Karena itulah, To Siao Thian,
Thio Bu Kek dan Hay-leng-cu memperebutkan kedudukan, mereka masing-masing
hendak memdahului kawannya menebas putus batang leher Siauw Cap-it-long.
Tentu saja, mereka berani
melakukan hal ini, melihat keadaan Siauw Cap-it-long yang berada didalam
keadaan pemabukan.
Ting …
Terdengar lagi suara pentilan,
maka disana terjadi lelatu api, ilmu pedang Hay-leng-cu menampar pedang Thio Bu
Kek.
Tubuh Siauw Cap-it-long molos
keluar dari serangan kedua pedang tersebut.
Terjadinya benturan pedang
diantara kawan-kawan sendiri membuat Hay-leng-cu dan Thio Bu Kek merasa malu,
karena itu pedang digentak kelain arah, tetap mengincar Siauw Cap-it-long.
Bang …
Tiba-tiba saja tubuh Siauw
Cap-it-long mumbul terbang, bek, jatuh diatas meja si pemilik rumah makan, dari
hidungnya, dan mulutnya mengeluarkan darah.
Ternyata Siauw Cap-it-long
tidak melihat turut hadirnya Lie Kang ditempat itu, secara diam-diam dan
teratur, Lie Kang mengirim satu pukulan, dengan tepat mengenai Siauw Cap-it-long,
dan melukai Siauw Cap-it-long.
Thio Bu Kek, Hay-leng-cu dan
To Siao Thian, memperebutkan pahala, tidak urung mereka mengalami kegagalan.
Jasa besar jatuh kedalam tangan Lie Kang. Pasti nama Lie Kang yang dipuji-puji
orang. Akan tersebar luaslah suatu berita, kenyataan bahwa seorang jago silat
yang bernama Lie Kang berhasil mengalahkan Siauw Cap-it-long.
Wajah Hay-leng-cu ditekuk
masam, ia berkata dingin:
“Saudara Lie Kang, tiga puluh
enam jurus pukulan batu remuk memang hebat. Lain kali, kalau ada kesempatan,
aku hendak meminta sedikit pelajaran.”
Pada wajah Lie Kang yang geram
tidak pernah nampak senyuman, ia juga berkata menantang:
“Kalau ada kesempatan, pasti
kulaksanakan kemauanmu itu.”
Disaat ini, lagi-lagi
terdengar satu suara ting …
Itu waktu, cangklong To Siao
Thian telah mengincar cepat, menuju kearah jalan darah Pek-hui-hiat dikepala
Siauw Cap-it-long.
Mana tahu, pedang Thio Bu Kek
sudah nyelonong masuk. Entah disengaja, atau entah tidak disengaja, pinggir
pedang itu menggesek pipa cangklong To Siao Thian. Maka serangan To Siao Thian
digagalkan. Mencong kesamping.
Tapi pipa cangklong To Siao
Thian yang terbuat dari baja murni mempunyai bobot berat yang luar biasa,
karena itu, ia juga berhasil menendang pergi pedang Thio Bu Kek.
Kedua orang itu saling
pandang, menyengir dan tertawa kecut.
Lie Kang berteriak, ia hendak
memproklamasikan kemenangannya, karena itu berkata:
“Hentikan gerakan semua orang!
Orang ini sudah terkena pukulanku. Tanpa kalian bantu, ia akan jatuh ngeloso.”
Dia menuntut jasa!
To Siao Thian berkata:
“Menurut cerita orang, untuk
membuktikan hidup matinya sang korban, kita harus memotes batok kepalanya,
memisahkan diri otak pikiran itu dari tempatnya semula.”
Thio Bu Kek juga menimpali, ia
berkata:
“Betul. Kita harus membuktikan
kebenaran ini.”
Lie Kang tertawa dingin dan
berkata:
“Sangat mudah sekali, didalam
keadaan jang seperti ini, anak kecil yang berumur tujuh tahunpun bisa menabas
batang lehernya.”
Hay-leng-cu turut berkata:
“Kukira belum tentu.”
Lie Kang mendelikkan mata dan
membentak:
“Mengapa belum tentu?”
Matanya teralih dan memandang
Siauw Cap-it-long, tiba-tiba saja wajahnya berubah pucat-pasi, seperti sudah
tidak berdarah.
Disaat ini, Siauw Cap-it-long
juga memandang kearah mereka, dengan tertawanya yang menantang.
Siauw Cap-it-long merentangkan
kedua matanya, kedua mata itu bercahaya dan menyorot tajam, seolah-olah hendak
menembus hati semua orang. Walau dalam keadaan hampir tidak sadarkan diri,
kewibawaab Siauw Cap-it-long belum pernah luntur.
Seseorang yang sudah hampir
mati tidak mungkin bisa memiliki sepasang mata yang bercahaya tajam itu. Tidak
mungkin bisa melowekan bibirnya tertawa kepada mereka.
Siauw Cap-it-long belum mati.
Thio Bu Kek mendapat satu
akal, ia menghadapi Siauw Cap-it-long dan berkata:
“Eit, kawan, kau sudah terkena
pukulan batu remuk dari saudara Lie Kang. Seharusnya mengatupkan sepasang
matamu. Tinggalkanlah jiwa-ragamu menuju kedunia akherat. Mengapa masih
mempelototkan mata seperti itu? Mengapa tertawa menyengir seperti itu?
Tiba-tiba saja Siauw
Cap-it-long tertawa berkakakan, karena ia tertawa, menarik peredaran jalan
darah dada, didadanya itu menjadi sengal2 napasnya dirasakan menjadi sesak.
Belum pernah pukulan batu
remuk Lie Kang mengalami kegagalan, kecuali hari ini, wajahnya menjadi matang
biru, marah dan malu. Segera ia membentak:
“Apa yang kau tertaawakan?”
Siauw Cap-it-long masih
tertawa, ia bertanya:
“Begitu hebatkah ilmu pukulan
batu remuk? Apa betul sehebat yang dikatakan oleh kawanmu?”
Tanpa menunggu jawaban Lie
Kang, tiba-tiba Siauw Cap-it-long bangun berdiri. Menepuk dada dan berkata:
“Ini dadaku! Mana dadamu?
Hayo! Pukul lagi disini, hendak kulihat, sampai dimana kehebatan batu remuk?”
Sepasang mata Lie Kang
dipelototkan lebar-lebar, wajahnya jadi matang biru, sepatah demi sepatah ia
berkata:
“Inilah permintaanmu! Jangan
salahkan aku, ya?”
Pundaknya tidak bergerak,
pinggangnya tidak diturunkan, kakinya digusur maju kedepan, dengan ujung
telapak tangan, begitu dekat sekali, sehingga berjarak yang tidak mungkin
dielakan, baru diselonongkan kedepan, memukul dada Siauw Cap-it-long.
Inilah ilmu pukulan Bintang
Kecil!
Siauw Cap-it-long tidak
mengelakkan. Dan memang juga ia tidak mungkin bisa mengelakkan pukulan bintang
kecil.
Bung …
Terdengar satu pukulan keras,
seolah-olah membentur tumpukan rumput. Pukulan Lie Kang mengenai sasaran.
Kali ini tidak seperti tadi,
kalau tadi Lie Kang bisa menghajar jungkir-balik Siauw Cap-it-long, kini ia
mengalami kegagalan, Siauw Cap-it-long terpantek kuat ditempat posisi kedudukan
semula, bergoyangpun tidak, bergeserpun tidak, seperti patung, kokoh kekar yang
tertancap ditempat itu.
Wajah Lie Kang menjadi
pucat-pias, ia tidak bisa mengeluarkan suara. Ilmu pukulannya yang bernama
pukulan batu remuk telah hampir mencapai taraf tertinggi, tanpa tandingan.
Intan berlian yang dihajar oleh pukulan ini mungkin bisa hancur berantakan.
Apalagi batu biasa, pasti batu itu bisa menjadi remuk. Karena itulah mendapat
nama pukulan batu remuk.
Jang mengherankan dirinya, ia
bisa meremukkan batu, tetapi tidak bisa meremukkan dada Siauw Cap-it-long.
Lebih dari pada itu, kekuatan
timbal-balik Siauw Cap-it-long yang menen-
dang kembali membuat Lie Kang
merasakan telapaknya hampir pecah.
Thio Bu Kek dan Hay Leng Cu
saling pandang, mereka girang atas hasil yang seperti itu, maka nama Lie Kang
yang akan digembar-gemborkan karena sudah berhasil memukul Siauw Cap-it-long
harus diseret kembali, dihapus dari papan yang sudah tersedia.
Di sinilah letak keajaiban,
mereka datang bersama-sama, sesudah sang kawan mengalami kegagalan, bukannya
bersedih atau membantu malah bergirang hati.
Tampak Siauw Cap-it-long masih
cengar-cengir, beberapa saat kemudian, baru jago berandalan itu membuka mulut:
“Ilmu seperti inikah yang
diberi nama pukulan Batu Remuk?”
“Huh!” Lie kang mengeluarkan
suara gerengan.
Siauw Cap-it-long tertawa
lagi, ia berkata:
“Menurut hematku, ilmu tadi
bukan ilmu pukulan Batu Remuk. Tapi lain ilmu pukulan yang jauh berbeda dengan
ilmu pukulan Batu Remuk.”
“Apakah namanya dari ilmu yang
bertentangan dari ilmu pukukan batu remuk itu?” tiba-tiba Thio Bu Kek berkata,
dia melirik ke arah Lie Kang.
Mata Siauw Cap-it-long
berpencar ke tiga penjuru, ia tertawa sebentar, baru berkata:
“Ilmu ini aku juga bisa
menggunakannya, mari! biar kulatih kepada kalian.”
Siauw Cap-it-long meraihkan
tangannya ke atas piring, piring itu masih terpancang di meja, di sana terdapat
sayur tahu dan tempe. Meraup isi di piring, dikeremusnya perlahan-lahan. Dan
begitu Siauw Cap-it-long membuka tangan, tahu dan tempe itu menjadi bubuk,
hancur berterbangan, sesudah mana, ia berkata:
“Aku juga bisa mempermainkan
ilmu pukulan yang seperti ini, namanya adalah ilmu Tahu Tempe Remuk”
Thio Bu Kek, Hay-leng-cu dan
To Siao Thian memuji kehebatan ilmu kepandaian Siauw Cap-it-long. Mereka lebih
memuji mulut Siauw Cap-it-long yang pandai berkelakar.
“Hua,ha.....” tiba-tiba
Hay-leng-cu tertawa besar.
Di dalam keadaan yang seperti
itu, tidak seharusnya Hay-leng-cu mengeluarkan suara tertawa. Ini akan mengakibatkan
ganjelan hati Lie Kang.
Melihat ada yang tertawa,
Siauw Cap-it-long juga tertawa. Tertawa hingga sakit pinggang
Pinggangnya Siauw Cap-it-long
yang sakit bukan karena tertawa, itulah terkena pukulan-pukulan dari musuhnya.
Selama dua puluh tahun
terakhir, korban-korban kematian yang gugur di bawah pukulan Batu Remuk Lie
Kang tidaklah sedikit. Siauw Cap-it-long sudah menerima dua kali pukulan itu,
luka di dalampun sangat berat. Di dalam keadaan masih mabuk, tidak tahu menahu
akan kehebatan itu, kalau ia sadar dan cepat-cepat memutarkan peredaran jalan
darahnya membenarkan letak tempat isi dalam yang luka, mungkin bisa
mengakibatkan hal lain, tapi Siauw Cap-it-long tidak melakukan hal itu, ia
memamerkan ilmu pukulan “Tahu Tempe Remuk”, sesudah itu, tertawa berkakakan,
maka menggeser keadaan luka-lukanya, ia menekuk pinggang.
Air kata-kata punya bisa, arak
punya jahat, seseorang yang sudah jatuh mabok, menganggap dirinya sebagai
seorang maha kuasa, maha bisa.
Itulah cara-cara Siauw
Cap-it-long untuk menghadapi musuh-musuhnya.
Di dalam keadaan sadar, tidak
mungkin Siauw Cap-it-long mau menerima pukulan Batu Remuk itu. Tapi lain
dahulu, lain sekarang. Dalam keadaan setengah mabuk, Siauw Cap-it-long sudah
menerima pukulan Batu Remuk.
To Siao Thian juga tertawa.
Tapi setiap gerak-gerik Siauw Cap-it-long tidak lepas dari penilaiannya.
Sebagai seorang jago yang kawakan, ia mempunyai sinar mata yang lebih hebat, To
Siao Thian memiliki umur yang lebih tua dua puluhan tahun dari orang-orang di
tempat itu. Selisih umur dua puluhan tahun itu cukup membawa pengalaman yang
banyak, asam dan garam yang ditelan lebih banyak dari nasi yang dimakan oleh
anak muda. Demikian ia sering memuja diri sendiri. Kini ia menilai ilmu
kepandaian Siauw Cap-it-long, menilai luka-luka yang sudah diderita oleh Siauw
Cap-it-long.
“Oh....” berkata To Siao
Thian, “Ilmu yang seperti itu? aku juga bisa.”
Siauw Cap-it-long tertawa, ia
berkata.
“Kau juga hendak menjajal?”
To Siao Thian menganggukkan
kepala dan berkata.
“Itulah maksudku.”
Secepat itu pula, ia mendorong
pipa cangklongnya. Sangat cepat, sangat tajam, menjurus ke tiga jalan darah
Siauw Cap-it-long. Jalan darah jalan darah yang diincar adalah jalan darah
Hian-kie, Ju-hian dan Kiang-tay.
To Siao Thian adalah jago totokan
yang hebat, dengan tiga ancaman tadi, ia hendak menjerumuskan Siauw Cap-it-long
ke dalam lembah kehancuran.
Tubuh Siauw Cap-it-long tidak
bergerak, matanya tidak berkesiap. Tangan kanannya seperti menangkap ular,
dijulurkan dan ditarik kembali. Entah dengan cara bagaimana, ia berhasil
merebut pipa cangklong To Siao Thian.
Wajah To Siao Thian menjadi
pucat, ia juga menderita kekalahan.
Siauw Cap-it-long tertawa, ia
berkata:
“Aku hanya senang minum arak.
Tapi tidak suka menyedot candu, yang ini tiada guna untukku.”
Kedua tangannya ditekukkan, ia
hendak mematahkan pipa cangklong To Siao Thian. Tapi tidak berhasil, tenaga
Siauw Cap-it-long masih tenaga Siauw Cap-it-long, cara-cara tidak bisa
disamakan dalam keadaan ia sadar, mungkin juga, bahan yang terbuat dari pipa
cangklong To Siao Thian itu memang hebat, ulet dan kuat, cara-cara Siauw
Cap-it-long mematahkan si pipa cangklong tidak benar, tidak patah.
Suatu waktu Siauw Cap-it-long
mengempos tenaga, huk! Ia melempar pipa cangklong tersebut, tertancap di tembok
dan di dalam keadaan yang sama, dari mulut Siauw Cap-it-long menyembur darah
hidup semua terarah ke muka To Siao Thian.
To Siao Thian sedang berada di
dalam keadaan kesima, percikan-percikan darah itu tidak berhasil dielakkan. Dan
di saat ini, secepat itu pula, ia maju menubruk, dengan cepatnya menyerang dada
Siauw Cap-it-long.
Duk..... Siauw Cap-it-long
tidak berdaya mengelakkan benturan itu, tubuhnya terpental jatuh.
Di saat yang sama, Thio Bu Kek
sudah meluncur ke depan.
Jiwa Siauw Cap-it-long
terancam maut!
Bagaimana Siauw Cap-it-long
mengelakkan serangan-serangan ke empat musuhnya?
Untuk sementara kita
tangguhkan dahulu. Mari kita putar balik cerita, mengikuti perjalanan Sim Pek
Kun.
Secara tidak disengaja, Sim
Pek Kun berhasil membongkar rahasia suaminya. Ternyata Lian Seng Pek mempunyai
hati yang lebih kejam dari seorang berandalan. Hati yang lebih jahat dari
seorang maling.
Biar bagaimana, ia harus
cepat-cepat menolong Siauw Cap-it-long.
Tubuh Sim Pek Kun melejit,
lari keluar, ia tidak menemukan kuda tunggangan, karena itu ia harus lari
terus.
Berlari dan berlari, napas si
nyonya jadi sengal-sengal, apapun yang terjadi, tetap ia berlari. Demi
keselamatan Siauw Cap-it-long.
Tidak mungkin! Tidak mungkin
bisa terjadi, kalau Siauw Cap-it-long mati, itulah kesalahannya, kesalahan
mulut yang memberitahu di mana letak tempat Siauw Cap-it-long berada.
Hanya ini pikiran Sim Pek Kun,
tidak ada pikiran lain, tidak ada pikiran kedua.
Malam sunyi dan senyap, Sim
Pek Kun mengincar arah tujuannya meluncur dengan kecepatan penuh. Meluncur
dengan semua kekuatan yang ada.
Kalau ada rumah, dilewatinya
rumah itu. Kalau ada sawah, diinjaknya sawah itu. Tidak perduli rumah siapa,
hancur atau rusak, urusan belakangan. Ia harus cepat-cepat mencapai Siauw
Cap-it-long.
Inilah satu kejadian yang
belum pernah terjadi selama sejarah hidup si Ratu Rimba Persilatan.
Apapun yang terjadi, ia harus
cepat memberi pertolongan kepada Siauw Cap-it-long.
Terjadi lomba adu lari, di
satu pihak adalah Sim Pek Kun yang mengejar ke tempat rumah makan di mana Siauw
Cap-it-long berada, di lain pihak adalah rombongan To Siao Thian dkk yang
hendak merenggut jiwa Siauw Cap-it-long.
Siauw Cap-it-long terkena
sikutan To Siao Thian, ia terjungkir dan menyudut di pojok tembok, napasnya
sengal-sengal, mempertahankan kehidupan jiwa.
Matanya masih bisa dibuka,
tapi sangat berat, seolah-olah sudah dibanduli oleh kekuatan maut.
Karena pukulan-pukulan yang
sudah dijatuhkan kepada dirinya, rasa kantuk dan maboknya terusir pergi.
Berada di dalam keadaan mabok,
Siauw Cap-it-long tidak merasa rasa sakit pukulan-pukulan itu, kini ia sudah
sadar, seluruh tubuhnya sudah ngeresek, seperti mau hancur berantakan.
Dagingnya seperti diiris-iris, keringat dingin mengucur saling sambut.
To Siao Thian tertawa
berkakakan, ia berkata:
“Nah! Inilah waktulah, seorang
laki-laki yang berumur tujuh tahunpun bisa memenggal batang lehernya. Inilah
jasaku.”
To Siao Thian gila jasa.
Thio Bu Kek tertawa perlahan,
ia berkata: “Kalau begitu, serahkan kepadaku, biar aku yang memotes batok
kepalanya” Thio Bu Kek menghampiri Siauw Cap It-long yang sudah tidak berdaya.
“Tunggu dulu!” terdengar
bentakan To Siao Thian. Thio Bu kek menghentikan langkahnya, menoleh kepada
sang kawan dan bertanya: “Apalagi yang harus ditunggu?”
To Siao Thian berkata: “Aku
yang berhasil menjatuhkannya. Kukira lebih baik tanganku yang mencopot batok
kepala Siauw Cap-it-long. Tidak perlu menyusahkan kalian.”
Thio Bu Kek tertawa berkakan,
ia berkata: “Tidak kusangka, akhir-kahir ini saudara To Siao Thian juga bisa
menggunakan pedang?”
To Siao Thian tertegun, ia
bertanya dengan suara dingin: “Aku sudah tua. Tidak perlu melatih ilmu pedang.
Masih beruntung, kalau pipa cangklongku itu masih berada disini”.
Thio Bu Kek berkata: “Luka yang
menjatuhkan orang ini adalah luka terkena serangan pedang. Semua orang bisa
menjadi saksi, bukan terkena pipa cangklong. Kukira jasa saudara To Siao Thian
harus ditarik pulang” “Kalau bukan karena sikutanku tadi, mana mungkin ia bisa
kau jinakkan?” berkata To Siao Thian.
Sekarang giliran Lie Kang yang
tampil kedepan, ia berkata dengan suara keras: “Kalau bukan karena pukulan batu
remuk tadi, mana mungkin ia terkena sikutan?”
Thio Bu Kek berkata: “Kalau
bukan luka bekas tusukan pedang, mana mungkin pukulan batu remuk bisa
mengenainya? Mana mungkin sikutan tangan yang biasa memegang pipa cangklong
bisa melukainya?”
“Ha, ha, ha …. “ Hay-leng-cu
tertawa. “ Orang tergeletak di sana. Tentu saja kalian mudah melukainya.” Lie
Kang menoleh ke arah Hay-leng-cu dan membentak: “Dengan hak apa kau turut
bicara?”
Hay-leng-cu berkata: “Dengan
hak keadilan dan kebenaran, aku tidak menggunakan waktu di saat orang lengah,
mengakalinya dengan cara licik.”
Mendengar perdebatan keempat
orang itu, pikiran Siauw Cap –it-long menjadi jernih sedikit. Ia mengeluhkan
napas panjang dan mulai menggumam: “Oh. Tak kukira batok kepalaku ini sangat
berharga sekali. Mengapa banyak orang hendak memperebutkan batok kepala?
Seperti anjing yang memperebutkan tulang saja?”
To Siao Thian, Lie Kang,
Hay-leng-cu dan Thio Bu Kek saling pandang. Wajah mereka menjadi pucat, Siauw
Cap-it-long memandang keempat orang itu dan berkata: “Aduh! Kepalaku memang
sangat pening. Siapa yang bisa membantu membacok. Inilah permintaanku. Hayo!
Maju! Siapa diantara kalian berempat yang mempunyai nyali datanglah ke depan.
Ambillah batok kepalaku!”
Di antara mereka jarak
Siauw-cap-it-long dengan To Siao Thian adalah yang terdekat, si jago berandalan
memandang To Siao Thian dan berkata: “Hayo, kini kau bisa membacok putus
kepalaku! Mangapa tidak kau coba?”
Wajah To Siao Thian semakin
pucat, bukannya menggunakan kaki maju ke depan, ia malah mengundurkan diri.
Sinar mata Siauw Cap-it-long beralih ke arah Thio Bu Kek, ia berkata:
“Bagaimana denganmu? Masih mempunyai keberanian?’ Thio Bu Kek memegang keras
pedangnya, keringat dinginnya mengucur, nyalinya hampir pecah.
Napas Siauw Cap-it-long
tersengal-sengal, ia berkata: “Ilmu pedang golongan kalian telah menjagoi rimba
persilatan. Mengapa tidak mempunyai keberanian?”
Hay-leng-cu menjadi gemetaran,
tapi tidak mempunyai keberanian untuk ditunjukkan kepada Siauw Cap-it-long.
Siauw Cap-it-long berganti arah, kini ditatapnya wajah Lie Kang. Ia berkata
dengan suara dingin: “Hayo, aku masih kenal denganmu, kau adalah si raksasa
sejati, hatimu juga ksatria. Kau menganggap aku sebagai musuh karena ada
sesuatu yang hendak kuketahui. Maju lagi setapak, berani kau bertindak ke
depan, segera dirimu kujadikan bangkai di sana”.
Lie Kang mencoba bertahan, ia
tidak berani maju lagi. “Hua, ha, ha, ha….” maka tertawalah Siauw Cap-it-long.
Thio Bu Kek membentak : “Apa
yang kau tertawakan?”
Siauw Cap-it-long berkata:
“Aku tertawa karena melihat adanya empat ekor tikus yang berkepala hitam.”
Lie Kang, To Siao Thian, Thio
Bu Kek dan Hay Leng-cu saling pandang. Siauw Cap-it-long berkata lagi:
“Sebetulnya batok kepalaku ini sudah menunggu dipotes orang. Siapa saja di
antara kalian berempat yang bernai maju ke depan, aku tidak mempunyai kekuatan
untuk bertahan. Sayang nyali kalian lebih kecil daripada nyali tikus”
Wajah keempat orang itu
memerah, memucat, menguning dan terjadi aneka macam perobahan. Siauw
Cap-it-long masih nyerocos terus katanya: “Betul! Batok kepalaku ini menunggu
dipotes oleh kalian berempat”
Siauw Cap-it-long mengeluarkan
golok dipinggang, ia tertawa berkakakan dan berkata: “Siauw Cap-it-long! Oh
Siauw Cap-it-long! Tidak kusangka, tak ada manusia yang berani membacok
kepalamu. Apa boleh buat, harus kukerjakan sendiri!”
Seolah-olah Siauw Cap-it-long
hendak membunuh diri. Hal itu sangat mengejutkan Thio Bu Kek, karenanya ia
segera membentak: “Tahan gerakan tanganmu!”
Ternyata Siauw Cap-it-long
masih bisa ditenangkan, ia bertanya: “Sekarang kau berani maju? Kukira sudah
terlambat! Dikemudian hari, rimba persilatan akan menjadi gempar, karena batok
kepala Siauw Cap-it-long gugur karena tangan Siau Cap-it-long. Untuk kalian,
Huh! Hanya bisa menonton di samping.”
Thio Bu Kek berkata dengan
suara tawar: “Kami berempat memang bukan jago dan pendekar. Kalau seorang pendekar,
tidak mungkin bisa melakukan perbuatan ini. Kami tahu, kau sudah berada dalam
keadaan mabok. Tidak mungkin bisa melakukan perlawanan.. Karena itulah kami
berempat datang”
“ Oh begitu !” berkata Siauw
Cap-it-long. Thio Bu Kek tertawa, ia berkata: “Siauw Cap-it-long! Bagaimana
kami bisa mengetahui bahwa kau berada di tempat ini? Mengapa kami mengetahui
kau berada dalam keadaan mabuk?”
Pertanyaan seperti ini lebih
sakit dari pada pukulan-pukulan batu remuk atau tusukan pedang. Wajah Siauw
Cap-it-long berubah mendadak. Hatinya seperti diiris-iris, dengan suara keras
ia membentak: “ Ya, bagaimana kalian tahu ?” Dengan tenang Thio Bu Kek berkata:
“Siapa yang memberi tahu kepada kami? Mungkinkah tidak terpikir olehmu?” Inilah
taktik politik lihay! Cara Thio Bu Kek menyerang Siauw Cap-it-long bukan dengan
kekuatan senjata lagi, tapi menggunakan politik istimewa. Politik diplomasi
hebat.
Wajah Siauw Cap-it-long
semakin berkerut. Thio Bu Kek menyambung kata-katanya lagi: “Nyonya Lian Seng
Pek sangat benci kepadamu, ia menghendaki kita bisa mencincang dagingmu. Karena
itu setelah meloloh dengan air kata-kata, sesudah membuat kau tidak berdaya, ia
memberi tahu dimana kau berada, menyuruh kami berempat mengambil batok
kepalamu. Hua,hua..haa,ha.. Sayang! kau laki-laki romantis yang tak tahu diri,
kau masih menyebut-nyebut namanya, kau masih menyebut-nyebut tusuk kondenya.
Kau masih lupa daratan, kau adalah orang yang patut dikasihani”
Tiba-tiba Siauw Cap-it-long
menggerung, seolah-olah seekor harimau yang kalap, menubruk dan menerkam.
Luka Siauw Cap-it-long sudah
mulai membeku, tapi ia menggunkan tenaga keras, luka itu pecah kembali dan
darah muncrat beterbangan.
Tapi terkaman Siauw
Cap-it-long adalah terkaman yang terhebat, Thio Bu Kek menusuk dengan pedang,
tidak berhasil. Di saat itu, terdengar suara gemuruh. Hujan turun. Air seperti
dituang dari langit, membanjiri dunia. Berkilau .. kilat menyambar. Tidak lama
kemudian, terdengar suara yang menggemuruh, itulah suara Guntur membelah
angkasa.
Nyalinya Thio Bu Kek hampir
pecah, ia menggulingkan diri, menyingkir dari pukulan Siaw Cap It Long.
Tampak Siaw Cap It Long
mengayunkan tangan, brak, membelah meja menjadi dua bagian.
Sayang ! Kekuatan Siaw Cap It
long hanya sampai disini. Tubuhnya ngasruk, jatuh ditanah.
Lagi-lagi Thio Bu Kek
menggulingkan diri, memungut pisau Siaw Cap It Long, dengan pisau ini ia
berniat memutuskan batok kepala sijago brandalan.
Klap.........blegur............
Kilat dan guntur saling susul,
sambung menyambar.
Brak........tiba-tiba angin
kuat menimpa daun pintu, dan langsung meniup padam kedua lilin yang tertiup
disana.
Keadaan menjadi gelap gulita,
suasana disitu menjadi sunyi dan sepi.
Sepasang sinar mata Thio Bu
Kek tidak bisa melihat, apa yang terbentang didepannya. Tadi ia bisa
menduga-duga, dimana letak tempat Siaw Cap It Long. Perlahan-lahan dan
berindap-indap ia berjalan maju.
Keadaan sangat gelap, seperti
dunia yang sudah mati.
Thio Bu Kek berjalan lagi
kedepan, ia segera bisa membacok leher Siaw Cap It Long.
Krelap...........lagi-lagi
kilat bercahaya terang, sepasang sinar mata Thio Bu Kek jelalatan, tampak Siaw
Cap it Long sedang bangkit bangun, hendak meninggalkan tempatnya yang semula.
Kejadian ini yang membuat Thio
Bu Kek ragu-argu, ia tidak akan melakukan sesuatu yang tidak mempunyai pegangan
penuh, ia masih menunggu datangnya kilatan kedua, kalau saja, Siaw Cap It Long
itu masih berada ditempatnya, dengan sekali bacokan, ia hendak mempapas putus
leher sijago brandalan. Ayunan pedang ini tidak boleh meleset.
Thio Bu Kek masih menunggu
datangnya cahaya kilat yang kedua.
Angin masih menderu-deru,
hujan bersampokan, tapi cahaya kilat yang ditunggu itu tidak kunjung datang.
Disaat ini, dijalan raya
terdengar derap kaki seseorang, sangat terburu-buru sekali, dan sebentar
kemudian orang itu sudah berada didepan pintu, terdengar deru nafasnya yang
sengal-sengal, ia baru melakukan perjalanan jauh.
Karena keadaan yang gelap
gulita, orang itu berdiri saja dipintu. Menunggu perkembangan baru, dia tidak
memasuki kamar mereka.
Thio Bu Kek menjadi hilang
sabar, ia seperti dikepruk dari dua bagian. Siapa orang yang baru datang ?
Tanpa terasa, ia menoleh kearah datangnya deburan nafas sengal-sengal itu.
tentu saja didalam keadaan gelap-gulita, tidak mungkin bisa melihat jelas wajahnya.
Tapi bagaimanapun, Thio Bu Kek menoleh juga ketempat itu.
Disaat ini, tampak
berkelebatnya kilat yang berikutnya.
Seorang wanita dengan rambut
terurai panjang, dengan pakaian bash kuyub, dengan sepasang mata direntangkan
lebar-lebar, dengan badannya yang penuh emosi, berdiri didepan pintu, wajahnya
memperlihatkan rasa gemas, marah, kecewa, takut dan aneka macam perubahan lagi.
Itulah ratu rimba persilatan
Sim Pek Kun !
Thio Bu Kek terkejut. Sim Pek
Kun juga terkejut,
Secepat itu pula, tangan Thio
Bu Kek yang memegang golok Siaw Cap It Long tetap ditujukan kearah leher Siaw
Cap It Long.
Waktu kilat berkelebat itu
terlalu singkat, tapi sebelum penerangan hidup kembali, Thio Bu Kek bisa
melihat tangan Sim Pek Kun juga terayun, dari sana bertaburan jarum mas
pencabut nyawa, senjata istimewa dari keluarga Sim.
Thio Bu Kek bisa melaksanakan
maksudnya, ia bisa membunuh Siaw Cap It Long kalau ia bersedia menerima
beberapa serangan jarum maut pencabut nyawa.
Tapi Thio Bu Kek lebih sayang
kepada jiwa sendiri, ia melejit jauh, membatalkan serangannya.
“Bang...!” Thio Bu Kek
membentur sesuatu yang agak keras.
Disaat ini, lagi-lagi kilat
berkelebat.
Sim Pek kun masuk kedalam,
menubruk tubuh Siaw Cap It Long.
Sesudah itu, keadaan gelap
kembali. Tidak ada sesuatu yang tampak.
Sim Pek Kun berhasil menubruk
rubuh tubuh Siaw Cap It Long, tangannya mengerayapi disana ia membentur
cairan-cairan yang melekat. Itulah darah !
Mulut Sim Pek Kun berteriak
nyaring :
“Dia sudah mati ? Kalian
membunuh dirinya ?”
Suara ini seperti suara hantu
dimalam gelap. Menggetarkan hati semua orang.
Dalam keadaan gelap gulita
ini, sesuatu tangan terjulur, hendak mencengkram Sim Pek Kun.
Disaat ini, lagi-lagi kilat
berkelebat, Sim Pek Kun bisa melihat datangnya tangan ini, itulah sebuah tangan
yang sangat kurus, berwarna hitam, tangan yang seperti ceker rajawali, tangan
Hay leng cu.
Bukan tangan itu saja yang
dilihat oleh Sim Pek Kun, Sim Pek Kun masih melihat lain tangan, tangan kedua
ini memegang pedang, mengincar dan menujukan ujung pedang ketenggorokan Siaw
Cap It Long.
Sim Pek Kun bisa melihat
adanya orang-orang itu, demikian juga, mereka bisa mengetahui kehadiran siratu
rimba persilatan ditempat tersebut.
Kepada mereka Sim Pek Kun
membentak :
“Minggir ! Semua orang pergi
dari sini !”
Sesudah itu dengan menggendong
tubuh Siaw Cap It Long, menggunakan kegelapan malam, Sim Pek Kun keluar dari
rumah, berlari dijalan raya.
Terdengar seorang membentak :
“Jangan biarkan mereka lari !”
Itulah suara Lie Kang.
Tapi Sim pek Kun sudah lari
jauh, meninggalkan Lie Kang, meninggalkan To Siao Thian, meninggalkan Thio Bu
Kek dan meninggalkan Hay leng cu.
Krelep, lagi kilat bercahaya.
To Siao Thian dan Thio Bu kek
menghampiri Lie Kang.
Tiga orang itu berkumpul.
dengan menghela nafas panjang, To Siao Thian berkata :
“Melepaskan Siaw Cap It Long,
sama saja memberi kebebasan kepada seekor macan. Untuk hari-hari berkutnya,
satu persatu kita akan mati dibawah tangan Siaw cap It Long.”
Dengan geraman marah, Lie Kang
berkata :
“Mengapa kau kau tidak
membikin penghadangan ?”
To Siao Thian menghela nafas
lagi, ia berkata perlahan :
“Jangan kau lupa, Sim Pek Kun
adalah istri Lian Seng Pek. Kalau sampai terjadi sesuatu, siapa yang berani
memikul tanggung jawab ?”
Thio Bu Kek turut berkata :
“Mari kita bayangkan,
dimisalkan salah seorang dari kita bertiga yang memiliki seorang istri yang
seperti Sim Pek Kun, sesudah terjadi kejadian ini, mungkinkah masih mau
mengakui istri ?”
To Siao Thian berdiam beberapa
saat, tiba-tiba ia bertepuk kepala.
“Betul.” teriaknya sangat
girang.
“Kejar ! sudah kejadian ini.
Kita harus berani mengambil resiko. Kukira mereka masih belum pergi jauh. Lekas
kita kejar !” Thio Bu Kek memberi usul.
Lie Kang juga berkata :
“Betul ! bersama-sama kita
membikin pengejaran.”
KEJAR MENGEJAR
Hujan seperti dituang,
menyambitkan cairannya ketubuh orang, terasa sangat sakit.
Malam gelap, pekat, tiada
sesuatu yang tampak.
Didalam keadaan yang seperti
ini, Sim Pek Kun menggendong Siaw Cap It Long, melarikan diri.
Sim Pek Kun tidak memilih
jalan, karena ia tidak tahu, jalan mana yang berupa jalan aman.
Dunia memang cukup lebar, tapi
dirasakan sekali seperti menciut, tiada tempat bagi Sim Pek Kun dan Siaw Cap It
Long.
Yang mujur, tidak terlihat
tanda-tanda pengejaran, Sim Pek Kun memperlambat gerakan kakinya, ia menjadi
ragu-ragu.
Kemana harus melarikan diri ?
Inilah yang mengekang benak
pikiran sang ratu rimba persilatan.
Tiba-tiba .....
Kilat berkelebat, didalam
seperseribu detik, jagat itu bercahaya kembali. Didepan Sim Pek Kun terpeta
sebuah bayangan, itulah bayangan seseorang, seseorang yang sedang menatap
kearahnya.
Lian Seng Pek ! Itulah Lian
Seng Pek ! Bagaimana dia berada ditempat ini ?
Sim Pek Kun tidak bisa melihat
jelas wajah orang itu, tapi potongan bentuk tubuh suami sendiri tidak mungkin
bisa dilupakan. Itulah potongan tubuh Lian Seng Pek.
Kakinya seperti diborgol oleh
benda berat, seolah-olah hendak menginjaknya kedasar bumi.
Sejelek-jeleknya sifat Lian
Seng Pek, laki-laki itu adalah suami sendiri.
Kini kilat berkelebat lagi.
Dan jelaslah sudah, siapa orang yang berada didepan Sim Pek Kun. Betul-betul
Lian Seng Pek !
Sekujur tubuh Lian Seng Pek
sudah basah kuyup, air hujan menetes-netes, merayapi kepalanya dan jatuh
ditanah, mengalir dan melewati wajahnya, tapi tidak diusap. Dibiarkan air itu
mengalir terus menerus. Lian Seng Pek mematung, seperti membeku, diam ditempat
itu.
Sepasang sinar mata Lian Seng
Pek tidak memancarkan kebencian, juga tidak memancarkan kecintaan, sepasang
mata itu adalah mata yang kosong, menatapnya secara dingin dan beku.
Lian Seng Pek adalah seorang
kongcu rimba persilatan, gayanya gagah sifatnya tenang, menarik hati dan sangat
tampan.
Kesan ini sudah mendarah
daging didalam lubuk hati setiap orang.
Sekarang........
Sim Pek Kun bisa melihat
adanya perobahan perobahan itu, tidak gagah lagi. Lian Seng Pek tampak sangat
layu. Tidak rupawan lagi, Lian Seng Pek tampak murung. Tidak segar lagi.
Terasa tenggorokannya seperti
tersumbat, Sim Pek Kun tidak bisa menguasai diri lagi, ia berjalan maju,
mendekati sang suami dan bertanya : “Kau..... kau..... kau selalu mengintil
dibelakangku?”
Perlahan-lahan Lian Seng Pek
menganggukkan kepala.
Sim Pek Kun bertanya lagi :
“Tapi kau tidak mengganggu
usahaku.”
Lian Seng Pek berdiam diri
untuk beberapa waktu, baru ia menjawab pertanyaan itu.
“Karena aku bisa menyelami isi
hatimu..........”
“Bisa menyelami isi hatiku ?”
Sim Pek Kun memotong pembicaraan.
Lian Seng Pek menghela napas,
ia berkata :
“Kalau bukan karena dirimu, bagaimana
dia menjadi seperti ini ? Mana mungkin kau tidak menolonginya ?”
Didalam saat yang seperti itu,
jiwa Sim Pek Kun juga membeku. Ia tidak tahu apa isi hatinya, mungkin bersedih,
mungkin juga girang.
“Biar bagaimana, dia lebih
bisa menyelami isi hatiku.” berkata Sim Pek Kun.
Didalam keadaan yang seperti
ini, kalau saja Lian Seng Pek membuka mulut, memberi perintah agar dia membawa
lari Siauw Cap-it-long, mungkin sekali mendapat reaksi yang lain, bisa saja Sim
Pek Kun merasa bersalah, bisa saja Sim Pek Kun meletakkan tubuh Siauw
Cap-it-long. Biarpun ia bisa menyesal dikemudian hari.
Tapi Lian Seng Pek tidak
mengeluarkan perintah seperti itu.
Lian Seng Pek berkata :
“Mari kita kembali! Lukanya
sangat berat. Kuharap saja bisa menyembuhkannya. Agar tidak terganggu oleh
orang lain.”
Dibalik kejahatan terdapat
juga kebaikan. Dibalik kesabaran terdapat juga kekerasan. Inilah dua muka dari
jiwa manusia. Sim Pek Kun bisa menjelajahi isi hati suaminya, belum lama ia
sampai terperosok, mendapat teguran yang halus ia menaruh curiga. Langkah
kakinya termundur dua langkah, ia bertanya :
“Kau..... kau sudah percaya,
kalau dia bukan seorang jahat ?”
Lian Seng Pek berkata :
“Mengapa kau curiga ?”
Badan Sim Pek Kun gemetaran,
dengan suara yang tidak lancar ia berkata :
“Belum lama, disaat mereka
hendak membunuhnya, kau tidak mencoba berusaha. Kau tahu maksud tujuan mereka,
tapi tidak sekecap katapun keluar dari mulutmu....”
Sim Pek Kun mundur lagi dua
langkah secara tiba-tiba sekali, ia membalikkan badan, tetap menggendong Siauw
Cap-it-long, berlari cepat.
Lian Seng Pek segera
mengeluarkan bentakan :
“Sim Pek Kun .......”
“Tidak.” berteriak Sim Pek
Kun. “Kau adalah satu komplotan dengan mereka......”
Sim Pek Kun tidak menghentikan
larinya, ia pergi semakin cepat.
Badan Lian Seng Pek bergerak,
sedianya hendak membikin pengejaran. Tapi niatnya dibatalkan, ia berhenti.
Hujan semakin deras. Bayangan
Sim Pek Kun sudah lenyap ditelan hujan yang lebat itu.
Malam masih belum berhenti,
Lian Seng Pek mematung ditempat itu.
Tiba-tiba terdengar satu
elahan napas panjang, terdengar satu suara yang berkata :
“Lian kongcu memiliki sifat
kesabaran yang luar biasa. Betul-betul sangat luar biasa. Tidak mungkin ada
keduanya.”
Didalam keadaan hujan, didalam
kilat yang diiringi suara guntur, suara orang tadi sangat menusuk sekali.
Inilah suara si pemimpin tujuh puluh dua perusahaan piauwkiok Suto Tiong Peng.
Tangan Suto Tiong Peng
memegang payung, perlahan-lahan berjalan datang. Cahaya kilat menerangi
wajahnya, wajah itu tegang dan memperlihatkan senyum sinis, ia berkata lagi :
“Kalau aku menggantikan
kedudukan Lian kongcu, tidak mungkin Siauw Cap-it-long bisa melewatkan hari
ini. Tapi kau telah memberi kebebasan. Karena itulah kau mendapat
pujian-pujian, siapa yang tidak kenal pendekar muda Lian Seng Pek ? Disinilah
perbedaan kita. Kau terkenal dan aku hanya bisa menduduki pengawal piauwkiok
saja.”
Tidak terjadi perobahan atas
wajah Lian Seng Pek, ia tertawa tawar :
“Bicara secara blak-blakan,
apa maksud yang dikandung olehmu ?”
Suto Tiong Peng berkata :
“Maksudku, kalau kau membunuh
Siauw Cap-it-long, langkah itu tidak terlalu jauh. Tapi, kalau sampai diketahui
oleh orang menjadi buah tutur orang pendekar muda Lian Seng Pek membunuh Siauw
Cap-it-long yang sudah berada didalam keadaan tidak berdaya sama sekali ?
Bukankah akan mencemarkan nama baik ? Apalagi cara-cara itu bisa menyakiti Lian
Hujin. Bisa memecah-belahkan hubungan baik antara suami-isteri. Disinilah letak
kepintaranmu. Kau tidak membunuh Siauw Cap-it-long, memang Siauw Cap-it-long
tidak perlu dibunuh. Jiwanya sudah tidak panjang lagi.”
Lian Seng Pek masih tidak
percaya.
Suto Tiong Peng mengoceh
terus, katanya :
“Rombongan Thio Bu Kek sudah
mulai membikin pengejaran. Lian Hujin tidak tahu. Tentu saja kau tidak tahu.
Kini mereka sudah mulai kejar mengejar. Didalam keadaan hujan, tapak-tapak kaki
itu mudah diperiksa. Dengan kekuatan Lian Hujin, berapa jauhkah usaha pelarian
itu bisa ditempuh ? Kalau ada orang yang membunuh Siauw Cap-it-long, mengapa
kita harus turun tangan sendiri ? Mengotori tangan saja bukan ?”
Lian Seng Pek diam saja,
perlahan-lahan ia berkata :
“Inilah rahasiaku, tentunya
tidak kau ceritakan kepada orang luar bukan ?”
Suto Tiong Peng berkata :
“Kau tahu aku selalu menutup
mulut. Apalagi aku ada permohonan, tentu saja tidak menceritakan kepada orang
luar.”
Lian Seng Pek tertawa-tawa, ia
berkata :
“Kalau kau tidak mempunyai
tuntutan, tentu tidak menceritakan kejadian ini kepadaku.”
“Hebat ! Lian kongcu memang
hebat !” Suto Tiong Peng mengeluarkan suara pujian. “Sebetulnya, permintaanku
ini hanya sepele saja, hanya menyentil sedikit tanganmu.”
Baru sekarang Lian Seng Pek
bisa tertawa, ia berkata :
“Katakan, apa yang kau minta
?”
“Uang !” berkata Suto Tiong
Peng. “Setiap orang itu menghendaki uang. Tanpa uang tidak mungkin kita bisa
hidup.”
Wajah Lian Seng Pek ditekuk
masam, kini dengan dingin ia berkata :
“Lihat orangnya, apa orang
yang seperti aku ini bisa diperas ?”
Wajah Suto Tiong Peng berubah,
tubuhnya nyelusup kebelakang, kini ia tidak bisa tertawa lagi.
Lian Seng Pek menghela napas,
ia berkata :
“Aku tahu, kau hendak
menggunakan kesempatan ini, membikin pemerasan. Sekarang kau minta uang. Besok
kau minta uang. Lusa kau minta uang. Demikian untuk seterusnya. Satu kali tidak
kuberi, rahasia
itu segera tersiar cepat. Kau
hendak menjadikan diriku sebagai pohon emas? Ha, ha, ha,ha ....
Keringat Su-to Tiong Peng
nyerocos cepat, bercampuran dengan air hujan, menetes jatuh.
Secara mendadak saja, ia
melempar payungnya, untuk membalikkan badan dan ngiprit lari.
Kilat berkelebat lagi. Tapi,
pedang Lian Seng Pek lebih cepat dari kelebatnya kilat itu terdengar satu
jeritan tertahan, pedang Lian Seng Pek tembus dari geger belakang ke dada
depan, memantek badan Su-to tiong Peng.
Perlahan-lahan Lian Seng Pek
menghela napas, mencebik korbannya dan bergumam:
“Tidak mungkin ada orang yang
bisa meramalkan hidup Su-to Tiong Peng yang seperti ini, karena keserakahannya
sendiri. Serakah kepada harta kekayaan, serakah kepada kedudukan”.
Perlahna-lahan, Lian Seng Pek
menyabut pedangnya. Didalam sekejap mata, darah yangmelumuri pedang itu tercuci
bersih oleh turunnya air hujan.
........
Inilah daerah tandus di
pegunungan yang sunyi dan sepi. Hujan belum berhenti, sebuah berkelebatnya
kilat menyinari sebuah goa ditempat itu.
Sim Pek Kun bisa melihat
adanya goa di tempat itu, tanpa memperhatikan adanya bahaya atau tidak, tidak
menunggu sampai kilatan kedua berkelebat, dengan tetap mengendong Siauw
Cap-it-long, ia menyelusup masuk.
Goa itu tidak dalam, dengan
keras dan kencang, Sim Pek Kun memegangi tubuh Siauw Cap-it-long, diusahakan
berdesak, untukmengelakkan terkamannya air hujan.
Kini Sim Pek Kun membelakangi
mulut gua dan berusaha meringankan beban penderitaan Siauw Cap-it-long, dengan
menerima tetesan-tetesan air hujan dan menolong Siauw Cap-it-long agar tidak
terkena air itu. Gigi Sim Pek Kun mulai bergerutuk, tubuhnya menggigil dingin.
Sekarang Sim Pek Kun merasa
dirinya menjadi seekor serigala. Seekor serigala yang sedang diburu-buru oleh
empat pemburu luar biasa.
Thio Bu Kek, Hay-leng-tju, Lie
Kang dan To Siao thian tidak mungkin mau memberi kebebasan. Pasti membikin
pengejaran.
Sim Pek Kun tidak melihat
adanya kejaran-kejaran orang itu, tapi ia bisa menduga
kalau bakal terjadi kejadian
yang sudah dibayangkan.
Seseorang yang sudah dirundung
malang terus menerus, bahkan mempunyai ketajaman luar biasa, panca indranya
bertambah jernih dan terang, seolah-olah bisa mengendus bahaya sesuatu yang
akan datang inilah kekuatan hidup.
Binatang atau manusia memiliki
daya tahan untuk bertahan hidup.
Sim Pek Kun menemukan goa itu,
seperti menemukan sesuatu yang bisa menyelamatkan dirinya. Sesuatu yang bisa
menolong Siauw Tjap it-long dari tamparan-tamparan air hujan.
Dengan tangannya yang masih
menggigil dingin, Sim Pek Kun menjulurkan dan ditaruh di atas dada Siauw Tjap
it-long. Masih ada deburan nafas, masih ada deburan jantung, masih terasa ada
desiran hawa yang keluar masuk hidung.
Sim Pek Kun mengatupkan kedua
matanya menghembuskan elahan nafas panjang, elahan nafas yang hampir tersumbat.
Gigi atas Sim Pek Kun
membentur-bentur gigi bawahnya, semakin lama semakin keras menggigil dingin.
Walau keadaan di dalam begitu
dingin, Sim Pek Kun tidak bisa melupakan keamanan Siauw Tjap it-long. Ia
mendekapnya, seperti seorang ibu menyayangi sang putra manja. Hanya kasih
sayang seorang ibulah yang berjiwa besar. Tidak ada cinta yang melebihi dari
cinta kasih seorang ibu. Hanya cinta kasih seorang ibu yang bisa menenangkan
dan mengamankan putranya.
Hari masih gelap, hujan belum
mau mereda, dan di dalam keadaan yang seperti ini, Sim Pek Kun masih
membayangkan pengejaran-pengejaran dari keempat musuhnya.
Seorang anak sangat
membutuhkan cinta kasih ibu. Begitu pula timbal balik, kasih ibu hanya dicurahkan
kepada putra sendiri. Perasaan-perasaan yang seperti ini adalah
perasaan-perasaan yang sudah pasti terjadi.
Sim Pek Kun mendapatkan
perasaan cinta kasih seorang ibu yang wajib dicurahkan kepada putranya. Mereka
berpelu-pelukan, menghangatkan badan kasih sayang.
Lama sekali kejadian itu
berlangsung.....
Akhirnya..........
Tidak tampak kilat lagi, tidak
terdengar suara guntur. Hujan yang tadinya sangat deras mulai mereda, akhirnya
berhenti.
Sim Pek Kun harus mengambil
langkah baik, kemana mereka harus melarikan diri. Sembunyi di dalam goa itu
atau kembali ke tempat Lian Seng Pek.
Tidak! Tidak mungkin meminta
bantuan atau pertolongan Lian Seng Pek.
Tempat goa inilah yang
teraman. Dia harus membekap Siauw Tjap it-long ditempat yang aman. Tidak
mungkin mereka bisa menemukannya.
Betulkah?
Apa betul To Siao Thian cs
tidak bisa menemukan jejak mereka?
Inilah pikiran yang mau
membohongi diri sendiri. Kadang kala, seseorang yang sudah mendapatkan jalan
buntu, sering menggunakan kata-kata yang tidak masuk diakal; pikiran-pikiran
yang mengelabui diri sendiri.
Seseorang harus pandai menipu,
kalau dia ingin hidup bebas. Kalau dia ingin hidup berumur panjang.
Kenangan Sim Pek Kun
melayang-layang, melayang kembali kearah bangunan kecil di dalam lembah gelap. Terpeta
wajah Siauw Tjap it-long yang sedang membangun sebuah rumah lainnya; berketak
ketik dengan kedua tangannya yang cekatan dan gesit. Tapi secepat itu pula,
bayangan tersebut buyar berantakan.
Tubuh Siauw Tjap it-long
bergerak, ini sangat mengejutkan Sim Pek Kun. Cepat-cepat ia mendekapnya pula.
Siauw Tjap it-long hendak membuka kelopak matanya, tapi masih terasa berat,
dengan suaranya yang perlahan dia bertanya: “Kau..?”
Walau hujan sudah tiada,
keadaan malam tetap gelap, dan keadaan di dalam goa lebih gelap lagi. Di dalam
keadaan yang gelap gulita, tentu saja tidak bisa membedakan wajah seseorang.
Sim Pek Kun tidak bisa melihat perobahan Siauw Tjap it-long, dan Siauw Tjap
it-long juga tidak bisa melihat dirinya. Tapi, dari hembusan harum semerbak itu,
Siauw Tjap it-long sudah bisa menduga akan hadirnya sang ratu rimba persilatan.
Semacam rasa bangga menyerang
hati
Sim Pek Kun, menghangatkan
tubuhnya yang kedinginan. Dengan suaranya yang merdu, menganggukkan kepala dan
berkata: “Ya! Aku! Kau baru tertidur!”
Siauw Tjap it-long tidak
menjawab pertanyaan itu, lama ia bernafas, akhirnya berkata: “Mengapa kau
datang lagi?”
Sim Pek Kun bertanya:
“Maksudmu?”
“Kau... kau tahu...” berkata
Siauw Tjap it-long terputus-putus. “Aku... aku tidak mau menyusahkanmu lagi.”
Sim Pek Kun berkata: “Aku yang
menyusahkan dirimu.”
“Bukan...” berkata Siauw Tjap
it-long. “Biar bagaimana, mereka pasti bisa menemukan jejakku. Biar bagaimana,
aku bisa hidup tanpa kehadiranmu. Mengerti?”
“Mengerti.” berkata Sim Pek
Kun.
“Nah! Pergilah!”
“Tidak!” Berkata Sim Pek Kun
tegas. “Aku tidak mau pergi.”
“Dengar... dengarlah...”
dengan cepat Sim Pek Kun memotong pembicaraan itu: “Kali ini, tidak perduli apa
yang kau ucapkan, aku tidak bisa menurut perintahmu lagi.”
Belum pernah Siauw Tjap
it-long mendengar suara Sim Pek Kun yang seperti ini. Biasanya wanita itu lemah
gemulai, jinak dan menurut. Tapi sekarang berubah, tegas dan kuat.
Timbul pikiran lama, mudah
saja Siauw Tjap it-long mengusir Sim Pek Kun. Dengan aneka macam cara, dengan
menyakiti hatinya, atau menyinggung hati sang ratu rimba persilatan, pasti Sim
Pek Kun bisa terusir pergi. Tapi Siauw Tjap it-long tidak mau melakukan hal
itu, ia menghela nafas dan terdiam.
“Pergilah!” berkata Siauw Tjap
it-long perlahan, suaranya amat lemah.
“Baik.” berkata Sim Pek Kun.
“Aku akan pergi. Tapi bukan sekarang. Beruntung hujan sudah berhenti. Beruntung
orang-orang itu sudah pergi. Kini berhasil melarikan diri. Tunggu sesudah hari
menjadi pagi. Aku segera mengantarmu kembali dan saat itu........ disaat itulah
baru pergi.”
“Eh, kau biasanya tidak bisa
menipu orang.” ia berkata. “Sekarang mengapa hendak menipu, membohong kepadaku
dan berbohong kepada diri sendiri?”
“Aku.... aku bohong.” berkata
Sim Pek Kun.
“Aku tahu, tidak perduli siapa
diantara mereka, satupun tidak bisa membiarkan aku hidup lebih lama lagi.”
Suara Siauw Cap-it-long masih
tetap lemah, tapi sangat jelas.
Sim Pek Kun bertanya :
“Mengapa dan dengan alasan apa
mereka menghendaki kematianmu ?”
Siauw Cap-it-long berkata :
“Hanya kematiankulah yang bisa
menenangkan hidup mereka. Hanya kematiankulah yang bisa menarik kembali
nama-nama mereka.”
Sim Pek Kun bisa menangkap
sesuatu dari arti kata-kata itu, ia mencoba menyelidik, tanyanya :
“Mungkin mereka telah
melakukan sesuatu kesalahan besar yang dipergoki olehmu ?”
Siauw Cap-it-long tidak
menjawab pertanyaan itu. Tidak menjawab berarti membenarkan.
Sim Pek Kun mengeluarkan
elahan napas panjang, ia berkata :
“Aku juga sudah bisa melihat
padanya ciri-ciri para pendekar itu, mereka menganggap diri sendiri sebagai
ksatria, mereka menganggap diri sendiri sebagai seorang jago, maunya disebut
pendekar, mereka mendapat julukan tayhiap. Tapi apakah isi hati mereka?....
Huh! Mereka hanya belatung belatung terbungkus oleh kulit.”
“Oh......” Siauw Cap-it-long
melompongkan mulut.
Sim Pek Kun berkata lagi :
“Apa yang mereka kerjakan dan
apa yang mereka lakukan sangatlah bertentangan dengan panji semboyan hidup
pendekar. Hanya janji-janji kosong. Hanya pidato-pidato muluk. Jual kecap!”
Siauw Cap-it-long berkata :
“Untuk menghilangkan jiwaku,
mereka tidak perduli dengan aneka macam cara.”
“Itulah kenyataan.” berkata
Sim Pek Kun.
Siauw Cap-it-long berkata :
“Karena itulah, lebih baik kau
menyingkir pergi.”
“Tidak.” berkata Sim Pek Kun.
“Aku tidak mau pergi.”
Suara ini sangat tegas dan
tandes. Tidak bisa diganggu gugat lagi.
Keadaan sunyi. Beberapa waktu
kemudian, Sim Pek Kun bertanya :
u, menganggukkan kepala dan
berkata: “Ya! Aku! Kau baru tertidur!”
Siauw Tjap it-long tidak
menjawab pertanyaan itu, lama ia bernafas, akhirnya berkata: “Mengapa kau
datang lagi?”
Sim Pek Kun bertanya:
“Maksudmu?”
“Kau... kau tahu...” berkata
Siauw Tjap it-long terputus-putus. “Aku... aku tidak mau menyusahkanmu lagi.”
Sim Pek Kun berkata: “Aku yang
menyusahkan dirimu.”
“Bukan...” berkata Siauw Tjap
it-long. “Biar bagaimana, mereka pasti bisa menemukan jejakku. Biar bagaimana,
aku bisa hidup tanpa kehadiranmu. Mengerti?”
“Mengerti.” berkata Sim Pek
Kun.
“Nah! Pergilah!”
“Tidak!” Berkata Sim Pek Kun
tegas. “Aku tidak mau pergi.”
“Dengar... dengarlah...”
dengan cepat Sim Pek Kun memotong pembicaraan itu: “Kali ini, tidak perduli apa
yang kau ucapkan, aku tidak bisa menurut perintahmu lagi.”
Belum pernah Siauw Tjap
it-long mendengar suara Sim Pek Kun yang seperti ini. Biasanya wanita itu lemah
gemulai, jinak dan menurut. Tapi sekarang berubah, tegas dan kuat.
Timbul pikiran lama, mudah
saja Siauw Tjap it-long mengusir Sim Pek Kun. Dengan aneka macam cara, dengan
menyakiti hatinya, atau menyinggung hati sang ratu rimba persilatan, pasti Sim
Pek Kun bisa terusir pergi. Tapi Siauw Tjap it-long tidak mau melakukan hal
itu, ia menghela nafas dan terdiam.
“Pergilah!” berkata Siauw Tjap
it-long perlahan, suaranya amat lemah.
“Baik.” berkata Sim Pek Kun.
“Aku akan pergi. Tapi bukan sekarang. Beruntung hujan sudah berhenti. Beruntung
orang-orang itu sudah pergi. Kini berhasil melarikan diri. Tunggu sesudah hari
menjadi pagi. Aku segera mengantarmu kembali dan saat itu........ disaat itulah
baru pergi.”
“Eh, kau biasanya tidak bisa
menipu orang.” ia berkata. “Sekarang mengapa hendak menipu, membohong kepadaku
dan berbohong kepada diri sendiri?”
“Aku.... aku bohong.” berkata
Sim Pek Kun.
Siauw Tjap it-long berkata:
“Aku tahu, tidak perduli siapa
diantara mereka, satupun tidak bisa membiarkan aku hidup lebih lama lagi.”
Suara Siauw Cap-it-long masih
tetap lemah, tapi sangat jelas.
Sim Pek Kun bertanya :
“Mengapa dan dengan alasan apa
mereka menghendaki kematianmu ?”
Siauw Cap-it-long berkata :
“Hanya kematiankulah yang bisa
menenangkan hidup mereka. Hanya kematiankulah yang bisa menarik kembali
nama-nama mereka.”
Sim Pek Kun bisa menangkap
sesuatu dari arti kata-kata itu, ia mencoba menyelidik, tanyanya :
“Mungkin mereka telah melakukan
sesuatu kesalahan besar yang dipergoki olehmu ?”
Siauw Cap-it-long tidak
menjawab pertanyaan itu. Tidak menjawab berarti membenarkan.
Sim Pek Kun mengeluarkan
elahan napas panjang, ia berkata :
“Aku juga sudah bisa melihat
padanya ciri-ciri para pendekar itu, mereka menganggap diri sendiri sebagai
ksatria, mereka menganggap diri sendiri sebagai seorang jago, maunya disebut
pendekar, mereka mendapat julukan tayhiap. Tapi apakah isi hati mereka?....
Huh! Mereka hanya belatung belatung terbungkus oleh kulit.”
“Oh......” Siauw Cap-it-long
melompongkan mulut.
Sim Pek Kun berkata lagi :
“Apa yang mereka kerjakan dan
apa yang mereka lakukan sangatlah bertentangan dengan panji semboyan hidup
pendekar. Hanya janji-janji kosong. Hanya pidato-pidato muluk. Jual kecap!”
Siauw Cap-it-long berkata :
“Untuk menghilangkan jiwaku,
mereka tidak perduli dengan aneka macam cara.”
“Itulah kenyataan.” berkata
Sim Pek Kun.
Siauw Cap-it-long berkata :
“Karena itulah, lebih baik kau
menyingkir pergi.”
“Tidak.” berkata Sim Pek Kun.
“Aku tidak mau pergi.”
Suara ini sangat tegas dan
tandes. Tidak bisa diganggu gugat lagi.
Keadaan sunyi. Beberapa waktu
kemudian, Sim Pek Kun bertanya : “Aku tahu, apa kejelekan-kejelekan Thio Bu
Kek, Hay-leng-cu dan To Siao Thian. Tapi kesalahan apa yang sudah dilakukan
oleh Lie Kang ?”
Dengan dingin Siauw
Cap-it-long berkata :
“Anggapmu, Lie Kang itu adalah
seorang laki-laki sejati? Ia sangat tahu diri?”
Sim Pek Kun berkata :
“Semua orang mengatakan
seperti itu.”
Siauw Cap-it-long berkata :
“Lie Kang adalah seorang
laki-laki sejati dihadapan kaum laki-laki. Tapi... kalau dia bertemu dengan
seorang wanita yang berjalan sendirian, nah... disitu akan terbuka kedoknya.”
Sim Pek Kun tidak bicara.
Karena bahan pembicaraan merekapun sudah habis.
Hujan turun lagi, ternyata
masih belum puas membasahi bumi. Dari perlahan, membesar dan deras kembali.
Tiba-tiba Siauw Cap-it-long
berkata :
“Sebentar lagi hari menjadi
pagi.”
“Hm....” Sim Pek Kun
membenarkan dugaan itu.
“Betul-betul kau tidak ada
niatan untuk pergi ?” bertanya Siauw Cap-it-long.
“Sudah kukatakan. Aku tidak
mau pergi.” berkata Sim Pek Kun.
“Baik.” berkata Siauw
Cap-it-long. “Mari kita pergi bersama-sama.”
Tawaran ini membuat Sim Pek
Kun ragu-ragu. Siauw Cap-it-long berkata :
“Lihat ! Matahari mulai
memancarkan cahayanya, musuh berada didepan kita kau kira....”
“Tidak menunggu sampai hujan
mereda?” bertanya Sim Pek Kun.
“Lebih baik hujan ini tidak
berhenti.” berkata Siauw Cap-it-long. “Dia telah membuat pertolongan yang
sangat banyak.”
“Pertolongan? Pertolongan
kepada siapa?”
Siauw Cap-it-long berkata :
“Adanya hujan terus menerus
membantu usaha kita. Tapi mengganggu pencaharian mereka. hujan ini telah
menghancurkan tapak-tapak kaki, sehingga sekarang, mereka belum berhasil
menemukan jejak kita. Karena adanya hujan inilah, kita mendapat kesempatan
berlari. Kita tertolong.”
Meninggalkan cerita Siauw
Cap-it-long dan Sim Pek Kun, kita melihat keadaan Lie Kang, Thio Bu Kek, To
Siao Thian dan Hay-leng-cu.
Disaat itu, keempat orang
tersebut berada dicabang jalan. Hujan masih memukul tubuh keempat orang. Mereka
berhenti di jalan bercabang. Thio Bu Khek menghela nafas dan berkata: “Hujan
sialan! Ia telah menghilangkan jejak tapak kaki. Ia telah menghilangkan bau
buronan kita. Dimisalkan kita membawa anjing juga tidak mungkin bisa mengendus
bau orang buronan itu.
Dengan dingin Hay-leng-cu
berkata: “Biar bagaimana, mereka tidak bisa melarikan diri.”
To Siao Thian berkata: “Tepat.
Di dalam keadaan yang seperti ini, kita orangpun tidak bisa melakukan
perjalanan cepat. Apalagi Sim Pek Kun ia harus membawa danmenggendong seorang
laki-laki yang bertubuh berat.
“Lihat!” berkata Thio Bu Khek.
“Di depan kita terdapat dua jalan...”
Lie Kang berkata: “Kita
berpencaran.”
Thio Bu Khek ragu-ragu
sebentar dan berkata: “Boleh juga. Aku bersama-sama dengan Lam-hay-cu. Saudara
Lie Kang...”
“Biar aku seorang diri.”
Potong Lie Kang. Tidak menunggu persetujuan ketiga kawannya, tubuh Lie Kang
melejit, ia mengambil jalan sebelah kiri. Jalan itu agak lebar.
Thio Bu Khek, To Siao Thian
dan Hay-leng-cu saling pandang, demikian sehingga lenyapnya bayangan Lie Kang.
“Dia memiliki pukulan yang
hebat. Ilmu meringankan tubuhnya juga tidak rendah, tapi orangnya sangat
butek.”
Thio Bu Khek tertawa dan
berkata: “Kau maksudkan dia salah pilih jalan?”
“Ya.” berkata To Siao Thian.
“Sim Pek Kun tidak mungkin mengambil jalan ini.”
“Alasannya?” bertanya
Hay-leng-cu.
To Siao Thian menjawab
pertanyaan itu: “Jalan dia tempuh adalah jalan yang lebar, mudah dilewati
orang. Untuk seseorang yang sedang berada di dalam keadaan pelarian, tidak
mungkin memilih jalan yang baik. Anggapnya, di jalan yang baik ia mudah
dikejar. Sim Pek Kun akan mengajak Siauw Tjap it-long menempuh jalan
pegunungan, jalan pegunungan tidak mudah dicapai orang.”
Lie Kang menempuh jalan lebar.
Dia meninggalkan jalan yang sempit kecuali ketiga rekan-rekannya.
Thio Bu Khek berkata: “Betul.
Inilah kesalahannya. Aku heran pengalaman-pengalaman Lie Kang tidak berada
dibawah kita, mengapa ia tidak berpikir dahulu?”
To Siao Thian memandang langit
yang masih menuang-nuang air hujan, ia berkata: “Bukan itu saja yang
mengherankan, ada sesuatu yang lainnya.”
“Urusan apa lagi?”
To Siao Thian berkata: “Lie
Kang adalah seorang laki-laki sejati. Entah perbuatan tidak senonoh apa yang
telah dipergoki oleh Siauw Tjap it-long sehingga dendamnya begitu hebat.”
Thio Bu Khek berkata: “Dia
memaksa melakukan perjalanan seorang diri, memisahkan dari rombongan. Kukira
takut rahasianya itu dibongkar di depan umum.”
Menyambung lagi cerita Sim Pek
Kun dan Siauw Tjap it-long.
Siauw Tjap it-long berkata:
“Nah inilah kesempatan baik.”
“Kesempatan baik apa?”
bertanya Sim Pek Kun.
Siauw Tjap it-long berkata:
“Mereka tidak mudah menemukan jejak kita, tentu berpencaran.”
“Kemudian?”
“Lie Kang paling takut
rahasianya dibongkar. Apalagi dibongkar di depan kawan-kawannya. Karena itu,
tentunya ia akan memisahkan diri. Tidak mau bergabung dengan ketiga orang
lainnya.”
Dugaan yang tepat!
Sim Pek Kun memandang jago itu
dan bertanya: “Thio Bu Kek, To Siao Thian dan Hay-leng-cu bisa berkumpul
menjadi satu?”
“Untuk sementara.”
“Alasannya?”
Siauw Tjap it-long memberi
penjelasan, ia berkata: “Orang yang bisa membunuh Siauw Tjap it-long akan
mendapatkan nama besar. Karena itulah, mereka hendak memperebutkan pahala.
Masing-masing hendak mengangkangi jasa. Pepisahan dan perpecahan tidak bisa
dielakan.”
“Apa mereka tidak takut
digempur olehmu? apa kekuatan seorang cukup untuk menandingi dirimu?” Sim Pek
Kun mengutarakan kecurigaannya.
Siauw Cap-it-long berkata:
“Mereka semua tahu, aku sudah
menderita luka berat. Dan tidak mempunyai daya tempur lagi.”
“Tapi aku tidak menderita
luka” berkata Siauw Cap-it-long
Dengan tertawa Siauw
Cap-it-long berkata:
“Bagaimana kalau dibandingkan
dengan ilmu kepandaian mereka!”
Sim Pek Kun menjebikan bibir,
ia berkata:
“Menurut apa yang
kutahu,keempat orang itu tidak berani menempur aku.”
Siauw Cap-it-long menghela
napas, ia berkata:
“Mereka tidak berani
menempurmu. Karena kau adalah Nyonya Lian Seng Pek. Bukan berarti mereka takut
kepada ilmu kepandaian Sim Pek Kun”.
Siauw Cap-it-long berkata:
“Mereka akan salah membuat
perhitungan”.
“Oh ......”
“Mereka tidak tahu” berkata
Siauw Cap-it-long. “Seseorang yang mendapat tekanan hebat itu, mempunyai reaksi
timbal balik yang tidak kalah hebatnya.”
“Tentu saja. Mereka tidak tahu
berapa hebat ilmu kepandaianmu”.
Siauw Cap-it-long berkata:
“Dengan ilmu kepandaian kita
berdua. Tidak sulit mengalahkan satu orang. Kalau mereka berpencaran, kukira
kita bisa membunuhnya satu-persatu.”
Suara ini dikeluarkan dengan
hawa nafsu yang meluap-luap, hawa pembunuhan yang membara.
Sim Pek Kun menyelidik.
Beberapa saat kemudian ia menghela nafas dan bertanya:
“Bagaimana pandanganmu?”
“Kuharap saja mereka tidak
berkumpul, maka kita bereskan satu-persatu.”
“Kemana kita harus pergi?”
“Tidak perlu pergi”, berkata
Siauw Cap-it-long, “Tunggu saja disini”.
“Tunggu disini?” bertanya Sim
Pek Kun. “Mereka bisa sampai ke tempat ini”.
“Kita sudah tidak bisa lari.
Lari pasti dikejar mereka, lebih baik menunggu atau memancing mereka”. “Tapi
....”
“Tentu saja. Keadaan kita
sangat berbahaya. Tapi lebih berbahaya lagi, kalau mengambil cara lain.
Tenagaku sangat terbatas, kita harus menggunakannya baik baik”
Sim Pek Kun memandang sang
jago berandalan itu, dengan sinar mata penuh pujian dan kesetiaan.
Siauw Cap it-long memandang
kearah sang ratu rimba persilatan dan katanya :
“Sedang kupikirkan, siapakah
orang pertama yang sampai ditempat ini ?”
“Seharusnya siapa ?” bertanya
Sim Pek Kun.
“Kukira To Siao Thian”
“Bagaimana kau bisa menduga
kepada To Siao Thian ?”
“Pengalaman pengalaman To Siao
Thian lebih banyak. Ilmu meringankan tubuhnya juga terhebat” Siauw Cap it-long
memberi keterangan. “Dan orang pertama yang harus kita bekuk adalah manusia
yang bernama To Siao Thian ini”
“Kalau dia sudah datang, apa
yang harus kukerjakan ?” bertanya Sim Pek Kun.
Siauw Cap it-long ragu ragu,
berpikir beberapa lama ia, bergumam :
“Biasanya seorang yang licik
mempunyai penyakit sendiri” “Penyakit apa ?’
“Penyakit takut sendiri kepada
banyangan diri sendiri” berkata Siauw Cap it-long. “kita harus menggunakan
kelemahan mereka”
“Bagaimana harus menghadapinya
?”
Siauw Cap it-long membisiki
sesuatu, mengutarakan rencananya ditelinga Sim Pek Kun. Hampir saja mereka
bersentuhan.
Seperti apa yang Siauw Cap
it-long sudah duga, orang yang pertama yang berhasil menemukan jejak meraka
adalah simanusia paling licik, To Siao Thian.
Itu waktu, Sim Pek Kun sedang
duduk disebuah batu yang sedang menonjol keluar. Letaknya batu itu berada
didepan goa, solah oalh sedang mengalami pikiran kusut, ia berhujan hujan, dan
tidak merasakan rasa dingin.
To Siao Thian sudah berada
ditempat itu, tapi tidak diketahui oleh Sim Pek Kun.
To Siao Thian bisa melihat
adanya Sim Pek Kun, tapi To Siao Thian tidak menemukan Siauw Cap it-long.
Kemana Siauw Cap it-long ?
Tentunya bersembunyi di dalam goa.
Dengan rasa curiga, dengan
berindap indap, To Siao Thian berjalan kedepan. Wajahnya memperlihatkan
senyuman, dan ia berada didepan Sim Pek Kun, seolah olah memperlihatkan
sikapnya terkejut, ia bertanya :
“Lian Hujin, bagaimana kau
bisa berada ditempat ini ?”
Seolah olah TO Siao Thian itu
bukan membikin pengejaran, seolah olahao Thian itu sedang berjalan jalan, atau
mungkin bertamasya dan tiba ditempat tersebut, seolah olah To Siao Thian
bertemiu dengan Sim Pek Kun secara tidak sengaja.
Mendengar teguran To Siao
Thian, baru Sim Pek Kun mendongakan kepala, melirik kearah jago licik itu, dengan
senyumanya bertanya :
“Lama betul ? mengapa sampai
sekarang baru sampai ?”
Sepasang mata To Siao Thian
mengkilat kilat ia mencari jalan keluar untuk mengartikan pertanyaan itu,
tanyanya :
“Lian Hujin sedang menunggu
diriku ?”
Sim Pek Kun berkata :
“Aku mengalami sesati jalan,
kini sedang menunggu orang yang bisa diandalkan untuk mengantar aku pulang”
To Siao Thian bertanya :
“Kemana Siauw Cap it-long ?”
Sim Pek Kun menghela napas, ia
berkata
“Sudah mati ! tentunya kalian
tahu, tidak mungkin dia bisa memperpanjang hidupnya "
To Siao Thian mengangguk
anggukkan kepala, ia juga turut mengeluarkan keluhan napas panjang, seolah
olah, sangat bersedih, dan kini ia berkata :
“Betul betul. Lukanya memang
betul betul berat. tapi kalau mendapat perngobatan secara tetap dan cepat,
kukira ia masih mempunyai kesempatan hidup”
Sim Pek Kun tertawa.
To Siao Thian bertanya lagi :
“Dimanakah mayatnya Siauq Cap
it-long itu ? ah! kukira, ia masih belum mati betul”
Sim Pek Kun melirik kearah
goa, tapi secepat itu pula kerlingan matanya dialihkan ketempat lain, ia
berkata :
“Aku sudah berlari lari
setengah malam. Sangat letih, tidak kuat menggendongnya, kubuang dia ditengah
jalan”
“Dibuang dimana ?” bertanya To
SIao Thian.
Agak gugup Sim Pek Kun berkata
:
“Didalam keadaan gelap gulita,
mana kutahu terbuang dimana. Perlahan lahan saja kita cari, mungkin bisa
ditemukan”
“Sudah pasti bisa ditemukan”
berkata To Siao Thian tertawa.
Tiba tiba wajah To Siao Thian
ditekuk masam, tubuhnya mencelat kearah goa, berteriak keras :
“Siauw Cap it-long ! DIdalam
keadaan yang seperti ini, pa guna kau main petak sembunyi ? Hayo ! Keluar !
"
Tidak terdengar sahutan, goa
itu sangat sunyi dan sepi.
Tapi Sim Pek Kun
memperlihatkan wajahnya yang ketakutan, wajah yang gelisah.
Sepasang biji mata To Siao
Thian berputar, dan ia membalik kembali, kini sudah berada disebelah SIm PEk
Kun, tngannya dicengkeram memegang pergelangan tangan San Ratu Rimba
Persilatan, ditekuk kebelakang.
“Maaf! " ia berkata
cepat.
Wajah Sim Pek Kun berubah, ia
membentak :
“Mau apa ?”
“Tidak apa apa” berkata TO
Siao Thian. “Hanya minta pertolongan dan bantuan Lian Hujin, coba berjalan
didepan, ajak aku memasuki goa.
Dengan mengertak gigi, SIm Pek
Kun membentak :
“Berani... berani kau berlaku
kurang ajar ?”
Dengan dingin To Siao Thian
berkata :
“Untuk hari biasa, tentu saja
tidak berani. Tapi lain dulu lain sekarang. Didalam keadaan yang seperti ini,
didaerah kehutanan yang sunyi dan sepi, tiada lain mahluk penghuni, lebih baik
Lian Hujin mengambil sikap yang lebih bijaksana”
Wajah Sim Pek Kun pucat pasi,
lagi lagi membanting banting kaki.
To SIao Thian sudah mendorong
Sim Pek Kun kedepan goa, hendak dijadikan tameng, mau dijadikan sandera.
Sesudah itu, dengan kecurigaan yang luar biasa, To SIao Thian membentak :
Bagian 10 Selesai