Anak Harimau Bagian 03

Baca Cersil Mandarin Online: Anak Harimau Bagian 03

Bagian 03

Sebagai bocah yang pintar, Lan See giok segera mengambil lampu lentera di meja dan didekatkan pada goresan tersebut.

la tahu, besar kemungkinan goresan ter-se-but menyangkut soal nama pembunuh yang telah menghabisi jiwa ayahnya . . .

Lama sekali Lan See giok mengamati go-re-san itu dengan seksama, akhirnya dia ber-hasil menarik kesimpulan kalau goresan tersebut adalah sebuah goresan tulisan.

Tampaknya tulisan itu adalah sebuah hu-ruf "To" atau tunggal.

Dengan termangu mangu dia mengawasi huruf tersebut sambil berpikir.

"Apakah arti kata dari huruf To itu? Apakah julukan dari pembunuh ayahnya...? Ataukah menunjukkan nama marga orang itu?"

Dengan cepat dia memeras otak berusaha untuk mencari diantara nama-nama tokoh persilatan yang pernah diberitahukan ayah-nya selama ini, apakah ada yang ber-julukan dengan huruf To "ataupun meng-gunakan nama marga To--.

Tapi dia kecewa, tak seorangpun diantara jago-jago yang teringat olehnya memper-guna-kan-kan julukan itu, diapun tak tahu apakah di kolong langit terdapat orang yang menggu-na-kan nama marga To.

Akhirnya dia meletakkan kembali lampu lentera itu ke atas meja, membopong jenazah ayahnya ke atas pembaringan, ke-mudian sambil duduk di sisinya dia menangis ter-sedu sedu.

Sambil menangis dia berdoa kepada ayah-nya agar membantunya dalam pencarian orang yang menggunakan huruf "tunggal" pada julukan atau namanya . . . .

Mata tunggal---

Mendadak bayangan manusia berjubah hitam, berwajah seram dan bermata tunggal itu melintas kembali dalam benaknya.

Lan See giok segera berhenti menangis, dengan kobaran api dendam segera gumam nya.

"Betul, sudah pasti si manusia bermata tunggal itu--- sudah pasti keparat itu---"

Tapi diapun teringat, pula dengan orang yang telah menggeledah sakunya ketika ia pingsan karena sedih tadi, siapa pula orang itu? Apakah dia bukan pembunuh ayahnya?

Satu ingatan segera melintas di dalam benaknya, dia merasa bila ingin mengetahui siapakah pembunuh ayahnya, dia harus mencari ke belakang dinding ruangan itu serta menemukan orang yang telah menghantamnya sampai pingsan itu.

Mendadak dia melompat bangun dan segera lari menuju ke dalam kamar tidurnya.

Setitik cahaya terarah mencorong masuk lewat lubang angin dalam kamarnya, ter-nyata fajar telah menyingsing.

Selangkah demi selangkah dia berjalan menuju ke depan pembaringan, kemudian ber-jongkok ke bawah, di situ hanya dijum-pai segumpal darah, sedangkan orang yang bersembunyi di sana telah dilarikan si manu-sia bermata tunggal itu.

Dalam sekejap mata saja dia lantas me-na-ruh curiga terhadap orang yang telah di-lari-kan si mata tunggal itu, dia curiga bukan saja orang itu telah menyimpan barang yang hendak didapatkannya, bahkan curiga kalau orang itu telah menyaksikan adegan sewaktu ayahnya terbunuh.

Dengan termangu Lan See giok menga-wasi senjata gurdi emas yang menembusi dinding ruangan itu, baru pertama kali ini dia me-n-getahui betapa tajamnya senjata gurdi emas tersebut.

Ia berjalan ke luar dari ruangan, mengerahkan segenap tenaganya untuk mem-betot keluar senjata gurdi tersebut, ke-mudian menggulungnya dan dimasukkan ke dalam saku, dia bertekad hendak mengguna-kan senjata gurdi emas milik ayahnya untuk membinasakan pembunuhan keji tersebut.

Sekarang dia merasa kemungkinan si manusia bermata tunggal itulah pembunuh ayahnya yang terbesar, kemudian orang yang menggeledah tubuhnya merupakan orang kedua yang perlu dicurigai, sedang-kan orang yang bersembunyi di belakang dinding dan belakang meja serta si kakek tunggal paling kecil kemungkinannya.

Walaupun begitu, dia masih tetap mena-ruh curiga terhadap kakek berjubah kuning yang berwajah ramah itu, dia tak tahu apakah orang itulah yang telah menghajar-nya sampai pingsan atau bukan.

Selain itu, diapun tak habis mengerti sia-pakah orang yang kemungkinan besar sem-pat mengikuti adegan pembunuhan ter-ha-dap ayahnya.

Dalam keadaan begini dia, lantas ber-pen-dapat bahwa ia harus pergi menuju ke dusun Hong hi cun mencari si kakek berju-bah kuning itu dan mencari keterangan darinya, lagi pula kakek itupun pernah ber-janji dia akan menerangkan sebab musabab terja-di-nya pembunuhan terhadap ayahnya itu.

Setelah mengambil keputusan, buru-buru dia menuju ke sisi pembaringan di mana jenazah ayahnya berbaring, dia hendak membawa jenazah ayahnya menuju ke ru-ang dalam dan membaringkannya bersama dengan jenazah ibunya.

Belum lagi dia berbuat sesuatu mendadak terdengar lagi suara ujung baju yang ter-hem-bus angin berhembus tiba.

Dengan perasaan terperanjat Lan See giok segera berpikir

"Siapa lagi yang datang?"

Mendadak . . . . . terdengar suara isak tangis yang amat keras berkumandang datang dari pintu masuk ruangan kuburan itu.

Dengan perasaan terperanjat Lan See giok segera berpaling, ia saksikan sesosok baya-ngan manusia diiringi suara isak tangis yang parau bergema tiba dengan kecepatan luar biasa.

Cepat sekali gerakan tubuh bayangan hi-tam itu, hanya di dalam waktu sekejap ia te-lah tiba di sana.

Lan See-giok dibuat kalut juga pikiran-nya setelah menyaksikan kejadian itu, untuk menyembunyikan diri tak sempat lagi.

Tampaklah bayangan hitam itu segera menubruk ke depan jenazah yang berada di atas pembaringan dan menangis tersedu sedu, sebuah benda tiba-tiba terjatuh ke tanah.

Oleh kejadian yang berlangsung sangat mendadak dan di luar dugaan ini, Lan See giok hanya bisa berdiri termangu mangu dan untuk sesaat tak tahu apa yang mesti di-la-kukan.

Ketika ia mencoba untuk mengamati benda yang terjatuh ke tanah, ternyata isi-nya adalah sebuah keranjang bambu yang penuh berisikan hio, lilin dan uang kertas.

Ketika dia mengawasi pula orang yang se-dang menangis di depan jenazah ayahnya, ternyata orang itu adalah seorang kakek ku-rus kering yang berbaju abu-abu, berambut putih dan bertelinga tunggal.

Waktu itu, dengan suara yang parau si kakek bertelinga tunggal itu menangis tiada hentinya.

"Ooooh adik Khong-tay . . . sungguh me-ngenaskan kematianmu ini . . . oooh . . . be-tapa sengsaranya engkoh tua mencari dirimu . . ."

Begitu mengetahui kalau orang itu adalah sahabat karib ayahnya, kontan saja Lan See -giok merasakan kesedihan yang tak ter-ken-dalikan, dia segera menubruk ke tubuh kakek itu dan turut menangis tersedu sedu.

Dalam waktu singkat seluruh ruangan kuburan itu sudah dipenuhi oleh isak tangis yang mengenaskan, suasana begitu sedih dan penuh kepedihan membuat siapapun akan turut beriba hati bila melihatnya.

Dalam isak tangisnya, Lan See giok me-rasa ada sebuah tangan yang kurus kering sedang membelai kepalanya dengan penuh kasih sayang, bersamaan itu pula terdengar kakek bertelinga tunggal itu berseru sambil menangis terisak:

"Anak Giok, anak yang patut dikasihani..."

Kata selanjutnya tak bisa dilanjutkan karena suaranya menjadi sesenggukan dan tersendat sendat.

Mendengar panggilan "Anak Giok" yang mesra itu, isak tangis Lan See giok semakin menjadi.



Walaupun dalam ingatannya dia belum pernah mendengar ayah ibunya pernah ber-bicara tentang seorang empek yang ber-telinga tunggal, namun sejak kehilangan ayahnya, inilah panggilan mesra pertama yang dide-ngar olehnya.

Itulah sebabnya pula dalam hati kecilnya segera menaruh perasaan yang akrab terha-dap kakek ceking bertelinga tunggal ini.

Terdengar kakek ceking itu berkata de-ngan penuh kasih sayang.

"Anak Giok, jangan menangis, bangun-lah, biar empek tua melihat wajahmu.. . su-dah sepuluh tahun lebih kita berpisah, sungguh tak nyana kalau kau sudah tumbuh menjadi begini dewasa. .."

Air mata Lan See giok ibaratnya anak su-ngai yang meluap, tanpa terasa lagi dia me-meluk tubuh kakek ceking bertelinga tung-gal itu semakin kencang.

Kembali kakek itu menghela napas sedih lalu bisiknya agak gemetar :

"Anak Giok, anak yang patut dikasi-hani...."

Sambil berkata dia lantas membopong tubuh Lan See-giok dan membangunkan-nya.

Lan See-giok masih saja menangis ter-sedu-sedu . . . .

Dengan penuh kasih sayang kakek ber-telinga tunggal itu menyeka air mata yang membasahi pipinya.

Lan See-giok belum sempat melihat raut wajah empek tuanya ini, ketika dia mendo-ngakkan kepalanya dan mengamati dengan seksama, tiba-tiba timbul suatu perasaan seram dalam hatinya, ternyata kakek ceking bertelinga tunggal ini mempunyai wajah ber-bentuk kuda, ber-alis botak, mata sesat, mu-lut, tipis tak ber-jenggot, tulang kening lancip serta hidung melengkung seperti pa-ruh elang. Tampang semacam ini seratus persen adalah tampang dari seorang manu-sia sesat.

Setelah menangis sekian lama, walaupun di atas wajahnya yang penuh keriput tak nampak basah oleh air mata, namun sepasang mata sesatnya yang penuh kelici-kan telah berubah menjadi merah membara.

Lan See giok benar-benar tidak percaya dengan pandangan matanya, dia tak me-ngira kalau seorang yang bersuara lembut, bersi-kap hangat dan penuh kasih sayang itu ter-nyata memiliki raut wajah yang menye-ram-kan bserta menggidikjkan hati.

Tapig bukankah di dubnia ini tak sedikit manusia berwajah jelek dan menyeramkan yang justru berhati bajik dan mulia?

Berpikir demikian, agak lega juga perasa-an hatinya.

Menyaksikan Lan See giok hanya meng-a-matinya terus tanpa berkedip, dengan nada penuh kasih sayang kakek bertelinga tung-gal itu segera menegur:

"Anak Giok, sudah tidak kenal lagi dengan empek tua?"

Sambil berkata, tangannya yang kurus keying itu tiada hentinya meraba bahu mau-pun punggung Lan See giok.

Anak itu menatap sekejap si kakek, lalu mengangguk jujur.

Kakek bertelinga tunggal itu segera ter-tawa getir, katanya dengan sedih:

"Yaa. ini memang tak dapat me-nyalahkan kau, sudah sepuluh tahun lebih kita tak per-nah bersua, waktu itu kau masih seorang anak cilik yang tak tahu apa-apa..."

Berbicara sampai di situ, sepasang mata sesat nya segera melirik sekejap ke arah ma-yat Lan Khong tay, kemudian sambung-nya lebih jauh:

"Anak Giok, apakah ayahmu belum per-nah membicarakan tentang diriku kepadamu?"

Lan See giok merasa kurang leluasa untuk menjawab secara terus terang, maka sahut-nya:

"Ayah memang seringkali membicarakan tentang nama dan empek yang banyak sekali jumlahnya, sayang anak Giok bodoh dan tak bisa mengingat terlalu banyak."

Mendengar jawaban tersebut, si kakek bertelinga tunggal itu segera tertawa bangga.

Tapi menyaksikan kening Lan See giok berkerut kencang, dia segera menarik kem-bali senyumnya dan berkata lagi dengan sedih:

"Anak Giok, cepat kau pungut hio dan lilin itu, mari kita bersembahyang di depan jenazah ayahmu ...."

Berbicara sampai di situ, dia lantas mem-bungkukkan badan dan memunguti lebih dulu kertas uang, hio dan lilin.

Tergerak hati Lan See giok setelah me-nyak-sikan benda-benda itu, dengan cepat dia ber-seru:

"Empek tua, sudah sepuluh tahun lebih kau berpisah dengan ayahku, darimana kau bisa tahu kalau ayah dan anak Giok tinggbal di sini?" Dajri mana pula kagu bisa tahu kalbau ayahku tewas?"

Kakek bertelinga tunggal itu sedikitpun ti-dak gugup, sahutnya dengan pelan:

"Anak Giok, sudah sepuluh tahun lebih empek mencari ayahmu, semalam ketika aku berada di kota sebelah depan sana, tiba-tiba kudengar di luar penginapan ada orang se-dang membentak-bentak, ketika empek lari ke luar, ternyata orang itu adalah To-kak-thi koay (Tongkat besi kaki tunggal) Gui Pak -ciang, seorang musuh bebuyutan ayahmu di masa lalu...."

Tergerak kembali perasaan Lan See giok, cepat dia menimbrung:

"Empek maksudkan seorang kakek ber-tongkat besi yang kehilangan kaki sebelah kiri nya?"

Kakek bertelinga tunggal itu nampak agak tertegun, kemudian serunya tidak habis mengerti:

"Apa? Jadi kau kenal dengan dia?"

Menyinggung soal itu, Lan See giok segera teringat kembali akan perbuatan si Toya besi berkaki tunggal Gui Pak ciang yang te-lah menusuk tubuhnya dengan toya besi terse-but, dengan kening berkerut serunya penuh rasa dendam.

"Dua jam berselang, dia telah datang ke mari!"

Diam-diam kakek bertelinga tunggal itu melirik sekejap wajah Lan See giok yang dili-puti hawa amarah, kemudian dengan paras muka berubah hebat pikirnya:

"Tebal amat hawa pembunuhan dari anak ini ..."

Kemudian sambil menghela napas sedih katanya lebih jauh.

"Benar, aku tahu kalau kalian tinggal di sini dan tahu juga kalau adik Khong tay te-lah tewas, aku tahu karena dia yang mem-berita-hukan hal itu kepada empek, waktu itu aku merasa sedih sekali, sehingga setelah men-cari keterangan jalan kemari, akupun mem-beli hio dan lilin, langsung berangkat ke mari..."

Kemarahan dan rasa dendam Lan See -giok segera berkobar lagi, tiba-tiba ia ber-paling ke arah kakek bertelinga tunggal itu, lalu ber-tanya dengan sedih:

"Empek, apakah kau tidak bertanya ke-padanya siapa yang telah membinasakan ayahku?"

Sekali lagi kakek bertelinga tunggal itu merasakan hatinya bergetar keras sesudah menyaksikan sorot mata Lan rSee-giok yang tzajam bagaikan swembilu, ia merarsa walau-pun usia Lan See giok hanya belasan tahun, tapi paling tidak ia sudah memiliki tenaga dalam sebesar sepuluh tahun hasil latihan, suatu kehebatan yang luar biasa.

Maka sambil menunjukkan perasaan sedih dan pedih, dia menjawab:

"Sebodoh-bodohnya empek, tak nanti aku akan lupa menanyakan persoalan yang maha penting ini, menurut dia, sewaktu ia mema-suki kuburan ini dibalik kegelapan tampak sesosok bayangan manusia yang menyem-bunyikan diri, setelah dilakukan pengejaran sampai di dalam hutan, barulah diketahui kalau orang itu adalah To pit him (beruang berlengan tunggal) Kiong Tek cong..."

Mendengar nama "Beruang berlengan tung-gal', tergerak hati Lan See giok, dengan cepat ia menjadi sadar kembali apa sebab-nya orang itu setelah menotok jalan darah-nya, tetap meraba pula dengan tangan kanan, rupanya dia adalah seorang yang berlengan tunggal.

Teringat akan "berlengan tunggal," dia lantas terbayang kembali dengan huruf "tunggal" yang digoreskan ayahnya di atas tanah.

Tapi sekarang telah muncul seorang ber-kaki tunggal, seorang berlengan tunggal, dan seorang lagi bermata tunggal, siapakah yang dimaksudkan ayahnya sebagai "tung-gal" tersebut?

Dengan keterangan yang diperolehnya dari si kakek yang bertelinga tunggal ini, maka dia mulai merasa ragu lagi terhadap kesimpulan nya semula yang menduga si manusia ber-mata tunggal itulah pembunuh ayahnya.

Karenanya dengan kening berkerut dia mulai memutar otak untuk melakukan analisa, sebenarnya pembunuh ayahnya itu si Beruang berlengan tunggal Kiong Tek ciong ataukah si manusia bermata tunggal?

Tapi akhirnya dia menarik kesimpulan, kemungkinan yang paling besar adalah si Beruang berlengan tunggal.



Tapi sewaktu si manusia bermata tunggal memasuki gua tadi, ia masuk dengan ter-buru -buru, bahkan melirik ke arah ayahnya pun tidak, sebaliknya langsung menuju ke pem-baringan dan melakukan pemeriksaan, bu-kankah hal ini membuktikan kalau ia su-dah pernah datang satu kali di situ?

Dalam pada itu si kakek bertelinga tung-gal sedang memasang hio sambil diam-diam mengawasi Lan See giok yang sedang ber-diri termenung. .

Tiba-tiba ia mendengar bocah itu sedang berguman.

"Tapi. . . mengapa dia balik lagi untuk menggeledah pembaringan serta lubang angin?"

Dengan perasaan tidak habis mengerti si kakek bertelinga tunggal itu segera menim-brung:

"Anak Giok, siapakah yang kau maksud kan?'.

Lan See giok berusaha menenangkan hati-nya, lalu berpaling sambil bertanya:

"Empek tua, apakah kau kenal dengan se-orang manusia bermuka hijau, bergigi taring dan bermata tunggal?"

Paras muka kakek bertelinga tunggal itu berubah hebat, tampaknya dia merasa ter-kejut sekali, kemudian serunya dengan ce-mas:

"Apa? Iblis keji itupun telah datang?"

Dari mimik wajah kakek itu, Lan See giok segera tahu kalau manusia bermata tunggal itu adalah seorang manusia yang sangat li-hay, dia lantas manggut-manggut.

"Empek, siapakah orang itu?" serunya.

"Dia adalah seorang iblis yang amat ter-masyhur namanya di dalam golongan putih maupun golongan hitam, orang menyebut nya sebagai To gan liau pok (setan buas ber-mata tunggal) Toan Ki tin".

Sambil menjawab, dia lantas membawa hio dan berjalan ke depan pembaringan.

Lan See giok masih saja berdiri termangu -mangu sambil membawa uang kertas ter-se-but, dia lupa menderita, tiada air mata dalam kelopak matanya, ia sudah dibikin kebi-ngungan oleh teka teki yang berada di ha-da-pannya. . .

Diam-diam kakek bertelinga tunggal itu melirik sekejap ke arah Lan See giok ke-mudian serunya:

"Anak giok, cepat kau bakar uabng kertas itu!"j

Lan See giok gsegera tersadarb kembali dan maju mendekat, tapi apa yang kemudian tertera di hadapannya membuat ia menjadi terkejut sehingga paras mukanya berubah.

Ternyata kakek bertelinga tunggal itu te-lah menancapkan hio tadi ke atas tiang kayu di ujung pembaringan, dilihat dari sini dapat diketahui kalau tenaga dalamnya benar-benar sangat lihay.

Dengan air mata bercucuran Lan See giok segera berseru.

"Oooh empek tua, mengapa kau tidak mau datang sehari lebih pagian, jika empek ada di sini, niscaya ayah tak sampai dicela-kai orang."

"Aaai . . . anak Giok, inilah yang dina-makan takdir, kalau aku tidak bertemu de-ngan To kak- thi-koay Gui Pak ciang secara kebetulan, empek malah tidak tahu kalau kalian berdiam di dalam kuburan rahasia ini."

Setelah hening sejenak, tiba-tiba Lan See- giok bertanya lagi:

"Empek, tahukah kau, apa sebabnya ayah-ku pindah ke dalam kuburan kuno ini?"

Kakek bertelinga tunggal itu nampak agak sangsi, kemudian sahutnya:

"Keadaan yang sebenarnya tidak begitu kuketahui, tapi menurut sementara orang persilatan, mereka menduga ayahmu telah berhasil menemukan sejilid kitab Cinkeng ketika berada di bawah puncak Giok li hong di bukit Hoa san . . . ".

Menyinggung soal puncak Giok li hong di bukit Hoa San, Lan See giok teringat kem-bali akan kakek berbaju kuning yang ber-wajah ramah itu, dia mengatakan kalau te-lah ber-temu dengan ayahnya di bawah pun-cak Giok li hong.

Sementara dia masih termenung, kakek bertelinga tunggal itu telah bertanya lagi de-ngan ramah.

"Anak Giok apakah ayahmu pindah ke mari benar-benar dikarenakan persoalan tersebut?

Dengan cepat bocah itu menggeleng.

"Tidak, anak Giok tidak tahu, tapi belum pernah kusaksikan ayahku membaca kitab Cinkeng apapun . . ."

Belum selesai Lan See-giok menjawab, dengan senyum ramah kakek bertelinga tunggal itu telah menukas, katanya:

"Sekalipun namanya kitab Cinkebng, se-sungguhnjya tak lebih cugma sebuah kotakb kecil .."

Mendengar sampai di situ, Lan See-giok hampir saja tak sanggup menahan diri, jan-tungnya berdebar semakin keras.

Mencorong sinar terang dari balik mata si kakek yang sesat, di atas wajahnya yang menyeramkan terpancar pula sinar kerakus-an, tapi sejenak kemudian katanya lagi sam-bil tertawa ramah:

"Anak Giok, pernahkah kau menyaksikan kotak kecil itu?"

Lan See-giok merasakan jantungnya se-makin keras, dia merasa walaupun kakek bertelinga tunggal ini adalah sahabat karib ayahnya, tapi ia merasa tak baik untuk me-ngungkap persoalan tersebut sekarang.

Maka setelah ragu-ragu sebentar, sahut-nya agak tergagap:

"Anak Giok belum pernah menyaksi-kan-nya!"

Selesai berkata dia lantas menundukkan kepalanya dengan perasaan malu dan me-nyesal.

Sedang si kakek bertelinga tunggal itu nampak berubah hebat paras mukanya, keningnya berkerut dan mata sesatnya me-lotot besar, senyuman menyeringai segera menghiasi wajahnya, tampang yang pada dasarnya sudah menyeramkan, kini semakin menakutkan lagi.

Tenaga dalamnya segera dihimpun ke dalam telapak tangan kanannya yang kurus kering, kelima jari tangannya yang di pen-tangkan bagaikan cakar pelan-pelan di ang-kat ke angkasa.

Sedang Lan See-giok sendiri, waktu itu merasa menyesal sekali karena telah berbo-hong, saking malunya dia sampai tak berani mendongakkan kepalanya lagi, dia merasa tidak seharusnya berbohong terhadap se-orang empek sahabat karib ayahnya yang su-dah sepuluh tahun lebih mencari mereka.

Si kakek bertelinga tunggal itu sudah me-ngejangkan seluruh kulit mukanya, tangan kanannya yang ceking dan penuh disertai tenaga dalam itu sudah di angkat melam-paui bahunya.

Tapi kemudian berkilat sepasang mata-nya, wajah yang semula menyeringai serampun kini pulih kembali seperti sedia kala. se-nyuman licik menghiasi ujung bibirnya. ta-ngan kanannya yang sudah dipersiaprkan seperti cakzar setanpun ditwu-runkan kembalri ke bawah.

Kemudian dengan suara yang tetap ramah dan lembut dia berkata:

"Tentu saja, terhadap masalah sepenting ini, apalagi menyangkut benda mestika dari dunia persilatan, mana mungkin dia akan perlihatkan kepada seorang anak yang tak tahu urusan seperti kau..."

Setelah berhenti sebentar, dia berkata le-bih jauh:

"Apa lagi sekalipun kau tahu juga tak akan memahami betapa pentingnya benda terse-but."

Lan See giok segera mengiakan berulang kali untuk menutup ketidak tenangan di dalam hatinya.

Kakek bertelinga tunggal itu memandang sekejap ke arah jenazah yang berbaring di atas pembaringan, kemudian kembali dia berkata:

"Anak Giok, orang bilang masuk ke tanah akan membuat yang tiada menjadi tente-ram, kita harus segera mengebumikan jenazah ayahmu ini---"

Lan See giok merasakan hatinya amat sa-kit bagaikan diiris-iris dengan pisau belati, ia mendongakkan kepalanya dan memandang jenazah ayahnya sekejap, kemudian kata-nya:

"Anak Giok bermaksud untuk membaring-kan-kan jenazah ayahku di samping jenazah ibuku di dalam kuburan sana---"

"Apakah kau tahu jalan menuju ke dalam kuburan sana?" tidak menunggu bocah itu menyelesaikan kata katanya, si kakek ber-telinga tunggal itu telah menukas lebih dulu.

Tanpa ragu Lan See giok mengangguk, tapi sorot matanya masih tetap menatap jenazah ayahnya.

"Setiap tahun disaat hari kematian ibuku, ayah pasti mengajak Giok ji masuk ke dalam untuk menengok wajah ibu."

Berbicara sampai di situ, dua baris air mata segera jatuh bercucuran membasahi pipinya.

Kejut dan girang segera menyelimuti wa-jah jelek kakek bertelinga tunggal itu, de-ngan tak sadar dia segera berseru.



"Kalau memang begitu, mari kita segera tu-run tangan"

Tidak menunggu pendapat dari Lan See- giok lagi, buru-buru dia menuju ke depan pembaringan dan membopong bangun jenazah dari si Gurdi emas peluru perak Lan Khong tay, kemudian melanjutkan:

"Giok ji, kau jalan di muka!"

Lan See giok pun merasa ada baiknya un-tuk segera mengirim jenazah ayahnya ke dalam kuburan, maka sambil mengangguk dia berjalan lebih dulu menuju ke sebuah lorong.

Kakek bertelinga tunggal itu hampir saja tak sanggup mengendalikan gejolak emosi dalam dadanya, sehingga wajahnya nampak berseri, sambil membopong jenazah Lan Khong-tay ia segera mengikuti di belakang Lan See giok kencang- kencang.

Kedua orang itu dengan menelusuri lorong yang gelap segera berputar ke kiri berbelok ke kanan, berjalan terus tiada hentinya . .

Akhirnya sampailah mereka di depan se-buah persimpangan jalan, di kedua belah samping lorong itu terdapat dinding yang berbentuk hampir sama, dan di sana terda-pat pintu besi yang besarnya hampir sama tertutup rapat.

Melihat hal itu, si kakek bertelinga tunggal itu nampak sangat gelisah, apa lagi setelah menyaksikan Lan See-giok berjalan dengan langkah yang amat berhati - hati, dengan ce-pat dia alihkan Lan Kong thay ke bawah ke-tiaknya.

Maka setiap kali mereka melakukan be-lo-kan dia lantas mengerahkan tenaga dalam-nya ke ujung jari dan diam-diam membuat sebuah tanda di atas dinding gua tersebut.

Tak selang berapa saat kemudian, mereka telah melalui tujuh buah ruangan batu ber-bentuk persegi serta tiga puluh ruang ku-buran kosong yang amat besar, akhirnya di depan sana muncul setitik cahaya yang amat redup dibalik kegelapan.

Tergerak hati kakek bertelinga tunggal itu, dia tahu di depan sana adalah tempat yang mereka tuju, buru-buru jenazah Lan Khong tay dibopong dengan baik.

Saat itulah Lan See giok telah berpaling sembari berkata.

"Empek, di depan situlah terletak kuburan ibuku!"

Kemudian, sewaktu dilihatnya kbakek itu membopjong jenazah ayaghnya dengan amabt hormat, dia menjadi terharu sekali. segera ujarnya lebih jauh.

"Empek, tahukah kau bahwa kuburan raja ini berada dalam keadaan kosong? Hanya kuburan inilah baru benar-benar merupakan kuburan Leng ong-- -"

Tak terlukiskan rasa girang kakek ber-telinga tunggal itu setelah mendengar uca-pan tersebut, sampai lama kemudian ia baru ber-kata dengan suara gemetar.

"Empek tahu . . . ."

ooo0ooo

BAB 3

RAHASIA TERCURINYA PEDANG

DENGAN wajah tertegun Lan See giok segera berpaling dan memandang sekejap ke arah kakek bertelinga tunggal itu.

Dengan cepat kakek itu tahu kalau dia te-lah salah berbicara, satu ingatan dengan ce-pat melintas dalam benaknya, ujarnya de-ngan penuh kesedihan.

"Sesudah sepuluh tahun lebih empek men-cari orang tuamu, meskipun tak bisa ber-temu dalam keadaan hidup, tapi asal aku bisa melihat wajah ibumu yang sudah lama tiada pun rasanya tidak sia-sia belaka per-jalanan-ku selama puluhan tahun ini"

Lan See giok segera mengucurkan kem-bali air matanya karena ia sedih. Sementara pembicaraan sedang berlangsung, mereka sudah tiba di suatu tempat yang bersinar itu.

Sebuah pintu besi yang tinggi besar ber-diri angker di hadapan mereka, pintu itu tertutup rapat sementara di sebelah kiri dan kanannya masing-masing terdapat sebuah ruangan batu.

Di atas pintu besi itu terdapat sebuah mu-tiara yang memancarkan cahaya berkilauan.

Lan See giok segera menyeka air mata dan berjalan masuk ke dalam ruangan batu di sebelah kiri.

Sementara itu kakek bertelinga tunggal se-dang mengawasi gerak gerik, bocah itu de-ngan seksama, paras mukanya yang jelek dan licikpun mengikuti setiap perubahan dari Lan See giok berubah ubah.

Pelan-pelan Lan See giok berjalan menuju ke sudut ruangan sebelah dalam lalu me-nyingkapkannya ke atas.

Batuan yang berada di sana palbing tidak mencajpai dua tiga ragtus kati beratnbya, tapi nyatanya Lan See giok dengan sepasang ta-ngannya dapat mengangkat batu itu secara mudah, hal ini kontan saja membuat kakek itu berubah wajah dan terperanjat sekali.

Menurut penilaiannya secara diam-diam, paling tidak tenaga dalam yang dimiliki Lan See giok telah mencapai sepuluh tahun ke-sempurnaan.

Selintas hawa napsu membunuh segera menghiasi wajah yang jelek, dengan cepat pikirnya:

"Jelas dia merupakan bibit bencana, manusia semacam ini tak boleh diampuni dengan begitu saja-"

Ia menyaksikan pula sebuah gelang besar berwarna hitam yang berkilat berada di bawah batu itu dan menempel di atas tanah.

Lan See giok segera menggenggam ge-lang itu, kemudian membentak keras sambil membetotnya ke atas, gelang itu dengan ce-pat terangkat ke atas menyusul muncul-nya seutas rantai besar.

Mendadak... dari bawah tanah sana berkumandang suara gemerincing yang amat ramai.

Menyusul kemudian pintu besi yang tinggi besar itu pelan-pelan bergeser kedua belah samping dengan menimbulkan suara geme-ri-cit yang berat.

Kakek bertelinga tunggal itu segera merasakan ada segulung hawa dingin yang menusuk tulang memancar ke luar dari balik pintu tersebut, tanpa terasa sekujur badannya gemetar keras.

Di balik pintu merupakan sebuah lorong yang panjangnya dua kaki, di ujung lorong sana merupakan sebuah dinding lagi, di bagian tengah dinding terdapat sebaris batu permata sebesar kepalan yang memancar-kan cahaya berkilauan.

Waktu itu pintu besi sudah terbuka lebar, Lan See-giok telah masuk pula ke dalam ru-angan, kepada kakek bertelinga tunggal itu segera serunya:

"Empek tua, mari kita masuk!"

Sembari berkata, dia lantas berjalan ma-suk lebih dulu ke dalam pintu besi tersebut.

Kakek bertelinga tunggal itu manggut-manggut, dia segera mengerahkan tenaga dalamnya untuk melawan hawa dingin yang mencekam, kemudian mengikuti di belakang Lan See giok.

Setibanya di ujrung lorong sanaz, terlihat-lah wdi kiri dan kanran lorong terdapat pula se-buah pintu besi.

Lan See giok berjalan ke pintu sebelah kiri, kemudian mendorongnya dengan sepe-nuh tenaga, pintu besi itu pelan-pelan menggeser ke samping dan terbuka lebar.

Hawa dingin yang mengalir ke luar dari gua tersebut terasa makin lama semakin tebal. Sekalipun kakek bertelinga tunggal itu sudah melawan dengan mengerahkan tenaga dalamnya, namun ia masih terasa kedingin-an bagaikan berada dalam gudang es, tanpa terasa pikirnya:

"Tak heran kalau jenazah yang disimpan di sini tidak membusuk, suhu udaranya saja sudah begini dinginnya."

Setelah memasuki pintu besi, di hadapan mereka terbentang selapis kain tirai yang sangat tebal.

Lan See giok segera menyingkap kain tirai itu lalu berbisik:

"Empek, masuklah lebih dulu!"

Tanpa sangsi kakek itu membungkukkan badan dan sambil membopong jenazah Lan Khong-tay masuk ke dalam, cahaya di dalam kuburan itu sangat redup, ditengah langit-langit terdapat sebuah mutiara merah sebe-sar telur itik, untuk sesaat suasana di dalam sana masih terasa remang-remang dan tidak jelas.

Dinginnya udara dalam ruangan itu segera membuat kakek bertelinga tunggal itu merasakan tangan maupun wajahnya sakit bagaikan disayat-sayat pisau, sebelum daya penglihatannya pulih kembali, dia tak berani masuk ke dalam secara gegabah.

Dengan wajah serius Lan See-giok me-nu-runkan kembali tirai itu, lalu bisiknya:

"Empek, sebentar lagi kau akan melihat dengan jelas."

Kakek bertelinga tunggal itu memang su-dah lama mendengar kalau dalam kuburan raja terdapat banyak barang mestika yang tak ternilai harganya, hanya saja dikarena-kan kuburan jebakan kelewat banyak, baha-yanya juga besar, maka jarang sekali ada orang yang berani masuk ke sana.



Dan kini, dia telah memasukinya, hal tersebut benar-benar merupakan suatu keja-dian yang tak pernah diduga sebelum-nya. . .

Lambat laun dari satu kaki di depannya muncul setitik cahaya bersilang yang aneh sekali.

Ketika cahaya silang itu diperhatikan lagi dengan seksama, ternyata benda itu adalah sepasang pedang berkain kuning yang di-le-takkan bersilang.

Kedua bilah pedang itu diletakkan di atas sebuah hiolo kecil terbuat dari tembaga yang diletakkan di atas meja batu, di kedua belah sisi hiolo kecil itu terletak sebuah ko-tak kecil yang terbuat dari emas.

Memandang semua benda gemerlapan yang berada di sana, sekali lagi sepasang mata sesat dari kakek bertelinga tunggal itu me-mancarkan cahaya tajam, sifat kera-kusan-nya muncul kembali, seakan akan lupa dengan jenazah Lan Khong tay yang masih berada dalam pelukannya dia maju ke de-pan.. .

Mendadak terdengar Lan See giok berbisik lirih.

"Empek, dari peti tembaga ke tiga belok ke sebelah kanan."

Selesai berkata ia maju ke depan lebih dulu

Teguran itu segera menyadarkan kembali si kakek bertelinga tunggal dari kekhilafan-nya, cepat dia amati dengan lebih seksama lagi, sekarang baru terlihat olehnya kalau di se-belah kiri dan kanan meja batu di mana pedang tersebut terletak, masing-masing membujur beberapa buah peti mati tem-baga.

Maka dia segera maju ke depan dan me-ngikuti di belakang Lan See- giok.

Kini sepasang mata kakek bertelinga tung-gal itu sudah terbiasa melihat dalam kege-lapan ia saksikan pula sebuah peti mati rak-sasa yang terbuat dari kaca kristal.

Diam-diam Lan See giok merasa agak tak senang hati juga melihat tindak tanduk kakek bertelinga tunggal itu setelah berada di sana dan celingukan ke sana kemari, si-kap tersebut seakan akan sudah lupa de-ngan tujuan kedatangan yang sebenarnya di sana, tapi diapun tidak menegur ataupun mengu-capkan sesuatu.

Sebab dia masih ingat, sewaktu ia masuk ke sana untuk pertama kalinya dulu, waktu itupun dia merasa keheranan dan ingin tahbu malah tidak bjerada di bawah gempek bertelingba tunggal ini.

Maka tanpa banyak berbicara lagi dia menghampiri sebuah peti mati tembaga dan melongok sekejap wajah ibunya yang berba-ring di dalam, lalu dengan air mata bercu-curan bisiknya:

"Ibu, ayah telah datang untuk menemani mu ....".

Kakek bertelinga tunggal itu segera me-narik kembali pandangannya dan menun-dukkan kepala, dia jumpai sebuah peti mati tembaga yang besar dan cukup memuat dua orang membujur di hadapannya.

Peti mati tembaga itu terbuat dari batu kristal sehingga raut wajah seorang perem-puan setengah umur yang berada di sebelah kanan peti mati itu dapat terlihat jelas.

Sambil menangis tersedu sedu, pelan-pe-lan Lan See giok menggeser penutup peti mati itu ke samping, hingga dengan begitu wajah pe-rempuan setengah umur yang berada dalam peti mati itupun dapat terlihat se-makin jelas.

Perempuan itu berhidung mancung dan berbibir kecil, meski matanya terpejam dan mukanya putih bagaikan kemala namun tak bisa disangkal lagi kalau perempuan itu adalah seorang perempuan cantik.

Iapun menjumpai paras muka Lan See giok mirip sekali dengan wajah perempuan sete-ngah umur yang berbaring dalam peti mati itu.

Lan See giok tak dapat mengendalikan rasa sedihnya lagi, dia segera menjerit ter-tahan:

"Ibu!"

Kemudian diapun memeluk kepala ayah-nya sambil menangis terisak sebelum akhirnya empek bertelinga tunggal mem-bopong jenazah ayahnya untuk dibaringkan di sisi jenazah ibunya.

Tampaknya kakek bertelinga tunggal itu sangat bernapsu dengan sepasang pedang serta sepasang kotak kecil di meja batu, ketika Lan See-giok sedang berlutut sambil menangis, diam-diam dia meninggalkan tem-pat itu dan mendekati meja batu terse-but.

Ketika melewati sisi beberapa buah peti mati tembaga yang membujur di sana, ia saksikan pula banyak sekali ukiran-ukiran bocah lelaki dan perempuan dengan pakaian yang perlente tergeletak di situ, sekilas pabn-dangan saja djapat diketahui gkalau semua benbda itu terbuat dari bahan berharga.

Barulah pada peti mati tembaga yang ke empat dia jumpai jenazah dari seorang pe-muda dan gadis yang sesungguhnya.

Kakek bertelinga tunggal itu segera ber-jalan mendekati peti mati kaca kristal itu. kemudian melongok ke dalamnya, ternyata di peti mati itu adalah Raja Leng ong serta per-maisurinya.

Sang raja mengenakan kopiah kebesaran- dengan jubah kuning bersulamkan naga, jenggotnya yang hitam terurai sepanjang dada, ia nampak masih amat segar.

Di sisinya berbaring permaisuri yang nam-pak masih amat muda, paling banter umurnya baru dua puluh enam-tujuh ta-hu-nan, wajahnya cantik dan senyuman di-ku-lum, ia nampak sangat tenang, jelas pe-rem-puan ini dipaksa mati untuk menemani suaminya.

Kakek bertelinga tunggal itu memandang sekejap ke arah jenazah Leng-ong yang berada dalam peti mati, kemudian sambil me-nyeringai seram pikirnya.

"Hmm . . sekarang kau boleh berbaring nyaman di situ, tapi suatu saat bila lohu su-dah merasa ajalku hampir tiba, saat itulah kau harus ke luar dari situ karena tempatmu akan kugunakan . . . "

Berpikir sampai di situ, dia lantas berjalan menuju ke depan kain kuning berisi sepasang pedang itu dan siap untuk me-ngambilnya.

Mendadak di pihak sana kedengaran Lan See giok sedang berseru sambil menangis tersedu- sedu:

"Ayah, ibu, beristirahatlah kalian dengan tenang, sekalipun badan Giok ji harus han-cur lebur, aku bersumpah akan mencincang tubuh manusia laknat itu untuk membalas-kan dendam bagimu. Ayah, lindungilah anak Giok, bila anak Giok berhasil mencincang tubuh musuh kita. pejamkanlah matamu yang melotot gusar itu . . ."

Si kakek bertelinga tunggal yang mende-ngar gumaman tersebut diam-diam mende-ngus, sekulum senyuman sinis segera ter-sungging di atas wajahnya.

Kemudian dia melanjutkan kembali per-buatannya untuk membuka kain kuning tersebut---

Begitu kain kuning itu terbuka... cahaya, berkilauan segera memancar ke empat pen-juru...

Lan See giok merrasa amat terpezranjat, buru-buwru dia lari menrdekat sambil berte-riak:

"Empek, jangan kau sentuh, ayah pernah bilang, jika sepasang pedang itu tergeser, dunia persilatan akan banjir darah, jangan kau sentuh sepasang pedang itu!"

Kakek bertelinga tunggal itu kontan saja tertawa dingin, serunya sinis.

"Aaah, omongan anak kecil."

Sembari berkata dia lantas mengambil salah satu dari pedang itu.

Lan See giok menyesal sekali setelah men-yaksikan kenekatan kakek itu, dia merasa tidak seharusnya mengajak orang itu ke mari, andaikata ia bukan teman akrab ayah-nya, niscaya dia sudah mendorongnya keluar dari tempat itu.

Pedang yang berada di tangan kakek ber-telinga tunggal itu bercahaya merah, di atas sarung pedangnya bertaburan batu permata yang sangat indah, di bagian tengahnya ter-dapat sebuah sulaman matahari merah de-ngan di sisinya terdapat sulaman awan.

Pada kedua belah sisi sarung tadi berta-tahkan batu permata kecil yang membentuk dua buah huruf kecil.

Dengan kening berkerut kakek bertelinga, tunggal itu nampak membungkam dalam seribu bahasa, agaknya ia tidak mengenal apa arti dari kedua huruf kuno itu.

Lan See-giok memang seorang bocah, walaupun dia tahu kalau pedang itu dilarang disentuh, tapi setelah diambil empek terse-but, diapun ikut maju ke depan untuk bisa melihat lebih jelas.

Maka segera serunya setelah menyaksikan kakek bertelinga tunggal itu hanya mem-bungkam belaka.

"Empek, apakah pedang itu adalah Jit hoa?"

Berseri wajah kakek itu setelah mendengar ucapan tersebut, sahutnya dengan cepat:

"Benar, pedang ini memang pedang Jit -hoa, Giok- ji, dari mana kau bisa tahu?"

"Ayah yang mengatakan kepadaku!"

Dengan gembira kakek itu segera menekan tombol rahasia di atas pedang itu, Klik!" lamat-lamat berkumandang suara pekikan naga.

Menyusul kemudian tubuh, pedang itu melejit ke luar sepanjang beberapa inci, se-ketika itu juga cahaya berkilauan yang amat menusuk pandangan mata memancar ke em-pat penjuru.

Saking emosinya seluruh tubuh kakek bertelinga tunggal itu gemetar keras, kulit wajahnya mengejang keras . . .

"Klik!" ia masukkan kembali pedang itu ke dalam sarungnya kemudian diletakkan kem-bali ke meja, setelah itu dia mengambil pedang yang lain.

"Empek, jangan dilihat lagi." buru-buru Lan See giok mencegah, "kedua belah pedang ini sama bentuknya . . "

(Bersambung ke Bagian 04)






DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar