"Suhu, ketika kau ke luar
dari gua, sudah pasti pintu depan lupa kau tutup kembali?"
"Benar"! To seng cu
segera mengangguk, waktu itu aku memang kelewat gegabah, menanti aku tiba
kembali di gua, baru ku-jumpai kotak kecil di atas meja telah lenyap. segera
aku sadar bahwa kotak itu tercuri, dengan perasaan gelisah akupun segera
menyusul ke luar lembah."
Berbicara sampai di situ dia,
memandang sekejap ke arah Lan See giok yang sedang mendengarkan dengan seksama,
kemudian baru lanjutnya lebih jauh.
"Sewaktu aku mengejar
sampai di luar hutan tho, Hu-yong siancu belum pergi, tapi di sisinya telah
bertambah seseorang, orang itu tak lain adalah ayahmu. si peluru perak gurdi
emas Lan Khong-tay."
Berhubung To seng cu bercerita
sambil menengok ke arahnya, Lan See giok sudah memahami maksud gurunya, itulah
sebab-nya ia tidak merasa keheranan ketika ayah-nya disinggung:
"Waktu itu aku paling
mencurigai ayahmu, tapi setelah mendengar perkenalan dari Hu-yong siancu,
barulah kuketahui kalau ayahmu adalah Lan tayhiap yang termasyhur namanya dalam
dunia persilatan, karena itu rasa curigaku segera lenyap. Atas perta-nyaanku,
baru kuketahui ayahmu telah ber-jumpa dengan Pek-ho-caycu si toya guntur Gui
Pak-cian, serta Wi-lim pocu Oh Tin-san di mulut lembah.
"Kedua orang itu
merupakan pentolan kaum hitam yang termasyhur sekali."
"Kemunculan mereka di
bukit Hoa San segera menimbulkan kecurigaanku, segera kukejar mereka ke luar
lembah, sedang ayahmu serta Hu-yong siancu juga menyusul di belakangku.
Setelah mengejar melampaui dua
buah puncak bukit, diantara hutan bambu dan pohon siong kulihat ada lima sosok
bayang-an manusia sedang kabur ke luar bukit. Aku pun segera mengeluarkan ilmu
berjalan ter-bang menempel angin untuk menyusul di belakang mereka.
"Sampai aku sudah berada
di belakangnya, kelima orang itu baru merasakan kehadiran-ku, saat itu juga
mereka kabur terbirit -birit ke empat penjuru.
"Dalam keadaan begini,
mustahil bagiku untuk mengejar mereka satu persatu, maka di dalam gelisahnya
dicampur gusar dan mendongkol, terpaksa aku turun tangan keji."
"Mula pertama kukutungi
dulu kaki kiri dari Gui Pak ciang, Caycu dari Pek- ho cay, kemudian Pek toh oh
cu si binatang bertan-duk tunggal Si Yu gi menjadi ketakutan dan berlutut minta
ampun sambil menerangkan kalau cinkeng tersebut berada di tangan Kiong Tek
ciong, Cong Caycu dari bukit Tay ang san,
"Waktu itu aku tidak tahu
siapa yang ber-nama Kiong Tek ciong, karena itu ku kejar Toan Ci tin dari
telaga Tong Ong oh sambil melepaskan sebiji biji cemara untuk menghalangi
niatnya melarikan diri, siapa tahu ketika biji cemara itu hampir mengenai
tubuhnya, kebetulan Toan Ci tin sedang me-nengok ke belakang, tak ampun lagi
biji ce-mara itu bersarang telak di mata sebelah kirinya.
"Atas pertanyaanku baru
kuketahui arah Kiong Tek ciong melarikan diri, waktu itu Oh Tin San sedang
kabur membuntuti Kiong Tek ciong, walaupun alasannya hendak me-lindungi padahal
tujuannya yang utama adalah mengawasi gerak gerik rekannya.
"Ketika aku mengejar
mereka lebih jauh dalam keadaan terpojok ternyata ke dua orang itu melakukan
perlawanan, maka dalam gusarnya kubacok kutung lengan kiri Kiong Tek ciong
sedangkan Oh Tin san segera berlutut minta ampun, berhubung aku tahu kalau dia
orangnya keji dan berbahaya maka segera kupotong sebuah telinga kirinya
seba-gai hukuman.
"Setelah kuperiksa kedua
orang itu, baru-lah diketahui kalau kotak kecil tadi sudah terjatuh dalam
perjalanan, tapi ketika kemu-dian kucari, kotak tersebut sama sekali tak
berhasil kutemukan kembali, biar begitu aku percaya kalau Kiong Tek ciong dan
Oh Tin san tidak berbohong.
"Menanti pikiran dan
perasaanku sudah mulai mereda kembali, baru kusesalkan per-buatan berdarah yang
telah kulakukan, itu-lah sebabnya kubebaskan Oh Tin san ber-lima.
"Waktu itu meski akupun
sedikit menaruh curiga kepada ayahmu dan Hu-yong siancu yang tidak menyusul
datang, tapi aku perca-ya bila kotak cinkeng itu berhasil mereka te-mukan
niscaya akan dikembalikan kepadaku, tapi sampai matahari tenggelam di langit
barat aku belum juga melihat ayah-mu datang, akhirnya baru kuketahui apa
sebab-nya ayahmu tidak datang mencariku:
"Pertama mereka tidak
tahu siapakah aku, mengapa mengejar Oh Tin san sekalian dan kedua mereka tahu
kalau kotak kecil itu milikku, namun tidak mengetahui bagai-mana caranya untuk
mengembalikan, sebab ketika Hu-yong siancu mengukir syair di depan gua. pintu
gua berada dalam keada-an tertutup, menanti aku membukanya. dia telah berada di
luar hutan tho.
"Berhubung orang tuamu
dan Hu-yong siancu kemudian lenyap secara tiba-tiba dari dunia persilatan. Oh
Tin san sekalian-pun mulai menelusuri jejak ayahmu, itulah se-babnya mereka
dapat membuktikan pula kalau kitab Cinkeng tersebut memang berha-sil ditemukan
oleh ayahmu serta bibi Wan mu . . .
Si Cay soat yang membungkam
selama ini, tiba-tiba menimbrung:
"Suhu, Hu-yong siancu
yang sudah mem-buat tulisan di atas dinding gua saja tidak menemukan mulut gua
tersebut, mengapa Oh Tin san sekalian bisa tahu kalau suhu berdiam di dalam gua
tersebut? To seng cu segera menghela napas panjang
"Aai, peristiwa ini
sesungguhnya bersum-ber pada perbuatan Hu-yong siancu ketika mengukir syair di
atas dinding gua sana, se-bagaimana diketahui Hu-yong siancu adalah seorang
perempuan yang cantik jelita bak bidadari dari kahyangan, entah berapa ba-nyak
lelaki yang pernah jatuh hati kepadanya dimasa lalu. Ketika Oh Tin san sekalian
menjumpai kemunculan Hu-yong siancu di bawah puncak giok li hong mereka pun
menjadi tertarik dan diam-diam menguntit dari belakang.
"Tatkala Hu-yong siancu
selesai mengukir tulisan kemudian berlalu, Oh Tin san sekalian dengan perasaan
ingin tahu segera munculkan diri untuk melihat tulisan apakah yang diukir
Hu-yong siancu di atas dinding, siapa sangka pada saat itulah secara kebe-tulan
aku membuka pintu gua.!"
Siau thi gou yang mendengar
sampai di situ segera menyela pula dengan suara lan-tang:
"Waah, itu namanya sudah
takdir!"
Dengan ramah dan penuh kasih
sayang To-seng cu memandang sekejap kearah Siau thi gou, lalu manggut-manggut
seraya men-jawab:
"Benar, akupun berpendapat
demikian, oleh sebab itu aku segera kembali ke gua dan minta ampun kepada sucou
kalian. bahkan bersumpah selama hayat masih dikandung badan pasti akan
mendapatkan kembali kitab cinkeng tersebut..
"Suhu, cousu yaa berada
di mana? Menga-pa Gou ji tidak tahu?" Siau thi gou segera bertanya dengan
nada tidak mengerti.
"Gua ini merupakan hasil
pembangunan dari cousu di masa lalu, beliau merubahnya dari sebuah gua alam
menjadi sebuah tempat tinggal yang indah. Ketika itu akupun cuma berusia
sebelas dua belas tahunan, masih lebih kecil daripada kalian, sebelum sucou
kalian kembali ke alam baka. dia khusus membuat sepasang "lian" di
kedua belah pintu gua yang terbuat dari tatahan mutu manikam serta intan
permata yang tak ter-nilai harga nya, itulah sebabnya setiap kali aku peroleh
kesulitan, pasti akan berlutut di depan pintu itu sambil berdoa dan minta
pengarahan."
Tergerak hati Lan See giok
sesudah men-dengar perkataan itu, segera ujarnya kemu-dian dengan hormat.
"Tatkala anak giok
membaca sepasang "lian" yang berada di depan pintu gua sudah terasa
olehku bahwa tulisan mana merupa-kan hasil karya seorang Bulim Cianpwe yang
amat saleh dan hebat. Kini anak giok telah masuk perguruan dan membonceng
ketena-ran suhu dan sucou, apakah suhu bersedia menerangkan nama sucou kami
agar anak giok sekalianpun mendapat tahu siapa nama sebenarnya sucou kami yang
mulia itu.""
Paras muka To seng cu segera
berubah menjadi amat serius, dipandangnya aneka bunga di luar ruangan dengan
ter-mangu, sampai lama kemudian pelan-pelan ia baru berkata:
"Sucou kalian Thian ih
siu telah berusia dua ratusan tahun, beliau merupakan se-o-rang dewa pedang
yang paling hebat pada seratus lima puluh tahun berselang, beliau sudah bertapa
hampir seratus tahun di dalam gua ini. Sebelum kembali ke alam baka, sucou
kalian khusus mencatatkan segenap ilmu silatnya di atas Hud bun- pwee yap
cinkeng tersebut dan diwariskan kepadaku, kemudian dengan membawa pedangnya
beliaupun berangkat ke alam baka untuk menjadi dewa abadi---
Ketika menyelesaikan perkataan
itu, paras muka To seng cu nampak berubah menjadi merah segar dan penuh dengan
perasaan kagum.
Biarpun ketiga orang muda mudi
itu masih kecil, mereka pun dapat melihat pancaran sinar hormat dan perasaan
kagum .yang tak terhingga dari suhu mereka ter-hadap sucou-nya.
Siau thi gou merasa sedih
sekali tiba-tiba ia bertanya:
"Suhu, semenjak sucou
menjadi dewa, per-nah beliau pulang untuk menengokmu?"
"Tidak pernah" To
Seng cu menggelengkan kepalanya dengan sedih, "semenjak dia orang tua
menjadi dewa, beliau hidup bebas di alam sana dan tak pernah akan kembali ke
dunia yang fana lagi"
Lan See giok serta Si Cay soat
yang melihat kemurungan suhunya. kini jadi menyesal karena sudah menanyakan
soal sucou mereka sehingga memancing rasa murung bagi gurunya, karena itu
mereka semua merasa turut tak tenang.
Siau thi gou yang melihat
gurunya sedih, kembali bertanya dengan tidak habis mengerti:
"Suhu, baikkah bila sucou
menjadi dewa?"" To seng-cu tertegun dibuatnya, tapi sahut nya juga
meski tidak memahami maksud muridnya"
"Tentu saja amat baik,
dia orang tua telah berhasil memperoleh apa yang di kehendaki-nya, kita sebagai
angkatan muda tentu saja harus ikut bergembira."
"Lantas apa sebabnya kau
orang tua nam-pak tak senang hati?" seru Siau thi--gou polos.
Kontan saja To seng-cu dibuat
tersumbat mulutnya oleh ucapan Siau thi gou, tak tahan lagi ia segera
mendongakkan kepala-nya dan tertawa terbahak-bahak.
Melihat Siau thi gou berhasil
memancing gelak tertawa guru mereka, Lan See giok serta Si Cay soat juga ikut
tertawa, mereka sama-sama menengok ke arah Thi gou de-ngan sorot mata kagum.
Sambil mengelus jenggotnya dan
me-man-dang ketiga orang bocah itu dengan riang To seng cu berkata:
"Tengah malam nanti. aku
akan mewaris-kan ilmu silat maha sakti yang tercantum dalam Hud bun pwee yap
cin keng kepada engkoh giok kalian, Soat-ji serta Thi gou ha-rus menjadi
pelindung pada saatnya nanti, bselewat malam njanti kalian bergtiga harus
su-dbah mempersiapkan diri baik-baik dan menunggu perintah dihadapanku,"
Kejut dan gembira Lan See giok
mendengar perkataan itu, sedangkan Si Cay soat, dan Siau thi gou segera
mengiakan dengan hor-mat.
Santapan siang itu dilewatkan
dalam sua-sana riang gembira, guru dan murid empat orangpun nampak sedikit agak
mabuk..
Matahari senja sudah mulai
tenggelam di balik awan, senja yang gelap mulai menyeli-muti Giok-li-hong...
Lan See giok dan Siau thi gou
sedang mengeringkan pakaian dengan asap dupa.
Lan See giok tidak mempunyai
banyak pakaian untuk berganti, karena itu dia hanya mengeringkan jubahnya yang
berwarna biru saja serta pakaian dalamnya.
Tiba-tiba Siau thi gou
bertanya dengan nada tak mengerti:
"Engkoh Giok, kau tidak
membawa bunta-lan pakaian?"
Lan See giok menggelengkan
kepalanya bertulang kali.
"Berhubung aku datang
dengan tergesa gesa, bibi Wan tak sempat mempersiapkan segala sesuatunya
bagiku, apalagi pakaianku kebanyakan masih tertinggal di dalam kubu-ran
kuno"
Mencorong sinar tajam dari
balik mata Siau thi gou, seakan akan teringat akan se-suatu, ia segera melompat
bangun sambil berkata.
"Aaah, teringat aku
sekarang, buntalanmu itu berada dalam kamar enci Soat, bahkan masih terdapat
pula Sembilan butir peluru perak yang berkilauan"
Lan See giok segera merasakan
hatinya bergetar keras setelah mendengar perkataan itu, paras mukanya berubah,
serunya tak tertahan lagi.
"Apa kau bilang?"
Siau thi gou segera meletakkan
pakaian nya ke atas lantai, kemudian bisiknya:
"Enci Soat sedang mandi
di atas, ia tidak berada di kamarnya, ayo biar kuambilkan untukmu"
Sambil berkata, ia segera
menarik Lan See giok menuju ke kamar tidur Si Cay soat.
Lan See giok merasa amat
gelisah bercam-pur bimbang, saat ini dia seolah-olah lupa kalau tidak patut
seorang lelaki memasuki bkamar tidur seojrang dara, menggikuti Siau thi bgou
mereka langsung menuju ke arah kamar tersebut.
Tiba dalam kamar tidur Si Cay
soat, teren-dus bau harum semerbak yang menyegar-kan badan, saat itulah Lan See
giok baru mendu-sin dari kekhilafannya dan segera berhenti di pintu luar.
Siau thi gou masih polos
kekanak- kanakan, apalagi usianya dua tiga tahun lebih muda dari pada Lan See
giok, dia langsung memasuki kamar tidur enci Soat-nya tanpa canggung.
Tapi Siau thi gou sendiripun
tidak me-nyangka kalau di atas permadani ruangan tergeletak pakaian luar serta
pakaian dalam Si Cay soat yang baru dilepas.
Lan See giok segera merasakan
hati-nya berdebar keras dan wajahnya merah padam, dengan perasaan kaget dia
mundur dua langkah dari posisi semula.
Berbeda sekali dengan Siau thi
gou, de-ngan acuh tak acuh dia melanjutkan lang-kahnya melewati celana dalam,
pakaian dalam dan gaun gadis tersebut sambil mema-suki ruang dalam.
Lan See giok segera
mengalihkan kembali pandangan matanya ke dalam ruangan, kali ini paras mukanya
berubah, rupanya pedang Jit hoa kiam beserta kotak kecil emas itu diletakkan
menjadi satu dengan buntalan-nya, hanya pedang Jit hui kiam serta kotak kecil
itu yang lain tidak diketahui berada di mana?
Waktu, Siau thi gou sudah
bermaksud mengembalikan bungkusan kecil itu, bahkan bisiknya dengan girang.
"Coba kau lihat engkoh
giok, bukankah bungkusan ini milikmu?"
Lan See giok segera mengenali
bungkusan itu sebagai miliknya yang tertinggal di dalam kuburan kuno, namun
diapun mengerti bahwa bungkusan itu tidak boleh diambil sekarang, oleh sebab
itu dengan gelisah ia lantas berseru:
"Adik Thi gou, cepat
kembalikan ke tempat asalnya, ayo cepat ke luar-.-!"
Melihat wajah tegang dan peluh
bercu-curan yang membasahi muka Lan See giok yang gelisah, Siau thi gou segera
tahu kalau persoalannya tidak semudah itu, dengan terkejut ia meletakkan
kembali bungkusan tersebut ke tempat semula, kemudian melompat ke luar dari
dalam ruangan.
Lan See giok lebih-lebih tak
berani berayal lagi, sambil menarik tangan Siau thi gou mereka segera
mengundurrkan diri dari zsitu.
Siau thiw gou sungguh dirbuat
bingung dan tak habis mengerti, setibanya di kamar sendiri ia baru bertanya
dengan suara tak mengerti:
"Engkoh giok, apa yang
terjadi?"
Setelah berusaha menenangkan
hatinya, Lan See giok baru berkata dengan ber-sung-guh sungguh.
"Adik Thi-gou, sebentar
bila adik Soat datang, kau tak boleh mengatakan telah mengajakku pergi ke
kamarnya untuk me-ngambil bungkusan kecil itu mengerti?"
Berhubung Lan See giok
berbicara dengan wajah serius dan bersungguh sungguh, Siau thi gou segera
mengangguk berulang kali, meski demikian ia toh bertanya lagi dengan nada tak
mengerti.
"Pakaian itu kan milikmu?
Mengapa tak boleh diambil?"
Tentu saja Lan See giok merasa
kurang le-luasa untuk menerangkan alasannya, ter-paksa sahutnya.
Kalau hendak diambil pun harus
bertanya dulu kepada suhu mengerti?"
Siau thi gou segera
manggut-manggut berulang kali dan melanjutkan pekerjaannya menggarang pakaian.
Sekarang Lan See giok sudah
memahami segala sesuatunya, rupanya To seng cu sama sekali tidak meninggalkan
kuburan kuno tersebut pada malam itu, melainkan selalu menyembunyikan diri di
seputar sana.
Ia pun berani menyimpulkan
bahwa tujuan suhunya menyembunyikan diri tak lain adalah berharap bisa
mengamati gerak gerik-nya secara diam-diam sehingga dapat me-ngetahui dimana
kotak kecil tersebut disim-pan, sampai kemudian On Tin san muncul di situ dia
baru mengganti kedudukannya seba-gai pelindung keselamatan jiwanya,
"Teringat bau harum
semerbak yang terasa di mulut, sekarang ia baru mengerti tentang bau harum itu
berasal dari obat mestika pemberian gurunya yang segera memaksa ke luar sari
racun dalam tubuhnya di samping menambah tenaga dalamnya.
Sekarang, hanya ada satu hal
yang belum dipahami yakni ke mana perginya pedang Gwat-hui kiam tersebut?"
Berpikir sampai di situ, tanpa
terasa dia-mati ruangan dimana ia berada sekarang namun kecuali dua lembar
selimut kulit serta bungkusan berisi pakaian milik Siau thi-gou, di sana tidak
ditemukan sesuatu apapun.
Pada saat itulah mendadak
terdengar Siau Thi gou berbisik:
"Engkoh giok, enci Soat
datang""
Lan See giok segera pasang,
telinga, benar juga ia mendengar suara langkah kaki manu-sia berjalan mendekat,
angin lembut terasa berhembus
lewat.
bayangan merah berkelebat di
depan mata, tahu-tahu Si Cay soat telah muncul di depan pintu ruangan.
Lan See giok segera menengok
ke arahnya, tampak olehnya Si Cay soat yang habis mandi kelihatan lebih segar,
lebih cantik jelita dan menawan hati.
Siau thi gou segera berseru:
"Enci Soat, engkoh giok
tak punya pakaian untuk ganti!"
"Mengapa kami tidak
mengambilnya di kamarku?" omel Si Cay soat setelah mende-ngar perkataan
itu.
Siau thi-gou memandang sekejap
ke arah Lan See giok yang duduk dengan wajah merah padam, kemudian jawabnya:
"Engkoh giok bilang, mau
menunggu sam-pai kedatanganmu!"
Si Cay soat melirik sekejap ke
arah Lan See giok, kemudian serunya kembali kepada Siau thi gou:
"Mari, ikut cici untuk
mengambilnya!" Sambil berkata dia lantas membalikkan badan dan beranjak
pergi dari situ.
Siau thi gou mengiakan dengan
bgembira dia segjera melompat bagngun dan siap mbe-nuju ke luar kamar.
Tapi baru berjalan beberapa
langkah, ba-yangan merah kembali berkelebat lewat. de-ngan gugup dan panik Si
Cay soat telah muncul kembali di situ.
Tampak paras muka Si Cay soat
merah padam seperti kepiting rebus, wajahnya gugup bercampur gelagapan, bahkan
dengan wajah tersipu sipu dia menggoyangkan ta-ngannya berulang kali sambil
mencegah:
"Adik Thi gou, kau tak
usah kemari, biar cici saja yang segera mengambilkan untuk mu."
Selesai berkata kembali dia
melayang pergi.
Tentu saja Siau thi gou jadi
melongo dan berdiri tertegun di tempat, hari ini dia benar-benar dibikin
kebingungan setengah mati dan tak tahu apa gerangan yang telah terjadi.
Hanya Lan See giok yang
mengerti apa yang telah menyebabkan Si Cay soat gelisah serta gelagapan
setengah mati.
Sesaat kemudian, Si Cay soat
telah muncul kembali dengan membawa sebuah bungku-san kecil, tak sampai Lan See
giok mengu-capkan terima kasih, ia telah mengundurkan diri lagi dengan kepala
tertunduk rendah--rendah.
Lan See giok merasa sangat
emosi setelah melihat bungkusan kain miliknya itu, ketika dibuka ternyata Si
Cay soat telah memban-tunya mencucikan semua pakaian tersebut, bahkan dilipat
dengan rapi dan rajin. tanpa terasa ia sangat berterima kasih sekali kepada
gadis itu.
Sekarang sambil melanjutkan
peker-jaan-nya menggarang pakaian, dia mulai memutar otak memikirkan bagaimana
caranya untuk mempelajari rahasia ilmu silat yang ter-can-tum dalam kitab Cinkeng.
Dalam kesibukan masing-masing
itulah, tanpa terasa malampun menjelang tiba .....
Lan See giok, Si Cay soat
serta Siau thi gou segera melayang turun dari kamar masing-masing menuju ke
istana gua.
Tampak kitab Hud bun pwe yap
cin keng terletak di atas meja rendah, asap dupa menyiarkan bau harum ke
seluruh ruangan, dua batang lilin tersulut rapi di meja, mem-buat suasana di
situ terasa diliputi oleh ke-seriusan.
To seng cu dengan jubah
kuningbnya duduk bersijla di atas kasugr duduknya dengban mata terpejam,
wajahnya amat serius.
Setibanya dihadapan guru
mereka, Lan See giok sekalian bertiga segera menyapa sambil menjatuhkan diri
berlutut.
Pelan-pelan To seng cu membuka
matanya dan menitahkan mereka bertiga agar duduk.
Si Cay soat, duduk di sebelah
kiri, sedang Lan See giok dan Siau thi gou duduk di se-belah kanan, perasaan
mereka amat tenang, wajah merekapun diliputi keseriusan.
Menanti ke tiga orang muda
mudi itu duduk, To seng cu baru berkata dengan wa-jah bersungguh-sungguh:
"Aku akan melaksanakan
peringatan dari sucou kalian dengan hanya mewariskan ke-pandaian silat yang
tercantum dalam kitab Cinkeng kepada seorang murid yang paling berbakat, biar
terhadap istri maupun putra putri sendiri, kepandaian silat ini dilarang untuk
diwariskan kepada sembarangan orang."
Lan See giok merasakan hatinya
bergetar keras, kepalannya seperti dihantam kayu keras-keras, impiannya untuk
mewariskan kembali ilmu silat yang dipelajari dari kitab Cinkeng kepada enci
Ciannya segera buyar tak berbekas.
Sementara itu To seng cu telah
berkata le-bih jauh:
"Hampir sepuluh tahun
belakangan ini, aku selalu membawa Soat ji dan Gou ji ber-kelana ke mana-mana
tanpa tujuan, maksud ku tak lain adalah hendak mencari kembali Cinkeng tersebut
serta menemukan seorang manusia yang berbakat sangat baik untuk mempelajari
ilmu silat tersebut."
Kemudian setelah memandang
sekejap muda mudi bertiga yang duduk dengan wa-jah serius itu, dia melanjutkan.
"Soat ji maupun putri
kesayangan Hu-yong siancu, Siau cian merupakan orang-orang yang berbakat baik,
hanya sayang sifat keibuan mereka terlalu besar. untuk meng-hindari pelanggaran
peraturan di kemudian hari dengan mewariskan ilmu tersebut kepada suami atau
putra putri sendiri, maka kepada mereka berdua tak akan diwarisi kepandaian
silat tersebut".
Kata-kata terserbut diutarakan
zsecara tegas dawn sama sekali trak bisa dibantah kembali.
Pada hakekatnya Si Cay soat
memang ti-dak berniat mempelajari isi kitab cinkeng tersebut, baginya asal
engkoh giok bisa mempelajarinya hal tersebut sudah cukup memuaskan hatinya,
maka setelah men-de-ngar perkataan dari gurunya, cepat dia bang-kit berdiri dan
mengiakan dengan hormat.
Dengan wajah gembira To Seng
cu meman-dang sekejap ke arah Si Cay soat, kemudian melanjutkan:
"Gou ji polos, jujur dan
sederhana, kese-tiaan dan kejujurannya bisa dipertanggung jawabkan, sayang
kecerdasannya kurang, maka ilmu silat ini pun tak akan diwaris-kan
kepadanya."
Jangan lagi soal ilmu silat
tersebut, bahkan memikirkan masalah itupun tak per-nah, maka Siau thi gou
segera mengiakan dengan sikap tulus.
Dari pembicaraan dan perkataan
To -Seng cu yang begitu serius, Lan See giok pun mu-lai sadar bahwa tidak
gampang untuk mem-pelajari ilmu silat dari Hud bun pwee yap cinkeng tersebut,
namun semakin sulit untuk dipelajari, dia pun semakin bertekad untuk tidak
menyia nyiakan harapan, guru- dan tak akan melanggar peraturan yang telah
ditetapkan perguruan.
Sementara itu To Seng cu telah
berkata lagi setelah berhenti sejenak:
"Ketika masih berada
dalam kuburan kuno, aku pernah memeriksa seluruh urat dan tulang belulang anak
Giok, dia memang manusia yang berbakat bagus untuk mempe-lajari segala isi
cinkeng tersebut, karena itu aku telah mengambil keputusan untuk me-wariskan
kepandaian silat maha sakti terse-but kepadanya. Meskipun demikian, namun aku
merasa wajib untuk mengamati dulu segala gerak gerik, sikap maupun
perangai-nya. Itulah sebabnya aku selalu membun-tutinya secara diam-diam,
berdasarkan pe-ngamatanku secara diam-diam selama satu bulan lebih, anak giok
memang benar-benar seorang anak baik yang dapat dipercaya . . . "
Setelah berhenti sejenak,
dengan wajah gembira yang terpancar dari balik keserius-an mukanya, dia
melanjutkan:
"Dalam santapan siang
tadi, anak giok mendengarkan pembicaraanku dengan sek-sama, melihat wajahnya
gembira dia turut gembira, melihat aku murung dia menjadi tak tenang, mendengar
pembicaraan orang lantas menghubungkannya dengan orang lain bahkan kemudian
berani meng-aku salah dan minta hukuman. kesemuanya ini menambah keyakinanku
bahwa pilihanku memang tak salah, itulah sebabnya aku pun mempercepat waktunya
setahun lebih awal untuk mewa-riskan ilmu silat tersebut ke-pada anak
giok."
Setelah berhenti sebentar dan
menatap wajah Lan See giok dengan penuh kasih sayang, ia bertanya lebih jauh:
"Anak. giok. bagaimanakah
perasaanmu setelah mendengar perkataanku ini?"
"Pujian dari suhu membuat
anak giok me-rasa malu." buru-buru Lan See giok men-jawab dengan hormat,
"selanjutnya anak giok bersumpah akan mengutamakan kejujuran serta
berlatih dengan tekun, mentaati pera-turan perguruan dan tidak akan
menyia-nyiakan harapan suhu terhadap anak giok."
Dengan gembira To Seng cu
manggut- manggut, katanya kemudian dengan serius:
"Sekarang, ikutilah suhu
menjumpai sucou mu!.."
la lantas bangkit berdiri dan
maju ke balik pintu gerbang istana gua.
Tiba di depan pintu, To Seng
cu melaku-kan suatu gerakan dengan telapak tangannya, pintu segera terbuka
sebuah celah selebar dua depa, cahaya tajam pun segera meman-car ke luar dari
balik ruangan tersebut.
To Seng cu, Lan See giok, Si
Cay soat dan Siau thi gou, segera bersama-sama me-nuju ke luar pintu.
Cahaya terang benderang
mencorong di luar pintu, sedemikian terangnya sampai debu di lantai pun dapat
terlihat jelas.
To Seng cu berdiri serius di
depan pintu gerbang yang tinggi besar itu sambil me-ngangkat kepalanya,
memandang sepasang "lian" yang tergantung di sisi pintu.
Lan See giok bertiga berdiri
berjajar di be-lakang To Seng cu, sikap mereka pun amat serius.
Malam sudah kelam, suasana
amat hening Lan See giok yang berdiri di belakang To Seng cu memandang ke arah
pintu dan mebnde-ngarkan hemjbusan angin dalgam gua, tiba-tibba saja merasakan
pikiran dan perasaannya menjadi sangat kalut.
Ia teringat kembali akan
dendam kesumat ayahnya, pengharapan dari bibi Wan serta enci Cian serta
penghargaan yang begitu tinggi dari gurunya terhadap dirinya.
Kesemuanya itulah yang
memantapkan ke-sempatan baginya untuk mempelajari ilmu silat maha dahsyat pada
malam ini dan peristiwa tersebut membuatnya amat terha-ru.
Sementara ia masih termenung,
tiba-tiba terdengar To Seng cu telah berkata dengan suara rendah tapi hormat.
"Arwah, suhu di alam baka
mohon tahu. tecu Cia Cing wan telah menuruti perintah dengan menemukan seorang
ahli waris untuk mempelajari isi cinkeng, hari ini murid ang-katan ketiga Lan
See giok khusus datang untuk menyampaikan sumpah serta rasa terima
kasihnya."
Selesai berkata, dia lantas
jatuhkan diri berlutut dan menyembah beberapa kali.
Lan See giok, Si Cay soat
serta Thi-gou se-rentak berlutut pula ke atas tanah.
Setelah menyembah sebanyak
empat kali. To Seng-cu bangkit berdiri.
Sedangkan Lan See giok
sekalian bertiga setelah memberi hormat beberapa kali baru ikut berdiri pula.
Kemudian To Seng-cu pun
berkata kepada Lan See giok dengan wajah serius.
"Anak giok, cepat
berlutut dan mengangkat sumpah dihadapan sucoumu, kau harus me-nyatakan
kesetiaanmu untuk selama hidup melaksanakan perintah sucou serta menaati
peraturannya."
Lan See giok mengiakan dengan
hormat, dia maju beberapa langkah ke depan dan menjatuhkan diri berlutut,
kemudian sambil memandang sepasang "lian" di sisi pintu, ujar-nya
dengan wajah bersungguh sungguh:
"Murid angkatan ke tiga
Lan See giok de-ngan hormat melaporkan kepada arwah Su-cou dialam baka, tecu
bertekad akan meneruskan kejayaan sucou dan bersumpah akan menaati setiap
peraturan yang ditetap-kan perguruan serta menegakkan keadilan serta kebenaran
dalam dunia persilatan, bila tecu sampai melanggar sumpah ini, biar Thian
melimpahkan kutukannya kepadaku."
Selesai bersumpah, dia
menyembbah lagi beberapja kali.
Tatkalga Lan See giok
bmengucapkan sum-pah nya tadi, dengan sorot mata yang tajam To Seng-cu
mengamati terus gerak gerik Lan See giok, tapi akhirnya dia manggut--manggut
sambil tersenyum girang.
Setelah bangkit berdiri Lan
See giok ber-sama gurunya, Si Cay soat dan Siau thi gou menutup kembali pintu
gua.
Tiba di ujung ruangan, To seng
cu duduk bersila kembali dikasur duduknya, kemudian memerintahkan Lan See giok
berlutut di ha-dapannya dan menitahkan Si Cay soat serta Siau thi gou berdiri
di sisinya.
Dengan sorot mata yang lembut
To Seng cu mengamati wajah Lan See giok, lalu ujarnya dengan lembut:
"Anak giok, sebelum
mempelajari kitab cinkeng, terlebih dulu hendak kusampaikan beberapa pesan
kepadamu, harap kau suka mengingatnya dihati."
Lan See giok mengiakan
berulang kali dan manggut-manggut pelan-pelan To Seng cu melanjutkan kata
katanya:
"Ke satu, untuk
mempelajari ilmu silat maha sakti yang tercantum dalam kitab cinkeng, selain
tergantung pada bakat, ke-cerdasan serta daya ingat seseorang, juga tergantung
besar tidaknya rejekimu, tulisan di atas Pwee yap tersebut hanya akan mun-cul
sekali setiap enam puluh tahun hurufnya amat banyak dan ilmu silatnya beraneka
ragam, kau harus menggunakan segenap daya ingatmu untuk menghapalkan semua
catatan tersebut."
"Ke dua, sebelum
mempelajari isi cinkeng itu, kau harus berusaha menenangkan pikiran serta
membuang jauh-jauh semua pikiran yang tak berguna, tak boleh dicekam perasaan
panik, ingat waktu sangat berharga bagimu, kau harus menggunakan saat yang amat
singkat dimana aku akan memperta-hankannya dengan seluruh tenaga untuk membaca
dan menghapalkan secara teliti.
"Selain dari pada itu,
gangguan macam apapun yang datangnya dari luar tidak akan mengganggu
konsentrasiku, biar ada golok diayunkan ke leherku juga percuma, dalam hal ini
kau harus ingat baik-baik, sekali pikiranmu bercabang. bukan hanya kau bakal
tewas, akupun akan mengalami jalan api menujru neraka sehingzga ber-akibat
cwacad seumur hidrup--!"
Si Cay soat yang mendengarkan
perkataan itu segera berkerut kening, wajahnya berubah hebat diam-diam ia
berdoa semoga engkoh gioknya bisa berhasil dengan sukses.
Sebaliknya Siau thi gou
berdiri bodoh di situ, ia benar-benar tak pernah menyangka kalau untuk
mempelajari kitab cinkeng pun bakal menghadapi ancaman yang begitu serius,
karenanya saking gelisahnya peluh sampai jatuh bercucuran.
Sambil berlutut dihadapan To
Seng cu, diam-diam Lan See giok mengatur per-na-pasan dan berusaha keras untuk
menenang-kan pikiran dan perasaannya yang bergolak.
Menyaksikan wajah tegang dan
panik yang mewarnai wajah Lan See giok sudah lenyap tak berbekas, To Seng cu
merasa gembira sekali, ia segera berkata lebih jauh:
"Sewaktu berada di
kuburan kuno, aku memberi beberapa tetes sari susu batu ke-mala kepadamu
sehingga tenaga dalam yang kau miliki sekarang telah melipat ganda, ketajaman
matamu bisa melebihi sinar sang surya, oleh sebab itu aku tidak kuatir kau tak
bisa membaca tulisan di atas pwee yap ini."
Sambil berkata dia membuka
kotak kecil itu, mengeluarkan ke tiga biji pwee yap tadi dan diletakkan di atas
telapak tangan.
Dengan bersungguh hati dan
serius Lan See giok mengatur napas, dia tak berani menyabangkan pikirannya,
oleh sebab itu ia pun tak sempat memikirkan apa yang di-se-but sari susu batu
pualam itu.
Dalam pada itu To seng cu
telah merang-kapkan tangannya menjadi satu dengan menjepit ke tiga pwee yap
tadi dalam telapak tangannya, setelah menitahkan kepada Lan See giok agar
berlutut di depan sepasang lu-tutnya. dia berpesan lagi; "Anak giok, kau
harus tahu, rejeki setiap orang berbeda, pe-ngalaman yang dijumpai pun tidak
sama, bahkan nasibpun berbeda, kau harus mem-bawa tekad menyerahkan segalanya
kepada yang kuasa. Pasrah sepenuhnya kepada Thian sambil membaca kitab itu,
mengerti?"
Lan See-giok segera memahami
maksud-nya, seketika itu juga pikirannya terasa ter-buka, dengan cepat dia
mengangguk:
Akhirnya To Seng cu memandang
sekejap lagi kearah Lan See giok kemudian baru me-mejamkan mata rapat-rapat,
sepasang ta-ngannya menggenggam ke tiga biji Pwee yap itu lekat-lekat dan
meletakkannya di atas lutut di depan dada.
Lan See giok sendiripun
berhasil men-e-nangkan pikirannya bagaikan air. sorot" ma-tanya memandang
lurus ke depan dan tenang bagaikan pendeta tua.
Pikirannya bersih dan
perasaannya kosong, Si Cay soat serta Siau thi gou berdiri serius di
sampingnya, mereka memusatkan seluruh perhatiannya sambil mengawasi gurunya
serta Lan See giok dengan serius.
Suasana dalam ruangan itu
sangat hening, sedemikian sepinya sehingga tak kedengaran sedikit suarapun.
Paras muka To Seng-cu berubah
menjadi merah membara, lambat laun peluh mulai bercucuran membasahi jidatnya,
uap putih menguap dari ubun-ubunnya dan membaur dengan bau dupa yang memenuhi
seluruh ruangan.
Lan See giok berlutut di depan
To Seng-cu, ia merasa udara sangat panas bagaikan ko-baran api, bahkan menerpa
tubuhnya beru-lang-ulang, namun terhadap perubahan mimik muka dari To Seng cu
itu, dia berlagak seakan akan tidak melihatnya:
Si Cay soat serta Siau thi gou
juga ikut merasakan meningkatnya suhu udara di se-kitar mereka. perasaan tegang
pun semakin bertambah, tanpa terasa peluh- bercucuran deras, hatipun ikut
berdebar
Mendadak --
To Seng-cu merentangkan kedua
ibu jari tangannya ke samping, segulung cahaya ta-jam segera memancar ke luar
ke atas langit-langit gua, seketika itu juga suasana di dalam gua menjadi
terang benderang--
Lan See giok tak berani
berayal, sambil membungkukkan badan, sepasang matanya mengawasi kedua ibu jari
To seng cu lekat-lekat, seluruh tenaga dalamnya telah di him-pun dan
perhatiannya dipusatkan ke atabs telapak tangajn gurunya.
Dargi balik telapakb tangan
gurunya, ia merasa datangnya pancaran sinar tajam yang amat menusuk pandangan
membuat mata-nya terasa sakit seperti ditusuk-tusuk pisau.
Sambil berusaha menahan rasa
sakit Lan See giok mengerahkan tenaga dalam nya untuk bertahan, biarpun
sepasang matanya seakan akan melihat sinar matahari, tapi sekarang dia tidak
merasa semenderita tadi lagi.
Menyusul kemudian segulung bau
harum muncul dari tenggorokannya, dan sepasang matapun terasa segar kembali.
Lambat laun cahaya tajam yang
menusuk pandangan itu mulai hilang, menyusul ke-mudian muncul huruf-huruf dari
emas..-
Lan See giok sangat girang,
secara ber-urutan diapun membaca terus.
Hud kong sin kang (Hawa sakti
cahaya Buddha ), - .
Yu-hong-hui heng ( Menunggang
angin ter-bang melayang ) . . .
Pwee-yap sam-ciang ( tiga
pukulan Pwee-yap) .....
Thi siu-yau-kong ( ujung baju
baja menge-bas udara ). . . .
Setelah membaca ke empat nama
ilmu silat -tersebut, Lan See giok segera membaca pula isi pelajarannya dengan
seksama . . .
Dalam pada itu, Si Cay soat
dan Thi- gou yang berdiri di kedua belah sisi-nya merasa amat tegang, peluh
dingin jatuh bercucuran, mereka tak tahu apakah Lan See giok dapat membaca isi
pelajaran dalam pwee yap itu atau tidak?
Suasana dalam gua amat sepi,
sedemikian sepinya sampai dapat terdengar suara detak jantung masing-masing. -
-
Pada saat itulah- - -
Sreeet---
Suara desingan besi bergema
datang disu-sul suara pekikan nyaring yang berkuman-dang datang secara
lamat-lamat.
Si Cay soat serta Siau Thi gou
sangat terkejut, dengan wajah berubah hebat mereka segera memasang telinga
baik-baik dan mendengarkan dengan seksama.
Kalau diamati secara teliti,
sbuara pekikan nyjaring itu seakagn akan berasal bdiri kamar tidur Si Cay soat.
Tergerak hati Si Cay soat, dia
seperti me-mahami akan sesuatu, setelah menuding kearah gurunya dan Lan See
giok yang se-dang berlutut membaca kitab cinkeng itu kepada Siau thi gou. di
mana ia minta Siau thi gou melindungi keselamatan mereka, diam-diam ia melompat
mundur sejauh tiga kaki dan menuju ke ruang batu.
Setelah berada di pintu
ruangan. ia dapat menangkap suara pekikan nyaring itu ber-gema semakin nyaring.
Dengan cepat Si Cay soat
melompat naik ke ruang tidurnya, tapi apa yang kemudian terlihat membuat
sekujur tubuhnya gemetar keras, mukanya berubah hebat, hampir saja ia menjerit
kaget.
Ternyata pedang Jit hui kiam
tersebut te-lah lolos sendiri dari sarungnya sebanyak be-berapa inci, cahaya
yang tajam dan pekikan yang amat nyaring tak lain ber-asal dari pedang
tersebut.
Si Cay soat segera
manggut-manggut mengerti, gumamnya kemudian dengan suara gagap:
"Orang kuno bilang:
Pedang antik yang berjiwa, akan memberi tanda bahaya bila ada musibah
mengancam, Jangan-jangan ada orang yang hendak menyatroni kami?"
Berpikir demikian, hatinya
menjadi amat gelisah dengan cepat dia menyambar pedang Jit-hoa-kiam dan menaiki
anak tangga batu menuju ke rumah batu di atas tebing.
Karena teringat olehnya bisa
jadi ada orang telah menyusup masuk ke dalam barisan po-hon bambu.
Setibanya di ujung jalan, ia
tak berani langsung membuka tombol rahasia, mula-mula diintipnya dulu lewat
celah-celah pintu dan memasang telinga baik-baik, setelah ya-kin kalau tiada
orang, dia baru menekan tombol dan masuk ke dalam rumah.
Suasana dalam rumah batu gelap
gulita, pintu dan jendela masih tertutup rapat maka ia berjalan menuju ke depan
jendela. Belum pernah Si Cay soat merasakan perasaan gugup dan panik seperti
apa yang dialaminya pada hari ini. karena dia tahu bila dalam keadaan seperti
ini benar-benar ada orang menyerang datang, maka bukan saja engkoh gioknya
bakal tewas, gurunya juga akan mengalami rjalan api menujzu neraka. .
Diw samping itu dirapun bisa
menduga yang berani menyerang ke tempat kediaman mereka sudah pasti merupakan
gembong ib-lis dari kalangan hitam yang berilmu silat sangat tinggi.
Berpikir sampai di situ, tanpa
terasa ta-ngan kanannya meraba pedang Jit hoa kiam.
Tiba di depan jendela, dia
mengintip ke luar lewat celah-celah jendela. tampak malam gelap mencekam
seluruh jagad, bintang ber-taburan dimana mana, suasana amat hening.
Tapi perasaan Si Cay soat
waktu itu- dicekam oleh perasaan tegang bercampur ngeri.
Dia memusatkan seluruh perhatiannya
untuk melihat dan mendengarkan keadaan di seputar sana dengan seksama
diperiksanya barisan bambu lebih kurang tujuh delapan kaki dihadapannya ....
Mendadak....
Suara pekikan nyaring yang
menggidikkan hati berkumandang dari atas puncak giok-li-hong di belakang
bangunan rumah itu.
Pekikan aneh tadi memanjang
dan sangat menggetarkan perasaan, dalam sekilas pan-dangan saja orang sudah
tahu kalau penda-tang memiliki tenaga dalam yang amat sem-purna.
Si Cay soat amat terkejut,
dengan cepat dia melompat ke jendela belakang, apa yang ter-lihat segera
membuat sekujur badannya ge-metar keras.
Sesosok bayangan hitam yang
tinggi besar sedang melayang turun dari puncak bukit, sepasang matanya
memancarkan cahaya ta-jam, lengannya direntangkan lebar-lebar ketika meluncur
turun sehingga keadaannya tak jauh berbeda seperti seekor burung raja-wali
raksasa.
Begitu kagetnya Si Cay soat,
dia sampai terjongkok sambil mengintip, sorot matanya yang tajam mengawasi
bayangan hitam yang meluncur datang itu tanpa berkedip, saat itu dia tak tahu
apakah gurunya telah selesai mengerahkan tenaganya atau belum, diapun tak tahu
apakah Siau thi gou bisa mengen-dalikan diri atau tidak.
Tidak meleset dari dugaan Si
Cay soat. Siau thi gou yang melihat enci Soatnya lama juga belum kembali,
hatinya menjadi amat gelisah. apalagi setelah mendengar suara pekikan aneh yang
menggidik-kan hati itu, saking cemasnya dia sampai mandi keringat.
Ia tahu, pendatang itu sudah
pasti sese-orang yang memiliki ilmu silat amat tinggi, bagaimana mungkin enci
Soatnya seorang dapat menghadapi pendatang tersebut.
Maka dia memutuskan untuk
memba-ngunkan gurunya.
Begitu mengambil keputusan
dalam hati-nya, Siau thi gou dengan wajah gugup dan gelisah segera berjalan
menghampiri To Seng cu yang berada dalam keadaan kritis.
Pepatah kuno mengatakan.
Setiap persoa-lan telah diatur oleh Thian Yaa, mana mung-kin To Seng cu akan
menduga datang nya lawan tangguh dalam keadaan seperti ini?
(Bersambung ke Bagian 19)