay soat telah muncul kembali dengan membawa sebuah bungku-san kecil, tak sampai Lan See giok mengu-capkan terima kasih, ia telah mengundurkan diri lagi dengan kepala tertunduk rendah--rendah.

Lan See giok merasa sangat emosi setelah melihat bungkusan kain miliknya itu, ketika dibuka ternyata Si Cay soat telah memban-tunya mencucikan semua pakaian tersebut, bahkan dilipat dengan rapi dan rajin. tanpa terasa ia sangat berterima kasih sekali kepada gadis itu.

Sekarang sambil melanjutkan peker-jaan-nya menggarang pakaian, dia mulai memutar otak memikirkan bagaimana caranya untuk mempelajari rahasia ilmu silat yang ter-can-tum dalam kitab Cinkeng.

Dalam kesibukan masing-masing itulah, tanpa terasa malampun menjelang tiba .....

Lan See giok, Si Cay soat serta Siau thi gou segera melayang turun dari kamar masing-masing menuju ke istana gua.

Tampak kitab Hud bun pwe yap cin keng terletak di atas meja rendah, asap dupa menyiarkan bau harum ke seluruh ruangan, dua batang lilin tersulut rapi di meja, mem-buat suasana di situ terasa diliputi oleh ke-seriusan.

To seng cu dengan jubah kuningbnya duduk bersijla di atas kasugr duduknya dengban mata terpejam, wajahnya amat serius.

Setibanya dihadapan guru mereka, Lan See giok sekalian bertiga segera menyapa sambil menjatuhkan diri berlutut.

Pelan-pelan To seng cu membuka matanya dan menitahkan mereka bertiga agar duduk.

Si Cay soat, duduk di sebelah kiri, sedang Lan See giok dan Siau thi gou duduk di se-belah kanan, perasaan mereka amat tenang, wajah merekapun diliputi keseriusan.

Menanti ke tiga orang muda mudi itu duduk, To seng cu baru berkata dengan wa-jah bersungguh-sungguh:

"Aku akan melaksanakan peringatan dari sucou kalian dengan hanya mewariskan ke-pandaian silat yang tercantum dalam kitab Cinkeng kepada seorang murid yang paling berbakat, biar terhadap istri maupun putra putri sendiri, kepandaian silat ini dilarang untuk diwariskan kepada sembarangan orang."

Lan See giok merasakan hatinya bergetar keras, kepalannya seperti dihantam kayu keras-keras, impiannya untuk mewariskan kembali ilmu silat yang dipelajari dari kitab Cinkeng kepada enci Ciannya segera buyar tak berbekas.

Sementara itu To seng cu telah berkata le-bih jauh:

"Hampir sepuluh tahun belakangan ini, aku selalu membawa Soat ji dan Gou ji ber-kelana ke mana-mana tanpa tujuan, maksud ku tak lain adalah hendak mencari kembali Cinkeng tersebut serta menemukan seorang manusia yang berbakat sangat baik untuk mempelajari ilmu silat tersebut."

Kemudian setelah memandang sekejap muda mudi bertiga yang duduk dengan wa-jah serius itu, dia melanjutkan.

"Soat ji maupun putri kesayangan Hu-yong siancu, Siau cian merupakan orang-orang yang berbakat baik, hanya sayang sifat keibuan mereka terlalu besar. untuk meng-hindari pelanggaran peraturan di kemudian hari dengan mewariskan ilmu tersebut kepada suami atau putra putri sendiri, maka kepada mereka berdua tak akan diwarisi kepandaian silat tersebut".

Kata-kata terserbut diutarakan zsecara tegas dawn sama sekali trak bisa dibantah kembali.

Pada hakekatnya Si Cay soat memang ti-dak berniat mempelajari isi kitab cinkeng tersebut, baginya asal engkoh giok bisa mempelajarinya hal tersebut sudah cukup memuaskan hatinya, maka setelah men-de-ngar perkataan dari gurunya, cepat dia bang-kit berdiri dan mengiakan dengan hormat.

Dengan wajah gembira To Seng cu meman-dang sekejap ke arah Si Cay soat, kemudian melanjutkan:

"Gou ji polos, jujur dan sederhana, kese-tiaan dan kejujurannya bisa dipertanggung jawabkan, sayang kecerdasannya kurang, maka ilmu silat ini pun tak akan diwaris-kan kepadanya."

Jangan lagi soal ilmu silat tersebut, bahkan memikirkan masalah itupun tak per-nah, maka Siau thi gou segera mengiakan dengan sikap tulus.

Dari pembicaraan dan perkataan To -Seng cu yang begitu serius, Lan See giok pun mu-lai sadar bahwa tidak gampang untuk mem-pelajari ilmu silat dari Hud bun pwee yap cinkeng tersebut, namun semakin sulit untuk dipelajari, dia pun semakin bertekad untuk tidak menyia nyiakan harapan, guru- dan tak akan melanggar peraturan yang telah ditetapkan perguruan.

Sementara itu To Seng cu telah berkata lagi setelah berhenti sejenak:

"Ketika masih berada dalam kuburan kuno, aku pernah memeriksa seluruh urat dan tulang belulang anak Giok, dia memang manusia yang berbakat bagus untuk mempe-lajari segala isi cinkeng tersebut, karena itu aku telah mengambil keputusan untuk me-wariskan kepandaian silat maha sakti terse-but kepadanya. Meskipun demikian, namun aku merasa wajib untuk mengamati dulu segala gerak gerik, sikap maupun perangai-nya. Itulah sebabnya aku selalu membun-tutinya secara diam-diam, berdasarkan pe-ngamatanku secara diam-diam selama satu bulan lebih, anak giok memang benar-benar seorang anak baik yang dapat dipercaya . . . "

Setelah berhenti sejenak, dengan wajah gembira yang terpancar dari balik keserius-an mukanya, dia melanjutkan:



"Dalam santapan siang tadi, anak giok mendengarkan pembicaraanku dengan sek-sama, melihat wajahnya gembira dia turut gembira, melihat aku murung dia menjadi tak tenang, mendengar pembicaraan orang lantas menghubungkannya dengan orang lain bahkan kemudian berani meng-aku salah dan minta hukuman. kesemuanya ini menambah keyakinanku bahwa pilihanku memang tak salah, itulah sebabnya aku pun mempercepat waktunya setahun lebih awal untuk mewa-riskan ilmu silat tersebut ke-pada anak giok."

Setelah berhenti sebentar dan menatap wajah Lan See giok dengan penuh kasih sayang, ia bertanya lebih jauh:

"Anak. giok. bagaimanakah perasaanmu setelah mendengar perkataanku ini?"

"Pujian dari suhu membuat anak giok me-rasa malu." buru-buru Lan See giok men-jawab dengan hormat, "selanjutnya anak giok bersumpah akan mengutamakan kejujuran serta berlatih dengan tekun, mentaati pera-turan perguruan dan tidak akan menyia-nyiakan harapan suhu terhadap anak giok."

Dengan gembira To Seng cu manggut- manggut, katanya kemudian dengan serius:

"Sekarang, ikutilah suhu menjumpai sucou mu!.."

la lantas bangkit berdiri dan maju ke balik pintu gerbang istana gua.

Tiba di depan pintu, To Seng cu melaku-kan suatu gerakan dengan telapak tangannya, pintu segera terbuka sebuah celah selebar dua depa, cahaya tajam pun segera meman-car ke luar dari balik ruangan tersebut.

To Seng cu, Lan See giok, Si Cay soat dan Siau thi gou, segera bersama-sama me-nuju ke luar pintu.

Cahaya terang benderang mencorong di luar pintu, sedemikian terangnya sampai debu di lantai pun dapat terlihat jelas.

To Seng cu berdiri serius di depan pintu gerbang yang tinggi besar itu sambil me-ngangkat kepalanya, memandang sepasang "lian" yang tergantung di sisi pintu.

Lan See giok bertiga berdiri berjajar di be-lakang To Seng cu, sikap mereka pun amat serius.

Malam sudah kelam, suasana amat hening Lan See giok yang berdiri di belakang To Seng cu memandang ke arah pintu dan mebnde-ngarkan hemjbusan angin dalgam gua, tiba-tibba saja merasakan pikiran dan perasaannya menjadi sangat kalut.

Ia teringat kembali akan dendam kesumat ayahnya, pengharapan dari bibi Wan serta enci Cian serta penghargaan yang begitu tinggi dari gurunya terhadap dirinya.

Kesemuanya itulah yang memantapkan ke-sempatan baginya untuk mempelajari ilmu silat maha dahsyat pada malam ini dan peristiwa tersebut membuatnya amat terha-ru.

Sementara ia masih termenung, tiba-tiba terdengar To Seng cu telah berkata dengan suara rendah tapi hormat.

"Arwah, suhu di alam baka mohon tahu. tecu Cia Cing wan telah menuruti perintah dengan menemukan seorang ahli waris untuk mempelajari isi cinkeng, hari ini murid ang-katan ketiga Lan See giok khusus datang untuk menyampaikan sumpah serta rasa terima kasihnya."

Selesai berkata, dia lantas jatuhkan diri berlutut dan menyembah beberapa kali.

Lan See giok, Si Cay soat serta Thi-gou se-rentak berlutut pula ke atas tanah.

Setelah menyembah sebanyak empat kali. To Seng-cu bangkit berdiri.

Sedangkan Lan See giok sekalian bertiga setelah memberi hormat beberapa kali baru ikut berdiri pula.

Kemudian To Seng-cu pun berkata kepada Lan See giok dengan wajah serius.

"Anak giok, cepat berlutut dan mengangkat sumpah dihadapan sucoumu, kau harus me-nyatakan kesetiaanmu untuk selama hidup melaksanakan perintah sucou serta menaati peraturannya."

Lan See giok mengiakan dengan hormat, dia maju beberapa langkah ke depan dan menjatuhkan diri berlutut, kemudian sambil memandang sepasang "lian" di sisi pintu, ujar-nya dengan wajah bersungguh sungguh:

"Murid angkatan ke tiga Lan See giok de-ngan hormat melaporkan kepada arwah Su-cou dialam baka, tecu bertekad akan meneruskan kejayaan sucou dan bersumpah akan menaati setiap peraturan yang ditetap-kan perguruan serta menegakkan keadilan serta kebenaran dalam dunia persilatan, bila tecu sampai melanggar sumpah ini, biar Thian melimpahkan kutukannya kepadaku."

Selesai bersumpah, dia menyembbah lagi beberapja kali.

Tatkalga Lan See giok bmengucapkan sum-pah nya tadi, dengan sorot mata yang tajam To Seng-cu mengamati terus gerak gerik Lan See giok, tapi akhirnya dia manggut--manggut sambil tersenyum girang.

Setelah bangkit berdiri Lan See giok ber-sama gurunya, Si Cay soat dan Siau thi gou menutup kembali pintu gua.

Tiba di ujung ruangan, To seng cu duduk bersila kembali dikasur duduknya, kemudian memerintahkan Lan See giok berlutut di ha-dapannya dan menitahkan Si Cay soat serta Siau thi gou berdiri di sisinya.

Dengan sorot mata yang lembut To Seng cu mengamati wajah Lan See giok, lalu ujarnya dengan lembut:

"Anak giok, sebelum mempelajari kitab cinkeng, terlebih dulu hendak kusampaikan beberapa pesan kepadamu, harap kau suka mengingatnya dihati."

Lan See giok mengiakan berulang kali dan manggut-manggut pelan-pelan To Seng cu melanjutkan kata katanya:

"Ke satu, untuk mempelajari ilmu silat maha sakti yang tercantum dalam kitab cinkeng, selain tergantung pada bakat, ke-cerdasan serta daya ingat seseorang, juga tergantung besar tidaknya rejekimu, tulisan di atas Pwee yap tersebut hanya akan mun-cul sekali setiap enam puluh tahun hurufnya amat banyak dan ilmu silatnya beraneka ragam, kau harus menggunakan segenap daya ingatmu untuk menghapalkan semua catatan tersebut."

"Ke dua, sebelum mempelajari isi cinkeng itu, kau harus berusaha menenangkan pikiran serta membuang jauh-jauh semua pikiran yang tak berguna, tak boleh dicekam perasaan panik, ingat waktu sangat berharga bagimu, kau harus menggunakan saat yang amat singkat dimana aku akan memperta-hankannya dengan seluruh tenaga untuk membaca dan menghapalkan secara teliti.

"Selain dari pada itu, gangguan macam apapun yang datangnya dari luar tidak akan mengganggu konsentrasiku, biar ada golok diayunkan ke leherku juga percuma, dalam hal ini kau harus ingat baik-baik, sekali pikiranmu bercabang. bukan hanya kau bakal tewas, akupun akan mengalami jalan api menujru neraka sehingzga ber-akibat cwacad seumur hidrup--!"

Si Cay soat yang mendengarkan perkataan itu segera berkerut kening, wajahnya berubah hebat diam-diam ia berdoa semoga engkoh gioknya bisa berhasil dengan sukses.

Sebaliknya Siau thi gou berdiri bodoh di situ, ia benar-benar tak pernah menyangka kalau untuk mempelajari kitab cinkeng pun bakal menghadapi ancaman yang begitu serius, karenanya saking gelisahnya peluh sampai jatuh bercucuran.

Sambil berlutut dihadapan To Seng cu, diam-diam Lan See giok mengatur per-na-pasan dan berusaha keras untuk menenang-kan pikiran dan perasaannya yang bergolak.

Menyaksikan wajah tegang dan panik yang mewarnai wajah Lan See giok sudah lenyap tak berbekas, To Seng cu merasa gembira sekali, ia segera berkata lebih jauh:

"Sewaktu berada di kuburan kuno, aku memberi beberapa tetes sari susu batu ke-mala kepadamu sehingga tenaga dalam yang kau miliki sekarang telah melipat ganda, ketajaman matamu bisa melebihi sinar sang surya, oleh sebab itu aku tidak kuatir kau tak bisa membaca tulisan di atas pwee yap ini."

Sambil berkata dia membuka kotak kecil itu, mengeluarkan ke tiga biji pwee yap tadi dan diletakkan di atas telapak tangan.

Dengan bersungguh hati dan serius Lan See giok mengatur napas, dia tak berani menyabangkan pikirannya, oleh sebab itu ia pun tak sempat memikirkan apa yang di-se-but sari susu batu pualam itu.

Dalam pada itu To seng cu telah merang-kapkan tangannya menjadi satu dengan menjepit ke tiga pwee yap tadi dalam telapak tangannya, setelah menitahkan kepada Lan See giok agar berlutut di depan sepasang lu-tutnya. dia berpesan lagi; "Anak giok, kau harus tahu, rejeki setiap orang berbeda, pe-ngalaman yang dijumpai pun tidak sama, bahkan nasibpun berbeda, kau harus mem-bawa tekad menyerahkan segalanya kepada yang kuasa. Pasrah sepenuhnya kepada Thian sambil membaca kitab itu, mengerti?"



Lan See-giok segera memahami maksud-nya, seketika itu juga pikirannya terasa ter-buka, dengan cepat dia mengangguk:

Akhirnya To Seng cu memandang sekejap lagi kearah Lan See giok kemudian baru me-mejamkan mata rapat-rapat, sepasang ta-ngannya menggenggam ke tiga biji Pwee yap itu lekat-lekat dan meletakkannya di atas lutut di depan dada.

Lan See giok sendiripun berhasil men-e-nangkan pikirannya bagaikan air. sorot" ma-tanya memandang lurus ke depan dan tenang bagaikan pendeta tua.

Pikirannya bersih dan perasaannya kosong, Si Cay soat serta Siau thi gou berdiri serius di sampingnya, mereka memusatkan seluruh perhatiannya sambil mengawasi gurunya serta Lan See giok dengan serius.

Suasana dalam ruangan itu sangat hening, sedemikian sepinya sehingga tak kedengaran sedikit suarapun.

Paras muka To Seng-cu berubah menjadi merah membara, lambat laun peluh mulai bercucuran membasahi jidatnya, uap putih menguap dari ubun-ubunnya dan membaur dengan bau dupa yang memenuhi seluruh ruangan.

Lan See giok berlutut di depan To Seng-cu, ia merasa udara sangat panas bagaikan ko-baran api, bahkan menerpa tubuhnya beru-lang-ulang, namun terhadap perubahan mimik muka dari To Seng cu itu, dia berlagak seakan akan tidak melihatnya:

Si Cay soat serta Siau thi gou juga ikut merasakan meningkatnya suhu udara di se-kitar mereka. perasaan tegang pun semakin bertambah, tanpa terasa peluh- bercucuran deras, hatipun ikut berdebar

Mendadak --

To Seng-cu merentangkan kedua ibu jari tangannya ke samping, segulung cahaya ta-jam segera memancar ke luar ke atas langit-langit gua, seketika itu juga suasana di dalam gua menjadi terang benderang--

Lan See giok tak berani berayal, sambil membungkukkan badan, sepasang matanya mengawasi kedua ibu jari To seng cu lekat-lekat, seluruh tenaga dalamnya telah di him-pun dan perhatiannya dipusatkan ke atabs telapak tangajn gurunya.

Dargi balik telapakb tangan gurunya, ia merasa datangnya pancaran sinar tajam yang amat menusuk pandangan membuat mata-nya terasa sakit seperti ditusuk-tusuk pisau.

Sambil berusaha menahan rasa sakit Lan See giok mengerahkan tenaga dalam nya untuk bertahan, biarpun sepasang matanya seakan akan melihat sinar matahari, tapi sekarang dia tidak merasa semenderita tadi lagi.

Menyusul kemudian segulung bau harum muncul dari tenggorokannya, dan sepasang matapun terasa segar kembali.

Lambat laun cahaya tajam yang menusuk pandangan itu mulai hilang, menyusul ke-mudian muncul huruf-huruf dari emas..-

Lan See giok sangat girang, secara ber-urutan diapun membaca terus.

Hud kong sin kang (Hawa sakti cahaya Buddha ), - .

Yu-hong-hui heng ( Menunggang angin ter-bang melayang ) . . .

Pwee-yap sam-ciang ( tiga pukulan Pwee-yap) .....

Thi siu-yau-kong ( ujung baju baja menge-bas udara ). . . .

Setelah membaca ke empat nama ilmu silat -tersebut, Lan See giok segera membaca pula isi pelajarannya dengan seksama . . .

Dalam pada itu, Si Cay soat dan Thi- gou yang berdiri di kedua belah sisi-nya merasa amat tegang, peluh dingin jatuh bercucuran, mereka tak tahu apakah Lan See giok dapat membaca isi pelajaran dalam pwee yap itu atau tidak?

Suasana dalam gua amat sepi, sedemikian sepinya sampai dapat terdengar suara detak jantung masing-masing. - -

Pada saat itulah- - -

Sreeet---

Suara desingan besi bergema datang disu-sul suara pekikan nyaring yang berkuman-dang datang secara lamat-lamat.

Si Cay soat serta Siau Thi gou sangat terkejut, dengan wajah berubah hebat mereka segera memasang telinga baik-baik dan mendengarkan dengan seksama.

Kalau diamati secara teliti, sbuara pekikan nyjaring itu seakagn akan berasal bdiri kamar tidur Si Cay soat.

Tergerak hati Si Cay soat, dia seperti me-mahami akan sesuatu, setelah menuding kearah gurunya dan Lan See giok yang se-dang berlutut membaca kitab cinkeng itu kepada Siau thi gou. di mana ia minta Siau thi gou melindungi keselamatan mereka, diam-diam ia melompat mundur sejauh tiga kaki dan menuju ke ruang batu.

Setelah berada di pintu ruangan. ia dapat menangkap suara pekikan nyaring itu ber-gema semakin nyaring.

Dengan cepat Si Cay soat melompat naik ke ruang tidurnya, tapi apa yang kemudian terlihat membuat sekujur tubuhnya gemetar keras, mukanya berubah hebat, hampir saja ia menjerit kaget.

Ternyata pedang Jit hui kiam tersebut te-lah lolos sendiri dari sarungnya sebanyak be-berapa inci, cahaya yang tajam dan pekikan yang amat nyaring tak lain ber-asal dari pedang tersebut.

Si Cay soat segera manggut-manggut mengerti, gumamnya kemudian dengan suara gagap:

"Orang kuno bilang: Pedang antik yang berjiwa, akan memberi tanda bahaya bila ada musibah mengancam, Jangan-jangan ada orang yang hendak menyatroni kami?"

Berpikir demikian, hatinya menjadi amat gelisah dengan cepat dia menyambar pedang Jit-hoa-kiam dan menaiki anak tangga batu menuju ke rumah batu di atas tebing.

Karena teringat olehnya bisa jadi ada orang telah menyusup masuk ke dalam barisan po-hon bambu.

Setibanya di ujung jalan, ia tak berani langsung membuka tombol rahasia, mula-mula diintipnya dulu lewat celah-celah pintu dan memasang telinga baik-baik, setelah ya-kin kalau tiada orang, dia baru menekan tombol dan masuk ke dalam rumah.

Suasana dalam rumah batu gelap gulita, pintu dan jendela masih tertutup rapat maka ia berjalan menuju ke depan jendela. Belum pernah Si Cay soat merasakan perasaan gugup dan panik seperti apa yang dialaminya pada hari ini. karena dia tahu bila dalam keadaan seperti ini benar-benar ada orang menyerang datang, maka bukan saja engkoh gioknya bakal tewas, gurunya juga akan mengalami rjalan api menujzu neraka. .

Diw samping itu dirapun bisa menduga yang berani menyerang ke tempat kediaman mereka sudah pasti merupakan gembong ib-lis dari kalangan hitam yang berilmu silat sangat tinggi.

Berpikir sampai di situ, tanpa terasa ta-ngan kanannya meraba pedang Jit hoa kiam.

Tiba di depan jendela, dia mengintip ke luar lewat celah-celah jendela. tampak malam gelap mencekam seluruh jagad, bintang ber-taburan dimana mana, suasana amat hening.

Tapi perasaan Si Cay soat waktu itu- dicekam oleh perasaan tegang bercampur ngeri.

Dia memusatkan seluruh perhatiannya untuk melihat dan mendengarkan keadaan di seputar sana dengan seksama diperiksanya barisan bambu lebih kurang tujuh delapan kaki dihadapannya ....

Mendadak....

Suara pekikan nyaring yang menggidikkan hati berkumandang dari atas puncak giok-li-hong di belakang bangunan rumah itu.

Pekikan aneh tadi memanjang dan sangat menggetarkan perasaan, dalam sekilas pan-dangan saja orang sudah tahu kalau penda-tang memiliki tenaga dalam yang amat sem-purna.

Si Cay soat amat terkejut, dengan cepat dia melompat ke jendela belakang, apa yang ter-lihat segera membuat sekujur badannya ge-metar keras.

Sesosok bayangan hitam yang tinggi besar sedang melayang turun dari puncak bukit, sepasang matanya memancarkan cahaya ta-jam, lengannya direntangkan lebar-lebar ketika meluncur turun sehingga keadaannya tak jauh berbeda seperti seekor burung raja-wali raksasa.

Begitu kagetnya Si Cay soat, dia sampai terjongkok sambil mengintip, sorot matanya yang tajam mengawasi bayangan hitam yang meluncur datang itu tanpa berkedip, saat itu dia tak tahu apakah gurunya telah selesai mengerahkan tenaganya atau belum, diapun tak tahu apakah Siau thi gou bisa mengen-dalikan diri atau tidak.

Tidak meleset dari dugaan Si Cay soat. Siau thi gou yang melihat enci Soatnya lama juga belum kembali, hatinya menjadi amat gelisah. apalagi setelah mendengar suara pekikan aneh yang menggidik-kan hati itu, saking cemasnya dia sampai mandi keringat.

Ia tahu, pendatang itu sudah pasti sese-orang yang memiliki ilmu silat amat tinggi, bagaimana mungkin enci Soatnya seorang dapat menghadapi pendatang tersebut.

Maka dia memutuskan untuk memba-ngunkan gurunya.

Begitu mengambil keputusan dalam hati-nya, Siau thi gou dengan wajah gugup dan gelisah segera berjalan menghampiri To Seng cu yang berada dalam keadaan kritis.

Pepatah kuno mengatakan. Setiap persoa-lan telah diatur oleh Thian Yaa, mana mung-kin To Seng cu akan menduga datang nya lawan tangguh dalam keadaan seperti ini?

(Bersambung ke Bagian 19)


DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar