"Boanpwe Lan See-giok
menyampaikan salam untuk locianpwe"
Seraya berkata dia lantas
jatuhkan diri berlutut dan memberi hormat...
Kakek berjubah kuning itu
mengangkat kepalanya dan tertawa terbahak bahak, suaranya nyaring bagaikan
pekikan burung hong, nadanya penuh kegembiraan. Kemu-dian dengan suara lembut
dia ber-kata:
"Nak, waktu yang tersedia
bagi kita tidak banyak, ayo cepat bangun dan duduk. kita harus berbicara
banyak."
SAMBIL berkata dia lantas
membangun-kan pemuda tersebut dari atas tanah.
Lan See giok mengiakan dengan
hormat, setelah memandang sekejap sekeliling tempat itu, dijumpainya bukit itu
sangat datar, rum-put tumbuh amat subur, puluhan kaki di seputar sana tidak
dijumpai pepohonan pinus ataupun bambu, juga tiada batuan cadas.
Boleh dibilang tempat semacam
ini me-ru-pakan sebuah tempat yang ideal sekali untuk bercakap-cakap.
Dengan kepandaian maha sakti
yang di miliki kakek berjubah kuning itu, jatuhnya bunga atau daun pada jarak
sepuluh kaki di seputar sana pun bisa ditangkap olehnya dengan nyata, jelas tak
mungkin ada orang yang bisa menyadap pembicaraan mereka tanpa ketahuan
jejaknya.
Mereka berduapun duduk di atas
tanah berumput, tanah yang amat lembut bagai-kan busa.
Kemudian kakek berjubah kuning
itu ber-tanya dengan ramah:
"Nak, tidakkah kau merasa
keheranan, mengapa aku datang mencarimu malam-malam begini?"
Lan See giok memang
berperasaan demikian, maka dia mengiakan dengan hor-mat.
Kakek berjubah kuning itu
kembali ter-tawa terbahak bahak.
"Haaahhh--- haaahhh...
haaahhh, terus terang kukatakan kepadamu nak, sejak aku masuk ke dalam benteng
Wi-lim-poo, selama ini aku, tak pernah meninggalkan Oh Tin san, oleh sebab itu
mereka dapat menemu-kan kau, akupun dapat pula me-nemukan dirimu- -"
"Locianpwe" tanya
Lan See giok tidak habis mengerti, "dari mana Oh Tin san bisa me-ngetahui
tempat tinggal dari bibi Wan---?"
"Kalau dibicarakan
sebenarnya hanya seca-ra kebetulan saja, ketika Oh Tin san suami istri kembali
ke benteng, Oh Li cu menangis sambil mengadukan peristiwa lenyapnya kau kepada
orang tua mereka. Say nyoo-hui segera menuduh kau berusaha melarikan diri, tapi
Oh Li-cu berusaha-keras membe-laimu."
Berbicara sampai di situ ia
berhenti seje-nak seakan akan sedang memikirkan se-suatu lalu dengan tidak mengerti
ia ber-tanya.
"Pernahkah kau bercerita
kepada Oh Tin san bahwa bibi Wan mu mempunyai seorang putri berusia enam tujuh
belas tahunan?"
Mendengar pertanyaan itu Lan
See giok segera menjadi menyesal sekali, dia manggut-manggut.
Kakek berjubah kuning itupun
melanjut-kan kembali ceritanya.
"Tatkala Oh Li cu
bercerita ada seorang gadis berbaju kuning yang berusia enam tu-juh belas
tahunan menunjukkan perubahan wajah dan nampak amat sedih sekali setelah
bertemu kau, Oh Tin san segera menaruh curiga kalau rumah ini bisa jadi adalah
tem-pat kediaman bibi Wan mu, akhirnya mereka putuskan untuk melakukan
penyelidikan, ketika mereka ketahui bibi Wan mu ternyata adalah Hu-yong siancu
Han Sin -wan yang sudah lama mengasingkan diri, maka semua duduknya persoalanpun
menjadi jelas."
Lan See giok pernah menaruh
curiga, kepergian Oh Tin san ditengah malam buta tanpa pamit tempo hari adalah
untuk pergi mencari bibi Wan nya, maka kembali ia ber-tanya:
"Tahukah locianpwe, apa
sebabnya Oh Tin san suami istri meninggalkan rumah secara tergesa gesa ditengah
malam buta?"
"Walaupun Oh Tin san
orangnya buas dan kejam, namun ia tak bisa menguasai diri bila menghadapi suatu
persoalan, malam berse-lang kalian membicarakan lagi soal kotak kecil itu-
-"
Mendengar sampai disini, Lan
See giok pun menjadi paham kembali, tanpa terasa seru-nya cemas.
"Anak Giok tahu sekarang,
orang berdiri di luar jendela semalam itu adalah locianpwe?"
Sambil tertawa ramah kakek
berjubah kuning itu manggut-manggut.
"Nak, seharusnya kau bisa
menduga akan diriku, Di dalam benteng Wi-lim-poo banyak terdapat kapal perang
yang berlabuh, di luar dikelilingi telaga yang luas, penjagaan dan pengintaian
tersebar di mana-mana, memang tidak gampang bagi orang luar untuk me-n-yelundup
masuk, untung saja penjagaan di dalam benteng tidak ketat sehingga banyak
memberi keleluasaan bagiku..."
Lan See giok segera teringat
akan sesuatu rahasia yang tidak diketahui olehnya, dengan nada tak mengerti
kembali dia bertanya:
"Tahukah locianpwe di
dalam gedung bagian pusat benteng Wi-lim-poo kenapa ti-dak diberi
penjagaan?"
Kembali kakek berjubah kuning
itu ter-menung sebentar, lalu sahutnya:
"Oh Tin-san adalah
seorang manusia yang gampang menaruh curiga, bisa jadi dia me-nganggap
penjagaan di luar benteng-nya su-dah sekokoh dinding baja lantai tembaga dan
mustahil ada orang menyusup ke dalam, maka kuatir rahasia pribadi dalam
ru-angannya ketahuan orang lain, maka dia sengaja tidak mengatur penjagaan di
seputar sana, hal ini bisa dibuktikan pula dengan tiadanya orang yang berdiam
di seputar situ."
Tergerak hati Lan See giok
setelah men-dengar perkataan tersebut, seakan akan me-mahami sesuatu, dia
bertanya kembali.
"Locianpwe bilang malam
berselang kau berdiri di luar jendela, kemudian Oh Tin san ke luar dari ruangan
setelah mendengar suara, tapi nyatanya tidak ditemukan seso-sok bayangan
manusiapun, waktu itu apakah locianpwe sudah masuk ke ruang belakang?"
Kakek berjubah kuning itu
tertawa terba-hak bahak:
"Haah . . haah . .
haaahhh . . . justru keba-likannya, aku cuma bersembunyi di bawah lantai batu
di depan jendela pagoda air, se-waktu kau ke luar dari jendela, asal kau
tun-dukkan kepalamu, niscaya akan kau jumpai jejakku. tapi kenyataannya kalian
semua malah naik ke atap rumah."
Mendengar penjelasan tersebut,
diam-diam Lan See giok memuji akan keberanian kakek berjubah kuning tersebut,
dia merasa tinda-kan semacam ini sungguh kelewat me-nye-rempet bahaya.
Terdengar kakek berjubah
kuning itu melanjutkan kembali ceritanya:
"Waktu itu Oh Tin san pun
berpendapat akulah yang telah menyadap pembicaraan tentang rahasia kotak kecil
tersebut, karena nya ia menjadi gugup dan ketakutan. akhirnya diputuskan untuk
berangkat pada malam itu juga mencari si naga sakti pemba-lik sungai dan
menjelaskan masalah kotak kecil itu kepadaku..."
"Tapi locianpwe toh tidak
berada di kam-pung nelayan itu..." tukas Lan See giok kuatir.
Kakek berjubah kuning itu
tertawa ramah.
"Sekalipun aku berada di
situpun, si naga sakti pembalik sungai akan mengatakan aku telah pergi!"
Lan See giok semakin tidak
mengerti, baru saja dia hendak minta penjelasan lebih jauh, dari kejauhan sana
kedengaran suara ayam jago mulai berkokok---
Kakek berjubah kuning itu
segera me-rasa waktu sudah siang, setelah memandang se-kejap keadaan langit,
diapun berkata.
"Nak. sekarang sudah
mendekati kento-ngan ke lima, kau harus kembali se-belum fajar menyingsing
kalau tidak, bibi Wan mu pasti akan sangat gelisah dan tidak tenang, apakah kau
masih ada urusan lain yang hendak ditanyakan kepadaku?"
Menghadapi pertanyaan tersebut,
Lan See giok menjadi sangsi, karena pertanyaan yang akan diajukan kelewat
banyak, sehingga untuk sesaat dia tak tahu pertanyaan mana-kah yang hendak
diajukan lebih dahulu---
Tampaknya kakek berjubah
kuning itu bisa menduga jalan pemikiran Lan See giok, maka dia berkata
kemudian.
"Sekarang, apakah kau
sudah memahami sebab musabab yang mengakibatkan kema-tian ayahmu?"
Lan See giok mengangguk,
katanya dengan perasaan sedih.
"Hanya sampai kini anak
Giok belum me-ngetahui siapakah pembunuh sebenarnya dari ayahku."
Sambil mengelus jenggotnya dan
terme-nung sejenak, kakek berjubah kuning itu berkata kemudian.
"Kalau ditinjau dari
segi-segi yang ada sekarang, kelima manusia cacad itu sama-sama mencurigakan,
kita harus menyelidiki secara seksama lebih dulu sebelum bisa me-nentukan
siapakah pembunuh yang sebenar-nya.
Teringat akan julukan-julukan
yang isti-mewa dari kelima manusia cacad itu, Lan See giok segera memohon:
"Dapatkah locianpwe
menjelaskan asa1 usul dari kelima manusia cacad dari tiga te-laga itu? Mengapa
kelima orang itu sama-sama memiliki julukan yang mengandung kata
"tunggal"? Darimana mereka bisa tahu kalau ayahku berdiam di kuburan
kuno serta apa sebabnya ke lima manusia cacad yang berdiam di pelbagai wilayah
bisa berkumpul di tempat yang sama pada malam yang sama-"
'Tidak sampai Lan See giok
menyelesaikan kata katanya. kakek berjubah kuning itu te-lah menggoyangkan
tangannya men-cegah pemuda itu melanjutkan kembali kata kata-nya, dia
menimbrung.
"Pertanyaan mu yang
beruntun tersebut bila kujawab dengan memerlukan waktu yang amat panjang,
mustahil semua masalah bisa dijelaskan dalam waktu singkat, sekarang aku hanya
bisa memberitahukan kepadamu, sebenarnya julukan semula dari ke lima orang
tersebut tidak disertai kata "tunggal", pada mulanya mereka pun bukan
manusia yang cacad telinga, mata atau kaki, sedang soal dari mana mereka bisa
tahu ayahmu berdiam dalam kuburan kuno itu. hal tersebut baru dapat diketahui
setelah kita datangi kelima manusia tersebut, nah hari ini aku hanya bisa menjelaskan
sampai di sini, lain kali tentu akan kujelaskan lebih jauh!
Selesai berkata diapun
beranjak siap-siap meninggalkan tempat tersebut.
Lan See giok memandang
sekejapb ke ufuk timur jdi mana matahargi telah memancabrkan sinarnya yang
keemas emasan, dia tahu kakek berjubah kuning itu hendak pergi se-belum fajar
menyingsing.
Buru-buru ia bertanya lagi:
"Locianpwe, tahukah kau
darimana ayahku bisa mendapatkan kotak kecil itu?"
"Dia mendapatkan secara
kebetulan di bawah Giok li hong bukit Hoa san."
Lan See giok ingin sekali
mempelajari ilmu silat maha sakti yang tercantum dalam cinkeng itu, maka
kembali die bertanya.
"Konon tiga lembar daun
emas yang berada dalam kotak kecil itu berisikan se-macam ki-tab pusaka ilmu
silat yang memuat kepan-daian silat maha sakti, benarkah perkataan
tersebut?"
Tanpa ragu barang sedikit pun
jua kakek berjubah kuning itu mengangguk.
"Benar, cuma orang yang
tidak mengetahui rahasianya, meskipun mendapatkan pusaka tersebut pun sama
artinya dengan men-da-patkan benda rongsokan."
Sekali lagi tergerak hati Lan
See giok, sela-nya.
"�Pernah locianpwe membaca isi kitab
tersebut?"
Kakek berjubah kuning itu
segera mem-perlihatkan paras serba salah, katanya ke-mudian.
"Meskipun aku tahu
bagaimana cara mem-bacanya, tapi hanya aku seorang diri tak mungkin bisa
membacanya"
Lan See giok sangat tidak
mengerti atas perkataan itu, keningnya berkerut, kemudian tanyanya bimbang:
"Kalau toh locianpwe
sudah mengetahui cara untuk membaca rahasia kepandaian si-lat tersebut mengapa
kau tidak membaca nya seorang diri?"
Kakek berjubah kuning itu
memandang sekejap kearah Lan See giok, lalu tertawa pe-nuh arti.
"Untuk membaca isi kitab
pusaka ter-sebut, harus ada seorang yang bertenaga dalam sempurna menggenggam
daun emas tadi ke-mudian mengerahkan segenap tenaga dalam yang dimilikinya ke
dalam daun emas tadi sedang si pembaca harus berlutut di hada-pannya sambil
baca, cuma orang inipun ha-rus memiliki bakat yang sangat bagus dan memiliki
daya ingat yang tajam, dengan be-gitu kepandaian tersebut biru dapat di-kuasai
olehnya.
Menjadi termangu Lan See giok
bsehabis mendengjar perkataan itgu, lama kemudiabn ia baru bertanya:
"Locianpwe siapakah yang
memiliki tenaga dalam sedemikian sempurnanya se-hingga dapat memaksa daun emas
tersebut mem-perlihatkan catatannya?"
Hanya si pemilik semula dari
kotak ter-se-but" jawab kakek berjubah kuning itu tanpa ragu.
Lan See giok menjadi amat
gembira, ta-nya-nya cepat:
"Locianpwe, anak Giok
tidak becus tapi percaya memiliki daya ingat yang cukup baik, dimanakah pemilik
kotak tersebut sekarang? Dapatkah anak Giok pergi men-carinya de-ngan membawa
kotak kecil ter-sebut?"
"Menurut apa yang
kuketahui, orang itu berdiam di bawah kaki puncak giok Ii hong di bukit Hoa
san, kaki bukit yang mana tidak kuketahui, tapi menurut cerita orang, banyak
yang ingin me-nyambanginya tapi sebagian besar harus pulang dengan kecewa, tapi
ada pula yang memasuki lembah tersebut sambil menyebutkan namanya serta
berhasil men-jumpai wajah asli orang tersebut. Tentang apakah kau berhasil
menjumpainya, hal ini tergantung papa tekad, kesungguhan mu serta rejekimu...
Walaupun Lan See giok merasa
sulit tapi ia bersedia untuk mencobanya, dengan cepat ia bertanya;
"Locianpwe, siapakah
tokoh sakti terse-but?"
Kakek berjubah kuning itu
termenung se-jenak. kemudian dengan nada tidak pasti katanya.
"Konon orang itu bernama
To seng-cu!"
Gemetar keras sekujur badan
Lan See -giok, paras mukanya berubah hebat, serunya tanpa sadar.
"To . . to. . . to-seng
cu? Dia. . . diapun me-makai gelar kata "tunggal" . . ?" ,
Tanpa terasa dia menjadi
terbayang kem-bali keadaan ayahnya yang terkapar di atas genangan darah, waktu
itu tangan kanannya dengan menggunakan sisa tenaga yang dimi-likinya hanya
sempat mengukir kata.
"To" atau tunggal di
atas tanah...
Satu ingatan segera melintas
dalam benak nya. Jangan-jangan orang yang membunuh ayahnya adalah To seng cu
ini?
Siapa tahu To sreng cu menaruh
zdendam kepada wayahnya karena rkotak kecil tersebut tidak dikembalikan
kepadanya, maka se-telah menelusuri jejak ayahnya selama banyak ta-hun,
akhirnya tempat kediaman ayahnya ditemukan?
Semakin dipikir Lan See giok
merasa se-makin masuk diakal, sebab hanya manusia berkepandaian sangat lihay
seperti To seng cu saja yang mampu menghabisi nyawa ayahnya di dalam sekali
pukulan.
Membayangkan kesemuanya ini,
berko-barlah api marah dalam dadanya, hawa napsu membunuh pun segera
menyelimuti seluruh wajahnya yang tampan.
Sambil mengangkat kepalanya
dan mena-tap wajah kakek berjubah kuning itu lekat-lekat, dia bertanya.
"Locianpwe, dengan tenaga
dalam yang kau miliki sekarang dapatkah kau menampilkan tulisan di atas daun
emas tersebut?"
Kembali kakek berjubah kuning
itu menunjukkan sikap serba salah, lama kemu-dian dia baru menjawab:
"Kecuali To seng cu
seorang, mungkin dalam dunia persilatan dewasa ini sudah tiada orang kedua yang
memiliki tenaga dalam seperti dia lagi."
Kemudian setelah berhenti
sejenak dan menghela napas, katanya lebih jauh:
"Terus terang saja anak
Giok, aku sudah banyak tahun mencari ayahmu di mana-mana, setiap orang
mempunyai kepentingan pribadi masing-masing, tentu saja akupun berharap bisa
membawa kotak kecil itu pergi menghadap To seng cu serta menjadi orang yang paling
tangguh dalam dunia persilatan. tapi sejak aku bertemu dengan kau dan
me-nemukan kau adalah manusia yang berbakat bagus untuk belajar ilmu silat,
apalagi jika kau berhasil mempelajari kepandaian sakti dalam pusaka Pwee
yap-Cinkeng tersebut sudah pasti kau bisa menjadi tangguh dan keadilan serta
kebenaran di dunia ini bisa ditegakkan, itulah sebabnya kuberikan ke-sempatan
yang sangat baik ini kepadamu, biarpun aku mengetahui kotak kecil itu
di-sembunyikan di bibi Wan mu dikolong ran-jang, tapi aku tidak mengambilnya.
Nah anak Giok, semoga kau tidak sampai menyia-nyiakan harapanku!"
Betapa terharunya Lan See giok
setelah mendengar perkataan itu, dia semakin me-naruh hormat kepada kakek
berjubah kuning itu, katanya dengan hormat:
"Locianpwe tak usah
kuatir, anak Giok bertekad tak akan menyia nyiakan harapan kau orang tua, bila
aku menyangkal dari ucapanku, biar langit menghukumku!"
Dengan penuh kegembiraan kakek
berj-u-bah kuning itu tertawa terbahak bahak, ke-mudian serunya:
"Kau memang anak yang
penurut dan bisa diberi pelajaran..."
Setelah mengebaskan ujung
bajunya, diapun beranjak pergi meninggalkan tempat tersebut.
Lan See giok tahu bahwa kakek
berjubah kuning itu hendak pergi, cepat dia turut melompat bangun sambil
berseru dengan cemas.
"Locianpwe, anak giok
masih ada satu per-soalan yang tidak mengerti!"
"Bila ada persoalan,
katakan saja berterus terang"
`Bila anak Giok berhasil
menjumpai To seng cu serta mempelajari kepandaian silat maha sakti yang
tercantum dalam kitab pusaka Pwee yap cinkeng tersebut. apakah tenaga dalamku
bisa melampaui To seng cu ?
Dengan wajah bersungguh
sungguh kakek berjubah kuning itu segera berkata.
"Hal ini tergantung
dirimu sendiri, apakah kau berniat sungguh-sungguh serta bersedia tekun
mempelajari kepandaian itu, jika kau rajin berlatih, sekalipun To seng cu
terhitung jagoan nomor satu dikolong langit dewasa ini, mungkin kemampuannya
waktu itu masih di bawah kemampuanmu"
Mendengar sampai di sini, Lan
See giok segera menjatuhkan diri berlutut di atas tanah, lalu katanya dengan
hormat.
"Harap locianpwe suka
menjaga diri baik-baik, anak Giok akan pergi dulu, bila aku su-dah kembali
dengan belajar ilmu, pasti akan kubalas budi kebaikan dari kau orang tua!"
Kembali kakek berjubah kuning
itu tertawa terbahak bahak. Setelah membangunkan Lan See giok dari atas tanah,
katanya dengan amat ramah:
"Anak Giok, dalam
perjalananmu kali ini, sepanjang jalan kau mesti berhati-hati karena membawa
mestika, jangan kelewabt memamerkan dijri, dan yang pagling penting tabk boleh
mencari gara-gara, fajar sudah hampir menyingsing cepatlah pergi!"
Lan See giok mengiakan dengan
hormat, lalu ditatapnya kakek itu sekejap titik air mata hampir saja jatuh
berlinang, setelah berpamitan lagi dengan kakek itu, dia baru membalikkan badan
dan turun dari bukit tersebut.
Sementara itu fajar mulai
menyingsing di langit timur kabut tipis menyelimuti permu-kaan tanah, kecuali
suara ayam berkokok dari arah kampung nelayan itupun sudah mulai kedengaran
suara manusia.
Membayangkan betapa cemas dan
gelisah nya bibi Wan serta enci Cian nya waktu itu, dia mempercepat langkahnya
menuju ke de-pan.
Ketika tiba di dusun, langit
sudah terang, kabut pagi pun terasa semakin tebal, setelah melewati pepohonan
siong yang lebat, dalam waktu singkat dia telah tiba di halaman bela-kang rumah
bibi Wan nya.
Dari kejauhan ia sudah melihat
enci Cian duduk di belakang jendela dengan wajah mu-rung. sepasang matanya
memandang seba-tang pohon di hadapannya dengan termangu, seakan akan ia sedang
melamun.
Dengan cepat Lan see giok
melompati pa-gar dan melayang turun di depan jendela, segera serunya lirih.
"Enci Cian! Enci
Cian!"
Ciu Siau cian sadar kembali
dari lamunan, melihat pemuda itu sudah muncul di hada-pannya, mencorong sinar
terang dari balik matanya, kejut dan girang ia berseru lirih:
"Ayo cepat masuk!"
Dengan cepat dia menarik
tangan pemuda itu.
Meminjam tenaga tarikan tadi,
Lan See giok melayang, masuk ke dalam ruangan.
Ciu Siau cian memperhatikan
sekejap keadaan sekelilingnya. lalu merapatkan pula daun jendelanya, setelah
itu sambil meng-genggam tangan pemuda itu, omelnya dengan penuh rasa kuatir:
"Bagaimana sih kau ini?
Mengapa pergi selama ini? Bikin hati orang gelisah saja."
Sambil berkata dia mengangguk
bpemuda itu dudujk di depan pembgaringan, sementbara sepasang matanya yang jeli
dengan perasaan tak tenang dan gelisah mengawasi pemuda itu tiada hentinya.
Tak terlukiskan rasa haru,
berterima kasih dan hangatnya perasaan Lan See giok meli-hat perhatian enci
Cian terhadapnya, kata-nya kemudian sambil ter-tawa:
"Cici jangan marah, aku
diajak kakek ber-jubah kuning itu untuk bercakap cakap."
"Kakek berjubah kuning
yang mana?" tanya Ciu siau cian tidak mengerti.
Menghadapi pertanyaan
tersebut, Lan See giok baru teringat kalau tadi ia lupa me-na-nyakan nama kakek
tersebut, dengan wajah memerah terpaksa ujarnya.
"Yaa kakek berjubah
kuning itu!"
Meski Ciu Siau cian bisa
memahami, tak urung dia toh tertawa cekikikan juga.
"Enci Cian, mana
bibi?" tiba-tiba pemuda itu teringat akan Hu-yong siancu.
Ciu Siau cian menarik kembali
senyuman nya, lalu sambil sengaja menarik muka dia berkata:
"Ke mana lagi? Tentu saja
pergi mencari mu, siapa suruh kau tidak meninggalkan pesan ketika pergi."
"Bukan siaute tidak ingin
memberi pesan, aku takut Oh Tin san dan Say nyoo-hui mendengar suara
panggilanku sehingga menambah kesulitan, aku memang berniat menghindar untuk
sementara waktu ke luar dusun sana "
Ciu Siau cian menganggap
perkataan itu ada benarnya juga, maka diapun meng-ang-guk. kemudian setelah
melihat sekejap matahari di luar jendela, katanya dengan pe-nuh perhatian.
"Kau sudah bergadang
semalaman suntuk, sekarang beristirahatlah sebentar."
Setelah beberapa malam tak
tidur, Lan See giok memang merasa agak lelah, tapi dia kuatir dengan
keselamatan bibinya, segera serunya:
"Enci Cian aku tidak
lelah, aku hendak menunggu sampai bibi kembali."
"Coba kau lihat, fajar
telah menyingsing sekarang, ibupun segera akan pulang" kata Ciu Siau cian
sambil menuding ke luar jendela, tidurlah dulu. bila ibu pulang, aku akan
memanggilmu lagi!"
Sambil berkata ia menekan bahu
pemuda itu agar membaringkan diri.
Dengan perasaan apa boleh buat
terpaksa Lan See giok membaringkan diri sambil me-mejamkan mata, namun baur
harum semer-bazk yang terpancawr dari pem-barirngan terse-but semakin membuat
pemuda ini tak dapat tidur.
Oleh karena itu meski kelopak
matanya telah dipejamkan, namun masih bergetar tiada hentinya.
Tersenyum Ciu Siau cian
setelah melihat kejadian ini, tiba-tiba ia menotok jalan darah Hek-si-hiat di
tubuh pemuda itu, hanya menotok dengan pelan kemudian beranjak ke luar dari
ruangan.
Lan See giok membuka matanya
melirik sekejap ke arah enci Cian nya yang ter-senyum dengan muka merah,
melihat jalan darah tidurnya ditotok hampir saja ia ter-tawa geli.
Pada saat itulah dari luar
jendela ke-de-ngaran suara pintu pekarangan dibuka orang.
Menyusul kemudian kedengaran
suara enci Cian nya berseru:
"Ibu, adik Giok telah
pulang!"
"Oya? Di mana ia
sekarang?" tanya Hu-yong siancu kejut bercampur gembira.
Mendengar perkataan itu Lan
See giok segera melompat bangun dan siap ke luar- -
Tapi tiba-tiba saja terdengar
Ciu Siau cian berkata. "Adik Giok sudah tertidur ibu, dia hendak
menunggumu sampai pulang, akulah yang telah menotok jalan darahnya sebelum ia
tertidur ---"
Lan See giok yang mendengar
perkataan Itu segera teringat kalau jalan darahnya su-dah tertotok, cepat-cepat
dia membaringkan kembali badannya ke atas ranjang.
Untuk sesaat suasana dalam
halaman menjadi hening, lalu terdengar bibi Wan nya tertawa geli.
Lan See giok segera tahu
keadaan runyam, pasti bibinya tahu kalau dia telah belajar ilmu menggeser jalan
darah kepada enci Ciannya.
Benar juga. terasa ada angin
berdesir le-wat, bayangan manusia muncul di depan mata, Ciu Siau clan dengan
wajah cemberut telah berdiri di depan pembaringan.
Dengan perasaan terkejut Lan
See giok melompat bangun, lalu tanyanya sambil ter-tawa.
"Cici, apakah bibi telah
pulang?"
Melihat Lan See giok sudah
tahu masih pura-pura bertanya, Ciu Siau cian merasa makin mendongkol ia bersiap
siap meng-um-bar hawa amarahnya.
Tiba-tiba terdengar Hu-yong
siancu ber-tanya:
"Anak Giok, kau belum
tertidur?"
Menyusul kemudian dari luar
muncul se-seorang yang masih basah oleh embun pagi,
Lan See giok segera melompat
turun dari pembaringan, lalu katanya dengan hormat.
"Sebelum bibi pulang,
anak Giok merasa tak tenang untuk memejamkan mata".
Sambil berkata dia mengerling
sekejap ke arah enci Ciannya yang masih tersipu sipu, kontan saja sikapnya
menjadi sangat tak tenang . . .
Menyaksikan keadaan adik
Gioknya yang mengenaskan, tanpa terasa Ciu Siau cian tertawa cekikikan.
Dengan tertawanya gadis itu,
perasaan ti-dak tenang yang semula mencekam perasaan Lan See giok pun segera
menjadi lega kem-bali, ia pun turut tertawa.
Memandang sepasang muda mudi
yang amat lucu itu, Hu-yong siancu turut merasa gembira, segera ujarnya dengan
ramah:
"Anak Giok, duduklah,
coba kau cerita-kan kisah perjumpaanmu dengan kakek berjubah kuning itu."
Setelah semua orang mengambil
tempat duduk masing-masing, Lan See giok mulai menceritakan bagaimana
pengalamannya bertemu dengan kakek berjubah kuning itu sampai dia pulang
kembali.
Akhirnya pemuda itu
menambahkan.
"Bibi, anak Giok bertekad
akan mencari To-seng cu, aku rasa bisa jadi dialah pem-bunuh yang sebenarnya
dari ayahku."
Paras muka Hu-yong siansu
amatb serius, ia tidjak segera menjagwab, sampai lamba kemu-dian baru tanyanya.
"Anak Giok, apakah kau
berhasil melihat tahi lalat besar di kening kakek tersebut pada perjumpaan kali
ini?"
Bergetar keras perasaan Lan
See giok mendengar pertanyaan itu, mukanya men-jadi merah padam karena jengah,
sambil menun-dukkan kepalanya ia menjawab:
"Berhubung waktu yang
amat singkat, anak Giok cuma teringat persoalan-persoalan yang dihadapi,
karenanya aku lupa untuk memeriksanya dengan teliti."
Hu-yong siancu tidak menegur
pemuda itu, sorot matanya dialihkan ke luar jendela me-mandang matahari yang
memancarkan sinar keemas emasan, ia seperti sedang melamun-kan sesuatu.
Lama-lama kemudian ia baru
berkata agak tergagap:
"Jangan-jangan dia adalah
si kakek yang dijumpai Khong-tay tempo hari- -"
Tergerak hati Lan See giok
setelah mendengar perkataan itu, selanya tiba-tiba.
"Bibi, siapakah yang
telah berjumpa de-ngan ayahku?"
Hu-yong siancu segera sadar
atas kekhi-lafan sendiri, katanya kemudian sambil ter-tawa hambar.
"Kalian masih
kanak-kanak, sekarang be-lum saatnya untuk mengetahui persoalan-persoalan
tersebut"
Dengan cepat paras mukanya
telah pulih kembali seperti sedia kala, lalu dengan nada penuh perhatian dia
berkata.
"Anak Giok, bibi tak akan
menghalangi niatmu untuk mengunjungi bukit giok li -hong, tapi mesti kau
ketahui, perjalanan semacam ini jelas merupakan suatu perja-lanan menyerempet
bahaya, andaikan To- seng cu benar-benar adalah musuh besar yang membinasakan
ayahmu," perjalanan mu kali ini lebih banyak bahayanya dari pada selamat,
bahkan bisa jadi akan mengorban-kan selembar jiwamu"
Lan See giok sama sekali tidak
gentar oleh perkataan tersebut, katanya malah dengan gagah.
"Dendam sakit hati anakku
lebih dalam dari pada samudra, sekalipun harus naik ke bukit golok atau terjun
ke kuali berisi minyak mendidih, anak giok tak akan mundur barang setapak
pun"
Mendadak ia saksikan Cu Siau
cbian menunduk dejngan wajah sedigh, tanpa terasab ia turut beriba hati, katanya
kemudian de-ngan nada menghibur.
"Apalagi bencana atau
rejeki bukan di tentukan manusia. sampai sekarang pun belum kita ketahui To
seng cu sebenarnya musuh besar pembunuh ayahku atau bukan seandainya bukan,
anak Giokpun karena bencana peroleh rejeki, selain bisa mem-pela-jari ilmu
silat yang hebat akupun dapat membalaskan dendam bagi kematian
ayah-ku""
Dengan sorot mata gembira
Hu-yong siancu memandang sekejap ke arah Lan See giok lalu ujarnya sambil
manggut-manggut.
"Berbicara soal ilmu
silat, To seng cu ter-hitung manusia paling kosen di dunia persi-latan dewasa
ini, sampai sekarang belum pernah ada orang yang mengetahui nama dan usia yang
sebenarnya, konon dia telah berumur di atas seratus tahun, kepandaian silatnya
boleh dibilang sudah mencapai ting-katan yang luar biasa...!
Dengan sedih Ciu Siau cian
mendongakkan kepalanya, seperti memahami sesuatu dia menyela:
"Ibu, bukankah kau pernah
berkata kau pun pernah bersua dengan To seng cu? Coba kau bayangkan, persiskah
dia dengan kakek berjubah kuning yang diceritakan adik Giok tadi? "
Hu-yong siancu berkerut
kening, sekilas perubahan aneh menghiasi wajahnya, lalu ujarnya sambil
manggut-manggut:
"Peristiwa ini sudah
terjadi sepuluh tahun berselang, waktu itu To seng cu mengenakan jubah panjang berwarna
putih, membawa kipas dan amat berwibawa sehingga siapa-pun akan berkesan
mendalam bila menjum-painya."
Melihat sikap bibinya begitu
menaruh hormat, dimana hal tersebut justru berla-wanan sekali dengan pandangan
nya, maka dengan perasaan tak puas katanya.
"Bibi, anak Giok
berpendapat gelar To-seng cu ini kurang sedap didengar, seperti nama-nama Siau
yau-cu, Lui cengcu, Sian kicu dan lain sebagainya, nama tersebut ke-banyakan
adalah kaum tosu...."
Hu-yong siancu tertawa hambar,
katanya dengan lembut:
"Anak Giok, hal ini hanya
disebabkan kau sudah terlanjur menaruh perasaan benci ter-hadap julukan yang
mernggunakan kata zper-mulaan "To"w atau tunggal, ritulah sebabnya To
seng cu memberi kesan kurang baik kepadamu, padahal arti sebenarnya dari To seng-cu
atau aku yang telah sadar!"
Berada dihadapan bibinya, Lan
See giok tak berani memperlihatkan perasaan tak senang hati. namun dihati
kecilnya dia terta-wa dingin, katanya kemudian:
"Anak Giok tetap
berpendapat, julukan To seng cu itu kelewat jumawa dan tekebur, anak Giok rasa
arti dari julukan itu bukan aku yang telah sadar. mungkin saja dia ber-anggapan
akulah yang dipertuan . . . "
Hu-yong siancu segera berkerut
kening agaknya ia telah melihat perasaan benci Lan See giok terhadap To Seng
cu, maka katanya kemudian sambil manggut-manggut dan ter-tawa:
"Penjelasan secara
demikian pun boleh juga. namun kelewat memaksakan pendapat sendiri dalam
perjalananmu menuju ke bukit Hoa san kali ini, bila berjodoh dan dapat
menjumpai To seng cu, kau harus mengata-kan yang sebenarnya yakni men-dapat
pe-tunjuk dari seorang kakek berjubah kuning untuk datang minta belajar ilmu.
kau tidak boleh sekali kali menyinggung masalah den-dam sakit hati, dari pada
me-nimbulkan kecurigaan To seng cu dan mempengaruhi kemajuanmu dalam menuntut
ilmu. "
Kemudian setelah memandang
sekejap ke arah putrinya yang sedang murung, dia melanjutkan.
"Bisa jadi di sekeliling
tempat ini masih pe-nuh dengan mata-mata dari Wi-lim-poo un-tuk menghindari
segala sesuatu yang tak di-inginkan, lebih baik kau berangkat se-telah malam
nanti, sampai waktunya biar enci Cian yang melindungimu sampai di keresi-denan
Tek an. ."
"Tidak usah merepotkan
enci Cian."
Tampik Lan See giok cepat,
anak Giok ya-kin masih dapat menjaga diri sebaik baiknya, dengan menempuh
perjalanan seorang diri, hal tersebut lebih mudah bagiku untuk me-loloskan diri
dari kepungan bila menjumpai kawan jago lihay dari Wi-lim-poo"
Hu-yong siancu segera
menganggap uca-pan ini masuk diakal, diapun mengangguk.
"Baiklah, semoga kau berhati
hati di sepanjang jalan, jarak dari sini hingga kota Tek an sekitar seratus li,
bila menggunakan ilmu meringankan tubuh paling banter sele-watnya tengah malam
kau sudah tiba di sana, beristirahat di luar kota semalam.
Keesokan harinya kau boleh meneruskan
perjalanan menuju ke wilayah Kui ciu lewat Sui ciang, dari sana kau boleh
langsung ber-angkat ke bukit Hoa san. ."
Dengan perasaan amat berat Lan
See giok mengangguk berulang kali sambil mengia-kan.
Terdengar Hu-yong siancu
berkata lebih jauh.
"Anak Giok, semalam kau
belum tidur, malam nantipun harus melanjutkan perja-lanan, sekarang
beristirahatlah dulu di pem-baringan enci Cian mu."
Selesai berkata, dia lantas
berjalan menuju ke luar.
Ciu Siau cian memandang
sekejap ke arah Lan See giok dengan pedih, kemudian dengan kepala tertunduk
mengikuti di belakang ibunya menuju ke kamar tidur ibunya.
Lan See giok termangu mangu,
wajah pedih enci Cian nya sekarang pada hakekat nya berbeda sekali dengan wajah
riang ketika menotok jalan tidurnya tadi..
Benar hubungan mereka belum
lama, tapi setelah diberi kesempatan untuk menjalin hubungan lebih mendalam,
sikap Ciu Sian cian saat ini sudah jauh lebih terbuka.
Kini ia harus berpisah lagi,
dia harus ber-angkat ke Hoa san dengan membawa nasib yang sukar diketahui, bisa
jadi per-pisahan kali ini merupakan perpisahan untuk sela-manya.
Pikir punya pikir, masalah
demi masalah pun berdatangan secara beruntun, sampai lama sekali dia baru dapat
tertidur... Ketika mendusin, matahari sore sudah di jendela belakang, dengan
kaget dia me-lompat bangun melihat bibinya berada di luar, cepat dia ke luar
dari ruangan sambil bertanya.
"Bibi, sudah jam berapa
sekarang, agaknya aku sudah tertidur cukup lama?"
Melihat wajah Lan See giok
cerah kembali dia sedikitpun tidak memperlihatkan tanda keletihan, dengan
girang Hu-yong siancu berkata.
"Selama berapa hari
belakangan ini kau belum tertidur baik, tidurmu hari ini boleh dibilang sudah
lebih dari cukup."
Kemubdian setelah mejlirik
sekejap mgatahari senja dbi luar pagar. terusnya.
"Sekarang, mungkin sudah
mendekati pu-kul lima sore."
Sambil tertawa Lan See giok
menggeleng-kan kepalanya berulang kali.
"Waah, tidur anak Giok
kali ini memang betul-betul nyenyak sekali."
Ketika tidak menjumpai Siau
cian di ru-angan, kembali ia bertanya dengan perasa-an tak mengerti.
"Bibi, mana enci
Cian?"
"Ia sedang menyiapkan
santapan malam untukmu" sahut Hu-yong siancu sambil melirik sekejap ke
dapur.
Baru saja dia menyelesaikan
kata kata-nya, Ciu Siau cian telah masuk sambil menghi-dangkan santapan malam.
Lan See giok melihat sepasang
mata enci nya sudah merah membengkak, wajahnya sedih dan murung, ia tahu gadis
itu baru saja habis menangis, hal mana membuat perasaannya amat resah.
Hidangan pada malam itu sangat
lezat, sayangnya ke tiga orang itu merasa tak enak untuk makan.
Akhirnya Hu-yong siancu
mengambil kotak kuning itu dari dalam kamarnya serta se-bungkus uang perak,
kemudian dengan pe-nuh perhatian ia berkata.
"Anak Giok, simpanlah
kotak kecil ini baik- baik, sepanjang jalan kau tak boleh kelewat menonjolkan
diri, guna-kan uang perak terse-but sehemat mungkin, dengan begitu kau akan
bisa tiba di Hoa san dengan tak usah takut kehabisan beaya.."
Sambil berkata, dia serahkan
kotak dan kantung uang tersebut kepada Lan See giok.
Buru-buru pemuda itu bangkit
berdiri sambil menerimanya, tak terlukiskan rasa haru dalam hatinya hingga
tanpa terasa air matanya jatuh bercucuran, ujarnya sedih:
"Bila anak Giok berhasil
mempelajari ilmu silat dalam kepergian kali ini serta membalas dendam sakit
hati, anak Giok pasti akan pu-lang dengan secepatnya, lalu anak Giok akan
mendampingi bibi dan tak akan terjun lagi ke dunia persilatan untuk selamanya,
cuma kuatir kepergian anak giok kali ini lebih ba-nyak bahayanya daripada
keberuntungan, kalau sampai nasibku jelek dan tewas, ter-paksa budi kebaikanb
bibi dan enci jCian akan kubaygar dalam penitibsan mendatang."
Sambil berkata seka1i lagi dia
menjura, dalam-dalam.
Hu-yong siancu tersenyum, dua
baris air mata jatuh bercucuran membasahi pipinya.
Siau cian yang paling sedih,
dia menutupi wajahnya dengan sepasang tangan dan menangis tersedu sedu.
Sambil membangunkan Lan See
giok dari tanah, Hu-yong siancu berkata lagi dengan air mata bercucuran:
"Bangkitlah anak Giok,
bibi mempunyai firasat kita pasti akan bersua kembali, To seng cu adalah
seorang tokoh persilatan yang berkedudukan sangat tinggi, ia disegani dan
dihormati setiap orang, sekali pun ia bisa jadi telah membunuh ayahmu, namun
tak akan melancarkan serangan keji terhadap seorang anak muda seperti kau"
Sementara itu Lan See giok telah me-nyimpan baik-baik kotak kecil serta kantung
berisi uang itu, kemudian dengan air mata bercucuran namun sikap tegas ia
menjawab.
"Walaupun dia tak akan
turun tangan keji kepadaku, tapi aku tak akan melepaskan dia dengan begitu
saja."
Hu-yong siancu menghela napas
sedih, kata nya kemudian dengan mengandung arti dalam.
"Anak giok, bibi harap
kau bersikap cerdik dalam menghadapi setiap persoalan, berpi-kirlah yang
cermat, jangan emosi dan jangan kelewat kolot, terutama sekali melakukan
tindakan "mengadu telur dengan batu." walaupun kau sendiri tidak
menyayangi ji-wamu, namun kau harus memikirkan juga mereka--mereka yang selalu
menguatirkan keselamatanmu"
Lan See giok amat terkejut,
dengan air mata bercucuran dia segera berpaling dan memandang sekejap Ciu Siau
cian yang se-dang menangis tersedu sedu.
Dengan kening berkerut Hu-yong
siancu berkata lebih jauh:
"Bukan cuma bibi yang
mengharapkan kepadamu, enci Cian mu juga berharap kau bisa berjaya dalam dunia persilatan
di kemu-dian hari..."
Lan See giok sangat terharu,
ujarnya de-ngan wajah penuh rasa menyesal.
"Anak giok menerrima
semua nasezhat, pasti tak wakan kusia siakran harapan bibi dan cici".
Hu-yong siancu manggut-manggut
dengan sedih, setelah memandang suasana gelap di luar halaman, katanya lebih
jauh.
"Kehidupan orang di
kampung nelayan amat sederhana dan bersahaja, sekarang ke-banyakan orang dusun
telah pergi tidur, nah, kau boleh berangkat sekarang."
Ciu Siau cian yang masih
menangis terisak pun segera mengangkat kepalanya dan me-mandang Wajah Lan See
giok dengan mu-rung, beribu ribu patah kata semuanya di-tumpukkan dalam balik
sorot matanya itu.
Lan See giok sendiri meski
merasa berat hati, namun dia toh menjura juga seraya berkata:
"Harap bibi baik-baik
menjaga diri, anak Giok akan segera berangkat.!"
Lalu kepada Siau cian ujarnya
pula:
"Enci Cian, baik baiklah
menjaga diri, kepergian siaute kali ini paling banter cuma satu tahun, sampai
waktunya aku pasti akan balik kembali, tak akan kulupakan pengharapan dari
cici."
Ciu Siau cian memandang Lan
See giok dengan wajah sayu, kemudian manggut-manggut, butiran air mata sekali
lagi jatuh bercucuran.
Walaupun Hu-yong siancu
merasakan hatinya sakit bagaikan diiris iris dengan pisau, namun wajahnya masih
tetap tenang, dia memang tidak mempunyai keyakinan apakah kepergian Lan See
giok kali ini benar bisa pulang kembali dengan selamat.
Maka sekali lagi dia berkata
dengan wajah bersungguh sungguh:
"Anak giok, tujuan
kepergianmu ke bukit Hoa san adalah untuk belajar ilmu silat. se-andainya
terjadi sesuatu ditengah jalan kau tak boleh berdiam diri terlalu lama,
sekarang berangkatlah lewat halaman belakang, lalu larilah menuju barat laut,
tidak sampai sepuluh li kau akan tiba di jalan raya menuju ke kota
Tek-an."
Seusai berkata. dia lantas
membalikkan badan dan masuk kembali ke ruang dalam
Melihat bibinya telah masuk,
Lan See giok segera menggenggam tangan Siau cian dan berkata dengan lembut.
"Cici tak usah bersedih
hati, aku pasti da-pat kembali dengan aman dan selamat."
BAB 12
CIU Siau cian manggut-manggut,
sahut nya dengan air mata bercucuran.
"Adikku cici akan selalu
menantikan ke-datanganmu..."
Belum habis perkataan tersebut
diucap-kan, dua baris air mata sudah meleleh ke luar bagaikan air bah yang
menjebolkan bendungan.
Buru-buru Lan See giok
menggunakan ujung bajunya untuk menyeka air mata di wajah encinya, setelah itu
mereka berdua baru masuk ke ruang dalam.
(Bersambung ke Bagian 15)