"Bagaimana
akhirnya?"
Siau cian tertawa jengah dan
melanjutkan:
"Pada saat itulah dari
belakang jendela melayang masuk sesosok bayangan manusia, orang itu adalah
seorang pendekar setengah umur yang berwajah gagah dan lurus, ia segera
menolong ibu, bahkan mencarikan pakaian serta senjata ibu."
"Atas peristiwa ini,
semua pendeta cabul yang berada di dalam kuil itu dibantai ibu sampai punah,
hanya seorang yang berhasil kabur yakni Pek In hong si manusia jadah itu, untuk
mencari jejak si manusia jadah ini ibu sudah mengarungi samudra menelusuri
ujung jagad untuk menemukannya, sungguh tak nyana akhirnya berhasil ditemukan
dalam kapal perangnya Lim lo pah."
Ketika berbicara sampai di
situ, nona tersebut menatap sang pemuda lekat-lekat, kemudian tanyanya lagi:
"Tahukah kau, siapakah
pendekar sete-ngah umur yang berwajah gagah ini?"
"Aku tahu, dia adalah
empek Ciu!" buru-buru pemuda itu menyahut dengan cepat.
Siau cian menghela napas
sedih:
"Sungguh tak disangka
ketika aku berusia tiga tahun, ayah jatuh sakit dan kemudian meninggal
dunia..." Menyaksikan kepedihan yang menyelimuti wajah Siau cian waktu
itu, meski Lan See giok ingin bertanya lebih jauh, namun untuk menghindari nona
itu dicekam kepedihan ia tak berani bertanya lebih jauh.
Kedua orang itu termenung dan
saling membungkam, lama kemudian Siau cian baru menengok keluar jendela dan
bangkit berdiri seraya berkata:
"Aaah... aku harus
menanak nasi dulu."
Maka bersama sang pemuda,
mereka ma-suk ke dapur untuk mempersiapkan hida-ngan, kesibukan membuat
perasaan mereka berdua menjadi cerah kembali.
Ketika bersantap kemudian,
suasanapun telah pulih kembali seperti sedia kala, ada suara tertawa ada pula
suara gurauan.
Ketika selesai bersantap
malam, malampun sudah tiba, suasana mulai diliputi kegelapan, Lan See giok
segera mengunci pintu rumah, sedang Siau cian menyulut lilin.
Dalam suasana begini, tanpa
terasa kedua orang itu saling berpandangan sekejap, se-dang dalam hati kecil
mereka tumbuh suatu perasaan gembira yang sukar dilukiskan dengan kata-kata.
Perasaan demikian ini belum
pernah mereka berdua alami sebelumnya.....
Siau cian merasakan hatinya
berdebar dan pipinya memerah....
Begitu pula dengan Lan See
giok, dia merasakan pipinya memerah dan detak jan-tungnya semakin bertambah
cepat ....
Siau cian tak berani
memperhatikan pan-dangan mata adik Gioknya yang memukau hati itu lagi, ia
tertunduk malu dan sambil membawa lilin berjalan masuk ke dalam kamar tidur
sendiri.
Diam-diam gadis itu agak
terkejut juga melihat sang pemuda mengikuti dibelakangnya, ia benar-benar
merasa agak gugup dan baru kini ia betul-betul dapat merasakan bahwa suasana
begini mirip sekali dengan kamar pengantin sepasang pengantin baru.
Ketika Lan See giok
menyaksikan keadaan enci Cian-nya yang bermuka merah, tersipu-sipu dan tak tahu
apa yang mesti dilakukan itu, mendadak timbul jiwa kelelakian di dalam hatinya.
Wajahnya yang tampan seketika
terasa memerah dan panas, dengan senyum diku-lum dia awasi gadis itu agak
termangu, agak tertegun.
Siau cian yang sudah gugup
semakin ber-tambah tegang, tersipu-sipu ia memandang wajah sang pemuda yang
memerah, kemu-dian pelan-pelan mundur ke belakang...
Namun di dalam keadaan begini,
dia se-olah-olah menjadi seorang yang kehilangan ilmu silat, sepasang kakinya
terasa lemas tak berkekuatan, lututnya amat lemah seakan-akan tertotok jalan
darahnya .....
Selangkah demi selangkah Lan
See giok mendekati Siau cian, senyuman hangat ma-sih menghiasi bibirnya, sambil
mengawasi bibir si nona yang merah merekah, ia sambut lilin merah itu dari
tangannya.
Perasaan tegang yang mencekam
Siau cian mencapai pada puncaknya, tiba-tiba ia ber-tanya dengan gugup dan
gelisah:
"Adik Giok .... mau...
mau apa kau?"
Lan See giok meletakkan lilin
merah itu ke meja, lalu berpaling sambil melemparkan senyuman misterius,
digenggamnya tangan si nona kemudian menariknya ke arah pem-baringan...
Siau cian semakin gelagapan,
peluh telah bercucuran membasahi tubuhnya, kembali dia berseru:
"Adik Giok... tidak
boleh... tidak boleh ber-buat begitu... sebentar ibu akan kembali...."
Lan See giok tahu kalau
encinya salah pa-ham, tapi tiba-tiba saja timbul akalnya untuk menakut-nakuti
gadis tersebut, maka ia segera berlagak tertawa nyaring:
"Haaaahhh... haaaahh....
haaaahh... bibi telah berpesan kepada siaute ...."
"Ibu berpesan apa
kepadamu?" tukas Siau cian dengan tubuh gemetar dan semakin ge-lagapan.
Sekali lagi Lan See giok
tertawa misterius kemudian bisiknya lirih:
"Bibi suruh siaute tak
usah takut untuk... untuk menciummu ...."
Selembar pipi Siau cian semakin
memerah, tentu saja ia tak percaya dengan ucapan pe-muda itu.
Baru saja dia hendak mendorong
pemuda itu, tahu-tahu pinggangnya yang ramping telah dipeluk erat-erat oleh
sang pemuda.
Dengan demikian, seluruh
tubuhnya ter-jatuh ke dalam pelukan Lan See giok kini.
Tak terlukiskan rasa kaget
Siau cian, segera jeritnya:
"Jangan... jangan... adik
Giok..."
Ketika Lan See giok memeluk si
nona ke dalam rangkulannya tadi, perasaan cinta yang terpendam dalam hatinya
selama ini kontan saja meledak, tindakan yang semula dilakukan hanya bermaksud
gurauan, sekarang berubah menjadi tindakan yang benar-benar.
Bersamaan waktunya Siau cian
berteriak tadi, Lan See giok telah menggeserkan bibirnya dan mencium bibir si
nona yang kecil mungil dan merah menantang itu.
Siau cian merintih, semula dia
agak men-dongkol, tapi di saat bibir sang pemuda telah menempel di atas
bibirnya, ia segera merasa-kan kenyamanan dan kehangatan yang tak terlukiskan
dengan kata-kata menjalar ke seluruh tubuhnya.
Dia menjadi mabuk, ia pun menjadi
tenang kembali, dengan lembut dan penuh kepasra-han ia sambut ciuman sang
pemuda yang sebenarnya sangat dicintainya ini.
Sebetulnya Lan See giok sudah
pernah mencium Si Cay soat, tapi ketika ia mencium Ciu Siau cian saat ini,
perasaannya yang diterima ternyata jauh berbeda.
Ia dapat merasakan tubuh Siau
cian ge-metar keras, jantungnya berdebar-debar dan wajahnya merah padam seperti
buah apel...
Mendadak...
Air mata yang terasa asin
menyusup ke dalam bibir Lan See giok, pemuda itu menjadi terperanjat dan segera
mendongakkan kepalanya, ia saksikan gadis itu masih me-mejamkan matanya,
sementara air mata ber-linang membasahi pipinya.
Siau cian menubruk ke dalam
pelukan pe-muda itu kemudian menangis tersedu.
"Enci Cian, maafkanlah
aku...." buru-buru Lan See giok minta maaf.
Tidak sampai si anak muda itu
menyele-saikan kata-katanya, Siau Cian telah mem-benamkan kepalanya ke dalam
pelukan anak muda itu, kemudian sambil menggeleng sa-hutnya jengah:
"Tidak... aku kelewat
gembira.....""
Kejut dan gembira menyelimuti
perasaan Lan See giok, ia memeluk tubuh si nona makin erat, bahkan serunya
penuh kegembi-raan:
"Enci Cian, aku
benar-benar kelewat gem-bira!"
Kembali mereka berdua saling
berpelukan erat sambil membaringkan diri di atas ran-jang, mereka saling
mendengarkan detak jantung masing-masing, semua rasa cinta dan kangen
terlampiaskan di dalam pelukan itu.
Setelah melewati suasana
hening beberapa saat lamanya, mendadak Siau cian menghela napas panjang
kemudian berbisik dengan sedih:
"Sekarang, kita begini
gembira, mungkin inilah perlambang dari suatu ketidak baikan untuk kita
berdua!"
Lan See giok segera berkerut
kening dan melepaskan pelukan gadis tersebut, kemu-dian tanyanya dengan tidak
mengerti:
"Mengapa enci Cian?"
Dengan termangu-mangu Siau
cian me-ngawasi lidah api yang membara di sudut lilin, kemudian menggeleng
tanpa mengucap-kan sepatah katapun jua.
Tergerak perasaan Lan See
giok, kembali ia mendesak:
"Apakah kau teringat akan
kepergian kita ke Wan san?"
Siau cian mengangguk sementara
air mata nya kembali jatuh bercucuran dengan deras.
Sekalipun Lan See giok telah
membayang kan juga pelbagai kesulitan yang bakal dite-muinya dalam perjalanan
menuju pulau Wan san, tapi demi dendam kesumat kematian ayahnya, demi
menyelamatkan gurunya dari kesulitan seperti apa yang diucapkan si naga sakti
pembalik sungai, biar naik ke bukit golok atau terjun ke kuali minyak mendidih,
ia tak akan gentar.
Maka sambil membelai rambut si
nona, ia berkata lembut:
"Apakah kau menguatirkan
tentang kehe-batan Lam hay lokoay dan Si to cinjin sekalian?"
Sekali lagi Siau cian
mengangguk, dengan mulut membungkam, Lan See giok tertawa paksa, segera
hiburnya:
"Dalam hal ini, siaute
telah memikirkannya secara baik-baik, apabila kemampuanku tak sanggup
menandingi Hay gwa sam koay (tiga manusia aneh dari luar lautan), tak mungkin
suhu menyuruh aku ke situ setahun setelah kejadian..."
"Tapi ke tiga manusia
aneh itu berkumpul semua di Wan san!" keluh Siau cian sebelum anak muda
itu menyelesaikan kata-katanya.
Lan See giok segera menggeleng
sambil tersenyum:
"Berbicara soal
kepandaian silbat serta ting-kjat kedudukan tigga manusia anehb dari luar
lautan, mustahil mereka bertiga akan berga-bung untuk menghadapi seorang
angkatan muda seperti aku!"
"Sekalipun demikian, kau
toh tak boleh be-gitu yakin" omel Siau cian tidak senang hati,
"andaikata mereka tak melanggar aturan dan selalu menepati peraturan yang
telah diten-tukan, mengapa para jago persilatan menye-but mereka sebagai
"tiga manusia aneh" dan bukannya menyebut Sam hiap atau tiga
pendekar?"
Lan See giok segera tertegun
oleh ucapan ini, ia tak mampu menjawab lagi.
Kembali Siau cian berkata:
"Gembong-gembong iblis
tua itu hampir semuanya berhati kejam, membunuh orang tanpa berkedip, tidak
tahu soal peraturan dan tidak mengenal perasaan, begitu ia tak mampu
menandingimu, tentu saja mereka tak akan memperdulikan soal tingkat kedudukan
atau nama besar lagi." .
Dengan kening berkerut Lan See
giok membungkam diri, ia tahu dengan kemam-puan yang dimilikinya sekarang, tak
mung-kin dia seorang diri mampu menandingi ke tiga manusia aneh tersebut
sekaligus, bila-mana perlu dia harus berusaha menghadapi-nya dengan akal..
Tiba-tiba.... berkilat
sepasang matanya sambil mengamati gadis itu, cepat-cepat se-runya:
"Aaaah, enci Cian, aku
punya akal!"
Ia segera bangkit berdiri dan
cepat merogoh ke dalam sakunya untuk mengeluarkan botol porselen kecil itu.
"Oooh, rupanya kau ingin
melipatkan tenaga dalammu dengan andalkan Leng sik giok ji ini?""
seru Siau clan menjadi paham.
Anak muda itu mengangguk tanpa
ragu.
"Satu satunya kelemahan
yang masih ter-dapat pada diriku adalah ketidak mampuan-ku untuk menandingi
kesempurnaan tenaga dalam ketiga manusia aneh itu, sekarang aku harus menambah
kesempurnaan tenaga dalamku dengan bantuan Leng sik giok ji ini!"
Sewaktu tutup botol itu
dibukab, bau harum semjerbak segera megmancar ke selurbuh rua-ngan.
"Adik Giok, kau tak boleh
melupakan uca-pan ibu." seru Siau cian memperingatkan. "katanya orang
muda tak boleh kelewat ba-nyak minum Leng sik giok ji!"
"Aaaah, itu kan alasan
dari bibi untuk menghalangi kita menghambur-hamburkan Leng sik giok ji dengan
percuma." kata sang pemuda sambil tertawa hambar.
Selesai berkata, dia segera
menuang selu-ruh isi cairan itu ke dalam mulutnya.
Dengan perasaan tegang Siau
cian menga-wasi perbuatan pemuda itu, ia tak tahu aki-bat apakah yang akan di
alami Lan See giok setelah meneguk begitu banyak Leng sik giok ji.
Cairan yang harum itu dengan
cepat me-ngalir masuk ke dalam perut Lan See giok, hawa dingin bagaikan es
segera mencekam perutnya, sambil menyerahkan botol kecil, tadi ke tangan Siau
cian, ia berkata seraya tertawa:
"Enci Cian, paling tidak
di dalam botol itu masih tersisa satu dua tetes, gunakanlah jari kelingkingmu
untuk mengeluarkan cairan tersebut dan cepatlah kau makan."
Siau cian tahu bahwa Leng sik
giok ji me-rupakan benda mestika yang amat langka di dunia ini, biar cuma
setetes namun kalau di buang terlalu sayang, karenanya dia menuju ke meja dan
menuangkan air teh ke dalam botol tadi, kemudian setelah dikocok lantas diteguk
sampai habis.
Begitu Leng sik giok ji
mengalir ke dalam perut, Siau cian baru terperanjat, ia merasa cairan mestika
tersebut ternyata masih tebal, ini membuat tubuhnya gemetar keras.
Hawa dingin yang luar biasa
menyebar ke seluruh tubuhnya dan merasuk sampai ke jari-jari kakinya, dari
keadaan tersebut bisa diduga kalau paling tidak ada sepuluh tetes yang telah
berpindah ke dalam perutnya.
Kenyataan tersebut membuat si
nona men-jadi gelagapan, buru-buru ia bertanya:
"Adik Giok, benarkah kau
telah meneguk habis isi cairan tersebut...?"
Dari sikap si nona yang gugup,
Lan See giok tahu kalau ada yang tidak beres, maka sahutnya dengan serius:
"Benar, aku telah
meneguknya sampai habis, paling banter isi botol itu tinggal setetes!"
"Tidak, tidak
mrungkin," Siau-czian semakin tegwang, "berdasarkran kekentalan dalam
air, paling tidak masih tersisa sepuluh tetes."
Lan See giok menjadi
kebingungan, sampai lama kemudian ia baru memahami akan se-suatu, katanya kemudian....
"Yaa, siaute teringat
sekarang, mungkin cairan giok ji itu sudah tersimpan kelewat lama sehingga
dasarnya mulai mengerak itulah sebabnya ketika diguyur air teh panas, cairan
itu pun mencair sehingga tak heran, kalau air itu mengental..."
Pucat pias selembar wajah Siau
cian, apa lagi bila teringat akan peringatan dari ibunya.
"Adik Giok, apa yang
mesti cici lakukan sekarang?" tanyanya gelagapan.
Lan See giok tertawa riang.
"Coba kau lihat wajahmu
begitu tegang, padahal Leng sik giok ji adalah benda mes-tika yang amat langka,
semakin banyak yang diteguk akan semakin baik pula, jangan kau ingat terus
peringatan dari bibi, ayo cepat naik ke pembaringan dan bersemedi, asal
be-berapa kali kau atur pernapasanmu niscaya tenaga dalam Wan san popo pun tak
akan mampu menandingimu!"
Siau cian setengah percaya
setengah tidak, tapi diapun gelisah bercampur mendongkol, kini dia tidak
menguatirkan lagi bagaimana reaksi dari adik Gioknya, tapi justru mengu-atirkan
keadaan sendiri...
Cepat-cepat dia melepaskan
sepatunya dan naik ke pembaringan untuk bersemedi.
Lan See giok pun segera
memejamkan mata dan mengatur napas untuk menghisap sari Giok ji yang berada di
dalam tubuhnya.
Pikiran dan perasaan Siau cian
waktu itu benar-benar sangat kalut, sampai lama sekali hatinya belum juga dapat
tenang, dia merasa hawa dingin yang semula mencekam pusarnya kini berubah
menjadi panas, aliran hawa panas yang membara itu menyebar ke seluruh badan dan
membuat perasaan sema-kin bertambah gelisah.
Dihati kecilnya dia selalu
dihantui oleh peringatan ibunya, tak heran kalau gadis tersebut tak mampu
menghisap sari giok ji itu ke dalam pusarnya.
Diam-diam ia membuka matanya
dan melirik sekejap Lan See giok yang duduk bersemedi di sisinya:
Tapi begitu melihat ia menjadi
amat terke-jut sehingga hampir saja bersuara.
Nampak olehnya, pemuda itu
duduk ber-sila sambil memejamkan mata, namun diatas bahunya lamat-lamat muncul
sekilas cahaya lingkaran berwarna kuning emas yang me-nyelimuti tubuhnya, dia
tahu bisa jadi itulah yang disebut Hud kong sin kang (ilmu Sakti cahaya Buddha)
Ia pernah mendengar ibu dan si
naga sakti pembalik sungai membicarakan soal Hud kong sinkang tersebut, konon
dengan watak yang baik dan kecerdasan yang luar biasa, orang akan berhasil
melatih ilmu tadi di dalam sepuluh tahun, namun jika ingin ber-latih hingga
mencapai taraf pemunculan si-nar tadi dari tubuhnya, maka orang itu mesti
berlatih tekun selama sepuluh tahun lagi.
Namun kenyataannya sekarang,
Lan See giok hanya berlatih Hud kong sinkang selama satu tahun lebih, tapi
kemampuan yang di capai telah luar biasa sekali, dari sini dapat diketahui
bahwa kecepatannya menguasai ilmu tersehut benar-benar luar biasa.
Tapi setelah berpikir lebih
jauh, diapun menjadi paham, keberhasilan Lan See giok mencapai tingkatan
tersebut tentulah di se-babkan ia telah berulang kali minum Leng sik giok ji.
Teringat soal Leng
sik-giok-ji, Siau cian segera tersadar kembali bahwa dia harus segera mengatur
pernapasan dan membawa sari mestika itu ke seluruh bagian tubuhnya.
Sayang keadaan sudah
terlambat, baru saja dia hendak mengatur napas, hawa panas yang membara sudah
terlanjur menyebar rata di seluruh tubuhnya, napasnya menjadi memburu dan
pusarnya bagaikan dibakar, malah semua persendian tulangnya bagaikan
ditusuk-tusuk dengan jarum tajam.
Tak terlukiskan rasa terkejut
Siau cian menghadapi kenyataan ini, peluh mulai ber-cucuran amat deras, dia
tahu apa yang di peringatkan ibunya benar-benar telah me-nimpa dia, tak heran
kalau gadis itu semakin bertambah gugup.
Dia ingin memanggil adik Giok,
tapi se-waktu membuka matanya, ditemukan ling-karan cahaya yang muncul dibahu
pemuda itu bkian lama kian jbertambah besarg, kekua-tan cahbayanya pun semakin
bertambah kuat, malah lingkaran cahaya tadi semakin berge-ser ke bawah.
Pemandangan yang terpampang di
depan matanya ini membuat si nona merasa terkejut bercampur gembira, tapi
penderitaan yang dirasakan olehnya juga makin menghebat.
Dalam keadaan begini dia
semakin tak be-rani memanggil pemuda itu, ia tahu tenaga dalam adik Gioknya
sedang memperoleh ke-majuan yang luar biasa.
Selang berapa saat kemudian---
Lingkaran cahaya dituduh Lan
See-giok telah bergeser sampai di iga, selisihnya de-ngan jarak permukaan
pembaringan tinggal lima inci..
Tapi aliran hawa panas yang
mengelilingi tubuh Siau cian justru telah berubah men-jadi api yang membara.
Akhirnya dia benar-benar tak
sanggup me-nahan diri lagi, dengan napas tersengkal-sengkal ia roboh terguling
diatas pembaringan.
Kebetulan juga Lan See-giok
telah menyelesaikan latihannya waktu itu, ketika melihat keadaan tersebut,
pemuda itu segera menjerit kaget.
"Aaaah... Enci Cian!
Kau...."
Sambil berseru cepat-cepat dia
memeluk tubuh Siau-cian ke dalam rangkulannya.
Waktu itu Siau-cian memejamkan
matanya dengan bibir terbuka, wajahnya merah padam seperti bara api.
Lan See-giok benar-benar amat
terkejut, jangan-jangan encinya mengalami keadaan yang disebut jalan api menuju
neraka?
Berpikir sampai disini,
telapak tangannya di tempelkan di atas dadanya dengan segera lalu menyalurkan hawa
murninya, ternyata jalan darah Sim-ki-hiat tidak terhambat, lantas...
Setelah dipikirkan sejenak,
dengan cepat pemuda itu menjadi sadar, sudah pasti encinya tak mampu menggiring
sari Leng-sik-giok-ji ke dalam pusar tepat pada saatnya.
Dengan penuh perhatian iapun
bertanya:
"Enci Cian, bagaimana
rasanya bsekarang?"
Sijau Cian yang begrada dalam
keadbaan setengah sadar itu hanya merasakan tubuhnya bagaikan terbakar api,
mukanya merah padam dan perasaannya goyah, bahkan suatu ingatan aneh muncul
dari hati kecilnya...
Ketika mendengar suara
panggilan pemuda itu, ia membuka matanya dengan lemah dan memancarkan sinar
aneh dari balik matanya itu...
Lan See-giok segera terangsang
oleh keadaan tersebut, timbul setitik kehangatan dan kemesraan dari hatinya, meski
sorot mata gadis itu sangat aneh, namun baginya penuh mengandung pancingan dan
daya rangsangan yang luar biasa.
Tak kuasa lagi dia menundukkan
kepalanya dan berbisik di sisi telinga gadis itu.
"Enci Cian. . . . ."
Bersamaan waktunya, tanpa disadari
tangan kanannya mulai meraba sepasang payudara si nona yang montok dan padat
berisi itu kemudian meremas-remasnya dengan penuh bernapsu.
Gemetar keras sekujur badan
Siau Cian, ia segera memperdengarkan rintihan penuh kenikmatan, malah sepasang
matanya kembali dibuka sambil memancarkan sinar aneh.
Dari balik tubuhnya yang
montok itu lamat-lamat timbul suatu keinginan yang mendorongnya membayangkan
hal-hal yang erotik, dia seperti berharap kepada pemuda itu untuk mengambil
tindakan kekerasan lebih jauh atas tubuhnya.
Dalam keadaan begini, Siau
Cian hanya bisa mengerdipkan matanya, membuka bibirnya yang mungil dan tiada
hentinya memanggil adik Giok. . .
Dengan termangu-mangu Lan
See-giok mengawasi wajah si nona yang merangsang hawa napsunya itu, makin
dipandang berahinya semakin membara, tiba-tiba muncul segulung api napsu yang
luar biasa dari pusarnya, tak dapat ditahan lagi dia mencium bibir gadis itu
dengan penuh bernapsu.
Siau Cian tidak pasif saja,
diapun balas merangkul anak muda itu serta memeluknya erat-erat.
Ciuman, tak dapat memuaskan
harapan yang tumbuh di dasar hati kecilnya...
Lan See-giok seperti mendapat
ijin, seperti memperoleh dorongan, rintihan dan rangsangan dari si nona yang
bergitu menggiurkazn hati membuat wpemuda kita takr sanggup menahan diri lagi.
. .
Jiwa asli kelakiannya segera
muncul dan menguasai seluruh pikiran serta perasaannya, dia mulai bertindak tak
sopan lagi, terutama sekali tangannya.
Kini bukan hanya payudara si
nona saja yang digerayangi dan diremas-remas, bahkan tangan itu bergeser
semakin ke bawah dan akhirnya meraba-raba dan membelai hutan bakau yang lebat
dengan gundukan tanah yang mempesona hati itu.
Cahaya lilin yang semula
menerangi ruangan mendadak menjadi padam.
Lalu di tengah kegelapan
kedengaran suara pakaian dilepas dan suara gemerisik yang lirih...
Lan See-giok, sejak lahir
hingga kini baru pertama kalinya melangkah ke dalam kehidupan manusia dewasa,
untuk pertama kalinya dia merasakan kenikmatan hidup.
Rangsangan, rayuan dan tahnik
bermain sama sekali belum ia kuasai.
Dia hanya tahu meraba,
menggerayang, meremas dan ...
Sebaliknya Ciu Siau-cian yang
cantik, lembut dan halus hanya memejamkan mata sambil menggigit bibir, bahkan
berulang kali memperdengarkan suara rintihan yang lirih dan mendebarkan hati.
Bagaikan gunung berapi yang
meletus, seperti hujan badai di musim panas, atau bendungan yang dijebol air
bah... segalanya tak terbendung lagi.
Perahu besar akhirnya memasuki
mulut pelabuhan dengan lembut dan perlahan, melayani samudra yang tenang dan
dalam....
Siau Cian meronta penuh
kelemahan, kemudian memperdengarkan rintihan kesakitan yang membaur dengan
kenikmatan...
Lan See-giok yang gagah
perkasa akhirnya keok dan lunglai kembali, menyusul diapun sadar apa yang telah
diperbuat.
Enci Cian yang cantik dan
lemah, akhirnya dilalap secara kasar dan brutal...
Entah berapa lama sudah
lewat...
Dengan penuh berhati-hati Lan
See-giok memeluk gadis itu, membetulkan rambutnya yang kusut dan membesut
keringat yang membasahi kening serta jidatnya.
Lalu dengan wajah menyesal ia
mencium pipi, bibir dan wajah si nona...
Siau cian, berbaring tenang di
dalam pelukan See-giok, matanya masih terpejam, bibirnya masih terbuka dan
pipinya masih merah membara bagaikan api.
Napasnya masih tersengkal-sengkal
seperti kuda yang baru berlarian kencang, bau harum mengembus keluar dan
menerpa wajah kekasihnya...
Membayangkan kembali
pengalaman manis yang baru dialaminya, See-giok merasa tak terkirakan
gembiranya, puas dan bahagia.
Namun bila teringat rintihan
kesakitan dan goyangan pinggul enci Cian yang berusaha menghindar kian kemari,
tanpa terasa ia menempelkan bibirnya disisi telinga Siau cian dan berbisik
lirih:
"Enci Cian. . ."
Siau cian tidak berkata
apa-apa, hanya dua baris air mata jatuh berlinang membasahi pipinya.
Lan See giok menjadi gugup
setelah me-nyaksikan kejadian ini, buru-buru dia ber-seru:
"Enci Cian, semuanya ini
siaute-lah yang salah .."
Siau cian tahu apa yang telah
terjadi, maka sahutnya dengan air mata bercucuran:
"Tidak, kau tak bisa
disalahkan, takdirlah yang menentukan segala-galanya."
Mendadak Lan See giok teringat
kembali akan pembicaraan Siau cian dengan Hu yong siancu pada malam itu,
tergerak hatinya de-ngan segera, cepat-cepat ia berbisik:
"Enci Cian, rasa cinta siaute
kepadamu..."
"Aku tahu..." tukas
Siau cian sebelum pe-muda itu menyelesaikan kata-katanya.
Belum selesai ucapan mana, ia
sudah menjatuhkan diri ke dalam pelukan Lan See giok dan menangis semakin
keras.
Lan See-giok tidak berani
berkata apa-apa lagi, dia hanya membelai gadis itu dengan penuh kasih sayang,
perempuan inilah yang bpertama kali mejmasuki lubuk hagti serta lem-babran
hidupnya...
Tatkala ia mendengar
pembicaraan dari enci Cian dan bibi Wan nya malam itu, ham-pir saja dia putus
asa, tapi sekarang, enci Cian telah mempersembahkan kesucian tubuhnya
kepadanya.
Berpikir sampai di situ, tanpa
terasa lagi dia memeluk tubuh Siau cian semakin ken-cang.
Dia pun masih ingat ketika
tahun berse-lang datang menghantar kotak kecil itu, Enci Cian dianggap sebagai
bidadari dari kah-yangan, dewi yang suci dan anggun dalam lubuk hatinya, waktu
itu ia pernah bersum-pah, asal dapat menggenggam tangannya saja, ia sudah
merasa amat puas.
Tapi sekarang, Enci Cian telah
menjadi is-trinya, mulai malam ini mereka akan hidup berdampingan terus
sepanjang masa dan tak pernah akan berpisah lagi.
Memikirkan hal-hal yang
menggirangkan hati ini, tanpa terasa lagi ia tertawa tergelak, Siau cian yang
masih berbaring dalam pelu-kan See giok segera mengangkat kepalanya dan menegur
agak tersipu-sipu:
""Apa sih yang kau
tertawakan?"
Tergerak hati Lan See giok,
cepat dia me-meluk gadis itu dan berkata lembut:
"Aku ingin kita punya
anak dengan cepat!"
Merah jengah selembar wajah
Siau cian dengan seketika, cepat dia mengomel:
"Huuuh, tak tahu malu
......."
Namun di dalam benaknya, ia
benar-benar membayangkan seorang bocah yang gemuk dan menawan hati.
Siau cian segera membenamkan
kepalanya ke dalam pelukan See giok dan tertawa baha-gia, andaikata ia
benar-benar punya anak, kehidupan mereka tentu akan lebih bahagia.
Lan See giok memandang sekejap
kearah enci Ciannya, kemudian memperhatikan pula tubuhnya yang masih berada
dalam keadaan bugil itu, sekulum senyuman segera tersung-ging, ia tak sanggup
menahan rangsangan napsu birahinya lagi dan ingin ....
Serta merta pemuda itu memeluk
tubuh si nona serta membalikkan badannya hingga tidur terlentang ......
Siau ciabn memejamkan majtanya
rapat-rapgat, dia tahu hubjan badai akan melanda datang sekali lagi.
Namun ketika Lan See giok
menyaksikan titik-titik noda darah yang membasahi seprei hatinya jadi
terperanjat dan paras mukanya berubah hebat, cepat-cepat dia menarik selimut
serta ditutupkan ke atas badan enci Cian.
Ia dapat mendengar debaran
jantungnya belum pernah berdetak sehebat ini, dia tahu kali ini dia
sungguh-sungguh telah melaku-kan suatu perbuatan yang besar...
Ketika ia membaringkan kembali
tubuhnya dengan tegang, Ciu Siau cian telah ter-tidur karena lelah.
Lambat laun Lan See giok
berhasil mene-nangkan kembali hatinya, sebab ia menjum-pai gadis itu tertidur
amat nyenyak.
Dan akhirnya diapun tersenyum
tenteram.
Pada saat itulah, mendadak
.....
Sesosok bayangan manusia
berkelebat le-wat di luar jendela dan melayang ke luar ha-laman.
Tak terlukiskan rasa terkejut
Lan See giok, peluh dingin sampai jatuh bercucuran saking kagetnya.
Dia yakin si pendatang
tersebut pastilah seorang jago silat kelas satu yang sempurna ilmu meringankan
tubuhnya, kalau tidak mana mungkin kehadirannya tidak diketahui sama sekali?
Terutama sekali dari gerakan
tubuhnya yang begitu enteng dan lincah ketika mela-yang keluar dari halaman.
semakin mem-buktikan kalau orang itu bukan manusia sembarangan di dalam dunia
persilatan.
Dia yakin orang itu pasti
sudah melihat atau mendengarkan perbuatan yang dia la-kukan bersama enci Cian.
Berpikir akan hal tersebut, ia
menjadi se-makin gelisah, tidak tenang.
Maka secara diam-diam dia
melompat tu-run dari pembaringan, buru-buru mengena-kan pakaian, keluar dari
kamar dan memper-siapkan sepasang telapak tangannya di de-pan dada untuk
menjaga sregala kemung-kiznan yang tidak wdiinginkan. r
Tiba di halaman depan,
tubuhnya segera menyelinap dan melompat ke luar halaman. Namun suasana di
sekeliling tempat itu sa-ngat hening dan tak nampak sosok bayangan manusiapun,
yang ada Cuma suara hembu-san angin serta air telaga yang memecah di tepian.
Namun berdasarkan suara hembusan angin yang terbawa orang itu dia yakin orang
tadi tentu sedang kabur ke arah utara.
Maka dia segera mengebaskan
ujung baju kanannya dan mengejar kearah utara dengan kecepatan bagaikan
hembusan angin.
Hingga tiba di luar dusun dan
menelusuri padang rumput, ternyata tak sesosok baya-ngan manusiapun yang
nampak.
Ia mencoba melompat naik ke
atas pohon dan dari situ memperhatikan seputar sana. namun suasana tetap hening
dan tak nam-pak siapa saja.
Hal ini membuat Lan See giok
keheranan, siapakah orang itu?
Jangan-jangan orang itu adalah
adik Soat atau Oh Li cu?
Tapi pikiran lain kembali
melintas lewat tak mungkin kedua orang gadis itu memiliki ilmu meringankan
tubuh yang begini sem-purna...
Tiba-tiba satu ingatan
melintas di dalam benaknya...
Berkilat sinar matanya, dengan
wajah berubah hebat ia berseru tertahan, kemudian dengan mengerahkan ilmu
meringankan tubuhnya secepat petir pemuda itu balik kembali ke rumah ....
Ia tahu, gara-gara bertindak
gegabah alha-sil sudah termakan siasat "memancing hari-mau turun
gunung" dari lawan, padahal Siau cian sedang tertidur nyenyak waktu itu
nis-caya jiwanya teran-cam bahaya maut.
Ketika tiba di halaman depan,
ia menjerit kaget dan benar-benar termangu dibuatnya.
Ternyata pintu kamar yang
semula ter-kunci, entah sejak kapan telah dibuka orang.
Setelah berhasil menenteramkan
hatinya. pemuda itu membentak keras dan menerjang masuk ke dalam kamar...
Tapi apa yang kemudian
terlihat membuat pemuda itu berdiri kaku dengan wajah pucat pias, bagaikan
disambar guntur tengah hari bolong. dia maju dengan sempoyongan ke-mudian
jatuhkan diri berlutut ke atas tanah.
Hu yong siancu dengan wajah
yang tenang dan alis mata berkernyit telah berdiri di de-pan pembaringan, dia
sedang mengawasi Siau cian yang masih tertidur nyenyak itu tanpa berkata-kata.
Mungkin karena bentakan See
giok yang menggelegar tadi, Siau cian yang masih ter-tidur nyenyak segera
terbangun dari tidurnya.
Begitu melihat ibunya telah
berdiri di de-pan pembaringan, Siau cian menjadi malu bercampur menyesal, dalam
gugupnya ia segera memeluk ibunya sambil menangis tersedu-sedu.
Hu yong siancu hanya bisa
merangkul pu-trinya sambil membelai rambutnya yang ku-sut dengan penuh kasih
sayang, ia tak tahu haruskah menghibur ataukah mengumpat-nya.
Kemudian ia berpaling ke arah
See giok yang masih berlutut dan serunya dengan suara ramah.
"Anak Giok,
bangunlah..."
Tapi See giok masih tetap
berlutut di tanah sambil berbisik dengan suara, malu dan ge-metar.
"Anak Giok memang manusia
tak tahu diri, silahkan bibi memberi hukuman kepada ku."
"Aaai, anak Giok. inilah
kehendak Thian, bibi tak akan menyalahkan kalian berdua.." Hu yong siancu
menghela napas sedih.
Belum selesai dia berkata,
Siau cian sambil menangis terisak telah berseru.
"Ibu, anak Cian tidak
suka dengan adik Giok, aku hendak mencukur rambut dan menjadi nikou di kuil
Kwan im an!"
Berubah paras muka Lan See
giok, saking gelisahnya titik air mata sampai jatuh berli-nang.
Tapi Hu yong siancu malah
tertawa, sebab dia tahu putrinya sedang bohong. maka hi-burnya kemudian:
"Anak Cian, kau tidak
usah berbicara yang bukan-bukan, bukankah kau sendiripun te-lah mengakui bahwa
kejadian ini merupakan kehendak dari takdir?"
Siau cian tertegun, ia tak
menbgerti kenapa ibjunya bisa tahu gakan perkataannbya itu.
Sebaliknya See giok segera
menyadari bahwa apa yang telah diperbuatnya tadi telah disaksikan semua oleh
bibinya, kontan saja wajahnya berubah menjadi merah padam saking jengahnya.
Setelah menghibur putrinya,
kembali Hu yong siancu berkata kepada Lan See giok.
"Anak Giok, cepatlah
bangun, bibi masih ada urusan penting yang hendak dibicarakan denganmu, jika
kau tak mau bangun lagi. bibi akan marah lo . . .!"
See giok tak berani berlutut
lagi, terpaksa dia mengiakan dan segera bangkit berdiri, kemudian dengan kepala
masih tertunduk ia menyingkir ke samping, sekejappun ia tak berani menatap
wajah bibi ini . . . .
ooo0ooo
BAB 31
Melihat Lan See giok telah
bangkit berdiri, Hu yong siancu kembali berkata ke pada pu-trinya:
"Anak Cian, kaupun
cepatlah bangun, aku akan siapkan sedikit hidangan untuk kita semua, selesai
bersantap nanti, masih ada urusan penting yang akan kita lakukan"
Selesai berkata, ia lantas
beranjak keluar dari kamarnya.
Lan See giok benar-benar tidak
habis mengerti, tanpa terasa dia melirik sekejap kearah si nona.
Waktu itu Siau cian yang masih
bersembunyi dibalik selimut sedang memandang ke arahnya dengan wajah
tersipu-sipu, ketika ibunya sudah lenyap dibalik pintu, ia segera menggapai si
anak muda itu agar mendekatinya.
Lan See giok mengerti dan
melirik sekejap kearah dapur dengan hati-hati, kemudian cepat-cepat mendekati
nona tersebut.
Tidak sampai Lan See-giok
mendekat, Siau cian telah berbisik dengan gelisah.
"Kapan sih ibu
kembali?"
Lan See giok menggeleng dengan
bimbang.
"Siaute sendiripun tidak
tahu sejak kapan bibi pulang kemari, menanti kurasakan ada orang di luar
jendela, bibi telah melombpat keluar darij halaman, menangti kususul kelubar
dan kembali lagi, ia telah berada di dalam kamarmu lebih dulu."
Teringat hal-hal yang
menjengahkan, kem-bali paras muka Siau cian berubah menjadi merah padam, segera
omelnya.
"Semuanya ini
gara-garamu, coba kalau kau tidak memberi Leng sik giok ji begitu banyak
kepadaku ...."
"Tapi, mana aku tahu
...." See giok segera membantah.
Siau cian segera mengulapkan
tangannya berulang kali mencegah pemuda itu berkata lebih jauh.
"Sudan, sudahlah, ayo kau
cepat keluar!"
Berhubung Hu-yong siancu sama
sekali ti-dak menegur mereka atas terjadinya peristiwa itu, perasaan tegang dan
tak tenang yang semula mencekam perasaan See giok sekarang telah menjadi tenang
kembali, meli-hat Siau cian mengusirnya, dia malah duduk di tepi pembaringan
sambil tertawa cengar cengir.
Tak heran kalau Siau cian
dibuat semakin jengah sampai pipinya memerah seperti kepiting rebus ......
Pada saat itulah dari dapur
kedengaran suara Hu yong siancu sedang berteriak:
"Anak Giok. ayo bawa
keluar hidangan ini!"
Cepat-cepat Lan See giok
bangkit berdiri dan lari keluar dari dalam kamar.
Melihat wajah See giok yang
tegang, Siau cian segera tertawa cekikikan dengan gem-bira.
Gadis itu cepat-cepat
mengenakan kembali pakaiannya, membayangkan kembali kemes-raan yang baru
dialami serta wajah adik giok yang kebodoh-bodohan, tanpa terasa dia menggeleng
dengan wajah jengah.
Namun, sekulum senyuman manis
toh sempat menghiasi wajahnya yang makin cerah.
Disaat ia sedang membereskan
rambutnya yang kusut, See giok telah muncul kembali membawa hidangan.
Bertemu dengan pemuda
tersebut, timbul perasaan manis dan hangat dihati kecil Siau cian, ia
melemparkan sekrulum senyuman mzesrah kepadanyaw sambil berpikirr dihati.
Mungkin beginilah rasanya
sepasang pe-ngantin baru...
Sebaliknya See giok segera
melemparkan sebuah kerlingan mata ke arahnya.
Melihat ibunya muncul sambil
membawa air teh, terburu-buru Siau cian menunduk-kan kepalanya kembali.
Hu yong siancu adalah
perempuan yang sudah berpengalaman, sejak tadi ia telah mengetahui dengan jelas
sikap kedua orang muda mudi itu, hanya saja dia berlagak seo-lah tidak melihat.
Walau begitu hatinya merasa
sangat gem-bira dan bahagia, malah kegembiraannya ti-dak berada di bawah See
giok maupun Siau cian, sebab apa yang dikuatirkan bila putri-nya enggan
memenuhi pengharapan nya, kini tak mungkin akan terjadi lagi, tak heran kalau
hatinya merasa amat lega.
Terutama sekali sesudah
menyaksikan ke-mesraan dari muda mudi itu, membuatnya teringat kembali akan
engkoh Khong tay dan enci Hoanya dimasa lalu. Akhirnya ia berhasil juga
melimpahkan rasa cintanya kepada eng-koh Khong tay.
Biarpun ia pribadi tak pernah
memperoleh kebahagiaan. ia tak bisa hidup berdampingan sampai tua dengan Lan
Khong tay, namun setelah putrinya kawin dengan satu-satunya yang ia miliki,
sedikit banyak kejadian ini akan menutupi kekosongan dalam hati kecil nya..
Sementara dia masih termenung,
Siau cian telah menerima cawan air teh itu dari tangan nya.
Mereka bertigapun mengambil
tempat duduk dan menikmati hidangan masing-masing dengan mulut bungkam.
Sebelum Hu yong siancu
berbicara lebih dulu, baik See giok maupun Siau cian tak berani bertanya
kepadanya mengapa dia pu-lang secara tiba-tiba.
Saban kali See giok melirik ke
arah Siau cian, Siau cian pun diam-diam melirik ibunya, mereka berdua
bersama-sama ber-santap namun tak tahu bagaimana rasanya.
Padahal Hu yong siancu sudah
dapat membaca perasaan kedua orang itu, maka dengan suara dalam iapun bertanya:
"Apakah kalian berdua
merasa kepulangan ku kali ini terlalu mendadak.-?
See giok dan Siau cian saling
bertukar pandangan sekejap lalu menundukkan kepalanya melanjutkan santapan
mereka. tak seorangpun diantara mereka berani menge-mukakan pendapatnya.
Hu- yong siancu memandang
sekejap ke arah kedua orang itu, kemudian ia berkata.
"Sekarang kalian berdua
cepatlah bersan-tap. selesai makan kita harus segera berang-kat ke dusun
nelayan untuk mencari Thio lo enghiong---"
Mendengar ucapan ini. See giok
dan Siau cian bersama sama mendongakkan kepalanya sambil berseru keheranan.
"Apa yang telah
terjadi."
Hu yong siancu menunggu sampai
mereka berdua selesai bersantap, kemudian dengan tenang ia baru berkata:
"Ada orang telah berjumpa
dengan 0h Tin San---"
(Bersambung ke Bagian 40)