Anak Harimau Bagian 14

Baca Cersil Mandarin Online: Anak Harimau Bagian 14

Bagian 14

"Boanpwe Lan See-giok menyampaikan salam untuk locianpwe"

Seraya berkata dia lantas jatuhkan diri berlutut dan memberi hormat...

Kakek berjubah kuning itu mengangkat kepalanya dan tertawa terbahak bahak, suaranya nyaring bagaikan pekikan burung hong, nadanya penuh kegembiraan. Kemu-dian dengan suara lembut dia ber-kata:

"Nak, waktu yang tersedia bagi kita tidak banyak, ayo cepat bangun dan duduk. kita harus berbicara banyak."

SAMBIL berkata dia lantas membangun-kan pemuda tersebut dari atas tanah.

Lan See giok mengiakan dengan hormat, setelah memandang sekejap sekeliling tempat itu, dijumpainya bukit itu sangat datar, rum-put tumbuh amat subur, puluhan kaki di seputar sana tidak dijumpai pepohonan pinus ataupun bambu, juga tiada batuan cadas.

Boleh dibilang tempat semacam ini me-ru-pakan sebuah tempat yang ideal sekali untuk bercakap-cakap.

Dengan kepandaian maha sakti yang di miliki kakek berjubah kuning itu, jatuhnya bunga atau daun pada jarak sepuluh kaki di seputar sana pun bisa ditangkap olehnya dengan nyata, jelas tak mungkin ada orang yang bisa menyadap pembicaraan mereka tanpa ketahuan jejaknya.

Mereka berduapun duduk di atas tanah berumput, tanah yang amat lembut bagai-kan busa.

Kemudian kakek berjubah kuning itu ber-tanya dengan ramah:

"Nak, tidakkah kau merasa keheranan, mengapa aku datang mencarimu malam-malam begini?"

Lan See giok memang berperasaan demikian, maka dia mengiakan dengan hor-mat.

Kakek berjubah kuning itu kembali ter-tawa terbahak bahak.

"Haaahhh--- haaahhh... haaahhh, terus terang kukatakan kepadamu nak, sejak aku masuk ke dalam benteng Wi-lim-poo, selama ini aku, tak pernah meninggalkan Oh Tin san, oleh sebab itu mereka dapat menemu-kan kau, akupun dapat pula me-nemukan dirimu- -"

"Locianpwe" tanya Lan See giok tidak habis mengerti, "dari mana Oh Tin san bisa me-ngetahui tempat tinggal dari bibi Wan---?"

"Kalau dibicarakan sebenarnya hanya seca-ra kebetulan saja, ketika Oh Tin san suami istri kembali ke benteng, Oh Li cu menangis sambil mengadukan peristiwa lenyapnya kau kepada orang tua mereka. Say nyoo-hui segera menuduh kau berusaha melarikan diri, tapi Oh Li-cu berusaha-keras membe-laimu."

Berbicara sampai di situ ia berhenti seje-nak seakan akan sedang memikirkan se-suatu lalu dengan tidak mengerti ia ber-tanya.

"Pernahkah kau bercerita kepada Oh Tin san bahwa bibi Wan mu mempunyai seorang putri berusia enam tujuh belas tahunan?"

Mendengar pertanyaan itu Lan See giok segera menjadi menyesal sekali, dia manggut-manggut.

Kakek berjubah kuning itupun melanjut-kan kembali ceritanya.

"Tatkala Oh Li cu bercerita ada seorang gadis berbaju kuning yang berusia enam tu-juh belas tahunan menunjukkan perubahan wajah dan nampak amat sedih sekali setelah bertemu kau, Oh Tin san segera menaruh curiga kalau rumah ini bisa jadi adalah tem-pat kediaman bibi Wan mu, akhirnya mereka putuskan untuk melakukan penyelidikan, ketika mereka ketahui bibi Wan mu ternyata adalah Hu-yong siancu Han Sin -wan yang sudah lama mengasingkan diri, maka semua duduknya persoalanpun menjadi jelas."

Lan See giok pernah menaruh curiga, kepergian Oh Tin san ditengah malam buta tanpa pamit tempo hari adalah untuk pergi mencari bibi Wan nya, maka kembali ia ber-tanya:

"Tahukah locianpwe, apa sebabnya Oh Tin san suami istri meninggalkan rumah secara tergesa gesa ditengah malam buta?"

"Walaupun Oh Tin san orangnya buas dan kejam, namun ia tak bisa menguasai diri bila menghadapi suatu persoalan, malam berse-lang kalian membicarakan lagi soal kotak kecil itu- -"

Mendengar sampai disini, Lan See giok pun menjadi paham kembali, tanpa terasa seru-nya cemas.

"Anak Giok tahu sekarang, orang berdiri di luar jendela semalam itu adalah locianpwe?"

Sambil tertawa ramah kakek berjubah kuning itu manggut-manggut.

"Nak, seharusnya kau bisa menduga akan diriku, Di dalam benteng Wi-lim-poo banyak terdapat kapal perang yang berlabuh, di luar dikelilingi telaga yang luas, penjagaan dan pengintaian tersebar di mana-mana, memang tidak gampang bagi orang luar untuk me-n-yelundup masuk, untung saja penjagaan di dalam benteng tidak ketat sehingga banyak memberi keleluasaan bagiku..."

Lan See giok segera teringat akan sesuatu rahasia yang tidak diketahui olehnya, dengan nada tak mengerti kembali dia bertanya:

"Tahukah locianpwe di dalam gedung bagian pusat benteng Wi-lim-poo kenapa ti-dak diberi penjagaan?"

Kembali kakek berjubah kuning itu ter-menung sebentar, lalu sahutnya:

"Oh Tin-san adalah seorang manusia yang gampang menaruh curiga, bisa jadi dia me-nganggap penjagaan di luar benteng-nya su-dah sekokoh dinding baja lantai tembaga dan mustahil ada orang menyusup ke dalam, maka kuatir rahasia pribadi dalam ru-angannya ketahuan orang lain, maka dia sengaja tidak mengatur penjagaan di seputar sana, hal ini bisa dibuktikan pula dengan tiadanya orang yang berdiam di seputar situ."

Tergerak hati Lan See giok setelah men-dengar perkataan tersebut, seakan akan me-mahami sesuatu, dia bertanya kembali.

"Locianpwe bilang malam berselang kau berdiri di luar jendela, kemudian Oh Tin san ke luar dari ruangan setelah mendengar suara, tapi nyatanya tidak ditemukan seso-sok bayangan manusiapun, waktu itu apakah locianpwe sudah masuk ke ruang belakang?"

Kakek berjubah kuning itu tertawa terba-hak bahak:

"Haah . . haah . . haaahhh . . . justru keba-likannya, aku cuma bersembunyi di bawah lantai batu di depan jendela pagoda air, se-waktu kau ke luar dari jendela, asal kau tun-dukkan kepalamu, niscaya akan kau jumpai jejakku. tapi kenyataannya kalian semua malah naik ke atap rumah."

Mendengar penjelasan tersebut, diam-diam Lan See giok memuji akan keberanian kakek berjubah kuning tersebut, dia merasa tinda-kan semacam ini sungguh kelewat me-nye-rempet bahaya.

Terdengar kakek berjubah kuning itu melanjutkan kembali ceritanya:

"Waktu itu Oh Tin san pun berpendapat akulah yang telah menyadap pembicaraan tentang rahasia kotak kecil tersebut, karena nya ia menjadi gugup dan ketakutan. akhirnya diputuskan untuk berangkat pada malam itu juga mencari si naga sakti pemba-lik sungai dan menjelaskan masalah kotak kecil itu kepadaku..."

"Tapi locianpwe toh tidak berada di kam-pung nelayan itu..." tukas Lan See giok kuatir.

Kakek berjubah kuning itu tertawa ramah.

"Sekalipun aku berada di situpun, si naga sakti pembalik sungai akan mengatakan aku telah pergi!"

Lan See giok semakin tidak mengerti, baru saja dia hendak minta penjelasan lebih jauh, dari kejauhan sana kedengaran suara ayam jago mulai berkokok---

Kakek berjubah kuning itu segera me-rasa waktu sudah siang, setelah memandang se-kejap keadaan langit, diapun berkata.

"Nak. sekarang sudah mendekati kento-ngan ke lima, kau harus kembali se-belum fajar menyingsing kalau tidak, bibi Wan mu pasti akan sangat gelisah dan tidak tenang, apakah kau masih ada urusan lain yang hendak ditanyakan kepadaku?"

Menghadapi pertanyaan tersebut, Lan See giok menjadi sangsi, karena pertanyaan yang akan diajukan kelewat banyak, sehingga untuk sesaat dia tak tahu pertanyaan mana-kah yang hendak diajukan lebih dahulu---

Tampaknya kakek berjubah kuning itu bisa menduga jalan pemikiran Lan See giok, maka dia berkata kemudian.



"Sekarang, apakah kau sudah memahami sebab musabab yang mengakibatkan kema-tian ayahmu?"

Lan See giok mengangguk, katanya dengan perasaan sedih.

"Hanya sampai kini anak Giok belum me-ngetahui siapakah pembunuh sebenarnya dari ayahku."

Sambil mengelus jenggotnya dan terme-nung sejenak, kakek berjubah kuning itu berkata kemudian.

"Kalau ditinjau dari segi-segi yang ada sekarang, kelima manusia cacad itu sama-sama mencurigakan, kita harus menyelidiki secara seksama lebih dulu sebelum bisa me-nentukan siapakah pembunuh yang sebenar-nya.

Teringat akan julukan-julukan yang isti-mewa dari kelima manusia cacad itu, Lan See giok segera memohon:

"Dapatkah locianpwe menjelaskan asa1 usul dari kelima manusia cacad dari tiga te-laga itu? Mengapa kelima orang itu sama-sama memiliki julukan yang mengandung kata "tunggal"? Darimana mereka bisa tahu kalau ayahku berdiam di kuburan kuno serta apa sebabnya ke lima manusia cacad yang berdiam di pelbagai wilayah bisa berkumpul di tempat yang sama pada malam yang sama-"

'Tidak sampai Lan See giok menyelesaikan kata katanya. kakek berjubah kuning itu te-lah menggoyangkan tangannya men-cegah pemuda itu melanjutkan kembali kata kata-nya, dia menimbrung.

"Pertanyaan mu yang beruntun tersebut bila kujawab dengan memerlukan waktu yang amat panjang, mustahil semua masalah bisa dijelaskan dalam waktu singkat, sekarang aku hanya bisa memberitahukan kepadamu, sebenarnya julukan semula dari ke lima orang tersebut tidak disertai kata "tunggal", pada mulanya mereka pun bukan manusia yang cacad telinga, mata atau kaki, sedang soal dari mana mereka bisa tahu ayahmu berdiam dalam kuburan kuno itu. hal tersebut baru dapat diketahui setelah kita datangi kelima manusia tersebut, nah hari ini aku hanya bisa menjelaskan sampai di sini, lain kali tentu akan kujelaskan lebih jauh!

Selesai berkata diapun beranjak siap-siap meninggalkan tempat tersebut.

Lan See giok memandang sekejapb ke ufuk timur jdi mana matahargi telah memancabrkan sinarnya yang keemas emasan, dia tahu kakek berjubah kuning itu hendak pergi se-belum fajar menyingsing.

Buru-buru ia bertanya lagi:

"Locianpwe, tahukah kau darimana ayahku bisa mendapatkan kotak kecil itu?"

"Dia mendapatkan secara kebetulan di bawah Giok li hong bukit Hoa san."

Lan See giok ingin sekali mempelajari ilmu silat maha sakti yang tercantum dalam cinkeng itu, maka kembali die bertanya.

"Konon tiga lembar daun emas yang berada dalam kotak kecil itu berisikan se-macam ki-tab pusaka ilmu silat yang memuat kepan-daian silat maha sakti, benarkah perkataan tersebut?"

Tanpa ragu barang sedikit pun jua kakek berjubah kuning itu mengangguk.

"Benar, cuma orang yang tidak mengetahui rahasianya, meskipun mendapatkan pusaka tersebut pun sama artinya dengan men-da-patkan benda rongsokan."

Sekali lagi tergerak hati Lan See giok, sela-nya.

"Pernah locianpwe membaca isi kitab tersebut?"

Kakek berjubah kuning itu segera mem-perlihatkan paras serba salah, katanya ke-mudian.

"Meskipun aku tahu bagaimana cara mem-bacanya, tapi hanya aku seorang diri tak mungkin bisa membacanya"

Lan See giok sangat tidak mengerti atas perkataan itu, keningnya berkerut, kemudian tanyanya bimbang:

"Kalau toh locianpwe sudah mengetahui cara untuk membaca rahasia kepandaian si-lat tersebut mengapa kau tidak membaca nya seorang diri?"

Kakek berjubah kuning itu memandang sekejap kearah Lan See giok, lalu tertawa pe-nuh arti.

"Untuk membaca isi kitab pusaka ter-sebut, harus ada seorang yang bertenaga dalam sempurna menggenggam daun emas tadi ke-mudian mengerahkan segenap tenaga dalam yang dimilikinya ke dalam daun emas tadi sedang si pembaca harus berlutut di hada-pannya sambil baca, cuma orang inipun ha-rus memiliki bakat yang sangat bagus dan memiliki daya ingat yang tajam, dengan be-gitu kepandaian tersebut biru dapat di-kuasai olehnya.

Menjadi termangu Lan See giok bsehabis mendengjar perkataan itgu, lama kemudiabn ia baru bertanya:

"Locianpwe siapakah yang memiliki tenaga dalam sedemikian sempurnanya se-hingga dapat memaksa daun emas tersebut mem-perlihatkan catatannya?"

Hanya si pemilik semula dari kotak ter-se-but" jawab kakek berjubah kuning itu tanpa ragu.

Lan See giok menjadi amat gembira, ta-nya-nya cepat:

"Locianpwe, anak Giok tidak becus tapi percaya memiliki daya ingat yang cukup baik, dimanakah pemilik kotak tersebut sekarang? Dapatkah anak Giok pergi men-carinya de-ngan membawa kotak kecil ter-sebut?"

"Menurut apa yang kuketahui, orang itu berdiam di bawah kaki puncak giok Ii hong di bukit Hoa san, kaki bukit yang mana tidak kuketahui, tapi menurut cerita orang, banyak yang ingin me-nyambanginya tapi sebagian besar harus pulang dengan kecewa, tapi ada pula yang memasuki lembah tersebut sambil menyebutkan namanya serta berhasil men-jumpai wajah asli orang tersebut. Tentang apakah kau berhasil menjumpainya, hal ini tergantung papa tekad, kesungguhan mu serta rejekimu...

Walaupun Lan See giok merasa sulit tapi ia bersedia untuk mencobanya, dengan cepat ia bertanya;

"Locianpwe, siapakah tokoh sakti terse-but?"

Kakek berjubah kuning itu termenung se-jenak. kemudian dengan nada tidak pasti katanya.

"Konon orang itu bernama To seng-cu!"

Gemetar keras sekujur badan Lan See -giok, paras mukanya berubah hebat, serunya tanpa sadar.

"To . . to. . . to-seng cu? Dia. . . diapun me-makai gelar kata "tunggal" . . ?" ,

Tanpa terasa dia menjadi terbayang kem-bali keadaan ayahnya yang terkapar di atas genangan darah, waktu itu tangan kanannya dengan menggunakan sisa tenaga yang dimi-likinya hanya sempat mengukir kata.

"To" atau tunggal di atas tanah...

Satu ingatan segera melintas dalam benak nya. Jangan-jangan orang yang membunuh ayahnya adalah To seng cu ini?

Siapa tahu To sreng cu menaruh zdendam kepada wayahnya karena rkotak kecil tersebut tidak dikembalikan kepadanya, maka se-telah menelusuri jejak ayahnya selama banyak ta-hun, akhirnya tempat kediaman ayahnya ditemukan?

Semakin dipikir Lan See giok merasa se-makin masuk diakal, sebab hanya manusia berkepandaian sangat lihay seperti To seng cu saja yang mampu menghabisi nyawa ayahnya di dalam sekali pukulan.

Membayangkan kesemuanya ini, berko-barlah api marah dalam dadanya, hawa napsu membunuh pun segera menyelimuti seluruh wajahnya yang tampan.

Sambil mengangkat kepalanya dan mena-tap wajah kakek berjubah kuning itu lekat-lekat, dia bertanya.

"Locianpwe, dengan tenaga dalam yang kau miliki sekarang dapatkah kau menampilkan tulisan di atas daun emas tersebut?"

Kembali kakek berjubah kuning itu menunjukkan sikap serba salah, lama kemu-dian dia baru menjawab:

"Kecuali To seng cu seorang, mungkin dalam dunia persilatan dewasa ini sudah tiada orang kedua yang memiliki tenaga dalam seperti dia lagi."

Kemudian setelah berhenti sejenak dan menghela napas, katanya lebih jauh:

"Terus terang saja anak Giok, aku sudah banyak tahun mencari ayahmu di mana-mana, setiap orang mempunyai kepentingan pribadi masing-masing, tentu saja akupun berharap bisa membawa kotak kecil itu pergi menghadap To seng cu serta menjadi orang yang paling tangguh dalam dunia persilatan. tapi sejak aku bertemu dengan kau dan me-nemukan kau adalah manusia yang berbakat bagus untuk belajar ilmu silat, apalagi jika kau berhasil mempelajari kepandaian sakti dalam pusaka Pwee yap-Cinkeng tersebut sudah pasti kau bisa menjadi tangguh dan keadilan serta kebenaran di dunia ini bisa ditegakkan, itulah sebabnya kuberikan ke-sempatan yang sangat baik ini kepadamu, biarpun aku mengetahui kotak kecil itu di-sembunyikan di bibi Wan mu dikolong ran-jang, tapi aku tidak mengambilnya. Nah anak Giok, semoga kau tidak sampai menyia-nyiakan harapanku!"



Betapa terharunya Lan See giok setelah mendengar perkataan itu, dia semakin me-naruh hormat kepada kakek berjubah kuning itu, katanya dengan hormat:

"Locianpwe tak usah kuatir, anak Giok bertekad tak akan menyia nyiakan harapan kau orang tua, bila aku menyangkal dari ucapanku, biar langit menghukumku!"

Dengan penuh kegembiraan kakek berj-u-bah kuning itu tertawa terbahak bahak, ke-mudian serunya:

"Kau memang anak yang penurut dan bisa diberi pelajaran..."

Setelah mengebaskan ujung bajunya, diapun beranjak pergi meninggalkan tempat tersebut.

Lan See giok tahu bahwa kakek berjubah kuning itu hendak pergi, cepat dia turut melompat bangun sambil berseru dengan cemas.

"Locianpwe, anak giok masih ada satu per-soalan yang tidak mengerti!"

"Bila ada persoalan, katakan saja berterus terang"

`Bila anak Giok berhasil menjumpai To seng cu serta mempelajari kepandaian silat maha sakti yang tercantum dalam kitab pusaka Pwee yap cinkeng tersebut. apakah tenaga dalamku bisa melampaui To seng cu ?

Dengan wajah bersungguh sungguh kakek berjubah kuning itu segera berkata.

"Hal ini tergantung dirimu sendiri, apakah kau berniat sungguh-sungguh serta bersedia tekun mempelajari kepandaian itu, jika kau rajin berlatih, sekalipun To seng cu terhitung jagoan nomor satu dikolong langit dewasa ini, mungkin kemampuannya waktu itu masih di bawah kemampuanmu"

Mendengar sampai di sini, Lan See giok segera menjatuhkan diri berlutut di atas tanah, lalu katanya dengan hormat.

"Harap locianpwe suka menjaga diri baik-baik, anak Giok akan pergi dulu, bila aku su-dah kembali dengan belajar ilmu, pasti akan kubalas budi kebaikan dari kau orang tua!"

Kembali kakek berjubah kuning itu tertawa terbahak bahak. Setelah membangunkan Lan See giok dari atas tanah, katanya dengan amat ramah:

"Anak Giok, dalam perjalananmu kali ini, sepanjang jalan kau mesti berhati-hati karena membawa mestika, jangan kelewabt memamerkan dijri, dan yang pagling penting tabk boleh mencari gara-gara, fajar sudah hampir menyingsing cepatlah pergi!"

Lan See giok mengiakan dengan hormat, lalu ditatapnya kakek itu sekejap titik air mata hampir saja jatuh berlinang, setelah berpamitan lagi dengan kakek itu, dia baru membalikkan badan dan turun dari bukit tersebut.

Sementara itu fajar mulai menyingsing di langit timur kabut tipis menyelimuti permu-kaan tanah, kecuali suara ayam berkokok dari arah kampung nelayan itupun sudah mulai kedengaran suara manusia.

Membayangkan betapa cemas dan gelisah nya bibi Wan serta enci Cian nya waktu itu, dia mempercepat langkahnya menuju ke de-pan.

Ketika tiba di dusun, langit sudah terang, kabut pagi pun terasa semakin tebal, setelah melewati pepohonan siong yang lebat, dalam waktu singkat dia telah tiba di halaman bela-kang rumah bibi Wan nya.

Dari kejauhan ia sudah melihat enci Cian duduk di belakang jendela dengan wajah mu-rung. sepasang matanya memandang seba-tang pohon di hadapannya dengan termangu, seakan akan ia sedang melamun.

Dengan cepat Lan see giok melompati pa-gar dan melayang turun di depan jendela, segera serunya lirih.

"Enci Cian! Enci Cian!"

Ciu Siau cian sadar kembali dari lamunan, melihat pemuda itu sudah muncul di hada-pannya, mencorong sinar terang dari balik matanya, kejut dan girang ia berseru lirih:

"Ayo cepat masuk!"

Dengan cepat dia menarik tangan pemuda itu.

Meminjam tenaga tarikan tadi, Lan See giok melayang, masuk ke dalam ruangan.

Ciu Siau cian memperhatikan sekejap keadaan sekelilingnya. lalu merapatkan pula daun jendelanya, setelah itu sambil meng-genggam tangan pemuda itu, omelnya dengan penuh rasa kuatir:

"Bagaimana sih kau ini? Mengapa pergi selama ini? Bikin hati orang gelisah saja."

Sambil berkata dia mengangguk bpemuda itu dudujk di depan pembgaringan, sementbara sepasang matanya yang jeli dengan perasaan tak tenang dan gelisah mengawasi pemuda itu tiada hentinya.

Tak terlukiskan rasa haru, berterima kasih dan hangatnya perasaan Lan See giok meli-hat perhatian enci Cian terhadapnya, kata-nya kemudian sambil ter-tawa:

"Cici jangan marah, aku diajak kakek ber-jubah kuning itu untuk bercakap cakap."

"Kakek berjubah kuning yang mana?" tanya Ciu siau cian tidak mengerti.

Menghadapi pertanyaan tersebut, Lan See giok baru teringat kalau tadi ia lupa me-na-nyakan nama kakek tersebut, dengan wajah memerah terpaksa ujarnya.

"Yaa kakek berjubah kuning itu!"

Meski Ciu Siau cian bisa memahami, tak urung dia toh tertawa cekikikan juga.

"Enci Cian, mana bibi?" tiba-tiba pemuda itu teringat akan Hu-yong siancu.

Ciu Siau cian menarik kembali senyuman nya, lalu sambil sengaja menarik muka dia berkata:

"Ke mana lagi? Tentu saja pergi mencari mu, siapa suruh kau tidak meninggalkan pesan ketika pergi."

"Bukan siaute tidak ingin memberi pesan, aku takut Oh Tin san dan Say nyoo-hui mendengar suara panggilanku sehingga menambah kesulitan, aku memang berniat menghindar untuk sementara waktu ke luar dusun sana "

Ciu Siau cian menganggap perkataan itu ada benarnya juga, maka diapun meng-ang-guk. kemudian setelah melihat sekejap matahari di luar jendela, katanya dengan pe-nuh perhatian.

"Kau sudah bergadang semalaman suntuk, sekarang beristirahatlah sebentar."

Setelah beberapa malam tak tidur, Lan See giok memang merasa agak lelah, tapi dia kuatir dengan keselamatan bibinya, segera serunya:

"Enci Cian aku tidak lelah, aku hendak menunggu sampai bibi kembali."

"Coba kau lihat, fajar telah menyingsing sekarang, ibupun segera akan pulang" kata Ciu Siau cian sambil menuding ke luar jendela, tidurlah dulu. bila ibu pulang, aku akan memanggilmu lagi!"

Sambil berkata ia menekan bahu pemuda itu agar membaringkan diri.

Dengan perasaan apa boleh buat terpaksa Lan See giok membaringkan diri sambil me-mejamkan mata, namun baur harum semer-bazk yang terpancawr dari pem-barirngan terse-but semakin membuat pemuda ini tak dapat tidur.

Oleh karena itu meski kelopak matanya telah dipejamkan, namun masih bergetar tiada hentinya.

Tersenyum Ciu Siau cian setelah melihat kejadian ini, tiba-tiba ia menotok jalan darah Hek-si-hiat di tubuh pemuda itu, hanya menotok dengan pelan kemudian beranjak ke luar dari ruangan.

Lan See giok membuka matanya melirik sekejap ke arah enci Cian nya yang ter-senyum dengan muka merah, melihat jalan darah tidurnya ditotok hampir saja ia ter-tawa geli.

Pada saat itulah dari luar jendela ke-de-ngaran suara pintu pekarangan dibuka orang.

Menyusul kemudian kedengaran suara enci Cian nya berseru:

"Ibu, adik Giok telah pulang!"

"Oya? Di mana ia sekarang?" tanya Hu-yong siancu kejut bercampur gembira.

Mendengar perkataan itu Lan See giok segera melompat bangun dan siap ke luar- -

Tapi tiba-tiba saja terdengar Ciu Siau cian berkata. "Adik Giok sudah tertidur ibu, dia hendak menunggumu sampai pulang, akulah yang telah menotok jalan darahnya sebelum ia tertidur ---"

Lan See giok yang mendengar perkataan Itu segera teringat kalau jalan darahnya su-dah tertotok, cepat-cepat dia membaringkan kembali badannya ke atas ranjang.

Untuk sesaat suasana dalam halaman menjadi hening, lalu terdengar bibi Wan nya tertawa geli.

Lan See giok segera tahu keadaan runyam, pasti bibinya tahu kalau dia telah belajar ilmu menggeser jalan darah kepada enci Ciannya.



Benar juga. terasa ada angin berdesir le-wat, bayangan manusia muncul di depan mata, Ciu Siau clan dengan wajah cemberut telah berdiri di depan pembaringan.

Dengan perasaan terkejut Lan See giok melompat bangun, lalu tanyanya sambil ter-tawa.

"Cici, apakah bibi telah pulang?"

Melihat Lan See giok sudah tahu masih pura-pura bertanya, Ciu Siau cian merasa makin mendongkol ia bersiap siap meng-um-bar hawa amarahnya.

Tiba-tiba terdengar Hu-yong siancu ber-tanya:

"Anak Giok, kau belum tertidur?"

Menyusul kemudian dari luar muncul se-seorang yang masih basah oleh embun pagi,

Lan See giok segera melompat turun dari pembaringan, lalu katanya dengan hormat.

"Sebelum bibi pulang, anak Giok merasa tak tenang untuk memejamkan mata".

Sambil berkata dia mengerling sekejap ke arah enci Ciannya yang masih tersipu sipu, kontan saja sikapnya menjadi sangat tak tenang . . .

Menyaksikan keadaan adik Gioknya yang mengenaskan, tanpa terasa Ciu Siau cian tertawa cekikikan.

Dengan tertawanya gadis itu, perasaan ti-dak tenang yang semula mencekam perasaan Lan See giok pun segera menjadi lega kem-bali, ia pun turut tertawa.

Memandang sepasang muda mudi yang amat lucu itu, Hu-yong siancu turut merasa gembira, segera ujarnya dengan ramah:

"Anak Giok, duduklah, coba kau cerita-kan kisah perjumpaanmu dengan kakek berjubah kuning itu."

Setelah semua orang mengambil tempat duduk masing-masing, Lan See giok mulai menceritakan bagaimana pengalamannya bertemu dengan kakek berjubah kuning itu sampai dia pulang kembali.

Akhirnya pemuda itu menambahkan.

"Bibi, anak Giok bertekad akan mencari To-seng cu, aku rasa bisa jadi dialah pem-bunuh yang sebenarnya dari ayahku."

Paras muka Hu-yong siansu amatb serius, ia tidjak segera menjagwab, sampai lamba kemu-dian baru tanyanya.

"Anak Giok, apakah kau berhasil melihat tahi lalat besar di kening kakek tersebut pada perjumpaan kali ini?"

Bergetar keras perasaan Lan See giok mendengar pertanyaan itu, mukanya men-jadi merah padam karena jengah, sambil menun-dukkan kepalanya ia menjawab:

"Berhubung waktu yang amat singkat, anak Giok cuma teringat persoalan-persoalan yang dihadapi, karenanya aku lupa untuk memeriksanya dengan teliti."

Hu-yong siancu tidak menegur pemuda itu, sorot matanya dialihkan ke luar jendela me-mandang matahari yang memancarkan sinar keemas emasan, ia seperti sedang melamun-kan sesuatu.

Lama-lama kemudian ia baru berkata agak tergagap:

"Jangan-jangan dia adalah si kakek yang dijumpai Khong-tay tempo hari- -"

Tergerak hati Lan See giok setelah mendengar perkataan itu, selanya tiba-tiba.

"Bibi, siapakah yang telah berjumpa de-ngan ayahku?"

Hu-yong siancu segera sadar atas kekhi-lafan sendiri, katanya kemudian sambil ter-tawa hambar.

"Kalian masih kanak-kanak, sekarang be-lum saatnya untuk mengetahui persoalan-persoalan tersebut"

Dengan cepat paras mukanya telah pulih kembali seperti sedia kala, lalu dengan nada penuh perhatian dia berkata.

"Anak Giok, bibi tak akan menghalangi niatmu untuk mengunjungi bukit giok li -hong, tapi mesti kau ketahui, perjalanan semacam ini jelas merupakan suatu perja-lanan menyerempet bahaya, andaikan To- seng cu benar-benar adalah musuh besar yang membinasakan ayahmu," perjalanan mu kali ini lebih banyak bahayanya dari pada selamat, bahkan bisa jadi akan mengorban-kan selembar jiwamu"

Lan See giok sama sekali tidak gentar oleh perkataan tersebut, katanya malah dengan gagah.

"Dendam sakit hati anakku lebih dalam dari pada samudra, sekalipun harus naik ke bukit golok atau terjun ke kuali berisi minyak mendidih, anak giok tak akan mundur barang setapak pun"

Mendadak ia saksikan Cu Siau cbian menunduk dejngan wajah sedigh, tanpa terasab ia turut beriba hati, katanya kemudian de-ngan nada menghibur.

"Apalagi bencana atau rejeki bukan di tentukan manusia. sampai sekarang pun belum kita ketahui To seng cu sebenarnya musuh besar pembunuh ayahku atau bukan seandainya bukan, anak Giokpun karena bencana peroleh rejeki, selain bisa mem-pela-jari ilmu silat yang hebat akupun dapat membalaskan dendam bagi kematian ayah-ku""

Dengan sorot mata gembira Hu-yong siancu memandang sekejap ke arah Lan See giok lalu ujarnya sambil manggut-manggut.

"Berbicara soal ilmu silat, To seng cu ter-hitung manusia paling kosen di dunia persi-latan dewasa ini, sampai sekarang belum pernah ada orang yang mengetahui nama dan usia yang sebenarnya, konon dia telah berumur di atas seratus tahun, kepandaian silatnya boleh dibilang sudah mencapai ting-katan yang luar biasa...!

Dengan sedih Ciu Siau cian mendongakkan kepalanya, seperti memahami sesuatu dia menyela:

"Ibu, bukankah kau pernah berkata kau pun pernah bersua dengan To seng cu? Coba kau bayangkan, persiskah dia dengan kakek berjubah kuning yang diceritakan adik Giok tadi? "

Hu-yong siancu berkerut kening, sekilas perubahan aneh menghiasi wajahnya, lalu ujarnya sambil manggut-manggut:

"Peristiwa ini sudah terjadi sepuluh tahun berselang, waktu itu To seng cu mengenakan jubah panjang berwarna putih, membawa kipas dan amat berwibawa sehingga siapa-pun akan berkesan mendalam bila menjum-painya."

Melihat sikap bibinya begitu menaruh hormat, dimana hal tersebut justru berla-wanan sekali dengan pandangan nya, maka dengan perasaan tak puas katanya.

"Bibi, anak Giok berpendapat gelar To-seng cu ini kurang sedap didengar, seperti nama-nama Siau yau-cu, Lui cengcu, Sian kicu dan lain sebagainya, nama tersebut ke-banyakan adalah kaum tosu...."

Hu-yong siancu tertawa hambar, katanya dengan lembut:

"Anak Giok, hal ini hanya disebabkan kau sudah terlanjur menaruh perasaan benci ter-hadap julukan yang mernggunakan kata zper-mulaan "To"w atau tunggal, ritulah sebabnya To seng cu memberi kesan kurang baik kepadamu, padahal arti sebenarnya dari To seng-cu atau aku yang telah sadar!"

Berada dihadapan bibinya, Lan See giok tak berani memperlihatkan perasaan tak senang hati. namun dihati kecilnya dia terta-wa dingin, katanya kemudian:

"Anak Giok tetap berpendapat, julukan To seng cu itu kelewat jumawa dan tekebur, anak Giok rasa arti dari julukan itu bukan aku yang telah sadar. mungkin saja dia ber-anggapan akulah yang dipertuan . . . "

Hu-yong siancu segera berkerut kening agaknya ia telah melihat perasaan benci Lan See giok terhadap To Seng cu, maka katanya kemudian sambil manggut-manggut dan ter-tawa:

"Penjelasan secara demikian pun boleh juga. namun kelewat memaksakan pendapat sendiri dalam perjalananmu menuju ke bukit Hoa san kali ini, bila berjodoh dan dapat menjumpai To seng cu, kau harus mengata-kan yang sebenarnya yakni men-dapat pe-tunjuk dari seorang kakek berjubah kuning untuk datang minta belajar ilmu. kau tidak boleh sekali kali menyinggung masalah den-dam sakit hati, dari pada me-nimbulkan kecurigaan To seng cu dan mempengaruhi kemajuanmu dalam menuntut ilmu. "

Kemudian setelah memandang sekejap ke arah putrinya yang sedang murung, dia melanjutkan.

"Bisa jadi di sekeliling tempat ini masih pe-nuh dengan mata-mata dari Wi-lim-poo un-tuk menghindari segala sesuatu yang tak di-inginkan, lebih baik kau berangkat se-telah malam nanti, sampai waktunya biar enci Cian yang melindungimu sampai di keresi-denan Tek an. ."

"Tidak usah merepotkan enci Cian."

Tampik Lan See giok cepat, anak Giok ya-kin masih dapat menjaga diri sebaik baiknya, dengan menempuh perjalanan seorang diri, hal tersebut lebih mudah bagiku untuk me-loloskan diri dari kepungan bila menjumpai kawan jago lihay dari Wi-lim-poo"



Hu-yong siancu segera menganggap uca-pan ini masuk diakal, diapun mengangguk.

"Baiklah, semoga kau berhati hati di sepanjang jalan, jarak dari sini hingga kota Tek an sekitar seratus li, bila menggunakan ilmu meringankan tubuh paling banter sele-watnya tengah malam kau sudah tiba di sana, beristirahat di luar kota semalam.

Keesokan harinya kau boleh meneruskan perjalanan menuju ke wilayah Kui ciu lewat Sui ciang, dari sana kau boleh langsung ber-angkat ke bukit Hoa san. ."

Dengan perasaan amat berat Lan See giok mengangguk berulang kali sambil mengia-kan.

Terdengar Hu-yong siancu berkata lebih jauh.

"Anak Giok, semalam kau belum tidur, malam nantipun harus melanjutkan perja-lanan, sekarang beristirahatlah dulu di pem-baringan enci Cian mu."

Selesai berkata, dia lantas berjalan menuju ke luar.

Ciu Siau cian memandang sekejap ke arah Lan See giok dengan pedih, kemudian dengan kepala tertunduk mengikuti di belakang ibunya menuju ke kamar tidur ibunya.

Lan See giok termangu mangu, wajah pedih enci Cian nya sekarang pada hakekat nya berbeda sekali dengan wajah riang ketika menotok jalan tidurnya tadi..

Benar hubungan mereka belum lama, tapi setelah diberi kesempatan untuk menjalin hubungan lebih mendalam, sikap Ciu Sian cian saat ini sudah jauh lebih terbuka.

Kini ia harus berpisah lagi, dia harus ber-angkat ke Hoa san dengan membawa nasib yang sukar diketahui, bisa jadi per-pisahan kali ini merupakan perpisahan untuk sela-manya.

Pikir punya pikir, masalah demi masalah pun berdatangan secara beruntun, sampai lama sekali dia baru dapat tertidur... Ketika mendusin, matahari sore sudah di jendela belakang, dengan kaget dia me-lompat bangun melihat bibinya berada di luar, cepat dia ke luar dari ruangan sambil bertanya.

"Bibi, sudah jam berapa sekarang, agaknya aku sudah tertidur cukup lama?"

Melihat wajah Lan See giok cerah kembali dia sedikitpun tidak memperlihatkan tanda keletihan, dengan girang Hu-yong siancu berkata.

"Selama berapa hari belakangan ini kau belum tertidur baik, tidurmu hari ini boleh dibilang sudah lebih dari cukup."

Kemubdian setelah mejlirik sekejap mgatahari senja dbi luar pagar. terusnya.

"Sekarang, mungkin sudah mendekati pu-kul lima sore."

Sambil tertawa Lan See giok menggeleng-kan kepalanya berulang kali.

"Waah, tidur anak Giok kali ini memang betul-betul nyenyak sekali."

Ketika tidak menjumpai Siau cian di ru-angan, kembali ia bertanya dengan perasa-an tak mengerti.

"Bibi, mana enci Cian?"

"Ia sedang menyiapkan santapan malam untukmu" sahut Hu-yong siancu sambil melirik sekejap ke dapur.

Baru saja dia menyelesaikan kata kata-nya, Ciu Siau cian telah masuk sambil menghi-dangkan santapan malam.

Lan See giok melihat sepasang mata enci nya sudah merah membengkak, wajahnya sedih dan murung, ia tahu gadis itu baru saja habis menangis, hal mana membuat perasaannya amat resah.

Hidangan pada malam itu sangat lezat, sayangnya ke tiga orang itu merasa tak enak untuk makan.

Akhirnya Hu-yong siancu mengambil kotak kuning itu dari dalam kamarnya serta se-bungkus uang perak, kemudian dengan pe-nuh perhatian ia berkata.

"Anak Giok, simpanlah kotak kecil ini baik- baik, sepanjang jalan kau tak boleh kelewat menonjolkan diri, guna-kan uang perak terse-but sehemat mungkin, dengan begitu kau akan bisa tiba di Hoa san dengan tak usah takut kehabisan beaya.."

Sambil berkata, dia serahkan kotak dan kantung uang tersebut kepada Lan See giok.

Buru-buru pemuda itu bangkit berdiri sambil menerimanya, tak terlukiskan rasa haru dalam hatinya hingga tanpa terasa air matanya jatuh bercucuran, ujarnya sedih:

"Bila anak Giok berhasil mempelajari ilmu silat dalam kepergian kali ini serta membalas dendam sakit hati, anak Giok pasti akan pu-lang dengan secepatnya, lalu anak Giok akan mendampingi bibi dan tak akan terjun lagi ke dunia persilatan untuk selamanya, cuma kuatir kepergian anak giok kali ini lebih ba-nyak bahayanya daripada keberuntungan, kalau sampai nasibku jelek dan tewas, ter-paksa budi kebaikanb bibi dan enci jCian akan kubaygar dalam penitibsan mendatang."

Sambil berkata seka1i lagi dia menjura, dalam-dalam.

Hu-yong siancu tersenyum, dua baris air mata jatuh bercucuran membasahi pipinya.

Siau cian yang paling sedih, dia menutupi wajahnya dengan sepasang tangan dan menangis tersedu sedu.

Sambil membangunkan Lan See giok dari tanah, Hu-yong siancu berkata lagi dengan air mata bercucuran:

"Bangkitlah anak Giok, bibi mempunyai firasat kita pasti akan bersua kembali, To seng cu adalah seorang tokoh persilatan yang berkedudukan sangat tinggi, ia disegani dan dihormati setiap orang, sekali pun ia bisa jadi telah membunuh ayahmu, namun tak akan melancarkan serangan keji terhadap seorang anak muda seperti kau" Sementara itu Lan See giok telah me-nyimpan baik-baik kotak kecil serta kantung berisi uang itu, kemudian dengan air mata bercucuran namun sikap tegas ia menjawab.

"Walaupun dia tak akan turun tangan keji kepadaku, tapi aku tak akan melepaskan dia dengan begitu saja."

Hu-yong siancu menghela napas sedih, kata nya kemudian dengan mengandung arti dalam.

"Anak giok, bibi harap kau bersikap cerdik dalam menghadapi setiap persoalan, berpi-kirlah yang cermat, jangan emosi dan jangan kelewat kolot, terutama sekali melakukan tindakan "mengadu telur dengan batu." walaupun kau sendiri tidak menyayangi ji-wamu, namun kau harus memikirkan juga mereka--mereka yang selalu menguatirkan keselamatanmu"

Lan See giok amat terkejut, dengan air mata bercucuran dia segera berpaling dan memandang sekejap Ciu Siau cian yang se-dang menangis tersedu sedu.

Dengan kening berkerut Hu-yong siancu berkata lebih jauh:

"Bukan cuma bibi yang mengharapkan kepadamu, enci Cian mu juga berharap kau bisa berjaya dalam dunia persilatan di kemu-dian hari..."

Lan See giok sangat terharu, ujarnya de-ngan wajah penuh rasa menyesal.

"Anak giok menerrima semua nasezhat, pasti tak wakan kusia siakran harapan bibi dan cici".

Hu-yong siancu manggut-manggut dengan sedih, setelah memandang suasana gelap di luar halaman, katanya lebih jauh.

"Kehidupan orang di kampung nelayan amat sederhana dan bersahaja, sekarang ke-banyakan orang dusun telah pergi tidur, nah, kau boleh berangkat sekarang."

Ciu Siau cian yang masih menangis terisak pun segera mengangkat kepalanya dan me-mandang Wajah Lan See giok dengan mu-rung, beribu ribu patah kata semuanya di-tumpukkan dalam balik sorot matanya itu.

Lan See giok sendiri meski merasa berat hati, namun dia toh menjura juga seraya berkata:

"Harap bibi baik-baik menjaga diri, anak Giok akan segera berangkat.!"

Lalu kepada Siau cian ujarnya pula:

"Enci Cian, baik baiklah menjaga diri, kepergian siaute kali ini paling banter cuma satu tahun, sampai waktunya aku pasti akan balik kembali, tak akan kulupakan pengharapan dari cici."

Ciu Siau cian memandang Lan See giok dengan wajah sayu, kemudian manggut-manggut, butiran air mata sekali lagi jatuh bercucuran.

Walaupun Hu-yong siancu merasakan hatinya sakit bagaikan diiris iris dengan pisau, namun wajahnya masih tetap tenang, dia memang tidak mempunyai keyakinan apakah kepergian Lan See giok kali ini benar bisa pulang kembali dengan selamat.

Maka sekali lagi dia berkata dengan wajah bersungguh sungguh:

"Anak giok, tujuan kepergianmu ke bukit Hoa san adalah untuk belajar ilmu silat. se-andainya terjadi sesuatu ditengah jalan kau tak boleh berdiam diri terlalu lama, sekarang berangkatlah lewat halaman belakang, lalu larilah menuju barat laut, tidak sampai sepuluh li kau akan tiba di jalan raya menuju ke kota Tek-an."

Seusai berkata. dia lantas membalikkan badan dan masuk kembali ke ruang dalam

Melihat bibinya telah masuk, Lan See giok segera menggenggam tangan Siau cian dan berkata dengan lembut.

"Cici tak usah bersedih hati, aku pasti da-pat kembali dengan aman dan selamat."

BAB 12

CIU Siau cian manggut-manggut, sahut nya dengan air mata bercucuran.

"Adikku cici akan selalu menantikan ke-datanganmu..."

Belum habis perkataan tersebut diucap-kan, dua baris air mata sudah meleleh ke luar bagaikan air bah yang menjebolkan bendungan.

Buru-buru Lan See giok menggunakan ujung bajunya untuk menyeka air mata di wajah encinya, setelah itu mereka berdua baru masuk ke ruang dalam.

(Bersambung ke Bagian 15)

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar