Anak Harimau Bagian 21

Baca Cersil Mandarin Online: Anak Harimau Bagian 21

Bagian 21

Akhirnya kedua orang itu memutuskan akan menunggu sampai setengah bulan lagi, jika selewatnya tahun baru guru mereka be-lum juga kembali, maka See-giok eng ambil keputusan untuk turun gunung dan mencari berita tentang gurunya.

Sebagaimana diketahui, dalam gua mereka tersimpan kitab pusaka cinkeng warisan su-cou mereka, apalagi guru mereka pun berpesan agar tidak meninggalkan gua terse-but itulah sebabnya mereka bertiga tak bera-ni turun gunung bersama-sama.

Lan See giok memang sebelumnya telah memperoleh ijin dari gurunya untuk turun gunung mencari balas, dengan diutusnya pemuda tersebut, selain tidak melanggar pesan guru mereka. hal inipun merupakan pilihan yang paling tepat, tak heran kalau kedua orang itu terpaksa mengambil jalan tersebut.

Meski keputusan ini disambut Si Cay soat dengan perasaan berat, namun berhubung dendam berdarah engkoh Giok nya belum terbalas, jejak gurunyapun merupakan se-buah tanda tanya besar, kesemuanya ini membuat si nona tak berani banyak berbi-cara.

Pikiran dan perasaan seorang gadis me-mang selalu lebih sempit dan cupat, tidak terkecuali Si Cay soat, semenjak mengambil keputusan tersebut, hampir setiap saat ia selalu berdoa agar gurunya bisa cepat-cepat kembali ke rumah.

Tekanan jiwa yang dialaminya membuat gadis itu sukar tidur dan tak enak bersantap tidak sampai berapa hari, tubuhnya menjadi kurus dan mukanya pucat.

Baru sekarang dia menyadari bahwa diri nya sudah tak mungkin lagi berpisah dengan engkoh Gioknya.

DALAM setahun belakangan ini, boleh di bilang mereka bertiga selalu berkumpul ber-sama, tak sedetikpun berpisah, entah berla-rian di tanah perbukitan ditengah malam, atau bermain air di telaga Cui-oh, mereka selalu berduaan dan bermesraan, dan biasa-nya dalam keadaan begini Siau thi gou yang blo"on selalu menghindar jauh-jauh.

Lewat beberapa hari lagi Lan See-giok akan genap berusia delapan belas tahun, selama dua tahun ini, dari seorang bocah tanggung yang binal See-giok berubah menjadi seorang pemuda yang tampan dan gagah perkasa, tidak heran kalau Si Cay soat menjadi begitu tergiur dan kesemsem kepadanya, ia sering-kali melamun. kalau bisa dia ingin bersama engkoh Giok nya hidup sepanjang tahun di tempat yang terpencil ini dan tak akan me-ngadakan hubungan lagi dengan dunia luar.

Tapi Lan See giok harus turun gunung untuk menelusuri gurunya, sebelum hal ini benar-benar terjadi, dia berusaha untuk menjauhkan diri dengannya, tapi alhasil malah kebalikannya yang diperoleh.

Sekarang dia mulai sadar, jika See giok su-dah turun gunung, maka kehidupannya akan menjadi kering, kosong, sepi dan layu, keadaan yang harus dialaminya selama ber-tahun lamanya mungkin.

Betul di sisinya masih ada Siau thi gou yang polos dan lugu. diapun sangat menya-yangi adiknya yang menawan tersebut, tapi bagaimanapun juga perasaan kasih sayang sebagai kakak terhadap adik tentu saja ber-beda sekali dengan kasih sayang terhadap pujaan hatinya...

Selain itu, masih ada satu hal lagi yang membuat perasaannya tidak tenang, yaitu si gadis cantik lainnya yang sering dipuja oleh gurunya. Ciu Siau cian.

Setiap kali ia membicarakan soal Ciu Siau cian, di atas wajah engkoh Giok nya tentu terlintas setitik cahaya tajam, selain rasa hormat terselip juga perasaan cinta.

Selama setahun ini, diapun menyaksikan bahwa engkoh Giok nya tak pernah sedikit pun melupakan Ciu Siau cian, kejadian ini membuatnya lebih cemburu, lebih mendong-kol dan tak tenang.

Pernah terbayang olehnya bagaimana eng-koh Giok dan Ciu Siau cian bertemu kembali, apa yang mereka lakukan setelah perjum-paan itu? Sudah pasti---

la tak berani berpikir lebih jauh, sebab sa-ban kali membayangkan hal tersebut, hati nya pasti berdebar keras, wajahnya berubah merah dan sepanjang malam tak bisa tidur nyenyak---

Lan See giok pun merasa sangat tak tenang melihat keadaan adik Soat nya yang makin lama semakin kurus dan murung.

Seringkali dia menghibur nona tersebut selain berpesan kepada Siau-thi gou agar se-lalu memperhatikannya.

Ia juga tahu, dalam perjalanannya turun gunung nanti, mungkin sekali banyak kesu-litan dan percobaan yang bakal dialaminya.

Diapun berharap gurunya bisa kembali dengan selamat, hal ini berarti bisa membe-baskannya untuk berangkat ke luar lautan.

Meski diapun pernah memikirkan bibi Wan dan enci Cian nya, namun masalah dendam orang tua dan musibah gurunya jauh lebih memenuhi jalan pemikirannya.

Tahun baru kedua semenjak See-giok tiba di bukit Hoa-san, akhirnya menjelang tiba, salju masih menyelimuti seluruh permukaan tanah.

Biarpun suasana tahun baru merupakan hari-hari yang paling bahagia, namun Lan See giok, Si Cay soat dan Siau thi gou nam-pak lebih masgul dan murung.

Akhirnya tanggal tiga bulan pertama, Lan See-giok mengambil keputusan untuk turun gunung.

Si Cay soat sibuk di dapur untuk menyiap-kan hidangan bagi perjamuan perpisahan-nya dengan Lan See giok.

Siau-thi-gou membantu See giok membe-reskan perbekalannya.

Lan See-giok telah bertukar pakaian de-ngan baju baru pemberian bibi Wan serta enci Cian, gurdi emasnya disembunyikan di-balik pinggang dan senjata rahasia andalan ayah nya peluru cahaya perak, digantungkan di balik jubahnya.

Perjamuan perpisahan berlangsung cukup meriah, meskipun masing-masing pihak berusaha untuk menyembunyikan perasaan dukanya di dalam hati.

Malam semakin kelam, akhirnya Lan See giok harus membesarkan hati untuk bangkit berdiri.

"Adik Soat, Adik Gou, aku harus berangkat sekarang!" ujarnya kemudian dengan suara tenang.

Si Cay-soat dan Siau- thi-gou manggut-manggut pedih, serentak mereka bangkit untuk mengantar ke luar ruangan:

Barisan bambu dan pohon siong mereka lewati dengan perasaan yang sangat berat dan masgul..

Sepanjang perjalanan, Siau-thi-gou diam-diam berdoa bagi keberhasilan engkoh Giok-nya dan menemukan kembali jejak guru mereka serta berhasil membalas sakit hati.

Sedangkan Si Cay coat harus mengucur-kan air mata sambil menahan isak tangis-nya, selain berharap engkoh Gioknya bisa berhasil dengan sukses, di hati kecilnya pun dipenuhi oleh pelbagai kemurungan yang serasa menyumbat hatinya.

Lan See giok pun merasakan hatinya berat dan murung, untuk kesekian kalinya dia ha-rus merasakan kembali betapa berat nya saat-saat perpisahan dengan orang-orang yang dicintainya.

Namun ia tak berani banyak berbicara, ia berusaha untuk menjaga ketenangan hatinya serta mencari akal bagaimana mesti bertin-dak untuk menyelidiki jejak gurunya sesudah turun gunung nanti.

Karena itulah meski wajahnya nampak -sangat tenang, sesungguhnya dia merasa amat murung dan kesal.

Akhirnya hutan bambu sudah dilewati, se-jauh mata memandang, lapisan salju nan putih menyelimuti seluruh jagad.

Tiba-tiba Lan See giok menghentikan lang-kahnya, kemudian sambil menengok adik Gou dan adik Soatnya yang tampak sangat murung, ia berkata sedih:

"Adik Soat, adik Gou, kalian harus menjaga diri baik-baik, begitu selesai pekerjaanku, secepatnya aku akan pulang kembali."

Siau thi gou membuka matanya lebar-lebar sambil mengangguk, matanya berkaca kaca dan hampir saja air matanya jatuh bercu-curan:

Si Cay-soat juga berusaha untuk me-ngen-dalikan gejolak perasaannya, namun dia tak mampu mengendalikan diri untuk mem-bungkam terus, dengan wajah yang basah oleh air mata dan wajah yang amat layu, dia menengok pemuda itu sambil bisiknya de-ngan suara gemetar:



"Engkoh Giok ......"

Namun hanya sebutan itu yang sempat meluncur ke luar, tubuhnya segera gemetar keras, sambil menutupi wajah sendiri dengan kedua belah tangan, dia menangis tersedu sedu.

Sedih nian perasaan Lan See giok me-nyak-sikan kejadian seperti ini, namun bila teri-ngat dia tugas berat yang berada dibahunya, pemuda tersebut tak berani berpikir lebih jauh.

Dengan lemah lembut dipegangnya lengan gadis itu kemudian dengan perasaan pedih dia berkata:

"Adik Soat. bila akan ingin mengucapkan sesuatu, katakanlah sekarang juga..."

Dalam keadaan begini Si Cay soat tidak memperdulikan lagi kehadiran Siau thi gou di tempat tersebut, sambil menangis tersedu dia menubruk ke dalam pelukan See giok lalu bisiknya.

"Apa yang hendak kukatakan, telah kau ketahui semua--

Sebagai seorang yang pintar, sudah barang tentu pemuda itu cukup mengetahui bagai-manakah perasaan gadis tersebut sekarang.

Dengan perasaan sedih dan terharu, pe-muda itu segera menghibur.

"Adik Soat, kau jangan kelewat menyiksa diri, seusai bertugas aku pasti akan kembali lagi!"

Si Cay soat pun cukup tahu bahwa anak muda tersebut tak mungkin bisa kembali sedemikian cepatnya, sebab di samping me-nyelidiki musuh-musuh besar pembunuh ayahnya. diapun harus menelusuri jejak gu-runya, bahkan bisa jadi perjalanannya didampingi Ciu Siau cian, mungkinkah pe-muda itu akan kembali secepatnya?"

Melihat gadis itu membungkam diri dalam seribu bahasa. Lan See-giok mengerti, tak mungkin ia bisa menghibur perasaannya yang duka dengan sepatah dua patah kata saja, akhirnya sambil membulatkan tekad ia ber-kata:

"Adik Soat, adik Gou, jagalah diri kalian baik-baik, aku akan berangkat dulu!"

Si Cay-soat mengangkat kepalanya me-mandang pemuda itu sedih, lalu mengangguk lirih.

"Berangkatlah engkoh Giok, semoga kau jangan terlalu memikirkan siau-moay berdua sehingga mengganggu pikiranmu..."

Lan See giok mengerti apa yang dimaksud-kan, dia menghela napas sedih seraya men-jawab:

"Perasaanku hanya Thian yang mbaha tahu, moga-jmoga adik Soat gbisa menjaga dibri baik-baik dan merawat adik Gou semestinya.

"Jangan sampai membuat kau sendiri jatuh sakit!"

Kata-kata tersebut amat menghibur perasaan Si Cay-soat, ia segera menyeka air matanya dan mengangguk.

Sekali lagi Lan See giok memandang wajah ke arah Si Cay-soat serta Siau-thi gou, ke-mudian diiringi ucapan selamat tinggal ia membalikkan badan dan berlalu dari situ.

Dalam waktu singkat bayangan tubuh Lan See giok sudah lenyap di balik pepohonan sana.

Perasaan sedih, kosong. sepi dengan cepat menyelimuti seluruh perasaan Si Cay-soat, tak tahan lagi air matanya sekali lagi jatuh bercucuran dengan derasnya.

"Sudahlah enci Soat" Siau-thi-gou segera menghibur. "mari kita masuk, engkoh Giok telah pergi jauh."

Namun Si Cay soat tidak memberikan reaksi apapun, dia masih berdiri termangu sambil memandang ke muka dimana baya-ngan tubuh Lan See-giok melenyapkan diri tadi.

Lan See giok mengerahkan segenap tena-ganya untuk berlari kencang. begitu pesatnya dia berkelebat membuat pemuda itu terce-ngang sendiri atas kemajuan yang telah dica-painya selama ini.

Sawah dan gunung sudah dilalui, dengan menelusuri jalan raya yang ramai dia berge-rak terus menuju ke arah tenggara.

Langit mulai terang, matahari mulai mun-cul dari ufuk timur, namun Lan See giok ma-sih meneruskan perjalanannya dengan cepat.

Ketika tiba di sebuah kota besar, Lan See giok mendapat tahu kalau tempat itu terletak paling dekat dengan benteng Pek hoo cay milik si toya besi berkaki tanggal Gui Pak ciang ketimbang bukit Tay ang san dari ber-uang berlengan tunggal.

Mengetahui hal tersebut, ia mengambil keputusan untuk berangkat ke Benteng Pek hoo cay mencari si toya baja berkaki tunggal, meski Gui Pak ciang tidak termasuk orang yang paling mencurigakan, namun siapa tahu kalau dari mulutnya akan diperoleh sedikit informasi yang menguntungkan?

Malam itu, dia tiba di sebuah bkota yang jarakjnya tinggal sepguluh li dari bebnteng Pek hoo cay.

Setelah menempuh perjalanan jauh, Lan See giok merasa perutnya lapar, dia pun me-masuki sebuah rumah makan yang berada tak jauh dari situ.

Suasana dalam rumah makan ramai sekali, hampir semua tempat dipenuhi dengan tamu yang minum arak sambil bermain dadu.

Lan See giok memilih sebuah tempat yang dekat dengan jendela, sesudah memesan hi-dangan, dia bersantap sambil tiada hentinya menyusun rencana bagaimana meng-hadapi Gui Pak ciang nanti.

Sementara masih melamun, tiba-tiba dari luar jendela berkumandang suara derap kaki kuda yang ramai sekali.

Menyusul kemudian terdengar suara orang yang berteriak-teriak kaget dari arah jalan raya.

Serentak semua keramaian dalam rumah makan terhenti sama sekali, orang berhenti bermain dadu, yang semula berkaok-kaok kini pun membungkam diri dalam seribu ba-hasa, suasana menjadi hening sekali.

Hal tersebut tentu saja mengherankan Lan See giok, tanpa terasa dia membuka daun jendela sambil menengok ke depan.

Pada saat itulah seorang pelayan telah membuka jendela sambil mengintip ke luar, tapi paras mukanya segera berubah hebat serunya tiba-tiba:

"Aduh celaka, ji-hujin dari benteng Pek hoo cay. Tok nio cu (wanita beracun) telah datang!"

Berkilat sepasang mata Lan See giok mendengar ucapan itu, dengan cepat dia bangkit berdiri dan melongok ke luar.

Sementara itu dari ujung jalan sana terli-hat ada enam ekor kuda jempolan sedang dilarikan kencang- kencang, orang yang se-mula berlalu lalang, kini kelihatan lari kian kemari mencari perlindungan, suasana amat kalut dan panik.

Dibagian paling depan nampak seekor kuda putih ditunggangi seorang nyonya can-tik bermantel hitam yang nampaknya baru berusia dua puluh enam tujuh tahunan.

Sedangkan lima rekor lainnya diztunggangi oleh wlima lelaki kekrar yang semuanya menyo-ren senjata, ketika Lan see giok menengok ke luar, kebetulan sekali nyonya cantik itupun sedang menengok ke arahnya.

Tiba-tiba saja mencorong sinar tajam dari balik mata nyonya cantik bermantel hitam itu, ia berseru kaget dan segera menarik tali les kudanya kencang-kencang.

Diiringi suara ringkikan panjang, kuda putih itu segera mengangkat kakinya ke atas meski begitu, nampaknya nyonya muda itu mahir sekali menunggang kuda, ia sama sekali tidak terjatuh dari kudanya.

Kelima ekor kuda lainnya serentak mena-han pula kuda masing-masing secara men-dadak, hal ini membuat suasana ber-tambah kalut, para pejalan kaki yang sudah me-nyingkir ke samping. sama-sama menjerit kaget sambil membubarkan diri ke empat penjuru ....

Lan See giok, sendiri meski tidak pandai menunggang kuda, tapi setahun telah ber-selang, ketika ia sedang kabur dari benteng Wi-lim-poo, pemuda itu pernah mengalami suatu pengalaman yang cukup mengagetkan di tepi telaga Phoa-yang -oh.

Tak heran kalau dia segera bersorak me-muji setelah menyaksikan kemahiran Tok -nio-cu dalam ilmu menunggang kudanya.

Tapi perasaan tak puas segera muncul pula sesudah menyaksikan para rakyat jelata pada membubarkan diri dalam keadaan panik dan kalut karena ketakutan.

Dilihat dari cara orang-orang Pek hoa cay yang berani melarikan kudanya kencang-kencang ditengah jalan yang ramai, bisa diketahui bagaimanakah sepak terjang mereka diwaktu waktu biasa.

Sekalipun demikian, ia tak ingin banyak menimbulkan urusan daripada belum-belum sudah mengejutkan lawannya, bila hal terse-but sampai terjadi, berarti dia telah memberi kesempatan kepada si Toya baja berkaki tunggal Gui Pak ciang untuk mempersiapkan diri dengan sebaik baiknya.



Sementara ingatan tersebut masih melintas di dalam benaknya, nyonya cantik berbaju hitam itu sudah melejit ke tengah udara de-ngan suatu gerakan yang sangat enteng....

Mantel hitamnya yang lebar segera ber-ki-bar pula ketika terhembus angin, bagaikan sekuntum awan hitam, dia melayang turun di depan pintu rumah makan.

Kelima orang lelaki lainnya yang me-nyaksi-kan kejadian tersebut, serentak me-ninggal-kan kuda kudanya dan berlarian menuju ke depan rumah makan itu.

BAB 17

LAN SEE-GIOK segera berkerut kening, dengan perasaan tak habis mengerti ia ber-paling, dilihatnya para tamu yang semula berada dalam ruang rumah makan, kini se-dang membereskan uang dan gundu mereka dengan wajah panik dan peluh dingin bercu-curan deras.

Tak selang berapa saat kemudian, dua orang lelaki berwajah penuh amarah telah muncul di atas loteng.

Menyusul kemudian bayangan hitam ber-kelebat lewat, Tok Nio-cu si perempuan can-tik berbaju hitam itu diiringi ketiga orang le-laki lainnya telah muncul pula di ruang loteng dengan langkah tergesa gesa...

"Blaammm !"

Serentak para tamu bangkit berdiri seraya membungkukkan badan memberi hormat. semuanya menahan napas sambil mengawasi Tok Nio-cu yang cantik dengan senyuman dikulum itu dengan perasaan panik bercam-pur tegang.

kebetulan sekali pada waktu itu hanya Lan See giok seorang yang duduk di kursinya, sebab dia sedang mengawasi Tok Nio-cu yang menampakkan diri sehingga tidak terlalu memperhatikan gerak gerik para tamu lain-nya.

Sejak muncul dalam dunia persilatan hingga kini sudah ada beberapa orang gadis cantik yang pernah dijumpainya.

...Orang pertama yang masuk ke dalam lembaran hidupnya adalah enci Cian yang lembut, kemudian adik seperguruannya Si Cay-soat yang lincah dan ketiga adalah Oh Li cu yang genit.

Dan kini, Tok Nio-cu yang usianya sudah mencapai dua puluh enam-tujuh tahunan ini ternyata dirasakan berwajah mirip sekalbi dengan Oh Li jcu, seolah-olahg mereka berdua badalah saudara sekandung saja.

Rambutnya yang lembut, wajahnya ber-bentuk bulat telur dengan biji mata yang bening, hidung mancung dan bibir kecil mungil. dia memang seorang perempuan cantik yang sangat menawan hati.

Sementara dia masih melamun. mendadak seorang lelaki kekar berjalan mendekatinya. kemudian dengan mats melotot besar har-diknya keras-keras:

"Bocah keparat, kau benar-benar tak tahu adat, setelah bertemu dengan hujin, mengapa tidak bangkit berdiri untuk memberi hor-mat?"

Di tengah bentakan keras, tubuhnya menerjang ke muka dan telapak tangan kanannya siap dibacokkan ke atas tubuh Lan See giok.

Sesungguhnya Lan See giok tidak berniat mencari urusan. tapi setelah menyaksikan sikap kasar lawan yang jelas hendak mencari gara-gara itu, keningnya langsung berkerut, api amarah pun berkobar.

"Koan-ki, kembali!" mendadak Tok- Nio-cu membentak keras.

Sayang bentakan itu sudah terlambat, te-lapak tangan kanan Koan-ki sudah diayun-kan ke muka membacok tubuh Lan See giok yang masih duduk dengan tenang itu.

Lan See giok tertawa dingin, sambil menarik muka dia membalikkan pergelangan tangannya sambil mengayun ke atas, jurus tiang sakti penahan langit segera diperguna-kan.

Tidak terlihat secara jelas gerakan apakah yang dipergunakan olehnya, tahu-tahu saja pergelangan tangan lelaki itu sudah kena dicengkeram olehnya, menyusul kemudian sekali bentakan saja. dia telah melemparkan tubuh lelaki itu ke belakang.

"Blaammm!"

Diiringi suara benturan yang sangat keras. debu dan pasir beterbangan kemana mana, diiringi jerit kesakitan lelaki itu terlempar ke luar dari jendela --

Melihat hasil dari gerakannya itu, Lan See giok merasa amat terkejut. Dia jadi teringat kalau di belakang jendela merupakan jalan raya, namun sayang keadaan sudah terlam-bat baginya untuk menarik kembali serangan tersebut.

Jeritan kaget dan teriakan panbik dengan cepatj berkumandang dgari luar jendelba.

Lan See-giok mencoba untuk melongok ke bawah, di jumpainya orang-orang yang se-mula berkerumun melihat keramaian di bawah loteng situ kini sedang saling berde-sak-desakan saja, suasana kalut sekali.

"Duuk!"

Tak ampun tubuh koan-ki yang kekar mencium di atas tanah keras-keras, begitu kerasnya bantingan tersebut, membuat un-tuk sementara hanya bisa mengaduh-aduh lemah.

Bersamaan waktunya ketika Lan See-giok melongok ke bawah, dari belakang tubuh nya telah bergema lagi dua kali bentakan keras yang memekikkan telinga.

"Dengan kehadiran nyonya di sini, kau si keparat berani turun tangan dengan semau-nya sendiri?"

Angin pukulan yang sangat kencang men-dadak meluncur kearah belakang kepalanya.

Ucapan yang tersebut tadi kembali mem-bangkitkan amarah dalam dada Lan See-giok

Dengan cepat dia memutar badannya sem-bari membentak nyaring.

"Kawanan tikus, pingin mampus rupanya kalian!"

Kedua belah tangannya dipergunakan ber-sama dengan suatu gerakan cepat ia mencengkeram lengan kedua orang lelaki tersebut kemudian mengayunkan ke bela-kang.

Diiringi jeritan kesakitan. kedua orang -le-laki itu kembali terlempar ke luar dari luar jendela.

Meski pun suasana di atas jalan raya amat ramai dengan jeritan kaget, namun di ruang loteng dengan berpuluh orang tamunya jus-tru dicekam dalam keheningan yang luar bia-sa, semua orang hanya bisa membelalakkan matanya dengan perasaan terkejut.

Semula Tok Nio-cu sebetulnya hanya terta-rik oleh ketampanan wajah Lan See giok dia merasa pemuda tampan dengan pakaian tipis yang dikenakan di musim dingin ini sudah pasti mempunyai asal usul yang luar biasa.

Apa mau dikata Koan-ki, lelaki kekar tadi kelewat sombong dan tak mau memandang sebelah mata kepada orang lalu, bukan saja serangannya mengalami kegagalan, bahkan nyaris terbanting mampus di bawah loteng.

Akibat dari perristiwa tersebutz, Tok Nio-cu ikwut kehilangan mruka sehingga mustahil lagi baginya untuk berdiam diri belaka.

Apalagi sekarang, bertambah dua orang anak buahnya lagi terlempar ke bawah loteng, posisinya boleh dibilang semakin ter-desak.

Selama berkelana di dalam dunia per-sila-tan, belum pernah Tok Nio-cu diperlakukan orang semacam ini, tak heran kalau paras mukanya segera berubah menjadi hijau membesi dan tubuhnya gemetar keras.

Sambil tertawa dingin, katanya kemudian dengan suara berat dan dalam:

"Masih muda sudah tak tahu diri, berani amat melukai anak buahku? Hmm, kau pasti seorang anak ayam yang baru muncul dalam dunia persilatan sehingga tak tahu tinggi nya langit dan tebalnya bumi!"

Kemudian setelah mengamati wajah Lan See giok sekali lagi, dia berkata lebih lanjut, hanya kali ini suaranya jauh lebih lembut. "Jika kulihat dari gerak serangan-mu yang hebat, semestinya kau berasal dari pergu-ruan kenamaan, ayo cepat kau sebut kan nama gurumu dan asal perguruanmu, bila ada hubungannya dengan kami, me-mandang di atas hubungan kita dimasa lalu aku bersedia melepaskan dirimu dan menyudahi persoalan sampai disini saja. kalau tidak. hmmm . . ."

"Kalau tidak mau apa kau?" jengek Lan See giok dengan nada yang amat sinis.

Sebetulnya Tok Nio-cu berniat mengalah dengan harapan Lan See giok bisa mencari alasan untuk menyudahi persoalan tersebut.

Siapa tahu, anak muda itu justru lebih berani lagi, bahkan mengejek pula. bisa di bayangkan betapa amarahnya perempuan itu.



Sepasang matanya segera melotot besar, keningnya berkerut kencang, dengan suara keras bentaknya:

"Bagus. kalau toh kau tekebur terus dan tak tahu diri, akan kusuruh kau rasakan sampai di manakah kelihaian dari aku Tok nio-cu!"

"Haah...haah...haah.." Lan See-giok tertawa tergelak, "biar aku masih muda, belum per-nah kujumpai manusia tekebur yang begitu jumawa macam kau..."

"Anak muda yang tak tahu diri, tampak nya sebelum kuberi sedikit pelajaran, kau tak akan mengetahui kelihaian orang teriak Tok Nio-cu bertambah gusar.

Tiba-tiba dia mengayunkan telapak tangan nya ke muka..."

Segulung bola api kecil yang memancar kan cahaya hijau, diiringi suara mendesis yang keras dan memancarkan asap merah kehitam hitaman, langsung menerjang ke arah Lan See-giok.

Anak muda itu sangat terkejut, ia cukup tahu akan kelihaian dari peluru api beracun tersebut, namun diapun dapat melihat de-ngan jelas bahwa peluru api beracun itu bu-kan ditujukan ke arahnya, itulah sebabnya ia tetap tidak berkutik.

Tok Nio-cu sendiri yang menjadi pucat melihat sikap lawannya. tiba-tiba ia menjerit.

"Eeeh, Cepat menyingkir ke samping!"

Belum habis dia berseru, Peluru beracun itu sudah melesat lewat duri samping Lan See giok dan langsung me-nerjang ke atas daun jendela.

"Blaammm!"

Asap belerang dan gulungan api segera muncrat ke mana-mana dan memercik ke atas tubuh Lan See-giok.

Anak muda tersebut sangat terkejut, cepat-cepat din melompat mundur ke belakang, bersamaan itu pula dia mengangkat ujung bajunya untuk melindungi muka.

Sekalipun begitu, beberapa puluh percikan bunga api toh sempat memercik ke atas jubah birunya.

Suatu kejadian aneh tiba-tiba saja berlang-sung di depan mata, percikan bunga api yang jatuh di baju birunya itu tabu-tahu saja ron-tok semua ke atas tanah, sedang pakaiannya tidak mengalami cedera barang sedikibtpun juga.

Daljam hati kecilnyga See-giok tahub apa yang telah terjadi, sementara dia bermaksud un-tuk turun tangan memberi hukuman pada Tok Nio-cu, tiba-tiba suasana dalam ruang loteng itu menjadi kalut, jeritan kaget berge-ma dari mana-mana.

Cepat-cepat pemuda itu mendongakkan kepalanya, apa yang terlihat membuatnya amat terkejut, ternyata jilatan api telah membakar daun jendela yang dengan segera menjalar ke mana-mana, kebakaran besar mengancam gedung tersebut.

Tanpa berpikir panjang lagi, pemuda itu menghimpun tenaga Hud -kong-sin-kangnya lalu diiringi bentakan keras. ujung baju kanannya dikebutkan ke arah jendela dengan ilmu ujung baju baja menggapai angkasa se-macam ilmu kebasan yang sangat hebat

"Weess!"

Asap tebal berputar di angkasa, percikan api yang menjilat gedung seketika padam se-mua.

Pucat pias Tok Nio-cu melihat kejadian ini, saking terkejutnya untuk sesaat dia sampai berdiri tertegun, sedangkan dua orang lelaki kekar lainnya semenjak tadi sudah berdiri bodoh.

Rupanya dalam suasana gugup tadi, Lan See-giok telah mendemonstrasikan kelihaian ilmu silatnya, setelah kejadian. pemuda itu merasa menyesal sekali, otomatis niatnya untuk memberi pelajaran kepada Tok Nio-cu pun ikut lenyap.

Sambil menatap wajah perempuan itu, ka-tanya kemudian dengan suara dalam.

"Mengingat kau adalah seorang wanita, hari ini aku bersedia memberi sebuah ke-sempatan kepadamu untuk menyesali ulah dan tingkah lakumu selama ini. ayo cepat keluarkan uang untuk membayar kerugian yang diderita rumah makan ini. kemudian cepat pulang ke Pek ho cay dan sampaikan kepada Toya baja berkaki tunggul Gui Pak ciang, bahwa aku ada urusan khusus datang kemari untuk minta petunjuknya, Kalian bo-leh berangkat dulu. aku akan segera me-nyu-sul

Air muka Tok Nio-cu sekali lagi berubah hebat. dia sama sekali tidak mengira kalau pemuda tampan berilmu silat tinggi ini me-mang khusus datang ke Pek ho cay untuk mencari gara-gara.

Bila ditinjau dari kemampuan yang di-miliki semula tersebut, agaknya hasil jerih payah Gui Pak-ciang selama banyak tahun sudah terancam kebangkrutan.

Namun sebagai seorang jagoan ybang sudah berpejngalaman dalam gdunia persilatabn, de-ngan cepat wanita tersebut berhasil mengen-dalikan perasaan sendiri, jawabnya kemu-dian dengan suara dingin.

"Pesan dari siauhiap tentu akan siauli lak-sanakan dengan baik, kalau toh siauhiap akan segera berkunjung ke benteng kami, baiklah siauli berangkat selangkah lebih dulu. .

Buru-buru dia membalikkan badan dan melayang turun dari ruang loteng itu.

Dua orang lelaki kekar lainnya cepat-cepat merogoh kantung mengeluarkan empat tahil perak. setelah dibuang ke atas meja, mereka segera mengikuti di belakang Tok Nio cu dan berlalu dari situ.

Mendadak satu ingatan melintas di dalam benak Lan See giok sepeninggal Tok Nio-cu sekalian.

"Aaah, bodoh amat aku ini, mengapa kubiarkan mereka pulang ke Pek ho cay lebih dulu? Bila Gui Pak ciang berusaha menghin-darkan diri dari pertemuannya denganku, bukankah hal tersebut akan menghambat usahaku untuk menyelidiki pembunuh ayah-ku yang sesungguhnya---"

Kemudian dia pun berpikir lebih jauh.

"Yaa, aku harus berangkat sekarang juga, kalau bisa tiba di tempat tujuan sebelum Tok Nio-cu tiba di situ. dengan demikian aku pasti dapat mengawasi gerak gerik Gui Pak ciang--."

Belum habis dia berpikir, para pelayan, pemilik rumah makan dan para tamu lainnya sudah berbondong bondong menghampiri nya sembari menyatakan terima kasih.

Lan See giok sama sekali tidak berniat untuk melayani orang-orang tersebut, segera tanyanya.

"Boleh aku tahu berapa jauh letak Pek hoo cay dari sini? Dan aku harus lewat mana?"

Mendapat pertanyaan itu, semua orang segera berebut menjawab.

"Pek-hoo-cay terletak diarah barat, kurang lebih sembilan li dari sini, dimuka benteng terdapat sebuah hutan siong yang sangat luas, sedang di sisi kiri, kanan dan belakang-nya di batasi oleh tanggul sungai. bagaimana keadaan di dalamnya jarang sekali diketahui oleh orang luar!"

Dalam keadaan demikian, Lan See giok ingin sekali secepatnya berangkat ke situ, cepat dia mengeluarkan sekeping uang perak diletakkan di meja, kemudian dengan lang-kah cepat berjalan menuju ke belakang jendela.

Dalam sekali kelebatan saja, bayangan tubuhnya sudah lenyap dari pandangan mata.

Setelah meninggralkan rumah makzan Lan See-giokw menentukan ararhnya kemudian sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya bergerak menuju ke barat.

Setelah ke luar dari kota, sawah dan ladang terbentang luas, di tepi jalan masih tersisa pula tumpukan salju yang belum melumer.

Sepanjang jalan Lan See-giok beberapa kali berpaling, namun ia tak nampak Tok Nio-cu berenam menyusul dirinya, bisa jadi mereka sedang mencari kuda-kuda mereka yang lari ketakutan serta merawat setiap anak buah-nya yang terluka.

Setelah menempuh perjalanan beberapa li, ia mulai menangkap beberapa titik cahaya lentera di kejauhan sana, bahkan lama lamat terdengar juga suara pohon siong yang di hembus angin serta suara air yang mengalir di selokan.

Lan See giok tahu cahaya lampu yang muncul di depan sana sudah pasti benteng Pek-hoo cay. maka tanpa terasa dia percepat larinya menuju ke depan.

Jarak sejauh tujuh-delapan li ditempuh dalam waktu yang amat singkat, kini Lan See-giok sudah berada dalam hutan pohon siong yang cukup lebat.

Suasana dalam hutan itu cukup hening lagi gelap gulita, yang terdengar hanya suara ranting yang terhembus angin serta suara air yang mengalir, kesemuanya itu mendatang-kan perasaan tak tenang bagi siapa pun yang mendengarnya.

Lan See-giok tak berani bertindak gegabah. dengan pandangan mata yang cermat dan pendengaran yang tajam diperiksa dulu sekeliling tempat itu, setelah tidak menjum-pai sesuatu yang mencurigakan. Dia baru meneruskan perjalanannya memasuki hutan tersebut.

Hutan pohon siong itu mencapai ratusan kaki, di ujung hutan adalah sebuah gundu-kan tanah serta sebuah jalan beralas batu yang menanjak ke atas, pada ujung jalan itulah terletak pintu gerbang benteng yang tingginya mencapai puluhan kaki:



Batas pagar benteng terbentuk dari batang pohon yang besar lagi tinggi, sedemikian tingginya sehingga seseorang dengan ilmu meringankan tubuh yang sempurna pun ja-ngan harap dapat melampauinya.

Lan See-giok tidak ingin kehadiran di situ diketahui musuh kelewat dini, dengan ber-hati hati sekali dia meninggalkan jalan raya yang lebar dan menyusup ke sisi kanan dinding benteng:

Disaat tubuhnya sedang menerjang ke muka dengan kecepatan bagaikan kilat itu lah---

"Sreeet!" Mendadak sebatang anak panah dibidikkan ke arahnya disertai tenaga sam-baran yang sangat kuat.

Lan See giok sangat terkejut, dia tidak menyangka kalau jejaknya telah diketahui musuh dengan begitu cepat, serta merta dia percepat gerakan tubuhnya untuk lewat ke muka.

Anak panah tersebut dengan cepat me-nyambar lewat dari atas kepalanya dan ron-tok beberapa kaki di belakangnya.

Menyusul kemudian beberapa kali desiran angin tajam berhamburan dari arah benteng menuju ke arahnya,

Dalam keadaan begini, Lan See giok tak berani bertindak secara gegabah, bagaikan segulung asap ringan dia meluncur ke muka, sebelum anak panah tersebut mencapai sasa-ran, dia telah meluncur ke muka dan tanpa menghentikan gerakannya ia langsung melejit ke tengah udara---

Baru saja badannya hampir mencapai dinding benteng, seorang pemanah yang ber-diri tak jauh dari situ telah membentak keras, kemudian dengan busurnya orang itu menyerang secara ganas dan bengis ....

Tujuan dari kedatangan Lan See-giok kali ini adalah menemukan si toya besi berkaki tunggal secepatnya, tentu saja ia tak ber-mi-nat sama sekali untuk -melayani orang-orang tersebut.

Tidak membuang banyak waktu, tubuhnya kembali-melejit ke muka dan meluncur se-jauh beberapa kaki ke depan...

Dengan gerakannya itu. sapuan dari lelaki berbusur itu menjadi mengenai sasaran ko-song, mungkin karena menggunakan tenaga kelewat keras, hampir saja ia ter-jerumus ke bawah benteng.

Rekan rekannya yang menjumpai bhal itu serentajk membentak margah dan bersama bsama datang memberi bantuan, sayang sekali kedatangan mereka terlambat, tatkala orang-orang itu sampai di tempat kejadian, baya-ngan musuh telah hilang lenyap tak berbe-kas.

Tak heran kalau suasana di sekeliling tem-pat itu segera berubah menjadi amat kacau.

Sementara itu, Lan See-giok yang berada ditengah udara sama sekali tidak menghenti-kan gerakan tubuhnya, dengan gerakan naga bermain ditengah angkasa, ia meluncur lebih ke atas wuwungan rumah. beberapa kaki dari posisi semula. kemudian ujung kakinya kem-bali menjejak tanah dengan cepat ia melun-cur lebih ke depan.

Sepanjang jalan yang terlihat hanya ba-ngunan rumah yang berlapis, semuanya teratur rapi dan bersih sekali

Puluhan kaki kemudian, pemuda itu menangkap cahaya lentera yang amat terang muncul dari sebuah gedung di depan situ, bangunan itu sangat besar dan paling megah, bentuknya mirip sekali dengan sebuah balai pertemuan.

Dengan langkah tubuh yang berhati hati Lan See giok mendekati bangunan itu. dari atas wuwungan rumah ia dapat melihat ba-nyak orang sedang berkumpul di dalam ru-angan tersebut.

Sebagai tuan rumah yang duduk dikursi utama adalah seorang kakek berambut putih, beralis tebal, bermata besar dan membawa sebuah toya besi yang berat sekali, orang itu tak lain adalah Gui Pak-ciang...

Tanpa membuang waktu lagi. anak muda itu segera melayang turun ke tengah ruangan tersebut.

Kehadirannya yang sangat tiba-tiba dan di luar dugaan tersebut segera membuat para hadirin tertegun, kemudian kecuali Gui Pak ciang beserta seorang kakek berjubah hijau dan seorang nenek berbaju abu-abu, air muka mereka hebat sekali.

Lan See giok mengawasi semua orang yang berada dalam ruangan dengan cepat, menu-rut perkiraannya, jumlah mereka semua hampir mencapai dua tiga puluhan orang.

Sementara itu, si toya baja berkaki tunggal Gui Pak-ciang telah berhasil menguasai perasaan sendiri, apalagi se-telah mengetahui bahwa pendatang cuma seorang pemuda baju biru yang berwajah tampan, ia semakin tidak memikirkannya di dalam hati.

Kakek berjubah hijau yang berdbiri di sisi Guij Pak-ciang memigliki wajah yangb bengis, mata ikan dan alis mata tumpul. dari sorot matanya yang tajam sewaktu mengawasi Lan See-giok. bisa diduga kalau, ia seorang manusia berhati licik. Sebaliknya si nenek berbaju hijau yang telah ubanan rambutnya, bermuka persegi beralis tebal dan sepasang mata yang bagaikan mata seekor ayam jago. dari kilatan matanya yang menggidikkan serta tongkat digenggamnya, dapat diduga orang ini merupakan seorang nenek yang su-kar dihadapi.

Sementara Lan See giok baru selesai me-ngawasi orang-orang yang berada di situ. Tongkat besi berkaki tunggal Gui Pak ciang dengan wajah hijau membesi telah menegur.

"Saudara cilik, siapa namamu, datang dari mana? Ada urusan apa kau berkunjung ke mari ditengah malam begini? Silahkan kau utarakan saja secara terus terang."

Bertemu dengan Gui Pak-ciang, Lan See giok lantas teringat kembali akan perlakuan orang itu terhadap dirinya ketika masih berada dalam kuburan kuno, ditambah pula dengan sikap sombongnya sekarang, tiba-tiba saja hawa amarahnya berkobar.

Namun Pemuda itu segera mengendalikan hawa amarahnya. dia ingin berusaha mencari keterangan yang banyak dari orang ini, maka ujarnya kemudian dengan suara tenang.

"Aku Lan See giok ingin mencari tahu suatu persoalan yang amat penting dari caycu, bila kedatanganku sangat di luar dugaan, harap lo-caycu jangan marah!"

Gui Pak-ciang semakin tak senang hati terutama melihat sikap musuhnya yang ang-kuh dan sama sekali tidak memberi hormat kepadanya, namun dia sendiripun tak berani bertindak gegabah. sebab ia tahu bila pemu-da ini tidak memiliki pegangan yang kuat, tak mungkin ia berani bertindak begini.

Setelah tertawa terbahak-bahak, katanya kemudian:

"Kalau toh ada urusan penting yang hen-dak disampaikan, mari silahkan masuk ke dalam ruangan untuk berbincang-bincang!"

Sambil berkata, dengan cepat dia meng-u-lapkan tangannya dan menitahkan semua orang untuk menyingkir ke samping dan memberi jalan lewat kepadanya.

Lan See-giok memandang sekejap ke dalam ruangan. di situ sudah tersedia meja perja-muan yang lengkap derngan hidangan lzezat namun perjwamuan belum dimrulai, bisa jadi orang-orang, itu sedang menanti kedatangan Tok Nio-cu.

Setelah termenung sejenak, pemuda itu pun berkata seraya menggelengkan kepala nya berulang kali:

"Tidak usah, aku hanya ingin bertanya be-berapa patah kata saja, lebih baik ku ajukan dari sini."

Dari sikap pemuda tersebut, sebagai jago-jago yang berpengalaman dalam dunia persi-latan, Gui Pak-ciang sekalian segera merasa bahwa kedatangan pemuda berbaju biru itu nampaknya tidak berniat baik. Berkilat sepasang mata nenek berbaju abu-abu itu, mendadak ujarnya kepada Gui Pak ciang:

"Pak ciang, kalau begitu suruh saja ia ber-bicara secepatnya, To Siok adalah tamu agung kita dari tempat jauh. ia sudah cukup lama menantikan kedatangan Tok Nio-cu, masa kau ingin mempertontonkan kejelekan ini dihadapannya lagi?"

Lan See giok segera tertawa dingin, berda-sarkan panggilan si nenek atas Gui Pak ciang, bisa jadi nenek tersebut adalah istri tuanya, sedangkan yang disebut sebagai To Siok mungkin sekali adalah kakek berjubah hijau itu.

Gui Pak ciang segera manggut-manggut kepada Lan See giok ujarnya kemudian de-ngan tidak sabar:

"Kalau toh kau ingin mengucapkan bebe-rapa patah kata saja, nah katakan sekarang juga."

Lan See giok mengerutkan dahinya rapat-rapat, kemudian dengan suara dalam tegur nya:

"Aku hanya ingin tahu, sebetulnya men-diang ayahku Lan Kong tay terbunuh di ta-ngan siapa? Siapakah diantara kalian lima manusia cacad yang telah melakukan per-buatan keji itu- -"

Belum selesai ucapan tersebut diutarakan, Gui Pak ciang serta To Siok si kakek berju-bah hijau itu sudah berubah muka.

Gui Pak ciang nampak agak tertegun, se-baliknya, To Siok segera mendongakkan kepalanya dan tertawa seram.

Tergerak hati Lan See-giok menyaksikan hal tersebut. bila dugaannya tak keliru, bisa jadi antara kakek berjubah hijau itu dengan ayahnya pernah terjalin hubungan permu-suhan yang sangat mendalam sekali.

Betul juga dugaannya, setelah berhenti tertawa seram, kakek berjubah hijau itu segera berseru dengan penuh kebencian.

"Aku, si pukulan pasir merah To Siok se-dang kecewa karena dendam sakit hati yang kuterima tiga belas tahun berselang tak mungkin bisa menuntut balas kembali, hmm ----rupanya Thian memang memberi kesem-patan kepadaku untuk melampiaskan-nya, atas kesempatan ini aku pasti berterima kasih kepada Lo thian ya!"

(Bersambung ke Bagian 22)

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar