Akhirnya kedua orang itu
memutuskan akan menunggu sampai setengah bulan lagi, jika selewatnya tahun baru
guru mereka be-lum juga kembali, maka See-giok eng ambil keputusan untuk turun
gunung dan mencari berita tentang gurunya.
Sebagaimana diketahui, dalam
gua mereka tersimpan kitab pusaka cinkeng warisan su-cou mereka, apalagi guru
mereka pun berpesan agar tidak meninggalkan gua terse-but itulah sebabnya
mereka bertiga tak bera-ni turun gunung bersama-sama.
Lan See giok memang sebelumnya
telah memperoleh ijin dari gurunya untuk turun gunung mencari balas, dengan
diutusnya pemuda tersebut, selain tidak melanggar pesan guru mereka. hal inipun
merupakan pilihan yang paling tepat, tak heran kalau kedua orang itu terpaksa
mengambil jalan tersebut.
Meski keputusan ini disambut
Si Cay soat dengan perasaan berat, namun berhubung dendam berdarah engkoh Giok
nya belum terbalas, jejak gurunyapun merupakan se-buah tanda tanya besar,
kesemuanya ini membuat si nona tak berani banyak berbi-cara.
Pikiran dan perasaan seorang
gadis me-mang selalu lebih sempit dan cupat, tidak terkecuali Si Cay soat,
semenjak mengambil keputusan tersebut, hampir setiap saat ia selalu berdoa agar
gurunya bisa cepat-cepat kembali ke rumah.
Tekanan jiwa yang dialaminya
membuat gadis itu sukar tidur dan tak enak bersantap tidak sampai berapa hari,
tubuhnya menjadi kurus dan mukanya pucat.
Baru sekarang dia menyadari
bahwa diri nya sudah tak mungkin lagi berpisah dengan engkoh Gioknya.
DALAM setahun belakangan ini,
boleh di bilang mereka bertiga selalu berkumpul ber-sama, tak sedetikpun
berpisah, entah berla-rian di tanah perbukitan ditengah malam, atau bermain air
di telaga Cui-oh, mereka selalu berduaan dan bermesraan, dan biasa-nya dalam
keadaan begini Siau thi gou yang blo"on selalu menghindar jauh-jauh.
Lewat beberapa hari lagi Lan
See-giok akan genap berusia delapan belas tahun, selama dua tahun ini, dari
seorang bocah tanggung yang binal See-giok berubah menjadi seorang pemuda yang
tampan dan gagah perkasa, tidak heran kalau Si Cay soat menjadi begitu tergiur
dan kesemsem kepadanya, ia sering-kali melamun. kalau bisa dia ingin bersama
engkoh Giok nya hidup sepanjang tahun di tempat yang terpencil ini dan tak akan
me-ngadakan hubungan lagi dengan dunia luar.
Tapi Lan See giok harus turun
gunung untuk menelusuri gurunya, sebelum hal ini benar-benar terjadi, dia
berusaha untuk menjauhkan diri dengannya, tapi alhasil malah kebalikannya yang
diperoleh.
Sekarang dia mulai sadar, jika
See giok su-dah turun gunung, maka kehidupannya akan menjadi kering, kosong,
sepi dan layu, keadaan yang harus dialaminya selama ber-tahun lamanya mungkin.
Betul di sisinya masih ada
Siau thi gou yang polos dan lugu. diapun sangat menya-yangi adiknya yang
menawan tersebut, tapi bagaimanapun juga perasaan kasih sayang sebagai kakak
terhadap adik tentu saja ber-beda sekali dengan kasih sayang terhadap pujaan
hatinya...
Selain itu, masih ada satu hal
lagi yang membuat perasaannya tidak tenang, yaitu si gadis cantik lainnya yang
sering dipuja oleh gurunya. Ciu Siau cian.
Setiap kali ia membicarakan
soal Ciu Siau cian, di atas wajah engkoh Giok nya tentu terlintas setitik
cahaya tajam, selain rasa hormat terselip juga perasaan cinta.
Selama setahun ini, diapun
menyaksikan bahwa engkoh Giok nya tak pernah sedikit pun melupakan Ciu Siau
cian, kejadian ini membuatnya lebih cemburu, lebih mendong-kol dan tak tenang.
Pernah terbayang olehnya
bagaimana eng-koh Giok dan Ciu Siau cian bertemu kembali, apa yang mereka
lakukan setelah perjum-paan itu? Sudah pasti---
la tak berani berpikir lebih
jauh, sebab sa-ban kali membayangkan hal tersebut, hati nya pasti berdebar
keras, wajahnya berubah merah dan sepanjang malam tak bisa tidur nyenyak---
Lan See giok pun merasa sangat
tak tenang melihat keadaan adik Soat nya yang makin lama semakin kurus dan
murung.
Seringkali dia menghibur nona
tersebut selain berpesan kepada Siau-thi gou agar se-lalu memperhatikannya.
Ia juga tahu, dalam
perjalanannya turun gunung nanti, mungkin sekali banyak kesu-litan dan percobaan
yang bakal dialaminya.
Diapun berharap gurunya bisa
kembali dengan selamat, hal ini berarti bisa membe-baskannya untuk berangkat ke
luar lautan.
Meski diapun pernah memikirkan
bibi Wan dan enci Cian nya, namun masalah dendam orang tua dan musibah gurunya
jauh lebih memenuhi jalan pemikirannya.
Tahun baru kedua semenjak
See-giok tiba di bukit Hoa-san, akhirnya menjelang tiba, salju masih
menyelimuti seluruh permukaan tanah.
Biarpun suasana tahun baru
merupakan hari-hari yang paling bahagia, namun Lan See giok, Si Cay soat dan
Siau thi gou nam-pak lebih masgul dan murung.
Akhirnya tanggal tiga bulan
pertama, Lan See-giok mengambil keputusan untuk turun gunung.
Si Cay soat sibuk di dapur
untuk menyiap-kan hidangan bagi perjamuan perpisahan-nya dengan Lan See giok.
Siau-thi-gou membantu See giok
membe-reskan perbekalannya.
Lan See-giok telah bertukar
pakaian de-ngan baju baru pemberian bibi Wan serta enci Cian, gurdi emasnya
disembunyikan di-balik pinggang dan senjata rahasia andalan ayah nya peluru cahaya
perak, digantungkan di balik jubahnya.
Perjamuan perpisahan
berlangsung cukup meriah, meskipun masing-masing pihak berusaha untuk
menyembunyikan perasaan dukanya di dalam hati.
Malam semakin kelam, akhirnya
Lan See giok harus membesarkan hati untuk bangkit berdiri.
"Adik Soat, Adik Gou, aku
harus berangkat sekarang!" ujarnya kemudian dengan suara tenang.
Si Cay-soat dan Siau- thi-gou
manggut-manggut pedih, serentak mereka bangkit untuk mengantar ke luar ruangan:
Barisan bambu dan pohon siong
mereka lewati dengan perasaan yang sangat berat dan masgul..
Sepanjang perjalanan,
Siau-thi-gou diam-diam berdoa bagi keberhasilan engkoh Giok-nya dan menemukan
kembali jejak guru mereka serta berhasil membalas sakit hati.
Sedangkan Si Cay coat harus
mengucur-kan air mata sambil menahan isak tangis-nya, selain berharap engkoh
Gioknya bisa berhasil dengan sukses, di hati kecilnya pun dipenuhi oleh
pelbagai kemurungan yang serasa menyumbat hatinya.
Lan See giok pun merasakan
hatinya berat dan murung, untuk kesekian kalinya dia ha-rus merasakan kembali
betapa berat nya saat-saat perpisahan dengan orang-orang yang dicintainya.
Namun ia tak berani banyak
berbicara, ia berusaha untuk menjaga ketenangan hatinya serta mencari akal
bagaimana mesti bertin-dak untuk menyelidiki jejak gurunya sesudah turun gunung
nanti.
Karena itulah meski wajahnya
nampak -sangat tenang, sesungguhnya dia merasa amat murung dan kesal.
Akhirnya hutan bambu sudah
dilewati, se-jauh mata memandang, lapisan salju nan putih menyelimuti seluruh
jagad.
Tiba-tiba Lan See giok
menghentikan lang-kahnya, kemudian sambil menengok adik Gou dan adik Soatnya
yang tampak sangat murung, ia berkata sedih:
"Adik Soat, adik Gou,
kalian harus menjaga diri baik-baik, begitu selesai pekerjaanku, secepatnya aku
akan pulang kembali."
Siau thi gou membuka matanya
lebar-lebar sambil mengangguk, matanya berkaca kaca dan hampir saja air matanya
jatuh bercu-curan:
Si Cay-soat juga berusaha
untuk me-ngen-dalikan gejolak perasaannya, namun dia tak mampu mengendalikan
diri untuk mem-bungkam terus, dengan wajah yang basah oleh air mata dan wajah
yang amat layu, dia menengok pemuda itu sambil bisiknya de-ngan suara gemetar:
"Engkoh Giok ......"
Namun hanya sebutan itu yang
sempat meluncur ke luar, tubuhnya segera gemetar keras, sambil menutupi wajah
sendiri dengan kedua belah tangan, dia menangis tersedu sedu.
Sedih nian perasaan Lan See
giok me-nyak-sikan kejadian seperti ini, namun bila teri-ngat dia tugas berat
yang berada dibahunya, pemuda tersebut tak berani berpikir lebih jauh.
Dengan lemah lembut
dipegangnya lengan gadis itu kemudian dengan perasaan pedih dia berkata:
"Adik Soat. bila akan
ingin mengucapkan sesuatu, katakanlah sekarang juga..."
Dalam keadaan begini Si Cay
soat tidak memperdulikan lagi kehadiran Siau thi gou di tempat tersebut, sambil
menangis tersedu dia menubruk ke dalam pelukan See giok lalu bisiknya.
"Apa yang hendak
kukatakan, telah kau ketahui semua--
Sebagai seorang yang pintar,
sudah barang tentu pemuda itu cukup mengetahui bagai-manakah perasaan gadis
tersebut sekarang.
Dengan perasaan sedih dan
terharu, pe-muda itu segera menghibur.
"Adik Soat, kau jangan
kelewat menyiksa diri, seusai bertugas aku pasti akan kembali lagi!"
Si Cay soat pun cukup tahu
bahwa anak muda tersebut tak mungkin bisa kembali sedemikian cepatnya, sebab di
samping me-nyelidiki musuh-musuh besar pembunuh ayahnya. diapun harus
menelusuri jejak gu-runya, bahkan bisa jadi perjalanannya didampingi Ciu Siau
cian, mungkinkah pe-muda itu akan kembali secepatnya?"
Melihat gadis itu membungkam
diri dalam seribu bahasa. Lan See-giok mengerti, tak mungkin ia bisa menghibur
perasaannya yang duka dengan sepatah dua patah kata saja, akhirnya sambil
membulatkan tekad ia ber-kata:
"Adik Soat, adik Gou,
jagalah diri kalian baik-baik, aku akan berangkat dulu!"
Si Cay-soat mengangkat
kepalanya me-mandang pemuda itu sedih, lalu mengangguk lirih.
"Berangkatlah engkoh
Giok, semoga kau jangan terlalu memikirkan siau-moay berdua sehingga mengganggu
pikiranmu..."
Lan See giok mengerti apa yang
dimaksud-kan, dia menghela napas sedih seraya men-jawab:
"Perasaanku hanya Thian
yang mbaha tahu, moga-jmoga adik Soat gbisa menjaga dibri baik-baik dan merawat
adik Gou semestinya.
"Jangan sampai membuat
kau sendiri jatuh sakit!"
Kata-kata tersebut amat
menghibur perasaan Si Cay-soat, ia segera menyeka air matanya dan mengangguk.
Sekali lagi Lan See giok
memandang wajah ke arah Si Cay-soat serta Siau-thi gou, ke-mudian diiringi
ucapan selamat tinggal ia membalikkan badan dan berlalu dari situ.
Dalam waktu singkat bayangan
tubuh Lan See giok sudah lenyap di balik pepohonan sana.
Perasaan sedih, kosong. sepi
dengan cepat menyelimuti seluruh perasaan Si Cay-soat, tak tahan lagi air
matanya sekali lagi jatuh bercucuran dengan derasnya.
"Sudahlah enci Soat"
Siau-thi-gou segera menghibur. "mari kita masuk, engkoh Giok telah pergi
jauh."
Namun Si Cay soat tidak
memberikan reaksi apapun, dia masih berdiri termangu sambil memandang ke muka
dimana baya-ngan tubuh Lan See-giok melenyapkan diri tadi.
Lan See giok mengerahkan
segenap tena-ganya untuk berlari kencang. begitu pesatnya dia berkelebat
membuat pemuda itu terce-ngang sendiri atas kemajuan yang telah dica-painya
selama ini.
Sawah dan gunung sudah
dilalui, dengan menelusuri jalan raya yang ramai dia berge-rak terus menuju ke
arah tenggara.
Langit mulai terang, matahari
mulai mun-cul dari ufuk timur, namun Lan See giok ma-sih meneruskan
perjalanannya dengan cepat.
Ketika tiba di sebuah kota
besar, Lan See giok mendapat tahu kalau tempat itu terletak paling dekat dengan
benteng Pek hoo cay milik si toya besi berkaki tanggal Gui Pak ciang ketimbang
bukit Tay ang san dari ber-uang berlengan tunggal.
Mengetahui hal tersebut, ia
mengambil keputusan untuk berangkat ke Benteng Pek hoo cay mencari si toya baja
berkaki tunggal, meski Gui Pak ciang tidak termasuk orang yang paling
mencurigakan, namun siapa tahu kalau dari mulutnya akan diperoleh sedikit
informasi yang menguntungkan?
Malam itu, dia tiba di sebuah
bkota yang jarakjnya tinggal sepguluh li dari bebnteng Pek hoo cay.
Setelah menempuh perjalanan
jauh, Lan See giok merasa perutnya lapar, dia pun me-masuki sebuah rumah makan
yang berada tak jauh dari situ.
Suasana dalam rumah makan
ramai sekali, hampir semua tempat dipenuhi dengan tamu yang minum arak sambil
bermain dadu.
Lan See giok memilih sebuah
tempat yang dekat dengan jendela, sesudah memesan hi-dangan, dia bersantap
sambil tiada hentinya menyusun rencana bagaimana meng-hadapi Gui Pak ciang
nanti.
Sementara masih melamun,
tiba-tiba dari luar jendela berkumandang suara derap kaki kuda yang ramai
sekali.
Menyusul kemudian terdengar
suara orang yang berteriak-teriak kaget dari arah jalan raya.
Serentak semua keramaian dalam
rumah makan terhenti sama sekali, orang berhenti bermain dadu, yang semula
berkaok-kaok kini pun membungkam diri dalam seribu ba-hasa, suasana menjadi
hening sekali.
Hal tersebut tentu saja
mengherankan Lan See giok, tanpa terasa dia membuka daun jendela sambil
menengok ke depan.
Pada saat itulah seorang
pelayan telah membuka jendela sambil mengintip ke luar, tapi paras mukanya
segera berubah hebat serunya tiba-tiba:
"Aduh celaka, ji-hujin
dari benteng Pek hoo cay. Tok nio cu (wanita beracun) telah datang!"
Berkilat sepasang mata Lan See
giok mendengar ucapan itu, dengan cepat dia bangkit berdiri dan melongok ke
luar.
Sementara itu dari ujung jalan
sana terli-hat ada enam ekor kuda jempolan sedang dilarikan kencang- kencang,
orang yang se-mula berlalu lalang, kini kelihatan lari kian kemari mencari
perlindungan, suasana amat kalut dan panik.
Dibagian paling depan nampak
seekor kuda putih ditunggangi seorang nyonya can-tik bermantel hitam yang
nampaknya baru berusia dua puluh enam tujuh tahunan.
Sedangkan lima rekor lainnya
diztunggangi oleh wlima lelaki kekrar yang semuanya menyo-ren senjata, ketika
Lan see giok menengok ke luar, kebetulan sekali nyonya cantik itupun sedang
menengok ke arahnya.
Tiba-tiba saja mencorong sinar
tajam dari balik mata nyonya cantik bermantel hitam itu, ia berseru kaget dan
segera menarik tali les kudanya kencang-kencang.
Diiringi suara ringkikan
panjang, kuda putih itu segera mengangkat kakinya ke atas meski begitu,
nampaknya nyonya muda itu mahir sekali menunggang kuda, ia sama sekali tidak
terjatuh dari kudanya.
Kelima ekor kuda lainnya
serentak mena-han pula kuda masing-masing secara men-dadak, hal ini membuat
suasana ber-tambah kalut, para pejalan kaki yang sudah me-nyingkir ke samping.
sama-sama menjerit kaget sambil membubarkan diri ke empat penjuru ....
Lan See giok, sendiri meski
tidak pandai menunggang kuda, tapi setahun telah ber-selang, ketika ia sedang
kabur dari benteng Wi-lim-poo, pemuda itu pernah mengalami suatu pengalaman
yang cukup mengagetkan di tepi telaga Phoa-yang -oh.
Tak heran kalau dia segera
bersorak me-muji setelah menyaksikan kemahiran Tok -nio-cu dalam ilmu
menunggang kudanya.
Tapi perasaan tak puas segera
muncul pula sesudah menyaksikan para rakyat jelata pada membubarkan diri dalam
keadaan panik dan kalut karena ketakutan.
Dilihat dari cara orang-orang
Pek hoa cay yang berani melarikan kudanya kencang-kencang ditengah jalan yang
ramai, bisa diketahui bagaimanakah sepak terjang mereka diwaktu waktu biasa.
Sekalipun demikian, ia tak
ingin banyak menimbulkan urusan daripada belum-belum sudah mengejutkan
lawannya, bila hal terse-but sampai terjadi, berarti dia telah memberi
kesempatan kepada si Toya baja berkaki tunggal Gui Pak ciang untuk
mempersiapkan diri dengan sebaik baiknya.
Sementara ingatan tersebut
masih melintas di dalam benaknya, nyonya cantik berbaju hitam itu sudah melejit
ke tengah udara de-ngan suatu gerakan yang sangat enteng....
Mantel hitamnya yang lebar
segera ber-ki-bar pula ketika terhembus angin, bagaikan sekuntum awan hitam,
dia melayang turun di depan pintu rumah makan.
Kelima orang lelaki lainnya
yang me-nyaksi-kan kejadian tersebut, serentak me-ninggal-kan kuda kudanya dan
berlarian menuju ke depan rumah makan itu.
BAB 17
LAN SEE-GIOK segera berkerut
kening, dengan perasaan tak habis mengerti ia ber-paling, dilihatnya para tamu
yang semula berada dalam ruang rumah makan, kini se-dang membereskan uang dan
gundu mereka dengan wajah panik dan peluh dingin bercu-curan deras.
Tak selang berapa saat
kemudian, dua orang lelaki berwajah penuh amarah telah muncul di atas loteng.
Menyusul kemudian bayangan
hitam ber-kelebat lewat, Tok Nio-cu si perempuan can-tik berbaju hitam itu
diiringi ketiga orang le-laki lainnya telah muncul pula di ruang loteng dengan
langkah tergesa gesa...
"Blaammm !"
Serentak para tamu bangkit
berdiri seraya membungkukkan badan memberi hormat. semuanya menahan napas
sambil mengawasi Tok Nio-cu yang cantik dengan senyuman dikulum itu dengan
perasaan panik bercam-pur tegang.
kebetulan sekali pada waktu
itu hanya Lan See giok seorang yang duduk di kursinya, sebab dia sedang
mengawasi Tok Nio-cu yang menampakkan diri sehingga tidak terlalu memperhatikan
gerak gerik para tamu lain-nya.
Sejak muncul dalam dunia
persilatan hingga kini sudah ada beberapa orang gadis cantik yang pernah
dijumpainya.
...Orang pertama yang masuk ke
dalam lembaran hidupnya adalah enci Cian yang lembut, kemudian adik
seperguruannya Si Cay-soat yang lincah dan ketiga adalah Oh Li cu yang genit.
Dan kini, Tok Nio-cu yang
usianya sudah mencapai dua puluh enam-tujuh tahunan ini ternyata dirasakan
berwajah mirip sekalbi dengan Oh Li jcu, seolah-olahg mereka berdua badalah
saudara sekandung saja.
Rambutnya yang lembut,
wajahnya ber-bentuk bulat telur dengan biji mata yang bening, hidung mancung
dan bibir kecil mungil. dia memang seorang perempuan cantik yang sangat menawan
hati.
Sementara dia masih melamun.
mendadak seorang lelaki kekar berjalan mendekatinya. kemudian dengan mats
melotot besar har-diknya keras-keras:
"Bocah keparat, kau
benar-benar tak tahu adat, setelah bertemu dengan hujin, mengapa tidak bangkit
berdiri untuk memberi hor-mat?"
Di tengah bentakan keras,
tubuhnya menerjang ke muka dan telapak tangan kanannya siap dibacokkan ke atas
tubuh Lan See giok.
Sesungguhnya Lan See giok
tidak berniat mencari urusan. tapi setelah menyaksikan sikap kasar lawan yang
jelas hendak mencari gara-gara itu, keningnya langsung berkerut, api amarah pun
berkobar.
"Koan-ki, kembali!"
mendadak Tok- Nio-cu membentak keras.
Sayang bentakan itu sudah
terlambat, te-lapak tangan kanan Koan-ki sudah diayun-kan ke muka membacok
tubuh Lan See giok yang masih duduk dengan tenang itu.
Lan See giok tertawa dingin,
sambil menarik muka dia membalikkan pergelangan tangannya sambil mengayun ke
atas, jurus tiang sakti penahan langit segera diperguna-kan.
Tidak terlihat secara jelas
gerakan apakah yang dipergunakan olehnya, tahu-tahu saja pergelangan tangan
lelaki itu sudah kena dicengkeram olehnya, menyusul kemudian sekali bentakan
saja. dia telah melemparkan tubuh lelaki itu ke belakang.
"Blaammm!"
Diiringi suara benturan yang
sangat keras. debu dan pasir beterbangan kemana mana, diiringi jerit kesakitan
lelaki itu terlempar ke luar dari jendela --
Melihat hasil dari gerakannya
itu, Lan See giok merasa amat terkejut. Dia jadi teringat kalau di belakang
jendela merupakan jalan raya, namun sayang keadaan sudah terlam-bat baginya
untuk menarik kembali serangan tersebut.
Jeritan kaget dan teriakan
panbik dengan cepatj berkumandang dgari luar jendelba.
Lan See-giok mencoba untuk
melongok ke bawah, di jumpainya orang-orang yang se-mula berkerumun melihat
keramaian di bawah loteng situ kini sedang saling berde-sak-desakan saja,
suasana kalut sekali.
"Duuk!"
Tak ampun tubuh koan-ki yang
kekar mencium di atas tanah keras-keras, begitu kerasnya bantingan tersebut,
membuat un-tuk sementara hanya bisa mengaduh-aduh lemah.
Bersamaan waktunya ketika Lan
See-giok melongok ke bawah, dari belakang tubuh nya telah bergema lagi dua kali
bentakan keras yang memekikkan telinga.
"Dengan kehadiran nyonya
di sini, kau si keparat berani turun tangan dengan semau-nya sendiri?"
Angin pukulan yang sangat
kencang men-dadak meluncur kearah belakang kepalanya.
Ucapan yang tersebut tadi
kembali mem-bangkitkan amarah dalam dada Lan See-giok
Dengan cepat dia memutar badannya
sem-bari membentak nyaring.
"Kawanan tikus, pingin
mampus rupanya kalian!"
Kedua belah tangannya
dipergunakan ber-sama dengan suatu gerakan cepat ia mencengkeram lengan kedua
orang lelaki tersebut kemudian mengayunkan ke bela-kang.
Diiringi jeritan kesakitan.
kedua orang -le-laki itu kembali terlempar ke luar dari luar jendela.
Meski pun suasana di atas
jalan raya amat ramai dengan jeritan kaget, namun di ruang loteng dengan
berpuluh orang tamunya jus-tru dicekam dalam keheningan yang luar bia-sa, semua
orang hanya bisa membelalakkan matanya dengan perasaan terkejut.
Semula Tok Nio-cu sebetulnya
hanya terta-rik oleh ketampanan wajah Lan See giok dia merasa pemuda tampan
dengan pakaian tipis yang dikenakan di musim dingin ini sudah pasti mempunyai
asal usul yang luar biasa.
Apa mau dikata Koan-ki, lelaki
kekar tadi kelewat sombong dan tak mau memandang sebelah mata kepada orang
lalu, bukan saja serangannya mengalami kegagalan, bahkan nyaris terbanting
mampus di bawah loteng.
Akibat dari perristiwa
tersebutz, Tok Nio-cu ikwut kehilangan mruka sehingga mustahil lagi baginya
untuk berdiam diri belaka.
Apalagi sekarang, bertambah
dua orang anak buahnya lagi terlempar ke bawah loteng, posisinya boleh dibilang
semakin ter-desak.
Selama berkelana di dalam
dunia per-sila-tan, belum pernah Tok Nio-cu diperlakukan orang semacam ini, tak
heran kalau paras mukanya segera berubah menjadi hijau membesi dan tubuhnya
gemetar keras.
Sambil tertawa dingin, katanya
kemudian dengan suara berat dan dalam:
"Masih muda sudah tak
tahu diri, berani amat melukai anak buahku? Hmm, kau pasti seorang anak ayam
yang baru muncul dalam dunia persilatan sehingga tak tahu tinggi nya langit dan
tebalnya bumi!"
Kemudian setelah mengamati
wajah Lan See giok sekali lagi, dia berkata lebih lanjut, hanya kali ini
suaranya jauh lebih lembut. "Jika kulihat dari gerak serangan-mu yang
hebat, semestinya kau berasal dari pergu-ruan kenamaan, ayo cepat kau sebut kan
nama gurumu dan asal perguruanmu, bila ada hubungannya dengan kami, me-mandang
di atas hubungan kita dimasa lalu aku bersedia melepaskan dirimu dan menyudahi
persoalan sampai disini saja. kalau tidak. hmmm . . ."
"Kalau tidak mau apa
kau?" jengek Lan See giok dengan nada yang amat sinis.
Sebetulnya Tok Nio-cu berniat
mengalah dengan harapan Lan See giok bisa mencari alasan untuk menyudahi
persoalan tersebut.
Siapa tahu, anak muda itu
justru lebih berani lagi, bahkan mengejek pula. bisa di bayangkan betapa
amarahnya perempuan itu.
Sepasang matanya segera
melotot besar, keningnya berkerut kencang, dengan suara keras bentaknya:
"Bagus. kalau toh kau
tekebur terus dan tak tahu diri, akan kusuruh kau rasakan sampai di manakah
kelihaian dari aku Tok nio-cu!"
"Haah...haah...haah.."
Lan See-giok tertawa tergelak, "biar aku masih muda, belum per-nah
kujumpai manusia tekebur yang begitu jumawa macam kau..."
"Anak muda yang tak tahu
diri, tampak nya sebelum kuberi sedikit pelajaran, kau tak akan mengetahui
kelihaian orang teriak Tok Nio-cu bertambah gusar.
Tiba-tiba dia mengayunkan
telapak tangan nya ke muka..."
Segulung bola api kecil yang
memancar kan cahaya hijau, diiringi suara mendesis yang keras dan memancarkan
asap merah kehitam hitaman, langsung menerjang ke arah Lan See-giok.
Anak muda itu sangat terkejut,
ia cukup tahu akan kelihaian dari peluru api beracun tersebut, namun diapun
dapat melihat de-ngan jelas bahwa peluru api beracun itu bu-kan ditujukan ke
arahnya, itulah sebabnya ia tetap tidak berkutik.
Tok Nio-cu sendiri yang
menjadi pucat melihat sikap lawannya. tiba-tiba ia menjerit.
"Eeeh, Cepat menyingkir
ke samping!"
Belum habis dia berseru,
Peluru beracun itu sudah melesat lewat duri samping Lan See giok dan langsung
me-nerjang ke atas daun jendela.
"Blaammm!"
Asap belerang dan gulungan api
segera muncrat ke mana-mana dan memercik ke atas tubuh Lan See-giok.
Anak muda tersebut sangat
terkejut, cepat-cepat din melompat mundur ke belakang, bersamaan itu pula dia
mengangkat ujung bajunya untuk melindungi muka.
Sekalipun begitu, beberapa
puluh percikan bunga api toh sempat memercik ke atas jubah birunya.
Suatu kejadian aneh tiba-tiba
saja berlang-sung di depan mata, percikan bunga api yang jatuh di baju birunya
itu tabu-tahu saja ron-tok semua ke atas tanah, sedang pakaiannya tidak
mengalami cedera barang sedikibtpun juga.
Daljam hati kecilnyga See-giok
tahub apa yang telah terjadi, sementara dia bermaksud un-tuk turun tangan
memberi hukuman pada Tok Nio-cu, tiba-tiba suasana dalam ruang loteng itu
menjadi kalut, jeritan kaget berge-ma dari mana-mana.
Cepat-cepat pemuda itu
mendongakkan kepalanya, apa yang terlihat membuatnya amat terkejut, ternyata
jilatan api telah membakar daun jendela yang dengan segera menjalar ke
mana-mana, kebakaran besar mengancam gedung tersebut.
Tanpa berpikir panjang lagi,
pemuda itu menghimpun tenaga Hud -kong-sin-kangnya lalu diiringi bentakan
keras. ujung baju kanannya dikebutkan ke arah jendela dengan ilmu ujung baju
baja menggapai angkasa se-macam ilmu kebasan yang sangat hebat
"Weess!"
Asap tebal berputar di
angkasa, percikan api yang menjilat gedung seketika padam se-mua.
Pucat pias Tok Nio-cu melihat
kejadian ini, saking terkejutnya untuk sesaat dia sampai berdiri tertegun,
sedangkan dua orang lelaki kekar lainnya semenjak tadi sudah berdiri bodoh.
Rupanya dalam suasana gugup
tadi, Lan See-giok telah mendemonstrasikan kelihaian ilmu silatnya, setelah
kejadian. pemuda itu merasa menyesal sekali, otomatis niatnya untuk memberi
pelajaran kepada Tok Nio-cu pun ikut lenyap.
Sambil menatap wajah perempuan
itu, ka-tanya kemudian dengan suara dalam.
"Mengingat kau adalah
seorang wanita, hari ini aku bersedia memberi sebuah ke-sempatan kepadamu untuk
menyesali ulah dan tingkah lakumu selama ini. ayo cepat keluarkan uang untuk
membayar kerugian yang diderita rumah makan ini. kemudian cepat pulang ke Pek
ho cay dan sampaikan kepada Toya baja berkaki tunggul Gui Pak ciang, bahwa aku
ada urusan khusus datang kemari untuk minta petunjuknya, Kalian bo-leh
berangkat dulu. aku akan segera me-nyu-sul
Air muka Tok Nio-cu sekali
lagi berubah hebat. dia sama sekali tidak mengira kalau pemuda tampan berilmu
silat tinggi ini me-mang khusus datang ke Pek ho cay untuk mencari gara-gara.
Bila ditinjau dari kemampuan
yang di-miliki semula tersebut, agaknya hasil jerih payah Gui Pak-ciang selama
banyak tahun sudah terancam kebangkrutan.
Namun sebagai seorang jagoan
ybang sudah berpejngalaman dalam gdunia persilatabn, de-ngan cepat wanita
tersebut berhasil mengen-dalikan perasaan sendiri, jawabnya kemu-dian dengan
suara dingin.
"Pesan dari siauhiap
tentu akan siauli lak-sanakan dengan baik, kalau toh siauhiap akan segera
berkunjung ke benteng kami, baiklah siauli berangkat selangkah lebih dulu. .
Buru-buru dia membalikkan
badan dan melayang turun dari ruang loteng itu.
Dua orang lelaki kekar lainnya
cepat-cepat merogoh kantung mengeluarkan empat tahil perak. setelah dibuang ke
atas meja, mereka segera mengikuti di belakang Tok Nio cu dan berlalu dari
situ.
Mendadak satu ingatan melintas
di dalam benak Lan See giok sepeninggal Tok Nio-cu sekalian.
"Aaah, bodoh amat aku
ini, mengapa kubiarkan mereka pulang ke Pek ho cay lebih dulu? Bila Gui Pak
ciang berusaha menghin-darkan diri dari pertemuannya denganku, bukankah hal
tersebut akan menghambat usahaku untuk menyelidiki pembunuh ayah-ku yang sesungguhnya---"
Kemudian dia pun berpikir
lebih jauh.
"Yaa, aku harus berangkat
sekarang juga, kalau bisa tiba di tempat tujuan sebelum Tok Nio-cu tiba di
situ. dengan demikian aku pasti dapat mengawasi gerak gerik Gui Pak
ciang--."
Belum habis dia berpikir, para
pelayan, pemilik rumah makan dan para tamu lainnya sudah berbondong bondong
menghampiri nya sembari menyatakan terima kasih.
Lan See giok sama sekali tidak
berniat untuk melayani orang-orang tersebut, segera tanyanya.
"Boleh aku tahu berapa
jauh letak Pek hoo cay dari sini? Dan aku harus lewat mana?"
Mendapat pertanyaan itu, semua
orang segera berebut menjawab.
"Pek-hoo-cay terletak
diarah barat, kurang lebih sembilan li dari sini, dimuka benteng terdapat
sebuah hutan siong yang sangat luas, sedang di sisi kiri, kanan dan
belakang-nya di batasi oleh tanggul sungai. bagaimana keadaan di dalamnya
jarang sekali diketahui oleh orang luar!"
Dalam keadaan demikian, Lan
See giok ingin sekali secepatnya berangkat ke situ, cepat dia mengeluarkan
sekeping uang perak diletakkan di meja, kemudian dengan lang-kah cepat berjalan
menuju ke belakang jendela.
Dalam sekali kelebatan saja,
bayangan tubuhnya sudah lenyap dari pandangan mata.
Setelah meninggralkan rumah
makzan Lan See-giokw menentukan ararhnya kemudian sambil mengerahkan ilmu
meringankan tubuhnya bergerak menuju ke barat.
Setelah ke luar dari kota,
sawah dan ladang terbentang luas, di tepi jalan masih tersisa pula tumpukan
salju yang belum melumer.
Sepanjang jalan Lan See-giok
beberapa kali berpaling, namun ia tak nampak Tok Nio-cu berenam menyusul
dirinya, bisa jadi mereka sedang mencari kuda-kuda mereka yang lari ketakutan
serta merawat setiap anak buah-nya yang terluka.
Setelah menempuh perjalanan
beberapa li, ia mulai menangkap beberapa titik cahaya lentera di kejauhan sana,
bahkan lama lamat terdengar juga suara pohon siong yang di hembus angin serta
suara air yang mengalir di selokan.
Lan See giok tahu cahaya lampu
yang muncul di depan sana sudah pasti benteng Pek-hoo cay. maka tanpa terasa dia
percepat larinya menuju ke depan.
Jarak sejauh tujuh-delapan li
ditempuh dalam waktu yang amat singkat, kini Lan See-giok sudah berada dalam
hutan pohon siong yang cukup lebat.
Suasana dalam hutan itu cukup
hening lagi gelap gulita, yang terdengar hanya suara ranting yang terhembus
angin serta suara air yang mengalir, kesemuanya itu mendatang-kan perasaan tak
tenang bagi siapa pun yang mendengarnya.
Lan See-giok tak berani
bertindak gegabah. dengan pandangan mata yang cermat dan pendengaran yang tajam
diperiksa dulu sekeliling tempat itu, setelah tidak menjum-pai sesuatu yang
mencurigakan. Dia baru meneruskan perjalanannya memasuki hutan tersebut.
Hutan pohon siong itu mencapai
ratusan kaki, di ujung hutan adalah sebuah gundu-kan tanah serta sebuah jalan
beralas batu yang menanjak ke atas, pada ujung jalan itulah terletak pintu
gerbang benteng yang tingginya mencapai puluhan kaki:
Batas pagar benteng terbentuk
dari batang pohon yang besar lagi tinggi, sedemikian tingginya sehingga
seseorang dengan ilmu meringankan tubuh yang sempurna pun ja-ngan harap dapat
melampauinya.
Lan See-giok tidak ingin
kehadiran di situ diketahui musuh kelewat dini, dengan ber-hati hati sekali dia
meninggalkan jalan raya yang lebar dan menyusup ke sisi kanan dinding benteng:
Disaat tubuhnya sedang
menerjang ke muka dengan kecepatan bagaikan kilat itu lah---
"Sreeet!" Mendadak
sebatang anak panah dibidikkan ke arahnya disertai tenaga sam-baran yang sangat
kuat.
Lan See giok sangat terkejut,
dia tidak menyangka kalau jejaknya telah diketahui musuh dengan begitu cepat,
serta merta dia percepat gerakan tubuhnya untuk lewat ke muka.
Anak panah tersebut dengan
cepat me-nyambar lewat dari atas kepalanya dan ron-tok beberapa kaki di
belakangnya.
Menyusul kemudian beberapa kali
desiran angin tajam berhamburan dari arah benteng menuju ke arahnya,
Dalam keadaan begini, Lan See
giok tak berani bertindak secara gegabah, bagaikan segulung asap ringan dia
meluncur ke muka, sebelum anak panah tersebut mencapai sasa-ran, dia telah meluncur
ke muka dan tanpa menghentikan gerakannya ia langsung melejit ke tengah
udara---
Baru saja badannya hampir
mencapai dinding benteng, seorang pemanah yang ber-diri tak jauh dari situ
telah membentak keras, kemudian dengan busurnya orang itu menyerang secara
ganas dan bengis ....
Tujuan dari kedatangan Lan
See-giok kali ini adalah menemukan si toya besi berkaki tunggal secepatnya,
tentu saja ia tak ber-mi-nat sama sekali untuk -melayani orang-orang tersebut.
Tidak membuang banyak waktu,
tubuhnya kembali-melejit ke muka dan meluncur se-jauh beberapa kaki ke depan...
Dengan gerakannya itu. sapuan
dari lelaki berbusur itu menjadi mengenai sasaran ko-song, mungkin karena
menggunakan tenaga kelewat keras, hampir saja ia ter-jerumus ke bawah benteng.
Rekan rekannya yang menjumpai
bhal itu serentajk membentak margah dan bersama bsama datang memberi bantuan,
sayang sekali kedatangan mereka terlambat, tatkala orang-orang itu sampai di
tempat kejadian, baya-ngan musuh telah hilang lenyap tak berbe-kas.
Tak heran kalau suasana di
sekeliling tem-pat itu segera berubah menjadi amat kacau.
Sementara itu, Lan See-giok
yang berada ditengah udara sama sekali tidak menghenti-kan gerakan tubuhnya,
dengan gerakan naga bermain ditengah angkasa, ia meluncur lebih ke atas
wuwungan rumah. beberapa kaki dari posisi semula. kemudian ujung kakinya
kem-bali menjejak tanah dengan cepat ia melun-cur lebih ke depan.
Sepanjang jalan yang terlihat
hanya ba-ngunan rumah yang berlapis, semuanya teratur rapi dan bersih sekali
Puluhan kaki kemudian, pemuda
itu menangkap cahaya lentera yang amat terang muncul dari sebuah gedung di
depan situ, bangunan itu sangat besar dan paling megah, bentuknya mirip sekali
dengan sebuah balai pertemuan.
Dengan langkah tubuh yang
berhati hati Lan See giok mendekati bangunan itu. dari atas wuwungan rumah ia
dapat melihat ba-nyak orang sedang berkumpul di dalam ru-angan tersebut.
Sebagai tuan rumah yang duduk
dikursi utama adalah seorang kakek berambut putih, beralis tebal, bermata besar
dan membawa sebuah toya besi yang berat sekali, orang itu tak lain adalah Gui
Pak-ciang...
Tanpa membuang waktu lagi.
anak muda itu segera melayang turun ke tengah ruangan tersebut.
Kehadirannya yang sangat
tiba-tiba dan di luar dugaan tersebut segera membuat para hadirin tertegun,
kemudian kecuali Gui Pak ciang beserta seorang kakek berjubah hijau dan seorang
nenek berbaju abu-abu, air muka mereka hebat sekali.
Lan See giok mengawasi semua
orang yang berada dalam ruangan dengan cepat, menu-rut perkiraannya, jumlah
mereka semua hampir mencapai dua tiga puluhan orang.
Sementara itu, si toya baja
berkaki tunggal Gui Pak-ciang telah berhasil menguasai perasaan sendiri,
apalagi se-telah mengetahui bahwa pendatang cuma seorang pemuda baju biru yang
berwajah tampan, ia semakin tidak memikirkannya di dalam hati.
Kakek berjubah hijau yang
berdbiri di sisi Guij Pak-ciang memigliki wajah yangb bengis, mata ikan dan
alis mata tumpul. dari sorot matanya yang tajam sewaktu mengawasi Lan See-giok.
bisa diduga kalau, ia seorang manusia berhati licik. Sebaliknya si nenek
berbaju hijau yang telah ubanan rambutnya, bermuka persegi beralis tebal dan
sepasang mata yang bagaikan mata seekor ayam jago. dari kilatan matanya yang
menggidikkan serta tongkat digenggamnya, dapat diduga orang ini merupakan
seorang nenek yang su-kar dihadapi.
Sementara Lan See giok baru
selesai me-ngawasi orang-orang yang berada di situ. Tongkat besi berkaki
tunggal Gui Pak ciang dengan wajah hijau membesi telah menegur.
"Saudara cilik, siapa
namamu, datang dari mana? Ada urusan apa kau berkunjung ke mari ditengah malam
begini? Silahkan kau utarakan saja secara terus terang."
Bertemu dengan Gui Pak-ciang,
Lan See giok lantas teringat kembali akan perlakuan orang itu terhadap dirinya
ketika masih berada dalam kuburan kuno, ditambah pula dengan sikap sombongnya
sekarang, tiba-tiba saja hawa amarahnya berkobar.
Namun Pemuda itu segera
mengendalikan hawa amarahnya. dia ingin berusaha mencari keterangan yang banyak
dari orang ini, maka ujarnya kemudian dengan suara tenang.
"Aku Lan See giok ingin
mencari tahu suatu persoalan yang amat penting dari caycu, bila kedatanganku
sangat di luar dugaan, harap lo-caycu jangan marah!"
Gui Pak-ciang semakin tak
senang hati terutama melihat sikap musuhnya yang ang-kuh dan sama sekali tidak
memberi hormat kepadanya, namun dia sendiripun tak berani bertindak gegabah.
sebab ia tahu bila pemu-da ini tidak memiliki pegangan yang kuat, tak mungkin
ia berani bertindak begini.
Setelah tertawa
terbahak-bahak, katanya kemudian:
"Kalau toh ada urusan
penting yang hen-dak disampaikan, mari silahkan masuk ke dalam ruangan untuk
berbincang-bincang!"
Sambil berkata, dengan cepat
dia meng-u-lapkan tangannya dan menitahkan semua orang untuk menyingkir ke
samping dan memberi jalan lewat kepadanya.
Lan See-giok memandang sekejap
ke dalam ruangan. di situ sudah tersedia meja perja-muan yang lengkap derngan
hidangan lzezat namun perjwamuan belum dimrulai, bisa jadi orang-orang, itu
sedang menanti kedatangan Tok Nio-cu.
Setelah termenung sejenak,
pemuda itu pun berkata seraya menggelengkan kepala nya berulang kali:
"Tidak usah, aku hanya
ingin bertanya be-berapa patah kata saja, lebih baik ku ajukan dari sini."
Dari sikap pemuda tersebut,
sebagai jago-jago yang berpengalaman dalam dunia persi-latan, Gui Pak-ciang
sekalian segera merasa bahwa kedatangan pemuda berbaju biru itu nampaknya tidak
berniat baik. Berkilat sepasang mata nenek berbaju abu-abu itu, mendadak
ujarnya kepada Gui Pak ciang:
"Pak ciang, kalau begitu
suruh saja ia ber-bicara secepatnya, To Siok adalah tamu agung kita dari tempat
jauh. ia sudah cukup lama menantikan kedatangan Tok Nio-cu, masa kau ingin
mempertontonkan kejelekan ini dihadapannya lagi?"
Lan See giok segera tertawa
dingin, berda-sarkan panggilan si nenek atas Gui Pak ciang, bisa jadi nenek
tersebut adalah istri tuanya, sedangkan yang disebut sebagai To Siok mungkin
sekali adalah kakek berjubah hijau itu.
Gui Pak ciang segera
manggut-manggut kepada Lan See giok ujarnya kemudian de-ngan tidak sabar:
"Kalau toh kau ingin
mengucapkan bebe-rapa patah kata saja, nah katakan sekarang juga."
Lan See giok mengerutkan
dahinya rapat-rapat, kemudian dengan suara dalam tegur nya:
"Aku hanya ingin tahu,
sebetulnya men-diang ayahku Lan Kong tay terbunuh di ta-ngan siapa? Siapakah
diantara kalian lima manusia cacad yang telah melakukan per-buatan keji itu-
-"
Belum selesai ucapan tersebut
diutarakan, Gui Pak ciang serta To Siok si kakek berju-bah hijau itu sudah
berubah muka.
Gui Pak ciang nampak agak
tertegun, se-baliknya, To Siok segera mendongakkan kepalanya dan tertawa seram.
Tergerak hati Lan See-giok
menyaksikan hal tersebut. bila dugaannya tak keliru, bisa jadi antara kakek
berjubah hijau itu dengan ayahnya pernah terjalin hubungan permu-suhan yang
sangat mendalam sekali.
Betul juga dugaannya, setelah
berhenti tertawa seram, kakek berjubah hijau itu segera berseru dengan penuh
kebencian.
"Aku, si pukulan pasir
merah To Siok se-dang kecewa karena dendam sakit hati yang kuterima tiga belas
tahun berselang tak mungkin bisa menuntut balas kembali, hmm ----rupanya Thian
memang memberi kesem-patan kepadaku untuk melampiaskan-nya, atas kesempatan ini
aku pasti berterima kasih kepada Lo thian ya!"
(Bersambung ke Bagian 22)