Ketika puluhan lelaki kekar
itu menyaksi-kan si nona den kedua orang dayangnya berada dalam keadaan basah
kuyup, paras muka mereka segera berubah hebat, mereka tahu kalau ke tiga orang
gadis itu telah men-jumpai jago lihai di tengah telaga.
Padahal mereka tahu kalau ilmu
silat yang dimiliki nonanya sangat lihay, bila nona yang lihay pun bisa dipaksa
tercebur ke dalam air, dari sini dapat diketahui kalau kepandaian silat yang
dimiliki orang itu pasti lihay sekali.
Tapi setelah mereka saksikan
Lan See giok yang tergeletak dalam sampan, puluhan orang lelaki kekar itu
kembali dibuat tidak habis mengerti, tiada orang yang percaya kalau nona mereka
telah dipaksa terjun ke dalam air oleh seorang bocah yang baru berusia lima
enam belas tahun tersebut.
Tiba-tiba terlihat nona
berbaju putih itu memberi tanda, sampan kecil itu pun segera berhenti.
Lan See giok sadar bahwa dia
bakal celaka, setelah sampai di dalam benteng, niscaya dia akan diserahkan
kepada kawanan lelaki kekar itu untuk dijebloskan ke dalam penjara air.
Sambil bertolak pinggang gadis
berbaju putih itu memandang sekejap sekeliling arena, puluhan orang lelaki
itupun cepat-ce-pat menundukkan kepalanya dengan keta-kutan.
""Apakah Lo-pocu
telah kembali?" gadis itu segera menegur dengan suara dalam.
Seorang lelaki bercambang
segera me-nya-hut dengan kepala tertunduk dan sikap hor-mat:
"Lapor nona, Lo pocu
belum kembali!"
Dengan perasaan kaget
bercampur ke-heranan, gadis berbaju patih itu berkerut kening, kemudian
tanyanya lebih jauh:
"Tengah hari tadi, Be
congkoan telah me-ngutus siapa untuk menyambut kedatang-an Lo pocu?"
"Tui-keng-kui (setan
pengejar ikan paus). Yau Huang, salah seorang diantara tiga se-tan!"
kembali lelaki bercambang itu men-jawab dengan sikap yang sangat meng-hor-mat.
Kemudian setelah memandang
sekejap ke pintu belakang, lelaki itu menambahkan:
"Barusan, Be congkoan
telah mengirim pula dua setan lainnya untuk menyambut pocu!"
Tampaknya nona berbaju putih
itu merasa agak lega setelah mendengar ucapan itu, dia lantas mengangguk dan
memerintahkan sampan untuk bergerak maju.
Tiba-tiba terdengar lelaki
bercambang itu bertanya dengan sikap hormat:
"Nona, apakah mata-mata
itu perlu di-tahan di sini untuk diperiksa?"
Lan See giok merasa terkejut
sekali, tanpa terasa dia menggenggam senjata gurdi emasnya kencang-kencang.
"Tidak usah, aku masih
ada persoalan yang hendak ditanyakan kepadanya!" tukas nona itu dengan
suara dalam.
Selesai berkata, sampan kecil
itu sudah bergerak melewati pintu benteng tersebut.
Lan See giok menjadi lega
kembali setelah perahu itu meneruskan perjalanan.
Entah berapa lama sampan kecil
itu ber-gerak maju menembusi jalan air di dalam benteng, di sekeliling tempat
itu penuh de-ngan bangunan rumah dan loteng yang ter-buat dari batu hijau,
meski di tengah ke-ge-lapan namun suasana tetap terang benderang, sebab setiap
berapa kaki tampak sebuah lampu lentera.
Bangunan benteng Wi lim poo
itu benar-benar luas sekali, setelah melalui jalan air yang menembusi berapa
rumah besar, akhirnya mereka baru memasuki sebuah pintu air, menyeberangi
jembatan berbentuk bulan dan berhenti di depan sebuah pintu gerbang berwarna
merah.
Apa yang terlihat di sepanjang
perjalanan, membuat Lan See giok merasa putus asa. karena dia merasa harapannya
untuk mela-rikan diri tipis sekali.
Tempat apakah benteng Wi lim
poo ini? sarang perampok kah? Atau suatu markas besar dari suatu perkumpulan
besar dalam dunia persilatan? Atau mungkin tempat per-tapaan seorang jago
persilatan yang me-ngasingkan diri? selama ini, belum pernah ia mendengar
ayahnya menyinggung tentang hal ini.
Tapi ada satu hal yang bisa
diduga olehnya, Lo pocu dari benteng wi lim poo ini sudah pasti adalah seorang
kakek yang ber-ilmu silat sangat tinggi.
Mendadak satu ingatan melintas
dalam benaknya, dia teringat kembali akan dendam sakit hati ayahnya, maka
pikirnya lebih jauh:
"Kalau toh lo-pocu dari
benteng ini me-ru-pakan jago silat yang berilmu tinggi, mengapa aku tidak
mengangkatnya menjadi guruku --?"
Belum habis ingatan tersebut
melintas dalam benaknya dia merasa tubuhnya telah digotong oleh dua orang
dayang.
Kemudian senjata gurdi emas
itupun di ambil oleh si nona berbaju putih tersebut.
Dengan cepat Lan See giok
tersadar kem-bali dari lamunannya, kembali dia berpikir:
"Jiwaku sendiripun belum
tentu bisa di dipertahankan. buat apa aku mesti berkhayal yang
bukan-bukan---?"
Tiba-tiba ia mendengar gadis
berbaju putih itu sedang menegur dengan suara nyaring:
"Siau ci, apakah kau tak
dapat meng-angkat kepala itu lebih ke atas sedikit?"
Lan See giok merasa kepalanya
segera ter-angkat lebih tinggi sehingga terasa nyaman sekali, tapi bersamaan
itu pula Lan See giok merasa kebingungan, dia tak habis mengerti apa sebabnya
nona itu ber-sikap begitu baik terhadap dirinya..
Tiba-tiba terdengar suara
sorak sorai yang penuh kegembiraan berkumandang datang:
"Nona telah datang, nona
telah pulang!" Oleh karena nona berbaju putih itu ber-jalan di samping Lan
See giok, maka bocah itu tak berani membuka matanya, secara lamat-lamat dia
hanya merasa dirinya di bawa ma-suk ke dalam sebuah pintu berbentuk bulat.
Suara langkah dan sorak
gembira menda-dak terhenti, sekelompok pelayan yang datang menyambut segera
berhenti dan menjadi hening, agaknya mereka sedang dibuat tercengang oleh
kehadiran Lan See giok yang digotong Siau lian serta Siau ci.
Kemudian ia mendengar pula
nona berbaju putih itu berseru cepat:
"Kalian segera menyiapkan
air untuk membersihkan badan dan hidangan ma-lam..."
Suara langkah yang ramai
kembali terde-ngar, kali ini pelayan-pelayan tersebut pergi menjauh.
Kemudian ia merasa digotong
masuk menaiki undak undakan dan memasuki se-buah ruangan.
Kembali terdengar gadis itu
berseru:
"Letakkan dulu di atas
tempat duduk ber-sulam!""
Lan See giok tidak tahu
bagaimanakah bentuk tempat duduk bersulam itu, ia hanya merasakan badannya
dibaringkan di atas tempat yang empuk dan nyaman di mana tangannya menyentuh
terasa tempat itu em-puk sekali.
Kemudian kedengaran nona itu
berkata lagi dengan suara yang jauh lebih lembut:
"Sekarang kalian berdua
boleh pergi mem-bersihkan badan dan berganti pakaian!"
Dua orang dayang itu mengiakan
lalu ber-lalu dari situ.
Cahaya lampu dalam ruangan itu
terang benderang membuat Lan See giok merasa agak silau. Lambat-lambat diapun
mende-ngar suara bisik bisikan lirih di kejauhan sana.
Tapi Lan See giok tahu kalau
tak jauh dari situ masih berdiri beberapa orang dan ia pun tahu kalau si nona
berbaju putih itu telah pergi.
Tak selang berapa saat
kemudian, suara lirih tadi kedengaran makin mendekat, tam-paknya seperti
berjalan ke arahnya. .
". . . kenapa dia masih
tidur terus. . .?"
"Mungkin jalan darahnya
ditotok oleh nona. . .""
" . . oooh, tampan sekali
wajahnya . ."
"Siau-ho, jangan sentuh
dia. hati-hati kalau kulitmu disayat oleh nona . . . "
Serombongan pelayan
mengerumuni tem-pat itu sambil berbincang tiada hentinya, Lan See giok segera
merasakan seluruh badannya bagaikan ditusuk-tusuk dengan jarum.
Mendadak suasana menjadi
hening, lalu pelayan-pelayan itu membubarkan diri de-ngan cepat sesaat kemudian
kedengaran lagi suara langkah manusia yang mendekat.
Ditinjau dari sikap gugup dan
tegang dari pelayan-pelayan itu, Lan See giok lantas menduga kalau nona berbaju
putih itu telah balik kembali ke situ.
Benar juga, segera terendus
bau harum semerbak yang merangsang hati, disusul se-buah tangan menghantam
pelan di atas jalan darah Mia-bun-hiat di tubuhnya.
Lan See-giok tahu kalau si
nona sedang membebaskan jalan darahnya, maka dia berpura-pura menghembuskan
napas panjang, menggeliat dan pelan-pelan membuka matanya.
Tapi sinar mata yang silau
segera membuat sepasang matanya terpejam kembali...
Ketika biji matanya berputar
dia saksikan nona berbaju putih itu masih tetap mengenakan pakaiannya yang
basah, sedang di tangannya membawa beberapa stel pakaian, dia sedang memandang
ke arahnya sambil tersenyum manis...
Lan See-giok pura-pura
terkejut, cepat-cepat dia melompat turun dari atas tempat duduk, lalu dengan
tangan kiri melindungi muka, tangan kanan melindungi dada, dia bersikap dalam
posisi siap siaga.
Sementara sepasang matanya
yang jeli berlagak memandang nona berbaju putih itu dengan tegang.
Tindakan Lan See-giok yang
sangat tiba-tiba ini, kontan saja membuat beberapa orang dayang tersebut
menjadi tertegun dan gelagapan dibuatnya.
Si nona berbaju putih itu
sendiri masih tetap bersikap tenang, malah sekulum senyuman segera menghiasi
bibirnya setelah menyaksikan ketegangan Lan See-giok, ini membuat sepasang
payudaranya turut bergoncang keras mengikuti suara tertawa cekikikannya.
ooo0ooo
BAB 6
PEMILIK BENTENG WI-LIM-PO
DENGAN sepasang matanya yang
genit dan menggiurkan nona berbaju putih itu. me-mandang sekejap ke arah Lan
See giok, ke-mudian katanya sambil tertawa cekikikan:
"Bocah dungu, hayo cepat
membersihkan badan dan tukar pakaian."
Seraya berkata dia segera berjbalan
lebih duluj di depan.
gSekalipun Lan Sbee giok
merasa kurang senang atas panggilan itu, tapi dia tak berani bersikap kelewat
keras karena dia takut akan terbongkar rahasianya sehingga menyulitkan diri
sendiri.
Karena itulah setelah tertegun
sejenak, dia pun mengikuti di belakang gadis tersebut.
Menelusuri ruangan dalam, ia
saksikan semua perabot yang ada di situ rata-rata in-dah dan mahal harganya,
lantainya dilapisi permadani merah sedang lentera keraton menghiasi mana-mana,
benar-benar suatu dekorasi yang indah sekali.
Beberapa orang dayang yang
berada di sana rata-rata berusia empat lima belas ta-hunan, mereka mengenakan
pakaian ber-warna merah, kuning, hijau dan biru, saat itu mereka semua sedang
berdiri di depan pintu berbentuk bulat dengan wajah ke-heranan.
Baru pertama kali ini Lan See
giok me-nyaksikan dekorasi yang begini indahnya, setiap macam benda yang ada di
sana me-nimbulkan rasa ingin tahunya, untung saja ia masih sanggup untuk
mengendalikan ge-jolak perasaan dalam hatinya.
Setelah menembusi ruangan
dalam, akhir-nya gadis berbaju putih itu mengajaknya menuju ke depan sebuah
pintu kecil di mana tampak ada dua orang dayang berbaju bunga berdiri di situ.
Lan See giok tahu bahwa tempat
itulah tempat untuk membersihkan badan . . .
Benar juga, nona berbaju putih
itu segera berhenti dan katanya sambil tertawa:
"Cepat masuk, setelah
membersihkan badan gantilah dengan pakaian ini..."
Sembari berkata dia lantas
menyodorkan beberapa stel pakaian itu kepada Lan See giok.
Si anak muda itupun tidak
sungkan-sung-kan, dia segera menerima pakaian ter-sebut dan masuk ke dalam
ruangan.
Dua orang dayang yang berada
di luar de-ngan cepat menutupkan pintu ruangan.
Dengan wajah ingin tahu, Lan
See giok memperhatikan sekejap sekeliling tempat itu dia lihat di ujung ruangan
terdapat sebuah rak pakaian, lalu di bagian tengah terdapat sebuah bak mandi
terbuat dari kayu, isi bak itu setengah penuh dan mengepalkan uap panas,
seluruh ruangan terasa harum se-merbak.
Ia tahu kamar untuk
membersihkban badan ini mujngkin merupakang kamar mandi prbibadi si nona
berbaju putih itu, ia menjadi ber-pikir pikir, kenapa nona berbaju putih itu
bersikap istimewa kepadanya.
Selesai membersihkan badan,
untuk se-mentara waktu dia terpaksa harus me-ngena-kan pakaian pemberian gadis
itu.
Ternyata pakaian itu terdiri
dari jubah biru dengan celana hijau, pakaian dalam putih, sepatu model busa . .
. .
Semua bahan pakaian terbuat
dari bahan sutera yang sangat halus don mahal harga nya, tanpa terasa Lan See
giok berkerut kening.
Meski usianya masih kecil,
namun dia merasa tak terbiasa mengenakan pakaian yang berwarna warni seperti
itu.
"Aaaah, tak apalah"
akhirnya dia berpikir "toh pakaian ini kupakai untuk sementara waktu . .
."
Pakaian dalamnya persis, tapi
celananya. kelewat panjang, sepatunya kelewat sempit, pakaian luarnya agak
kedodoran, walaupun kurang necis, tapi dapat terlihat betapa tam-pannya pemuda
itu.
Selesai berdandan, dia lantas
celingukan lagi ke sana ke mari untuk mencari air guna mencuci pakaian sendiri
. . .
Pada saat itulah, pintu
diketuk orang seca-ra tiba-tiba, kemudian terdengar pelayan itu bertanya:
"Kongcu, sudah selesaikah
mandimu?"
Kongcu? Lan See-giok merasa
asing sekali terhadap panggilan itu, tapi dia tahu pang-gilan tersebut
ditujukan kepadanya.
Maka diapun membalikkan badan
sambil membuka pintu. kemudian melangkah ke luar dari ruangan itu.
Dua orang dayang itu nampak
tertegun untuk sesaat, agaknya baru pertama kali ini mereka jumpai seorang
pemuda yang begitu tampan.
Sedang Lan See giok mengira
mereka se-dang mentertawakan pakaiannya yang kedo-doran, tanpa terasa dengan
wajah berubah menjadi merah padam tanyanya sambil ter-tawa
"Adik kecil berrdua,
tolong carzikan air sedikiwt . .
Sekarli lagi kedua orang
dayang itu tertegun, tapi setelah berpikir sebentar mereka segera memahami
jalan pemikiran pemuda itu, kontan saja mereka tertawa ce-kikikan.
Salah seorang dayang yang
berusia agak tua segera berkata sambil tersenyum ramah:
"Kongcu, pakaianmu akan
budak cucikan, silahkan kongcu bersantap malam lebih dulu!"
Dengan sopan Lan See giok
mengucapkan terima kasih, kemudian berjalan menuju ke ruang depan.
Tiba di ruang muka sebuah meja
per-jamuan telah disiapkan, mangkuk piring yang terbuat dari perak telah
dihidangkan secara lengkap.
Beberapa orang dayang berdiri
penuh hor-mat di sudut ruangan, sedang nona ber-baju putih itu masih belum
nampak.
Lan See-giok memang merasa
amat lapar, apalagi setelah menyaksikan hidangan ma-lam yang lezat, perutnya
merasa semakin la-par.
Di atas meja tersedia dua
perangkat mang-kuk sumpit, itu berarti bukan disiapkan buat dia seorang saja,
karena itu dengan sabar dia pun menantikan kemunculan si nona terse-but.
Sambil menundukkan kepala dia
pun ber-jalan kian kemari, sementara otaknya ber-putar terus untuk menemukan
cara yang baik untuk meloloskan diri dari situ.
Pemandangan malam di luar
ruangan nampak sangat indah, bintang-bintang ber-kerlipan di tengah angkasa
yang gelap, selu-ruh benteng Wi lim poo berada dalam keadaan hening, sepi dan
tak kedengaran sedikit suarapun.
Beberapa orang pelayan berdiri
mem-bung-kam di tempat, sementara sorot mata mereka yang jeli mengikuti gerak
gerik Lan See giok berjalan kian kemari.
Membayangkan kembali
pengalamannya selama dua hari belakangan ini, Lan See giok merasa seakan akan
sudah melewati waktu selama satu dua bulan, meski demikian dia merasa hatinya
lega dan nyaman, sebab ia dapat lolos dari cengkeraman To oh cay jin (si
manusia cacad telinga) Oh Tin san.
Kini dia memutuskan untuk
tidak ter-buru buru mengunjungi bibi Wan, dia harus menunggu sampai kelima
manusia cacad dari tiga telaga berlalu dan meninggalkan tempat tersebut
jauh-jauh karena merasa sadar bahwa harapan mereka amat tipis, kemudian barulah
berusaha untuk pergi ke sana.
Ia beranggapan bersembunyi di
dalam benteng Wi lim poo merupakan tempat per-sembunyian yang paling rahasia,
mimpipun ke lima manusia cacad serta kakek berjubah kuning itu tak akan menduga
kalau dia berada di sini.
Bila teringat kembali kejadian
yang di-alami malam tadi, hingga sekarang jantung-nya ma-sih terasa berdebar
keras, pertempuran-nya melawan si perompak yang mati tertusuk di air serta
pertarungannya melawan gadis-gadis itu hampir saja membinasakan dirinya di
dalam air telaga.
Membayangkan kembali
kesemuanya itu, tanpa terasa Lan See giok terbayang kembali akan kepandaian
sakti yang dimiliki si nona berbaju putih sewaktu berada dalam air, dia
memutuskan untuk mempelajari ke-pandaian tersebut secara baik-baik.
Siapa tahu dalam sepanjang
sejarah hidupnya dia akan menjumpai bencana ban-jir? Atau mungkin akan bertemu
perompak dan mengalami musibah kapalnya karam? Tanpa dibekali ilmu dalam air
yang sempurna biarpun ilmu silat yang dimiliki cukup hebat-pun jangan harap
bisa mempertahan kan hidupnya dengan baik---
Sementara ia masih melamun
sampai di situ, mendadak terdengar suara dentingan nyaring berkumandang datang.
Lan See giok segera
menghentikan langkah nya seraya berpaling, tampak dua orang dayang cilik lari
masuk ke dalam ruangan dengan wajah tergopoh gopoh.
Kemudian setibanya di depan
pintu, ke dua orang dayang itu memisahkan diri dan berdiri di kiri dan kanan.
Tak lama kemudian suara
dentingan tadi makin mendekat dan akhirnya tirai di-singkap orang.
Agak berkilat sepasang mata
Lan See giok setelah melihat apa yang tertera di depan mata, seorang gadis
cantik rupawan dengan perawakan yang ramping dan indah tahu- tahu sudah muncul
di depan mata.
Rambbut si nona cantjik itu
disanggugl tinggi denganb mutu manikam menghiasi mahkota nya, ia berwajah
potongan kwaci, alis mata-nya indah dengan bibir yang mungil, gaun-nya berwarna
putih dengan pakaian warna hijau pupus, suatu perpaduan yang mem-buat wajahnya
nampak lebih cantik dan menawan hati.
Setelah diamati beberapa saat,
Lan See giok baru mengenali kalau si nona anggun yang berbadan indah ini
ternyata tak lain adalah si nona berbaju putih tadi.
Gadis cantik itu berdiri
tertegun pula di depan pintu sepasang matanya yang jeli mengawasi juga wajah
Lan See giok yang baru selesai membersihkan badan dengan termangu.
Ia benar-benar terkejut sampai
tertegun, tak terlukiskan rasa girang dan gembira yang berkecamuk di dalam
dadanya.
Lan See giok yang selesai
membersihkan badan dan berganti pakaian, nampak begitu tampan dan gagah,
wajahnya yang memerah tambah dilihat tambah menarik hati.
Ia berdoa semoga Lan See giok
bukan se-o-rang bocah berusia lima enam belas tahun, dia berharap pemuda itu
sudah termasuk seorang pemuda dewasa, sebab tahun ini dia sendiri telah berumur
sembilan belas tahun.
Setelah termangu sesaat, sambil
tertawa manis gadis, berbaju putih itu maju mendekat, katanya sambil menunjuk
ke arah meja:
"Ayo silahkan, jangan kau
tunda lebih lama lagi"
Lan See giok memang memutuskan
untuk berdiam sementara waktu di dalam benteng Wi lim-poo sampai suasana menjadi
aman kembali, maka sambil tertawa dia manggut-manggut, pertanda kalau dia tidak
berniat bermusuhan.
Sewaktu si nona mempersilahkan
Lan See giok duduk di kursi utama, tanpa sungkan pemuda itu mengikutinya.
Mendadak, dari luar pintu
berkumandang suara langkah kaki manusia yang tergesa-gesa.
Lan See giok segera berpaling,
tampak se-o-rang dayang berbaju kuning sedang berla-rian masuk ke dalam ruangan
dengan wajah gugup bercampur tegang.
Dengan kening berkerut si
nonab segera menegurj:
"Apa yangg terjadi di
tembpat hujin sana?"
"Lapor nona" kata
dayang itu cepat-cepat, "Lo pocu telah pulang, entah mengapa dia sedang
marah-marah di ruang tamu....."
"Aaaah, tahukah kau apa
yang menyebab-kan lo pocu marah-marah?" sela si nona sambil menjerit
kaget.
"Menurut laporan dari
Be-congkoan kepada nyonya. Tui keng hi ( Setan pengejar ikan paus ) yang diutus
untuk menjemput lo-pocu ditemukan tewas tertusuk dalam air telaga, mayatnya
sudah terapung di atas permukaan air.
Lan See giok amat terkejut
setelah mendengar laporan itu sehingga tanpa terasa wajahnya berubah, pikirnya:
"Jangan-jangan si setan
pengejar ikan paus adalah orang yang mati kutusuk tadi?"
Tapi ia segera merasa jalan
pemikirannya tidak benar, bukankah si setan pengejar ikan paus ditugaskan untuk
menjemput Lo pocu-nya, bukan orang yang ditugaskan mencari dia?
"Aaaah, pasti orang itu
hanya seorang perompak air . . . !" akhirnya dia me-nyimpul-kan.
Berpikir sampai di situ,
hatinya yang tak tenang pun segera menjadi tenang kembali.
Maka sambil memandang si nona
ber-baju putih yang termangu, selanya:
"Tolong tanya nona,
kecuali benteng kalian, apakah di sekitar telaga ini masih terdapat markas
besar dari perkumpulan atau pergu-ruan lain-.-"
Sekulum senyuman sinis dan
angkuh segera melintas di wajah nona berbaju putih itu, sahutnya:
"ikan dan udangpun tak
berani berenang mendekati benteng Wi lim poo, apa lagi per-guruan atau
perkumpulan lain, masa mereka berani mendirikan markasnya di sekitar ini?"
Lan See giok memang bukan anak
bodoh, dari sikap angkuh si nona berbaju putih itu, ia sudah menyimpulkan kalau
tiada orang luar yang berani mendekati daerah telaga tersebut.
Terdengar si nona berbaju
putih itu berta-nya lagi kepada si dayang berbaju kuning:
"Mayat si setan pengejar
ikan paus di-temu-kan di daerah air sebelah mana?"
Dayang itu segera
menggelengkan kepala-nya berulang kali.
"Budak tidak trahu,
sewaktu huzjin ber-tanya lwo-pocu sendiri rtidak menjawab, maka budak lihat
lebih baik nona saja yang men-coba membujuk lo pocu-- "
Gadis berbaju putih itu segera
mengerut-kan dahinya, seakan akan merasa segan untuk pergi, tapi setelah
termenung sejenak akhirnya ia berkata.
"Pergilah dulu, bilang
saja aku akan segera menyusul !".
Dayang berbaju putih itu
mengiakan de-ngan hormat, kemudian membalikkan badan dan terburu buru
meninggalkan tempat tersebut.
Sepeninggal si dayang, nona
berbaju putih itu baru berpaling kearah Lan See giok sam-bil berkata:
"Dalam benteng kami
terdapat tiga orang jago yang disebut tiga setan, di antara ke tiga orang ini,
si setan pengejar ikan paus terma-suk orang yang berilmu paling tinggi, ilmunya
di dalam airpun paling sempurna, biarpun bertemu jago lihay, semestinya tak
mungkin ia akan tertusuk mati di dalam air . . . . sete-lah berhenti sejenak,
tergerak hatinya, cepat dia berguman lebih jauh:
"Jangan-jangan sudah
bertemu dengan Huan kang ciong liong ( naga sakti Pembalik sungai)?"
Dari pembicaraan itu kembali
Lan See -giok menyimpulkan bahwa antara pihak Wi lim Poo dengan si naga sakti
pembalik sungai pasti terdapat perselisihan, cuma dia tak be-rani banyak
bertanya.
Mendadak mencorong sinar tajam
dari balik mata nona berbaju putih itu, ia segera berpaling ke arah Lan See
giok, kemudian tanyanya:
"Mengapa kau mendatangi
telaga Lu wi -tong kami malam ini? Di tengah jalan tadi apakah kau telah bersua
dengan seorang le-laki setengah umur berbaju hitam, beralis tebal dengan mata
yang jeli? Atau mungkin sudah terjadi pertarungan diantara kalian?"
"Sejak memasuki telaga
ini, tak sesosok bayangan manusiapun yang kujumpai, mana mungkin bisa terlibat
dalam suasana perta-rungan?" sahut pemuda tanpa ragu.
Gadis berbaju putih itu cukup
memahami kalau Lan See-giok tidak mengerti ilmu dalam air, jadi mustahil ia
dapat membunuh si se-tan pengejar ikan paus yang lihay dalam soal ilmu berenang
di dalam air, maka dengan kening berkerut dan nada tak me-ngerti gumamnya lebih
jauh:
"Lantas, mengapa kau
memasuki telaga Lu-wi tong?"
Tak terkirakan rasa mendongkol
Lan See- giok: tiba-tiba teriaknya dengan marah:
"Kapan sih aku bilang mau
datang ke mari? Semalam toh aku cuma bertidur di dalam perahu, sewaktu mendusin
perahuku sudah terbawa arus hingga sampai di dalam wilayah Lu-wi tong, padahal
aku tak mengerti ilmu berenang, aku pun tak pandai menda-yung...."
Melihat kemarahan sang pemuda
yang kian lama kian menjadi, nona berbaju putih itu semakin yakin kalau di
balik kesemuanya ini masih terdapat hal-hal lain, namun tampak-nya diapun
enggan untuk bertanya lebih jauh, maka sambil, tersenyum katanya:
"Arus dari telaga ini
menang sering kali berubah ubah, ada kalanya angin telaga da-pat membawa sampan
kecil menuju ke arah yang lain, kejadian semacam ini umum dan tiada sesuatu
yang aneh, ayo cepat bersan-tap!"
Sembari berkata dia mengambil
sumpit perak.
Melihat gadis berbaju putih
itu tidak berta-nya lebih jauh dan kebetulan hal ini memang sesuai dengan
keinginannya, maka diapun mulai bersantap.
Baru saja hidangan akan
dimasukkan ke mulut, mendadak tampak seorang dayang berlari masuk dengan
tergesa gesa, lalu ber-bisik lirih:
"Nona, lo-pocu
datang!"
Berubah wajah si nona berbaju
putih itu. ia tahu pastilah si dayang berbaju kuning yang melaporkan kepada
ayahnya kalau di situ hadir seorang pemuda tampan.
Cepat-cepat dia bangkit dan
lari ke luar untuk menyambut kedatangan ayahnya.
Sementara itu dari ruang
tengabh terdengar suajra langkah kakig manusia, yang bbergema semakin mendekat,
lalu terdengar gadis ber-baju putih itu berseru memanggil:
"Ayah. . .""
Meminjam cahaya lentera yang
memancar ke luar dari ruangan Lan See giok ikut me-mandang ke depan, tapi
dengan cepat selu-ruh badannya gemetar keras, wajahnya berubah hebat, hidangan
yang baru saja di antar ke mulut pun segera terjatuh kembali ke atas tanah.
Mimpipun dia tak pernah
menyangka kalau lo pocu dari benteng Wi lim poo ter-nyata adalah si manusia
cacad telinga Oh Tin san yang baru saja berhasil dihindari...
Manusia cacad telinga Oh Tin
san sendiri pun nampak terkejut bercampur gembira setelah mengetahui pemuda
yang duduk di ruangan tak lain adalah Lan See giok.
Cepat-cepat Lan See giok
berusaha mene-nangkan hatinya, satu ingatan segera melin-tas dalam benaknya,
segera dia melepaskan sumpitnya dan menangis tersedu sedu.
Kemudian dengan suara keras
teriaknya:
"Empek- --"
Ia lari ke depan menyongsong
orang itu.
Perubahan yang berlangsung
secara tiba-tiba ini bukan saja membuat semua dayang menjadi tertegun. bahkan
gadis berbaju putih sendiripun sampai berdiri melongo.
Dengan cepat Lan See giok
menubruk dan memeluk si manusia cacad telinga erat-erat lalu meledaklah isak
tangisnya.
Hawa amarah yang semula
berkobar dalam dada manusia cacad telinga Oh Tin san se-ketika lenyap tak
berbekas, ia tak bisa me-ngendalikan rasa girangnya lagi dan men-dongakkan
kepalanya sambil tertawa terba-hak-bahak.
Begitu keras, suara tertawanya
sehingga menggetarkan seluruh benteng Wi lim poo.
Setelah termangu beberapa
saat, gadis berbaju putih itu segera berteriak keras.
"Ayah, sebenarnya apa
yang telah terjadi?" Manusia cacad telinga Oh Tin san menghen-tikan gelak
tertawanya, sambil membelai tubuh Lan See giok dengan penuh rasa gem-bira ia
berkata:
"Anak bodoh, jangan
menangis lagi, ini rumahmu, kau adalah satu satunya sau pocu dari benteng
ini"
Kemudian sambbil mendorong
sajng bocah, tanyagnya lagi sambilb tertawa senang:
"Anak bodoh, coba kau
lihat siapakah bu-dak yang cantik itu?"
Sembari berkata dia menunjuk
ke arah si nona berbaju putih yang sementara itu dari rasa kaget dan
tercengangnya telah berubah menjadi luapan kegembiraan.
Lan See giok sendiripun segera
me-nyadari akan masalah yang sedang dihadapi dengan berpura-pura terkejut
bercampur gembira teriaknya keras-keras:
"Kau adalah enci
Cu!"
Di tengah sorak gembiranya dia
lari ke de-pan dan memeluk pinggang nona berbaju putih itu kencang-kencang
kemudian seru-nya tiada hentinya:
"Enci Cu, enci Cu. . .
.""
Meskipun nona berbaju putih Oh
Li cu ter-hitung seorang gadis jalang yang cabul, toh ia dibuat malu dan
tersipu-sipu oleh pelukan Lan See giok tersebut, wajahnya segera berubah
menjadi merah padam bagai kepi-ting rebus.
Apalagi perawakan tubuh Lan
See giok su-dah sejajar dengan ketinggian tubuhnya.
Biarpun Oh Tin-san yang licik
dan keji berakal bulus dan berpengalaman luas, tak urung semua kecurigaannya
lenyap tak ber-bekas setelah menyaksikan sikap gembira dari Lan See giok.
Pemuda Lan See-giok memang
pintar sekali, setelah memeluk tubuh Oh Li cu yang bahenol erat-erat, mendadak
dia berlagak tersipu-sipu dan buru-buru melepaskan pe-lukannya, kemudian dengan
wajah jengah menyembunyikan wajahnya dalam pelukan Oh Tin san.
Biarpun Oh Tin san licik dan
hebat, hilang lenyap semua kecurigaannya sekarang. malah tak tertahankan lagi
ia tertawa terba-hak-bahak.
"Bocah bodoh, mengapa
malu?" tegurnya dengan gembira, "cepat, beritahu kepada em-pek,
cantik kah enci Cu?"
"Enci Cu amat
cantik!" sahut pemuda itu dengan kepala tertunduk rendah-rendah.
Merah dadu selembar wajah Oh
Li-cu karena jengah, napsu birahinya segera te-rangsang dan sinar matanya
memancarkan napsu birahi yang amat tebal.
Memandang Lan Sree giok yang
bezrada di-hadapanwnya, manusia carcad telinga 0h Tin san merasa seolah-olah
kotak kecil itu sudah berada di dalam genggamannya, tak terlukis kan rasa
gembiranya waktu itu.
Serunya kemudian sambil
menepuk bahu Lan See giok dengan tangannya yang kurus kering:
"Jika enci Cu memang
cantik, bagaimana kalau empek jodohkan enci Cu untuk menja-di istrimu!"
Ucapan tersebut kembali
membuat 0h Li cu merasakan timbulnya aliran hawa panas dari antara pahanya
terus meluncur ke atas, buru-buru serunya dengan manja:
"Ayah, Cu ji tak bisa
berbakti lagi kepadamu di kemudian hari. . ."
Tergerak hati Lan See giok,
dengan cepat ia berpaling ke arah Oh Tin san lalu sambil tertawa manggut tiada
hentinya.
Sekali lagi Oh Tin san
mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak, pikirnya:
"Asal aku si manusia
cacad telinga mem-peroleh kotak kecil itu, sudah pasti dunia berada di bawah
telapak kakiku!"
Pada saat itulah....
Mendadak dari belakang
beberapa orang itu berkumandang suara teguran seorang perempuan setengah umur
dengan nada terkejut:
"Tin san, persoalan apa
sih yang membuat kau tertawa terbahak bahak . . . ?"
Lan See giok turut berpaling,
ia saksikan di depan pintu telah berdiri seorang nyonya tua bersanggul tinggi,
berkeriput mukanya dan berbedak serta gincu amat tebal.
Biarpun usianya sudah tua,
namun nyonya itu masih tetap "hot" dengan anting-anting model dakocan
yang amat besar menghiasi telinganya, ia memakai gaun hijau pupus
dikombinasikan baju berwarna merah darah, sepatunya berwarna merah juga, ini
menun-jukkan kalau perempuan ini biar sudah tua namun seorang yang suka
pesolek.
Melihat tampang perempuan tua
itu, Lan See giok segera menduga kalau dia adalah bininya si manusia cacad
telinga.
Benar juga, Oh Li cu segera
lari menyong-song kedatangan perempuan itu sambil ber-seru manja:
"Ibu, ayah menganiaya Cu
ji!"
Sambil berseru dia menjatuhkan
diri ke dalam pelukan nyonya tua tersebut.
Walaupun nyonya tua itu masih
dihiasi dengan senyuman, agaknya diapun dibuat tidak habis mengerti oleh sikap
Oh Tin san yang sebentar gusar sebentar tertawa senang itu.
Manusia cacad telinga Oh Tin
san men-do-rong tubuh Lan See giok ke depan nyonya tua itu, kemudian tanyanya
dengan bangga:
"Ci hoa, coba lihat
siapakah dia?"
Sambil berkata ia tertawa
licik dan memu-tar biji matanya berulang kali, jelas ia sedang memberi tanda
kepada nyonya tua tersebut:
"Say nyoo-hui" atau
Tandingan - nyoo-hui Ki Ci hoa adalah seorang perempuan yang sudah
berpengalaman luas di dalam dunia persilatan, ia pandai sekali melihat gelagat
dan menilai perasaan hati orang, begitu me-nyaksikan sorot mata Oh Tin san,
dengan kening berkerut dia pun mengamati Lan See giok dari atas hingga ke
bawah.
Namun dia tak berani berbicara
lebih lan-jut karena tidak memahami maksud tujuan suaminya, maka dengan nada tidak
pasti katanya:
"Ehmmm---rasanya sih
seperti pernah di kenal..."
Sejak memandang wajah nyonya
tua pe-solek ini, dalam hati kecil Lan See giok sudah tumbuh perasaan muak dan
bencinya, seka-lipun demikian dia toh memandang juga ke arah perempuan tersebut
sambil berlagak seakan akan tidak mengerti.
Oh Tin san segera tertawa
terkekeh-kekeh buru-buru serunya:
"Bocah ini adalah
satu-satunya kongcu keturunan adik Khong-tay, coba lihat, sepu-luh tahun tak
bersua, bocah ini sudah tum-buh menjadi begitu gagah dan tampan, makin dewasa
pasti makin perkasa keadaannya---"
Nyobnya tua itu berjkerut
kening kegmudian berlagakb seakan akan baru memahami, ia berseru tertahan dan
segera serunya sambil tertawa:
"Yaa, betul, memang agak
mirip adik Khong-tay---"
Ucapan tersebut kembali
membuat Oh Tin san menjadi gugup, sebab raut wajah Lan See giok lebih mirip
ibunya dari pada ayah-nya, maka cepat-cepat katanya lagi:
"Jelek amat ketajaman
matamu, bocah ini lebih mirip dengan istri adik Khong-tay!"
Sekali lagi nyonya tua itu
memandang wa-jah Lan See giok sambil manggut-manggut memuji, kemudian setelah
mendorong Oh Li cu, dia menghampiri pemuda itu sambil tegurnya ramah:
"Nak, siapa namamu?"
"Dia bernama, Lan See
giok!" Oh Tin san menerangkan, sedang kepada sang bocah, katanya pula:
"Dia adalah bibimu Ki Ci
hoa, orang me-nyebutnya sebagai Tandingan Nyoo-hui, dulu dia termasuk seorang
perempuan cantik yang termasyhur namanya "
Lalu sambil tertawa terbahak
bahak, ia menepuk bahu Lan See giok sembari berseru lagi:
""Ayo cepat
memanggil bibi!""
Sambil menahan kobaran hawa
amarahnya Lan See giok memanggil dengan hormat:
"Bibi . . . .
!""
Ki Ci hoa nampak semakin
gembira lagi setelah mendengar panggilan itu, ia tertawa terkekeh tiada
hentinya dengan mata sete-ngah terpejam.
Oh Tin-san sendiripun tertawa
terbahak bahak, kepada kawanan dayang di sisi rua-ngan serunya kemudian:
"Cepat siapkan arak,
mungkin sau poocu sudah lapar sedari tadi, malam ini aku akan minum arak sampai
mabuk!"
Orang menjadi sibuk untuk
menyiapkan segala hidangan dan meja perjamuan.
Kemudian dengan senyum
dikulum, Ki Ci hoa menggandeng putrinya di tangan kiri, menarik Lan See-giok di
tangan kanan ber-sama sama menuju ke luar ruangan.
Oh Tin san sengaja berjalan
dib paling be-lakajng, menggunakang kesempatan terbsebut dia menarik seorang
dayang dan membisik-kan sesuatu ke sisi telinganya. lalu dengan cepat dia
menyusul kembali istrinya bertiga.
Setelah mendengar bisikan Oh
Tin-san, dayang itu nampak agak gugup dan buru-buru lari pergi dari situ.
Setelah masing-masing
mengambil tempat duduk, Ki Ci hoa masih saja menggenggam tangan Lan See giok
dengan hangat, kemu-dian menanyakan usianya, ilmu silat, ilmu sastra dan
lain-lain dengan penuh perhatian.
Oh Li cu berdiri di belakang
ibunya dengan senyuman dikulum, matanya yang jeli meng-amati terus wajah Lan
See giok yang tampan tanpa berkedip, rupanya ia benar-benar su-dah terpukau
dibuatnya.
Oh Tin san duduk di bangku
lain sambil mengawasi istrinya berusaha mengorek kete-rangan dari mulut pemuda
itu dengan tak-tiknya, sedang otaknya berputar terus ber-usaha mencari akal
bagaimana caranya menghadapi Lan See giok sehingga kotak kecil yang diincar
bisa diperoleh kembali dan bagaimana pula caranya untuk menghindari
perjumpaannya dengan Huan kang ciong liong serta kakek berjubah kuning.
Tak selang berapa saat
kemudian hidangan sudah disiapkan, maka perjamuanpun segera dilangsungkan.
Sepanjang perjamuan
dilangsungkan, Oh Tin san selalu merasa kuatir tentang keadaan Lan See giok
setelah diajak menuju ke dusun nelayan tadi, dia ingin tahu apa saja yang telah
dikatakan kakek tersebut kepada bocah itu, karena hal ini penting baginya di
dalam usahanya untuk menguasai Lan See giok di kemudian hari..
Maka setelah menghabiskan tiga
cawan arak, dengan suara yang lembut dan ramah tapi penuh nada perhatian Oh Tin
san ber-tanya:
"Giok ji, mengapa sih
kakek berjubah kuning itu menangkapmu den membawanya ke dalam dusun?"
Lan See giok memang sudah
menduga Oh Tin san akan mengajukan pertanyaan terse-but, maka tak heran kalaur
dia sudah mem-zpersiapkan jawawbannya sedari tradi.
Dengan kening berkerut ujarnya
kemudian:
"Kakek berjubah kuning
itu benar-benar tak tahu aturan, begitu berjumpa denganku, dia lantas, menegur
mengapa kemarin aku menghajar muridnya Thi Gou..."
Oh Tin san memang pernah
melihat dari balik hutan muncul seorang bocah perem-puan berbaju merah serta
seorang bocah le-laki berkulit hitam berbaju hitam, dia tahu Thi Gou yang
dimaksudkan Lan See giok tentulah si bocah lelaki tersebut.
Terdengar Lan See giok berkata
lebih jauh:
"...aku tahu empek sedang
menungguku di luar dusun oleh sebab itu tanpa sungkan-sungkan kusahut
kepadanya: "Tidak tahu," siapa sangka dia lantas membentak dan
menotok jalan darahku."
Walaupun si Manusia cacad
telinga Oh Tin san dapat merasa kalau di balik masalah tersebut mustahil
duduknya persoalan begitu sederhana, namun berhubung apa yang diu-capkan Lan
See giok pada dasarnya memang sama seperti apa yang dilihatnya, terpaksa dia
manggut-manggut sambil bertanya lebih jauh:
"Bagaimana
selanjutnya?"
Secara ringkas Lan See giok
mengisahkan kembali keadaannya setelah masuk ke dalam dusun nelayan tersebut
dan akhirnya dia menyinggung juga tentang tidak ditemukan nya si manusia cacad
telinga di tanggul tela-ga.
Dalam hal ini, dengan nada tak
senang hati dia menegur.
"Bukankah empek sendiri
bilang sebelum bertemu tak akan bubar, namun ketika aku sampai di tepi telaga,
tidak kujumpai dirimu berada di sekitar sana"
Agak memerah paras muka Oh Tin
san lantaran jengah, dia tertawa kering dan nam-paknya merasa puas dengan
penuturan dari Lan See giok tersebut.
Berdasarkan kisah yang amat
singkat itu diapun dapat menyimpulkan bahwa kakek berjubah kuning itu tak nanti
telah menyam-paikan sesuatu kepada Lan See giok.
Di samping itu, dari kegelapan
ia pun da-pat melihat betapa gugup dan gelisahnya Lan See giok ketika mencari
jejaknya, hal tersebut membuat manusia licik ini menaruh percaya seratus
persen.
Maka setelah tertawa kering
katanya:
"Dari kejauhan sebetulnya
empek melihat kedatanganmu, cuma berhubung aku kuatir kakek berjubah kuning itu
datang menyusul, maka . . ."
(Bersambung ke Bagian 08)