Sebagai bocah yang pintar, Lan
See giok segera mengambil lampu lentera di meja dan didekatkan pada goresan
tersebut.
la tahu, besar kemungkinan
goresan ter-se-but menyangkut soal nama pembunuh yang telah menghabisi jiwa
ayahnya . . .
Lama sekali Lan See giok
mengamati go-re-san itu dengan seksama, akhirnya dia ber-hasil menarik
kesimpulan kalau goresan tersebut adalah sebuah goresan tulisan.
Tampaknya tulisan itu adalah
sebuah hu-ruf "To" atau tunggal.
Dengan termangu mangu dia
mengawasi huruf tersebut sambil berpikir.
"Apakah arti kata dari
huruf To itu? Apakah julukan dari pembunuh ayahnya...? Ataukah menunjukkan nama
marga orang itu?"
Dengan cepat dia memeras otak
berusaha untuk mencari diantara nama-nama tokoh persilatan yang pernah diberitahukan
ayah-nya selama ini, apakah ada yang ber-julukan dengan huruf To "ataupun
meng-gunakan nama marga To--.
Tapi dia kecewa, tak
seorangpun diantara jago-jago yang teringat olehnya memper-guna-kan-kan julukan
itu, diapun tak tahu apakah di kolong langit terdapat orang yang menggu-na-kan
nama marga To.
Akhirnya dia meletakkan
kembali lampu lentera itu ke atas meja, membopong jenazah ayahnya ke atas
pembaringan, ke-mudian sambil duduk di sisinya dia menangis ter-sedu sedu.
Sambil menangis dia berdoa
kepada ayah-nya agar membantunya dalam pencarian orang yang menggunakan huruf
"tunggal" pada julukan atau namanya . . . .
Mata tunggal---
Mendadak bayangan manusia
berjubah hitam, berwajah seram dan bermata tunggal itu melintas kembali dalam
benaknya.
Lan See giok segera berhenti
menangis, dengan kobaran api dendam segera gumam nya.
"Betul, sudah pasti si
manusia bermata tunggal itu--- sudah pasti keparat itu---"
Tapi diapun teringat, pula
dengan orang yang telah menggeledah sakunya ketika ia pingsan karena sedih
tadi, siapa pula orang itu? Apakah dia bukan pembunuh ayahnya?
Satu ingatan segera melintas
di dalam benaknya, dia merasa bila ingin mengetahui siapakah pembunuh ayahnya,
dia harus mencari ke belakang dinding ruangan itu serta menemukan orang yang
telah menghantamnya sampai pingsan itu.
Mendadak dia melompat bangun
dan segera lari menuju ke dalam kamar tidurnya.
Setitik cahaya terarah
mencorong masuk lewat lubang angin dalam kamarnya, ter-nyata fajar telah
menyingsing.
Selangkah demi selangkah dia
berjalan menuju ke depan pembaringan, kemudian ber-jongkok ke bawah, di situ
hanya dijum-pai segumpal darah, sedangkan orang yang bersembunyi di sana telah
dilarikan si manu-sia bermata tunggal itu.
Dalam sekejap mata saja dia
lantas me-na-ruh curiga terhadap orang yang telah di-lari-kan si mata tunggal
itu, dia curiga bukan saja orang itu telah menyimpan barang yang hendak
didapatkannya, bahkan curiga kalau orang itu telah menyaksikan adegan sewaktu
ayahnya terbunuh.
Dengan termangu Lan See giok
menga-wasi senjata gurdi emas yang menembusi dinding ruangan itu, baru pertama
kali ini dia me-n-getahui betapa tajamnya senjata gurdi emas tersebut.
Ia berjalan ke luar dari
ruangan, mengerahkan segenap tenaganya untuk mem-betot keluar senjata gurdi
tersebut, ke-mudian menggulungnya dan dimasukkan ke dalam saku, dia bertekad
hendak mengguna-kan senjata gurdi emas milik ayahnya untuk membinasakan
pembunuhan keji tersebut.
Sekarang dia merasa
kemungkinan si manusia bermata tunggal itulah pembunuh ayahnya yang terbesar,
kemudian orang yang menggeledah tubuhnya merupakan orang kedua yang perlu
dicurigai, sedang-kan orang yang bersembunyi di belakang dinding dan belakang
meja serta si kakek tunggal paling kecil kemungkinannya.
Walaupun begitu, dia masih
tetap mena-ruh curiga terhadap kakek berjubah kuning yang berwajah ramah itu,
dia tak tahu apakah orang itulah yang telah menghajar-nya sampai pingsan atau
bukan.
Selain itu, diapun tak habis
mengerti sia-pakah orang yang kemungkinan besar sem-pat mengikuti adegan
pembunuhan ter-ha-dap ayahnya.
Dalam keadaan begini dia,
lantas ber-pen-dapat bahwa ia harus pergi menuju ke dusun Hong hi cun mencari
si kakek berju-bah kuning itu dan mencari keterangan darinya, lagi pula kakek
itupun pernah ber-janji dia akan menerangkan sebab musabab terja-di-nya
pembunuhan terhadap ayahnya itu.
Setelah mengambil keputusan,
buru-buru dia menuju ke sisi pembaringan di mana jenazah ayahnya berbaring, dia
hendak membawa jenazah ayahnya menuju ke ru-ang dalam dan membaringkannya
bersama dengan jenazah ibunya.
Belum lagi dia berbuat sesuatu
mendadak terdengar lagi suara ujung baju yang ter-hem-bus angin berhembus tiba.
Dengan perasaan terperanjat
Lan See giok segera berpikir
"Siapa lagi yang
datang?"
Mendadak . . . . . terdengar
suara isak tangis yang amat keras berkumandang datang dari pintu masuk ruangan
kuburan itu.
Dengan perasaan terperanjat
Lan See giok segera berpaling, ia saksikan sesosok baya-ngan manusia diiringi
suara isak tangis yang parau bergema tiba dengan kecepatan luar biasa.
Cepat sekali gerakan tubuh
bayangan hi-tam itu, hanya di dalam waktu sekejap ia te-lah tiba di sana.
Lan See-giok dibuat kalut juga
pikiran-nya setelah menyaksikan kejadian itu, untuk menyembunyikan diri tak
sempat lagi.
Tampaklah bayangan hitam itu
segera menubruk ke depan jenazah yang berada di atas pembaringan dan menangis
tersedu sedu, sebuah benda tiba-tiba terjatuh ke tanah.
Oleh kejadian yang berlangsung
sangat mendadak dan di luar dugaan ini, Lan See giok hanya bisa berdiri
termangu mangu dan untuk sesaat tak tahu apa yang mesti di-la-kukan.
Ketika ia mencoba untuk
mengamati benda yang terjatuh ke tanah, ternyata isi-nya adalah sebuah
keranjang bambu yang penuh berisikan hio, lilin dan uang kertas.
Ketika dia mengawasi pula
orang yang se-dang menangis di depan jenazah ayahnya, ternyata orang itu adalah
seorang kakek ku-rus kering yang berbaju abu-abu, berambut putih dan bertelinga
tunggal.
Waktu itu, dengan suara yang
parau si kakek bertelinga tunggal itu menangis tiada hentinya.
"Ooooh adik Khong-tay . .
. sungguh me-ngenaskan kematianmu ini . . . oooh . . . be-tapa sengsaranya
engkoh tua mencari dirimu . . ."
Begitu mengetahui kalau orang
itu adalah sahabat karib ayahnya, kontan saja Lan See -giok merasakan kesedihan
yang tak ter-ken-dalikan, dia segera menubruk ke tubuh kakek itu dan turut
menangis tersedu sedu.
Dalam waktu singkat seluruh
ruangan kuburan itu sudah dipenuhi oleh isak tangis yang mengenaskan, suasana
begitu sedih dan penuh kepedihan membuat siapapun akan turut beriba hati bila
melihatnya.
Dalam isak tangisnya, Lan See
giok me-rasa ada sebuah tangan yang kurus kering sedang membelai kepalanya
dengan penuh kasih sayang, bersamaan itu pula terdengar kakek bertelinga
tunggal itu berseru sambil menangis terisak:
"Anak Giok, anak yang
patut dikasihani..."
Kata selanjutnya tak bisa
dilanjutkan karena suaranya menjadi sesenggukan dan tersendat sendat.
Mendengar panggilan "Anak
Giok" yang mesra itu, isak tangis Lan See giok semakin menjadi.
Walaupun dalam ingatannya dia
belum pernah mendengar ayah ibunya pernah ber-bicara tentang seorang empek yang
ber-telinga tunggal, namun sejak kehilangan ayahnya, inilah panggilan mesra
pertama yang dide-ngar olehnya.
Itulah sebabnya pula dalam
hati kecilnya segera menaruh perasaan yang akrab terha-dap kakek ceking
bertelinga tunggal ini.
Terdengar kakek ceking itu
berkata de-ngan penuh kasih sayang.
"Anak Giok, jangan
menangis, bangun-lah, biar empek tua melihat wajahmu.. . su-dah sepuluh tahun
lebih kita berpisah, sungguh tak nyana kalau kau sudah tumbuh menjadi begini
dewasa. .."
Air mata Lan See giok
ibaratnya anak su-ngai yang meluap, tanpa terasa lagi dia me-meluk tubuh kakek
ceking bertelinga tung-gal itu semakin kencang.
Kembali kakek itu menghela
napas sedih lalu bisiknya agak gemetar :
"Anak Giok, anak yang
patut dikasi-hani...."
Sambil berkata dia lantas
membopong tubuh Lan See-giok dan membangunkan-nya.
Lan See-giok masih saja
menangis ter-sedu-sedu . . . .
Dengan penuh kasih sayang
kakek ber-telinga tunggal itu menyeka air mata yang membasahi pipinya.
Lan See-giok belum sempat
melihat raut wajah empek tuanya ini, ketika dia mendo-ngakkan kepalanya dan
mengamati dengan seksama, tiba-tiba timbul suatu perasaan seram dalam hatinya,
ternyata kakek ceking bertelinga tunggal ini mempunyai wajah ber-bentuk kuda,
ber-alis botak, mata sesat, mu-lut, tipis tak ber-jenggot, tulang kening lancip
serta hidung melengkung seperti pa-ruh elang. Tampang semacam ini seratus
persen adalah tampang dari seorang manu-sia sesat.
Setelah menangis sekian lama,
walaupun di atas wajahnya yang penuh keriput tak nampak basah oleh air mata,
namun sepasang mata sesatnya yang penuh kelici-kan telah berubah menjadi merah
membara.
Lan See giok benar-benar tidak
percaya dengan pandangan matanya, dia tak me-ngira kalau seorang yang bersuara
lembut, bersi-kap hangat dan penuh kasih sayang itu ter-nyata memiliki raut
wajah yang menye-ram-kan bserta menggidikjkan hati.
Tapig bukankah di dubnia ini
tak sedikit manusia berwajah jelek dan menyeramkan yang justru berhati bajik
dan mulia?
Berpikir demikian, agak lega
juga perasa-an hatinya.
Menyaksikan Lan See giok hanya
meng-a-matinya terus tanpa berkedip, dengan nada penuh kasih sayang kakek
bertelinga tung-gal itu segera menegur:
"Anak Giok, sudah tidak
kenal lagi dengan empek tua?"
Sambil berkata, tangannya yang
kurus keying itu tiada hentinya meraba bahu mau-pun punggung Lan See giok.
Anak itu menatap sekejap si
kakek, lalu mengangguk jujur.
Kakek bertelinga tunggal itu
segera ter-tawa getir, katanya dengan sedih:
"Yaa. ini memang tak
dapat me-nyalahkan kau, sudah sepuluh tahun lebih kita tak per-nah bersua,
waktu itu kau masih seorang anak cilik yang tak tahu apa-apa..."
Berbicara sampai di situ,
sepasang mata sesat nya segera melirik sekejap ke arah ma-yat Lan Khong tay,
kemudian sambung-nya lebih jauh:
"Anak Giok, apakah ayahmu
belum per-nah membicarakan tentang diriku kepadamu?"
Lan See giok merasa kurang
leluasa untuk menjawab secara terus terang, maka sahut-nya:
"Ayah memang seringkali
membicarakan tentang nama dan empek yang banyak sekali jumlahnya, sayang anak
Giok bodoh dan tak bisa mengingat terlalu banyak."
Mendengar jawaban tersebut, si
kakek bertelinga tunggal itu segera tertawa bangga.
Tapi menyaksikan kening Lan
See giok berkerut kencang, dia segera menarik kem-bali senyumnya dan berkata
lagi dengan sedih:
"Anak Giok, cepat kau
pungut hio dan lilin itu, mari kita bersembahyang di depan jenazah ayahmu
...."
Berbicara sampai di situ, dia
lantas mem-bungkukkan badan dan memunguti lebih dulu kertas uang, hio dan
lilin.
Tergerak hati Lan See giok
setelah me-nyak-sikan benda-benda itu, dengan cepat dia ber-seru:
"Empek tua, sudah sepuluh
tahun lebih kau berpisah dengan ayahku, darimana kau bisa tahu kalau ayah dan
anak Giok tinggbal di sini?" Dajri mana pula kagu bisa tahu kalbau ayahku
tewas?"
Kakek bertelinga tunggal itu
sedikitpun ti-dak gugup, sahutnya dengan pelan:
"Anak Giok, sudah sepuluh
tahun lebih empek mencari ayahmu, semalam ketika aku berada di kota sebelah
depan sana, tiba-tiba kudengar di luar penginapan ada orang se-dang
membentak-bentak, ketika empek lari ke luar, ternyata orang itu adalah
To-kak-thi koay (Tongkat besi kaki tunggal) Gui Pak -ciang, seorang musuh
bebuyutan ayahmu di masa lalu...."
Tergerak kembali perasaan Lan
See giok, cepat dia menimbrung:
"Empek maksudkan seorang
kakek ber-tongkat besi yang kehilangan kaki sebelah kiri nya?"
Kakek bertelinga tunggal itu
nampak agak tertegun, kemudian serunya tidak habis mengerti:
"Apa? Jadi kau kenal
dengan dia?"
Menyinggung soal itu, Lan See
giok segera teringat kembali akan perbuatan si Toya besi berkaki tunggal Gui
Pak ciang yang te-lah menusuk tubuhnya dengan toya besi terse-but, dengan
kening berkerut serunya penuh rasa dendam.
"Dua jam berselang, dia
telah datang ke mari!"
Diam-diam kakek bertelinga
tunggal itu melirik sekejap wajah Lan See giok yang dili-puti hawa amarah,
kemudian dengan paras muka berubah hebat pikirnya:
"Tebal amat hawa
pembunuhan dari anak ini ..."
Kemudian sambil menghela napas
sedih katanya lebih jauh.
"Benar, aku tahu kalau
kalian tinggal di sini dan tahu juga kalau adik Khong tay te-lah tewas, aku
tahu karena dia yang mem-berita-hukan hal itu kepada empek, waktu itu aku
merasa sedih sekali, sehingga setelah men-cari keterangan jalan kemari, akupun
mem-beli hio dan lilin, langsung berangkat ke mari..."
Kemarahan dan rasa dendam Lan
See -giok segera berkobar lagi, tiba-tiba ia ber-paling ke arah kakek
bertelinga tunggal itu, lalu ber-tanya dengan sedih:
"Empek, apakah kau tidak
bertanya ke-padanya siapa yang telah membinasakan ayahku?"
Sekali lagi kakek bertelinga
tunggal itu merasakan hatinya bergetar keras sesudah menyaksikan sorot mata Lan
rSee-giok yang tzajam bagaikan swembilu, ia merarsa walau-pun usia Lan See giok
hanya belasan tahun, tapi paling tidak ia sudah memiliki tenaga dalam sebesar
sepuluh tahun hasil latihan, suatu kehebatan yang luar biasa.
Maka sambil menunjukkan
perasaan sedih dan pedih, dia menjawab:
"Sebodoh-bodohnya empek,
tak nanti aku akan lupa menanyakan persoalan yang maha penting ini, menurut
dia, sewaktu ia mema-suki kuburan ini dibalik kegelapan tampak sesosok bayangan
manusia yang menyem-bunyikan diri, setelah dilakukan pengejaran sampai di dalam
hutan, barulah diketahui kalau orang itu adalah To pit him (beruang berlengan
tunggal) Kiong Tek cong..."
Mendengar nama "Beruang
berlengan tung-gal', tergerak hati Lan See giok, dengan cepat ia menjadi sadar
kembali apa sebab-nya orang itu setelah menotok jalan darah-nya, tetap meraba
pula dengan tangan kanan, rupanya dia adalah seorang yang berlengan tunggal.
Teringat akan "berlengan
tunggal," dia lantas terbayang kembali dengan huruf "tunggal"
yang digoreskan ayahnya di atas tanah.
Tapi sekarang telah muncul
seorang ber-kaki tunggal, seorang berlengan tunggal, dan seorang lagi bermata
tunggal, siapakah yang dimaksudkan ayahnya sebagai "tung-gal"
tersebut?
Dengan keterangan yang
diperolehnya dari si kakek yang bertelinga tunggal ini, maka dia mulai merasa
ragu lagi terhadap kesimpulan nya semula yang menduga si manusia ber-mata
tunggal itulah pembunuh ayahnya.
Karenanya dengan kening
berkerut dia mulai memutar otak untuk melakukan analisa, sebenarnya pembunuh
ayahnya itu si Beruang berlengan tunggal Kiong Tek ciong ataukah si manusia bermata
tunggal?
Tapi akhirnya dia menarik
kesimpulan, kemungkinan yang paling besar adalah si Beruang berlengan tunggal.
Tapi sewaktu si manusia
bermata tunggal memasuki gua tadi, ia masuk dengan ter-buru -buru, bahkan
melirik ke arah ayahnya pun tidak, sebaliknya langsung menuju ke pem-baringan
dan melakukan pemeriksaan, bu-kankah hal ini membuktikan kalau ia su-dah pernah
datang satu kali di situ?
Dalam pada itu si kakek
bertelinga tung-gal sedang memasang hio sambil diam-diam mengawasi Lan See giok
yang sedang ber-diri termenung. .
Tiba-tiba ia mendengar bocah
itu sedang berguman.
"Tapi. . . mengapa dia
balik lagi untuk menggeledah pembaringan serta lubang angin?"
Dengan perasaan tidak habis
mengerti si kakek bertelinga tunggal itu segera menim-brung:
"Anak Giok, siapakah yang
kau maksud kan?'.
Lan See giok berusaha
menenangkan hati-nya, lalu berpaling sambil bertanya:
"Empek tua, apakah kau
kenal dengan se-orang manusia bermuka hijau, bergigi taring dan bermata
tunggal?"
Paras muka kakek bertelinga
tunggal itu berubah hebat, tampaknya dia merasa ter-kejut sekali, kemudian
serunya dengan ce-mas:
"Apa? Iblis keji itupun
telah datang?"
Dari mimik wajah kakek itu,
Lan See giok segera tahu kalau manusia bermata tunggal itu adalah seorang
manusia yang sangat li-hay, dia lantas manggut-manggut.
"Empek, siapakah orang
itu?" serunya.
"Dia adalah seorang iblis
yang amat ter-masyhur namanya di dalam golongan putih maupun golongan hitam,
orang menyebut nya sebagai To gan liau pok (setan buas ber-mata tunggal) Toan
Ki tin".
Sambil menjawab, dia lantas
membawa hio dan berjalan ke depan pembaringan.
Lan See giok masih saja
berdiri termangu -mangu sambil membawa uang kertas ter-se-but, dia lupa
menderita, tiada air mata dalam kelopak matanya, ia sudah dibikin kebi-ngungan
oleh teka teki yang berada di ha-da-pannya. . .
Diam-diam kakek bertelinga
tunggal itu melirik sekejap ke arah Lan See giok ke-mudian serunya:
"Anak giok, cepat kau
bakar uabng kertas itu!"j
Lan See giok gsegera tersadarb
kembali dan maju mendekat, tapi apa yang kemudian tertera di hadapannya membuat
ia menjadi terkejut sehingga paras mukanya berubah.
Ternyata kakek bertelinga
tunggal itu te-lah menancapkan hio tadi ke atas tiang kayu di ujung
pembaringan, dilihat dari sini dapat diketahui kalau tenaga dalamnya
benar-benar sangat lihay.
Dengan air mata bercucuran Lan
See giok segera berseru.
"Oooh empek tua, mengapa
kau tidak mau datang sehari lebih pagian, jika empek ada di sini, niscaya ayah
tak sampai dicela-kai orang."
"Aaai . . . anak Giok,
inilah yang dina-makan takdir, kalau aku tidak bertemu de-ngan To kak- thi-koay
Gui Pak ciang secara kebetulan, empek malah tidak tahu kalau kalian berdiam di
dalam kuburan rahasia ini."
Setelah hening sejenak,
tiba-tiba Lan See- giok bertanya lagi:
"Empek, tahukah kau, apa
sebabnya ayah-ku pindah ke dalam kuburan kuno ini?"
Kakek bertelinga tunggal itu
nampak agak sangsi, kemudian sahutnya:
"Keadaan yang sebenarnya
tidak begitu kuketahui, tapi menurut sementara orang persilatan, mereka menduga
ayahmu telah berhasil menemukan sejilid kitab Cinkeng ketika berada di bawah
puncak Giok li hong di bukit Hoa san . . . ".
Menyinggung soal puncak Giok
li hong di bukit Hoa San, Lan See giok teringat kem-bali akan kakek berbaju
kuning yang ber-wajah ramah itu, dia mengatakan kalau te-lah ber-temu dengan
ayahnya di bawah pun-cak Giok li hong.
Sementara dia masih termenung,
kakek bertelinga tunggal itu telah bertanya lagi de-ngan ramah.
"Anak Giok apakah ayahmu
pindah ke mari benar-benar dikarenakan persoalan tersebut?
Dengan cepat bocah itu
menggeleng.
"Tidak, anak Giok tidak
tahu, tapi belum pernah kusaksikan ayahku membaca kitab Cinkeng apapun . .
."
Belum selesai Lan See-giok
menjawab, dengan senyum ramah kakek bertelinga tunggal itu telah menukas,
katanya:
"Sekalipun namanya kitab
Cinkebng, se-sungguhnjya tak lebih cugma sebuah kotakb kecil .."
Mendengar sampai di situ, Lan
See-giok hampir saja tak sanggup menahan diri, jan-tungnya berdebar semakin
keras.
Mencorong sinar terang dari
balik mata si kakek yang sesat, di atas wajahnya yang menyeramkan terpancar
pula sinar kerakus-an, tapi sejenak kemudian katanya lagi sam-bil tertawa
ramah:
"Anak Giok, pernahkah kau
menyaksikan kotak kecil itu?"
Lan See-giok merasakan
jantungnya se-makin keras, dia merasa walaupun kakek bertelinga tunggal ini
adalah sahabat karib ayahnya, tapi ia merasa tak baik untuk me-ngungkap
persoalan tersebut sekarang.
Maka setelah ragu-ragu
sebentar, sahut-nya agak tergagap:
"Anak Giok belum pernah
menyaksi-kan-nya!"
Selesai berkata dia lantas
menundukkan kepalanya dengan perasaan malu dan me-nyesal.
Sedang si kakek bertelinga
tunggal itu nampak berubah hebat paras mukanya, keningnya berkerut dan mata
sesatnya me-lotot besar, senyuman menyeringai segera menghiasi wajahnya,
tampang yang pada dasarnya sudah menyeramkan, kini semakin menakutkan lagi.
Tenaga dalamnya segera
dihimpun ke dalam telapak tangan kanannya yang kurus kering, kelima jari
tangannya yang di pen-tangkan bagaikan cakar pelan-pelan di ang-kat ke angkasa.
Sedang Lan See-giok sendiri,
waktu itu merasa menyesal sekali karena telah berbo-hong, saking malunya dia
sampai tak berani mendongakkan kepalanya lagi, dia merasa tidak seharusnya
berbohong terhadap se-orang empek sahabat karib ayahnya yang su-dah sepuluh
tahun lebih mencari mereka.
Si kakek bertelinga tunggal
itu sudah me-ngejangkan seluruh kulit mukanya, tangan kanannya yang ceking dan
penuh disertai tenaga dalam itu sudah di angkat melam-paui bahunya.
Tapi kemudian berkilat
sepasang mata-nya, wajah yang semula menyeringai serampun kini pulih kembali
seperti sedia kala. se-nyuman licik menghiasi ujung bibirnya. ta-ngan kanannya
yang sudah dipersiaprkan seperti cakzar setanpun ditwu-runkan kembalri ke
bawah.
Kemudian dengan suara yang
tetap ramah dan lembut dia berkata:
"Tentu saja, terhadap
masalah sepenting ini, apalagi menyangkut benda mestika dari dunia persilatan,
mana mungkin dia akan perlihatkan kepada seorang anak yang tak tahu urusan
seperti kau..."
Setelah berhenti sebentar, dia
berkata le-bih jauh:
"Apa lagi sekalipun kau
tahu juga tak akan memahami betapa pentingnya benda terse-but."
Lan See giok segera mengiakan
berulang kali untuk menutup ketidak tenangan di dalam hatinya.
Kakek bertelinga tunggal itu
memandang sekejap ke arah jenazah yang berbaring di atas pembaringan, kemudian
kembali dia berkata:
"Anak Giok, orang bilang
masuk ke tanah akan membuat yang tiada menjadi tente-ram, kita harus segera
mengebumikan jenazah ayahmu ini---"
Lan See giok merasakan hatinya
amat sa-kit bagaikan diiris-iris dengan pisau belati, ia mendongakkan kepalanya
dan memandang jenazah ayahnya sekejap, kemudian kata-nya:
"Anak Giok bermaksud
untuk membaring-kan-kan jenazah ayahku di samping jenazah ibuku di dalam
kuburan sana---"
"Apakah kau tahu jalan
menuju ke dalam kuburan sana?" tidak menunggu bocah itu menyelesaikan kata
katanya, si kakek ber-telinga tunggal itu telah menukas lebih dulu.
Tanpa ragu Lan See giok
mengangguk, tapi sorot matanya masih tetap menatap jenazah ayahnya.
"Setiap tahun disaat hari
kematian ibuku, ayah pasti mengajak Giok ji masuk ke dalam untuk menengok wajah
ibu."
Berbicara sampai di situ, dua
baris air mata segera jatuh bercucuran membasahi pipinya.
Kejut dan girang segera
menyelimuti wa-jah jelek kakek bertelinga tunggal itu, de-ngan tak sadar dia
segera berseru.
"Kalau memang begitu,
mari kita segera tu-run tangan"
Tidak menunggu pendapat dari
Lan See- giok lagi, buru-buru dia menuju ke depan pembaringan dan membopong
bangun jenazah dari si Gurdi emas peluru perak Lan Khong tay, kemudian
melanjutkan:
"Giok ji, kau jalan di
muka!"
Lan See giok pun merasa ada
baiknya un-tuk segera mengirim jenazah ayahnya ke dalam kuburan, maka sambil
mengangguk dia berjalan lebih dulu menuju ke sebuah lorong.
Kakek bertelinga tunggal itu
hampir saja tak sanggup mengendalikan gejolak emosi dalam dadanya, sehingga
wajahnya nampak berseri, sambil membopong jenazah Lan Khong-tay ia segera
mengikuti di belakang Lan See giok kencang- kencang.
Kedua orang itu dengan
menelusuri lorong yang gelap segera berputar ke kiri berbelok ke kanan,
berjalan terus tiada hentinya . .
Akhirnya sampailah mereka di
depan se-buah persimpangan jalan, di kedua belah samping lorong itu terdapat
dinding yang berbentuk hampir sama, dan di sana terda-pat pintu besi yang
besarnya hampir sama tertutup rapat.
Melihat hal itu, si kakek
bertelinga tunggal itu nampak sangat gelisah, apa lagi setelah menyaksikan Lan
See-giok berjalan dengan langkah yang amat berhati - hati, dengan ce-pat dia
alihkan Lan Kong thay ke bawah ke-tiaknya.
Maka setiap kali mereka
melakukan be-lo-kan dia lantas mengerahkan tenaga dalam-nya ke ujung jari dan
diam-diam membuat sebuah tanda di atas dinding gua tersebut.
Tak selang berapa saat
kemudian, mereka telah melalui tujuh buah ruangan batu ber-bentuk persegi serta
tiga puluh ruang ku-buran kosong yang amat besar, akhirnya di depan sana muncul
setitik cahaya yang amat redup dibalik kegelapan.
Tergerak hati kakek bertelinga
tunggal itu, dia tahu di depan sana adalah tempat yang mereka tuju, buru-buru
jenazah Lan Khong tay dibopong dengan baik.
Saat itulah Lan See giok telah
berpaling sembari berkata.
"Empek, di depan situlah
terletak kuburan ibuku!"
Kemudian, sewaktu dilihatnya
kbakek itu membopjong jenazah ayaghnya dengan amabt hormat, dia menjadi terharu
sekali. segera ujarnya lebih jauh.
"Empek, tahukah kau bahwa
kuburan raja ini berada dalam keadaan kosong? Hanya kuburan inilah baru
benar-benar merupakan kuburan Leng ong-- -"
Tak terlukiskan rasa girang
kakek ber-telinga tunggal itu setelah mendengar uca-pan tersebut, sampai lama
kemudian ia baru ber-kata dengan suara gemetar.
"Empek tahu . . . ."
ooo0ooo
BAB 3
RAHASIA TERCURINYA PEDANG
DENGAN wajah tertegun Lan See
giok segera berpaling dan memandang sekejap ke arah kakek bertelinga tunggal
itu.
Dengan cepat kakek itu tahu
kalau dia te-lah salah berbicara, satu ingatan dengan ce-pat melintas dalam
benaknya, ujarnya de-ngan penuh kesedihan.
"Sesudah sepuluh tahun
lebih empek men-cari orang tuamu, meskipun tak bisa ber-temu dalam keadaan
hidup, tapi asal aku bisa melihat wajah ibumu yang sudah lama tiada pun rasanya
tidak sia-sia belaka per-jalanan-ku selama puluhan tahun ini"
Lan See giok segera
mengucurkan kem-bali air matanya karena ia sedih. Sementara pembicaraan sedang
berlangsung, mereka sudah tiba di suatu tempat yang bersinar itu.
Sebuah pintu besi yang tinggi
besar ber-diri angker di hadapan mereka, pintu itu tertutup rapat sementara di
sebelah kiri dan kanannya masing-masing terdapat sebuah ruangan batu.
Di atas pintu besi itu
terdapat sebuah mu-tiara yang memancarkan cahaya berkilauan.
Lan See giok segera menyeka
air mata dan berjalan masuk ke dalam ruangan batu di sebelah kiri.
Sementara itu kakek bertelinga
tunggal se-dang mengawasi gerak gerik, bocah itu de-ngan seksama, paras mukanya
yang jelek dan licikpun mengikuti setiap perubahan dari Lan See giok berubah
ubah.
Pelan-pelan Lan See giok
berjalan menuju ke sudut ruangan sebelah dalam lalu me-nyingkapkannya ke atas.
Batuan yang berada di sana
palbing tidak mencajpai dua tiga ragtus kati beratnbya, tapi nyatanya Lan See
giok dengan sepasang ta-ngannya dapat mengangkat batu itu secara mudah, hal ini
kontan saja membuat kakek itu berubah wajah dan terperanjat sekali.
Menurut penilaiannya secara
diam-diam, paling tidak tenaga dalam yang dimiliki Lan See giok telah mencapai
sepuluh tahun ke-sempurnaan.
Selintas hawa napsu membunuh
segera menghiasi wajah yang jelek, dengan cepat pikirnya:
"Jelas dia merupakan
bibit bencana, manusia semacam ini tak boleh diampuni dengan begitu saja-"
Ia menyaksikan pula sebuah
gelang besar berwarna hitam yang berkilat berada di bawah batu itu dan menempel
di atas tanah.
Lan See giok segera
menggenggam ge-lang itu, kemudian membentak keras sambil membetotnya ke atas,
gelang itu dengan ce-pat terangkat ke atas menyusul muncul-nya seutas rantai
besar.
Mendadak... dari bawah tanah
sana berkumandang suara gemerincing yang amat ramai.
Menyusul kemudian pintu besi
yang tinggi besar itu pelan-pelan bergeser kedua belah samping dengan
menimbulkan suara geme-ri-cit yang berat.
Kakek bertelinga tunggal itu
segera merasakan ada segulung hawa dingin yang menusuk tulang memancar ke luar
dari balik pintu tersebut, tanpa terasa sekujur badannya gemetar keras.
Di balik pintu merupakan
sebuah lorong yang panjangnya dua kaki, di ujung lorong sana merupakan sebuah
dinding lagi, di bagian tengah dinding terdapat sebaris batu permata sebesar
kepalan yang memancar-kan cahaya berkilauan.
Waktu itu pintu besi sudah
terbuka lebar, Lan See-giok telah masuk pula ke dalam ru-angan, kepada kakek
bertelinga tunggal itu segera serunya:
"Empek tua, mari kita
masuk!"
Sembari berkata, dia lantas
berjalan ma-suk lebih dulu ke dalam pintu besi tersebut.
Kakek bertelinga tunggal itu
manggut-manggut, dia segera mengerahkan tenaga dalamnya untuk melawan hawa
dingin yang mencekam, kemudian mengikuti di belakang Lan See giok.
Setibanya di ujrung lorong
sanaz, terlihat-lah wdi kiri dan kanran lorong terdapat pula se-buah pintu
besi.
Lan See giok berjalan ke pintu
sebelah kiri, kemudian mendorongnya dengan sepe-nuh tenaga, pintu besi itu
pelan-pelan menggeser ke samping dan terbuka lebar.
Hawa dingin yang mengalir ke
luar dari gua tersebut terasa makin lama semakin tebal. Sekalipun kakek
bertelinga tunggal itu sudah melawan dengan mengerahkan tenaga dalamnya, namun
ia masih terasa kedingin-an bagaikan berada dalam gudang es, tanpa terasa
pikirnya:
"Tak heran kalau jenazah
yang disimpan di sini tidak membusuk, suhu udaranya saja sudah begini
dinginnya."
Setelah memasuki pintu besi,
di hadapan mereka terbentang selapis kain tirai yang sangat tebal.
Lan See giok segera menyingkap
kain tirai itu lalu berbisik:
"Empek, masuklah lebih
dulu!"
Tanpa sangsi kakek itu
membungkukkan badan dan sambil membopong jenazah Lan Khong-tay masuk ke dalam,
cahaya di dalam kuburan itu sangat redup, ditengah langit-langit terdapat
sebuah mutiara merah sebe-sar telur itik, untuk sesaat suasana di dalam sana
masih terasa remang-remang dan tidak jelas.
Dinginnya udara dalam ruangan
itu segera membuat kakek bertelinga tunggal itu merasakan tangan maupun
wajahnya sakit bagaikan disayat-sayat pisau, sebelum daya penglihatannya pulih
kembali, dia tak berani masuk ke dalam secara gegabah.
Dengan wajah serius Lan
See-giok me-nu-runkan kembali tirai itu, lalu bisiknya:
"Empek, sebentar lagi kau
akan melihat dengan jelas."
Kakek bertelinga tunggal itu
memang su-dah lama mendengar kalau dalam kuburan raja terdapat banyak barang
mestika yang tak ternilai harganya, hanya saja dikarena-kan kuburan jebakan
kelewat banyak, baha-yanya juga besar, maka jarang sekali ada orang yang berani
masuk ke sana.
Dan kini, dia telah
memasukinya, hal tersebut benar-benar merupakan suatu keja-dian yang tak pernah
diduga sebelum-nya. . .
Lambat laun dari satu kaki di
depannya muncul setitik cahaya bersilang yang aneh sekali.
Ketika cahaya silang itu
diperhatikan lagi dengan seksama, ternyata benda itu adalah sepasang pedang
berkain kuning yang di-le-takkan bersilang.
Kedua bilah pedang itu
diletakkan di atas sebuah hiolo kecil terbuat dari tembaga yang diletakkan di
atas meja batu, di kedua belah sisi hiolo kecil itu terletak sebuah ko-tak
kecil yang terbuat dari emas.
Memandang semua benda
gemerlapan yang berada di sana, sekali lagi sepasang mata sesat dari kakek
bertelinga tunggal itu me-mancarkan cahaya tajam, sifat kera-kusan-nya muncul
kembali, seakan akan lupa dengan jenazah Lan Khong tay yang masih berada dalam
pelukannya dia maju ke de-pan.. .
Mendadak terdengar Lan See
giok berbisik lirih.
"Empek, dari peti tembaga
ke tiga belok ke sebelah kanan."
Selesai berkata ia maju ke
depan lebih dulu
Teguran itu segera menyadarkan
kembali si kakek bertelinga tunggal dari kekhilafan-nya, cepat dia amati dengan
lebih seksama lagi, sekarang baru terlihat olehnya kalau di se-belah kiri dan
kanan meja batu di mana pedang tersebut terletak, masing-masing membujur
beberapa buah peti mati tem-baga.
Maka dia segera maju ke depan
dan me-ngikuti di belakang Lan See- giok.
Kini sepasang mata kakek
bertelinga tung-gal itu sudah terbiasa melihat dalam kege-lapan ia saksikan
pula sebuah peti mati rak-sasa yang terbuat dari kaca kristal.
Diam-diam Lan See giok merasa
agak tak senang hati juga melihat tindak tanduk kakek bertelinga tunggal itu
setelah berada di sana dan celingukan ke sana kemari, si-kap tersebut seakan
akan sudah lupa de-ngan tujuan kedatangan yang sebenarnya di sana, tapi diapun
tidak menegur ataupun mengu-capkan sesuatu.
Sebab dia masih ingat, sewaktu
ia masuk ke sana untuk pertama kalinya dulu, waktu itupun dia merasa keheranan
dan ingin tahbu malah tidak bjerada di bawah gempek bertelingba tunggal ini.
Maka tanpa banyak berbicara
lagi dia menghampiri sebuah peti mati tembaga dan melongok sekejap wajah ibunya
yang berba-ring di dalam, lalu dengan air mata bercu-curan bisiknya:
"Ibu, ayah telah datang
untuk menemani mu ....".
Kakek bertelinga tunggal itu
segera me-narik kembali pandangannya dan menun-dukkan kepala, dia jumpai sebuah
peti mati tembaga yang besar dan cukup memuat dua orang membujur di hadapannya.
Peti mati tembaga itu terbuat
dari batu kristal sehingga raut wajah seorang perem-puan setengah umur yang
berada di sebelah kanan peti mati itu dapat terlihat jelas.
Sambil menangis tersedu sedu,
pelan-pe-lan Lan See giok menggeser penutup peti mati itu ke samping, hingga
dengan begitu wajah pe-rempuan setengah umur yang berada dalam peti mati itupun
dapat terlihat se-makin jelas.
Perempuan itu berhidung
mancung dan berbibir kecil, meski matanya terpejam dan mukanya putih bagaikan
kemala namun tak bisa disangkal lagi kalau perempuan itu adalah seorang
perempuan cantik.
Iapun menjumpai paras muka Lan
See giok mirip sekali dengan wajah perempuan sete-ngah umur yang berbaring
dalam peti mati itu.
Lan See giok tak dapat
mengendalikan rasa sedihnya lagi, dia segera menjerit ter-tahan:
"Ibu!"
Kemudian diapun memeluk kepala
ayah-nya sambil menangis terisak sebelum akhirnya empek bertelinga tunggal
mem-bopong jenazah ayahnya untuk dibaringkan di sisi jenazah ibunya.
Tampaknya kakek bertelinga
tunggal itu sangat bernapsu dengan sepasang pedang serta sepasang kotak kecil
di meja batu, ketika Lan See-giok sedang berlutut sambil menangis, diam-diam
dia meninggalkan tem-pat itu dan mendekati meja batu terse-but.
Ketika melewati sisi beberapa
buah peti mati tembaga yang membujur di sana, ia saksikan pula banyak sekali
ukiran-ukiran bocah lelaki dan perempuan dengan pakaian yang perlente
tergeletak di situ, sekilas pabn-dangan saja djapat diketahui gkalau semua
benbda itu terbuat dari bahan berharga.
Barulah pada peti mati tembaga
yang ke empat dia jumpai jenazah dari seorang pe-muda dan gadis yang
sesungguhnya.
Kakek bertelinga tunggal itu
segera ber-jalan mendekati peti mati kaca kristal itu. kemudian melongok ke
dalamnya, ternyata di peti mati itu adalah Raja Leng ong serta per-maisurinya.
Sang raja mengenakan kopiah
kebesaran- dengan jubah kuning bersulamkan naga, jenggotnya yang hitam terurai
sepanjang dada, ia nampak masih amat segar.
Di sisinya berbaring
permaisuri yang nam-pak masih amat muda, paling banter umurnya baru dua puluh
enam-tujuh ta-hu-nan, wajahnya cantik dan senyuman di-ku-lum, ia nampak sangat
tenang, jelas pe-rem-puan ini dipaksa mati untuk menemani suaminya.
Kakek bertelinga tunggal itu
memandang sekejap ke arah jenazah Leng-ong yang berada dalam peti mati,
kemudian sambil me-nyeringai seram pikirnya.
"Hmm . . sekarang kau
boleh berbaring nyaman di situ, tapi suatu saat bila lohu su-dah merasa ajalku
hampir tiba, saat itulah kau harus ke luar dari situ karena tempatmu akan
kugunakan . . . "
Berpikir sampai di situ, dia
lantas berjalan menuju ke depan kain kuning berisi sepasang pedang itu dan siap
untuk me-ngambilnya.
Mendadak di pihak sana
kedengaran Lan See giok sedang berseru sambil menangis tersedu- sedu:
"Ayah, ibu, beristirahatlah
kalian dengan tenang, sekalipun badan Giok ji harus han-cur lebur, aku
bersumpah akan mencincang tubuh manusia laknat itu untuk membalas-kan dendam
bagimu. Ayah, lindungilah anak Giok, bila anak Giok berhasil mencincang tubuh
musuh kita. pejamkanlah matamu yang melotot gusar itu . . ."
Si kakek bertelinga tunggal
yang mende-ngar gumaman tersebut diam-diam mende-ngus, sekulum senyuman sinis
segera ter-sungging di atas wajahnya.
Kemudian dia melanjutkan
kembali per-buatannya untuk membuka kain kuning tersebut---
Begitu kain kuning itu
terbuka... cahaya, berkilauan segera memancar ke empat pen-juru...
Lan See giok merrasa amat
terpezranjat, buru-buwru dia lari menrdekat sambil berte-riak:
"Empek, jangan kau
sentuh, ayah pernah bilang, jika sepasang pedang itu tergeser, dunia persilatan
akan banjir darah, jangan kau sentuh sepasang pedang itu!"
Kakek bertelinga tunggal itu
kontan saja tertawa dingin, serunya sinis.
"Aaah, omongan anak
kecil."
Sembari berkata dia lantas
mengambil salah satu dari pedang itu.
Lan See giok menyesal sekali
setelah men-yaksikan kenekatan kakek itu, dia merasa tidak seharusnya mengajak
orang itu ke mari, andaikata ia bukan teman akrab ayah-nya, niscaya dia sudah
mendorongnya keluar dari tempat itu.
Pedang yang berada di tangan
kakek ber-telinga tunggal itu bercahaya merah, di atas sarung pedangnya
bertaburan batu permata yang sangat indah, di bagian tengahnya ter-dapat sebuah
sulaman matahari merah de-ngan di sisinya terdapat sulaman awan.
Pada kedua belah sisi sarung
tadi berta-tahkan batu permata kecil yang membentuk dua buah huruf kecil.
Dengan kening berkerut kakek
bertelinga, tunggal itu nampak membungkam dalam seribu bahasa, agaknya ia tidak
mengenal apa arti dari kedua huruf kuno itu.
Lan See-giok memang seorang
bocah, walaupun dia tahu kalau pedang itu dilarang disentuh, tapi setelah
diambil empek terse-but, diapun ikut maju ke depan untuk bisa melihat lebih
jelas.
Maka segera serunya setelah
menyaksikan kakek bertelinga tunggal itu hanya mem-bungkam belaka.
"Empek, apakah pedang itu
adalah Jit hoa?"
Berseri wajah kakek itu
setelah mendengar ucapan tersebut, sahutnya dengan cepat:
"Benar, pedang ini memang
pedang Jit -hoa, Giok- ji, dari mana kau bisa tahu?"
"Ayah yang mengatakan
kepadaku!"
Dengan gembira kakek itu
segera menekan tombol rahasia di atas pedang itu, Klik!" lamat-lamat
berkumandang suara pekikan naga.
Menyusul kemudian tubuh,
pedang itu melejit ke luar sepanjang beberapa inci, se-ketika itu juga cahaya
berkilauan yang amat menusuk pandangan mata memancar ke em-pat penjuru.
Saking emosinya seluruh tubuh
kakek bertelinga tunggal itu gemetar keras, kulit wajahnya mengejang keras . .
.
"Klik!" ia masukkan
kembali pedang itu ke dalam sarungnya kemudian diletakkan kem-bali ke meja,
setelah itu dia mengambil pedang yang lain.
"Empek, jangan dilihat
lagi." buru-buru Lan See giok mencegah, "kedua belah pedang ini sama
bentuknya . . "
(Bersambung ke Bagian 04)