Anak Harimau Bagian 01

Baca Cersil Mandarin Online: Anak Harimau Bagian 01

Bagian 01
Matahari bersinar cerah menyoroti telaga Huan-yang ou yang beriak karena hembusan angin, udara tampak cerah dan bersih, udara di musim gugur memang terasa lebih nyaman dan semilir.

Sebuah perkampungan nelayan berdiri di tepi telaga, rumah bambu yang berjajar di antara sela-sela dedaunan nan hijau tampak berderet memanjang menampilkan suatu pemandangan yang indah.

Sepanjang bendungan tampak jala yang dibentangkan di bawah terik matahari, nona-nona muda duduk berkumpul di bawah pohon yang rindang sambil menambal jala-jala yang robek.

Kaum wanita dan ibu-ibu sedang mencuci pakaian di tepi telaga, sedang anak-anak saling berkejaran diiringi teriakan dan jeritan gembira.

Saat itu, sekumpulan gadis nelayan sedang duduk berkerumun sambil membicarakan seorang tamu dari utara yang menginap di rumah Thio lopek, seorang kakek yang ramah bersama seorang gadis yang cantik dan se-orang anak lelaki berkulit hitam....

Tampaklah seorang gadis nelayan berbaju hijau yang berambut kepang, sambil menghentikan sulamannya memandang ke arah seorang gadis berbaju kembang-kembang di hadapannya sana, kemudian berseru:

"Enci Ing cun, nampaknya sahabat dari Thio lopek adalah seorang yang berwajah hokki, coba lihat rambutnya yang putih, jenggotnya yang berwarna perak, kalau berjalan halus dan lembut, tidak seperti Thio lopek, mana matanya segede jengkol, alis matanya tebal, kumisnya malang melintang, hiiih, mengerikan ...."

"Aaah, Ji-niu, masa kau tidak tahu? Thio Lopek kan seorang jago silat sedang tamu dari utara ia orang sekolahan, tentu saja berbeda," sela seorang nona bercelana hijau.

Seorang nona berumur lima enam belas tahun lainnya ikut menimbrung dengan wajah serius.

"Aku rasa tamu dari utara itupun seorang ahli silat, buktinya setiap kali ke tiga putra Thio lopek beradu silat dengan si bocah jaliteng dari utara itu, yang kalah selalu ke tiga putra Thio lopek "

"Yaa.... yaa, betul, apa yang dikatakan adik Kim-hoa memang benar," gadis nelayan yang bernama Ing-cun itu berseru ce-pat: "apalagi si nona cantik dari utara itu, mana bajunya serba merah, cantik lagi, hakekatnya seperti cabe merah. Sekali melompat ke atas, atap rumah orangpun dilalui. . ."

Belum habis dia berbicara, mendadak dari arah dusun sana terdengar suara bentakan gusar.

Diikuti sekumpulan anak-anak desa bersorak sorai dan berlarian menuju ke dalam hutan bambu di tepi dusun.

Nona-nona nelayan itu segera melongok bersama ke arah hutan bambu, kemudian salah seorang diantaranya berseru sambil tertawa:

"Nampaknya ke tiga orang putra Thio Lopek lagi-lagi menantang si Jaliteng untuk berduel!"

Belum habis dia berbicara, sorak sorai anak-anak dusun itu kembali berkumandang dari balik hutan bambu.

Mendengar sorakan itu, nona-nona nelayan itu saling berpandangan sambil tertawa, seakan akan mereka berkata:

"Sudah pasti Thio Toa-keng anaknya Thio lopek kena dibanting lagi oleh si Jaliteng!"

Mendadak mencorong sinar terang dari balik mata seorang nona nelayan, lalu jeritnya kaget:

"Hei, coba kalian lihat!"

Ketika semua orang berpaling, tampaklah dari atas tanggul telaga lebih kurang puluhan kaki di depan sana, muncul sesosok bayangan kecil yang mengenakan jubah panjang.

Tapi oleh karena ilalang yang tumbuh di sekitar tanggul amat tinggi dan bergoyang terhembus angin, maka bayangan itu tidak nampak jelas, tapi mereka yakin kalau orang itu adalah seorang sekolahan dari kota, sebab di seluruh dusun nelayan itu tak pernah dijumpai ada orang yang mengenakan jubah panjang.

Lambat laun bayangan itu makin mendekat, sekarang baru terlihat jelas, ternyata bayangan kecil itu adalah seorang bocah lelaki berbaju biru. Bocah lelaki itu berusia lima enam belas tahunan, berwajah tampan dan bergigi putih, tubuhnya tegap dan mukanya ganteng, sungguh nampak menarik hati.

Terutama sekali sepasang biji matanya yang jeli, penuh dengan pancaran sinar kecerdasan.

Ujung bajunya yang berwarna biru berkibar terhembus angin, sedang sorot matanya yang jeli memandang ke sana ke mari, agaknya dia sedang menikmati keindahan alam di sekitar telaga.

Wajahnya yang tampan tampak berubah ubah, sementara keningnya kadangkala berkerut, kadangkala pula senyuman menghiasi bibirnya.

Dengan terkesima, kawanan gadis nelayan itu memperhatikan wajah pemuda itu, seakan akan mereka sedang menyaksikan sesuatu yang sangat indah.

Sebaliknya pemuda itu seakan akan tak pernah melihat kalau di bawah pohon yang rindang, duduk sekelompok gadis nelayan yang sedang memperhatikannya.

Karena waktu itu dia sedang melamun, ia sedang berpikir bagaimana dia harus melaporkan kisah perjumpaannya dengan bibi Wan kepada ayahnya sesudah tiba di dalam kuburan kuno di tengah hutan nanti,

Teringat akan keagungan wajah Bibi Wan nya itu, kembali sepasang alis matanya berkerut.

Ia tidak tahu kalau ayahnya masih mempunyai seorang adik perempuan yang sudah setengah umur namun berwajah cantik, bahkan ibunya yang telah meninggal lima tahun berselangpun tak pernah membicarakan tentang soal ini, hal mana membuatnya merasa bingung dan tak habis mengerti.

Dia pun tak tahu apa isi kotak kecil yang diperintahkan oleh ayahnya untuk diserah-kan kepada Bibi Wan, tapi kalau dilihat dari sikap ayahnya ketika berpesan sebelum berangkat, dapat dipastikan isi kotak tersebut tentu barang berharga.

Tapi kalau membayangkan sikap tegang dan gugup yang terpancar dari wajah Bibi Wan setelah menyaksikan isi kotak itu, dapat diduga pula kalau benda itu adalah sebuah benda yang luar biasa.

Mendadak ia tertawa lagi, mukanya kembali berseri, hatinya menjadi riang gembira lagi.

Sebab dia terbayang pula dengan Ciu Siau cian, putri tunggal Bibi Wan nya itu.

Enci Cian berusia setengah tahun lebih tua, mukanya putih halus, wajahnya cantik jelita, dia adalah seorang gadis cantik, yang alim dan baik hati.

Selama tiga hari dia berada di rumah bibi nya, gadis itu jarang tertawa atau berbicara tapi perhatian terhadap dirinya amat besar.

Sekalipun ia jarang berbincang-bincang dengan Enci Cian, ketika ia sedang duduk di sisinya. duduk membungkam sambil menikmati kecantikan wajahnya dan keanggunan sikapnya.

Terutama sekali sepasang mata Enci Cian yang jeli dengan alis mata yang lentik, membuat siapa saja yang memandangnya merasa amat nyaman---

Sorak sorai serombongan anak dusun dengan cepat membuat pemuda berbaju biru itu mendusin kembali dari lamunannya.

Ia lantas mendongakkan kepalanya ke depan, dijumpai nya serombongan anak sebaya dengan usianya sedang berteriak, bersorak dan menggoyang-goyangkan tangannya di dalam hutan bambu...

Rasa ingin tahu dan dorongan sifat ke kanak-kanakannya membuat pemuda itu berjalan, menuju ke hutan tanpa terasa.

Tapi baru berapa langkah kembali dia menjadi ragu, karena pesan dari Bibi Wan kembali mendengung di sisi telinganya.

"..langsung pulanglah ke rumah, jangan berhenti di tengah jalan lagi..."

Maka dia hanya melirik sekejap ke arah hutan bambu, kemudian melanjutkan kembali perjalanannya

Dia masih ingat, setelah melewati dusun nelayan itu, dia harus menelusuri sebuah jalan setapak di arah barat laut sana.



Mendadak terdengar suara bentakan gusar menggema di dalam hutan, diikuti anak-anak dusun yang sedang bersorak sorai itu membuyarkan diri ke mana-mana.

Tak tahan pemuda berbaju biru itu segera berpaling, dengan cepat ia menjumpai. seorang anak lelaki berkulit hitam dan berbaju hitam, berusia paling banyak empat belas tahun terlempar ke luar dari balik hutan bambu.

Menyusul kemudian muncul tiga orang anak dusun yang berperawakan lebih besar dari anak berkulit hitam itu dengan mata melotot, mereka menyusul ke luar sambil mengepalkan tinjunya.

Dasar pemuda berbaju biru ini memang berjiwa pendekar, hawa amarahnya segera berkobar sesudah menyaksikan kejadian itu, dia lupa dengan pesan bibi Wan, dengan suara lantang bentaknya:

"Cepat berhenti, masa kalian bertiga mengerubuti satu orang? Huuh, tak tahu malu."

Sambil membentak, ia turut menubruk ke muka.

Serentak empat orang anak yang sedang berkelahi segera berhenti saling memukul, sedang anak-anak nakal yang berada di se-kitar hutan bambupun sama-sama mengalihkan sorot mata mereka yang terkejut ke arah pemuda baju biru itu.

Menanti pemuda berbaju biru itu semakin mendekat, ia baru merasa kalau keadaan agak kurang beres, sebab empat orang anak yang berkelahi tadi kecuali seorang anak bertubuh agak besar yang sedang melotot gusar ke arahnya, tiga orang yang lain telah berdiri berjajar sambil tertawa.

Tergerak hati pemuda baju biru itu dan ia segera menahan gerak terjangannya.

"Aaah, jangan-jangan mereka sedang bermain-main?" demikian dia lantas berpikir.

Belum habis ingatan tersebut melintas dalam benaknya, anak yang melotot gusar telah maju menghampirinya dengan sepasang kepalannya dikepalkan kencang-kencang.

Pemuda berbaju biru itu sangat menyesal, ia merasa tidak seharusnya mencampuri urusan orang lain, tapi hatinya mendongkol juga setelah melihat tampang anak desa yang jumawa itu.

Setibanya satu kaki di hadapannya, anak dusun itu melotot gusar ke arah pemuda berbaju biru itu. kemudian tegurnya dengan suara dalam:

"Hei, kau datang dari mana? Mau ikut-ikutan yaa?"

Pemuda berbaju biru itu berdiri tenang, tapi melihat sepasang kaki lawan bersikap dalam bentuk kuda-kuda, sepasang tinjunya dikepal kencang-kencang, jelas ia bermak-sud hendak berkelahi, amarahnya makin berkobar.

Ia mencoba berpaling ke arah bocah dusun yang lain, dua orang anak yang terlibat dalam perkelahian tadi, seorang anak berbadan gemuk seperti babi kecil, dan seorang anak kurus seperti monyet sedang tertawa haha hihi sambil berbisik-bisik dengan anak berkulit hitam itu.

Sementara dia masih mengamati anak-anak itu, si anak dusun yang menantangnya telah membentak keras:

"Hai, aku bertanya kepadamu datang dari mana, mengapa kau tidak menjawab?"

Pemuda berbaju biru itu menjawab de-ngan hati mendongkol.

"Aku datang dari mana, apa urusannya denganmu?"

Didamprat dengan pedas, anak dusun itu jadi terbelalak dengan wajah merah padam.

Sedang anak-anak dusun lainnya yang berada di sekitar hutan segera tertawa terbahak-bahak mentertawakannya.

Salah seorang di antaranya, seorang anak berbaju robek segera mengejek ke arah anak dusun itu.

"Hmm, Thio Toa-keng, biasanya kau cuma berani menganiaya kami, coba rasain hari ini---"

Dengan gemas Thio Toa-keng melotot sekejap ke arah anak berbaju robek itu, kemudian kepada si pemuda berbaju biru teriaknya lagi:

"Kalau memang tak ada sangkut pautnya, mengapa pula kau datang mengacau permainan kami?"

Agak memerah juga wajah si pemuda baju biru itu. tapi ia berteriak pula dengan mendongkol:

"Belum pernah kujumpai orang yang tak tahu aturan seperti kau.. " Kemudian setelah melotot sinis ke arah Thio Toa-keng, dia membalikkan badan siap akan pergi.

Karena dia teringat lagi dengan pesan Bibi Wan nya, maka ia tak berani berada terlalu lama di situ.

Suatu bentakan keras tiba-tiba menggema memecahkan kesunyian itu, angin menderu-deru dan sesosok bayangan manusia telah menghadang di depan lelaki berbaju biru itu.

Dengan perasaan gusar pemuda berbaju biru itu mundur ke belakang, belum sempat ia menegur, anak-anak dusun lainnya telah bersorak sorai.

"Hoooree--- hooooree-- Enci Soat telah datang, Enci Soat telah datang- -"

Serta merta pemuda berbaju biru itu berpaling, dia saksikan sesosok bayangan merah berkelebat lewat dari balik hutan bambu, lalu di depan kawanan anak dusun itu telah berdiri seorang anak perempuan berbaju merah darah yang menyoren pedang pendek.

Anak perempuan berbaju merah itu berumur empat lima belas tahun, mukanya yang putih berbentuk potongan kwaci, matanya jeli dan besar, hidungnya mancung, bibirnya tipis, di atas rambutnya yang panjang tampak sebuah pita berbentuk kupu-kupu.

Sarung pedang di punggungnya berwarna merah menyala, sepatunya juga berwarna merah dengan sepasang bola merah di ujung sepatu tersebut.

Dengan kening berkerut dan bertolak pinggang, nona cilik itu sedang mengawasi si pemuda berbaju biru dengan sorot mata tajam.

Pemuda baju biru itupun sedang menatap ke arahnya, dia hanya merasa dari balik hutan bambu muncul sebuah bola api dan tahu-tahu di depan matanya telah bertambah dengan seorang gadis baju merah yang kelihatan binal dan sukar dihadapi.

"Lebih baik aku cepat-cepat meninggalkan tempat ini---" demikian ia berpikir.

Tapi baru saja ingatan itu sempat melintas dalam benaknya. dari arah belakang telah terdengar suara bentakan lagi.

"Siauya sedang mengajakmu berbicara, mengapa kau tidak menggubris---?"

Begitu selesai membentak. angin tajam sudah menyambar ke punggungnya. Dengan cekatan pemuda berbaju biru itu berpaling, ia saksikan Thio Toa-keng sedang mengayunkan tinjunya sambil melotot marah.

Pemuda berbaju biru tertawa dingin, ia segera miringkan badannya ke samping sambil menjatuhkan diri, lalu secepat kilat dia cengkeram pergelangan tangan Toa-keng.

Kawanan anak dusun di sekitar hutan bambu menjerit kaget hampir bersamaan waktunya dengan ditangkapnya pergelangan tangan Thio Toa-keng oleh bocah itu.

Thio Ji keng yang gemuk seperti babi kecil segera melotot gusar melihat kakaknya ditangkap orang bentaknya keras-keras.

"Cepat lepas tangan . . . . "

Di tengah bentakan keras tubuhnya me-nu-bruk ke depan, kepalannya langsung di ayunkan ke muka memukul kepala pemuda berbaju biru itu keras-keras.

Dengan kening berkerut pemuda berbaju biru itu mendengus gusar, tangan kanannya yang menggenggam tangan Thio Toa-keng segera digetarkan keras-keras . . .

"Duuk, duuk, duuk . . . " di tengah suara langkah kaki yang mundur ke belakang Thio Toa-keng merintih sambil meringis menahan kesakitan, sementara sepasang tangannya diayunkan kesana ke mari berusaha untuk menjaga keseimbangan badannya.

Angin berhembus lewat, kepalan kecil dari Thio Ji-keng si anak berbadan gemuk seperti babi telah meluncur datang.

Pemuda berbaju biru itu tidak gugup atau panik, dia segera merendahkan kepala sambil membuang bahu ke samping, lalu sambil maju ke depan dia bacok pergelangan tangan kanan Thio Ji-keng yang bulat gemuk dengan jurus Si gou huang gwat ( badak melihat rembulan).

Pada saat itulah . .

"Duuk. . . ! diiringi dengusan kesakitan.

Thio Toa-keng yang terlempar mundur tak sanggup menjaga keseimbangan badannya lagi, ia terjatuh ke tanah lalu roboh terlentang dengan gaya empat kaki menghadap atas.

Suara bentakan gusar dan jeritan kaget kembali bergema, pergelangan tangan kanan Thio Ji keng telah terpapas telak oleh bacokan bocah berbaju biru itu, sambil menahan kesakitan Thio Ji keng yang gemuk segera menerjang maju lebih ke depan.

Dengan cekatan anak berbaju biru itu membalikkan badannya lalu melayang dua kaki ke samping.



"Blaammm!" lantaran tenaga terjangan Thio Ji-keng kelewat besar dan ia tak sang-gup menahan tubuhnya, tak ampun tubuhnya terjerembab ke tanah dengan gaya "harimau lapar menubruk domba."

Suasana di seluruh arena menjadi sepi, tiada orang yang bersorak sorai lagi, semua anak dusun itu berdiri terbelalak dengan wajah ketakutan, mereka bersama sama mengawasi pemuda berbaju biru itu dengan sorot mata terperanjat.

Thio Sam keng yang kurus seperti monyet berdiri bodoh. sedang si jaliteng berdiri dengan mata melotot ke luar, diapun ter-perana dibuatnya.

Hanya si nona cilik berbaju merah yang masih berdiri sambil bertolak pinggang, sekulum senyuman acuh menghiasi bibirnya, sedang sorot mata yang dingin mengawasi pemuda berbaju biru itu tanpa berkedip.

Agaknya Thio Toa-keng tahu kalau telah bertemu dengan "musuh tangguh". tanpa berbicara dia segera merangkak bangun, lalu sambil meraba pantatnya yang sakit dia menghampiri Thio Ji keng dan menarik bangun adiknya dari tanah.

Tiba-tiba pemuda berbaju biru itu me-nyaksikan matahari telah condong ke barat dengan wajah gelisah dia lantas membalik-kan badan dan berlalu dari situ dengan langkah lebar.

"Berhenti!" Nona cilik berbaju merah itu membentak keras.

Sekali lagi pemuda berbaju biru itu merasa jengkel setelah mendengar bentakan yang dingin dan bernada memerintah itu, dia segera berhenti dan menengok ke arah si nona . . . .

Tampak olehnya nona cilik berbaju merah itu berdiri dengan wajah tanpa emosi, matanya yang jeli menatap dingin ke arahnya, sikap maupun lagaknya amat angkuh dan jumawa.

Dasar dalam hatinya sudah mangkel, melihat tampang seperti itu lagi, ibaratnya api bertemu bensin, kontan saja hawa amarah pemuda yang berbaju biru itu membara.

Tapi dia kuatir ayahnya marah karena dia pulang terlambat, maka sambil menahan sa-bar katanya dengan suara dalam:

"Ada urusan apa kau memanggilku?"

Nona kecil berbaju merah itu melengos ke arah lain, sekejappun ia tidak memandang ke arahnya, kepada si anak berkulit hitam, pekat itu serunya dengan nada memerintah:

"Adik Gou, kau coba kekuatannya!"

Begitu nona cilik itu berseru, kawanan anak dusun di sekitar sana segera bersorak sorai, seolah-olah sedang memberi duku-ngan kepada si hitam tersebut:

"Thio Toa-keng, Ji-keng dan Sam-keng juga tertawa senang sorot mata mereka me-man-carkan sinar harapan, mereka berharap si hitam bisa menghajar pemuda berbaju biru itu sampai babak belur, atau paling ti-dak bisa membalaskan sakit hati mereka.

Anak hitam itu mengencangkan dulu ikat pinggangnya, lalu setelah menatap sekejap ke arah lawannya dengan sepasang biji mata yang hitam pekat, ia maju ke muka dengan langkah lebar.

Sementara itu, si pemuda berbaju biru itu sudah melihat awan gelap di langit sebelah barat-daya, hatinya semakin gelisah, sebab dia tahu awan mendung telah menyelimuti langit yang makin gelap.

Dengan langkah tegap anak berkulit hitam itu telah tiba di hadapannya, mula-mula dia menjura lebih dulu, kemudian dengan bibirnya yang merah dia menegur;

"Saudara, tolong tanya siapa namamu? Aku Wu Thi-gou mendapat perintah dari enci Soat untuk mencoba berapa jurus ilmu silatmu."

Meski dalam hati pemuda berbaju biru itu merasa gelisah dan tak sabar, tapi dia tahu jika hari ini tidak unjuk gigi dan menentukan menang kalah, jangan harap dia bisa meninggalkan tempat itu.

Maka ketika dilihatnya si anak berkulit hitam Wu Thi-gou bersikap sopan dan nampaknya seperti berpendidikan, mungkin murid seorang jago kenamaan, diapun balas memberi hormat.

Sekalipun kukatakan namaku belum tentu kalian tahu, lebih baik tak usah di utarakan saja---" katanya tak sabar.

Belum habis dia berkata, mendadak terdengar nona cilik berbaju merah itu menukas dengan suara dalam:

"Sebutkan saja namamu, setelah kau ucapkan, bukankah kami akan mengetahuinya ?"

Merah jengah selembar wajah pemuda berbaju biru itu, dengan gusar dia melotot sekejap ke arah gadis cilik itu, kemudian katanya kepada Wu Thi-gou:

"Aku bernama Lan See-giok, cepatlah lan-carkan seranganmu!"

Siau Thi-gou tidak sungkan lagi, sambil membentak dia lepaskan sebuah pukulan keras.

Lan See-giok tahu bahwa si bocah hitam ini tak boleh dianggap enteng, dengan cekatan dia berkelit ke samping, kemudian mengayunkan telapak tangannya untuk menyambut datangnya ancaman tersebut.

Apa yang diduga ternyata benar juga. baru saja Lan See-giok menggerakkan tubuhnya. permainan jurus serangan Siau Thi-gou (si kerbau baja kecil) segera berubah weess. weess! segulung angin tajam menyapu ke depan. dalam waktu singkat dia telah melancarkan lima buah serangan dahsyat.

Untung saja Lan See-giok telah mempersiapkan diri sebelumnya, buru-buru ia tangkis ancaman itu lalu berebut melepaskan serangan balasan, meski begitu, ia toh kena terdesak juga sampai mundur beberapa langkah dari posisi semula.

Thio Toa-keng bersaudara. segera ber-sorak sorai kegirangan.

Sedang anak-anak nakal lainnya ikut berteriak teriak sambil memberi semangat kepada kedua belah pihak, seakan akan mereka sedang menonton pertunjukan adu jago saja.

Si Nona berbaju merah pun tampak tertawa puas, dari balik bibirnya yang kecil mungil terlihat dua baris giginya yang putih bersih.

Agak memerah paras muka Lan See-giok karena kena didesak mundur, amarahnya segera berkobar, permainan jurus pukulannya pun berubah, sekarang dia mulai unjuk gigi, sambil menyerbu ke depan . . . Sreeet! Sreeet! Sreeet Secara beruntun dia lancarkan tiga buah pukulan berantai yang maha dahsyat.

Siau Gou - cu segera merasakan empat penjuru sekeliling tubuhnya diliputi oleh bayangan telapak tangan yang membukit, dengan susah payah dia harus menangkis kesana ke mari berusaha untuk meloloskan diri dari ancaman, tak ampun dia menjadi kelabakan setengah mati.

Sekarang Thio Toa-keng bertiga tak bisa berteriak lagi, kawanan anak nakal di sekitar arenapun berhenti berteriak, sedang senyuman yang menghiasi ujung bibir si nona kecil berbaju merahpun turut menjadi lenyap.

Seluruh arena menjadi hening, semua orang mengawasi Siau Gou cu dengan mata terbelalak dan perasaan kuatir, mereka kuatir kalau sampai si hitam kecil itu di kalahkan.

Pertarungan makin lama berkobar makin seru, baik Lan See-giok maupun Siau Thi-gou sama-sama tak mau mengalah, kedua belah pihak mengerahkan segenap kepandaian silat yang dimilikinya untuk kemenangan.

Matahari semakin condong ke barat, senja pun telah menjelang tiba, angin yang ber-hembus kencang membawa kelembaban udara, tampaknya hujan sudah hampir tu-run.

Lan See-giok bertambah gelisah setelah menyaksikan keadaan itu, jurus serangan yang dilancarkan makin lama semakin kalut, untung saja ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya jauh lebih hebat dari pada Siau Thi-gou, sehingga beberapa kali dia berhasil menghindarkan diri dari ancaman bahaya.

Mendadak terdengar seseorang memben-tak merdu:

"Adik Gou, mundur!"

Siau Thi-gou segera melancarkan tiga buah serangan berantai untuk mendesak mundur lawannya, kemudian menggunakan kesempatan itu tubuhnya melompat mundur sejauh satu kaki lebih dari posisi semu-la.

Lan See-giok segera mendongakkan kepalanya, dia saksikan si nona cilik berbaju merah itu sedang berjalan mendekat dengan sikap yang sangat angkuh.

Tampaknya kegagalan Siau Thi-gou untuk merobohkan Lan See-giok membuat nona cilik berbaju merah itu segera tampil sendiri untuk menghabisi lawannya.

Setelah berada di hadapan Lan See-giok, dengan angkuh nona berbaju merah itu ber-kata:

"Aku bernama Si Cay-soat, tampaknya le-bih kecil dua tahun darimu, tapi kami sudah bergilir mengerubuti dirimu, rasanya sekalipun memang juga tidak gagah, maka sekarang aku hendak menetapkan tiga puluh gebrakan saja, menang atau kalah kita selesaikan dalam batas waktu tersebut---"



Lan See-giok sudah habis kesabarannya sedari tadi, maka sahutnya. dengan cepat;

"Bagus sekali, silahkan kau segera lancarkan serangan!"

Si Cay-soat tidak sungkan lagi, dia segera melompat ke depan sambil mengayunkan te-lapak tangannya menghantam wajah anak lelaki itu.

Paras muka Lan See-giok berubah hebat, buru-buru dia memiringkan badannya sambil menghindar.

Bentakan nyaring kembali berkumandang, bayangan merah berkelebat lewat, bagaikan bayangan setan saja Si Cay-coat telah memburu ke depan, telapak tangannya langsung menghantam pinggang lawan.

Lan See-giok menjadi sangat terkejut, peluh dingin jatuh bercucuran, dia baru merasa kalau kepandaian silat nona cilik ini berapa kali lipat lebih dahsyat dari pada si anak hitam tadi.

Serta merta dia menjejakkan ujung kakinya ke tanah dan melejit satu kaki dari posisi semula, nyaris dia termakan serangan tersebut, menyusul kemudian sambil membentak keras, dia mengayunkan kembali telapak tangannya melancarkan serangan balasan.

Tiba-tiba dari arah tanggul berkumandang suara gelak tertawa orang serta suara pembicaraan gadis-gadis nelayan yang sedang pulang ke rumah.

Lan See-giok yang mendengar hiruk pikuk itu bertambah panik, dia lihat awan mendung sudah makin menyelimuti ang-kasa.

Si Cay-soat ternyata cukup cerdas, dari kegelisahan di wajah orang, dia lantas tahu kalau anak inipun buru-buru ingin pulang ke rumah.

Maka menggunakan kesempatan dikala pikirannya bercabang, dengan cepat tubuh-nya berkelebat ke muka, jari tangan kanan nya langsung menusuk ke atas jalan darah dipinggang anak itu.

Lan See-giok amat terperanjat, dia ingin menghindar tapi tak sempat lagi, tahu-tahu jari tangannya sudah mengancam di depan mata,

Satu ingatan segera melintas dalam benak nya, dengan jurus Hud liu ti hoa (menyapu liu memetik bunga), telapak kanannya segera membacok ke bawah keras-keras.

Si Cay-soat segera tersenyum, jari tangan-nya dengan cepat menotok di atas jalan da-rah siau-yau-hiat di tubuh Lan See-giok.

Akan tetapi Lan See-giok tidak merasa apa-apa, telapak tangan kanannya masih melanjutkan bacokannya menghajar pergelangan tangan lawan.

Si Cay-soat amat terkejut, pucat pias paras mukanya, Sambil menjerit cepat-cepat dia melompat mundur sejauh dua kaki dari tempat semula.

Sayang, walaupun dia sudah berkelit dengan gerakan cepat, toh kelima jari tangan kanannya kena tersambar juga oleh angin pukulan yang dilancarkan Lan See-giok, kontan dia merasa kesakitan setengah mati.

Menanti dia berpaling ke arah lawannya, waktu itu Lan See-giok sudah membalikkan badannya dan kabur menuju ke utara dusun dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya.

Thio Toa-keng dan Siau Thi-gou. segera membentak keras, mereka melompat ke muka siap melakukan pengejaran.

"Kembali . . . " Si Cay-soat segera membentak keras.

Thio Toa-keng dan Siau Thi-gou membatalkan langkahnya dan berpaling ke arah nona cilik itu dengan sinar mata keheranan.

Si Cay-soat berkerut kening, bisiknya kemudian dengan wajah agak bingung dan kosong :

"Dia yang menang!"

Sambil berkata, sepasang matanya yang bulat besar segera dialihkan ke arah ba-ya-ngan punggung Lan See-giok yang menjauh dengan pandangan aneh.

Sampai sekarang dia masih saja tidak habis mengerti, mengapa totokan jalan darahnya yang bersarang telak tadi bisa tidak bermanfaat apa-apa?

Bayangan tubuh Lan See-giok sudah lenyap di luar dusun sana, tapi dalam hati kecil Si Cay-soat masih tertera jelas bayangan tubuhnya.

Setelah meninggalkan perkampungan nelayan itu Lan See-giok merasa menyesal sekali karena kelancangannya mencampuri urusan orang, dia berpikir, saat itu ayahnya pasti sudah menunggu dengan tak sabar di luar hutan.

Menelusuri jalanan yang kecil, dia berpikir terus ke hal-hal yang beraneka ragam- hatinya makin gelisah dan dia ingin cepat-cepat sampai di rumah,

Setelah habis menelusuri tanah persawahan, dia berjalan menembusi semak belukar yang lebat dan akhirnya menembusi hutan belantara yang lebat sekali.

Baru satu li dia berjalan menembusi hutan, seluruh angkasa telah berubah menjadi gelap gulita, angin malam berhembus kencang dan membawa udara yang dingin.

Titik-titik cahaya api berkedip di balik hutan yang gelap, sebentar bergerak mendekat sebentar lalu bergerak menjauh cahaya api itu menambah suasana seram di sekitar sana.

Lan See-giok tahu kalau sinar titik api itu bernama api setan, konon merupakan setan- setan yang berjalan ke luar dari dalam kuburan untuk mencari sukma-sukma yang lain

Tapi Lan See-giok tidak takut, dia percaya ayahnya pasti sudah menanti di ujung hutan sana, menanti kedatangannya.

Maka dia segera mempercepat perjalanan nya menembusi hutan tersebut . . .

Tak lama kemudian ia sudah sampai di ujung hutan, tapi . . di mana ayahnya? Ia tidak menjumpai bayangan tubuh ayahnya berada di situ.

Dia segera berhenti, ternyata tempat yang dituju memang tak salah, ayahnya telah berkata dengan jelas, dia akan menunggunya di bawah pohon besar ini.

Mungkinkah ayahnya tertidur di atas po-hon?

Berpikir demikian dia lantas mendehem-dehem, tapi kecuali bunyi jengkerik dan binatang kecil lainnya, tidak terdengar suara jawaban ayahnya.

Dengan cepat dia mendongakkan kepala nya dan memandang ke arah depan, hutan belantara tampak sangat gelap, api setan berkedip-kedip dan bergoyang ke sana ke mari terhembus angin, dia seolah-olah menyaksikan api setan itu makin lama makin membesar dan akhirnya lambat-lambat seperti nampak munculnya sesosok ba-ya-ngan setan.

Lan See-giok mulai ketakutan, dia segera berpikir:

"Mengapa ayah tidak menjemputku?"

Dia tahu dari sini sampai di kuburan kuno itu masih cukup jauh, dia harus melewati dua buah tebing tinggi, tiga buah tanah pekuburan dan sebuah sungai seluas satu kaki.

Dia tidak takut ular beracun atau babi hutan, tapi dia takut dengan jeritan burung hantu, suaranya yang menggetarkan sukma cukup mendirikan bulu roma siapapun yang mendengarnya.

Teringat jeritan burung hantu, bulu kuduk Lan See-giok segera pada berdiri, dalam keadaan begini betapa besarnya dia berharap ayahnya bisa datang menjemputnya.

la maju beberapa langkah lagi ke depan, semak belukar sudah setinggi lutut, tak jauh di balik hutan sana adalah sebuah tanah pekuburan yang sudah porak poranda keadaannya.

Hampir sebagian besar kuburan di situ sudah hancur, batu nisan berserakan. peti mati pada merekah, bahkan tulang belulang manusia yang tak terurus tergeletak di sana sini menimbulkan cahaya api setan yang menggidikkan hati....

Walaupun sejak kecil Lan See-giok telah belajar silat, bagaimanapun juga dia hanya seorang anak berusia lima enam belas tahun, sewaktu kecil dulu dia sering mendengar ibunya bercerita tentang setan.

Membayangkan kembali cerita setan yang pernah didengarnya dulu, anak itu semakin ketakutan, tanpa terasa dia berteriak keras.

"Ayah, anak Giok telah pulang!"

Suasana amat hening, kecuali beberapa ekor ayam alas yang berlarian karena kaget, tak nampak sesosok bayangan manusiapun yang muncul di sana.

Lan See-giok sangat kecewa, dia tahu dalam keadaan begini dia harus pulang sendiri ke kuburan kuno.

Maka setelah menghimpun tenaganya dan memusatkan pikiran, dia segera mengerah kan ilmu meringankan tubuhnya bergerak menuju ke depan.

Setelah melewati tanah pekuburan yang terbengkalai itu, keadaan mega semakin meninggi, hutan semakin rapat dan suasana pun semakin gelap gulita ....

Sepanjang perjalanan, Lan See-giok menyaksikan burung-burung beterbangan karena takut, dua tiga babi hutan mengejar dengan kencang, diapun menyaksikan ular-ular beracun dengan sorot matanya yang buas muncul dari balik tulang kerangka manusia atau peti mati yang berserakan...



Tapi anak itu tidak mengambil perduli, dia berlarian terus dengan kencangnya menuju ke tempat tujuan.

"Beberapa saat kemudian ia telah mele-wati dua buah tebing dan sebuah sungai kecil, di depan sana terbentang hutan pohon siong, di dalam hutan itulah terletak kuburan kuno tempat tinggal ayahnya.

Selama ini Lan See-giok selalu tidak habis mengerti apa sebabnya ayahnya pindah ke dalam kuburan kuno itu, berapa tahun setelah pindah ke sana, ibunya meninggal dunia, sejak saat itulah ayahnya menjadi seorang yang pemurung.

Beberapa kali dia menyaksikan ayahnya duduk tepekur sambil bermuram durja, adakala ayahnya menjadi berangasan dan suka marah-marah, tapi ada kalanya pula dia nampak amat gelisah dan tidak tenang . . .

Lan See-giok tahu kalau ayahnya pasti mempunyai suatu rahasia besar yang tak ingin diketahui orang lain, diapun menduga ibunya pasti mati karena merasa murung dan sedih karena persoalan ini.

Dia ingin sekali mengetahui rahasia tersebut, dia bersedia membantu ayahnya untuk memikirkan persoalan itu, tapi dia tak berani bertanya, diapun tahu sekalipun di tanyakan, belum tentu ayahnya bersedia menjawab.

Mendadak dari atas pohon tak jauh di hadapannya sana, terdengar bunyi burung hantu yang memekakkan telinga.

Lan See-giok merasakan bulu kuduknya pada bangun berdiri, dengan cepat dia men-dongakkan kepalanya ke depan, ternyata dia sudah berada dalam hutan siong, jarak nya dengan kuburan kuno itu sudah tak jauh lagi. Di depan matanya kini muncul sebuah tugu yang terbuat dari batu hijau, di atas permukaan tugu itu tertera dua huruf yang amat besar:

"ONG LENG."

Akhirnya sampai juga di tempat tujuan, Lan See-giok merasa girang sekali, ia mempercepat larinya menuju ke depan.

Setelah melewati tugu itu muncullah sebuah jalanan beralas batu yang sangat lebar, panjangnya puluhan kaki, di kedua belah sisi jalan besar itu berjajar patung-patung kuda, patung kambing, patung orang dan lain seba-gainya.

Di ujung jalan tersebut adalah sebuah pintu bangunan yang sudah ambruk, yang tersisa tinggal tiang-tiang penyangganya saja. sedang bangunan itu sendiri telah porak poranda.

Dalam bangunan yang porak poranda terdapat sebidang tanah pekuburan yang luasnya mencapai puluhan hektar, puluhan buah kuburan besar berserakan di sana sini. batu bong pay berdiri kekar di depan setiap ku-buran itu, tapi tulisannya sudah buram.

Terbayang kalau sebentar lagi bakal berjumpa dengan ayahnya, Lan See-giok merasa amat gembira, ia telah mempersiapkan ucapannya yang pertama begitu bersua dengan ayahnya nanti, ia hendak mengatakan bahwa kotak kecil itu telah diserahkan kepada Bibi Wan yang anggun tersebut.

Begitu besar keinginannya bertemu de-ngan ayahnya, dia tak ingin berjalan berputar lagi, dengan suatu lompatan cepat ia melewati tanah pekuburan itu langsung menuju ke depan sebuah kuburan yang paling besar.

Ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya paling hebat, ayahnya sering memuji akan kehebatannya, sedang kepandaian kedua yang paling ampuh adalah ilmu Gi-hiat kang, kepandaian untuk menggeserkan tempat kedudukan jalan darah.

Tanpa terasa ia teringat kembali pertarungannya dengan Si Cay-soat belum lama berselang, kepandaian silat nona itu memang sangat hebat, coba kalau dia tak pan-dai memindahkan letak jalan darah, niscaya dia sudah dipecundangi orang.

Sementara masih melamun, dia telah melayang turun di depan kuburan ke depan yang menghadap ke arah timur laut.

Tiba di depan kuburan itu, ia saksikan pintu rahasianya terbuka lebar, mungkin- ayahnya lupa untuk menutup kembali.

Tanpa sangsi lagi Lan See-giok melompat masuk ke dalam kuburan, menelusuri anak tangga dan berlarian menuju ke ruang dalam.

Suasana di dalam kuburan itu gelap gulita hingga lima jari tangan sendiri pun susah dilihat, tapi Lan See-giok sudah banyak tahun berdiam di sini, sekalipun harus berjalan dengan mata meram pun dia dapat mencapai ruangan dalam.

Sesudah melewati dua tikungan, akhir nya dari dalam ruangan bulat di depan sana nampak setitik cahaya lentera.

Lan See-giok amat gembira, dia tahu ayah-nya belum tidur, dengan suara lantang segera teriaknya:

"Ayah, anak Giok telah kembali!"

Sambil berteriak gembira dia segera menubruk ke depan.

Tapi dengan cepat anak itu berhenti dengan wajah tertegun, ternyata ia tidak menjumpai ayahnya berada di sana.

Cahaya lentera memancar ke luar dari sebuah lampu minyak di atas meja, cahaya itu amat redup sehingga suasana di seluruh ruangan itu remang-remang dan terasa menyeramkan.

Pembaringan di sisi dinding ruangan nampak rapi, di atas meja besar dekat pembaringan terletak senjata gurdi emas "Cing kim-kong-luau-jui!" - senjata andalan ayahnya.

Gurdi emas itu berujung runcing dan amat tajam, bagian ekornya lebih kasar dan besar hingga bentuknya mirip jarum.

Senjata itu kalau lemas bentuknya seperti seutas tali, tapi kalau sudah disaluri tenaga dalam bentuknya mirip gurdi, tanpa tenaga dalam yang sempurna jangan harap orang bisa memainkan senjata semacam itu.

Begitu melihat senjata gurdi emas milik ayahnya masih tergeletak di atas meja, Lan See-giok segera tahu kalau ayahnya tidak pergi.

Mendadak . . .

Segulung bau amisnya darah berhembus lewat dan menusuk hidung anak itu. . .

Lan See-giok merasa sangat terkejut, dengan cepat dia mengendusnya beberapa kali, benar juga, bau yang menusuk hidung itu adalah bau amisnya darah segar.

Hatinya menjadi amat tercekat. tanpa terasa dia mundur dua langkah, sementara perasaan seram menyelimuti seluruh benaknya.

Pada saat itulah dari luar kuburan terdengar bunyi burung hantu berpekik keras, suaranya terdengar amat menyeramkan ....

Lan See-giok segera bergidik, bulu kuduknya pada bangun berdiri, tanpa terasa dia berteriak dengan suara keras:

"Ayah. . . ayah . . . ayah . . ."

Teriakan anak itu kedengaran parau dan diselingi isak tangis yang gemetar.

Tapi, kecuali suara dengungan keras dari balik lorong yang memantulkan suaranya, tidak terdengar suara jawaban dari ayahnya.

Kembali terendus bau amis darah yang amat menusuk penciuman.

Sekali lagi Lan See-giok terperanjat, dia berusaha mengumpulkan segenap kemampuannya untuk meneliti ruangan itu.

Tiba-tiba mencorong sinar terang dari balik matanya, ia saksikan di sebelah kiri meja batu nampak sesosok bayangan hitam berada di sana.

Dengan suatu kecepatan kilat dia menyambar lentera di meja dan menghampiri bayangan itu.

Di bawah cahaya lentera yang redup, ia segera menyaksikan suatu pemandangan yang menyeramkan, peluh dingin segera jatuh bercucuran, sukmanya serasa melayang meninggalkan raganya.

Lan See-giok betul-betul berdiri kaku bagaikan patung, mukanya pucat, matanya terbelalak lebar sedang mulutnya ternganga lebar.

Sebab bayangan itu tak lain adalah tubuh ayahnya, tubuh ayahnya yang tergelepar di atas genangan darah.

Cepat dia letakkan lentera itu ke meja, lalu sambil menjerit dan menangis dia menubruk ke atas tubuh ayahnya dan menangis tersedu sedu.

Seketika itu juga dalam seluruh kuburan itu dipenuhi oleh suara isak tangis yang penuh kesedihan, keseraman dan kengerian.

Lan See-giok menangis terus sampai air mata yang ke luar berubah menjadi darah sambil menangis tersedu sedu, dia mulai memeriksa jenazah ayahnya itu.

Ia saksikan ayahnya tewas dengan mata melotot mulut ternganga, noda darah menyelimuti seluruh wajahnya, jenggot yang putih dan rambut yang putihpun penuh dengan darah, sekilas pandangan saja dapat diketahui kalau ayahnya tewas akibat suatu gempuran tenaga pukulan dahsyat yang menghancurkan isi perutnya.

Ditinjau dari posisi ayahnya sewaktu jatuh setelah menyadari kehadiran musuh tak di undang, ayahnya buru-buru menyambar senjata gurdi emas yang tergeletak di meja sayang sebelum maksudnya tercapai, pung-gungnya sudah kena dihajar lebih dulu.

(Bersambung ke Bagian 02)
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar