Matahari bersinar cerah
menyoroti telaga Huan-yang ou yang beriak karena hembusan angin, udara tampak
cerah dan bersih, udara di musim gugur memang terasa lebih nyaman dan semilir.
Sebuah perkampungan nelayan berdiri
di tepi telaga, rumah bambu yang berjajar di antara sela-sela dedaunan nan
hijau tampak berderet memanjang menampilkan suatu pemandangan yang indah.
Sepanjang bendungan tampak
jala yang dibentangkan di bawah terik matahari, nona-nona muda duduk berkumpul
di bawah pohon yang rindang sambil menambal jala-jala yang robek.
Kaum wanita dan ibu-ibu sedang
mencuci pakaian di tepi telaga, sedang anak-anak saling berkejaran diiringi
teriakan dan jeritan gembira.
Saat itu, sekumpulan gadis
nelayan sedang duduk berkerumun sambil membicarakan seorang tamu dari utara
yang menginap di rumah Thio lopek, seorang kakek yang ramah bersama seorang
gadis yang cantik dan se-orang anak lelaki berkulit hitam....
Tampaklah seorang gadis
nelayan berbaju hijau yang berambut kepang, sambil menghentikan sulamannya
memandang ke arah seorang gadis berbaju kembang-kembang di hadapannya sana,
kemudian berseru:
"Enci Ing cun, nampaknya
sahabat dari Thio lopek adalah seorang yang berwajah hokki, coba lihat
rambutnya yang putih, jenggotnya yang berwarna perak, kalau berjalan halus dan
lembut, tidak seperti Thio lopek, mana matanya segede jengkol, alis matanya
tebal, kumisnya malang melintang, hiiih, mengerikan ...."
"Aaah, Ji-niu, masa kau
tidak tahu? Thio Lopek kan seorang jago silat sedang tamu dari utara ia orang
sekolahan, tentu saja berbeda," sela seorang nona bercelana hijau.
Seorang nona berumur lima enam
belas tahun lainnya ikut menimbrung dengan wajah serius.
"Aku rasa tamu dari utara
itupun seorang ahli silat, buktinya setiap kali ke tiga putra Thio lopek beradu
silat dengan si bocah jaliteng dari utara itu, yang kalah selalu ke tiga putra
Thio lopek "
"Yaa.... yaa, betul, apa
yang dikatakan adik Kim-hoa memang benar," gadis nelayan yang bernama
Ing-cun itu berseru ce-pat: "apalagi si nona cantik dari utara itu, mana
bajunya serba merah, cantik lagi, hakekatnya seperti cabe merah. Sekali
melompat ke atas, atap rumah orangpun dilalui. . ."
Belum habis dia berbicara,
mendadak dari arah dusun sana terdengar suara bentakan gusar.
Diikuti sekumpulan anak-anak
desa bersorak sorai dan berlarian menuju ke dalam hutan bambu di tepi dusun.
Nona-nona nelayan itu segera
melongok bersama ke arah hutan bambu, kemudian salah seorang diantaranya
berseru sambil tertawa:
"Nampaknya ke tiga orang
putra Thio Lopek lagi-lagi menantang si Jaliteng untuk berduel!"
Belum habis dia berbicara,
sorak sorai anak-anak dusun itu kembali berkumandang dari balik hutan bambu.
Mendengar sorakan itu,
nona-nona nelayan itu saling berpandangan sambil tertawa, seakan akan mereka
berkata:
"Sudah pasti Thio
Toa-keng anaknya Thio lopek kena dibanting lagi oleh si Jaliteng!"
Mendadak mencorong sinar
terang dari balik mata seorang nona nelayan, lalu jeritnya kaget:
"Hei, coba kalian
lihat!"
Ketika semua orang berpaling,
tampaklah dari atas tanggul telaga lebih kurang puluhan kaki di depan sana,
muncul sesosok bayangan kecil yang mengenakan jubah panjang.
Tapi oleh karena ilalang yang
tumbuh di sekitar tanggul amat tinggi dan bergoyang terhembus angin, maka
bayangan itu tidak nampak jelas, tapi mereka yakin kalau orang itu adalah
seorang sekolahan dari kota, sebab di seluruh dusun nelayan itu tak pernah
dijumpai ada orang yang mengenakan jubah panjang.
Lambat laun bayangan itu makin
mendekat, sekarang baru terlihat jelas, ternyata bayangan kecil itu adalah
seorang bocah lelaki berbaju biru. Bocah lelaki itu berusia lima enam belas
tahunan, berwajah tampan dan bergigi putih, tubuhnya tegap dan mukanya ganteng,
sungguh nampak menarik hati.
Terutama sekali sepasang biji
matanya yang jeli, penuh dengan pancaran sinar kecerdasan.
Ujung bajunya yang berwarna
biru berkibar terhembus angin, sedang sorot matanya yang jeli memandang ke sana
ke mari, agaknya dia sedang menikmati keindahan alam di sekitar telaga.
Wajahnya yang tampan tampak
berubah ubah, sementara keningnya kadangkala berkerut, kadangkala pula senyuman
menghiasi bibirnya.
Dengan terkesima, kawanan
gadis nelayan itu memperhatikan wajah pemuda itu, seakan akan mereka sedang
menyaksikan sesuatu yang sangat indah.
Sebaliknya pemuda itu seakan
akan tak pernah melihat kalau di bawah pohon yang rindang, duduk sekelompok
gadis nelayan yang sedang memperhatikannya.
Karena waktu itu dia sedang
melamun, ia sedang berpikir bagaimana dia harus melaporkan kisah perjumpaannya
dengan bibi Wan kepada ayahnya sesudah tiba di dalam kuburan kuno di tengah
hutan nanti,
Teringat akan keagungan wajah
Bibi Wan nya itu, kembali sepasang alis matanya berkerut.
Ia tidak tahu kalau ayahnya
masih mempunyai seorang adik perempuan yang sudah setengah umur namun berwajah
cantik, bahkan ibunya yang telah meninggal lima tahun berselangpun tak pernah
membicarakan tentang soal ini, hal mana membuatnya merasa bingung dan tak habis
mengerti.
Dia pun tak tahu apa isi kotak
kecil yang diperintahkan oleh ayahnya untuk diserah-kan kepada Bibi Wan, tapi
kalau dilihat dari sikap ayahnya ketika berpesan sebelum berangkat, dapat
dipastikan isi kotak tersebut tentu barang berharga.
Tapi kalau membayangkan sikap
tegang dan gugup yang terpancar dari wajah Bibi Wan setelah menyaksikan isi
kotak itu, dapat diduga pula kalau benda itu adalah sebuah benda yang luar
biasa.
Mendadak ia tertawa lagi,
mukanya kembali berseri, hatinya menjadi riang gembira lagi.
Sebab dia terbayang pula
dengan Ciu Siau cian, putri tunggal Bibi Wan nya itu.
Enci Cian berusia setengah
tahun lebih tua, mukanya putih halus, wajahnya cantik jelita, dia adalah
seorang gadis cantik, yang alim dan baik hati.
Selama tiga hari dia berada di
rumah bibi nya, gadis itu jarang tertawa atau berbicara tapi perhatian terhadap
dirinya amat besar.
Sekalipun ia jarang
berbincang-bincang dengan Enci Cian, ketika ia sedang duduk di sisinya. duduk
membungkam sambil menikmati kecantikan wajahnya dan keanggunan sikapnya.
Terutama sekali sepasang mata
Enci Cian yang jeli dengan alis mata yang lentik, membuat siapa saja yang
memandangnya merasa amat nyaman---
Sorak sorai serombongan anak
dusun dengan cepat membuat pemuda berbaju biru itu mendusin kembali dari
lamunannya.
Ia lantas mendongakkan
kepalanya ke depan, dijumpai nya serombongan anak sebaya dengan usianya sedang
berteriak, bersorak dan menggoyang-goyangkan tangannya di dalam hutan bambu...
Rasa ingin tahu dan dorongan
sifat ke kanak-kanakannya membuat pemuda itu berjalan, menuju ke hutan tanpa
terasa.
Tapi baru berapa langkah
kembali dia menjadi ragu, karena pesan dari Bibi Wan kembali mendengung di sisi
telinganya.
"..langsung pulanglah ke
rumah, jangan berhenti di tengah jalan lagi..."
Maka dia hanya melirik sekejap
ke arah hutan bambu, kemudian melanjutkan kembali perjalanannya
Dia masih ingat, setelah
melewati dusun nelayan itu, dia harus menelusuri sebuah jalan setapak di arah
barat laut sana.
Mendadak terdengar suara
bentakan gusar menggema di dalam hutan, diikuti anak-anak dusun yang sedang
bersorak sorai itu membuyarkan diri ke mana-mana.
Tak tahan pemuda berbaju biru
itu segera berpaling, dengan cepat ia menjumpai. seorang anak lelaki berkulit
hitam dan berbaju hitam, berusia paling banyak empat belas tahun terlempar ke
luar dari balik hutan bambu.
Menyusul kemudian muncul tiga
orang anak dusun yang berperawakan lebih besar dari anak berkulit hitam itu
dengan mata melotot, mereka menyusul ke luar sambil mengepalkan tinjunya.
Dasar pemuda berbaju biru ini
memang berjiwa pendekar, hawa amarahnya segera berkobar sesudah menyaksikan
kejadian itu, dia lupa dengan pesan bibi Wan, dengan suara lantang bentaknya:
"Cepat berhenti, masa
kalian bertiga mengerubuti satu orang? Huuh, tak tahu malu."
Sambil membentak, ia turut
menubruk ke muka.
Serentak empat orang anak yang
sedang berkelahi segera berhenti saling memukul, sedang anak-anak nakal yang
berada di se-kitar hutan bambupun sama-sama mengalihkan sorot mata mereka yang
terkejut ke arah pemuda baju biru itu.
Menanti pemuda berbaju biru
itu semakin mendekat, ia baru merasa kalau keadaan agak kurang beres, sebab
empat orang anak yang berkelahi tadi kecuali seorang anak bertubuh agak besar
yang sedang melotot gusar ke arahnya, tiga orang yang lain telah berdiri berjajar
sambil tertawa.
Tergerak hati pemuda baju biru
itu dan ia segera menahan gerak terjangannya.
"Aaah, jangan-jangan
mereka sedang bermain-main?" demikian dia lantas berpikir.
Belum habis ingatan tersebut
melintas dalam benaknya, anak yang melotot gusar telah maju menghampirinya
dengan sepasang kepalannya dikepalkan kencang-kencang.
Pemuda berbaju biru itu sangat
menyesal, ia merasa tidak seharusnya mencampuri urusan orang lain, tapi hatinya
mendongkol juga setelah melihat tampang anak desa yang jumawa itu.
Setibanya satu kaki di
hadapannya, anak dusun itu melotot gusar ke arah pemuda berbaju biru itu.
kemudian tegurnya dengan suara dalam:
"Hei, kau datang dari
mana? Mau ikut-ikutan yaa?"
Pemuda berbaju biru itu
berdiri tenang, tapi melihat sepasang kaki lawan bersikap dalam bentuk
kuda-kuda, sepasang tinjunya dikepal kencang-kencang, jelas ia bermak-sud
hendak berkelahi, amarahnya makin berkobar.
Ia mencoba berpaling ke arah
bocah dusun yang lain, dua orang anak yang terlibat dalam perkelahian tadi,
seorang anak berbadan gemuk seperti babi kecil, dan seorang anak kurus seperti
monyet sedang tertawa haha hihi sambil berbisik-bisik dengan anak berkulit
hitam itu.
Sementara dia masih mengamati
anak-anak itu, si anak dusun yang menantangnya telah membentak keras:
"Hai, aku bertanya
kepadamu datang dari mana, mengapa kau tidak menjawab?"
Pemuda berbaju biru itu
menjawab de-ngan hati mendongkol.
"Aku datang dari mana,
apa urusannya denganmu?"
Didamprat dengan pedas, anak
dusun itu jadi terbelalak dengan wajah merah padam.
Sedang anak-anak dusun lainnya
yang berada di sekitar hutan segera tertawa terbahak-bahak mentertawakannya.
Salah seorang di antaranya,
seorang anak berbaju robek segera mengejek ke arah anak dusun itu.
"Hmm, Thio Toa-keng, biasanya
kau cuma berani menganiaya kami, coba rasain hari ini---"
Dengan gemas Thio Toa-keng
melotot sekejap ke arah anak berbaju robek itu, kemudian kepada si pemuda
berbaju biru teriaknya lagi:
"Kalau memang tak ada
sangkut pautnya, mengapa pula kau datang mengacau permainan kami?"
Agak memerah juga wajah si
pemuda baju biru itu. tapi ia berteriak pula dengan mendongkol:
"Belum pernah kujumpai
orang yang tak tahu aturan seperti kau.. " Kemudian setelah melotot sinis
ke arah Thio Toa-keng, dia membalikkan badan siap akan pergi.
Karena dia teringat lagi
dengan pesan Bibi Wan nya, maka ia tak berani berada terlalu lama di situ.
Suatu bentakan keras tiba-tiba
menggema memecahkan kesunyian itu, angin menderu-deru dan sesosok bayangan
manusia telah menghadang di depan lelaki berbaju biru itu.
Dengan perasaan gusar pemuda
berbaju biru itu mundur ke belakang, belum sempat ia menegur, anak-anak dusun
lainnya telah bersorak sorai.
"Hoooree--- hooooree--
Enci Soat telah datang, Enci Soat telah datang- -"
Serta merta pemuda berbaju
biru itu berpaling, dia saksikan sesosok bayangan merah berkelebat lewat dari
balik hutan bambu, lalu di depan kawanan anak dusun itu telah berdiri seorang
anak perempuan berbaju merah darah yang menyoren pedang pendek.
Anak perempuan berbaju merah
itu berumur empat lima belas tahun, mukanya yang putih berbentuk potongan
kwaci, matanya jeli dan besar, hidungnya mancung, bibirnya tipis, di atas
rambutnya yang panjang tampak sebuah pita berbentuk kupu-kupu.
Sarung pedang di punggungnya
berwarna merah menyala, sepatunya juga berwarna merah dengan sepasang bola
merah di ujung sepatu tersebut.
Dengan kening berkerut dan
bertolak pinggang, nona cilik itu sedang mengawasi si pemuda berbaju biru
dengan sorot mata tajam.
Pemuda baju biru itupun sedang
menatap ke arahnya, dia hanya merasa dari balik hutan bambu muncul sebuah bola
api dan tahu-tahu di depan matanya telah bertambah dengan seorang gadis baju
merah yang kelihatan binal dan sukar dihadapi.
"Lebih baik aku
cepat-cepat meninggalkan tempat ini---" demikian ia berpikir.
Tapi baru saja ingatan itu
sempat melintas dalam benaknya. dari arah belakang telah terdengar suara
bentakan lagi.
"Siauya sedang mengajakmu
berbicara, mengapa kau tidak menggubris---?"
Begitu selesai membentak. angin
tajam sudah menyambar ke punggungnya. Dengan cekatan pemuda berbaju biru itu
berpaling, ia saksikan Thio Toa-keng sedang mengayunkan tinjunya sambil melotot
marah.
Pemuda berbaju biru tertawa
dingin, ia segera miringkan badannya ke samping sambil menjatuhkan diri, lalu
secepat kilat dia cengkeram pergelangan tangan Toa-keng.
Kawanan anak dusun di sekitar
hutan bambu menjerit kaget hampir bersamaan waktunya dengan ditangkapnya
pergelangan tangan Thio Toa-keng oleh bocah itu.
Thio Ji keng yang gemuk seperti
babi kecil segera melotot gusar melihat kakaknya ditangkap orang bentaknya
keras-keras.
"Cepat lepas tangan . . .
. "
Di tengah bentakan keras
tubuhnya me-nu-bruk ke depan, kepalannya langsung di ayunkan ke muka memukul
kepala pemuda berbaju biru itu keras-keras.
Dengan kening berkerut pemuda
berbaju biru itu mendengus gusar, tangan kanannya yang menggenggam tangan Thio
Toa-keng segera digetarkan keras-keras . . .
"Duuk, duuk, duuk . . .
" di tengah suara langkah kaki yang mundur ke belakang Thio Toa-keng
merintih sambil meringis menahan kesakitan, sementara sepasang tangannya
diayunkan kesana ke mari berusaha untuk menjaga keseimbangan badannya.
Angin berhembus lewat, kepalan
kecil dari Thio Ji-keng si anak berbadan gemuk seperti babi telah meluncur
datang.
Pemuda berbaju biru itu tidak
gugup atau panik, dia segera merendahkan kepala sambil membuang bahu ke
samping, lalu sambil maju ke depan dia bacok pergelangan tangan kanan Thio
Ji-keng yang bulat gemuk dengan jurus Si gou huang gwat ( badak melihat
rembulan).
Pada saat itulah . .
"Duuk. . . ! diiringi
dengusan kesakitan.
Thio Toa-keng yang terlempar
mundur tak sanggup menjaga keseimbangan badannya lagi, ia terjatuh ke tanah
lalu roboh terlentang dengan gaya empat kaki menghadap atas.
Suara bentakan gusar dan
jeritan kaget kembali bergema, pergelangan tangan kanan Thio Ji keng telah
terpapas telak oleh bacokan bocah berbaju biru itu, sambil menahan kesakitan
Thio Ji keng yang gemuk segera menerjang maju lebih ke depan.
Dengan cekatan anak berbaju
biru itu membalikkan badannya lalu melayang dua kaki ke samping.
"Blaammm!" lantaran
tenaga terjangan Thio Ji-keng kelewat besar dan ia tak sang-gup menahan
tubuhnya, tak ampun tubuhnya terjerembab ke tanah dengan gaya "harimau
lapar menubruk domba."
Suasana di seluruh arena
menjadi sepi, tiada orang yang bersorak sorai lagi, semua anak dusun itu
berdiri terbelalak dengan wajah ketakutan, mereka bersama sama mengawasi pemuda
berbaju biru itu dengan sorot mata terperanjat.
Thio Sam keng yang kurus
seperti monyet berdiri bodoh. sedang si jaliteng berdiri dengan mata melotot ke
luar, diapun ter-perana dibuatnya.
Hanya si nona cilik berbaju
merah yang masih berdiri sambil bertolak pinggang, sekulum senyuman acuh
menghiasi bibirnya, sedang sorot mata yang dingin mengawasi pemuda berbaju biru
itu tanpa berkedip.
Agaknya Thio Toa-keng tahu
kalau telah bertemu dengan "musuh tangguh". tanpa berbicara dia
segera merangkak bangun, lalu sambil meraba pantatnya yang sakit dia
menghampiri Thio Ji keng dan menarik bangun adiknya dari tanah.
Tiba-tiba pemuda berbaju biru
itu me-nyaksikan matahari telah condong ke barat dengan wajah gelisah dia
lantas membalik-kan badan dan berlalu dari situ dengan langkah lebar.
"Berhenti!" Nona
cilik berbaju merah itu membentak keras.
Sekali lagi pemuda berbaju
biru itu merasa jengkel setelah mendengar bentakan yang dingin dan bernada
memerintah itu, dia segera berhenti dan menengok ke arah si nona . . . .
Tampak olehnya nona cilik
berbaju merah itu berdiri dengan wajah tanpa emosi, matanya yang jeli menatap
dingin ke arahnya, sikap maupun lagaknya amat angkuh dan jumawa.
Dasar dalam hatinya sudah
mangkel, melihat tampang seperti itu lagi, ibaratnya api bertemu bensin, kontan
saja hawa amarah pemuda yang berbaju biru itu membara.
Tapi dia kuatir ayahnya marah
karena dia pulang terlambat, maka sambil menahan sa-bar katanya dengan suara
dalam:
"Ada urusan apa kau
memanggilku?"
Nona kecil berbaju merah itu
melengos ke arah lain, sekejappun ia tidak memandang ke arahnya, kepada si anak
berkulit hitam, pekat itu serunya dengan nada memerintah:
"Adik Gou, kau coba
kekuatannya!"
Begitu nona cilik itu berseru,
kawanan anak dusun di sekitar sana segera bersorak sorai, seolah-olah sedang
memberi duku-ngan kepada si hitam tersebut:
"Thio Toa-keng, Ji-keng
dan Sam-keng juga tertawa senang sorot mata mereka me-man-carkan sinar harapan,
mereka berharap si hitam bisa menghajar pemuda berbaju biru itu sampai babak
belur, atau paling ti-dak bisa membalaskan sakit hati mereka.
Anak hitam itu mengencangkan
dulu ikat pinggangnya, lalu setelah menatap sekejap ke arah lawannya dengan
sepasang biji mata yang hitam pekat, ia maju ke muka dengan langkah lebar.
Sementara itu, si pemuda
berbaju biru itu sudah melihat awan gelap di langit sebelah barat-daya, hatinya
semakin gelisah, sebab dia tahu awan mendung telah menyelimuti langit yang
makin gelap.
Dengan langkah tegap anak
berkulit hitam itu telah tiba di hadapannya, mula-mula dia menjura lebih dulu,
kemudian dengan bibirnya yang merah dia menegur;
"Saudara, tolong tanya
siapa namamu? Aku Wu Thi-gou mendapat perintah dari enci Soat untuk mencoba
berapa jurus ilmu silatmu."
Meski dalam hati pemuda
berbaju biru itu merasa gelisah dan tak sabar, tapi dia tahu jika hari ini
tidak unjuk gigi dan menentukan menang kalah, jangan harap dia bisa
meninggalkan tempat itu.
Maka ketika dilihatnya si anak
berkulit hitam Wu Thi-gou bersikap sopan dan nampaknya seperti berpendidikan,
mungkin murid seorang jago kenamaan, diapun balas memberi hormat.
Sekalipun kukatakan namaku
belum tentu kalian tahu, lebih baik tak usah di utarakan saja---" katanya
tak sabar.
Belum habis dia berkata,
mendadak terdengar nona cilik berbaju merah itu menukas dengan suara dalam:
"Sebutkan saja namamu,
setelah kau ucapkan, bukankah kami akan mengetahuinya ?"
Merah jengah selembar wajah
pemuda berbaju biru itu, dengan gusar dia melotot sekejap ke arah gadis cilik
itu, kemudian katanya kepada Wu Thi-gou:
"Aku bernama Lan
See-giok, cepatlah lan-carkan seranganmu!"
Siau Thi-gou tidak sungkan
lagi, sambil membentak dia lepaskan sebuah pukulan keras.
Lan See-giok tahu bahwa si
bocah hitam ini tak boleh dianggap enteng, dengan cekatan dia berkelit ke
samping, kemudian mengayunkan telapak tangannya untuk menyambut datangnya ancaman
tersebut.
Apa yang diduga ternyata benar
juga. baru saja Lan See-giok menggerakkan tubuhnya. permainan jurus serangan
Siau Thi-gou (si kerbau baja kecil) segera berubah weess. weess! segulung angin
tajam menyapu ke depan. dalam waktu singkat dia telah melancarkan lima buah
serangan dahsyat.
Untung saja Lan See-giok telah
mempersiapkan diri sebelumnya, buru-buru ia tangkis ancaman itu lalu berebut
melepaskan serangan balasan, meski begitu, ia toh kena terdesak juga sampai
mundur beberapa langkah dari posisi semula.
Thio Toa-keng bersaudara.
segera ber-sorak sorai kegirangan.
Sedang anak-anak nakal lainnya
ikut berteriak teriak sambil memberi semangat kepada kedua belah pihak, seakan
akan mereka sedang menonton pertunjukan adu jago saja.
Si Nona berbaju merah pun
tampak tertawa puas, dari balik bibirnya yang kecil mungil terlihat dua baris
giginya yang putih bersih.
Agak memerah paras muka Lan
See-giok karena kena didesak mundur, amarahnya segera berkobar, permainan jurus
pukulannya pun berubah, sekarang dia mulai unjuk gigi, sambil menyerbu ke depan
. . . Sreeet! Sreeet! Sreeet Secara beruntun dia lancarkan tiga buah pukulan
berantai yang maha dahsyat.
Siau Gou - cu segera merasakan
empat penjuru sekeliling tubuhnya diliputi oleh bayangan telapak tangan yang
membukit, dengan susah payah dia harus menangkis kesana ke mari berusaha untuk
meloloskan diri dari ancaman, tak ampun dia menjadi kelabakan setengah mati.
Sekarang Thio Toa-keng bertiga
tak bisa berteriak lagi, kawanan anak nakal di sekitar arenapun berhenti
berteriak, sedang senyuman yang menghiasi ujung bibir si nona kecil berbaju
merahpun turut menjadi lenyap.
Seluruh arena menjadi hening,
semua orang mengawasi Siau Gou cu dengan mata terbelalak dan perasaan kuatir,
mereka kuatir kalau sampai si hitam kecil itu di kalahkan.
Pertarungan makin lama
berkobar makin seru, baik Lan See-giok maupun Siau Thi-gou sama-sama tak mau
mengalah, kedua belah pihak mengerahkan segenap kepandaian silat yang
dimilikinya untuk kemenangan.
Matahari semakin condong ke
barat, senja pun telah menjelang tiba, angin yang ber-hembus kencang membawa
kelembaban udara, tampaknya hujan sudah hampir tu-run.
Lan See-giok bertambah gelisah
setelah menyaksikan keadaan itu, jurus serangan yang dilancarkan makin lama
semakin kalut, untung saja ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya jauh lebih
hebat dari pada Siau Thi-gou, sehingga beberapa kali dia berhasil menghindarkan
diri dari ancaman bahaya.
Mendadak terdengar seseorang
memben-tak merdu:
"Adik Gou, mundur!"
Siau Thi-gou segera
melancarkan tiga buah serangan berantai untuk mendesak mundur lawannya,
kemudian menggunakan kesempatan itu tubuhnya melompat mundur sejauh satu kaki
lebih dari posisi semu-la.
Lan See-giok segera
mendongakkan kepalanya, dia saksikan si nona cilik berbaju merah itu sedang
berjalan mendekat dengan sikap yang sangat angkuh.
Tampaknya kegagalan Siau
Thi-gou untuk merobohkan Lan See-giok membuat nona cilik berbaju merah itu
segera tampil sendiri untuk menghabisi lawannya.
Setelah berada di hadapan Lan
See-giok, dengan angkuh nona berbaju merah itu ber-kata:
"Aku bernama Si Cay-soat,
tampaknya le-bih kecil dua tahun darimu, tapi kami sudah bergilir mengerubuti
dirimu, rasanya sekalipun memang juga tidak gagah, maka sekarang aku hendak
menetapkan tiga puluh gebrakan saja, menang atau kalah kita selesaikan dalam
batas waktu tersebut---"
Lan See-giok sudah habis
kesabarannya sedari tadi, maka sahutnya. dengan cepat;
"Bagus sekali, silahkan
kau segera lancarkan serangan!"
Si Cay-soat tidak sungkan
lagi, dia segera melompat ke depan sambil mengayunkan te-lapak tangannya
menghantam wajah anak lelaki itu.
Paras muka Lan See-giok
berubah hebat, buru-buru dia memiringkan badannya sambil menghindar.
Bentakan nyaring kembali
berkumandang, bayangan merah berkelebat lewat, bagaikan bayangan setan saja Si
Cay-coat telah memburu ke depan, telapak tangannya langsung menghantam pinggang
lawan.
Lan See-giok menjadi sangat
terkejut, peluh dingin jatuh bercucuran, dia baru merasa kalau kepandaian silat
nona cilik ini berapa kali lipat lebih dahsyat dari pada si anak hitam tadi.
Serta merta dia menjejakkan
ujung kakinya ke tanah dan melejit satu kaki dari posisi semula, nyaris dia
termakan serangan tersebut, menyusul kemudian sambil membentak keras, dia
mengayunkan kembali telapak tangannya melancarkan serangan balasan.
Tiba-tiba dari arah tanggul
berkumandang suara gelak tertawa orang serta suara pembicaraan gadis-gadis
nelayan yang sedang pulang ke rumah.
Lan See-giok yang mendengar
hiruk pikuk itu bertambah panik, dia lihat awan mendung sudah makin menyelimuti
ang-kasa.
Si Cay-soat ternyata cukup
cerdas, dari kegelisahan di wajah orang, dia lantas tahu kalau anak inipun
buru-buru ingin pulang ke rumah.
Maka menggunakan kesempatan
dikala pikirannya bercabang, dengan cepat tubuh-nya berkelebat ke muka, jari
tangan kanan nya langsung menusuk ke atas jalan darah dipinggang anak itu.
Lan See-giok amat terperanjat,
dia ingin menghindar tapi tak sempat lagi, tahu-tahu jari tangannya sudah
mengancam di depan mata,
Satu ingatan segera melintas
dalam benak nya, dengan jurus Hud liu ti hoa (menyapu liu memetik bunga),
telapak kanannya segera membacok ke bawah keras-keras.
Si Cay-soat segera tersenyum,
jari tangan-nya dengan cepat menotok di atas jalan da-rah siau-yau-hiat di
tubuh Lan See-giok.
Akan tetapi Lan See-giok tidak
merasa apa-apa, telapak tangan kanannya masih melanjutkan bacokannya menghajar
pergelangan tangan lawan.
Si Cay-soat amat terkejut,
pucat pias paras mukanya, Sambil menjerit cepat-cepat dia melompat mundur
sejauh dua kaki dari tempat semula.
Sayang, walaupun dia sudah
berkelit dengan gerakan cepat, toh kelima jari tangan kanannya kena tersambar
juga oleh angin pukulan yang dilancarkan Lan See-giok, kontan dia merasa
kesakitan setengah mati.
Menanti dia berpaling ke arah
lawannya, waktu itu Lan See-giok sudah membalikkan badannya dan kabur menuju ke
utara dusun dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya.
Thio Toa-keng dan Siau
Thi-gou. segera membentak keras, mereka melompat ke muka siap melakukan
pengejaran.
"Kembali . . . " Si
Cay-soat segera membentak keras.
Thio Toa-keng dan Siau Thi-gou
membatalkan langkahnya dan berpaling ke arah nona cilik itu dengan sinar mata
keheranan.
Si Cay-soat berkerut kening,
bisiknya kemudian dengan wajah agak bingung dan kosong :
"Dia yang menang!"
Sambil berkata, sepasang
matanya yang bulat besar segera dialihkan ke arah ba-ya-ngan punggung Lan
See-giok yang menjauh dengan pandangan aneh.
Sampai sekarang dia masih saja
tidak habis mengerti, mengapa totokan jalan darahnya yang bersarang telak tadi
bisa tidak bermanfaat apa-apa?
Bayangan tubuh Lan See-giok
sudah lenyap di luar dusun sana, tapi dalam hati kecil Si Cay-soat masih
tertera jelas bayangan tubuhnya.
Setelah meninggalkan
perkampungan nelayan itu Lan See-giok merasa menyesal sekali karena
kelancangannya mencampuri urusan orang, dia berpikir, saat itu ayahnya pasti
sudah menunggu dengan tak sabar di luar hutan.
Menelusuri jalanan yang kecil,
dia berpikir terus ke hal-hal yang beraneka ragam- hatinya makin gelisah dan
dia ingin cepat-cepat sampai di rumah,
Setelah habis menelusuri tanah
persawahan, dia berjalan menembusi semak belukar yang lebat dan akhirnya
menembusi hutan belantara yang lebat sekali.
Baru satu li dia berjalan
menembusi hutan, seluruh angkasa telah berubah menjadi gelap gulita, angin
malam berhembus kencang dan membawa udara yang dingin.
Titik-titik cahaya api
berkedip di balik hutan yang gelap, sebentar bergerak mendekat sebentar lalu
bergerak menjauh cahaya api itu menambah suasana seram di sekitar sana.
Lan See-giok tahu kalau sinar
titik api itu bernama api setan, konon merupakan setan- setan yang berjalan ke
luar dari dalam kuburan untuk mencari sukma-sukma yang lain
Tapi Lan See-giok tidak takut,
dia percaya ayahnya pasti sudah menanti di ujung hutan sana, menanti
kedatangannya.
Maka dia segera mempercepat
perjalanan nya menembusi hutan tersebut . . .
Tak lama kemudian ia sudah
sampai di ujung hutan, tapi . . di mana ayahnya? Ia tidak menjumpai bayangan
tubuh ayahnya berada di situ.
Dia segera berhenti, ternyata
tempat yang dituju memang tak salah, ayahnya telah berkata dengan jelas, dia
akan menunggunya di bawah pohon besar ini.
Mungkinkah ayahnya tertidur di
atas po-hon?
Berpikir demikian dia lantas
mendehem-dehem, tapi kecuali bunyi jengkerik dan binatang kecil lainnya, tidak
terdengar suara jawaban ayahnya.
Dengan cepat dia mendongakkan
kepala nya dan memandang ke arah depan, hutan belantara tampak sangat gelap,
api setan berkedip-kedip dan bergoyang ke sana ke mari terhembus angin, dia
seolah-olah menyaksikan api setan itu makin lama makin membesar dan akhirnya
lambat-lambat seperti nampak munculnya sesosok ba-ya-ngan setan.
Lan See-giok mulai ketakutan,
dia segera berpikir:
"Mengapa ayah tidak
menjemputku?"
Dia tahu dari sini sampai di
kuburan kuno itu masih cukup jauh, dia harus melewati dua buah tebing tinggi,
tiga buah tanah pekuburan dan sebuah sungai seluas satu kaki.
Dia tidak takut ular beracun
atau babi hutan, tapi dia takut dengan jeritan burung hantu, suaranya yang
menggetarkan sukma cukup mendirikan bulu roma siapapun yang mendengarnya.
Teringat jeritan burung hantu,
bulu kuduk Lan See-giok segera pada berdiri, dalam keadaan begini betapa
besarnya dia berharap ayahnya bisa datang menjemputnya.
la maju beberapa langkah lagi
ke depan, semak belukar sudah setinggi lutut, tak jauh di balik hutan sana
adalah sebuah tanah pekuburan yang sudah porak poranda keadaannya.
Hampir sebagian besar kuburan
di situ sudah hancur, batu nisan berserakan. peti mati pada merekah, bahkan
tulang belulang manusia yang tak terurus tergeletak di sana sini menimbulkan
cahaya api setan yang menggidikkan hati....
Walaupun sejak kecil Lan
See-giok telah belajar silat, bagaimanapun juga dia hanya seorang anak berusia
lima enam belas tahun, sewaktu kecil dulu dia sering mendengar ibunya bercerita
tentang setan.
Membayangkan kembali cerita
setan yang pernah didengarnya dulu, anak itu semakin ketakutan, tanpa terasa
dia berteriak keras.
"Ayah, anak Giok telah
pulang!"
Suasana amat hening, kecuali
beberapa ekor ayam alas yang berlarian karena kaget, tak nampak sesosok
bayangan manusiapun yang muncul di sana.
Lan See-giok sangat kecewa,
dia tahu dalam keadaan begini dia harus pulang sendiri ke kuburan kuno.
Maka setelah menghimpun
tenaganya dan memusatkan pikiran, dia segera mengerah kan ilmu meringankan
tubuhnya bergerak menuju ke depan.
Setelah melewati tanah
pekuburan yang terbengkalai itu, keadaan mega semakin meninggi, hutan semakin
rapat dan suasana pun semakin gelap gulita ....
Sepanjang perjalanan, Lan
See-giok menyaksikan burung-burung beterbangan karena takut, dua tiga babi
hutan mengejar dengan kencang, diapun menyaksikan ular-ular beracun dengan
sorot matanya yang buas muncul dari balik tulang kerangka manusia atau peti
mati yang berserakan...
Tapi anak itu tidak mengambil
perduli, dia berlarian terus dengan kencangnya menuju ke tempat tujuan.
"Beberapa saat kemudian
ia telah mele-wati dua buah tebing dan sebuah sungai kecil, di depan sana
terbentang hutan pohon siong, di dalam hutan itulah terletak kuburan kuno
tempat tinggal ayahnya.
Selama ini Lan See-giok selalu
tidak habis mengerti apa sebabnya ayahnya pindah ke dalam kuburan kuno itu,
berapa tahun setelah pindah ke sana, ibunya meninggal dunia, sejak saat itulah
ayahnya menjadi seorang yang pemurung.
Beberapa kali dia menyaksikan
ayahnya duduk tepekur sambil bermuram durja, adakala ayahnya menjadi berangasan
dan suka marah-marah, tapi ada kalanya pula dia nampak amat gelisah dan tidak
tenang . . .
Lan See-giok tahu kalau
ayahnya pasti mempunyai suatu rahasia besar yang tak ingin diketahui orang
lain, diapun menduga ibunya pasti mati karena merasa murung dan sedih karena
persoalan ini.
Dia ingin sekali mengetahui
rahasia tersebut, dia bersedia membantu ayahnya untuk memikirkan persoalan itu,
tapi dia tak berani bertanya, diapun tahu sekalipun di tanyakan, belum tentu
ayahnya bersedia menjawab.
Mendadak dari atas pohon tak
jauh di hadapannya sana, terdengar bunyi burung hantu yang memekakkan telinga.
Lan See-giok merasakan bulu
kuduknya pada bangun berdiri, dengan cepat dia men-dongakkan kepalanya ke
depan, ternyata dia sudah berada dalam hutan siong, jarak nya dengan kuburan
kuno itu sudah tak jauh lagi. Di depan matanya kini muncul sebuah tugu yang terbuat
dari batu hijau, di atas permukaan tugu itu tertera dua huruf yang amat besar:
"ONG LENG."
Akhirnya sampai juga di tempat
tujuan, Lan See-giok merasa girang sekali, ia mempercepat larinya menuju ke
depan.
Setelah melewati tugu itu
muncullah sebuah jalanan beralas batu yang sangat lebar, panjangnya puluhan
kaki, di kedua belah sisi jalan besar itu berjajar patung-patung kuda, patung
kambing, patung orang dan lain seba-gainya.
Di ujung jalan tersebut adalah
sebuah pintu bangunan yang sudah ambruk, yang tersisa tinggal tiang-tiang
penyangganya saja. sedang bangunan itu sendiri telah porak poranda.
Dalam bangunan yang porak
poranda terdapat sebidang tanah pekuburan yang luasnya mencapai puluhan hektar,
puluhan buah kuburan besar berserakan di sana sini. batu bong pay berdiri kekar
di depan setiap ku-buran itu, tapi tulisannya sudah buram.
Terbayang kalau sebentar lagi
bakal berjumpa dengan ayahnya, Lan See-giok merasa amat gembira, ia telah
mempersiapkan ucapannya yang pertama begitu bersua dengan ayahnya nanti, ia
hendak mengatakan bahwa kotak kecil itu telah diserahkan kepada Bibi Wan yang
anggun tersebut.
Begitu besar keinginannya
bertemu de-ngan ayahnya, dia tak ingin berjalan berputar lagi, dengan suatu
lompatan cepat ia melewati tanah pekuburan itu langsung menuju ke depan sebuah
kuburan yang paling besar.
Ilmu meringankan tubuh yang
dimilikinya paling hebat, ayahnya sering memuji akan kehebatannya, sedang
kepandaian kedua yang paling ampuh adalah ilmu Gi-hiat kang, kepandaian untuk menggeserkan
tempat kedudukan jalan darah.
Tanpa terasa ia teringat
kembali pertarungannya dengan Si Cay-soat belum lama berselang, kepandaian
silat nona itu memang sangat hebat, coba kalau dia tak pan-dai memindahkan
letak jalan darah, niscaya dia sudah dipecundangi orang.
Sementara masih melamun, dia
telah melayang turun di depan kuburan ke depan yang menghadap ke arah timur
laut.
Tiba di depan kuburan itu, ia
saksikan pintu rahasianya terbuka lebar, mungkin- ayahnya lupa untuk menutup
kembali.
Tanpa sangsi lagi Lan See-giok
melompat masuk ke dalam kuburan, menelusuri anak tangga dan berlarian menuju ke
ruang dalam.
Suasana di dalam kuburan itu
gelap gulita hingga lima jari tangan sendiri pun susah dilihat, tapi Lan
See-giok sudah banyak tahun berdiam di sini, sekalipun harus berjalan dengan
mata meram pun dia dapat mencapai ruangan dalam.
Sesudah melewati dua tikungan,
akhir nya dari dalam ruangan bulat di depan sana nampak setitik cahaya lentera.
Lan See-giok amat gembira, dia
tahu ayah-nya belum tidur, dengan suara lantang segera teriaknya:
"Ayah, anak Giok telah
kembali!"
Sambil berteriak gembira dia
segera menubruk ke depan.
Tapi dengan cepat anak itu
berhenti dengan wajah tertegun, ternyata ia tidak menjumpai ayahnya berada di
sana.
Cahaya lentera memancar ke
luar dari sebuah lampu minyak di atas meja, cahaya itu amat redup sehingga
suasana di seluruh ruangan itu remang-remang dan terasa menyeramkan.
Pembaringan di sisi dinding
ruangan nampak rapi, di atas meja besar dekat pembaringan terletak senjata
gurdi emas "Cing kim-kong-luau-jui!" - senjata andalan ayahnya.
Gurdi emas itu berujung
runcing dan amat tajam, bagian ekornya lebih kasar dan besar hingga bentuknya
mirip jarum.
Senjata itu kalau lemas
bentuknya seperti seutas tali, tapi kalau sudah disaluri tenaga dalam bentuknya
mirip gurdi, tanpa tenaga dalam yang sempurna jangan harap orang bisa memainkan
senjata semacam itu.
Begitu melihat senjata gurdi
emas milik ayahnya masih tergeletak di atas meja, Lan See-giok segera tahu
kalau ayahnya tidak pergi.
Mendadak . . .
Segulung bau amisnya darah
berhembus lewat dan menusuk hidung anak itu. . .
Lan See-giok merasa sangat
terkejut, dengan cepat dia mengendusnya beberapa kali, benar juga, bau yang
menusuk hidung itu adalah bau amisnya darah segar.
Hatinya menjadi amat tercekat.
tanpa terasa dia mundur dua langkah, sementara perasaan seram menyelimuti
seluruh benaknya.
Pada saat itulah dari luar
kuburan terdengar bunyi burung hantu berpekik keras, suaranya terdengar amat
menyeramkan ....
Lan See-giok segera bergidik,
bulu kuduknya pada bangun berdiri, tanpa terasa dia berteriak dengan suara
keras:
"Ayah. . . ayah . . .
ayah . . ."
Teriakan anak itu kedengaran
parau dan diselingi isak tangis yang gemetar.
Tapi, kecuali suara dengungan
keras dari balik lorong yang memantulkan suaranya, tidak terdengar suara
jawaban dari ayahnya.
Kembali terendus bau amis
darah yang amat menusuk penciuman.
Sekali lagi Lan See-giok
terperanjat, dia berusaha mengumpulkan segenap kemampuannya untuk meneliti
ruangan itu.
Tiba-tiba mencorong sinar
terang dari balik matanya, ia saksikan di sebelah kiri meja batu nampak sesosok
bayangan hitam berada di sana.
Dengan suatu kecepatan kilat
dia menyambar lentera di meja dan menghampiri bayangan itu.
Di bawah cahaya lentera yang
redup, ia segera menyaksikan suatu pemandangan yang menyeramkan, peluh dingin
segera jatuh bercucuran, sukmanya serasa melayang meninggalkan raganya.
Lan See-giok betul-betul
berdiri kaku bagaikan patung, mukanya pucat, matanya terbelalak lebar sedang
mulutnya ternganga lebar.
Sebab bayangan itu tak lain
adalah tubuh ayahnya, tubuh ayahnya yang tergelepar di atas genangan darah.
Cepat dia letakkan lentera itu
ke meja, lalu sambil menjerit dan menangis dia menubruk ke atas tubuh ayahnya
dan menangis tersedu sedu.
Seketika itu juga dalam
seluruh kuburan itu dipenuhi oleh suara isak tangis yang penuh kesedihan,
keseraman dan kengerian.
Lan See-giok menangis terus
sampai air mata yang ke luar berubah menjadi darah sambil menangis tersedu
sedu, dia mulai memeriksa jenazah ayahnya itu.
Ia saksikan ayahnya tewas
dengan mata melotot mulut ternganga, noda darah menyelimuti seluruh wajahnya,
jenggot yang putih dan rambut yang putihpun penuh dengan darah, sekilas
pandangan saja dapat diketahui kalau ayahnya tewas akibat suatu gempuran tenaga
pukulan dahsyat yang menghancurkan isi perutnya.
Ditinjau dari posisi ayahnya
sewaktu jatuh setelah menyadari kehadiran musuh tak di undang, ayahnya
buru-buru menyambar senjata gurdi emas yang tergeletak di meja sayang sebelum
maksudnya tercapai, pung-gungnya sudah kena dihajar lebih dulu.
(Bersambung ke Bagian 02)