"Yaa, kemungkinan besar
benar"
"Tapi menurut analisa
pada umumnya, mustahil kalau si Gurdi emas peluru perak Lan Khong-tai akan
menyerahkan mestika yang amat berharga itu kepada seorang pe-rempuan, mungkin
saja dia menyimpannya di dalam makam raja-raja . . ."
"Aku telah melakukan
pemeriksaan setiap sudut makam tersebut dengan seksama, bahkan setiap sudut
ruangan yang mungkin bisa dipakai untuk menyimpan kotak kecil itupun sudah
kuperiksa . . . "
Mendengar sampai di situ, Lan
See-giok yang bersembunyi di bawah tumpukan tali merasa gusar sekali, ia
menduga pasti sekarang kalau kakek berjubah kuning yang berwajah ramah ini
benar-benar, adalah se-komplotan dengan pembunuh-pembunuh ayahnya.
Mungkin saja selama ini kakek
berjubah kuning itu bersembunyi terus di dalam ku-buran, mungkin juga dialah
pembunuh ayahnya, sebab hanya orang yang berilmu begitu tinggi baru bisa
membunuh ayahnya dalam sekali pukulan . . .
Makin dipikir Lan See giok
merasa darah-nya makin mendidih, hawa amarahnya yang memuncak membuat rasa
takutnya sama sekali lenyap tak berbekas.
Tapi, bila teringat akan
kelihaian ke-pan-daian silat yang dimiliki kakek berjubah kuning itu, ia merasa
putus asa, tipis rasa-nya harapan baginya untuk membalas den-dam . . . .
Sementara dia masih termenung,
si Naga sakti pembalik sungai telah berkata lagi:
"Menurut apa yang
locianpwe saksikan se-malam, siapakah di antara Sam ou ngo to (lima tunggal
dari tiga telaga) yang besar ke-mungkinannya sebagai pembunuh Lan Khong
tay?"
"Kelima limanya patut
dicurigai semua . . " sahut kakek itu setelah termenung sebentar.
Lan See giok menjadi mengerti
sekarang, yang dimaksudkan sebagai Sam Ou ngo to oleh si Naga sakti pembalik
sungai tentulah orang-orang yang menggunakan julukan "To" atau
tunggal pada permulaan namanya.
Sambil memandang bintang yang
berta-buran di angkasa, diam-diam ia mulai meng-hitung semua orang yang pernah
di-jum-painya semalam.. .
Orang pertama yang dijumpai
adalah To pit him (beruang berlengan tunggal) Kiong Tek cong yang menggeledah
seluruh badan-nya dengan tangan kanannya dikala ia jatuh pingsan. . .
Kemudian adalah To tui thi
koay (tongkat baja berkaki tunggal) Gui Pak cong yang menusuk tubuhnya dengan
tongkat besinya.
Orang ke tiga adalah si
manusia bermuka hijau dan bergigi taring yang bernama To-gan liau pok (setan
bengis bermata tunggal ) Toan Ki tin, besar kemungkinannya orang ini adalah
pelaku pembunuhan atas diri ayah-nya.
Kemudian adalah si manusia
berbisul be-sar pada kepalanya yang tertembus oleh senjata gurdi emas, orang
itu diketahui ber-nama To ciok siu (binatang bertanduk tung-gal) Si Yu gi,
orang ini adalah satu satu-nya orang yang mengetahui siapa pembunuh ayahnya,
tentu saja mungkin juga orang itu adalah si binatang bertanduk tunggal pribadi.
Pelbagai ingatan segera
berkecamuk dalam benaknya, mulai dari si kaki tunggal, si le-ngan tunggal, si
mata tunggal dan si tanduk tunggal . . .
Dari lima manusia tunggal ada
empat di antaranya telah diketahui, lantas siapakah si tunggal yang kelima?
Mungkinkah dia adalah kakek
berambut perak yang telah menghajar dirinya hingga semaput itu . . .
Mendadak satu ingatan melintas
dalam benaknya, kontan saja Lan gee giok merasa-kan hatinya bergidik.
Bayangan tubuh seorang kakek
bermata sesat, bertubuh kurus kering, bermuka kuda dan bertelinga tunggal
dengan cepat melintas dalam benaknya.
Dengan perasaan bimbang dia
lantas ber-pikir:
"Yaa, diapun bertelinga
tunggal. . diapun kehilangan sebuah telinganya mungkinkah empek adalah salah
seorang dari Sam ou ngo to tersebut . . .?"
Sementara pelbagai ingatan
berkecamuk dalam benaknya, mendadak terdengar si naga sakti pembalik sungai
yang berada di atas tanggul berseru cemas:
"Locianpwe, cepat lihat,
di bawah tanggul sana tampak sesosok bayangan manusia se-dang berkelebat
lewat!"
Dengan perasaan tergerak Lan
See giok ikut melirik, dia saksikan si naga sakti Thio Lok heng sedang menuding
ke arah utara dengan cambang yang bergetar keras.
"Ehmm, aku sudah
melihatnya!" sahut kakek berjubah kening itu sambil manggut- manggut.
Si Cay soat segera mengerling
sekejap ke arah Lan See giok, kemudian ujarnya kepada Si naga sakti
Thio-Lok-heng:
"Empek Thio, mungkin dia
adalah Lan See giok?"
"Bukan, dia adalah To oh
cay jin(manusia buas bertelinga tunggal)!" tukas si kakek berjubah kuning
sambil menggeleng.
Sementara itu, meski Lan See
giok yang bersembunyi di balik sampan sudah men-duga kalau empeknya yang
bertelinga tunggal kemungkinan besar adalah salah seorang dari ngo to ( lima
tunggal ), namun setelah mendengar julukan manusia buas bertelinga tunggal
tersebut, hatinya toh merasa ter-ke-siap juga sehingga tubuhnya menggigil
keras.
Terdengar kakek berjubah
kuning itu ber-kata lagi dengan suara murung bercampur kesal:
"Sesungguhnya Lan See
giok adalah se-orang bocah yang cerdik, sayang pukulan batin yang dialaminya
kelewat hebat sehingga membuat hatinya tak dapat tenang dan menyumbat semua
kecerdasan otaknya. Hal ini ditambah lagi dengan pancingan si Manu-sia buas
bertelinga tunggal Oh Tin san yang menggunakan pelajaran ilmu silat se-bagai
umpan, akibatnya mengurangi ke-curigaan Lan See-giok terhadap dirinya coba
kalau bukan begitu, dengan kemampuan dari Manusia buas bertelinga tunggal Oh
Tin san mana mungkin dia dapat mengelabuhi Lan See- giok?."
"Locianpwe" si naga
sakti Thio Lok heng segera berkata sambil tertawa, "jelek--jelek begini
sudah setengah hidupku berkelana dalam dunia persilatan, berbicara soal
luas-nya pengetahuanku, sesungguhnya boleh di-bilang lumayan juga, tapi setelah
men-dengar pembicaraan dari locianpwe semalam, jangan toh Lan See giok yang
masih bocah, bahkan boanpwe yang sudah jago kawakan pun dibi-kin kebingungan
dan tak habis mengerti dibuatnya . . . "
Kakek berjubah kuning itu
menghela napas dan manggut-manggut, sahutnya:
"Walaupun si Manusia buas
bertelinga tunggal Oh Tin san termasyhur karena ke-buasan dan kekejamannya,
diapun terhitung se-orang manusia licik, sayang cara kerjanya kurang mantap dan
lagi tidak sabaran, lama kelamaan Lan See giok pasti dapat me-ngeta-hui
belangnya tersebut- -"
Belum habis ucapan tersebut
diutarakan, dengan sorot mata berkilat si naga sakti pembalik sungai Thio Lok
heng telah menu-kas sembari berseru keras:
"Locianpwe, coba kau
lihat!"
Sambil berkata dia lantas
menuding ke arah depan dusun.
Kakek berjubah kuning itu
berkerut kening sambil berpaling, tidak nampak bagaimana caranya menggerakkan
badan, tahu-tahu dia sudah meluncur ke depan.
Menyusul kemudian naga sakti
pembalik sungai Thio Lok heng dan Si Cay soat pun ikut berlalu dari situ.
Waktu itu pikiran Lan See giok
amat kacau, dia tak sempat memikirkan lagi apa yang berhasil dilihat Thio Lok
heng, kenapa kakek berjubah kuning itu berlalu dan me-ngapa Si Cay soat tidak
membocor-kan jejak-nya yang bersembunyi di bawah tumpukan tali.
Yang dipikirkan sekarang
adalah cepat-ce-pat menyusup ke rumah kediaman bibi Wan nya tanpa diketahui
orang lain.
Dia tahu, meski kakek berjubah
kuning itu telah pergi, tapi kemungkinan besar dia akan balik lagi, sebab itu
dia tidak berani naik ke atas tanggul telaga tersebut.
Angin malam berhembus lewat
membawa udara yang sangat dingin, pelan-pelan Lan See giok yang bersembunyi
dibalik tumpukan tali dapat menenangkan kembali hatinya. . .
Mendadak ia mendengar suara
gelak ter-tawa yang amat keras berkumandang datang dari depan dusun sana.
Lan See giok kenal suara
tersebut se-bagai suara si Naga sakti pembalik sungai Thio Lok heng.
Tapi saat ini, dia sudah tidak
menaruh minat lagi terhadap setiap perobahan yang telah terjadi di sekeliling
tempat itu, karena dia sedang mempergunakan segala akal dan kecerdasannya untuk
memecahkan kesulitan yang sedang dihadapinya.
Pertama-tama, dia berpikir
tentang kakek berjubah kuning yang berilmu tinggi itu.
Ditinjau dari sikap hormat dan
panggilan merendah dari Naga sakti pembalik sungai Thio Lok heng, dapat
diketahui kalau kakek berjubah kuning itu memiliki kedudukan yang sangat tinggi
dalam dunia persilatan.
Sekalipun kakek itu mungkin
bermaksud untuk mendapatkan kotak kecil milik ayah-nya dan telah menggeledah
seluruh isi makam, namun belum tentu ia bersekongkol dengan sam ou ngo to.
Dilihat dari sikap si kakek
yang hingga kini masih belum tahu kalau kotak kecil tersebut sudah berada di
rumah bibi Wan-nya, bisa disimpulkan pula kalau orang yang bersem-bunyi di
belakang meja dan meng-hantam dirinya sampai pingsan itu bukanlah kakek ini.
Teringat akan kakek kurus
berambut perak yang menghajarnya sampai semaput dari be-lakang itu, tanpa
terasa Lan See giok mem-bayangkan kemba1i si Manusia buas bertelinga tunggal Oh
Tin san.
Terbayang sampai ke situ,
dengan cepat dia pun menjadi sadar kembali, semua siasat busuk dari Manusia
buas bertelinga tunggal pun kontan terungkap semua.
Di samping itu dia membenci
akan keto-lolan sendiri, di mana manusia buas berhati busuk yang amat berbahaya
telah dianggap-nya sebagai sahabat karib ayahnya.
Padahal gerak gerik maupun
cara ber-bicara Manusia buas bertelinga tunggal semenjak masuk ke dalam makam
sudah mencuriga-kan sekali, tapi dia justru ter-kecoh dan kena dikibuli habis
habisan.
Tentunya setelah menghajar dia
sampai pingsan, Oh Tin san lantas menyusun renca-na kejinya, dengan pergi
membeli hio dan lbilin, kemudian juntuk mencari tgahu tempat tingbgal bibi Wan
nya, mau tak mau diapun melaksanakan rencana kejinya dengan amat berhati hati.
Masih untung dia tak sempat
melihat jelas wajah aslinya sebelum dihantam pingsan dulu, kalau tidak mungkin
selembar jiwa nya sudah melayang sekarang.
Tentang pemberian obat untuk
menambah kekuatan, bisa disimpulkan kalau tujuan yang sebenarnya dari
tindakannya Itu adalah memberi kesempatan bagi dirinya untuk memasuki makam
raja-raja dan mencuri pedang mestika dan kotak kecil yang tersim-pan di situ.
Tapi segera muncul kembali
pikiran lain, lantas siapakah orang yang telah menyergap Oh Tin san, merusak
rantai penghubung pintu besi menuju makam raja-raja dan membawa lari pedang Jit
hoa gwat hui kiam serta dua buah kotak emas tersebut?
Mungkinkah orang itu sudah
lama bersembunyi di dalam makam? Atau mung-kin kakek berjubah kuning yang tidak
pernah meninggalkan makam? Atau bisa jadi juga si tongkat besi berkaki tunggal
serta si beruang berlengan tunggal yang secara diam-diam balik kembali ke situ.
Kemudian bocah itu teringat
pula sikap kaget bercampur rasa tercengang dari manu-sia buas bertelinga
tunggal ketika menyaksi-kan tenaga dalamnya peroleh kemajuan pesat, mengapa
begitu? Dia tak dapat meme-cahkannya. .
Tapi kematian dari si Binatang
bertanduk tunggal, jelas kematian tersebut disebabkan oleh tindakan keji
manusia buas bertelinga tunggal ketika ia disuruh pergi mengambil air
Ia menduga, manusia buas
bertelinga tunggal Oh Tin san sengaja membunuh orang itu, karena dia kuatir
binatang bertanduk tunggal membocorkan soal ter-simpannya kotak kecil itu di
rumah bibi Wan kepada orang lain.
Sebagaimana diketahui, hanya
Si binatang bertanduk tunggal Si Yu gi dan Manusia buas bertelinga tunggal Oh
Tin san saja yang me-ngetahui kabar berita tentang kotak kecil itu, tapi
mungkin juga dikarenakan sebab-sebab lainnya.
Makin dipikir dia merasa makin
membenci akan kebodohan sendiri, tentu saja dia lebih-lebih membenci Manusia
buas bertelinga tunggal itu.
Demikianlah, sambil berbaring
di atas sampan sambil memandang bintang yang bertaburan di angkasa, tiada
hentinya bocah bitu membayangkajn tentang lima gmanusia tunggalb dari tiga
telaga.
Dia masih ingat dengan ucapan
kakek berjubah kuning itu: "Kelima limanya mencu-rigakan," dari sini
dapat ditarik kesimpulan kalau Manusia buas bertelinga tunggal pun merupakan
salah seorang manusia yang patut untuk dicurigai.
Berpikir sampai di situ, dia lantas
bertekad untuk segera berangkat ke rumah kediaman bibi Wan nya mumpung malam
masih kelam dan suasana di sekeliling tempat itu masih hening.
Mendadak....
Pemuda itu merasakan hatinya
bergetar keras, dia merasa sampan kecil, itu sedang bergerak pelan ke arah
depan.
Tak terlukiskan rasa terkejut
Lan See giok menghadapi kejadian tersebut, perasaan hatinya yang baru tenang
kontan saja menja-di tegang kembali . . .
Dengan gugup dia melompat
bangun dari balik tumpukan tali temali dia memandang sekitar tempat itu, tapi
hatinya makin terpe-ranjat lagi, ternyata bayangan dari tanggul sudah tidak
nampak lagi.
Sekeliling tempat itu hanya
nampak air, sedang tujuh delapan kaki di depan sana adalah hutan gelaga yang
luas dan amat le-bat.
Bunga gelaga yang berwarna
putih bergo-yang terhembus angin, sekilas pandangan mirip awan putih di
angkasa.
Begitu dia bergerak bangun,
sampan yang mulai berjalan lambatpun mendadak melun-cur ke depan semakin cepat.
Tak terlukiskan rasa gugup
dari Lan See giok ketika itu, dia tahu di bawah sampan pasti ada jago lihay
yang sedang mendorong sampan itu bergerak ke depan, tapi ia tidak tahu siapa
gerangan orang tersebut dan mengapa membawanya menuju ke tengah telaga.
Sementara itu sampan kecil itu
bergerak makin cepat ke depan, kini sampan tadi se-dang melesat ke arah satu
satunya jalan air yang bebas dari tumbuhan gelaga.
Dengan gugup Lan See-giok lari
menuju ke buritan sampan, tapi di sana pun dia hanya bisa menyaksikan
gelrembung air dan zbunga ombak yanwg memercik di artas permukaan.
Dengan perasaan gelisah dia
lantas ber-tanya kepada diri sendiri:
"Siapakah orang ini.. . ?
Siapakah dia. . .? Mengapa membawa aku ke mari . . . ?"
Mendadak satu ingatan melintas
dalam benaknya, bayangan tubuh seorang kakek bercambang yang berperawakan
tinggi besar segera melintas di dalam benaknya, tanpa terasa ia berbisik:
"Aaaah, jangan-jangan si
Naga sakti pem-balik sungai Thio Lok heng . . . "
Sekali lagi dia melongok ke
buritan sampan ke balik air yang bergelembung.
"Yaa, sudah pasti perbuatan
dari si Naga sakti pembalik sungai Thio Lok heng, hanya dia yang memiliki ilmu
menyelam di dalam air yang begini sempurna..." sekali lagi dia berguman.
Dalam pada itu, sampan kecil
itu sudah menembusi jalan air diantara tumbuhan jela-ga yang lebat dengan
kecepatan yang makin lama semakin tinggi.
Dengan gugup Lan See giok
memperhati-kan sekitar tempat itu, dia lihat jalan air itu luasnya cuma delapan
depa, sekeliling-nya penuh dengan tumbuhan gelaga setinggi satu kaki lebih,
besarnya se lengan bayi dan bunga berwarna putih seperti awan me-nyeli-muti di
atasnya.
Cepat dia menenangkan hatinya
dan ber-pikir lebih jauh:
"Seandainya orang itu
adalah si Naga sakti pembalik sungai Thio Lok heng, niscaya aku akan dibawa
kembali ke perkampung-an nela-yan tersebut, tapi sekarang aku di bawa ma-suk ke
dalam hutan gelaga yang begini luas dan lebat. . . siapakah orang itu?"
Satu ingatan segera melintas
di dalam benaknya dan cepat anak muda itu sadar kembali.
"Yaa...yaa, sudah pasti
orang yang berada dalam air adalah perompak dari telaga Huan yang ou..."
demikian dia berpikir.
Teringat akan hal ini, api
kemarahan segera berkobar dalam benak Lan See giok, sekali lagi dia menghimpun
tenaga dalamnya ke dalam telapak tangan kanan, kemudian diangkatnya tangan tersebut
ke udara siap melakukan penyerangan.
Tapi, tatkala sorot matanya
membentur dengan permukaan air di sekeliling sampan, telapak tangan kanannya
yang sudah siap melancarkan serangan itu pelan-pelan di tu-runkan kembali..
Dengan kemampuan tenaga serangan
yang dimilikinya sekarang, tidak sulit baginya untuk membinasakan orang yang
berada di balik perahu akan tetapi dasar sampan itu pasti akan remuk dan diapun
pasti akan ter-cebur ke dalam telaga dan mati tenggelam. Sementara itu, sampan
kecil tadi sudah ber-belok ke kiri berputar ke kanan menembusi hutan gelaga
yang luas, dalam waktu singkat Lan See giok sudah tak bisa membedakan lagi mana
sebelah timur dan mana sebelah barat.
Lan See giok benar-benar
merasa sangat gelisah, dia tak ingin terjatuh kembali ke mulut serigala setelah
lolos dari sarang hari-mau.
Satu ingatan segera melintas
dalam benak nya, cepat dia mengeluarkan senjata gurdi emas milik ayahnya.
Seketika itu juga cahaya emas
yang me-nyilaukan mata memancar ke empat penjuru.
Sambil menggenggam gurdi emas
itu, Lan See giok merasa tegang sekali, selembar nya-wa manusia dalam waktu
singkat akan mus-nah di tangannya.
Tapi demi keselamatan jiwa
sendiri, mau tak mau terpaksa dia harus bertindak nekad.
Cahaya emas berkelebat lewat,
senjata gurdi emas yang panjangnya mencapai tiga depa itu tahu-tahu sudah
menembus dasar sampan tersebut dan menusuk ke dalam air telaga.
Menyusul tusukan itu, sampan
kecil ter-se-but mengalami goncangan yang amat keras, ombak nampak menggelegar
ke mana-mana, darah segarpun memancar ke luar dari dalam air dan menyebar ke
sekeliling tempat itu.
Lan See giok tahu kalau
tusukannya ber-hasil melukai orang yang ada di dalam air, tapi dia tak berani
segera mencabut ke luar senjata gurdi emasnya---
Tak selang berapa saat
kemudian gon-cangan di bawah sampan kecil itu telah ber-henti.
Peluh dingin telah membasahi
seluruh ji-dat, tubuh dan tangan kanannya yang meng-genggam senjata gurdi emas
itu, dia merasa-kan seluruh badannya sedikit agak gemetar.
Lambat laun sampan kecil
itupun berhenti bergerak dan melintang di tengah jalan air tersebut.
Setelah berhasil menenangkan
hbatinya, Lan Seej giok menghembugskan napas panjbang dan mencabut ke luar
senjata gurdi emas itu, darah segar tampak memancar ke luar me-ngikuti lubang
pada dasar sampan itu.
Dengan perasaan terkejut
pemuda itu mencari kain dan menyumbat lubang pada dasar sampan tersebut.
Tiba-tiba terjadi lagi
goncangan keras pada sampan kecil itu . . Lan See giok tahu, orang yang berada
di dasar perahu itu belum putus nyawa, kemungkinan besar orang itu akan
menggunakan sisa tenaga yang dimilikinya untuk menarik dia masuk ke dalam air.
Teringat akan bahaya tersebut,
dia merasa agak gugup, padahal di atas sampan itu se-lain setumpuk tali hanya
terdapat sebuah bambu sepanjang lima depa.
Dengan cepat Lan See giok
menyelipkan senjata gurdi emasnya ke pinggang. kemu-dian dengan menggunakan
bambu panjang itu dia mulai mendayung dengan sekuat tenaga . . .
Dia mendayung tiada hentinya
dan sampan itupun berputar, tiada hentinya pula . . .
Bila bambu itu mendayung ke
kiri maka sampan itupun berputar ke kiri, bila menda-yung ke kanan, sampan
itupun berputar ke sebelah kanan,
Melihat keadaan itu, Lan See
giok menjadi gelisah sekali sampai mengucurkan keringat dingin, akhirnya dia
berdiri termangu mangu dan tak tahu bagaimana caranya untuk bisa menggerakkan
sampan tadi menembusi hu-tan gelaga tersebut.
Sekarang permukaan air telaga
telah tenang, warna merah pun sudah makin tawar, tapi air telaga yang bocor ke
dalam sampan itu sudah mencapai beberapa inci.
Lan See-giok yang berada dalam
keadaan seperti ini merasa gelisah bercampur gusar, dia takut berjumpa lagi
dengan perampok lain.
Pada saat itulah, mendadak
terdengar suara air memecah ke tepian bergema tiba dari kejauhan sana.
Lan See giok amat terperanjat,
dia tahu lagi-lagi muncul perompak di tempat itu.
Makin lama suara itu bergerak
makin mendekat, agaknya suara itu berasal dari jalan air di sebelah kiri.
Dengan cepat dia mengalihkan
sinar ma-tanya ke kiri, tampaklah pada ujung jalan air tersebut terdapat
setitik bayangan abu-babu yang sedangj bergerak mendegkat, kemudian mbuncullah
sebuah sampan kecil.
Lan See giok kembali merasa
gugup ber-campur panik, sekali lagi dia mencoba untuk mendayung dengan bambu
panjang, tapi sampan tersebut masih saja berputar putar di tempat.
Cepat sekali gerakan sampan
kecil terse-but, hanya dalam waktu singkat sampan itu sudah berada tujuh kaki
di hadapannya. .
Sadarlah Lan See giok bahwa
tiada ha-rapan lagi baginya untuk menyembunyikan diri, ia segera membuang bambu
itu dan me-loloskan senjata gurdi emasnya, kemudian sambil berdiri di ujung
geladak, ia bersiap siap menghadapi segala kemungkinan yang tidak diinginkan.
Lambat laun sampan itu makin
dekat, sekarang dia dapat melihat seorang gadis bertubuh langsing, berambut
panjang dan menyoren sebilah pedang berdiri di ujung sampan itu.
Di buritan sampan duduk pula
dua orang dayang berpakaian ringkas yang memegang dayung, di antara percikan
air telaga, sam-pan kecil itu meluncur tiba dengan kecepatan bagaikan anak
panah yang terlepas dari busurnya.
Dalam waktu singkat sampan
kecil itu sudah berada lebih kurang tiga kaki di hada-pannya.
Mendadak terdengar suara
bentakan nyaring:
"Kawanan tikus dari mana
yang berani mendatangi benteng Wi lim poo ditengah malam buta begini?"
Berbareng dengan suara
bentakan terse-but, gadis yang berada di sampan tersebut telah mengayunkan
tangannya ke depan.
Setitik cahaya bintang yang
disertai dengan suara desingan angin tajam langsung melun-cur ke tengah udara
dan mengancam tubuh Lan See giok.
Agaknya Lan See giok tidak
menyangka kalau gadis itu begitu tak tahu aturan, dia lantas menduga kalau
gadis itupun seorang perompak.
Serta merta dia melejit ke
tengah udara dan meloloskan diri dari sambitan senjata rahasia tersebut.
"Pluuung!" senjata
rahasia tadi segera ter-cebur ke dalam air telaga beberapa kaki di belakang
sampan.
Kembali terdengrar suara
bentakzan nyaring sekawli lagi muncul rbeberapa buah titik caha-ya tajam yang
menyerang tiba.
Lan See giok gusar sekali, dia
menggetar-kan tangannya, senjata gurdi emas itu segera menciptakan selapis
cahaya tajam yang melindungi seluruh badannya.
"Traaang, traaang,
traaang." benturan nyaring yang memekakkan telinga segera berkumandang
tiada hentinya, seluruh an-caman senjata rahasia tersebut berhasil di-patahkan
semua.
Disaat Lan See giok sedang
repot meng-ha-lau ancaman senjata rahasia itulah ....
Mendadak sampan kecil itu
menerjang ke hadapannya, kemudian tampak selapis ca-haya tajam menyambar ke
pinggang Lan See giok.
Tak terlukiskan rasa kaget
anak muda itu menghadapi datangnya ancaman, cepat tubuhnya melejit dan
menjatuhkan diri ke dalam sampan:
Berbareng dengan menyambar
lewatnya dari sisi sampan kecil tersebut dan meleset sejauh dua kaki lebih.
Lan See giok tak berani
berayal, cepat dia menghantam pinggiran sampan lawan de-ngan ayunan telapak
tangan kirinya, kemu-dian dengan cekatan dia melompat bangun, tapi tak urung
bajunya basah kuyup juga oleh air telaga yang telah menggenangi sam-pan kecil tersebut.
Dalam pada itu, kedua orang
dayang terse-but telah memutar sampannya dengan ce-katan, kini sampan tersebut
meluncur datang lagi dengan kecepatan tinggi me-ner-jang sampannya.
Lan See giok merasa cemas dan
gusar meng-hadapi kejadian seperti ini dengan sorot mata berkilat dia menunggu
datangnya ter-jangan dari sampan lawan.
Sekarang dia dapat melihat
jelas kalau gadis itu berbaju putih, sedangkan dua orang dayangnya berwarna
hijau pupus.
Gadis berbaju putih itu
berusia delapan sembilan belas tahunan, bermata besar ber-hidung mancung dan
berbibir kecil ber-warna merah, mukanya berbentuk kwaci dan kulit badannya
putih bersih . . . .
Belum habis Lan See giok
mengamati gadis itu, sampan lawan kembali telah menerjang tiba.
Gadis itu segera membentak
keras, pedangnya dengan jurus Gin-hoo-ci li ( menusuk ikan leihi di sungai )
langsung menusuk ke perut Lan See-giok, sementara sampan itu pun langsung
menerjang perahu-nya.
Lan See-giok amat terperanjat,
dia tak be-rani menyambut datangnya ancaman terse-but, buru-buru tubuhnya
melejit ke tengah udara . . . . .
"Blaaammm. ..!"
diantara suara benturan nyaring, air memercik ke empat penjuru, sampan tersebut
sudah kena tertumbuk se-hingga terbalik.
Setelah berhasil dengan
terjangannya, sampan kecil itu meluncur lagi ke depan
Lan See giok yang berada di
tengah udara dengan cepat meluncur ke bawah dan me-layang turun di atas sampan
yang terbalik itu.
Sekarang dia baru mengetahui
kalau pada ujung sampan lawan rupanya dilapisi dengan lempengan baja yang sangat
kuat.
Gadis yang berada di atas
sampan itu pun nampak terkejut sekali, tampaknya dia tak mengira kalau lawannya
yang paling banter baru berusia lima enam belas tahun itu su-dah memiliki ilmu
meringankan tubuh yang begitu sempurna.
Tapi dengan cepat sekulum
senyuman menghiasi ujung bibirnya, agaknya baru sekarang dia dapat melihat
kalau Lan See giok berwajah bersih dan menarik, setelah dewasa nanti niscaya
merupakan se-orang pemuda tampan yang menawan hati.
Lan See giok juga agak
tertegun, dia saksi-kan senyuman gadis itu amat mem-pesona-kan hati, terutama
sepasang matanya serasa membetot sukma, penuh dengan pancaran sinar mempesona
hati.
Tampak gadis berbaju putih itu
memberi tanda kepada kedua orang dayangnya dan sampan tersebut menerjang lagi
dengan ke-cepatan yang luar biasa.
Tergerak hati Lan See giok
menghadapi keadaan seperti ini, dia bertekad hendak membereskan kedua orang
dayang tersebut lebih dulu agar sampan itu tak ada yang mendayung, setelah itu
dia baru berusaha untuk menaklukkan si nona baja putih dan berusaha melarikan
diri . . .
Belum habis dia berpikir,
sampban kecil itu sekali lagi telah menerjang tibab.
Lan See giok tidak berdiam
diri belaka, se-belum sampan lawan mencapai sasaran, dia telah melejit dahulu
ke tengah udara.
Ternyata gadis itu hanya
merentangkan pedangnya saja di depan dada, ia tidak nam-pak berniat untuk
melancarkan tusukan. "Blaaammm---!" tubuh Lan See giok melun-cur ke
bawah dengan kecepatan tinggi. dite-ngah percikan bunga air, ujung kakinya
telah menginjak di buritan sampan.
Kemudian sambil membentak
keras dia lepaskan sebuah tendangan kilat menghajar pinggang seorang dayang
berbaju hijau yang sedang mendayung perahu.
Agaknya dayang berbaju hijau
itu sama sekali tidak menyangka akan datangnya ten-dangan itu, saking kagetnya
sambil mem-bentak keras dia segera menceburkan diri ke dalam air.
Percikan bunga air memancar ke
empat penjuru, dayang itu tahu-tahu sudah terce-bur ke air dan menjadi ikan
duyung.
Lan See giok menjadi agak
tertegun me-lihat hal itu, dia tahu bakal celaka kali ini, dayang tersebut
sudah pasti pandai menyelam di dalam air...
Belum habis ingatan tersebut
melintas, dayang berbaju hijau lainnya telah meng-ayunkan dayungnya untuk
menghantam ke pinggangnya.
Dengan jurus Kim ciam teng hay
(jarum emas tenangkan samudra) Lan See-giok me-ngayunkan senjata gurdi emasnya
ke bawah menyapu dayung kayu itu.
"Blaaammm . .!" di
tengah jeritan tertahan, dayung kayu di tangan dayang berbaju hijau itu
terlepas dari genggaman dan mencelat ke tengah udara.
Baru saja Lan See-giok akan
melepaskan tendangan lagi, si gadis berbaju putih itu su-dah membentak nyaring,
pedangnya secepat kilat menusuk datang.
Bersamaan itu pula, dayang
yang berada di dalam air mengayunkan pula senjata palu berantainya menyerang
pinggang Lan See -giok.
Menghadapi kerubutan dari
depan dan belakang, Lan See-giok tak sanggup me-laku-kan perlawanan lagi,
dengan cepat dia melejit ke udara dan melayang kembali ke atas sam-pan yang
telah terbalik itu.
Melihat lbawannya telah kjabur
ke sampan gyang terbalik dbengan wajah girang gadis ber-baju putih itu segera
berteriak keras:
"Tangkap dia! Bawa pulang
ke benteng menunggu keputusan dari pocu!"
Baru saja perintah diberikan,
dayang ber-baju hijau itu sudah menyelam ke dalam air.
Dua orang dayang itu segera
memisahkan diri ke kiri dan ke kanan, kemudian ber-gerak mendekati sampan yang
terbalik itu dengan kecepatan luar biasa.
Lan See giok menjadi gugup
setelah me-nyaksikan kejadian ini, karena dia sama sekali tidak tahu akan ilmu
berenang, asal sepasang kakinya menempel di air, niscaya badannya akan
tenggelam.
Dengan cepat otaknya berputar,
dia me-rasa satu satunya jalan yang dimilikinya sekarang untuk kabur adalah
secepatnya menakluk kan gadis berbaju putih yang berada di sam-pan itu, kemudian
memaksa dua orang dayang tersebut untuk menghantarnya ke luar dari sana.
Berpikir demikian, dia lantas
melejit ke udara, dengan gerakan Hay yan keng sui (bu-rung manyar menyambar
air) dia terjang ke arah sampan lawan, sementara senjata gurdi emasnya dengan
jurus Kim coat sim (ular emas menjulurkan lidah) menusuk ke ulu hati lawan
dengan disertai kilatan cahaya emas.
Waktu itu, si nona berbaju
putih itu se-dang melamun di ujung perahu, sebab itu dia tak mengira kalau Lan
See giok bakal menerjang tiba sambil melancarkan serangan
Menanti dia sadar akan
datangnya bahaya untuk turun tangan sudah tak sempat lagi.
Maka sambil membentak keras,
cepat-ce-pat dia mengundurkan diri ke buritan sam-pan.
Lan See giok amat gembira,
sambil mem-bentak dia menerjang lebih ke depan, senjata gurdi emasnya diputar
sedemikian rupa menciptakan beribu ribu bayangan gurdi emas yang langsung
mengurung seluruh badan gadis tersebut---
Padahal waktu itu ujung kaki
si nona ber-baju putih tersebut baru saja mencapai tanah, melihat datangnya
cahaya emas yang mengurung tubuhnya dengan membawa desingan angin dingin, ia
menjerit keras karena kaget, lalu dengan jurus Jiau yan -huan-sin (walet lincah
membalikkan badan) cepat-cepat dia kabur ke dalam air.
Sesungguhnya Lan See giok sama
sekali tak berpengalaman dalam suatu perta-rungan, ditambah lagi pertarungarn
tersebut ber-zlangsung di ataws sampan, pada rhakekat-nya dia tak pernah
menduga kalau lawannya bakal kabur ke dalam air.
Tahu-tahu pandangan matanya
terasa ka-bur, dan bayangan tubuh dari gadis berbaju putih itupun sudah lenyap
tak berbekas..
Tak terlukiskan rasa terkejut
Lan See giok menghadapi kejadian seperti ini, sambil membentak keras sepasang
lengannya di putar kencang kemudian secepat kilat tubuhnya meluncur ke bawah .
. .
Meskipun gerakannya cukup
cepat akibat-nya tubuh itu masih terlambat berapa depa untuk mencapai di atas
sampan. Tak ampun lagi ia segera tercebur pula ke dalam telaga.
"Byuuurrr---!" bunga
air memercik setinggi beberapa depa, tubuhnya langsung tengge-lam ke dasar
telaga yang dingin.
Secara beruntun Lan See giok
meneguk beberapa tegukan air telaga, cepat-cepat dia menutup pernapasannya
sambil berusaha keras untuk mengendorkan badannya, tapi senjata gurdi emasnya
dipegang kencang-kencang.
Sesaat sebelum tubuhnya
tercebur ke dalam air tadi, telinganya secara lambat-lam-bat mendengar dua kali
teriakan gembira dan sekali jeritan tertahan---
Baru saja badannya tenggelam,
sebuah lengan tahu-tahu sudah merangkul pinggang nya dan menyeretnya ke atas
permukaan air.
Tak selang berapa saat
kemudian, tubuh-nya sudah terseret ke luar, belum lagi mem-buka matanya, anak
muda itu sudah menghembuskan napas panjang-panjang.
Mendadak terdengar seseorang
menjerit keras
"Nona, cepat ceburkan
lagi, dia belum pingsan!"
Lan See-giok merasa amat
terkejut, dia merasa menyesal sekali setelah mendengar ucapan tersebut, dia
menyesal tidak seha-rusnya menarik napas panjang-panjang.
Tapi segera terdengar pula
nona itu mem-bentak keras:
"Hayo cepat sambut
tubuhnya dan baring kan ke atas sampan"
Lan See giok baru tahu
sekarang kalau orang yang menyeretnya ke luar dari air adalah nona berbaju
putih itu.
Baru saja ia mengendus baru
harum se-merbak, empat tangan dari dua orang dara tersebut telah menyambut
tubuhnya.
Kemudian diapun merasa jalan
darah tidurnya ditotok oleh gadis berbaju putih itu.
Lan See giok mengetahui maksud
hati dari nona itu. . maka dia pun segera berlagak, seakan-akan sudah tertidur
pulas.
Setelah ditegur oleh nonanya
tadi, ter-nyata sikap kedua orang dayang tersebut terhadap Lan See giok menjadi
lebih sungkan, dengan cepat kedua orang itu membaringkan tubuh pemuda itu ke
dalam perahu.
"Bluuk--!" Lan See
giok merasa ping-gang-nya agak sakit karena membentur ujung sampan, tapi dia
menggertak giginya keras-keras dan tidak membiarkan mulutnya mengeluarkan
suara.
Kembali terdengar seseorang
membentak nyaring:
"Budak sialan, apakah
tidak bisa pelan sedikit?!"
Tak berapa lama kemudian,
sampan itu terasa bergoyang keras, Lan See-giok tahu si gadis dan kedua orang
dayangnya telah naik ke atas perahu itu.
Tanpa terasa Lan See-giok
membuka sedikit matanya dan mengintip ke depan.
Kalau tidak melihat masih
mendingan, begitu melirik, jantungnya kontan berdebar keras, mukanyapun turut
berubah menjadi merah padam karena jengah.
Rupanya seluruh tubuh si nona
berbaju putih maupun kedua orang dayang itu sudah basah kuyup karena tercebur,
dengan begitu pakaiannya menjadi melekat dengan badan dan terlihatlah seluruh
lekukan badan mereka.
Kedua orang dayang itu, yang
seorang gemuk dan yang lain kurus, tapi payudara mereka kelihatan montok dan
sudah matang.
Sebaliknya gadis berbaju putih
itu tampak memiliki potongan badan yang indah, selain payudaranya besar dan
montok, bpinggangnya amajt ramping dengagn pinggul yang bbesar, potongan
badannya benar-benar aduhai.
Terutama puting susunya yang
sudah matang di ujung payudara, dibawah pakaian berwarna putih yang basah
kelihatan menonjol ke luar sangat menantang, diantara dengusan napasnya
terlihat naik turun menantang, cukup bikin jantung orang berdebar keras.
Lan See-giok hanya melirik
sekejap kemudian memejamkan matanya rapat-rapat, jangankan melirik lagi, bahkan
untuk bernapas lebih keraspun tidak berani.
Mendadak terdengar gadis itu
berseru kembali:
"Cepat kembali ke
benteng, saat ini mungkin Lo-pocu sudah kembali ke benteng!"
Kemudian terdengar suara air
memecah ke tepian dan perahu kecil itu bergerak cepat ke depan.
Lan See-giok berbaring di
dalam sampan sambil memejamkan matanya rapat-rapat, kadangkala dia membuka
sedikit matanya untuk mencuri lihat keadaan di luar sampan.
Malam yang gelap mencekam
seluruh jagat, bintang bertaburan di angkasa, tapi tidak nampak cahaya rembulan
sehingga praktis suasana di sekitar sana gelap gulita.
Kedua belah sisi jalan air
penuh dengan tumbuhan gelaga yang bergoyang menimbul-kan suara gemerisik,
kecuali itu hanya suara air yang memecah ke tepian saja yang ter-dengar
memecahkan keheningan.
Walaupun Lan See giok masih
menggeng-gam senjata gurdi emasnya kencang-ken-cang, tapi ia tak berniat sama
sekali untuk melompat bangun dan melancarkan serangan terhadap ke tiga orang
gadis itu.
Ia cukup sadar, seandainya
serangannya tidak berhasil maka bukan mustahil jiwanya akan terancam.
Padahal dia tak pandai
mengemudikan sampan, diapun tak mengerti ilmu berenang, bahkan arah mata angin
pun sudah dibikin kacau balau.
Maka satu-satunya jalan yang
bisa dilaku-kannya sekarang adalah bersabar untuk se-mentara waktu sambil
menantikan peru-bahan selanjutnya . . .
Mendadak terendus bau harum
semerbak menusuk penciuman pemuda itu.
Lan See giok merasakan hatinya
berdebar keras, terasa olehnya bau harum itu aneh sekali dan cukup membuat
jantung orang bebrdetak keras. j
Baru saja diga akan melirik,b
sebuah sapu tangan basah telah digunakan untuk me-nye-ka jidatnya, kemudian
dengan lembut berge-ser ke bawah untuk menyeka air di atas wa-jahnya,
selanjutnya dagunya, rambutnya, pipinya...
Lan See giok pura-pura
tertidur nyenyak, napasnyapun diatur sedemikian rupa agar gadis berbaju putih
itu jangan sampai tahu kalau dia hanya pura-pura tidur, meski demikian dalam
perasaan tegang bercampur gugup, diapun dapat merasakan sesuatu ke-hangatan
yang nyaman.
Menurut dugaannya, orang yang
menyeka wajahnya sekarang tak lain adalah si nona berbaju putih itu.
Jari tangan si nona yang
lembut seringkali menyentuh pipinya yang halus, hal ini mem-buat Lan See-giok
merasa gatal tapi nyaman.
Tak lama kemudian terdengar
gadis ber-baju putih itu berseru:
"Siau lian, lepaskan
tanda pengenal!"
Sampan yang sedang bergerak
majupun segera melambat dan akhirnya berhenti.
Lan See giok pun merasa gadis
berbaju putih itu bangkit sambil maju ke depan, ta-hulah pemuda itu bahwa
mereka telah mendekati Benteng Wi lim Poo seperti apa yang dikatakan si nona
tadi.
Maka diam-diam dia melirik
kembali ke se-kitar sana, ternyata di sekitar sampan sudah tidak nampak
tumbuhan gelaga lagi, mung-kin mereka sudah berada di tengah hutan gelaga yang
mendekati benteng Wi lim poo.
Tampak si dayang berbaju hijau
itu mem-buat api lalu memasang empat buah lentera kecil berwarna merah dan
digoyang goyang kan secara beraturan sekali.
Lan See giok tak berani
mendongakkan kepalanya, karena itu diapun tak dapat me-nyaksikan keadaan di
depan sana serta berapa jauh lagi jaraknya dengan benteng Wi lim poo tersebut.
Tapi setelah budak berbaju
hijau itu meng-gerakkan lentera kecilnya, sampan kecil itu segera didayung
kembali sehingga meluncur ke depan dengan cepat.
Tak selang berapa saat
kemudian, tiba--tiba Lan See giok merasakan matanya agak silau, ketika dia
mencoba melirik tampaklah olehnya ada sebuah lampu lentera merah yang amat
besar tergantung di tengah angka-sa dan memancarkan cahaya ke empat pen-juru.
Di atas lenterar itu tertera
huzruf besar dari wkertas putih, trapi berhubung jaraknya kele-wat jauh,
sehingga Lan See giok tak dapat melihat dengan jelas.
Kurang lebih tujuh delapan
depa dari len-tera merah yang pertama, terdapat pula lampu lentera yang kedua,
di atas lentera inipun tertera huruf besar yang terbuat dari kertas putih.
Tak lama kemudian, muncul pula
lampu lentera merah yang ke tiga ---
Sebuah bangunan benteng yang
tinggi dan kokoh muncul jauh di belakang lentera merah yang ke tiga, di samping
itu Lan See giok juga dapat melihat jelas ke tiga huruf besar di atas lampu
lentera merah tersebut yang berbunyi.
WI LIM POO.
Dengan suatu gerakan cepat,
sampan kecil itu menembusi bayangan pintu gerbang ben-teng wi lim poo tersebut.
Lamat lumat Lan See giok
mendengar suara teriakan keras dari para penjaga di atas benteng, kemudian terdengar
pula suara pintu benteng yang berat pelan-pelan dibuka.
Sampan kecil itupun makin
melamban, sekarang pemuda itu baru merasa kalau mereka sudah berada tak jauh
dari benteng tersebut.
Pintu benteng yang lebarnya
delapan depa dan tingginya satu kaki dua depa itu terbuat dari kayu besar,
sewaktu dibuka pintu ter-angkat ke atas dan bila menutup pintu ber-gerak ke
bawah.
Dinding benteng maupun
bangunan loteng terbuat dari batu-batu cadas yang besar dan kuat, selain kokoh
juga mendatangkan sua-sana seram bagi yang melihatnya.
Lan See giok yang mencoba
melirik ke arah depan, segera merasa kagum sekali, dia tak habis mengerti
bagaimana caranya memba-ngun benteng yang begitu kokoh di dalam telaga yang
begitu luas.
Sementara dia masih termenung,
sampan kecil itu sudah meluncur ke bawah pintu gerbang benteng itu.
Berpuluh-puluh orang lelaki
kekar, dengan hormat berdiri di kedua belah sisi bangunan benteng, mereka
rata-rata bermata besar, beralis tebal dan membawa senjata garpu yang
memancarkan cahaya tajam.
Menyaksikan kesemuanya itu,
Lan See giok segera sadar bahwa dia yang baru lolos dari gua harimau kini sudah
terjerumus lagi ke dalam sarang naga, untuk melarikan diri dari benteng sekokoh
ini nampaknya tidak lebih mudah dari pada melarikan dari dusun nela-yan.
(Bersambung ke Bagian 07)