Biar bagaimanapun, Sim Pek Kun
tidak habis mengerti, bagaimana seorang yang dicap sebagai perampok besar
begitu baik hati.
Siaw kongcu mendekati Siaw Cap
It Long, orang yang terakhir ini meringis sakit, lukanya sangat berat.
“Eh, bagaimana keadaan lukamu
?” berkata Siaw kongcu mesra.
“Aku cinta kepadamu.”
“Dimisalkan kau betul-betul
cinta, usirlah wanita tidak tahu diri itu.” berkata Siaw Cap It Long.
“Sangat memuakkan orang saja.
Usirlah jauh-jauh.”
Siaw kongcu juga seorang
wanita cerdik, mana mungkin tidak tahu tipu muslihat Siaw Cap It Long ?
Mengusir Sim Pek Kun berarti membebaskan Sim Pek Kun.
Dengan suara yang sangat merdu
sekali, Siaw kongcu berkata :
“Untuk menyenangkan dirimu,
seharusnya aku membebaskan ratu rimba persilatan ini. Sayang sekali. Aku tidak
mempunyai itu keberanian untuk melanggar perintahnya.”
“Melanggar perintah ?”
bertanya Siaw Cap It Long.
“Ya.” berkata Siaw kongcu.
“Dia adalah orang yang
dikehendaki oleh guruku.”
“Mati atau hidup, aku harus
membawa tubuhnya, diserahkan kepada guruku. Inilah perintah. Aku tidak bisa
membangkang tugas ini.”
“Kau hendak pergi ketempat
gurumu lagi ?” bertanya Siaw Cap It Long.
Kini jelaslah sudah, siapa
yang memegang peranan penting dibelakang layar, siapa yang mengkambing hitamkan
Siaw Cap It Long, siapa yang menghancurkan kampung Sim Ke Cung ?
Tokoh terpenting adalah guru
Siaw kongcu !
Siaw kongcu adalah ahli
sandiwara, ia berkata perlahan :
“Aku mempunyai maksud untuk
lari darinya, aku hendak mengasingkan diri disuatu tempat yang sunyi dan sepi,
bersembunyi, kita saling cinta-mencintai, hidup sebagai sepasang suami istri,
Tapi....”
Siaw kongcu menghela nafas
dalam-dalam, bagai menyambung pembicaraannya :
“Biar bagaimanapun, aku tidak
bisa melaksanakan rencana ini. Kau juga tahu, guruku itu adalah seorang tokoh
silat serba bisa, kemanapun aku melarikan diri, tidak mungkin bisa mengelakkan
pengejarannya.”
Siaw Cap It Long memaksakan
diri untuk bertahan, betapapun sulit untuk dipertahankan, ia harus
mengetahui,siapa tokoh silat yang begitu jahat.
“Siapakah orang yang menjadi
gurumu itu ?” ia bertanya.
“Betulkah ia memiliki
kepandaian begitu hebat ?”
“Mungkin tidak percaya untuk
diceritakan.” berkata Siaw kongcu.
“Ilmunya luar biasa.”
“Aku juga bukan manusia
biasa.” berkata Siaw Cap It Long.
“Kecuali guruku, kau adalah
tokoh silat nomor satu.” berkata Siaw kongcu
“Kecerdikanmu tiada tara, tidak
ada seorang yang bisa menandingimu. Kecuali guruku, hanya guruku seorang yang
bisa memenangkanmu, untuk ilmu silatnya, selisih kalian jauh berbeda.
Mungkin..........mungkin juga kau bisa bertahan sampai duapuluh jurus, atau
tiga puluh jurus, tapi tidak mungkin bisa membikin perlawanan sampai empat
puluh jurus. Didalam waktu empat puluh jurus ini, ia akan merengut jiwamu.”
Siaw Cap It Long menyengir,ia
berkata :
“Kau terlalu memandang rendah
kepada Siaw Cap It Long.”
“Dengar dahulu.” Siao kongcu
memberi keterangan. “Semua tokoh silat di dalam rimba persilatan, belum ada
yang bisa menahan sampai dua puluh jurus. Sudah kuperhitungkan kau bisa sanggup
sampai tiga puluh jurus. Inilah suatu keagungan, suatu pujian untukmu.”
“Aku tidak percaya” berkata
Siauw Cap-it-long.
“Percaya atau tidak percaya,
terserah kepada dirimu.” berkata Siao kongcu. “Biar bagaimana, aku tidak bisa
memberi tahu namaku. Semakin kau ingin mengetahui, semakin sulit kuberitahu.
Sekarang aku merasa menang, aku telah berada di atas angin.”
SIAUW CAP-IT-LONG gagal
mengorek keterangan. Ia mengatupkan sepasang matanya, tidak bicara.
Setiap menggerakkan bibir,
luka didada segera merembas, nyeri sekali. Tapi biar bagaimana, tetap
dipertahankan. Ia hendak mengetahui, siapa itu manusia jahat yang mengacau
rimba persilatan?
Kecerdikan Siao-kongcu tiada
tandingan. Kekejaman Siao-kongcu tiada tara, ilmu silat Siao-kongcu sulit
menemukan pasangan.
Terbukti dari banyaknya jago2
silat ternama yang tunduk dibawah kekuasaannya.
Thio Bu Kek, Hay-leng-tju,
empat pendekar Lu Tong Su Gie, dan sepasang pendekar kilat dan guntur dari
Tay-ouw, semua adalah tokoh2 silat ternama untuk masa itu. Tapi tidak ada satu
yang tidak tunduk dibawah kekuasaan Siao-kongcu. Mereka berhamba kepada Siao-kongcu,
mereka telah menjalankan semua perintah Siao-kongcu, mereka adalah hamba-hamba
Siao-kongcu.
Suatu bukti betapa hebat
kekuasaan Siao-kongcu.
Lain bukti betapa hebat pula
kekuasaan guru Siao-kongcu.
Siauw Cap-it-long membawakan
sikapnya yang seperti orang tenang. Hatinya tidak tenang.
Didalam kamus pikiran Siauw
Cap-it-long tidak mungkin menemukan istilah kata-kata sulit atau susah.
Kecuali berhadapan musuh yang
seperti guru Siao-kongcu. Betul-betul ia tidak percaya. Mulai terpetalah kata-kata
sulit, mulai terbayang kamus susah.
UDARA YANG BAIK
MENJELANG sore hari.
Diufuk sebelah barat memerah,
matahari memancarkan cahayanya yang penghabisan, ia sudah siap turun tachta,
akan digantikan keadaan gelap-gulita, maka sebagai pameran, ia mencahayakan apa
yang biaa dipantulkannya.
Cahaya matahari yang kuning
keemas-emasan menyinar bunga-bunga seruni.
Bunga seruni mempunyai aneka
macam warna, yang kuning, yang putih, ada juga yang lila dan ada juga seruni
hitam.
Mendapat keseimbangan warna
matahari senja, bunga-bunga seruni itu semakin bersaing.
Apa lagi dimusim rontok, masa
jayanya bunga seruni diantara bau harum semerbak, menyaksikan panorama alam
adalah suatu pemandangan menarik.
Untuk seumur hidupnya, belum
pernah Sim Pek Kun menyaksikan keindahan bunga seruni seperti apa yang sekarang
ia saksikan.
Ia berada ditaman bunga
seruni.
Dikeempat keliling tempat itu
terbenteng oleh gunung-gunung, hawa dingin tertahan diluar, tidak bisa memasuki
daerah taman bunga seruni, bau harum semerbak menyerang hidung, tertiup oleh
angin sepoi2, kadang-kadang lenyap, dan kadang-kadang timbul kembali.
Hawa terlalu sejuk,
pemandangan begitu cantik. Disana duduk tiga orang, mereka duduk diatas tikar
yang sangat mahal. Orang pertama adalah Sim Pek Kun, didepannya adalah Siauw
Cap-it-long dan Siao-kongcu.
Didepan mereka terdapat
makanan dan minuman, terdapat juga kepiting rebus yang sangat besar.
Sim Pek Kun mengenakan pakaian
yang sangat tipis, memperhatikan daerah tempat itu, dengan pikiran yang tidak
habis mengerti.
Walau didalam keadaan taman
yang begitu indah, Sim Pek Kun seperti hidup dalam neraka.
Biar bagaimana, Sim Pek Kun
tidak mengetahui atas sikap yang diperlihatkan oleh Siao-kongcu.
Selama beberapa hari,
Siao-kongcu memberi makan kepada mereka serba komplit, arak-arak yang harum,
makanan-makanan yang lezat, pakaian yang indah, pemandangan yang menarik.
Walau demikian, rasa takutnya
Sim Pek Kun semakin menghebat, teristimewa Sim Pek Kun mengkhawatirkan
keselamatan Siauw Cap-it-long.
Betul-betul Siao-kongcu
memperlakukan Sim Pek Kun seperti seorang ratu, segala kebutuhannya dicukupi,
hidangan-hidangannya disertai dengan makanan yang sangat lezat, pakaiannya
disediakan corak yang paling baru, penghidupannya dilayani dengan pemandangan yang
indah.
Mungkinkah ia bisa puas
mendapat pelayanan yang seperti itu?
Tidak!
Sim Pek Kun sedang melirik
kearah Siauw Cap-it-long yang berada didepannya, laki-laki yang mempunyai
sepasang mata menarik itu mengenakan pakaian tebal, menutup badannya
rapat-rapat, ia mengantongi beberapa jumlah bunga seruni, bilamana angin yang
terkembang datang, hawa seruni itu terkembang biak.
Tercampur pula hawa laki-laki.
“Oh, aku telah
mencelakakannya,” demikian Sim Pek Kun mengeluh.
Sim Pek Kun dan Siauw
Cap-it-long adalah orang tawanan Siao-kongcu. Tapi Siao-kongcu memperlakukan
mereka secara istimewa. Selalu memberi makanan udang dan kepiting, menyediakan
arak dan anggur.
“Aku mencelakakan dirinya!”
lagi-lagi Sim Pek Kun mengeluh. Ia tidak bisa merasakan kelezatan makanan2 itu.
Ia tidak bisa menikmati kemurnian anggur2 itu.
Seorang yang menderita luka,
tidak bisa dibiarkan mendapat makanan yang mengandung racun, dan makanan yang
mengandung isi racun adalah udang dan kepiting, dan cumi dan lain-lainnya.
Siao-kongcu menghidangkan
makanan-makanan itu.
Apa akibatnya bagi Siauw
Cap-it-long bilamana ia memakan semua barang yang ada mengandung unsur racun?
Siao kongcu bersandar di
sebelah Siauw Cap-it-long, mungkin bersifat mencemburui Sim Pek Kun. Bentuk
tubuhnya yang begitu kecil dan ramping, tampak sangat molek sekali. Wajahnya
yang begitu cantik, tampak menarik.
Kadangkala, Sim Pek Kun
mempunyai tanggapan lain, Siao kongcu itu adalah jodoh yang paling tepat bagi
Siauw Cap-it-long.
Sayang sekali! Di balik
kelemah-gemulaian Siao kongcu, terdapat juga kekejaman yang tidak terhingga. Di
balik kebaikkan Siao kongcu, tersembunyi sesuatu yang lebih jahat.
Sim Pek Kun mengertek gigi,
mendendam semua kebencian.
Siao kongcu memperhatikan
gerak-gerik Sim Pek Kun. Tiba-tiba ia tertawa.
“Hei,” ia menowel Siauw
Cap-it-long. “Coba lihat.” berkata Siao kongcu. “Ratu kita begiti jijik. Sudah
kukatakan, lekas kau berganti pakaian. Kau sangat bandel tidak mau. Maunya bercumbu
rayu terus menerus, sehingga orang menjadi lebih sakit hati lagi. Pakaian yang
kotor akan memuakkan kawan-kawan. Bagaimana kau enak hati, mengawani makan dan
minum tanpa ganti pakaian?”
Siauw Cap-it-long bungkam.
Hati Sim Pek Kun seperti ditusuk
oleh jarum. Kata-kata Siao kongcu sangat menyakiti dirinya. Mungkinkah Siauw
Cap-it-long ada seorang yang seperti itu? Mungkinkah Siauw Cap-it-long sudah
tertarik kepada Siao kongcu?
Tidak mungkin. Mengapa aku
harus menjadi cemburu? Demikian berpikir Sim Pek Kun. Apa hubungan Siauw
Cap-it-long dengan aku? Tidak ada alasanku menjadi marah.
Sim Pek Kun menundukkan
kepala, menekan gejolak hatinya, memperhatikan kemarahan itu.
Siao kongcu tertawa lagi, ia
berkata:
“Lihat, pemandangan begini
indah. Tepatlah mengatakan bahwa bunga-bunga itu adalah hak milik wanita.
Karena setiap macam bunga itu memiliki sifat-sifat perangai wanita, terkecuali
bunga seruni.”
Perlahan-lahan, Siao kongcu
mengambil seekor kepiting di piring, mengambil batu dan mengetoknya batok
kepiting itu, dengan capit yang terbuat dari perak, ia mengeluarkan isi
kepiting, dengan sikapnya yang halus dikeluarkannya kepiting itu, disodorkan
kedalam mulut Siaw Cap It Long. Baru menyambung pembicaraannya :
“Seruni tidak memiliki sifat
wanita. Seruni lebih tepat memiliki sifat pria. Ia seperti seorang cendikiawan
yang mengasingkan diri, juga tidak mau bertanding dan bersaing. Suatu tanda
bahwa hidupnya menyendiri. Tidak bisa disamakan dengan lain-lain bunga. Ia
tidak gentar kepada angin dimusim rontok, menandakan betapa kuatnya dia.”
Siaw kongcu menuang anggur
dengan sikap yang mesra, dengan sikap yang kolokan, ia merangkul Siaw Cap It
Long, memberi minum anggur, kepada sijago berandalan. Dengan suaranya yang
begitu merdu, ia berkata :
“Kubawa kalian ketempat ini,
dengan maksud membandingkan seruni dengan sifat-sifatmu. Karena kau juga cinta
kepada bunga seruni.”
Siaw Cap It Long tidak pernah
menolak barang antaran semua dimakan, ia memakan kepiting dan memakan anggur
itu, dengan tertawa-tawa ia berkata "
“Aku suka seruni, lebih suka
lagi dimakan, saringan bunga seruni bisa dimakan dicampur dengan kepiting atau
ikan, ikan hidup, sesudah kita memakan bunga seruni yang bercampur dengan ikan
itu, rasanya hawa semakin segar.”
Dengan wajahnya yang begitu
cantik, Siaw kongcu tertawa.
Siaw Cap It Long berkata lagi
:
“Orang lain menilai bunga
seruni dengan sepasang mata, tapi aku Siaw Cap It Long menilai bunga seruni
dengan lain cara, aku meresapi sarinya, aku menggunakan mulut meresapinya.”
“Kau selalu mengacau suasana.”
berkata Siaw kongcu tertawa,tertawa lagi cekikikan, menyusupkan kepalanya
kedalam pelukan Siaw Cap It Long.
“Tapi disinilah letak
kepribadianmu. Apapun yang kau lakukan, pasti tidak sama dengan orang lain.
Didalam dunia, mungkin ada dua orang Lie Pek. Mungkin dua orang Koan Kong. Tapi
tidak mungkin ada dua orang Siaw Cap It Long. Laki-laki yang seperti
kepribadianmu ini, bagaimana tidak bisa memikat hati gadis, gadis manakah yang
tidak pernah terpikat olehmu ?”
Siaw kongcu menolehkan kepala,
dengan matanya yang disipitkan kecil-kecil ia memandang Sim Pek Kun, berkata
kepada sang ratu rimba persilatan :
“Betulkah keteranganku ?”
Dengan dingin Sim Pek Kun
menutup pembicaraan :
“Aku sudah bukan gadis lagi,
Tidak mempunyai minat kepada laki-laki. Aku tidak tahu.”
Jawaban Sim Pek Kun yang
begitu ketus, seharusnya membuat Siao Kongcu menjadi marah, tetapi kenyataannya
berbeda, Siao Kongcu memperlihatkan wajahnya yang cantik dan molek, bentuk
tubuhnya yang ramping indah itu semakin menggiurkan. Tertawanya semakin girang.
“Seseorang wanita yang tidak
bisa menyelami hati pria, bagaimana bisa mendapatkan cintanya.” ia berkata ,
“Akupun heran, Lian Seng Pek mempunyai seorang isteri yang telah dinobatkan
menjadi ratu rimba dunia persilatan. Mengapa ia tidak mau mendampingi isteri
cantik ? Mengapa ia berjalan seorang diri saja ? Kini aku mengerti apa
alasannya? Aku mengerti, ternyata ...... "
Siao kongcu tidak lagi
meneruskan pembicaraannya, ia menutup sampai disitu. Tapi sudah jelas dan mudah
diterka itu adalah kata-kata yang terlalu merendahkan diri Sim Pek Kun,
diartikan Sim Pek Kun tidak bisa menyelami hati seorang pria. Tidak bisa
menilai seseorang pria, maka Lian Seng Pek tidak bisa terikat, Lian Seng Pek
lebih suka berjalan seorang diri, daripada mendampingi Sim Pek Kun yang
dikatakan tidak bisa meresapi hati seorang suami.
Sim Pek Kun sudah berusahan,
ia hendak menekan semua kemarahannya, Walau demikian, dikicok pulang pergi,
wajahnya menjadi matang biru, marah.
Siao Kongcu mengambil botol
lain, botol arak yanh terbuat sangat bagus. Menuangkan isinya, berkata :
“Inilah arak istimewa yang ku
sengaja datangkan dari negara Sie-liang. Mengapa hujin tidak mau minum arak ?
Sayang! Seseorang yang belum pernah meminum arak itu berarti orang yang belum
mengenal kehidupan, percuma saja hidup di dalam dunia.”
Hujin adalah istilah panggilan
untuk seorang nyonya, disini panggilan untuk Sim Pek Kun.
Sim Pek Kun mengatupkan
bibirnya rapat-rapat, sangat rapat sekali. Ia takut, befitu berbicara, maka
mulutnya itu bisa nyerocos terus menerus, memaki Siao Kongcu.
“Marah ?” Siao kongcu
menggeleotkan tubuhnya di atas Siauw Cap It long. Kini ia sengaja duduk diatas
paha Siauw Cap It long, bicara kepada Sim Pek Kun.
Sim Pek Kun membuang muka. Dia
mengucurkan airmata.
“Eh, marah semakin hebat ?”
berkata Siao kongcu tertawa. Dia melirik kearah Siauw Cap It long, baru
meneruskan pembicaraannya, “Kalau aku duduk di atas paha Lian Seng Pek, kau
mempunyai itu hak marah, ..... tapi, dia ini .....” , ia melirik kearah Siauw
Cap It long, “Dia adalah laki-laki yang belum kawin, Dia bukan suamimu, mengapa
hujin marah kepadaku ? mengapa boleh cemburu ?”
Seluruh ujung-ujung jari Sim
Pek Kun terasa menjadi dingin, ia berusaha menahan gejolak hatinya, tapi tidak
tahan lagi, akhirnya ia menoleh, memandang ke arah Siauw Cap It long.
Wajah Siauw Cap It long juga
sangat pucat pasi. Wajahnya berkeringat, sedang menanggung resiko derita yang
hebat, kadang-kadang berdenyut. Sakitnya Siauw Cap It long bisa dirasakan juga.
Siauw Cap It long sedang
tersiksa, Siauw Cap It long masih sangat menderita.
Siauw Cap It long tidak pernah
mengutarakan segela derita hidupnya, Siauw Cap It long belum pernah mengatakan
kesusahan hidupnya, semua kesusahan dan penderitaan itu di telan didalam hati.
Sim Pek Kun bisa menduga
sesuatu, ia berkata kepada Siauw Cap It long:
“Bagaimana dengan keadaan
lukamu itu ? Mungkinkah memberat ?”
Siauw Cap It long menggoyang
kepala. ia memaksa tertawa.
“Tidak.” katanya. “Luka apa ?
luka yang sepele itu sudah kulupakan.”
Sim Pek Kun tidak percaya.
Secara tiba-tiba saja, iamenerjang kearah Siauw Cap It long, menerjang dengan
semua kekuatan yang ada, menarik baju luar Siauw Cap It long, baju luar yang
selalu mengerudungi tubuh laki-laki itu. Baju luar yang sudah agak lapuk, baju
yang dikatakan oleh Siao Kongcu bisa memuakkan orang. Baju yang tidak mau
diganti oleh bahan tipis.
Baju luar Siauw Cap It long
tersingkap. Disana masih tampak luka bekas tusukan Sim Pek KUn, Luka yang
membengkak dan membesar, bernanah.
“Aaaah, kau..... " Sim
Pek Kun mengeluarkan jeritan melengking. Belum pernah ada seseorang yang
mendengar jeritan yang begitu menyeramkan, begitu menyedihkan, begitu menyayat
hati.
Daging didada Siauw Cap It
long telah membengkak, matang biru, hampir saja dilanda belatungan. Luka-luka
itu sudah mulai membusuk, dengan tersingkapnya baju luar tadi, bau busuk yang
menyerang hidung, bang bengkak dan borok yang bernanah.
Sim Pek Kun semakin bersedih,
inilah hasil perbuatannya. Karena tusukan pisaunya, maka Siaw Cap It Long
terluka.
Mengertilah Sim Pek Kun,
mengapa Siaw Cap It Long tidak mau menukar baju, ia hendak menutupi luka-luka
ini.
Betapa kuatpun hati seseorang,
manakala ia sudah menyaksikan luka Siaw Cap It Long, pasti orang itu menjadi
lemas.
Sim Pek Kun tidak terkecuali,
hampir ia jatuh roboh, hampir ia menjadi pingsan.
Sim Pek Kun bukan seorang
tabib, tapi ia bisa merasakan bagaimana hebat penderitaan-penderitaan Siaw Cap
It Long.
Selama beberapa hari ini, Siaw
kongcu melolohnya dengan makanan-makanan yang berbau amis, ikan, kambing,
kepiting, udang dan lain-lainnya. Tidak pernah Siaw Cap It Long menolak
makanan-makanan itu. Adakah seseorang seperti ini ? mungkin seorang yang
terbuat dari besi ?
Siaw Cap It Long belum pernah
merintih. Tapi mudah dibayangkan, bagaimana penderitaan luka-lukanya. Mengapa ?
Mengapa Siaw Cap It Long mau menuruti semua kemauan Siaw kongcu ?
Karena Siaw Cap it Long tidak
bisa menolak, membantah akan berakibat yang lebih hebat. Menyerah dan menekan
semua gangguan-gangguan.
Sim Pek Kun tidak bisa
melepaskan rasa sakitnya, ia menangis menggerung-gerung, menangis seorang diri,
menangis didepan Siaw kongcu dan Siaw Cap It Long.
“Eh.” Siaw kongcu
menggoyang-goyangkan kepala.
“Mengapa menangis mendadak ? Sudah
cukup dewasa. Tidak lama lagi, kau akan melahirkan seorang putra. Mengapa boleh
sembarangan menangis ? Tidakkah takut ditertawakan orang ?”
Sim Pek Kun menggigit bibir,
dari sana keluar darah, terlalu keras gigitan itu, melampiaskan hawa panas
didalam hati, memelototkan mata kearah Siaw kongcu, dengan suara gemetaran ia
membentak :
“Kau...kau kejam !”
Pada wajah Siaw kongcu yang
sangat cantik jelita itu, tidak memperlihatkan kemarahan, semakin dicemoohkan
ia semakin girang, katanya :
“Aku ?! Aku yang kejam ?
He......he...Siapa yang lebih kejam ? Kau atau aku ? Siapa yang melukainya,
siapa yang menggunakan pisau menusuk dadanya ?”
Seluruh badan Sim Pek Kun
menjadi gemetaran, ia berteriak :
“Lihat ! Lukanya telah
membengkak ! Lukanya telah bernanah, mengapa kau tidak membeli obat.”
Siaw kongcu menghela nafas
nafas, ia berkata perlahan-lahan :
“Siaw Cap It Long lebih suka
kepadamu. Selalu mementingkan dirimu. Demi menolong jiwamu, ia rela
mengorbankan diri sendiri. Tapi apa yang sudah diperlihatkan pada diriku ? Ia
mendampingiku seperti mendampingi seorang iblis, aku tahu, hatinya benci kepadaku.
Bisa saja membunuh aku.”
Siaw kongcu menghela nafas
panjang. Matanya didongakkan keatas, seolah-olah melamun, ia berguman :
“Dimisalkan, kebaikan yang
dicurahkan kepadamu itu dicurahkan kepadaku atau sebagian kecil saja perhatian
yang dicurahkan kepadaku, biar bagaimana, aku juga tidak berani mengganggunya.
Tapi keadaan jauh berbeda....bukan aku yang melukainya, bukan ? Sesudah kau
menusuk orang ini, mengapa melepas diri ? Mengapa mesti aku yang memberi obat ?
Betul-betul aku tidak mengerti, kau lebih kejam dari aku.”
Dengan suara yang serak karena
kehabisan tenaga Sim Pek Kun berkata :
“Jangan kau menyiksanya lagi.
Jangan kau memberi minumnya. Jangan kau menuangkan arak dan anggur lagi. Jangan
kau memberi kepiting dan udang itu lagi.”
“Eh, mengapa ? Kau cemburu ?
Kau mengiri ?”
Sim Pek Kun kalah berdebat.
Siaw kongcu berkata lagi :
“Jangan kau salah paham. Lihat
! Pernah ia menolak pemberianku ? Inilah suatu bukti, aku lebih cinta darimu,
Siaw Cap It Long suka meminum arak, maka aku menyediakan arak dan
anggur-anggur, ia suka bunga seruni yang dicampur dengan kepiting hidup. Maka aku
menyediakannya makanan itu. Ia tidak pernah menolak ucapanku ? Mengapa kau
banyak usil ? Saksikanlah, adakah sseorang istri yang begitu baik hati, mau
melayani kebutuhannya seperti apa yang kulakukan terhadap Siaw Cap It Long ?”
Sim Pek Kun menangis semakin
sedih, menangis diluar dan menangis didalam.
“Kau juga seorang yang
mengerti perkara, kau mengetahui bahwa daging-daging yang amis bisa mempercepat
proses keracunan, bisa memperlambat sembuhnya luka. Orang-orang yang terluka,
pantang memakan anggur, arak kepiting dan udang. Mengapa orang yang makan
barang amis itu bisa membikin besar lukanya. Mengapa kau memberi kepadanya.
Sengaja kau hendak mencelakakannya.”
“Aku tidak tahu, siapa yang
mencelakakan Siaw Cap It Long ? Yang penting, memberi service yang istimewa.
Aku memberi makanan yang paling enak. Aku memberi minuman yang paling enak....”
Bencinya Sim Pek Kun kepada
Siaw kongcu begitu dalam. Dendamnya begitu dalam. Tapi ia tidak berdaya, ilmu
kepandaian Siaw kongcu sepuluh kali lipat diatas dirinya, ia tidak bisa
membikin perlawanan.
Siaw Cap It Long menoleh
kearah Sim Pek Kun. Sepasang sinar mata yang sudah redup itu, tiba-tiba
bercahaya kembali. Bersinar seperti lampu pelita, Siaw Cap It Long
memperlihatkan senyumannya, senyuman bangga, senyuman puas ada perhatian dari
si ratu rimba persilatan.
Tiba-tiba Siaw Cap It Long
berguman :
“Seseorang akan hidup berarti
manakala ia telah melewatkan waktu-waktunya itu selama tidak terganggu, apa
artinya hidup dirinya ? Seseorang yang berumur pendek belum tentu lebih susah
dari yang berumur panjang. Mengapa kita harus hidup lama, bilamana menderita
terus menerus. Tapi kita lebih suka hidup berumur pendek, manakala hidup kita
bangga, hidup dengan perasaan puas. Bilamana kita bisa bersenang-senang sesuatu
hari, tentu saja lebih meresap dari bersusah-susah seratus hari.”
Siaw kongcu bertepuk tangan,
ia menyetujui filsafat hidup Siaw Cap it Long, katanya :
“Tepat ! inilah jiwa seorang
laki-laki. Siaw Cap It Long memang bukan manusia biasa, kalau saja karena
menderita luka sedikit, harus takut meminum arak, orang itu bukan Siaw Cap It
Long !”
Perlahan-lahan, dengan caranya
yang sangat halus, Siaw kongcu mengusap-usap pipi Siaw Cap It Long, dengan
sikap mesra dan suara penuh cinta kasih ia berkata "
“Selama kau masih hidup, aku
akan memberi pelayanan yang secukupnya. Akan kuusahakan, kau hidup gembira. Apa
yang kau kehendaki, kemana kau mau pergi, pasti ku taati.”
Siaw Cap It Long menoleh
kearah Siaw kongcu, ia bertanya :
“Begitu baikkah kau kepadaku
?”
“Tentu saja baik. Aku lebih
suka melihat kau gembira.” berkata Siaw kongcu.
“Maka aku harus baik-baik
kepadamu.”
Siaw kongcu memandang kearah
jauh, disana sinar senja yang kuning keemas-emasan menguasai jagat alam.
Menyertai dan menghidupkan semua yang ada.
Dengan alunan suara yang enak,
Siaw kongcu berkata "
“Seperti sinar senja ini yang
menyayangi alamnya, aku manyayang dirimu, akan kujaga baik-baik. Tetap ia
bercahaya. Tetap ia bersinar.”
Siaw kongcu mengoceh seorang
diri. Tapi, cahaya senja itupun mulai meredup. Sinar yang kuning keemas-emasan
menyurut, akhirnyapun lenyap. Jagad menjadi hitam, malampun tiba.
.................
Sim Pek Kun mengenang senja
yang sudah hilang. Demikianlah konstruksi hidupnya, timbul dan tenggelam,
senang sengsara silih berganti, ia menjadi sedih, tanpa terasa ia mengucurkan
air mata.
Siaw Cap It Long memandang
jauh kedepan, perlahan-lahan ia berguman :
“Aku bukan seorang penyair,
juga bukan seorang cendikiawan ternama, hidupku sebagai pantulan manusia biasa.
aku dibesarkan ditegalan luas, hidup dalam kumpulan binatang buas, didalam
pandangan mataku, tempat yang paling indah adalah tempat yang terbentang luas,
disana membujur rumput-rumput hijau, tidak ada orang, sepi dan sunyi. Tempat
itu lebih indah dari istana.”
“Hebat !” Siaw kongcu memuji.
“Kau memang seorang yang
hebat. Segala-galanya memang hebat, kau memiliki ciri-ciri yang khas tersendiri.
Ciri-ciri yang tidak pernah dimiliki oleh orang kedua.”
Siaw Cap It Long tertawa. Ia
berkata :
“Karena aku memiliki
sifat-sifat yang aneh, maka kau tertarik ?”
Siaw kongcu tengkurap didalam
dada Siaw Cap It Long, dengan suara yang merdu ia berkata :
“Ya. Aku semakin tertarik,
apapun permintaanmu akan kuturuti.”
“Aku hendak melihat bagaimana
kampung halamanku.” berkata Siaw Cap It Long.
“Disana terdapat hawa-hawa
yang beracun. Terdapat cairan yang mengandung zat jahat. Ingin sekali aku bisa
melihat kembali tempat yang melahirkanku. sesudah itu matipun rela.”
“Baik.” berkata Siaw kongcu.
“aku bersedia mengiringi
kemauanmu. Aku akan antar kau ditempat itu, dalam keadaan segar bugar. Tentu
saja tidak mengharapkan kau mati.”
“Aku lebih suka mati disana.”
berkata Siauw Tjap-it-long.
“Jangan berkata seperti itu.”
berkata Siao kongcu.
DIANTARA ADIL DAN TIDAK ADIL
Siao Kongcu mengajak Siauw
Tjap-it-long ketempat daerah yang melahirkan jago berandalan itu. Turut serta
juga ratu rimba persilatan Sim Pek Kun.
Mereka lewati daerah2 yang
lembab. Mengarungi pegunungan2 yang tinggi, menjelajahi lembah2 yang curam.
Kabut2 putih yang mengandung
racun bertebaran disekitar daerah itu.
Siauw Tjap-it-long bisa
memilih jalan yang tepat, ia memberi petunjuk kepada Siao kongcu.
Dengan hati yang kejam, keras
seperti baja, Siauw Tjap-it-long mempertahankan diri dari godaan2 hidup. Ia
selalu siap untuk menderita, entah permainan apapun yang hendak ditonjolkan
oleh Siao kongcu?
Luka bekas tusukan Sim Pek Kun
pada dada Siauw Tjap-it-long membengkak. Makanan2 yang bisa menambah
menjalarnya luka tidak merapat. Ikan yang amis, udang dan kepiting yang
beracun, arak yang membakar tubuh, semua itu diloloh kedalam mulut Siauw
Tjap-it-long.
Disini letak kekejaman Siao
kongcu.
Mungkin, tidak seorang yang
bisa percaya, tanpa menyaksikan dengan mata sendiri bagaimana Siao kongcu
menyiksa Siauw Tjap-it-long.
Wajahnya begitu cantik,
tubuhnya begitu mungil menarik, suaranya lembut gemulai. Mengapa memiliki hati
yang seperti hati ular?
Mungkinkah ujian dari yang
maha kuasa?
Dimana letaknya keadilan dan
kebenaran?
Banyak terdengar cerita,
konon, orang yang menanam bibit kebaikan, akan menerima hasilnya, ia akan
mendapatkan kebaikan pula.
Dikatakan, seseorang yang
melakukan kejahatan2, dia akan mendapat balasan yang setimpal. Ia tersiksa dan
sengsara selama hidupnya.
Adakah dalih dan rumus yang
seperti itu?
Pikiran Sim Pek Kun sedang
berkecamuk dengan pepatah2 orang tua itu. Pikirannya kusut dan kalut.
Dimisalkan adanya keadilan dan
kebenaran abadi, mengapa Siao kongcu yang begitu buruk perangai, mendapat
jaminan kuat? Mengapa ia tersiksa?
Terbayang sepasang sinar mata
Siauw Tjap-it-long. Dengan kebaikan2 hati si jago berandalan, mengapa tidak
diberkahi Tuhan?
Didepan mereka menjulang
tebing tinggi, tapi tidak mungkin bisa dicapai, sebuah jurang curam yang
menjadi pemisah diantara kedua jarak itu, penuh ditumbuhi dengan semak2
belukar.
Siauw Tjap-it-long dituntun
oleh Siao kongcu. Mereka hendak menyaksikan, tempat tinggal Siauw Tjap-it-long.
Dibelakang Siauw Tjap-it-long
dan Siao kongcu, turut serta juga Sim Pek Kun.
Siauw Tjap-it-long
bersiul-siul kecil, melagukan irama yang tidak dikenal. Didalam keadaan yang
seperti ini, lagu itu sangat sedih, lagu seorang yang kesepian.
Wajah yang diperlihatkan oleh
Siauw Tjap-it-long adalah satu wajah yang sangat tenang. Ia tidak mengutarakan
gundah gulana hatinya.
Siao-kongcu mendampingi laki2
berdada bidang itu, tanpa bisa ditahan lagi, ia mengajukan pertanyaan:
“Betul2 kau dilahirkan
didaerah ini?”
“Ng....” Siauw Tjap-it-long
menganggukkan kepala.
Siao-kongcu menghela napas ia
berkata
“Seseorang yang dibesarkan
didaerah yang seperti ini, sungguh tidak mudah sekali.”
Bibir Siauw Tjap-it-long
memperlihatkan senyuman sinis, ia berkata tenang:
“Tentu saja. Hidup seseorang
lebih susah daripada mati.”
Sepasang mata Siao kongcu
berputar jeli, ia berkata:
“Setiap orang tidak bisa
mengelakkan kematian. Cepat atau lambat, maut itu akan mencengkerammu. Tapi,
kematian itu tidak semudah apa yang kau bayangkan.”
Siauw Tjap-it-long berkata:
“Untuk mereka yang segan
menghadapi kematian, tentu saja tidak mudah mencapai kematian.”
Siao kongcu mendelikkan mata,
tertawa kearah Siauw Tjap-it-long dan berkata:
“Mungkinkah kau sudah
merencanakan kematian? Aku tidak percaya.”
Siauw Tjap-it-long tertawa
tawar, ia berkata:
“Sejujurnya, belum pernah
terbayang oleh tentang adanya kematian itu. Tidak tahu apa yang dikerjakan
sesudah mati. Aku tidak pernah berpikir, haruskah aku? Atau bertahan hidup?”
“Dimisalkan kematian itu adalah
suatu pekerjaan mudah.” berkata Siao kongcu “Mengapa kau tidak pergi mati?
Mengapa aku bisa bertahan hidup sampai sekarang?”
Siauw Tjap-it-long bungkam.
Tidak bicara.
Siao kongcu tertawa, berkata:
“Kau masih hendak menuju
ketempat tebing depan itu. Kurasa sudah tidak mungkin! Tidak ada jalan, untuk
kita maju kedepan.”
Siauw Tjap-it-long bungkam
beberapa saat, akhirnya iapun berkata:
“Ya, sudah tidak ada jalan.
Mengapa aku masih hendak bertahan terus menerus?”
“Apa yang sedang kau
pikirkan?” tanya Siao kongcu.
“Aku hendak pergi sekarang
ini, tanpa bantuanmu. Aku hendak mengenang kejadian2 semasa kecil.”
“Kau masih kuat berdiri?”
bertanya Siao kongcu.
Memang! Didalam keadaan yang
seperti itu. Tidak memungkinkan Siauw Tjap-it-long berdiri tanpa mendapat
bantuan dan dukungan. Pertanyaan Siao kongcu masuk diakal.
Siauw Tjap-it-long
memperhatikan kearah sigadis binal itu, ia berkata:
“Bisakah kau melepaskan
pegangan agar aku dapat mencobanya?”
Sepasang sinar mata yang
seperti bola berputar, akhirnya Siao kongcu melepaskan Siauw Tjap-it-long.
Dengan tertawa ia berkata:
“Hati2, ya! Jangan sampai
terjatuh. Bilamana kau jatuh kedasar jurang, mana mungkin bisa mencari
jenasahmu. Siauw Tjap-it-long yang hidup sudah kusaksikan. Tapi Siauw
Tjap-it-long yang mati belum kutemukan. Entah bagaimana keadaan Siauw
Tjap-it-long yang sudah tidak berjiwa, akupun hendah melihatnya.”
Siauw Tjap-it-long meringis.
Ia harus bertahan sedapat mungkin. Menggunakan sisa kekuatannya yang masih ada,
berdiri dipinggiran tebing itu. Menoleh kearah Siao kongcu, ia berkata:
“Orang yang mati lebih dengar
kata daripada orang yang hidup. Tapi, orang mati tidak patut dipandang,
bilamana kau hendak melihat kematianku, kukira kau bisa menjadi benci.”
Sesudah itu, Siauw
Tjap-it-long melirik kearah Sim Pek Kun. Tertawa sebentar, sesudah itu ia
menerjunkan diri kedalam jurang yang curam....
Tanah yang dipijak oleh Sim
Pek Kun terasa seperti amblas, sukmanya hampir terbang dari tempat semula.
Seperti apa yang sudah diduga,
kedatangan Siauw Tjap-it-long ketempat ini dengan maksud tujuan untuk bunuh
diri.
“Akulah yang menjadi
gara2..... aku yang menjadi biang keladi kematiannya......”
Kata2 ini selalu mendengung
ditelinga Sim Pek Kun. Mendengung terus menerus.
Dia sudah mati, apa guna aku
mempertahankan hidupku?..... Bagiamana pertanggungan jawabku kepadanya? Berapa
lama aku bisa bertahan hidup? Ancaman apa yang akan dilakukan oleh Siao kongcu?
Siapa pula yang bisa memberikan pertolongan?...... Oh....”
Terbayang kembali kekejaman
Siao kongcu, maka semua tidak terpikirkan lagi, dengan semua sisa tenaga yang
ada Sim Pek Kun lari kedepan turut terjun kedalam jurang. ...........
Yang heran, sesaat sebelum
kematian Sim Pek Kun, ia tidak pernah memikirkan Lian Seng Pek.
Sim Pek Kun tidak pernah
membayangkan bagaimana reaksi sang suami atas kematiannya.
Mungkinkah Lian Seng Pek
bersedih?
Siao Kongcu berdiri ditepian
tebing, menengok dan memandang kearah bawah. Disana hanya kabut2 dan uap yang
mengandung hawa beracun, tidak ada perobahan.
Lama sekali, Siao kongcu
mempertahankan posisi yang seperti itu, entah apa yang diharapnya?
Suatu saat, Siao kongcu
memungut batu yang besar, dicemplungkannya kedepan.
Beberapa lama kemudian, baru
terdengar reaksi dari lemparan itu...... plung.........
Siao kongcu memperlihatkan
senyumnya yang puas, ia berjalan balik, meninggalkan tempat itu.
Dengan langkah ringan, Siao
kongcu meninggalkan tepi tebing itu.
Ia tidak mau tahu, apa
akibatnya dari terjunnya Siauw Tjap-it-long? Ia tidak mau tahu, apa akibat dari
bunuh diri Sim Pek Kun.
Sudah tentu, harapan hidup
Siauw Tjap-it-long dan Sim Pek Kun kecil sekali. Kematian Siauw Tjap-it-long
dan kematian Sim Pek Kun tidak perlu diragukan.
Siao kongcu kembali untuk
memberi laporan kepada pemimpinnya.
Betulkah Siauw Tjap-it-long
jatuh mati? Betulkah Sim Pek Kun mati?
Tidak!
Berada diluar dugaan Siao
kongcu, Siauw Tjap-it-long dan Sim Pek Kun tidak mati.
Juga berada diluar dugaan Sim
Pek Kun, betul2 ia tidak mati.
Kematian bukanlah pekerjaan
yang mudah. Dikala Sim Pek Kun terjun kedasar jurang yang dalam, ia
mengharapkan kematian. Tapi kenyataan tidak seperti apa yang diharapkan.
Jatuhnya Sim Pek Kun hanya mengakibatkan sedikit goncangan, ia jatuh pingsan.
Tapi tidak terasa sekali.
Sim Pek Kun sadar dari
pingsannya, terasa keadaan yang sangat ngeri. Dasar dari jurang curam tadi
adalah cairan berlumpur, tidak ada pohon, tidak ada rumput. Tidak ada kehidupan
ditempat itu. Yang ada hanyalah udara lembar yang basah. Bau air yang membusuk
dan kabut putih yang mengandung sedikit hawa racun.
Siauw Tjap-it-long dan Sim Pek
Kun jatuh didalam telaga rawa2 tenggelam.
Jatuhnya keair rawa2 itu,
sangat sakit. Tapi Sim Pek Kun tidak merasakan, karena ia terjatuh didalam
keadaan pingsan. Kini rasa sakit dan nyeri itu mulai terasa. Ia siuman.
Sim Pek Kun terendam di air
rawa2. Yang aneh, ia tidak tenggelam. Rawa yang menadah jatuhnya Sim Pek Kun
mempunyai cairan yang berwarna pekat, berat jenisnya lebih besar, seperti
cairan sagu, cukup menahan bobot berat orang.
Karena adanya cairan air yang
seperti inilah menyebabkan Sim Pek Kun tidak mati, walau jatuh dari tebing
tinggi.
Sim Pek Kun mulai mengenang
kejadian lama, ia agak heran. Ia tidak merasakan sesuatu yang aneh, air rawa2
yang berbau busuk ini tidak menyebabkan sesuatu, bahkan kebalikan dari pada
itu, bau ini menambah nyamannya, luka dikaki sudah tidak terasa sakit.
Air rawa2 yang berada didasar
jurang curam mengandung unsur pengobatan, bisa meringankan rasa sakit orang.
Teringat akan cerita Siauw
Tjap-it-long yang pernah menjumpai seekor srigala, srigala yang menderita luka
itu merendam diair kubangan rawa, terakhir srigala yang menderita luka itu bisa
menyembuhkan lukannya.
Mungkinkan kubangan rawa2 yang
kini merendam dirinya? Yang dimaksudkan oleh Siauw Tjap-it-long?
Siauw Tjap-it-long adalah jago
ajaib luar biasa. Tentu ia bisa menemukan jalan keluar dari segala kesulitan.
Termasuk dari cengkeraman tangan maut Siao kongcu.
Karena itulah Siauw
Tjap-it-long menerjunkan diri dari tebing curam. Sangkanya hendak bunuh diri.
Kenyataannya bukan bunuh diri, hendak menolong diri.
Gejolak hati Sim Pek Kun
berlompat girang.
Teringat kembali cerita Siauw
Tjap-it-long, seekor hewan bisa menjaga diri sendir tanpa bantuan pengobatan
orang, bagaimana ia harus menghadapi kesulitan2 dari penghidupan yang fana.
Mungkinkah kubangan yang telah
menyembuhkan luka srigala itu?
Kekuatan hidup Sim Pek Kun
bangkit kembali. Ia percaya, segala langkah2 kebijaksanaan Siauw Tjap-it-long
adalah langkah2 yang paling tepat.
Dan ia percaya betul bahwa
Siauw Tjap-it-long masih berada disekitar dirinya.
Ia hendak berteriak, mencari
Siauw Tjap-it-long. Tapi takut dapat didengar oleh Siao kongcu diatas tebing,
karena itu ia menahan gejolak hatinya.
Mulut Sim Pek Kun tidak berani
berteriak tapi hatinya tetap berteriak:
“Siauw Tjap-it-long! Dimana
kau berada?”
Mendampingi Siauw Tjap-it-long
seperti mendampingi sendi kehidupan. Tanpa adanya Siauw Tjap-it-long, dunia ini
dirasakan menjadi kosong.
Sim Pek Kun mengayun langkah,
hendak mengangkat kaki mencabut dari rendaman air kubangan itu.
Ia yakin dan percaya, Siauw
Tjap-it-long tidak jauh dari tempatnya, ia harus menemukan sang jago
berandalan.
Sim Pek Kun mengangkat kaki,
hendak mencabut diri dari tenggelaman air itu.
Keanehan terjadi. Manakala ia
membiarkan dirinya terapung. Tubuhnya tidak tenggelam. Tapi manakala ia
mengangkat kaki hendak menaiki cairan lengket itu, terasa daya tarik kebawah,
semakin ia berontak kekuatan daya tarik itu semakin keras, kini tubuhnya mulai
tenggelam. Napasnya menjadi sesak. Seolah2 ada tangan ajaib yang berada didasar
rawa2, menyeret kearah dasar air telaga itu.
Sedikit lagi, hidungnyapun
akan kelelap.
Kini tidak mungkin Sim Pek Kun
berani bergerak.
Sim Pek Kun tidak tahu, berapa
lama lagi ia bisa bertahan didalam keadaan yang seperti itu.
Sebelum menerjunkan diri
kedasar telaga rawa2 lengket, tekad Sim Pek Kun untuk bunuh diri begitu nekad.
Tapi kekuatan hidup seseorang timbul kembali manakala mempunyai kesempatan
hidup.
Sim Pek Kun masih belum
menjumpai Siauw Tjap-it-long. Kerena itulah, ia ingin sekali bisa bertemu
dengan sijago berandalan.
Didalam hati Sim Pek Kun
berjanji, mulai saat ini, ia akan betul2 mentaati semua perintah Siauw
Tjap-it-long. Ia akan mempercayai segala langkah kebijaksanaan Siauw
Tjap-it-long.
Sim Pek Kun mempasrahkan diri.
Kiranya, Sim Pek Kun akan
segera mati dalam telaga rawa2 lengket itu.
Tiba2, sebuah bayangan terpeta
didepannya, itulah bayangan Lian Seng Pek.
Baru sekarang, Sim Pek Kun
terkenang kepada bayangan suaminya.
Tapi Sim Pek Kun yakin, ada
atau tidak hadirnya dirinya, tidak menjadi soal bagi Lian Seng Pek. Lian Seng
Pek mempunyai kedudukan yang baik, mempunyai ilmu kepandaian yang tinggi,
mempunyai kawan2 yang berjumlah besar.
Kehilangan seorang istri yang
cantik tidak begitu berarti, bagi Lian Seng Pek, hadir atau tidak hadirnya itu
sama saja.
Tiba2, Sim Pek Kun teringat
kepada putra didalam perut.
Setiap wanita menjadi bahagia,
manakala ia yakin bahwa didalam perutnya telah berisi satu kehidupan baru.
Tapi ia tidak mempunyai
kesempatan untuk melahirkan bayi Lian Seng Pek.
Sim Pek kun memeramkan
matanya.
Sim Pek Kun mempunyai harapan
hidup. Tapi harapan hidup itu terlalu tipis. Demikianlah ia menyerahkan diri.
Kekuatan dasar telaga
rawa-rawa yang menyedot Sim Pek Kun masih menurunkan beban berat sang ratu
rimba persilatan, tapi sikap Sim pek Kun begitu tenang, ia memeramkan mata.
Disaat inilah, telinga Sim Pek
Kun bisa menangkap satu suara yang tidak terlalu asing. Itulah suara Siauw
Cap-it-long.
“Jangan menggunakan tenaga !
Sekali-kali, jangan menggunakan tenaga ! Untuk berontak dari keadaan
semula....”
Suara Siauw Cap-it-long berkumandang
dekat sekali !
Rasa girangnya Sim Pek Kun
tidak terkekang, ia hendak menengok memandang kearah datangnya suara itu.
Terdengar suara Siauw
Cap-it-long berkumandang lagi :
“Jangan sekali-kali mencoba
untuk menengok kebelakang, jangan sekali-kali kau hendak berusaha mencari
dimana aku berada. Lepaskan semua kekuatan. Legakan semua hati, ringankan bobot
berat badan, lepaskan semua kekuatan yang hendak berontak. Tenaga-tenaga jangan
dikerahkan, boleh diumpamakan, kini kau sedang berbaring disebuah sofa yang
amat empuk...... berada dalam pangkuan ibumu, tidak ada kesusahan, tidak ada
kegaduhan. Apapun jangan dipikirkan, tidak ada orang yang bisa mengganggu
keamananmu. Maka, kau akan bebas dari penyedotan air telaga rawa-rawa lengket.”
Sepatah demi sepatah,
kata-kata Siauw Cap-it-long mengiang ditelinganya. Suaranya itu mempunyai arti
yang baru, suara yang memiliki kekuatan ajaib.
Sim Pek Kun yakin dan percaya
kepada kata-kata Siauw Cap-it-long.
Sim Pek Kun melepaskan
keinginannya yang hendak bebas dari cengkeraman telaga rawa-rawa lengket itu.
Ia mengendorkan semua otot-ototnya. Menurunkan kembali kaki yang hendak
diangkat itu.
Tapi ia belum bisa
mengosongkan pikirannya.
Maka, kekuatan ajaib yang
menyedot kedasar telaga bebas kembali.
Sim Pek Kun mengeluarkan
elahan napas lega, ia bertanya perlahan :
“Bisakah aku bicara ?”
“Semua kata-kata harus
diucapkan perlahan-lahan.” berkata Siauw Cap-it-long. “Boleh saja. Suara yang
perlahanpun sudah cukup untuk memasuki pendengaran telingaku.”
Suara Siauw Cap-it-long
semakin mendekat.
Sim Pek Kun berkata :
“Aku bisa mengendorkan semua
ototku. Aku bisa saja tidak menggerakkan tenaga. Tapi aku tidak bisa
mengosongkan isi pikiran.”
“Apa yang sedang kau
pikirkan?” bertanya Siauw Cap-it-long.
“Sedang kupikir,” berkata Sim
Pek Kun “Dimisalkan kita bergerak, maka kekuatan penyedot dari dasar telaga ini
menyeret kita kebawah. Bagaimana kita bisa meninggalkan rawa-rawa lengket ini ?
Mungkinkah kau sudah mempunyai cara untuk membebaskan diri ?”
“Tentu saja !” berkata Siauw
Cap-it-long.
“Hatiku makin lega.” berkata
Sim Pek Kun. “Ternyata kau mempunyai cara untuk membebaskan diri.”
Tiba-tiba, didepan Sim Pek Kun
ada sepasang cahaya yang bersinar terang. Itulah sepasang mata Siauw
Cap-it-long !.
Rasa girangnya Sim Pek Kun
tidak kepalang, gejolak hatinya seperti hendak lompat keluar. Tiba-tiba
wajahnya menjadi merah.
Tidak disangka, jarak mereka
begitu dekat. Hampir saja bersampokan muka.
Sim Pek Kun juga bisa
merasakan penyedotan hawa napas Siauw Cap-it-long.
Siauw Cap-it-long mengelakkan
pandangan mata Sim Pek Kun, ia berkata perlahan :
“Sudah kau bisa melihat
kearahku ?”
“Ya.”
“Itulah. Jarak kita sebetulnya
jauh. Kini sudah mulai mendekat.”
“Bagaimana kau bergerak datang
?” bertanya Sim Pek Kun.
“Aku mempasrahkan diri. Aku
tidak bergerak.” berkata Siauw Cap-it-long. “Setiap gerakan akan membawa akibat
buruk, bisa menenggelamkan kita.”
“Kau tidak bergerak, bagaimana
caranya bisa tiba kesini.”
“Perhatikan baik-baik, air
telaga ini seperti sangat tenang. Kenyataan tidak. Ia tetap bergerak, hanya
saja pergerakkan itu perlahan sekali, sehingga tidak terasa oleh kita.”
“Karena aku diam tidak
bergerak..... maka bisa mengikuti arus air telaga terapung kemari. Bilamana
berontak, tentu tenggelam. Kau bergerak, maka tetap ditempat asalnya, semakin
lama semakin tenggelam, maka kau tidak terbawa oleh arus air telaga, kau diam disini.”
Sim Pek Kun diam tidak bicara,
hatinya bersyukur, karena keadaan yang tak diduga itu. Pikirnya :
“Bilamana aku juga tidak
berontak-rontak, membiarkan diriku terapung ketempat jauh, bagaimana aku bisa
bertemu denganmu ?”
Siauw Cap-it-long berkata lagi
:
“Tidak jauh didepan kita,
adalah tepian, tenangkan hatimu, kosongkan pikiranmu, maka kita akan segera
tiba ditempat itu. Kita bisa tertolong. Bertahanlah, bersabarlah. Aku percaya,
kau bisa mentaati ini.”
Mau tidak mau, Siauw
Cap-it-long menoleh kembali, menatap sepasang sinar mata Sim Pek Kun.
Sim Pek Kun juga sedang
memperhatikan pemuda itu, keempat sinar mata bertumbukan.
Sim Pek Kun diam tidak bicara.
Hatinya yang memberi wakil.
“Demi kepentinganmu, akan
kuusahakan.”
Suara hati nurani bisa
terpantulkan dari cahaya sinar mata, inilah panca indera ketujuh. Suara yang
tidak bisa ditangkap oleh pendengaran telinga.
Orang yang bisa menangkap
suara dari sinar mata ini tidak terlalu banyak.
Tapi Siauw Cap-it-long bisa menangkap
suara hati nurani Sim Pek Kun.
__
TEMPAT TINGGAL SIAUW
CAP-IT-LONG
Sim Pek Kun tidak bicara, tapi
sepasang sinar matanya bisa menyuarakan apa yang terpikir olehnya.
Siauw Cap-it-long bisa
mengerti akan perpaduan hati nurani itu.
Mereka mengosongkan pikiran,
mereka menelentangkan badan.
Arus air telaga rawa-rawa
tenggelam menghanyutkan kedua orang itu ketepi.
Arus air telaga rawa-rawa
tenggelam sangat perlahan, pergerakannya lambat sekali. Tak lama kemudian, Sim
Pek Kun menghela napas dan berkata :
“Hingga saat ini, aku bisa
menyesal akan perbuatanku yang salah.”
“Apa ?”
“Aku merasa bersalah.”
“Apa yang salah ?” bertanya
Siauw Cap-it-long.
“Aku pernah mengutuk Tuhan,
kukatakan Yang Berkuasa itu sering-sering melakukan ketidak adilan. Ternyata
pikiranku itu salah. Biar bagaimana Tuhan itu tetap adil.”
Dengan perlahan-lahan Siauw
Cap-it-long berkata :
“Tuhan itu tetap adil.”
Sesudah itu, mereka tidak
bercakap-cakap lagi. Perlahan demi perlahan, tubuh kedua orang terapung. Kedua
kaki dan kedua tangan terentang dipermukaan air, seperti dua bangkai celentang.
Pergerakkan air rawa-rawa tenggelam terlalu perlahan, senti demi senti menghanyutkan
mereka.
Siauw Cap-it-long memeramkan
mata.
Sim Pek Kun juga mengatupkan
sepasang matanya, hatinya masih berpikir terus, ia masih meragukan sesuatu,
bisakah pergerakan air yang sangat lambat itu menepikan mereka ?
Tapi Sim Pek Kun lebih yakin
kepada Siauw Cap-it-long, karena itu ia mempasrahkan diri kepada si jago
berandalan.
Ia paling suka dengan sepasang
sinar mata Siauw Cap-it-long yang bisa memantulkan cahaya kemurnian.
Ia tidak berani menantang
adanya sinar mata itu, sinar mata itu seperti senjata yang sangat tajam,
menembus hatinya, menembus badannya, sepasang sinar mata itu yang membuat
hatinya berdebar-debar keras.
Seharusnya Siauw Cap-it-long
mengajaknya bicara. Tapi Siauw Cap-it-long tidak bicara.
Mengapa ?
Akhirnya Sim Pek Kun tidak
tahan, ia memanggil perlahan :
“Hei.....”
Siauw Cap-it-long membuka
kembali sepasang sinar mata yang dikatupkan itu, memandang kearah sang ratu
rimba persilatan ia bertanya :
“Ada apa ?”
“Kukira.....” Sim Pek Kun
menghentikan suaranya. Tidak ada bahan pembicaraan yang lebih menarik.
Mereka saling pandang beberapa
waktu. Lama sekali.
“Tahukah kau, siapa yang
menolong kita berdua ?” bertanya Siauw Cap-it-long.
“Tentu saja.....kau.” berkata
Sim Pek Kun.
Daya tangkap telinga Sim Pek
Kun juga merasakan perobahan deburan hati Siauw Cap-it-long yang bertambah
keras, napasnya Siauw Cap-it-long juga agak memburu.
Hati Sim Pek Kun menjadi
bingung.
Siauw Cap-it-long
menggoyangkan kepala, ia berkata :
“Bukan.”
Sim Pek Kun membelalakkan
mata, ia bertanya :
“Siapa ?”
“Srigala itu.” berkata Siauw
Cap-it-long
Siauw Cap-it-long mengenangkan
kejadian lama, sepasang matanya dialihkan mengarah ketempat yang sangat jauh,
Ia teringat bagaimana srigala itu merendam diri ditelaga ini, bagaimana sang
binatang menyembuhkan luka-lukanya.
“Aku pernah mendengar cerita
tentang srigala itu.” berkata Sim Pek Kun.
“Srigala tersebutlah yang
menolong kita. Dari pelajaran itu, aku mengetahui didalam air telaga ini
terdapat unsur-unsur pengobatan yang luar biasa. Bagaimana aku harus bertahan
dari penderitaan, air telaga ini bisa menyembuhkan sesuatu luka-luka.”
“Sangat kebetulan.” berkata
Sim Pek Kun.
“Bukan kebetulan.” berkata
Siauw Cap-it-long. “Seseorang yang hendak mempertahankan hidupnya harus kuat,
karena ia harus kuat bertahan dari segala gangguan, kuat bertahan dari segala
kesepian, dapat kuat bertahan dari segala hinaan-hinaan, serta kuat bertahan
dari segala macam penderitaan.”
“Pelajaran-pelajaran yang kau
tarik dari cerita srigala sangat menarik.” berkata Sim Pek Kun.
“Tentu saja. Sebagai seorang
manusia kita memiliki otak yang lebih cerdik dari srigala, srigala itu bisa
menyembuhkan luka-lukanya didalam air yang mengandung unsur obat-obatan,
mungkinkah kita tidak bisa ?”
“Kau menaruh salut kepada
srigala ?”
“Srigala adalah binatang yang
menyendiri, kadang-kadang mereka juga bisa berkumpul mencari mangsa, tapi
sesudah itu, masing-masing memisahkan diri pula, hidupnya tidak kompak. Lebih
suka hidup menyendiri, daripada hidup berdua atau hidup berkelompok.”
“Kau juga hendak hidup
menyendiri ?”
“Hidup menyendiri bisa bebas
dari segala gangguan-gangguan yang ada. Manusia itu memiliki sifat ketamakan,
sifat kejahatan, itulah letak kesalahan.”
“Disini letak perbedaan antara
manusia dan srigala ?”
Siauw Cap-it-long berkata :
“Orang benci kepada srigala.
Dikatakan srigala itu mempunyai hati yang kejam, kukatakan tidak ! Manusialah
yang lebih kejam dari srigala, boleh dibayangkan, seekor srigala hanya menikah
satu kali. Hidup satu suami dan satu isteri. Mereka tidak berpisah. Dimisalkan
srigala jantan mati, sang betina akan menyendiri terus menerus, sehingga
mengakhiri hidupnya. Ia tidak akan kawin lagi, demikian juga keadaan srigala
jantan, bilamana sang betina mati, sang jantan juga tidak akan mencari isteri
muda.”
Sesudah itu, dengan suara
sinis, Siauw Cap-it-long melanjutkan ceritanya :
“Adakah sifat-sifat srigala
ini dimiliki oleh manusia ? Oh...... tidak !.... berapakah laki-laki yang setia
kepada isterinya ? Bini muda, gula-gula, dan wanita piaraan, tersebar diseluruh
peloksok. Anggapnya ia seorang besar, bisa memiliki isteri yang banyak.
Sebaliknya, memang bisa dihitung dengan jari wanita yang menyeleweng dari
suaminya, tapi dimisalkan, seseorang yang kehilangan suami, bisakah ia hidup
menyendiri ? kukira tidak. Dengan alasan untuk menyambung hidup, ia kawin
lagi.”
Sim Pek Kun tidak membuka
mulut.
Siauw Cap-it-long berkata lagi
:
“Hidup yang tekad adalah hidup
suami isteri, bilamana hidup suami isteri tidak mempunyai kesepakatan, hidup
suami isteri penuh dengan curiga mencurigai. Apalagi hidup dengan lain-lainnya,
bagaimana manusia dengan manusia ? Manusia lebih jahat dari srigala.”
Lama sekali Sim Pek Kun
terdiam, kini ia membuka mulut.
“Kadangkala, srigala juga bisa
memakan seekor srigala lainnya.”
“Bagaimana keadaannya manusia
? Mungkinkah tidak memakan kawan ?” berkata Siauw Cap-it-long. “Seekor srigala
akan menggerogoti daging kawannya, bilamana didalam keadaan terpaksa, bilamana
daya tahan laparnya tidak tertahan lagi. Tapi manusia tidak mempunyai sifat
itu, manusia bisa makan kawan didalam keadaan perut kenyang, walaupun perut
kenyang, walaupun ia hidup didalam serba kecukupan, bisa saja ia memakan
kawan.”
Sim Pek Kun menghela napas; ia
berkata :
“Kau lebih banyak mengenal
sifat-sifat srigala, daripada mengenal sifat-sifat manusia.”
“Oh ? ! .......”
“Tidak semua manusia itu
jahat.” berkata Sim Pek Kun. “Dan kebetulan, manusia manusia yang kau jumpai
adalah manusia jahat. Mungkin sedikit sekali manusia baik yang berada
didekatmu.”
Giliran Siauw Cap-it-long
menutup mulutnya rapat-rapat.
“Hei,” berkata Sim Pek Kun.
“Jangan ceritakan tentang srigala saja. Mengapa kau tidak ceritakan tentang
keadaanmu ?”
“Aku ?!” berkata Siauw
Cap-it-long. “Tidak ada sesuatu yang bisa kuceritakan.” “Ya.” berkata Sim Pek
Kun. “Bagaimana keadaan kedua orang tuamu ?”
“Mereka tidak ada.” jawab
Siauw Cap-it-long.
“Dimana saudara atau saudarimu
?”
“Mati ! Semua sudah mati !”
Sepasang sinar mata Siauw
Cap-it-long berubah menjadi liar, seperti hendak memancarkan api.
Hati Sim Pek Kun seperti
ditusuk. Terbayang kembali, kedua orang tua Siauw Cap-it-long, tentunya telah
dibunuh oleh manusia-manusia tamak dan celaka.
Percakapan itu terhenti sampai
disitu.
Tanpa mereka sadari air dari
telaga rawa-rawa tenggelam bergerak, walau perlahan, gerakan itu tetap ada.
Akhirnya menepikan kedua manusia yang mereka ombang-ambingkan.
Siauw Cap-it-long merambat
naik ketepi, menyeret Sim Pek Kun dan membantu nyonya tersebut meninggalkan
telaga rawa-rawa tenggelam.
Sim Pek Kun mendongakkan
kepala, mereka berada di dasar tebing yang curam. Disekeliling mereka terkurung
oleh gunung-gunung tinggi, hawa disitu tidak menjadi dingin, hangat.
Tempat ini adalah suatu tempat
yang sangat indah, tidak terjadi perobahan hawa. Tidak ada angin puyuh, keadaan
tenang , sunyi dan sepi.
Lembah gelap ! Demikianlah
Siauw Cap-it-long menamakan tempat itu !
Sebuah air terjun yang kecil
mengalirkan airnya, air itu jatuh berpercik disekitar mereka.
Melupakan keadaannya yang
basah kuyup, melupakan pakaiannya yang kotor dan dekil, melupakan lumpur-lumpur
dari air telaga yang berbau busuk itu, Sim Pek Kun terpesona atas panorama yang
disaksikan.
Lama sekali Sim Pek Kun
mematung ditempat itu, lupa kepada dirinya sendiri.
“Tidak kusangka !” akhirnya ia
mengeluarkan keluhan panjang. “Masih ada satu tempat yang seindah ini.”
“Sebelumnya juga tidak
kusangka.” berkata Siauw Cap-it-long. “Bilamana tidak ada bantuannya.......”
“Lagi-lagi cerita srigala.”
potong Sim Pek Kun.
Mereka menuju kesebuah
bangunan. bangunan itu terbuat dari kayu, bangunan yang terletak
dicabang-cabang pohon besar.
“Oh!” Sim Pek Kun agak
terperanjat “Ada orang yang tinggal disini ?”
Siauw Cap-it-long
menggelengkan kepala, ia berkata :
“Kecuali kita berdua. Tidak
ada orang ketiga yang bisa berada disini.”
Sim Pek kun menoleh kearah
Siauw Cap-it-long, menatap wajah pemuda itu, seolah-olah hendak bertanya,
bagaimana ada bangunan didalam lembah curam ?
“Itulah tempat tinggalku.”
Siauw Cap-it-long memberi keterangan. “Semua orang memiliki rumah, bukan ? Dan
aku juga memiliki rumah. itulah rumahku.”
“Rumahmu ?”
“Pertama kali aku mendatangi
tempat ini, aku mulai tertarik.” berkata Siauw Cap-it-long. “Hidupku sebatang
kara, maka aku membangun rumah disini.”
Sim Pek Kun bisa menerima
keadaan yang seperti itu, ia menganggukkan kepala berkata :
“Disini ada buah dan
sayur-sayur. Disini ada air terjun yang jernih. Inilah tempat yang sangat
indah. Aku yakin dan percaya, kau suka tempat ini.”
“Karena aku tidak bisa hidup
bersama-sama manusia.” berkata Siauw Cap-it-long tertawa nyengir.
Sim Pek Kun mulai bisa
menduga, apa yang menyebabkan hidup kesepian Siauw Cap-it-long.
“Kukira, manusia itu tidak
memiliki sifat srigala, srigala juga tidak memiliki sifat manusia.” berkata
Siauw Cap-it-long.
“Karena kau percaya, bahwa kau
adalah seorang manusia.” berkata Sim Pek Kun mesra. “Sesuatu yang dilakukan
oleh srigala, tidak mungkin diturut olehmu, bukan ?”
Siauw Cap-it-long bergumam :
“Betul. Manusia tetap seorang
manusia. Srigala tetap binatang srigala. Tidak mungkin srigala mengikuti
kehidupan manusia, tidak mungkin manusia mengikuti jejak binatang.”
Siauw Cap-it-long mengajak Sim
Pek Kun ketempat tinggalnya, ia siap naik ke bangunan itu :
“Sudah lama rumah ini
kutinggalkan. Tentu sangat kotor, tebal debu mungkin sampai beberapa dim, biar
kusapu dulu. Eh... kau sudah bisa berjalan seorang diri ?”
Sim Pek Kun menggerak-gerakkan
kakinya, luka yang diderita telah sembuh. Ia berkata :
“Tuhan itu adil. Adil kepada
srigala, dan adil pula kepada manusia. Air dari telaga rawa-rawa tenggelam bisa
menyembuhkan luka srigala, tentu saja bisa menyembuhkan luka manusia pula. Lukaku
telah sembuh.”
“Baik.” berkata Siauw
Cap-it-long. “Bilamana kau hendak membersihkan diri, pergilah ke air terjun
itu. Kau bisa membersihkan pakaian dan membersihkan diri. Aku hendak menyapu
rumah, kutunggu kedatanganmu di dalam.”
Hanya kata-kata ini sudah
cukup menggirangkan Sim Pek Kun.
Suara Siauw Cap-it-long adalah
suara yang penuh daya tarik, tidak pernah ada satu yang tidak memikat.
Sesudah meninggalkan pesan
tadi, Siauw Cap-it-long meninggalkan Sim Pek Kun. Ia lompat kedalam rumahnya,
dengan maksud membersihkan segala apa yang sudah terbengkalai itu.
Sim Pek Kun menuju kearah air
terjun, sebagai seorang wanita yang sangat menjaga kebersihan, keadaannya sudah
tidak sepadan lagi, ia harus bisa membawa diri, membersihkan baju dan mencuci
pakaian, menghilangkan lumpur-lumpur dan bau air telaga rawa-rawa tenggelam
yang berbau busuk itu.
Diantara rumah bangunan dan
air terjun terdapat jarak yang cukup jauh. Disana Sim Pek Kun bebas membuka
pakaian. Menyembunyikan diri dibalik semak-semak ia membersihkan badan.
Waktu Sim Pek Kun sering
terbuang percuma. Hidupnya dengan Lian Seng Pek sering dilanda kekosongan.
Dimasa kecilnya, sering Sim
Pek Kun duduk didepan pintu. Menunggu kembalinya sepasang orang tua yang suka
mengembara.
Kedua orang tua Sim Pek Kun
adalah pendekar-pendekar pengembara yang sering melakukan kebajikan dan
kebaikan-kebaikan.
Sim Pek Kun duduk didepan
pintu rumah, menantikan kedatangan kedua orang itu, tentu saja menanti-nanti
didalam waktu yang sangat lama.
Seringkali, Sim Pek Kun harus
menunggu sampai berhari-hari, sehingga berbulan-bulan.
Sim Pek Kun sering menantikan
kehadiran sang ayah yang ramah, sang ibu yang manja. Merangkulkan dirinya
didalam rangkulan kedua orang tua itu, menerima cinta kasihnya. Demikian tunggu
menunggu, hingga terjadinya suatu hari, mulai saat itu ia tidak akan menunggu
lagi, tidak mungkin ayah dan ibunya bisa ditunggu.
Hari itu Sim Pek Kun menunggu,
yang datang bukanlah kedua orang tuanya, tapi kedua peti mati yang muncul
didepannya
Kedua orang tua Sim Pek Kun
yang di tunggu-tunggu itu tidak tiba, yang kunjung datang adalah dua buah peti
mati, dua buah peti mati yang berisi orang tuanya.
Mulai saat itu, Sim Pek Kun
tidak pernah menunggu kembalinya kedua orang tua.
Ia mulai dewasa, tapi tetap
menunggu. Kini yang ditunggu bukan kedua orang tuanya lagi, yang ditunggu
adalah sang nenek.
Setiap pagi, ia harus
mengucapkan selamat pagi kepada si nenek, sesudah itu balik ke kamarnya.
Demikian makan siang, menunggu
sehingga datangnya siang, sesudah makan siang ia bisa bertemu dengan neneknya.
Menunggu lagi sehingga datangnya malam, maka ia bisa bertemu dengan nenek itu.
Nah itulah waktunya yang
paling gembira.
Sim Pek Kun duduk dipangkuan
sang nenek, mendengar cerita-cerita yang aneh-aneh. Sang nenek bercerita
kepadanya, bagaimana rahasianya jarum keluarga Sim yang hebat !
Waktu malampun datang, tapi
tidak terlalu lama, ia harus tidur, ia harus menunggu sehingga keesokan
malamnya.
Semakin lama, Sim Pek Kun
mulai mengerti. Ia dewasa.
Apa pula yang harus ditunggu
sesudah Sim Pek Kun dewasa ?
Seperti gadis-gadis lainnya,
wanita itu hendak melewati jenjang perkawinan. Nasib Sim Pek Kun lebih baik, ia
mendapat seorang calon suami yang dijunjung orang. Sim Pek Kun kawin dengan
Lian Seng Pek.
Lian Seng Pek adalah seorang
pemuda gagah, seorang laki-laki ideal, memiliki harta kekayaan yang cukup
banyak, ia dilengkapi dengan ilmu kepandaian silat yang tinggi. Kedudukannyapun
baik.
Siapa yang menjadi istri Lian
Seng Pek, tentu merasa bahagia dan bangga.
Karena itulah, Sim Pek Kun
bangga dan bahagia. Sifatnya menunggu itu tetap ada, kini sering Sim Pek Kun
menunggu tepian jendela menunggu kembalinya sang suami yang penuh kependekaran
itu.
Kadang-kadang, Lian Seng Pek
pergi mengembara, seperti menunggu kembalinya kedua orang tua dahulu. Sim Pek
Kun menunggu kembalinya sang suami, sekali tunggu, berhari-hari atau
berbulan-bulan.
Bayangan kelam terpeta
kembali, Sim Pek Kun takut bisa menunggu kembalinya sebuah peti mati.
Ia paling takut akan munculnya
peti mati.
Harapan itu tidak diharapkan,
tapi bayangan itu tetap ada.
Kekuatan menunggu Sim Pek Kun
telah terlatih lama, bagaimana rasanya menunggu orang ? Sim Pek Kun lebih bisa
meresapi hari-hari itu. Menunggu bukanlah suatu pekerjaan yang mudah
dilaksanakan.
Menunggu membutuhkan ketekunan
yang luar biasa.
Sim Pek Kun sudah biasa
menunggu, karena itulah, ia paling takut mendapat tugas menunggu. Hanya,
kedudukan Sim Pek Kun telah ditakdirkan untuk menunggu. Dari menunggu sang
jenazah kedua orang tua, menunggu cerita sang nenek dimalam hari, menunggu
hadirnya sang suami dan lain-lainnya.
Sekarang, Sim Pek Kun masih
membersihkan diri. Pakaiannya yang basah sudah dikeringkan. Apalagi yang
ditunggu olehnya ? Hari ini ia bebas tunggu. Giliran orang yang menunggu
dirinya.
Sim Pek Kun bisa maklum, Siauw
Cap-it-long sedang menunggu kembalinya.
Berapa lama ia mandi dan
berganti pakaian, tidak perlu ragu. Tetap akan ditunggu oleh Siauw Cap-it-long.
Kapan saja ia kembali, kapan
saja ia mendatangi rumah didasar lembah gelap itu, disana akan muncul seorang,
disana akan ditunggu seorang. Siauw Cap-it-long tidak akan absen.
Tempat tinggal Siauw
Cap-it-long bukanlah tempat yang mewah, Siauw Cap-it-long tidak mempunyai
hubungan keluarga, tapi kesannya kepada Siauw Cap-it-long sangat baik. Terasa
keadaan yang aman dan tenteram.
Sim Pek Kun tidak lagi
menunggu. Tapi ditunggu.
Sim Pek Kun hidup didalam
dasar lembah gelap itu bukan sebatang kara, masih ada orang yang mengawaninya.
Inilah yang menjadikan ia aman dan tenteram.
PERTEMUAN DAN PERPISAHAN
KECUALI sebuah tapang, didalam
rumah itu tidak ada lain perabot, sangat kosong. Setiap kali Siauw Cap-it-long
kembali, bisa saja ia merasakan hal itu.
Semakin lama, hatinya semakin
kalut.
Tentu saja Siauw Cap-it-long
bisa menambah perabot rumah tangga, agar keadaan itu lebih meriah. Tapi ia
tidak melakukan hal tersebut. Karena ia tahu, penuhnya perabot rumah tangga
bukan berarti penuh isi hatinya, kekosongan hati tanpa menjadikan keserasian
yang cocok. Isi rumah yang kosong agak sesuai dengan isi hatinya yang hampa.
Kekosongan rumah itu tidak
dirasakan Siauw Cap-it-long. Jarang ia kembali, tempat ini hanya sebagai tempat
istirahat. Tidak terlalu lama, sesudah itu ia berangkat lagi. Mulai dengan
petualangannya.
Karena itulah, sebuah bale2
itu cukup digunakan sebagai tempat tidur.
Sekarang, sangat dirasakan
sekali, keadaan rumah seperti sediakala, tapi sangat dirasakan kosong.
Dan menyimpang dari kebiasaan,
hati yang hampa itu seperti sudah padat terisi. Kini Siauw Cap-it-long betul2
merasa, ia masih memiliki rumah!
Untuk pertama kalinya, Lembah
Gelap itu dianggap sebagai rumah.
Perasaan pulang kerumah sangat
nyaman, ternyata kembali kerumah begitu bahagia.
Siauw Cap-it-long sudah
selesai membersihkan isi perabot rumah tangga, yang dikatakan perabot hanyalah
bale-bale tempat tidur itu.
Kini Siauw Cap-it-long
menunggu, tapi hatinya tenang, ia menunggu dengan penuh kesabaran. Karena ia
tahu, orang yang ditunggu itu tidak terlalu lama, pasti, pasti sekali, orang
yang ditunggu itu akan tiba.
Didalam satu rumah yang
kosong, akan terjadi perubahan, manakala rumah itu bertambah penghuni. Apalagi
penghuni wanita.
Betapa buruknya rumah yang
ditinggali oleh seorang wanita, betapa sempitnya rumah yang ditinggali oleh
seorang wanita, rumah buruk dan sempit itu tidak akan dirasakan lagi. Hanya
wanitalah yang betul2 bisa meresapi dan menghiasi serta mengurusi isi rumah.
Hanya wanita yang bisa
menghangatkan badan seorang laki-laki.
Karena itulah, Tuhan
menciptakan Hawa.
Laki itu bersifat malas, tidak
mau mengurus rumah tangga, karena itu tanpa adanya wanita, rumah akan dirasakan
menjadi kosong.
Untuk mengisi kekosongan ini,
perlu mendapatkan seorang wanita. Terlebih-lebih wanita yang sangat dicintai.
Tidak perlu disebutkan,
mengapa Siauw Cap-it-long bisa menjadi rajin, mengurus rumah tangga.
Didalam sekejap mata, tempat
itu telah bertambah dengan meja dan kursi, diatas bale-bale juga bertambah
rumput penutup agar lebih empuk.
Inilah rumahnya. Ia akan
menghias, merawat rumah ini lebih sempurna.
Mulai saat itulah, Siauw
Cap-it-long merasa bahwa ia telah memiliki sebuah rumah.
Sim Pek Kun tiba didalam
bangunan itu sesudah Siauw Cap-it-long membersihkan sesuatu dengan baik.
Disana telah bertambah meja,
diatas meja tersedia jambangan bunga, didalam pot itu tertancap bunga2.
Dikala mereka makan, disana
telah tersedia piring, mangkok, cangkir. Semuanya terbuat dari kayu
Makanan selalu tersedia,
kadang kala, tersedia juga ikan kering, daging bakar, dan sayur mayur.
yang menjadi kekurangan adalah
garam. Tidak mungkin mereka bisa menemukan garam ditempat itu.
Walau makanan itu kurang
garam, tapi rasanya tetap segar.
Siaw Cap It Long memiliki
sepasang tangan yang lincah, sekeping papan yang jatuh kedalam tangannya,
didalam sekejap mata bisa menjadi pot bunga yang indah, atau menjadi piring
mangkok yang cocok.
Bisa disaksikan, rumput-rumput
bila dikehendaki oleh Siaw Cap It Long didalam sekejap mata bisa menjadi
makanan-makanan yang lezat.
Sim Pe Kun juga tidak
ketinggalan, dengan sepasang tangannya dia juga menganyam rumput, itulah taplak
meja.
Luka mereka sembuh dengan
cepat.
Tentu saja obat luka mereka
adalah air telaga rawa lengket itu. Disamping pengobatan yang sempurna, hati
mereka yang girang juga menambah proses penyembuhan mereka.
Mereka hidup tenang dan
bahagia
Sehingga tiba pada suatu hari
, dikala Siaw Cap It Long membuka matanya, tampak Sim Pek Kun sedang
menyelimutkan rumput yang baru dibuat.
Sepasang sinar mata mereka
bertumbukan. Wajah Sim Pek Kun menjadi merah, menundukkan kepalanya, ia berkata
dengan suara rendah :
“Hawa malam sangat jahat,
nanti kau bisa masuk angin.”
Ternyata Siaw Cap It Long
menyerahkan rumahnya kepada Sim Pek Kun. Sedangkan ia sendiri duduk diluar
rumah.
Siaw cap It Long menatap sang
ratu rimba persilatan itu, tanpa sekecap kata keluar dari mulutnya.
Kepala Sim Pek Kun ditundukkan
semakin rendah, ia berkata :
“Mengapa kau tidak membangun
satu rumah lagi ! mengapa kau lebih suka tidur dibawah embun pagi dan angin
malam ?.Mengapa kau menyerahkan rumah ini membiarkan aku hidup senang, dan
menyiksa dirimu sendiri ?”
Mulai dari saat itu, Siaw cap
It Long semakin repot.
Dibangunan kecil yang sudah
ada, terbangun lagi lain cangkrang rumah.
Seorang manusia tidak bisa
mengembangkan kepintarannya, apabila tidak diliputi oleh kesenangan-kesenangan.
Kebahagiaan manusia akan mempercepat proses kehidupan.
Cepat sekali, bangunan rumah
baru hampir selesai.
Bagian 8 Selesai