"Silahkan saudara semua
menempati meja perjamuan masing-masing. . . ."
Dengan suasana yang hening
para koman-dan pasukan memasuki ruangan serta me-nempati kursi masing-masing.
Kembali Oh Tin san berkata
kepada Thio-Wi-kang:
"Thio-Wi-kang, kirim
orang untuk member-sihkan jenazah tersebut dari situ!"
Thio-Wi-kang mengiakan dengan
hormat dan buru-buru berlalu dari sana.
Sementara Lan See giok sendiri
mengikuti di belakang Oh Tin san dengan mulut mem-bungkam, mereka langsung
menuju ke ruang tengah.
Dalam perjalanan itu dia
sempat melirik sekejap ke arah Oh Li cu yang berjalan di samping Say nyoo-hui,
ternyata gadis itu tetap tenang, wajahnya berseri, seakan akan terhadap
peristiwa berdarah, yang baru saja dilakukannya itu sudah lupa.
Oh Tin san sendiri sama sekali
tidak mene-gur perbuatannya, Say nyoo-hui juga tidak mengumpat kekejamannya,
seakan akan mereka semua beranggapan bahwa membu-nuh orang adalah suatu
kejadian yang sangat wajar.
Sementara masih berpikir,
mereka telah memasuki ruangan tengah, sementara para komandan pasukan juga
telah menempati tempat masing-masing, semuanya terdiri dari puluhan meja
perjamuan.
Ketika Oh Tin san dan Lan See
giok ber-lima masuk ke dalam ruangan, serentak para ko-mandan pasukan bangkit
berdiri sambil hormat.
Walaupun senyuman menghiasi
wajah setiap arang, tapi jelas terlihat kalau se-nyu-man itu terlalu
dipaksakan.
Pada meja bagian tengah, duduk
empat orang lelaki kekar berbaju ringkas warna hi-jau, kuning, abu-abu dan
hitam, usianya rata-rata tiga puluh delapan sembilan tahu-nan.
Lan See giok tahu ke empat
orang tersebut pastilah komandan dari ke empat pasukan kapal perang.
Setelah melangkah masuk ke
dalam ru-angan, Oh Tin san memandang seluruh penjuru ruangan dengan mata
berkilat dan tersenyum, tangan kanannya yang kurus diulapkan beberapa kali,
suasana dalam ru-angan segera menjadi hening kembali.
Say nyoo-hui duduk pada kursi
ke dua, Oh Li cu berdiri di sini Lan See-giok sedang Be congkoan berdiri di
sisi kiri Oh Tin san, di depan mereka adalah ke empat komandan pasukan kapal
perang.
Pertama-tama Oh Tin san
menyilahkan semua orang duduk kembali, kemudian baru memperkenalkan Lan See
giok kepada para hadirin.
Diluar wajahnya Lan See giok
tetap bersi-kap tenang dan tersenyum, padahal dalam hati kecilnya merasa amat
mendongkol.
Dia tidak berhasrat untuk
mengingat ingat wajah serta nama dari ke empat komandan kapal perang itu, dia
hanya meng-ingat baik-baik komandan pasukan naga adalah ko-mandan Ciang,
komandan pasukan harimau dari marga Ong, komandan pasukan Singa jantan dari
marga Seng sedang komandan pasukan macan kumbang dari marga Nyoo.
Selesai upacara perkenalan,
Thio-Wi-kang juga telah tiba kembali, ia duduk di sisi Be congkoan tanpa
mengucapkan sepatah kata-pun.
Tak lama kemudian perjamuanpun
dimu-lai, arakpun dibagi bagikan secara berlimpah.
Tak lama kemudian, berbondong
bondong para komandan pasukan berdatangan untuk menghormati Oh Tin san serta
Lan See- giok dengan secawan arak.
Pada dasarnya takaran minum
arak dari Lan See giok memang terbatas, ditambah pula hatinya lagi risau dan
resah, tak lama kemudian ia sudah berada dalam keadaan setengah mabuk.
Oh Li cu yang menjumpai begitu
banyak komandan datang menghormati Lan See giok dengan secawan arak, hatinya
merasa girang bercampur gelisah, tanpa terasa dia meneguk beberapa cawan lebih
banyak . .
Perjamuan makin lama
berlangsung makin ramai, guci arak pun satu demi satu di go-tong naik.
Biarpun Lan See giok sudah
mabuk, tapi dia berusaha keras untuk tetap memperta-hankan diri sebab perjamuan
itu diselengga-rakan baginya, tentu saja ia tak boleh me-ngundurkan diri di
tengah jalan . . .
Oh Li cu dapat melihat kalau
Lan See -giok sudah setengah mabuk, sedang dia sendiri pun mulai sadar
merasakan kepalanya pe-ning, maka berulang kali dia minta ijin kepada Say
nyoo-hui untuk mengundurkan diri, tapi keinginannya se-lalu ditampik oleh Lan
See giok.
Akhirnya perjamuan pun
berakhir Lan See giok mengikuti di belakang Oh Tin San suami istri menumpang
perahu naga emas untuk kembali ke rumah.
Walaupun Oh Li cu sendiripun
sedikit ter-pengaruh oleh arak, tapi ia masih ber-usaha keras untuk menjaga Lan
See giok, mereka berdua duduk di kursi dan gadis tersebut membiarkan Lan See
giok ber-baring di dalam pelukannya.
Say nyoo-hui yang menyaksikan
hal terse-but segera mengerling sekejap ke arah Oh Tin San, seolah-olah ia
sedang berkata begini:
"Hei rase tua, lihat
sekarang, putri ke-sayanganmu sudah betul-betul terpikat oleh bocah
tersebut."
Sebaliknya Oh Tin San tertawa
hambar, wajahnya kelihatan agak bangga, pikirnya pula dalam hati:
"Asal kotak kecil itu
berhasil kudapat-kan dan aku berhasil pula menguasai ilmu yang tercantum dalam
kitab Tay lo hud bun cinkeng, apa artinya mengorban-kan seorang putri?"
Lan See giok benar-benar mabuk
ketika itu, berbaring dalam pelukan Oh Li cu de-ngan lemas, sementara kepalanya
persis ber-baring di atas sepasang payudara yang mon-tok dan padat berisi, rasa
hangat dan empuk membuat ia semakin terbuai. . .
Perahu menentang ombak, angin
silir se-milir berhembus lembut ditengah dentingan bunyi lonceng yang merdu,
akhir nya Lan See giok tertidur nyenyak.
Entah berapa lama sudah lewat.
. .
Tiba-tiba saja ia tersadar
kembali dari tidurnya karena mendengar suara pem-bica-raan seseorang yang
keras.
"Anak Cu, apakah adik
Giok mu belum sa-dar dari mabuknya?"
"Belum!" terdengar
Oh Li cu menjawab de-ngan suara lirih, "tapi aku telah men-cekoki kuah
Liam sim-tong kepadanya."
Kemudian terdengar Say
nyoo-hui berkata pula:
"Bocah ini memang minum
arak kelewat banyak, bagaimana mungkin ia dapat me-nandingi kawanan setan arak
tua tersebut?"
Lan See giok terkejut sekali
setelah men-dengar pembicaraan itu, pikirnya dengan ce-pat.
"Berada di mana aku
sekarang?"
Ketika membuka matanya, ia
saksikan ru-angan penuh bermandikan cahaya, ter-nyata ia berada di dalam kamar
sendiri, sedang Oh Tin san dan Say nyoo-hui duduk di sudut pembaringan.
Oh Li cu duduk dengan kening
berkerut dan wajah sangat gelisah, begitu melihat Lan See giok sudah mendusin,
ia segera bertanya dengan penuh perhatian.
"Adik Giok, bagaimana
rasamu sekarang?"
Lan See giok tidak menjawab,
se-baliknya dia malah bertanya.
"Sudah jam berapa
sekarang?"
"Sudah mendekati
kentongan pertama, wah, nyenyak amat tidurmu kali ini!" seru Say nyoo-hui
sambil tertawa.
Lan See giok segera melompat
bangun, lalu sambil menengok ke arah Oh Tin san tanyanya dengan nada terkejut.
"Benarkah itu
empek?"
Oh Tin san tertawa riang, ia
manggut-manggut dan sahutnya dengan lembut:
"Anak bodoh, minum arak
merupakan suatu kebiasaan yang mencerminkan se-orang pendekar sejati, di dalam
bidang ini kau perlu banyak berlatih lagi di kemudian hari, bagaimana
perasaanmu sekarang?"
Lan See giok tahu perhatian
yang berle-bihan dari Oh Tin san suami istri terhadap-nya disertai dengan
maksud tertentu, hanya saat ini dia belum dapat menebak maksud tujuannya, maka
dia berlagak sakit kepala. sambil memegangi kepala sendiri serunya penuh
penderitaan.
"ADUUUH, SAKIT KEPALAKU .
. .."
Tidak sampai Lan See giok
selesai ber-bi-cara, dengan gelisah dan penuh perhatian Oh Li cu segera
bertanya:
"Kalau memang sakit
kepala, kenapa harus duduk? Ayah dan ibu toh bukan orang luar."
Sambil berkata, ia
membaringkan kembali Lan See giok ke atas pembaringan.
Lan See giok tidak membantah,
dengan kening berkerut dia menghembuskan napas panjang.
"Anak bodoh." kata
Oh Tin san kemudian sambil meraba jidat Lan See giok, tenang-kan hatimu dan
beristirahatlah selama be-berapa hari ini. Toh berapa waktu belakangan ini kau
tidak usah terbaru buru pergi ke bibi Wan mu."
Mendengar ucapan mana, Lan See
giok tertawa dingin di dalam hati, tapi di luar dia berlagak kaget bercampur
tercengang, seru-nya dengan cepat.
"Kenapa
empek?""
"Anak bodoh, kau harus
mengerti, kau pernah melukai Thi Gou murid dari si kakek berjubah kuning itu .
. .
"Aku sama sekali tidak
melukai Thi Gou", bantah Lan See giok. "aku hanya menotok jalan darah
Hek-ki-hiat nya . . . "
Oh Tin san tidak membiarkan
Lan See -giok menyelesaikan perkataannya, ia meng-go-yangkan tangannya mencegah
pemuda itu melanjutkan kata katanya, setelah itu kata-nya.
"Walaupun begitu, namun
dengan per-buatanmu itu paling tidak sama artinya telah mempercundangi si kakek
berjubah kuning serta si naga sakti pembalik sungai..."
Padahal Lan See giok sudah
tahu kalau Oh Tin san kuatir kakek berjubah kuning itu mengetahui dirinya
berada dalam benteng Wi-lim-poo maka sengaja tidak memperke-nankan pergi, maka
sengaja ia berlagak geli-sah sambil serunya.
"Empek tua, aku kuatir si
beruang berle-ngan tunggal dan si setan bermata tunggal akan sampai di rumah
bibi Wan lebih du-luan..."
Berkilat sepasang mata Oh Tin
san, dengan wajah berubah hebat ia berseru kaget:
"Kenapa? "
Sekarang Lan See giok sudah
memastikan bahwa 0h Tin san adalah orang yang menghajarnya sampai tak sadarkan
diri tempob hari, itu berajrti disimpannyag kotak kecil dib rumah bibi Wannya
sudah bukan menjadi rahasia lagi baginya.
Maka setelah berpura-pura
ragu-ragu seje-nak, ia baru sengaja menjawab.
"Kotak kecil yang empek
katakan sebagai mestika, dari dunia persilatan itu sudah dikirim ke rumah bibi
Wan atas perintah ayah..."
Oh Tin san mengiakan lirih,
wajah yang semula menjadi tegangpun segera menjadi tenang kembali, katanya
kemudian dengan sikap acuh tak acuh.
"Aaah, aku pikir mereka
tak bakal tahu.."
Belum habis perkataan itu
diutarakan, tiba-tiba dari luar jendela bergema suara tertawa dingin yang
rendah dan menggidik-kan hati...
Lan See giok merasakan hatinya
bergetar keras, suara tertawa dingin itu seperti guntur yang membelah bumi
disiang hari bolong, ia berseru tertahan sementara peluh dingin jatuh
bercucuran.
Oh Tin san sendiri sudah
melompat ba-ngun sambil membentak nyaring, sebuah pukulan dahsyat dilontarkan
ke jendela bagian belakang- -
"Blaammm!"
Ditengah benturan yang sangat
nyaring, debu dan pasir beterbangan ke mana-mana. dengan suatu gerakan secepat
sambaran ki-lat Oh Tin san melompat ke luar dari jendela.
Lan See giok segera memusatkan
perhatian nya dengan menyilangkan telapak tangan kanannya di depan dada,
kemudian dengan jurus burung walet menembusi tirai dia melompat ke luar dari
ruangan tersebut me-lalui jendela.
Udara amat bersih waktu itu,
sinar rem-bulan memancarkan cahayanya ke empat penjuru, tapi suasana di
sekeliling tempat itu amat hening dan tak kelihatan sesosok ba-yangan manusia
pun.
Dengan kening berkerut Lan See
giok ber-pikir dihati.
"Waah, cepat amat gerakan
tubuh orang ini, agaknya Oh Tin san pun tak boleh di anggap enteng, dalam waktu
sedemikian singkat ia sudah pergi hingga tak ber-bekas."
BAB 9
MENDADAK dari arah belakang
ter-dengar seseorang membentak dengan suara rendah.
"Ayo cepat naik ke atap
rumah bdan laku-kan pejncarian!"
Di tgengah bentakan,b Say
nyoo-hui serta Oh Li cu telah melompat ke luar dari jendela, kemudian tanpa
berhenti mereka melambung ke tengah udara . . .
Lan See giok memutar badannya
ditengah udara dan segera menyusul pula di belakang, lebih kurang belasan kaki
di depan wuwu-ngan rumah sana ia saksikan Oh Tin San dengan sorot mata yang
tajam sedang celi-ngukan kian ke mari.
Maka dengan mengikuti di
belakang tubuh Say nyoo-hui berdua, mereka meluncur ke arah mana Oh Tin San
berada.
Tiba di situ, merekapun tetap
mem-bung-kam dalam seribu bahasa, hanya sorot mata-nya yang gugup bercampur
gelisah celingu-kan ke sana kemari tiada hentinya
Paras muka Oh Tin san pucat
pias, mata sesatnya berkilat kilat, bibirnya terkatup ra-pat dan tiada hentinya
menggigit bibir, wa-jahnya nampak jelas sedang gemetar keras.
Siapa saja dapat melihat kalau
Oh Tin san sedang diliputi gejolak emosi, dibalik kemas-gulannya terselip pula
perasaan ngeri dan seram.
Berapa saat kemudian, dengan
kening berkerut Oh Tin san baru berbisik lirih.
"Lebih baik kalian semua
kembali untuk beristirahat!"
Say nyoo-hui segera memberi
tanda ke-pada Oh Li cu agar mengajak Lan See giok berlalu dari sana.
Lan See giok membungkam pula,
melihat kemasgulan Oh Tin san, ia merasa tidak lelu-asa untuk bertanya banyak,
terpaksa bersa-ma Oh Li cu mereka kembali ke dalam ru-angan.
Kendatipun demikian, agaknya
Oh Tin san sudah mengetahui siapakah orang yang telah mencuri dengar dan
tertawa dingin itu.
Ketika mereka berdua tiba
kembali di ru-ang sebelah timur, sekawanan pelayan se-dang membersihkan debu
dan hancuran kaca yang berserakan di seputar sana.
Begitu masuk ke dalam pintu,
Lan See giok segera marah-marah:
"Kalian menggambarkan
benteng Wi-lim-poo kokoh bagaikan berdinding baja, siapa yang berani masuk
kemari ibarat masuk ke dalam neraka, tapi kenyataannya sekarang orang lain bisa
masuk dengan sekehendak hati sendiri, malah menyadap pembicaraan kita. .
.""
Waktu itu 0h Li cu sendiripun
sedang di li-puti perasaan terkejut bercampur men-dong-kol, amarahnya segerra
meledak se-tezlah mendengar pwerkataan terserbut.
Dengan kening berkerut dan
tertawa dingin tiada hentinya ia berseru dengan suara dalam:
"Berapa banyak lagi yang
hendak kau ka-takan?"
Walaupun Lan See giok telah
melihat kalau Oh Li cu sedang marah, tapi bila teringat ba-gaimana rahasia
tentang kotak kecil itu ber-hasil dicuri dengar orang lain, amarahnya semakin
berkobar lagi, dengan alis mata berkernyit ia menggembor semakin keras.
"Tentu saja aku harus
berbicara!"
Kawanan dayang yang sedang
membersih-kan lantai di sana menjadi ketakutan sete-ngah mati, wajah mereka
berubah dan ham-pir semuanya mandi keringat dingin mengu-atirkan keselamatan
Lan See giok.
Sebagaimana diketahui, sejak
kecil Oh Li cu sudah terbiasa dimanja, watak-nya jelek dan amat berangasan,
boleh dibilang belum pernah dia dihadapi dengan cara seperti ini
Jangan lagi orang lain, Oh Tin
san dan Say nyoo-hui sendiripun harus mengalah tiga bagian kepadanya, bisa
dibayangkan bagai-mana perasaannya setelah dibentak- bentak secara kasar oleh
Lan See giok sekarang.
Saking mendongkolnya, sekujur
badan gadis tersebut sampai gemetar keras.
Lan See giok segera sadar
kalau perbu-atannya tidak menguntungkan posisi nya, ia sadar keadaan bakal
celaka, tapi setelah ter-lanjur berbicara, diapun enggan tunduk kepada orang
lain dengan begitu saja, aki-batnya ia semakin menarik wajahnya.
Oh Li cu membelalakkan
sepasang mata-nya yang jeli dan mengawasi Lan See giok dengan termangu, agaknya
ia tak mengira kalau wajah tampan yang begitu memukau dari pujaan hatinya itu
kini berubah men-jadi dingin dan hijau membesi.
Dalam sekejap mata inilah ia
benar-benar ditaklukkan oleh kegagahan serta kejantanan lawan, keangkuhan serta
api amarahnya tiba-tiba memudar, ia men-jadi sedih sekali tak terbendung air
matanya segera jatuh ber-cucuran.
Semua pelayan berdiri melongo,
mereka pun tidak percaya kalau si nona mereka yang di hari-hari biasa begitu
tinggi hati, sedikit-dikit lantas turun tangan membunuh orang, sekarang
bersikap begitu lemah dan menge-naskan, bahkan sempat menangis ter-sedu sedu.
Lan See giok menyesal sekali
dengan kece-robohan sendiri, ia kuatir gara-gara urusan kecil itu berakibat
semua masalah besar menjadi terbengkalai.
Begitu melihat Oh L! cu sudah
me-nangis, ia menjadi tak tega, buru-buru dia mendekati nona tadi dan berbisik
dengan wajah penuh rasa sesal.
"Enci Cu, tak usah
menangis . . "
Hanya kata-kata tersebut yang
sempat dia ucapkan, karena ia tak tahu apa lagi yang mesti dikatakan olehnya
sekarang.
Oh Li cu jarang sekali
mendengar Lan See giok menyebutnya "cici" atau bahkan belum pernah
sama sekali. Panggilan ini mengha-ngatkan kembali hatinya, seperti anak kecil
yang diberi gula-gula, ia me-nubruk ke dalam pelukan anak muda itu kemudian
menangis semakin menjadi.
Lan See-giok kelabakan
setengah mati, ia amat menyesal dengan perbuatannya tadi, perbuatan yang sama
sekali tanpa perhitu-ngan, sekarang setelah nasi menjadi bubur, ia baru merasa
bingung dan tak tahu apa yang mesti diperbuat.
Kawanan pelayan yang
menyaksikan ke-jadian tersebut sama-sama berubah wajah-nya, kemudian satu demi
satu secara diam-diam mengundurkan diri sana
Oh Li cu menyandarkan diri di
atas bahu Lan See-giok sambil menangis tersedu, de-ngan suara yang lemah ia
berkata:
"Orang toh tidak melarang
kau berbicara, apa salahnya kalau berbicara setelah menunggu mereka pergi
semua?"
"Sudah, sudahlah"
buru-buru Lan See-giok berseru, "mereka sudah pergi semua, sekarang kita
boleh berbicara."
Dengan wajah masih basah oleh
air mata 0h Li cu melirik sekejap ke arah ruangan, betul juga semua pelayan
yang berada dalam ruangan telah mengundurkan diri, maka ka-tanya kemudian
dengan sedih.
"Sekarang kau harus
berbicara dulu!"
Sambil berkata, dengan wajah
tbak senang hati jia mendorong tugbuh Lan See giobk ke-mudian duduk sendiri di
bangku, sementara sapu tangannya berulang kali digunakan untuk menyeka air
mata.
Lan See giok yang semula merasa
gusar kini menjadi murung bercampur gelisah, untuk berapa saat dia tak tahu apa
yang mesti dibicarakan, maka setelah memandang sekejap jendela belakang yang
hancur, ujarnya murung.
"Menurut penilaianku
sendiri setelah me-nyaksi kan kekuatan kapal perang yang di miliki benteng ini,
bukan pekerjaan yang gampang bagi orang luar untuk memasuki Wi-lim-poo ini,
tapi kenyataannya orang tersebut dapat bersembunyi di luar jendela tanpa di
ketahui jejaknya, dari sini dapat diketahui kalau penjagaan dalam benteng
sangat mengendor, kurang disiplin dan ke-lewat ceroboh."
Dengan suara tak puas Oh Li cu
segera membantah:
"Aaah, mana mungkin,
benteng Wi-lim-poo dikelilingi air, setiap sepuluh langkah boleh dibilang
terdapat satu pos pen-jagaan..."
"Baik, baiklah, aku sudah
tahu" tukas Lan See giok tidak sabar, "aku cuma ingin berta-nya,
orang itu bisa memanjati tembok ben-teng dan masuk ke ruang dalam, untuk hal
mana berapa lebarkah jalan air yang mesti ditempuh? Beberapa banyak pos
pen-jagaan yang harus dilalui? dalam hal ini pernahkah kau bayangkan?"
Oh Li cu yang dihadapkan
dengan per-ta-nyaan tersebut menjadi tertegun, dia hanya bisa mengerdipkan
sepasang matanya de-ngan mulut membungkam.
Dengan kening berkerut Lan See
giok ber-jalan bolak balik lagi di dalam ruangan, ka-tanya lebih jauh:
"Kecuali kepandaian ilmu
meringankan tubuh yang dimiliki oleh orang ini sudah mencapai tingkatan yang
sempurna, kalau tidak, mustahil dia dapat melewati tempat-tempat yang
berpenjagaan ketat semudah itu, bisa jadi dia sudah hapal sekali dengan keadaan
di dalam ruangan benteng ini."
Baru selesai dia berkata,
mencorong sinar tajam dari balik mata Oh Li cu, dia segera berbisik:
"Adik Giok, aku rasa bisa
jadi orang terse-but adalah anggota benteng sendiri?"
Mendengar ucapan tersebut,
Lanb See giok segerja teringat kembgali akan Be Siobng pak serta Thio-Wi-kang,
hanya saja ia tak berani sembarangan berbicara.
"Bagaimana kau bisa
berkata begitu?" ta-nyanya kemudian.
Oh Li cu kembali termenung,
agaknya ia sedang mempertimbangkan kembali pelbagai kemungkinan dari dugaannya
tersebut, akhirnya ia berkata.
"Aku rasa kecuali
beberapa orang saja yang sering datang ke gedung bagian belakang ini, jarang
ada yang tahu kalau gedung ini ko-song---"
Tergerak hati Lan See giok
setelah men-dengar perkataan itu, tanpa terasa ia ber-tanya:
"Apa kau bilang? Gedung
belakang ini tak berpenghuni?"
Kembali nampak keraguan di
wajah Oh Li cu, dia merasa rahasia ini kelewat awal un-tuk diberitahukan kepada
Lan See giok sekarang- sebab itu dia hanya manggut-manggut.
Dengan cepat Lan See giok
menjadi paham, tak heran kalau tiada orang yang menegur di sekitar sana sewaktu
ada orang menyusup ke tempat tersebut.
Meskipun demikian, dia toh tak
berani menuduh siapapun secara gegabah, tanyanya kemudian dengan nada tidak
mengerti:
"Di hari biasa siapa saja
yang sering ke-mari, dan siapa pula yang mengetahui raha-sia dari gedung
belakang ini?"
Agaknya Oh Li cu masih tetap
menaruh keraguan terhadap dugaan itu, karenanya sambil memperendah suaranya dia
menya-hut.
"Be congkoan,
Thio-Wi-kang, tiga setan dari benteng..."
"Kau mencurigai si setan
ikan leihi?" Lan see giok segera memotong.
"Oh Li cu segera
mendengus menghina, katanya dengan bangga:
"Nyali anjingnya sudah
pecah sedari tadi, jangan kata berani memasuki ruang dalam, mendengar kata
"nona" saja tubuhnya sudah gemetaran keras . . " "
Paras muka Lan See giok segera
berubah menjadi terkejut bercampur keheranan, bi-siknya kemudian.
"Kau maksudkan Be . . .
"
"Ssst!" cepat-cepat
Oh Li cu menempelkan ujung jarinya ke atas bibir memberi tanda agar tutup
mulut, setelah rmengerling sekezjap ke ruang sewbelah belakang,r ia berbisik
lagi:
"Aku rasa kecuali mereka
berdua, tidak ada orang ke tiga yang berani memasuki daerah sekitar tempat
ini."
Tergerak hati Lan See giok
sesudah mendengar perkataan itu, ia pun berbisik:
"Apakah mereka tidak
berdiam di tempat ini?
Oh Li cu segera menggelengkan
kepalanya berulang kali:
"Tidak, mereka berdiam di
gedung tunggal di seberang sana."
Tanpa terasa Lan See-giok
mendongakkan kepalanya memandang ke gedung seberang, suasana di sana sangat
hening dan tak kedengaran sedikit suarapun, di bawah ca-haya rembulan, ia
melihat jelas tiada penjaga di sekitar sana.
"Sungguh aneh,"
serunya kemudian de-ngan nada tidak mengerti, "mengapa tidak kujumpai
penjagaan di sekitar wilayah ini?"
Oh Li cu kembali berkerut
kening sambil menunjukkan keraguan, setelah itu baru ujarnya.
"Memang di sekitar gedung
ini dan gedung di seberang sana tidak disertai dengan penja-gaan."
"Mengapa?", tanya Lan
See giok lagi tidak habis mengerti.
"Entahlah. . ." Oh
Li cu menggelengkan kepalanya berulang kali, "ayah yang suruh
demikian!"
Lan See-giok tahu bahwa Oh Li
cu enggan berbicara, tentu saja diapun merasa kurang leluasa untuk mengajukan
pertanyaan, maka sambil memandang bangunan di seberang sana, pikirnya di dalam
hati.
"Aneh, masa benar-benar
ada orang yang berani menyadap pembicaraan kami dari luar jendela"
Tiba-tiba Oh Li cu bangkit
berdiri, lalu bisiknya.
"Biar aku menengok ke
sana!"
Lan See giok kembali merasakan
hatinya tegang, dengan cepat ia berbisik.
"Kau harus bersikap lebih
berhati hati, paling baik kalau membawa serta Siau ci dan Siau lian
berdua"
Oh Li cu manggut-manggut.
"Aku tahu, aku bisa
menghadapi mereka dengan sebaik baiknya----"
Seusai berkata, buru-buru dia
masuk ke bilik pintu bulat, sekalipun Lan See giok ti-dak begitu menyukai Oh Li
cu, bagaimana-pun juga ia toh menguatirkan juga ke sela-matan dari perempuan
tersebut. karena tin-dakan yang diambil olehnya jelas merupakan suatu tindakan
yang menyerempet bahaya.
Terutama sekali selama dia
berada dalam benteng Wi-lim-poo, ia butuh sekali bantuan dari Oh Li cu, selama
ia berada di sana ber-arti lebih menguntungkan bagi usahanya untuk melarikan
diri.
Dengan penuh kegelisahan dia
berjalan mondar mandi dalam ruangan agar pihak lawan tak sampai mengawasi gerak
gerik-nya secara jelas, diapun sengaja memadamkan semua lentera yang berada
dalam ruangan tersebut.
Suara dayung membelah air
kedengaran berkumandang ditengah keheningan itu.
Cepat-cepat Lan See giok
menuju ke jendela belakang dan melongok ke luar, se-buah sampan kecil sedang
meluncur ke luar dari tempat tersebut.
Oh Li cu berdiri tegak di
ujung sampan, sebilah pedang tersoren di punggungnya, se-dang Siau ci dan Siau lian
membawa dayung duduk di belakang.
Entah mengapa, Lan See giok
merasakan hatinya berdebar keras, andaikata orang yang menyadap pembicaraan
mereka tadi benar-benar adalah Be Siong pak serta Thio-Wi-kang, jelas kepergian
Oh Li cu kali ini mengandung resiko yang amat berat.
Sampan itu sudah hampir tiba
di seberang sana, tiba-tiba ia saksikan Oh Li cu berpaling ke arahnya, sorot
matanya berkilat seperti bintang timur.
Lan See giok segera menggapai
ke arahnya, sementara hatinya berdebar makin keras, dalam sekejap itulah ia
seolah-olah men-da-patkan suatu firasat jelek.
Dia ingin memanggil pulang Oh
Li cu, tapi kuatir hal tersebut malah berakibat merugi-kan, sementara ia masih
sangsi Oh Li cu serta Siau lian sudah naik ke daratan sebe-rang dan menuju ke
jalan tembus, sementara Siau ci tetap menanti di atas sampan.
Lan See giok berdiri di depan
jendela de-ngan perasaan yang sangat kalut, sorot ma-tanya yang tajam mengawasi
perkembangan situasi tanpa berkedip.
Kurang lebih seperminuman teh
blamanya sudah ljewat, akan tetagpi suasana di sbeberang sana masih tetap
hening . . . Berapa waktu kemudian, belum juga nampak Oh Li cu menampakkan diri
. .
Lan See giok semakin gelisah,
pikirnya:
"Wah, jangan-jangan orang
yang menyadap pembicaraan tadi benar-benar adalah Be Siong pak serta
Thio-Wi-kang?"
Ia tak berhasil menebak dengan
pasti me-ngapa Be Siong pak dan Thio-Wi-kang me-nyadap pembicaraan pribadi pocu
nya, ja-ngan-jangan Oh Tin san telah membongkar pula rahasia sekitar kotak
kecil tersebut di hadapan mereka berdua?
Tentang rahasia mestika
tersebut, kecuali terhadap Say nyoo-hui, Oh Tin san boleh di-bilang tak pernah
membicarakannya kepada Oh Li cu, jadi seharusnya mustahil kalau dia membocorkan
pula kepada kedua orang itu...
Sementara dia masih termenung,
tiba-tiba terdengar suara keleningan kecil ber-kuman-dang dari kejauhan sana.
Tapi suara tersebut hanya
bergema sing-kat, agaknya genta tersebut cepat-cepat dipegang orang hingga tak
sampai bersuara.
Suara keleningan tersebut
mirip sekali dengan suara keleningan yang berkuman-dang dari perahu naga emas
milik Oh Tin san.
Tiba-tiba Siau ci yang berada
di sampan seberang berpaling ke arah pintu air.
Tergerak hati Lan See giok,
dengan cepat dia melompat ke luar pula dari dalam ru-angan.
Tiba di pintu halaman, benar
juga ia lihat perahu naga emas telah berlabuh di depan pintu gedung persegi,
semua cahaya lentera di atas perahu telah padam, beberapa orang lelaki
berpakaian ringkas berdiri di buritan, salah seorang diantara-nya sedang
menggeng-gam lonceng kecil itu.
Sekali lagi Lan See giok
berpikir dihati:
"Dalam suasana begini,
masa Oh Tin san akan ke luar benteng? Ke mana dia hendak pergi?"
Belum habis ingatan tersebut
melintas le-wat, Oh Tin san dan Say nyoo-hui sudah nampak muncul dari balik
gedung dengan langkah tergesa gesa.
Oh Tin san masih tetap
mengenakan jubah abu - abunya, sedangkan Say nyoo-hui telah berganti dengan
sebuah pakaian ringkas,b sepasang golokj burung hongnyag tersoren
di-pubnggungnya tergantung sebuah kantung kulit.
Setibanya di depan pintu, ke
dua orang itu segera menjejakkan kakinya ke atas tanah dan melompat naik ke
atas perahu naga emas.
Setibanya di perahu, Oh Tin
San cepat-ce-pat mengulapkan tangannya setelah itu ber-sama sama Say nyoo-hui
masuk ke ruang perahu.
Beberapa orang lelaki kekar
yang sudah siap dengan cepat mendayung perahu itu berlalu dari sana, dalam
waktu singkat perahu naga emas itu sudah melaju pergi.
Lan See giok yang menyaksikan
semua peristiwa tersebut menjadi bingung ber-cam-pur gelisah, ia tidak mengerti
mengapa Oh Tin san suami istri pergi dengan langkah tergesa gesa, tapi yang
pasti hal ini tentu ada sangkut pautnya dengan si penyadap pembi-caraan mereka
tadi.
Dalam keadaan yang begini, ia
mulai me-nguatirkan keselamatan dari bibi Wan serta enci Ciannya, kalau tadi
berniat meninggal-kan benteng Wi-lim-poo, maka sekarang dia bertekad akan
berusaha me-larikan diri dari situ.
Belum habis ingatan tersebut
melintas le-wat, sampan kecil 0h Li cu telah didayung kembali. Oh Li cu yang
berdiri di geladak se-dang mengawasi perahu naga emas yang berlalu tanpa
berkedip.
Cepat-cepat Lan See giok
menenangkan hatinya kemudian maju menyongsong, lalu sambil menarik Oh Li cu
naik ke atas darat ia berbisik lirih:
"Bagaimana? Apakah mereka
berada di situ`"
Dengan wajah riang Oh Li cu
menunjuk ke arah pintu halaman, sebagai pertanda masuk dulu kemudian baru
berbicara, tapi dengan nada tak mengerti ia toh bertanya juga ke-pada Lan See
giok:
"Agaknya ayahku sekalian
barusan pergi?"
Dengan cepat Lan See giok
berkerut ke-ning, karena ia mengendus bau arak dari mulut Oh Li cu, ini yang
membuat nya tidak mengerti, maka diapun manggut-manggut sambil mengiakan
belaka.
Mereka berdua masuk ke ruang
dalam, sambil memasang lampu lentera Lan See -giok segera bertanya:
"Bagaimana dengan
mereka?"
"Mereka sedang
membicarakan tentang diri mu!" ucap Oh Li cu dengan wajah berseri.
Nada suaranyapurn kedengaran
peznuh de-ngan kegwembiraan, Lan Sree giok merasa kan hatinya bergetar keras,
tanyanya lagi dengan gelisah:
"Apa yang sedang mereka
bicarakan?"
Setelah lentera disulut, ia
pun dapat me-li-hat Oh Li cu berdiri sambil memandang arahnya dengan pandangan
cinta, senyum manis menghiasi ujung bibirnya, pipinya semu merah.
Oh Li cu tertawa genit,
sahutnya merdu:
"Mereka semua mengatakan
kau tampan dan gagah, di kemudian hari pasti akan menjadi seorang pemimpin yang
disegani setiap orang..."
Alangkah kecewanya Lan See
giok se-telah mendengar perkataan ini, tapi untuk berhasil melepaskan diri dari
sana. Ia pura-pura ber-tanya lagi dengan wajah gembira.
"Apa lagi yang mereka
bicarakan tentang diriku?"
Paras muka Oh Li cu berubah
semakin merah membara, lama kemudian ia baru berkata tersipu sipu:
"Mereka masih memuji
ketajaman mata ayahku yang bisa mendapatkan seorang menantu gagah seperti kau,
sudah pasti dia akan banyak rejeki di kemudian hari."
Berbicara sampai di situ,
tidak tahan lagi dia tertawa cekikikan . . .
"Aaah, mungkin aku yang
tidak sesuai untuk enci?" Sengaja Lan see giok me-rendah.
Paras muka Oh Li cu berubah
semakin merah, cepat-cepat dia membantah.
"Adik Giok terlalu
sungkan, sesungguhnya enci lah yang merasa tidak sesuai untukmu, cuma Be
congkoan toh sempat memuji kita berdua sebagai sepasang sejoli yang amat
serasi, diapun berkata pula demikian".
"Adik adalah pemuda gagah
dan enci adalah gadis cantik, bila kita berdua berjalan bersama, entah berapa
banyak manusia lain yang akan merasa kagum"
Tergerak hati Lan See giok
setelah men-dengar ucapan tersebut, dengan gembira ia segera berseru:
"Sungguh? Enci Cu, mari
kita bermain ke telaga Oh peng, aku ingin lihat bagaimana para nona-nona
nelayan yang ber-muka beng-kak, berwajah kurus memandang kagum kepadamu. .
."
Waktu itu Oh Li cu sedang
merasa gembira sekali, ditambah pula rasa ingin menang-nya, terpengaruh pula
oleh beberapa cawan arak, tanpa berpikir panjang ia menyahut:
"Baik, besok kita pergi
bersama!"
Ketika Lan See giok
menyaksikan paras muka Oh Li cu makin lama semakin ber-tam-bah merah, dengan
penuh perhatian dia pun bertanya:
"Cici, kau telah minum arak?"
Oh Li cu tertawa, ditatapnya
anak muda tersebut dengan pandangan penuh cinta kasih, kemudian katanya.
"Sewaktu kesana, mereka
berdua lagi mi-num arak demi merayakan cici yang berhasil mendapatkan kekasih
tampan seperti kau, Be congkoan dan Thio-Wi-kang, masing-masing telah
menghormati tiga cawan arak kepadaku."
"Kalau begitu cici sudah
mabuk. " seru Lan See giok gugup "cepatlah pergi tidur, besok kita
hendak berpesiar.
Dengan cepat 0h Li cu
menggelengkan kepalanya berulang kali.
"Cici tidak mabuk,
pergilah tidur lebih du-luan, aku harus menitahkan Siau lian untuk
memberitahukan kepada komandan pasukan harimau terbang agar menyiapkan sebuah
kapal perang dan kuda untuk kita berdua."
Terkejut Lan See giok
mendengar ucapan ini, segera pikirnya.
"Kalau aku mesti
berpesiar dalam keadaan seperti ini, jelas hal tersebut akan sangat
mempengaruhi usahaku untuk melarikan diri, wah--- rencana ini mesti
kucegah."
Berpikir demikian..
cepat-cepat dia berseru
"Urusan pribadi kita
berdua mengapa ha-rus merepotkan orang lain . .?"
Tidak sampai Lan See giok
berbicara lagi, dengan nada meyakinkan Oh Li-cu berkata lebih jauh:
"Besok kita harus
menunggang kuda, ta-hukah betapa gagahnya kita berkuda!"
Dia mengerling sekejap ke
arahb si nona denganj pandangan penugh cinta kasih dban masuk ke dalam kamarnya
dan berpesan lagi dengan mesra.
"Cepatlah tidur, besok
kita akan berangkat pagi-pagi!"
Tiba-tiba satu ingatan
melintasi kembali dalam benak Lan See giok, sambil berlagak resah ia berkata.
"Tapi aku tak pandai
menunggang kuda..."
"Besok cici akan mengajar
kepadamu, tanggung sekali belajar segera akan bisa"
Selesai berkata, dia lantas
beranjak pergi dari situ.
Diam-diam Lan See giok
mengeluh, hatinya amat gelisah, dalam keadaan begini ia tahu keadaan tak
tertolong lagi, terpaksa dia harus bekerja menurut situasi besok.
Berbaring di atas ranjang,
bagaimanapun ia berusaha tidur, matanya terasa tak mau terpejam.
Sekarang ia dapat memastikan
kalau orang yang mencuri dengar rahasia kotak kecilnya adalah orang lain namun
hal tersebut sema-kin memperbesar tekadnya untuk melarikan diri.
Dengan seksama dan berhati
hati sekali dia mulai merancang rencananya untuk melari-kan diri, ia telah
persiapkan beberapa macam jawaban. Mempersiapkan bagaimana caranya menciptakan
kesempatan, apa yang harus diperbuat untuk menghindari pe-ngejaran dari Oh Li
cu serta bagaimana selanjutnya menyusup ke rumah kediaman bibi Wan nya
Sampai dia beranggapan bahwa
rencana nya betul-betul matang dan sempurna, ia baru terlelap tidur---
Entah berapa saat sudah lewat,
akhirnya suara langkah kaki manusia menyadarkan Lan See giok dari tidurnya.
Ketika membuka mata, sinar
fajar telah mencorong masuk lewat jendela, seorang dayang kecil telah muncul
sambil membawa keperluan membersihkan mulut dan muka.
Lan See giok segera melompat
bangun, ke-mudian bisiknya kepada pelayan itu:
"Tolong ambilkan pakaian
milikku sendiri!"
Baru selesai ia berkata, dari
kamar sebe-rang sudah kedengaran suara Oh Li cu lagi menegur:
"Adik giok, kau telah
bangun?"
"Benar cici!" sahut
Lan See giok dengan perasaan terkejut.
" Apakah kau merasa
pakaian itbu kurang serasij dibadan?" tanyga Oh Li cu lagib dengan nada
tidak mengerti.
"Betul enci Cu, pakaian
ini kelewat kedo-doran"
"Aku masih mempunyai satu
stel baju kongcu berwarna biru, tahun berselang baru selesai dibuat, biar
kucarikan untukmu!"
Untuk menghindari kecurigaan
perempuan tersebut, Lan See giok tak berani bersikeras meminta kembali pakaian
lama-nya, terpaksa dia hanya mengiakan.
Tak lama kemudian, tirai
kelambu tersing-kap dan Lan See giok merasakan pandangan matanya menjadi silau.
Oh Li cu muncul dengan
dandanan yang sangat mentereng, jauh berbeda dengan dan-danannya semalam, kali
ini dia nampak ang-gun, cantik dan menawan hati.
Sambil membawa sebuah jubah
panjang, ia muncul kembali dengan wajah berseri.
Memandang dandanan perempuan
ini, diam-diam Lan See giok turut merasa gembi-ra, sebab sudah jelas tak
mungkin akan mem-bawa senjata tajam atau senjata rahasia itu, berarti
rencananya untuk melarikan diri sudah berhasil separuh.
Karenanya dengan nada gembira
dia berse-ru.
"Aaah enci Cu, kalau kau
berjalan jalan di tepi telaga dalam dandanan seperti ini, ja-ngan-jangan nona
dusun akan mengira dewi sianggo turun dari rembulan ...."
Oh Li cu merasa girang sekali
dengan um-pakan tersebut, ia tertawa semakin bangga
"Nah, ambillah dan cepat
kenakan!""
Sambil berkata dia melemparkan
jubah panjang tersebut ke arah Lan See giok.
Lan See giok menyambut jubah
panjang itu dan mengenakannya, ternyata potongan pakaian itu persis sekali
dengan bentuk badannya. kalau tidak bisa dikatakan cocok sekali.
Oh Li cu tertawa puas setelah
melihat adik Giok nya nampak lebih tampan setelah me-ngenakan jubah biru itu,
ia yakin hanya diri-nya yang pantas mendampingi seorang pe-muda ganteng macam
dirinya.
Ketika sarapan mereka berdua
sama-sama membungkam dengan pikiran masing-masing
Oh Li cu bersantap dengan
lahap, dia se-dang mengkhayalkan bagaimana para gadis dusun mengagumi
kecanrtikan dan keangz-gunannya.
Sebwaliknya Lan Seer giok tak
sanggup me-nelan nasi yang disuapnya, pikirannya sa-ngat resah bila memikirkan
rencana pe-lariannya nanti---
Selesai bersantap, mereka
berdua naik ke sampan, dan melaju menembusi aliran su-ngai dengan Siau ci serta
Siau lian yang me-megang dayung.
Setelah melewati benteng air
yang tinggi dan menembusi dua buah saluran air, pintu gerbang telah berada di
depan mata.
Di kedua belah sisi pintu
gerbang berdiri puluhan orang lelaki berbaju kuning, ada yang menyandang golok,
ada yang mem-bawa busur, sewaktu melihat sampan yang ditum-pangi Lan See giok
dan Oh Li cu lewat. ben-takan nyaring menggelegar dan pintu gerbang segera
dipentangkan lebar- lebar.
Tatkala sampan kecil itu
lewat, puluhan orang lelaki kekar itu serentak memberi hor-mat dengan wajah
serius, ketika memandang wajah Lan See giok, rata-rata mereka tunjuk-kan sikap
menghormat.
Sedangkan mereka yang melihat
sikap alim dan lembut dari Oh Li cu, rata-rata segera berpikir di dalam hati:
"Waah, nona berubah
seratus delapan pu-luh derajat."
Ke luar dari pintu gerbang,
Lan See giok merasakan matanya silau, rupanya di kiri pasukan harimau dan
pasukan naga.
Setiap kapal perang berlabuh
rapi, panji berkibar terhembus angin dua puluhan lelaki kekar berbaju kuning
dengan tombak dan tameng di tangan berdiri serius di atas gela-dak.
Begitu sampan yang ditumpangi
Lan See -giok sekalian muncul, terompet dibunyikan dan serentak semua
lelaki-lelaki kekar itu menengok ke arah mereka.
Komandan pasukan harimau serta
koman-dan pasukan naga telah menantikan keda-tangan mereka di perahu pertama.
Lan See giok segera berlagak
sangat gem-bira, dengan wajah berseri dia mengulapkan tangannya ke arah kawanan
pasukan yang berada di kiri kanannya
Ketika menyaksikan wajah
menghormat dan sorot mata kagum yang terpancar dari wajah orang-orang itu, Lan
See-giok malu sendiri, dia yakin orang-orang itu tak ada yang tahu kalau
sekarang ia sedang berusa-ha untuk melarikan diri.
Sampan itu didayung langsung
menuju ke kapal perang pertama, setelah mendekat, pemuda itu baru tahu kalau di
situ tidak di sediakan tangga untuk naik, padahal tinggi perahu mencapai dua
kaki lebih, apalagi tinggi geladak yang delapan depa lebih tinggi.
(Bersambung ke Bagian 12)