Mereka pasti sudah saling
berpelukan, saling berciuman dan saling bermesrahan, bahkan bisa juga jadi
kehidupan mereka su-dah tak ubahnya seperti kehidupan suami istri--
Setiap tengah malam ia
terbangun dari tidurnya dan terbayang akan persoalan ini, gadis itu tak pernah
bisa tidur lagi.
Ia pernah mendengar To Seng cu
membica-rakan soal Si Cay soat kepada ibunya, dika-takan meski Si Cay soat
adalah seorang gadis yang berbudi luhur, dengan kekerasan hati-nya luar biasa,
ditambah lagi rasa ingin menangnya yang besar, dalam segala hal dia tak mau
kalah ditangan orang, karena itu dia merasa tak mungkin bisa bergaul dengan
manusia seperti ini.
Daripada diakhirnya nanti
bentrokan di-antara mereka berdua menyebabkan Lan See giok tidak berhasil
memperoleh kebahagiaan, jauh lebih baik bila sekarang juga dia me-ngundurkan
diri dan meninggalkan kenangan yang indah.
Tentu saja dia masih tetap
mencintai adik Giok, cuma dia ingin memendam rasa cinta nya itu dihati kecil,
dia ingin menemani ibunya yang kesepian dan hidup sepanjang masa di sana. .
Kini Ciu Siau-cian mulai
menyesal, apa se-babnya dia harus menunjukkan perasaan hangat dan cintanya
sewaktu menyambut kedatangan Lan See-giok yang sudah berpisah setahun lamanya
itu.
Ia merasa semestinya dapat
mempertahan-kan jarak dan sikap dalam perjumpaan tadi, namun rasa rindu yang
meluap luap, rasa kangen yang dirasakan setiap malam, mung-kinkah bisa
mengendalikan dia dalam menghadapi situasi demikian?
Sekarang, untuk pertama
kalinya ia harus merasakan betapa menderitanya bila harus mengendalikan rasa
cinta di dalam hati, apalagi bila terbayang bagaimana sepanjang hidupnya
kemudian harus dilalui dalam sik-saan dan kesepian, tiba-tiba perasaannya
menjadi sedih, hampir saja titik air mata jatuh berlinang.
Masih untung ia berdiri
membelakangi See giok, sehingga air matanya dapat di kendali-kan agar tidak
meleleh ke luar, namun dia sendiri pun tahu, saat ini adik Giok tentu se-dang
menderita pula akibat dari sikapnya itu.
Dalam ruang dapur, selain
suara nasi yang ditanak serta bau harum dari hidangan, sua-sana terasa hening
dan tak kedengaran suara yang lain.
Seperti apa yang diduga gadis
itu, Lan See giok memang sedang terjerumus dalam penderitaan.
CIU SIAU CIAN merupakan gadis
per-tama yang memasuki kehidupannya, dia pula me-rupakan Dewi cantik yang
dipuja dan di hor-mati selama ini. baginya, ia boleh me-lepaskan semua benda
berharga yang dimilikinya se-lama ini, namun tak mungkin bisa kehila-ngan enci
Cian.
Saat itu dia hanya berdiri
termangu -mangu di belakang gadis tersebut, perasaan gembira dan riang yang
menyelimuti perasaannya tadi, kini telah berubah menjadi penderitaan dan
kesedihan, dia tak tahu apa yang mesti diperbuat agar bisa membangkitkan
kembali kegembiraan gadis tersebut.
Selesai mempersiapkan semacam
sayur, Siau cian diam-diam melirik sekejap kearah pemuda itu, menyaksikan sang
pemuda yang pulang dengan penuh kegembiraan dan se-mangat, kini justru berdiri
termangu dengan kening berkerut, hatinya terasa sakit ber-campur pedih.
Ia tak dapat berbuat begini
terus, diapun tak tega menyiksa kekasih hatinya. maka setelah mendehem dan
memaksakan senyu-man gembira, tegurnya: "Adik Giok . . . me-ngapa kau
hanya membungkam terus-?"
Sambil berkata ia membalikkan
badan serta memandang sekejap wajah anak muda itu dengan pandangan matanya yang
jeli.
Lan See giok merasakan hatinya
bergolak keras, menderita bukan kepalang, senyum-an yang diperlihatkan
Siau-cian sekarang. ibaratnya orang dalam kegelapan yang tiba-tiba melihat
sinar lentera, segera menampil-kan kembali semangat dan keberanian di dalam
hatinya.
Ia merasa inilah saatnya untuk
meng-ucap-kan kata-kata pujian kepada gadis itu, diapun perlu menyampaikan
beberapa kata bagi Si Cay soat, agar pertemuan mereka be-sok tidak dilewati
dalam suasana yang serba kaku.
Setelah mendehem sejenak
katanya kemu-dian.
"Enci Cian, adik Soat
bilang jubah biru yang kau jahitkan untukku itu dibuat dari ulat sutera
langit.... "
"Ehmmm. betul" Siau
cian mengangguk, "benda itu diperoleh ibu sewaktu dia mengi-kuti sucou
Huan-in suthay belajar silat di Thian san barat dan menemukannya dalam sebuah
gua."
Dengan cepat Lan See-giok
menjadi paham, rupanya perguruan bibi Wan adalah Thian-san-pay.
Namun di dalam suasana begini,
dia sama sekali tak berniat untuk mencari tahu ten-tang masalah tersebut,
katanya lebih jauh.
"Adik Soat pun bilang,
jahitanmu sangat indah lagi rapi, bila dibandingkan dengan ha-sil karyanya dia
kalah jauh sekali darimu."
Siau-cian pura-pura tertawa
riang, sengaja dia berseru:
"Sayang sekali bukan
hasil karyaku-"
Sebelum gadis itu
menyelesaikan kata -ka-tanya, pemuda itu segera membantah.
"Kau tak usah
membohongiku, aku sudah mengendus pakaian yang kau berikan un-tukku itu. di
atasnya masih tersisa bau ha-rum dari tanganmu"
Merah dadu selembar wajah
Siau-cian karena jengah, ia segera terbungkam dan tak mampu membantah lagi,
namun pemuda itu dapat melihat, di atas wajahnya yang merah jengah, terselip
rasa terhibur meski terdapat pula rasa murung.
Maka ia pun berkata lebih
jauh:
"Selain itu, sarung
pedang dan sepatu yang cici hadiahkan untuk adik Soat. membuat adik Soat
terkejut bercampur kegirangan sedemikian gembiranya sampai dia cuma bisa
menyebut enci Cian berulang kali ..."
Sambil tersenyum Siau-cian
menyela.
"Ibu yang menyuruh aku
menjahitkan buat nona Si. sebab selama kau belajar silat di bukit Hoa-san,
semua kebutuhan hidup ter-gantung padanya...."
Ketika berbicara sampai
disini, suaranya berubah menjadi agak gemetar dan ia tak sanggup melanjutkan
kembali kata-katanya.
Lan See- giok merasa sedih
sekali, dengan sinar mata penuh rasa sesal dia menengok ke arah Siau cian,
sedang pembicaraanpun ber-henti di tengah jalan.
Untuk menenangkan gejolak
perasaan dalam hatinya.. serta untuk melenyapkan kemurungan serta kepanikannya,
ia segera memejamkan mata, mengerahkan tenaga dan diam-diam mengatur pernapasan
..,
Mendadak ia seperti mendengar
ada orang sedang berlarian mendekat. orang itu datang dari sebelah utara dusun.
Dengan cepat ia membuka mata,
kemudian berbisik lirih.
Enci Cian, ada orang sedang
bergerak menuju ke arah kita!"
Siau cian segera berhenti
bekerja dan me-masang telinga untuk mendengarkan dengan seksama, akan tetapi ia
tak berhasil mende-ngar sesuatu apapun.
Akhirnya dengan kening
berkerut dan nada penuh keraguan ia bertanya.
"Adik Giok, apakah kau
berhasil mende-ngarnya?""
Dengan sorot mata penuh rasa
kaget dan keheranan, ia menengok wajah pemuda tersebut.
Lan See giok mengerutkan
dahinya lalu memasang telinga dan mengamati sekali lagi dengan cepat dia
manggut berulang kali.
"Yaa, ilmu meringankan
tubuh yang dimi-liki orang ini sudah mencapai titik kesem-purnaan. kecepatan
geraknya tidak seperti kawanan jago biasa . . .
Ketika dilihatnya Sian cian
masih belum percaya, pemuda itu menambahkan lagi de-ngan wajah serius.
"Sungguh enci Cian, orang
itu paling ban-ter cuma berjarak sepuluh kaki dari kita."
Melihat mimik wajah Lan See
giok, mau tak mau Siau cian harus percaya kepadanya maka diapun memasang telinga
kembali
Benar juga. tiba-tiba
terdengar suara ujung baju terhembus angin berkumandang datang, pengalaman
memberitahu kepadanya bahwa orang itu sudah berada di luar pagar pekarangan.
Namun setelah dipikir
sebentar, hatinya segera tergerak, sambil tertawa cekikikan se-runya cepat.
" Oooh, ibu telah pulang
rupanya"
Sekali lagi Lan See giok
memasang telinga, tak salah lagi, orang itu memang melompat masuk dari luar
pagar halaman. maka seru-nya berulang kali.
"Bibi, bibi-. "
Sekali berkelebat, bayangan
tubuhnya su-dah lenyap dari pandangan mata.
Siau cian amat terkejut,
sekarang dia baru sadar, rupanya kepandaian silat yang dimiliki adik Gioknya
telah mengalami kemajuan yang mengerikan sekali dalam setahun ini.
Setelah berhasil menenangkan
hatinya, ia segera maju ke depan untuk menyongsong kedatangan mereka.
Terdengar suara angin
berhembus lewat ditengah halaman. Hu-yong siancu dengan pakaian ringkas
berwarna ungu telah mela-yang turun dalam halaman.
Dengan air mata bercucuran Lan
See giok segera bersorak gembira, kemudian menu-bruk ke depan
Hu-yong siancu sendiripun
terkejut ber-campur gembira sehingga hampir saja tak mampu mengendalikan diri
setelah melihat kemunculan Lan See-giok. Serunya:
"Anak Giok, rupanya kau
telah tiba lebih dulu di rumah."
Tampa sadar dia memeluk tubuh
pemuda itu ke dalam rangkulannya. lalu seperti seta-hun berselang dengan penuh
kasih sayang membelai bahu serta lengan anak muda tersebut.
Bagi Lan See giok, bibi Wan
dipandang se-bagai ibu kandung sendiri. sebab dialah satu satunya orang yang
dia anggap keluarga sendiri, tak heran kalau saking emosinya, dia sampai
menjatuhkan diri berlutut.
Ketika membelai bahu dan
kepala Lan See giok, di dalam benak Hu-yong siancu seakan akan muncul bayangan
tubuh dari Lan Khong-tay semasa lagi muda itu, air mata-nya, bagaikan mutiara
yang putus benang, jatuh bercucuran dengan derasnya..,
"Anak Giok. ayo bangun
dan mari kita duduk di dalam rumah" akhirnya ia membi-sik sambil menyeka
air mata di mata pemudba itu.
Dalam djetik-detik demigkian,
Lan See gbiok sama sekali terbuai di dalam kasih sayang ibu, semua penderitaan,
semua kesedihan terlupakan sama sekali.
Ia mendongakkan kepalanya,
memandang bibi Wan penuh hormat, kemudian bisiknya dengan air mata berlinang.
"Bibi, setiap hari anak
Giok selalu me-rin-dukan kau!"
Hu-yong siancu mengucurkan air
mata nya lalu tertawa ramah, sahutnya seraya me-ngangguk.
"Setiap hari. aku dan
cici Cian mu juga se-lalu berharap kau berhasil dalam pelajaran silat dam
pulang secepatnya!"
Sambil berkata, dia
membangunkan pe-muda itu dari atas tanah.
Lan See giok segera terseret
bangun namun bila teringat bagaimana enci Cian nya tiba-tiba marah dan tidak
senang hati, sekali lagi air matanya jatuh berlinang.
Hu-yong siancu mengamati
pemuda itu dengan seksama, Ia merasa Lan See giok su-dah jauh lebih tinggi
daripada dirinya, de-ngan penuh rasa gembira katanya kemudian.
"Anak Giok. kini kau sudah
dewasa. Masa air matamu masih berlinang?
"Apakah kau tidak takut
ditertawakan enci Cianmu?"
Seraya berkata, dengan penuh
keramahan ia melirik sekejap ke arah Siau cian yang berdiri di depan pintu
dapur.
Mendengar perkataan itu Lan
See-giok berhenti menangis. namun perasaannya jus-tru bertambah berat.
Hu-yong siancu mengira hal ini
di sebab-kan gejolak emosinya setelah lama berpisah, karenanya tidak begitu
menaruh perhatian, hanya ajaknya.
"Anak Giok; ayo kita
duduk di dalam ru-angan saja!
Mendadak sinar matanya
mengerling se-kejap ke arah kuda hitam Wu-wi kou yang berada di sudut halaman
dengan pandangan terkejut bercampur keheranan, kemudian baru melangkah masuk ke
ruangan.
Lan See-giok mengikuti di
belakang bibi-nya, dia mencoba mengerling sekejap ke arah Ciu Siau cian yang
berdiri sedih. namun Siau cian segera menundukkan kepalanya sambil masuk ke
dalam dapur.
Hu-yong siancu menyulubt
lentera di rujang depan dan mgengambil duduk bberhadapan dengan pemuda itu,
sekali lagi dia amati wa-jah Lan See-giok dengan seksama, kemudian baru tertawa
gembira. tanyanya penuh keramahan-.,
"Anak Giok. mengapa kau
pulang seorang diri?"
"Tidak, anak Giok pulang
bersama sumoay Si Cay-soat!"
"Mana nona Si" tanya
Hu-yong siancu terkejut.
"Dia telah pergi ke tempat
tinggal Naga sakti pembalik sungai Thio loko!"
"Baru saja aku pulang
dari kediaman si saga sakti pembalik sungai, mengapa tidak kujumpai nona
Si?" tanya Hu-yong siancu dengan kening berkerut.
"Mungkin dia belum
sampai, anak Giok sendiripun belum lama tiba di rumah."
Hu-yong siancu segera
manggut-manggut penuh pengertian dan tidak bertanya lebih jauh.
Dalam pada, itu Siau-cian
telah menghi-dangkan sayur dan nasi di atas meja.
Memandang sayur dan nasi yang
dihidang-kan. Lan See giok sedikitpun tidak merasa lapar, dalam hatinya dia
hanya memikirkan terus ketidak senangan enci Cian nya.
Sebagai orang yang
berpengalaman, Hu-yong siancu segera tertarik akan keanehan kedua orang muda
mudi itu, sewaktu diper-hatikan lebih seksama, ia jumpai Lan See giok berkerut
kening terus menerus, semen-tara sorot matanya ditujukan kearah putri-nya
dengan keragu-raguan.
Sebaliknya, meski senyuman
manis me-nghiasi wajah Siau cian serta ia berusaha menunjukkan sikap gembira,
namun dian-tara kerutan dahinya sudah jelas terlintas kemurungan.
Hu-yong Siancu adalah seorang
yang per-nah mengalami pahit getir dunia asmara, dalam sekilas pandangan saja
dia telah menyimpulkan bahwa diantara Siau cian dengan See giok pasti sudah
terjadi sesuatu hal yang tidak menyenangkan, di samping itu dengan cepat pula
ia bisa menduga bahwa persoalan ini pasti ada sangkut paut dengan kehadiran Si
Cay soat.
Dengan berlagak seakan akan
belum tahu Ia lantas berkata kepada Siau cian:
"Anak Cian. coba ambilkan
seperangkat mangkuk dan sumpit, akupun belum ber-santap malam."
Siau cian mengiakan dengan
hormat ke-mudian cepat-cepat berlalu dari situ.
Sebenarnya Lan See giok hendak
menam-pik hidangan itu, tapi berhubung bibinya juga belum bersantap malam,
terpaksa dia harus menemani bibinya untuk makan.
Sementara Hu-yorng siancu
menemzani Lan See giowk bersantap, Sirau cian duduk menanti di samping.
Dengan kehadiran Hu-yong
siancu, sua-sana di situ pun terasa jauh lebih lunak.
Dalam kesempatan itu Lan See
giok dengan sendirinya mengisahkan pengalamannya se-menjak naik ke bukit Hoa
san untuk belajar silat, namun ia tidak bercerita kalau, ia sem-pat membaca
bait syair yang memedihkan hati di atas dinding gua di bawah Giok li hong.
Menyusul kemudian ia pun
bercerita pe-ngalamannya ketika belajar ilmu silat dari Tay lo hud bun pwe yap
cin keng, malah se-cara khusus berkisah bagaimana Lam-hay lo koay datang.
Semenjak To Seng-cu me-nuju ke luar lautan ketika membicarakan soal ini,
diam-diam ia mengamati perubahan wajah bibinya, tidak ditemukan sesuatu yang
aneh, maka tanyanya kemudian dengan perasaan tidak habis mengerti:
"Bibi, sewaktu berangkat
ke luar lautan apakah suhu datang menjumpai bibi ?"
Hu-yong siancu segera
mengangguk:
"Yaa, dia datang satu
kali, tapi sama sekali tidak menjelaskan alasan yang sebenarnya kepergiannya ke
luar lautan"
Lan See giok dapat melihat
bahwa Hu-yong siancu enggan mengutarakan keadaan yang sebenarnya, namun diapun
tak mau mende-saknya lebih jauh.
Terdengar Hu-yong siancu
berkata lebih jauh. "Mungkin si naga sakti pembalik sungai Thio lo
enghiong mengetahui keadaan yang sejelasnya."
Sekali lagi Len See - giok
merasakan hati-nya, tergerak is teringat kembali dengan su-rat yang dikatakan
sebagai surat gurunya meski dia tahu kalau surat itu palsu, namun tetap
berharap dapat me-ngetahui alasan kepalsuannya.
Maka sekali lagi pemuda itu
berkata.
"Bibi, musim panas tahun
berselang si naga sakti pembalik sungai Thio loko telah datang ke Hoa-san
sambil membawa sepucuk surat dari suhu To Seng cu, konon surat itu dibawa oleh
Keng hian Sian tiang dari Bu-tong-pay. padahal ketika anak Giok melewati bukit
Bu tong, secara kebetulan kubuktikan bahwa Keng hian Sian tiang sedang
menga-singkan diri dan sudah tiga tahun tak pernah turun gunung. apakah bibi
juga mengetahui akan peristiwa ini?"
Rasa sedih menghiasi wajah
Hu-yong siancu, setelah termenung sebentar sahut-nya.
"Bila Thio lo enghiong
berkata demikian. sudah pasti dia mempunyai kesulitan yang tak bisa
diutarakan!"
Lan See giok segera mengerti,
biarpun ia mengajukan pertanyaan lagi kepada bibi Wan, belum tentu dia akan
menjelaskan, tampaknya dia harus menunggu sampai kembalinya si naga sakti pembalik
sungai.
Walaupun demikian, ia bertanya
lagi:
"Bibi, ada urusan apa kau
pergi mencari Thi loko? "
"Aku ke rumahnya karena
ingin mencari kabar kapan kau akan pulang."
Sekali lagi Lan See-giok
merasakan hati-nya, tergerak:
"Dia dan adik Thi gou telah
pergi ke Pek ho cay , sewaktu bibi ke situ. apakah mereka telah pulang?"
Hu-yong siancu menggeleng:.
"Sewaktu aku kesana,
hanya putra sulung nya Thio Tay keng yang ada di rumah, sedang Thio lo-enghiong
sendiri masih belum pulang"
"Darimana bibi tahu kalau
Thio loko pergi ke Hoa san? desak pemuda itu tak habis mengerti.
"Sebelum pergi ia telah
membicarakan soal ini denganku. "
Kembali satu ingatan, melintas
dalam benak Lan See giok, tanyanya lebih jauh:
"Apakah bibi mengetahui
apa alasannya Thio loko hendak mengajak aku pulang?""?
"Rupanya Hu-yong siancu
benar-benar ti-dak mengetahui, sahutnya:
"Tentang masalah seperti
ini, kau mesti menunggu sampai Thio lo enghiong pulang, baru akan jelas
semuanya"
Lan See giok btahu kalau
bibijnya enggan membgicarakan persoablan itu lebih dulu. maka diapun tidak
bertanya lebih jauh.
Menggunakan kesempatan mana ia
menuturkan pengalamannya sejak turun gunung. pergi ke Pek ho cay, mendapat
ke-terangan baru dari Gui Pak ciang lalu pergi ke Tay ang san mencari beruang
berlengan tunggal Kiong Tek ciong kemudian mendapat berita tentang Toan Ki tin
dan Si Yu gi serta.. lain lainnya:.-
Seusai mendengar penuturan
itu. Hu-yong siancu mengerutkan dahinya dengan sedih sampai lama kemudian ia
baru berkata:
"Bila ditinjau dari apa
yang diucapkan Kiong Tek ciong, bisa jadi jejak ayahmu su-dah diketahui oleh Si
Yu gi, sedangkan pem-bunuh yang sesungguhnya adalah Toan Ki tin, atau Si Yu-gi,
mengenai lorong rahasia baru tersebut, bisa jadi hasil galian Si Yu gi secara
diam-diam .-
"Tapi menurut apa yang
anak Giok saksi-kan dengan mata kepala sendiri Toan Ki tin masuk ke luar dari
kuburan tersebut melalui jalanan yang ada, dari sini menunjukkan bahwa Si Yu-gi
sendiripun tidak tahu "kata sang pemuda menerangkan.
Hu-yong siancu termenung
berapa saat lamanya, kemudian baru katanya lagi.
"Kini Si Yu-gi telah mati
sehingga mustahil untuk mengorek keterangan dari mulutnya aku rasa kita hanya
bisa bertanya kepada Manusia buas bertelinga tunggal Oh Tin-san yang
bersembunyi dibalik kegelapan, di samping itu kita harus mengorek keterangan
darinya secara bagaimana ia bisa mengetahui jejak ayahmu dan bagaimana caranya
dia memasuki kuburan kuno, semenjak kapan pula Si Yu gi bersembunyi di kamar
sebe-lah..."
Menyinggung soal Oh Tin- san,
Lan See giok merasa hatinya tergerak, kembali ia bertanya dengan perasaan tak
habis mengerti:
"Bibi. setelah Oh Tin-san
suami istri dibuat lari ketakutan oleh kemunculan suhu To seng-cu pada malam
itu, pernahkah dia datang mengganggu dirimu lagi?"
"Tidak, ia tak pernah
kemari lagi" Hu-yong siancu menggeleng, namun juga agak curiga, "cuma
anehnya dalam setahun be-lakangan ini, Oh Tin san suami istri juga tak pernah
munculkan diri lagi di sekitar tempat ini. kalau bukan disebabkan merasa takut terha-dap
To Seng-cu locianpwe, sudah pasti ia se-dang menekunbi sejenis ilmu jsilat yang
sa-nggat tangguh!"
bLan See giok berkerut kening,
kemudian se akan-akan memahami akan sesuatu kata-nya.
"Bibi, anak Giok pikir
ingin menyusul Oh Li-cu yang baru pulang dari Tay ang san untuk menyelidiki
Wi-lim-poo sekali lagi.."
Ciu Siau cian yang selama ini
hanya duduk mendengarkan dengan mulut membungkam, segera mengerutkan dahinya
begitu menying-gung masalah Oh Li-cu.
Namun sebelum ia sempat
menimbrung, Hu-yong siancu telah bertanya lebih dulu dengan wajah keheranan.
"Anak Giok. jadi kau
telah bertemu lagi dengan nona Oh?"
Tadi, Lan See giok hanya
menjelaskan tentang hasil yang diperoleh dari Kiong Tek ciong tanpa menjelaskan
pengalamannya se-lama di Tay ang san secara terperinci, setelah mendapat
pertanyaan itu, dia baru mene-rangkan bagaimana Tok Nio-cu me-nyusulnya sampai
di kota Siang yang, bagaimana bertemu dengan Oh Li-cu dan menuju Tay ang san
bersama sama. lalu bagaimana kedua kakak beradik itu saling bertemu kembali...
Tampaknya. Hu-yong siancu
pernah men-dengar tentang Tok Nio-cu, ia segera memberi peringatan.
"Tok Nio-cu adalah
seorang perempuan liar yang kurang wajar cara hidupnya, dengan mengandalkan
senjata rahasia beracunnya, banyak sudah korban yang tewas di tangan-nya.
seorang perempuan muda yang genit ternyata memilih nama julukan yang
meng-getarkan hati, anak Giok, di kemudian hari kau harus lebih waspada.."
Lan See giok segera mengiakan
berulang kali, sebelum ia menjelaskan bagaimana Tok Nio-cu menghadiahkan kuda,
menjadi pe-tunjuk jalan dan mulai menunjukkan sikap welas kasihnya terhadap
musuh, tiba-tiba terdengar Ciu Siau cian berkata dengan ketus:
"Kuda hitam yang berada
di tengah hala-man justru merupakan hadiah dari Tok Nio-cu yang peramah
itu...."
Merah padam selembar wajah Lan
See giok karena jengah, secara jujur dan terbuka ia segera menjelaskan
pengalamannya sampai mendapat hadiah kuda...
Setelah mendengar penuturan
mana. Hu-yong siancu mengangguk berulang kali sam-bil katanya:
"Asalr pemberian kudaz
dilakukan dengwan perasaan yanrg tulus dan jujur kita memang mesti menerimanya.
Justru yang dikuatirkan adalah bila dia mempunyai maksud tujuan tertentu!"
"Besok Tok Nio-cu dan Oh
Li cu sudah akan tiba di sini, biarlah setelah bersua nanti anak Giok
mengembalikan kuda itu kepada mereka!" janji pemuda itu ce-pat-cepat.
Hu-yong siancu
manggut-manggut, kemu-dian ia bertanya lagi.
"Apakah nona Oh telah
bercerita tentang ditotoknya jalan darahnya pada malam dulu? "
Tidak dia hanya bercerita
bahwa bibi telah membicarakan soal terbunuhnya ayahku..."
Hu-yong siancu menghela napas
panjang.
"Aai setelah kepergianmu
pada malam itu Tok Seng cu locianpwe telah munculkan diri dari balik kegelapan
pertama tama dia serahkan dulu pedang Gwat hui kiam dan sebuah kotak kecil
kepada anak Cian, de-ngan pesan agar aku membimbing enci Cianmu mempelajarinya,
kemudian setelah membebaskan totokan jalan darah Oh Li cu. Ia baru menyusul ke
mana kau telah pergi."
Sejak enci Ciannya membuatkan
sarung pedang untuk Si Cay-soat, Lan See giok telah menduga besar kemungkinan
pedang Gwat hui kiam telah diserahkan oleh gurunya kepada Ciu Siau cian.
mendengar sampai di situ ia segera menjelaskan.
"Kedua bilah pedang
mestika itu.."
Tapi Hu-yong siancu segera
menukas se-belum anak muda itu melanjutkan kata ka-tanya
"Suhumu telah
memperkenalkan asal usul kedua bilah pedang itu kepada kami, untung saja enci
Cian mu tak sampai menyia-nyiakan pengharapannya, cuma sayang tenaga dalamnya
masih ketinggalan jauh se-hingga menuju ke tingkat kesempurnaan pun masih jauh
sekali"
Tergerak pikiran Lan See giok
mendengar kata-kata itu, dia segera teringat kembali dengan cairan Leng sik
giok ji yang tersimpan dalam sakunya.
Dengan penuh kegembiraan ia
segera ber-seru:
"Biarpun tenaga dalam
enci Cian agak ketinggalan. hal ini tak perlu dirisaukan. anak Giok masih
menyimpan leng sik giok ji sebanyak tujuh delapan tetes dalam saku, harap bibi
dan enci Cian sudi meneguknya beberapa tetes"
Dari sakunya ia mengeluarkan
botol kecil itu dan diserahkan ke tangan Hu-yong siancu.
Dengan perasaan terkejut,
bercampur gembira Siau cian segera maju menghampiri-nya.
Dengan wajah serius Hu-yong
siancu menerima botol kecil itu dan segera membu-ka penutupnya seketika itu
juga seluruh ru-angan dipenuhi bau harum semerbak.
Paras mukanya segera berubah,
dengan wajah berseri katanya kemudian sambil me-ngangguk.
"Yaa, benar, memang benda
mestika yang mahal harganya!"
Berbicara sampai di situ,
keningnya kem-bali berkerut, seakan-akan sedang memikirkan sesuatu, kemudian
dengan nada tak habis mengerti tanyanya.
"Pada saat suhumu
menyerahkan pedang kepada anak Cian tahun berselang beliaupun menghadiahkan
setetes Leng-sik-giok-ji un-tuk encimu, konon cairan itu merupakan tetesan yang
terakhir, dari mana kau bisa mendapatkan begitu banyak_."
Secara ringkas pemuda itu
segera menje-laskan bagaimana dia bersama Si Cay-soat menemukannya di dalam
sebuah celah gua, tentu saja soal adegan panas yang dilaku-kannya bersama Si
Cay-soat sama sekali ti-dak disinggung.
Akhirnya dengan penuh
kegembiraan dia berkata:
"Isi botol ini paling
tidak masih terdapat tujuh-delapan tetes, silahkan bibi den enci Cian
membaginya untuk berdua."
Hu-yong siancu segera
menggelengkan kepalanya berulang kali sambil tertawa.
"Aku sudah pernah makan
buah Cu-sian ko jadi tak perlukan Leng-sik-giok-ji lagi .... "
Baru sekarang Lan See-giok
mengerti, apa sebabnya bibi Wan bisa awet muda sampai sekarang, bahkan seperti
seorang wanita yang baru berusia dua puluh enam-tujuh ta-hunan, rupanya bibinya
sudah pernah makan buah Cu-sian ko yang berkhasiat awet muda.
Sementara dia berpikir,
Hu-yong siancu telah mengambil sebatang sumpit dari meja menggosoknya sampai
bersih betbul, kemu-dian djimasukkan ke daglam botol itu: b
Lalu kepada anak gadisnya dia
berseru:
"Anak Cian, buka mulutmu
lebar-lebar."
Merah jengah selembar wajah
Ciu Siau cian, dengan wajah berseri dia membuka mulutnya lebar-lebar kemudian
menghisap sumpit dengan cairan putih itu.
Bau harum semerbak segera
memenuhi bibirnya, cairan putih itu segera meluncur ke dalam kerongkongan dan
masuk ke dalam perut"
Dengan wajah gembira Lan See
giok segera berseru.
"Bibi. berilah enci Cian
setetes lagi!"
Hu-yong siancu segera
menggeleng---
"Leng sik giok ji adalah
benda mestika yang langka sekali di dunia ini. sudah sepantasnya kalau dihemat
sedapatnya, bagi mereka yang bertenaga dalam agak rendah. paling baik kalau
jangan makan kelewat banyak"
Kemudian kepada putri
kesayangannya. ia berkata lagi sambil tersenyum,
Anak Cian, tenaga dalam yang
kau miliki sekarang paling tidak telah bertambah de-ngan dua puluh tahun hasil
latihan. kau su-dah seharusnya berterima kasih kepada adik Giok. dari sini
membuktikan bagai mana be-sarnya perhatian adik Giok mu kepada-mu---
Merah dadu selembar wajah
Siau-cian oleh kata-kata tersebut, meski ia menundukkan kepalanya sambil
tertawa, namun diantara, kerutan dahinya masih terselip kemurungan dan
kesedihan yang mendalam.
Hu-yong siancu kuatir Lan See
giok me-ngetahui perubahan aneh di wajah Siau cian tersebut, cepat-cepat ia
berkata lagi, "Anak Cian, cepat pergi ke kamarku dan bersemedi lah dua
tiga kali putaran, iringi hawa sakti yang dihasilkan Giok ji tersebut ke
seluruh anggota badan, dengan begitu akan semakin besar khasiat yang kau
peroleh."
Kemudian kepada Lan See giok
yang masih memandang Siau cian dengan wajah terma-ngu itu, katanya lagi sambil
tersenyum:
"Anak Giok, sekarang
tengah malam sudah lewat, kaupun sepantasnya beristirahat di kamar anak
Cian!" sembari berkata, iba serahkan kembjali botol porseglen tersebut keb
tangan Lan See-giok.
Lan See giok mengiakan dengan
hormat, setelah menerima kembali botol porselen itu dan menyampaikan selamat
malam, dia ber-anjak dari tempat duduknya.
Setelah melepaskan sepatu, ia
berbaring d ranjang dan memadamkan lentera.
Sementara itu malam semakin
kelam. di luar pagar sana hanya terdengar suara air telaga.
Berbaring di atas ranjang,
tanpa terasa Lan See giok membelai kasur milik enci Cian itu, bau harum yang
menusuk hidung membuat anak muda tersebut semakin tak tenang, ia tak tahu
sampai kapan baru bisa memeluk encinya yang cantik itu serta mengajaknya tidur
bersama.
Semakin kalut pikirannya, Lan
See giok semakin tak dapat tidur, terpaksa ia duduk bersila sambil mengatur pernapasan.
Tak lama kemudian semua kekusutan dan kekalutan pikirannya dapat teratasi ....
Entah berapa lama sudah lewat,
dalam semedinya mendadak ia mendengar suara isak tangis seseorang yang lirih
dan berusaha keras dikendalikan.
Begitu suara tangisan itu
tertangkap telinga Lan See giok. saking terkejutnya hampir saja ia menjerit, ia
tak tahu mengapa Siau cian menangis sedih di tengah malam begini?
Sambil berusaha mengendalikan
rasa sedih yang mencekam perasaannya. ia mendengar-kan lebih jauh.
Dengan cepat ia menangkap
suara bisikan Hu-yong siancu, sedemikian lirihnya suara tersebut sehingga
hampir saja ia tak dapat mendengarkan dengan jelas.
"Cian ji kau tak boleh
terlalu mengikuti napsu, aku sudah menyesal sepanjang hidupku, kau tak boleh
mengikuti sejarah kehidupanku-."
"Apalagi. coba kau lihat
betapa cintanya anak Giok kepadamu, perbuatan mu ini bisa jadi akan
menghancurkan lembaran hidup-nya ......
"Selama hidup anak Cian
tak mau kawin, aku hendak menemani ibu sampai akhir ha-yat!" kata Siau
Cian kemudian sambil terisak.
Dengan nada menegur, tapi juga
menghi-bur Hu-yong siancu segera berkata:
"Anak bodoh, asral kau
sudah kazwin de-ngan adiwk Giok, bukankarh ibupun dapat se-lalu tinggal bersama
kalian?"
"Ibu, bukankah kau pernah
mengatakan, bila ada dua orang gadis mencintai seorang lelaki, maka percintaan
tersebut akan bera-khir dengan tragis?"
"!Anak Cian, itu cuma
pendapatku yang salah dimasa muda dulu, aku telah men-cela-kai ayahnya dan
ibunya hingga menderita sampai saat terakhir, aku tak akan membiar-kan
pikiranmu yang cuma menye-babkan ke-hidupan anak mereka hancur berantakan, anak
Cian, kau adalah seorang anak yang pintar dan tahu adat kesopanan, kau tidak
boleh melakukan perbuatan bodoh seperti ini."
"Anak Cian, kau sudah
mendengar . . . ? Apalagi kebanyakan orang lelaki memang mempunyai tiga istri
empat selir, malah seperti Siang lam tayhiap, Gi pak kiam kek, Cing im suseng,
Siau you Gi su, semuanya mempunyai tiga istri empat bini yang rata-rata
berwajah cantik, malah mereka semua pun termasuk pendekar- pendekar wanita yang
memiliki ilmu silat sangat hebat . . . ."
"Ooh ibu, kau tak usah
berbicara lagi, ja-ngan kau lanjutkan kata katamu itu . . . ." seru Siau
cian agak menderita,
"Anak Cian" dengan
sedikit merengek Hu-yong siancu berseru. "ibu sangat ber-harap kau dan
adik Giok dapat hidup ber-dam-pi-ngan hingga hari tua nanti, kau mesti
ber-bakti kepada ibumu, kau harus mengikuti perkataan ku"
"Anak Cian, sudah kau
dengar perkataan ku ini ....?"
Aai, beginilah nasib, ibupun
tak akan membujukmu lagi, di kemudian hari kau bakal menyesal sendiri!"
Suasana pun menjadi hening
kembali, na-mun sepasang mata Lan See giok justru se-makin kabur.
Dia sama sekali tidak
menyangka kalau Siau cian yang nampak lemah lembut dan amat menawan itu,
sesungguhnya merupa-kan seorang gadis pencemburu yang berhati keras bagaikan
baja.
Dari Siau cian, diapun
membayangkan Si Cay soat yang ingin mencari menangnya sendiri, memang nampaknya
mustahil bagi kedua orang itu untuk hidup bersama sama.
Dalam hati kecilnya ia
berterima kasih sekali kepada bibi Wan, ia merasa apakah enci Cian dan adik
Soat dapat hidup ber-dampingan, secara damai di kemudian hari, hal tersebut
tergantung pada bibinya.
Teringat akan bibi Wan, Lan
See-giok merasa semua kemasgulan dan ketidak tenangan tersapu bersih dari
dadanya, pikiran menjadi tenang kembali.
Ia berpendapat bahwa setiap
kejadian ter-gantung pada orangnya. asal ia sendiri bisa melakukan semua
tindakan secara hati-hati dan jujur, dia tidak kuatir enci Ciannya tak akan
berubah pikiran.
Tiba-tiba terdengar suara
derap kaki kuda bergema dari balik halaman rumah.
Satu ingatan segera melintas
dalam benak Lan See giok, ia teringat kembali kuda Wu wi-kou yang berada
ditengah halaman, se-waktu berpaling ke jendela depan, setitik ca-haya matahari
nampak muncul di ufuk timur, pertanda hari hampir terang tanah.
Terbayang kalau kudanya belum
diberi rumput setelah melakukan perjalanan jauh, dihati kecilnya segera tumbuh
perasaan menyesal, ia menyadari bahwa dirinya tak mungkin dapat merawat kuda
tersebut, dan lebih baik secepatnya dikembalikan kepada Tok Nio-cu.
Dengan cepat pemuda itu
melompat turun dari atas pembaringan, mendekati pintu kamar dan menggunakan
tehnik lunak dalam tenaga dalamnya, secara pelan-pelan dia menghisap pintu
tersebut hingga terbuka se-buah celah. kemudian ia menyelinap ke luar dari
kamar dan bermaksud membawa kuda-nya ke tanah lapang berumput:
Melihat kemunculan pemuda itu.
si kuda hitam tersebut segera menggoyangkan ekornya sambil meringkik pelan,
Kakinya di sepak-sepak kan ke atas tanah dan memper-lihatkan sikap mesra.
Lan See giok kuatir gerakan
nya itu akan mengejutkan bibi dan enci Cian nya, maka ia menyusup ke depan kuda
kemudian dengan berhati hati sekali menuntun kuda tersebut menuju ke pintu pekarangan.
Pada saat dia hendak membuka
pintu pa-gar inilah, mendadak dari belakang tubuh nya bergema suara teguran
Hu-yong siancu dengan nada gemetar.
"Anak Giok, mau kemana
kau?"
bLan See-giok sejgera
berpaling,g dilihatnya Hu-byong siancu dengan kening berkerut dan wajah sedih
sedang menatapnya tajam-tajam, sementara sepasang matanya yang jeli mulai
nampak berkaca kaca.
Ia tahu Hu-yong siancu tentu
salah paham, sebelum ia sempat memberi penjelasan, tam-pak bayangan manusia
kembali berkelebat, Siau cian dengan wajah pucat pias telah ber-diri di sisi
ibunya.
Ketika melihat Lan See giok
berdiri di de-pan pintu halaman sambil menuntun kuda. air mata yang mengembang
dalam kelopak mata Siau cian segera bercucuran dengan amat derasnya.
Sebenarnya Lan See giok
berbuat demikian karena takut perbuatannya akan menggang-gu ketenangan bibinya.
siapa tahu akibatnya malah terjadi kesalahan pahaman.
Dalam keadaan begini,
buru-buru dia ber-seru dengan nada gelisah.
"Semalaman suntuk kudaku
ini belum di kasih rumput, anak Giok bermaksud akan membawanya ke halaman
belakang sana untuk mengisi perut ...."
Belum selesai dia berkata,
mendadak Siau cian menutup wajahnya sambil menangis tersedu-sedu:
"Ibu, adik Giok tidak
berbicara sejujurnya, kau tak boleh membiarkan dia pergi."
"Kalau memang begitu,
mengapa kau tidak melepaskan pelana dari punggung kuda?" tanya Hu-yong
siancu kemudian agak geli-sah.
Melihat enci Cian menangis
begitu sedih, ia merasa kasihan, sayang dan gembira, apalagi setelah dilihatnya
bibi Wan maupun enci Cian semuanya menganggap dia hendak minggat, timbul
niatnya untuk menggunakan siasat tersebut untuk mengelabui mereka. siapa tahu
kalau hal tersebut justru akan menarik perhatian enci Cian untuk berubah
pikiran?
Sementara dia ragu airmata
yang meleleh ke luar dari mata Hu-yong siancu semakin deras, sedangkan Siau
cian sudah menutupi wajahnya sambil menangis tersedu sedu.
Jelas sudah, mereka percaya
bahwa pemu-da itu memang berniat untuk minggat dari rumah mereka.
BAB 25
SESUNGGUHNYA Lan See giok
tidabk ber-niat samaj sekali untuk pgergi tanpa pamibt. kesalahan paham yang
terjadi sekarang boleh dibilang tak pernah diduga olehnya.
Menangisnya Ciu Siau cian
bukan saja ti-dak mengejutkan Lan See giok. sebalik-nya malah menimbulkan rasa
gembira dan lega, sebab dari sini terbukti sudah kalau enci Cian masih
mencintainya.
Tapi ketika melihat bibinya
ikut me-leleh-kan air mata, dengan perasaan terkejut ce-pat-cepat dia melepaskan
tali les kudanya dan memburu ke depan, kemudian teriaknya penuh kegelisahan.
"Bibi, bibi anak Giok
bernyali besarpun tak akan berani membohongi dirimu, sesungguh-nya anak Giok
memang takut me-ngejutkan kalian, itulah sebabnya akan tidak melepas-kan pelana,
kalau tak ada urusan apa-apa. mengapa anak Giok mesti pergi tanpa pa-mit?"
Melihat kegelisahan anak muda
itu Hu-yong siancu segera mengangguk berulang kali, air mata yang membasahi
wajahnya ce-pat-cepat diseka.
Rupanya Siau cian mengetahui
kalau tenaga dalam yang dimiliki anak muda itu sudah mencapai tingkatan yang
luar biasa. dia yakin pemuda itu pasti sudah menyadap pembicaraannya dengan
ibunya. karena itu dalam gelisahnya. dia mengira Lan See giok hendak minggat
karena rasa marahnya.
Tapi setelah menjumpai
kegelisahan yang menyelimuti wajahnya sekarang, gadis itu segera berpikir.
"Jangan-jangan dia memang
sudah ter-tidur pulas?"
Berdiri di depan Hu-yong
siancu, Lan See giok sebentar memandang ke arah enci Cian dengan gelisah,
kemudian menengok pula ke arah bibinya dengan cemas, jelas hatinya tak tenang
sehingga gerak geriknya serba salah.
"Hu-yong siancu segera
tersenyum, ujarnya dengan tenang.
"Anak Giok, sekarang
turunkan pelana dan helalah kuda itu ke luar dari halaman!"
Lan See giok mengiakan dengan
hormat, setelah memandang sekejap kearah Siau cian yang masih menutupi
rwajahnya denganz pe-nuh rasa kuwatir, dia baru rmembalikkan badan dan ke luar
dari halaman sambil menghela kudanya.
Kembali Hu-yong siancu berkata
kepada Siau cian:
"Anak Cian, hari ini si
nona Si akan berkunjung kemari, pergilah mengatur kamar untuknya. "
Siau cian menyeka air mata
dari pipinya, setelah melirik sekejap ke arah Lan See giok yang sedang
melepaskan pelana dari pung-gung kuda. ia membalikkan tubuh dan menuju ke dalam
kamar.
Tiba di kamar sendiri,
ditemukan selimut dan kasur -kusut dan tak teratur, ini mem-buktikan kalau
pemuda tersebut sudah ter-tidur.
Karenanya dia lantas tertawa,
menertawa-kan dirinya yang dianggap kurang tahan uji sehingga akibatnya ibu
serta adik Giok nya menjadi tak tenang.
Terburu buru Siau cian
membereskan kamar tidurnya, ketika ke luar kembali dari kamarnya, Lan See giok
sudah pergi sambil menghela kudanya.
Sementara itu fajar sudah
menyingsing, dari dusun pun sudah kedengaran suara manusia berbicara, di telaga
pun sudah nampak perahu nelayan yang melaju...
Lan See giok membawa kudanya
menuju ke arah berumput di belakang rumah dan membiarkan binatang itu bergerak
bebas.
Sambil mengawasi kudanya makan
rum-put, ia berputar otak tiada hentinya mencari akal bagaimana caranya membuat
enci Cian nya menjadi gembira.
Terbayang bahwa serentetan
kejadian yang tidak menyenangkan itu bersumber pada Si Cay soat, dia sampai
lama sekali memutar otak, dia merasa wajib untuk mengatur sua-sana pertemuan
hari ini dalam keadaan yang menggembirakan.
Akhirnya dia berkesimpulan,
bila ingin membuat mereka semua gembira, maka per-tama tama dia sendiri harus
gembira dulu.
Berpikir sampai disini.
dadanya terasa lega, diapun membalikkan badan menuju ke ha-laman depan.
Muncul di halaman depan,
pemuda itu segera tertegun, dilihatnya Ciu Siau cian se-dang membawa sapu
berdiri di situ dengan senyum dan kepala tertunduk, dia sedang menyapu daun
kering di halaman muka de-ngan wajah riang.
Lan See giok, merasa sangat
keheranan. dia tak tahu persoalan apakah yang mem-bangkitkan kegembiraan gadis
itu.
Siau cian mengetahui See giok
telah mun-cul, namun ia berlagak seolah-olah tidak melihat, kepalanya malah
ditundukkan se-makin rendah. sapuannya juga semakin ce-pat, namun sepasang
lesung pipi nya yang manis justru kelihatan semakin nyata.
(Bersambung ke Bagian 32)