Satu waktu, Siaw cap It long
menimba air, tiba-tiba ia melihat sim pek Kun sedang disamping air terjun,
menundukkan kepala, memandang dan memperhatikan perutnya sendiri.
Sim Pek Kun lupa, situasi apa
yang mengekang dirinya ! Tidak sadar akan kedatangan Siaw Cap It Lng.
Siaw Cap It Long mengajukan
pertanyaan :
“Apa yang sedang kau pikirkan
?”
Sim Pek Kun terlompat bangun,
wajahnya memperlihatkan perubahan-perubahan yang aneh. Lama sekali, Ia
menggeser pandangan matanya, dengan dipaksakan tertawa ia berkata :
“Tidak apa-apa. Tidak ada
sesuatu yang kupikirkan.”
Siaw Cap It Long tidak
bertanya lagi.
Pertanyaan yang sudah
terlanjur dilepas keluar itu adalah pertanyaan yang kurang pantas. Siaw cap It
Long menyesal, karena ia tahu, apa artinya dari ucapan kata tidak apa-apa..
seorang wanita yang mengucapkan tidak memikirkan apa-apa, kebalikan daripada
itu, terlalu banyak yang dipikirkan. Hanya pikiran-pikiran itu tidak ingin
diketahui oleh orang lain.
Tapi sangat mudah diduga, apa
yang sedang dipikirkan oleh Sim PekKun.
Tentu saja Siaw cap It long
bisa menduga apa yang dipikirkan oleh Sim pek Kun.
Hari berikunya, Sim pek Kun
bisa menyaksikan, bagaimana bangunan baru yang akan tumbuh disamping bangunan
lama itu terbongkar kembali.
Dan kejadian berikutnya, arak,
anggur yang sedang disekap itu telah kosong.
Siaw cap It long sedang
bermabuk-mabukan, ia duduk dibawah pohon, mukanya merah, menghabiskan semua
arak yang ada. Semalam suntuk tidak tertidur.
Hati Sim Pek Kun seperti
hendak mencelat keluar dari tempatnya, ia bisa menduga, terjadi sesuatu yang
kurang beres. mendekati Siaw Cap It Long dengan gugup ia bertanya :
“kau...kau mengapa bisa
menjadi begini ? mengapa membongkar rumah yang sudah hampir jadi.”
Tidak terjadi perubahan wajah,
tanpa menoleh sama sekali, dengan tawar Siaw cap It Long berkata "
“Karena tidak perlu
ditinggali, mengapa tidak dibongkar ?”
“Eh, mengapa tidak mau
ditinggali ? kau....”
“Segera akan kukosongkan
tempat ini.” jawab Siaw Cap It Long singkat.
“hendak pergi ? mengapa ? ini
rumahmu bukan ?” bertanya Sim Pek Kun heran.
“Aku tidak mempunyai rumah,
sudah kukatakan, aku adalah anak berandalan. Paling dua bulan kuberdiam disini.
Sesudah itu, aku harus berkelana lagi. Meneruskan petualangan-petualangan yang
ditangguhkan.”
Hati Sim Pek Kun seperti
ditusuk-tusuk jarum, menahan keluarnya air mata, ia bertanya :
“Betul?”
“Mengapa harus bohong ?”
berkata Siaw Cap It Long
“Hari-hari yang seperti ini
kulewatkan seperti tersiksa.”
“Hari yang tidak baik ?”
bertanya Sim Pek Kun.
“Waktu yang dianggap baik oleh
orang belum tentu dianggap baik olehku. Diantara pergaulan kita mungkin
terdapat ketidak serasian.”
Sepasang mata Sim Pek Kun
sudah menjadi bentul merahm basah, Ia berkata :
“aku........”
“Kau juga sudah waktunya untuk
pergi. setiap orang harus berangkat. Lambat atau cepat, kau harus meninggalkan
tempat ini bukan ?”
Sedapat mungkin Sim Pek Kun
menahan jatuhnya airmata, tapi tidak bisa dibendung lagi, dua butir cairan
bening itu sudah menetes jatuh. Ia mengerti, apa yang dipikirkan oleh Siaw Cap
It Long.
“Ia betah ditempat ini.”
demikian hatinya berkata.
“Mengapa harus pergi, karena
dia tahu, karena aku harus meninggalkan tempat ini. Maka ia juga meninggalkan
tempat bangunannya.”
Dengan menggertek gigi,
mengeraskan hati, Sim Pek Kun bertanya :
“Kapan kita berangkat ?”
“Segera berangkat.” Berkata
Siaw Cap It Long
“Sekarang juga.”
“Baik.” Sim Pek Kun
menganggukkan kepala.
Sesudah itu, Sim Pek Kun
menoleh kearah lain, dengan hujan air mata yang deras , ia lari ketempat rumah
kayu semula. Dari dalam rumah kayu itu, masih terdengar suara isak sang ratu
rimba persilatan.
Siaw cap It Long tidak
memperlihatkan perubahan-perubahan wajahnya. dengan malas-malasan ia bangkit
berdiri.
Mengajak Sim Pek Kun, Siaw Cap
It Long meninggalkan lembah gelap.
Mereka keluar dari dasar
lembah setelah beberapa waktu. Perubahan-perubahan iklim terjadi secara pesat.
Angin mulai bertiup, suasana
mulai diliputi oleh pemandangan sepi.
Musim dinginpun tiba.
Datangnya musim dingin itu
lebih cepat beberapa waktu, jalan-jalan telah mulai memutih, orang yang
berlalu-lalang juga sedikit.
Siauw Cap-it-long memikul satu
pikulan buah Lay dan buah Tho yang menjadi hasil lembah, dibawanya ke dalam
kota, dijualnya kepada orang-orang hartawan, dengan beberapa tail uang itu, ia
bisa membeli perbekalan.
Buah Lay dan buah Tho adalah
buah yang termahal, apalagi harga Siauw Cap-it-long juga agak miring, sebentar
saja terjual habis. Dengan perbekalan uang itu, Siauw Cap-it-long menyewa
kereta, menyilahkan Sim Pek Kun duduk di dalamnya. Tapi ia selalu memisahkan
diri, duduk di samping sang kusir.
Penilaian Sim Pek Kun pada
Siauw Cap-it-long lebih mendalam, si jago brandal Siauw Cap-it-long bisa
memakai uang dengan pantas, setiap uang itu didapat dengan tenaga dan keringat
yang telah diperasnya.
Bukan berarti Siauw
Cap-it-long tidak pernah melakukan pembegalan dan perampokan, tetapi setiap
uang hasil pembegalan dan perampokan selalu digunakan untuk menolong orang
lain.
Inilah sifat-sifat si jago
brandal Siauw Cap-it-long.
Mereka meninggalkan tempat
yang bisa memberi kesan dalam.
Di bawah pohon rimba gelap,
jarak mereka begitu dekat, masing-masing bisa mengikuti suara deburan napas
masing-masing.
Tetapi, sesudah meninggalkan
rimba itu, jarak yang dekat itu menjauh kembali.
“Mungkinkah kita hidup di
dalam dua dunia yang tidak sama?” demikian hati Sim Pek Kun berpikir.
Hujan salju turun semakin
deras, terus menerus sehingga beberapa hari. Siauw Cap-it-long dan Sim Pek Kun
memasuki sebuah rumah penginapan, kecuali mereka berdua, tidak ada tamu
lainnya.
Siauw Cap-it-long meninggalkan
Sim Pek Kun di rumah penginapan kecil itu, ia sendiri pergi keluar.
Lagi-lagi Sim Pek Kun
menunggu. Apa yang Sim Pek Kun sedang tunggu?
Ia harus menunggu kembalinya
Siauw Cap-it-long.
Hasil apa dari penungguan baru
ini?
Tentunya perpisahan.
Perpisahan dari Siauw Cap-it-long yang tidak mungkin bisa dielakkan.
Menunggu itu adalah pekerjaan
lama Sim Pek Kun. Lagi ia menunggu terus, menunggu terus.
Waktu berlalu.....
Tiba-tiba sebuah kereta yang
agak mewah berhenti di depan rumah penginapan itu, dari sana muncul Siauw
Cap-it-long, dia berlompat turun, wajahnya pucat pasi, tapi kondisi badannya
tetap segar.
Berhari-hari Siauw Cap-it-long
menyelidiki Lian Seng Pek. Tidak berhasil.
Sesudah terjadi drama
penghancuran kampung Sim-kee-chung, Lian Seng Pek tidak pulang ke rumahnya.
Lian Seng Pek telah
menjelajahi setiap pelosok, tapi ia tidak menemukan jejak Sim Pek Kun. Tidak
ada orang yang tahu di mana dan bagaimana keadaan Sim Pek Kun.
Lian Seng Pek meneruskan
pencarian sang istri.
Tentu saja Lian Seng Pek tidak
tahu bahwa sang istripun sedang mencarinya.
Akhirnya Siauw Cap-it-long
bisa mendapat berita di mana adanya Lian Seng Pek. Maka ia menyewa kereta
kembali ke rumah penginapan.
Menyongsong kedatangan Siauw
Cap-it-long, Sim Pek Kun tertawa, ia berkata girang:
“Tidak kusangka, hari ini kau
bisa menggunakan kereta, biasanya kau berjalan kaki saja.”
Penyambutan seorang wanita
adalah menyenangkan hati, apalagi penyambutan yang begitu meriah, penyambutan
itu sangat menggirangkan.
Biasanya, bilamana Sim Pek Kun
tertawa, belum pernah Siauw Cap-it-long mengelakkan sinar matanya, hari ini
terkecuali, ia tidak berani membentur sepasang sinar mata itu.
Dengan suara yang tawar dan
datar, Siauw Cap-it-long berkata:
“Kereta ini kusediakan
untukmu”
Lenyaplah tertawanya Sim Pek
Kun, ia tertegun sebentar, berkata:
“Kereta untukku?”
Perasaan wanita itu lebih
tajam dari perasaan laki-laki, menyaksikan perubahan wajah Siauw Cap-it-long,
Pek Kun telah mengetahui sesuatu menyimpang dari kebiasaan. Perlahan-lahan
wajahnya menjadi beku.
Siauw Cap-it-long
menganggukkan kepala, ia berkata:
“Ya. Kereta ini sengaja
kusediakan untukmu. Karena kau sudah kenal baik letak keadaan tempat ini.”
Lagi-lagi Sim Pek Kun
berkerinyut, seolah-olah mendapat serangan angin jahat yang sangat dingin,
mulutnya berkemak-kemik, hendak mengucapkan sesuatu, tapi tidak bisa meletus
keluar.
Tangan Sim Pek Kun menjadi
gemataran, ia hendak mengelakkan sesuatu, ia hendak lari dari kenyataan, tapi
tidak mungkin, tidak mungkin dielakkan, tidak mungkin menyingkir darinya.
Lama terjadi ketegangan yang
seperti itu, akhirnya suara Sim Pek Kun memecah kesunyian:
“Kau.... kau sudah berhasil
menemukan jejaknya?”
“Ya” berkata Siauw Cap-it-long
sangat singkat.
Hanya sepatah kata itu sudah
cukup untuk menelungkup sesuatu. Menelungkup jagat kehidupan mereka.
Lagi-lagi dahi Sim Pek Kun
berkerinyit, hatinya terasa sangat pedih.
Sim Pek Kun mempunyai
kepribadian dan pendidikan yang cukup, ia tahu, sikap apa yang harus
diperlihatkan seorang wanita yang mempunyai pendidikan sepertinya, seorang
wanita yang mempunyai pendidikan sempurna akan bergirang, bila mendapat berita
tentang jejak sang suami yang terpisah.
Sayang sekali, bagaimanapun,
ia tidak bisa memaksakan rasa girang itu.
Lama sekali waktu telah
dilewatkan, dengan suara perlahan Sim Pek Kun bertanya:
“Di mana dia berada?”
“Kusir kereta di depan pintu
itu bisa mengetahui, di mana dia berada.” jawab Siauw Cap-it-long, “Dia bisa
membawamu ke sana.”
“Terima kasih.”
Suara terima kasih Sim Pek Kun
seolah-olah datang dari tempat yang jauh, Sim Pek Kun sendiri juga tentu tidak
percaya bahwa ucapan tadi keluar dari mulutnya, suara itu begitu asing,
seolah-olah bicara kepada orang yang tidak dikenal.
Tentu saja Sim Pek Kun tahu,
wajahnya memperlihatkan perasaan girang. Dan perasaan girang itu beku dan kaku
seolah-olah wajah orang yang guram.
Siauw Cap-it-long berkata:
“Sama-sama. Inilah kewajiban
kita sebagai umat manusia, wajib saling bantu membantu.”
Suaranya sangat dingin dan
ketus. Perubahan wajah juga dingin dan kecut.
Begitu pulakah hati mereka?
Hanya kedua orang yang bersangkutan
yang bisa mengetahuinya.
Sim Pek Kun berkata lagi:
“Kau sudah menyuruh kereta
menunggu, bukan?”
“Ya” jawab Siauw Cap-it-long
“Waktu masih terlalu pagi. Kau harus melakukan perjalanan yang sangat jauh. Kau
harus bersiap-siap, kukira berangkat siang sedikit.”
Memperlihatkan senyuman yang
agak aneh, Siauw Cap-it-long menyambung pembicaraan:
“Dan aku tahu, kau sudah
sangat ingin bertemu dengannya. Bergegas-gegas hendak berangkat.”
Perlahan sekali Sim Pek Kun
menganggukkan kepala dan berkata:
“Betul, sudah lama aku tidak
bertemu dengannya. Ingin sekali bisa cepat bertemu.”
“Nah,” berkata Siauw
Cap-it-long “Kau tidak mempunyai perbekalan, baik berangkat sekarang sajalah.”
Percakapan kedua orang itu
sangat perlahan, sangat tenang. Tapi mereka harus menggunakan kekuatan yang
berat untuk bisa melepaskannya.
Inikah suara hati nurani
masing-masing! Suara hati nurani mereka tersimpan di dalam, berapa orang yang
bernai mengutarakan suara hati nurani yang seperti itu?
Takdir telah menyamprokkan
Siauw Cap-it-long dengan Sim Pek Kun, mengapa tidak bisa menyembunyikan hati
masing-masing? Mengapa harus saling tipu menipu, harus saling menyakiti hati?
Siauw Cap-it-long membalikkan
badan, memandang ke arah samping, dari sana ia berkata:
“Selamat jalan. Tentunya kau
sudah ingin cepat-cepat berangkat.”
“Selamat jalan.” berkata Sim
Pek Kun “Kau juga ingin pergi.”
“Ya. Setiap orang yang masih
hidup itu kerjanya hanya berpergian.”
Sim Pek Kun menggigit bibir,
Kembali ia berkata :
“Aku hendak menjamu perpisahan
ini, bersediakah kau menerima jamuanku ?”
“Katakan saja kita makan minum
bersama.”
Sim Pek Kun memanggil pelayan
rumah makan, memesan makanan dan minuman.
Sim Pek Kun membuat perjamuan
perpisahan.
MENANGIS DI HATI
SIM PEK KUN membuat jamuan
perpisahan. Siauw Cap It-long tidak menolak. Inilah pertemuan mereka yang
terakhir, mungkin bisa berjumpa lagi, mungkin juga tidak.
Siauw Cap It-long memandang
Sim Pek Kun beberapa lama, ia bertanya :
“Perjamuan ini ..... "
Sim Pek Kun menganggukkan
kepala, ia tertawa berkata : “Aku tahu. Kantongku sudah tidak ada uang lagi.
Tapi benda ini bisa cukup untuk melunasi rekening makanan dan minuman bukan?”
Dari atas rambutnya, Sim Pek
Kun menurunkan tusuk konde kumala.
Tusuk konde kumala itu adalah
benda yang berharga, bukan saja berharga, benda itu menandakan dan melambangkan
perkawinan Sim Pek Kun dan Lian Seng Pek.
Tusuk konde kumala adalah
hadiah pemberian sang suami, dikala hari pernikahan mereka, dengan tangan
sendiri Lian Seng Pek meletakan diantara sela2 sanggul rambut Sim Pek Kun.
Biar bagaimanapun, Sim Pek Kun
tidak mengerti, bagaimana ia bisa mengorbankan lambang perkawinan itu.
Tanpa sayang sama sekali, Sim
Pek Kun bersedia mengorbankan lambang perkawinannya. Ia akan puas, bilamana
bisa makan dan minum beserta Siauw Tjap-it-long bersama2 membikin perjamuan
terakhir.
Pengorbanan2 Siauw
Tjap-it-long terlalu besar. Inilah pengorbanan tusuk konde kumala, hanya satu
kali pengorbanan, Sim Pek Kun hendak membalas pengorbanan2 jago berandalan.
Kecuali pengorbanan ini, tidak
mungkin Sim Pek Kun membuat pengorbanan lain aja.
Pelayan rumah penginapan sudah
menyediakan arak dan barang makanan.
Menuangkan arak itu kecawan
Siauw Tjap-it-long, Sim Pek Kun berkata:
“Demi persahabatan,
keringkanlah secawan arak ini.”
Siauw Tjap-it-long menerima
pemberian arak, ia menenggak seceguk, dan berkata:
“Kau tahu, hobbyku adalah
meminum arak. Belum pernah aku menolak pemberian arak.”
Siauw Tjap-it-long
menghabiskan semua arak yang tersedia.
Pelayan rumah makan membawakan
arak lagi.
Tangan Siauw Tjap-it-long
bergerak cepat. Secawan demi secawan, ia mengeringkan semua persediaan.
Siauw Tjap-it-long berharap,
walau ia tidak mabuk, bisa saja berpura2 mabuk.
Yang terakhir, Siauw
Tjap-it-long sendiripun tidak tahu, betulkah dia sudah mabuk? Betul2 mabok atau
pura2 mabok?
Siauw Tjap-it-long
mendengungkan lagunya tanpa nama, lagu yang sangat menyedihkan itu.
Jarang sekali ada orang mabok
yang bisa melagukan suara.
Lagu ini adalah lagu
kesenangan Siauw Tjap-it-long, lagu dengungan kesepian dan dendang
kesengsaraan.
Lagu yang sudah sering
didengar oleh Sim Pek Kun.
Kini, lagu itu seperti lagu
baru, meresapi dan menyelubungi hati Sim Pek Kun. Dia juga menenggak arak.
Seorang wanita yang terhormat jarang meminum arak, hanya beberapa tegukan saja,
Sim Pek Kun sudah mulai menjadi mabuk.
Biar bagaimana, Sim Pek kun
pernah berpesan kepada diri sendiri, ia tidak boleh jatuh ditempat itu.
Tangan Siauw Tjap-it-long
masih mengambil dan menuang araknya.
Sesudah itu Siauw Tjap-it-long
mendengungkan lagu tanpa nama, lagu kesedihan.
Tidak bisa ditahan, Sim Pek
Kun bertanya:
“Lagu ini sudah kudengar
sehingga puluhan kali. Lagu apakah?”
“Kudapat lagu ini dari seorang
pengembala diluar perbatasan.” berkata Siauw Tjap-it-long “Lagu yang tidak
mudah diresapi, kalau kau sudah mengerti cerita yang terdapat didalam lagu ini,
kukira tidak mungkin kau mau mendengarnya lagi.”
“Mengapa?” bertanya Sim Pek
Kun.
Wajah Siauw Tjap-it-long
memperlihatkan sikap yang mengejek, ia berkata:
“Arti dari lagu ini adalah
lagu picisan, tidak mungkin bisa diterima kaum sebangsa kalian.”
Sim Pek Kun menundukkan kepala
ketanah.
“Ceritakanlah” Ia berkata
“Ceritakan arti dari lagu2mu itu.”
“Dengar baik2” berkata Siauw
Tjap-it-long “Arti lagu dari kata2 ini kira2 ceritanya seperti ini: Manusia itu
kasihan kepada kambing, tapi tidak pernah ada yang kasihan kepada seekor
srigala. Pernah diceritakan srigala itu adalah binatang ganas, binatang
pengrusak yang sering merusak kambing2 pengembala. Rasa sepi seekor srogala
tidak diketahui. Rasa sepi dan menyendiri srigala tidak pernah diresapi oleh
manusia, srigala lapar, ia makan kambing, kambing lapar oa makan rumput. Karena
rumput itu tidak dipentingkan oleh manusia, maka kambing tidak dicela. Sebaliknya
daripada itu, kambing itu dibutuhkan oleh manusia, maka srigala dicela. Inilah
lagu kesengsaraan srigala.”
Semakin lama, cerita Siauw
Tjap-it-long semakin keras.
Setelah mendengar semua, tiba2
Sim Pek Kun berkata:
“Hei, dimisalkan kau terlunta2
disebuah padang rumput yang luas, terjadi hujan es, menutupi seluruh bumi.
Berhari2 kau tidak mendapat makanan, dimisalkan kau bertemu dengan seekor
kambing, bisakah kau terkam kambing itu?”
Siauw Tjap-it-long
mendongakkan kepala sepasang matanya yang liar menatap wanita cantik
didepannya, mata itu redup kembali, manakala ia teringat bahwa Sim Pek Kun
adalah milik Lian Seng Pek, milik yang sah dari jago ksatria.
Beberapa cawan arak lagi
ditenggak olehnya. Akhirnya Siauw Tjap-it-long betul2 jatuh rubuh. Ia mabuk.
Tengkurep dimeja dan menggeros2.
“Pergilah!” Inilah suara yang
terakhir dari Siauw Tjap-it-long. Sesudah itu, ia tidak sadarkan diri.
Belum pernah hati Sim Pek Kun
menjadi kalut seperti apa yang kini ia rasakan.
Seharusnya ia bergembira,
karena tidak lama lagi ia bisa menjumpai sang suami yang tercinta.
Mulai saat itu, segala godaan2
ini dan ketegangan2 tidak akan dialami lagi ia akan hidup tenang, hidup tenang
disamping suaminya.
Walau suami itu sering
berpergian, ketenangan tidak mungkin terganggu. Walau ia harus menunggu,
menunggu adalah pekerjaan lama. Tugas yang sudah biasa dilakukan olehnya.
Air mata Sim Pek Kun meleleh
keluar, ia menyusutnya cepat2.
Didalam hati Sim Pek Kun
berpikir:
“Apabila Siauw Tjap-it-long
menarik tanganku, agar aku tidak menjumpai Lian Seng Pek, bisakah kuterima
saran ini?”
Sim Pek Kun bergidik dingin,
bilamana terpikir lanjutan apa yang sedang dipikirkan olehnya.
Sim Pek Kun harus bisa melenyapkan
jasa2 Siauw Tjap-it-long. Ia harus menguatkan hati, meninggalkan sang jago
berandalan yang telah terkapar mabok.
Mulai saat ini, ia harus
mendampingi Lian Seng Pek. Ia harus menjadi seorang istri yang tercinta, ia
sangat setia.
Pemilik rumah makan
menyodorkan rekening makanan. Sim Pek Kun menyerahkan tusuk konde kumalanya.
Sim Pek Kun meninggalkan rumah
penginapan itu, memanggil kereta yang sudah tersedia.
Ia akan kembali kedunianya,
dunia manusia beradab. Ia harus meninggalkan dunia Siauw Tjap-it-long, dunia
srigala yang kesepian.
Ketoprak.... ketoprak....
ketoprak.....
Kereta yang membawa Sim Pek
Kun meluncur pergi.
Terbayang satu pekarangan yang
sepi, pekarangan yang luas. Itulah pekarangan keluarga Lian Seng Pek.
Lian Seng Pek tinggal ditempat
yang seperti itu. Tempat suatu rumah penginapan.
Kusir kereta yang sudah
mendapat pesan Siauw Tjap-it-long, membawa Sim Pek Kun ketempat tinggal Lian
Seng Pek.
Kehadiran sang ratu rimba
persilatan mengejutkan pelayan rumah penginapan, hanya seorang diri? Tanpa
kawalan?
Lian Seng Pek menggunakan
kamar divilla bagian barat.
Disana terdapat tangga batu,
hanya memudahkan. Walau begitu, langkah Sim Pek Kun dirasakan sangat berat.
Entah bagaiamana, ia tidak bisa menaiki tangga batu itu.
Perasaan takut mengekang
dirinya. Takut bertemu dengan suami yang sudah lama ditinggalkan.
Yang paling ditakuti Sim Pek
Kun adalah pertanyaan Lian Seng Pek yang seakan2 berkata:
“Dimana kau tinggal selama
beberapa hari ini?”
Sim Pek Kun masih berdiri
ditangga batu.
Tiba2, dari dalam villa barat
terdengar satu suara yang membentak keras:
“Siapa yang didepan?”
Suara bentakan itu sangat
keras, cukup agung, sangat hormat dan sopan.
Itulah suara Lian Seng Pek.
Didalam dunia tidak mungkin ada suara yang bisa menyamai suara Lian Seng Pek.
Didalam sekejap mata, Sim Pek
Kun bisa kembali kepada kenang2annya yang lama.
Ia seharusnya bergerak cepat,
menerjang dan memasuki ruangan itu atau menubruk Lian Seng Pek, setidak2nya,
dia akan menangis didalam pelukan sang suami.
Tapi Sim Pek Kun tidak
mengerjakan pekerjaan yang seperti itu. Ia bisa maklum perangai Lian Seng Pek,
Lian Seng Pek tidak butuh kepada seseorang yang cepat mengalami getaran jiwa.
Perlahan2, Sim Pek Kun mendaki
tangga batu itu. Pintu terbuka, disana berdiri seorang laki2 cakap dan tampan,
itulah Lian Seng Pek.
Selama dua bulan ini, Lian
Seng Pek mencari jejak Sim Pek Kun. Tapi tidak berhasil, gundah gulana,
sengsara, perasaan seribu satu macam yang lainnya mengekang dirinya.
Kini, secara ajaib sekali,
sang istri muncul didepan mata, sinar matanya berkilat sebentar, sesudah itu
redup kembali. Tanpa memperlihatkan rasa girangnya yang tidak kelihatan mereka
hanya berpandang2an.
“Kau sudah kembali?” suara
Lian Seng Pek sangat tenang. Sim Pek Kun menganggukan kepala perlahan, dengan
suaranya yang sangat mesra berkata:
“Ya, aku sudah kembali.”
Hanya kata kata itu yang
mereka ucapkan. Terlalu singkat.
Suara itu sudah cukup
menenangkan hati Sim Pek Kun yang bergejolak keras, ternyata pertanyaan dimana
ia berada tidak tercetus keluar.
Ia sudah biasa dengan
penghidupan2 yang tenang, kini harus kembali kepada kehidupan lama.
Apa yang Sim Pek Kun tidak
ingin keluarkan, pasti tidak diajukan oleh Lian Seng Pek.
Didalam dunia Sim Pek Kun,
hubungan manusia itu adalah hubungan biasa. Harus diperhatikan jarak2 tertentu.
Walau hidup mereka sebagai
suami istri, jarak pemisah yang ditentukan itu, tetap ada.
Lian Seng Pek mengajak sang
istri memasuki kamarnya.
Lampu didalam kamar Lian Seng
Pek terang benderang, berkumpul banyak orang.
Disana bercokol duduk tokoh2
rimba persilatan ternama, Thio Bu Kek, Hay Leng Tju, To Siao Thian dan
lain2nya.
Tokoh2 silat yang berkumpul
didalam kamar Lian Seng Pek adalah kawan2 baik Lian Seng Pek, rata2 didalam
hati mereka berpikir:
“Istrinya yang lenyap kini
sudah pulang. Tapi orang yang menjadi suaminya tidak bertanya, kemana kepergian
dan bagaimana penghidupan sang istri selama dua bulan itu? Apa yang dikerjakan
oleh sang istri? Anehnya, istrinya pun tidak cerita dimana ia selama dua bulan
itu, apa saha yang dikerjakannya? Suami aneh sang istripun aneh.”
Hay Leng Tju sekalian
menganggap mereka bertemu dengan sepasang suami istri aneh.
Sim Pek Kun duduk dan turut
serta diantara mereka.
Di meja terdapat juga minuman2
keras. Inilah yang mengherankan Sim Pek Kun. Seperti apa ia ketahui, sesudah
pernikahan mereka, Sim Pek Kun jarang melihat Lian Seng Pek menenggak arak.
Tapi disini dan ditempat ini Lian Seng Pek minum arak.
Tentu saja, sebagai seorang
wanita yang mempunyai kedudukan bagus, seorang wanita yang berhati tulus, Sim
Pek Kun tidak bertanya, mengapa sang suami mengajak kawan2nya meminum arak dan
berpesta pora.
Dari perobahan2 wajah Sim Pek
Kun, dan kejadian2 yang ada ditempat itu, Lian Seng Pek wajib memberi
penjelasan, ia tertawa kepada sang istri dan berkata:
“Sebelum kau kembali, kami
sedang menghadapi sesuatu soal yang sangat penting.”
Untuk memberi keterangan yang
lebih jelas, Thio Bu Kek juga turut memberi keterangan:
“Hujin bisa maklum kepada
kerakusan laki2. Biar bagaimana, bilamana kami menghadapi sesuatu, agak lama,
bila disertai dengan makanan, terlebih2 minuman keras, kita bisa memecahkan
persoalan itu lebih cepat.”
Hujin berarti nyonya!
Sim Pek Kun menganggukkan
kepala, tertawa manis, ia berkata:
“Aku tahu.”
Maka biji mata Thio Bu Kek
berputar, memandang ke arah Sim Pek Kun dan bertanya:
“Tahukah hujin, perkara apa
yang kami sedang rundingkan?”
Sim Pek Kun bergoyang kepala,
tertawa manis:
“Bagaimana aku bisa tahu?
Sedari kecil, Sim Pek Kun
mendapat didikan baik. Seseorang wanita yang hendak mempercayakan dirinya
sebagai seorang istri yang baik, seorang wanita yang hendak mendapat pujian
baik, ia harus bersikap ramah dan tamah, selalu harus tertawa manis.
Tentu saja, karena harus
membawakan posisi sikap tertawa manis itu, kedua pipinya bisa membeku.
Thio Bu Kek berkata:
“Pada sepuluh hari yang lalu,
disini terjadi sesuatu yang menggemparkan. Maka kami mengundang Lian Seng Pek
kongcu dan kawan2 ini.”
Thio Bu Kek menunjuk kearah
orang yang tidak jauh duduk darinya, itulah Hay Leng Tju, To Siao Thian dan
pemimpin dari 73 perusahaan piauwkiok Suto Tiong Peng.
“Oh?” Sim Pek Kun berkata
perlahan “Apa yang sudah terjadi?”
Sim Pek Kun tidak bermaksud untuk
mengajukan pertanyaan. Tetapi kadang kala tidak mengajukan pertanyaan itu,
berarti sesuatu cara yang kurang hormat. Karena tidak mau tahu dengan soal2,
meremehkan urusan kawan2 suaminya. Ini tidak patut, sebagai seorang istri
terhormat, ia wajib bertanya. Bertanya berartikan sesuatu, memperhatikan
keadaan sang suami dan kawan kawannya.
Kesannya kepada Thio Bu Kek
tidak begitu baik. Tapi Thio Bu Kek membalik pula karena itu iapun bertanya:
“Tentang persoalan seorang
tokoh muda yang pandai bicara.”
Sim Pek Kun bertanya lagi:
“Seseorang yang pandai bicara,
belum tentu memiliki kepribadian baik, bagaimana keadaan tokoh muda itu?”
Thio Bu Kek menjawab:
“Tokoh muda kenamaan ini
namanya Thio Sam Ya, pernahkah hujin dengar nama ini?”
Sim Pek Kun tertawa manis, ia
memberi jawaban:
“Tokoh2 yang kukenal sedikit
sekali.”
Artinya: Dia tidak kenal Thio
Sam Ya.
Thio Bu Kek berkata:
“Jago Thio Sam Ya ini memiliki
kekayaan yang tidak sedikit, sikapnya ramah tamah. Sering membantu orang, ia
tinggal di kampung Thio-tju-tjhung, pada sepuluh hari yang lalu, tanpa hujam
tanpa angin, tanpa sebab musabab, Thio Sam Ya dibunuh orang. Pemimpin kampung
Thio-tju-tjhung mati dibunuh orang, seluruh isi kampung Thio-tju-tjhung tidak
luput dari pembunuhan pembunuhan........”
Sim Pek Kun membuka mulutnya
ia bertanya: “Oh. Siapakah yang begitu kejam, membunuh seluruh isi kampung.”
Thio Bu Kek berkata :
“Tentu saja si kepala rampok
Siauw Cap-it-long !”
Hati Sim Pek Kun dirasakan
mencelat keluar, selama dua bulan terakhir ia mendampingi Siauw Cap-it-long.
Mana bisa terjadi kejadian yang seperti itu ?
“Siauw Cap-it-long ?!” Sim Pek
Kun berteriak kaget.
“Tepat !” berseru Thio Bu Kek.
“Kecuali Siauw Cap-it-long, mungkinkah ada tokoh kedua ? Siapa lagi yang bisa
memiliki kekejaman seperti Siauw Cap-it-long ?”
Sim Pek Kun berusaha menguasai
gejolak hatinya, ia bertanya :
“Seluruh isi kampung dibunuh
mati ?”
“Tidak seorangpun yang bisa
mempertahankan jiwanya.” jawab Thio Bu Kek.
“Tidak seorangpun yang bisa
mempertahankan jiwanya ? Dari mana kau tahu bahwa seluruh isi kampung
Thio-kee-chung dihancurkan oleh Siauw Cap-it-long ?” bertanya Sim Pek Kun
Thio Bu Kek berkata :
“Siauw Cap-it-long adalah
tokoh yang sangat kejam, memiliki sifat-sifat congkak dan sombong, sangat
angkuh. Setiap kali membunuh orang, tentu menuliskan nama sendiri. Demikian
juga didalam kampung Thio-kee-chung, sesudah membunuh mati semua orang yang
ada, ia menulis : Orang yang menghancurkan kampung Thio-kee-chung adalah aku,
Siauw Cap-it-long.”
Deburan darah panas yang
ditekan tidak bisa dikuasai lagi, tanpa bisa ditahan Sim Pek Kun berteriak :
“Tidak mungkin ! Tidak mungkin
! Orang yang membunuh dan menghancurkan kampung Thio-kee-chung bukanlah Siauw
Cap-it-long, jangan memfitnah ! Siauw Cap-it-long tidak boleh dijadikan kambing
hitam. Siauw Cap-it-long tidak seperti apa yang kalian duga, ia tidak kejam dan
juga tidak jahat.”
Wajah Thio Bu Kek berubah, ia
memaksakan diri tertawa dan berkata :
“Hujin memiliki sifat yang
baik, tentu saja menganggap semua orang itu baik.”
Thio Bu Kek sepasang alisnya
dikarutkan, ia memandang Sim Pek Kun, tiba-tiba ia mengajukan pertanyaan :
“Bagaimana Hujin tahu, bahwa
hancurnya Thio-kee-chung bukan perbuatan Siauw Cap-it-long ?”
Tubuh Sim Pek Kun gemetaran,
ia muak kepada orang orang yang berada di depannya, ia hendak lari meninggalkan
mereka, meninggalkan pergaulan yang memuakkan itu. Ia benci kepada mereka.
Bosan kepada percakapan mereka.
Tentu saja ia tidak bisa
meninggalkan mereka begitu saja. Ia harus berani bicara. Bukan sekali ia
menerima budi Siauw Cap-it-long, sudah waktunya membalas budi Siauw Cap-it-long
itu, ia tidak bisa membiarkan seorang tokoh yang baik hati dijadikan kambing
hitam. Ia tidak membiarkan terjadi fitnah-fitnah jahat. Karena itu, sepatah
demi sepatah, ia berkata tegas :
“Ku berani jamin, Siauw
Cap-it-long tidak membunuh orang. Karena.... selama dua bulan terakhir, belum
pernah ia terpisah dari diriku.”
Adanya keterangan yang seperti
itu, tentu saja mengejutkan semua orang !
Seorang nyonya agung yang
ternama mendampingi seorang jago berandalan.
Wajah orang-orang yang berada
ditempat itu membeku, semua terarah ketempat Sim Pek Kun.
Tidak pernah diduga, Sim Pek
Kun bisa menilai isi hati orang-orang itu, apa yang diminta mereka, tentu
mengenai Siauw Cap-it-long.
Tapi Sim Pek Kun tidak
menyesal atas kata-kata yang diucapkannya tadi. Sudah waktunya ia membersihkan
fitnah-fitnah atas diri Siauw Cap-it-long.
Ia berani mengucapkan
kata-kata tadi karena bertanggung jawab penuh kepada keselamatan Siauw
Cap-it-long. Tentunya Sim Pek Kun sudah bersedia menanggung akibat dari
keterangan tadi. Lama sekali mereka saling pandang, akhirnya Lian Seng Pek yang
memecahkan kesunyian itu, ia berkata :
“Kukira kita salah menerima
keterangan, aku percaya keterangan Sim Pek Kun, orang itu yang membohongi
kita.”
Suara Lian Seng Pek sabar dan
tenang, memperlihatkan sifat seorang suami yang mencinta.
To Siao Thian perlahan-lahan
mengangkat tangan, ia bergumam :
“Oh.... fitnah kepada Siauw
Cap-it-long.”
Thio Bu Kek juga tidak
henti-hentinya tersenyum tertawa, tiba-tiba ia bangkit dari tempat duduk,
berkata :
“Hujin tentu telah melakukan
perjalanan jauh, tentunya lelah. Baiklah, kami meminta diri. Lain kali saja
meneruskan perjamuan ini.” Sikap Hay-leng-cu tidak simpatik lagi, ia memberi
hormat panjang, meninggalkan ruangan itu.
Thio Bu Kek, To Siao Thian,
dan Hay-leng-cu sudah berangkat keluar.
Giliran Lie Kang yang bangkit
dari tempat duduknya, ia sudah memberi hormat kepada Lian Seng Pek dan bersedia
mengakhiri perjamuan. Hanya seorang Suto Tiong Peng saja yang diam membeku di
tempat duduk. Menyaksikan Lie Kang hendak berangkat, tiba-tiba ia berkata :
“Saudara Lie Kang, tunggu dulu
!”
Lie Kang hendak meninggalkan
tempat itu, mendapat tegoran Suto Tiong Peng akhirnya ia berkata :
Dengan perlahan-lahan Suto
Tiong Peng pun berkata :
“Penghancuran kampung Sim cu
chung bukan perbuatan Siauw Cap-it-long. Pasti bukan perbuatan Siauw
Cap-it-long! Di dalam soal lain, mungkin Siauw Cap-it-long itu bisa saja
melakukan sesuatu. Tapi, tidak mungkin Siauw Cap-it-long datang ke kampung ini
menghancurkan dan membunuh kampung Thio-cu-chung. Ia telah difitnah orang.”
Kata-kata Suto Tiong Peng
sangat masuk ke dalam telinga Sim Pek Kun, ia sangat berterima kasih.
Kedudukan Suto Tiong Peng
sebagai pemimpin dari 72 perusahaan piauwkiok, tentu saja mempunyai hak suara
yang besar.
Asal usulnya Suto Tiong Peng
hanya sebagai seorang tukang kentongan dari piauwkiok tidak ternama, karena
kejernihan otaknyalah, karena kepintarannya ia bisa merambat naik. Menjadi
pemimpin piauwkiok itu, akhirnya terpilih menjadi pemimpin dari 72 perusahaan
piauwkiok. Kedudukan itu tidak mudah dicapai.
Sikapnya Suto Tiong Peng
sangat berhati-hati, jarang membuka mulut. Sebagai ketua dari 72 perusahaan
piauwkiok Suto Tiong Peng sangat berhati-hati, apa yang dikatakannya jarang
sekali bisa dibantah.
Demikian juga apa yang baru
dikatakan sebagai kedudukan Suto Tiong Peng yang begitu tinggi, Lie Kang tidak
bisa membantah.
memandang kearah Lie Kang yang
tidak puas, Suto Tiong Peng berkata :
“Sebagai pendekar-pendekar
pembela keadilan dan kebenaran, kita tidak bisa mengabaikan adanya motto dan
semboyan, lebih baik kita lepas tangan, jangan memfitnah Siauw Cap-it-long!”
Lie Kang tidak bisa memdebat.
Suto Tiong Peng berkata lagi :
“Fitnah lebih jahat dari pada pembunuhan, Siauw Cap-it-long difitnah orang,
tapi kita tidak boleh sembarang percaya. Bagaimana rasanya seorang terfitnah ?
Tentu bisa dimaklumi. Lebih sengsara dan lebih penasaran.”
Sim Pek Kun mendengar dengan
penuh perhatian, selama hidupnya, belum pernah memuji seseorang, didalam hal
ini ia harus memuji Suto Tiong Peng.
Suto Tiong Peng tidak memiliki
keluar biasaan yang aneh, wajahnya acuh tak acuh, kepalanya sedikit botak,
botak itu mengkilap, suatu tanda bahwa ia memiliki otak profesor.
Didalam keadaan seperti ini,
jiwa besar Suto Tiong Peng terpeta jelas, Sim Pek Kun sangat berterima kasih,
hampir ia hendak mencium kepala botak yang seperti kepala profesor itu.
MUSUH MUSUH SIAUW CAP-IT-LONG
_
Suto Tiong Peng masih memberi
kuliah, ia berkata :
“Bilamana Siauw Cap-it-long
tidak memiliki kepribadian yang begitu buruk, bilamana bukan Siauw Cap-it-long
yang melakukan pembunuhan pembunuhan itu, itulah suatu fitnah. Kita tidak bisa
membiarkan terjadi fitnah-fitnah. Kita bukan seorang ahli kambing hitam. Kita
wajib membikin pembelaan, membersihkan fitnah fitnah yang jatuh kepadanya.
Siauw Cap-it-long betul-betul seorang yang baik.”
Menoleh dan memandang kearah
Sim Pek Kun, dengan perlahan Suto Tiong Peng berkata :
“Tapi hati manusia sukar
diterka, baik dan jahatnya kepribadian orang itu, belum tentu bisa dinilai
dalam waktu yang sangat sempit. Apalagi hanya dua bulan saja.”
Dengan tegas Sim Pek Kun
berkata :
“Aku berani menjamin kebaikan
Siauw Cap-it-long. Tidak mungkin Siauw Cap-it-long melakukan
perbuatan-perbuatan yang seperti itu.”
“Sangat pasti ?”
Sim Pek Kun menundukkan kepala
kebawah perlahan-lahan memberikan keterangannya :
“Selama dua bulan hidup
bersama dengannya, aku bisa menilai kepribadian Siauw Cap-it-long.
Terlebih-lebih, beberapa kali ia telah menolong diriku. Apa yang diminta dariku
?.... Tidak. Ia tidak pernah meminta sesuatu pembalasan. Begitu ia tahu kalian
berada disini, segera ia mengantar aku.”
Bicara sampai disini, suara
Sim Pek Kun sudah tersendat, ia menangis. Tidak bisa melanjutkan keterangannya.
“Ouw....” berkata Suto Tiong
Peng. “Hujin wajib membuat pembelaan.”
“Tentu.” berkata Sim Pek Kun
menggigit bibir. “Budinya itu tidak bisa terbalas tanpa bantuan-bantuanku.”
“Sudah lamakah hujin berpisah
dengan Siauw Cap-it-long ?” bertanya Suto Tiong Peng.
“Belum lama.” berkata Sim Pek
Kun “Baru tadi pagi.”
“Ouw ?” bertanya Suto Tiong
Peng “Tentunya masih berada disekitar daerah ini.”
“Ng......” Sim Pek Kun
menganggukkan kepala.
“Menurut hematku.” berkata
Suto Tiong Peng, “Baik juga mengundang Siauw Cap-it-long turut serta. Agar kita
bisa lebih mempercayainya. Lebih mengenalnya secara dekat.”
“Bilamana kalian sudah bertemu
muka.” berkata Sim Pek Kun lama. “Pasti bisa percaya kepadanya.”
“Nama Siauw Cap it long
berdengung bagaikan nama yang hebat. Tapi, berapa orang yang pernah bertemu
dengan Siauw Cap-it-long. Terlalu sedikit sekali. Kita gembira bila bisa
bertemu dengan Siauw Cap-it-long.”
Sim Pek Kun mengerutkan
alisnya, ia berkata : “Kukira tidak bisa menemukannya hari ini.”
“Mengapa ?” bertanya Suto
Tiong Peng heran.
“Karena.....karena.... pada
hari ini ia sudah mabok, Siauw Cap-it-long mabuk dan lupa daratan.”
Suto Tiong Peng bertanya :
“Dia sedang mabuk. Dia suka
mabuk-mabukan?”
“Kadang kala juga dia mabuk.”
jawab Sim Pek Kun.
Suto Tiong Peng tertawa, ia berkata
:
“Seseorang yang suka mabuk,
tentu memiliki kekuatan minum yang hebat, dan juga orang ini pasti orang yang
jujur. Lain kali aku ingin sekali bisa minum bersama-samanya.”
“Cong piauw tiauw memiliki
kekuatan minum yang kuat. Tapi kulihat kekuatan minumnya lebih hebat darimu.”
“Oh.” berkata Suto Tiong Peng.
“Berapa banyakkah arak yang diminum?”
“Paling sedikit juga ada
sepuluh kati.”
“Hebat.” berkata Suto Tiong
Peng. “Bisa minum arak sehingga sampai sepuluh kati, baru jatuh mabuk, jago ini
bukan jago biasa lagi.”
“Sebetulnya,” berkata Sim Pek
Kun. “Hari-hari biasa, belum tentu ia bisa mabok. Ia adalah seorang jago arak
juga.”
“Dimana Siauw Cap-it-long
mabok?”
“Disebuah rumah penginapan
kecil diluar kota.” berkata Sim Pek Kun
“Disebut jago arak, timbul
niatanku untuk minum lagi, eh, saudara Lie Kang, bersediakah kau mengawasi aku
berpesta pora mengadu minum arak ?”
“Tentu.” berteriak Lie Kang
girang. Ia sudah mendapat berita penting. Ternyata Siauw Cap-it-long berada
disebuah rumah penginapan kecil diluar kota. Tidak sulit untuk ditemukan.
Suto Tiong Peng dan Lie Kang
minta diri, meninggalkan Lian Seng Pek.
Pesta bubaran.
Lampu berkelap-kelip,
menerangi wajah Sim Pek Kun yang Cakap.
Suasana itu begitu sepi dan
sunyi.
Sim Pek Kun mengangkat cawan
arak, tetapi diletakkannya kembali, tertawa dan berkata :
“Aku hari ini sudah minum
arak. Tidak berani minum lagi.”
Lian Seng Pek berkata : “Aku
juga menenggak sedikit. Untuk menghilangkan hawa dingin. Apalagi dimusim
seperti ini, meminum sedikit arak tidaklah terlalu banyak.”
Sim Pek Kun memandang kearah
sang suami dan bertanya :
“Kau sudah menjadi mabok ?”
“Seorang jago arak, meminum
terlalu banyak kukira baru cukup.” berkata Lian Seng Pek. “Aku baru minum
sedikit, mana mungkin menjadi mabok.”
“Betul.” berkata Sim Pek Kun.
“Kita bukan jago-jago arak. Ku tidak berani minum terlalu banyak.”
“Tapi kalau kau masih belum
puas, aku bersedia mengawanimu.” berkata Lian Seng Pek.
“Aku tahu.” berkata Sim Pek
Kun. “Segala perintahmu pasti ku taati.”
Lian Seng Pek menuangkan arak
secawan penuh, diserahkan kepada sang istri dan berkata :
“Sayang sekali waktuku
sedikit. Maka tidak bisa mendampingimu selalu. Tentunya tidak patut terjadi
kejadian yang seperti ini.”
Sim Pek Kun menundukkan
kepala, lama sekali mereka tidak bicara, sesudah itu memandang sang suami ia
bertanya :
“Tahukah kau, apa yang terjadi
atas diriku selama dua bulan terakhir ini?”
“Aku.......” Lian Seng Pek
memandang isteri itu, “Sedikit banyak sudah kuketahui, tapi kurang jelas.”
“Mengapa kau tidak mengajukan
pertanyaan?” bertanya Sim Pek Kun.
“Keterangan yang kau sudah
berikan itu sudah cukup.” berkata Lian Seng Pek.
Sim Pek Kun menggigit bibir,
ia berkata :
“Mengapa kau tidak bertanya ?
Bertanyalah, bagaimana aku bisa bertemu dengan Siauw Cap-it-long, mengapa kau
tidak bertanya penghidupanku selama dua bulan ini? Mengapa kau tidak bertanya
apa saja yang dikerjakan oleh Siauw Cap-it-long, mengapa?”
Sepasang sinar mata Sim Pek
Kun berputar-putar, juga ia sangat heran, mengapa sang suami diam dan membeku?
Betul-betul Lian Seng Pek
tidak mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang panjang, jawabannya sangat singkat
:
“Karena aku percaya kepadamu.”
Jawaban yang singkat ini cukup
menghangatkan tubuh Sim Pek Kun. Inilah jawaban seorang suami yang bijaksana.
Pikiran Sim Pek Kun terapung
didalam khayalan, khayalan kepercayaan seorang suami yang arif bijaksana.
Rasa hangat, cinta kasih yang
luar biasa, segera saling susul memenuhi benak pikiran sang ratu rimba
persilatan.
Hampir saja ia tidak mempunyai
tempat untuk menerima berkah-berkah itu.
Sebentar kemudian, Sim Pek Kun
telah menenggak habis isi araknya.
Ia menengkurapkan kepala
dimeja, menangis dengan sedih. Kalau saja Lian Seng Pek menegor, kemana saja
kepergiannya? Apa yang dilakukan olehnya? Mengapa tidak ada kabar berita?
Mengapa bisa bersama-sama dengan Siauw Cap-it-long? Atau Lian Seng Pek memukulnya.
Menggunakan cemeti, menghajar, mendorong dan mengusir, mungkin rasanya lebih
enak daripada apa yang kini ia hadapi.
Mengapa Sim Pek Kun mempunyai
perasaan yang seperti itu ?
Karena Sim Pek Kun tidak
pernah melakukan sesuatu yang sudah membelakangi suaminya. Tapi Lian Seng Pek
begitu percaya, lebih dari pada percaya, begitu memperhatikan dirinya, begitu
menyanjung dirinya. Takut kalau sampai bisa melukai sesuatu.
Karena itulah sebagai seorang
istri yang harus mengetahui kebijaksanaan suami itu, Sim Pek Kun menyesal.
Mengapa Sim Pek Kun menyesal !
Perpisahannya selama dua bulan adalah perpisahan yang bukan dipaksakan, tetapi
selama adanya perpisahan itu, belum pernah ia memikirkan keselamatan atau
kehidupan Lian Seng Pek. Inilah kesalahan seorang isteri.
Betul, Sim Pek Kun tidak
pernah melakukan sesuatu yang membelakangi Lian Seng Pek, tapi hal itu sudah
cukup membuat ia merasa bersalah. Mungkinkah ada seorang istri yang bisa
melukai suaminya yang tercinta ?
Sebetulnya Sim Pek Kun
menyesal karena tidak bisa membalas jasa-jasa Siauw Cap-it-long, kini ia juga
menyesal, karena ia tidak bisa mengimbangi kebaikan hati sang suami.
Bagaikan dua bilah pisau yang
tajam, yang menusuk dari kanan dan kiri, menusuk ulu hati.
Sim Pek Kun tidak tahu, apa
yang harus dilakukan olehnya.
Lian Seng Pek menatap istrinya
itu tajam-tajam, ia juga termenung ditempat.
Inilah kejadian pertama kali,
ia lihat sang istri menangis didepannya.
Lian Seng Pek tidak tahu,
bagaimana ia bisa menghibur isteri itu. Karena ia tidak tahu, dimana rasa sakit
dan kesedihan Sim Pek Kun.
Samar-samar mulai terasa,
ternyata hubungan suami isteri telah terdapat suatu gap yang sangat dalam.
Berapa lama kemudian, akhirnya
Lian Seng Pek menghampiri isteri itu, menjulurkan tangan, hendak mengusap dan
membelai memberi kepuasan kepada istrinya.
Tiba-tiba, tangan Lian Seng
Pek ditarik kembali, mematung dan berkata dengan suara yang lembut :
“Kau sudah letih. Kau
membutuhkan waktu untuk istirahat. Apa yang hendak kau katakan, besok sajalah.
Kukira besok adalah hari yang cemerlang.”
Sim Pek Kun menangis terus.
Betul-betul ia sangat letih. Menangis terus menerus sehingga lama, akhirnya ia
tertelungkup, seolah-olah jatuh tidur.
Mungkinkah Sim Pek Kun bisa
tidur di meja ?
Mana mungkin ? Tidak mungkin
Sim Pek Kun bisa menjadi pulas.
Samar-samar ia bisa mendengar
derap langkah kaki suaminya yang berjalan pergi, perlahan-lahan terdengar suara
Lian Seng Pek yang membuka pintu, menutup kembali.
Cara-caranya Lian Seng Pek
menghadapi seorang isteri yang sudah bepergian lama terlalu halus, inilah yang
membuat Sim Pek Kun merasa menjadi tidak enak.
Ia mengharapkan suatu jambakan
rambut yang keras, suatu tamparan, atau cara-cara yang sangat kasar.
Tapi cara itu tidak dirasakan
sama sekali.
Sim Pek Kun merasa kecewa,
tapi bercampur dengan rasa syukur rasa berterima kasih kepada sang suami.
Seperti apa yang pernah
dirasakan dahulu, Lian Seng Pek adalah seorang suami yang bijaksana. Ia sangat
lembut dan halus pikiran.
Sesudah menangis puas, Sim Pek
Kun akhirnya berpikir :
“Apa yang harus disesalkan ?
Yang sudah terjadi biarlah berlalu. Kini aku harus menghadapi penghidupan
baru.”
Sim Pek Kun masih berhutang
budi kepada dua orang, ia harus membalas jasa-jasa Siauw Cap-it-long. Ia harus
menyerahkan isi hatinya kepada Lian Seng Pek.
Didalam hati Sim Pek Kun
berjanji, mulai saat itu, ia akan mengabdikan dirinya, baik menjadi seorang
isteri yang lemah gemulai, memberi kepuasan yang tidak terhingga.
Karena ada putusan yang
seperti itu, hati Sim Pek Kun agak lega.
Mengikuti bayangan Lian Seng
Pek........
Malam sangat gelap, tenang
seperti permukaan air. Batu dingin, sangat dingin sekali.
Lian Seng Pek duduk diatas
bangku yang dingin itu, terasa jaluran yang meresap tulang, menyembur keatas
dadanya. Mengekang dan hampir membekukan hatinya.
Tetapi didalam bekuan hati
itu, masih ada api yang membara. Api itu adalah dendam kepada Siauw
Cap-it-long.
Dengan alasan apa Siauw
Cap-it-long menolong isteriku ? Bagaimana ia bisa bertemu dengan Siauw
Cap-it-long? Mengapa harus hidup bersama-sama dengan Siauw Cap-it-long? Apa
yang mereka kerjakan?
Dua bulan ia tidak pulang. Apa
kerjanya selama dua bulan itu? Mengapa ia tiba dan kembali pada hari ini ?
Pertanyaan-pertanyaan ini
seperti lidah ular yang berbisa menjulur dan menggeragoti hatinya.
Kalau saja Lian Seng Pek
mempunyai hati yang polos, secara terus terang mengajukan pertanyaan kepada
sang isteri, mungkin keadaannya akan lebih baik. Tapi ia adalah seorang jantan
sejati, apa yang tidak mau dikatakan oleh orang lain, ia tidak membikin
paksaan.
Tapi, apapun yang terjadi,
tidak seharusnya sang isteri membekukan dan menutup cerita selama perpisahan
itu. Mengapa Sim Pek Kun tidak bercerita, apa yang tersembunyi dibalik batu ?
Lian Seng Pek berusaha menekan
gejolak hatinya, berusaha untuk mempercayai dan kesucian sang isteri.
Tapi Lian Seng Pek tidak
berhasil menekan kekuasaan itu.
Dipermukaan wajahnya,
seolah-olah Lian Seng Pek percaya dan yakin akan kesucian isterinya. Tetapi
didalam hati, tidak bisa hal itu terjadi.
Terbayang kembali wajah Sim
Pek Kun, terbayang kembali wajah yang penuh misteri itu, manakala ia menyebut
nama Siauw Cap-it-long.
Baru pertama kali, Lian Seng
Pek menaruh curiga, ia curiga bahwa hubungan suami isteri itu sudah mulai
retak.
Apa yang menyebabkan hal itu
bisa terjadi? Mengapa ia tidak mau menyelami hati sang isteri ?
Musim semi berlalu, daun
berguguran. malam semakin gelap.
Tiba-tiba, Lian Seng Pek yang
duduk diatas batu luar, bisa menyaksikan satu bayangan tampil jelas, itulah
bayangan Thio Bu Kek, To Siao Thian, Hay-leng-cu dan Lie Kang.
Keempat orang itu mengenakan
pakaian ringkas, pakaian yang siap sedia untuk melakukan
pertempuran-pertempuran, diwaktu malam.
Lian Seng Pek bisa melihat
adanya keempat bayangan, dan keempat orang itu juga mendatangi kearah Lian Seng
Pek. Adanya Lian Seng Pek yang duduk diatas batu seorang diri membuat mereka
ragu-ragu, memandangnya sebentar, dan hendak menguji keberanian jago itu.
Thio Bu Kek adalah orang yang
berjalan di paling depan, ia memaksakan bertanya dan tertawa :
“Lian kongcu belum masuk tidur
?”
Biasanya, Thio Bu Kek
memanggil Lian Seng Pek dengan panggilan Saudara, tiba-tiba saja ia mengubah
panggilan itu dengan sebutan kongcu, inilah suatu tanda bahwa ia mulai menaruh
sedikit gap perpisahan, maka lebih hati-hati.
Lian Seng Pek tertawa tawar, Ia
berkata :
“Kalian juga belum tidur.”
Tertawa Thio Bu Kek semakin
dipaksakan, ia berkata :
“Kami.....kami mempunyai
sedikit urusan. Hendak keluar sebentar.”
Lian Seng Pek menganggukkan
kepala. Ia berkata :
“Aku tahu.”
Sepasang sinar mata Thio Bu
Kek bercahaya, berkilat dan ia bertanya :
“Lian kongcu sudah tahu, apa
yang hendak kami kerjakan?”
Lian Seng Pek tidak bisa
menjawab pertanyaan itu, berpikir beberapa waktu, perlahan-lahan ia
menggelengkan kepala. “Belum tahu.” katanya.
Thio Bu Kek tertawa ringan, ia
berkata :
“Tepat! Ada beberapa bagian
lebih baik Lian kongcu tidak tahu !”
Dan disaat ini, terdengar
ringkikan ringkikan suara kuda. Ternyata orang itu hendak melakukan perjalanan
yang jauh, membikin persiapan penunggangan kuda.
Tiba-tiba Hay-leng-cu berkata
:
“Lian kongcu apa tidak hendak
turut bersama-sama kami ?”
Lian Seng Pek membeku,
akhirnya ia berkata : “Ada beberapa urusan, lebih baik, tanpa hadirnya diriku.”
Maka keempat jago itupun
meninggalkan Lian Seng Pek. Mereka adalah jago-jago kelas satu, gerak geriknya
cepat dan cekatan, tentu saja tidak menimbulkan banyak suara berisik.
Suara Hay-leng-cu, Thio Bu
Kek, To Siao Thian dan Lie Kang tidak bersuara, tapi sesudah mereka hendak
menunggang kuda, binatang itu bisa menimbulkan suara ringkikan dan ketoprakan,
tidak bisa ditutupi.
Untuk menutupi suara
ketoprakan kaki kuda, keempat orang itu menuntun masing-masing tunggangannya
sehingga jauh, baru mencongklangkan, dan dikaburkan keras.
Demikianlah, suara ketoprakan
kaki kuda tidak begitu mengejutkan.
Urusan rahasia apakah yang
membuat cara-cara orang itu menyembunyikan desiran suara ?
Tentu urusan yang sangat
penting dan tidak boleh diketahui orang.
Pikiran Lian Seng Pek sangat
tajam. Ia tidak berkata, tapi hatinya bisa menduga.
Ia masih duduk diatas batu
yang dingin, menenangkan gejolak hatinya. Beberapa saat lagi dilewatkan,
perlahan-lahan ia bangkit berdiri, dan perlahan-lahan pula mengayun langkahnya.
Lampu pelita kamar bagian
timur masih belum dipadamkan, itulah suatu tanda disana orangnya masih belum
tidur.
Lian Seng Pek mengayun kaki,
menghampiri kamar itu.
Pintu tidak terkunci, dengan
mudah Lian Seng Pek melangkahkan kaki memasuki kamar tersebut.
Dalam kamar itu, Suto Tiong
Peng sedang bercuci tangan. Dicuci lagi dan dicuci lagi, mengulang terus
kejadian itu sehingga beberapa kali. Mencucinya sangat berhati-hati, sehingga
lebih dari pada bersih. Seolah-olah kedua tangan itu dikotori oleh darah amis,
darah yang tidak bisa dicuci dengan air biasa.
Lian Seng Pek berdiri
dibelakang Suto Tiong Pek. Memperhatikan Suto Tiong Pek mencuci tangan itu.
Tanpa menolehkan kepala
kebelakang, Suto Tiong Peng bisa mengetahui, siapa orang yang berada dibelakang
dirinya. Tiba-tiba pula ia berkata :
“Sudah melihat mereka?”
“Ng …” Lian Seng Pek
mengeluarkan suara geraman.
“Tentunya bisa menduga,”
berkata Suto Tiong Peng. “Apa yang hendak mereka kerjakan?”
Kali ini, Lian Seng Pek tidak
menyahut, menutup rapat mulutnya. Menolak memberikan jawaban.
Suto Tiong Peng menghela napas
panjang, ia berkata:
“Pasti! Sudah pasti kau bisa
menduga, apa yang mereka akan kerjakan. Betapa hebat ilmu kepandaian Siauw
Cap-it-long, betapa kuat Siauw Cap-it-long, mereka akan berusaha membunuhnya.
Kematian Siauw Cap-it-long adalah sesuatu yang menyenangkan, hidupnya Siauw
Cap-it-long adalah kerewelan bagi mereka. Karena itulah, mereka akan berusaha
menyingkirkan Siauw Cap-it-long dari bumi kita.”
Lian Seng Pek tertawa nyengir,
ia bertanya:
“Bagaimana kesan pendapatmu,
kau juga mempunyai penilaian seperti mereka.”
“Aku?????? …” Suto Tiong Peng
tertawa tawar.
Lian Seng Pek berkata:
“Kalau bukan kau yang mengorek
jejak Siauw Cap-it-long, mana mungkin mereka tahu, dimana Siauw Cap-it-long
berada?”
Tiba-tiba saja Suto Tiong Peng
menghentikan tangannya, mengambil lap untuk mengeringkan air ditangan itu
menggosok-gosoknya perlahan dan berkata:
“Tapi tidak kuucapkan sesuatu
kepada mereka.”
Lian Seng Pek berkata:
“Tentu saja tidak perlu
menggunakan mulutmu, karena disaat kau mengorek keterangan, sengaja menahan Lie
Kang. Itu sudah cukup, kau tahu, dendam besar Lie Kang kepada Siauw
Cap-it-long.”
Suto Tiong Peng berkata:
“Tapi aku tidak menyertai
mereka.”
Lian Seng Pek berkata:
“Tentu saja, sebagai pemimpin
dari tujuh puluh dua perusahaan piauw-kiok, kau harus berhati-hati.”
“Membunuh Siauw Cap-it-long
adalah sesuatu yang bisa mendapatkan nama. Menyingkirkan manusia jahat dari
rimba persilatan Mengapa harus takut?”
Lian Seng Pek berkata: “Kukira
kau tidak mau dicela oleh Sim Pek Kun. Mungkin juga takut menjadi tertawaan orang,
kalau betul Siauw Cap-it-long terfitnah. Apa yang bisa kau
pertanggung-jawabkan?”
Baru sekarang Suto Tiong Peng
menolehkan kepala kebelakang, kini berpandang-pandangan bersama Lian Seng Pek.
Menatapnya tajam-tajam dan berkata:
“Bagaimana dengan pikiranmu?”
“Aku? …” Lian Seng Pek tidak
menjawab pertanyaan itu.
Suto Tiong Peng berkata:
“Kau tahu bahwa aku sengaja
meminta keterangan Siauw Cap-it-long, kau tahu apa yang akan mereka kerjakan,
kau sudah tahu, maksud tujuan kami. Tapi kau tidak mencegahnya, kau tidak
memberi tahu dan memberi peringatan kepada isterimu. Apa alasannya?”
Lian Seng Pek diam, tidak
bicara.
Suto Tiong Peng tertawa,
dengan rasa puas dan bangga ia berkata:
“Kau tidak turut serta dalam
gerakan mereka, karena kau tahu, bahwa Siauw Cap-it-long itu sudah berada
didalam keadaan mabuk, pasti mereka berhasil, pasti mereka bisa menyingkirkan
Siauw Cap-it-long, karena ini, kau tidak mau mengotori tanganmu sendiri. Sebetulnya,
kau juga salah seorang yang mempunyai pikiran untuk menghancurkan Siauw
Cap-it-long. Seharusnya pikiranmu ini lebih kuat, dan lebih hebat dari pada apa
yang kita pikirkan …”
Berkata sampai disini mata
Suto Tiong Peng terbelalak, menutup mulutnya. Memperlihatkan sikapnya yang
tegang.
Tentu ada sesuatu yang
terjadi, Lian Seng Pek membalikkan kepala menoleh kebelakang.
“Aaaa …” Entah kapan
kedatangannya, Sim Pek Kun sudah berdiri dipintu.
Lian Seng Pek dan Suto Tiong
Peng menghentikan percakapan mereka. Karena hadirnya Sim Pek Kun ditempat itu.
Sim Pek Kun berdiri dengan air
mata bercucuran, ia bisa mengikuti percakapan dari sang suami dan Suto Tiong
Peng. Ternyata mereka adalah komplotan yang hendak menyingkirkan Siauw
Cap-it-long dari permukaan bumi. Hatinya sangat bersedih.
Untuk mengatasi kesulitan ini,
Lian Seng Pek menghela napas perlahan, dengan suara yang merdu, semerdu
mungkin, suara yang semesra mungkin, ia berkata:
“Sudah waktunya kau tidur …”
Lian Seng Pek mendekati sang
isteri, dengan maksud membimbing dan mengantarkan Sim Pek Kun pergi tidur.
Tapi gerakan Sim Pek Kun
mengimbangi langkah-langkah sang suami, ia mundur. Bila Lian Seng Pek maju dua
tapak, ia mundur pula dua tapak. Ia mempertahankan jarak pemisah mereka.
Lian Seng Pek masih mencoba
memberi hiburan, ia berkata dengan suara yang sangat merdu:
“Angin malam sangat jahat,
kalau kau mau jalan2, seharusnya menggunakan pakaian yang lebih tebal.”
Lian Seng Pek mendekati isteri
itu lagi.
Tiba-tiba Sim Pek Kun
mengeluarkan jerit lengkingannya yang panjang:
“Jangan dekati aku!”
Lian Seng Pek menghentikan
langkahnya.
Sim Pek Kun masih mengucurkan
air mata, ia mengertak gigi, hatinya seperti ditusuk beribu-ribu pisau, dengan
suara sember ia berkata:
“Baru saat ini aku betul2 bisa
menyelami hati kalian, hati para pendekar, para jago gagah perkasa yang begitu
jahat …”
Tanpa mengucapkan suara lagi,
Sim Pek Kun membalikkan badan, menerjang keluar. Ia berlari meninggalkan Lian
Seng Pek yang termangu-mangu.
Kini Sim Pek Kun mengetahui,
bahaya apa yang sedang mengancam Siauw Cap-it-long. Melupakan hawa udara yang
sangat dingin, ia berlari cepat.
Bayangan Sim Pek Kun berlari
menyusul angin.
Dan angin itupun lewat lalu.
Menyusul angin yang lalu, kita
tinggalkan gerakan Sim Pek Kun. Dan kembali menceritakan keadaan Siauw
Cap-it-long.
Siauw Cap-it-long betul-betul
sudah berada didalam keadaan mabuk. Seorang yang mendapatkan dirinya berada
dalam keadaan mabuk, maka lenyaplah semua sengsara-sengsara kehidupan, ia tidak
sakit, tidak bergembira, melupakan godaan sang dunia.
Seorang yang sudah berada
dalam keadaan mabuk, tidak tahu apa yang harus dikatakan olehnya. Juga tidak
tahu, apa yang akan dilakukan olehnya.
Tapi seorang yang mabuk bisa
melakukan sesuatu hal yang belum pernah dilakukan pada masa segarnya.
Siauw Cap-it-long bermabuk-mabukan,
karena ditinggalkan oleh Sim Pek Kun. Urusan Sim Pek Kun menyusahkan Siauw
Cap-it-long. Belum pernah ia mendapatkan urusan perkara yang sesulit ini. Belum
pernah ada sesuatu yang tidak bisa diselesaikan oleh Siauw Cap-it-long. Kecuali
hubungannya dengan Sim Pek Kun.
Tiba-tiba saja Siauw
Cap-it-long terjengkit, ia menuju kearah ruang meja pemilik rumah makan,
ditariknya leher baju orang itu dan membentak:
“Keluarkan!”
Si pemilik rumah makan hendak
berontak tapi tidak berhasil, wajahnya menjadi pucat-pasi, mengkerutkan alisnya
ia bertanya:
“Apa yang harus diserahkan?”
Siauw Cap-it-long berkata:
“Tusuk konde kumala itu, tusuk
konde kumala …”
Seseorang akan lebih takut,
menghadapi orang yang berada dalam keadaan mabuk. Demikian pula pemilik rumah
makan itu, ia menjadi begitu takutnya, tubuhnya dirasakan menjadi lemas.
Siauw Cap-it-long menarik
kembali tusuk konde yang menjadi hak milik Sim Pek Kun, melepaskan pegangannya,
meninggalkan meja si pemilik rumah penginapan.
Baru saja berjalan beberapa
langkah, kakinya dirasakan teklok, ketepruk, gedubrak … tubuh Siauw Cap-it-long
duduk jatuh ngusruk, dengan tangan masih memegangi tusuk konde.
Siauw Cap-it-long tidak
berusaha bangun, ia duduk dilantai, mengacungkan tusuk konde, menatapnya,
seperti hendak meneliti atau mengilmiah sesuatu yang luar biasa.
Apa yang hendak diteliti dari
tusuk konde itu?
Disana terbayang wajah Sim Pek
Kun. Wajah itu semakin lama semakin membesar, wajah dari wanita yang mendapat
gelar ratu dunia persilatan.
Gerak-gerik Sim Pek Kun, wajah
Sim Pek Kun, pandangan mata Sim Pek Kun, mulutnya yang membentak marah, dan
terakhir senyum Sim Pek Kun yang riang.
Mengapa ia tidak bisa
melupakan wajah wanita itu?
Pemilik rumah makan bisa
menduga, apa yang menjadikan mabuknya Siauw Cap-it-long. Ia berpikir: “Pasangan
tadi adalah pasangan yang setimpal, mengapa mereka harus berpisahan?”
Akhirnya Siauw Cap-it-long
menelungkupkan diri ditanah, ia menangis seperti seorang anak kecil.
Hati si pemilik rumah
penginapan juga turut bersedih, ia berpikir lagi.
“Apa rasanya nona tadi, kalau
ia menyaksikan kejadian yang seperti ini?”
Pemilik rumah makan itu
bersyukur kepada dirinya, bersyukur, karena ia belum mengalami patah hati.
Siauw Cap-it-long masih
tengkurap ditanah, ia masih menangis, menangis dalam keadaan yang mabok.
Tiba2, rumah makan itu
didatangi oleh beberapa orang, suara derap kaki kuda berhenti didepan pintu,
dan sesudah itu masuk tiga bayangan, dor, dor, dor, dor, tiga bayangan itu
menendangkan kakinya kepintu, membuat benturan yang hebat.
Tiga orang mengurung Siauw
Cap-it-long yang tengkurap ditanah. Seorang berdiri dipintu. Dengan pedang yang
mengeluarkan cahaya hijau kemilauan wajahnya lebih hijau lagi, sangat dingin.
Inilah jago Lam-hay nomor satu Hay-leng-cu.
Dikiri dan kanan Siauw
Cap-it-long masing-masing berdiri Thio Bu Kek dan To Siau Thian.
Ketiga jago kelas satu itu
mengurung Siauw Cap-it-long.
Prasangka Siauw Cap-it-long
sudah menjadi kebal. Kini ia duduk ditanah, dengan tangan kanan mengacungkan
tusuk konde. Ditatapnya lagi benda tersebut, mulutnya bergumam perlahan:
“Sim Pek Kun … Sim Pek Kun …”
Betul-betul Siauw Cap-it-long
sudah berada didalam keadaan mabok.
PERTEMPURAN GILA DIDALAM RUMAH
MAKAN
THIO BU KEK memancarkan sinar
mata yang tajam, ia menganggukkkan kepala dan berkata perlahan:
“Tidak sangka, jago berandalan
Siauw Cap-it-long berani mengganggu istri orang lain.”
Lain bayangan lagi muncul,
inilah bayangan Lie Kang. Dengan dingin Lie Kang berkata:
“Pantas saja Sim Pek Kun
membela dirinya. Ternyata …”
Tiba2 mata Siauw Cap-it-long
diangkat, memandang kearah Lie Kang, disebutnya nama Sim Pek Kun dari mulut
orang lain adalah satu pantangan, inilah yang bisa menutup perasaannya.
Sepasang sinar mata Siauw
Cap-it-long diarahkan kepada Lie Kang, memancarkan cahaya penuh hawa
pembunuhan.
Lie Kang mengundurkan
tubuhnya, ia menjadi gemetaran.
Sebetulnya, Siauw Cap-it-long
tidak bisa melihat dan tidak bisa membedakan, apa yang berdiri didepannya,
siapa-siapa orang yang mengurungnya itu. Tapi sepasang mata itu masih
menjulurkan keganasan.
Tidak terasa Lie Kang mundur
kebelakang.
Tiba2 terdengar suara bentakan
Hay-leng-cu:
“Sergap! Jangan biarkan ia
sadarkan diri.”
Mendahului komando itu,
Hay-leng-cu mengayun pedang, secepat pedang berkilat, ujung diarahkan kearah
tenggorokan Siauw Cap-it-long. Mungkin saja kalau Siauw Cap-it-long tidak
mengetahui datangnya serangan ini. Tapi konsentrasi ilmu silatnya selama dua puluh
tahun, belum pernah membuat Siauw Cap-it-long mengalami kegagalan, daya
tangkapnya masih hebat, sukmanya adalah sukma seorang jago silat, begitu tangan
terayun, ia mementil pergi pedang yang ditujukan kearahnya.
“Ting …” Dengan tusuk konde
mas yang berada ditangan, Siauw Cap-it-long menangkis serangan Hay-leng-cu.
Inilah kejadian yang berada
diluar dugaan, seorang jago silat ternama dari daerah Lam-hay, serangan padanya
bisa digagalkan oleh sentilan tusuk konde yang begitu kecil.
Sentakan itu sangat keras,
hampir Hay-leng-cu melepaskan pegangan pedangnya.
Wajah Thio Bu Kek berubah.
Sedari ia mendapatkan kedudukannya sebagai ketua partai Sian-thian-bu-tek, ilmu
kepandaiannya telah mengalami kemajuan yang hebat. Ia sangat congkak dan
sombong, kemana saja ia pergi, belum pernah ia membawa senjata tajam, belum
pernah ia menggunakan senjata melawan orang, hari ini terkecuali, kekuatan
Siauw Cap-it-long telah mengejutkan dirinya, pedang lemas yang terikat
dipinggang diloloskan, miring-miring mengacam kearah Siauw Cap-it-long. Memberi
ancaman yang hebat.
Ilmu kepandaian Thio Bu Kek
mengutamakan ketenangan yang menguasai gerakan, ketenangan yang menekan
kesusahan. Dengan kecepatan mengalahkan kelambatan.
Serangan pedang lemas Thio Bu
Kek, meluncur kearah Siauw Cap-it-long.
Disaat ini terdengar satu
suara lain, “tring …” sebuah cangklong panjang telah mendahului gerakan pedang
lemas Thio Bu Kek, meluncur kearah kaki Siauw Cap-it-long. Inilah serangan senjata
cangklong To Siao Thian.
Biasanya, To Siao Thian
melakukan sesuatu dengan ayal-ayalan, tampaknya seperti orang tolol, tapi,
begitu cangklong bergerak, cepat, tepat dan gesit.
Thio Bu Kek membawakan
sikapnya yang agung, ia tidak segera mengambil alih posisi itu, melihat adanya
To Siao Thian yang bergerak lebih cepat, ia menyentak sedikit tangannya, dari
sana pedang lemas itu miring kebelakang mengancam jalan pembuluh darah dipundak
belakang Siauw Cap-it-long. Kalau saja serangan ini berhasil, huh! Hem … pasti
terjadi pengorbanan, darah Siauw Cap-it-long bisa mancur tersembur jauh. Tidak
mungkin bisa ditolong lagi.
Thio Bu Kek dan To Siao Thian
sudah mulai bergerak. Hay-leng-cu membenarkan napasnya yang sengal2, mengayun
pedang limbung juga.
Permainan pedang Hay-leng-cu
adalah pedang yang terganas, kalau saja ia tidak bergerak, masih tidak melihat
keistimewaan itu. Kegesitannya tanpa tandingan, kini menuju kearah leher Siauw
Cap-it-long.
Sedari adanya nama Siauw
Cap-it-long, belum pernah ada seorang jago silat yang bisa mengalahkan, karena
itu Siauw Cap-it-long sudah menjadi tokoh silat yang digembar-gemborkan orang.
Siapa saja yang bisa mengalahkan Siauw Cap-it-long, namanya cepat meningkat.
Apalagi bisa membunuh Siauw Cap-it-long, inilah suatu kejadian yang berada
diluar dugaan, pasti bisa menduduki urutan tertinggi.
Bagian 9 Selesai