Anak Harimau Bagian 31

Baca Cersil Mandarin Online: Anak Harimau Bagian 31

Bagian 31

Mereka pasti sudah saling berpelukan, saling berciuman dan saling bermesrahan, bahkan bisa juga jadi kehidupan mereka su-dah tak ubahnya seperti kehidupan suami istri--

Setiap tengah malam ia terbangun dari tidurnya dan terbayang akan persoalan ini, gadis itu tak pernah bisa tidur lagi.

Ia pernah mendengar To Seng cu membica-rakan soal Si Cay soat kepada ibunya, dika-takan meski Si Cay soat adalah seorang gadis yang berbudi luhur, dengan kekerasan hati-nya luar biasa, ditambah lagi rasa ingin menangnya yang besar, dalam segala hal dia tak mau kalah ditangan orang, karena itu dia merasa tak mungkin bisa bergaul dengan manusia seperti ini.

Daripada diakhirnya nanti bentrokan di-antara mereka berdua menyebabkan Lan See giok tidak berhasil memperoleh kebahagiaan, jauh lebih baik bila sekarang juga dia me-ngundurkan diri dan meninggalkan kenangan yang indah.

Tentu saja dia masih tetap mencintai adik Giok, cuma dia ingin memendam rasa cinta nya itu dihati kecil, dia ingin menemani ibunya yang kesepian dan hidup sepanjang masa di sana. .

Kini Ciu Siau-cian mulai menyesal, apa se-babnya dia harus menunjukkan perasaan hangat dan cintanya sewaktu menyambut kedatangan Lan See-giok yang sudah berpisah setahun lamanya itu.

Ia merasa semestinya dapat mempertahan-kan jarak dan sikap dalam perjumpaan tadi, namun rasa rindu yang meluap luap, rasa kangen yang dirasakan setiap malam, mung-kinkah bisa mengendalikan dia dalam menghadapi situasi demikian?

Sekarang, untuk pertama kalinya ia harus merasakan betapa menderitanya bila harus mengendalikan rasa cinta di dalam hati, apalagi bila terbayang bagaimana sepanjang hidupnya kemudian harus dilalui dalam sik-saan dan kesepian, tiba-tiba perasaannya menjadi sedih, hampir saja titik air mata jatuh berlinang.

Masih untung ia berdiri membelakangi See giok, sehingga air matanya dapat di kendali-kan agar tidak meleleh ke luar, namun dia sendiri pun tahu, saat ini adik Giok tentu se-dang menderita pula akibat dari sikapnya itu.

Dalam ruang dapur, selain suara nasi yang ditanak serta bau harum dari hidangan, sua-sana terasa hening dan tak kedengaran suara yang lain.

Seperti apa yang diduga gadis itu, Lan See giok memang sedang terjerumus dalam penderitaan.

CIU SIAU CIAN merupakan gadis per-tama yang memasuki kehidupannya, dia pula me-rupakan Dewi cantik yang dipuja dan di hor-mati selama ini. baginya, ia boleh me-lepaskan semua benda berharga yang dimilikinya se-lama ini, namun tak mungkin bisa kehila-ngan enci Cian.

Saat itu dia hanya berdiri termangu -mangu di belakang gadis tersebut, perasaan gembira dan riang yang menyelimuti perasaannya tadi, kini telah berubah menjadi penderitaan dan kesedihan, dia tak tahu apa yang mesti diperbuat agar bisa membangkitkan kembali kegembiraan gadis tersebut.

Selesai mempersiapkan semacam sayur, Siau cian diam-diam melirik sekejap kearah pemuda itu, menyaksikan sang pemuda yang pulang dengan penuh kegembiraan dan se-mangat, kini justru berdiri termangu dengan kening berkerut, hatinya terasa sakit ber-campur pedih.

Ia tak dapat berbuat begini terus, diapun tak tega menyiksa kekasih hatinya. maka setelah mendehem dan memaksakan senyu-man gembira, tegurnya: "Adik Giok . . . me-ngapa kau hanya membungkam terus-?"

Sambil berkata ia membalikkan badan serta memandang sekejap wajah anak muda itu dengan pandangan matanya yang jeli.

Lan See giok merasakan hatinya bergolak keras, menderita bukan kepalang, senyum-an yang diperlihatkan Siau-cian sekarang. ibaratnya orang dalam kegelapan yang tiba-tiba melihat sinar lentera, segera menampil-kan kembali semangat dan keberanian di dalam hatinya.

Ia merasa inilah saatnya untuk meng-ucap-kan kata-kata pujian kepada gadis itu, diapun perlu menyampaikan beberapa kata bagi Si Cay soat, agar pertemuan mereka be-sok tidak dilewati dalam suasana yang serba kaku.

Setelah mendehem sejenak katanya kemu-dian.

"Enci Cian, adik Soat bilang jubah biru yang kau jahitkan untukku itu dibuat dari ulat sutera langit.... "

"Ehmmm. betul" Siau cian mengangguk, "benda itu diperoleh ibu sewaktu dia mengi-kuti sucou Huan-in suthay belajar silat di Thian san barat dan menemukannya dalam sebuah gua."

Dengan cepat Lan See-giok menjadi paham, rupanya perguruan bibi Wan adalah Thian-san-pay.

Namun di dalam suasana begini, dia sama sekali tak berniat untuk mencari tahu ten-tang masalah tersebut, katanya lebih jauh.

"Adik Soat pun bilang, jahitanmu sangat indah lagi rapi, bila dibandingkan dengan ha-sil karyanya dia kalah jauh sekali darimu."

Siau-cian pura-pura tertawa riang, sengaja dia berseru:

"Sayang sekali bukan hasil karyaku-"

Sebelum gadis itu menyelesaikan kata -ka-tanya, pemuda itu segera membantah.

"Kau tak usah membohongiku, aku sudah mengendus pakaian yang kau berikan un-tukku itu. di atasnya masih tersisa bau ha-rum dari tanganmu"

Merah dadu selembar wajah Siau-cian karena jengah, ia segera terbungkam dan tak mampu membantah lagi, namun pemuda itu dapat melihat, di atas wajahnya yang merah jengah, terselip rasa terhibur meski terdapat pula rasa murung.

Maka ia pun berkata lebih jauh:

"Selain itu, sarung pedang dan sepatu yang cici hadiahkan untuk adik Soat. membuat adik Soat terkejut bercampur kegirangan sedemikian gembiranya sampai dia cuma bisa menyebut enci Cian berulang kali ..."

Sambil tersenyum Siau-cian menyela.

"Ibu yang menyuruh aku menjahitkan buat nona Si. sebab selama kau belajar silat di bukit Hoa-san, semua kebutuhan hidup ter-gantung padanya...."

Ketika berbicara sampai disini, suaranya berubah menjadi agak gemetar dan ia tak sanggup melanjutkan kembali kata-katanya.

Lan See- giok merasa sedih sekali, dengan sinar mata penuh rasa sesal dia menengok ke arah Siau cian, sedang pembicaraanpun ber-henti di tengah jalan.

Untuk menenangkan gejolak perasaan dalam hatinya.. serta untuk melenyapkan kemurungan serta kepanikannya, ia segera memejamkan mata, mengerahkan tenaga dan diam-diam mengatur pernapasan ..,

Mendadak ia seperti mendengar ada orang sedang berlarian mendekat. orang itu datang dari sebelah utara dusun.

Dengan cepat ia membuka mata, kemudian berbisik lirih.

Enci Cian, ada orang sedang bergerak menuju ke arah kita!"

Siau cian segera berhenti bekerja dan me-masang telinga untuk mendengarkan dengan seksama, akan tetapi ia tak berhasil mende-ngar sesuatu apapun.

Akhirnya dengan kening berkerut dan nada penuh keraguan ia bertanya.

"Adik Giok, apakah kau berhasil mende-ngarnya?""

Dengan sorot mata penuh rasa kaget dan keheranan, ia menengok wajah pemuda tersebut.

Lan See giok mengerutkan dahinya lalu memasang telinga dan mengamati sekali lagi dengan cepat dia manggut berulang kali.

"Yaa, ilmu meringankan tubuh yang dimi-liki orang ini sudah mencapai titik kesem-purnaan. kecepatan geraknya tidak seperti kawanan jago biasa . . .

Ketika dilihatnya Sian cian masih belum percaya, pemuda itu menambahkan lagi de-ngan wajah serius.

"Sungguh enci Cian, orang itu paling ban-ter cuma berjarak sepuluh kaki dari kita."

Melihat mimik wajah Lan See giok, mau tak mau Siau cian harus percaya kepadanya maka diapun memasang telinga kembali

Benar juga. tiba-tiba terdengar suara ujung baju terhembus angin berkumandang datang, pengalaman memberitahu kepadanya bahwa orang itu sudah berada di luar pagar pekarangan.



Namun setelah dipikir sebentar, hatinya segera tergerak, sambil tertawa cekikikan se-runya cepat.

" Oooh, ibu telah pulang rupanya"

Sekali lagi Lan See giok memasang telinga, tak salah lagi, orang itu memang melompat masuk dari luar pagar halaman. maka seru-nya berulang kali.

"Bibi, bibi-. "

Sekali berkelebat, bayangan tubuhnya su-dah lenyap dari pandangan mata.

Siau cian amat terkejut, sekarang dia baru sadar, rupanya kepandaian silat yang dimiliki adik Gioknya telah mengalami kemajuan yang mengerikan sekali dalam setahun ini.

Setelah berhasil menenangkan hatinya, ia segera maju ke depan untuk menyongsong kedatangan mereka.

Terdengar suara angin berhembus lewat ditengah halaman. Hu-yong siancu dengan pakaian ringkas berwarna ungu telah mela-yang turun dalam halaman.

Dengan air mata bercucuran Lan See giok segera bersorak gembira, kemudian menu-bruk ke depan

Hu-yong siancu sendiripun terkejut ber-campur gembira sehingga hampir saja tak mampu mengendalikan diri setelah melihat kemunculan Lan See-giok. Serunya:

"Anak Giok, rupanya kau telah tiba lebih dulu di rumah."

Tampa sadar dia memeluk tubuh pemuda itu ke dalam rangkulannya. lalu seperti seta-hun berselang dengan penuh kasih sayang membelai bahu serta lengan anak muda tersebut.

Bagi Lan See giok, bibi Wan dipandang se-bagai ibu kandung sendiri. sebab dialah satu satunya orang yang dia anggap keluarga sendiri, tak heran kalau saking emosinya, dia sampai menjatuhkan diri berlutut.

Ketika membelai bahu dan kepala Lan See giok, di dalam benak Hu-yong siancu seakan akan muncul bayangan tubuh dari Lan Khong-tay semasa lagi muda itu, air mata-nya, bagaikan mutiara yang putus benang, jatuh bercucuran dengan derasnya..,

"Anak Giok. ayo bangun dan mari kita duduk di dalam rumah" akhirnya ia membi-sik sambil menyeka air mata di mata pemudba itu.

Dalam djetik-detik demigkian, Lan See gbiok sama sekali terbuai di dalam kasih sayang ibu, semua penderitaan, semua kesedihan terlupakan sama sekali.

Ia mendongakkan kepalanya, memandang bibi Wan penuh hormat, kemudian bisiknya dengan air mata berlinang.

"Bibi, setiap hari anak Giok selalu me-rin-dukan kau!"

Hu-yong siancu mengucurkan air mata nya lalu tertawa ramah, sahutnya seraya me-ngangguk.

"Setiap hari. aku dan cici Cian mu juga se-lalu berharap kau berhasil dalam pelajaran silat dam pulang secepatnya!"

Sambil berkata, dia membangunkan pe-muda itu dari atas tanah.

Lan See giok segera terseret bangun namun bila teringat bagaimana enci Cian nya tiba-tiba marah dan tidak senang hati, sekali lagi air matanya jatuh berlinang.

Hu-yong siancu mengamati pemuda itu dengan seksama, Ia merasa Lan See giok su-dah jauh lebih tinggi daripada dirinya, de-ngan penuh rasa gembira katanya kemudian.

"Anak Giok. kini kau sudah dewasa. Masa air matamu masih berlinang?

"Apakah kau tidak takut ditertawakan enci Cianmu?"

Seraya berkata, dengan penuh keramahan ia melirik sekejap ke arah Siau cian yang berdiri di depan pintu dapur.

Mendengar perkataan itu Lan See-giok berhenti menangis. namun perasaannya jus-tru bertambah berat.

Hu-yong siancu mengira hal ini di sebab-kan gejolak emosinya setelah lama berpisah, karenanya tidak begitu menaruh perhatian, hanya ajaknya.

"Anak Giok; ayo kita duduk di dalam ru-angan saja!

Mendadak sinar matanya mengerling se-kejap ke arah kuda hitam Wu-wi kou yang berada di sudut halaman dengan pandangan terkejut bercampur keheranan, kemudian baru melangkah masuk ke ruangan.

Lan See-giok mengikuti di belakang bibi-nya, dia mencoba mengerling sekejap ke arah Ciu Siau cian yang berdiri sedih. namun Siau cian segera menundukkan kepalanya sambil masuk ke dalam dapur.

Hu-yong siancu menyulubt lentera di rujang depan dan mgengambil duduk bberhadapan dengan pemuda itu, sekali lagi dia amati wa-jah Lan See-giok dengan seksama, kemudian baru tertawa gembira. tanyanya penuh keramahan-.,

"Anak Giok. mengapa kau pulang seorang diri?"

"Tidak, anak Giok pulang bersama sumoay Si Cay-soat!"

"Mana nona Si" tanya Hu-yong siancu terkejut.

"Dia telah pergi ke tempat tinggal Naga sakti pembalik sungai Thio loko!"

"Baru saja aku pulang dari kediaman si saga sakti pembalik sungai, mengapa tidak kujumpai nona Si?" tanya Hu-yong siancu dengan kening berkerut.

"Mungkin dia belum sampai, anak Giok sendiripun belum lama tiba di rumah."

Hu-yong siancu segera manggut-manggut penuh pengertian dan tidak bertanya lebih jauh.

Dalam pada, itu Siau-cian telah menghi-dangkan sayur dan nasi di atas meja.

Memandang sayur dan nasi yang dihidang-kan. Lan See giok sedikitpun tidak merasa lapar, dalam hatinya dia hanya memikirkan terus ketidak senangan enci Cian nya.

Sebagai orang yang berpengalaman, Hu-yong siancu segera tertarik akan keanehan kedua orang muda mudi itu, sewaktu diper-hatikan lebih seksama, ia jumpai Lan See giok berkerut kening terus menerus, semen-tara sorot matanya ditujukan kearah putri-nya dengan keragu-raguan.

Sebaliknya, meski senyuman manis me-nghiasi wajah Siau cian serta ia berusaha menunjukkan sikap gembira, namun dian-tara kerutan dahinya sudah jelas terlintas kemurungan.

Hu-yong Siancu adalah seorang yang per-nah mengalami pahit getir dunia asmara, dalam sekilas pandangan saja dia telah menyimpulkan bahwa diantara Siau cian dengan See giok pasti sudah terjadi sesuatu hal yang tidak menyenangkan, di samping itu dengan cepat pula ia bisa menduga bahwa persoalan ini pasti ada sangkut paut dengan kehadiran Si Cay soat.

Dengan berlagak seakan akan belum tahu Ia lantas berkata kepada Siau cian:

"Anak Cian. coba ambilkan seperangkat mangkuk dan sumpit, akupun belum ber-santap malam."

Siau cian mengiakan dengan hormat ke-mudian cepat-cepat berlalu dari situ.

Sebenarnya Lan See giok hendak menam-pik hidangan itu, tapi berhubung bibinya juga belum bersantap malam, terpaksa dia harus menemani bibinya untuk makan.

Sementara Hu-yorng siancu menemzani Lan See giowk bersantap, Sirau cian duduk menanti di samping.

Dengan kehadiran Hu-yong siancu, sua-sana di situ pun terasa jauh lebih lunak.

Dalam kesempatan itu Lan See giok dengan sendirinya mengisahkan pengalamannya se-menjak naik ke bukit Hoa san untuk belajar silat, namun ia tidak bercerita kalau, ia sem-pat membaca bait syair yang memedihkan hati di atas dinding gua di bawah Giok li hong.

Menyusul kemudian ia pun bercerita pe-ngalamannya ketika belajar ilmu silat dari Tay lo hud bun pwe yap cin keng, malah se-cara khusus berkisah bagaimana Lam-hay lo koay datang. Semenjak To Seng-cu me-nuju ke luar lautan ketika membicarakan soal ini, diam-diam ia mengamati perubahan wajah bibinya, tidak ditemukan sesuatu yang aneh, maka tanyanya kemudian dengan perasaan tidak habis mengerti:

"Bibi, sewaktu berangkat ke luar lautan apakah suhu datang menjumpai bibi ?"

Hu-yong siancu segera mengangguk:

"Yaa, dia datang satu kali, tapi sama sekali tidak menjelaskan alasan yang sebenarnya kepergiannya ke luar lautan"

Lan See giok dapat melihat bahwa Hu-yong siancu enggan mengutarakan keadaan yang sebenarnya, namun diapun tak mau mende-saknya lebih jauh.

Terdengar Hu-yong siancu berkata lebih jauh. "Mungkin si naga sakti pembalik sungai Thio lo enghiong mengetahui keadaan yang sejelasnya."

Sekali lagi Len See - giok merasakan hati-nya, tergerak is teringat kembali dengan su-rat yang dikatakan sebagai surat gurunya meski dia tahu kalau surat itu palsu, namun tetap berharap dapat me-ngetahui alasan kepalsuannya.



Maka sekali lagi pemuda itu berkata.

"Bibi, musim panas tahun berselang si naga sakti pembalik sungai Thio loko telah datang ke Hoa-san sambil membawa sepucuk surat dari suhu To Seng cu, konon surat itu dibawa oleh Keng hian Sian tiang dari Bu-tong-pay. padahal ketika anak Giok melewati bukit Bu tong, secara kebetulan kubuktikan bahwa Keng hian Sian tiang sedang menga-singkan diri dan sudah tiga tahun tak pernah turun gunung. apakah bibi juga mengetahui akan peristiwa ini?"

Rasa sedih menghiasi wajah Hu-yong siancu, setelah termenung sebentar sahut-nya.

"Bila Thio lo enghiong berkata demikian. sudah pasti dia mempunyai kesulitan yang tak bisa diutarakan!"

Lan See giok segera mengerti, biarpun ia mengajukan pertanyaan lagi kepada bibi Wan, belum tentu dia akan menjelaskan, tampaknya dia harus menunggu sampai kembalinya si naga sakti pembalik sungai.

Walaupun demikian, ia bertanya lagi:

"Bibi, ada urusan apa kau pergi mencari Thi loko? "

"Aku ke rumahnya karena ingin mencari kabar kapan kau akan pulang."

Sekali lagi Lan See-giok merasakan hati-nya, tergerak:

"Dia dan adik Thi gou telah pergi ke Pek ho cay , sewaktu bibi ke situ. apakah mereka telah pulang?"

Hu-yong siancu menggeleng:.

"Sewaktu aku kesana, hanya putra sulung nya Thio Tay keng yang ada di rumah, sedang Thio lo-enghiong sendiri masih belum pulang"

"Darimana bibi tahu kalau Thio loko pergi ke Hoa san? desak pemuda itu tak habis mengerti.

"Sebelum pergi ia telah membicarakan soal ini denganku. "

Kembali satu ingatan, melintas dalam benak Lan See giok, tanyanya lebih jauh:

"Apakah bibi mengetahui apa alasannya Thio loko hendak mengajak aku pulang?""?

"Rupanya Hu-yong siancu benar-benar ti-dak mengetahui, sahutnya:

"Tentang masalah seperti ini, kau mesti menunggu sampai Thio lo enghiong pulang, baru akan jelas semuanya"

Lan See giok btahu kalau bibijnya enggan membgicarakan persoablan itu lebih dulu. maka diapun tidak bertanya lebih jauh.

Menggunakan kesempatan mana ia menuturkan pengalamannya sejak turun gunung. pergi ke Pek ho cay, mendapat ke-terangan baru dari Gui Pak ciang lalu pergi ke Tay ang san mencari beruang berlengan tunggal Kiong Tek ciong kemudian mendapat berita tentang Toan Ki tin dan Si Yu gi serta.. lain lainnya:.-

Seusai mendengar penuturan itu. Hu-yong siancu mengerutkan dahinya dengan sedih sampai lama kemudian ia baru berkata:

"Bila ditinjau dari apa yang diucapkan Kiong Tek ciong, bisa jadi jejak ayahmu su-dah diketahui oleh Si Yu gi, sedangkan pem-bunuh yang sesungguhnya adalah Toan Ki tin, atau Si Yu-gi, mengenai lorong rahasia baru tersebut, bisa jadi hasil galian Si Yu gi secara diam-diam .-

"Tapi menurut apa yang anak Giok saksi-kan dengan mata kepala sendiri Toan Ki tin masuk ke luar dari kuburan tersebut melalui jalanan yang ada, dari sini menunjukkan bahwa Si Yu-gi sendiripun tidak tahu "kata sang pemuda menerangkan.

Hu-yong siancu termenung berapa saat lamanya, kemudian baru katanya lagi.

"Kini Si Yu-gi telah mati sehingga mustahil untuk mengorek keterangan dari mulutnya aku rasa kita hanya bisa bertanya kepada Manusia buas bertelinga tunggal Oh Tin-san yang bersembunyi dibalik kegelapan, di samping itu kita harus mengorek keterangan darinya secara bagaimana ia bisa mengetahui jejak ayahmu dan bagaimana caranya dia memasuki kuburan kuno, semenjak kapan pula Si Yu gi bersembunyi di kamar sebe-lah..."

Menyinggung soal Oh Tin- san, Lan See giok merasa hatinya tergerak, kembali ia bertanya dengan perasaan tak habis mengerti:

"Bibi. setelah Oh Tin-san suami istri dibuat lari ketakutan oleh kemunculan suhu To seng-cu pada malam itu, pernahkah dia datang mengganggu dirimu lagi?"

"Tidak, ia tak pernah kemari lagi" Hu-yong siancu menggeleng, namun juga agak curiga, "cuma anehnya dalam setahun be-lakangan ini, Oh Tin san suami istri juga tak pernah munculkan diri lagi di sekitar tempat ini. kalau bukan disebabkan merasa takut terha-dap To Seng-cu locianpwe, sudah pasti ia se-dang menekunbi sejenis ilmu jsilat yang sa-nggat tangguh!"

bLan See giok berkerut kening, kemudian se akan-akan memahami akan sesuatu kata-nya.

"Bibi, anak Giok pikir ingin menyusul Oh Li-cu yang baru pulang dari Tay ang san untuk menyelidiki Wi-lim-poo sekali lagi.."

Ciu Siau cian yang selama ini hanya duduk mendengarkan dengan mulut membungkam, segera mengerutkan dahinya begitu menying-gung masalah Oh Li-cu.

Namun sebelum ia sempat menimbrung, Hu-yong siancu telah bertanya lebih dulu dengan wajah keheranan.

"Anak Giok. jadi kau telah bertemu lagi dengan nona Oh?"

Tadi, Lan See giok hanya menjelaskan tentang hasil yang diperoleh dari Kiong Tek ciong tanpa menjelaskan pengalamannya se-lama di Tay ang san secara terperinci, setelah mendapat pertanyaan itu, dia baru mene-rangkan bagaimana Tok Nio-cu me-nyusulnya sampai di kota Siang yang, bagaimana bertemu dengan Oh Li-cu dan menuju Tay ang san bersama sama. lalu bagaimana kedua kakak beradik itu saling bertemu kembali...

Tampaknya. Hu-yong siancu pernah men-dengar tentang Tok Nio-cu, ia segera memberi peringatan.

"Tok Nio-cu adalah seorang perempuan liar yang kurang wajar cara hidupnya, dengan mengandalkan senjata rahasia beracunnya, banyak sudah korban yang tewas di tangan-nya. seorang perempuan muda yang genit ternyata memilih nama julukan yang meng-getarkan hati, anak Giok, di kemudian hari kau harus lebih waspada.."

Lan See giok segera mengiakan berulang kali, sebelum ia menjelaskan bagaimana Tok Nio-cu menghadiahkan kuda, menjadi pe-tunjuk jalan dan mulai menunjukkan sikap welas kasihnya terhadap musuh, tiba-tiba terdengar Ciu Siau cian berkata dengan ketus:

"Kuda hitam yang berada di tengah hala-man justru merupakan hadiah dari Tok Nio-cu yang peramah itu...."

Merah padam selembar wajah Lan See giok karena jengah, secara jujur dan terbuka ia segera menjelaskan pengalamannya sampai mendapat hadiah kuda...

Setelah mendengar penuturan mana. Hu-yong siancu mengangguk berulang kali sam-bil katanya:

"Asalr pemberian kudaz dilakukan dengwan perasaan yanrg tulus dan jujur kita memang mesti menerimanya. Justru yang dikuatirkan adalah bila dia mempunyai maksud tujuan tertentu!"

"Besok Tok Nio-cu dan Oh Li cu sudah akan tiba di sini, biarlah setelah bersua nanti anak Giok mengembalikan kuda itu kepada mereka!" janji pemuda itu ce-pat-cepat.

Hu-yong siancu manggut-manggut, kemu-dian ia bertanya lagi.

"Apakah nona Oh telah bercerita tentang ditotoknya jalan darahnya pada malam dulu? "

Tidak dia hanya bercerita bahwa bibi telah membicarakan soal terbunuhnya ayahku..."

Hu-yong siancu menghela napas panjang.

"Aai setelah kepergianmu pada malam itu Tok Seng cu locianpwe telah munculkan diri dari balik kegelapan pertama tama dia serahkan dulu pedang Gwat hui kiam dan sebuah kotak kecil kepada anak Cian, de-ngan pesan agar aku membimbing enci Cianmu mempelajarinya, kemudian setelah membebaskan totokan jalan darah Oh Li cu. Ia baru menyusul ke mana kau telah pergi."

Sejak enci Ciannya membuatkan sarung pedang untuk Si Cay-soat, Lan See giok telah menduga besar kemungkinan pedang Gwat hui kiam telah diserahkan oleh gurunya kepada Ciu Siau cian. mendengar sampai di situ ia segera menjelaskan.

"Kedua bilah pedang mestika itu.."

Tapi Hu-yong siancu segera menukas se-belum anak muda itu melanjutkan kata ka-tanya

"Suhumu telah memperkenalkan asal usul kedua bilah pedang itu kepada kami, untung saja enci Cian mu tak sampai menyia-nyiakan pengharapannya, cuma sayang tenaga dalamnya masih ketinggalan jauh se-hingga menuju ke tingkat kesempurnaan pun masih jauh sekali"

Tergerak pikiran Lan See giok mendengar kata-kata itu, dia segera teringat kembali dengan cairan Leng sik giok ji yang tersimpan dalam sakunya.



Dengan penuh kegembiraan ia segera ber-seru:

"Biarpun tenaga dalam enci Cian agak ketinggalan. hal ini tak perlu dirisaukan. anak Giok masih menyimpan leng sik giok ji sebanyak tujuh delapan tetes dalam saku, harap bibi dan enci Cian sudi meneguknya beberapa tetes"

Dari sakunya ia mengeluarkan botol kecil itu dan diserahkan ke tangan Hu-yong siancu.

Dengan perasaan terkejut, bercampur gembira Siau cian segera maju menghampiri-nya.

Dengan wajah serius Hu-yong siancu menerima botol kecil itu dan segera membu-ka penutupnya seketika itu juga seluruh ru-angan dipenuhi bau harum semerbak.

Paras mukanya segera berubah, dengan wajah berseri katanya kemudian sambil me-ngangguk.

"Yaa, benar, memang benda mestika yang mahal harganya!"

Berbicara sampai di situ, keningnya kem-bali berkerut, seakan-akan sedang memikirkan sesuatu, kemudian dengan nada tak habis mengerti tanyanya.

"Pada saat suhumu menyerahkan pedang kepada anak Cian tahun berselang beliaupun menghadiahkan setetes Leng-sik-giok-ji un-tuk encimu, konon cairan itu merupakan tetesan yang terakhir, dari mana kau bisa mendapatkan begitu banyak_."

Secara ringkas pemuda itu segera menje-laskan bagaimana dia bersama Si Cay-soat menemukannya di dalam sebuah celah gua, tentu saja soal adegan panas yang dilaku-kannya bersama Si Cay-soat sama sekali ti-dak disinggung.

Akhirnya dengan penuh kegembiraan dia berkata:

"Isi botol ini paling tidak masih terdapat tujuh-delapan tetes, silahkan bibi den enci Cian membaginya untuk berdua."

Hu-yong siancu segera menggelengkan kepalanya berulang kali sambil tertawa.

"Aku sudah pernah makan buah Cu-sian ko jadi tak perlukan Leng-sik-giok-ji lagi .... "

Baru sekarang Lan See-giok mengerti, apa sebabnya bibi Wan bisa awet muda sampai sekarang, bahkan seperti seorang wanita yang baru berusia dua puluh enam-tujuh ta-hunan, rupanya bibinya sudah pernah makan buah Cu-sian ko yang berkhasiat awet muda.

Sementara dia berpikir, Hu-yong siancu telah mengambil sebatang sumpit dari meja menggosoknya sampai bersih betbul, kemu-dian djimasukkan ke daglam botol itu: b

Lalu kepada anak gadisnya dia berseru:

"Anak Cian, buka mulutmu lebar-lebar."

Merah jengah selembar wajah Ciu Siau cian, dengan wajah berseri dia membuka mulutnya lebar-lebar kemudian menghisap sumpit dengan cairan putih itu.

Bau harum semerbak segera memenuhi bibirnya, cairan putih itu segera meluncur ke dalam kerongkongan dan masuk ke dalam perut"

Dengan wajah gembira Lan See giok segera berseru.

"Bibi. berilah enci Cian setetes lagi!"

Hu-yong siancu segera menggeleng---

"Leng sik giok ji adalah benda mestika yang langka sekali di dunia ini. sudah sepantasnya kalau dihemat sedapatnya, bagi mereka yang bertenaga dalam agak rendah. paling baik kalau jangan makan kelewat banyak"

Kemudian kepada putri kesayangannya. ia berkata lagi sambil tersenyum,

Anak Cian, tenaga dalam yang kau miliki sekarang paling tidak telah bertambah de-ngan dua puluh tahun hasil latihan. kau su-dah seharusnya berterima kasih kepada adik Giok. dari sini membuktikan bagai mana be-sarnya perhatian adik Giok mu kepada-mu---

Merah dadu selembar wajah Siau-cian oleh kata-kata tersebut, meski ia menundukkan kepalanya sambil tertawa, namun diantara, kerutan dahinya masih terselip kemurungan dan kesedihan yang mendalam.

Hu-yong siancu kuatir Lan See giok me-ngetahui perubahan aneh di wajah Siau cian tersebut, cepat-cepat ia berkata lagi, "Anak Cian, cepat pergi ke kamarku dan bersemedi lah dua tiga kali putaran, iringi hawa sakti yang dihasilkan Giok ji tersebut ke seluruh anggota badan, dengan begitu akan semakin besar khasiat yang kau peroleh."

Kemudian kepada Lan See giok yang masih memandang Siau cian dengan wajah terma-ngu itu, katanya lagi sambil tersenyum:

"Anak Giok, sekarang tengah malam sudah lewat, kaupun sepantasnya beristirahat di kamar anak Cian!" sembari berkata, iba serahkan kembjali botol porseglen tersebut keb tangan Lan See-giok.

Lan See giok mengiakan dengan hormat, setelah menerima kembali botol porselen itu dan menyampaikan selamat malam, dia ber-anjak dari tempat duduknya.

Setelah melepaskan sepatu, ia berbaring d ranjang dan memadamkan lentera.

Sementara itu malam semakin kelam. di luar pagar sana hanya terdengar suara air telaga.

Berbaring di atas ranjang, tanpa terasa Lan See giok membelai kasur milik enci Cian itu, bau harum yang menusuk hidung membuat anak muda tersebut semakin tak tenang, ia tak tahu sampai kapan baru bisa memeluk encinya yang cantik itu serta mengajaknya tidur bersama.

Semakin kalut pikirannya, Lan See giok semakin tak dapat tidur, terpaksa ia duduk bersila sambil mengatur pernapasan. Tak lama kemudian semua kekusutan dan kekalutan pikirannya dapat teratasi ....

Entah berapa lama sudah lewat, dalam semedinya mendadak ia mendengar suara isak tangis seseorang yang lirih dan berusaha keras dikendalikan.

Begitu suara tangisan itu tertangkap telinga Lan See giok. saking terkejutnya hampir saja ia menjerit, ia tak tahu mengapa Siau cian menangis sedih di tengah malam begini?

Sambil berusaha mengendalikan rasa sedih yang mencekam perasaannya. ia mendengar-kan lebih jauh.

Dengan cepat ia menangkap suara bisikan Hu-yong siancu, sedemikian lirihnya suara tersebut sehingga hampir saja ia tak dapat mendengarkan dengan jelas.

"Cian ji kau tak boleh terlalu mengikuti napsu, aku sudah menyesal sepanjang hidupku, kau tak boleh mengikuti sejarah kehidupanku-."

"Apalagi. coba kau lihat betapa cintanya anak Giok kepadamu, perbuatan mu ini bisa jadi akan menghancurkan lembaran hidup-nya ......

"Selama hidup anak Cian tak mau kawin, aku hendak menemani ibu sampai akhir ha-yat!" kata Siau Cian kemudian sambil terisak.

Dengan nada menegur, tapi juga menghi-bur Hu-yong siancu segera berkata:

"Anak bodoh, asral kau sudah kazwin de-ngan adiwk Giok, bukankarh ibupun dapat se-lalu tinggal bersama kalian?"

"Ibu, bukankah kau pernah mengatakan, bila ada dua orang gadis mencintai seorang lelaki, maka percintaan tersebut akan bera-khir dengan tragis?"

"!Anak Cian, itu cuma pendapatku yang salah dimasa muda dulu, aku telah men-cela-kai ayahnya dan ibunya hingga menderita sampai saat terakhir, aku tak akan membiar-kan pikiranmu yang cuma menye-babkan ke-hidupan anak mereka hancur berantakan, anak Cian, kau adalah seorang anak yang pintar dan tahu adat kesopanan, kau tidak boleh melakukan perbuatan bodoh seperti ini."

"Anak Cian, kau sudah mendengar . . . ? Apalagi kebanyakan orang lelaki memang mempunyai tiga istri empat selir, malah seperti Siang lam tayhiap, Gi pak kiam kek, Cing im suseng, Siau you Gi su, semuanya mempunyai tiga istri empat bini yang rata-rata berwajah cantik, malah mereka semua pun termasuk pendekar- pendekar wanita yang memiliki ilmu silat sangat hebat . . . ."

"Ooh ibu, kau tak usah berbicara lagi, ja-ngan kau lanjutkan kata katamu itu . . . ." seru Siau cian agak menderita,

"Anak Cian" dengan sedikit merengek Hu-yong siancu berseru. "ibu sangat ber-harap kau dan adik Giok dapat hidup ber-dam-pi-ngan hingga hari tua nanti, kau mesti ber-bakti kepada ibumu, kau harus mengikuti perkataan ku"

"Anak Cian, sudah kau dengar perkataan ku ini ....?"

Aai, beginilah nasib, ibupun tak akan membujukmu lagi, di kemudian hari kau bakal menyesal sendiri!"

Suasana pun menjadi hening kembali, na-mun sepasang mata Lan See giok justru se-makin kabur.

Dia sama sekali tidak menyangka kalau Siau cian yang nampak lemah lembut dan amat menawan itu, sesungguhnya merupa-kan seorang gadis pencemburu yang berhati keras bagaikan baja.



Dari Siau cian, diapun membayangkan Si Cay soat yang ingin mencari menangnya sendiri, memang nampaknya mustahil bagi kedua orang itu untuk hidup bersama sama.

Dalam hati kecilnya ia berterima kasih sekali kepada bibi Wan, ia merasa apakah enci Cian dan adik Soat dapat hidup ber-dampingan, secara damai di kemudian hari, hal tersebut tergantung pada bibinya.

Teringat akan bibi Wan, Lan See-giok merasa semua kemasgulan dan ketidak tenangan tersapu bersih dari dadanya, pikiran menjadi tenang kembali.

Ia berpendapat bahwa setiap kejadian ter-gantung pada orangnya. asal ia sendiri bisa melakukan semua tindakan secara hati-hati dan jujur, dia tidak kuatir enci Ciannya tak akan berubah pikiran.

Tiba-tiba terdengar suara derap kaki kuda bergema dari balik halaman rumah.

Satu ingatan segera melintas dalam benak Lan See giok, ia teringat kembali kuda Wu wi-kou yang berada ditengah halaman, se-waktu berpaling ke jendela depan, setitik ca-haya matahari nampak muncul di ufuk timur, pertanda hari hampir terang tanah.

Terbayang kalau kudanya belum diberi rumput setelah melakukan perjalanan jauh, dihati kecilnya segera tumbuh perasaan menyesal, ia menyadari bahwa dirinya tak mungkin dapat merawat kuda tersebut, dan lebih baik secepatnya dikembalikan kepada Tok Nio-cu.

Dengan cepat pemuda itu melompat turun dari atas pembaringan, mendekati pintu kamar dan menggunakan tehnik lunak dalam tenaga dalamnya, secara pelan-pelan dia menghisap pintu tersebut hingga terbuka se-buah celah. kemudian ia menyelinap ke luar dari kamar dan bermaksud membawa kuda-nya ke tanah lapang berumput:

Melihat kemunculan pemuda itu. si kuda hitam tersebut segera menggoyangkan ekornya sambil meringkik pelan, Kakinya di sepak-sepak kan ke atas tanah dan memper-lihatkan sikap mesra.

Lan See giok kuatir gerakan nya itu akan mengejutkan bibi dan enci Cian nya, maka ia menyusup ke depan kuda kemudian dengan berhati hati sekali menuntun kuda tersebut menuju ke pintu pekarangan.

Pada saat dia hendak membuka pintu pa-gar inilah, mendadak dari belakang tubuh nya bergema suara teguran Hu-yong siancu dengan nada gemetar.

"Anak Giok, mau kemana kau?"

bLan See-giok sejgera berpaling,g dilihatnya Hu-byong siancu dengan kening berkerut dan wajah sedih sedang menatapnya tajam-tajam, sementara sepasang matanya yang jeli mulai nampak berkaca kaca.

Ia tahu Hu-yong siancu tentu salah paham, sebelum ia sempat memberi penjelasan, tam-pak bayangan manusia kembali berkelebat, Siau cian dengan wajah pucat pias telah ber-diri di sisi ibunya.

Ketika melihat Lan See giok berdiri di de-pan pintu halaman sambil menuntun kuda. air mata yang mengembang dalam kelopak mata Siau cian segera bercucuran dengan amat derasnya.

Sebenarnya Lan See giok berbuat demikian karena takut perbuatannya akan menggang-gu ketenangan bibinya. siapa tahu akibatnya malah terjadi kesalahan pahaman.

Dalam keadaan begini, buru-buru dia ber-seru dengan nada gelisah.

"Semalaman suntuk kudaku ini belum di kasih rumput, anak Giok bermaksud akan membawanya ke halaman belakang sana untuk mengisi perut ...."

Belum selesai dia berkata, mendadak Siau cian menutup wajahnya sambil menangis tersedu-sedu:

"Ibu, adik Giok tidak berbicara sejujurnya, kau tak boleh membiarkan dia pergi."

"Kalau memang begitu, mengapa kau tidak melepaskan pelana dari punggung kuda?" tanya Hu-yong siancu kemudian agak geli-sah.

Melihat enci Cian menangis begitu sedih, ia merasa kasihan, sayang dan gembira, apalagi setelah dilihatnya bibi Wan maupun enci Cian semuanya menganggap dia hendak minggat, timbul niatnya untuk menggunakan siasat tersebut untuk mengelabui mereka. siapa tahu kalau hal tersebut justru akan menarik perhatian enci Cian untuk berubah pikiran?

Sementara dia ragu airmata yang meleleh ke luar dari mata Hu-yong siancu semakin deras, sedangkan Siau cian sudah menutupi wajahnya sambil menangis tersedu sedu.

Jelas sudah, mereka percaya bahwa pemu-da itu memang berniat untuk minggat dari rumah mereka.

BAB 25

SESUNGGUHNYA Lan See giok tidabk ber-niat samaj sekali untuk pgergi tanpa pamibt. kesalahan paham yang terjadi sekarang boleh dibilang tak pernah diduga olehnya.

Menangisnya Ciu Siau cian bukan saja ti-dak mengejutkan Lan See giok. sebalik-nya malah menimbulkan rasa gembira dan lega, sebab dari sini terbukti sudah kalau enci Cian masih mencintainya.

Tapi ketika melihat bibinya ikut me-leleh-kan air mata, dengan perasaan terkejut ce-pat-cepat dia melepaskan tali les kudanya dan memburu ke depan, kemudian teriaknya penuh kegelisahan.

"Bibi, bibi anak Giok bernyali besarpun tak akan berani membohongi dirimu, sesungguh-nya anak Giok memang takut me-ngejutkan kalian, itulah sebabnya akan tidak melepas-kan pelana, kalau tak ada urusan apa-apa. mengapa anak Giok mesti pergi tanpa pa-mit?"

Melihat kegelisahan anak muda itu Hu-yong siancu segera mengangguk berulang kali, air mata yang membasahi wajahnya ce-pat-cepat diseka.

Rupanya Siau cian mengetahui kalau tenaga dalam yang dimiliki anak muda itu sudah mencapai tingkatan yang luar biasa. dia yakin pemuda itu pasti sudah menyadap pembicaraannya dengan ibunya. karena itu dalam gelisahnya. dia mengira Lan See giok hendak minggat karena rasa marahnya.

Tapi setelah menjumpai kegelisahan yang menyelimuti wajahnya sekarang, gadis itu segera berpikir.

"Jangan-jangan dia memang sudah ter-tidur pulas?"

Berdiri di depan Hu-yong siancu, Lan See giok sebentar memandang ke arah enci Cian dengan gelisah, kemudian menengok pula ke arah bibinya dengan cemas, jelas hatinya tak tenang sehingga gerak geriknya serba salah.

"Hu-yong siancu segera tersenyum, ujarnya dengan tenang.

"Anak Giok, sekarang turunkan pelana dan helalah kuda itu ke luar dari halaman!"

Lan See giok mengiakan dengan hormat, setelah memandang sekejap kearah Siau cian yang masih menutupi rwajahnya denganz pe-nuh rasa kuwatir, dia baru rmembalikkan badan dan ke luar dari halaman sambil menghela kudanya.

Kembali Hu-yong siancu berkata kepada Siau cian:

"Anak Cian, hari ini si nona Si akan berkunjung kemari, pergilah mengatur kamar untuknya. "

Siau cian menyeka air mata dari pipinya, setelah melirik sekejap ke arah Lan See giok yang sedang melepaskan pelana dari pung-gung kuda. ia membalikkan tubuh dan menuju ke dalam kamar.

Tiba di kamar sendiri, ditemukan selimut dan kasur -kusut dan tak teratur, ini mem-buktikan kalau pemuda tersebut sudah ter-tidur.

Karenanya dia lantas tertawa, menertawa-kan dirinya yang dianggap kurang tahan uji sehingga akibatnya ibu serta adik Giok nya menjadi tak tenang.

Terburu buru Siau cian membereskan kamar tidurnya, ketika ke luar kembali dari kamarnya, Lan See giok sudah pergi sambil menghela kudanya.

Sementara itu fajar sudah menyingsing, dari dusun pun sudah kedengaran suara manusia berbicara, di telaga pun sudah nampak perahu nelayan yang melaju...

Lan See giok membawa kudanya menuju ke arah berumput di belakang rumah dan membiarkan binatang itu bergerak bebas.

Sambil mengawasi kudanya makan rum-put, ia berputar otak tiada hentinya mencari akal bagaimana caranya membuat enci Cian nya menjadi gembira.

Terbayang bahwa serentetan kejadian yang tidak menyenangkan itu bersumber pada Si Cay soat, dia sampai lama sekali memutar otak, dia merasa wajib untuk mengatur sua-sana pertemuan hari ini dalam keadaan yang menggembirakan.

Akhirnya dia berkesimpulan, bila ingin membuat mereka semua gembira, maka per-tama tama dia sendiri harus gembira dulu.

Berpikir sampai disini. dadanya terasa lega, diapun membalikkan badan menuju ke ha-laman depan.

Muncul di halaman depan, pemuda itu segera tertegun, dilihatnya Ciu Siau cian se-dang membawa sapu berdiri di situ dengan senyum dan kepala tertunduk, dia sedang menyapu daun kering di halaman muka de-ngan wajah riang.

Lan See giok, merasa sangat keheranan. dia tak tahu persoalan apakah yang mem-bangkitkan kegembiraan gadis itu.

Siau cian mengetahui See giok telah mun-cul, namun ia berlagak seolah-olah tidak melihat, kepalanya malah ditundukkan se-makin rendah. sapuannya juga semakin ce-pat, namun sepasang lesung pipi nya yang manis justru kelihatan semakin nyata.

(Bersambung ke Bagian 32)

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar