Anak Harimau Bagian 12

Baca Cersil Mandarin Online: Anak Harimau Bagian 12

Bagian 12

Kedengaran dua orang komandan pasukan itu berseru dari atas geladak dengan hormat:

"Perahu dan kuda sudah dipersiapkan, si-lahkan sau pocu dan nona naik ke atas perahu".

Karena tidak disediakan tangga, Lan See -giok tahu kalau dia diharuskan melompat naik dengan mengandalkan ilmu meringan-kan tubuh, maka sambil berpaling ke arah Oh Li cu yang berada di belakangnya, ia ber-kata seraya tertawa.

"Nona, silahkan kau naik dulu!"

Oh Li cu tersenyum dan manggut-manggut, ia melejit ke udara setinggi tiga kaki, lalu ditengah udara dia menggunakan jurus bu-rung Hong masuk sarang untuk melayang ke atas perahu.

Tempik sorak bergema gegap gempita, se-mua anggota pasukan yang berada d di se-kitar sana berteriak memuji untuk menyam-but keindahan gerak tubuh nona mereka.

Lan See giok segera berkerut kening, dia tahu Oh Li cu sengaja hendak memamer-kan kehebatannya dihadapannya.

Maka sambil tertawa hambar dia melompat ke atas, tingginya tidak seberapa dimana sepasang kakinya persis menginjak di tepi perahu, hal ini membuat orang mengira dia tak bertenaga penuh,

Disaat ujung kaki Lan See giok hampir me-nempel di sisi perahu itulah, tubuhnya nam-pak gontai dan bergetar keras, sementara tubuh bagian atasnya tahu-tahu terpelanting ke luar kapal.

Jeritan kaget kontan saja berkumandang dari sana sini, beratus - ratus lelaki kekar itu sama - sama tertegun karena kaget, sedang kan Siau ci dan Siau lian yang berada di sampan kecil malah sempat men-jerit leng-king:

Mendadak. .

Lan See giok mengibaskan ujung baju kanannya, lalu badannya yang terlempar he luar perahu tadi berputar ke sebelah kiri, setelah itu dengan tubuh lurus seperti pena ia berdiri di ujung perahu dengan mantap.

Menyaksikan demonstrasi ini, ke dua orang komandan kapal perang itu jadi melongo dan termangu beberapa saat, sementara suasana di sekitar situpun dicekam dalam keh-eningan.

"Memalukan, sungguh memalukan!" akhir-nya Lan See giok memecahkan keheningan tersebut.

Komandan pasukan harimau dengan cepat berhasil menguasai diri, serunya kemudian dengan suara lantang:

"Saudara sekalian, demonstrasi ilmu meringankan tubuh yang baru saja akan dipertunjukkan sau pocu adalah ilmu meri-ngankan tubuh yang disedut "Angin menggo-yangkan pohon liu," pengetahuan kalian tentu akan semakin terbuka dengan diperli-hatkannya ilmu kepandaian itu"

"Sesudah ucapan tersebut diutarakan, tempik sorak yang gegap gempita baru berkumandang memecahkan keheningan.

Lan See giok segera mengulapkan tangan nya untuk menenangkan suasana, kemudian setelah menyampaikan rasa terima. kasih kepada ke dua orang komandan pasukan, ber-sama Oh Li cu yang dihiasi senyum di kulum mereka bersama sama masuk ke ru-ang kapal.

Tak lama kemudian, perintah diturunkan dan perahu pun bergerak meninggalkan tem-pat tersebut.

Makin lama perahu dijalankan semakin ce-pat, sepanjang jalan hanya suara ombak yang memecah kesepian memainkan suasa-na.

Lan See giok duduk di ruang dalam, ia seperti tidak berniat untuk menyaksikan keadaan di luar perahu dan nampaknya hal ini justru amat cocok dengan keinginan Oh Li cu.

Dalam ruang perahu, 0h Li cu dan Lan See giok duduk bersanding, gadis itu kelihatan sangat gembira, ia seringkali mengajak pe-muda itu membicarakan soa1 pemandangan alam, meski Lan See-giok dibebani pelbagai masalah, toh dia harus menghadapi dengan berhati hati . .

Ketika kapal perang itu meninggalkan hu-tan gelugu, matahari telah muncul di ufuk timur, cahaya keemas-emasan memancar ke permukaan telaga dan memercikkan cahaya yang menyilaukan mata.

Sekarang Lan See giok baru tahu bahwa perahu mereka diarahkan ke barat daya, ketika memandang jauh ke muka, lebih kurang tujuh delapan li di depan sana ke-li-hatan sebuah garis hijau, agaknya disitulah kampung nelayan itu berada.

Sebagaimana diketahui, sewaktu datang ia sama sekali tidak tahu arah mata angin, tentu saja saat inipun ia tak tahu dimana-kah letak benteng Wi-lim-poo, apalagi masih berapa jauh jaraknya dengan kampung ne-layan itu.

la juga takut kalau sampai bertemu dengan si naga sakti pembalik sungai, terutama sekali dengan si kakek berjubah kuning maka ia beranggapan setelah turun dari perahu nanti, ia harus berusaha secepatnya meninggalkan tempat itu.

Semakin mendekati daratan, Lin See giok merasa hatinya semakin tegang.

Akhirnya perahupun merapat dengan pantai, dua orang lelaki kekar segera menu-runkan papan dan menarik ke luar dua ekor kuda putih dari atas perahu.

Menyaksikan kuda yang kurus dan lemah apalagi nampak begitu jinak tersebut.. kon-tan saja Lan See giok berkerut kening, "Kalau kudanya saja begitu kurus dan lemah, ba-gaimana mungkin bisa berlari cepat?" demikian ia berpikir dengan perasaan geli-sah.

Tiba-tiba terdengar Oh Li cu bertanya kepada si lelaki penghela kuda itu.

"Apakah dua ekor kuda tua itu?"

Kedua orang lelaki itu segera mengiakan dengan hormat.

Lan See giok menjadi sangat mendongkol, dengan nada tak puas dia bertanya:

"Mengapa kau memilih dua ekor kuda tua?"

"Sebab kau tak pandai berkuda", jawab Oh Li cu sambil tertawa manja, "oleh sebab itu cici sengaja berpesan agar dipersiapkan dua ekor kuda tua yang tidak binal lagi!"

Diam-diam Lan See giok mengeluh, tahu begini semalam dia tak akan beralasan tak -pandai menunggang kuda.

Turun dari perahu, merekapun mendekati kedua ekor kuda tua tersebut.

Lan See giok merasa sedikit gugup, sebab berbicara yang sesungguhnya, baru pertama kali ini ia menunggang kuda.

Setelah diberi petunjuk ringkas oleh Oh Li cu, merekapun menunggang kuda dan men-jalankan nya menelusuri tanggul.

Sepanjang jalan Lan See giok berlagak tegang, pandangannya selalu tertuju ke de-pan, seolah-olah kuatir kalau tubuhnya ter-jengkang ke belakang.

Oh Li cu amat geli melihat sikap kaku nya, sambil tertawa getir ia berseru.

"Hei, kalau menunggang kuda lebih baik angkat saja kepalamu, luruskan pandangan ke muka!"

Lan See giok mengiakan sambil meman-dang ke muka, tapi apa yang terlihat mem-buat badannya gemetar keras, hampir saja ia terjerembab dari atas kuda.

Diantara pepohonan siong yang terbentang di depan situ, berdiri sebuah bangunan rumah yang mungil, ternyata rumah itu bu-kan lain ada1ah rumah bibi Wan serta enci Ciannya.

Oh Li cu yang melihat pemuda itu gemetar dan wajahnya berubah, disangkanya ia se-dang ketakutan, cepat serunya dengan kuatir.

"Tak usah takut, bila perlu kempitkan kaki pada perut kuda, dengan demikian kau tak akan sampai jatuh, pegang tali les kuda erat-erat, asal tubuhmu tak sampai terlempar ke udara, niscaya jiwamu tak akan bahaya."

Lan See giok merasa kalau ia telah khilaf, cepat-cepat perhatiannya dipusatkan jadi satu dan manggut- manggut kearah Oh Li cu dengan perasaan terima kasih.

Sementara itu, kuda mereka sedang lewat di muka pintu rumah, Lan See giok sudah melihat jelas pintu ruangan bibi Wan nya.

Sekarang ia hanya bisa berdoa, semoga Thian melindunginya dan jangan sampai mempertemukan dia dengan bibinya.

Ketika kuda mereka maju lebih ke depan semua pemandangan dalam halaman rumah itu dapat terlihat jelas.

Tiba-tiba Lan See giok merasa hatinya ber-getar keras, jantungnya berdebar begitu keras sehingga hampir saja akan melompat ke luar dari mulutnya.



Ternyata enci Cian nya sedang berdiri di dalam halaman dengan punggung meng-ha-dap ke luar, dalam keadaan begini ia kuatir sekali Ciu Siau cian atau enci Cian nya akan menyapa dia.

Agaknya Oh Li cu juga telah melihat gadis tersebut, menurut penaksirannya kalau di tinjau dari rambut panjang dan perawakan tubuh gadis berbaju kuning itu. dia semesti-nya berwajah cantik jelita bak bidadari dari kahyangan.

Api cemburu Oh Li cu seketika berkobar ketika ia saksikan Lan See giok tiada henti nya melirik kearah gadis dalam halaman tersebut, dengan rasa cemburu yang amat tebal ia lantas berseru:

"Adik giok, apakah kau menganggap gadis yang berada di dalam halaman itu lebih can-tik dari pada cici?"

Terkejut Lan See giok mendengar per-ta-nyaan ini. dia bukan takut Oh Li cu menjadi gusar, tapi yang jelas takut kalau jejak nya sampai ketahuan Ciu Siau cian.

Betul juga, ketika mendengar ada suara pertanyaan bergema di situ, Ciu Siau cian segera berpaling.

Betapa rikuh dan tersipu-sipunya Lan See giok waktu itu, andaikata sekitar sana ada lubang niscaya ia telah menyembunyikan diri di sana, baru saat ini dia dapat merasakan, bagaimanakah perasaan seseorang yang punya mulut namun tak dapat mengutara-kan kesulitan sendiri.

Sementara itu Oh Li cu berdiri ter-tegun lantaran kaget, setelah melihat paras cantik lawan, tiba-tiba saja timbul perasaan rendah diri pada dirinya, dia memang tak berani per-caya kalau dalam dusun nelayan terdapat gadis yang berparas begitu cantik.

Gadis berbaju kuning itu berkulit putih, bermata bening. hidung mancung dengan bibir yang kecil mungil, sekalipun dia hanya mengenakan pakaian yang amat sederhana, namun tidak mengurangi sikap anggun dan daya tariknya.

Terutama sekali sepasang biji matanya yang jeli sungguh menawan hati.

Agak berubah wajah Oh Li cu setelah me-nyaksikan paras muka gadis berbaju itu, wajahnya menjadi murung dan timbu1 perasaan yang amat tak sedap di hati.

Tanpa disadari akhirnya dia berseru:

"Dia memang benar-benar sangat cantik!"

"Aaah, dia kan gadis dusun yanbg tak tahu adatj, biar cantik, gbagaimana mungkbin bisa dibandingkan dengan cici yang berasal dari keluarga persilatan?" tukas Lan Se giok tiba-tiba.

Setelah mendengar perkataan tersebut, rasa rendah diri yang semula menyelimuti perasaan Oh Li cu segera hilang lenyap tak berbekas. . .

Apalagi setelah melihat gadis berbaju kuning itu segera tertunduk malu sehabis mendengar perkataan dari Lan See giok tadi, tanpa terasa ia tertawa bangga.

Lan See giok tak berani memandang wajah Ciu Siau cian, hatinya tak terlukiskan geli-sahnya, ia tak tahu apakah enci Cian nya telah mendengar perkataan tersebut atau ti-dak.

Dalam keadaan begini, dia cuma berharap selekasnya bisa meninggalkan tempat itu, apa mau dikata kuda tua tersebut larinya lamban sekali.

Beberapa kali Lan See giok mencoba untuk melarikan kudanya, sayang kuda tersebut kelewat tua, setelah lari beberapa langkah kembali jalannya melamban.

Nampaknya gerak gerik dari pemuda ter-se-but tak dapat membendung rasa geli Oh Li cu, tak tahan ia tertawa cekikikan.

Merasa dirinya ditertawakan, Lan See giok amat gusar, saking mendongkolnya tiba-tiba saja ia menendang perut kuda itu keras-keras.

Ringkikan panjang yang amat memekik-kan telinga segera berkumandang memecah kan keheningan, mungkin lantaran kesakitan, tiba-tiba saja kuda tersebut kabur se-cepat cepatnya ke muka.

Bisa dibayangkan betapa kagetnya Lan See giok waktu itu, badannya menjadi gontai dan nyaris terjerembab ke tanah, dengan gugup ia memegang tali les kuda nya kencang-ken-cang.

Oh Li cu terkejut juga melihat kejadian ini, dengan gelisah ia menjerit:

"Aduh celaka, kudanya kaget, kudanya kaget---"

Lan See giok semakin gugup, dia tahu ba-haya sehingga tanpa sadar kakinya me-ngem-pit, perut kuda itu semakin kencang, tangan-nya yang memegang tali les juga di perken-cang.

Mimpi pun Oh Li cu tak pernah menyangka kalau kuda tua yang di hari-hari biasa sangat penurut dan jinak, mendadak saja menjadi sewot dan gila menyaksikan kegugupan Lan See giok di atas punggung kuda itu, ia men-jadib gelisahnya bukjan kepalang, sagmpai- sampai teblapak tangannya menjadi basah oleh keringat dingin.

Dalam keadaan begini, dia mencoba untuk melarikan kudanya untuk mengejar, apa mau dibilang kudanyapun sudah kelewat tua. setelah lari beberapa langkah, diapun melamban kembali.

Dalam waktu singkat kuda sewot yang di tunggangi Lan See giok sudah kabur jauh ke depan, yang tersisa hanya debu dan pasir yang beterbangan menutupi pemandangan.

Hampir menangis Oh Li cu menyaksikan kejadian itu, ia melihat jelas bagaimana Lan See giok menggenggam kencang tali les ku-danya dengan wajah tegang.

"Adik Giok-adik Giok...cepat bungkuk-kan tubuhmu di atas pelana, cepat bungkuk-kan tubuhmu di atas pelana ...." jeritnya kemu-dian setengah menangis.

Lan See giok yang gugup bercampur tegang, bisa mendengar jerit tangis Oh Li cu tersebut dengan jelas, tanpa berpikir panjang ia segera menuruti nasehat tersebut dengan membungkukkan badannya di atas pung-gung kuda.

Hutan demi hutan, pepohonan demi pe-po-honan dilalui dengan cepat, Lan See giok ti-dak tahu berapa jauh ia sudah dibawa kabur, peluh telah membasahi tubuhnya maupun tubuh sang kuda, lambat laun lari si kuda sewotpun kian melamban.

Di depan sana terbentang kini sebuah la-pangan rumput yang luas, karena kudapun sudah mulai melamban larinya, Lan See giok mulai dapat mengingat ingat kembali pela-jaran yang diberikan Oh Li cu kepada nya bila menjumpai bahaya.

Cepat ia menekan kuda itu dengan telapak tangan kanannya, begitu tubuhnya melejit ke udara, ia berjumpalitan beberapa kali kemu-dian melayang turun ke atas tanah berum-put.

Dengan lenyapnya daya beban dari kuda tua itu, binatang tadipun menghentikan larinya.

Baru pertama kali Lan See giok mencoba naik kuda, namun akibatnya harus men-jum-pai pengalaman yang mendebarkan hati aki-batnya rasa tegang yang mencekam pe-rasaannya tidak juga bisa ditenangkan.

Sambil duduk di tanah lapang dengan na-pas terengah, ia memandang kuda putih di kejauhan sana sambil menggelengkan kepalanya berulang kali, pikirnya:

"Menunggang kuda tua bangkotan saja su-dah mendebarkan hati, apalagi kalau menunggang kuda liar, bagarimana jadinya?"z

Mendadak satuw ingatan melintras dalam benaknya, kejut dan gembira ia segera melompat bangun dan mencak-mencak kegi-rangan, gumamnya seorang diri:

"Kalau sekarang tidak kabur, harus ku-tunggu sampai kapan lagi? Yaa, inilah ke-sempatan paling baik yang belum tentu bisa kujumpai lagi---.!

Berpikir begitu, cepat-cepat dia me-lompat naik lagi ke punggung kuda tua dan mencoba untuk meneruskan perjalanan sayang kuda tua itu sudah kelewat lelah, bagaimanapun ditarik, di-betot, kuda tadi tetap berdiri tegak di tempat semula.

Lan See-giok gelisah sekali, dia kuatir Oh Li cu keburu menyusul ke mari, karenanya terpaksa ia melompat turun dari kuda tua itu dan melarikan diri menuju ke gundukan bukit kecil di depan situ.

Tengah hari sudah lama lewat, Lan See -giok mulai merasa perutnya sangat lapar, tapi sejauh mata memandang hanya hutan belantara belaka, ke mana ia harus pergi untuk bersantap?

Untung saja tak lama kemudian ia sudah tiba di sebuah pegunungan, di atas pegunu-ngan itu penuh pepohonan li yang buahnya mulai memasak. tidak sungkan-sungkan lagi Lan See giok memetik buah buahan tersebut dan melahapnya dengan rakus . . .

Entah berapa saat kemudian. tiba-tiba ia mendengar suara derap langkah kuda yang amat ramai bergema secara lamat-lamat dari arah tanggul telaga sana.

Lan See giok sangat terkejut, ia memasang telinganya baik-baik dan mendengarkan de-ngan penuh perhatian, betul juga derap kaki kuda itu sangat ramai.. tampaknya ada se-rombongan manusia berkuda sedang melalui tempat tersebut.

Makin lama suara derap kaki kuda itu se-makin nyaring dan mendekat, suaranya ba-gaikan gemuruh yang menggelegar men-jelang datangnya hujan deras.



Tergerak hati Lan See giok ia segera bang-kit berdiri dan lari ke depan sebuah pohon besar di puncak bukit.

Dari sana ia memanjat ke pucuk pohon dan menyembunyikan diri di balik dedaunan yang lebat.

Dikejauhan sana, pada wilayah antara tanggul dengan tanah padang berumput, ke-lihatan debu dan pasir beterbangan ke ang-kasa, tampak dua tiga puluhan ekor kuda sedang dilarikan mendekat dengan kecepatan luar biasa,

Mendadak---

Rombongan itu memecahkan diri bagai-kan bunga api yang meletuk dengan berbentuk seperti kipas, rombongan kuda tadi menye-barkan diri serta mengepung lapangan rum-put tersebut rapat-rapat.

Lan See giok sangat keheranan setelah menyaksikan kejadian itu, dengan perasaan tidak mengerti dia celingukan kian kemari, tapi selain padang rumput yang luas, pada hakekatnya tidak dijumpai sesuatu apapun yang mencurigakan.

Ketika diamati dengan lebih seksama, pe-muda kita segera gemetar karena kaget, ter-nyata penunggang kedua tiga puluh ekor kuda itu adalah lelaki-lelaki kekar berpa-kaian ringkas warna kuning, kalau diperhati-kan baju seragamnya, jelas mereka adalah anggota benteng Wi-lim-poo.

Tapi ingatan lain membuat pemuda ini menjadi ragu, seingatnya dalam kapal perang yang ditumpanginya hanya memuat dua ekor kuda tua, lantas darimana datang-nya kuda sebanyak itu?

Walaupun Oh Li cu bisa kirim orang untuk memberi laporan ke benteng, itu pun paling cepat malam nanti pasukan mereka baru akan tiba di sini.

Sementara itu, ke dua tiga puluh ekor kuda tadi sudah berdiri berjajar di sepanjang garis padang rumput.

Tiba-tiba Lan See giok jadi melongo, ter-nyata orang yang berada di punggung kuda berwarna merah dimuka barisan adalah Oh Li cu sendiri.

Tak terlukiskan rasa kaget yang men-cekam perasaan Lan See giok sekarang, ia tidak berminat untuk menyaksikan adegan terse-but lebih jauh, dengan cepat dia melompat turun dari atas pohon, kemudian kabur ke dalamb hutan dengan mjengerahkan ilmug meringankan tubbuh yang dimilikinya.

Sambil melarikan diri, dihati kecilnya tiada hentinya merasa keheranan, ia benar--benar tak mengerti mengapa pasukan dari Wi-lim-poo bisa secepat itu tiba di tempat kejadian.

Dalam beberapa saat saja hutan lebat su-dah ditembusi, kini dihadapannya terbentang padang rumput yang sangat luas.

Lan See giok semakin gelisah, dia tahu berlarian di padang rumput berbahaya sekali, sebab tiada tempat untuk menyembunyikan diri, ia harus secepatnya memasuki daerah yang lebat dengan pepohonan yang luas.

Matanya yang jeli segera mengamati seke-jap sekeliling tempat itu, pada jarak tiga em-pat li di sebelah kanan, ia jumpai sebuah dusun, dan tempat tersebut merupakan daerah yang terdekat dengan dirinya berada.

BAB 10

IA tak berani berayal lebih jauh, dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya, ia segera kabur menuju kearah dusun tersebut, badannya meluncur bagai-kan segulung asap saja.

Ketika hampir mencapai di depan dusun. pemuda itu berpaling sekejap. Diam-diam ia menjadi gembira sebab pasukan dari Wi-lim-poo belum muncul dari hutan tadi.

Tapi setelah ia berpaling kembali meman-dang ke depan, pemuda Itu segera menghen-tikan perjalanannya dan berdiri tertegun, ternyata di depannya terbentang sebuah su-ngai besar yang lebarnya mencapai sepuluh kaki lebih.

Dengan gelisah ia berpaling kembali, un-tung pasukan dari Wi-lim-poo belum menyu-sul sampai di situ, ia pikir masih punya waktu untuk mencapai perahu, maka dengan cepat ditelusurinya sungai tersebut:

Tapi dengan cepat ia menjadi putus asa, arus sungai kelewat deras, jangan lagi perahu, bayangannya saja tidak dijumpai.

Dengan putus asa dia menelusuri tepi su-ngai, makin ke depan sungai tersebut me-ni-kung semakin ke dalam, daerah tikungan tadi merupakan sebuah tanah perbukitan.

Mendadak ia mendengar suara ribngkikan kuda bejrkumandang datagng, Lan see giobk amat terperanjat dan cepat berpaling, apa yang kemudian terlihat segera membuat keringat dingin bercucuran.

Rupanya beberapa ekor kuda sedang ber-larian menelusuri tepi sungai menuju kearah nya, sedang lelaki kekar yang berada di punggung kuda dengan sorot matanya yang tajam bagaikan sembilu mengawasi tepi sebe-rang sungai.

Tak terlukiskan rasa terkejut Lan See giok, ia membalikkan badan dan segera melarikan diri.

Tapi belum berapa langkah, dari seputar hutan di tanah gundukan depan muncul pula beberapa puluh ekor kuda.

Lan See giok tahu keadaan bakal runyam, ini berarti pantai sungai tak mungkin bisa dipakai untuk menyembunyikan diri lagi, se-cepatnya ia kembali ke pesisir dan menye-lusuri air, ia kabur ke sebelah kanan sungai tersebut.

Dalam pelarian tersebut, tiba-tiba Lan see giok menemukan sebuah sampan kecil yang tergeletak di tepi pesisir, pemuda itu bagai-kan menemukan bintang penolong saja segera berlarian menuju kearah situ.

Tapi, ia segera kecewa setelah dekat de-ngan perahu tadi, ternyata perahu yang nampak utuh dari luar, dasarnya sudah jebol dan berantakan.

Pada saat itulah---

Dari depan situ bergema lagi suara ringki-kan kuda. bersamaan itu juga dari ke jauhan situ berkumandang suara derap kaki kuda yang amat keras.

Lan See giok benar-benar amat gugup, bila ia sampai tersusul saat ini, jelas tiada alasan yang dapat digunakan, satu satunya jalan hanya bertarung sampai titik darah penghabisan:

Menyaksikan arus sungai yang begitu deras, ia teringat kembali ilmu berenang yang belum sempat dipelajari, tak tahan lagi pikirnya setelah menghela napas:

"Betapa senangnya bila ilmu berenang ku-kuasai, saat ini mungkin aku sudah tiba di dusun pantai seberang--."

Belum habis ingatan tersebut melintas le-wat, sekali lagi terdengar suara ringkikan panjang yang bergema dari tempat tak jauh dari situ.

Lan See giok amrat terkejut, taznpa disadari iaw meraba senjatar gurdi emas Cin kim kong luan jui yang melilit, di pinggangnya.

Dalam pada itu suara ringkikan kuda su-dah semakin mendekat, suara tersebut ber-gema pula dari kiri dan kanan tubuhnya.

Sekarang Lan See giok berada dalam posisi yang berbahaya sekali, tak terlukis-kan rasa gelisah hatinya, biar dia tahu perahu bobrok itu tak mungkin bisa di-pakai untuk bersem-bunyi, namun terdesak oleh keadaan mau tak mau dia menerobos juga ke dalam perahu bobrok itu.

Pada saat Lan See giok baru saja melompat naik ke atas perahu bobrok dan menyem-bunyikan diri, suara derap kaki kuda yang amat gencar telah bergema datang dari sisi sebelah kanan.

Menyusul kemudian beberapa ekor kuda berlarian mendekat bagaikan gemuruh angin puyuh.

Lan See giok menahan napas sebisa mung-kin, hatinya berdebar keras, diam--diam ia bersyukur karena tempat persembunyian nya tidak sampai ketahuan.

Suara bentakan-bentakan keras bergema kemudian, agaknya pasukan yang datang dari sebelah kiri telah berpapasan dengan pasukan yang telah datang dari sebelah kanan, kemudian berhenti tak jauh dari ka-pal bobrok itu berada . . .

Mendadak terdengar seseorang menegur dengan suara yang serak dan tua.

"Apakah kalian telah melihat sau pocu?"

Diam-diam Lan See giok terkesiap, ia me-ngenali suara tersebut sebagai suaranya Be Siong pak, manusia yang mempunyai banyak akal muslihat.

"Lapor congkoan" beberapa orang lelaki itu segera menjawab dengan hormat, "hamba sekalian tidak melihatnya"

Diam-diam Lan See giok merasa keheran-an juga, pikirnya.

"Aneh, mengapa Be Siong pak bisa me-mimpin pasukan untuk melakukan pengejar-an.



Karena dorongan rasa ingin tahunya, ia segera mengintip dari celah-celah perahu bo-brok itu.

Be Siong pak yang duduk di punggung kuda tampak sedang berkerut kening dengan wajah resah, sorot matanya yang tiada henti-nya dialihkan ke pantai seberang sungai tersebut.

Paras muka belasan lelaki berbaju kuning pun kelihatan amat serius, mereka meme-gang tali les kuda masing-masing dengan kencang, sementara peluh membasahi tubuh-tubuh mereka maupun tubuh kuda--kuda tersebut...

Sementara itu dari arah pantai ber-kuman-dang kembali suara derap kaki kuda yang sangat ramai.

Seorang lelaki yang berada di sisi Be Siong pak segera berpaling dan memandang seke-jap ke arah pantai, kemudian serunya de-ngan nada gelisah,

"Congkoan, nona telah datang. . . !"

MENDENGAR Oh Li cu telah tiba pula di tempat kejadian, Lan See giok merasakan hatinya semakin tegang.

Be Siong-pak segera mencemplak kudanya dengan memimpin puluhan anak buahnya maju menyongsong ke tepi sungai.

Derap kaki kuda dan suara ringkikan kuda yang ramai akhirnya berhenti di belakang perahu bobrok persis di sisi pesisir sungai, debu dan pasir tampak beterbangan meme-nuhi angkasa.

Menyusul kemudian seekor kuda merah yang tinggi besar muncul pula di tempat tersebut . . .

Lan See giok yang mengintip ke luar kem-bali merasakan tubuhnya gemetar keras, ternyata orang yang duduk di atas kuda merah yang tinggi besar itu tak lain adalah Oh Li cu.

Paras muka Oh Li cu telah basah oleh air mata, matanya merah membengkak, rambut nya sedikit kusut dan cahaya mukanya ham-pir pudar . . .

Dengan pandangan mata gelisah bercam-pur cemas dia menengok sekejap ke arah pantai seberang, lalu kepada Be Siong pak yang menyongsong kedatangannya, ia berta-nya cemas:

"Apakah kalian tidak menemukannya?"

"Di kedua belah pesisir sungai sama sekali tidak dijumpai bayangan tubuh dari sau pocu!" jawab Be Siong pak.

Sekali lagi air mata 0h Li cu bjatuh ber-cu-cujran, ia menutupgi muka sendiri bdan berkata sambil menangis tersedu-sedu:

"Sebenarnya ia tak pandai menunggang kuda, akulah yang memaksanya naik, apa mau dikata kuda tua itu kaget!"

Lelaki kekar berkuda hitam yang tampak nya komandan dari pasukan tersebut segera berkata dengan hormat:

"Kuda tua itu sudah berhenti di tanah la-pang, sekujur badannya telah basah oleh keringat darah rupanya sudah kehabisan tenaga, ini menunjukkan kalau binatang tersebut telah berlari kencang sepanjang jalan, bila sau-pocu memang tak pandai menunggang kuda, bisa jadi ia sudah terja-tuh ditengah jalan!"

Be Siong pak segera melototkan matanya bulat-bulat, serunya dengan suara dalam:

"Tenaga dalam yang Sau pocu miliki amat sempurna, bagaimana mungkin ia bisa ter-jatuh dari kuda?"

Tidak sampai Be Siong pak menyelesaikan kata katanya, sambil menangis Oh Li cu su-dah mengomel:

"Semuanya ini kau lah yang salah, menga-pa sewaktu aku datang ke tempatmu sema-lam -kau tidak mengatakan kalau pocu sudah menurunkan perintah bahwa setiap orang dilarang ke luar benteng, bila di dalam ben-teng ada urusan harus dirundingkan dulu dengan Sau pocu---?"

Sambil berkata, dia menangis tiada henti nya, seolah-olah seorang kanak-kanak yang kehilangan mainan kesayangannya.

Dengan wajah menyesal dan murung Be Siong pak menjawab:

"Yaa. memang hambalah yang teledor serta tidak berpikir sempurna, tidak ku-sangka lo pocu sama sekali tidak memberi kabar kepada nona serta sau pocu ketika hendak berangkat, coba kalau hamba tidak mende-ngar suara tampik sorak pagi tadi sehingga segera mengutus orang untuk mencari berita, mungkin hingga sekarang pun belum kuketahui kalau nona dan Sau pocu telah berpesiar ke pantai telaga!"

"Apa pula gunanya kau menyusul sampai di sini?" kembali Oh Li cu menangis ter-sedu sedu, coba kalau kau bertindak cepat semab-lam dengan menjurunkan perintagh itu kese-mua bpenjaga pintu benteng, hari ini kami tak akan bisa ke luar dan tak mungkin akan ter-jadi peristiwa di luar dugaan seperti ini."

"Yaa, kesemuanya ini memang kesalahan hamba" Be Siong pak mengangguk berulang kali, "hamba memang pantas mati, hamba memang pantas mati, sekembalinya lo pocu nanti, hamba memang tentu akan minta hu-kuman sendiri!"

Setelah berhenti sejenak, serta me-mandang sekejap semua orang yang berada di seputar tempat itu, dengan nada meng-hibur dia ber-kata lagi:

"Walaupun kita sudah mengerahkan keku-atan sedemikian besarpun belum berhasil juga menemukan kembali sau-pocu, itu ber-arti besar kemungkinannya sau-pocu telah diculik oleh si kakek berjubah kuning tapi nona tak usah kuatir, sau pocu ber-bakat ba-gus dan berwajah cerah, sekalipun mengha-dapi bencana, semua bencana akan berubah menjadi rejeki, biar sekarang agak tersiksa dan menderita, toh akhirnya akan kembali juga ke Wi-lim-poo dengan selamat---"

Dalam suasana gelisah bercampur marah mana ada niat dari Oh Li cu untuk mende-ngarkan obrolannya, dengan cepat ia menu-runkan kembali tangannya dari atas wajah, lalu sambil melotot ke arah Be Siong pak bentaknya:

"Obrolan busuk. siapa yang mau mende-ngarkan ucapanmu itu, Hmm! bencana bisa berubah jadi rejeki . . . orangnya di mana sekarang?"

"Pokoknya bila tidak kau temukan kembali Lan See giok hari ini, kau sendiri pun tak usah kembali ke Wi-lim-poo"

Sambil berkata ia segera mencemplak kembali kudanya dan melarikan binatang tersebut meninggalkan tempat tersebut.

Be Siong pak termangu melihat kemarahan nonanya, tanpa terasa teriaknya keras-keras:

"Nona. tunggu dulu, nona, tunggu dulu hati-hati kalau sampai terjatuh dari kuda!"

Sembari berteriak, dengan gugup dia mela-rikan pula kudanya untuk menyusul dari belakang.

Kawanan lelaki lainnya serentak mem-ben-tak dan melarikan kuda masing-masing dalam waktu singkat kedua tiga puluhan kuda tersebut telah berlalu semua mengikuti di belakang Oh Li cu.

Lan See giok menghembuskan napas pan-jang, perasaan tegang yang sempat mencekam perasaannya kinripun berkurang,z diam-diam ia mwelompat ke luarr dari perahu!

Sepanjang pesisir dijumpainya penuh de-ngan bekas kaki kuda, melihat itu dia baru mengerti apa sebabnya Oh Li cu tidak me-ngirim orang untuk memeriksa perahu bo-brok tersebut.

Agaknya perahu itu kelewat bobrok dan mustahil bisa dipakai untuk bersembunyi, ditambah pula seputar pesisir sudah penuh dengan bekas telapak kaki kuda dia mengira pasukan sebelumnya telah melakukan peme-riksaan di sana. Apalagi Be Siong pak serta Oh Li cu pada hakekatnya tidak me-ngetahui kalau dia berniat melarikan diri ....

Sedang maksud Oh Tin san suami istri pergi tanpa pamit semalam, di mana dia hanya memberitahukan kepada Be Siong-pak dan melarangnya memberitahukan kepada Oh Li cu. jelas hal ini untuk mencegah putri-nya pergi ke luar, dan tentu saja takut kalau dia menggunakan kesempatan tersebut mela-rikan diri.

Kalau didengar berdasarkan pembicaraan Be Siong pak dengan Oh Li cu, ia yakin kedua orang tersebut masih belum mengeta-hui asal usulnya yang sesungguhnya, diapun percaya Oh Tin san tak bakal membi-carakan rahasia tentang kotak kecil tersebut dengan mereka.

Kelancaran yang diperolehnya dalam usaha melarikan diri kali ini benar-benar berkem-bang di luar dugaan, apa yang direncanakan semalam boleh dibilang semuanya tidak ber-guna, karena tak satupun yang terpakai saat ini..

Berpikir sampai ke situ, tanpa terasa ia menggelengkan kepalanya sambil tertawa, pikirnya:

"Yaa, siapa yang bisa menduga perubahan yang bakal terjadi di dunia ini?"

la berjalan menuju ke pantai depan sana dan mendongakkan kepalanya, udara amat bersih, di kejauhan sana hanya kedengaran suara derap kaki kuda yang makin menjauh.

Dengan cepat pemuda itu menelusuri pantai menuju ke arah timur laut, sebelum malam tiba dia harus sudah tiba di rumah kediaman bibi Wan- nya.

Sementara itu matahari sudah tenggelam di langit barat Lan See giok merasa lapar, da-haga, gelisah pula, kalau dapat dia ingin se-cepatnya tiba di rumah kediaman bibinya.



Sesudah menembusi hutan dan mendaki sebuah bukit kecil, dari kejauhan sana mulai nampak tanggul telaga Huan yang oh.

Lan See giok percepat langkahnya menuju ke muka . . .

Dari puncak bukit kecil, ia saksikan di bawah lembah sana masih nampak puluhan ekor kuda mondar mandir melakukan penca-rian, pada dermaga telaga tiga buah kapal perang berlabuh di situ.

Lan See giok tak berani meneruskan per-jalanannya, terpaksa dia harus berhenti di situ dan menunggu sampai kapal-kapal pe-rang dari Wi-lim-poo tersebut berlalu se-be-lum meneruskan perjalanannya,

Senja lewat, malam haripun tiba, suasana remang-remang telah mulai menyelimuti se-luruh angkasa.

Cahaya lentera mulai berkelap-kelip di arah dusun nelayan sana.

Di atas ke tiga kapal perang pun telah dikerek naik sembilan buah lentera besar berwarna merah.

Beberapa saat kemudian ditengah kege-la-pan yang mulai mencekam seluruh angka-sa, lamat-lamat kedengaran suara orang menghardik dan ringkikan kuda.

Lan See giok tahu, pihak Wi-lim-poo sudah mulai menarik pasukannya kembali ke kapal, oleh sebab itu dia pun membayangkan kem-bali keadaan Oh Li cu entah bagaimanakah perasaan perempuan itu kini? la teringat pula cinta kasih serta perhatian dari Oh Li cu ter-hadapnya selama berapa hari belakangan ini, terutama sekali usahanya untuk mencarikan obat penawar racun baginya, tentu saja ia tak dapat berpeluk tangan belaka terhadap cinta kasihnya itu. Ia terbayang pula bagaimana Oh Li cu menangis karena sedih dan gelisah, kesemuanya ini membuat hatinya terharu, betul ia tidak terlalu menyukainya, tapi per-hatian dan kasih sayangnya tak mungkin bisa dilupakan dengan begitu saja.

Diam-diam ia bersumpah di dalam hati, bila di kemudian hari Oh Li cu membutuh-kan sesuatu kepadanya, ia bersedia menga-bulkan permintaan nya demi membayar se-mua ke-baikannya selama ini.

Namun permintaan mana tidak tebrmasuk memperisjtri dirinya, segbab di kemudianb hari dia ingin mempersunting enci Ciannya seba-gai istri, sekalipun ia tidak tahu apakah enci Cian mencintainya atau tidak...

Teringat kembali enci Ciannya, Lan See giok segera mengerahkan kembali ilmu meringankan tubuhnya dan menuruni bukit tersebut dengan cepat.

Ia dapat melihat ke sembilan lentera merah diarah telaga sudah mulai bergerak pelan- pelan, agaknya kapal perang dari Wi-lim-poo tersebut sudah mulai berangkat pulang.

Dengan perasaan lega Lan See giok mem-percepat langkahnya berlarian ditengah ke-gelapan.

Berapa waktu kemudian, ia telah tiba di belakang dusun kecil tempat kediaman bibi Wan nya, suasana dalam dusun itu amat hening, cuma satu dua buah rumah saja yang masih bersinar.

Sampai di situ, mau tak mau Lan See giok harus meningkatkan kewaspadaannya, lama sekali ia berdiri tegak sambil memperhatikan keadaan di sekitar situ adakah sesuatu yang mencurigakan, kemudian pelan-pelan ia baru menuju ke rumah kediaman bibi Wan nya

Waktu itu udara sangat gelap, tiada rem-bulan, hanya beberapa biji bintang yang berkelipan, angin malam yang berhembus lewat membawa suara deburan ombak dari tanggul telaga.

Dalam perjalanan, ia saksikan cahaya len-tera dalam kamar enci Cian nya masih terang benderang, dia keheranan, semalam ini me-ngapa enci Ciannya belum juga tidur Padahal biasanya sudah naik ke atas pem-ba-ri-ngannya.

Dengan meningkatkan kewaspadaannya dia maju terus ke depan, sementara telinga nya dipasang lebar-lebar, namun betapa terkejutnya dia setelah mendengar suara isak tangis dari enci Ciannya yang lamat-lamat bergema datang dari kamar tidurnya.

Dengan perasaan terkejut dia melejit ke udara dan segera melayang masuk ke dalam pekarangan.

Baru saja kakinya menempel di atas tanah----

Mendadak dari dalam kamar tak bersinar di sisi kamar enci Cian nya bergema suara teguran yang lembut.

"Anak Giok kah yang datang?"

Seperti anak yatim piatu yang btiba-tiba mendejngar suara pangggilan ibunya, abir mata segera bercucuran membasahi wajah Lan See giok, namun ia tetap menjaga kewaspadaan nya terhadap keadaan lingkungan, setelah memanggil "bibi" dengan lirih, ia menerjang masuk ke arah jendela.

Jendela belakang terbuka dan wajah bibi-nya muncul dari balik tirai, dipandangnya Lan See giok dengan terkejut lalu bisiknya:

"Ayo cepat masuk!"

Sambil berusaha keras mengendalikan rasa pedih di dalam hatinya, Lan See giok melom-pat terus masuk ke dalam ruangan, sedang bibi Wan melirik sekejap ke sekeliling hala-man dengan seksama, kemudian cepat-cepat menutup kembali daun jendelanya.

"Anak Giok. apakah selama beberapa hari ini kau tidak kembali ke kuburan kuno?"

Lan See giok segera menubruk ke dalam pangkuan bibinya dan menangis tersedu, tapi hanya sebentar saja. karena dengan cepat isak tangisnya berubah menjadi se-senggukan belaka

Tampaknya bibi Wan sudah merasakan firasat jelek, dengan gelisah ia bertanya.

"Anak Giok, dimana ayahmu?"

Lama sekali Lan See giok sesenggukan se-belum sahutnya amat pedih.

"Ayah telah dibunuh orang!"

Untuk sesaat suasana dalam ruangan menjadi hening, dengan jelas Lan See giok dapat mendengar debaran jantung bibi Wan yang semakin bertambah kencang.

Cahaya api berkilat, ruangan segera men-jadi terang benderang--

Ketika Lan See giok berpaling, dilihatnya enci Cian sedang menyulut sebuah lentera dengan wajah gugup, di bawah sinar lentera, terlihat jelas wajah Ciu Siau cian basah oleh air mata, sepasang matanya merah mem-bengkak, agaknya paling tidak ia sudah menangis setengah harian lamanya.

Ketika ia berpaling lagi ke arah bibi Wan, tampak wajah bibinya pucat pias, keningnya berkerut dan dua baris air mata mengalir ke luar membasahi bibirnya yang gemetar.

Dengan pandangan kosong ia mengawasi sudut ruangan, agaknya sedang merenung-kan sesuatu . . .

Lan Seer giok tahu bibiz Wan sedang amawt sedih saat itru, tanpa terasa serunya sambil menangis:

"Oooh . . bibi. bibi . "

Tiada hentinya dia menggoyang-goyangkan lengan bibi Wannya.

Bibi Wan menyeka air matanya dengan ujung baju, kemudian berkata lagi agak se-senggukan:

"Aku telah memperingatkan kepadanya, kalau toh barang tersebut tak berguna, lebih baik dikembalikan secepatnya daripada me-mancing datangnya bibit bencana!"

Ketika berbicara, butiran air mata kembali jatuh bercucuran membasahi wajahnya.

Mendengar perkataan tersebut, Lan See giok segera menarik kesimpulan kalau hubungan antara bibi Wan dengan ayahnya pasti luar biasa, Karena itu sekali lagi dia berseru:

" Oooh. . . bibi!"

"Anak Giok, duduklah," kata bibi Wan sambil mengawasi wajah Lan See giok yang basah oleh air mata, "beritahu kepada bibi, siapakah musuh besar kita?"

"Ketika anak Giok pulang tempo hari ayah telah meninggal dunia. . ."

Secara ringkas dia pun menceritakan kem-bali semua peristiwa yang disaksikan mau-pun dialaminya dalam kuburan kuno tempo hari...

Bibi Wan serta enci Cian masing-masing duduk di kursi bulat dan mendengarkan pe-nuturan tersebut dengan seksama.

Cerita Lan See giok sangat jelas, terutama mengenai dandanan, potongan wajah serta ciri khas dari lima manusia cacad dari tiga telaga. . .

Sewaktu bercerita tentang si kakek ber-jubah kuning, bersinar terang sepasang mata bibi Wan, tanpa terasa ia berbisik lirih:

"Apakah diantara alis mata kakek ber-jubah kuning itu terdapat sebuah tahi lalat merah?"

Lan See giok termenung sebentar, kemu-dian menggeleng.

"Anak giok tidak memperhatikan soal ini!"

Bibi Wan berkerut kening lalu manggut-manggut, pertanda dia diminta melanjutkan ceritanya.

Sewaktu Lan See giok bercerita tentang si manusia buas bertelinga tunggal Oh Tin san menangisi jenazah lalu bagaimana mencuri pedang dan sebagainya, kembali bibi Wan menukas.

"Menilai seseorang jangan berdasarkan wajah saja, tapi jangan pula dinilai dari si-kapnya dan caranya berbicara manis, biar-pun kaum laknat pandai ber-bicara, toh akhirnya bakal salah berbicara juga, asal kau bersedia memperhatikan dengan seksama, tidak sulit untuk me-ngetahui baik tidaknya seseorang, seperti manusia bangsa Oh Tin san, kenyataannya kau dapat dikibuli dengan begitu mudah.. hal ini membuktikan kalau pikiranmu ter-sumbat waktu itu karena kese-dihan yang berlebihan"

(Bersambung ke Bagian 13)
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar