Kemudian sesudah berhenti
sebentar, dia melanjutkan:
"Untung saja kau mudah
dikibuli ketika itu. coba kalau tidak, mungkin kita tak akan bisa berjumpa muka
lagi"
Lan See giok mengiakan dengan
wajah je-ngah, ia pun melanjutkan kembali cerita nya.
Tatkala bibi Wan mendengar Lan
See giok mencurigai si naga sakti pembalik sungai Thio Lok-heng sebagai otak
dari ke lima manusia cacad, dengan nada tidak puas, ia segera berkata:
"Si naga sakti pembalik
sungai Thio-Lok-heng serta naga emas pengaduk samudra Li Ci-san dari telaga
tong ting oh termasyhur dalam dunia persilatan karena ilmu dalam airnya, kedua
orang itu dijuluki Sui sang siang hiong (sepasang jagoan dalam air) oleh umat
persilatan, Thio-Lok--heng orangnya jujur dan polos, sedang Li Ci-san orangnya
terbuka dan berjiwa besar, kedua orang tersebut merupakan pendekar yang
dihormati umat persilatan baik dari golongan putih maupun dari golongan hitam,
jadi tak bisa dibanding kan mereka dengan kelima manu-sia cacad tersebut. Bila
kau berjumpa lagi dengan mereka di kemudian hari, harus kau hormati kedua orang
itu sebagai angkatan tua, jangan bersikap kasar atau kurang ajar sehingga
merosotkan pamor dari mendiang ayahmu."
Lan See giok mengiakan
berulang kali, ke-mudian dia melanjutkan kisahnya bagai-mana memasuki benteng
Wi-lim-poo, ketika berce-rita tentang On Li cu, Ciu Siau cian yang duduk di
sampingnya segera nyelutuk de-ngan nada cemburu.
"Apakah dia adalah gadis
yang menung-gang kuda bersama-sama kau hari ini?"
Selesai berkata dengan wajah bersemu
merah karena jengah dia melirik sekejap ke arah ibunya, kemudian menundukkan
kepalanya rendah-rendah.
Paras muka Lan See giok ikut
berubah menjadi merah dadu. ia mengiakan cepat-ce-pat, setelah itu meneruskan
ceritanya bagai-mana kudanya kaget, kemudian bagaimana dia manfaatkan
kesempatan itu untuk mela-rikan diri..
Sebagai akhir kata dia
menambahkan.
"Oh Tin-san pernah
memerintahkan kepada putrinya memberi pelajaran berenang, kepada, anak Giok
sejak hari ini, andaikata semalam tiada orang yang mencuri dengar tentang
rahasia kotak kecil di luar jendela anak Giok berniat be)ajar ilmu berenang
lebih dulu sebelum datang kemari menengok bibi dan enci Cian!"
Tanpa terasa dia mencuri lihat
sekejap lagi ke arah Ciu Siau cian.
Mendengar perkataan tersebut
sambil ter-tawa Ciu Siau cian segera berkata:
"Ibu adalah Hu-yong
siancu (dewi Hu-yong) yang amat termasyhur dalam dunia persilatan, ilmu
berenang siapakah di kolong langit saat ini yang bisa me-nandingi Han Sin wan?
Selain mengalah-kan naga sakti pemba-lik sungai pernah juga mengungguli si naga
emas pengaduk samudra-- ada suhu lihay tak mau minta pelajaran, kau
malahan---"
Belum habis perkataan itu
diutarakan, Han Sin wan telah menegur putrinya.
"Anak Cian, lagi-lagi kau
usil mulut!"
Kejut dan girang Lan See giok
setelah mendengar perkataan itu, ia menjadi ter-tegun, kemudian setelah
berhasil menenang-kan pikiran nya dia berseru dengan gembira.
"Ilmu berenang dari bibi
rupanya hebat sekali dan ternyata anak Giok tidak me-nge-tahui sama sekali, bibi,
kau harus mengajar-kan ilmu kepandaian tersebut kepada anak Giok, dari kelima
manusia cacad, ada tiga diantaranya menjagoi telaga, bila anak Giok tidak
menguasai ilmu dalam air, usahaku untuk membalas dendam bagi ayahku tak akan
lancar."
Berbicara soal membalas
dendam, suasana dalam ruangan kembali dicekam keresahan.
Setelah lewat berapa saat,
Hu-yong siancu Han Sin Wan baru berkata lagi.
"Anak Giok, kalau
ditinjau dari penu-turanmu tadi, kelima manusia cacad tersebut memang
mencurigakan semua, diantaranya meski si iblis buas bermata tunggal dan beruang
berlengan tunggal yang mencuriga-kan, namun manusia buas bertelinga tunggal Oh
Tin san terhitung manusia paling mencu-rigakan . . "
"Atas dasar apa bibi
mengatakan Oh Tin san paling mencurigakan?" sela Lan See -giok tidak
mengerti.
Hu-yong-siancu Han Sin wan
menghela napas sedih.
"Oh Tin san merupakan
seorang manusia yang kejam dan berhati buas, yang paling mencurigakan dari
perbuatannya adalah ia tidak membunuhmu melainkan menghajar mu sampai pingsan,
lalu menggunakan ke-sempatan tersebut membinasakan si bina-tang bertanduk
tunggal....."
"Yaa, bisa jadi dia takut
si binatang ber-tanduk tunggal membocorkan rahasia kotak kecil itu, sebab
sebelum peristiwa itu ber-langsung si binatang bertanduk tunggal me-mang
bersembunyi pula di tempat ke-gelapan !"
"Justru karena si
binatang bertanduk tunggal bersembunyi dalam kegelapan itu-lah, Oh Tin San baru
turun tangan mem-bunuhnya" ucap Han Sin wan dengan ber-sungguh sungguh,
"siapa tahu hal ini dise-babkan dia kuatir si binatang bertanduk tunggal
akan membocorkan rahasia kotak kecil, atau mungkin juga kuatir kalau si
bi-natang bertanduk tunggal akan menuding Oh Tin San sebagai pembunuh
sesungguhnya ...."
Lan See giok berkerut kening,
lalu dengan wajah tak mengerti ia bertanya:
"Selama ini lima manusia
cacad menguasai wilayah yang berbeda, mengapa mereka bisa muncul bersama sama
dalam kuburan kuno pada malam itu ...."
Sekilas perasaan sedih segera
menghiasi wajah Hu-yong siancu, ujarnya sedih.
"Sudah banyak tahun bibi
bersembunyi di tepi telaga, sedikit sekali masalah dunia per-silatan yang
kuketahui, sedang tokoh-tokoh lima manusia cacad pun baru muncul berapa tahun
belakangan ini. seperti misalnya si tongkat besi berkaki tanggal Gui-Pak-ciang
yang kau maksudkan, dulunya ia lebih dike-nal sebagai Kun lui koay (tongkat
geledek) yang merajai wilayah Soa lam, apa sebabnya mereka bisa berkumpul pada
malam yang sama, bibi sendiripun kurang jelas.
Berbicara sampai di situ, dia
melirik seke-jap ke arah putri kesayangannya, lalu sambil mengulumkan senyuman,
lanjutnya:
Sedangkan mengenai belajar
ilmu be-renang, bibi sudah kelewat tua sehingga tak mungkin bisa mengajarkan
sendiri kepadamu. . . ."
"Apa? Bibi sudah
tua?" Lan See giok melongo.
Memandang wajah kaget yang
menghiasi wajah Lan See giok, tanpa terasa Ciu Siau cian menutupi bibirnya
sambil tertawa.
Benar, di mata Lan See giok
paling banter bibinya baru berusia dua puluh enam tujuh tahunan, dia masih
nampak muda, cantik, anggun, halus dan lembut, bagaimana mungkin bisa dibilang
telah tua? Tak heran kalau dia menjadi tertegun saking kagetnya.
Hu-yong siancu tersenyum, dia
tidak menanggapi pertanyaan Lan See giok terse-but, hanya terusnya:
"Mulai besok, kau boleh
minta kepada enci Cian mu agar mengajarkan ilmu berenang. . "
Lan See giok girang sekali,
hal ini memang merupakan pucuk dicinta ulam tiba baginya. maka sambil melompat
bangun dan menjura kepada Ciu Siau cian, katanya dengan gem-bira:
"Kalau begitu siaute
ucapkan banyak teri-ma kasih dulu kepada cici Cian."
Siapa tahu Ciu Siau cian
segera menghin-dar ke samping sambil berseru:
"Aaah, aku tak lebih
hanya gadis dusun yang tak tahu soal adat, bagai-mana mungkin bisa dibandingkan
dengan enci Cu yang pan-dai, ilmu berenang lagi pula terhitung ketu-runan keluarga
persilatan yang terhormat . . .
Lan See giok menjadi gugup,
dia memang tidak menyangka kalau enci Cian nya yang lemah lembut ternyata
mempunyai rasa cem-buru yang begitu besar.
Sambil tertawa paksa, katanya
kemudian dengan gugup.
"Oooh, cici! Mengapa kau
masih meng-ingat ingat kata lelucon tersebut? Dalam situasi dan kondisi siaute
waktu itu, mau tak mau harus kusanjung dirinya agar tidak curiga, harap cici
jangan mengingatnya terus dihati"
Sambil berkata, sekali lagi
dia menjura dalam-dalam, kali ini dia menjura dalam sekali hingga sepasang
tangannya hampir menempel di atas tanah.
Ciu Siau cian yang terbayang
kembali ba-gaimana ia merasa kecewa, menderita dan malu serta pelbagai perasaan
lain yang ber-campur aduk, tak tahan lagi katanya dengan hambar
"Aku tahu kalau diriku
ini rendah dan tak mungkin bisa menandingi si nona terhormat dari keturunan
keluarga ternama, oleh sebab itulah aku tak berani menerima permintaan dari ibu
untuk mem-beri pelajaran kepadamu.. ."
Memandang wajah Lan See giok
yang merah membara karena gelisah. Hu-yong siancu tersenyum, segera ujarnya:
"Siau cian, bagaimanakah
posisi adik Giok mu waktu itu tentunya sudah kau ketahui, buat apa sih mesti
menyiksa dia. . ."
Mendengar bibinya membelai
dia, dari mu-rung Lan See giok menjadi gembira, meman-faatkan kesempatan itu
ujarnya sambil ter-tawa:
"Siaute berani bersumpah
kepada langit, selama hidup aku tak berani lagi membuat cici marah, bila cici
sampai dibuat marah, siaute bersedia untuk berlutut di depan cici dan menerima
hukuman."
Mendengar perkataan itu, tanpa
terasa Han Sin wan melirik sekejap ke arah putrinya sambil tertawa riang,
wajahnya bersinar cerah ujarnya kemudian sambil tersenyum.
Nah, anak Cian, apa lagi yang
hendak kau katakan sekarang?"
Ciu Siau cian malu sekali,
mukanya merah sampai ke telinga, sambil menghentak-hen-takkan kakinya dengan
manja serunya:
"Sungguh mendongkolkan,
sungguh men-dongkol kan---"
Sekali lagi Lan See giok
berdiri melongo si-kap enci Cian dan sikap bibinya boleh dibi-lang merupakan
dua reaksi yang berbeda, sambil memandang ke arah bibinya ia pun berkata agak
tersipu sipu:
"Aku tidak tahu apakah
kembali salah ber-bicara, dulu kalau anak Giok telah me-laku-kan kesalahan,
ayah selalu menyuruh anak Giok berlutut sebagai hukuman."
"Anak Giok, itukan
menghadapi orang tua atau angkatan yang lebih tua---" seru bibi Wan sambil
tertawa geli.
Belum habis perkataan
tersebutb, dengan wajah jbersemu merah Cgiu Sian cian sebgera menimbrung:
"Ibu, anak Cian bukan
enggan memberi pelajaran kepada adik Giok, cuma kurasa disini terlalu banyak
mata-mata, kalau orang melihat gerak gerikku, mereka bisa salah
sangka...""
Hu-yong siancu segera memahami
maksud putrinya, sambil tertawa ujarnya lagi.
"Tentu saja pelajaran tak
boleh diberikan disiang hari, sebab dengan begitu akan menarik perhatian orang
banyak, tempat persembunyian kita di tempat inipun akan segera tersebar luas
pula dalam dunia persi-latan, apalagi dengan kaburnya adik Giok mu, pihak
Wi-lim-poo pasti tak akan mele-paskan pengejarannya. apalagi si manusia buas
bertelinga tunggal Oh Tin san bertekad akan mendapatkan kotak kecil
itu..."
Tergerak hati Lan See giok
setelah mendengar perkataan itu, tanyanya tanpa terasa:
"Bibi, mereka bilang
kotak kecil itu berisi-kan kitab pusaka Tay lo hud bun tiap yap cinkeng,
benarkah itu?"
Bibi Wan tidak langsung
menjawab, tiba- tiba saja dia memasang telinga dan mende-ngarkan dulu keadaan
di sekeliling tempat tersebut . . .
Suasana di luar halaman amat
hening, se-lain angin malam yang berhembus lewat menggoyangkan dedaunan serta
ranting dan suara ombak telaga yang memecah di tepian tanggul, tak kedengaran
suara yang lain.
Dengan wajah serius diapun
manggut-manggut, sahutnya dengan suara lirih:
"Betul, kitab pusaka
tersebut benar-benar merupakan mestika dunia persilatan yang diidam idamkan
setiap umat persilatan, tapi sedikit sekali yang tahu dimanakah ilmu sakti
tersebut tercatat, oleh sebab itu mereka yang tidak mengetahui rahasianya,
mendapat kan benda tersebut sama artinya dengan memperoleh benda
rongsokan!"
Lan See giok sendiripun sangat
berharap bisa mempelajari kepandaian sakti yang ter-cantum dalam kitab pusaka
itu, tanpa terasa tanyanya dengan gelisah.
--"Apakah bibi mengetahui
bagaimana cara nya membaca kitab pusaka tersebut?"
Hu-yong siancu menghela napas
sedih:
"Aai, seperti juga
ayahmu, bibi bukan orang yang berjodoh dengan Buddha, tak mampu kupahami arti
dari pelajaran tber-se-but"
Betjapa kecewanya Lgan See
giok setbelah mengetahui hal ini, bukankah kejadian tersebut sama artinya
dengan ayahnya telah mengorbankan selembar jiwanya demi suatu benda
"rongsokan"? Apakah hal ini tidak kelewat tidak berharga?
Sementara dia masih termenung,
ter-dengar bibi Wan kembali berkata:
"Bibi pernah menasehati
ayahmu, kalau toh tak dipahami rahasia dari kitab pusaka tersebut, lebih baik
segera dikirim kembali saja......"
Tergerak hati Lan See giok
setelah mendengar perkataan itu. buru-buru ia ber-tanya:
"Bibi, darimanakah ayah
peroleh kotak kecil itu?"
Sorot mata bibi Wan menjadi
redup, seakan akan terbayang kembali kisah dimasa silam, lama kemudian dia baru
berkata:
"Bibi hanya tahu, ayahmu
telah berjumpa dengan kekasihnya yang telah menikah di bawah puncak
Giok-li-hong di bukit Hoa san dan secara kebetulan juga mendapatkan ko-tak
kecil itu, sedang keadaan yang sebenar-nya tidak bibi ketahui."
Lan See giok hanya ingin
cepat-cepat men-getahui kisah ayahnya sampai mendapatkan kotak kecil itu,
karenanya ia tidak ter-lalu memperhatikan perubahan wajah bibi-nya.
Saat ini satu ingatan
tiba-tiba melintas di dalam benaknya, dengan nada memohon segera ujarnya:
"Bibi, bersediakah kau
mengeluarkan ko-tak kecil itu agar giok ji periksa? Sekarang hari sudah malam,
siapa tahu dengan tenaga pikiran giok ji, bibi dan enci Cian kita akan berhasil
memahami rahasia kitab pusaka tersebut?"
"Baiklah," sahut
Hu-yong siancu tanpa ragu-ragu, "malam ini, mari kita lihat sampai di
manakah rejekimu?"
Ia beranjak menuju ke jendela
belakang dan mengintip sekejap keadaan di sekitar sana dengan cekatan, kemudian
tubuhnya melompat ke luar dan sekejap kemudian su-dah lenyap dari pandangan.
Ketika Lan See giok turut
menengok ke de-pan, rembulan nampak bersinar cerah, daun dan ranting bergoyang
lembut, sedang bin-tang berkedip kedip memancarkan cahaya nya, tengah malam
sudah lewrat.
Bayangan mzanusia kembali
wberkelebat le-wrat, bibi Wan dengan jurus walet lincah menerobos tirai sudah
melayang masuk kembali ke ruangan, gerakan tubuhnya ri-ngan dan sama sekali
tidak menimbulkan suara.
Lan See giok menutup jendela
dengan ce-pat kemudian berpaling, ternyata di tangan bibi Wan telah bertambah
dengan sebuah kotak kecil berwarna kuning yang empat inci lebarnya.
Berhubung Lan See giok sudah
tahu kalau isi kotak tersebut berisikan sejilid kitab pusaka, maka dalam hati
kecilnya timbul perasaan hormat.
Biarpun bibi Wan nya terhitung
seorang pendekar wanita yang namanya menggetar kan dunia persilatan, setelah
memegang ko-tak kecil berisi kitab pusaka itu, toh terpe-ngaruh juga oleh
emosi, wajahnya ber-ubah menjadi serius dan sepasang tangannya turut gemetar.
Dengan hormat sekali Lan See
giok mene-rima kotak kecil itu kemudian setelah mele-paskan kain kuningnya,
pelan-pelan ia mem-buka penutup kotak itu.
Di dalam kotak itu berisikan
tiga buah daun emas yang panjangnya beberapa inci, sinar gemerlapan segera
memancar ke mana-mana.
Lama sekali Lan See giok
memperhatikan benda tersebut namun gagal untuk menemu-kan sesuatu yang
mencurigakan, apalagi ke tiga lembar daun emas itu tidak beraksara tidak pula
bergambar, polos dan halus sekali.--
Hu-yong siancu serta Ciu Siau
cian berdiri membungkam di belakang Lan See giok, mereka pun berusaha
memusatkan segenap perhatiannya untuk turut memeriksa ke tiga lembar daun emas
tadi, namun apa yang ditemukan tak lebih cuma daun emas biasa.
Untuk beberapa saat lamanya,
suasana di sekeliling tempat itu dicekam dalam keheni-ngan yang luar biasa.
sedemikian hening nya sampai masing-masing dapat mendengar de-tak jantung
lawannya...
Mendadak....
Dari arah tepi telaga sana,
lamat-lamat kedengaran suara yang amat lirih.
Pertama tama Hu-yong siancu
yang me-rasakan lebih dulu, dengan cepat dia menge-baskan tangannya untuk
memadamkan len-tera, seketika itu juga suasana dalam ru-angan dicekam
kegelapan.
Lan See giok sangat terkejut,
cepat-cepat dia menutup kembali kotak tersebut dan menyerahkannya kembali
kepada bibi Wan.
Sedangkan Ciu Siau cian
memasang telinga baik-baik sembari mengerdipkan ma-tanya, lalu dengan nada
kaget ia berbisik:
"Ibu, seperti ada perahu
yang merapat di tepi telaga!"
Dengan langkah terburu buru
dia me-nuju ke luar, membuka pintu rumahnya sedikit lalu mengintip ke luar
segulung angin dingin berhembus masuk, udara terasa sedikit di-ngin.
Lan See giok menyusul di
belakang Ciu Siau cian, mereka bersama sama berdiri di belakang pintu.
Ketika Ciu Siau cian
mengetahui adik Gioknya menyusul, dengan cepat ia mem-beri tanda, lalu menarik
tangan pemuda itu dan diajaknya menuju ke pintu pekarangan.
Ketika Lan See giok merasa
tangannya di-genggam oleh tangan enci Cian nya yang ha-lus dan lembut seakan
akan tak bertulang, segulung hawa panas yang segar dengan ce-pat menyusup ke
dalam lubuk hatinya.
Mengikuti di belakang gadis
tersebut sekarang, dia seperti sudah melupakan segala ketegangan yang dirasakan
hanya se-macam perasaan aneh yang tak terlukiskan dengan kata-kata, dan
perasaan ini dapat membikin jantungnya berdebar keras dan wajahnya bersemu
merah, tubuhnya, seolah-olah melayang di atas awan.
Tanpa terasa ia bersama Ciu
Siau cian te-lah berjongkok di bawah pagar pekarangan, bau harum semerbak yang
berhembus lewat membuat hatinya berdebar semakin keras.
Diantara bau harum itu,
terselip pula bau harum khas dari enci Ciannya, dan bau tadi membuat ia merasa
gembira dan sangat nyaman.
Sudah lama dia mimpikan
menggenggam tangan enci Ciannya yang lembut, dan kini harapannya telah menjadi
kenyataan, tanpab disadari ia mejnggenggam tangagn Ciu Siau cianb semakin
kencang.
Ciu Siau cian tidak menolak
sebab ia se-dang memusatkan semua perhatiannya un-tuk mengintip melalui
celah-celah pagar pekarangan, sebaliknya Lan See giok malah termangu - mangu
oleh kecantikan wajah kekasih hatinya ini.
Dalam keadaan begini, dia
tidak ber-hasrat untuk memikirkan hal lain lagi, dia cuma berharap bisa bersama
dengan enci Ciannya untuk selama lamanya . . .
Mendadak Ciu Siau cian
menyikutnya pe-lan, Lan See giok segera tersadar kembali dan mengalihkan
pandangannya ke arah telaga.
Dari bawah tanggul telaga
tampak ada tiga sosok bayangan manusia sedang ber-gerak mendekat, di bawah
cahaya rembulan mereka hanya sempat melihat potongan badannya saja.
Mendingan kalau Lan See giok
tidak meli-hat. begitu diintip dia menjadi kagetnya setengah mati, bahkan
hampir saja men-jerit tertahan, rupanya ke tiga sosok manusia yang baru saja
melompat turun dari tanggul telaga itu adalah si manusia buas bertelinga
tunggal Oh Tin san, Say nyoo-hui Ki-Ci-hoa serta Oh Li cu yang cantik tapi
genit itu.
Tanpa terasa dia lantas
menggenggam ta-ngan Ciu Siau cian kencang-kencang.
Ciu Siau cian segera merasakan
akan hal itu, dengan cepat dia berbisik.
"Siapakah mereka? Apakah
perempuan yang bernama Oh Li cu?"
Suara yang halus, udara yang
hangat dan harum, sungguh merupakan suatu rangsa-ngan yang luar biasa, hanya
sayang Lan See giok yang tegang sehingga dia sama sekali tidak merasakan akan
hal tersebut.
Lan See giok mengangguk dengan
gelisah sahutnya dengan nada gelisah.
"Bukan hanya 0h Li cu
seorang, kedua orang lainnya adalah orang tua mereka, Oh Tin san serta Say
nyoo-hui."
Sewaktu Ciu Siau cian
mendengar perka-taan itu dia seperti agak terkejut pula, cepat-cepat dia
mengangguk dan kemudian meng-alihkan kembali sorot matanya ke arah tepi telaga.
Dalam pada itu Oh Tin San dan
Say nyoo-hui sedang memberi gerakan tangan kepada Oh Li cu, agaknya dia sedang
menanyakan bkejadian yang djialaminya hari gini kalau di tibnjau dari wajah Oh
Tin san tampaknya dia amat gusar.
Tiba-tiba Oh Li cu menuding ke
muka, mengikuti tudingan itu, Oh Tin san dan Say nyoo-hui segera mengalihkan
sorot mata mereka yang tajam bagaikan sembilu ke arah depan.
Menyaksikan sorot mata mereka,
Lan See giok merasakan tubuhnya gemetar keras, tak tahan dia berpaling ke arah
pintu rumah mohon bantuan.
Baru berpaling, dia telah
menyaksikan bibi Wan berdiri di belakang pintu pagar dengan wajah tenang,
agaknya dia pun sedang me-ngawasi gerak gerik Oh Tin san bertiga.
Betapa leganya Lan See giok
setelah meli-hat bibinya munculkan diri, meski demikian rasa tegang toh belum
mereda, tanpa terasa bisiknya lirih:
"Bibi, Oh Tin
san...."
"Ssst--!" Hu-yong
siancu menempelkan jari tangannya ke atas ujung bibir me-lakukan gerakan
melarang berbicara, setelah itu dia menuding ke tepi telaga.
Lan See-giok memahami
maksudnya dan berpaling kembali, ternyata Oh Tin san berti-ga sedang berbisik
bisik seperti merunding-kan sesuatu, ke enam mata mereka yang ta-jam dialihkan
kemari tiada hentinya.
Mendadak . . .
Ke tiga orang itu bersama sama
memberi tanda, kemudian berjalan mendekati ba-ngunan rumah mereka.
Peluh dingin dengan cepat
bercucuran membasahi tubuh Lan See-giok, cepat dia berpaling, bibi Wan nya
memberi tanda kepadanya agar kabur secepatnya, maka dia menarik tangan Ciu Siau
cian dan bersama sama kembali ke dalam kamar.
Hu-yong siancu mengikuti di
belakang mereka dengan sikap yang tenang, pintu rumah sekalian ditutup rapat, lalu
memberi tanda kepada Lan See giok agar bersembunyi di ruang dalam,
diperingatkan sebelum di-panggil agar jangan munculkan diri.
Lan See giok mengangguk dengan
gugup kemudian berjalan masuk ke dalam kamar tidur bibinya, disaat dia hendak
melangkah ke dalam kamar dilihatnya enci Cian sedang dibisiki sesuatu oleh
ibrunya.
Dalam suzasana begini, dwia
tidak berhasrrat lagi untuk mendengarkan apa yang dibicara-kan bibi Wan nya,
dengan gugup dia me-nyandarkan diri dekat jendela depan, lalu membuat sebuah lubang
kecil pada kertas jendela tadi.
Dari situ kembali dia
mengintip ke muka, kali ini Oh Tin san suami istri serta Oh Li cu telah berdiri
di luar pagar sambil menengok ke dalam rumah, waktu itu mereka sedang berbisik
bisik sambil menuding ke sana ke mari.
Sorot mata sesat kelihatan
mencorong ke luar dari balik mata Oh Tin San, dengan wa-jah penuh amarah dia
mengawasi Oh Li cu, sementara tangannya yang kurus kering menuding kesana ke
mari seperti lagi me-na-nyakan sesuatu.
Rambut Oh Li cu sangat kusut,
keningnya berkerut dan bibirnya cemberut, sementara sepasang matanya telah
merah membengkak karena kebanyakan menangis.
Saat ini dia mengenakan
pakaian ringkas berwarna merah, sebilah pedang tersoren di punggungnya.
Say nyoo-hui Ki-Ci-hoa
berkerut kening juga, sekalipun dia sayang anak tapi berhu-bung masalahnya
menyangkut suatu urusan besar, maka dia seakan-akan tak sanggup lagi untuk
membendung amarah 0h Tin San terhadap putrinya.
Sementara itu, Oh Li cu telah
mengangguk dengan pasti, dia menuding ke arah pepo-honan ditengah halaman.
Tanpa banyak membuang waktu,
Oh Tin san segera melejit ke udara dan melayang turun ke dalam halaman,
sedangkan Say nyoo-hui serta Oh Li cu mengikuti di bela-kangnya.
Baru saja mereka bertiga
menginjakkan kakinya ke atas tanah.
"Kraak. . .!"
Tahu-tahu pintu depan terbuka
lebar.
Hu-yong siancu dengan wajah
yang anggun dan tenang telah berdiri angker di depan pintu.
Kemunculan tuan rumah yang
amat tiba-tiba ini sangat mengejutkan Oh Tin San suami istri, agaknya kejadian
tersebut sama sekali di luar dugaan, tapi hanya sebentar saja paras muka mereka
segera pulih kembali seperti sedia kala dan menunjukkan sikap angkuh.
Hu-yong siancu tidak
menunjukkan sikap apapun, malah dengan senyum dikulum dia melangkah ke luar
dari dalam ruangan.
Paras muka Oh Tin san suami
istri berubah hebat, setelah berseru tertahan mereka mundur setengah langkah,
tapi dalam waktu singkat mereka berhasil me-nguasai kembali keadaan, senyum
dingin segera menghiasi lagi ujung bibir mereka.
Setelah berdiri tegak, sambil
tertawa ham-bar Hu-yong siancu berkata:
"Selama ini kalian
menjagoi dunia per-si-la-tan dengan bercokol di benteng Wi-lim-poo, nama
besarnya sudah termasyhur sampai di seantero dunia. kami ibu dan anak
ber-un-tung sekali bisa hidup bertetangga dengan kalian dengan mendirikan gubuk
reyot di tepi telaga" Kemudian setelah memandang seke-jap kearah Oh Li cu,
dia melanjutkan.
"Kini, malam sudah larut,
entah ada perso-alan apa kalian suami istri bersama putri kalian berkunjung ke
mari? Gubuk kami reyot. bila tidak keberatan silahkan masuk ke ruangan untuk
minum teh dulu. ."
Merah padam selembar wajah Oh
Tin san dia mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak bahak, sahutnya sambil
tertawa nyaring:
"Hu-yong siancu adalah
seorang pendekar wanita yang namanya sudah menggemparkan lima telaga dan
sekarang hidup menyendiri di tepi telaga untuk mencari kehidupan yang aman
damai, kami suami istri berdua tak le-bih hanya manusia kasar. bila lihiap
tidak berbohong, tentunya sudah kau ketahui bu-kan apa maksud kunjungan kami
pada ma-lam ini"
Hu-yong siancu berkerut
kening, kemudian gelengkan kepalanya dengan tidak me-ngerti, ujarnya hambar.
"Entah apa
maksudmu?"
Paras muka Oh Tin san berubah,
setelah tertawa dingin katanya dengan suara dalam.
"Bila kau mengaku tak
tahu, tak ada salahnya aku berbicara secara blak- blakan. malam ini sengaja
kami datang untuk me-ngambil kembali kitab pusaka Tay lo tiap yap cinkeng,
sebagai manusia yang berpengala-man, tentunya kau tahu bukan sepasang tangan
susah melawan empat tangan, biar-pun kami bertiga sadar bukan tandingan lihiap,
tapi untuk mem-bela diri, terpaksa kami akan mengerubutib lihiap"
Dengajn wajah berlagagk kaget
bercampbur keheranan Hu-yong siancu segera berseru.
"Kotak kuning itu
diserahkan oleh Gurdi emas peluru perak Lan tayhiap kepadaku agar disampaikan
kepada seorang cianpwe, aku seperti tak pernah mendengar harus menyerahkannya
kepada mu"
Berubah paras muka Oh Tin san
setelah mendengar ucapan itu, tak sampai Hu-yong siancu menyelesaikan kata katanya,
ia sudah bertanya dengan wajah kaget.
"Siapakah ciancu
itu?"
Hu-yong siancu menggelengkan
kepala nya berulang kali:
"Di dalam suratnya Lan
tayhiap tidak menjelaskan siapakah manusia tersebut, hanya diterangkan ia
memakai jubah kuning, berambut perak dan berjenggot panjang, se-lain itu dia
pun mempunyai sebuah ciri yang sangat khas . .""
Setelah berhenti sejenak dia
memandang sekejap ke arah Oh Tin san yang wajahnya mulai memucat serta Say
nyoo-hui yang berkerut kering, setelah itu melanjutkan:
"Adapun ciri khas dari
manusia berjubah kuning itu adalah pada keningnya terdapat sebuah tahi lalat
yang berwarna merah!"
Sekujur badan Oh Tin san
gemetar keras, peluh dingin jatuh bercucuran dengan amat deras, tapi toh
bertanya juga dengan nada tidak mengerti.
"Lan Khong-tay
memerintahkan kepada-mu harus menyerahkan kotak kecil itu ke-pada si manusia
aneh tersebut pada saat kapan?"
"Tengah hari tadi!"
jawab Hu-yong siancu tanpa ragu.
Oh Tin san suami istri serta
Oh Li cu ber-tiga merasakan hatinya bergetar keras, tanpa terasa mereka saling
berpandangan sekejap, sebab mereka serentak teringat kembali de-ngan Lan See
giok yang hilang lenyap.
Say nyoo-hui memutar biji
matanya, ke-mudian menimbrung.
"Di tempat mana?"
Hu-yong siancu menggerakkan
alis mata nya, lalu sambil menuding ke belakang rumah sahutnya,
"Di atas bukit sana. . .
."
Ketika mendengar perkataan
terbsebut, Say nyooj-hui mendongakkgan kepalanya dabn ter-tawa seram, suaranya
tinggi melengking per-sis seperti suara kucing kawin.
Selain Hu-yong siancu sendiri
yang di bikin tak mengerti oleh suara tertawa lengking itu, sekalipun Oh Tin
san serta On Li cu sendiri-pun dibuat keheranan.
Selesai tertawa, Say nyoo-hui
kembali ber-kata dengan suara dingin:
"Kau siluman rase cilik
yang tak tahu diri, kendatipun kau cerdas dan lihay, toh tampak juga
kecerobohan mu itu, aku tidak percaya dengan segala obrolanmu tersebut".
"Kemudian dengan mata
melotot dan ter-tawa seram, ia menghardik:
"Siapa yang berada di
dalam ruangan?"
Sambil membentak dia menuding
kearah pintu kamar.
Agaknya Hu-yong siancu tidak
menyangka kalau Say nyoo-hui bakal berubah sikap sedemikian cepatnya, meski
begitu dia tetap bersikap tenang, ditatapnya wajah Say nyoo-hui yang sedang
menyeringai itu lembut, ke-mudian jawabnya dingin:
"Dia adalah putriku Siau
cian!"
Say nyoo-hui melototkan
matanya, makin besar, mencorong sinar tajam dari balik ma-tanya, kemudian
setelah tertawa seram dia berkata:
"Aku tidak percaya."
"Jika tidak percaya
lantas kau mau apa!" Hu-yong siancu segera menarik mukanya dengan gusar.
"Lonio akan
menggeledah!"
Sembari berkata, tiba-tiba
sepasang ta-ngannya berputar dan sepasang goloknya sudah diloloskan dari
sarung.
Sementara itu keberanian Oh
Tin san pun nampaknya semakin menjadi, tenaga dalam-nya dihimpun ke dalam
telapak tangan, lalu dia bersiap siap untuk menerkam ke muka.
"Criing!" cahaya
tajam berkilauan, Oh Li cu telah meloloskan pula pedangnya.
Berubah hebat paras muka Lan
See giok yang mengintip dari balik jendela, dia benar-benar tak menduga kalau
situasi di dalam halaman akan mengalami perubahan sedemikian cepatnya.
Karena kaget dan cemas, dan
gugup anak muda itu melompat turun dari pembaringan lalu melompat ke jendela
belakang dan mem-bukanya dengan cepat.
Tapi...seperti rdisambar
gunturz disiang hari bwolong, Lan See rgiok tertegun lalu melongo, sekalipun
dia ternganga karena kagetnya, untung tiada suara yang terpancar ke luar.
Si kakek berjubah kuning yang
berwarna halus dan lembut itu tahu-tahu sudah mun-cul di luar jendela dengan senyuman
diku-lum.
Memandang si kakek berjubah
kuning yang berdiri di luar jendela itu, Lan See giok termangu mangu, kepalanya
terasa pusing tujuh keliling, hampir saja ia roboh tak sa-darkan diri karena
terkejutnya.
Mimpi pun ia tak pernah
mengira bakal menjumpai kakek berjubah kuning itu di rumah bibi Wan nya.
Sementara dia masih termangu,
tampak bayangan manusia berkelebat lewat, kakek berjubah kuning itu sudah
melompat masuk ke dalam ruangan dengan enteng tanpa menimbulkan sedikit
suarapun,
Diam-diam Lan See giok amat
terkejut, kendatipun dia sudah tahu kalau si kakek berjubah kuning itu memiliki
kepandaian si-lat yang sangat lihay, tapi ilmu meringankan tubuh yang demikian
sempurnanya ini pada hakekatnya belum pernah di dengar atau dilihat olehnya.
Sementara ia masih termenung,
kakek berjubah kuning itu telah menepuk nepuk bahunya dengan lembut wajahnya
sangat ramah penuh senyuman, sesudah memberi tanda agar jangan berisik, dia
berjalan menuju ke pintu gerbang.
Dalam pada itu suara bentakan
gusar dari Hu-yong siancu telah berkumandang lagi dari tengah halaman.
"Oh Tin-san, kuanjurkan
segera kau ajak istri dan putri mu untuk pergi meninggalkan tempat ini, jangan
mencari penyakit di tem-pat ini, jangan lagi Lan See giok telah diajak tokoh
silat itu belajar silat di pegunungan terpencil, sekalipun ia berada dalam
rumah, bayangkan saja, apakah kalian sanggup me-lewati diriku sebelum dapat
me-masuki ru-angan ini?"
Oh Tin san termasuk manusia
licik yang banyak curiga. betul juga, kecurigaannya segera timbul setelah
mendengar perkataan itu. terutama setelah mendengar kalau Lan See giok telah
diterima tokoh silat itu se-bagai muridnya, dia merasa kepalanya seperti
di-pukul dengan tongkat besar.
Dengan buas penuh kebencian
Say nyoo-hui melotot sekejap kearah Hu-yong siancu, lalu setelah tertawa dingin
katanya.
"Hmm, sekalipun kau sudah
bercerita yang aneh-aneh, sayang sekali aku tidak percaya kalau dalam dunia ini
terdapat kejadian yang begitu kebetulan, Hu-yong siancu memang termasyhur
sebagai perempuan cantik, tapi sekalipun kepandaian silatmu lebih hebatpun
jangan harap bisa me-nandingi kami bertiga . . . "
Tergetar juga perasaan Hu-yong
siancu, ti-dak sampai Say nyoo-hui menyelesaikan kata katanya, dia telah
menyela dengan dingin.
"Ki-Ci-hoa, kau tak usah
bersilat lidah, kalau toh kau yakin gabungan tenaga kalian bertiga sanggup
mengatasi diriku, silahkan dicoba, asal satu diantara kalian bertiga sanggup
melewati diriku dan memasuki ru-angan, bukan saja aku Han Sin wan akan serahkan
Lan See giok kepada kalian, kitab pusaka Tay loo hud bun-pwee yap cinkeng-pun
akan kupersembahkan ke pada kalian bertiga!.
BAB 11
PARAS muka Oh Tin san suami
istri sama-sama berubah, di hati kecil mereka merasa amat terkejut, sebab
ucapan tersebut kelewat tekebur, dengan pamor Hu-yong siancu di dalam dunia
persilatan, tentu saja ia bukan hanya gertak sambal belaka.
Oleh sebab itu tanpa sadar
mereka berdua menghubungkan kejadian tersebut dengan kepandaian sakti yang
tercantum-dalam ki-tab cinkeng, jangan-jangan Hu-yong siancu telah berhasil
mempelajari berapa diantara nya? Kalau tidak, masa ia berani berbicara membual
.?
Begitu terbayang kemungkinan
besar kepandaian silat Hu-yong siancu telah me-ningkat lebih hebat. rasa iri
dan marah kem-bali berkobar di dalam dada Say nyoo-hui, sambil menggertak gigi
menahan dendam ia berseru kembali:
"Terus terang kuucapkan
kedatabngan kami pada jmalam ini adalagh bertujuan untbuk merebut kitab Tay
lo-pwee yap cinkeng, se-dang soal Lan See giok, bagi kami bukan menjadi masalah
yang serius, bila kau bersedia serahkan pula kepada kami, tentu saja kami akan
membawanya pula "
Baru saja perkataan itu sudah
diucapkan dengan wajah berubah Oh Li cu telah me-nimbrung.
"Ibu, kau tak boleh
berkata begini . ."
Api amarah dan rasa iri sedang
membara di dalam dada Say nyoo-hui, begitu mende-ngar perkataan dari Oh Li cu
amarah yang semula tak terlampiaskan kontan saja mele-tus dengan mata melotot
besar, bentaknya penuh amarah.
"Tutup mulut, urusan jadi
kacau gara--gara ulahmu, sekarang kau masih punya muka untuk banyak ngebacot
lagi di sini? Bila Lan See giok benar-benar berada di sini, mungkin bapak ibumu
sendiri juga tak akan kau akui!"
Baru selesai perkataan itu
diutarakan, Oh Li cu sudah melejit ke tengah udara dan ka-bur menuju ke luar
halaman . . .
Oh Tin san menjadi gugup,
teriaknya tanpa terasa:
"Anak Cu, balik!"
Tapi suasana di luar halaman
sangat he-ning, yang terdengar hanya ujung baju ter-hembus angin yang makin
menjauh.
Oh Tin san memandang sekejap
ke arah Say nyoo-hui yang tampaknya mulai menye-sal dengan pandangan gelisah,
seolah-olah dia sedang bertanya: Bagaimana sekarang?
Tergerak hati Hu-yong siancu,
dia merasa kesempatan baik ini tak boleh disia-siakan dengan begitu saja,
segera ujarnya dengan suara hambar:
"Kepergian putri kalian
dalam gusar, bisa jadi akan mengambil jalan pendek, lebih baik kalian berdua
cepat-cepat menyusul putri kesayangan kalian saja. sedang masalah ki-tab pusaka
Tay lo hud bun pwee tiap cinkeng telah kuserahkan kepada kakek berjubah kuning,
bila kalian masih saja bersikeras akan menggeledah rumah, terpaksa aku akan
mencoba pula ilmu baru yang baru kupelajari dari kitab Hud bun cinkeng
tersebut."
Dalam keadaan demikian ini,
posisi Oh Tin san serta Say nyoo-hui benar-benar serba salah, mereka berdua
segera saling bebrpan-dangan sekjejap, agaknya mgereka sudah berbtekad hendak
menyerbu ke dalam ru-angan.
Tapi sewaktu mereka berdua
mendongak-kan kembali kepalanya, wajah mereka ber-ubah hebat, sambil menjerit
kaget mereka mundur tiga langkah sorot matanya penuh rasa kaget dan ngeri,
selangkah demi selang-kah mereka mundur terus ke belakang..
Hu-yong Siancu yang
menyaksikan peristiwa ini tentu saja menjadi tertegun, keningnya berkerut
sedang hati kecilnya ke-heranan, tapi kemudian dia seperti mema-hami sesuatu,
dengan cepat dia berpaling pula ke ruangan.
Tapi, pintu rumah masih
terbuka lebar, keadaan di situ tiada perubahan, tanpa terasa dia melirik pula
ke depan jendela pu-trinya, di jumpai putri kesayangannya masih ber-sembunyi
pula di situ.
Maka dia berpaling lagi,
ternyata Oh Tin san suami istri sudah melarikan diri ter-birit birit.
Sadarlah Hu-yong siancu, pasti
ada se-suatu yang tak beres, dia berlari masuk ke rumah, Ciu Siau cian telah
menyongsong pula dari kamarnya, serunya kemudian de-ngan gembira.
"Ibu, Cian ji kagum
sekali kepadamu, coba lihat, mereka telah dibikin kabur oleh
perka-taanmu."
Hu-yong siancu datang amat
gelisah, dia tak berniat menjawab perkataan dari putri-nya, ketika tidak
dijumpai Lan See giok turut ke luar, buru-buru ia menegur:
"Mana adik Giokmu?"
Sambil bertanya cepat-cepat
dia masuk ke kamar sendiri, tapi jendela sudah terbuka Lan See giok juga lenyap
tak berbekas.
"Celaka.." pekik
Hu-yong siancu panik, ia melompat ke luar jendela dan naik ke atap rumah.
Suasana amat hening, hanya
rembulan bersinar di langit barat, tak sesosok baya-ngan manusia pun yang
nampak.
Dari gerak gerik ibunya yang
gugup, Ciu Siau cian tahu kalau gelagat tidak beres, ce-pat-cepat dia menyusul
ke luar jendela, baru saja akan menyusup ke atas atap rumah, Hu-yong siancu
telah melayang turun
Cepat-cepat Ciu Siau cian
menyusulnya sambil bertanya:
"Ibu, apa yang telah
terjadi? Mana adik Giok?"
Dengan wajah pucat pias
Hu-yong siancu menuding ke jendela bagian belakang kemu-dian mereka berdua
brersama - sama kzembali ke dalamw ruangan.
Ciu rSiau cian menutup daun
jendelanya rapat-rapat, ia saksikan ibunya sedang mengeluarkan sebuah kotak
kecil berkain kuning dari bawah pembaringan.
Agak lega perasaan Hu-yong
siancu setelah melihat kotak itu masih tetap utuh, ketika penutupnya dibuka
tampak daun emas tersebut masih tetap seperti sedia kala. rasa cemas yang
semula mencekam perasaannya kini men-jadi lega kembali.
Kendatipun demikian, kedua
orang terse-but tetap merasa tak habis mengerti, kenapa Lan See giok bisa
lenyap dari situ?
Sementara itu, Lan See giok
telah dibawa si kakek berjubah kuning itu berlarian di tengah tanah pegunungan,
gerakan tubuh kakek itu cepat, sekali bagaikan sambaran kilat, mereka langsung
menuju ke sebuah puncak bukit.
Lan See giok yang berlarian
mengikuti kakek, tersebut dapat merasakan angin ta-jam menderu deru di sisi
telinganya, dia merasa kakinya seolah-olah tidak menginjak tanah. melainkan
melayang diantara awan.
Berhubung kemunculan kakek
berjubah kuning itu berhasil membuat Oh Tin san 1ari ketakutan, ditambah pula
dia tidak menun-tut kotak kecil itu, perasaan gelisah dan ce-mas yang semula
menyelimuti perasaan Lan See giok, kini sudah mereda kembali
Ia pernah berpikir, jangan -
jangan hal tersebut hanya merupakan sebuah taktik merebut hati dari kakek
berjubah kuning tersebut, tapi setelah berpikir lebih jauh, dia merasa
pemikiran tersebut tidak benar, de-ngan kepandaian sakti yang di miliki kakek
berjubah kuning itu, bila dia ingin melarikan kocak kecil tersebut, hal tersebut
seharusnya bisa dia lakukan se-mudah merogoh barang dalam saku sendiri.
Apalagi masalah ke lima
manusia cacad serta siapa gerangan pembunuh sebenarnya. yang telah menghabisi
nyawa ayahnya perlu diketahui dan di tanyakan pula dari kakek berjubah kuning
ini----
Sementara dia masih termenung,
tubuhnya terasa sudah melambung ke atas puncak te-bing itu.
Ketika kakek berjubah kuning
itu menge-baskan ujung bajunya, tubuh merekapun berhenti bergerak.
Lan See giok segera berpaling,
ia saksikan kakek berjubah kuning itu dengan senyuman ramah dikulum dan sorot
mata yang berkilat kilat sedang memandang ke arahnya penuh belas kasih, dia
hanya tersenyum tanpa me-ngucapkan sepatah katapun.
Sikap yang begitu belas kasih
dan ramah ini dengan cepat menggetarkan perasaan pe-muda kita, apalagi bila
terbayang sikap hor-mat dari si naga sakti pembalik sungai terha-dap orang itu.
Tanpa terasa diapun menjura
seraya ber-kata dengan hormat:
(Bersambung ke Bagian 14)