Anak Harimau Bagian 06

Baca Cersil Mandarin Online: Anak Harimau Bagian 06

Bagian 06

"Yaa, kemungkinan besar benar"

"Tapi menurut analisa pada umumnya, mustahil kalau si Gurdi emas peluru perak Lan Khong-tai akan menyerahkan mestika yang amat berharga itu kepada seorang pe-rempuan, mungkin saja dia menyimpannya di dalam makam raja-raja . . ."

"Aku telah melakukan pemeriksaan setiap sudut makam tersebut dengan seksama, bahkan setiap sudut ruangan yang mungkin bisa dipakai untuk menyimpan kotak kecil itupun sudah kuperiksa . . . "

Mendengar sampai di situ, Lan See-giok yang bersembunyi di bawah tumpukan tali merasa gusar sekali, ia menduga pasti sekarang kalau kakek berjubah kuning yang berwajah ramah ini benar-benar, adalah se-komplotan dengan pembunuh-pembunuh ayahnya.

Mungkin saja selama ini kakek berjubah kuning itu bersembunyi terus di dalam ku-buran, mungkin juga dialah pembunuh ayahnya, sebab hanya orang yang berilmu begitu tinggi baru bisa membunuh ayahnya dalam sekali pukulan . . .

Makin dipikir Lan See giok merasa darah-nya makin mendidih, hawa amarahnya yang memuncak membuat rasa takutnya sama sekali lenyap tak berbekas.

Tapi, bila teringat akan kelihaian ke-pan-daian silat yang dimiliki kakek berjubah kuning itu, ia merasa putus asa, tipis rasa-nya harapan baginya untuk membalas den-dam . . . .

Sementara dia masih termenung, si Naga sakti pembalik sungai telah berkata lagi:

"Menurut apa yang locianpwe saksikan se-malam, siapakah di antara Sam ou ngo to (lima tunggal dari tiga telaga) yang besar ke-mungkinannya sebagai pembunuh Lan Khong tay?"

"Kelima limanya patut dicurigai semua . . " sahut kakek itu setelah termenung sebentar.

Lan See giok menjadi mengerti sekarang, yang dimaksudkan sebagai Sam Ou ngo to oleh si Naga sakti pembalik sungai tentulah orang-orang yang menggunakan julukan "To" atau tunggal pada permulaan namanya.

Sambil memandang bintang yang berta-buran di angkasa, diam-diam ia mulai meng-hitung semua orang yang pernah di-jum-painya semalam.. .

Orang pertama yang dijumpai adalah To pit him (beruang berlengan tunggal) Kiong Tek cong yang menggeledah seluruh badan-nya dengan tangan kanannya dikala ia jatuh pingsan. . .

Kemudian adalah To tui thi koay (tongkat baja berkaki tunggal) Gui Pak cong yang menusuk tubuhnya dengan tongkat besinya.

Orang ke tiga adalah si manusia bermuka hijau dan bergigi taring yang bernama To-gan liau pok (setan bengis bermata tunggal ) Toan Ki tin, besar kemungkinannya orang ini adalah pelaku pembunuhan atas diri ayah-nya.

Kemudian adalah si manusia berbisul be-sar pada kepalanya yang tertembus oleh senjata gurdi emas, orang itu diketahui ber-nama To ciok siu (binatang bertanduk tung-gal) Si Yu gi, orang ini adalah satu satu-nya orang yang mengetahui siapa pembunuh ayahnya, tentu saja mungkin juga orang itu adalah si binatang bertanduk tunggal pribadi.

Pelbagai ingatan segera berkecamuk dalam benaknya, mulai dari si kaki tunggal, si le-ngan tunggal, si mata tunggal dan si tanduk tunggal . . .

Dari lima manusia tunggal ada empat di antaranya telah diketahui, lantas siapakah si tunggal yang kelima?

Mungkinkah dia adalah kakek berambut perak yang telah menghajar dirinya hingga semaput itu . . .

Mendadak satu ingatan melintas dalam benaknya, kontan saja Lan gee giok merasa-kan hatinya bergidik.

Bayangan tubuh seorang kakek bermata sesat, bertubuh kurus kering, bermuka kuda dan bertelinga tunggal dengan cepat melintas dalam benaknya.

Dengan perasaan bimbang dia lantas ber-pikir:

"Yaa, diapun bertelinga tunggal. . diapun kehilangan sebuah telinganya mungkinkah empek adalah salah seorang dari Sam ou ngo to tersebut . . .?"

Sementara pelbagai ingatan berkecamuk dalam benaknya, mendadak terdengar si naga sakti pembalik sungai yang berada di atas tanggul berseru cemas:

"Locianpwe, cepat lihat, di bawah tanggul sana tampak sesosok bayangan manusia se-dang berkelebat lewat!"

Dengan perasaan tergerak Lan See giok ikut melirik, dia saksikan si naga sakti Thio Lok heng sedang menuding ke arah utara dengan cambang yang bergetar keras.

"Ehmm, aku sudah melihatnya!" sahut kakek berjubah kening itu sambil manggut- manggut.

Si Cay soat segera mengerling sekejap ke arah Lan See giok, kemudian ujarnya kepada Si naga sakti Thio-Lok-heng:

"Empek Thio, mungkin dia adalah Lan See giok?"

"Bukan, dia adalah To oh cay jin(manusia buas bertelinga tunggal)!" tukas si kakek berjubah kuning sambil menggeleng.

Sementara itu, meski Lan See giok yang bersembunyi di balik sampan sudah men-duga kalau empeknya yang bertelinga tunggal kemungkinan besar adalah salah seorang dari ngo to ( lima tunggal ), namun setelah mendengar julukan manusia buas bertelinga tunggal tersebut, hatinya toh merasa ter-ke-siap juga sehingga tubuhnya menggigil keras.

Terdengar kakek berjubah kuning itu ber-kata lagi dengan suara murung bercampur kesal:

"Sesungguhnya Lan See giok adalah se-orang bocah yang cerdik, sayang pukulan batin yang dialaminya kelewat hebat sehingga membuat hatinya tak dapat tenang dan menyumbat semua kecerdasan otaknya. Hal ini ditambah lagi dengan pancingan si Manu-sia buas bertelinga tunggal Oh Tin san yang menggunakan pelajaran ilmu silat se-bagai umpan, akibatnya mengurangi ke-curigaan Lan See-giok terhadap dirinya coba kalau bukan begitu, dengan kemampuan dari Manusia buas bertelinga tunggal Oh Tin san mana mungkin dia dapat mengelabuhi Lan See- giok?."

"Locianpwe" si naga sakti Thio Lok heng segera berkata sambil tertawa, "jelek--jelek begini sudah setengah hidupku berkelana dalam dunia persilatan, berbicara soal luas-nya pengetahuanku, sesungguhnya boleh di-bilang lumayan juga, tapi setelah men-dengar pembicaraan dari locianpwe semalam, jangan toh Lan See giok yang masih bocah, bahkan boanpwe yang sudah jago kawakan pun dibi-kin kebingungan dan tak habis mengerti dibuatnya . . . "

Kakek berjubah kuning itu menghela napas dan manggut-manggut, sahutnya:

"Walaupun si Manusia buas bertelinga tunggal Oh Tin san termasyhur karena ke-buasan dan kekejamannya, diapun terhitung se-orang manusia licik, sayang cara kerjanya kurang mantap dan lagi tidak sabaran, lama kelamaan Lan See giok pasti dapat me-ngeta-hui belangnya tersebut- -"

Belum habis ucapan tersebut diutarakan, dengan sorot mata berkilat si naga sakti pembalik sungai Thio Lok heng telah menu-kas sembari berseru keras:

"Locianpwe, coba kau lihat!"

Sambil berkata dia lantas menuding ke arah depan dusun.

Kakek berjubah kuning itu berkerut kening sambil berpaling, tidak nampak bagaimana caranya menggerakkan badan, tahu-tahu dia sudah meluncur ke depan.

Menyusul kemudian naga sakti pembalik sungai Thio Lok heng dan Si Cay soat pun ikut berlalu dari situ.

Waktu itu pikiran Lan See giok amat kacau, dia tak sempat memikirkan lagi apa yang berhasil dilihat Thio Lok heng, kenapa kakek berjubah kuning itu berlalu dan me-ngapa Si Cay soat tidak membocor-kan jejak-nya yang bersembunyi di bawah tumpukan tali.

Yang dipikirkan sekarang adalah cepat-ce-pat menyusup ke rumah kediaman bibi Wan nya tanpa diketahui orang lain.

Dia tahu, meski kakek berjubah kuning itu telah pergi, tapi kemungkinan besar dia akan balik lagi, sebab itu dia tidak berani naik ke atas tanggul telaga tersebut.

Angin malam berhembus lewat membawa udara yang sangat dingin, pelan-pelan Lan See giok yang bersembunyi dibalik tumpukan tali dapat menenangkan kembali hatinya. . .



Mendadak ia mendengar suara gelak ter-tawa yang amat keras berkumandang datang dari depan dusun sana.

Lan See giok kenal suara tersebut se-bagai suara si Naga sakti pembalik sungai Thio Lok heng.

Tapi saat ini, dia sudah tidak menaruh minat lagi terhadap setiap perobahan yang telah terjadi di sekeliling tempat itu, karena dia sedang mempergunakan segala akal dan kecerdasannya untuk memecahkan kesulitan yang sedang dihadapinya.

Pertama-tama, dia berpikir tentang kakek berjubah kuning yang berilmu tinggi itu.

Ditinjau dari sikap hormat dan panggilan merendah dari Naga sakti pembalik sungai Thio Lok heng, dapat diketahui kalau kakek berjubah kuning itu memiliki kedudukan yang sangat tinggi dalam dunia persilatan.

Sekalipun kakek itu mungkin bermaksud untuk mendapatkan kotak kecil milik ayah-nya dan telah menggeledah seluruh isi makam, namun belum tentu ia bersekongkol dengan sam ou ngo to.

Dilihat dari sikap si kakek yang hingga kini masih belum tahu kalau kotak kecil tersebut sudah berada di rumah bibi Wan-nya, bisa disimpulkan pula kalau orang yang bersem-bunyi di belakang meja dan meng-hantam dirinya sampai pingsan itu bukanlah kakek ini.

Teringat akan kakek kurus berambut perak yang menghajarnya sampai semaput dari be-lakang itu, tanpa terasa Lan See giok mem-bayangkan kemba1i si Manusia buas bertelinga tunggal Oh Tin san.

Terbayang sampai ke situ, dengan cepat dia pun menjadi sadar kembali, semua siasat busuk dari Manusia buas bertelinga tunggal pun kontan terungkap semua.

Di samping itu dia membenci akan keto-lolan sendiri, di mana manusia buas berhati busuk yang amat berbahaya telah dianggap-nya sebagai sahabat karib ayahnya.

Padahal gerak gerik maupun cara ber-bicara Manusia buas bertelinga tunggal semenjak masuk ke dalam makam sudah mencuriga-kan sekali, tapi dia justru ter-kecoh dan kena dikibuli habis habisan.

Tentunya setelah menghajar dia sampai pingsan, Oh Tin san lantas menyusun renca-na kejinya, dengan pergi membeli hio dan lbilin, kemudian juntuk mencari tgahu tempat tingbgal bibi Wan nya, mau tak mau diapun melaksanakan rencana kejinya dengan amat berhati hati.

Masih untung dia tak sempat melihat jelas wajah aslinya sebelum dihantam pingsan dulu, kalau tidak mungkin selembar jiwa nya sudah melayang sekarang.

Tentang pemberian obat untuk menambah kekuatan, bisa disimpulkan kalau tujuan yang sebenarnya dari tindakannya Itu adalah memberi kesempatan bagi dirinya untuk memasuki makam raja-raja dan mencuri pedang mestika dan kotak kecil yang tersim-pan di situ.

Tapi segera muncul kembali pikiran lain, lantas siapakah orang yang telah menyergap Oh Tin san, merusak rantai penghubung pintu besi menuju makam raja-raja dan membawa lari pedang Jit hoa gwat hui kiam serta dua buah kotak emas tersebut?

Mungkinkah orang itu sudah lama bersembunyi di dalam makam? Atau mung-kin kakek berjubah kuning yang tidak pernah meninggalkan makam? Atau bisa jadi juga si tongkat besi berkaki tunggal serta si beruang berlengan tunggal yang secara diam-diam balik kembali ke situ.

Kemudian bocah itu teringat pula sikap kaget bercampur rasa tercengang dari manu-sia buas bertelinga tunggal ketika menyaksi-kan tenaga dalamnya peroleh kemajuan pesat, mengapa begitu? Dia tak dapat meme-cahkannya. .

Tapi kematian dari si Binatang bertanduk tunggal, jelas kematian tersebut disebabkan oleh tindakan keji manusia buas bertelinga tunggal ketika ia disuruh pergi mengambil air

Ia menduga, manusia buas bertelinga tunggal Oh Tin san sengaja membunuh orang itu, karena dia kuatir binatang bertanduk tunggal membocorkan soal ter-simpannya kotak kecil itu di rumah bibi Wan kepada orang lain.

Sebagaimana diketahui, hanya Si binatang bertanduk tunggal Si Yu gi dan Manusia buas bertelinga tunggal Oh Tin san saja yang me-ngetahui kabar berita tentang kotak kecil itu, tapi mungkin juga dikarenakan sebab-sebab lainnya.

Makin dipikir dia merasa makin membenci akan kebodohan sendiri, tentu saja dia lebih-lebih membenci Manusia buas bertelinga tunggal itu.

Demikianlah, sambil berbaring di atas sampan sambil memandang bintang yang bertaburan di angkasa, tiada hentinya bocah bitu membayangkajn tentang lima gmanusia tunggalb dari tiga telaga.

Dia masih ingat dengan ucapan kakek berjubah kuning itu: "Kelima limanya mencu-rigakan," dari sini dapat ditarik kesimpulan kalau Manusia buas bertelinga tunggal pun merupakan salah seorang manusia yang patut untuk dicurigai.

Berpikir sampai di situ, dia lantas bertekad untuk segera berangkat ke rumah kediaman bibi Wan nya mumpung malam masih kelam dan suasana di sekeliling tempat itu masih hening.

Mendadak....

Pemuda itu merasakan hatinya bergetar keras, dia merasa sampan kecil, itu sedang bergerak pelan ke arah depan.

Tak terlukiskan rasa terkejut Lan See giok menghadapi kejadian tersebut, perasaan hatinya yang baru tenang kontan saja menja-di tegang kembali . . .

Dengan gugup dia melompat bangun dari balik tumpukan tali temali dia memandang sekitar tempat itu, tapi hatinya makin terpe-ranjat lagi, ternyata bayangan dari tanggul sudah tidak nampak lagi.

Sekeliling tempat itu hanya nampak air, sedang tujuh delapan kaki di depan sana adalah hutan gelaga yang luas dan amat le-bat.

Bunga gelaga yang berwarna putih bergo-yang terhembus angin, sekilas pandangan mirip awan putih di angkasa.

Begitu dia bergerak bangun, sampan yang mulai berjalan lambatpun mendadak melun-cur ke depan semakin cepat.

Tak terlukiskan rasa gugup dari Lan See giok ketika itu, dia tahu di bawah sampan pasti ada jago lihay yang sedang mendorong sampan itu bergerak ke depan, tapi ia tidak tahu siapa gerangan orang tersebut dan mengapa membawanya menuju ke tengah telaga.

Sementara itu sampan kecil itu bergerak makin cepat ke depan, kini sampan tadi se-dang melesat ke arah satu satunya jalan air yang bebas dari tumbuhan gelaga.

Dengan gugup Lan See-giok lari menuju ke buritan sampan, tapi di sana pun dia hanya bisa menyaksikan gelrembung air dan zbunga ombak yanwg memercik di artas permukaan.

Dengan perasaan gelisah dia lantas ber-tanya kepada diri sendiri:

"Siapakah orang ini.. . ? Siapakah dia. . .? Mengapa membawa aku ke mari . . . ?"

Mendadak satu ingatan melintas dalam benaknya, bayangan tubuh seorang kakek bercambang yang berperawakan tinggi besar segera melintas di dalam benaknya, tanpa terasa ia berbisik:

"Aaaah, jangan-jangan si Naga sakti pem-balik sungai Thio Lok heng . . . "

Sekali lagi dia melongok ke buritan sampan ke balik air yang bergelembung.

"Yaa, sudah pasti perbuatan dari si Naga sakti pembalik sungai Thio Lok heng, hanya dia yang memiliki ilmu menyelam di dalam air yang begini sempurna..." sekali lagi dia berguman.

Dalam pada itu, sampan kecil itu sudah menembusi jalan air diantara tumbuhan jela-ga yang lebat dengan kecepatan yang makin lama semakin tinggi.

Dengan gugup Lan See giok memperhati-kan sekitar tempat itu, dia lihat jalan air itu luasnya cuma delapan depa, sekeliling-nya penuh dengan tumbuhan gelaga setinggi satu kaki lebih, besarnya se lengan bayi dan bunga berwarna putih seperti awan me-nyeli-muti di atasnya.

Cepat dia menenangkan hatinya dan ber-pikir lebih jauh:

"Seandainya orang itu adalah si Naga sakti pembalik sungai Thio Lok heng, niscaya aku akan dibawa kembali ke perkampung-an nela-yan tersebut, tapi sekarang aku di bawa ma-suk ke dalam hutan gelaga yang begini luas dan lebat. . . siapakah orang itu?"

Satu ingatan segera melintas di dalam benaknya dan cepat anak muda itu sadar kembali.

"Yaa...yaa, sudah pasti orang yang berada dalam air adalah perompak dari telaga Huan yang ou..." demikian dia berpikir.

Teringat akan hal ini, api kemarahan segera berkobar dalam benak Lan See giok, sekali lagi dia menghimpun tenaga dalamnya ke dalam telapak tangan kanan, kemudian diangkatnya tangan tersebut ke udara siap melakukan penyerangan.



Tapi, tatkala sorot matanya membentur dengan permukaan air di sekeliling sampan, telapak tangan kanannya yang sudah siap melancarkan serangan itu pelan-pelan di tu-runkan kembali..

Dengan kemampuan tenaga serangan yang dimilikinya sekarang, tidak sulit baginya untuk membinasakan orang yang berada di balik perahu akan tetapi dasar sampan itu pasti akan remuk dan diapun pasti akan ter-cebur ke dalam telaga dan mati tenggelam. Sementara itu, sampan kecil tadi sudah ber-belok ke kiri berputar ke kanan menembusi hutan gelaga yang luas, dalam waktu singkat Lan See giok sudah tak bisa membedakan lagi mana sebelah timur dan mana sebelah barat.

Lan See giok benar-benar merasa sangat gelisah, dia tak ingin terjatuh kembali ke mulut serigala setelah lolos dari sarang hari-mau.

Satu ingatan segera melintas dalam benak nya, cepat dia mengeluarkan senjata gurdi emas milik ayahnya.

Seketika itu juga cahaya emas yang me-nyilaukan mata memancar ke empat penjuru.

Sambil menggenggam gurdi emas itu, Lan See giok merasa tegang sekali, selembar nya-wa manusia dalam waktu singkat akan mus-nah di tangannya.

Tapi demi keselamatan jiwa sendiri, mau tak mau terpaksa dia harus bertindak nekad.

Cahaya emas berkelebat lewat, senjata gurdi emas yang panjangnya mencapai tiga depa itu tahu-tahu sudah menembus dasar sampan tersebut dan menusuk ke dalam air telaga.

Menyusul tusukan itu, sampan kecil ter-se-but mengalami goncangan yang amat keras, ombak nampak menggelegar ke mana-mana, darah segarpun memancar ke luar dari dalam air dan menyebar ke sekeliling tempat itu.

Lan See giok tahu kalau tusukannya ber-hasil melukai orang yang ada di dalam air, tapi dia tak berani segera mencabut ke luar senjata gurdi emasnya---

Tak selang berapa saat kemudian gon-cangan di bawah sampan kecil itu telah ber-henti.

Peluh dingin telah membasahi seluruh ji-dat, tubuh dan tangan kanannya yang meng-genggam senjata gurdi emas itu, dia merasa-kan seluruh badannya sedikit agak gemetar.

Lambat laun sampan kecil itupun berhenti bergerak dan melintang di tengah jalan air tersebut.

Setelah berhasil menenangkan hbatinya, Lan Seej giok menghembugskan napas panjbang dan mencabut ke luar senjata gurdi emas itu, darah segar tampak memancar ke luar me-ngikuti lubang pada dasar sampan itu.

Dengan perasaan terkejut pemuda itu mencari kain dan menyumbat lubang pada dasar sampan tersebut.

Tiba-tiba terjadi lagi goncangan keras pada sampan kecil itu . . Lan See giok tahu, orang yang berada di dasar perahu itu belum putus nyawa, kemungkinan besar orang itu akan menggunakan sisa tenaga yang dimilikinya untuk menarik dia masuk ke dalam air.

Teringat akan bahaya tersebut, dia merasa agak gugup, padahal di atas sampan itu se-lain setumpuk tali hanya terdapat sebuah bambu sepanjang lima depa.

Dengan cepat Lan See giok menyelipkan senjata gurdi emasnya ke pinggang. kemu-dian dengan menggunakan bambu panjang itu dia mulai mendayung dengan sekuat tenaga . . .

Dia mendayung tiada hentinya dan sampan itupun berputar, tiada hentinya pula . . .

Bila bambu itu mendayung ke kiri maka sampan itupun berputar ke kiri, bila menda-yung ke kanan, sampan itupun berputar ke sebelah kanan,

Melihat keadaan itu, Lan See giok menjadi gelisah sekali sampai mengucurkan keringat dingin, akhirnya dia berdiri termangu mangu dan tak tahu bagaimana caranya untuk bisa menggerakkan sampan tadi menembusi hu-tan gelaga tersebut.

Sekarang permukaan air telaga telah tenang, warna merah pun sudah makin tawar, tapi air telaga yang bocor ke dalam sampan itu sudah mencapai beberapa inci.

Lan See-giok yang berada dalam keadaan seperti ini merasa gelisah bercampur gusar, dia takut berjumpa lagi dengan perampok lain.

Pada saat itulah, mendadak terdengar suara air memecah ke tepian bergema tiba dari kejauhan sana.

Lan See giok amat terperanjat, dia tahu lagi-lagi muncul perompak di tempat itu.

Makin lama suara itu bergerak makin mendekat, agaknya suara itu berasal dari jalan air di sebelah kiri.

Dengan cepat dia mengalihkan sinar ma-tanya ke kiri, tampaklah pada ujung jalan air tersebut terdapat setitik bayangan abu-babu yang sedangj bergerak mendegkat, kemudian mbuncullah sebuah sampan kecil.

Lan See giok kembali merasa gugup ber-campur panik, sekali lagi dia mencoba untuk mendayung dengan bambu panjang, tapi sampan tersebut masih saja berputar putar di tempat.

Cepat sekali gerakan sampan kecil terse-but, hanya dalam waktu singkat sampan itu sudah berada tujuh kaki di hadapannya. .

Sadarlah Lan See giok bahwa tiada ha-rapan lagi baginya untuk menyembunyikan diri, ia segera membuang bambu itu dan me-loloskan senjata gurdi emasnya, kemudian sambil berdiri di ujung geladak, ia bersiap siap menghadapi segala kemungkinan yang tidak diinginkan.

Lambat laun sampan itu makin dekat, sekarang dia dapat melihat seorang gadis bertubuh langsing, berambut panjang dan menyoren sebilah pedang berdiri di ujung sampan itu.

Di buritan sampan duduk pula dua orang dayang berpakaian ringkas yang memegang dayung, di antara percikan air telaga, sam-pan kecil itu meluncur tiba dengan kecepatan bagaikan anak panah yang terlepas dari busurnya.

Dalam waktu singkat sampan kecil itu sudah berada lebih kurang tiga kaki di hada-pannya.

Mendadak terdengar suara bentakan nyaring:

"Kawanan tikus dari mana yang berani mendatangi benteng Wi lim poo ditengah malam buta begini?"

Berbareng dengan suara bentakan terse-but, gadis yang berada di sampan tersebut telah mengayunkan tangannya ke depan.

Setitik cahaya bintang yang disertai dengan suara desingan angin tajam langsung melun-cur ke tengah udara dan mengancam tubuh Lan See giok.

Agaknya Lan See giok tidak menyangka kalau gadis itu begitu tak tahu aturan, dia lantas menduga kalau gadis itupun seorang perompak.

Serta merta dia melejit ke tengah udara dan meloloskan diri dari sambitan senjata rahasia tersebut.

"Pluuung!" senjata rahasia tadi segera ter-cebur ke dalam air telaga beberapa kaki di belakang sampan.

Kembali terdengrar suara bentakzan nyaring sekawli lagi muncul rbeberapa buah titik caha-ya tajam yang menyerang tiba.

Lan See giok gusar sekali, dia menggetar-kan tangannya, senjata gurdi emas itu segera menciptakan selapis cahaya tajam yang melindungi seluruh badannya.

"Traaang, traaang, traaang." benturan nyaring yang memekakkan telinga segera berkumandang tiada hentinya, seluruh an-caman senjata rahasia tersebut berhasil di-patahkan semua.

Disaat Lan See giok sedang repot meng-ha-lau ancaman senjata rahasia itulah ....

Mendadak sampan kecil itu menerjang ke hadapannya, kemudian tampak selapis ca-haya tajam menyambar ke pinggang Lan See giok.

Tak terlukiskan rasa kaget anak muda itu menghadapi datangnya ancaman, cepat tubuhnya melejit dan menjatuhkan diri ke dalam sampan:

Berbareng dengan menyambar lewatnya dari sisi sampan kecil tersebut dan meleset sejauh dua kaki lebih.

Lan See giok tak berani berayal, cepat dia menghantam pinggiran sampan lawan de-ngan ayunan telapak tangan kirinya, kemu-dian dengan cekatan dia melompat bangun, tapi tak urung bajunya basah kuyup juga oleh air telaga yang telah menggenangi sam-pan kecil tersebut.

Dalam pada itu, kedua orang dayang terse-but telah memutar sampannya dengan ce-katan, kini sampan tersebut meluncur datang lagi dengan kecepatan tinggi me-ner-jang sampannya.

Lan See giok merasa cemas dan gusar meng-hadapi kejadian seperti ini dengan sorot mata berkilat dia menunggu datangnya ter-jangan dari sampan lawan.

Sekarang dia dapat melihat jelas kalau gadis itu berbaju putih, sedangkan dua orang dayangnya berwarna hijau pupus.

Gadis berbaju putih itu berusia delapan sembilan belas tahunan, bermata besar ber-hidung mancung dan berbibir kecil ber-warna merah, mukanya berbentuk kwaci dan kulit badannya putih bersih . . . .



Belum habis Lan See giok mengamati gadis itu, sampan lawan kembali telah menerjang tiba.

Gadis itu segera membentak keras, pedangnya dengan jurus Gin-hoo-ci li ( menusuk ikan leihi di sungai ) langsung menusuk ke perut Lan See-giok, sementara sampan itu pun langsung menerjang perahu-nya.

Lan See-giok amat terperanjat, dia tak be-rani menyambut datangnya ancaman terse-but, buru-buru tubuhnya melejit ke tengah udara . . . . .

"Blaaammm. ..!" diantara suara benturan nyaring, air memercik ke empat penjuru, sampan tersebut sudah kena tertumbuk se-hingga terbalik.

Setelah berhasil dengan terjangannya, sampan kecil itu meluncur lagi ke depan

Lan See giok yang berada di tengah udara dengan cepat meluncur ke bawah dan me-layang turun di atas sampan yang terbalik itu.

Sekarang dia baru mengetahui kalau pada ujung sampan lawan rupanya dilapisi dengan lempengan baja yang sangat kuat.

Gadis yang berada di atas sampan itu pun nampak terkejut sekali, tampaknya dia tak mengira kalau lawannya yang paling banter baru berusia lima enam belas tahun itu su-dah memiliki ilmu meringankan tubuh yang begitu sempurna.

Tapi dengan cepat sekulum senyuman menghiasi ujung bibirnya, agaknya baru sekarang dia dapat melihat kalau Lan See giok berwajah bersih dan menarik, setelah dewasa nanti niscaya merupakan se-orang pemuda tampan yang menawan hati.

Lan See giok juga agak tertegun, dia saksi-kan senyuman gadis itu amat mem-pesona-kan hati, terutama sepasang matanya serasa membetot sukma, penuh dengan pancaran sinar mempesona hati.

Tampak gadis berbaju putih itu memberi tanda kepada kedua orang dayangnya dan sampan tersebut menerjang lagi dengan ke-cepatan yang luar biasa.

Tergerak hati Lan See giok menghadapi keadaan seperti ini, dia bertekad hendak membereskan kedua orang dayang tersebut lebih dulu agar sampan itu tak ada yang mendayung, setelah itu dia baru berusaha untuk menaklukkan si nona baja putih dan berusaha melarikan diri . . .

Belum habis dia berpikir, sampban kecil itu sekali lagi telah menerjang tibab.

Lan See giok tidak berdiam diri belaka, se-belum sampan lawan mencapai sasaran, dia telah melejit dahulu ke tengah udara.

Ternyata gadis itu hanya merentangkan pedangnya saja di depan dada, ia tidak nam-pak berniat untuk melancarkan tusukan. "Blaaammm---!" tubuh Lan See giok melun-cur ke bawah dengan kecepatan tinggi. dite-ngah percikan bunga air, ujung kakinya telah menginjak di buritan sampan.

Kemudian sambil membentak keras dia lepaskan sebuah tendangan kilat menghajar pinggang seorang dayang berbaju hijau yang sedang mendayung perahu.

Agaknya dayang berbaju hijau itu sama sekali tidak menyangka akan datangnya ten-dangan itu, saking kagetnya sambil mem-bentak keras dia segera menceburkan diri ke dalam air.

Percikan bunga air memancar ke empat penjuru, dayang itu tahu-tahu sudah terce-bur ke air dan menjadi ikan duyung.

Lan See giok menjadi agak tertegun me-lihat hal itu, dia tahu bakal celaka kali ini, dayang tersebut sudah pasti pandai menyelam di dalam air...

Belum habis ingatan tersebut melintas, dayang berbaju hijau lainnya telah meng-ayunkan dayungnya untuk menghantam ke pinggangnya.

Dengan jurus Kim ciam teng hay (jarum emas tenangkan samudra) Lan See-giok me-ngayunkan senjata gurdi emasnya ke bawah menyapu dayung kayu itu.

"Blaaammm . .!" di tengah jeritan tertahan, dayung kayu di tangan dayang berbaju hijau itu terlepas dari genggaman dan mencelat ke tengah udara.

Baru saja Lan See-giok akan melepaskan tendangan lagi, si gadis berbaju putih itu su-dah membentak nyaring, pedangnya secepat kilat menusuk datang.

Bersamaan itu pula, dayang yang berada di dalam air mengayunkan pula senjata palu berantainya menyerang pinggang Lan See -giok.

Menghadapi kerubutan dari depan dan belakang, Lan See-giok tak sanggup me-laku-kan perlawanan lagi, dengan cepat dia melejit ke udara dan melayang kembali ke atas sam-pan yang telah terbalik itu.

Melihat lbawannya telah kjabur ke sampan gyang terbalik dbengan wajah girang gadis ber-baju putih itu segera berteriak keras:

"Tangkap dia! Bawa pulang ke benteng menunggu keputusan dari pocu!"

Baru saja perintah diberikan, dayang ber-baju hijau itu sudah menyelam ke dalam air.

Dua orang dayang itu segera memisahkan diri ke kiri dan ke kanan, kemudian ber-gerak mendekati sampan yang terbalik itu dengan kecepatan luar biasa.

Lan See giok menjadi gugup setelah me-nyaksikan kejadian ini, karena dia sama sekali tidak tahu akan ilmu berenang, asal sepasang kakinya menempel di air, niscaya badannya akan tenggelam.

Dengan cepat otaknya berputar, dia me-rasa satu satunya jalan yang dimilikinya sekarang untuk kabur adalah secepatnya menakluk kan gadis berbaju putih yang berada di sam-pan itu, kemudian memaksa dua orang dayang tersebut untuk menghantarnya ke luar dari sana.

Berpikir demikian, dia lantas melejit ke udara, dengan gerakan Hay yan keng sui (bu-rung manyar menyambar air) dia terjang ke arah sampan lawan, sementara senjata gurdi emasnya dengan jurus Kim coat sim (ular emas menjulurkan lidah) menusuk ke ulu hati lawan dengan disertai kilatan cahaya emas.

Waktu itu, si nona berbaju putih itu se-dang melamun di ujung perahu, sebab itu dia tak mengira kalau Lan See giok bakal menerjang tiba sambil melancarkan serangan

Menanti dia sadar akan datangnya bahaya untuk turun tangan sudah tak sempat lagi.

Maka sambil membentak keras, cepat-ce-pat dia mengundurkan diri ke buritan sam-pan.

Lan See giok amat gembira, sambil mem-bentak dia menerjang lebih ke depan, senjata gurdi emasnya diputar sedemikian rupa menciptakan beribu ribu bayangan gurdi emas yang langsung mengurung seluruh badan gadis tersebut---

Padahal waktu itu ujung kaki si nona ber-baju putih tersebut baru saja mencapai tanah, melihat datangnya cahaya emas yang mengurung tubuhnya dengan membawa desingan angin dingin, ia menjerit keras karena kaget, lalu dengan jurus Jiau yan -huan-sin (walet lincah membalikkan badan) cepat-cepat dia kabur ke dalam air.

Sesungguhnya Lan See giok sama sekali tak berpengalaman dalam suatu perta-rungan, ditambah lagi pertarungarn tersebut ber-zlangsung di ataws sampan, pada rhakekat-nya dia tak pernah menduga kalau lawannya bakal kabur ke dalam air.

Tahu-tahu pandangan matanya terasa ka-bur, dan bayangan tubuh dari gadis berbaju putih itupun sudah lenyap tak berbekas..

Tak terlukiskan rasa terkejut Lan See giok menghadapi kejadian seperti ini, sambil membentak keras sepasang lengannya di putar kencang kemudian secepat kilat tubuhnya meluncur ke bawah . . .

Meskipun gerakannya cukup cepat akibat-nya tubuh itu masih terlambat berapa depa untuk mencapai di atas sampan. Tak ampun lagi ia segera tercebur pula ke dalam telaga.

"Byuuurrr---!" bunga air memercik setinggi beberapa depa, tubuhnya langsung tengge-lam ke dasar telaga yang dingin.

Secara beruntun Lan See giok meneguk beberapa tegukan air telaga, cepat-cepat dia menutup pernapasannya sambil berusaha keras untuk mengendorkan badannya, tapi senjata gurdi emasnya dipegang kencang-kencang.

Sesaat sebelum tubuhnya tercebur ke dalam air tadi, telinganya secara lambat-lam-bat mendengar dua kali teriakan gembira dan sekali jeritan tertahan---

Baru saja badannya tenggelam, sebuah lengan tahu-tahu sudah merangkul pinggang nya dan menyeretnya ke atas permukaan air.

Tak selang berapa saat kemudian, tubuh-nya sudah terseret ke luar, belum lagi mem-buka matanya, anak muda itu sudah menghembuskan napas panjang-panjang.

Mendadak terdengar seseorang menjerit keras

"Nona, cepat ceburkan lagi, dia belum pingsan!"

Lan See-giok merasa amat terkejut, dia merasa menyesal sekali setelah mendengar ucapan tersebut, dia menyesal tidak seha-rusnya menarik napas panjang-panjang.



Tapi segera terdengar pula nona itu mem-bentak keras:

"Hayo cepat sambut tubuhnya dan baring kan ke atas sampan"

Lan See giok baru tahu sekarang kalau orang yang menyeretnya ke luar dari air adalah nona berbaju putih itu.

Baru saja ia mengendus baru harum se-merbak, empat tangan dari dua orang dara tersebut telah menyambut tubuhnya.

Kemudian diapun merasa jalan darah tidurnya ditotok oleh gadis berbaju putih itu.

Lan See giok mengetahui maksud hati dari nona itu. . maka dia pun segera berlagak, seakan-akan sudah tertidur pulas.

Setelah ditegur oleh nonanya tadi, ter-nyata sikap kedua orang dayang tersebut terhadap Lan See giok menjadi lebih sungkan, dengan cepat kedua orang itu membaringkan tubuh pemuda itu ke dalam perahu.

"Bluuk--!" Lan See giok merasa ping-gang-nya agak sakit karena membentur ujung sampan, tapi dia menggertak giginya keras-keras dan tidak membiarkan mulutnya mengeluarkan suara.

Kembali terdengar seseorang membentak nyaring:

"Budak sialan, apakah tidak bisa pelan sedikit?!"

Tak berapa lama kemudian, sampan itu terasa bergoyang keras, Lan See-giok tahu si gadis dan kedua orang dayangnya telah naik ke atas perahu itu.

Tanpa terasa Lan See-giok membuka sedikit matanya dan mengintip ke depan.

Kalau tidak melihat masih mendingan, begitu melirik, jantungnya kontan berdebar keras, mukanyapun turut berubah menjadi merah padam karena jengah.

Rupanya seluruh tubuh si nona berbaju putih maupun kedua orang dayang itu sudah basah kuyup karena tercebur, dengan begitu pakaiannya menjadi melekat dengan badan dan terlihatlah seluruh lekukan badan mereka.

Kedua orang dayang itu, yang seorang gemuk dan yang lain kurus, tapi payudara mereka kelihatan montok dan sudah matang.

Sebaliknya gadis berbaju putih itu tampak memiliki potongan badan yang indah, selain payudaranya besar dan montok, bpinggangnya amajt ramping dengagn pinggul yang bbesar, potongan badannya benar-benar aduhai.

Terutama puting susunya yang sudah matang di ujung payudara, dibawah pakaian berwarna putih yang basah kelihatan menonjol ke luar sangat menantang, diantara dengusan napasnya terlihat naik turun menantang, cukup bikin jantung orang berdebar keras.

Lan See-giok hanya melirik sekejap kemudian memejamkan matanya rapat-rapat, jangankan melirik lagi, bahkan untuk bernapas lebih keraspun tidak berani.

Mendadak terdengar gadis itu berseru kembali:

"Cepat kembali ke benteng, saat ini mungkin Lo-pocu sudah kembali ke benteng!"

Kemudian terdengar suara air memecah ke tepian dan perahu kecil itu bergerak cepat ke depan.

Lan See-giok berbaring di dalam sampan sambil memejamkan matanya rapat-rapat, kadangkala dia membuka sedikit matanya untuk mencuri lihat keadaan di luar sampan.

Malam yang gelap mencekam seluruh jagat, bintang bertaburan di angkasa, tapi tidak nampak cahaya rembulan sehingga praktis suasana di sekitar sana gelap gulita.

Kedua belah sisi jalan air penuh dengan tumbuhan gelaga yang bergoyang menimbul-kan suara gemerisik, kecuali itu hanya suara air yang memecah ke tepian saja yang ter-dengar memecahkan keheningan.

Walaupun Lan See giok masih menggeng-gam senjata gurdi emasnya kencang-ken-cang, tapi ia tak berniat sama sekali untuk melompat bangun dan melancarkan serangan terhadap ke tiga orang gadis itu.

Ia cukup sadar, seandainya serangannya tidak berhasil maka bukan mustahil jiwanya akan terancam.

Padahal dia tak pandai mengemudikan sampan, diapun tak mengerti ilmu berenang, bahkan arah mata angin pun sudah dibikin kacau balau.

Maka satu-satunya jalan yang bisa dilaku-kannya sekarang adalah bersabar untuk se-mentara waktu sambil menantikan peru-bahan selanjutnya . . .

Mendadak terendus bau harum semerbak menusuk penciuman pemuda itu.

Lan See giok merasakan hatinya berdebar keras, terasa olehnya bau harum itu aneh sekali dan cukup membuat jantung orang bebrdetak keras. j

Baru saja diga akan melirik,b sebuah sapu tangan basah telah digunakan untuk me-nye-ka jidatnya, kemudian dengan lembut berge-ser ke bawah untuk menyeka air di atas wa-jahnya, selanjutnya dagunya, rambutnya, pipinya...

Lan See giok pura-pura tertidur nyenyak, napasnyapun diatur sedemikian rupa agar gadis berbaju putih itu jangan sampai tahu kalau dia hanya pura-pura tidur, meski demikian dalam perasaan tegang bercampur gugup, diapun dapat merasakan sesuatu ke-hangatan yang nyaman.

Menurut dugaannya, orang yang menyeka wajahnya sekarang tak lain adalah si nona berbaju putih itu.

Jari tangan si nona yang lembut seringkali menyentuh pipinya yang halus, hal ini mem-buat Lan See-giok merasa gatal tapi nyaman.

Tak lama kemudian terdengar gadis ber-baju putih itu berseru:

"Siau lian, lepaskan tanda pengenal!"

Sampan yang sedang bergerak majupun segera melambat dan akhirnya berhenti.

Lan See giok pun merasa gadis berbaju putih itu bangkit sambil maju ke depan, ta-hulah pemuda itu bahwa mereka telah mendekati Benteng Wi lim Poo seperti apa yang dikatakan si nona tadi.

Maka diam-diam dia melirik kembali ke se-kitar sana, ternyata di sekitar sampan sudah tidak nampak tumbuhan gelaga lagi, mung-kin mereka sudah berada di tengah hutan gelaga yang mendekati benteng Wi lim poo.

Tampak si dayang berbaju hijau itu mem-buat api lalu memasang empat buah lentera kecil berwarna merah dan digoyang goyang kan secara beraturan sekali.

Lan See giok tak berani mendongakkan kepalanya, karena itu diapun tak dapat me-nyaksikan keadaan di depan sana serta berapa jauh lagi jaraknya dengan benteng Wi lim poo tersebut.

Tapi setelah budak berbaju hijau itu meng-gerakkan lentera kecilnya, sampan kecil itu segera didayung kembali sehingga meluncur ke depan dengan cepat.

Tak selang berapa saat kemudian, tiba--tiba Lan See giok merasakan matanya agak silau, ketika dia mencoba melirik tampaklah olehnya ada sebuah lampu lentera merah yang amat besar tergantung di tengah angka-sa dan memancarkan cahaya ke empat pen-juru.

Di atas lenterar itu tertera huzruf besar dari wkertas putih, trapi berhubung jaraknya kele-wat jauh, sehingga Lan See giok tak dapat melihat dengan jelas.

Kurang lebih tujuh delapan depa dari len-tera merah yang pertama, terdapat pula lampu lentera yang kedua, di atas lentera inipun tertera huruf besar yang terbuat dari kertas putih.

Tak lama kemudian, muncul pula lampu lentera merah yang ke tiga ---

Sebuah bangunan benteng yang tinggi dan kokoh muncul jauh di belakang lentera merah yang ke tiga, di samping itu Lan See giok juga dapat melihat jelas ke tiga huruf besar di atas lampu lentera merah tersebut yang berbunyi.

WI LIM POO.

Dengan suatu gerakan cepat, sampan kecil itu menembusi bayangan pintu gerbang ben-teng wi lim poo tersebut.

Lamat lumat Lan See giok mendengar suara teriakan keras dari para penjaga di atas benteng, kemudian terdengar pula suara pintu benteng yang berat pelan-pelan dibuka.

Sampan kecil itupun makin melamban, sekarang pemuda itu baru merasa kalau mereka sudah berada tak jauh dari benteng tersebut.

Pintu benteng yang lebarnya delapan depa dan tingginya satu kaki dua depa itu terbuat dari kayu besar, sewaktu dibuka pintu ter-angkat ke atas dan bila menutup pintu ber-gerak ke bawah.

Dinding benteng maupun bangunan loteng terbuat dari batu-batu cadas yang besar dan kuat, selain kokoh juga mendatangkan sua-sana seram bagi yang melihatnya.

Lan See giok yang mencoba melirik ke arah depan, segera merasa kagum sekali, dia tak habis mengerti bagaimana caranya memba-ngun benteng yang begitu kokoh di dalam telaga yang begitu luas.

Sementara dia masih termenung, sampan kecil itu sudah meluncur ke bawah pintu gerbang benteng itu.

Berpuluh-puluh orang lelaki kekar, dengan hormat berdiri di kedua belah sisi bangunan benteng, mereka rata-rata bermata besar, beralis tebal dan membawa senjata garpu yang memancarkan cahaya tajam.

Menyaksikan kesemuanya itu, Lan See giok segera sadar bahwa dia yang baru lolos dari gua harimau kini sudah terjerumus lagi ke dalam sarang naga, untuk melarikan diri dari benteng sekokoh ini nampaknya tidak lebih mudah dari pada melarikan dari dusun nela-yan.

(Bersambung ke Bagian 07)



DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar