Anak Harimau Bagian 13

Baca Cersil Mandarin Online: Anak Harimau Bagian 13

Bagian 13

Kemudian sesudah berhenti sebentar, dia melanjutkan:

"Untung saja kau mudah dikibuli ketika itu. coba kalau tidak, mungkin kita tak akan bisa berjumpa muka lagi"

Lan See giok mengiakan dengan wajah je-ngah, ia pun melanjutkan kembali cerita nya.

Tatkala bibi Wan mendengar Lan See giok mencurigai si naga sakti pembalik sungai Thio Lok-heng sebagai otak dari ke lima manusia cacad, dengan nada tidak puas, ia segera berkata:

"Si naga sakti pembalik sungai Thio-Lok-heng serta naga emas pengaduk samudra Li Ci-san dari telaga tong ting oh termasyhur dalam dunia persilatan karena ilmu dalam airnya, kedua orang itu dijuluki Sui sang siang hiong (sepasang jagoan dalam air) oleh umat persilatan, Thio-Lok--heng orangnya jujur dan polos, sedang Li Ci-san orangnya terbuka dan berjiwa besar, kedua orang tersebut merupakan pendekar yang dihormati umat persilatan baik dari golongan putih maupun dari golongan hitam, jadi tak bisa dibanding kan mereka dengan kelima manu-sia cacad tersebut. Bila kau berjumpa lagi dengan mereka di kemudian hari, harus kau hormati kedua orang itu sebagai angkatan tua, jangan bersikap kasar atau kurang ajar sehingga merosotkan pamor dari mendiang ayahmu."

Lan See giok mengiakan berulang kali, ke-mudian dia melanjutkan kisahnya bagai-mana memasuki benteng Wi-lim-poo, ketika berce-rita tentang On Li cu, Ciu Siau cian yang duduk di sampingnya segera nyelutuk de-ngan nada cemburu.

"Apakah dia adalah gadis yang menung-gang kuda bersama-sama kau hari ini?"

Selesai berkata dengan wajah bersemu merah karena jengah dia melirik sekejap ke arah ibunya, kemudian menundukkan kepalanya rendah-rendah.

Paras muka Lan See giok ikut berubah menjadi merah dadu. ia mengiakan cepat-ce-pat, setelah itu meneruskan ceritanya bagai-mana kudanya kaget, kemudian bagaimana dia manfaatkan kesempatan itu untuk mela-rikan diri..

Sebagai akhir kata dia menambahkan.

"Oh Tin-san pernah memerintahkan kepada putrinya memberi pelajaran berenang, kepada, anak Giok sejak hari ini, andaikata semalam tiada orang yang mencuri dengar tentang rahasia kotak kecil di luar jendela anak Giok berniat be)ajar ilmu berenang lebih dulu sebelum datang kemari menengok bibi dan enci Cian!"

Tanpa terasa dia mencuri lihat sekejap lagi ke arah Ciu Siau cian.

Mendengar perkataan tersebut sambil ter-tawa Ciu Siau cian segera berkata:

"Ibu adalah Hu-yong siancu (dewi Hu-yong) yang amat termasyhur dalam dunia persilatan, ilmu berenang siapakah di kolong langit saat ini yang bisa me-nandingi Han Sin wan? Selain mengalah-kan naga sakti pemba-lik sungai pernah juga mengungguli si naga emas pengaduk samudra-- ada suhu lihay tak mau minta pelajaran, kau malahan---"

Belum habis perkataan itu diutarakan, Han Sin wan telah menegur putrinya.

"Anak Cian, lagi-lagi kau usil mulut!"

Kejut dan girang Lan See giok setelah mendengar perkataan itu, ia menjadi ter-tegun, kemudian setelah berhasil menenang-kan pikiran nya dia berseru dengan gembira.

"Ilmu berenang dari bibi rupanya hebat sekali dan ternyata anak Giok tidak me-nge-tahui sama sekali, bibi, kau harus mengajar-kan ilmu kepandaian tersebut kepada anak Giok, dari kelima manusia cacad, ada tiga diantaranya menjagoi telaga, bila anak Giok tidak menguasai ilmu dalam air, usahaku untuk membalas dendam bagi ayahku tak akan lancar."

Berbicara soal membalas dendam, suasana dalam ruangan kembali dicekam keresahan.

Setelah lewat berapa saat, Hu-yong siancu Han Sin Wan baru berkata lagi.

"Anak Giok, kalau ditinjau dari penu-turanmu tadi, kelima manusia cacad tersebut memang mencurigakan semua, diantaranya meski si iblis buas bermata tunggal dan beruang berlengan tunggal yang mencuriga-kan, namun manusia buas bertelinga tunggal Oh Tin san terhitung manusia paling mencu-rigakan . . "

"Atas dasar apa bibi mengatakan Oh Tin san paling mencurigakan?" sela Lan See -giok tidak mengerti.

Hu-yong-siancu Han Sin wan menghela napas sedih.

"Oh Tin san merupakan seorang manusia yang kejam dan berhati buas, yang paling mencurigakan dari perbuatannya adalah ia tidak membunuhmu melainkan menghajar mu sampai pingsan, lalu menggunakan ke-sempatan tersebut membinasakan si bina-tang bertanduk tunggal....."

"Yaa, bisa jadi dia takut si binatang ber-tanduk tunggal membocorkan rahasia kotak kecil itu, sebab sebelum peristiwa itu ber-langsung si binatang bertanduk tunggal me-mang bersembunyi pula di tempat ke-gelapan !"

"Justru karena si binatang bertanduk tunggal bersembunyi dalam kegelapan itu-lah, Oh Tin San baru turun tangan mem-bunuhnya" ucap Han Sin wan dengan ber-sungguh sungguh, "siapa tahu hal ini dise-babkan dia kuatir si binatang bertanduk tunggal akan membocorkan rahasia kotak kecil, atau mungkin juga kuatir kalau si bi-natang bertanduk tunggal akan menuding Oh Tin San sebagai pembunuh sesungguhnya ...."

Lan See giok berkerut kening, lalu dengan wajah tak mengerti ia bertanya:

"Selama ini lima manusia cacad menguasai wilayah yang berbeda, mengapa mereka bisa muncul bersama sama dalam kuburan kuno pada malam itu ...."

Sekilas perasaan sedih segera menghiasi wajah Hu-yong siancu, ujarnya sedih.

"Sudah banyak tahun bibi bersembunyi di tepi telaga, sedikit sekali masalah dunia per-silatan yang kuketahui, sedang tokoh-tokoh lima manusia cacad pun baru muncul berapa tahun belakangan ini. seperti misalnya si tongkat besi berkaki tanggal Gui-Pak-ciang yang kau maksudkan, dulunya ia lebih dike-nal sebagai Kun lui koay (tongkat geledek) yang merajai wilayah Soa lam, apa sebabnya mereka bisa berkumpul pada malam yang sama, bibi sendiripun kurang jelas.

Berbicara sampai di situ, dia melirik seke-jap ke arah putri kesayangannya, lalu sambil mengulumkan senyuman, lanjutnya:

Sedangkan mengenai belajar ilmu be-renang, bibi sudah kelewat tua sehingga tak mungkin bisa mengajarkan sendiri kepadamu. . . ."

"Apa? Bibi sudah tua?" Lan See giok melongo.

Memandang wajah kaget yang menghiasi wajah Lan See giok, tanpa terasa Ciu Siau cian menutupi bibirnya sambil tertawa.

Benar, di mata Lan See giok paling banter bibinya baru berusia dua puluh enam tujuh tahunan, dia masih nampak muda, cantik, anggun, halus dan lembut, bagaimana mungkin bisa dibilang telah tua? Tak heran kalau dia menjadi tertegun saking kagetnya.

Hu-yong siancu tersenyum, dia tidak menanggapi pertanyaan Lan See giok terse-but, hanya terusnya:

"Mulai besok, kau boleh minta kepada enci Cian mu agar mengajarkan ilmu berenang. . "

Lan See giok girang sekali, hal ini memang merupakan pucuk dicinta ulam tiba baginya. maka sambil melompat bangun dan menjura kepada Ciu Siau cian, katanya dengan gem-bira:

"Kalau begitu siaute ucapkan banyak teri-ma kasih dulu kepada cici Cian."

Siapa tahu Ciu Siau cian segera menghin-dar ke samping sambil berseru:

"Aaah, aku tak lebih hanya gadis dusun yang tak tahu soal adat, bagai-mana mungkin bisa dibandingkan dengan enci Cu yang pan-dai, ilmu berenang lagi pula terhitung ketu-runan keluarga persilatan yang terhormat . . .

Lan See giok menjadi gugup, dia memang tidak menyangka kalau enci Cian nya yang lemah lembut ternyata mempunyai rasa cem-buru yang begitu besar.

Sambil tertawa paksa, katanya kemudian dengan gugup.

"Oooh, cici! Mengapa kau masih meng-ingat ingat kata lelucon tersebut? Dalam situasi dan kondisi siaute waktu itu, mau tak mau harus kusanjung dirinya agar tidak curiga, harap cici jangan mengingatnya terus dihati"

Sambil berkata, sekali lagi dia menjura dalam-dalam, kali ini dia menjura dalam sekali hingga sepasang tangannya hampir menempel di atas tanah.



Ciu Siau cian yang terbayang kembali ba-gaimana ia merasa kecewa, menderita dan malu serta pelbagai perasaan lain yang ber-campur aduk, tak tahan lagi katanya dengan hambar

"Aku tahu kalau diriku ini rendah dan tak mungkin bisa menandingi si nona terhormat dari keturunan keluarga ternama, oleh sebab itulah aku tak berani menerima permintaan dari ibu untuk mem-beri pelajaran kepadamu.. ."

Memandang wajah Lan See giok yang merah membara karena gelisah. Hu-yong siancu tersenyum, segera ujarnya:

"Siau cian, bagaimanakah posisi adik Giok mu waktu itu tentunya sudah kau ketahui, buat apa sih mesti menyiksa dia. . ."

Mendengar bibinya membelai dia, dari mu-rung Lan See giok menjadi gembira, meman-faatkan kesempatan itu ujarnya sambil ter-tawa:

"Siaute berani bersumpah kepada langit, selama hidup aku tak berani lagi membuat cici marah, bila cici sampai dibuat marah, siaute bersedia untuk berlutut di depan cici dan menerima hukuman."

Mendengar perkataan itu, tanpa terasa Han Sin wan melirik sekejap ke arah putrinya sambil tertawa riang, wajahnya bersinar cerah ujarnya kemudian sambil tersenyum.

Nah, anak Cian, apa lagi yang hendak kau katakan sekarang?"

Ciu Siau cian malu sekali, mukanya merah sampai ke telinga, sambil menghentak-hen-takkan kakinya dengan manja serunya:

"Sungguh mendongkolkan, sungguh men-dongkol kan---"

Sekali lagi Lan See giok berdiri melongo si-kap enci Cian dan sikap bibinya boleh dibi-lang merupakan dua reaksi yang berbeda, sambil memandang ke arah bibinya ia pun berkata agak tersipu sipu:

"Aku tidak tahu apakah kembali salah ber-bicara, dulu kalau anak Giok telah me-laku-kan kesalahan, ayah selalu menyuruh anak Giok berlutut sebagai hukuman."

"Anak Giok, itukan menghadapi orang tua atau angkatan yang lebih tua---" seru bibi Wan sambil tertawa geli.

Belum habis perkataan tersebutb, dengan wajah jbersemu merah Cgiu Sian cian sebgera menimbrung:

"Ibu, anak Cian bukan enggan memberi pelajaran kepada adik Giok, cuma kurasa disini terlalu banyak mata-mata, kalau orang melihat gerak gerikku, mereka bisa salah sangka...""

Hu-yong siancu segera memahami maksud putrinya, sambil tertawa ujarnya lagi.

"Tentu saja pelajaran tak boleh diberikan disiang hari, sebab dengan begitu akan menarik perhatian orang banyak, tempat persembunyian kita di tempat inipun akan segera tersebar luas pula dalam dunia persi-latan, apalagi dengan kaburnya adik Giok mu, pihak Wi-lim-poo pasti tak akan mele-paskan pengejarannya. apalagi si manusia buas bertelinga tunggal Oh Tin san bertekad akan mendapatkan kotak kecil itu..."

Tergerak hati Lan See giok setelah mendengar perkataan itu, tanyanya tanpa terasa:

"Bibi, mereka bilang kotak kecil itu berisi-kan kitab pusaka Tay lo hud bun tiap yap cinkeng, benarkah itu?"

Bibi Wan tidak langsung menjawab, tiba- tiba saja dia memasang telinga dan mende-ngarkan dulu keadaan di sekeliling tempat tersebut . . .

Suasana di luar halaman amat hening, se-lain angin malam yang berhembus lewat menggoyangkan dedaunan serta ranting dan suara ombak telaga yang memecah di tepian tanggul, tak kedengaran suara yang lain.

Dengan wajah serius diapun manggut-manggut, sahutnya dengan suara lirih:

"Betul, kitab pusaka tersebut benar-benar merupakan mestika dunia persilatan yang diidam idamkan setiap umat persilatan, tapi sedikit sekali yang tahu dimanakah ilmu sakti tersebut tercatat, oleh sebab itu mereka yang tidak mengetahui rahasianya, mendapat kan benda tersebut sama artinya dengan memperoleh benda rongsokan!"

Lan See giok sendiripun sangat berharap bisa mempelajari kepandaian sakti yang ter-cantum dalam kitab pusaka itu, tanpa terasa tanyanya dengan gelisah.

--"Apakah bibi mengetahui bagaimana cara nya membaca kitab pusaka tersebut?"

Hu-yong siancu menghela napas sedih:

"Aai, seperti juga ayahmu, bibi bukan orang yang berjodoh dengan Buddha, tak mampu kupahami arti dari pelajaran tber-se-but"

Betjapa kecewanya Lgan See giok setbelah mengetahui hal ini, bukankah kejadian tersebut sama artinya dengan ayahnya telah mengorbankan selembar jiwanya demi suatu benda "rongsokan"? Apakah hal ini tidak kelewat tidak berharga?

Sementara dia masih termenung, ter-dengar bibi Wan kembali berkata:

"Bibi pernah menasehati ayahmu, kalau toh tak dipahami rahasia dari kitab pusaka tersebut, lebih baik segera dikirim kembali saja......"

Tergerak hati Lan See giok setelah mendengar perkataan itu. buru-buru ia ber-tanya:

"Bibi, darimanakah ayah peroleh kotak kecil itu?"

Sorot mata bibi Wan menjadi redup, seakan akan terbayang kembali kisah dimasa silam, lama kemudian dia baru berkata:

"Bibi hanya tahu, ayahmu telah berjumpa dengan kekasihnya yang telah menikah di bawah puncak Giok-li-hong di bukit Hoa san dan secara kebetulan juga mendapatkan ko-tak kecil itu, sedang keadaan yang sebenar-nya tidak bibi ketahui."

Lan See giok hanya ingin cepat-cepat men-getahui kisah ayahnya sampai mendapatkan kotak kecil itu, karenanya ia tidak ter-lalu memperhatikan perubahan wajah bibi-nya.

Saat ini satu ingatan tiba-tiba melintas di dalam benaknya, dengan nada memohon segera ujarnya:

"Bibi, bersediakah kau mengeluarkan ko-tak kecil itu agar giok ji periksa? Sekarang hari sudah malam, siapa tahu dengan tenaga pikiran giok ji, bibi dan enci Cian kita akan berhasil memahami rahasia kitab pusaka tersebut?"

"Baiklah," sahut Hu-yong siancu tanpa ragu-ragu, "malam ini, mari kita lihat sampai di manakah rejekimu?"

Ia beranjak menuju ke jendela belakang dan mengintip sekejap keadaan di sekitar sana dengan cekatan, kemudian tubuhnya melompat ke luar dan sekejap kemudian su-dah lenyap dari pandangan.

Ketika Lan See giok turut menengok ke de-pan, rembulan nampak bersinar cerah, daun dan ranting bergoyang lembut, sedang bin-tang berkedip kedip memancarkan cahaya nya, tengah malam sudah lewrat.

Bayangan mzanusia kembali wberkelebat le-wrat, bibi Wan dengan jurus walet lincah menerobos tirai sudah melayang masuk kembali ke ruangan, gerakan tubuhnya ri-ngan dan sama sekali tidak menimbulkan suara.

Lan See giok menutup jendela dengan ce-pat kemudian berpaling, ternyata di tangan bibi Wan telah bertambah dengan sebuah kotak kecil berwarna kuning yang empat inci lebarnya.

Berhubung Lan See giok sudah tahu kalau isi kotak tersebut berisikan sejilid kitab pusaka, maka dalam hati kecilnya timbul perasaan hormat.

Biarpun bibi Wan nya terhitung seorang pendekar wanita yang namanya menggetar kan dunia persilatan, setelah memegang ko-tak kecil berisi kitab pusaka itu, toh terpe-ngaruh juga oleh emosi, wajahnya ber-ubah menjadi serius dan sepasang tangannya turut gemetar.

Dengan hormat sekali Lan See giok mene-rima kotak kecil itu kemudian setelah mele-paskan kain kuningnya, pelan-pelan ia mem-buka penutup kotak itu.

Di dalam kotak itu berisikan tiga buah daun emas yang panjangnya beberapa inci, sinar gemerlapan segera memancar ke mana-mana.

Lama sekali Lan See giok memperhatikan benda tersebut namun gagal untuk menemu-kan sesuatu yang mencurigakan, apalagi ke tiga lembar daun emas itu tidak beraksara tidak pula bergambar, polos dan halus sekali.--

Hu-yong siancu serta Ciu Siau cian berdiri membungkam di belakang Lan See giok, mereka pun berusaha memusatkan segenap perhatiannya untuk turut memeriksa ke tiga lembar daun emas tadi, namun apa yang ditemukan tak lebih cuma daun emas biasa.

Untuk beberapa saat lamanya, suasana di sekeliling tempat itu dicekam dalam keheni-ngan yang luar biasa. sedemikian hening nya sampai masing-masing dapat mendengar de-tak jantung lawannya...

Mendadak....



Dari arah tepi telaga sana, lamat-lamat kedengaran suara yang amat lirih.

Pertama tama Hu-yong siancu yang me-rasakan lebih dulu, dengan cepat dia menge-baskan tangannya untuk memadamkan len-tera, seketika itu juga suasana dalam ru-angan dicekam kegelapan.

Lan See giok sangat terkejut, cepat-cepat dia menutup kembali kotak tersebut dan menyerahkannya kembali kepada bibi Wan.

Sedangkan Ciu Siau cian memasang telinga baik-baik sembari mengerdipkan ma-tanya, lalu dengan nada kaget ia berbisik:

"Ibu, seperti ada perahu yang merapat di tepi telaga!"

Dengan langkah terburu buru dia me-nuju ke luar, membuka pintu rumahnya sedikit lalu mengintip ke luar segulung angin dingin berhembus masuk, udara terasa sedikit di-ngin.

Lan See giok menyusul di belakang Ciu Siau cian, mereka bersama sama berdiri di belakang pintu.

Ketika Ciu Siau cian mengetahui adik Gioknya menyusul, dengan cepat ia mem-beri tanda, lalu menarik tangan pemuda itu dan diajaknya menuju ke pintu pekarangan.

Ketika Lan See giok merasa tangannya di-genggam oleh tangan enci Cian nya yang ha-lus dan lembut seakan akan tak bertulang, segulung hawa panas yang segar dengan ce-pat menyusup ke dalam lubuk hatinya.

Mengikuti di belakang gadis tersebut sekarang, dia seperti sudah melupakan segala ketegangan yang dirasakan hanya se-macam perasaan aneh yang tak terlukiskan dengan kata-kata, dan perasaan ini dapat membikin jantungnya berdebar keras dan wajahnya bersemu merah, tubuhnya, seolah-olah melayang di atas awan.

Tanpa terasa ia bersama Ciu Siau cian te-lah berjongkok di bawah pagar pekarangan, bau harum semerbak yang berhembus lewat membuat hatinya berdebar semakin keras.

Diantara bau harum itu, terselip pula bau harum khas dari enci Ciannya, dan bau tadi membuat ia merasa gembira dan sangat nyaman.

Sudah lama dia mimpikan menggenggam tangan enci Ciannya yang lembut, dan kini harapannya telah menjadi kenyataan, tanpab disadari ia mejnggenggam tangagn Ciu Siau cianb semakin kencang.

Ciu Siau cian tidak menolak sebab ia se-dang memusatkan semua perhatiannya un-tuk mengintip melalui celah-celah pagar pekarangan, sebaliknya Lan See giok malah termangu - mangu oleh kecantikan wajah kekasih hatinya ini.

Dalam keadaan begini, dia tidak ber-hasrat untuk memikirkan hal lain lagi, dia cuma berharap bisa bersama dengan enci Ciannya untuk selama lamanya . . .

Mendadak Ciu Siau cian menyikutnya pe-lan, Lan See giok segera tersadar kembali dan mengalihkan pandangannya ke arah telaga.

Dari bawah tanggul telaga tampak ada tiga sosok bayangan manusia sedang ber-gerak mendekat, di bawah cahaya rembulan mereka hanya sempat melihat potongan badannya saja.

Mendingan kalau Lan See giok tidak meli-hat. begitu diintip dia menjadi kagetnya setengah mati, bahkan hampir saja men-jerit tertahan, rupanya ke tiga sosok manusia yang baru saja melompat turun dari tanggul telaga itu adalah si manusia buas bertelinga tunggal Oh Tin san, Say nyoo-hui Ki-Ci-hoa serta Oh Li cu yang cantik tapi genit itu.

Tanpa terasa dia lantas menggenggam ta-ngan Ciu Siau cian kencang-kencang.

Ciu Siau cian segera merasakan akan hal itu, dengan cepat dia berbisik.

"Siapakah mereka? Apakah perempuan yang bernama Oh Li cu?"

Suara yang halus, udara yang hangat dan harum, sungguh merupakan suatu rangsa-ngan yang luar biasa, hanya sayang Lan See giok yang tegang sehingga dia sama sekali tidak merasakan akan hal tersebut.

Lan See giok mengangguk dengan gelisah sahutnya dengan nada gelisah.

"Bukan hanya 0h Li cu seorang, kedua orang lainnya adalah orang tua mereka, Oh Tin san serta Say nyoo-hui."

Sewaktu Ciu Siau cian mendengar perka-taan itu dia seperti agak terkejut pula, cepat-cepat dia mengangguk dan kemudian meng-alihkan kembali sorot matanya ke arah tepi telaga.

Dalam pada itu Oh Tin San dan Say nyoo-hui sedang memberi gerakan tangan kepada Oh Li cu, agaknya dia sedang menanyakan bkejadian yang djialaminya hari gini kalau di tibnjau dari wajah Oh Tin san tampaknya dia amat gusar.

Tiba-tiba Oh Li cu menuding ke muka, mengikuti tudingan itu, Oh Tin san dan Say nyoo-hui segera mengalihkan sorot mata mereka yang tajam bagaikan sembilu ke arah depan.

Menyaksikan sorot mata mereka, Lan See giok merasakan tubuhnya gemetar keras, tak tahan dia berpaling ke arah pintu rumah mohon bantuan.

Baru berpaling, dia telah menyaksikan bibi Wan berdiri di belakang pintu pagar dengan wajah tenang, agaknya dia pun sedang me-ngawasi gerak gerik Oh Tin san bertiga.

Betapa leganya Lan See giok setelah meli-hat bibinya munculkan diri, meski demikian rasa tegang toh belum mereda, tanpa terasa bisiknya lirih:

"Bibi, Oh Tin san...."

"Ssst--!" Hu-yong siancu menempelkan jari tangannya ke atas ujung bibir me-lakukan gerakan melarang berbicara, setelah itu dia menuding ke tepi telaga.

Lan See-giok memahami maksudnya dan berpaling kembali, ternyata Oh Tin san berti-ga sedang berbisik bisik seperti merunding-kan sesuatu, ke enam mata mereka yang ta-jam dialihkan kemari tiada hentinya.

Mendadak . . .

Ke tiga orang itu bersama sama memberi tanda, kemudian berjalan mendekati ba-ngunan rumah mereka.

Peluh dingin dengan cepat bercucuran membasahi tubuh Lan See-giok, cepat dia berpaling, bibi Wan nya memberi tanda kepadanya agar kabur secepatnya, maka dia menarik tangan Ciu Siau cian dan bersama sama kembali ke dalam kamar.

Hu-yong siancu mengikuti di belakang mereka dengan sikap yang tenang, pintu rumah sekalian ditutup rapat, lalu memberi tanda kepada Lan See giok agar bersembunyi di ruang dalam, diperingatkan sebelum di-panggil agar jangan munculkan diri.

Lan See giok mengangguk dengan gugup kemudian berjalan masuk ke dalam kamar tidur bibinya, disaat dia hendak melangkah ke dalam kamar dilihatnya enci Cian sedang dibisiki sesuatu oleh ibrunya.

Dalam suzasana begini, dwia tidak berhasrrat lagi untuk mendengarkan apa yang dibicara-kan bibi Wan nya, dengan gugup dia me-nyandarkan diri dekat jendela depan, lalu membuat sebuah lubang kecil pada kertas jendela tadi.

Dari situ kembali dia mengintip ke muka, kali ini Oh Tin san suami istri serta Oh Li cu telah berdiri di luar pagar sambil menengok ke dalam rumah, waktu itu mereka sedang berbisik bisik sambil menuding ke sana ke mari.

Sorot mata sesat kelihatan mencorong ke luar dari balik mata Oh Tin San, dengan wa-jah penuh amarah dia mengawasi Oh Li cu, sementara tangannya yang kurus kering menuding kesana ke mari seperti lagi me-na-nyakan sesuatu.

Rambut Oh Li cu sangat kusut, keningnya berkerut dan bibirnya cemberut, sementara sepasang matanya telah merah membengkak karena kebanyakan menangis.

Saat ini dia mengenakan pakaian ringkas berwarna merah, sebilah pedang tersoren di punggungnya.

Say nyoo-hui Ki-Ci-hoa berkerut kening juga, sekalipun dia sayang anak tapi berhu-bung masalahnya menyangkut suatu urusan besar, maka dia seakan-akan tak sanggup lagi untuk membendung amarah 0h Tin San terhadap putrinya.

Sementara itu, Oh Li cu telah mengangguk dengan pasti, dia menuding ke arah pepo-honan ditengah halaman.

Tanpa banyak membuang waktu, Oh Tin san segera melejit ke udara dan melayang turun ke dalam halaman, sedangkan Say nyoo-hui serta Oh Li cu mengikuti di bela-kangnya.

Baru saja mereka bertiga menginjakkan kakinya ke atas tanah.

"Kraak. . .!"

Tahu-tahu pintu depan terbuka lebar.

Hu-yong siancu dengan wajah yang anggun dan tenang telah berdiri angker di depan pintu.

Kemunculan tuan rumah yang amat tiba-tiba ini sangat mengejutkan Oh Tin San suami istri, agaknya kejadian tersebut sama sekali di luar dugaan, tapi hanya sebentar saja paras muka mereka segera pulih kembali seperti sedia kala dan menunjukkan sikap angkuh.



Hu-yong siancu tidak menunjukkan sikap apapun, malah dengan senyum dikulum dia melangkah ke luar dari dalam ruangan.

Paras muka Oh Tin san suami istri berubah hebat, setelah berseru tertahan mereka mundur setengah langkah, tapi dalam waktu singkat mereka berhasil me-nguasai kembali keadaan, senyum dingin segera menghiasi lagi ujung bibir mereka.

Setelah berdiri tegak, sambil tertawa ham-bar Hu-yong siancu berkata:

"Selama ini kalian menjagoi dunia per-si-la-tan dengan bercokol di benteng Wi-lim-poo, nama besarnya sudah termasyhur sampai di seantero dunia. kami ibu dan anak ber-un-tung sekali bisa hidup bertetangga dengan kalian dengan mendirikan gubuk reyot di tepi telaga" Kemudian setelah memandang seke-jap kearah Oh Li cu, dia melanjutkan.

"Kini, malam sudah larut, entah ada perso-alan apa kalian suami istri bersama putri kalian berkunjung ke mari? Gubuk kami reyot. bila tidak keberatan silahkan masuk ke ruangan untuk minum teh dulu. ."

Merah padam selembar wajah Oh Tin san dia mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak bahak, sahutnya sambil tertawa nyaring:

"Hu-yong siancu adalah seorang pendekar wanita yang namanya sudah menggemparkan lima telaga dan sekarang hidup menyendiri di tepi telaga untuk mencari kehidupan yang aman damai, kami suami istri berdua tak le-bih hanya manusia kasar. bila lihiap tidak berbohong, tentunya sudah kau ketahui bu-kan apa maksud kunjungan kami pada ma-lam ini"

Hu-yong siancu berkerut kening, kemudian gelengkan kepalanya dengan tidak me-ngerti, ujarnya hambar.

"Entah apa maksudmu?"

Paras muka Oh Tin san berubah, setelah tertawa dingin katanya dengan suara dalam.

"Bila kau mengaku tak tahu, tak ada salahnya aku berbicara secara blak- blakan. malam ini sengaja kami datang untuk me-ngambil kembali kitab pusaka Tay lo tiap yap cinkeng, sebagai manusia yang berpengala-man, tentunya kau tahu bukan sepasang tangan susah melawan empat tangan, biar-pun kami bertiga sadar bukan tandingan lihiap, tapi untuk mem-bela diri, terpaksa kami akan mengerubutib lihiap"

Dengajn wajah berlagagk kaget bercampbur keheranan Hu-yong siancu segera berseru.

"Kotak kuning itu diserahkan oleh Gurdi emas peluru perak Lan tayhiap kepadaku agar disampaikan kepada seorang cianpwe, aku seperti tak pernah mendengar harus menyerahkannya kepada mu"

Berubah paras muka Oh Tin san setelah mendengar ucapan itu, tak sampai Hu-yong siancu menyelesaikan kata katanya, ia sudah bertanya dengan wajah kaget.

"Siapakah ciancu itu?"

Hu-yong siancu menggelengkan kepala nya berulang kali:

"Di dalam suratnya Lan tayhiap tidak menjelaskan siapakah manusia tersebut, hanya diterangkan ia memakai jubah kuning, berambut perak dan berjenggot panjang, se-lain itu dia pun mempunyai sebuah ciri yang sangat khas . .""

Setelah berhenti sejenak dia memandang sekejap ke arah Oh Tin san yang wajahnya mulai memucat serta Say nyoo-hui yang berkerut kering, setelah itu melanjutkan:

"Adapun ciri khas dari manusia berjubah kuning itu adalah pada keningnya terdapat sebuah tahi lalat yang berwarna merah!"

Sekujur badan Oh Tin san gemetar keras, peluh dingin jatuh bercucuran dengan amat deras, tapi toh bertanya juga dengan nada tidak mengerti.

"Lan Khong-tay memerintahkan kepada-mu harus menyerahkan kotak kecil itu ke-pada si manusia aneh tersebut pada saat kapan?"

"Tengah hari tadi!" jawab Hu-yong siancu tanpa ragu.

Oh Tin san suami istri serta Oh Li cu ber-tiga merasakan hatinya bergetar keras, tanpa terasa mereka saling berpandangan sekejap, sebab mereka serentak teringat kembali de-ngan Lan See giok yang hilang lenyap.

Say nyoo-hui memutar biji matanya, ke-mudian menimbrung.

"Di tempat mana?"

Hu-yong siancu menggerakkan alis mata nya, lalu sambil menuding ke belakang rumah sahutnya,

"Di atas bukit sana. . . ."

Ketika mendengar perkataan terbsebut, Say nyooj-hui mendongakkgan kepalanya dabn ter-tawa seram, suaranya tinggi melengking per-sis seperti suara kucing kawin.

Selain Hu-yong siancu sendiri yang di bikin tak mengerti oleh suara tertawa lengking itu, sekalipun Oh Tin san serta On Li cu sendiri-pun dibuat keheranan.

Selesai tertawa, Say nyoo-hui kembali ber-kata dengan suara dingin:

"Kau siluman rase cilik yang tak tahu diri, kendatipun kau cerdas dan lihay, toh tampak juga kecerobohan mu itu, aku tidak percaya dengan segala obrolanmu tersebut".

"Kemudian dengan mata melotot dan ter-tawa seram, ia menghardik:

"Siapa yang berada di dalam ruangan?"

Sambil membentak dia menuding kearah pintu kamar.

Agaknya Hu-yong siancu tidak menyangka kalau Say nyoo-hui bakal berubah sikap sedemikian cepatnya, meski begitu dia tetap bersikap tenang, ditatapnya wajah Say nyoo-hui yang sedang menyeringai itu lembut, ke-mudian jawabnya dingin:

"Dia adalah putriku Siau cian!"

Say nyoo-hui melototkan matanya, makin besar, mencorong sinar tajam dari balik ma-tanya, kemudian setelah tertawa seram dia berkata:

"Aku tidak percaya."

"Jika tidak percaya lantas kau mau apa!" Hu-yong siancu segera menarik mukanya dengan gusar.

"Lonio akan menggeledah!"

Sembari berkata, tiba-tiba sepasang ta-ngannya berputar dan sepasang goloknya sudah diloloskan dari sarung.

Sementara itu keberanian Oh Tin san pun nampaknya semakin menjadi, tenaga dalam-nya dihimpun ke dalam telapak tangan, lalu dia bersiap siap untuk menerkam ke muka.

"Criing!" cahaya tajam berkilauan, Oh Li cu telah meloloskan pula pedangnya.

Berubah hebat paras muka Lan See giok yang mengintip dari balik jendela, dia benar-benar tak menduga kalau situasi di dalam halaman akan mengalami perubahan sedemikian cepatnya.

Karena kaget dan cemas, dan gugup anak muda itu melompat turun dari pembaringan lalu melompat ke jendela belakang dan mem-bukanya dengan cepat.

Tapi...seperti rdisambar gunturz disiang hari bwolong, Lan See rgiok tertegun lalu melongo, sekalipun dia ternganga karena kagetnya, untung tiada suara yang terpancar ke luar.

Si kakek berjubah kuning yang berwarna halus dan lembut itu tahu-tahu sudah mun-cul di luar jendela dengan senyuman diku-lum.

Memandang si kakek berjubah kuning yang berdiri di luar jendela itu, Lan See giok termangu mangu, kepalanya terasa pusing tujuh keliling, hampir saja ia roboh tak sa-darkan diri karena terkejutnya.

Mimpi pun ia tak pernah mengira bakal menjumpai kakek berjubah kuning itu di rumah bibi Wan nya.

Sementara dia masih termangu, tampak bayangan manusia berkelebat lewat, kakek berjubah kuning itu sudah melompat masuk ke dalam ruangan dengan enteng tanpa menimbulkan sedikit suarapun,

Diam-diam Lan See giok amat terkejut, kendatipun dia sudah tahu kalau si kakek berjubah kuning itu memiliki kepandaian si-lat yang sangat lihay, tapi ilmu meringankan tubuh yang demikian sempurnanya ini pada hakekatnya belum pernah di dengar atau dilihat olehnya.

Sementara ia masih termenung, kakek berjubah kuning itu telah menepuk nepuk bahunya dengan lembut wajahnya sangat ramah penuh senyuman, sesudah memberi tanda agar jangan berisik, dia berjalan menuju ke pintu gerbang.

Dalam pada itu suara bentakan gusar dari Hu-yong siancu telah berkumandang lagi dari tengah halaman.

"Oh Tin-san, kuanjurkan segera kau ajak istri dan putri mu untuk pergi meninggalkan tempat ini, jangan mencari penyakit di tem-pat ini, jangan lagi Lan See giok telah diajak tokoh silat itu belajar silat di pegunungan terpencil, sekalipun ia berada dalam rumah, bayangkan saja, apakah kalian sanggup me-lewati diriku sebelum dapat me-masuki ru-angan ini?"



Oh Tin san termasuk manusia licik yang banyak curiga. betul juga, kecurigaannya segera timbul setelah mendengar perkataan itu. terutama setelah mendengar kalau Lan See giok telah diterima tokoh silat itu se-bagai muridnya, dia merasa kepalanya seperti di-pukul dengan tongkat besar.

Dengan buas penuh kebencian Say nyoo-hui melotot sekejap kearah Hu-yong siancu, lalu setelah tertawa dingin katanya.

"Hmm, sekalipun kau sudah bercerita yang aneh-aneh, sayang sekali aku tidak percaya kalau dalam dunia ini terdapat kejadian yang begitu kebetulan, Hu-yong siancu memang termasyhur sebagai perempuan cantik, tapi sekalipun kepandaian silatmu lebih hebatpun jangan harap bisa me-nandingi kami bertiga . . . "

Tergetar juga perasaan Hu-yong siancu, ti-dak sampai Say nyoo-hui menyelesaikan kata katanya, dia telah menyela dengan dingin.

"Ki-Ci-hoa, kau tak usah bersilat lidah, kalau toh kau yakin gabungan tenaga kalian bertiga sanggup mengatasi diriku, silahkan dicoba, asal satu diantara kalian bertiga sanggup melewati diriku dan memasuki ru-angan, bukan saja aku Han Sin wan akan serahkan Lan See giok kepada kalian, kitab pusaka Tay loo hud bun-pwee yap cinkeng-pun akan kupersembahkan ke pada kalian bertiga!.

BAB 11

PARAS muka Oh Tin san suami istri sama-sama berubah, di hati kecil mereka merasa amat terkejut, sebab ucapan tersebut kelewat tekebur, dengan pamor Hu-yong siancu di dalam dunia persilatan, tentu saja ia bukan hanya gertak sambal belaka.

Oleh sebab itu tanpa sadar mereka berdua menghubungkan kejadian tersebut dengan kepandaian sakti yang tercantum-dalam ki-tab cinkeng, jangan-jangan Hu-yong siancu telah berhasil mempelajari berapa diantara nya? Kalau tidak, masa ia berani berbicara membual .?

Begitu terbayang kemungkinan besar kepandaian silat Hu-yong siancu telah me-ningkat lebih hebat. rasa iri dan marah kem-bali berkobar di dalam dada Say nyoo-hui, sambil menggertak gigi menahan dendam ia berseru kembali:

"Terus terang kuucapkan kedatabngan kami pada jmalam ini adalagh bertujuan untbuk merebut kitab Tay lo-pwee yap cinkeng, se-dang soal Lan See giok, bagi kami bukan menjadi masalah yang serius, bila kau bersedia serahkan pula kepada kami, tentu saja kami akan membawanya pula "

Baru saja perkataan itu sudah diucapkan dengan wajah berubah Oh Li cu telah me-nimbrung.

"Ibu, kau tak boleh berkata begini . ."

Api amarah dan rasa iri sedang membara di dalam dada Say nyoo-hui, begitu mende-ngar perkataan dari Oh Li cu amarah yang semula tak terlampiaskan kontan saja mele-tus dengan mata melotot besar, bentaknya penuh amarah.

"Tutup mulut, urusan jadi kacau gara--gara ulahmu, sekarang kau masih punya muka untuk banyak ngebacot lagi di sini? Bila Lan See giok benar-benar berada di sini, mungkin bapak ibumu sendiri juga tak akan kau akui!"

Baru selesai perkataan itu diutarakan, Oh Li cu sudah melejit ke tengah udara dan ka-bur menuju ke luar halaman . . .

Oh Tin san menjadi gugup, teriaknya tanpa terasa:

"Anak Cu, balik!"

Tapi suasana di luar halaman sangat he-ning, yang terdengar hanya ujung baju ter-hembus angin yang makin menjauh.

Oh Tin san memandang sekejap ke arah Say nyoo-hui yang tampaknya mulai menye-sal dengan pandangan gelisah, seolah-olah dia sedang bertanya: Bagaimana sekarang?

Tergerak hati Hu-yong siancu, dia merasa kesempatan baik ini tak boleh disia-siakan dengan begitu saja, segera ujarnya dengan suara hambar:

"Kepergian putri kalian dalam gusar, bisa jadi akan mengambil jalan pendek, lebih baik kalian berdua cepat-cepat menyusul putri kesayangan kalian saja. sedang masalah ki-tab pusaka Tay lo hud bun pwee tiap cinkeng telah kuserahkan kepada kakek berjubah kuning, bila kalian masih saja bersikeras akan menggeledah rumah, terpaksa aku akan mencoba pula ilmu baru yang baru kupelajari dari kitab Hud bun cinkeng tersebut."

Dalam keadaan demikian ini, posisi Oh Tin san serta Say nyoo-hui benar-benar serba salah, mereka berdua segera saling bebrpan-dangan sekjejap, agaknya mgereka sudah berbtekad hendak menyerbu ke dalam ru-angan.

Tapi sewaktu mereka berdua mendongak-kan kembali kepalanya, wajah mereka ber-ubah hebat, sambil menjerit kaget mereka mundur tiga langkah sorot matanya penuh rasa kaget dan ngeri, selangkah demi selang-kah mereka mundur terus ke belakang..

Hu-yong Siancu yang menyaksikan peristiwa ini tentu saja menjadi tertegun, keningnya berkerut sedang hati kecilnya ke-heranan, tapi kemudian dia seperti mema-hami sesuatu, dengan cepat dia berpaling pula ke ruangan.

Tapi, pintu rumah masih terbuka lebar, keadaan di situ tiada perubahan, tanpa terasa dia melirik pula ke depan jendela pu-trinya, di jumpai putri kesayangannya masih ber-sembunyi pula di situ.

Maka dia berpaling lagi, ternyata Oh Tin san suami istri sudah melarikan diri ter-birit birit.

Sadarlah Hu-yong siancu, pasti ada se-suatu yang tak beres, dia berlari masuk ke rumah, Ciu Siau cian telah menyongsong pula dari kamarnya, serunya kemudian de-ngan gembira.

"Ibu, Cian ji kagum sekali kepadamu, coba lihat, mereka telah dibikin kabur oleh perka-taanmu."

Hu-yong siancu datang amat gelisah, dia tak berniat menjawab perkataan dari putri-nya, ketika tidak dijumpai Lan See giok turut ke luar, buru-buru ia menegur:

"Mana adik Giokmu?"

Sambil bertanya cepat-cepat dia masuk ke kamar sendiri, tapi jendela sudah terbuka Lan See giok juga lenyap tak berbekas.

"Celaka.." pekik Hu-yong siancu panik, ia melompat ke luar jendela dan naik ke atap rumah.

Suasana amat hening, hanya rembulan bersinar di langit barat, tak sesosok baya-ngan manusia pun yang nampak.

Dari gerak gerik ibunya yang gugup, Ciu Siau cian tahu kalau gelagat tidak beres, ce-pat-cepat dia menyusul ke luar jendela, baru saja akan menyusup ke atas atap rumah, Hu-yong siancu telah melayang turun

Cepat-cepat Ciu Siau cian menyusulnya sambil bertanya:

"Ibu, apa yang telah terjadi? Mana adik Giok?"

Dengan wajah pucat pias Hu-yong siancu menuding ke jendela bagian belakang kemu-dian mereka berdua brersama - sama kzembali ke dalamw ruangan.

Ciu rSiau cian menutup daun jendelanya rapat-rapat, ia saksikan ibunya sedang mengeluarkan sebuah kotak kecil berkain kuning dari bawah pembaringan.

Agak lega perasaan Hu-yong siancu setelah melihat kotak itu masih tetap utuh, ketika penutupnya dibuka tampak daun emas tersebut masih tetap seperti sedia kala. rasa cemas yang semula mencekam perasaannya kini men-jadi lega kembali.

Kendatipun demikian, kedua orang terse-but tetap merasa tak habis mengerti, kenapa Lan See giok bisa lenyap dari situ?

Sementara itu, Lan See giok telah dibawa si kakek berjubah kuning itu berlarian di tengah tanah pegunungan, gerakan tubuh kakek itu cepat, sekali bagaikan sambaran kilat, mereka langsung menuju ke sebuah puncak bukit.

Lan See giok yang berlarian mengikuti kakek, tersebut dapat merasakan angin ta-jam menderu deru di sisi telinganya, dia merasa kakinya seolah-olah tidak menginjak tanah. melainkan melayang diantara awan.

Berhubung kemunculan kakek berjubah kuning itu berhasil membuat Oh Tin san 1ari ketakutan, ditambah pula dia tidak menun-tut kotak kecil itu, perasaan gelisah dan ce-mas yang semula menyelimuti perasaan Lan See giok, kini sudah mereda kembali

Ia pernah berpikir, jangan - jangan hal tersebut hanya merupakan sebuah taktik merebut hati dari kakek berjubah kuning tersebut, tapi setelah berpikir lebih jauh, dia merasa pemikiran tersebut tidak benar, de-ngan kepandaian sakti yang di miliki kakek berjubah kuning itu, bila dia ingin melarikan kocak kecil tersebut, hal tersebut seharusnya bisa dia lakukan se-mudah merogoh barang dalam saku sendiri.

Apalagi masalah ke lima manusia cacad serta siapa gerangan pembunuh sebenarnya. yang telah menghabisi nyawa ayahnya perlu diketahui dan di tanyakan pula dari kakek berjubah kuning ini----

Sementara dia masih termenung, tubuhnya terasa sudah melambung ke atas puncak te-bing itu.

Ketika kakek berjubah kuning itu menge-baskan ujung bajunya, tubuh merekapun berhenti bergerak.

Lan See giok segera berpaling, ia saksikan kakek berjubah kuning itu dengan senyuman ramah dikulum dan sorot mata yang berkilat kilat sedang memandang ke arahnya penuh belas kasih, dia hanya tersenyum tanpa me-ngucapkan sepatah katapun.

Sikap yang begitu belas kasih dan ramah ini dengan cepat menggetarkan perasaan pe-muda kita, apalagi bila terbayang sikap hor-mat dari si naga sakti pembalik sungai terha-dap orang itu.

Tanpa terasa diapun menjura seraya ber-kata dengan hormat:

(Bersambung ke Bagian 14)

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar