Anak Harimau Bagian 09

Baca Cersil Mandarin Online: Anak Harimau Bagian 09

Bagian 09

Ketika ia berpaling kembali, tampak olehnya 0h Tin san sedang berjalan ke luar dari pintu pagoda dan membungkukkan badannya memberi hormat seraya berkata:

"Boanpwe Oh Tin san menghantar kebe-rangkatan locianpwe. . ."

Lan See giok segera memandang sekejap sekeliling tempat itu, namun dengan cepat hatinya merasa terperanjat, sebab selain jembatan kecil tersebut tiada jalan lain yang menghubungkan pagoda air itu dengan da-ratan, namun kenyataannya kakek ber-jubah kuning tersebut telah hilang lenyap dengan begitu saja dalam waktu singkat.

Tampak Oh Tin san membungkukkan badannya beberapa saat. . kemudian baru menegakkan kembali tubuhnya.

Lan See giok takut jejaknya ketahuan, de-ngan cepat dia menyelinap ke balik tempat kegelapan untuk menyembunyikan diri, ke-mudian dengan menelusuri jembatan batu dia balik kembali ke rumah kediaman Oh Li cu.

Dengan sekuat tenaga pemuda ini ber-usa-ha mengendalikan gejolak perasaannya, ke-mudian dengan langkah sesantai mungkin maju ke depan, kini dia mulai merasa agak curiga, mengapa tidak nampak jejak pen-jaga di sekeliling tempat itu.

Baru tiba di pintu gedung, kebetulan Oh Li cu sedang lari ke luar dengan wajah gugup dan terburu napsu.

Lan See giok sangat terkejut, cepat dia menyingkir ke samping memberi jalan lewat buat Oh Li cu hampir saja mereka berdua saling bertumbukan.

Dengan cepat Oh Li cu menghentikan gerakan tubuhnya, kemudian dengan pe-rasaan gelisah tanyanya:

"Adik Giok. kau tidak boleh meninggalkan tempat ini secara sembarangan, ber-bahaya sekali bagimu!"

Lan See giok tertawa hambar:

"Aaah, aku tidak pergi terlalu jauh, hanya jalan-jalan mencari angin saja di sekitar sini!"

Oh Li cu tidak berniat menanyakan ke mana pemuda itu telah pergi, dengan penuh perhatian kembali katanya.

"Kau telah semalam suntuk tidak tidur, sekarang pasti lelah sekali, sekarang pergilah tidur dulu, besok kau mesti belajar ilmu berenang-- !"

Sambil berkata dia lantas menarik tangan pemuda itu dan mengajaknya masuk ke dalam rumah.

Lan See giok sama sekali tidak menampik, dia membiarkan dirinya ditarik Oh Li cu ma-suk ke dalam, sementara bau harum semer-bak yang aneh menerpa tiada hentinya di se-kitar tubuh pemuda itu.

Mengendus bau harum mana, tanpa terasa Lan Se giok berkerut kening, ia mendongak kan kepalanya kembali, ternyata Oh Li cu telah berdandan kembali dengan rapi, sedang bau harum itu tak lain berasal dari bau tubuhnya.

Setelah masuk ke dalam kamar, suasana di sana terasa gelap, sedang Oh Li-cu pun segera menutup kembali pintu kamar tersebut rapat-rapat.

Lan See--giok sungguh tidak habis mengerti dengan keadaan ini, di pandangnya gadis itu penuh tanda tanya.

Oh Li-cu tertawa genit, sambil menghampiri anak muda tersebut, katanya kemudian dengan lembut:

"Kamar tidur ini langsung berhubungan dengan kamar tidur cici, maka sengaja kukunci pintu kamar ini."

Biarpun dari ayahnya Lan See-giok pernah mendapat pendidikan yang mengatakan bahwa muda mudi kaum persilatan tak perlu kelewat memperhatikan adat istadat, namun ia merasa tidak seharusnya adat istiadat dilanggar seperti ini, tanpa terasa timbul suatu kesan muak dalam hati kecilnya, dia merasa sebagai gadis yang baik, tidak sepantasnya kalau sikap Oh Li-cu kelewat jalang.

Belum sempat melihat jelas keadaan di luar ruangan, ia telah diajak memasuki sebuah pintu kecil berbentuk bulat.

Suasana di ruang dalam lebih redup lagi, disitupun dipenuhi oleh bau harum yang hampir sama dengan bau harum yang keluar dari tubuh Oh Li-cu.

Cuma saja perabot yang dipersiapkan disini amat mewah dan indah, pembaringan gading dengan kelambu serta seprei yang putih bersih, di samping pembaringan terdapat sebuah meja kecil dengan sebuah lentera kecil berwarna merah.

Pokoknya seluruh perabot dalam kamar itu terasa serasi dan penuh dengan suasana syahdu.

Menyaksikan keadaan ruangan tersebut, tiba-tiba saja Lan See-giok merasakan timbulnya suatu perasaan yang tak dapat dilukiskan dengan kata-kata...

"Adik Giok" tiba-tiba Oh Li-cu berkata sambil tertawa, "puaskah kau dengan suasana dalam kamar ini?"

"Ehmmm, bagus sekali." Lan See-giok manggut-manggut dengan kening berkerut.

Sambil menuding ke arah sebuah pintu bulat kecil di bagian dalam sana, kembali gadis itu berkata lembut.

"Di balik pintu sana adalah kamar tidur cici, apakah kau ingin masuk untuk me-1ihatnya?"

Tanpa ragu Lan See giok segera mengge-lengkan kepalanya berulang kali:

"Tidak usah, hari ini sudah terlalu malam biar besok saja---"

Jawaban tersebut segera menimbulkan setitik kekecewaan yang segera menghiasi wajah Oh Li cu, namun dengan cepat dia te-lah memutar biji matanya dan berkata lagi sambil tertawa riang:

"Adikku, kalau begitu cepatlah tidur, kita berjumpa lagi besok pagi. . ."

Kemudian setelah mengerling sekejap ke arah Lan See giok dengan penuh pancaran cinta, dia masuk ke dalam kamar sendiri.

Sepeninggal Oh Li cu, Lan See giok me-rasakan hatinya seperti dicekam beban yang sangat berat, entah mengapa semenjak ia tahu kalau Oh Li cu adalah putri Oh Tin san, kesan baik yang semula timbul dalam hati-nya segera berubah menjadi perasaan muak dan benci.

Setelah melepaskan pakaian luarnya dia, menjatuhkan diri berbaring di atas ranjang, memandang langit-langit ruangan pikirannya kembali terombang ambing tidak menentu, kacaunya bukan buatan, dia tak tahu apa yang mesti dilakukannya sekarang.

Terutama sekali bayangan tubuh Oh Li- cu yang terus menerus muncul di dalam benaknya, kesemuanya itu sungguh mem-buat dia semakin tak dapat tidur.

Mendadak terdengar suara gemerisik dari kamar sebelah, agaknya Oh Li cu sedang melepaskan busananya.

Menyusul kemudian, terendus bau harum yang amat menggairahkan napsu memenuhi seluruh ruangan.

Menjumpai kesemuanya ini, pikiran dan perasaan Lan See giok semakin tak dapat tenang lagi.

Namun akibatnya diapun semakin ter-ba-yang kembali kehidupannya yang tenang se-lama tiga hari di rumah bibinya tempo hari...

Bibi Wan adalah seorang perempuan cantik yang anggun dan penuh kasih sayang, se-pintas lalu dia seperti baru berusia dua pu-luh tujuh delapan tahunan, namun ia telah mempunyai seorang putri yang telah me-nginjak usia enam belas tahun . . . Cui Siau cian namanya.

Teringat akan Cui Siau cian, terbayang kembali wajah seorang gadis yang halus, lembut, penuh sopan santun dan daya tarik...

Wajahnya yang cantik, alisnya yang lembut dengan mata yang jeli, hidung yang mancung dengan dua belah bibir yang kecil mungil, semuanya itu menciptakan suatu perpaduan yang menawan hati.

Tanpa terasa pikiran dan perasaan Lan See giok terbuai kembali dalam lamunan, dia se-olah-olah merasakan dirinya terbawa kembali dalam sebuah rumah berpagar bambu yang terpencil letaknya . ..

Rumah itu hanya rumah bambu yang se-derhana dengan tiga ruangan serta sebuah dapur kecil, ditengah halaman penuh tum-buh aneka bunga yang berwarna warni, se-dang pagar rumah terdiri dari susunan bambu yang diatur secara artistik sungguh menawan hati.



Dari ke tiga ruang bambu itu, sebuah adalah kamar tidur enci Cian, sebuah adalah kamar tidur bibi Wan, sedang tengah adalah ruang tamu.

Semua perabotannya sederhana tapi bersih dan teratur sehingga mudah menimbulkan suasana nyaman bagi siapapun yang meli-hatnya.

Tiga malam dia menginap di sana, tidur di kamar enci Cian nya, sedang enci Cian tidur sekamar dengan bibi Wan.

Kamar enci Cian amat bersih dan teratur boleh dibilang tak setitik debupun yang me-nempel di situ, sepreinya selalu menimbul-kan bau harum yang aneh, bau harum yang jelas bukan berasal dari bau bedak.

Sebab bau itu sangat lembut, bau yang khas dari tubuh enci Cian, seindah dan se-cantik wajahnya yang syahdu.

Cui Siau cian jarang sekali bergurau de-ngannya, namun amat memperhatikan diri-nya, setiap malam dia pasti akan pergi me-meriksa selimutnya, apakah sudah dipakai secara baik atau tidak.

Setiap kali dia memandang wajah, enci Ciannya yang cantik, dalam hati kecilnya se-lalu timbul suatu perasaan gembira dan nyaman yang tak terlukiskan dengan kata-kata.

Seringkali dia melamunkan gadis itu, membayangkan potongan badannya yang ramping, langkahnya yang ringan dan gerak gerik yang lembut . . .

Setiap kali dia sedang mengawasi wajah enci Cian, tak pernah bibi Wan mengusiknya, dia seperti selalu memberi kesempatan ke-padanya untuk menikmati sampai puas.

Setiap malam Cui Siau cian datang me-meriksa selimutnya, diapun selalu merasa kan suatu keinginan yang aneh serta suatu gejolak perasaan yang sukar dikendalikan, dia sangat ingin bisa memegang tangan enci Ciannya yang lembut dan halus serta me-re-masnya.

Tapi setiap kali ia tak berani berbuat demikian karena kelembutan dan ke-ang-gunan enci Cian menimbulkan suatu kewi-bawaan yang membuat orang lain tak berani mengusiknya secara kasar.

Wajah Cui Siau cian selalu dihiasi dengan senyuman yang manis, belum pernah gadis itu menunjukkan sikap dingin atau ketus kepadanya.

Kadangkala, ketika Ciu Siau ciban lewat di-hadjapannya, ia takg tahan ingin meb-manggil-nya, namun Cui Siau cian selalu membalas panggilannya dengan senyuman yang manis, kerdipan mata yang indah dan gerak gerik yang mempesona..

Kini, perasaan Lan See giok sudah terbuai, terbawa ke sisi tubuh enci Cian nya, dia se-olah-olah merasa lupa dimanakah ia berada sekarang. . .

Sementara dia masih melamun, mendadak terdengar suara rintihan lirih berkumandang datang dari balik kelambu.

Lan See giok segera tersadar kembali dari lamunannya dan kembali ke hadapan ke-nyataan.

la merasa mendongkol sekali dengan suara rintihan dari Oh Li cu tadi, tanpa terasa di-tatapnya pintu kamar nona itu dengan penuh kegemasan.

Dengan terbayangnya kembali diri Cui Siau cian, tanpa terasa dia pun memperbandingkan gerak gerik maupun cara berbicara kedua orang gadis tersebut.

Tapi dengan cepat dia telah menemukan perbedaan yang besar dan menyolok diantara kedua orang itu.

Sekarang dia baru mengetahui bahwa Oh Li-cu adalah seorang gadis jalang yang genit dan pandai merayu kaum lelaki untuk terjatuh ke dalam pelukannya.

Dia memiliki tubuh yang bahenol, memiliki payudara yang besar dan bundar, senyuman yang merangsang, kerlingan mata yang memikat dan tubuh yang montok serta matang...

Mendadak...

Napsu birahinya terasa bergelora di dalam tubuhnya, jantung terasa berdebar keras, suatu aliran hawa panas yang aneh muncul dari perut bagian bawahnya dan menyebar ke seluruh badan dengan cepat...

Sekali lagi dia mendengar suara rintihan lirih berkumandang dari balik kamar Oh Li-cu.

Perasaan Lan See-giok semakin tak karuan lagi, suatu keinginan yang aneh tiba-tiba saja menyelimuti perasaannya.

Dengan perasaan terkejut dia melompat bangun, belum pernah dia rasakan gejolak perasaan yang demikian aneh seperti apa yang dialaminya hari ini.

Dia merasa sepasang pipinya panas sekali, napasnya memburu dan hatinya berdebar semakin keras...

Ia mencoba untuk menbgawasi keadaan jdi sekeliling tgempat itu, selabin cahaya lentera yang redup, semua benda dalam ruangan hanya terlihat secara lamat-lamat, semuanya itu menambah merangsangnya napsu di dalam tubuhnya.

Akhirnya sepasang mata Lan See-giok berhenti di suatu tempat, mencorong sinar tajam dari balik matanya, karena dia menyaksikan sebuah benda berbentuk burung bangau kecil terbuat dari emas diletakkan di bawah lentera kecil tersebut.

Selapis asap putih yang lembut dan sukar diketahui, menyembur keluar tiada hentinya dari ujung mulut burung bangau emas tersebut...

Ia mencoba untuk mengendus beberapa kali, dengan cepat disadari bahwa bau harum aneh yang selama ini memenuhi ruangan tersebut tak lain berasal dari benda tersebut.

Dan justru bau asap dupa yang harum inilah yang membuat hatinya gelisah, pikirannya kalut dan tak tenang...

Memandang burung bangau kecil tersebut mendadak tergerak hati Lan See-giok, dia seperti menyadari akan sesuatu, segera teringat olehnya akan semua pembicaraan antara Say Nyoo-hui dengan Oh Li-cu.

Teringat akan kesemuanya itu, tanpa terasa lagi si anak muda tertawa dingin tiada hentinya.

Rasa gusar yang kemudian muncul dan menguasai seluruh perasaannya membuat gejolak perasaan aneh yang semula sudah menguasai dirinya itu seketika menjadi tenang dan mereda kembali.

Cepat-cepat dia menjatuhkan diri bersila dan mengatur napas, tak selang berapa saat kemudian pemuda itu sudah berada dalam keadaan lupa diri.

Tak selang beberapa saat kemudian, tiba-tiba pemuda itu mendengar suara gemerisik lirih bergema dari depan pembaringannya.

Lan See-giok segera terjaga kembali dari semedinya setelah mendengar suara tersebut, namun apa yang kemudian terlihat hampir saja membuatnya menjerit keras saking kagetnya.

Oh Li-cu dengan pakaian sutera tipis berwarna merah telah berdiri di depan pembaringannya, begitu tipis kain sutera tersebut sehingga bukan cuma sepasang payudaranya yang montok, besar, padat darn berisi itu kezlihatan jelas, wbahkan pinggangrnya yang kecil, pinggulnya yang montok, kulit badannya yang putih serta bagian terahasia dari seorang gadis terlihat semua dengan nyata, pada hakekatnya gadis itu seperti lagi bugil saja di hadapannya.

Waktu itu, Oh Li-cu sedang mengawasi wajah Lan See-giok dengan pandangan terkejut dan kening berkerut, mukanya penuh diliputi perasaan bingung dan tidak habis mengerti.

Tampaknya gadis itu benar-benar sudah dibuat tertegun saking kagetnya atas ketenangan serta daya kemampuan pemuda tersebut untuk mengendalikan diri.

Ia masih ingat dengan perkataan ibunya, setiap lelaki di dunia ini pasti akan men-jadi gila setelah mengendus bau harumnya dupa lebah bermain di kuncup bunga tersebut, bahkan akan menerkam setiap perempuan yang dijumpainya seperti seekor harimau kelaparan.

Sekembalinya ke dalam kamarnya tadi, Oh Li cu benar-benar merasa tak sabar untuk menunggu lebih lama, yang lebih membuatnya keheranan adalah apa sebabnya Lan See giok tidak menerkam tubuhnya yang bugil itu seperti harimau kelaparan.

Jangan-jangan dia masih berusia muda sehingga belum mengerti untuk merasakan sorga dunia tersebut?

Tapi ingatan lain segera melintas di dalam benaknya, dia curiga benda yang diberikan ibunya Say nyoo-hui kepadanya itu bukan barang asli, kalau tidak, seorang hwesio tua berusia seratus tahun yang mengendus bau dupa tersebut pun akan terangsang napsu birahinya, Lan See giok yang masih muda belia sama sekali tidak terpengaruh?

Tak mungkin daya tahannya melebihi se-orang hwesio tua?

Sementara berpikir, dia sudah tiba di de-pan pembaringan, ketika dilihatnya Lan See giok sedang mengawasinya dengan mata ter-belalak, dia tertawa jalang, lalu tegur-nya:



"Adik Giok, mengapa kau belum tidur?"

Sementara itu Lan See giok sudah berhasil mengendalikan perasaannya, dia sudah sa-dar kalau Oh Li cu memang sengaja menga-tur kesemuanya itu untuk menjebaknya, agar dia terangsang oleh napsu birahi sehingga melakukan perbuatan yang amoral.

Bisa dibayangkan betapa gusar dan men-dongkolnya anak muda tersebut diperlaku-kan demikian, tapi dia tak berani mengumbar amarahnya, dia tahu keadaan seperti ini ha-rus dihadapi secara luwes dan halus, sebab dia sudah terjerumus ke mulut harimau.

Pelan-pelan dia memejamkan matanya dengan cepat dalam hatinya mengambil suatu keputusan, yang penting dia harus bersikap wajar sehingga tidak sampai me-nimbulkan amarah Oh Li cu karena malunya:

Maka sambil tersenyum ujarnya kemudian:

"Aku sudah tertidur sedari tadi . ."

Sewaktu berbicara, sikapnya amat biasa dan seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu apapun, kendatipun dia berusaha keras untuk meredakan detak jantungnya yang berdenyut keras.

Terutama sekali terhadap tubuh bugil yang begitu merangsang dibalik kain sutera yang terpampang di depan matanya.

Tertegun juga Oh Li-cu sesudah menyaksikan kemampuan Lan See-giok untuk mengendalikan perasaan, napsu birahi yang semula telah menguasai benaknya kini hilang lenyap tak berbekas, sambil duduk termenung di sisi pembaringan sambil mengawasi wajah Lan See-giok, sampai lama sekali dia taak mengucapkan sepatah katapun...

Lan See-giok juga membungkam dalam seribu bahasa, karena dia mesti mengendalikan kobaran api birahinya, apalagi Oh Li-cu yang duduk disisinya selalu menghembuskan bau harum semerbak yang aneh dan mengilik-ilik hatinya.

Yang terutama adalah sepasang payudaranya yang begitu montok, begitu besar dan putih di balik kain suteranya, yang tampak bergetar merangsang, lelaki mana yang tidak tergiur menyaksikan adegan seperti ini..?

Merah padam selembar wajah Lan See-giok, ia merasa darah yang mengalir di dalam tubuhnya bergolak kencang, perasaan anebh yang dirasakajn tadi kini mungcul kembali serbta menyebar ke seluruh badan, dia tak tahu bagaimana mesti menghadapi situasi demikian.

Mencorong sinar terang dari balik mata Oh Li-cu setelah menyaksikan keadaan ini, ia segera tertawa genit, sementara tubuhnya bergeser semakin mendekati tubuh pemuda itu.

Dengan selembar bibirnya yang merah membara seperti api dan nyaris menempel di atas bibir Lan See-giok, dia berbisik lembut:

"Adikku, bagaimanakah perasaanmu sekarang?"

Hampir meledak denyutan jantung Lan See-giok, untung saja kesadaran otaknya masih tetap ada, dia mengerti apa yang dibutuhkan olehnya sekarang.

Suatu kobaran api napsu birahi kembali mengembang dalam tubuhnya, ia merasa begitu berharap dapat memeluk tubuh Oh Li-cu serta mencomot payudaranya, tapi diapun ingin menghajar perempuan jalang ini hingga mampus.

Namun dia tidak berbuat apa-apa, kesadarannya belum lagi runtuh seluruhnya, ia masih sadar bahwa dirinya berada di depan mulut harimau, dia harus berusaha menahan segala siksaan dan penderitaan agar bisa membalaskan dendam bagi kematian ayahnya.

Terbayang kembali kematian yang menimpa ayahnya, kobaran api birahi dalam dada Lan See-giok seketika menjadi padam bagaikan tercebur ke gudang salju, sekujur tubuhnya gemetar keras sementara sepasang matanya memancarkan sinar tajam yang menggidikkan hati..

"Sekarang aku merasa baik sekali." jawabnya dengan suara hambar.

Oh Li-cu tertegun dan kaget setengah mati, tapi dia dapat mengendalikan diri dengan cepat, sedikit malu bercampur marah tanyanya:

"Dahulu, pernahkah kau mengalami suatu peristiwa?"

"Peristiwa? Peristiwa apa?" tanya Lan See-giok tidak habis mengerti.

"Misalkan saja pil dewa, obat mustajab atau teratai salju, rumput lengci..."

"Ooh itu yang kau maksudkan." kata Lan See-giok seperti menjadi paham kembali, ia tertawa geli. "Yaa, empek tua pernah memberi pil penguat badan, pelenyap racun dan penambah tenaga untukku, menurut si empek tua tersebut, dengan menelan sebutir pil itu berarti tenaga dalamku bertambah sebesar puluhan tahubn hasil latihanj."

Kata "pelengyap racun" yangb diucapkan lebih nyaring itu kontan mengecewakan Oh Li-cu, ia menjadi masgul sekali:

"Waaah... makanya kau bisa memiliki daya tahan yang begitu ampuh..."

Belum habis dia berkata, sekujur tubuhnya telah gemetar keras, wajahnya menjadi pucat pias dan tiba-tiba ia teringat kalau ayahnya belum pernah memiliki obat semacam ini.

"Apakah pil yang kau makan adalah pil hitam sebesar kelereng baunya amis dan memuakkan?" buru-buru dia bertanya.

Berkerut kening Lan See-giok menyaksikan kepanikan orang, ia manggut-manggut.

"Betul, menurut empek tua, saban bulan mesti menelan sebutir, kalau tidak aku bisa muntah darah dan mati."

Terbelalak lebar sepasang mata Oh Li cu karena kaget, mulutnya melongo lebar dan diawasinya Lan See giok tanpa berkedip, lama, lama kemudian ia baru berguman:

"Ke . . kenapa begitu? . ke . . kenapa harus begitu . . ?"

Sembari berkata dia mengawasi alis mata Lan See giok tanpa berkedip, sementara air matanya jatuh bercucuran dengan deras.

Lan See giok semakin tak habis mengerti, tanyanya kemudian:

"Enci Cu, adakah sesuatu yang kurang beres?"

Bukan mereda keadaannya, Oh Li cu malah menangis semakin keras lagi, sambil lari masuk ke dalam kamarnya dia menangis dan menjerit-jerit.

"Aku tidak mau begitu, aku tidak mau be-gitu..."

Menyusul kemudian dengan suara penuh amarah dia berteriak:

"Siau ci! Siau lan! cepat bantu aku me-ngenakan pakaian..."

Berikutnya kedengaran suara orang yang berlarian mendekat dari luar ruangan dengan langkah gugup dan terburu buru.

Lan See giok hanya bisa duduk sambil melongo, pandangannya yang kosong me-ngawasi kamar Oh Li cu tanpa berkedip, ia benar-benar dibuat bodoh, pada hakekatnya dia tidak habis mengerti apa gerangan yang se-sungguhnya telah terjadi.

Hanya satu kesirmpulan yang berzhasil diraihnyaw, yakni baik Ohr Li cu maupun Oh Tin san tempo hari, buru-buru mengawasi alis matanya setelah mendengar dia menelan pil berwarna hitam yang bau tersebut.

Selang beberapa saat kemudian, hatinya bergetar keras, dengan perasaan terkejut dia berpikir:

"Jangan-jangan pil hitam yang baunya amis itu adalah obat beracun atau sebangsa nya?"

Sekuat tenaga dia mengendalikan hatinya yang gugup dan kalut, secara pelan-pelan semua kejadian yang pernah dialaminya ber-sama Oh Tin san dianalisa kembali. . .

Tak lama kemudian ia pun menjadi faham, sudah pasti pil hitam itu adalah sejenis obat beracun yang lambat daya kerjanya.

Jelas Oh Tin san bermaksud untuk me-ngendalikannya dengan obat beracun, agar dia tak berani menghianatinya, selama hidup menjadi budak Oh Tin san menuruti perin-tahnya, bahkan bisa jadi dia akan memper-gunakan keselamatan jiwanya untuk me-maksa dia memberitahukan tempat tinggal bibi Wan nya.

Boleh jadi dia enggan menyebutkan alamat dari bibi Wan nya, namun akibat dari per-buatannya itu, dalam satu bulan kemudian ia tentu mati akibat keracunan, kecuali Oh Tin san, waktu itu pasti tiada orang ke dua yang mengetahui jejak kotak kecil tersebut lagi.

Betul masih ada orang ke tiga yang me-ngetahui tentang jejak kotak kecil itu yakni si makhluk bertanduk tunggal Si Yu gi, namun orang tersebut akhirnya tewas di sergap oleh Oh Tin san.

Ada satu hal yang belum dipahami juga oleh Lan See giok, yaitu bila pil hitam yang ditelan adalah obat beracun, apa sebabnya tenaga dalam yang diperoleh malah men-da-pat kemajuan yang sangat pesat?

Mendadak satu ingatan melintas lewat, ia teringat kembali tatkala baru sadar dari se-medinya dulu, bukan bau amis yang di endus melainkan bau harum semerbak yang meng-gairahkan tubuhnya.



Hal ini kembali menimbulkan rasa heran di dalam hatinya.

Berdasarkan sikap Oh Tin san yang segera memeriksa alis matanya begitu memandang terkejut ke arahnya setelah mengetahui ke-majuan pesat yang diperolehnya di bidang tenaga dalam, tak bisa disangkal lagi pil ber-warna hitam itu adalah sejenis obat racun yang mempunyai sifat lamban daya kerjanya.

Tapi siapa pula yang telah menyelamat-kan jiwanya...?

Pada saat itulah.....

Tiba-tiba berkumandang suara tambur yang dibunyikan bertalu-talu dari tempat kejauhan sana.

Diam-diam Lan See giok merasa terkejut ia segera teringat kembali akan perintah Oh Tin san untuk mempersiapkan segenap perahu perang yang ada untuk berkumpul.

Buru-buru dia mengenakan sepatu dan membuka pintu kamarnya, ternyata hari su-dah terang tanah.

Dua orang pelayan telah siap menanti di luar pintu, tatkala melihat Lan See giok membuka pintu, serentak mereka memper-siapkan air untuk cuci muka.

Di dalam keadaan cemas, gelisah dan gusar tentu saja Lan See giok tidak berniat lagi untuk cuci muka, dia harus mencari Oh Tin san secepatnya dan mencegah mereka membantai orang-orang di dusun nelayan----

Tergesa-gesa dia membuka pintu dan lari ke luar dari halaman tersebut.

Baru tiba di depan pintu, dia bertemu Oh Li cu yang sedang berlari masuk ke dalam halaman dengan mata merah dan bibir ter-tutup rapat, Berjumpa dengan Lan See giok, Oh Li cu segera menegur:

"Mau ke mana kau?""

Biarpun Lan See giok sedang diliputi hawa amarah, namun dia tetap menjawab dengan suara dalam:

"Aku hendak mencari ayahmu."

"jangan, jangan pergi" seru Oh Li cu sambil menarik tangannya, "Ayah dan Be Congkoan bertiga sedang merundingkan masalah penting . . ."

Lan See giok tidak dapat menahban kobaran amarjahnya lagi, diag segera berteribak keras.

"Aku justru hendak mencari mereka ber-empat"

Sekuat tenaga dia mengebaskan tangan Oh Li cu, kemudian melanjutkan perjalanan-nya dengan langkah lebar.

Bayangan manusia berkelebat lewat, tahu-tahu Oh Li cu sudah menghadang kembali di depan Lan See giok sambil serunya dengan gugup.

"Percuma kau kesana, segenap anggota benteng dan kapal perang, telah berkumpul dan bersiap sedia, kau harus mengerti ayahku berbuat demikian adalah demi ke-baikan dirimu-.."

"Demi kebaikanku? Kebaikan apa?" Lan See giok tertegun dan mengawasi Oh Li cu dengan pandangan tak habis mengerti.

Menyaksikan sikap anak muda tersebut, Oh Li cu tak dapat menahan rasa gelinya lagi, ia segera tertawa cekikikan.

"Anak bodoh, ayah sengaja mengumpulkan semua anggota benteng dan kapal perang karena dia ingin menyelenggarakan suatu upacara perkenalan bagi Sau pocu nya kepada semua anggota."

Lan See giok semakin berdiri bodoh lagi setelah mendengar perkataan itu.

Oh Li cu tertawa cekikikan, katanya lagi sambil menarik tangan Lan See giok.

"Ayo jalan, cepat kembali, cici masih ingin berbicara denganmu---"

Seraya berkata dia menarik Lan See giok secara paksa menuju ke kamarnya.

Lan See giok berjalan mengikuti di bela-kang Oh Li cu, ia tak habis mengerti apa se-babnya Oh Tin san menyelenggarakan perte-muan seperti itu, rencana busuk apa pula yang sedang disusun olehnya-- ?

Oh Li cu membawa Lan See-giok menuju ke ruang kamarnya, kemudian memerintah-kan pemuda itu duduk dan bertanya dengan serius:

"Adik Giok, bagaimana perasaanmu sekarang?"

Lan See giok tertegun, ia tidak mengerti apa maksud pertanyaan tersebut, terpaksa katanya sambil mengangguk :

"Aku merasa baik sekali!"

Obh Li cu mengertji kalau anak mugda ter-se-but tbidak memahami maksudnya, maka ta-nyanya lebih jelas:

"Maksudku dikala sedang mengatur perna-pasan, apakah kau merasakan aliran tenaga dalammu tersumbat, dan tidak dapat menu-ruti kehendak hati?"

Lan See giok baru paham setelah mende-ngar kata-kata ini, dengan cepat dia mengge-lengkan kepalanya berulang kali

"Aku tidak merasakan gejala demikian, aku hanya merasa tenaga dalamku seperti mem-peroleh kemajuan yang sangat pesat setelah menelan pil hitam pemberian empek tua!"

Mendengar perkataan mana. Oh Li cu mendengus gusar mulutnya sampai cemberut saking mendongkolnya, dia menganggap Lan See giok tidak cukup jujur terhadap dirinya.

Melihat hal ini Lan See giok tertawa ham-bar, ia seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi suara tambur yang memekakkan telinga te-lah berkumandang lagi, bahkan suaranya kali ini kedengaran lebih berat dan santar.

Berubah paras muka Oh Li cu, sambil ber-seru tertahan dia bangkit berdiri, lalu ka-tanya cepat:

"Tambur kedua telah dibunyikan, itu ber-arti semua kapal perang telah berkumpul di depan pintu benteng."

Sambil berkata, cepat-cepat dia menge-luarkan sebuah botol kecil dari dalam saku-nya dan diserahkan kepada Lan See giok seraya ujarnya lagi:

"Di dalam botol ini berisikan tiga butir pil Cing hiat ciat tok wan (pil pencuci darah pe-lenyap racun), bila kau rasakan aliran tenaga dalammu seperti tersumbat, cepatlah telan sebutir".

Kemudian tergesa-gesa dia lari masuk ke dalam kamar sendiri.

Memandang bayangan si nona yang men-jauh, tanpa terasa Lan See giok tertawa di-ngin, pikirnya.

"Bapaknya licik, putrinya cabul, tak nanti aku Lan See giok akan terjebak oleh siasat kalian."

Sambil tertawa dingin ia lantas membuka penutup botol itu dan memeriksa isinya.

Dalam waktu singkat bau harum semerbak memancar ke mana-mana, seketika itu juga semangatnya terasa bangkit kembali.

Lan See giok mernjadi tertegun,z karena obat tewrsebut sama sekrali berbeda dengan pil hi-tam yang diberikan Oh Tin san ke-padanya tempo hari.

TANPA terasa ia mengerling sekejap ke kamar nona itu sementara botol tadi di ma-sukkan kembali ke dalam sakunya, kini dia benar-benar tak habis mengerti, dia tak tahu mengapa Oh Li cu memberi obat pe-nawar racun kepadanya.

Kenyataan ini tentu saja disambut gembira olehnya, perasaan simpatik yang semula memang tumbuh dalam hatinya terhadap Oh Li cu, kini mulai tumbuh kembali.

Tak selang berapa saat kemudian, tampak Oh Li cu berjalan ke luar dari kamarnya de-ngan langkah tergesa gesa, di punggungnya bertambah dengan sebilah pedang, di ta-ngannya menggenggam senjata gurdi emas Cing kim kong luan cui milik Lan See giok.

Tergerak hati Lan See giok setelah menyak-sikan kejadian itu, buru-buru dia bangkit berdiri, lalu memandang gurdi emas di ta-ngan Oh Li cu itu dengan termangu, dia tak habis mengerti apa sebab nya gadis itu menggembol senjata. Dengan cepat Oh Li cu sudah berjalan mendekat, katanya dengan wajah serius:

'Kau harus membawa serta senjata an-dalanmu ini, karena seusai upacara perke-nalan nanti, bisa jadi benda tersebut di per-lukan."

"Mengapa?" tanya Lan See giok tidak mengerti.

"Biasanya seusai upacara perkenalan, akan muncul orang-orang yang berwatak ingin menang sendiri untuk mencoba kepandaian dari anggota baru, mereka akan manfaat-kan kesempatan mana untuk memamerkan kepandaiannya di hadapan pocu dengan harapan bisa memperoleh pujian atau kedudukan yang jauh lebih baik."

Lan See giok segera tertawa, memanfaat-kan peluang itu dia sambut senjata gurdi emasnya dan diselipkan di pinggang.

Tampaknya Oh Li cu dipenuhi banyak pikiran, setelah memandang sekejap dan-danan Lan See giok yang mengenakan pakaian kedodoran, dia bertanya dengan kuatir:



"Apakah kau perlu ikat pinggang untuk meringkaskan pakaianmu?"

"Aaah tidak usah, masa benar-benar ada orang yang begitu berani hendak merebut kursi sau pocu ini dari tanganku?"

Selesai berkata, dia berpura pura tertawa gembira.

Melihat pemuda itu gembira, Oh Li cu turut gembira pula, katanya kemudian sambil ter-tawa:

"Kalau begitu, mari kita segera berangkat!"

Sementara itu matahari sudah tinggi di angkasa, seluruh benteng Wi-lim-poo dilapisi cahaya keemas emasan.

Ketika Lan See giok dan Oh Li cu berjalan ke luar dari halaman, di tepi sungai telah parkir sebuah perahu naga yang agak nya dipersiapkan untuk menjemput Oh Tin san, Be congkoan dan lain lainnya.

Perahu naga panjangnya empat kaki dan terdiri dari dua tingkat, seluruh tubuhnya berwarna kuning emas, bangunan perahunya pun sangat indah dan mempesona hati.

Di ujung buritan perahu tampak beberapa orang lelaki berpakaian ringkas warna perak dengan tubuh yang tinggi tegap berdiri kekar di situ, wajah mereka rata-rata bengis, beralis tebal dan bermata besar, namun sikapnya munduk-munduk dan hormat.

Ketika Oh Li cu berjalan mendekat, seren-tak semua lelaki kekar itu membungkuk kan badannya memberi hormat, tapi ketika men-dongakkan kepalanya kembali, mereka segera mengawasi Lan See giok dengan pandangan agak terkejut.

"Adikku." kata Oh Li cu kemudian sambil tertawa angkuh. "inilah perahu naga emas milik ayah yang khusus untuk mengangkut ayah dan ibu saja."

Lan See giok hanya tertawa hambar sambil manggut-manggut, melihat sikap sang pemu-da yang acuh tak acuh, Oh Li cu segera menambahkan lagi:

"Kau adalah sau-pocu, tentu saja se-lanjut-nya kau boleh menumpang perahu ini juga, kau pun boleh memakai perahu ini untuk berpesiar ke mana-mana."

Berkilat sepasang mata Lan See giok, se-ketika itu juga dia teringat untuk melarikan diri, tanpa terasa semangatnya berkobar kembali, katanya dengan gembira:

"Sungguhkah itu? Aku benar-benbar boleh menumpjang perahu ini guntuk berpesiarb?"

Melihat pemuda itu gembira, Oh Li cu turut tertawa cekikikan, sambungnya dengan ce-pat:

"Aaah, masa enci bakal membohongi diri mu?"

Belum habis tertawanya, dari balik pintu gedung berwarna merah telah bergema datang suara langkah kaki manusia.

Ternyata mereka adalah si kakek bungkuk Be congkoan Thio-Wi-kang, Li Ci cun yang berjalan mengikuti di belakang Oh Tin san serta Say nyoo-hui.

Kali ini Oh Tin san mengenakan pakaian perlente yang halus dan mahal harganya dengan mengenakan topi model hartawan. sepatunya indah, gayanya dibuat buat, persis seperti tampang seorang tuan tanah.

Say nyoo-hui Ki-Ci-hoa pun telah ber-ganti pakaian baru, wajahnya yang telah keriputan dihiasi dengan bedak yang tebal, agaknya jauh lebih tebal daripada kemarin.

Ketika Oh Tin san dan Ki-Ci-hoa me-nyak-sikan Lan See giok berdiri berdampingan dengan putri mereka, ke dua orang itu segera tertawa gembira.

Buru-buru Lan See giok dan Oh Li cu maju ke depan sambil memberi hormat.

Sambil tertawa gembira Oh Tin san segera berkata:

"Anak Giok, hari ini empek tua akan mem-perkenalkan kau kepada segenap komandan dan saudara-saudara kita yang ada di dalam benteng, mulai hari ini kau sudah kami ang-kat menjadi sau pocu -benteng Wi-lim-poo."

Say-nyoo-hui tertawa pula sambil menarik tangan Lan See-giok, sengaja ujarnya:

"Anak Giok, kenapa kau tidak cepat-cepat berterima kasih kepada empek Oh mu?"

Demi keberhasilannya melarikan diri, demi berhasil mempelajari ilmu berenang dan demi keberhasilannya mem-balaskan dendam ayahnya, terpaksa Lan See giok harus mengesampingkan semua masalah, biarpun harus menganggap bajingan sebagai ayah dia mau tak mau harus menahan diri.

Maka kepada Oh Tin san katanya lagi sambil menjura:

"Terima kasih banyak empek tua!"

Oh Tin san segera tertawa terbbahak bahak dengjan bangganya.

gBe congkoan danb Thio-Wi-kang pun secara beruntun maju ke depan untuk menyapa Lan See giok dan Oh Li cu.

Lain halnya dengan si kupu-kupu ditengah ombak Li Ci cun, sejak menyaksikan sikap mesra Oh Li cu terhadap Lan See giok, dia sudah menarik mukanya, menunjukkan si-kap tak senang hati, apalagi setelah dilihat nya gadis itu tak pernah memandang sekejap matapun ke arahnya, api amarahnya sema-kin berkobar.

Namun ia terpaksa harus mengekang rasa gusarnya setelah menyaksikan Be congkoan dan Thio-Wi-kang telah maju menyapa, dia segera maju pula ke depan sambil memberi hormat.

Begitulah, dengan Oh Tin san berjalan di depan, Say nyoo-hui dan Oh Li cu mengapit Lan See giok di tengah, Be congkoan sekalian bertiga menyusul di belakang, mereka ber-sama sama naik ke atas perahu naga emas.

Sepanjang perjalanan, Oh Li cu tak pernah meninggalkan Lan See giok barang selang-kahpun, begitu mesra dan hangatnya hubu-ngan mereka tak ubahnya seperti sepasang pengantin baru.

Oh Tin san dan Say nyoo-hui yang me-nyaksikan adegan itu menjadi amat gembira senyuman lebar tidak hentinya menghiasi bibir mereka---

Benteng Wi-lim-poo memang luas sekali, mereka berlayar hampir seperti minum teh lamanya sebelum mencapai sebuah jalur air yang cukup lebar di depan pintu benteng yang tinggi dan kokoh.

Waktu itu pintu benteng sudah terbentang lebar, aneka lentera menghiasi seluruh ba-ngunan benteng, ketika terhembus angin bola-bola lentera itu bergoyang tiada henti-nya.

Enam orang lelaki bercelana biru berbaju merah, berdiri berjalan di atas loteng, di ta-ngan masing-masing orang tampak mem-bawa terompet panjang yang dihiasi bendera warna warni.

Begitu perahu naga berlayar memasuki lorong benteng, serentak ke enam lelaki itu meniup terompetnya keras-keras.

Menyusul kemudian suara tambur dan genderang dibunyikan bertalu talu, meng-i-ringi gerakan sang perahu yang semakin ce-pat.

oooOooo

BAB 8

Dengan wrajah serius pelzan-pelan Oh Tinw san bangkit berrdiri, kemudian didampingi Say nyoo-hui mereka beranjak ke luar dari ruangan perahu.

Oh Li cu segera menarik tangan Lan See giok dan menyusul di belakang ke dua orang tuanya.

Biarpun Lan See giok tahu kalau semua yang dipersiapkan oleh Oh Tin san termasuk bagian dari rencana busuknya, tak urung hatinya merasa tegang juga setelah menyak-sikan kesemuanya itu terutama sekali suara tambur yang dibunyi-kan bertalu talu, mem-bikin hatinya semakin tak tenang.

Berpaling ke belakang, keningnya segera berkerut kencang, dia menyaksikan si kupu-kupu di tengah ombak Li Ci cun yang berdiri di belakangnya sedang menyeringai seram sambil melotot ke arahnya penuh kebencian.

Lan See giok sungguh tak habis mengerti, dia tak mengerti apa sebabnya Li Ci cun menunjuk sikap yang begitu tak bersahabat dengan dirinya.

Mendadak satu ingatan melintas lewat, ia lantas teringat kembali dengan peringatan dari Oh Li cu, pikirnya:

"Waah, jangan-jangan sehabis upacara perkenalan nanti, Li Ci cun akan me-nan-tangku untuk bertarung?"

"Aaah, mustahil." demikian pikirnya kemu-dian, "hal ini tak masuk di akal, siapa yang berani merebut kedudukan sau-pocu de-nganku---?"

Sementara dia masih melamun, perahu te-lah berlabuh di sisi kanan pintu gerbang, menyusul kemudian beberapa orang itu tu-run dari perahu dan menelusuri undak un-dakan batu yang besar menuju ke bangunan loteng di atas benteng.

Sekarang Lan See giok baru berkesem-patan untuk melihat jelas lagi, dinding ben-teng itu luasnya mencapai delapan depa, se-lain tebal dan panjang, nampaknya amat kokoh.

Setibanya di atas loteng, beberapa orang itu langsung menuju ke atas mimbar di de-pan loteng, di depan mimbar tersedia se-buah meja panjang beralas kain merah, mungkin disitulah terletak mimbar kehormatan.

Dalam pada itu suara tambur telah ber-henti, kecuali suara ombak yang memecah di kaki benteng, sama sekali tak ke-dengaran sedikit suarapun.

Lan See giok mengikuti di belakang Oh Tin san langsung menuju ke atas mimbar ke-hormatan.

Sesampainya di depan meja kehormatan dan melongok ke bawah, pemuda itu kontan merasakan matanya silau, ia betul-betul dibuat terkejut sampai tertegun untuk se-saat.

(Bersambung ke Bagian 010)




DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar