Anak Berandalan Bagian 08

Baca Cersil Mandarin Online: Anak Berandalan Bagian 8
Anak Berandalan Bagian 8

Biar bagaimanapun, Sim Pek Kun tidak habis mengerti, bagaimana seorang yang dicap sebagai perampok besar begitu baik hati.

Siaw kongcu mendekati Siaw Cap It Long, orang yang terakhir ini meringis sakit, lukanya sangat berat.

“Eh, bagaimana keadaan lukamu ?” berkata Siaw kongcu mesra.

“Aku cinta kepadamu.”

“Dimisalkan kau betul-betul cinta, usirlah wanita tidak tahu diri itu.” berkata Siaw Cap It Long.

“Sangat memuakkan orang saja. Usirlah jauh-jauh.”

Siaw kongcu juga seorang wanita cerdik, mana mungkin tidak tahu tipu muslihat Siaw Cap It Long ? Mengusir Sim Pek Kun berarti membebaskan Sim Pek Kun.

Dengan suara yang sangat merdu sekali, Siaw kongcu berkata :

“Untuk menyenangkan dirimu, seharusnya aku membebaskan ratu rimba persilatan ini. Sayang sekali. Aku tidak mempunyai itu keberanian untuk melanggar perintahnya.”

“Melanggar perintah ?” bertanya Siaw Cap It Long.

“Ya.” berkata Siaw kongcu.

“Dia adalah orang yang dikehendaki oleh guruku.”

“Mati atau hidup, aku harus membawa tubuhnya, diserahkan kepada guruku. Inilah perintah. Aku tidak bisa membangkang tugas ini.”

“Kau hendak pergi ketempat gurumu lagi ?” bertanya Siaw Cap It Long.

Kini jelaslah sudah, siapa yang memegang peranan penting dibelakang layar, siapa yang mengkambing hitamkan Siaw Cap It Long, siapa yang menghancurkan kampung Sim Ke Cung ?

Tokoh terpenting adalah guru Siaw kongcu !

Siaw kongcu adalah ahli sandiwara, ia berkata perlahan :

“Aku mempunyai maksud untuk lari darinya, aku hendak mengasingkan diri disuatu tempat yang sunyi dan sepi, bersembunyi, kita saling cinta-mencintai, hidup sebagai sepasang suami istri, Tapi....”

Siaw kongcu menghela nafas dalam-dalam, bagai menyambung pembicaraannya :

“Biar bagaimanapun, aku tidak bisa melaksanakan rencana ini. Kau juga tahu, guruku itu adalah seorang tokoh silat serba bisa, kemanapun aku melarikan diri, tidak mungkin bisa mengelakkan pengejarannya.”

Siaw Cap It Long memaksakan diri untuk bertahan, betapapun sulit untuk dipertahankan, ia harus mengetahui,siapa tokoh silat yang begitu jahat.

“Siapakah orang yang menjadi gurumu itu ?” ia bertanya.

“Betulkah ia memiliki kepandaian begitu hebat ?”

“Mungkin tidak percaya untuk diceritakan.” berkata Siaw kongcu.

“Ilmunya luar biasa.”

“Aku juga bukan manusia biasa.” berkata Siaw Cap It Long.

“Kecuali guruku, kau adalah tokoh silat nomor satu.” berkata Siaw kongcu

“Kecerdikanmu tiada tara, tidak ada seorang yang bisa menandingimu. Kecuali guruku, hanya guruku seorang yang bisa memenangkanmu, untuk ilmu silatnya, selisih kalian jauh berbeda. Mungkin..........mungkin juga kau bisa bertahan sampai duapuluh jurus, atau tiga puluh jurus, tapi tidak mungkin bisa membikin perlawanan sampai empat puluh jurus. Didalam waktu empat puluh jurus ini, ia akan merengut jiwamu.”

Siaw Cap It Long menyengir,ia berkata :

“Kau terlalu memandang rendah kepada Siaw Cap It Long.”

“Dengar dahulu.” Siao kongcu memberi keterangan. “Semua tokoh silat di dalam rimba persilatan, belum ada yang bisa menahan sampai dua puluh jurus. Sudah kuperhitungkan kau bisa sanggup sampai tiga puluh jurus. Inilah suatu keagungan, suatu pujian untukmu.”

“Aku tidak percaya” berkata Siauw Cap-it-long.

“Percaya atau tidak percaya, terserah kepada dirimu.” berkata Siao kongcu. “Biar bagaimana, aku tidak bisa memberi tahu namaku. Semakin kau ingin mengetahui, semakin sulit kuberitahu. Sekarang aku merasa menang, aku telah berada di atas angin.”

SIAUW CAP-IT-LONG gagal mengorek keterangan. Ia mengatupkan sepasang matanya, tidak bicara.

Setiap menggerakkan bibir, luka didada segera merembas, nyeri sekali. Tapi biar bagaimana, tetap dipertahankan. Ia hendak mengetahui, siapa itu manusia jahat yang mengacau rimba persilatan?

Kecerdikan Siao-kongcu tiada tandingan. Kekejaman Siao-kongcu tiada tara, ilmu silat Siao-kongcu sulit menemukan pasangan.

Terbukti dari banyaknya jago2 silat ternama yang tunduk dibawah kekuasaannya.

Thio Bu Kek, Hay-leng-tju, empat pendekar Lu Tong Su Gie, dan sepasang pendekar kilat dan guntur dari Tay-ouw, semua adalah tokoh2 silat ternama untuk masa itu. Tapi tidak ada satu yang tidak tunduk dibawah kekuasaan Siao-kongcu. Mereka berhamba kepada Siao-kongcu, mereka telah menjalankan semua perintah Siao-kongcu, mereka adalah hamba-hamba Siao-kongcu.

Suatu bukti betapa hebat kekuasaan Siao-kongcu.

Lain bukti betapa hebat pula kekuasaan guru Siao-kongcu.

Siauw Cap-it-long membawakan sikapnya yang seperti orang tenang. Hatinya tidak tenang.

Didalam kamus pikiran Siauw Cap-it-long tidak mungkin menemukan istilah kata-kata sulit atau susah.

Kecuali berhadapan musuh yang seperti guru Siao-kongcu. Betul-betul ia tidak percaya. Mulai terpetalah kata-kata sulit, mulai terbayang kamus susah.

UDARA YANG BAIK

MENJELANG sore hari.

Diufuk sebelah barat memerah, matahari memancarkan cahayanya yang penghabisan, ia sudah siap turun tachta, akan digantikan keadaan gelap-gulita, maka sebagai pameran, ia mencahayakan apa yang biaa dipantulkannya.

Cahaya matahari yang kuning keemas-emasan menyinar bunga-bunga seruni.

Bunga seruni mempunyai aneka macam warna, yang kuning, yang putih, ada juga yang lila dan ada juga seruni hitam.

Mendapat keseimbangan warna matahari senja, bunga-bunga seruni itu semakin bersaing.

Apa lagi dimusim rontok, masa jayanya bunga seruni diantara bau harum semerbak, menyaksikan panorama alam adalah suatu pemandangan menarik.

Untuk seumur hidupnya, belum pernah Sim Pek Kun menyaksikan keindahan bunga seruni seperti apa yang sekarang ia saksikan.

Ia berada ditaman bunga seruni.

Dikeempat keliling tempat itu terbenteng oleh gunung-gunung, hawa dingin tertahan diluar, tidak bisa memasuki daerah taman bunga seruni, bau harum semerbak menyerang hidung, tertiup oleh angin sepoi2, kadang-kadang lenyap, dan kadang-kadang timbul kembali.

Hawa terlalu sejuk, pemandangan begitu cantik. Disana duduk tiga orang, mereka duduk diatas tikar yang sangat mahal. Orang pertama adalah Sim Pek Kun, didepannya adalah Siauw Cap-it-long dan Siao-kongcu.

Didepan mereka terdapat makanan dan minuman, terdapat juga kepiting rebus yang sangat besar.

Sim Pek Kun mengenakan pakaian yang sangat tipis, memperhatikan daerah tempat itu, dengan pikiran yang tidak habis mengerti.

Walau didalam keadaan taman yang begitu indah, Sim Pek Kun seperti hidup dalam neraka.

Biar bagaimana, Sim Pek Kun tidak mengetahui atas sikap yang diperlihatkan oleh Siao-kongcu.

Selama beberapa hari, Siao-kongcu memberi makan kepada mereka serba komplit, arak-arak yang harum, makanan-makanan yang lezat, pakaian yang indah, pemandangan yang menarik.

Walau demikian, rasa takutnya Sim Pek Kun semakin menghebat, teristimewa Sim Pek Kun mengkhawatirkan keselamatan Siauw Cap-it-long.

Betul-betul Siao-kongcu memperlakukan Sim Pek Kun seperti seorang ratu, segala kebutuhannya dicukupi, hidangan-hidangannya disertai dengan makanan yang sangat lezat, pakaiannya disediakan corak yang paling baru, penghidupannya dilayani dengan pemandangan yang indah.

Mungkinkah ia bisa puas mendapat pelayanan yang seperti itu?

Tidak!

Sim Pek Kun sedang melirik kearah Siauw Cap-it-long yang berada didepannya, laki-laki yang mempunyai sepasang mata menarik itu mengenakan pakaian tebal, menutup badannya rapat-rapat, ia mengantongi beberapa jumlah bunga seruni, bilamana angin yang terkembang datang, hawa seruni itu terkembang biak.

Tercampur pula hawa laki-laki.

“Oh, aku telah mencelakakannya,” demikian Sim Pek Kun mengeluh.

Sim Pek Kun dan Siauw Cap-it-long adalah orang tawanan Siao-kongcu. Tapi Siao-kongcu memperlakukan mereka secara istimewa. Selalu memberi makanan udang dan kepiting, menyediakan arak dan anggur.

“Aku mencelakakan dirinya!” lagi-lagi Sim Pek Kun mengeluh. Ia tidak bisa merasakan kelezatan makanan2 itu. Ia tidak bisa menikmati kemurnian anggur2 itu.

Seorang yang menderita luka, tidak bisa dibiarkan mendapat makanan yang mengandung racun, dan makanan yang mengandung isi racun adalah udang dan kepiting, dan cumi dan lain-lainnya.

Siao-kongcu menghidangkan makanan-makanan itu.

Apa akibatnya bagi Siauw Cap-it-long bilamana ia memakan semua barang yang ada mengandung unsur racun?

Siao kongcu bersandar di sebelah Siauw Cap-it-long, mungkin bersifat mencemburui Sim Pek Kun. Bentuk tubuhnya yang begitu kecil dan ramping, tampak sangat molek sekali. Wajahnya yang begitu cantik, tampak menarik.

Kadangkala, Sim Pek Kun mempunyai tanggapan lain, Siao kongcu itu adalah jodoh yang paling tepat bagi Siauw Cap-it-long.

Sayang sekali! Di balik kelemah-gemulaian Siao kongcu, terdapat juga kekejaman yang tidak terhingga. Di balik kebaikkan Siao kongcu, tersembunyi sesuatu yang lebih jahat.

Sim Pek Kun mengertek gigi, mendendam semua kebencian.

Siao kongcu memperhatikan gerak-gerik Sim Pek Kun. Tiba-tiba ia tertawa.

“Hei,” ia menowel Siauw Cap-it-long. “Coba lihat.” berkata Siao kongcu. “Ratu kita begiti jijik. Sudah kukatakan, lekas kau berganti pakaian. Kau sangat bandel tidak mau. Maunya bercumbu rayu terus menerus, sehingga orang menjadi lebih sakit hati lagi. Pakaian yang kotor akan memuakkan kawan-kawan. Bagaimana kau enak hati, mengawani makan dan minum tanpa ganti pakaian?”

Siauw Cap-it-long bungkam.

Hati Sim Pek Kun seperti ditusuk oleh jarum. Kata-kata Siao kongcu sangat menyakiti dirinya. Mungkinkah Siauw Cap-it-long ada seorang yang seperti itu? Mungkinkah Siauw Cap-it-long sudah tertarik kepada Siao kongcu?

Tidak mungkin. Mengapa aku harus menjadi cemburu? Demikian berpikir Sim Pek Kun. Apa hubungan Siauw Cap-it-long dengan aku? Tidak ada alasanku menjadi marah.

Sim Pek Kun menundukkan kepala, menekan gejolak hatinya, memperhatikan kemarahan itu.

Siao kongcu tertawa lagi, ia berkata:

“Lihat, pemandangan begini indah. Tepatlah mengatakan bahwa bunga-bunga itu adalah hak milik wanita. Karena setiap macam bunga itu memiliki sifat-sifat perangai wanita, terkecuali bunga seruni.”

Perlahan-lahan, Siao kongcu mengambil seekor kepiting di piring, mengambil batu dan mengetoknya batok kepiting itu, dengan capit yang terbuat dari perak, ia mengeluarkan isi kepiting, dengan sikapnya yang halus dikeluarkannya kepiting itu, disodorkan kedalam mulut Siaw Cap It Long. Baru menyambung pembicaraannya :

“Seruni tidak memiliki sifat wanita. Seruni lebih tepat memiliki sifat pria. Ia seperti seorang cendikiawan yang mengasingkan diri, juga tidak mau bertanding dan bersaing. Suatu tanda bahwa hidupnya menyendiri. Tidak bisa disamakan dengan lain-lain bunga. Ia tidak gentar kepada angin dimusim rontok, menandakan betapa kuatnya dia.”

Siaw kongcu menuang anggur dengan sikap yang mesra, dengan sikap yang kolokan, ia merangkul Siaw Cap It Long, memberi minum anggur, kepada sijago berandalan. Dengan suaranya yang begitu merdu, ia berkata :

“Kubawa kalian ketempat ini, dengan maksud membandingkan seruni dengan sifat-sifatmu. Karena kau juga cinta kepada bunga seruni.”

Siaw Cap It Long tidak pernah menolak barang antaran semua dimakan, ia memakan kepiting dan memakan anggur itu, dengan tertawa-tawa ia berkata "

“Aku suka seruni, lebih suka lagi dimakan, saringan bunga seruni bisa dimakan dicampur dengan kepiting atau ikan, ikan hidup, sesudah kita memakan bunga seruni yang bercampur dengan ikan itu, rasanya hawa semakin segar.”

Dengan wajahnya yang begitu cantik, Siaw kongcu tertawa.

Siaw Cap It Long berkata lagi :

“Orang lain menilai bunga seruni dengan sepasang mata, tapi aku Siaw Cap It Long menilai bunga seruni dengan lain cara, aku meresapi sarinya, aku menggunakan mulut meresapinya.”

“Kau selalu mengacau suasana.” berkata Siaw kongcu tertawa,tertawa lagi cekikikan, menyusupkan kepalanya kedalam pelukan Siaw Cap It Long.

“Tapi disinilah letak kepribadianmu. Apapun yang kau lakukan, pasti tidak sama dengan orang lain. Didalam dunia, mungkin ada dua orang Lie Pek. Mungkin dua orang Koan Kong. Tapi tidak mungkin ada dua orang Siaw Cap It Long. Laki-laki yang seperti kepribadianmu ini, bagaimana tidak bisa memikat hati gadis, gadis manakah yang tidak pernah terpikat olehmu ?”

Siaw kongcu menolehkan kepala, dengan matanya yang disipitkan kecil-kecil ia memandang Sim Pek Kun, berkata kepada sang ratu rimba persilatan :

“Betulkah keteranganku ?”

Dengan dingin Sim Pek Kun menutup pembicaraan :

“Aku sudah bukan gadis lagi, Tidak mempunyai minat kepada laki-laki. Aku tidak tahu.”

Jawaban Sim Pek Kun yang begitu ketus, seharusnya membuat Siao Kongcu menjadi marah, tetapi kenyataannya berbeda, Siao Kongcu memperlihatkan wajahnya yang cantik dan molek, bentuk tubuhnya yang ramping indah itu semakin menggiurkan. Tertawanya semakin girang.

“Seseorang wanita yang tidak bisa menyelami hati pria, bagaimana bisa mendapatkan cintanya.” ia berkata , “Akupun heran, Lian Seng Pek mempunyai seorang isteri yang telah dinobatkan menjadi ratu rimba dunia persilatan. Mengapa ia tidak mau mendampingi isteri cantik ? Mengapa ia berjalan seorang diri saja ? Kini aku mengerti apa alasannya? Aku mengerti, ternyata ...... "

Siao kongcu tidak lagi meneruskan pembicaraannya, ia menutup sampai disitu. Tapi sudah jelas dan mudah diterka itu adalah kata-kata yang terlalu merendahkan diri Sim Pek Kun, diartikan Sim Pek Kun tidak bisa menyelami hati seorang pria. Tidak bisa menilai seseorang pria, maka Lian Seng Pek tidak bisa terikat, Lian Seng Pek lebih suka berjalan seorang diri, daripada mendampingi Sim Pek Kun yang dikatakan tidak bisa meresapi hati seorang suami.

Sim Pek Kun sudah berusahan, ia hendak menekan semua kemarahannya, Walau demikian, dikicok pulang pergi, wajahnya menjadi matang biru, marah.

Siao Kongcu mengambil botol lain, botol arak yanh terbuat sangat bagus. Menuangkan isinya, berkata :

“Inilah arak istimewa yang ku sengaja datangkan dari negara Sie-liang. Mengapa hujin tidak mau minum arak ? Sayang! Seseorang yang belum pernah meminum arak itu berarti orang yang belum mengenal kehidupan, percuma saja hidup di dalam dunia.”

Hujin adalah istilah panggilan untuk seorang nyonya, disini panggilan untuk Sim Pek Kun.

Sim Pek Kun mengatupkan bibirnya rapat-rapat, sangat rapat sekali. Ia takut, befitu berbicara, maka mulutnya itu bisa nyerocos terus menerus, memaki Siao Kongcu.

“Marah ?” Siao kongcu menggeleotkan tubuhnya di atas Siauw Cap It long. Kini ia sengaja duduk diatas paha Siauw Cap It long, bicara kepada Sim Pek Kun.

Sim Pek Kun membuang muka. Dia mengucurkan airmata.

“Eh, marah semakin hebat ?” berkata Siao kongcu tertawa. Dia melirik kearah Siauw Cap It long, baru meneruskan pembicaraannya, “Kalau aku duduk di atas paha Lian Seng Pek, kau mempunyai itu hak marah, ..... tapi, dia ini .....” , ia melirik kearah Siauw Cap It long, “Dia adalah laki-laki yang belum kawin, Dia bukan suamimu, mengapa hujin marah kepadaku ? mengapa boleh cemburu ?”

Seluruh ujung-ujung jari Sim Pek Kun terasa menjadi dingin, ia berusaha menahan gejolak hatinya, tapi tidak tahan lagi, akhirnya ia menoleh, memandang ke arah Siauw Cap It long.

Wajah Siauw Cap It long juga sangat pucat pasi. Wajahnya berkeringat, sedang menanggung resiko derita yang hebat, kadang-kadang berdenyut. Sakitnya Siauw Cap It long bisa dirasakan juga.

Siauw Cap It long sedang tersiksa, Siauw Cap It long masih sangat menderita.

Siauw Cap It long tidak pernah mengutarakan segela derita hidupnya, Siauw Cap It long belum pernah mengatakan kesusahan hidupnya, semua kesusahan dan penderitaan itu di telan didalam hati.

Sim Pek Kun bisa menduga sesuatu, ia berkata kepada Siauw Cap It long:

“Bagaimana dengan keadaan lukamu itu ? Mungkinkah memberat ?”

Siauw Cap It long menggoyang kepala. ia memaksa tertawa.

“Tidak.” katanya. “Luka apa ? luka yang sepele itu sudah kulupakan.”

Sim Pek Kun tidak percaya. Secara tiba-tiba saja, iamenerjang kearah Siauw Cap It long, menerjang dengan semua kekuatan yang ada, menarik baju luar Siauw Cap It long, baju luar yang selalu mengerudungi tubuh laki-laki itu. Baju luar yang sudah agak lapuk, baju yang dikatakan oleh Siao Kongcu bisa memuakkan orang. Baju yang tidak mau diganti oleh bahan tipis.

Baju luar Siauw Cap It long tersingkap. Disana masih tampak luka bekas tusukan Sim Pek KUn, Luka yang membengkak dan membesar, bernanah.

“Aaaah, kau..... " Sim Pek Kun mengeluarkan jeritan melengking. Belum pernah ada seseorang yang mendengar jeritan yang begitu menyeramkan, begitu menyedihkan, begitu menyayat hati.

Daging didada Siauw Cap It long telah membengkak, matang biru, hampir saja dilanda belatungan. Luka-luka itu sudah mulai membusuk, dengan tersingkapnya baju luar tadi, bau busuk yang menyerang hidung, bang bengkak dan borok yang bernanah.

Sim Pek Kun semakin bersedih, inilah hasil perbuatannya. Karena tusukan pisaunya, maka Siaw Cap It Long terluka.

Mengertilah Sim Pek Kun, mengapa Siaw Cap It Long tidak mau menukar baju, ia hendak menutupi luka-luka ini.

Betapa kuatpun hati seseorang, manakala ia sudah menyaksikan luka Siaw Cap It Long, pasti orang itu menjadi lemas.

Sim Pek Kun tidak terkecuali, hampir ia jatuh roboh, hampir ia menjadi pingsan.

Sim Pek Kun bukan seorang tabib, tapi ia bisa merasakan bagaimana hebat penderitaan-penderitaan Siaw Cap It Long.

Selama beberapa hari ini, Siaw kongcu melolohnya dengan makanan-makanan yang berbau amis, ikan, kambing, kepiting, udang dan lain-lainnya. Tidak pernah Siaw Cap It Long menolak makanan-makanan itu. Adakah seseorang seperti ini ? mungkin seorang yang terbuat dari besi ?

Siaw Cap It Long belum pernah merintih. Tapi mudah dibayangkan, bagaimana penderitaan luka-lukanya. Mengapa ? Mengapa Siaw Cap It Long mau menuruti semua kemauan Siaw kongcu ?

Karena Siaw Cap it Long tidak bisa menolak, membantah akan berakibat yang lebih hebat. Menyerah dan menekan semua gangguan-gangguan.

Sim Pek Kun tidak bisa melepaskan rasa sakitnya, ia menangis menggerung-gerung, menangis seorang diri, menangis didepan Siaw kongcu dan Siaw Cap It Long.

“Eh.” Siaw kongcu menggoyang-goyangkan kepala.

“Mengapa menangis mendadak ? Sudah cukup dewasa. Tidak lama lagi, kau akan melahirkan seorang putra. Mengapa boleh sembarangan menangis ? Tidakkah takut ditertawakan orang ?”

Sim Pek Kun menggigit bibir, dari sana keluar darah, terlalu keras gigitan itu, melampiaskan hawa panas didalam hati, memelototkan mata kearah Siaw kongcu, dengan suara gemetaran ia membentak :

“Kau...kau kejam !”

Pada wajah Siaw kongcu yang sangat cantik jelita itu, tidak memperlihatkan kemarahan, semakin dicemoohkan ia semakin girang, katanya :

“Aku ?! Aku yang kejam ? He......he...Siapa yang lebih kejam ? Kau atau aku ? Siapa yang melukainya, siapa yang menggunakan pisau menusuk dadanya ?”

Seluruh badan Sim Pek Kun menjadi gemetaran, ia berteriak :

“Lihat ! Lukanya telah membengkak ! Lukanya telah bernanah, mengapa kau tidak membeli obat.”

Siaw kongcu menghela nafas nafas, ia berkata perlahan-lahan :

“Siaw Cap It Long lebih suka kepadamu. Selalu mementingkan dirimu. Demi menolong jiwamu, ia rela mengorbankan diri sendiri. Tapi apa yang sudah diperlihatkan pada diriku ? Ia mendampingiku seperti mendampingi seorang iblis, aku tahu, hatinya benci kepadaku. Bisa saja membunuh aku.”

Siaw kongcu menghela nafas panjang. Matanya didongakkan keatas, seolah-olah melamun, ia berguman :

“Dimisalkan, kebaikan yang dicurahkan kepadamu itu dicurahkan kepadaku atau sebagian kecil saja perhatian yang dicurahkan kepadaku, biar bagaimana, aku juga tidak berani mengganggunya. Tapi keadaan jauh berbeda....bukan aku yang melukainya, bukan ? Sesudah kau menusuk orang ini, mengapa melepas diri ? Mengapa mesti aku yang memberi obat ? Betul-betul aku tidak mengerti, kau lebih kejam dari aku.”

Dengan suara yang serak karena kehabisan tenaga Sim Pek Kun berkata :

“Jangan kau menyiksanya lagi. Jangan kau memberi minumnya. Jangan kau menuangkan arak dan anggur lagi. Jangan kau memberi kepiting dan udang itu lagi.”

“Eh, mengapa ? Kau cemburu ? Kau mengiri ?”

Sim Pek Kun kalah berdebat.

Siaw kongcu berkata lagi :

“Jangan kau salah paham. Lihat ! Pernah ia menolak pemberianku ? Inilah suatu bukti, aku lebih cinta darimu, Siaw Cap It Long suka meminum arak, maka aku menyediakan arak dan anggur-anggur, ia suka bunga seruni yang dicampur dengan kepiting hidup. Maka aku menyediakannya makanan itu. Ia tidak pernah menolak ucapanku ? Mengapa kau banyak usil ? Saksikanlah, adakah sseorang istri yang begitu baik hati, mau melayani kebutuhannya seperti apa yang kulakukan terhadap Siaw Cap It Long ?”

Sim Pek Kun menangis semakin sedih, menangis diluar dan menangis didalam.

“Kau juga seorang yang mengerti perkara, kau mengetahui bahwa daging-daging yang amis bisa mempercepat proses keracunan, bisa memperlambat sembuhnya luka. Orang-orang yang terluka, pantang memakan anggur, arak kepiting dan udang. Mengapa orang yang makan barang amis itu bisa membikin besar lukanya. Mengapa kau memberi kepadanya. Sengaja kau hendak mencelakakannya.”

“Aku tidak tahu, siapa yang mencelakakan Siaw Cap It Long ? Yang penting, memberi service yang istimewa. Aku memberi makanan yang paling enak. Aku memberi minuman yang paling enak....”

Bencinya Sim Pek Kun kepada Siaw kongcu begitu dalam. Dendamnya begitu dalam. Tapi ia tidak berdaya, ilmu kepandaian Siaw kongcu sepuluh kali lipat diatas dirinya, ia tidak bisa membikin perlawanan.

Siaw Cap It Long menoleh kearah Sim Pek Kun. Sepasang sinar mata yang sudah redup itu, tiba-tiba bercahaya kembali. Bersinar seperti lampu pelita, Siaw Cap It Long memperlihatkan senyumannya, senyuman bangga, senyuman puas ada perhatian dari si ratu rimba persilatan.

Tiba-tiba Siaw Cap It Long berguman :

“Seseorang akan hidup berarti manakala ia telah melewatkan waktu-waktunya itu selama tidak terganggu, apa artinya hidup dirinya ? Seseorang yang berumur pendek belum tentu lebih susah dari yang berumur panjang. Mengapa kita harus hidup lama, bilamana menderita terus menerus. Tapi kita lebih suka hidup berumur pendek, manakala hidup kita bangga, hidup dengan perasaan puas. Bilamana kita bisa bersenang-senang sesuatu hari, tentu saja lebih meresap dari bersusah-susah seratus hari.”

Siaw kongcu bertepuk tangan, ia menyetujui filsafat hidup Siaw Cap it Long, katanya :

“Tepat ! inilah jiwa seorang laki-laki. Siaw Cap It Long memang bukan manusia biasa, kalau saja karena menderita luka sedikit, harus takut meminum arak, orang itu bukan Siaw Cap It Long !”

Perlahan-lahan, dengan caranya yang sangat halus, Siaw kongcu mengusap-usap pipi Siaw Cap It Long, dengan sikap mesra dan suara penuh cinta kasih ia berkata "

“Selama kau masih hidup, aku akan memberi pelayanan yang secukupnya. Akan kuusahakan, kau hidup gembira. Apa yang kau kehendaki, kemana kau mau pergi, pasti ku taati.”

Siaw Cap It Long menoleh kearah Siaw kongcu, ia bertanya :

“Begitu baikkah kau kepadaku ?”

“Tentu saja baik. Aku lebih suka melihat kau gembira.” berkata Siaw kongcu.

“Maka aku harus baik-baik kepadamu.”

Siaw kongcu memandang kearah jauh, disana sinar senja yang kuning keemas-emasan menguasai jagat alam. Menyertai dan menghidupkan semua yang ada.

Dengan alunan suara yang enak, Siaw kongcu berkata "

“Seperti sinar senja ini yang menyayangi alamnya, aku manyayang dirimu, akan kujaga baik-baik. Tetap ia bercahaya. Tetap ia bersinar.”

Siaw kongcu mengoceh seorang diri. Tapi, cahaya senja itupun mulai meredup. Sinar yang kuning keemas-emasan menyurut, akhirnyapun lenyap. Jagad menjadi hitam, malampun tiba.

.................

Sim Pek Kun mengenang senja yang sudah hilang. Demikianlah konstruksi hidupnya, timbul dan tenggelam, senang sengsara silih berganti, ia menjadi sedih, tanpa terasa ia mengucurkan air mata.

Siaw Cap It Long memandang jauh kedepan, perlahan-lahan ia berguman :

“Aku bukan seorang penyair, juga bukan seorang cendikiawan ternama, hidupku sebagai pantulan manusia biasa. aku dibesarkan ditegalan luas, hidup dalam kumpulan binatang buas, didalam pandangan mataku, tempat yang paling indah adalah tempat yang terbentang luas, disana membujur rumput-rumput hijau, tidak ada orang, sepi dan sunyi. Tempat itu lebih indah dari istana.”

“Hebat !” Siaw kongcu memuji.

“Kau memang seorang yang hebat. Segala-galanya memang hebat, kau memiliki ciri-ciri yang khas tersendiri. Ciri-ciri yang tidak pernah dimiliki oleh orang kedua.”

Siaw Cap It Long tertawa. Ia berkata :

“Karena aku memiliki sifat-sifat yang aneh, maka kau tertarik ?”

Siaw kongcu tengkurap didalam dada Siaw Cap It Long, dengan suara yang merdu ia berkata :

“Ya. Aku semakin tertarik, apapun permintaanmu akan kuturuti.”

“Aku hendak melihat bagaimana kampung halamanku.” berkata Siaw Cap It Long.

“Disana terdapat hawa-hawa yang beracun. Terdapat cairan yang mengandung zat jahat. Ingin sekali aku bisa melihat kembali tempat yang melahirkanku. sesudah itu matipun rela.”

“Baik.” berkata Siaw kongcu.

“aku bersedia mengiringi kemauanmu. Aku akan antar kau ditempat itu, dalam keadaan segar bugar. Tentu saja tidak mengharapkan kau mati.”

“Aku lebih suka mati disana.” berkata Siauw Tjap-it-long.

“Jangan berkata seperti itu.” berkata Siao kongcu.

DIANTARA ADIL DAN TIDAK ADIL

Siao Kongcu mengajak Siauw Tjap-it-long ketempat daerah yang melahirkan jago berandalan itu. Turut serta juga ratu rimba persilatan Sim Pek Kun.

Mereka lewati daerah2 yang lembab. Mengarungi pegunungan2 yang tinggi, menjelajahi lembah2 yang curam.

Kabut2 putih yang mengandung racun bertebaran disekitar daerah itu.

Siauw Tjap-it-long bisa memilih jalan yang tepat, ia memberi petunjuk kepada Siao kongcu.

Dengan hati yang kejam, keras seperti baja, Siauw Tjap-it-long mempertahankan diri dari godaan2 hidup. Ia selalu siap untuk menderita, entah permainan apapun yang hendak ditonjolkan oleh Siao kongcu?

Luka bekas tusukan Sim Pek Kun pada dada Siauw Tjap-it-long membengkak. Makanan2 yang bisa menambah menjalarnya luka tidak merapat. Ikan yang amis, udang dan kepiting yang beracun, arak yang membakar tubuh, semua itu diloloh kedalam mulut Siauw Tjap-it-long.

Disini letak kekejaman Siao kongcu.

Mungkin, tidak seorang yang bisa percaya, tanpa menyaksikan dengan mata sendiri bagaimana Siao kongcu menyiksa Siauw Tjap-it-long.

Wajahnya begitu cantik, tubuhnya begitu mungil menarik, suaranya lembut gemulai. Mengapa memiliki hati yang seperti hati ular?

Mungkinkah ujian dari yang maha kuasa?

Dimana letaknya keadilan dan kebenaran?

Banyak terdengar cerita, konon, orang yang menanam bibit kebaikan, akan menerima hasilnya, ia akan mendapatkan kebaikan pula.

Dikatakan, seseorang yang melakukan kejahatan2, dia akan mendapat balasan yang setimpal. Ia tersiksa dan sengsara selama hidupnya.

Adakah dalih dan rumus yang seperti itu?

Pikiran Sim Pek Kun sedang berkecamuk dengan pepatah2 orang tua itu. Pikirannya kusut dan kalut.

Dimisalkan adanya keadilan dan kebenaran abadi, mengapa Siao kongcu yang begitu buruk perangai, mendapat jaminan kuat? Mengapa ia tersiksa?

Terbayang sepasang sinar mata Siauw Tjap-it-long. Dengan kebaikan2 hati si jago berandalan, mengapa tidak diberkahi Tuhan?

Didepan mereka menjulang tebing tinggi, tapi tidak mungkin bisa dicapai, sebuah jurang curam yang menjadi pemisah diantara kedua jarak itu, penuh ditumbuhi dengan semak2 belukar.

Siauw Tjap-it-long dituntun oleh Siao kongcu. Mereka hendak menyaksikan, tempat tinggal Siauw Tjap-it-long.

Dibelakang Siauw Tjap-it-long dan Siao kongcu, turut serta juga Sim Pek Kun.

Siauw Tjap-it-long bersiul-siul kecil, melagukan irama yang tidak dikenal. Didalam keadaan yang seperti ini, lagu itu sangat sedih, lagu seorang yang kesepian.

Wajah yang diperlihatkan oleh Siauw Tjap-it-long adalah satu wajah yang sangat tenang. Ia tidak mengutarakan gundah gulana hatinya.

Siao-kongcu mendampingi laki2 berdada bidang itu, tanpa bisa ditahan lagi, ia mengajukan pertanyaan:

“Betul2 kau dilahirkan didaerah ini?”

“Ng....” Siauw Tjap-it-long menganggukkan kepala.

Siao-kongcu menghela napas ia berkata

“Seseorang yang dibesarkan didaerah yang seperti ini, sungguh tidak mudah sekali.”

Bibir Siauw Tjap-it-long memperlihatkan senyuman sinis, ia berkata tenang:

“Tentu saja. Hidup seseorang lebih susah daripada mati.”

Sepasang mata Siao kongcu berputar jeli, ia berkata:

“Setiap orang tidak bisa mengelakkan kematian. Cepat atau lambat, maut itu akan mencengkerammu. Tapi, kematian itu tidak semudah apa yang kau bayangkan.”

Siauw Tjap-it-long berkata:

“Untuk mereka yang segan menghadapi kematian, tentu saja tidak mudah mencapai kematian.”

Siao kongcu mendelikkan mata, tertawa kearah Siauw Tjap-it-long dan berkata:

“Mungkinkah kau sudah merencanakan kematian? Aku tidak percaya.”

Siauw Tjap-it-long tertawa tawar, ia berkata:

“Sejujurnya, belum pernah terbayang oleh tentang adanya kematian itu. Tidak tahu apa yang dikerjakan sesudah mati. Aku tidak pernah berpikir, haruskah aku? Atau bertahan hidup?”

“Dimisalkan kematian itu adalah suatu pekerjaan mudah.” berkata Siao kongcu “Mengapa kau tidak pergi mati? Mengapa aku bisa bertahan hidup sampai sekarang?”

Siauw Tjap-it-long bungkam. Tidak bicara.

Siao kongcu tertawa, berkata:

“Kau masih hendak menuju ketempat tebing depan itu. Kurasa sudah tidak mungkin! Tidak ada jalan, untuk kita maju kedepan.”

Siauw Tjap-it-long bungkam beberapa saat, akhirnya iapun berkata:

“Ya, sudah tidak ada jalan. Mengapa aku masih hendak bertahan terus menerus?”

“Apa yang sedang kau pikirkan?” tanya Siao kongcu.

“Aku hendak pergi sekarang ini, tanpa bantuanmu. Aku hendak mengenang kejadian2 semasa kecil.”

“Kau masih kuat berdiri?” bertanya Siao kongcu.

Memang! Didalam keadaan yang seperti itu. Tidak memungkinkan Siauw Tjap-it-long berdiri tanpa mendapat bantuan dan dukungan. Pertanyaan Siao kongcu masuk diakal.

Siauw Tjap-it-long memperhatikan kearah sigadis binal itu, ia berkata:

“Bisakah kau melepaskan pegangan agar aku dapat mencobanya?”

Sepasang sinar mata yang seperti bola berputar, akhirnya Siao kongcu melepaskan Siauw Tjap-it-long. Dengan tertawa ia berkata:

“Hati2, ya! Jangan sampai terjatuh. Bilamana kau jatuh kedasar jurang, mana mungkin bisa mencari jenasahmu. Siauw Tjap-it-long yang hidup sudah kusaksikan. Tapi Siauw Tjap-it-long yang mati belum kutemukan. Entah bagaimana keadaan Siauw Tjap-it-long yang sudah tidak berjiwa, akupun hendah melihatnya.”

Siauw Tjap-it-long meringis. Ia harus bertahan sedapat mungkin. Menggunakan sisa kekuatannya yang masih ada, berdiri dipinggiran tebing itu. Menoleh kearah Siao kongcu, ia berkata:

“Orang yang mati lebih dengar kata daripada orang yang hidup. Tapi, orang mati tidak patut dipandang, bilamana kau hendak melihat kematianku, kukira kau bisa menjadi benci.”

Sesudah itu, Siauw Tjap-it-long melirik kearah Sim Pek Kun. Tertawa sebentar, sesudah itu ia menerjunkan diri kedalam jurang yang curam....

Tanah yang dipijak oleh Sim Pek Kun terasa seperti amblas, sukmanya hampir terbang dari tempat semula.

Seperti apa yang sudah diduga, kedatangan Siauw Tjap-it-long ketempat ini dengan maksud tujuan untuk bunuh diri.

“Akulah yang menjadi gara2..... aku yang menjadi biang keladi kematiannya......”

Kata2 ini selalu mendengung ditelinga Sim Pek Kun. Mendengung terus menerus.

Dia sudah mati, apa guna aku mempertahankan hidupku?..... Bagiamana pertanggungan jawabku kepadanya? Berapa lama aku bisa bertahan hidup? Ancaman apa yang akan dilakukan oleh Siao kongcu? Siapa pula yang bisa memberikan pertolongan?...... Oh....”

Terbayang kembali kekejaman Siao kongcu, maka semua tidak terpikirkan lagi, dengan semua sisa tenaga yang ada Sim Pek Kun lari kedepan turut terjun kedalam jurang. ...........

Yang heran, sesaat sebelum kematian Sim Pek Kun, ia tidak pernah memikirkan Lian Seng Pek.

Sim Pek Kun tidak pernah membayangkan bagaimana reaksi sang suami atas kematiannya.

Mungkinkah Lian Seng Pek bersedih?

Siao Kongcu berdiri ditepian tebing, menengok dan memandang kearah bawah. Disana hanya kabut2 dan uap yang mengandung hawa beracun, tidak ada perobahan.

Lama sekali, Siao kongcu mempertahankan posisi yang seperti itu, entah apa yang diharapnya?

Suatu saat, Siao kongcu memungut batu yang besar, dicemplungkannya kedepan.

Beberapa lama kemudian, baru terdengar reaksi dari lemparan itu...... plung.........

Siao kongcu memperlihatkan senyumnya yang puas, ia berjalan balik, meninggalkan tempat itu.

Dengan langkah ringan, Siao kongcu meninggalkan tepi tebing itu.

Ia tidak mau tahu, apa akibatnya dari terjunnya Siauw Tjap-it-long? Ia tidak mau tahu, apa akibat dari bunuh diri Sim Pek Kun.

Sudah tentu, harapan hidup Siauw Tjap-it-long dan Sim Pek Kun kecil sekali. Kematian Siauw Tjap-it-long dan kematian Sim Pek Kun tidak perlu diragukan.

Siao kongcu kembali untuk memberi laporan kepada pemimpinnya.

Betulkah Siauw Tjap-it-long jatuh mati? Betulkah Sim Pek Kun mati?

Tidak!

Berada diluar dugaan Siao kongcu, Siauw Tjap-it-long dan Sim Pek Kun tidak mati.

Juga berada diluar dugaan Sim Pek Kun, betul2 ia tidak mati.

Kematian bukanlah pekerjaan yang mudah. Dikala Sim Pek Kun terjun kedasar jurang yang dalam, ia mengharapkan kematian. Tapi kenyataan tidak seperti apa yang diharapkan. Jatuhnya Sim Pek Kun hanya mengakibatkan sedikit goncangan, ia jatuh pingsan. Tapi tidak terasa sekali.

Sim Pek Kun sadar dari pingsannya, terasa keadaan yang sangat ngeri. Dasar dari jurang curam tadi adalah cairan berlumpur, tidak ada pohon, tidak ada rumput. Tidak ada kehidupan ditempat itu. Yang ada hanyalah udara lembar yang basah. Bau air yang membusuk dan kabut putih yang mengandung sedikit hawa racun.

Siauw Tjap-it-long dan Sim Pek Kun jatuh didalam telaga rawa2 tenggelam.

Jatuhnya keair rawa2 itu, sangat sakit. Tapi Sim Pek Kun tidak merasakan, karena ia terjatuh didalam keadaan pingsan. Kini rasa sakit dan nyeri itu mulai terasa. Ia siuman.

Sim Pek Kun terendam di air rawa2. Yang aneh, ia tidak tenggelam. Rawa yang menadah jatuhnya Sim Pek Kun mempunyai cairan yang berwarna pekat, berat jenisnya lebih besar, seperti cairan sagu, cukup menahan bobot berat orang.

Karena adanya cairan air yang seperti inilah menyebabkan Sim Pek Kun tidak mati, walau jatuh dari tebing tinggi.

Sim Pek Kun mulai mengenang kejadian lama, ia agak heran. Ia tidak merasakan sesuatu yang aneh, air rawa2 yang berbau busuk ini tidak menyebabkan sesuatu, bahkan kebalikan dari pada itu, bau ini menambah nyamannya, luka dikaki sudah tidak terasa sakit.

Air rawa2 yang berada didasar jurang curam mengandung unsur pengobatan, bisa meringankan rasa sakit orang.

Teringat akan cerita Siauw Tjap-it-long yang pernah menjumpai seekor srigala, srigala yang menderita luka itu merendam diair kubangan rawa, terakhir srigala yang menderita luka itu bisa menyembuhkan lukannya.

Mungkinkan kubangan rawa2 yang kini merendam dirinya? Yang dimaksudkan oleh Siauw Tjap-it-long?

Siauw Tjap-it-long adalah jago ajaib luar biasa. Tentu ia bisa menemukan jalan keluar dari segala kesulitan. Termasuk dari cengkeraman tangan maut Siao kongcu.

Karena itulah Siauw Tjap-it-long menerjunkan diri dari tebing curam. Sangkanya hendak bunuh diri. Kenyataannya bukan bunuh diri, hendak menolong diri.

Gejolak hati Sim Pek Kun berlompat girang.

Teringat kembali cerita Siauw Tjap-it-long, seekor hewan bisa menjaga diri sendir tanpa bantuan pengobatan orang, bagaimana ia harus menghadapi kesulitan2 dari penghidupan yang fana.

Mungkinkah kubangan yang telah menyembuhkan luka srigala itu?

Kekuatan hidup Sim Pek Kun bangkit kembali. Ia percaya, segala langkah2 kebijaksanaan Siauw Tjap-it-long adalah langkah2 yang paling tepat.

Dan ia percaya betul bahwa Siauw Tjap-it-long masih berada disekitar dirinya.

Ia hendak berteriak, mencari Siauw Tjap-it-long. Tapi takut dapat didengar oleh Siao kongcu diatas tebing, karena itu ia menahan gejolak hatinya.

Mulut Sim Pek Kun tidak berani berteriak tapi hatinya tetap berteriak:

“Siauw Tjap-it-long! Dimana kau berada?”

Mendampingi Siauw Tjap-it-long seperti mendampingi sendi kehidupan. Tanpa adanya Siauw Tjap-it-long, dunia ini dirasakan menjadi kosong.

Sim Pek Kun mengayun langkah, hendak mengangkat kaki mencabut dari rendaman air kubangan itu.

Ia yakin dan percaya, Siauw Tjap-it-long tidak jauh dari tempatnya, ia harus menemukan sang jago berandalan.

Sim Pek Kun mengangkat kaki, hendak mencabut diri dari tenggelaman air itu.

Keanehan terjadi. Manakala ia membiarkan dirinya terapung. Tubuhnya tidak tenggelam. Tapi manakala ia mengangkat kaki hendak menaiki cairan lengket itu, terasa daya tarik kebawah, semakin ia berontak kekuatan daya tarik itu semakin keras, kini tubuhnya mulai tenggelam. Napasnya menjadi sesak. Seolah2 ada tangan ajaib yang berada didasar rawa2, menyeret kearah dasar air telaga itu.

Sedikit lagi, hidungnyapun akan kelelap.

Kini tidak mungkin Sim Pek Kun berani bergerak.

Sim Pek Kun tidak tahu, berapa lama lagi ia bisa bertahan didalam keadaan yang seperti itu.

Sebelum menerjunkan diri kedasar telaga rawa2 lengket, tekad Sim Pek Kun untuk bunuh diri begitu nekad. Tapi kekuatan hidup seseorang timbul kembali manakala mempunyai kesempatan hidup.

Sim Pek Kun masih belum menjumpai Siauw Tjap-it-long. Kerena itulah, ia ingin sekali bisa bertemu dengan sijago berandalan.

Didalam hati Sim Pek Kun berjanji, mulai saat ini, ia akan betul2 mentaati semua perintah Siauw Tjap-it-long. Ia akan mempercayai segala langkah kebijaksanaan Siauw Tjap-it-long.

Sim Pek Kun mempasrahkan diri.

Kiranya, Sim Pek Kun akan segera mati dalam telaga rawa2 lengket itu.

Tiba2, sebuah bayangan terpeta didepannya, itulah bayangan Lian Seng Pek.

Baru sekarang, Sim Pek Kun terkenang kepada bayangan suaminya.

Tapi Sim Pek Kun yakin, ada atau tidak hadirnya dirinya, tidak menjadi soal bagi Lian Seng Pek. Lian Seng Pek mempunyai kedudukan yang baik, mempunyai ilmu kepandaian yang tinggi, mempunyai kawan2 yang berjumlah besar.

Kehilangan seorang istri yang cantik tidak begitu berarti, bagi Lian Seng Pek, hadir atau tidak hadirnya itu sama saja.

Tiba2, Sim Pek Kun teringat kepada putra didalam perut.

Setiap wanita menjadi bahagia, manakala ia yakin bahwa didalam perutnya telah berisi satu kehidupan baru.

Tapi ia tidak mempunyai kesempatan untuk melahirkan bayi Lian Seng Pek.

Sim Pek kun memeramkan matanya.

Sim Pek Kun mempunyai harapan hidup. Tapi harapan hidup itu terlalu tipis. Demikianlah ia menyerahkan diri.

Kekuatan dasar telaga rawa-rawa yang menyedot Sim Pek Kun masih menurunkan beban berat sang ratu rimba persilatan, tapi sikap Sim pek Kun begitu tenang, ia memeramkan mata.

Disaat inilah, telinga Sim Pek Kun bisa menangkap satu suara yang tidak terlalu asing. Itulah suara Siauw Cap-it-long.

“Jangan menggunakan tenaga ! Sekali-kali, jangan menggunakan tenaga ! Untuk berontak dari keadaan semula....”

Suara Siauw Cap-it-long berkumandang dekat sekali !

Rasa girangnya Sim Pek Kun tidak terkekang, ia hendak menengok memandang kearah datangnya suara itu.

Terdengar suara Siauw Cap-it-long berkumandang lagi :

“Jangan sekali-kali mencoba untuk menengok kebelakang, jangan sekali-kali kau hendak berusaha mencari dimana aku berada. Lepaskan semua kekuatan. Legakan semua hati, ringankan bobot berat badan, lepaskan semua kekuatan yang hendak berontak. Tenaga-tenaga jangan dikerahkan, boleh diumpamakan, kini kau sedang berbaring disebuah sofa yang amat empuk...... berada dalam pangkuan ibumu, tidak ada kesusahan, tidak ada kegaduhan. Apapun jangan dipikirkan, tidak ada orang yang bisa mengganggu keamananmu. Maka, kau akan bebas dari penyedotan air telaga rawa-rawa lengket.”

Sepatah demi sepatah, kata-kata Siauw Cap-it-long mengiang ditelinganya. Suaranya itu mempunyai arti yang baru, suara yang memiliki kekuatan ajaib.

Sim Pek Kun yakin dan percaya kepada kata-kata Siauw Cap-it-long.

Sim Pek Kun melepaskan keinginannya yang hendak bebas dari cengkeraman telaga rawa-rawa lengket itu. Ia mengendorkan semua otot-ototnya. Menurunkan kembali kaki yang hendak diangkat itu.

Tapi ia belum bisa mengosongkan pikirannya.

Maka, kekuatan ajaib yang menyedot kedasar telaga bebas kembali.

Sim Pek Kun mengeluarkan elahan napas lega, ia bertanya perlahan :

“Bisakah aku bicara ?”

“Semua kata-kata harus diucapkan perlahan-lahan.” berkata Siauw Cap-it-long. “Boleh saja. Suara yang perlahanpun sudah cukup untuk memasuki pendengaran telingaku.”

Suara Siauw Cap-it-long semakin mendekat.

Sim Pek Kun berkata :

“Aku bisa mengendorkan semua ototku. Aku bisa saja tidak menggerakkan tenaga. Tapi aku tidak bisa mengosongkan isi pikiran.”

“Apa yang sedang kau pikirkan?” bertanya Siauw Cap-it-long.

“Sedang kupikir,” berkata Sim Pek Kun “Dimisalkan kita bergerak, maka kekuatan penyedot dari dasar telaga ini menyeret kita kebawah. Bagaimana kita bisa meninggalkan rawa-rawa lengket ini ? Mungkinkah kau sudah mempunyai cara untuk membebaskan diri ?”

“Tentu saja !” berkata Siauw Cap-it-long.

“Hatiku makin lega.” berkata Sim Pek Kun. “Ternyata kau mempunyai cara untuk membebaskan diri.”

Tiba-tiba, didepan Sim Pek Kun ada sepasang cahaya yang bersinar terang. Itulah sepasang mata Siauw Cap-it-long !.

Rasa girangnya Sim Pek Kun tidak kepalang, gejolak hatinya seperti hendak lompat keluar. Tiba-tiba wajahnya menjadi merah.

Tidak disangka, jarak mereka begitu dekat. Hampir saja bersampokan muka.

Sim Pek Kun juga bisa merasakan penyedotan hawa napas Siauw Cap-it-long.

Siauw Cap-it-long mengelakkan pandangan mata Sim Pek Kun, ia berkata perlahan :

“Sudah kau bisa melihat kearahku ?”

“Ya.”

“Itulah. Jarak kita sebetulnya jauh. Kini sudah mulai mendekat.”

“Bagaimana kau bergerak datang ?” bertanya Sim Pek Kun.

“Aku mempasrahkan diri. Aku tidak bergerak.” berkata Siauw Cap-it-long. “Setiap gerakan akan membawa akibat buruk, bisa menenggelamkan kita.”

“Kau tidak bergerak, bagaimana caranya bisa tiba kesini.”

“Perhatikan baik-baik, air telaga ini seperti sangat tenang. Kenyataan tidak. Ia tetap bergerak, hanya saja pergerakkan itu perlahan sekali, sehingga tidak terasa oleh kita.”

“Karena aku diam tidak bergerak..... maka bisa mengikuti arus air telaga terapung kemari. Bilamana berontak, tentu tenggelam. Kau bergerak, maka tetap ditempat asalnya, semakin lama semakin tenggelam, maka kau tidak terbawa oleh arus air telaga, kau diam disini.”

Sim Pek Kun diam tidak bicara, hatinya bersyukur, karena keadaan yang tak diduga itu. Pikirnya :

“Bilamana aku juga tidak berontak-rontak, membiarkan diriku terapung ketempat jauh, bagaimana aku bisa bertemu denganmu ?”

Siauw Cap-it-long berkata lagi :

“Tidak jauh didepan kita, adalah tepian, tenangkan hatimu, kosongkan pikiranmu, maka kita akan segera tiba ditempat itu. Kita bisa tertolong. Bertahanlah, bersabarlah. Aku percaya, kau bisa mentaati ini.”

Mau tidak mau, Siauw Cap-it-long menoleh kembali, menatap sepasang sinar mata Sim Pek Kun.

Sim Pek Kun juga sedang memperhatikan pemuda itu, keempat sinar mata bertumbukan.

Sim Pek Kun diam tidak bicara. Hatinya yang memberi wakil.

“Demi kepentinganmu, akan kuusahakan.”

Suara hati nurani bisa terpantulkan dari cahaya sinar mata, inilah panca indera ketujuh. Suara yang tidak bisa ditangkap oleh pendengaran telinga.

Orang yang bisa menangkap suara dari sinar mata ini tidak terlalu banyak.

Tapi Siauw Cap-it-long bisa menangkap suara hati nurani Sim Pek Kun.

__

TEMPAT TINGGAL SIAUW CAP-IT-LONG

Sim Pek Kun tidak bicara, tapi sepasang sinar matanya bisa menyuarakan apa yang terpikir olehnya.

Siauw Cap-it-long bisa mengerti akan perpaduan hati nurani itu.

Mereka mengosongkan pikiran, mereka menelentangkan badan.

Arus air telaga rawa-rawa tenggelam menghanyutkan kedua orang itu ketepi.

Arus air telaga rawa-rawa tenggelam sangat perlahan, pergerakannya lambat sekali. Tak lama kemudian, Sim Pek Kun menghela napas dan berkata :

“Hingga saat ini, aku bisa menyesal akan perbuatanku yang salah.”

“Apa ?”

“Aku merasa bersalah.”

“Apa yang salah ?” bertanya Siauw Cap-it-long.

“Aku pernah mengutuk Tuhan, kukatakan Yang Berkuasa itu sering-sering melakukan ketidak adilan. Ternyata pikiranku itu salah. Biar bagaimana Tuhan itu tetap adil.”

Dengan perlahan-lahan Siauw Cap-it-long berkata :

“Tuhan itu tetap adil.”

Sesudah itu, mereka tidak bercakap-cakap lagi. Perlahan demi perlahan, tubuh kedua orang terapung. Kedua kaki dan kedua tangan terentang dipermukaan air, seperti dua bangkai celentang. Pergerakkan air rawa-rawa tenggelam terlalu perlahan, senti demi senti menghanyutkan mereka.

Siauw Cap-it-long memeramkan mata.

Sim Pek Kun juga mengatupkan sepasang matanya, hatinya masih berpikir terus, ia masih meragukan sesuatu, bisakah pergerakan air yang sangat lambat itu menepikan mereka ?

Tapi Sim Pek Kun lebih yakin kepada Siauw Cap-it-long, karena itu ia mempasrahkan diri kepada si jago berandalan.

Ia paling suka dengan sepasang sinar mata Siauw Cap-it-long yang bisa memantulkan cahaya kemurnian.

Ia tidak berani menantang adanya sinar mata itu, sinar mata itu seperti senjata yang sangat tajam, menembus hatinya, menembus badannya, sepasang sinar mata itu yang membuat hatinya berdebar-debar keras.

Seharusnya Siauw Cap-it-long mengajaknya bicara. Tapi Siauw Cap-it-long tidak bicara.

Mengapa ?

Akhirnya Sim Pek Kun tidak tahan, ia memanggil perlahan :

“Hei.....”

Siauw Cap-it-long membuka kembali sepasang sinar mata yang dikatupkan itu, memandang kearah sang ratu rimba persilatan ia bertanya :

“Ada apa ?”

“Kukira.....” Sim Pek Kun menghentikan suaranya. Tidak ada bahan pembicaraan yang lebih menarik.

Mereka saling pandang beberapa waktu. Lama sekali.

“Tahukah kau, siapa yang menolong kita berdua ?” bertanya Siauw Cap-it-long.

“Tentu saja.....kau.” berkata Sim Pek Kun.

Daya tangkap telinga Sim Pek Kun juga merasakan perobahan deburan hati Siauw Cap-it-long yang bertambah keras, napasnya Siauw Cap-it-long juga agak memburu.

Hati Sim Pek Kun menjadi bingung.

Siauw Cap-it-long menggoyangkan kepala, ia berkata :

“Bukan.”

Sim Pek Kun membelalakkan mata, ia bertanya :

“Siapa ?”

“Srigala itu.” berkata Siauw Cap-it-long

Siauw Cap-it-long mengenangkan kejadian lama, sepasang matanya dialihkan mengarah ketempat yang sangat jauh, Ia teringat bagaimana srigala itu merendam diri ditelaga ini, bagaimana sang binatang menyembuhkan luka-lukanya.

“Aku pernah mendengar cerita tentang srigala itu.” berkata Sim Pek Kun.

“Srigala tersebutlah yang menolong kita. Dari pelajaran itu, aku mengetahui didalam air telaga ini terdapat unsur-unsur pengobatan yang luar biasa. Bagaimana aku harus bertahan dari penderitaan, air telaga ini bisa menyembuhkan sesuatu luka-luka.”

“Sangat kebetulan.” berkata Sim Pek Kun.

“Bukan kebetulan.” berkata Siauw Cap-it-long. “Seseorang yang hendak mempertahankan hidupnya harus kuat, karena ia harus kuat bertahan dari segala gangguan, kuat bertahan dari segala kesepian, dapat kuat bertahan dari segala hinaan-hinaan, serta kuat bertahan dari segala macam penderitaan.”

“Pelajaran-pelajaran yang kau tarik dari cerita srigala sangat menarik.” berkata Sim Pek Kun.

“Tentu saja. Sebagai seorang manusia kita memiliki otak yang lebih cerdik dari srigala, srigala itu bisa menyembuhkan luka-lukanya didalam air yang mengandung unsur obat-obatan, mungkinkah kita tidak bisa ?”

“Kau menaruh salut kepada srigala ?”

“Srigala adalah binatang yang menyendiri, kadang-kadang mereka juga bisa berkumpul mencari mangsa, tapi sesudah itu, masing-masing memisahkan diri pula, hidupnya tidak kompak. Lebih suka hidup menyendiri, daripada hidup berdua atau hidup berkelompok.”

“Kau juga hendak hidup menyendiri ?”

“Hidup menyendiri bisa bebas dari segala gangguan-gangguan yang ada. Manusia itu memiliki sifat ketamakan, sifat kejahatan, itulah letak kesalahan.”

“Disini letak perbedaan antara manusia dan srigala ?”

Siauw Cap-it-long berkata :

“Orang benci kepada srigala. Dikatakan srigala itu mempunyai hati yang kejam, kukatakan tidak ! Manusialah yang lebih kejam dari srigala, boleh dibayangkan, seekor srigala hanya menikah satu kali. Hidup satu suami dan satu isteri. Mereka tidak berpisah. Dimisalkan srigala jantan mati, sang betina akan menyendiri terus menerus, sehingga mengakhiri hidupnya. Ia tidak akan kawin lagi, demikian juga keadaan srigala jantan, bilamana sang betina mati, sang jantan juga tidak akan mencari isteri muda.”

Sesudah itu, dengan suara sinis, Siauw Cap-it-long melanjutkan ceritanya :

“Adakah sifat-sifat srigala ini dimiliki oleh manusia ? Oh...... tidak !.... berapakah laki-laki yang setia kepada isterinya ? Bini muda, gula-gula, dan wanita piaraan, tersebar diseluruh peloksok. Anggapnya ia seorang besar, bisa memiliki isteri yang banyak. Sebaliknya, memang bisa dihitung dengan jari wanita yang menyeleweng dari suaminya, tapi dimisalkan, seseorang yang kehilangan suami, bisakah ia hidup menyendiri ? kukira tidak. Dengan alasan untuk menyambung hidup, ia kawin lagi.”

Sim Pek Kun tidak membuka mulut.

Siauw Cap-it-long berkata lagi :

“Hidup yang tekad adalah hidup suami isteri, bilamana hidup suami isteri tidak mempunyai kesepakatan, hidup suami isteri penuh dengan curiga mencurigai. Apalagi hidup dengan lain-lainnya, bagaimana manusia dengan manusia ? Manusia lebih jahat dari srigala.”

Lama sekali Sim Pek Kun terdiam, kini ia membuka mulut.

“Kadangkala, srigala juga bisa memakan seekor srigala lainnya.”

“Bagaimana keadaannya manusia ? Mungkinkah tidak memakan kawan ?” berkata Siauw Cap-it-long. “Seekor srigala akan menggerogoti daging kawannya, bilamana didalam keadaan terpaksa, bilamana daya tahan laparnya tidak tertahan lagi. Tapi manusia tidak mempunyai sifat itu, manusia bisa makan kawan didalam keadaan perut kenyang, walaupun perut kenyang, walaupun ia hidup didalam serba kecukupan, bisa saja ia memakan kawan.”

Sim Pek Kun menghela napas; ia berkata :

“Kau lebih banyak mengenal sifat-sifat srigala, daripada mengenal sifat-sifat manusia.”

“Oh ? ! .......”

“Tidak semua manusia itu jahat.” berkata Sim Pek Kun. “Dan kebetulan, manusia manusia yang kau jumpai adalah manusia jahat. Mungkin sedikit sekali manusia baik yang berada didekatmu.”

Giliran Siauw Cap-it-long menutup mulutnya rapat-rapat.

“Hei,” berkata Sim Pek Kun. “Jangan ceritakan tentang srigala saja. Mengapa kau tidak ceritakan tentang keadaanmu ?”

“Aku ?!” berkata Siauw Cap-it-long. “Tidak ada sesuatu yang bisa kuceritakan.” “Ya.” berkata Sim Pek Kun. “Bagaimana keadaan kedua orang tuamu ?”

“Mereka tidak ada.” jawab Siauw Cap-it-long.

“Dimana saudara atau saudarimu ?”

“Mati ! Semua sudah mati !”

Sepasang sinar mata Siauw Cap-it-long berubah menjadi liar, seperti hendak memancarkan api.

Hati Sim Pek Kun seperti ditusuk. Terbayang kembali, kedua orang tua Siauw Cap-it-long, tentunya telah dibunuh oleh manusia-manusia tamak dan celaka.

Percakapan itu terhenti sampai disitu.

Tanpa mereka sadari air dari telaga rawa-rawa tenggelam bergerak, walau perlahan, gerakan itu tetap ada. Akhirnya menepikan kedua manusia yang mereka ombang-ambingkan.

Siauw Cap-it-long merambat naik ketepi, menyeret Sim Pek Kun dan membantu nyonya tersebut meninggalkan telaga rawa-rawa tenggelam.

Sim Pek Kun mendongakkan kepala, mereka berada di dasar tebing yang curam. Disekeliling mereka terkurung oleh gunung-gunung tinggi, hawa disitu tidak menjadi dingin, hangat.

Tempat ini adalah suatu tempat yang sangat indah, tidak terjadi perobahan hawa. Tidak ada angin puyuh, keadaan tenang , sunyi dan sepi.

Lembah gelap ! Demikianlah Siauw Cap-it-long menamakan tempat itu !

Sebuah air terjun yang kecil mengalirkan airnya, air itu jatuh berpercik disekitar mereka.

Melupakan keadaannya yang basah kuyup, melupakan pakaiannya yang kotor dan dekil, melupakan lumpur-lumpur dari air telaga yang berbau busuk itu, Sim Pek Kun terpesona atas panorama yang disaksikan.

Lama sekali Sim Pek Kun mematung ditempat itu, lupa kepada dirinya sendiri.

“Tidak kusangka !” akhirnya ia mengeluarkan keluhan panjang. “Masih ada satu tempat yang seindah ini.”

“Sebelumnya juga tidak kusangka.” berkata Siauw Cap-it-long. “Bilamana tidak ada bantuannya.......”

“Lagi-lagi cerita srigala.” potong Sim Pek Kun.

Mereka menuju kesebuah bangunan. bangunan itu terbuat dari kayu, bangunan yang terletak dicabang-cabang pohon besar.

“Oh!” Sim Pek Kun agak terperanjat “Ada orang yang tinggal disini ?”

Siauw Cap-it-long menggelengkan kepala, ia berkata :

“Kecuali kita berdua. Tidak ada orang ketiga yang bisa berada disini.”

Sim Pek kun menoleh kearah Siauw Cap-it-long, menatap wajah pemuda itu, seolah-olah hendak bertanya, bagaimana ada bangunan didalam lembah curam ?

“Itulah tempat tinggalku.” Siauw Cap-it-long memberi keterangan. “Semua orang memiliki rumah, bukan ? Dan aku juga memiliki rumah. itulah rumahku.”

“Rumahmu ?”

“Pertama kali aku mendatangi tempat ini, aku mulai tertarik.” berkata Siauw Cap-it-long. “Hidupku sebatang kara, maka aku membangun rumah disini.”

Sim Pek Kun bisa menerima keadaan yang seperti itu, ia menganggukkan kepala berkata :

“Disini ada buah dan sayur-sayur. Disini ada air terjun yang jernih. Inilah tempat yang sangat indah. Aku yakin dan percaya, kau suka tempat ini.”

“Karena aku tidak bisa hidup bersama-sama manusia.” berkata Siauw Cap-it-long tertawa nyengir.

Sim Pek Kun mulai bisa menduga, apa yang menyebabkan hidup kesepian Siauw Cap-it-long.

“Kukira, manusia itu tidak memiliki sifat srigala, srigala juga tidak memiliki sifat manusia.” berkata Siauw Cap-it-long.

“Karena kau percaya, bahwa kau adalah seorang manusia.” berkata Sim Pek Kun mesra. “Sesuatu yang dilakukan oleh srigala, tidak mungkin diturut olehmu, bukan ?”

Siauw Cap-it-long bergumam :

“Betul. Manusia tetap seorang manusia. Srigala tetap binatang srigala. Tidak mungkin srigala mengikuti kehidupan manusia, tidak mungkin manusia mengikuti jejak binatang.”

Siauw Cap-it-long mengajak Sim Pek Kun ketempat tinggalnya, ia siap naik ke bangunan itu :

“Sudah lama rumah ini kutinggalkan. Tentu sangat kotor, tebal debu mungkin sampai beberapa dim, biar kusapu dulu. Eh... kau sudah bisa berjalan seorang diri ?”

Sim Pek Kun menggerak-gerakkan kakinya, luka yang diderita telah sembuh. Ia berkata :

“Tuhan itu adil. Adil kepada srigala, dan adil pula kepada manusia. Air dari telaga rawa-rawa tenggelam bisa menyembuhkan luka srigala, tentu saja bisa menyembuhkan luka manusia pula. Lukaku telah sembuh.”

“Baik.” berkata Siauw Cap-it-long. “Bilamana kau hendak membersihkan diri, pergilah ke air terjun itu. Kau bisa membersihkan pakaian dan membersihkan diri. Aku hendak menyapu rumah, kutunggu kedatanganmu di dalam.”

Hanya kata-kata ini sudah cukup menggirangkan Sim Pek Kun.

Suara Siauw Cap-it-long adalah suara yang penuh daya tarik, tidak pernah ada satu yang tidak memikat.

Sesudah meninggalkan pesan tadi, Siauw Cap-it-long meninggalkan Sim Pek Kun. Ia lompat kedalam rumahnya, dengan maksud membersihkan segala apa yang sudah terbengkalai itu.

Sim Pek Kun menuju kearah air terjun, sebagai seorang wanita yang sangat menjaga kebersihan, keadaannya sudah tidak sepadan lagi, ia harus bisa membawa diri, membersihkan baju dan mencuci pakaian, menghilangkan lumpur-lumpur dan bau air telaga rawa-rawa tenggelam yang berbau busuk itu.

Diantara rumah bangunan dan air terjun terdapat jarak yang cukup jauh. Disana Sim Pek Kun bebas membuka pakaian. Menyembunyikan diri dibalik semak-semak ia membersihkan badan.

Waktu Sim Pek Kun sering terbuang percuma. Hidupnya dengan Lian Seng Pek sering dilanda kekosongan.

Dimasa kecilnya, sering Sim Pek Kun duduk didepan pintu. Menunggu kembalinya sepasang orang tua yang suka mengembara.

Kedua orang tua Sim Pek Kun adalah pendekar-pendekar pengembara yang sering melakukan kebajikan dan kebaikan-kebaikan.

Sim Pek Kun duduk didepan pintu rumah, menantikan kedatangan kedua orang itu, tentu saja menanti-nanti didalam waktu yang sangat lama.

Seringkali, Sim Pek Kun harus menunggu sampai berhari-hari, sehingga berbulan-bulan.

Sim Pek Kun sering menantikan kehadiran sang ayah yang ramah, sang ibu yang manja. Merangkulkan dirinya didalam rangkulan kedua orang tua itu, menerima cinta kasihnya. Demikian tunggu menunggu, hingga terjadinya suatu hari, mulai saat itu ia tidak akan menunggu lagi, tidak mungkin ayah dan ibunya bisa ditunggu.

Hari itu Sim Pek Kun menunggu, yang datang bukanlah kedua orang tuanya, tapi kedua peti mati yang muncul didepannya

Kedua orang tua Sim Pek Kun yang di tunggu-tunggu itu tidak tiba, yang kunjung datang adalah dua buah peti mati, dua buah peti mati yang berisi orang tuanya.

Mulai saat itu, Sim Pek Kun tidak pernah menunggu kembalinya kedua orang tua.

Ia mulai dewasa, tapi tetap menunggu. Kini yang ditunggu bukan kedua orang tuanya lagi, yang ditunggu adalah sang nenek.

Setiap pagi, ia harus mengucapkan selamat pagi kepada si nenek, sesudah itu balik ke kamarnya.

Demikian makan siang, menunggu sehingga datangnya siang, sesudah makan siang ia bisa bertemu dengan neneknya. Menunggu lagi sehingga datangnya malam, maka ia bisa bertemu dengan nenek itu.

Nah itulah waktunya yang paling gembira.

Sim Pek Kun duduk dipangkuan sang nenek, mendengar cerita-cerita yang aneh-aneh. Sang nenek bercerita kepadanya, bagaimana rahasianya jarum keluarga Sim yang hebat !

Waktu malampun datang, tapi tidak terlalu lama, ia harus tidur, ia harus menunggu sehingga keesokan malamnya.

Semakin lama, Sim Pek Kun mulai mengerti. Ia dewasa.

Apa pula yang harus ditunggu sesudah Sim Pek Kun dewasa ?

Seperti gadis-gadis lainnya, wanita itu hendak melewati jenjang perkawinan. Nasib Sim Pek Kun lebih baik, ia mendapat seorang calon suami yang dijunjung orang. Sim Pek Kun kawin dengan Lian Seng Pek.

Lian Seng Pek adalah seorang pemuda gagah, seorang laki-laki ideal, memiliki harta kekayaan yang cukup banyak, ia dilengkapi dengan ilmu kepandaian silat yang tinggi. Kedudukannyapun baik.

Siapa yang menjadi istri Lian Seng Pek, tentu merasa bahagia dan bangga.

Karena itulah, Sim Pek Kun bangga dan bahagia. Sifatnya menunggu itu tetap ada, kini sering Sim Pek Kun menunggu tepian jendela menunggu kembalinya sang suami yang penuh kependekaran itu.

Kadang-kadang, Lian Seng Pek pergi mengembara, seperti menunggu kembalinya kedua orang tua dahulu. Sim Pek Kun menunggu kembalinya sang suami, sekali tunggu, berhari-hari atau berbulan-bulan.

Bayangan kelam terpeta kembali, Sim Pek Kun takut bisa menunggu kembalinya sebuah peti mati.

Ia paling takut akan munculnya peti mati.

Harapan itu tidak diharapkan, tapi bayangan itu tetap ada.

Kekuatan menunggu Sim Pek Kun telah terlatih lama, bagaimana rasanya menunggu orang ? Sim Pek Kun lebih bisa meresapi hari-hari itu. Menunggu bukanlah suatu pekerjaan yang mudah dilaksanakan.

Menunggu membutuhkan ketekunan yang luar biasa.

Sim Pek Kun sudah biasa menunggu, karena itulah, ia paling takut mendapat tugas menunggu. Hanya, kedudukan Sim Pek Kun telah ditakdirkan untuk menunggu. Dari menunggu sang jenazah kedua orang tua, menunggu cerita sang nenek dimalam hari, menunggu hadirnya sang suami dan lain-lainnya.

Sekarang, Sim Pek Kun masih membersihkan diri. Pakaiannya yang basah sudah dikeringkan. Apalagi yang ditunggu olehnya ? Hari ini ia bebas tunggu. Giliran orang yang menunggu dirinya.

Sim Pek Kun bisa maklum, Siauw Cap-it-long sedang menunggu kembalinya.

Berapa lama ia mandi dan berganti pakaian, tidak perlu ragu. Tetap akan ditunggu oleh Siauw Cap-it-long.

Kapan saja ia kembali, kapan saja ia mendatangi rumah didasar lembah gelap itu, disana akan muncul seorang, disana akan ditunggu seorang. Siauw Cap-it-long tidak akan absen.

Tempat tinggal Siauw Cap-it-long bukanlah tempat yang mewah, Siauw Cap-it-long tidak mempunyai hubungan keluarga, tapi kesannya kepada Siauw Cap-it-long sangat baik. Terasa keadaan yang aman dan tenteram.

Sim Pek Kun tidak lagi menunggu. Tapi ditunggu.

Sim Pek Kun hidup didalam dasar lembah gelap itu bukan sebatang kara, masih ada orang yang mengawaninya. Inilah yang menjadikan ia aman dan tenteram.

PERTEMUAN DAN PERPISAHAN

KECUALI sebuah tapang, didalam rumah itu tidak ada lain perabot, sangat kosong. Setiap kali Siauw Cap-it-long kembali, bisa saja ia merasakan hal itu.

Semakin lama, hatinya semakin kalut.

Tentu saja Siauw Cap-it-long bisa menambah perabot rumah tangga, agar keadaan itu lebih meriah. Tapi ia tidak melakukan hal tersebut. Karena ia tahu, penuhnya perabot rumah tangga bukan berarti penuh isi hatinya, kekosongan hati tanpa menjadikan keserasian yang cocok. Isi rumah yang kosong agak sesuai dengan isi hatinya yang hampa.

Kekosongan rumah itu tidak dirasakan Siauw Cap-it-long. Jarang ia kembali, tempat ini hanya sebagai tempat istirahat. Tidak terlalu lama, sesudah itu ia berangkat lagi. Mulai dengan petualangannya.

Karena itulah, sebuah bale2 itu cukup digunakan sebagai tempat tidur.

Sekarang, sangat dirasakan sekali, keadaan rumah seperti sediakala, tapi sangat dirasakan kosong.

Dan menyimpang dari kebiasaan, hati yang hampa itu seperti sudah padat terisi. Kini Siauw Cap-it-long betul2 merasa, ia masih memiliki rumah!

Untuk pertama kalinya, Lembah Gelap itu dianggap sebagai rumah.

Perasaan pulang kerumah sangat nyaman, ternyata kembali kerumah begitu bahagia.

Siauw Cap-it-long sudah selesai membersihkan isi perabot rumah tangga, yang dikatakan perabot hanyalah bale-bale tempat tidur itu.

Kini Siauw Cap-it-long menunggu, tapi hatinya tenang, ia menunggu dengan penuh kesabaran. Karena ia tahu, orang yang ditunggu itu tidak terlalu lama, pasti, pasti sekali, orang yang ditunggu itu akan tiba.

Didalam satu rumah yang kosong, akan terjadi perubahan, manakala rumah itu bertambah penghuni. Apalagi penghuni wanita.

Betapa buruknya rumah yang ditinggali oleh seorang wanita, betapa sempitnya rumah yang ditinggali oleh seorang wanita, rumah buruk dan sempit itu tidak akan dirasakan lagi. Hanya wanitalah yang betul2 bisa meresapi dan menghiasi serta mengurusi isi rumah.


Hanya wanita yang bisa menghangatkan badan seorang laki-laki.

Karena itulah, Tuhan menciptakan Hawa.

Laki itu bersifat malas, tidak mau mengurus rumah tangga, karena itu tanpa adanya wanita, rumah akan dirasakan menjadi kosong.

Untuk mengisi kekosongan ini, perlu mendapatkan seorang wanita. Terlebih-lebih wanita yang sangat dicintai.

Tidak perlu disebutkan, mengapa Siauw Cap-it-long bisa menjadi rajin, mengurus rumah tangga.

Didalam sekejap mata, tempat itu telah bertambah dengan meja dan kursi, diatas bale-bale juga bertambah rumput penutup agar lebih empuk.

Inilah rumahnya. Ia akan menghias, merawat rumah ini lebih sempurna.

Mulai saat itulah, Siauw Cap-it-long merasa bahwa ia telah memiliki sebuah rumah.

Sim Pek Kun tiba didalam bangunan itu sesudah Siauw Cap-it-long membersihkan sesuatu dengan baik.

Disana telah bertambah meja, diatas meja tersedia jambangan bunga, didalam pot itu tertancap bunga2.

Dikala mereka makan, disana telah tersedia piring, mangkok, cangkir. Semuanya terbuat dari kayu

Makanan selalu tersedia, kadang kala, tersedia juga ikan kering, daging bakar, dan sayur mayur.

yang menjadi kekurangan adalah garam. Tidak mungkin mereka bisa menemukan garam ditempat itu.

Walau makanan itu kurang garam, tapi rasanya tetap segar.

Siaw Cap It Long memiliki sepasang tangan yang lincah, sekeping papan yang jatuh kedalam tangannya, didalam sekejap mata bisa menjadi pot bunga yang indah, atau menjadi piring mangkok yang cocok.

Bisa disaksikan, rumput-rumput bila dikehendaki oleh Siaw Cap It Long didalam sekejap mata bisa menjadi makanan-makanan yang lezat.

Sim Pe Kun juga tidak ketinggalan, dengan sepasang tangannya dia juga menganyam rumput, itulah taplak meja.

Luka mereka sembuh dengan cepat.

Tentu saja obat luka mereka adalah air telaga rawa lengket itu. Disamping pengobatan yang sempurna, hati mereka yang girang juga menambah proses penyembuhan mereka.

Mereka hidup tenang dan bahagia

Sehingga tiba pada suatu hari , dikala Siaw Cap It Long membuka matanya, tampak Sim Pek Kun sedang menyelimutkan rumput yang baru dibuat.

Sepasang sinar mata mereka bertumbukan. Wajah Sim Pek Kun menjadi merah, menundukkan kepalanya, ia berkata dengan suara rendah :

“Hawa malam sangat jahat, nanti kau bisa masuk angin.”

Ternyata Siaw Cap It Long menyerahkan rumahnya kepada Sim Pek Kun. Sedangkan ia sendiri duduk diluar rumah.

Siaw cap It Long menatap sang ratu rimba persilatan itu, tanpa sekecap kata keluar dari mulutnya.

Kepala Sim Pek Kun ditundukkan semakin rendah, ia berkata :

“Mengapa kau tidak membangun satu rumah lagi ! mengapa kau lebih suka tidur dibawah embun pagi dan angin malam ?.Mengapa kau menyerahkan rumah ini membiarkan aku hidup senang, dan menyiksa dirimu sendiri ?”

Mulai dari saat itu, Siaw cap It Long semakin repot.

Dibangunan kecil yang sudah ada, terbangun lagi lain cangkrang rumah.

Seorang manusia tidak bisa mengembangkan kepintarannya, apabila tidak diliputi oleh kesenangan-kesenangan. Kebahagiaan manusia akan mempercepat proses kehidupan.

Cepat sekali, bangunan rumah baru hampir selesai.


Bagian 8 Selesai
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar