Anak Berandalan Bagian 09

Baca Cersil Mandarin Online: Anak Berandalan Bagian 9
Anak Berandalan Bagian 9

Satu waktu, Siaw cap It long menimba air, tiba-tiba ia melihat sim pek Kun sedang disamping air terjun, menundukkan kepala, memandang dan memperhatikan perutnya sendiri.

Sim Pek Kun lupa, situasi apa yang mengekang dirinya ! Tidak sadar akan kedatangan Siaw Cap It Lng.

Siaw Cap It Long mengajukan pertanyaan :

“Apa yang sedang kau pikirkan ?”

Sim Pek Kun terlompat bangun, wajahnya memperlihatkan perubahan-perubahan yang aneh. Lama sekali, Ia menggeser pandangan matanya, dengan dipaksakan tertawa ia berkata :

“Tidak apa-apa. Tidak ada sesuatu yang kupikirkan.”

Siaw Cap It Long tidak bertanya lagi.

Pertanyaan yang sudah terlanjur dilepas keluar itu adalah pertanyaan yang kurang pantas. Siaw cap It Long menyesal, karena ia tahu, apa artinya dari ucapan kata tidak apa-apa.. seorang wanita yang mengucapkan tidak memikirkan apa-apa, kebalikan daripada itu, terlalu banyak yang dipikirkan. Hanya pikiran-pikiran itu tidak ingin diketahui oleh orang lain.

Tapi sangat mudah diduga, apa yang sedang dipikirkan oleh Sim PekKun.

Tentu saja Siaw cap It long bisa menduga apa yang dipikirkan oleh Sim pek Kun.

Hari berikunya, Sim pek Kun bisa menyaksikan, bagaimana bangunan baru yang akan tumbuh disamping bangunan lama itu terbongkar kembali.

Dan kejadian berikutnya, arak, anggur yang sedang disekap itu telah kosong.

Siaw cap It long sedang bermabuk-mabukan, ia duduk dibawah pohon, mukanya merah, menghabiskan semua arak yang ada. Semalam suntuk tidak tertidur.

Hati Sim Pek Kun seperti hendak mencelat keluar dari tempatnya, ia bisa menduga, terjadi sesuatu yang kurang beres. mendekati Siaw Cap It Long dengan gugup ia bertanya :

“kau...kau mengapa bisa menjadi begini ? mengapa membongkar rumah yang sudah hampir jadi.”

Tidak terjadi perubahan wajah, tanpa menoleh sama sekali, dengan tawar Siaw cap It Long berkata "

“Karena tidak perlu ditinggali, mengapa tidak dibongkar ?”

“Eh, mengapa tidak mau ditinggali ? kau....”

“Segera akan kukosongkan tempat ini.” jawab Siaw Cap It Long singkat.

“hendak pergi ? mengapa ? ini rumahmu bukan ?” bertanya Sim Pek Kun heran.

“Aku tidak mempunyai rumah, sudah kukatakan, aku adalah anak berandalan. Paling dua bulan kuberdiam disini. Sesudah itu, aku harus berkelana lagi. Meneruskan petualangan-petualangan yang ditangguhkan.”

Hati Sim Pek Kun seperti ditusuk-tusuk jarum, menahan keluarnya air mata, ia bertanya :

“Betul?”

“Mengapa harus bohong ?” berkata Siaw Cap It Long

“Hari-hari yang seperti ini kulewatkan seperti tersiksa.”

“Hari yang tidak baik ?” bertanya Sim Pek Kun.

“Waktu yang dianggap baik oleh orang belum tentu dianggap baik olehku. Diantara pergaulan kita mungkin terdapat ketidak serasian.”

Sepasang mata Sim Pek Kun sudah menjadi bentul merahm basah, Ia berkata :

“aku........”

“Kau juga sudah waktunya untuk pergi. setiap orang harus berangkat. Lambat atau cepat, kau harus meninggalkan tempat ini bukan ?”

Sedapat mungkin Sim Pek Kun menahan jatuhnya airmata, tapi tidak bisa dibendung lagi, dua butir cairan bening itu sudah menetes jatuh. Ia mengerti, apa yang dipikirkan oleh Siaw Cap It Long.

“Ia betah ditempat ini.” demikian hatinya berkata.

“Mengapa harus pergi, karena dia tahu, karena aku harus meninggalkan tempat ini. Maka ia juga meninggalkan tempat bangunannya.”

Dengan menggertek gigi, mengeraskan hati, Sim Pek Kun bertanya :

“Kapan kita berangkat ?”

“Segera berangkat.” Berkata Siaw Cap It Long

“Sekarang juga.”

“Baik.” Sim Pek Kun menganggukkan kepala.

Sesudah itu, Sim Pek Kun menoleh kearah lain, dengan hujan air mata yang deras , ia lari ketempat rumah kayu semula. Dari dalam rumah kayu itu, masih terdengar suara isak sang ratu rimba persilatan.

Siaw cap It Long tidak memperlihatkan perubahan-perubahan wajahnya. dengan malas-malasan ia bangkit berdiri.

Mengajak Sim Pek Kun, Siaw Cap It Long meninggalkan lembah gelap.

Mereka keluar dari dasar lembah setelah beberapa waktu. Perubahan-perubahan iklim terjadi secara pesat.

Angin mulai bertiup, suasana mulai diliputi oleh pemandangan sepi.

Musim dinginpun tiba.

Datangnya musim dingin itu lebih cepat beberapa waktu, jalan-jalan telah mulai memutih, orang yang berlalu-lalang juga sedikit.

Siauw Cap-it-long memikul satu pikulan buah Lay dan buah Tho yang menjadi hasil lembah, dibawanya ke dalam kota, dijualnya kepada orang-orang hartawan, dengan beberapa tail uang itu, ia bisa membeli perbekalan.

Buah Lay dan buah Tho adalah buah yang termahal, apalagi harga Siauw Cap-it-long juga agak miring, sebentar saja terjual habis. Dengan perbekalan uang itu, Siauw Cap-it-long menyewa kereta, menyilahkan Sim Pek Kun duduk di dalamnya. Tapi ia selalu memisahkan diri, duduk di samping sang kusir.

Penilaian Sim Pek Kun pada Siauw Cap-it-long lebih mendalam, si jago brandal Siauw Cap-it-long bisa memakai uang dengan pantas, setiap uang itu didapat dengan tenaga dan keringat yang telah diperasnya.

Bukan berarti Siauw Cap-it-long tidak pernah melakukan pembegalan dan perampokan, tetapi setiap uang hasil pembegalan dan perampokan selalu digunakan untuk menolong orang lain.

Inilah sifat-sifat si jago brandal Siauw Cap-it-long.

Mereka meninggalkan tempat yang bisa memberi kesan dalam.

Di bawah pohon rimba gelap, jarak mereka begitu dekat, masing-masing bisa mengikuti suara deburan napas masing-masing.

Tetapi, sesudah meninggalkan rimba itu, jarak yang dekat itu menjauh kembali.

“Mungkinkah kita hidup di dalam dua dunia yang tidak sama?” demikian hati Sim Pek Kun berpikir.

Hujan salju turun semakin deras, terus menerus sehingga beberapa hari. Siauw Cap-it-long dan Sim Pek Kun memasuki sebuah rumah penginapan, kecuali mereka berdua, tidak ada tamu lainnya.

Siauw Cap-it-long meninggalkan Sim Pek Kun di rumah penginapan kecil itu, ia sendiri pergi keluar.

Lagi-lagi Sim Pek Kun menunggu. Apa yang Sim Pek Kun sedang tunggu?

Ia harus menunggu kembalinya Siauw Cap-it-long.

Hasil apa dari penungguan baru ini?

Tentunya perpisahan. Perpisahan dari Siauw Cap-it-long yang tidak mungkin bisa dielakkan.

Menunggu itu adalah pekerjaan lama Sim Pek Kun. Lagi ia menunggu terus, menunggu terus.

Waktu berlalu.....

Tiba-tiba sebuah kereta yang agak mewah berhenti di depan rumah penginapan itu, dari sana muncul Siauw Cap-it-long, dia berlompat turun, wajahnya pucat pasi, tapi kondisi badannya tetap segar.

Berhari-hari Siauw Cap-it-long menyelidiki Lian Seng Pek. Tidak berhasil.

Sesudah terjadi drama penghancuran kampung Sim-kee-chung, Lian Seng Pek tidak pulang ke rumahnya.

Lian Seng Pek telah menjelajahi setiap pelosok, tapi ia tidak menemukan jejak Sim Pek Kun. Tidak ada orang yang tahu di mana dan bagaimana keadaan Sim Pek Kun.

Lian Seng Pek meneruskan pencarian sang istri.

Tentu saja Lian Seng Pek tidak tahu bahwa sang istripun sedang mencarinya.

Akhirnya Siauw Cap-it-long bisa mendapat berita di mana adanya Lian Seng Pek. Maka ia menyewa kereta kembali ke rumah penginapan.

Menyongsong kedatangan Siauw Cap-it-long, Sim Pek Kun tertawa, ia berkata girang:

“Tidak kusangka, hari ini kau bisa menggunakan kereta, biasanya kau berjalan kaki saja.”

Penyambutan seorang wanita adalah menyenangkan hati, apalagi penyambutan yang begitu meriah, penyambutan itu sangat menggirangkan.

Biasanya, bilamana Sim Pek Kun tertawa, belum pernah Siauw Cap-it-long mengelakkan sinar matanya, hari ini terkecuali, ia tidak berani membentur sepasang sinar mata itu.

Dengan suara yang tawar dan datar, Siauw Cap-it-long berkata:

“Kereta ini kusediakan untukmu”

Lenyaplah tertawanya Sim Pek Kun, ia tertegun sebentar, berkata:

“Kereta untukku?”

Perasaan wanita itu lebih tajam dari perasaan laki-laki, menyaksikan perubahan wajah Siauw Cap-it-long, Pek Kun telah mengetahui sesuatu menyimpang dari kebiasaan. Perlahan-lahan wajahnya menjadi beku.

Siauw Cap-it-long menganggukkan kepala, ia berkata:

“Ya. Kereta ini sengaja kusediakan untukmu. Karena kau sudah kenal baik letak keadaan tempat ini.”

Lagi-lagi Sim Pek Kun berkerinyut, seolah-olah mendapat serangan angin jahat yang sangat dingin, mulutnya berkemak-kemik, hendak mengucapkan sesuatu, tapi tidak bisa meletus keluar.

Tangan Sim Pek Kun menjadi gemataran, ia hendak mengelakkan sesuatu, ia hendak lari dari kenyataan, tapi tidak mungkin, tidak mungkin dielakkan, tidak mungkin menyingkir darinya.

Lama terjadi ketegangan yang seperti itu, akhirnya suara Sim Pek Kun memecah kesunyian:

“Kau.... kau sudah berhasil menemukan jejaknya?”

“Ya” berkata Siauw Cap-it-long sangat singkat.

Hanya sepatah kata itu sudah cukup untuk menelungkup sesuatu. Menelungkup jagat kehidupan mereka.

Lagi-lagi dahi Sim Pek Kun berkerinyit, hatinya terasa sangat pedih.

Sim Pek Kun mempunyai kepribadian dan pendidikan yang cukup, ia tahu, sikap apa yang harus diperlihatkan seorang wanita yang mempunyai pendidikan sepertinya, seorang wanita yang mempunyai pendidikan sempurna akan bergirang, bila mendapat berita tentang jejak sang suami yang terpisah.

Sayang sekali, bagaimanapun, ia tidak bisa memaksakan rasa girang itu.

Lama sekali waktu telah dilewatkan, dengan suara perlahan Sim Pek Kun bertanya:

“Di mana dia berada?”

“Kusir kereta di depan pintu itu bisa mengetahui, di mana dia berada.” jawab Siauw Cap-it-long, “Dia bisa membawamu ke sana.”

“Terima kasih.”

Suara terima kasih Sim Pek Kun seolah-olah datang dari tempat yang jauh, Sim Pek Kun sendiri juga tentu tidak percaya bahwa ucapan tadi keluar dari mulutnya, suara itu begitu asing, seolah-olah bicara kepada orang yang tidak dikenal.

Tentu saja Sim Pek Kun tahu, wajahnya memperlihatkan perasaan girang. Dan perasaan girang itu beku dan kaku seolah-olah wajah orang yang guram.

Siauw Cap-it-long berkata:

“Sama-sama. Inilah kewajiban kita sebagai umat manusia, wajib saling bantu membantu.”

Suaranya sangat dingin dan ketus. Perubahan wajah juga dingin dan kecut.

Begitu pulakah hati mereka?

Hanya kedua orang yang bersangkutan yang bisa mengetahuinya.

Sim Pek Kun berkata lagi:

“Kau sudah menyuruh kereta menunggu, bukan?”

“Ya” jawab Siauw Cap-it-long “Waktu masih terlalu pagi. Kau harus melakukan perjalanan yang sangat jauh. Kau harus bersiap-siap, kukira berangkat siang sedikit.”

Memperlihatkan senyuman yang agak aneh, Siauw Cap-it-long menyambung pembicaraan:

“Dan aku tahu, kau sudah sangat ingin bertemu dengannya. Bergegas-gegas hendak berangkat.”

Perlahan sekali Sim Pek Kun menganggukkan kepala dan berkata:

“Betul, sudah lama aku tidak bertemu dengannya. Ingin sekali bisa cepat bertemu.”

“Nah,” berkata Siauw Cap-it-long “Kau tidak mempunyai perbekalan, baik berangkat sekarang sajalah.”

Percakapan kedua orang itu sangat perlahan, sangat tenang. Tapi mereka harus menggunakan kekuatan yang berat untuk bisa melepaskannya.

Inikah suara hati nurani masing-masing! Suara hati nurani mereka tersimpan di dalam, berapa orang yang bernai mengutarakan suara hati nurani yang seperti itu?

Takdir telah menyamprokkan Siauw Cap-it-long dengan Sim Pek Kun, mengapa tidak bisa menyembunyikan hati masing-masing? Mengapa harus saling tipu menipu, harus saling menyakiti hati?

Siauw Cap-it-long membalikkan badan, memandang ke arah samping, dari sana ia berkata:

“Selamat jalan. Tentunya kau sudah ingin cepat-cepat berangkat.”

“Selamat jalan.” berkata Sim Pek Kun “Kau juga ingin pergi.”

“Ya. Setiap orang yang masih hidup itu kerjanya hanya berpergian.”

Sim Pek Kun menggigit bibir, Kembali ia berkata :

“Aku hendak menjamu perpisahan ini, bersediakah kau menerima jamuanku ?”

“Katakan saja kita makan minum bersama.”

Sim Pek Kun memanggil pelayan rumah makan, memesan makanan dan minuman.

Sim Pek Kun membuat perjamuan perpisahan.

MENANGIS DI HATI

SIM PEK KUN membuat jamuan perpisahan. Siauw Cap It-long tidak menolak. Inilah pertemuan mereka yang terakhir, mungkin bisa berjumpa lagi, mungkin juga tidak.

Siauw Cap It-long memandang Sim Pek Kun beberapa lama, ia bertanya :

“Perjamuan ini ..... "

Sim Pek Kun menganggukkan kepala, ia tertawa berkata : “Aku tahu. Kantongku sudah tidak ada uang lagi. Tapi benda ini bisa cukup untuk melunasi rekening makanan dan minuman bukan?”

Dari atas rambutnya, Sim Pek Kun menurunkan tusuk konde kumala.

Tusuk konde kumala itu adalah benda yang berharga, bukan saja berharga, benda itu menandakan dan melambangkan perkawinan Sim Pek Kun dan Lian Seng Pek.

Tusuk konde kumala adalah hadiah pemberian sang suami, dikala hari pernikahan mereka, dengan tangan sendiri Lian Seng Pek meletakan diantara sela2 sanggul rambut Sim Pek Kun.

Biar bagaimanapun, Sim Pek Kun tidak mengerti, bagaimana ia bisa mengorbankan lambang perkawinan itu.

Tanpa sayang sama sekali, Sim Pek Kun bersedia mengorbankan lambang perkawinannya. Ia akan puas, bilamana bisa makan dan minum beserta Siauw Tjap-it-long bersama2 membikin perjamuan terakhir.

Pengorbanan2 Siauw Tjap-it-long terlalu besar. Inilah pengorbanan tusuk konde kumala, hanya satu kali pengorbanan, Sim Pek Kun hendak membalas pengorbanan2 jago berandalan.

Kecuali pengorbanan ini, tidak mungkin Sim Pek Kun membuat pengorbanan lain aja.

Pelayan rumah penginapan sudah menyediakan arak dan barang makanan.

Menuangkan arak itu kecawan Siauw Tjap-it-long, Sim Pek Kun berkata:

“Demi persahabatan, keringkanlah secawan arak ini.”

Siauw Tjap-it-long menerima pemberian arak, ia menenggak seceguk, dan berkata:

“Kau tahu, hobbyku adalah meminum arak. Belum pernah aku menolak pemberian arak.”

Siauw Tjap-it-long menghabiskan semua arak yang tersedia.

Pelayan rumah makan membawakan arak lagi.

Tangan Siauw Tjap-it-long bergerak cepat. Secawan demi secawan, ia mengeringkan semua persediaan.

Siauw Tjap-it-long berharap, walau ia tidak mabuk, bisa saja berpura2 mabuk.

Yang terakhir, Siauw Tjap-it-long sendiripun tidak tahu, betulkah dia sudah mabuk? Betul2 mabok atau pura2 mabok?

Siauw Tjap-it-long mendengungkan lagunya tanpa nama, lagu yang sangat menyedihkan itu.

Jarang sekali ada orang mabok yang bisa melagukan suara.

Lagu ini adalah lagu kesenangan Siauw Tjap-it-long, lagu dengungan kesepian dan dendang kesengsaraan.

Lagu yang sudah sering didengar oleh Sim Pek Kun.

Kini, lagu itu seperti lagu baru, meresapi dan menyelubungi hati Sim Pek Kun. Dia juga menenggak arak. Seorang wanita yang terhormat jarang meminum arak, hanya beberapa tegukan saja, Sim Pek Kun sudah mulai menjadi mabuk.

Biar bagaimana, Sim Pek kun pernah berpesan kepada diri sendiri, ia tidak boleh jatuh ditempat itu.

Tangan Siauw Tjap-it-long masih mengambil dan menuang araknya.

Sesudah itu Siauw Tjap-it-long mendengungkan lagu tanpa nama, lagu kesedihan.

Tidak bisa ditahan, Sim Pek Kun bertanya:

“Lagu ini sudah kudengar sehingga puluhan kali. Lagu apakah?”

“Kudapat lagu ini dari seorang pengembala diluar perbatasan.” berkata Siauw Tjap-it-long “Lagu yang tidak mudah diresapi, kalau kau sudah mengerti cerita yang terdapat didalam lagu ini, kukira tidak mungkin kau mau mendengarnya lagi.”

“Mengapa?” bertanya Sim Pek Kun.

Wajah Siauw Tjap-it-long memperlihatkan sikap yang mengejek, ia berkata:

“Arti dari lagu ini adalah lagu picisan, tidak mungkin bisa diterima kaum sebangsa kalian.”

Sim Pek Kun menundukkan kepala ketanah.

“Ceritakanlah” Ia berkata “Ceritakan arti dari lagu2mu itu.”

“Dengar baik2” berkata Siauw Tjap-it-long “Arti lagu dari kata2 ini kira2 ceritanya seperti ini: Manusia itu kasihan kepada kambing, tapi tidak pernah ada yang kasihan kepada seekor srigala. Pernah diceritakan srigala itu adalah binatang ganas, binatang pengrusak yang sering merusak kambing2 pengembala. Rasa sepi seekor srogala tidak diketahui. Rasa sepi dan menyendiri srigala tidak pernah diresapi oleh manusia, srigala lapar, ia makan kambing, kambing lapar oa makan rumput. Karena rumput itu tidak dipentingkan oleh manusia, maka kambing tidak dicela. Sebaliknya daripada itu, kambing itu dibutuhkan oleh manusia, maka srigala dicela. Inilah lagu kesengsaraan srigala.”

Semakin lama, cerita Siauw Tjap-it-long semakin keras.

Setelah mendengar semua, tiba2 Sim Pek Kun berkata:

“Hei, dimisalkan kau terlunta2 disebuah padang rumput yang luas, terjadi hujan es, menutupi seluruh bumi. Berhari2 kau tidak mendapat makanan, dimisalkan kau bertemu dengan seekor kambing, bisakah kau terkam kambing itu?”

Siauw Tjap-it-long mendongakkan kepala sepasang matanya yang liar menatap wanita cantik didepannya, mata itu redup kembali, manakala ia teringat bahwa Sim Pek Kun adalah milik Lian Seng Pek, milik yang sah dari jago ksatria.

Beberapa cawan arak lagi ditenggak olehnya. Akhirnya Siauw Tjap-it-long betul2 jatuh rubuh. Ia mabuk. Tengkurep dimeja dan menggeros2.

“Pergilah!” Inilah suara yang terakhir dari Siauw Tjap-it-long. Sesudah itu, ia tidak sadarkan diri.

Belum pernah hati Sim Pek Kun menjadi kalut seperti apa yang kini ia rasakan.

Seharusnya ia bergembira, karena tidak lama lagi ia bisa menjumpai sang suami yang tercinta.

Mulai saat itu, segala godaan2 ini dan ketegangan2 tidak akan dialami lagi ia akan hidup tenang, hidup tenang disamping suaminya.

Walau suami itu sering berpergian, ketenangan tidak mungkin terganggu. Walau ia harus menunggu, menunggu adalah pekerjaan lama. Tugas yang sudah biasa dilakukan olehnya.

Air mata Sim Pek Kun meleleh keluar, ia menyusutnya cepat2.

Didalam hati Sim Pek Kun berpikir:

“Apabila Siauw Tjap-it-long menarik tanganku, agar aku tidak menjumpai Lian Seng Pek, bisakah kuterima saran ini?”

Sim Pek Kun bergidik dingin, bilamana terpikir lanjutan apa yang sedang dipikirkan olehnya.

Sim Pek Kun harus bisa melenyapkan jasa2 Siauw Tjap-it-long. Ia harus menguatkan hati, meninggalkan sang jago berandalan yang telah terkapar mabok.

Mulai saat ini, ia harus mendampingi Lian Seng Pek. Ia harus menjadi seorang istri yang tercinta, ia sangat setia.

Pemilik rumah makan menyodorkan rekening makanan. Sim Pek Kun menyerahkan tusuk konde kumalanya.

Sim Pek Kun meninggalkan rumah penginapan itu, memanggil kereta yang sudah tersedia.

Ia akan kembali kedunianya, dunia manusia beradab. Ia harus meninggalkan dunia Siauw Tjap-it-long, dunia srigala yang kesepian.

Ketoprak.... ketoprak.... ketoprak.....

Kereta yang membawa Sim Pek Kun meluncur pergi.

Terbayang satu pekarangan yang sepi, pekarangan yang luas. Itulah pekarangan keluarga Lian Seng Pek.

Lian Seng Pek tinggal ditempat yang seperti itu. Tempat suatu rumah penginapan.

Kusir kereta yang sudah mendapat pesan Siauw Tjap-it-long, membawa Sim Pek Kun ketempat tinggal Lian Seng Pek.

Kehadiran sang ratu rimba persilatan mengejutkan pelayan rumah penginapan, hanya seorang diri? Tanpa kawalan?

Lian Seng Pek menggunakan kamar divilla bagian barat.

Disana terdapat tangga batu, hanya memudahkan. Walau begitu, langkah Sim Pek Kun dirasakan sangat berat. Entah bagaiamana, ia tidak bisa menaiki tangga batu itu.

Perasaan takut mengekang dirinya. Takut bertemu dengan suami yang sudah lama ditinggalkan.

Yang paling ditakuti Sim Pek Kun adalah pertanyaan Lian Seng Pek yang seakan2 berkata:

“Dimana kau tinggal selama beberapa hari ini?”

Sim Pek Kun masih berdiri ditangga batu.

Tiba2, dari dalam villa barat terdengar satu suara yang membentak keras:

“Siapa yang didepan?”

Suara bentakan itu sangat keras, cukup agung, sangat hormat dan sopan.

Itulah suara Lian Seng Pek. Didalam dunia tidak mungkin ada suara yang bisa menyamai suara Lian Seng Pek.

Didalam sekejap mata, Sim Pek Kun bisa kembali kepada kenang2annya yang lama.

Ia seharusnya bergerak cepat, menerjang dan memasuki ruangan itu atau menubruk Lian Seng Pek, setidak2nya, dia akan menangis didalam pelukan sang suami.

Tapi Sim Pek Kun tidak mengerjakan pekerjaan yang seperti itu. Ia bisa maklum perangai Lian Seng Pek, Lian Seng Pek tidak butuh kepada seseorang yang cepat mengalami getaran jiwa.

Perlahan2, Sim Pek Kun mendaki tangga batu itu. Pintu terbuka, disana berdiri seorang laki2 cakap dan tampan, itulah Lian Seng Pek.

Selama dua bulan ini, Lian Seng Pek mencari jejak Sim Pek Kun. Tapi tidak berhasil, gundah gulana, sengsara, perasaan seribu satu macam yang lainnya mengekang dirinya.

Kini, secara ajaib sekali, sang istri muncul didepan mata, sinar matanya berkilat sebentar, sesudah itu redup kembali. Tanpa memperlihatkan rasa girangnya yang tidak kelihatan mereka hanya berpandang2an.

“Kau sudah kembali?” suara Lian Seng Pek sangat tenang. Sim Pek Kun menganggukan kepala perlahan, dengan suaranya yang sangat mesra berkata:

“Ya, aku sudah kembali.”

Hanya kata kata itu yang mereka ucapkan. Terlalu singkat.

Suara itu sudah cukup menenangkan hati Sim Pek Kun yang bergejolak keras, ternyata pertanyaan dimana ia berada tidak tercetus keluar.

Ia sudah biasa dengan penghidupan2 yang tenang, kini harus kembali kepada kehidupan lama.

Apa yang Sim Pek Kun tidak ingin keluarkan, pasti tidak diajukan oleh Lian Seng Pek.

Didalam dunia Sim Pek Kun, hubungan manusia itu adalah hubungan biasa. Harus diperhatikan jarak2 tertentu.

Walau hidup mereka sebagai suami istri, jarak pemisah yang ditentukan itu, tetap ada.

Lian Seng Pek mengajak sang istri memasuki kamarnya.

Lampu didalam kamar Lian Seng Pek terang benderang, berkumpul banyak orang.

Disana bercokol duduk tokoh2 rimba persilatan ternama, Thio Bu Kek, Hay Leng Tju, To Siao Thian dan lain2nya.

Tokoh2 silat yang berkumpul didalam kamar Lian Seng Pek adalah kawan2 baik Lian Seng Pek, rata2 didalam hati mereka berpikir:

“Istrinya yang lenyap kini sudah pulang. Tapi orang yang menjadi suaminya tidak bertanya, kemana kepergian dan bagaimana penghidupan sang istri selama dua bulan itu? Apa yang dikerjakan oleh sang istri? Anehnya, istrinya pun tidak cerita dimana ia selama dua bulan itu, apa saha yang dikerjakannya? Suami aneh sang istripun aneh.”

Hay Leng Tju sekalian menganggap mereka bertemu dengan sepasang suami istri aneh.

Sim Pek Kun duduk dan turut serta diantara mereka.

Di meja terdapat juga minuman2 keras. Inilah yang mengherankan Sim Pek Kun. Seperti apa ia ketahui, sesudah pernikahan mereka, Sim Pek Kun jarang melihat Lian Seng Pek menenggak arak. Tapi disini dan ditempat ini Lian Seng Pek minum arak.

Tentu saja, sebagai seorang wanita yang mempunyai kedudukan bagus, seorang wanita yang berhati tulus, Sim Pek Kun tidak bertanya, mengapa sang suami mengajak kawan2nya meminum arak dan berpesta pora.

Dari perobahan2 wajah Sim Pek Kun, dan kejadian2 yang ada ditempat itu, Lian Seng Pek wajib memberi penjelasan, ia tertawa kepada sang istri dan berkata:

“Sebelum kau kembali, kami sedang menghadapi sesuatu soal yang sangat penting.”

Untuk memberi keterangan yang lebih jelas, Thio Bu Kek juga turut memberi keterangan:

“Hujin bisa maklum kepada kerakusan laki2. Biar bagaimana, bilamana kami menghadapi sesuatu, agak lama, bila disertai dengan makanan, terlebih2 minuman keras, kita bisa memecahkan persoalan itu lebih cepat.”

Hujin berarti nyonya!

Sim Pek Kun menganggukkan kepala, tertawa manis, ia berkata:

“Aku tahu.”

Maka biji mata Thio Bu Kek berputar, memandang ke arah Sim Pek Kun dan bertanya:

“Tahukah hujin, perkara apa yang kami sedang rundingkan?”

Sim Pek Kun bergoyang kepala, tertawa manis:

“Bagaimana aku bisa tahu?

Sedari kecil, Sim Pek Kun mendapat didikan baik. Seseorang wanita yang hendak mempercayakan dirinya sebagai seorang istri yang baik, seorang wanita yang hendak mendapat pujian baik, ia harus bersikap ramah dan tamah, selalu harus tertawa manis.

Tentu saja, karena harus membawakan posisi sikap tertawa manis itu, kedua pipinya bisa membeku.

Thio Bu Kek berkata:

“Pada sepuluh hari yang lalu, disini terjadi sesuatu yang menggemparkan. Maka kami mengundang Lian Seng Pek kongcu dan kawan2 ini.”

Thio Bu Kek menunjuk kearah orang yang tidak jauh duduk darinya, itulah Hay Leng Tju, To Siao Thian dan pemimpin dari 73 perusahaan piauwkiok Suto Tiong Peng.

“Oh?” Sim Pek Kun berkata perlahan “Apa yang sudah terjadi?”

Sim Pek Kun tidak bermaksud untuk mengajukan pertanyaan. Tetapi kadang kala tidak mengajukan pertanyaan itu, berarti sesuatu cara yang kurang hormat. Karena tidak mau tahu dengan soal2, meremehkan urusan kawan2 suaminya. Ini tidak patut, sebagai seorang istri terhormat, ia wajib bertanya. Bertanya berartikan sesuatu, memperhatikan keadaan sang suami dan kawan kawannya.

Kesannya kepada Thio Bu Kek tidak begitu baik. Tapi Thio Bu Kek membalik pula karena itu iapun bertanya:

“Tentang persoalan seorang tokoh muda yang pandai bicara.”

Sim Pek Kun bertanya lagi:

“Seseorang yang pandai bicara, belum tentu memiliki kepribadian baik, bagaimana keadaan tokoh muda itu?”

Thio Bu Kek menjawab:

“Tokoh muda kenamaan ini namanya Thio Sam Ya, pernahkah hujin dengar nama ini?”

Sim Pek Kun tertawa manis, ia memberi jawaban:

“Tokoh2 yang kukenal sedikit sekali.”

Artinya: Dia tidak kenal Thio Sam Ya.

Thio Bu Kek berkata:

“Jago Thio Sam Ya ini memiliki kekayaan yang tidak sedikit, sikapnya ramah tamah. Sering membantu orang, ia tinggal di kampung Thio-tju-tjhung, pada sepuluh hari yang lalu, tanpa hujam tanpa angin, tanpa sebab musabab, Thio Sam Ya dibunuh orang. Pemimpin kampung Thio-tju-tjhung mati dibunuh orang, seluruh isi kampung Thio-tju-tjhung tidak luput dari pembunuhan pembunuhan........”

Sim Pek Kun membuka mulutnya ia bertanya: “Oh. Siapakah yang begitu kejam, membunuh seluruh isi kampung.”

Thio Bu Kek berkata :

“Tentu saja si kepala rampok Siauw Cap-it-long !”

Hati Sim Pek Kun dirasakan mencelat keluar, selama dua bulan terakhir ia mendampingi Siauw Cap-it-long. Mana bisa terjadi kejadian yang seperti itu ?

“Siauw Cap-it-long ?!” Sim Pek Kun berteriak kaget.

“Tepat !” berseru Thio Bu Kek. “Kecuali Siauw Cap-it-long, mungkinkah ada tokoh kedua ? Siapa lagi yang bisa memiliki kekejaman seperti Siauw Cap-it-long ?”

Sim Pek Kun berusaha menguasai gejolak hatinya, ia bertanya :

“Seluruh isi kampung dibunuh mati ?”

“Tidak seorangpun yang bisa mempertahankan jiwanya.” jawab Thio Bu Kek.

“Tidak seorangpun yang bisa mempertahankan jiwanya ? Dari mana kau tahu bahwa seluruh isi kampung Thio-kee-chung dihancurkan oleh Siauw Cap-it-long ?” bertanya Sim Pek Kun

Thio Bu Kek berkata :

“Siauw Cap-it-long adalah tokoh yang sangat kejam, memiliki sifat-sifat congkak dan sombong, sangat angkuh. Setiap kali membunuh orang, tentu menuliskan nama sendiri. Demikian juga didalam kampung Thio-kee-chung, sesudah membunuh mati semua orang yang ada, ia menulis : Orang yang menghancurkan kampung Thio-kee-chung adalah aku, Siauw Cap-it-long.”

Deburan darah panas yang ditekan tidak bisa dikuasai lagi, tanpa bisa ditahan Sim Pek Kun berteriak :

“Tidak mungkin ! Tidak mungkin ! Orang yang membunuh dan menghancurkan kampung Thio-kee-chung bukanlah Siauw Cap-it-long, jangan memfitnah ! Siauw Cap-it-long tidak boleh dijadikan kambing hitam. Siauw Cap-it-long tidak seperti apa yang kalian duga, ia tidak kejam dan juga tidak jahat.”

Wajah Thio Bu Kek berubah, ia memaksakan diri tertawa dan berkata :

“Hujin memiliki sifat yang baik, tentu saja menganggap semua orang itu baik.”

Thio Bu Kek sepasang alisnya dikarutkan, ia memandang Sim Pek Kun, tiba-tiba ia mengajukan pertanyaan :

“Bagaimana Hujin tahu, bahwa hancurnya Thio-kee-chung bukan perbuatan Siauw Cap-it-long ?”

Tubuh Sim Pek Kun gemetaran, ia muak kepada orang orang yang berada di depannya, ia hendak lari meninggalkan mereka, meninggalkan pergaulan yang memuakkan itu. Ia benci kepada mereka. Bosan kepada percakapan mereka.

Tentu saja ia tidak bisa meninggalkan mereka begitu saja. Ia harus berani bicara. Bukan sekali ia menerima budi Siauw Cap-it-long, sudah waktunya membalas budi Siauw Cap-it-long itu, ia tidak bisa membiarkan seorang tokoh yang baik hati dijadikan kambing hitam. Ia tidak membiarkan terjadi fitnah-fitnah jahat. Karena itu, sepatah demi sepatah, ia berkata tegas :

“Ku berani jamin, Siauw Cap-it-long tidak membunuh orang. Karena.... selama dua bulan terakhir, belum pernah ia terpisah dari diriku.”

Adanya keterangan yang seperti itu, tentu saja mengejutkan semua orang !

Seorang nyonya agung yang ternama mendampingi seorang jago berandalan.

Wajah orang-orang yang berada ditempat itu membeku, semua terarah ketempat Sim Pek Kun.

Tidak pernah diduga, Sim Pek Kun bisa menilai isi hati orang-orang itu, apa yang diminta mereka, tentu mengenai Siauw Cap-it-long.

Tapi Sim Pek Kun tidak menyesal atas kata-kata yang diucapkannya tadi. Sudah waktunya ia membersihkan fitnah-fitnah atas diri Siauw Cap-it-long.

Ia berani mengucapkan kata-kata tadi karena bertanggung jawab penuh kepada keselamatan Siauw Cap-it-long. Tentunya Sim Pek Kun sudah bersedia menanggung akibat dari keterangan tadi. Lama sekali mereka saling pandang, akhirnya Lian Seng Pek yang memecahkan kesunyian itu, ia berkata :

“Kukira kita salah menerima keterangan, aku percaya keterangan Sim Pek Kun, orang itu yang membohongi kita.”

Suara Lian Seng Pek sabar dan tenang, memperlihatkan sifat seorang suami yang mencinta.

To Siao Thian perlahan-lahan mengangkat tangan, ia bergumam :

“Oh.... fitnah kepada Siauw Cap-it-long.”

Thio Bu Kek juga tidak henti-hentinya tersenyum tertawa, tiba-tiba ia bangkit dari tempat duduk, berkata :

“Hujin tentu telah melakukan perjalanan jauh, tentunya lelah. Baiklah, kami meminta diri. Lain kali saja meneruskan perjamuan ini.” Sikap Hay-leng-cu tidak simpatik lagi, ia memberi hormat panjang, meninggalkan ruangan itu.

Thio Bu Kek, To Siao Thian, dan Hay-leng-cu sudah berangkat keluar.

Giliran Lie Kang yang bangkit dari tempat duduknya, ia sudah memberi hormat kepada Lian Seng Pek dan bersedia mengakhiri perjamuan. Hanya seorang Suto Tiong Peng saja yang diam membeku di tempat duduk. Menyaksikan Lie Kang hendak berangkat, tiba-tiba ia berkata :

“Saudara Lie Kang, tunggu dulu !”

Lie Kang hendak meninggalkan tempat itu, mendapat tegoran Suto Tiong Peng akhirnya ia berkata :

Dengan perlahan-lahan Suto Tiong Peng pun berkata :

“Penghancuran kampung Sim cu chung bukan perbuatan Siauw Cap-it-long. Pasti bukan perbuatan Siauw Cap-it-long! Di dalam soal lain, mungkin Siauw Cap-it-long itu bisa saja melakukan sesuatu. Tapi, tidak mungkin Siauw Cap-it-long datang ke kampung ini menghancurkan dan membunuh kampung Thio-cu-chung. Ia telah difitnah orang.”

Kata-kata Suto Tiong Peng sangat masuk ke dalam telinga Sim Pek Kun, ia sangat berterima kasih.

Kedudukan Suto Tiong Peng sebagai pemimpin dari 72 perusahaan piauwkiok, tentu saja mempunyai hak suara yang besar.

Asal usulnya Suto Tiong Peng hanya sebagai seorang tukang kentongan dari piauwkiok tidak ternama, karena kejernihan otaknyalah, karena kepintarannya ia bisa merambat naik. Menjadi pemimpin piauwkiok itu, akhirnya terpilih menjadi pemimpin dari 72 perusahaan piauwkiok. Kedudukan itu tidak mudah dicapai.

Sikapnya Suto Tiong Peng sangat berhati-hati, jarang membuka mulut. Sebagai ketua dari 72 perusahaan piauwkiok Suto Tiong Peng sangat berhati-hati, apa yang dikatakannya jarang sekali bisa dibantah.

Demikian juga apa yang baru dikatakan sebagai kedudukan Suto Tiong Peng yang begitu tinggi, Lie Kang tidak bisa membantah.

memandang kearah Lie Kang yang tidak puas, Suto Tiong Peng berkata :

“Sebagai pendekar-pendekar pembela keadilan dan kebenaran, kita tidak bisa mengabaikan adanya motto dan semboyan, lebih baik kita lepas tangan, jangan memfitnah Siauw Cap-it-long!”

Lie Kang tidak bisa memdebat.

Suto Tiong Peng berkata lagi : “Fitnah lebih jahat dari pada pembunuhan, Siauw Cap-it-long difitnah orang, tapi kita tidak boleh sembarang percaya. Bagaimana rasanya seorang terfitnah ? Tentu bisa dimaklumi. Lebih sengsara dan lebih penasaran.”

Sim Pek Kun mendengar dengan penuh perhatian, selama hidupnya, belum pernah memuji seseorang, didalam hal ini ia harus memuji Suto Tiong Peng.

Suto Tiong Peng tidak memiliki keluar biasaan yang aneh, wajahnya acuh tak acuh, kepalanya sedikit botak, botak itu mengkilap, suatu tanda bahwa ia memiliki otak profesor.

Didalam keadaan seperti ini, jiwa besar Suto Tiong Peng terpeta jelas, Sim Pek Kun sangat berterima kasih, hampir ia hendak mencium kepala botak yang seperti kepala profesor itu.

MUSUH MUSUH SIAUW CAP-IT-LONG _

Suto Tiong Peng masih memberi kuliah, ia berkata :

“Bilamana Siauw Cap-it-long tidak memiliki kepribadian yang begitu buruk, bilamana bukan Siauw Cap-it-long yang melakukan pembunuhan pembunuhan itu, itulah suatu fitnah. Kita tidak bisa membiarkan terjadi fitnah-fitnah. Kita bukan seorang ahli kambing hitam. Kita wajib membikin pembelaan, membersihkan fitnah fitnah yang jatuh kepadanya. Siauw Cap-it-long betul-betul seorang yang baik.”

Menoleh dan memandang kearah Sim Pek Kun, dengan perlahan Suto Tiong Peng berkata :

“Tapi hati manusia sukar diterka, baik dan jahatnya kepribadian orang itu, belum tentu bisa dinilai dalam waktu yang sangat sempit. Apalagi hanya dua bulan saja.”

Dengan tegas Sim Pek Kun berkata :

“Aku berani menjamin kebaikan Siauw Cap-it-long. Tidak mungkin Siauw Cap-it-long melakukan perbuatan-perbuatan yang seperti itu.”

“Sangat pasti ?”

Sim Pek Kun menundukkan kepala kebawah perlahan-lahan memberikan keterangannya :

“Selama dua bulan hidup bersama dengannya, aku bisa menilai kepribadian Siauw Cap-it-long. Terlebih-lebih, beberapa kali ia telah menolong diriku. Apa yang diminta dariku ?.... Tidak. Ia tidak pernah meminta sesuatu pembalasan. Begitu ia tahu kalian berada disini, segera ia mengantar aku.”

Bicara sampai disini, suara Sim Pek Kun sudah tersendat, ia menangis. Tidak bisa melanjutkan keterangannya.

“Ouw....” berkata Suto Tiong Peng. “Hujin wajib membuat pembelaan.”

“Tentu.” berkata Sim Pek Kun menggigit bibir. “Budinya itu tidak bisa terbalas tanpa bantuan-bantuanku.”

“Sudah lamakah hujin berpisah dengan Siauw Cap-it-long ?” bertanya Suto Tiong Peng.

“Belum lama.” berkata Sim Pek Kun “Baru tadi pagi.”

“Ouw ?” bertanya Suto Tiong Peng “Tentunya masih berada disekitar daerah ini.”

“Ng......” Sim Pek Kun menganggukkan kepala.

“Menurut hematku.” berkata Suto Tiong Peng, “Baik juga mengundang Siauw Cap-it-long turut serta. Agar kita bisa lebih mempercayainya. Lebih mengenalnya secara dekat.”

“Bilamana kalian sudah bertemu muka.” berkata Sim Pek Kun lama. “Pasti bisa percaya kepadanya.”

“Nama Siauw Cap it long berdengung bagaikan nama yang hebat. Tapi, berapa orang yang pernah bertemu dengan Siauw Cap-it-long. Terlalu sedikit sekali. Kita gembira bila bisa bertemu dengan Siauw Cap-it-long.”

Sim Pek Kun mengerutkan alisnya, ia berkata : “Kukira tidak bisa menemukannya hari ini.”

“Mengapa ?” bertanya Suto Tiong Peng heran.

“Karena.....karena.... pada hari ini ia sudah mabok, Siauw Cap-it-long mabuk dan lupa daratan.”

Suto Tiong Peng bertanya :

“Dia sedang mabuk. Dia suka mabuk-mabukan?”

“Kadang kala juga dia mabuk.” jawab Sim Pek Kun.

Suto Tiong Peng tertawa, ia berkata :

“Seseorang yang suka mabuk, tentu memiliki kekuatan minum yang hebat, dan juga orang ini pasti orang yang jujur. Lain kali aku ingin sekali bisa minum bersama-samanya.”

“Cong piauw tiauw memiliki kekuatan minum yang kuat. Tapi kulihat kekuatan minumnya lebih hebat darimu.”

“Oh.” berkata Suto Tiong Peng. “Berapa banyakkah arak yang diminum?”

“Paling sedikit juga ada sepuluh kati.”

“Hebat.” berkata Suto Tiong Peng. “Bisa minum arak sehingga sampai sepuluh kati, baru jatuh mabuk, jago ini bukan jago biasa lagi.”

“Sebetulnya,” berkata Sim Pek Kun. “Hari-hari biasa, belum tentu ia bisa mabok. Ia adalah seorang jago arak juga.”

“Dimana Siauw Cap-it-long mabok?”

“Disebuah rumah penginapan kecil diluar kota.” berkata Sim Pek Kun

“Disebut jago arak, timbul niatanku untuk minum lagi, eh, saudara Lie Kang, bersediakah kau mengawasi aku berpesta pora mengadu minum arak ?”

“Tentu.” berteriak Lie Kang girang. Ia sudah mendapat berita penting. Ternyata Siauw Cap-it-long berada disebuah rumah penginapan kecil diluar kota. Tidak sulit untuk ditemukan.

Suto Tiong Peng dan Lie Kang minta diri, meninggalkan Lian Seng Pek.

Pesta bubaran.

Lampu berkelap-kelip, menerangi wajah Sim Pek Kun yang Cakap.

Suasana itu begitu sepi dan sunyi.

Sim Pek Kun mengangkat cawan arak, tetapi diletakkannya kembali, tertawa dan berkata :

“Aku hari ini sudah minum arak. Tidak berani minum lagi.”

Lian Seng Pek berkata : “Aku juga menenggak sedikit. Untuk menghilangkan hawa dingin. Apalagi dimusim seperti ini, meminum sedikit arak tidaklah terlalu banyak.”

Sim Pek Kun memandang kearah sang suami dan bertanya :

“Kau sudah menjadi mabok ?”

“Seorang jago arak, meminum terlalu banyak kukira baru cukup.” berkata Lian Seng Pek. “Aku baru minum sedikit, mana mungkin menjadi mabok.”

“Betul.” berkata Sim Pek Kun. “Kita bukan jago-jago arak. Ku tidak berani minum terlalu banyak.”

“Tapi kalau kau masih belum puas, aku bersedia mengawanimu.” berkata Lian Seng Pek.

“Aku tahu.” berkata Sim Pek Kun. “Segala perintahmu pasti ku taati.”

Lian Seng Pek menuangkan arak secawan penuh, diserahkan kepada sang istri dan berkata :

“Sayang sekali waktuku sedikit. Maka tidak bisa mendampingimu selalu. Tentunya tidak patut terjadi kejadian yang seperti ini.”

Sim Pek Kun menundukkan kepala, lama sekali mereka tidak bicara, sesudah itu memandang sang suami ia bertanya :

“Tahukah kau, apa yang terjadi atas diriku selama dua bulan terakhir ini?”

“Aku.......” Lian Seng Pek memandang isteri itu, “Sedikit banyak sudah kuketahui, tapi kurang jelas.”

“Mengapa kau tidak mengajukan pertanyaan?” bertanya Sim Pek Kun.

“Keterangan yang kau sudah berikan itu sudah cukup.” berkata Lian Seng Pek.

Sim Pek Kun menggigit bibir, ia berkata :

“Mengapa kau tidak bertanya ? Bertanyalah, bagaimana aku bisa bertemu dengan Siauw Cap-it-long, mengapa kau tidak bertanya penghidupanku selama dua bulan ini? Mengapa kau tidak bertanya apa saja yang dikerjakan oleh Siauw Cap-it-long, mengapa?”

Sepasang sinar mata Sim Pek Kun berputar-putar, juga ia sangat heran, mengapa sang suami diam dan membeku?

Betul-betul Lian Seng Pek tidak mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang panjang, jawabannya sangat singkat :

“Karena aku percaya kepadamu.”

Jawaban yang singkat ini cukup menghangatkan tubuh Sim Pek Kun. Inilah jawaban seorang suami yang bijaksana.

Pikiran Sim Pek Kun terapung didalam khayalan, khayalan kepercayaan seorang suami yang arif bijaksana.

Rasa hangat, cinta kasih yang luar biasa, segera saling susul memenuhi benak pikiran sang ratu rimba persilatan.

Hampir saja ia tidak mempunyai tempat untuk menerima berkah-berkah itu.

Sebentar kemudian, Sim Pek Kun telah menenggak habis isi araknya.

Ia menengkurapkan kepala dimeja, menangis dengan sedih. Kalau saja Lian Seng Pek menegor, kemana saja kepergiannya? Apa yang dilakukan olehnya? Mengapa tidak ada kabar berita? Mengapa bisa bersama-sama dengan Siauw Cap-it-long? Atau Lian Seng Pek memukulnya. Menggunakan cemeti, menghajar, mendorong dan mengusir, mungkin rasanya lebih enak daripada apa yang kini ia hadapi.

Mengapa Sim Pek Kun mempunyai perasaan yang seperti itu ?

Karena Sim Pek Kun tidak pernah melakukan sesuatu yang sudah membelakangi suaminya. Tapi Lian Seng Pek begitu percaya, lebih dari pada percaya, begitu memperhatikan dirinya, begitu menyanjung dirinya. Takut kalau sampai bisa melukai sesuatu.

Karena itulah sebagai seorang istri yang harus mengetahui kebijaksanaan suami itu, Sim Pek Kun menyesal.

Mengapa Sim Pek Kun menyesal ! Perpisahannya selama dua bulan adalah perpisahan yang bukan dipaksakan, tetapi selama adanya perpisahan itu, belum pernah ia memikirkan keselamatan atau kehidupan Lian Seng Pek. Inilah kesalahan seorang isteri.

Betul, Sim Pek Kun tidak pernah melakukan sesuatu yang membelakangi Lian Seng Pek, tapi hal itu sudah cukup membuat ia merasa bersalah. Mungkinkah ada seorang istri yang bisa melukai suaminya yang tercinta ?

Sebetulnya Sim Pek Kun menyesal karena tidak bisa membalas jasa-jasa Siauw Cap-it-long, kini ia juga menyesal, karena ia tidak bisa mengimbangi kebaikan hati sang suami.

Bagaikan dua bilah pisau yang tajam, yang menusuk dari kanan dan kiri, menusuk ulu hati.

Sim Pek Kun tidak tahu, apa yang harus dilakukan olehnya.

Lian Seng Pek menatap istrinya itu tajam-tajam, ia juga termenung ditempat.

Inilah kejadian pertama kali, ia lihat sang istri menangis didepannya.

Lian Seng Pek tidak tahu, bagaimana ia bisa menghibur isteri itu. Karena ia tidak tahu, dimana rasa sakit dan kesedihan Sim Pek Kun.

Samar-samar mulai terasa, ternyata hubungan suami isteri telah terdapat suatu gap yang sangat dalam.

Berapa lama kemudian, akhirnya Lian Seng Pek menghampiri isteri itu, menjulurkan tangan, hendak mengusap dan membelai memberi kepuasan kepada istrinya.

Tiba-tiba, tangan Lian Seng Pek ditarik kembali, mematung dan berkata dengan suara yang lembut :

“Kau sudah letih. Kau membutuhkan waktu untuk istirahat. Apa yang hendak kau katakan, besok sajalah. Kukira besok adalah hari yang cemerlang.”

Sim Pek Kun menangis terus. Betul-betul ia sangat letih. Menangis terus menerus sehingga lama, akhirnya ia tertelungkup, seolah-olah jatuh tidur.

Mungkinkah Sim Pek Kun bisa tidur di meja ?

Mana mungkin ? Tidak mungkin Sim Pek Kun bisa menjadi pulas.

Samar-samar ia bisa mendengar derap langkah kaki suaminya yang berjalan pergi, perlahan-lahan terdengar suara Lian Seng Pek yang membuka pintu, menutup kembali.

Cara-caranya Lian Seng Pek menghadapi seorang isteri yang sudah bepergian lama terlalu halus, inilah yang membuat Sim Pek Kun merasa menjadi tidak enak.

Ia mengharapkan suatu jambakan rambut yang keras, suatu tamparan, atau cara-cara yang sangat kasar.

Tapi cara itu tidak dirasakan sama sekali.

Sim Pek Kun merasa kecewa, tapi bercampur dengan rasa syukur rasa berterima kasih kepada sang suami.

Seperti apa yang pernah dirasakan dahulu, Lian Seng Pek adalah seorang suami yang bijaksana. Ia sangat lembut dan halus pikiran.

Sesudah menangis puas, Sim Pek Kun akhirnya berpikir :

“Apa yang harus disesalkan ? Yang sudah terjadi biarlah berlalu. Kini aku harus menghadapi penghidupan baru.”

Sim Pek Kun masih berhutang budi kepada dua orang, ia harus membalas jasa-jasa Siauw Cap-it-long. Ia harus menyerahkan isi hatinya kepada Lian Seng Pek.

Didalam hati Sim Pek Kun berjanji, mulai saat itu, ia akan mengabdikan dirinya, baik menjadi seorang isteri yang lemah gemulai, memberi kepuasan yang tidak terhingga.

Karena ada putusan yang seperti itu, hati Sim Pek Kun agak lega.

Mengikuti bayangan Lian Seng Pek........

Malam sangat gelap, tenang seperti permukaan air. Batu dingin, sangat dingin sekali.

Lian Seng Pek duduk diatas bangku yang dingin itu, terasa jaluran yang meresap tulang, menyembur keatas dadanya. Mengekang dan hampir membekukan hatinya.

Tetapi didalam bekuan hati itu, masih ada api yang membara. Api itu adalah dendam kepada Siauw Cap-it-long.

Dengan alasan apa Siauw Cap-it-long menolong isteriku ? Bagaimana ia bisa bertemu dengan Siauw Cap-it-long? Mengapa harus hidup bersama-sama dengan Siauw Cap-it-long? Apa yang mereka kerjakan?

Dua bulan ia tidak pulang. Apa kerjanya selama dua bulan itu? Mengapa ia tiba dan kembali pada hari ini ?

Pertanyaan-pertanyaan ini seperti lidah ular yang berbisa menjulur dan menggeragoti hatinya.

Kalau saja Lian Seng Pek mempunyai hati yang polos, secara terus terang mengajukan pertanyaan kepada sang isteri, mungkin keadaannya akan lebih baik. Tapi ia adalah seorang jantan sejati, apa yang tidak mau dikatakan oleh orang lain, ia tidak membikin paksaan.

Tapi, apapun yang terjadi, tidak seharusnya sang isteri membekukan dan menutup cerita selama perpisahan itu. Mengapa Sim Pek Kun tidak bercerita, apa yang tersembunyi dibalik batu ?

Lian Seng Pek berusaha menekan gejolak hatinya, berusaha untuk mempercayai dan kesucian sang isteri.

Tapi Lian Seng Pek tidak berhasil menekan kekuasaan itu.

Dipermukaan wajahnya, seolah-olah Lian Seng Pek percaya dan yakin akan kesucian isterinya. Tetapi didalam hati, tidak bisa hal itu terjadi.

Terbayang kembali wajah Sim Pek Kun, terbayang kembali wajah yang penuh misteri itu, manakala ia menyebut nama Siauw Cap-it-long.

Baru pertama kali, Lian Seng Pek menaruh curiga, ia curiga bahwa hubungan suami isteri itu sudah mulai retak.

Apa yang menyebabkan hal itu bisa terjadi? Mengapa ia tidak mau menyelami hati sang isteri ?

Musim semi berlalu, daun berguguran. malam semakin gelap.

Tiba-tiba, Lian Seng Pek yang duduk diatas batu luar, bisa menyaksikan satu bayangan tampil jelas, itulah bayangan Thio Bu Kek, To Siao Thian, Hay-leng-cu dan Lie Kang.

Keempat orang itu mengenakan pakaian ringkas, pakaian yang siap sedia untuk melakukan pertempuran-pertempuran, diwaktu malam.

Lian Seng Pek bisa melihat adanya keempat bayangan, dan keempat orang itu juga mendatangi kearah Lian Seng Pek. Adanya Lian Seng Pek yang duduk diatas batu seorang diri membuat mereka ragu-ragu, memandangnya sebentar, dan hendak menguji keberanian jago itu.

Thio Bu Kek adalah orang yang berjalan di paling depan, ia memaksakan bertanya dan tertawa :

“Lian kongcu belum masuk tidur ?”

Biasanya, Thio Bu Kek memanggil Lian Seng Pek dengan panggilan Saudara, tiba-tiba saja ia mengubah panggilan itu dengan sebutan kongcu, inilah suatu tanda bahwa ia mulai menaruh sedikit gap perpisahan, maka lebih hati-hati.

Lian Seng Pek tertawa tawar, Ia berkata :

“Kalian juga belum tidur.”

Tertawa Thio Bu Kek semakin dipaksakan, ia berkata :

“Kami.....kami mempunyai sedikit urusan. Hendak keluar sebentar.”

Lian Seng Pek menganggukkan kepala. Ia berkata :

“Aku tahu.”

Sepasang sinar mata Thio Bu Kek bercahaya, berkilat dan ia bertanya :

“Lian kongcu sudah tahu, apa yang hendak kami kerjakan?”

Lian Seng Pek tidak bisa menjawab pertanyaan itu, berpikir beberapa waktu, perlahan-lahan ia menggelengkan kepala. “Belum tahu.” katanya.

Thio Bu Kek tertawa ringan, ia berkata :

“Tepat! Ada beberapa bagian lebih baik Lian kongcu tidak tahu !”

Dan disaat ini, terdengar ringkikan ringkikan suara kuda. Ternyata orang itu hendak melakukan perjalanan yang jauh, membikin persiapan penunggangan kuda.

Tiba-tiba Hay-leng-cu berkata :

“Lian kongcu apa tidak hendak turut bersama-sama kami ?”

Lian Seng Pek membeku, akhirnya ia berkata : “Ada beberapa urusan, lebih baik, tanpa hadirnya diriku.”

Maka keempat jago itupun meninggalkan Lian Seng Pek. Mereka adalah jago-jago kelas satu, gerak geriknya cepat dan cekatan, tentu saja tidak menimbulkan banyak suara berisik.

Suara Hay-leng-cu, Thio Bu Kek, To Siao Thian dan Lie Kang tidak bersuara, tapi sesudah mereka hendak menunggang kuda, binatang itu bisa menimbulkan suara ringkikan dan ketoprakan, tidak bisa ditutupi.

Untuk menutupi suara ketoprakan kaki kuda, keempat orang itu menuntun masing-masing tunggangannya sehingga jauh, baru mencongklangkan, dan dikaburkan keras.

Demikianlah, suara ketoprakan kaki kuda tidak begitu mengejutkan.

Urusan rahasia apakah yang membuat cara-cara orang itu menyembunyikan desiran suara ?

Tentu urusan yang sangat penting dan tidak boleh diketahui orang.

Pikiran Lian Seng Pek sangat tajam. Ia tidak berkata, tapi hatinya bisa menduga.

Ia masih duduk diatas batu yang dingin, menenangkan gejolak hatinya. Beberapa saat lagi dilewatkan, perlahan-lahan ia bangkit berdiri, dan perlahan-lahan pula mengayun langkahnya.

Lampu pelita kamar bagian timur masih belum dipadamkan, itulah suatu tanda disana orangnya masih belum tidur.

Lian Seng Pek mengayun kaki, menghampiri kamar itu.

Pintu tidak terkunci, dengan mudah Lian Seng Pek melangkahkan kaki memasuki kamar tersebut.

Dalam kamar itu, Suto Tiong Peng sedang bercuci tangan. Dicuci lagi dan dicuci lagi, mengulang terus kejadian itu sehingga beberapa kali. Mencucinya sangat berhati-hati, sehingga lebih dari pada bersih. Seolah-olah kedua tangan itu dikotori oleh darah amis, darah yang tidak bisa dicuci dengan air biasa.

Lian Seng Pek berdiri dibelakang Suto Tiong Pek. Memperhatikan Suto Tiong Pek mencuci tangan itu.

Tanpa menolehkan kepala kebelakang, Suto Tiong Peng bisa mengetahui, siapa orang yang berada dibelakang dirinya. Tiba-tiba pula ia berkata :

“Sudah melihat mereka?”

“Ng …” Lian Seng Pek mengeluarkan suara geraman.

“Tentunya bisa menduga,” berkata Suto Tiong Peng. “Apa yang hendak mereka kerjakan?”

Kali ini, Lian Seng Pek tidak menyahut, menutup rapat mulutnya. Menolak memberikan jawaban.

Suto Tiong Peng menghela napas panjang, ia berkata:

“Pasti! Sudah pasti kau bisa menduga, apa yang mereka akan kerjakan. Betapa hebat ilmu kepandaian Siauw Cap-it-long, betapa kuat Siauw Cap-it-long, mereka akan berusaha membunuhnya. Kematian Siauw Cap-it-long adalah sesuatu yang menyenangkan, hidupnya Siauw Cap-it-long adalah kerewelan bagi mereka. Karena itulah, mereka akan berusaha menyingkirkan Siauw Cap-it-long dari bumi kita.”

Lian Seng Pek tertawa nyengir, ia bertanya:

“Bagaimana kesan pendapatmu, kau juga mempunyai penilaian seperti mereka.”

“Aku?????? …” Suto Tiong Peng tertawa tawar.

Lian Seng Pek berkata:

“Kalau bukan kau yang mengorek jejak Siauw Cap-it-long, mana mungkin mereka tahu, dimana Siauw Cap-it-long berada?”

Tiba-tiba saja Suto Tiong Peng menghentikan tangannya, mengambil lap untuk mengeringkan air ditangan itu menggosok-gosoknya perlahan dan berkata:

“Tapi tidak kuucapkan sesuatu kepada mereka.”

Lian Seng Pek berkata:

“Tentu saja tidak perlu menggunakan mulutmu, karena disaat kau mengorek keterangan, sengaja menahan Lie Kang. Itu sudah cukup, kau tahu, dendam besar Lie Kang kepada Siauw Cap-it-long.”

Suto Tiong Peng berkata:

“Tapi aku tidak menyertai mereka.”

Lian Seng Pek berkata:

“Tentu saja, sebagai pemimpin dari tujuh puluh dua perusahaan piauw-kiok, kau harus berhati-hati.”

“Membunuh Siauw Cap-it-long adalah sesuatu yang bisa mendapatkan nama. Menyingkirkan manusia jahat dari rimba persilatan Mengapa harus takut?”

Lian Seng Pek berkata: “Kukira kau tidak mau dicela oleh Sim Pek Kun. Mungkin juga takut menjadi tertawaan orang, kalau betul Siauw Cap-it-long terfitnah. Apa yang bisa kau pertanggung-jawabkan?”

Baru sekarang Suto Tiong Peng menolehkan kepala kebelakang, kini berpandang-pandangan bersama Lian Seng Pek. Menatapnya tajam-tajam dan berkata:

“Bagaimana dengan pikiranmu?”

“Aku? …” Lian Seng Pek tidak menjawab pertanyaan itu.

Suto Tiong Peng berkata:

“Kau tahu bahwa aku sengaja meminta keterangan Siauw Cap-it-long, kau tahu apa yang akan mereka kerjakan, kau sudah tahu, maksud tujuan kami. Tapi kau tidak mencegahnya, kau tidak memberi tahu dan memberi peringatan kepada isterimu. Apa alasannya?”

Lian Seng Pek diam, tidak bicara.

Suto Tiong Peng tertawa, dengan rasa puas dan bangga ia berkata:

“Kau tidak turut serta dalam gerakan mereka, karena kau tahu, bahwa Siauw Cap-it-long itu sudah berada didalam keadaan mabuk, pasti mereka berhasil, pasti mereka bisa menyingkirkan Siauw Cap-it-long, karena ini, kau tidak mau mengotori tanganmu sendiri. Sebetulnya, kau juga salah seorang yang mempunyai pikiran untuk menghancurkan Siauw Cap-it-long. Seharusnya pikiranmu ini lebih kuat, dan lebih hebat dari pada apa yang kita pikirkan …”

Berkata sampai disini mata Suto Tiong Peng terbelalak, menutup mulutnya. Memperlihatkan sikapnya yang tegang.

Tentu ada sesuatu yang terjadi, Lian Seng Pek membalikkan kepala menoleh kebelakang.

“Aaaa …” Entah kapan kedatangannya, Sim Pek Kun sudah berdiri dipintu.

Lian Seng Pek dan Suto Tiong Peng menghentikan percakapan mereka. Karena hadirnya Sim Pek Kun ditempat itu.

Sim Pek Kun berdiri dengan air mata bercucuran, ia bisa mengikuti percakapan dari sang suami dan Suto Tiong Peng. Ternyata mereka adalah komplotan yang hendak menyingkirkan Siauw Cap-it-long dari permukaan bumi. Hatinya sangat bersedih.

Untuk mengatasi kesulitan ini, Lian Seng Pek menghela napas perlahan, dengan suara yang merdu, semerdu mungkin, suara yang semesra mungkin, ia berkata:

“Sudah waktunya kau tidur …”

Lian Seng Pek mendekati sang isteri, dengan maksud membimbing dan mengantarkan Sim Pek Kun pergi tidur.

Tapi gerakan Sim Pek Kun mengimbangi langkah-langkah sang suami, ia mundur. Bila Lian Seng Pek maju dua tapak, ia mundur pula dua tapak. Ia mempertahankan jarak pemisah mereka.

Lian Seng Pek masih mencoba memberi hiburan, ia berkata dengan suara yang sangat merdu:

“Angin malam sangat jahat, kalau kau mau jalan2, seharusnya menggunakan pakaian yang lebih tebal.”

Lian Seng Pek mendekati isteri itu lagi.

Tiba-tiba Sim Pek Kun mengeluarkan jerit lengkingannya yang panjang:

“Jangan dekati aku!”

Lian Seng Pek menghentikan langkahnya.

Sim Pek Kun masih mengucurkan air mata, ia mengertak gigi, hatinya seperti ditusuk beribu-ribu pisau, dengan suara sember ia berkata:

“Baru saat ini aku betul2 bisa menyelami hati kalian, hati para pendekar, para jago gagah perkasa yang begitu jahat …”

Tanpa mengucapkan suara lagi, Sim Pek Kun membalikkan badan, menerjang keluar. Ia berlari meninggalkan Lian Seng Pek yang termangu-mangu.

Kini Sim Pek Kun mengetahui, bahaya apa yang sedang mengancam Siauw Cap-it-long. Melupakan hawa udara yang sangat dingin, ia berlari cepat.

Bayangan Sim Pek Kun berlari menyusul angin.

Dan angin itupun lewat lalu.

Menyusul angin yang lalu, kita tinggalkan gerakan Sim Pek Kun. Dan kembali menceritakan keadaan Siauw Cap-it-long.

Siauw Cap-it-long betul-betul sudah berada didalam keadaan mabuk. Seorang yang mendapatkan dirinya berada dalam keadaan mabuk, maka lenyaplah semua sengsara-sengsara kehidupan, ia tidak sakit, tidak bergembira, melupakan godaan sang dunia.

Seorang yang sudah berada dalam keadaan mabuk, tidak tahu apa yang harus dikatakan olehnya. Juga tidak tahu, apa yang akan dilakukan olehnya.

Tapi seorang yang mabuk bisa melakukan sesuatu hal yang belum pernah dilakukan pada masa segarnya.

Siauw Cap-it-long bermabuk-mabukan, karena ditinggalkan oleh Sim Pek Kun. Urusan Sim Pek Kun menyusahkan Siauw Cap-it-long. Belum pernah ia mendapatkan urusan perkara yang sesulit ini. Belum pernah ada sesuatu yang tidak bisa diselesaikan oleh Siauw Cap-it-long. Kecuali hubungannya dengan Sim Pek Kun.

Tiba-tiba saja Siauw Cap-it-long terjengkit, ia menuju kearah ruang meja pemilik rumah makan, ditariknya leher baju orang itu dan membentak:

“Keluarkan!”

Si pemilik rumah makan hendak berontak tapi tidak berhasil, wajahnya menjadi pucat-pasi, mengkerutkan alisnya ia bertanya:

“Apa yang harus diserahkan?”

Siauw Cap-it-long berkata:

“Tusuk konde kumala itu, tusuk konde kumala …”

Seseorang akan lebih takut, menghadapi orang yang berada dalam keadaan mabuk. Demikian pula pemilik rumah makan itu, ia menjadi begitu takutnya, tubuhnya dirasakan menjadi lemas.

Siauw Cap-it-long menarik kembali tusuk konde yang menjadi hak milik Sim Pek Kun, melepaskan pegangannya, meninggalkan meja si pemilik rumah penginapan.

Baru saja berjalan beberapa langkah, kakinya dirasakan teklok, ketepruk, gedubrak … tubuh Siauw Cap-it-long duduk jatuh ngusruk, dengan tangan masih memegangi tusuk konde.

Siauw Cap-it-long tidak berusaha bangun, ia duduk dilantai, mengacungkan tusuk konde, menatapnya, seperti hendak meneliti atau mengilmiah sesuatu yang luar biasa.

Apa yang hendak diteliti dari tusuk konde itu?

Disana terbayang wajah Sim Pek Kun. Wajah itu semakin lama semakin membesar, wajah dari wanita yang mendapat gelar ratu dunia persilatan.

Gerak-gerik Sim Pek Kun, wajah Sim Pek Kun, pandangan mata Sim Pek Kun, mulutnya yang membentak marah, dan terakhir senyum Sim Pek Kun yang riang.

Mengapa ia tidak bisa melupakan wajah wanita itu?

Pemilik rumah makan bisa menduga, apa yang menjadikan mabuknya Siauw Cap-it-long. Ia berpikir: “Pasangan tadi adalah pasangan yang setimpal, mengapa mereka harus berpisahan?”

Akhirnya Siauw Cap-it-long menelungkupkan diri ditanah, ia menangis seperti seorang anak kecil.

Hati si pemilik rumah penginapan juga turut bersedih, ia berpikir lagi.

“Apa rasanya nona tadi, kalau ia menyaksikan kejadian yang seperti ini?”

Pemilik rumah makan itu bersyukur kepada dirinya, bersyukur, karena ia belum mengalami patah hati.

Siauw Cap-it-long masih tengkurap ditanah, ia masih menangis, menangis dalam keadaan yang mabok.

Tiba2, rumah makan itu didatangi oleh beberapa orang, suara derap kaki kuda berhenti didepan pintu, dan sesudah itu masuk tiga bayangan, dor, dor, dor, dor, tiga bayangan itu menendangkan kakinya kepintu, membuat benturan yang hebat.

Tiga orang mengurung Siauw Cap-it-long yang tengkurap ditanah. Seorang berdiri dipintu. Dengan pedang yang mengeluarkan cahaya hijau kemilauan wajahnya lebih hijau lagi, sangat dingin. Inilah jago Lam-hay nomor satu Hay-leng-cu.

Dikiri dan kanan Siauw Cap-it-long masing-masing berdiri Thio Bu Kek dan To Siau Thian.

Ketiga jago kelas satu itu mengurung Siauw Cap-it-long.

Prasangka Siauw Cap-it-long sudah menjadi kebal. Kini ia duduk ditanah, dengan tangan kanan mengacungkan tusuk konde. Ditatapnya lagi benda tersebut, mulutnya bergumam perlahan:

“Sim Pek Kun … Sim Pek Kun …”

Betul-betul Siauw Cap-it-long sudah berada didalam keadaan mabok.

PERTEMPURAN GILA DIDALAM RUMAH MAKAN

THIO BU KEK memancarkan sinar mata yang tajam, ia menganggukkkan kepala dan berkata perlahan:

“Tidak sangka, jago berandalan Siauw Cap-it-long berani mengganggu istri orang lain.”

Lain bayangan lagi muncul, inilah bayangan Lie Kang. Dengan dingin Lie Kang berkata:

“Pantas saja Sim Pek Kun membela dirinya. Ternyata …”

Tiba2 mata Siauw Cap-it-long diangkat, memandang kearah Lie Kang, disebutnya nama Sim Pek Kun dari mulut orang lain adalah satu pantangan, inilah yang bisa menutup perasaannya.

Sepasang sinar mata Siauw Cap-it-long diarahkan kepada Lie Kang, memancarkan cahaya penuh hawa pembunuhan.

Lie Kang mengundurkan tubuhnya, ia menjadi gemetaran.

Sebetulnya, Siauw Cap-it-long tidak bisa melihat dan tidak bisa membedakan, apa yang berdiri didepannya, siapa-siapa orang yang mengurungnya itu. Tapi sepasang mata itu masih menjulurkan keganasan.

Tidak terasa Lie Kang mundur kebelakang.

Tiba2 terdengar suara bentakan Hay-leng-cu:

“Sergap! Jangan biarkan ia sadarkan diri.”

Mendahului komando itu, Hay-leng-cu mengayun pedang, secepat pedang berkilat, ujung diarahkan kearah tenggorokan Siauw Cap-it-long. Mungkin saja kalau Siauw Cap-it-long tidak mengetahui datangnya serangan ini. Tapi konsentrasi ilmu silatnya selama dua puluh tahun, belum pernah membuat Siauw Cap-it-long mengalami kegagalan, daya tangkapnya masih hebat, sukmanya adalah sukma seorang jago silat, begitu tangan terayun, ia mementil pergi pedang yang ditujukan kearahnya.

“Ting …” Dengan tusuk konde mas yang berada ditangan, Siauw Cap-it-long menangkis serangan Hay-leng-cu.

Inilah kejadian yang berada diluar dugaan, seorang jago silat ternama dari daerah Lam-hay, serangan padanya bisa digagalkan oleh sentilan tusuk konde yang begitu kecil.

Sentakan itu sangat keras, hampir Hay-leng-cu melepaskan pegangan pedangnya.

Wajah Thio Bu Kek berubah. Sedari ia mendapatkan kedudukannya sebagai ketua partai Sian-thian-bu-tek, ilmu kepandaiannya telah mengalami kemajuan yang hebat. Ia sangat congkak dan sombong, kemana saja ia pergi, belum pernah ia membawa senjata tajam, belum pernah ia menggunakan senjata melawan orang, hari ini terkecuali, kekuatan Siauw Cap-it-long telah mengejutkan dirinya, pedang lemas yang terikat dipinggang diloloskan, miring-miring mengacam kearah Siauw Cap-it-long. Memberi ancaman yang hebat.

Ilmu kepandaian Thio Bu Kek mengutamakan ketenangan yang menguasai gerakan, ketenangan yang menekan kesusahan. Dengan kecepatan mengalahkan kelambatan.

Serangan pedang lemas Thio Bu Kek, meluncur kearah Siauw Cap-it-long.

Disaat ini terdengar satu suara lain, “tring …” sebuah cangklong panjang telah mendahului gerakan pedang lemas Thio Bu Kek, meluncur kearah kaki Siauw Cap-it-long. Inilah serangan senjata cangklong To Siao Thian.

Biasanya, To Siao Thian melakukan sesuatu dengan ayal-ayalan, tampaknya seperti orang tolol, tapi, begitu cangklong bergerak, cepat, tepat dan gesit.

Thio Bu Kek membawakan sikapnya yang agung, ia tidak segera mengambil alih posisi itu, melihat adanya To Siao Thian yang bergerak lebih cepat, ia menyentak sedikit tangannya, dari sana pedang lemas itu miring kebelakang mengancam jalan pembuluh darah dipundak belakang Siauw Cap-it-long. Kalau saja serangan ini berhasil, huh! Hem … pasti terjadi pengorbanan, darah Siauw Cap-it-long bisa mancur tersembur jauh. Tidak mungkin bisa ditolong lagi.

Thio Bu Kek dan To Siao Thian sudah mulai bergerak. Hay-leng-cu membenarkan napasnya yang sengal2, mengayun pedang limbung juga.

Permainan pedang Hay-leng-cu adalah pedang yang terganas, kalau saja ia tidak bergerak, masih tidak melihat keistimewaan itu. Kegesitannya tanpa tandingan, kini menuju kearah leher Siauw Cap-it-long.

Sedari adanya nama Siauw Cap-it-long, belum pernah ada seorang jago silat yang bisa mengalahkan, karena itu Siauw Cap-it-long sudah menjadi tokoh silat yang digembar-gemborkan orang. Siapa saja yang bisa mengalahkan Siauw Cap-it-long, namanya cepat meningkat. Apalagi bisa membunuh Siauw Cap-it-long, inilah suatu kejadian yang berada diluar dugaan, pasti bisa menduduki urutan tertinggi.


Bagian 9 Selesai
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar