Kedengaran dua orang komandan
pasukan itu berseru dari atas geladak dengan hormat:
"Perahu dan kuda sudah
dipersiapkan, si-lahkan sau pocu dan nona naik ke atas perahu".
Karena tidak disediakan
tangga, Lan See -giok tahu kalau dia diharuskan melompat naik dengan
mengandalkan ilmu meringan-kan tubuh, maka sambil berpaling ke arah Oh Li cu
yang berada di belakangnya, ia ber-kata seraya tertawa.
"Nona, silahkan kau naik
dulu!"
Oh Li cu tersenyum dan
manggut-manggut, ia melejit ke udara setinggi tiga kaki, lalu ditengah udara
dia menggunakan jurus bu-rung Hong masuk sarang untuk melayang ke atas perahu.
Tempik sorak bergema gegap
gempita, se-mua anggota pasukan yang berada d di se-kitar sana berteriak memuji
untuk menyam-but keindahan gerak tubuh nona mereka.
Lan See giok segera berkerut
kening, dia tahu Oh Li cu sengaja hendak memamer-kan kehebatannya dihadapannya.
Maka sambil tertawa hambar dia
melompat ke atas, tingginya tidak seberapa dimana sepasang kakinya persis
menginjak di tepi perahu, hal ini membuat orang mengira dia tak bertenaga
penuh,
Disaat ujung kaki Lan See giok
hampir me-nempel di sisi perahu itulah, tubuhnya nam-pak gontai dan bergetar
keras, sementara tubuh bagian atasnya tahu-tahu terpelanting ke luar kapal.
Jeritan kaget kontan saja
berkumandang dari sana sini, beratus - ratus lelaki kekar itu sama - sama
tertegun karena kaget, sedang kan Siau ci dan Siau lian yang berada di sampan
kecil malah sempat men-jerit leng-king:
Mendadak. .
Lan See giok mengibaskan ujung
baju kanannya, lalu badannya yang terlempar he luar perahu tadi berputar ke
sebelah kiri, setelah itu dengan tubuh lurus seperti pena ia berdiri di ujung
perahu dengan mantap.
Menyaksikan demonstrasi ini,
ke dua orang komandan kapal perang itu jadi melongo dan termangu beberapa saat,
sementara suasana di sekitar situpun dicekam dalam keh-eningan.
"Memalukan, sungguh
memalukan!" akhir-nya Lan See giok memecahkan keheningan tersebut.
Komandan pasukan harimau
dengan cepat berhasil menguasai diri, serunya kemudian dengan suara lantang:
"Saudara sekalian,
demonstrasi ilmu meringankan tubuh yang baru saja akan dipertunjukkan sau pocu
adalah ilmu meri-ngankan tubuh yang disedut "Angin menggo-yangkan pohon
liu," pengetahuan kalian tentu akan semakin terbuka dengan diperli-hatkannya
ilmu kepandaian itu"
"Sesudah ucapan tersebut
diutarakan, tempik sorak yang gegap gempita baru berkumandang memecahkan
keheningan.
Lan See giok segera
mengulapkan tangan nya untuk menenangkan suasana, kemudian setelah menyampaikan
rasa terima. kasih kepada ke dua orang komandan pasukan, ber-sama Oh Li cu yang
dihiasi senyum di kulum mereka bersama sama masuk ke ru-ang kapal.
Tak lama kemudian, perintah
diturunkan dan perahu pun bergerak meninggalkan tem-pat tersebut.
Makin lama perahu dijalankan
semakin ce-pat, sepanjang jalan hanya suara ombak yang memecah kesepian
memainkan suasa-na.
Lan See giok duduk di ruang
dalam, ia seperti tidak berniat untuk menyaksikan keadaan di luar perahu dan
nampaknya hal ini justru amat cocok dengan keinginan Oh Li cu.
Dalam ruang perahu, 0h Li cu
dan Lan See giok duduk bersanding, gadis itu kelihatan sangat gembira, ia
seringkali mengajak pe-muda itu membicarakan soa1 pemandangan alam, meski Lan
See-giok dibebani pelbagai masalah, toh dia harus menghadapi dengan berhati
hati . .
Ketika kapal perang itu
meninggalkan hu-tan gelugu, matahari telah muncul di ufuk timur, cahaya
keemas-emasan memancar ke permukaan telaga dan memercikkan cahaya yang
menyilaukan mata.
Sekarang Lan See giok baru
tahu bahwa perahu mereka diarahkan ke barat daya, ketika memandang jauh ke
muka, lebih kurang tujuh delapan li di depan sana ke-li-hatan sebuah garis
hijau, agaknya disitulah kampung nelayan itu berada.
Sebagaimana diketahui, sewaktu
datang ia sama sekali tidak tahu arah mata angin, tentu saja saat inipun ia tak
tahu dimana-kah letak benteng Wi-lim-poo, apalagi masih berapa jauh jaraknya
dengan kampung ne-layan itu.
la juga takut kalau sampai
bertemu dengan si naga sakti pembalik sungai, terutama sekali dengan si kakek
berjubah kuning maka ia beranggapan setelah turun dari perahu nanti, ia harus
berusaha secepatnya meninggalkan tempat itu.
Semakin mendekati daratan, Lin
See giok merasa hatinya semakin tegang.
Akhirnya perahupun merapat
dengan pantai, dua orang lelaki kekar segera menu-runkan papan dan menarik ke
luar dua ekor kuda putih dari atas perahu.
Menyaksikan kuda yang kurus
dan lemah apalagi nampak begitu jinak tersebut.. kon-tan saja Lan See giok
berkerut kening, "Kalau kudanya saja begitu kurus dan lemah, ba-gaimana
mungkin bisa berlari cepat?" demikian ia berpikir dengan perasaan
geli-sah.
Tiba-tiba terdengar Oh Li cu
bertanya kepada si lelaki penghela kuda itu.
"Apakah dua ekor kuda tua
itu?"
Kedua orang lelaki itu segera
mengiakan dengan hormat.
Lan See giok menjadi sangat
mendongkol, dengan nada tak puas dia bertanya:
"Mengapa kau memilih dua
ekor kuda tua?"
"Sebab kau tak pandai
berkuda", jawab Oh Li cu sambil tertawa manja, "oleh sebab itu cici
sengaja berpesan agar dipersiapkan dua ekor kuda tua yang tidak binal
lagi!"
Diam-diam Lan See giok
mengeluh, tahu begini semalam dia tak akan beralasan tak -pandai menunggang
kuda.
Turun dari perahu, merekapun
mendekati kedua ekor kuda tua tersebut.
Lan See giok merasa sedikit
gugup, sebab berbicara yang sesungguhnya, baru pertama kali ini ia menunggang
kuda.
Setelah diberi petunjuk
ringkas oleh Oh Li cu, merekapun menunggang kuda dan men-jalankan nya
menelusuri tanggul.
Sepanjang jalan Lan See giok
berlagak tegang, pandangannya selalu tertuju ke de-pan, seolah-olah kuatir
kalau tubuhnya ter-jengkang ke belakang.
Oh Li cu amat geli melihat
sikap kaku nya, sambil tertawa getir ia berseru.
"Hei, kalau menunggang
kuda lebih baik angkat saja kepalamu, luruskan pandangan ke muka!"
Lan See giok mengiakan sambil meman-dang
ke muka, tapi apa yang terlihat mem-buat badannya gemetar keras, hampir saja ia
terjerembab dari atas kuda.
Diantara pepohonan siong yang
terbentang di depan situ, berdiri sebuah bangunan rumah yang mungil, ternyata
rumah itu bu-kan lain ada1ah rumah bibi Wan serta enci Ciannya.
Oh Li cu yang melihat pemuda
itu gemetar dan wajahnya berubah, disangkanya ia se-dang ketakutan, cepat
serunya dengan kuatir.
"Tak usah takut, bila
perlu kempitkan kaki pada perut kuda, dengan demikian kau tak akan sampai
jatuh, pegang tali les kuda erat-erat, asal tubuhmu tak sampai terlempar ke
udara, niscaya jiwamu tak akan bahaya."
Lan See giok merasa kalau ia
telah khilaf, cepat-cepat perhatiannya dipusatkan jadi satu dan manggut-
manggut kearah Oh Li cu dengan perasaan terima kasih.
Sementara itu, kuda mereka
sedang lewat di muka pintu rumah, Lan See giok sudah melihat jelas pintu
ruangan bibi Wan nya.
Sekarang ia hanya bisa berdoa,
semoga Thian melindunginya dan jangan sampai mempertemukan dia dengan bibinya.
Ketika kuda mereka maju lebih
ke depan semua pemandangan dalam halaman rumah itu dapat terlihat jelas.
Tiba-tiba Lan See giok merasa
hatinya ber-getar keras, jantungnya berdebar begitu keras sehingga hampir saja
akan melompat ke luar dari mulutnya.
Ternyata enci Cian nya sedang
berdiri di dalam halaman dengan punggung meng-ha-dap ke luar, dalam keadaan
begini ia kuatir sekali Ciu Siau cian atau enci Cian nya akan menyapa dia.
Agaknya Oh Li cu juga telah
melihat gadis tersebut, menurut penaksirannya kalau di tinjau dari rambut
panjang dan perawakan tubuh gadis berbaju kuning itu. dia semesti-nya berwajah
cantik jelita bak bidadari dari kahyangan.
Api cemburu Oh Li cu seketika
berkobar ketika ia saksikan Lan See giok tiada henti nya melirik kearah gadis dalam
halaman tersebut, dengan rasa cemburu yang amat tebal ia lantas berseru:
"Adik giok, apakah kau
menganggap gadis yang berada di dalam halaman itu lebih can-tik dari pada
cici?"
Terkejut Lan See giok
mendengar per-ta-nyaan ini. dia bukan takut Oh Li cu menjadi gusar, tapi yang
jelas takut kalau jejak nya sampai ketahuan Ciu Siau cian.
Betul juga, ketika mendengar
ada suara pertanyaan bergema di situ, Ciu Siau cian segera berpaling.
Betapa rikuh dan
tersipu-sipunya Lan See giok waktu itu, andaikata sekitar sana ada lubang
niscaya ia telah menyembunyikan diri di sana, baru saat ini dia dapat
merasakan, bagaimanakah perasaan seseorang yang punya mulut namun tak dapat
mengutara-kan kesulitan sendiri.
Sementara itu Oh Li cu berdiri
ter-tegun lantaran kaget, setelah melihat paras cantik lawan, tiba-tiba saja
timbul perasaan rendah diri pada dirinya, dia memang tak berani per-caya kalau
dalam dusun nelayan terdapat gadis yang berparas begitu cantik.
Gadis berbaju kuning itu
berkulit putih, bermata bening. hidung mancung dengan bibir yang kecil mungil,
sekalipun dia hanya mengenakan pakaian yang amat sederhana, namun tidak
mengurangi sikap anggun dan daya tariknya.
Terutama sekali sepasang biji
matanya yang jeli sungguh menawan hati.
Agak berubah wajah Oh Li cu
setelah me-nyaksikan paras muka gadis berbaju itu, wajahnya menjadi murung dan
timbu1 perasaan yang amat tak sedap di hati.
Tanpa disadari akhirnya dia
berseru:
"Dia memang benar-benar
sangat cantik!"
"Aaah, dia kan gadis
dusun yanbg tak tahu adatj, biar cantik, gbagaimana mungkbin bisa dibandingkan
dengan cici yang berasal dari keluarga persilatan?" tukas Lan Se giok
tiba-tiba.
Setelah mendengar perkataan
tersebut, rasa rendah diri yang semula menyelimuti perasaan Oh Li cu segera
hilang lenyap tak berbekas. . .
Apalagi setelah melihat gadis
berbaju kuning itu segera tertunduk malu sehabis mendengar perkataan dari Lan
See giok tadi, tanpa terasa ia tertawa bangga.
Lan See giok tak berani
memandang wajah Ciu Siau cian, hatinya tak terlukiskan geli-sahnya, ia tak tahu
apakah enci Cian nya telah mendengar perkataan tersebut atau ti-dak.
Dalam keadaan begini, dia cuma
berharap selekasnya bisa meninggalkan tempat itu, apa mau dikata kuda tua
tersebut larinya lamban sekali.
Beberapa kali Lan See giok
mencoba untuk melarikan kudanya, sayang kuda tersebut kelewat tua, setelah lari
beberapa langkah kembali jalannya melamban.
Nampaknya gerak gerik dari
pemuda ter-se-but tak dapat membendung rasa geli Oh Li cu, tak tahan ia tertawa
cekikikan.
Merasa dirinya ditertawakan,
Lan See giok amat gusar, saking mendongkolnya tiba-tiba saja ia menendang perut
kuda itu keras-keras.
Ringkikan panjang yang amat
memekik-kan telinga segera berkumandang memecah kan keheningan, mungkin
lantaran kesakitan, tiba-tiba saja kuda tersebut kabur se-cepat cepatnya ke
muka.
Bisa dibayangkan betapa
kagetnya Lan See giok waktu itu, badannya menjadi gontai dan nyaris terjerembab
ke tanah, dengan gugup ia memegang tali les kuda nya kencang-ken-cang.
Oh Li cu terkejut juga melihat
kejadian ini, dengan gelisah ia menjerit:
"Aduh celaka, kudanya
kaget, kudanya kaget---"
Lan See giok semakin gugup,
dia tahu ba-haya sehingga tanpa sadar kakinya me-ngem-pit, perut kuda itu
semakin kencang, tangan-nya yang memegang tali les juga di perken-cang.
Mimpi pun Oh Li cu tak pernah
menyangka kalau kuda tua yang di hari-hari biasa sangat penurut dan jinak,
mendadak saja menjadi sewot dan gila menyaksikan kegugupan Lan See giok di atas
punggung kuda itu, ia men-jadib gelisahnya bukjan kepalang, sagmpai- sampai
teblapak tangannya menjadi basah oleh keringat dingin.
Dalam keadaan begini, dia
mencoba untuk melarikan kudanya untuk mengejar, apa mau dibilang kudanyapun
sudah kelewat tua. setelah lari beberapa langkah, diapun melamban kembali.
Dalam waktu singkat kuda sewot
yang di tunggangi Lan See giok sudah kabur jauh ke depan, yang tersisa hanya
debu dan pasir yang beterbangan menutupi pemandangan.
Hampir menangis Oh Li cu
menyaksikan kejadian itu, ia melihat jelas bagaimana Lan See giok menggenggam
kencang tali les ku-danya dengan wajah tegang.
"Adik Giok-adik
Giok...cepat bungkuk-kan tubuhmu di atas pelana, cepat bungkuk-kan tubuhmu di
atas pelana ...." jeritnya kemu-dian setengah menangis.
Lan See giok yang gugup
bercampur tegang, bisa mendengar jerit tangis Oh Li cu tersebut dengan jelas,
tanpa berpikir panjang ia segera menuruti nasehat tersebut dengan membungkukkan
badannya di atas pung-gung kuda.
Hutan demi hutan, pepohonan
demi pe-po-honan dilalui dengan cepat, Lan See giok ti-dak tahu berapa jauh ia
sudah dibawa kabur, peluh telah membasahi tubuhnya maupun tubuh sang kuda,
lambat laun lari si kuda sewotpun kian melamban.
Di depan sana terbentang kini
sebuah la-pangan rumput yang luas, karena kudapun sudah mulai melamban larinya,
Lan See giok mulai dapat mengingat ingat kembali pela-jaran yang diberikan Oh
Li cu kepada nya bila menjumpai bahaya.
Cepat ia menekan kuda itu
dengan telapak tangan kanannya, begitu tubuhnya melejit ke udara, ia
berjumpalitan beberapa kali kemu-dian melayang turun ke atas tanah berum-put.
Dengan lenyapnya daya beban
dari kuda tua itu, binatang tadipun menghentikan larinya.
Baru pertama kali Lan See giok
mencoba naik kuda, namun akibatnya harus men-jum-pai pengalaman yang
mendebarkan hati aki-batnya rasa tegang yang mencekam pe-rasaannya tidak juga
bisa ditenangkan.
Sambil duduk di tanah lapang
dengan na-pas terengah, ia memandang kuda putih di kejauhan sana sambil
menggelengkan kepalanya berulang kali, pikirnya:
"Menunggang kuda tua
bangkotan saja su-dah mendebarkan hati, apalagi kalau menunggang kuda liar,
bagarimana jadinya?"z
Mendadak satuw ingatan
melintras dalam benaknya, kejut dan gembira ia segera melompat bangun dan
mencak-mencak kegi-rangan, gumamnya seorang diri:
"Kalau sekarang tidak
kabur, harus ku-tunggu sampai kapan lagi? Yaa, inilah ke-sempatan paling baik
yang belum tentu bisa kujumpai lagi---.!
Berpikir begitu, cepat-cepat
dia me-lompat naik lagi ke punggung kuda tua dan mencoba untuk meneruskan
perjalanan sayang kuda tua itu sudah kelewat lelah, bagaimanapun ditarik,
di-betot, kuda tadi tetap berdiri tegak di tempat semula.
Lan See-giok gelisah sekali,
dia kuatir Oh Li cu keburu menyusul ke mari, karenanya terpaksa ia melompat
turun dari kuda tua itu dan melarikan diri menuju ke gundukan bukit kecil di
depan situ.
Tengah hari sudah lama lewat,
Lan See -giok mulai merasa perutnya sangat lapar, tapi sejauh mata memandang
hanya hutan belantara belaka, ke mana ia harus pergi untuk bersantap?
Untung saja tak lama kemudian
ia sudah tiba di sebuah pegunungan, di atas pegunu-ngan itu penuh pepohonan li
yang buahnya mulai memasak. tidak sungkan-sungkan lagi Lan See giok memetik
buah buahan tersebut dan melahapnya dengan rakus . . .
Entah berapa saat kemudian.
tiba-tiba ia mendengar suara derap langkah kuda yang amat ramai bergema secara
lamat-lamat dari arah tanggul telaga sana.
Lan See giok sangat terkejut,
ia memasang telinganya baik-baik dan mendengarkan de-ngan penuh perhatian,
betul juga derap kaki kuda itu sangat ramai.. tampaknya ada se-rombongan
manusia berkuda sedang melalui tempat tersebut.
Makin lama suara derap kaki
kuda itu se-makin nyaring dan mendekat, suaranya ba-gaikan gemuruh yang
menggelegar men-jelang datangnya hujan deras.
Tergerak hati Lan See giok ia
segera bang-kit berdiri dan lari ke depan sebuah pohon besar di puncak bukit.
Dari sana ia memanjat ke pucuk
pohon dan menyembunyikan diri di balik dedaunan yang lebat.
Dikejauhan sana, pada wilayah
antara tanggul dengan tanah padang berumput, ke-lihatan debu dan pasir
beterbangan ke ang-kasa, tampak dua tiga puluhan ekor kuda sedang dilarikan
mendekat dengan kecepatan luar biasa,
Mendadak---
Rombongan itu memecahkan diri
bagai-kan bunga api yang meletuk dengan berbentuk seperti kipas, rombongan kuda
tadi menye-barkan diri serta mengepung lapangan rum-put tersebut rapat-rapat.
Lan See giok sangat keheranan
setelah menyaksikan kejadian itu, dengan perasaan tidak mengerti dia celingukan
kian kemari, tapi selain padang rumput yang luas, pada hakekatnya tidak
dijumpai sesuatu apapun yang mencurigakan.
Ketika diamati dengan lebih
seksama, pe-muda kita segera gemetar karena kaget, ter-nyata penunggang kedua
tiga puluh ekor kuda itu adalah lelaki-lelaki kekar berpa-kaian ringkas warna
kuning, kalau diperhati-kan baju seragamnya, jelas mereka adalah anggota
benteng Wi-lim-poo.
Tapi ingatan lain membuat
pemuda ini menjadi ragu, seingatnya dalam kapal perang yang ditumpanginya hanya
memuat dua ekor kuda tua, lantas darimana datang-nya kuda sebanyak itu?
Walaupun Oh Li cu bisa kirim
orang untuk memberi laporan ke benteng, itu pun paling cepat malam nanti
pasukan mereka baru akan tiba di sini.
Sementara itu, ke dua tiga
puluh ekor kuda tadi sudah berdiri berjajar di sepanjang garis padang rumput.
Tiba-tiba Lan See giok jadi melongo,
ter-nyata orang yang berada di punggung kuda berwarna merah dimuka barisan
adalah Oh Li cu sendiri.
Tak terlukiskan rasa kaget
yang men-cekam perasaan Lan See giok sekarang, ia tidak berminat untuk
menyaksikan adegan terse-but lebih jauh, dengan cepat dia melompat turun dari
atas pohon, kemudian kabur ke dalamb hutan dengan mjengerahkan ilmug
meringankan tubbuh yang dimilikinya.
Sambil melarikan diri, dihati
kecilnya tiada hentinya merasa keheranan, ia benar--benar tak mengerti mengapa
pasukan dari Wi-lim-poo bisa secepat itu tiba di tempat kejadian.
Dalam beberapa saat saja hutan
lebat su-dah ditembusi, kini dihadapannya terbentang padang rumput yang sangat
luas.
Lan See giok semakin gelisah,
dia tahu berlarian di padang rumput berbahaya sekali, sebab tiada tempat untuk
menyembunyikan diri, ia harus secepatnya memasuki daerah yang lebat dengan
pepohonan yang luas.
Matanya yang jeli segera
mengamati seke-jap sekeliling tempat itu, pada jarak tiga em-pat li di sebelah
kanan, ia jumpai sebuah dusun, dan tempat tersebut merupakan daerah yang
terdekat dengan dirinya berada.
BAB 10
IA tak berani berayal lebih
jauh, dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya, ia segera
kabur menuju kearah dusun tersebut, badannya meluncur bagai-kan segulung asap
saja.
Ketika hampir mencapai di
depan dusun. pemuda itu berpaling sekejap. Diam-diam ia menjadi gembira sebab
pasukan dari Wi-lim-poo belum muncul dari hutan tadi.
Tapi setelah ia berpaling
kembali meman-dang ke depan, pemuda Itu segera menghen-tikan perjalanannya dan
berdiri tertegun, ternyata di depannya terbentang sebuah su-ngai besar yang
lebarnya mencapai sepuluh kaki lebih.
Dengan gelisah ia berpaling
kembali, un-tung pasukan dari Wi-lim-poo belum menyu-sul sampai di situ, ia
pikir masih punya waktu untuk mencapai perahu, maka dengan cepat ditelusurinya
sungai tersebut:
Tapi dengan cepat ia menjadi
putus asa, arus sungai kelewat deras, jangan lagi perahu, bayangannya saja
tidak dijumpai.
Dengan putus asa dia
menelusuri tepi su-ngai, makin ke depan sungai tersebut me-ni-kung semakin ke
dalam, daerah tikungan tadi merupakan sebuah tanah perbukitan.
Mendadak ia mendengar suara
ribngkikan kuda bejrkumandang datagng, Lan see giobk amat terperanjat dan cepat
berpaling, apa yang kemudian terlihat segera membuat keringat dingin
bercucuran.
Rupanya beberapa ekor kuda
sedang ber-larian menelusuri tepi sungai menuju kearah nya, sedang lelaki kekar
yang berada di punggung kuda dengan sorot matanya yang tajam bagaikan sembilu
mengawasi tepi sebe-rang sungai.
Tak terlukiskan rasa terkejut
Lan See giok, ia membalikkan badan dan segera melarikan diri.
Tapi belum berapa langkah,
dari seputar hutan di tanah gundukan depan muncul pula beberapa puluh ekor
kuda.
Lan See giok tahu keadaan
bakal runyam, ini berarti pantai sungai tak mungkin bisa dipakai untuk
menyembunyikan diri lagi, se-cepatnya ia kembali ke pesisir dan menye-lusuri
air, ia kabur ke sebelah kanan sungai tersebut.
Dalam pelarian tersebut,
tiba-tiba Lan see giok menemukan sebuah sampan kecil yang tergeletak di tepi
pesisir, pemuda itu bagai-kan menemukan bintang penolong saja segera berlarian
menuju kearah situ.
Tapi, ia segera kecewa setelah
dekat de-ngan perahu tadi, ternyata perahu yang nampak utuh dari luar, dasarnya
sudah jebol dan berantakan.
Pada saat itulah---
Dari depan situ bergema lagi
suara ringki-kan kuda. bersamaan itu juga dari ke jauhan situ berkumandang
suara derap kaki kuda yang amat keras.
Lan See giok benar-benar amat
gugup, bila ia sampai tersusul saat ini, jelas tiada alasan yang dapat
digunakan, satu satunya jalan hanya bertarung sampai titik darah penghabisan:
Menyaksikan arus sungai yang
begitu deras, ia teringat kembali ilmu berenang yang belum sempat dipelajari,
tak tahan lagi pikirnya setelah menghela napas:
"Betapa senangnya bila
ilmu berenang ku-kuasai, saat ini mungkin aku sudah tiba di dusun pantai
seberang--."
Belum habis ingatan tersebut
melintas le-wat, sekali lagi terdengar suara ringkikan panjang yang bergema
dari tempat tak jauh dari situ.
Lan See giok amrat terkejut,
taznpa disadari iaw meraba senjatar gurdi emas Cin kim kong luan jui yang
melilit, di pinggangnya.
Dalam pada itu suara ringkikan
kuda su-dah semakin mendekat, suara tersebut ber-gema pula dari kiri dan kanan
tubuhnya.
Sekarang Lan See giok berada
dalam posisi yang berbahaya sekali, tak terlukis-kan rasa gelisah hatinya, biar
dia tahu perahu bobrok itu tak mungkin bisa di-pakai untuk bersem-bunyi, namun
terdesak oleh keadaan mau tak mau dia menerobos juga ke dalam perahu bobrok
itu.
Pada saat Lan See giok baru
saja melompat naik ke atas perahu bobrok dan menyem-bunyikan diri, suara derap
kaki kuda yang amat gencar telah bergema datang dari sisi sebelah kanan.
Menyusul kemudian beberapa
ekor kuda berlarian mendekat bagaikan gemuruh angin puyuh.
Lan See giok menahan napas
sebisa mung-kin, hatinya berdebar keras, diam--diam ia bersyukur karena tempat
persembunyian nya tidak sampai ketahuan.
Suara bentakan-bentakan keras
bergema kemudian, agaknya pasukan yang datang dari sebelah kiri telah
berpapasan dengan pasukan yang telah datang dari sebelah kanan, kemudian
berhenti tak jauh dari ka-pal bobrok itu berada . . .
Mendadak terdengar seseorang
menegur dengan suara yang serak dan tua.
"Apakah kalian telah
melihat sau pocu?"
Diam-diam Lan See giok
terkesiap, ia me-ngenali suara tersebut sebagai suaranya Be Siong pak, manusia
yang mempunyai banyak akal muslihat.
"Lapor congkoan"
beberapa orang lelaki itu segera menjawab dengan hormat, "hamba sekalian
tidak melihatnya"
Diam-diam Lan See giok merasa
keheran-an juga, pikirnya.
"Aneh, mengapa Be Siong
pak bisa me-mimpin pasukan untuk melakukan pengejar-an.
Karena dorongan rasa ingin
tahunya, ia segera mengintip dari celah-celah perahu bo-brok itu.
Be Siong pak yang duduk di
punggung kuda tampak sedang berkerut kening dengan wajah resah, sorot matanya
yang tiada henti-nya dialihkan ke pantai seberang sungai tersebut.
Paras muka belasan lelaki
berbaju kuning pun kelihatan amat serius, mereka meme-gang tali les kuda masing-masing
dengan kencang, sementara peluh membasahi tubuh-tubuh mereka maupun tubuh
kuda--kuda tersebut...
Sementara itu dari arah pantai
ber-kuman-dang kembali suara derap kaki kuda yang sangat ramai.
Seorang lelaki yang berada di
sisi Be Siong pak segera berpaling dan memandang seke-jap ke arah pantai,
kemudian serunya de-ngan nada gelisah,
"Congkoan, nona telah
datang. . . !"
MENDENGAR Oh Li cu telah tiba
pula di tempat kejadian, Lan See giok merasakan hatinya semakin tegang.
Be Siong-pak segera mencemplak
kudanya dengan memimpin puluhan anak buahnya maju menyongsong ke tepi sungai.
Derap kaki kuda dan suara
ringkikan kuda yang ramai akhirnya berhenti di belakang perahu bobrok persis di
sisi pesisir sungai, debu dan pasir tampak beterbangan meme-nuhi angkasa.
Menyusul kemudian seekor kuda
merah yang tinggi besar muncul pula di tempat tersebut . . .
Lan See giok yang mengintip ke
luar kem-bali merasakan tubuhnya gemetar keras, ternyata orang yang duduk di
atas kuda merah yang tinggi besar itu tak lain adalah Oh Li cu.
Paras muka Oh Li cu telah
basah oleh air mata, matanya merah membengkak, rambut nya sedikit kusut dan
cahaya mukanya ham-pir pudar . . .
Dengan pandangan mata gelisah
bercam-pur cemas dia menengok sekejap ke arah pantai seberang, lalu kepada Be
Siong pak yang menyongsong kedatangannya, ia berta-nya cemas:
"Apakah kalian tidak
menemukannya?"
"Di kedua belah pesisir
sungai sama sekali tidak dijumpai bayangan tubuh dari sau pocu!" jawab Be
Siong pak.
Sekali lagi air mata 0h Li cu
bjatuh ber-cu-cujran, ia menutupgi muka sendiri bdan berkata sambil menangis
tersedu-sedu:
"Sebenarnya ia tak pandai
menunggang kuda, akulah yang memaksanya naik, apa mau dikata kuda tua itu
kaget!"
Lelaki kekar berkuda hitam
yang tampak nya komandan dari pasukan tersebut segera berkata dengan hormat:
"Kuda tua itu sudah
berhenti di tanah la-pang, sekujur badannya telah basah oleh keringat darah
rupanya sudah kehabisan tenaga, ini menunjukkan kalau binatang tersebut telah
berlari kencang sepanjang jalan, bila sau-pocu memang tak pandai menunggang
kuda, bisa jadi ia sudah terja-tuh ditengah jalan!"
Be Siong pak segera melototkan
matanya bulat-bulat, serunya dengan suara dalam:
"Tenaga dalam yang Sau
pocu miliki amat sempurna, bagaimana mungkin ia bisa ter-jatuh dari kuda?"
Tidak sampai Be Siong pak
menyelesaikan kata katanya, sambil menangis Oh Li cu su-dah mengomel:
"Semuanya ini kau lah
yang salah, menga-pa sewaktu aku datang ke tempatmu sema-lam -kau tidak
mengatakan kalau pocu sudah menurunkan perintah bahwa setiap orang dilarang ke
luar benteng, bila di dalam ben-teng ada urusan harus dirundingkan dulu dengan
Sau pocu---?"
Sambil berkata, dia menangis
tiada henti nya, seolah-olah seorang kanak-kanak yang kehilangan mainan
kesayangannya.
Dengan wajah menyesal dan
murung Be Siong pak menjawab:
"Yaa. memang hambalah
yang teledor serta tidak berpikir sempurna, tidak ku-sangka lo pocu sama sekali
tidak memberi kabar kepada nona serta sau pocu ketika hendak berangkat, coba
kalau hamba tidak mende-ngar suara tampik sorak pagi tadi sehingga segera
mengutus orang untuk mencari berita, mungkin hingga sekarang pun belum
kuketahui kalau nona dan Sau pocu telah berpesiar ke pantai telaga!"
"Apa pula gunanya kau
menyusul sampai di sini?" kembali Oh Li cu menangis ter-sedu sedu, coba
kalau kau bertindak cepat semab-lam dengan menjurunkan perintagh itu kese-mua
bpenjaga pintu benteng, hari ini kami tak akan bisa ke luar dan tak mungkin
akan ter-jadi peristiwa di luar dugaan seperti ini."
"Yaa, kesemuanya ini
memang kesalahan hamba" Be Siong pak mengangguk berulang kali, "hamba
memang pantas mati, hamba memang pantas mati, sekembalinya lo pocu nanti, hamba
memang tentu akan minta hu-kuman sendiri!"
Setelah berhenti sejenak,
serta me-mandang sekejap semua orang yang berada di seputar tempat itu, dengan
nada meng-hibur dia ber-kata lagi:
"Walaupun kita sudah
mengerahkan keku-atan sedemikian besarpun belum berhasil juga menemukan kembali
sau-pocu, itu ber-arti besar kemungkinannya sau-pocu telah diculik oleh si
kakek berjubah kuning tapi nona tak usah kuatir, sau pocu ber-bakat ba-gus dan
berwajah cerah, sekalipun mengha-dapi bencana, semua bencana akan berubah
menjadi rejeki, biar sekarang agak tersiksa dan menderita, toh akhirnya akan
kembali juga ke Wi-lim-poo dengan selamat---"
Dalam suasana gelisah
bercampur marah mana ada niat dari Oh Li cu untuk mende-ngarkan obrolannya,
dengan cepat ia menu-runkan kembali tangannya dari atas wajah, lalu sambil
melotot ke arah Be Siong pak bentaknya:
"Obrolan busuk. siapa
yang mau mende-ngarkan ucapanmu itu, Hmm! bencana bisa berubah jadi rejeki . .
. orangnya di mana sekarang?"
"Pokoknya bila tidak kau
temukan kembali Lan See giok hari ini, kau sendiri pun tak usah kembali ke
Wi-lim-poo"
Sambil berkata ia segera
mencemplak kembali kudanya dan melarikan binatang tersebut meninggalkan tempat
tersebut.
Be Siong pak termangu melihat
kemarahan nonanya, tanpa terasa teriaknya keras-keras:
"Nona. tunggu dulu, nona,
tunggu dulu hati-hati kalau sampai terjatuh dari kuda!"
Sembari berteriak, dengan
gugup dia mela-rikan pula kudanya untuk menyusul dari belakang.
Kawanan lelaki lainnya
serentak mem-ben-tak dan melarikan kuda masing-masing dalam waktu singkat kedua
tiga puluhan kuda tersebut telah berlalu semua mengikuti di belakang Oh Li cu.
Lan See giok menghembuskan
napas pan-jang, perasaan tegang yang sempat mencekam perasaannya kinripun
berkurang,z diam-diam ia mwelompat ke luarr dari perahu!
Sepanjang pesisir dijumpainya
penuh de-ngan bekas kaki kuda, melihat itu dia baru mengerti apa sebabnya Oh Li
cu tidak me-ngirim orang untuk memeriksa perahu bo-brok tersebut.
Agaknya perahu itu kelewat
bobrok dan mustahil bisa dipakai untuk bersembunyi, ditambah pula seputar
pesisir sudah penuh dengan bekas telapak kaki kuda dia mengira pasukan
sebelumnya telah melakukan peme-riksaan di sana. Apalagi Be Siong pak serta Oh
Li cu pada hakekatnya tidak me-ngetahui kalau dia berniat melarikan diri ....
Sedang maksud Oh Tin san suami
istri pergi tanpa pamit semalam, di mana dia hanya memberitahukan kepada Be
Siong-pak dan melarangnya memberitahukan kepada Oh Li cu. jelas hal ini untuk
mencegah putri-nya pergi ke luar, dan tentu saja takut kalau dia menggunakan
kesempatan tersebut mela-rikan diri.
Kalau didengar berdasarkan
pembicaraan Be Siong pak dengan Oh Li cu, ia yakin kedua orang tersebut masih
belum mengeta-hui asal usulnya yang sesungguhnya, diapun percaya Oh Tin san tak
bakal membi-carakan rahasia tentang kotak kecil tersebut dengan mereka.
Kelancaran yang diperolehnya
dalam usaha melarikan diri kali ini benar-benar berkem-bang di luar dugaan, apa
yang direncanakan semalam boleh dibilang semuanya tidak ber-guna, karena tak
satupun yang terpakai saat ini..
Berpikir sampai ke situ, tanpa
terasa ia menggelengkan kepalanya sambil tertawa, pikirnya:
"Yaa, siapa yang bisa
menduga perubahan yang bakal terjadi di dunia ini?"
la berjalan menuju ke pantai
depan sana dan mendongakkan kepalanya, udara amat bersih, di kejauhan sana
hanya kedengaran suara derap kaki kuda yang makin menjauh.
Dengan cepat pemuda itu
menelusuri pantai menuju ke arah timur laut, sebelum malam tiba dia harus sudah
tiba di rumah kediaman bibi Wan- nya.
Sementara itu matahari sudah
tenggelam di langit barat Lan See giok merasa lapar, da-haga, gelisah pula,
kalau dapat dia ingin se-cepatnya tiba di rumah kediaman bibinya.
Sesudah menembusi hutan dan
mendaki sebuah bukit kecil, dari kejauhan sana mulai nampak tanggul telaga Huan
yang oh.
Lan See giok percepat
langkahnya menuju ke muka . . .
Dari puncak bukit kecil, ia saksikan
di bawah lembah sana masih nampak puluhan ekor kuda mondar mandir melakukan
penca-rian, pada dermaga telaga tiga buah kapal perang berlabuh di situ.
Lan See giok tak berani
meneruskan per-jalanannya, terpaksa dia harus berhenti di situ dan menunggu
sampai kapal-kapal pe-rang dari Wi-lim-poo tersebut berlalu se-be-lum
meneruskan perjalanannya,
Senja lewat, malam haripun
tiba, suasana remang-remang telah mulai menyelimuti se-luruh angkasa.
Cahaya lentera mulai
berkelap-kelip di arah dusun nelayan sana.
Di atas ke tiga kapal perang
pun telah dikerek naik sembilan buah lentera besar berwarna merah.
Beberapa saat kemudian
ditengah kege-la-pan yang mulai mencekam seluruh angka-sa, lamat-lamat
kedengaran suara orang menghardik dan ringkikan kuda.
Lan See giok tahu, pihak
Wi-lim-poo sudah mulai menarik pasukannya kembali ke kapal, oleh sebab itu dia
pun membayangkan kem-bali keadaan Oh Li cu entah bagaimanakah perasaan
perempuan itu kini? la teringat pula cinta kasih serta perhatian dari Oh Li cu
ter-hadapnya selama berapa hari belakangan ini, terutama sekali usahanya untuk
mencarikan obat penawar racun baginya, tentu saja ia tak dapat berpeluk tangan
belaka terhadap cinta kasihnya itu. Ia terbayang pula bagaimana Oh Li cu
menangis karena sedih dan gelisah, kesemuanya ini membuat hatinya terharu,
betul ia tidak terlalu menyukainya, tapi per-hatian dan kasih sayangnya tak
mungkin bisa dilupakan dengan begitu saja.
Diam-diam ia bersumpah di
dalam hati, bila di kemudian hari Oh Li cu membutuh-kan sesuatu kepadanya, ia
bersedia menga-bulkan permintaan nya demi membayar se-mua ke-baikannya selama
ini.
Namun permintaan mana tidak
tebrmasuk memperisjtri dirinya, segbab di kemudianb hari dia ingin
mempersunting enci Ciannya seba-gai istri, sekalipun ia tidak tahu apakah enci
Cian mencintainya atau tidak...
Teringat kembali enci Ciannya,
Lan See giok segera mengerahkan kembali ilmu meringankan tubuhnya dan menuruni
bukit tersebut dengan cepat.
Ia dapat melihat ke sembilan
lentera merah diarah telaga sudah mulai bergerak pelan- pelan, agaknya kapal
perang dari Wi-lim-poo tersebut sudah mulai berangkat pulang.
Dengan perasaan lega Lan See
giok mem-percepat langkahnya berlarian ditengah ke-gelapan.
Berapa waktu kemudian, ia
telah tiba di belakang dusun kecil tempat kediaman bibi Wan nya, suasana dalam
dusun itu amat hening, cuma satu dua buah rumah saja yang masih bersinar.
Sampai di situ, mau tak mau
Lan See giok harus meningkatkan kewaspadaannya, lama sekali ia berdiri tegak
sambil memperhatikan keadaan di sekitar situ adakah sesuatu yang mencurigakan,
kemudian pelan-pelan ia baru menuju ke rumah kediaman bibi Wan nya
Waktu itu udara sangat gelap,
tiada rem-bulan, hanya beberapa biji bintang yang berkelipan, angin malam yang
berhembus lewat membawa suara deburan ombak dari tanggul telaga.
Dalam perjalanan, ia saksikan
cahaya len-tera dalam kamar enci Cian nya masih terang benderang, dia
keheranan, semalam ini me-ngapa enci Ciannya belum juga tidur Padahal biasanya
sudah naik ke atas pem-ba-ri-ngannya.
Dengan meningkatkan
kewaspadaannya dia maju terus ke depan, sementara telinga nya dipasang
lebar-lebar, namun betapa terkejutnya dia setelah mendengar suara isak tangis
dari enci Ciannya yang lamat-lamat bergema datang dari kamar tidurnya.
Dengan perasaan terkejut dia
melejit ke udara dan segera melayang masuk ke dalam pekarangan.
Baru saja kakinya menempel di
atas tanah----
Mendadak dari dalam kamar tak
bersinar di sisi kamar enci Cian nya bergema suara teguran yang lembut.
"Anak Giok kah yang
datang?"
Seperti anak yatim piatu yang
btiba-tiba mendejngar suara pangggilan ibunya, abir mata segera bercucuran
membasahi wajah Lan See giok, namun ia tetap menjaga kewaspadaan nya terhadap
keadaan lingkungan, setelah memanggil "bibi" dengan lirih, ia
menerjang masuk ke arah jendela.
Jendela belakang terbuka dan
wajah bibi-nya muncul dari balik tirai, dipandangnya Lan See giok dengan
terkejut lalu bisiknya:
"Ayo cepat masuk!"
Sambil berusaha keras
mengendalikan rasa pedih di dalam hatinya, Lan See giok melom-pat terus masuk
ke dalam ruangan, sedang bibi Wan melirik sekejap ke sekeliling hala-man dengan
seksama, kemudian cepat-cepat menutup kembali daun jendelanya.
"Anak Giok. apakah selama
beberapa hari ini kau tidak kembali ke kuburan kuno?"
Lan See giok segera menubruk
ke dalam pangkuan bibinya dan menangis tersedu, tapi hanya sebentar saja.
karena dengan cepat isak tangisnya berubah menjadi se-senggukan belaka
Tampaknya bibi Wan sudah
merasakan firasat jelek, dengan gelisah ia bertanya.
"Anak Giok, dimana ayahmu?"
Lama sekali Lan See giok
sesenggukan se-belum sahutnya amat pedih.
"Ayah telah dibunuh
orang!"
Untuk sesaat suasana dalam
ruangan menjadi hening, dengan jelas Lan See giok dapat mendengar debaran
jantung bibi Wan yang semakin bertambah kencang.
Cahaya api berkilat, ruangan
segera men-jadi terang benderang--
Ketika Lan See giok berpaling,
dilihatnya enci Cian sedang menyulut sebuah lentera dengan wajah gugup, di
bawah sinar lentera, terlihat jelas wajah Ciu Siau cian basah oleh air mata,
sepasang matanya merah mem-bengkak, agaknya paling tidak ia sudah menangis
setengah harian lamanya.
Ketika ia berpaling lagi ke
arah bibi Wan, tampak wajah bibinya pucat pias, keningnya berkerut dan dua
baris air mata mengalir ke luar membasahi bibirnya yang gemetar.
Dengan pandangan kosong ia
mengawasi sudut ruangan, agaknya sedang merenung-kan sesuatu . . .
Lan Seer giok tahu bibiz Wan
sedang amawt sedih saat itru, tanpa terasa serunya sambil menangis:
"Oooh . . bibi. bibi .
"
Tiada hentinya dia menggoyang-goyangkan
lengan bibi Wannya.
Bibi Wan menyeka air matanya
dengan ujung baju, kemudian berkata lagi agak se-senggukan:
"Aku telah memperingatkan
kepadanya, kalau toh barang tersebut tak berguna, lebih baik dikembalikan
secepatnya daripada me-mancing datangnya bibit bencana!"
Ketika berbicara, butiran air
mata kembali jatuh bercucuran membasahi wajahnya.
Mendengar perkataan tersebut,
Lan See giok segera menarik kesimpulan kalau hubungan antara bibi Wan dengan
ayahnya pasti luar biasa, Karena itu sekali lagi dia berseru:
" Oooh. . . bibi!"
"Anak Giok,
duduklah," kata bibi Wan sambil mengawasi wajah Lan See giok yang basah
oleh air mata, "beritahu kepada bibi, siapakah musuh besar kita?"
"Ketika anak Giok pulang
tempo hari ayah telah meninggal dunia. . ."
Secara ringkas dia pun
menceritakan kem-bali semua peristiwa yang disaksikan mau-pun dialaminya dalam
kuburan kuno tempo hari...
Bibi Wan serta enci Cian
masing-masing duduk di kursi bulat dan mendengarkan pe-nuturan tersebut dengan
seksama.
Cerita Lan See giok sangat
jelas, terutama mengenai dandanan, potongan wajah serta ciri khas dari lima
manusia cacad dari tiga telaga. . .
Sewaktu bercerita tentang si
kakek ber-jubah kuning, bersinar terang sepasang mata bibi Wan, tanpa terasa ia
berbisik lirih:
"Apakah diantara alis
mata kakek ber-jubah kuning itu terdapat sebuah tahi lalat merah?"
Lan See giok termenung
sebentar, kemu-dian menggeleng.
"Anak giok tidak
memperhatikan soal ini!"
Bibi Wan berkerut kening lalu
manggut-manggut, pertanda dia diminta melanjutkan ceritanya.
Sewaktu Lan See giok bercerita
tentang si manusia buas bertelinga tunggal Oh Tin san menangisi jenazah lalu
bagaimana mencuri pedang dan sebagainya, kembali bibi Wan menukas.
"Menilai seseorang jangan
berdasarkan wajah saja, tapi jangan pula dinilai dari si-kapnya dan caranya
berbicara manis, biar-pun kaum laknat pandai ber-bicara, toh akhirnya bakal
salah berbicara juga, asal kau bersedia memperhatikan dengan seksama, tidak
sulit untuk me-ngetahui baik tidaknya seseorang, seperti manusia bangsa Oh Tin
san, kenyataannya kau dapat dikibuli dengan begitu mudah.. hal ini membuktikan
kalau pikiranmu ter-sumbat waktu itu karena kese-dihan yang berlebihan"
(Bersambung ke Bagian 13)