Ketika ia berpaling kembali,
tampak olehnya 0h Tin san sedang berjalan ke luar dari pintu pagoda dan
membungkukkan badannya memberi hormat seraya berkata:
"Boanpwe Oh Tin san
menghantar kebe-rangkatan locianpwe. . ."
Lan See giok segera memandang
sekejap sekeliling tempat itu, namun dengan cepat hatinya merasa terperanjat,
sebab selain jembatan kecil tersebut tiada jalan lain yang menghubungkan pagoda
air itu dengan da-ratan, namun kenyataannya kakek ber-jubah kuning tersebut
telah hilang lenyap dengan begitu saja dalam waktu singkat.
Tampak Oh Tin san
membungkukkan badannya beberapa saat. . kemudian baru menegakkan kembali
tubuhnya.
Lan See giok takut jejaknya
ketahuan, de-ngan cepat dia menyelinap ke balik tempat kegelapan untuk menyembunyikan
diri, ke-mudian dengan menelusuri jembatan batu dia balik kembali ke rumah
kediaman Oh Li cu.
Dengan sekuat tenaga pemuda
ini ber-usa-ha mengendalikan gejolak perasaannya, ke-mudian dengan langkah
sesantai mungkin maju ke depan, kini dia mulai merasa agak curiga, mengapa
tidak nampak jejak pen-jaga di sekeliling tempat itu.
Baru tiba di pintu gedung,
kebetulan Oh Li cu sedang lari ke luar dengan wajah gugup dan terburu napsu.
Lan See giok sangat terkejut,
cepat dia menyingkir ke samping memberi jalan lewat buat Oh Li cu hampir saja
mereka berdua saling bertumbukan.
Dengan cepat Oh Li cu
menghentikan gerakan tubuhnya, kemudian dengan pe-rasaan gelisah tanyanya:
"Adik Giok. kau tidak
boleh meninggalkan tempat ini secara sembarangan, ber-bahaya sekali
bagimu!"
Lan See giok tertawa hambar:
"Aaah, aku tidak pergi
terlalu jauh, hanya jalan-jalan mencari angin saja di sekitar sini!"
Oh Li cu tidak berniat
menanyakan ke mana pemuda itu telah pergi, dengan penuh perhatian kembali
katanya.
"Kau telah semalam suntuk
tidak tidur, sekarang pasti lelah sekali, sekarang pergilah tidur dulu, besok
kau mesti belajar ilmu berenang-- !"
Sambil berkata dia lantas
menarik tangan pemuda itu dan mengajaknya masuk ke dalam rumah.
Lan See giok sama sekali tidak
menampik, dia membiarkan dirinya ditarik Oh Li cu ma-suk ke dalam, sementara
bau harum semer-bak yang aneh menerpa tiada hentinya di se-kitar tubuh pemuda
itu.
Mengendus bau harum mana,
tanpa terasa Lan Se giok berkerut kening, ia mendongak kan kepalanya kembali,
ternyata Oh Li cu telah berdandan kembali dengan rapi, sedang bau harum itu tak
lain berasal dari bau tubuhnya.
Setelah masuk ke dalam kamar,
suasana di sana terasa gelap, sedang Oh Li-cu pun segera menutup kembali pintu
kamar tersebut rapat-rapat.
Lan See--giok sungguh tidak
habis mengerti dengan keadaan ini, di pandangnya gadis itu penuh tanda tanya.
Oh Li-cu tertawa genit, sambil
menghampiri anak muda tersebut, katanya kemudian dengan lembut:
"Kamar tidur ini langsung
berhubungan dengan kamar tidur cici, maka sengaja kukunci pintu kamar
ini."
Biarpun dari ayahnya Lan
See-giok pernah mendapat pendidikan yang mengatakan bahwa muda mudi kaum
persilatan tak perlu kelewat memperhatikan adat istadat, namun ia merasa tidak
seharusnya adat istiadat dilanggar seperti ini, tanpa terasa timbul suatu kesan
muak dalam hati kecilnya, dia merasa sebagai gadis yang baik, tidak sepantasnya
kalau sikap Oh Li-cu kelewat jalang.
Belum sempat melihat jelas
keadaan di luar ruangan, ia telah diajak memasuki sebuah pintu kecil berbentuk
bulat.
Suasana di ruang dalam lebih
redup lagi, disitupun dipenuhi oleh bau harum yang hampir sama dengan bau harum
yang keluar dari tubuh Oh Li-cu.
Cuma saja perabot yang
dipersiapkan disini amat mewah dan indah, pembaringan gading dengan kelambu
serta seprei yang putih bersih, di samping pembaringan terdapat sebuah meja
kecil dengan sebuah lentera kecil berwarna merah.
Pokoknya seluruh perabot dalam
kamar itu terasa serasi dan penuh dengan suasana syahdu.
Menyaksikan keadaan ruangan
tersebut, tiba-tiba saja Lan See-giok merasakan timbulnya suatu perasaan yang
tak dapat dilukiskan dengan kata-kata...
"Adik Giok"
tiba-tiba Oh Li-cu berkata sambil tertawa, "puaskah kau dengan suasana
dalam kamar ini?"
"Ehmmm, bagus
sekali." Lan See-giok manggut-manggut dengan kening berkerut.
Sambil menuding ke arah sebuah
pintu bulat kecil di bagian dalam sana, kembali gadis itu berkata lembut.
"Di balik pintu sana
adalah kamar tidur cici, apakah kau ingin masuk untuk me-1ihatnya?"
Tanpa ragu Lan See giok segera
mengge-lengkan kepalanya berulang kali:
"Tidak usah, hari ini
sudah terlalu malam biar besok saja---"
Jawaban tersebut segera
menimbulkan setitik kekecewaan yang segera menghiasi wajah Oh Li cu, namun
dengan cepat dia te-lah memutar biji matanya dan berkata lagi sambil tertawa
riang:
"Adikku, kalau begitu
cepatlah tidur, kita berjumpa lagi besok pagi. . ."
Kemudian setelah mengerling
sekejap ke arah Lan See giok dengan penuh pancaran cinta, dia masuk ke dalam
kamar sendiri.
Sepeninggal Oh Li cu, Lan See
giok me-rasakan hatinya seperti dicekam beban yang sangat berat, entah mengapa
semenjak ia tahu kalau Oh Li cu adalah putri Oh Tin san, kesan baik yang semula
timbul dalam hati-nya segera berubah menjadi perasaan muak dan benci.
Setelah melepaskan pakaian
luarnya dia, menjatuhkan diri berbaring di atas ranjang, memandang
langit-langit ruangan pikirannya kembali terombang ambing tidak menentu,
kacaunya bukan buatan, dia tak tahu apa yang mesti dilakukannya sekarang.
Terutama sekali bayangan tubuh
Oh Li- cu yang terus menerus muncul di dalam benaknya, kesemuanya itu sungguh
mem-buat dia semakin tak dapat tidur.
Mendadak terdengar suara
gemerisik dari kamar sebelah, agaknya Oh Li cu sedang melepaskan busananya.
Menyusul kemudian, terendus
bau harum yang amat menggairahkan napsu memenuhi seluruh ruangan.
Menjumpai kesemuanya ini,
pikiran dan perasaan Lan See giok semakin tak dapat tenang lagi.
Namun akibatnya diapun semakin
ter-ba-yang kembali kehidupannya yang tenang se-lama tiga hari di rumah bibinya
tempo hari...
Bibi Wan adalah seorang
perempuan cantik yang anggun dan penuh kasih sayang, se-pintas lalu dia seperti
baru berusia dua pu-luh tujuh delapan tahunan, namun ia telah mempunyai seorang
putri yang telah me-nginjak usia enam belas tahun . . . Cui Siau cian namanya.
Teringat akan Cui Siau cian,
terbayang kembali wajah seorang gadis yang halus, lembut, penuh sopan santun
dan daya tarik...
Wajahnya yang cantik, alisnya
yang lembut dengan mata yang jeli, hidung yang mancung dengan dua belah bibir
yang kecil mungil, semuanya itu menciptakan suatu perpaduan yang menawan hati.
Tanpa terasa pikiran dan
perasaan Lan See giok terbuai kembali dalam lamunan, dia se-olah-olah merasakan
dirinya terbawa kembali dalam sebuah rumah berpagar bambu yang terpencil
letaknya . ..
Rumah itu hanya rumah bambu
yang se-derhana dengan tiga ruangan serta sebuah dapur kecil, ditengah halaman
penuh tum-buh aneka bunga yang berwarna warni, se-dang pagar rumah terdiri dari
susunan bambu yang diatur secara artistik sungguh menawan hati.
Dari ke tiga ruang bambu itu,
sebuah adalah kamar tidur enci Cian, sebuah adalah kamar tidur bibi Wan, sedang
tengah adalah ruang tamu.
Semua perabotannya sederhana
tapi bersih dan teratur sehingga mudah menimbulkan suasana nyaman bagi siapapun
yang meli-hatnya.
Tiga malam dia menginap di
sana, tidur di kamar enci Cian nya, sedang enci Cian tidur sekamar dengan bibi
Wan.
Kamar enci Cian amat bersih
dan teratur boleh dibilang tak setitik debupun yang me-nempel di situ,
sepreinya selalu menimbul-kan bau harum yang aneh, bau harum yang jelas bukan
berasal dari bau bedak.
Sebab bau itu sangat lembut,
bau yang khas dari tubuh enci Cian, seindah dan se-cantik wajahnya yang syahdu.
Cui Siau cian jarang sekali
bergurau de-ngannya, namun amat memperhatikan diri-nya, setiap malam dia pasti
akan pergi me-meriksa selimutnya, apakah sudah dipakai secara baik atau tidak.
Setiap kali dia memandang
wajah, enci Ciannya yang cantik, dalam hati kecilnya se-lalu timbul suatu
perasaan gembira dan nyaman yang tak terlukiskan dengan kata-kata.
Seringkali dia melamunkan
gadis itu, membayangkan potongan badannya yang ramping, langkahnya yang ringan
dan gerak gerik yang lembut . . .
Setiap kali dia sedang
mengawasi wajah enci Cian, tak pernah bibi Wan mengusiknya, dia seperti selalu
memberi kesempatan ke-padanya untuk menikmati sampai puas.
Setiap malam Cui Siau cian
datang me-meriksa selimutnya, diapun selalu merasa kan suatu keinginan yang
aneh serta suatu gejolak perasaan yang sukar dikendalikan, dia sangat ingin
bisa memegang tangan enci Ciannya yang lembut dan halus serta me-re-masnya.
Tapi setiap kali ia tak berani
berbuat demikian karena kelembutan dan ke-ang-gunan enci Cian menimbulkan suatu
kewi-bawaan yang membuat orang lain tak berani mengusiknya secara kasar.
Wajah Cui Siau cian selalu
dihiasi dengan senyuman yang manis, belum pernah gadis itu menunjukkan sikap
dingin atau ketus kepadanya.
Kadangkala, ketika Ciu Siau
ciban lewat di-hadjapannya, ia takg tahan ingin meb-manggil-nya, namun Cui Siau
cian selalu membalas panggilannya dengan senyuman yang manis, kerdipan mata
yang indah dan gerak gerik yang mempesona..
Kini, perasaan Lan See giok
sudah terbuai, terbawa ke sisi tubuh enci Cian nya, dia se-olah-olah merasa
lupa dimanakah ia berada sekarang. . .
Sementara dia masih melamun,
mendadak terdengar suara rintihan lirih berkumandang datang dari balik kelambu.
Lan See giok segera tersadar
kembali dari lamunannya dan kembali ke hadapan ke-nyataan.
la merasa mendongkol sekali dengan
suara rintihan dari Oh Li cu tadi, tanpa terasa di-tatapnya pintu kamar nona
itu dengan penuh kegemasan.
Dengan terbayangnya kembali
diri Cui Siau cian, tanpa terasa dia pun memperbandingkan gerak gerik maupun
cara berbicara kedua orang gadis tersebut.
Tapi dengan cepat dia telah
menemukan perbedaan yang besar dan menyolok diantara kedua orang itu.
Sekarang dia baru mengetahui
bahwa Oh Li-cu adalah seorang gadis jalang yang genit dan pandai merayu kaum
lelaki untuk terjatuh ke dalam pelukannya.
Dia memiliki tubuh yang
bahenol, memiliki payudara yang besar dan bundar, senyuman yang merangsang,
kerlingan mata yang memikat dan tubuh yang montok serta matang...
Mendadak...
Napsu birahinya terasa
bergelora di dalam tubuhnya, jantung terasa berdebar keras, suatu aliran hawa
panas yang aneh muncul dari perut bagian bawahnya dan menyebar ke seluruh badan
dengan cepat...
Sekali lagi dia mendengar
suara rintihan lirih berkumandang dari balik kamar Oh Li-cu.
Perasaan Lan See-giok semakin
tak karuan lagi, suatu keinginan yang aneh tiba-tiba saja menyelimuti
perasaannya.
Dengan perasaan terkejut dia
melompat bangun, belum pernah dia rasakan gejolak perasaan yang demikian aneh
seperti apa yang dialaminya hari ini.
Dia merasa sepasang pipinya
panas sekali, napasnya memburu dan hatinya berdebar semakin keras...
Ia mencoba untuk menbgawasi
keadaan jdi sekeliling tgempat itu, selabin cahaya lentera yang redup, semua
benda dalam ruangan hanya terlihat secara lamat-lamat, semuanya itu menambah
merangsangnya napsu di dalam tubuhnya.
Akhirnya sepasang mata Lan
See-giok berhenti di suatu tempat, mencorong sinar tajam dari balik matanya,
karena dia menyaksikan sebuah benda berbentuk burung bangau kecil terbuat dari
emas diletakkan di bawah lentera kecil tersebut.
Selapis asap putih yang lembut
dan sukar diketahui, menyembur keluar tiada hentinya dari ujung mulut burung
bangau emas tersebut...
Ia mencoba untuk mengendus
beberapa kali, dengan cepat disadari bahwa bau harum aneh yang selama ini
memenuhi ruangan tersebut tak lain berasal dari benda tersebut.
Dan justru bau asap dupa yang
harum inilah yang membuat hatinya gelisah, pikirannya kalut dan tak tenang...
Memandang burung bangau kecil
tersebut mendadak tergerak hati Lan See-giok, dia seperti menyadari akan sesuatu,
segera teringat olehnya akan semua pembicaraan antara Say Nyoo-hui dengan Oh
Li-cu.
Teringat akan kesemuanya itu,
tanpa terasa lagi si anak muda tertawa dingin tiada hentinya.
Rasa gusar yang kemudian
muncul dan menguasai seluruh perasaannya membuat gejolak perasaan aneh yang
semula sudah menguasai dirinya itu seketika menjadi tenang dan mereda kembali.
Cepat-cepat dia menjatuhkan
diri bersila dan mengatur napas, tak selang berapa saat kemudian pemuda itu
sudah berada dalam keadaan lupa diri.
Tak selang beberapa saat
kemudian, tiba-tiba pemuda itu mendengar suara gemerisik lirih bergema dari
depan pembaringannya.
Lan See-giok segera terjaga
kembali dari semedinya setelah mendengar suara tersebut, namun apa yang
kemudian terlihat hampir saja membuatnya menjerit keras saking kagetnya.
Oh Li-cu dengan pakaian sutera
tipis berwarna merah telah berdiri di depan pembaringannya, begitu tipis kain
sutera tersebut sehingga bukan cuma sepasang payudaranya yang montok, besar,
padat darn berisi itu kezlihatan jelas, wbahkan pinggangrnya yang kecil,
pinggulnya yang montok, kulit badannya yang putih serta bagian terahasia dari
seorang gadis terlihat semua dengan nyata, pada hakekatnya gadis itu seperti
lagi bugil saja di hadapannya.
Waktu itu, Oh Li-cu sedang
mengawasi wajah Lan See-giok dengan pandangan terkejut dan kening berkerut,
mukanya penuh diliputi perasaan bingung dan tidak habis mengerti.
Tampaknya gadis itu
benar-benar sudah dibuat tertegun saking kagetnya atas ketenangan serta daya
kemampuan pemuda tersebut untuk mengendalikan diri.
Ia masih ingat dengan
perkataan ibunya, setiap lelaki di dunia ini pasti akan men-jadi gila setelah
mengendus bau harumnya dupa lebah bermain di kuncup bunga tersebut, bahkan akan
menerkam setiap perempuan yang dijumpainya seperti seekor harimau kelaparan.
Sekembalinya ke dalam kamarnya
tadi, Oh Li cu benar-benar merasa tak sabar untuk menunggu lebih lama, yang
lebih membuatnya keheranan adalah apa sebabnya Lan See giok tidak menerkam
tubuhnya yang bugil itu seperti harimau kelaparan.
Jangan-jangan dia masih
berusia muda sehingga belum mengerti untuk merasakan sorga dunia tersebut?
Tapi ingatan lain segera
melintas di dalam benaknya, dia curiga benda yang diberikan ibunya Say nyoo-hui
kepadanya itu bukan barang asli, kalau tidak, seorang hwesio tua berusia
seratus tahun yang mengendus bau dupa tersebut pun akan terangsang napsu
birahinya, Lan See giok yang masih muda belia sama sekali tidak terpengaruh?
Tak mungkin daya tahannya
melebihi se-orang hwesio tua?
Sementara berpikir, dia sudah
tiba di de-pan pembaringan, ketika dilihatnya Lan See giok sedang mengawasinya
dengan mata ter-belalak, dia tertawa jalang, lalu tegur-nya:
"Adik Giok, mengapa kau
belum tidur?"
Sementara itu Lan See giok
sudah berhasil mengendalikan perasaannya, dia sudah sa-dar kalau Oh Li cu
memang sengaja menga-tur kesemuanya itu untuk menjebaknya, agar dia terangsang
oleh napsu birahi sehingga melakukan perbuatan yang amoral.
Bisa dibayangkan betapa gusar
dan men-dongkolnya anak muda tersebut diperlaku-kan demikian, tapi dia tak
berani mengumbar amarahnya, dia tahu keadaan seperti ini ha-rus dihadapi secara
luwes dan halus, sebab dia sudah terjerumus ke mulut harimau.
Pelan-pelan dia memejamkan
matanya dengan cepat dalam hatinya mengambil suatu keputusan, yang penting dia
harus bersikap wajar sehingga tidak sampai me-nimbulkan amarah Oh Li cu karena
malunya:
Maka sambil tersenyum ujarnya
kemudian:
"Aku sudah tertidur
sedari tadi . ."
Sewaktu berbicara, sikapnya
amat biasa dan seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu apapun, kendatipun dia
berusaha keras untuk meredakan detak jantungnya yang berdenyut keras.
Terutama sekali terhadap tubuh
bugil yang begitu merangsang dibalik kain sutera yang terpampang di depan
matanya.
Tertegun juga Oh Li-cu sesudah
menyaksikan kemampuan Lan See-giok untuk mengendalikan perasaan, napsu birahi
yang semula telah menguasai benaknya kini hilang lenyap tak berbekas, sambil
duduk termenung di sisi pembaringan sambil mengawasi wajah Lan See-giok, sampai
lama sekali dia taak mengucapkan sepatah katapun...
Lan See-giok juga membungkam
dalam seribu bahasa, karena dia mesti mengendalikan kobaran api birahinya,
apalagi Oh Li-cu yang duduk disisinya selalu menghembuskan bau harum semerbak
yang aneh dan mengilik-ilik hatinya.
Yang terutama adalah sepasang
payudaranya yang begitu montok, begitu besar dan putih di balik kain suteranya,
yang tampak bergetar merangsang, lelaki mana yang tidak tergiur menyaksikan
adegan seperti ini..?
Merah padam selembar wajah Lan
See-giok, ia merasa darah yang mengalir di dalam tubuhnya bergolak kencang,
perasaan anebh yang dirasakajn tadi kini mungcul kembali serbta menyebar ke
seluruh badan, dia tak tahu bagaimana mesti menghadapi situasi demikian.
Mencorong sinar terang dari balik
mata Oh Li-cu setelah menyaksikan keadaan ini, ia segera tertawa genit,
sementara tubuhnya bergeser semakin mendekati tubuh pemuda itu.
Dengan selembar bibirnya yang
merah membara seperti api dan nyaris menempel di atas bibir Lan See-giok, dia
berbisik lembut:
"Adikku, bagaimanakah
perasaanmu sekarang?"
Hampir meledak denyutan
jantung Lan See-giok, untung saja kesadaran otaknya masih tetap ada, dia
mengerti apa yang dibutuhkan olehnya sekarang.
Suatu kobaran api napsu birahi
kembali mengembang dalam tubuhnya, ia merasa begitu berharap dapat memeluk
tubuh Oh Li-cu serta mencomot payudaranya, tapi diapun ingin menghajar
perempuan jalang ini hingga mampus.
Namun dia tidak berbuat
apa-apa, kesadarannya belum lagi runtuh seluruhnya, ia masih sadar bahwa
dirinya berada di depan mulut harimau, dia harus berusaha menahan segala
siksaan dan penderitaan agar bisa membalaskan dendam bagi kematian ayahnya.
Terbayang kembali kematian
yang menimpa ayahnya, kobaran api birahi dalam dada Lan See-giok seketika menjadi
padam bagaikan tercebur ke gudang salju, sekujur tubuhnya gemetar keras
sementara sepasang matanya memancarkan sinar tajam yang menggidikkan hati..
"Sekarang aku merasa baik
sekali." jawabnya dengan suara hambar.
Oh Li-cu tertegun dan kaget
setengah mati, tapi dia dapat mengendalikan diri dengan cepat, sedikit malu
bercampur marah tanyanya:
"Dahulu, pernahkah kau
mengalami suatu peristiwa?"
"Peristiwa? Peristiwa
apa?" tanya Lan See-giok tidak habis mengerti.
"Misalkan saja pil dewa,
obat mustajab atau teratai salju, rumput lengci..."
"Ooh itu yang kau
maksudkan." kata Lan See-giok seperti menjadi paham kembali, ia tertawa
geli. "Yaa, empek tua pernah memberi pil penguat badan, pelenyap racun dan
penambah tenaga untukku, menurut si empek tua tersebut, dengan menelan sebutir
pil itu berarti tenaga dalamku bertambah sebesar puluhan tahubn hasil
latihanj."
Kata "pelengyap
racun" yangb diucapkan lebih nyaring itu kontan mengecewakan Oh Li-cu, ia
menjadi masgul sekali:
"Waaah... makanya kau
bisa memiliki daya tahan yang begitu ampuh..."
Belum habis dia berkata,
sekujur tubuhnya telah gemetar keras, wajahnya menjadi pucat pias dan tiba-tiba
ia teringat kalau ayahnya belum pernah memiliki obat semacam ini.
"Apakah pil yang kau
makan adalah pil hitam sebesar kelereng baunya amis dan memuakkan?"
buru-buru dia bertanya.
Berkerut kening Lan See-giok
menyaksikan kepanikan orang, ia manggut-manggut.
"Betul, menurut empek
tua, saban bulan mesti menelan sebutir, kalau tidak aku bisa muntah darah dan
mati."
Terbelalak lebar sepasang mata
Oh Li cu karena kaget, mulutnya melongo lebar dan diawasinya Lan See giok tanpa
berkedip, lama, lama kemudian ia baru berguman:
"Ke . . kenapa begitu? .
ke . . kenapa harus begitu . . ?"
Sembari berkata dia mengawasi
alis mata Lan See giok tanpa berkedip, sementara air matanya jatuh bercucuran
dengan deras.
Lan See giok semakin tak habis
mengerti, tanyanya kemudian:
"Enci Cu, adakah sesuatu
yang kurang beres?"
Bukan mereda keadaannya, Oh Li
cu malah menangis semakin keras lagi, sambil lari masuk ke dalam kamarnya dia
menangis dan menjerit-jerit.
"Aku tidak mau begitu,
aku tidak mau be-gitu..."
Menyusul kemudian dengan suara
penuh amarah dia berteriak:
"Siau ci! Siau lan! cepat
bantu aku me-ngenakan pakaian..."
Berikutnya kedengaran suara
orang yang berlarian mendekat dari luar ruangan dengan langkah gugup dan
terburu buru.
Lan See giok hanya bisa duduk
sambil melongo, pandangannya yang kosong me-ngawasi kamar Oh Li cu tanpa
berkedip, ia benar-benar dibuat bodoh, pada hakekatnya dia tidak habis mengerti
apa gerangan yang se-sungguhnya telah terjadi.
Hanya satu kesirmpulan yang
berzhasil diraihnyaw, yakni baik Ohr Li cu maupun Oh Tin san tempo hari,
buru-buru mengawasi alis matanya setelah mendengar dia menelan pil berwarna
hitam yang bau tersebut.
Selang beberapa saat kemudian,
hatinya bergetar keras, dengan perasaan terkejut dia berpikir:
"Jangan-jangan pil hitam
yang baunya amis itu adalah obat beracun atau sebangsa nya?"
Sekuat tenaga dia
mengendalikan hatinya yang gugup dan kalut, secara pelan-pelan semua kejadian
yang pernah dialaminya ber-sama Oh Tin san dianalisa kembali. . .
Tak lama kemudian ia pun
menjadi faham, sudah pasti pil hitam itu adalah sejenis obat beracun yang
lambat daya kerjanya.
Jelas Oh Tin san bermaksud
untuk me-ngendalikannya dengan obat beracun, agar dia tak berani
menghianatinya, selama hidup menjadi budak Oh Tin san menuruti perin-tahnya,
bahkan bisa jadi dia akan memper-gunakan keselamatan jiwanya untuk me-maksa dia
memberitahukan tempat tinggal bibi Wan nya.
Boleh jadi dia enggan
menyebutkan alamat dari bibi Wan nya, namun akibat dari per-buatannya itu,
dalam satu bulan kemudian ia tentu mati akibat keracunan, kecuali Oh Tin san,
waktu itu pasti tiada orang ke dua yang mengetahui jejak kotak kecil tersebut
lagi.
Betul masih ada orang ke tiga
yang me-ngetahui tentang jejak kotak kecil itu yakni si makhluk bertanduk
tunggal Si Yu gi, namun orang tersebut akhirnya tewas di sergap oleh Oh Tin
san.
Ada satu hal yang belum
dipahami juga oleh Lan See giok, yaitu bila pil hitam yang ditelan adalah obat
beracun, apa sebabnya tenaga dalam yang diperoleh malah men-da-pat kemajuan
yang sangat pesat?
Mendadak satu ingatan melintas
lewat, ia teringat kembali tatkala baru sadar dari se-medinya dulu, bukan bau
amis yang di endus melainkan bau harum semerbak yang meng-gairahkan tubuhnya.
Hal ini kembali menimbulkan
rasa heran di dalam hatinya.
Berdasarkan sikap Oh Tin san
yang segera memeriksa alis matanya begitu memandang terkejut ke arahnya setelah
mengetahui ke-majuan pesat yang diperolehnya di bidang tenaga dalam, tak bisa
disangkal lagi pil ber-warna hitam itu adalah sejenis obat racun yang mempunyai
sifat lamban daya kerjanya.
Tapi siapa pula yang telah
menyelamat-kan jiwanya...?
Pada saat itulah.....
Tiba-tiba berkumandang suara
tambur yang dibunyikan bertalu-talu dari tempat kejauhan sana.
Diam-diam Lan See giok merasa
terkejut ia segera teringat kembali akan perintah Oh Tin san untuk
mempersiapkan segenap perahu perang yang ada untuk berkumpul.
Buru-buru dia mengenakan
sepatu dan membuka pintu kamarnya, ternyata hari su-dah terang tanah.
Dua orang pelayan telah siap
menanti di luar pintu, tatkala melihat Lan See giok membuka pintu, serentak
mereka memper-siapkan air untuk cuci muka.
Di dalam keadaan cemas,
gelisah dan gusar tentu saja Lan See giok tidak berniat lagi untuk cuci muka,
dia harus mencari Oh Tin san secepatnya dan mencegah mereka membantai
orang-orang di dusun nelayan----
Tergesa-gesa dia membuka pintu
dan lari ke luar dari halaman tersebut.
Baru tiba di depan pintu, dia
bertemu Oh Li cu yang sedang berlari masuk ke dalam halaman dengan mata merah
dan bibir ter-tutup rapat, Berjumpa dengan Lan See giok, Oh Li cu segera
menegur:
"Mau ke mana
kau?""
Biarpun Lan See giok sedang
diliputi hawa amarah, namun dia tetap menjawab dengan suara dalam:
"Aku hendak mencari
ayahmu."
"jangan, jangan
pergi" seru Oh Li cu sambil menarik tangannya, "Ayah dan Be Congkoan
bertiga sedang merundingkan masalah penting . . ."
Lan See giok tidak dapat
menahban kobaran amarjahnya lagi, diag segera berteribak keras.
"Aku justru hendak
mencari mereka ber-empat"
Sekuat tenaga dia mengebaskan
tangan Oh Li cu, kemudian melanjutkan perjalanan-nya dengan langkah lebar.
Bayangan manusia berkelebat
lewat, tahu-tahu Oh Li cu sudah menghadang kembali di depan Lan See giok sambil
serunya dengan gugup.
"Percuma kau kesana,
segenap anggota benteng dan kapal perang, telah berkumpul dan bersiap sedia,
kau harus mengerti ayahku berbuat demikian adalah demi ke-baikan
dirimu-.."
"Demi kebaikanku?
Kebaikan apa?" Lan See giok tertegun dan mengawasi Oh Li cu dengan
pandangan tak habis mengerti.
Menyaksikan sikap anak muda
tersebut, Oh Li cu tak dapat menahan rasa gelinya lagi, ia segera tertawa cekikikan.
"Anak bodoh, ayah sengaja
mengumpulkan semua anggota benteng dan kapal perang karena dia ingin
menyelenggarakan suatu upacara perkenalan bagi Sau pocu nya kepada semua
anggota."
Lan See giok semakin berdiri
bodoh lagi setelah mendengar perkataan itu.
Oh Li cu tertawa cekikikan,
katanya lagi sambil menarik tangan Lan See giok.
"Ayo jalan, cepat
kembali, cici masih ingin berbicara denganmu---"
Seraya berkata dia menarik Lan
See giok secara paksa menuju ke kamarnya.
Lan See giok berjalan
mengikuti di bela-kang Oh Li cu, ia tak habis mengerti apa se-babnya Oh Tin san
menyelenggarakan perte-muan seperti itu, rencana busuk apa pula yang sedang
disusun olehnya-- ?
Oh Li cu membawa Lan See-giok
menuju ke ruang kamarnya, kemudian memerintah-kan pemuda itu duduk dan bertanya
dengan serius:
"Adik Giok, bagaimana
perasaanmu sekarang?"
Lan See giok tertegun, ia
tidak mengerti apa maksud pertanyaan tersebut, terpaksa katanya sambil
mengangguk :
"Aku merasa baik
sekali!"
Obh Li cu mengertji kalau anak
mugda ter-se-but tbidak memahami maksudnya, maka ta-nyanya lebih jelas:
"Maksudku dikala sedang
mengatur perna-pasan, apakah kau merasakan aliran tenaga dalammu tersumbat, dan
tidak dapat menu-ruti kehendak hati?"
Lan See giok baru paham
setelah mende-ngar kata-kata ini, dengan cepat dia mengge-lengkan kepalanya
berulang kali
"Aku tidak merasakan
gejala demikian, aku hanya merasa tenaga dalamku seperti mem-peroleh kemajuan
yang sangat pesat setelah menelan pil hitam pemberian empek tua!"
Mendengar perkataan mana. Oh
Li cu mendengus gusar mulutnya sampai cemberut saking mendongkolnya, dia
menganggap Lan See giok tidak cukup jujur terhadap dirinya.
Melihat hal ini Lan See giok
tertawa ham-bar, ia seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi suara tambur yang
memekakkan telinga te-lah berkumandang lagi, bahkan suaranya kali ini
kedengaran lebih berat dan santar.
Berubah paras muka Oh Li cu,
sambil ber-seru tertahan dia bangkit berdiri, lalu ka-tanya cepat:
"Tambur kedua telah
dibunyikan, itu ber-arti semua kapal perang telah berkumpul di depan pintu
benteng."
Sambil berkata, cepat-cepat
dia menge-luarkan sebuah botol kecil dari dalam saku-nya dan diserahkan kepada
Lan See giok seraya ujarnya lagi:
"Di dalam botol ini
berisikan tiga butir pil Cing hiat ciat tok wan (pil pencuci darah pe-lenyap
racun), bila kau rasakan aliran tenaga dalammu seperti tersumbat, cepatlah
telan sebutir".
Kemudian tergesa-gesa dia lari
masuk ke dalam kamar sendiri.
Memandang bayangan si nona
yang men-jauh, tanpa terasa Lan See giok tertawa di-ngin, pikirnya.
"Bapaknya licik, putrinya
cabul, tak nanti aku Lan See giok akan terjebak oleh siasat kalian."
Sambil tertawa dingin ia
lantas membuka penutup botol itu dan memeriksa isinya.
Dalam waktu singkat bau harum
semerbak memancar ke mana-mana, seketika itu juga semangatnya terasa bangkit
kembali.
Lan See giok mernjadi
tertegun,z karena obat tewrsebut sama sekrali berbeda dengan pil hi-tam yang
diberikan Oh Tin san ke-padanya tempo hari.
TANPA terasa ia mengerling
sekejap ke kamar nona itu sementara botol tadi di ma-sukkan kembali ke dalam
sakunya, kini dia benar-benar tak habis mengerti, dia tak tahu mengapa Oh Li cu
memberi obat pe-nawar racun kepadanya.
Kenyataan ini tentu saja
disambut gembira olehnya, perasaan simpatik yang semula memang tumbuh dalam
hatinya terhadap Oh Li cu, kini mulai tumbuh kembali.
Tak selang berapa saat
kemudian, tampak Oh Li cu berjalan ke luar dari kamarnya de-ngan langkah
tergesa gesa, di punggungnya bertambah dengan sebilah pedang, di ta-ngannya
menggenggam senjata gurdi emas Cing kim kong luan cui milik Lan See giok.
Tergerak hati Lan See giok
setelah menyak-sikan kejadian itu, buru-buru dia bangkit berdiri, lalu
memandang gurdi emas di ta-ngan Oh Li cu itu dengan termangu, dia tak habis
mengerti apa sebab nya gadis itu menggembol senjata. Dengan cepat Oh Li cu
sudah berjalan mendekat, katanya dengan wajah serius:
'Kau harus membawa serta
senjata an-dalanmu ini, karena seusai upacara perke-nalan nanti, bisa jadi
benda tersebut di per-lukan."
"Mengapa?" tanya Lan
See giok tidak mengerti.
"Biasanya seusai upacara
perkenalan, akan muncul orang-orang yang berwatak ingin menang sendiri untuk
mencoba kepandaian dari anggota baru, mereka akan manfaat-kan kesempatan mana
untuk memamerkan kepandaiannya di hadapan pocu dengan harapan bisa memperoleh
pujian atau kedudukan yang jauh lebih baik."
Lan See giok segera tertawa,
memanfaat-kan peluang itu dia sambut senjata gurdi emasnya dan diselipkan di
pinggang.
Tampaknya Oh Li cu dipenuhi
banyak pikiran, setelah memandang sekejap dan-danan Lan See giok yang
mengenakan pakaian kedodoran, dia bertanya dengan kuatir:
"Apakah kau perlu ikat
pinggang untuk meringkaskan pakaianmu?"
"Aaah tidak usah, masa
benar-benar ada orang yang begitu berani hendak merebut kursi sau pocu ini dari
tanganku?"
Selesai berkata, dia berpura
pura tertawa gembira.
Melihat pemuda itu gembira, Oh
Li cu turut gembira pula, katanya kemudian sambil ter-tawa:
"Kalau begitu, mari kita
segera berangkat!"
Sementara itu matahari sudah
tinggi di angkasa, seluruh benteng Wi-lim-poo dilapisi cahaya keemas emasan.
Ketika Lan See giok dan Oh Li
cu berjalan ke luar dari halaman, di tepi sungai telah parkir sebuah perahu
naga yang agak nya dipersiapkan untuk menjemput Oh Tin san, Be congkoan dan
lain lainnya.
Perahu naga panjangnya empat
kaki dan terdiri dari dua tingkat, seluruh tubuhnya berwarna kuning emas,
bangunan perahunya pun sangat indah dan mempesona hati.
Di ujung buritan perahu tampak
beberapa orang lelaki berpakaian ringkas warna perak dengan tubuh yang tinggi
tegap berdiri kekar di situ, wajah mereka rata-rata bengis, beralis tebal dan
bermata besar, namun sikapnya munduk-munduk dan hormat.
Ketika Oh Li cu berjalan
mendekat, seren-tak semua lelaki kekar itu membungkuk kan badannya memberi
hormat, tapi ketika men-dongakkan kepalanya kembali, mereka segera mengawasi
Lan See giok dengan pandangan agak terkejut.
"Adikku." kata Oh Li
cu kemudian sambil tertawa angkuh. "inilah perahu naga emas milik ayah
yang khusus untuk mengangkut ayah dan ibu saja."
Lan See giok hanya tertawa
hambar sambil manggut-manggut, melihat sikap sang pemu-da yang acuh tak acuh,
Oh Li cu segera menambahkan lagi:
"Kau adalah sau-pocu,
tentu saja se-lanjut-nya kau boleh menumpang perahu ini juga, kau pun boleh
memakai perahu ini untuk berpesiar ke mana-mana."
Berkilat sepasang mata Lan See
giok, se-ketika itu juga dia teringat untuk melarikan diri, tanpa terasa
semangatnya berkobar kembali, katanya dengan gembira:
"Sungguhkah itu? Aku
benar-benbar boleh menumpjang perahu ini guntuk berpesiarb?"
Melihat pemuda itu gembira, Oh
Li cu turut tertawa cekikikan, sambungnya dengan ce-pat:
"Aaah, masa enci bakal
membohongi diri mu?"
Belum habis tertawanya, dari
balik pintu gedung berwarna merah telah bergema datang suara langkah kaki
manusia.
Ternyata mereka adalah si
kakek bungkuk Be congkoan Thio-Wi-kang, Li Ci cun yang berjalan mengikuti di
belakang Oh Tin san serta Say nyoo-hui.
Kali ini Oh Tin san mengenakan
pakaian perlente yang halus dan mahal harganya dengan mengenakan topi model
hartawan. sepatunya indah, gayanya dibuat buat, persis seperti tampang seorang
tuan tanah.
Say nyoo-hui Ki-Ci-hoa pun
telah ber-ganti pakaian baru, wajahnya yang telah keriputan dihiasi dengan
bedak yang tebal, agaknya jauh lebih tebal daripada kemarin.
Ketika Oh Tin san dan
Ki-Ci-hoa me-nyak-sikan Lan See giok berdiri berdampingan dengan putri mereka,
ke dua orang itu segera tertawa gembira.
Buru-buru Lan See giok dan Oh
Li cu maju ke depan sambil memberi hormat.
Sambil tertawa gembira Oh Tin
san segera berkata:
"Anak Giok, hari ini
empek tua akan mem-perkenalkan kau kepada segenap komandan dan saudara-saudara
kita yang ada di dalam benteng, mulai hari ini kau sudah kami ang-kat menjadi
sau pocu -benteng Wi-lim-poo."
Say-nyoo-hui tertawa pula
sambil menarik tangan Lan See-giok, sengaja ujarnya:
"Anak Giok, kenapa kau
tidak cepat-cepat berterima kasih kepada empek Oh mu?"
Demi keberhasilannya melarikan
diri, demi berhasil mempelajari ilmu berenang dan demi keberhasilannya
mem-balaskan dendam ayahnya, terpaksa Lan See giok harus mengesampingkan semua
masalah, biarpun harus menganggap bajingan sebagai ayah dia mau tak mau harus
menahan diri.
Maka kepada Oh Tin san katanya
lagi sambil menjura:
"Terima kasih banyak
empek tua!"
Oh Tin san segera tertawa
terbbahak bahak dengjan bangganya.
gBe congkoan danb Thio-Wi-kang
pun secara beruntun maju ke depan untuk menyapa Lan See giok dan Oh Li cu.
Lain halnya dengan si
kupu-kupu ditengah ombak Li Ci cun, sejak menyaksikan sikap mesra Oh Li cu
terhadap Lan See giok, dia sudah menarik mukanya, menunjukkan si-kap tak senang
hati, apalagi setelah dilihat nya gadis itu tak pernah memandang sekejap
matapun ke arahnya, api amarahnya sema-kin berkobar.
Namun ia terpaksa harus
mengekang rasa gusarnya setelah menyaksikan Be congkoan dan Thio-Wi-kang telah
maju menyapa, dia segera maju pula ke depan sambil memberi hormat.
Begitulah, dengan Oh Tin san
berjalan di depan, Say nyoo-hui dan Oh Li cu mengapit Lan See giok di tengah,
Be congkoan sekalian bertiga menyusul di belakang, mereka ber-sama sama naik ke
atas perahu naga emas.
Sepanjang perjalanan, Oh Li cu
tak pernah meninggalkan Lan See giok barang selang-kahpun, begitu mesra dan
hangatnya hubu-ngan mereka tak ubahnya seperti sepasang pengantin baru.
Oh Tin san dan Say nyoo-hui
yang me-nyaksikan adegan itu menjadi amat gembira senyuman lebar tidak hentinya
menghiasi bibir mereka---
Benteng Wi-lim-poo memang luas
sekali, mereka berlayar hampir seperti minum teh lamanya sebelum mencapai
sebuah jalur air yang cukup lebar di depan pintu benteng yang tinggi dan kokoh.
Waktu itu pintu benteng sudah
terbentang lebar, aneka lentera menghiasi seluruh ba-ngunan benteng, ketika
terhembus angin bola-bola lentera itu bergoyang tiada henti-nya.
Enam orang lelaki bercelana
biru berbaju merah, berdiri berjalan di atas loteng, di ta-ngan masing-masing
orang tampak mem-bawa terompet panjang yang dihiasi bendera warna warni.
Begitu perahu naga berlayar
memasuki lorong benteng, serentak ke enam lelaki itu meniup terompetnya
keras-keras.
Menyusul kemudian suara tambur
dan genderang dibunyikan bertalu talu, meng-i-ringi gerakan sang perahu yang
semakin ce-pat.
oooOooo
BAB 8
Dengan wrajah serius
pelzan-pelan Oh Tinw san bangkit berrdiri, kemudian didampingi Say nyoo-hui
mereka beranjak ke luar dari ruangan perahu.
Oh Li cu segera menarik tangan
Lan See giok dan menyusul di belakang ke dua orang tuanya.
Biarpun Lan See giok tahu
kalau semua yang dipersiapkan oleh Oh Tin san termasuk bagian dari rencana
busuknya, tak urung hatinya merasa tegang juga setelah menyak-sikan kesemuanya
itu terutama sekali suara tambur yang dibunyi-kan bertalu talu, mem-bikin
hatinya semakin tak tenang.
Berpaling ke belakang,
keningnya segera berkerut kencang, dia menyaksikan si kupu-kupu di tengah ombak
Li Ci cun yang berdiri di belakangnya sedang menyeringai seram sambil melotot
ke arahnya penuh kebencian.
Lan See giok sungguh tak habis
mengerti, dia tak mengerti apa sebabnya Li Ci cun menunjuk sikap yang begitu
tak bersahabat dengan dirinya.
Mendadak satu ingatan melintas
lewat, ia lantas teringat kembali dengan peringatan dari Oh Li cu, pikirnya:
"Waah, jangan-jangan
sehabis upacara perkenalan nanti, Li Ci cun akan me-nan-tangku untuk
bertarung?"
"Aaah, mustahil."
demikian pikirnya kemu-dian, "hal ini tak masuk di akal, siapa yang berani
merebut kedudukan sau-pocu de-nganku---?"
Sementara dia masih melamun,
perahu te-lah berlabuh di sisi kanan pintu gerbang, menyusul kemudian beberapa
orang itu tu-run dari perahu dan menelusuri undak un-dakan batu yang besar
menuju ke bangunan loteng di atas benteng.
Sekarang Lan See giok baru
berkesem-patan untuk melihat jelas lagi, dinding ben-teng itu luasnya mencapai
delapan depa, se-lain tebal dan panjang, nampaknya amat kokoh.
Setibanya di atas loteng,
beberapa orang itu langsung menuju ke atas mimbar di de-pan loteng, di depan
mimbar tersedia se-buah meja panjang beralas kain merah, mungkin disitulah
terletak mimbar kehormatan.
Dalam pada itu suara tambur
telah ber-henti, kecuali suara ombak yang memecah di kaki benteng, sama sekali
tak ke-dengaran sedikit suarapun.
Lan See giok mengikuti di
belakang Oh Tin san langsung menuju ke atas mimbar ke-hormatan.
Sesampainya di depan meja
kehormatan dan melongok ke bawah, pemuda itu kontan merasakan matanya silau, ia
betul-betul dibuat terkejut sampai tertegun untuk se-saat.
(Bersambung ke Bagian 010)