Anak Berandalan Bagian 10

Baca Cersil Mandarin Online: Anak Berandalan Bagian 10
Anak Berandalan Bagian 10

Karena itulah, To Siao Thian, Thio Bu Kek dan Hay-leng-cu memperebutkan kedudukan, mereka masing-masing hendak memdahului kawannya menebas putus batang leher Siauw Cap-it-long.

Tentu saja, mereka berani melakukan hal ini, melihat keadaan Siauw Cap-it-long yang berada didalam keadaan pemabukan.

Ting …

Terdengar lagi suara pentilan, maka disana terjadi lelatu api, ilmu pedang Hay-leng-cu menampar pedang Thio Bu Kek.

Tubuh Siauw Cap-it-long molos keluar dari serangan kedua pedang tersebut.

Terjadinya benturan pedang diantara kawan-kawan sendiri membuat Hay-leng-cu dan Thio Bu Kek merasa malu, karena itu pedang digentak kelain arah, tetap mengincar Siauw Cap-it-long.

Bang …

Tiba-tiba saja tubuh Siauw Cap-it-long mumbul terbang, bek, jatuh diatas meja si pemilik rumah makan, dari hidungnya, dan mulutnya mengeluarkan darah.

Ternyata Siauw Cap-it-long tidak melihat turut hadirnya Lie Kang ditempat itu, secara diam-diam dan teratur, Lie Kang mengirim satu pukulan, dengan tepat mengenai Siauw Cap-it-long, dan melukai Siauw Cap-it-long.

Thio Bu Kek, Hay-leng-cu dan To Siao Thian, memperebutkan pahala, tidak urung mereka mengalami kegagalan. Jasa besar jatuh kedalam tangan Lie Kang. Pasti nama Lie Kang yang dipuji-puji orang. Akan tersebar luaslah suatu berita, kenyataan bahwa seorang jago silat yang bernama Lie Kang berhasil mengalahkan Siauw Cap-it-long.

Wajah Hay-leng-cu ditekuk masam, ia berkata dingin:

“Saudara Lie Kang, tiga puluh enam jurus pukulan batu remuk memang hebat. Lain kali, kalau ada kesempatan, aku hendak meminta sedikit pelajaran.”

Pada wajah Lie Kang yang geram tidak pernah nampak senyuman, ia juga berkata menantang:

“Kalau ada kesempatan, pasti kulaksanakan kemauanmu itu.”

Disaat ini, lagi-lagi terdengar satu suara ting …

Itu waktu, cangklong To Siao Thian telah mengincar cepat, menuju kearah jalan darah Pek-hui-hiat dikepala Siauw Cap-it-long.

Mana tahu, pedang Thio Bu Kek sudah nyelonong masuk. Entah disengaja, atau entah tidak disengaja, pinggir pedang itu menggesek pipa cangklong To Siao Thian. Maka serangan To Siao Thian digagalkan. Mencong kesamping.

Tapi pipa cangklong To Siao Thian yang terbuat dari baja murni mempunyai bobot berat yang luar biasa, karena itu, ia juga berhasil menendang pergi pedang Thio Bu Kek.

Kedua orang itu saling pandang, menyengir dan tertawa kecut.

Lie Kang berteriak, ia hendak memproklamasikan kemenangannya, karena itu berkata:

“Hentikan gerakan semua orang! Orang ini sudah terkena pukulanku. Tanpa kalian bantu, ia akan jatuh ngeloso.”

Dia menuntut jasa!

To Siao Thian berkata:

“Menurut cerita orang, untuk membuktikan hidup matinya sang korban, kita harus memotes batok kepalanya, memisahkan diri otak pikiran itu dari tempatnya semula.”

Thio Bu Kek juga menimpali, ia berkata:

“Betul. Kita harus membuktikan kebenaran ini.”

Lie Kang tertawa dingin dan berkata:

“Sangat mudah sekali, didalam keadaan jang seperti ini, anak kecil yang berumur tujuh tahunpun bisa menabas batang lehernya.”

Hay-leng-cu turut berkata:

“Kukira belum tentu.”

Lie Kang mendelikkan mata dan membentak:

“Mengapa belum tentu?”

Matanya teralih dan memandang Siauw Cap-it-long, tiba-tiba saja wajahnya berubah pucat-pasi, seperti sudah tidak berdarah.

Disaat ini, Siauw Cap-it-long juga memandang kearah mereka, dengan tertawanya yang menantang.

Siauw Cap-it-long merentangkan kedua matanya, kedua mata itu bercahaya dan menyorot tajam, seolah-olah hendak menembus hati semua orang. Walau dalam keadaan hampir tidak sadarkan diri, kewibawaab Siauw Cap-it-long belum pernah luntur.

Seseorang yang sudah hampir mati tidak mungkin bisa memiliki sepasang mata yang bercahaya tajam itu. Tidak mungkin bisa melowekan bibirnya tertawa kepada mereka.

Siauw Cap-it-long belum mati.

Thio Bu Kek mendapat satu akal, ia menghadapi Siauw Cap-it-long dan berkata:

“Eit, kawan, kau sudah terkena pukulan batu remuk dari saudara Lie Kang. Seharusnya mengatupkan sepasang matamu. Tinggalkanlah jiwa-ragamu menuju kedunia akherat. Mengapa masih mempelototkan mata seperti itu? Mengapa tertawa menyengir seperti itu?

Tiba-tiba saja Siauw Cap-it-long tertawa berkakakan, karena ia tertawa, menarik peredaran jalan darah dada, didadanya itu menjadi sengal2 napasnya dirasakan menjadi sesak.

Belum pernah pukulan batu remuk Lie Kang mengalami kegagalan, kecuali hari ini, wajahnya menjadi matang biru, marah dan malu. Segera ia membentak:

“Apa yang kau tertaawakan?”

Siauw Cap-it-long masih tertawa, ia bertanya:

“Begitu hebatkah ilmu pukulan batu remuk? Apa betul sehebat yang dikatakan oleh kawanmu?”

Tanpa menunggu jawaban Lie Kang, tiba-tiba Siauw Cap-it-long bangun berdiri. Menepuk dada dan berkata:

“Ini dadaku! Mana dadamu? Hayo! Pukul lagi disini, hendak kulihat, sampai dimana kehebatan batu remuk?”

Sepasang mata Lie Kang dipelototkan lebar-lebar, wajahnya jadi matang biru, sepatah demi sepatah ia berkata:

“Inilah permintaanmu! Jangan salahkan aku, ya?”

Pundaknya tidak bergerak, pinggangnya tidak diturunkan, kakinya digusur maju kedepan, dengan ujung telapak tangan, begitu dekat sekali, sehingga berjarak yang tidak mungkin dielakan, baru diselonongkan kedepan, memukul dada Siauw Cap-it-long.

Inilah ilmu pukulan Bintang Kecil!

Siauw Cap-it-long tidak mengelakkan. Dan memang juga ia tidak mungkin bisa mengelakkan pukulan bintang kecil.

Bung …

Terdengar satu pukulan keras, seolah-olah membentur tumpukan rumput. Pukulan Lie Kang mengenai sasaran.

Kali ini tidak seperti tadi, kalau tadi Lie Kang bisa menghajar jungkir-balik Siauw Cap-it-long, kini ia mengalami kegagalan, Siauw Cap-it-long terpantek kuat ditempat posisi kedudukan semula, bergoyangpun tidak, bergeserpun tidak, seperti patung, kokoh kekar yang tertancap ditempat itu.

Wajah Lie Kang menjadi pucat-pias, ia tidak bisa mengeluarkan suara. Ilmu pukulannya yang bernama pukulan batu remuk telah hampir mencapai taraf tertinggi, tanpa tandingan. Intan berlian yang dihajar oleh pukulan ini mungkin bisa hancur berantakan. Apalagi batu biasa, pasti batu itu bisa menjadi remuk. Karena itulah mendapat nama pukulan batu remuk.

Jang mengherankan dirinya, ia bisa meremukkan batu, tetapi tidak bisa meremukkan dada Siauw Cap-it-long.

Lebih dari pada itu, kekuatan timbal-balik Siauw Cap-it-long yang menen-

dang kembali membuat Lie Kang merasakan telapaknya hampir pecah.

Thio Bu Kek dan Hay Leng Cu saling pandang, mereka girang atas hasil yang seperti itu, maka nama Lie Kang yang akan digembar-gemborkan karena sudah berhasil memukul Siauw Cap-it-long harus diseret kembali, dihapus dari papan yang sudah tersedia.

Di sinilah letak keajaiban, mereka datang bersama-sama, sesudah sang kawan mengalami kegagalan, bukannya bersedih atau membantu malah bergirang hati.

Tampak Siauw Cap-it-long masih cengar-cengir, beberapa saat kemudian, baru jago berandalan itu membuka mulut:

“Ilmu seperti inikah yang diberi nama pukulan Batu Remuk?”

“Huh!” Lie kang mengeluarkan suara gerengan.

Siauw Cap-it-long tertawa lagi, ia berkata:

“Menurut hematku, ilmu tadi bukan ilmu pukulan Batu Remuk. Tapi lain ilmu pukulan yang jauh berbeda dengan ilmu pukulan Batu Remuk.”

“Apakah namanya dari ilmu yang bertentangan dari ilmu pukukan batu remuk itu?” tiba-tiba Thio Bu Kek berkata, dia melirik ke arah Lie Kang.

Mata Siauw Cap-it-long berpencar ke tiga penjuru, ia tertawa sebentar, baru berkata:

“Ilmu ini aku juga bisa menggunakannya, mari! biar kulatih kepada kalian.”

Siauw Cap-it-long meraihkan tangannya ke atas piring, piring itu masih terpancang di meja, di sana terdapat sayur tahu dan tempe. Meraup isi di piring, dikeremusnya perlahan-lahan. Dan begitu Siauw Cap-it-long membuka tangan, tahu dan tempe itu menjadi bubuk, hancur berterbangan, sesudah mana, ia berkata:

“Aku juga bisa mempermainkan ilmu pukulan yang seperti ini, namanya adalah ilmu Tahu Tempe Remuk”

Thio Bu Kek, Hay-leng-cu dan To Siao Thian memuji kehebatan ilmu kepandaian Siauw Cap-it-long. Mereka lebih memuji mulut Siauw Cap-it-long yang pandai berkelakar.

“Hua,ha.....” tiba-tiba Hay-leng-cu tertawa besar.

Di dalam keadaan yang seperti itu, tidak seharusnya Hay-leng-cu mengeluarkan suara tertawa. Ini akan mengakibatkan ganjelan hati Lie Kang.

Melihat ada yang tertawa, Siauw Cap-it-long juga tertawa. Tertawa hingga sakit pinggang

Pinggangnya Siauw Cap-it-long yang sakit bukan karena tertawa, itulah terkena pukulan-pukulan dari musuhnya.

Selama dua puluh tahun terakhir, korban-korban kematian yang gugur di bawah pukulan Batu Remuk Lie Kang tidaklah sedikit. Siauw Cap-it-long sudah menerima dua kali pukulan itu, luka di dalampun sangat berat. Di dalam keadaan masih mabuk, tidak tahu menahu akan kehebatan itu, kalau ia sadar dan cepat-cepat memutarkan peredaran jalan darahnya membenarkan letak tempat isi dalam yang luka, mungkin bisa mengakibatkan hal lain, tapi Siauw Cap-it-long tidak melakukan hal itu, ia memamerkan ilmu pukulan “Tahu Tempe Remuk”, sesudah itu, tertawa berkakakan, maka menggeser keadaan luka-lukanya, ia menekuk pinggang.

Air kata-kata punya bisa, arak punya jahat, seseorang yang sudah jatuh mabok, menganggap dirinya sebagai seorang maha kuasa, maha bisa.

Itulah cara-cara Siauw Cap-it-long untuk menghadapi musuh-musuhnya.

Di dalam keadaan sadar, tidak mungkin Siauw Cap-it-long mau menerima pukulan Batu Remuk itu. Tapi lain dahulu, lain sekarang. Dalam keadaan setengah mabuk, Siauw Cap-it-long sudah menerima pukulan Batu Remuk.

To Siao Thian juga tertawa. Tapi setiap gerak-gerik Siauw Cap-it-long tidak lepas dari penilaiannya. Sebagai seorang jago yang kawakan, ia mempunyai sinar mata yang lebih hebat, To Siao Thian memiliki umur yang lebih tua dua puluhan tahun dari orang-orang di tempat itu. Selisih umur dua puluhan tahun itu cukup membawa pengalaman yang banyak, asam dan garam yang ditelan lebih banyak dari nasi yang dimakan oleh anak muda. Demikian ia sering memuja diri sendiri. Kini ia menilai ilmu kepandaian Siauw Cap-it-long, menilai luka-luka yang sudah diderita oleh Siauw Cap-it-long.

“Oh....” berkata To Siao Thian, “Ilmu yang seperti itu? aku juga bisa.”

Siauw Cap-it-long tertawa, ia berkata.

“Kau juga hendak menjajal?”

To Siao Thian menganggukkan kepala dan berkata.

“Itulah maksudku.”

Secepat itu pula, ia mendorong pipa cangklongnya. Sangat cepat, sangat tajam, menjurus ke tiga jalan darah Siauw Cap-it-long. Jalan darah jalan darah yang diincar adalah jalan darah Hian-kie, Ju-hian dan Kiang-tay.

To Siao Thian adalah jago totokan yang hebat, dengan tiga ancaman tadi, ia hendak menjerumuskan Siauw Cap-it-long ke dalam lembah kehancuran.

Tubuh Siauw Cap-it-long tidak bergerak, matanya tidak berkesiap. Tangan kanannya seperti menangkap ular, dijulurkan dan ditarik kembali. Entah dengan cara bagaimana, ia berhasil merebut pipa cangklong To Siao Thian.

Wajah To Siao Thian menjadi pucat, ia juga menderita kekalahan.

Siauw Cap-it-long tertawa, ia berkata:

“Aku hanya senang minum arak. Tapi tidak suka menyedot candu, yang ini tiada guna untukku.”

Kedua tangannya ditekukkan, ia hendak mematahkan pipa cangklong To Siao Thian. Tapi tidak berhasil, tenaga Siauw Cap-it-long masih tenaga Siauw Cap-it-long, cara-cara tidak bisa disamakan dalam keadaan ia sadar, mungkin juga, bahan yang terbuat dari pipa cangklong To Siao Thian itu memang hebat, ulet dan kuat, cara-cara Siauw Cap-it-long mematahkan si pipa cangklong tidak benar, tidak patah.

Suatu waktu Siauw Cap-it-long mengempos tenaga, huk! Ia melempar pipa cangklong tersebut, tertancap di tembok dan di dalam keadaan yang sama, dari mulut Siauw Cap-it-long menyembur darah hidup semua terarah ke muka To Siao Thian.

To Siao Thian sedang berada di dalam keadaan kesima, percikan-percikan darah itu tidak berhasil dielakkan. Dan di saat ini, secepat itu pula, ia maju menubruk, dengan cepatnya menyerang dada Siauw Cap-it-long.

Duk..... Siauw Cap-it-long tidak berdaya mengelakkan benturan itu, tubuhnya terpental jatuh.

Di saat yang sama, Thio Bu Kek sudah meluncur ke depan.

Jiwa Siauw Cap-it-long terancam maut!

Bagaimana Siauw Cap-it-long mengelakkan serangan-serangan ke empat musuhnya?

Untuk sementara kita tangguhkan dahulu. Mari kita putar balik cerita, mengikuti perjalanan Sim Pek Kun.

Secara tidak disengaja, Sim Pek Kun berhasil membongkar rahasia suaminya. Ternyata Lian Seng Pek mempunyai hati yang lebih kejam dari seorang berandalan. Hati yang lebih jahat dari seorang maling.

Biar bagaimana, ia harus cepat-cepat menolong Siauw Cap-it-long.

Tubuh Sim Pek Kun melejit, lari keluar, ia tidak menemukan kuda tunggangan, karena itu ia harus lari terus.

Berlari dan berlari, napas si nyonya jadi sengal-sengal, apapun yang terjadi, tetap ia berlari. Demi keselamatan Siauw Cap-it-long.

Tidak mungkin! Tidak mungkin bisa terjadi, kalau Siauw Cap-it-long mati, itulah kesalahannya, kesalahan mulut yang memberitahu di mana letak tempat Siauw Cap-it-long berada.

Hanya ini pikiran Sim Pek Kun, tidak ada pikiran lain, tidak ada pikiran kedua.

Malam sunyi dan senyap, Sim Pek Kun mengincar arah tujuannya meluncur dengan kecepatan penuh. Meluncur dengan semua kekuatan yang ada.

Kalau ada rumah, dilewatinya rumah itu. Kalau ada sawah, diinjaknya sawah itu. Tidak perduli rumah siapa, hancur atau rusak, urusan belakangan. Ia harus cepat-cepat mencapai Siauw Cap-it-long.

Inilah satu kejadian yang belum pernah terjadi selama sejarah hidup si Ratu Rimba Persilatan.

Apapun yang terjadi, ia harus cepat memberi pertolongan kepada Siauw Cap-it-long.

Terjadi lomba adu lari, di satu pihak adalah Sim Pek Kun yang mengejar ke tempat rumah makan di mana Siauw Cap-it-long berada, di lain pihak adalah rombongan To Siao Thian dkk yang hendak merenggut jiwa Siauw Cap-it-long.

Siauw Cap-it-long terkena sikutan To Siao Thian, ia terjungkir dan menyudut di pojok tembok, napasnya sengal-sengal, mempertahankan kehidupan jiwa.

Matanya masih bisa dibuka, tapi sangat berat, seolah-olah sudah dibanduli oleh kekuatan maut.

Karena pukulan-pukulan yang sudah dijatuhkan kepada dirinya, rasa kantuk dan maboknya terusir pergi.

Berada di dalam keadaan mabok, Siauw Cap-it-long tidak merasa rasa sakit pukulan-pukulan itu, kini ia sudah sadar, seluruh tubuhnya sudah ngeresek, seperti mau hancur berantakan. Dagingnya seperti diiris-iris, keringat dingin mengucur saling sambut.

To Siao Thian tertawa berkakakan, ia berkata:

“Nah! Inilah waktulah, seorang laki-laki yang berumur tujuh tahunpun bisa memenggal batang lehernya. Inilah jasaku.”

To Siao Thian gila jasa.

Thio Bu Kek tertawa perlahan, ia berkata: “Kalau begitu, serahkan kepadaku, biar aku yang memotes batok kepalanya” Thio Bu Kek menghampiri Siauw Cap It-long yang sudah tidak berdaya.

“Tunggu dulu!” terdengar bentakan To Siao Thian. Thio Bu kek menghentikan langkahnya, menoleh kepada sang kawan dan bertanya: “Apalagi yang harus ditunggu?”

To Siao Thian berkata: “Aku yang berhasil menjatuhkannya. Kukira lebih baik tanganku yang mencopot batok kepala Siauw Cap-it-long. Tidak perlu menyusahkan kalian.”

Thio Bu Kek tertawa berkakan, ia berkata: “Tidak kusangka, akhir-kahir ini saudara To Siao Thian juga bisa menggunakan pedang?”

To Siao Thian tertegun, ia bertanya dengan suara dingin: “Aku sudah tua. Tidak perlu melatih ilmu pedang. Masih beruntung, kalau pipa cangklongku itu masih berada disini”.

Thio Bu Kek berkata: “Luka yang menjatuhkan orang ini adalah luka terkena serangan pedang. Semua orang bisa menjadi saksi, bukan terkena pipa cangklong. Kukira jasa saudara To Siao Thian harus ditarik pulang” “Kalau bukan karena sikutanku tadi, mana mungkin ia bisa kau jinakkan?” berkata To Siao Thian.

Sekarang giliran Lie Kang yang tampil kedepan, ia berkata dengan suara keras: “Kalau bukan karena pukulan batu remuk tadi, mana mungkin ia terkena sikutan?”

Thio Bu Kek berkata: “Kalau bukan luka bekas tusukan pedang, mana mungkin pukulan batu remuk bisa mengenainya? Mana mungkin sikutan tangan yang biasa memegang pipa cangklong bisa melukainya?”

“Ha, ha, ha …. “ Hay-leng-cu tertawa. “ Orang tergeletak di sana. Tentu saja kalian mudah melukainya.” Lie Kang menoleh ke arah Hay-leng-cu dan membentak: “Dengan hak apa kau turut bicara?”

Hay-leng-cu berkata: “Dengan hak keadilan dan kebenaran, aku tidak menggunakan waktu di saat orang lengah, mengakalinya dengan cara licik.”

Mendengar perdebatan keempat orang itu, pikiran Siauw Cap –it-long menjadi jernih sedikit. Ia mengeluhkan napas panjang dan mulai menggumam: “Oh. Tak kukira batok kepalaku ini sangat berharga sekali. Mengapa banyak orang hendak memperebutkan batok kepala? Seperti anjing yang memperebutkan tulang saja?”

To Siao Thian, Lie Kang, Hay-leng-cu dan Thio Bu Kek saling pandang. Wajah mereka menjadi pucat, Siauw Cap-it-long memandang keempat orang itu dan berkata: “Aduh! Kepalaku memang sangat pening. Siapa yang bisa membantu membacok. Inilah permintaanku. Hayo! Maju! Siapa diantara kalian berempat yang mempunyai nyali datanglah ke depan. Ambillah batok kepalaku!”

Di antara mereka jarak Siauw-cap-it-long dengan To Siao Thian adalah yang terdekat, si jago berandalan memandang To Siao Thian dan berkata: “Hayo, kini kau bisa membacok putus kepalaku! Mangapa tidak kau coba?”

Wajah To Siao Thian semakin pucat, bukannya menggunakan kaki maju ke depan, ia malah mengundurkan diri. Sinar mata Siauw Cap-it-long beralih ke arah Thio Bu Kek, ia berkata: “Bagaimana denganmu? Masih mempunyai keberanian?’ Thio Bu Kek memegang keras pedangnya, keringat dinginnya mengucur, nyalinya hampir pecah.

Napas Siauw Cap-it-long tersengal-sengal, ia berkata: “Ilmu pedang golongan kalian telah menjagoi rimba persilatan. Mengapa tidak mempunyai keberanian?”

Hay-leng-cu menjadi gemetaran, tapi tidak mempunyai keberanian untuk ditunjukkan kepada Siauw Cap-it-long. Siauw Cap-it-long berganti arah, kini ditatapnya wajah Lie Kang. Ia berkata dengan suara dingin: “Hayo, aku masih kenal denganmu, kau adalah si raksasa sejati, hatimu juga ksatria. Kau menganggap aku sebagai musuh karena ada sesuatu yang hendak kuketahui. Maju lagi setapak, berani kau bertindak ke depan, segera dirimu kujadikan bangkai di sana”.

Lie Kang mencoba bertahan, ia tidak berani maju lagi. “Hua, ha, ha, ha….” maka tertawalah Siauw Cap-it-long.

Thio Bu Kek membentak : “Apa yang kau tertawakan?”

Siauw Cap-it-long berkata: “Aku tertawa karena melihat adanya empat ekor tikus yang berkepala hitam.”

Lie Kang, To Siao Thian, Thio Bu Kek dan Hay Leng-cu saling pandang. Siauw Cap-it-long berkata lagi: “Sebetulnya batok kepalaku ini sudah menunggu dipotes orang. Siapa saja di antara kalian berempat yang bernai maju ke depan, aku tidak mempunyai kekuatan untuk bertahan. Sayang nyali kalian lebih kecil daripada nyali tikus”

Wajah keempat orang itu memerah, memucat, menguning dan terjadi aneka macam perobahan. Siauw Cap-it-long masih nyerocos terus katanya: “Betul! Batok kepalaku ini menunggu dipotes oleh kalian berempat”

Siauw Cap-it-long mengeluarkan golok dipinggang, ia tertawa berkakakan dan berkata: “Siauw Cap-it-long! Oh Siauw Cap-it-long! Tidak kusangka, tak ada manusia yang berani membacok kepalamu. Apa boleh buat, harus kukerjakan sendiri!”

Seolah-olah Siauw Cap-it-long hendak membunuh diri. Hal itu sangat mengejutkan Thio Bu Kek, karenanya ia segera membentak: “Tahan gerakan tanganmu!”

Ternyata Siauw Cap-it-long masih bisa ditenangkan, ia bertanya: “Sekarang kau berani maju? Kukira sudah terlambat! Dikemudian hari, rimba persilatan akan menjadi gempar, karena batok kepala Siauw Cap-it-long gugur karena tangan Siau Cap-it-long. Untuk kalian, Huh! Hanya bisa menonton di samping.”

Thio Bu Kek berkata dengan suara tawar: “Kami berempat memang bukan jago dan pendekar. Kalau seorang pendekar, tidak mungkin bisa melakukan perbuatan ini. Kami tahu, kau sudah berada dalam keadaan mabok. Tidak mungkin bisa melakukan perlawanan.. Karena itulah kami berempat datang”

“ Oh begitu !” berkata Siauw Cap-it-long. Thio Bu Kek tertawa, ia berkata: “Siauw Cap-it-long! Bagaimana kami bisa mengetahui bahwa kau berada di tempat ini? Mengapa kami mengetahui kau berada dalam keadaan mabuk?”

Pertanyaan seperti ini lebih sakit dari pada pukulan-pukulan batu remuk atau tusukan pedang. Wajah Siauw Cap-it-long berubah mendadak. Hatinya seperti diiris-iris, dengan suara keras ia membentak: “ Ya, bagaimana kalian tahu ?” Dengan tenang Thio Bu Kek berkata: “Siapa yang memberi tahu kepada kami? Mungkinkah tidak terpikir olehmu?” Inilah taktik politik lihay! Cara Thio Bu Kek menyerang Siauw Cap-it-long bukan dengan kekuatan senjata lagi, tapi menggunakan politik istimewa. Politik diplomasi hebat.

Wajah Siauw Cap-it-long semakin berkerut. Thio Bu Kek menyambung kata-katanya lagi: “Nyonya Lian Seng Pek sangat benci kepadamu, ia menghendaki kita bisa mencincang dagingmu. Karena itu setelah meloloh dengan air kata-kata, sesudah membuat kau tidak berdaya, ia memberi tahu dimana kau berada, menyuruh kami berempat mengambil batok kepalamu. Hua,hua..haa,ha.. Sayang! kau laki-laki romantis yang tak tahu diri, kau masih menyebut-nyebut namanya, kau masih menyebut-nyebut tusuk kondenya. Kau masih lupa daratan, kau adalah orang yang patut dikasihani”

Tiba-tiba Siauw Cap-it-long menggerung, seolah-olah seekor harimau yang kalap, menubruk dan menerkam.

Luka Siauw Cap-it-long sudah mulai membeku, tapi ia menggunkan tenaga keras, luka itu pecah kembali dan darah muncrat beterbangan.

Tapi terkaman Siauw Cap-it-long adalah terkaman yang terhebat, Thio Bu Kek menusuk dengan pedang, tidak berhasil. Di saat itu, terdengar suara gemuruh. Hujan turun. Air seperti dituang dari langit, membanjiri dunia. Berkilau .. kilat menyambar. Tidak lama kemudian, terdengar suara yang menggemuruh, itulah suara Guntur membelah angkasa.

Nyalinya Thio Bu Kek hampir pecah, ia menggulingkan diri, menyingkir dari pukulan Siaw Cap It Long.

Tampak Siaw Cap It Long mengayunkan tangan, brak, membelah meja menjadi dua bagian.

Sayang ! Kekuatan Siaw Cap It long hanya sampai disini. Tubuhnya ngasruk, jatuh ditanah.

Lagi-lagi Thio Bu Kek menggulingkan diri, memungut pisau Siaw Cap It Long, dengan pisau ini ia berniat memutuskan batok kepala sijago brandalan.

Klap.........blegur............

Kilat dan guntur saling susul, sambung menyambar.

Brak........tiba-tiba angin kuat menimpa daun pintu, dan langsung meniup padam kedua lilin yang tertiup disana.

Keadaan menjadi gelap gulita, suasana disitu menjadi sunyi dan sepi.

Sepasang sinar mata Thio Bu Kek tidak bisa melihat, apa yang terbentang didepannya. Tadi ia bisa menduga-duga, dimana letak tempat Siaw Cap It Long. Perlahan-lahan dan berindap-indap ia berjalan maju.

Keadaan sangat gelap, seperti dunia yang sudah mati.

Thio Bu Kek berjalan lagi kedepan, ia segera bisa membacok leher Siaw Cap It Long.

Krelap...........lagi-lagi kilat bercahaya terang, sepasang sinar mata Thio Bu Kek jelalatan, tampak Siaw Cap it Long sedang bangkit bangun, hendak meninggalkan tempatnya yang semula.

Kejadian ini yang membuat Thio Bu Kek ragu-argu, ia tidak akan melakukan sesuatu yang tidak mempunyai pegangan penuh, ia masih menunggu datangnya kilatan kedua, kalau saja, Siaw Cap It Long itu masih berada ditempatnya, dengan sekali bacokan, ia hendak mempapas putus leher sijago brandalan. Ayunan pedang ini tidak boleh meleset.

Thio Bu Kek masih menunggu datangnya cahaya kilat yang kedua.

Angin masih menderu-deru, hujan bersampokan, tapi cahaya kilat yang ditunggu itu tidak kunjung datang.

Disaat ini, dijalan raya terdengar derap kaki seseorang, sangat terburu-buru sekali, dan sebentar kemudian orang itu sudah berada didepan pintu, terdengar deru nafasnya yang sengal-sengal, ia baru melakukan perjalanan jauh.

Karena keadaan yang gelap gulita, orang itu berdiri saja dipintu. Menunggu perkembangan baru, dia tidak memasuki kamar mereka.

Thio Bu Kek menjadi hilang sabar, ia seperti dikepruk dari dua bagian. Siapa orang yang baru datang ? Tanpa terasa, ia menoleh kearah datangnya deburan nafas sengal-sengal itu. tentu saja didalam keadaan gelap-gulita, tidak mungkin bisa melihat jelas wajahnya. Tapi bagaimanapun, Thio Bu Kek menoleh juga ketempat itu.

Disaat ini, tampak berkelebatnya kilat yang berikutnya.

Seorang wanita dengan rambut terurai panjang, dengan pakaian bash kuyub, dengan sepasang mata direntangkan lebar-lebar, dengan badannya yang penuh emosi, berdiri didepan pintu, wajahnya memperlihatkan rasa gemas, marah, kecewa, takut dan aneka macam perubahan lagi.

Itulah ratu rimba persilatan Sim Pek Kun !

Thio Bu Kek terkejut. Sim Pek Kun juga terkejut,

Secepat itu pula, tangan Thio Bu Kek yang memegang golok Siaw Cap It Long tetap ditujukan kearah leher Siaw Cap It Long.

Waktu kilat berkelebat itu terlalu singkat, tapi sebelum penerangan hidup kembali, Thio Bu Kek bisa melihat tangan Sim Pek Kun juga terayun, dari sana bertaburan jarum mas pencabut nyawa, senjata istimewa dari keluarga Sim.

Thio Bu Kek bisa melaksanakan maksudnya, ia bisa membunuh Siaw Cap It Long kalau ia bersedia menerima beberapa serangan jarum maut pencabut nyawa.

Tapi Thio Bu Kek lebih sayang kepada jiwa sendiri, ia melejit jauh, membatalkan serangannya.

“Bang...!” Thio Bu Kek membentur sesuatu yang agak keras.

Disaat ini, lagi-lagi kilat berkelebat.

Sim Pek kun masuk kedalam, menubruk tubuh Siaw Cap It Long.

Sesudah itu, keadaan gelap kembali. Tidak ada sesuatu yang tampak.

Sim Pek Kun berhasil menubruk rubuh tubuh Siaw Cap It Long, tangannya mengerayapi disana ia membentur cairan-cairan yang melekat. Itulah darah !

Mulut Sim Pek Kun berteriak nyaring :

“Dia sudah mati ? Kalian membunuh dirinya ?”

Suara ini seperti suara hantu dimalam gelap. Menggetarkan hati semua orang.

Dalam keadaan gelap gulita ini, sesuatu tangan terjulur, hendak mencengkram Sim Pek Kun.

Disaat ini, lagi-lagi kilat berkelebat, Sim Pek Kun bisa melihat datangnya tangan ini, itulah sebuah tangan yang sangat kurus, berwarna hitam, tangan yang seperti ceker rajawali, tangan Hay leng cu.

Bukan tangan itu saja yang dilihat oleh Sim Pek Kun, Sim Pek Kun masih melihat lain tangan, tangan kedua ini memegang pedang, mengincar dan menujukan ujung pedang ketenggorokan Siaw Cap It Long.

Sim Pek Kun bisa melihat adanya orang-orang itu, demikian juga, mereka bisa mengetahui kehadiran siratu rimba persilatan ditempat tersebut.

Kepada mereka Sim Pek Kun membentak :

“Minggir ! Semua orang pergi dari sini !”

Sesudah itu dengan menggendong tubuh Siaw Cap It Long, menggunakan kegelapan malam, Sim Pek Kun keluar dari rumah, berlari dijalan raya.

Terdengar seorang membentak :

“Jangan biarkan mereka lari !”

Itulah suara Lie Kang.

Tapi Sim pek Kun sudah lari jauh, meninggalkan Lie Kang, meninggalkan To Siao Thian, meninggalkan Thio Bu Kek dan meninggalkan Hay leng cu.

Krelep, lagi kilat bercahaya.

To Siao Thian dan Thio Bu kek menghampiri Lie Kang.

Tiga orang itu berkumpul. dengan menghela nafas panjang, To Siao Thian berkata :

“Melepaskan Siaw Cap It Long, sama saja memberi kebebasan kepada seekor macan. Untuk hari-hari berkutnya, satu persatu kita akan mati dibawah tangan Siaw cap It Long.”

Dengan geraman marah, Lie Kang berkata :

“Mengapa kau kau tidak membikin penghadangan ?”

To Siao Thian menghela nafas lagi, ia berkata perlahan :

“Jangan kau lupa, Sim Pek Kun adalah istri Lian Seng Pek. Kalau sampai terjadi sesuatu, siapa yang berani memikul tanggung jawab ?”

Thio Bu Kek turut berkata :

“Mari kita bayangkan, dimisalkan salah seorang dari kita bertiga yang memiliki seorang istri yang seperti Sim Pek Kun, sesudah terjadi kejadian ini, mungkinkah masih mau mengakui istri ?”

To Siao Thian berdiam beberapa saat, tiba-tiba ia bertepuk kepala.

“Betul.” teriaknya sangat girang.

“Kejar ! sudah kejadian ini. Kita harus berani mengambil resiko. Kukira mereka masih belum pergi jauh. Lekas kita kejar !” Thio Bu Kek memberi usul.

Lie Kang juga berkata :

“Betul ! bersama-sama kita membikin pengejaran.”

KEJAR MENGEJAR

Hujan seperti dituang, menyambitkan cairannya ketubuh orang, terasa sangat sakit.

Malam gelap, pekat, tiada sesuatu yang tampak.

Didalam keadaan yang seperti ini, Sim Pek Kun menggendong Siaw Cap It Long, melarikan diri.

Sim Pek Kun tidak memilih jalan, karena ia tidak tahu, jalan mana yang berupa jalan aman.

Dunia memang cukup lebar, tapi dirasakan sekali seperti menciut, tiada tempat bagi Sim Pek Kun dan Siaw Cap It Long.

Yang mujur, tidak terlihat tanda-tanda pengejaran, Sim Pek Kun memperlambat gerakan kakinya, ia menjadi ragu-ragu.

Kemana harus melarikan diri ?

Inilah yang mengekang benak pikiran sang ratu rimba persilatan.

Tiba-tiba .....

Kilat berkelebat, didalam seperseribu detik, jagat itu bercahaya kembali. Didepan Sim Pek Kun terpeta sebuah bayangan, itulah bayangan seseorang, seseorang yang sedang menatap kearahnya.

Lian Seng Pek ! Itulah Lian Seng Pek ! Bagaimana dia berada ditempat ini ?

Sim Pek Kun tidak bisa melihat jelas wajah orang itu, tapi potongan bentuk tubuh suami sendiri tidak mungkin bisa dilupakan. Itulah potongan tubuh Lian Seng Pek.

Kakinya seperti diborgol oleh benda berat, seolah-olah hendak menginjaknya kedasar bumi.

Sejelek-jeleknya sifat Lian Seng Pek, laki-laki itu adalah suami sendiri.

Kini kilat berkelebat lagi. Dan jelaslah sudah, siapa orang yang berada didepan Sim Pek Kun. Betul-betul Lian Seng Pek !

Sekujur tubuh Lian Seng Pek sudah basah kuyup, air hujan menetes-netes, merayapi kepalanya dan jatuh ditanah, mengalir dan melewati wajahnya, tapi tidak diusap. Dibiarkan air itu mengalir terus menerus. Lian Seng Pek mematung, seperti membeku, diam ditempat itu.

Sepasang sinar mata Lian Seng Pek tidak memancarkan kebencian, juga tidak memancarkan kecintaan, sepasang mata itu adalah mata yang kosong, menatapnya secara dingin dan beku.

Lian Seng Pek adalah seorang kongcu rimba persilatan, gayanya gagah sifatnya tenang, menarik hati dan sangat tampan.

Kesan ini sudah mendarah daging didalam lubuk hati setiap orang.

Sekarang........

Sim Pek Kun bisa melihat adanya perobahan perobahan itu, tidak gagah lagi. Lian Seng Pek tampak sangat layu. Tidak rupawan lagi, Lian Seng Pek tampak murung. Tidak segar lagi.

Terasa tenggorokannya seperti tersumbat, Sim Pek Kun tidak bisa menguasai diri lagi, ia berjalan maju, mendekati sang suami dan bertanya : “Kau..... kau..... kau selalu mengintil dibelakangku?”

Perlahan-lahan Lian Seng Pek menganggukkan kepala.

Sim Pek Kun bertanya lagi :

“Tapi kau tidak mengganggu usahaku.”

Lian Seng Pek berdiam diri untuk beberapa waktu, baru ia menjawab pertanyaan itu.

“Karena aku bisa menyelami isi hatimu..........”

“Bisa menyelami isi hatiku ?” Sim Pek Kun memotong pembicaraan.

Lian Seng Pek menghela napas, ia berkata :

“Kalau bukan karena dirimu, bagaimana dia menjadi seperti ini ? Mana mungkin kau tidak menolonginya ?”

Didalam saat yang seperti itu, jiwa Sim Pek Kun juga membeku. Ia tidak tahu apa isi hatinya, mungkin bersedih, mungkin juga girang.

“Biar bagaimana, dia lebih bisa menyelami isi hatiku.” berkata Sim Pek Kun.

Didalam keadaan yang seperti ini, kalau saja Lian Seng Pek membuka mulut, memberi perintah agar dia membawa lari Siauw Cap-it-long, mungkin sekali mendapat reaksi yang lain, bisa saja Sim Pek Kun merasa bersalah, bisa saja Sim Pek Kun meletakkan tubuh Siauw Cap-it-long. Biarpun ia bisa menyesal dikemudian hari.

Tapi Lian Seng Pek tidak mengeluarkan perintah seperti itu.

Lian Seng Pek berkata :

“Mari kita kembali! Lukanya sangat berat. Kuharap saja bisa menyembuhkannya. Agar tidak terganggu oleh orang lain.”

Dibalik kejahatan terdapat juga kebaikan. Dibalik kesabaran terdapat juga kekerasan. Inilah dua muka dari jiwa manusia. Sim Pek Kun bisa menjelajahi isi hati suaminya, belum lama ia sampai terperosok, mendapat teguran yang halus ia menaruh curiga. Langkah kakinya termundur dua langkah, ia bertanya :

“Kau..... kau sudah percaya, kalau dia bukan seorang jahat ?”

Lian Seng Pek berkata :

“Mengapa kau curiga ?”

Badan Sim Pek Kun gemetaran, dengan suara yang tidak lancar ia berkata :

“Belum lama, disaat mereka hendak membunuhnya, kau tidak mencoba berusaha. Kau tahu maksud tujuan mereka, tapi tidak sekecap katapun keluar dari mulutmu....”

Sim Pek Kun mundur lagi dua langkah secara tiba-tiba sekali, ia membalikkan badan, tetap menggendong Siauw Cap-it-long, berlari cepat.

Lian Seng Pek segera mengeluarkan bentakan :

“Sim Pek Kun .......”

“Tidak.” berteriak Sim Pek Kun. “Kau adalah satu komplotan dengan mereka......”

Sim Pek Kun tidak menghentikan larinya, ia pergi semakin cepat.

Badan Lian Seng Pek bergerak, sedianya hendak membikin pengejaran. Tapi niatnya dibatalkan, ia berhenti.

Hujan semakin deras. Bayangan Sim Pek Kun sudah lenyap ditelan hujan yang lebat itu.

Malam masih belum berhenti, Lian Seng Pek mematung ditempat itu.

Tiba-tiba terdengar satu elahan napas panjang, terdengar satu suara yang berkata :

“Lian kongcu memiliki sifat kesabaran yang luar biasa. Betul-betul sangat luar biasa. Tidak mungkin ada keduanya.”

Didalam keadaan hujan, didalam kilat yang diiringi suara guntur, suara orang tadi sangat menusuk sekali. Inilah suara si pemimpin tujuh puluh dua perusahaan piauwkiok Suto Tiong Peng.

Tangan Suto Tiong Peng memegang payung, perlahan-lahan berjalan datang. Cahaya kilat menerangi wajahnya, wajah itu tegang dan memperlihatkan senyum sinis, ia berkata lagi :

“Kalau aku menggantikan kedudukan Lian kongcu, tidak mungkin Siauw Cap-it-long bisa melewatkan hari ini. Tapi kau telah memberi kebebasan. Karena itulah kau mendapat pujian-pujian, siapa yang tidak kenal pendekar muda Lian Seng Pek ? Disinilah perbedaan kita. Kau terkenal dan aku hanya bisa menduduki pengawal piauwkiok saja.”

Tidak terjadi perobahan atas wajah Lian Seng Pek, ia tertawa tawar :

“Bicara secara blak-blakan, apa maksud yang dikandung olehmu ?”

Suto Tiong Peng berkata :

“Maksudku, kalau kau membunuh Siauw Cap-it-long, langkah itu tidak terlalu jauh. Tapi, kalau sampai diketahui oleh orang menjadi buah tutur orang pendekar muda Lian Seng Pek membunuh Siauw Cap-it-long yang sudah berada didalam keadaan tidak berdaya sama sekali ? Bukankah akan mencemarkan nama baik ? Apalagi cara-cara itu bisa menyakiti Lian Hujin. Bisa memecah-belahkan hubungan baik antara suami-isteri. Disinilah letak kepintaranmu. Kau tidak membunuh Siauw Cap-it-long, memang Siauw Cap-it-long tidak perlu dibunuh. Jiwanya sudah tidak panjang lagi.”

Lian Seng Pek masih tidak percaya.

Suto Tiong Peng mengoceh terus, katanya :

“Rombongan Thio Bu Kek sudah mulai membikin pengejaran. Lian Hujin tidak tahu. Tentu saja kau tidak tahu. Kini mereka sudah mulai kejar mengejar. Didalam keadaan hujan, tapak-tapak kaki itu mudah diperiksa. Dengan kekuatan Lian Hujin, berapa jauhkah usaha pelarian itu bisa ditempuh ? Kalau ada orang yang membunuh Siauw Cap-it-long, mengapa kita harus turun tangan sendiri ? Mengotori tangan saja bukan ?”

Lian Seng Pek diam saja, perlahan-lahan ia berkata :

“Inilah rahasiaku, tentunya tidak kau ceritakan kepada orang luar bukan ?”

Suto Tiong Peng berkata :

“Kau tahu aku selalu menutup mulut. Apalagi aku ada permohonan, tentu saja tidak menceritakan kepada orang luar.”

Lian Seng Pek tertawa-tawa, ia berkata :

“Kalau kau tidak mempunyai tuntutan, tentu tidak menceritakan kejadian ini kepadaku.”

“Hebat ! Lian kongcu memang hebat !” Suto Tiong Peng mengeluarkan suara pujian. “Sebetulnya, permintaanku ini hanya sepele saja, hanya menyentil sedikit tanganmu.”

Baru sekarang Lian Seng Pek bisa tertawa, ia berkata :

“Katakan, apa yang kau minta ?”

“Uang !” berkata Suto Tiong Peng. “Setiap orang itu menghendaki uang. Tanpa uang tidak mungkin kita bisa hidup.”

Wajah Lian Seng Pek ditekuk masam, kini dengan dingin ia berkata :

“Lihat orangnya, apa orang yang seperti aku ini bisa diperas ?”

Wajah Suto Tiong Peng berubah, tubuhnya nyelusup kebelakang, kini ia tidak bisa tertawa lagi.

Lian Seng Pek menghela napas, ia berkata :

“Aku tahu, kau hendak menggunakan kesempatan ini, membikin pemerasan. Sekarang kau minta uang. Besok kau minta uang. Lusa kau minta uang. Demikian untuk seterusnya. Satu kali tidak kuberi, rahasia

itu segera tersiar cepat. Kau hendak menjadikan diriku sebagai pohon emas? Ha, ha, ha,ha ....

Keringat Su-to Tiong Peng nyerocos cepat, bercampuran dengan air hujan, menetes jatuh.

Secara mendadak saja, ia melempar payungnya, untuk membalikkan badan dan ngiprit lari.

Kilat berkelebat lagi. Tapi, pedang Lian Seng Pek lebih cepat dari kelebatnya kilat itu terdengar satu jeritan tertahan, pedang Lian Seng Pek tembus dari geger belakang ke dada depan, memantek badan Su-to tiong Peng.

Perlahan-lahan Lian Seng Pek menghela napas, mencebik korbannya dan bergumam:

“Tidak mungkin ada orang yang bisa meramalkan hidup Su-to Tiong Peng yang seperti ini, karena keserakahannya sendiri. Serakah kepada harta kekayaan, serakah kepada kedudukan”.

Perlahna-lahan, Lian Seng Pek menyabut pedangnya. Didalam sekejap mata, darah yangmelumuri pedang itu tercuci bersih oleh turunnya air hujan.

........

Inilah daerah tandus di pegunungan yang sunyi dan sepi. Hujan belum berhenti, sebuah berkelebatnya kilat menyinari sebuah goa ditempat itu.

Sim Pek Kun bisa melihat adanya goa di tempat itu, tanpa memperhatikan adanya bahaya atau tidak, tidak menunggu sampai kilatan kedua berkelebat, dengan tetap mengendong Siauw Cap-it-long, ia menyelusup masuk.

Goa itu tidak dalam, dengan keras dan kencang, Sim Pek Kun memegangi tubuh Siauw Cap-it-long, diusahakan berdesak, untukmengelakkan terkamannya air hujan.

Kini Sim Pek Kun membelakangi mulut gua dan berusaha meringankan beban penderitaan Siauw Cap-it-long, dengan menerima tetesan-tetesan air hujan dan menolong Siauw Cap-it-long agar tidak terkena air itu. Gigi Sim Pek Kun mulai bergerutuk, tubuhnya menggigil dingin.

Sekarang Sim Pek Kun merasa dirinya menjadi seekor serigala. Seekor serigala yang sedang diburu-buru oleh empat pemburu luar biasa.

Thio Bu Kek, Hay-leng-tju, Lie Kang dan To Siao thian tidak mungkin mau memberi kebebasan. Pasti membikin pengejaran.

Sim Pek Kun tidak melihat adanya kejaran-kejaran orang itu, tapi ia bisa menduga

kalau bakal terjadi kejadian yang sudah dibayangkan.

Seseorang yang sudah dirundung malang terus menerus, bahkan mempunyai ketajaman luar biasa, panca indranya bertambah jernih dan terang, seolah-olah bisa mengendus bahaya sesuatu yang akan datang inilah kekuatan hidup.

Binatang atau manusia memiliki daya tahan untuk bertahan hidup.

Sim Pek Kun menemukan goa itu, seperti menemukan sesuatu yang bisa menyelamatkan dirinya. Sesuatu yang bisa menolong Siauw Tjap it-long dari tamparan-tamparan air hujan.

Dengan tangannya yang masih menggigil dingin, Sim Pek Kun menjulurkan dan ditaruh di atas dada Siauw Tjap it-long. Masih ada deburan nafas, masih ada deburan jantung, masih terasa ada desiran hawa yang keluar masuk hidung.

Sim Pek Kun mengatupkan kedua matanya menghembuskan elahan nafas panjang, elahan nafas yang hampir tersumbat.

Gigi atas Sim Pek Kun membentur-bentur gigi bawahnya, semakin lama semakin keras menggigil dingin.

Walau keadaan di dalam begitu dingin, Sim Pek Kun tidak bisa melupakan keamanan Siauw Tjap it-long. Ia mendekapnya, seperti seorang ibu menyayangi sang putra manja. Hanya kasih sayang seorang ibulah yang berjiwa besar. Tidak ada cinta yang melebihi dari cinta kasih seorang ibu. Hanya cinta kasih seorang ibu yang bisa menenangkan dan mengamankan putranya.

Hari masih gelap, hujan belum mau mereda, dan di dalam keadaan yang seperti ini, Sim Pek Kun masih membayangkan pengejaran-pengejaran dari keempat musuhnya.

Seorang anak sangat membutuhkan cinta kasih ibu. Begitu pula timbal balik, kasih ibu hanya dicurahkan kepada putra sendiri. Perasaan-perasaan yang seperti ini adalah perasaan-perasaan yang sudah pasti terjadi.

Sim Pek Kun mendapatkan perasaan cinta kasih seorang ibu yang wajib dicurahkan kepada putranya. Mereka berpelu-pelukan, menghangatkan badan kasih sayang.

Lama sekali kejadian itu berlangsung.....

Akhirnya..........

Tidak tampak kilat lagi, tidak terdengar suara guntur. Hujan yang tadinya sangat deras mulai mereda, akhirnya berhenti.

Sim Pek Kun harus mengambil langkah baik, kemana mereka harus melarikan diri. Sembunyi di dalam goa itu atau kembali ke tempat Lian Seng Pek.

Tidak! Tidak mungkin meminta bantuan atau pertolongan Lian Seng Pek.

Tempat goa inilah yang teraman. Dia harus membekap Siauw Tjap it-long ditempat yang aman. Tidak mungkin mereka bisa menemukannya.

Betulkah?

Apa betul To Siao Thian cs tidak bisa menemukan jejak mereka?

Inilah pikiran yang mau membohongi diri sendiri. Kadang kala, seseorang yang sudah mendapatkan jalan buntu, sering menggunakan kata-kata yang tidak masuk diakal; pikiran-pikiran yang mengelabui diri sendiri.

Seseorang harus pandai menipu, kalau dia ingin hidup bebas. Kalau dia ingin hidup berumur panjang.

Kenangan Sim Pek Kun melayang-layang, melayang kembali kearah bangunan kecil di dalam lembah gelap. Terpeta wajah Siauw Tjap it-long yang sedang membangun sebuah rumah lainnya; berketak ketik dengan kedua tangannya yang cekatan dan gesit. Tapi secepat itu pula, bayangan tersebut buyar berantakan.

Tubuh Siauw Tjap it-long bergerak, ini sangat mengejutkan Sim Pek Kun. Cepat-cepat ia mendekapnya pula. Siauw Tjap it-long hendak membuka kelopak matanya, tapi masih terasa berat, dengan suaranya yang perlahan dia bertanya: “Kau..?”

Walau hujan sudah tiada, keadaan malam tetap gelap, dan keadaan di dalam goa lebih gelap lagi. Di dalam keadaan yang gelap gulita, tentu saja tidak bisa membedakan wajah seseorang. Sim Pek Kun tidak bisa melihat perobahan Siauw Tjap it-long, dan Siauw Tjap it-long juga tidak bisa melihat dirinya. Tapi, dari hembusan harum semerbak itu, Siauw Tjap it-long sudah bisa menduga akan hadirnya sang ratu rimba persilatan.

Semacam rasa bangga menyerang hati

Sim Pek Kun, menghangatkan tubuhnya yang kedinginan. Dengan suaranya yang merdu, menganggukkan kepala dan berkata: “Ya! Aku! Kau baru tertidur!”

Siauw Tjap it-long tidak menjawab pertanyaan itu, lama ia bernafas, akhirnya berkata: “Mengapa kau datang lagi?”

Sim Pek Kun bertanya: “Maksudmu?”

“Kau... kau tahu...” berkata Siauw Tjap it-long terputus-putus. “Aku... aku tidak mau menyusahkanmu lagi.”

Sim Pek Kun berkata: “Aku yang menyusahkan dirimu.”

“Bukan...” berkata Siauw Tjap it-long. “Biar bagaimana, mereka pasti bisa menemukan jejakku. Biar bagaimana, aku bisa hidup tanpa kehadiranmu. Mengerti?”

“Mengerti.” berkata Sim Pek Kun.

“Nah! Pergilah!”

“Tidak!” Berkata Sim Pek Kun tegas. “Aku tidak mau pergi.”

“Dengar... dengarlah...” dengan cepat Sim Pek Kun memotong pembicaraan itu: “Kali ini, tidak perduli apa yang kau ucapkan, aku tidak bisa menurut perintahmu lagi.”

Belum pernah Siauw Tjap it-long mendengar suara Sim Pek Kun yang seperti ini. Biasanya wanita itu lemah gemulai, jinak dan menurut. Tapi sekarang berubah, tegas dan kuat.

Timbul pikiran lama, mudah saja Siauw Tjap it-long mengusir Sim Pek Kun. Dengan aneka macam cara, dengan menyakiti hatinya, atau menyinggung hati sang ratu rimba persilatan, pasti Sim Pek Kun bisa terusir pergi. Tapi Siauw Tjap it-long tidak mau melakukan hal itu, ia menghela nafas dan terdiam.

“Pergilah!” berkata Siauw Tjap it-long perlahan, suaranya amat lemah.

“Baik.” berkata Sim Pek Kun. “Aku akan pergi. Tapi bukan sekarang. Beruntung hujan sudah berhenti. Beruntung orang-orang itu sudah pergi. Kini berhasil melarikan diri. Tunggu sesudah hari menjadi pagi. Aku segera mengantarmu kembali dan saat itu........ disaat itulah baru pergi.”

“Eh, kau biasanya tidak bisa menipu orang.” ia berkata. “Sekarang mengapa hendak menipu, membohong kepadaku dan berbohong kepada diri sendiri?”

“Aku.... aku bohong.” berkata Sim Pek Kun.

“Aku tahu, tidak perduli siapa diantara mereka, satupun tidak bisa membiarkan aku hidup lebih lama lagi.”

Suara Siauw Cap-it-long masih tetap lemah, tapi sangat jelas.

Sim Pek Kun bertanya :

“Mengapa dan dengan alasan apa mereka menghendaki kematianmu ?”

Siauw Cap-it-long berkata :

“Hanya kematiankulah yang bisa menenangkan hidup mereka. Hanya kematiankulah yang bisa menarik kembali nama-nama mereka.”

Sim Pek Kun bisa menangkap sesuatu dari arti kata-kata itu, ia mencoba menyelidik, tanyanya :

“Mungkin mereka telah melakukan sesuatu kesalahan besar yang dipergoki olehmu ?”

Siauw Cap-it-long tidak menjawab pertanyaan itu. Tidak menjawab berarti membenarkan.

Sim Pek Kun mengeluarkan elahan napas panjang, ia berkata :

“Aku juga sudah bisa melihat padanya ciri-ciri para pendekar itu, mereka menganggap diri sendiri sebagai ksatria, mereka menganggap diri sendiri sebagai seorang jago, maunya disebut pendekar, mereka mendapat julukan tayhiap. Tapi apakah isi hati mereka?.... Huh! Mereka hanya belatung belatung terbungkus oleh kulit.”

“Oh......” Siauw Cap-it-long melompongkan mulut.

Sim Pek Kun berkata lagi :

“Apa yang mereka kerjakan dan apa yang mereka lakukan sangatlah bertentangan dengan panji semboyan hidup pendekar. Hanya janji-janji kosong. Hanya pidato-pidato muluk. Jual kecap!”

Siauw Cap-it-long berkata :

“Untuk menghilangkan jiwaku, mereka tidak perduli dengan aneka macam cara.”

“Itulah kenyataan.” berkata Sim Pek Kun.

Siauw Cap-it-long berkata :

“Karena itulah, lebih baik kau menyingkir pergi.”

“Tidak.” berkata Sim Pek Kun. “Aku tidak mau pergi.”

Suara ini sangat tegas dan tandes. Tidak bisa diganggu gugat lagi.

Keadaan sunyi. Beberapa waktu kemudian, Sim Pek Kun bertanya :

u, menganggukkan kepala dan berkata: “Ya! Aku! Kau baru tertidur!”

Siauw Tjap it-long tidak menjawab pertanyaan itu, lama ia bernafas, akhirnya berkata: “Mengapa kau datang lagi?”

Sim Pek Kun bertanya: “Maksudmu?”

“Kau... kau tahu...” berkata Siauw Tjap it-long terputus-putus. “Aku... aku tidak mau menyusahkanmu lagi.”

Sim Pek Kun berkata: “Aku yang menyusahkan dirimu.”

“Bukan...” berkata Siauw Tjap it-long. “Biar bagaimana, mereka pasti bisa menemukan jejakku. Biar bagaimana, aku bisa hidup tanpa kehadiranmu. Mengerti?”

“Mengerti.” berkata Sim Pek Kun.

“Nah! Pergilah!”

“Tidak!” Berkata Sim Pek Kun tegas. “Aku tidak mau pergi.”

“Dengar... dengarlah...” dengan cepat Sim Pek Kun memotong pembicaraan itu: “Kali ini, tidak perduli apa yang kau ucapkan, aku tidak bisa menurut perintahmu lagi.”

Belum pernah Siauw Tjap it-long mendengar suara Sim Pek Kun yang seperti ini. Biasanya wanita itu lemah gemulai, jinak dan menurut. Tapi sekarang berubah, tegas dan kuat.

Timbul pikiran lama, mudah saja Siauw Tjap it-long mengusir Sim Pek Kun. Dengan aneka macam cara, dengan menyakiti hatinya, atau menyinggung hati sang ratu rimba persilatan, pasti Sim Pek Kun bisa terusir pergi. Tapi Siauw Tjap it-long tidak mau melakukan hal itu, ia menghela nafas dan terdiam.

“Pergilah!” berkata Siauw Tjap it-long perlahan, suaranya amat lemah.

“Baik.” berkata Sim Pek Kun. “Aku akan pergi. Tapi bukan sekarang. Beruntung hujan sudah berhenti. Beruntung orang-orang itu sudah pergi. Kini berhasil melarikan diri. Tunggu sesudah hari menjadi pagi. Aku segera mengantarmu kembali dan saat itu........ disaat itulah baru pergi.”

“Eh, kau biasanya tidak bisa menipu orang.” ia berkata. “Sekarang mengapa hendak menipu, membohong kepadaku dan berbohong kepada diri sendiri?”

“Aku.... aku bohong.” berkata Sim Pek Kun.

Siauw Tjap it-long berkata:

“Aku tahu, tidak perduli siapa diantara mereka, satupun tidak bisa membiarkan aku hidup lebih lama lagi.”

Suara Siauw Cap-it-long masih tetap lemah, tapi sangat jelas.

Sim Pek Kun bertanya :

“Mengapa dan dengan alasan apa mereka menghendaki kematianmu ?”

Siauw Cap-it-long berkata :

“Hanya kematiankulah yang bisa menenangkan hidup mereka. Hanya kematiankulah yang bisa menarik kembali nama-nama mereka.”

Sim Pek Kun bisa menangkap sesuatu dari arti kata-kata itu, ia mencoba menyelidik, tanyanya :

“Mungkin mereka telah melakukan sesuatu kesalahan besar yang dipergoki olehmu ?”

Siauw Cap-it-long tidak menjawab pertanyaan itu. Tidak menjawab berarti membenarkan.

Sim Pek Kun mengeluarkan elahan napas panjang, ia berkata :

“Aku juga sudah bisa melihat padanya ciri-ciri para pendekar itu, mereka menganggap diri sendiri sebagai ksatria, mereka menganggap diri sendiri sebagai seorang jago, maunya disebut pendekar, mereka mendapat julukan tayhiap. Tapi apakah isi hati mereka?.... Huh! Mereka hanya belatung belatung terbungkus oleh kulit.”

“Oh......” Siauw Cap-it-long melompongkan mulut.

Sim Pek Kun berkata lagi :

“Apa yang mereka kerjakan dan apa yang mereka lakukan sangatlah bertentangan dengan panji semboyan hidup pendekar. Hanya janji-janji kosong. Hanya pidato-pidato muluk. Jual kecap!”

Siauw Cap-it-long berkata :

“Untuk menghilangkan jiwaku, mereka tidak perduli dengan aneka macam cara.”

“Itulah kenyataan.” berkata Sim Pek Kun.

Siauw Cap-it-long berkata :

“Karena itulah, lebih baik kau menyingkir pergi.”

“Tidak.” berkata Sim Pek Kun. “Aku tidak mau pergi.”

Suara ini sangat tegas dan tandes. Tidak bisa diganggu gugat lagi.

Keadaan sunyi. Beberapa waktu kemudian, Sim Pek Kun bertanya : “Aku tahu, apa kejelekan-kejelekan Thio Bu Kek, Hay-leng-cu dan To Siao Thian. Tapi kesalahan apa yang sudah dilakukan oleh Lie Kang ?”

Dengan dingin Siauw Cap-it-long berkata :

“Anggapmu, Lie Kang itu adalah seorang laki-laki sejati? Ia sangat tahu diri?”

Sim Pek Kun berkata :

“Semua orang mengatakan seperti itu.”

Siauw Cap-it-long berkata :

“Lie Kang adalah seorang laki-laki sejati dihadapan kaum laki-laki. Tapi... kalau dia bertemu dengan seorang wanita yang berjalan sendirian, nah... disitu akan terbuka kedoknya.”

Sim Pek Kun tidak bicara. Karena bahan pembicaraan merekapun sudah habis.

Hujan turun lagi, ternyata masih belum puas membasahi bumi. Dari perlahan, membesar dan deras kembali.

Tiba-tiba Siauw Cap-it-long berkata :

“Sebentar lagi hari menjadi pagi.”

“Hm....” Sim Pek Kun membenarkan dugaan itu.

“Betul-betul kau tidak ada niatan untuk pergi ?” bertanya Siauw Cap-it-long.

“Sudah kukatakan. Aku tidak mau pergi.” berkata Sim Pek Kun.

“Baik.” berkata Siauw Cap-it-long. “Mari kita pergi bersama-sama.”

Tawaran ini membuat Sim Pek Kun ragu-ragu. Siauw Cap-it-long berkata :

“Lihat ! Matahari mulai memancarkan cahayanya, musuh berada didepan kita kau kira....”

“Tidak menunggu sampai hujan mereda?” bertanya Sim Pek Kun.

“Lebih baik hujan ini tidak berhenti.” berkata Siauw Cap-it-long. “Dia telah membuat pertolongan yang sangat banyak.”

“Pertolongan? Pertolongan kepada siapa?”

Siauw Cap-it-long berkata :

“Adanya hujan terus menerus membantu usaha kita. Tapi mengganggu pencaharian mereka. hujan ini telah menghancurkan tapak-tapak kaki, sehingga sekarang, mereka belum berhasil menemukan jejak kita. Karena adanya hujan inilah, kita mendapat kesempatan berlari. Kita tertolong.”

Meninggalkan cerita Siauw Cap-it-long dan Sim Pek Kun, kita melihat keadaan Lie Kang, Thio Bu Kek, To Siao Thian dan Hay-leng-cu.

Disaat itu, keempat orang tersebut berada dicabang jalan. Hujan masih memukul tubuh keempat orang. Mereka berhenti di jalan bercabang. Thio Bu Khek menghela nafas dan berkata: “Hujan sialan! Ia telah menghilangkan jejak tapak kaki. Ia telah menghilangkan bau buronan kita. Dimisalkan kita membawa anjing juga tidak mungkin bisa mengendus bau orang buronan itu.

Dengan dingin Hay-leng-cu berkata: “Biar bagaimana, mereka tidak bisa melarikan diri.”

To Siao Thian berkata: “Tepat. Di dalam keadaan yang seperti ini, kita orangpun tidak bisa melakukan perjalanan cepat. Apalagi Sim Pek Kun ia harus membawa danmenggendong seorang laki-laki yang bertubuh berat.

“Lihat!” berkata Thio Bu Khek. “Di depan kita terdapat dua jalan...”

Lie Kang berkata: “Kita berpencaran.”

Thio Bu Khek ragu-ragu sebentar dan berkata: “Boleh juga. Aku bersama-sama dengan Lam-hay-cu. Saudara Lie Kang...”

“Biar aku seorang diri.” Potong Lie Kang. Tidak menunggu persetujuan ketiga kawannya, tubuh Lie Kang melejit, ia mengambil jalan sebelah kiri. Jalan itu agak lebar.

Thio Bu Khek, To Siao Thian dan Hay-leng-cu saling pandang, demikian sehingga lenyapnya bayangan Lie Kang.

“Dia memiliki pukulan yang hebat. Ilmu meringankan tubuhnya juga tidak rendah, tapi orangnya sangat butek.”

Thio Bu Khek tertawa dan berkata: “Kau maksudkan dia salah pilih jalan?”

“Ya.” berkata To Siao Thian. “Sim Pek Kun tidak mungkin mengambil jalan ini.”

“Alasannya?” bertanya Hay-leng-cu.

To Siao Thian menjawab pertanyaan itu: “Jalan dia tempuh adalah jalan yang lebar, mudah dilewati orang. Untuk seseorang yang sedang berada di dalam keadaan pelarian, tidak mungkin memilih jalan yang baik. Anggapnya, di jalan yang baik ia mudah dikejar. Sim Pek Kun akan mengajak Siauw Tjap it-long menempuh jalan pegunungan, jalan pegunungan tidak mudah dicapai orang.”

Lie Kang menempuh jalan lebar. Dia meninggalkan jalan yang sempit kecuali ketiga rekan-rekannya.

Thio Bu Khek berkata: “Betul. Inilah kesalahannya. Aku heran pengalaman-pengalaman Lie Kang tidak berada dibawah kita, mengapa ia tidak berpikir dahulu?”

To Siao Thian memandang langit yang masih menuang-nuang air hujan, ia berkata: “Bukan itu saja yang mengherankan, ada sesuatu yang lainnya.”

“Urusan apa lagi?”

To Siao Thian berkata: “Lie Kang adalah seorang laki-laki sejati. Entah perbuatan tidak senonoh apa yang telah dipergoki oleh Siauw Tjap it-long sehingga dendamnya begitu hebat.”

Thio Bu Khek berkata: “Dia memaksa melakukan perjalanan seorang diri, memisahkan dari rombongan. Kukira takut rahasianya itu dibongkar di depan umum.”

Menyambung lagi cerita Sim Pek Kun dan Siauw Tjap it-long.

Siauw Tjap it-long berkata: “Nah inilah kesempatan baik.”

“Kesempatan baik apa?” bertanya Sim Pek Kun.

Siauw Tjap it-long berkata: “Mereka tidak mudah menemukan jejak kita, tentu berpencaran.”

“Kemudian?”

“Lie Kang paling takut rahasianya dibongkar. Apalagi dibongkar di depan kawan-kawannya. Karena itu, tentunya ia akan memisahkan diri. Tidak mau bergabung dengan ketiga orang lainnya.”

Dugaan yang tepat!

Sim Pek Kun memandang jago itu dan bertanya: “Thio Bu Kek, To Siao Thian dan Hay-leng-cu bisa berkumpul menjadi satu?”

“Untuk sementara.”

“Alasannya?”

Siauw Tjap it-long memberi penjelasan, ia berkata: “Orang yang bisa membunuh Siauw Tjap it-long akan mendapatkan nama besar. Karena itulah, mereka hendak memperebutkan pahala. Masing-masing hendak mengangkangi jasa. Pepisahan dan perpecahan tidak bisa dielakan.”

“Apa mereka tidak takut digempur olehmu? apa kekuatan seorang cukup untuk menandingi dirimu?” Sim Pek Kun mengutarakan kecurigaannya.

Siauw Cap-it-long berkata:

“Mereka semua tahu, aku sudah menderita luka berat. Dan tidak mempunyai daya tempur lagi.”

“Tapi aku tidak menderita luka” berkata Siauw Cap-it-long

Dengan tertawa Siauw Cap-it-long berkata:

“Bagaimana kalau dibandingkan dengan ilmu kepandaian mereka!”

Sim Pek Kun menjebikan bibir, ia berkata:

“Menurut apa yang kutahu,keempat orang itu tidak berani menempur aku.”

Siauw Cap-it-long menghela napas, ia berkata:

“Mereka tidak berani menempurmu. Karena kau adalah Nyonya Lian Seng Pek. Bukan berarti mereka takut kepada ilmu kepandaian Sim Pek Kun”.

Siauw Cap-it-long berkata:

“Mereka akan salah membuat perhitungan”.

“Oh ......”

“Mereka tidak tahu” berkata Siauw Cap-it-long. “Seseorang yang mendapat tekanan hebat itu, mempunyai reaksi timbal balik yang tidak kalah hebatnya.”

“Tentu saja. Mereka tidak tahu berapa hebat ilmu kepandaianmu”.

Siauw Cap-it-long berkata:

“Dengan ilmu kepandaian kita berdua. Tidak sulit mengalahkan satu orang. Kalau mereka berpencaran, kukira kita bisa membunuhnya satu-persatu.”

Suara ini dikeluarkan dengan hawa nafsu yang meluap-luap, hawa pembunuhan yang membara.

Sim Pek Kun menyelidik. Beberapa saat kemudian ia menghela nafas dan bertanya:

“Bagaimana pandanganmu?”

“Kuharap saja mereka tidak berkumpul, maka kita bereskan satu-persatu.”

“Kemana kita harus pergi?”

“Tidak perlu pergi”, berkata Siauw Cap-it-long, “Tunggu saja disini”.

“Tunggu disini?” bertanya Sim Pek Kun. “Mereka bisa sampai ke tempat ini”.

“Kita sudah tidak bisa lari. Lari pasti dikejar mereka, lebih baik menunggu atau memancing mereka”. “Tapi ....”

“Tentu saja. Keadaan kita sangat berbahaya. Tapi lebih berbahaya lagi, kalau mengambil cara lain. Tenagaku sangat terbatas, kita harus menggunakannya baik baik”

Sim Pek Kun memandang sang jago berandalan itu, dengan sinar mata penuh pujian dan kesetiaan.

Siauw Cap it-long memandang kearah sang ratu rimba persilatan dan katanya :

“Sedang kupikirkan, siapakah orang pertama yang sampai ditempat ini ?”

“Seharusnya siapa ?” bertanya Sim Pek Kun.

“Kukira To Siao Thian”

“Bagaimana kau bisa menduga kepada To Siao Thian ?”

“Pengalaman pengalaman To Siao Thian lebih banyak. Ilmu meringankan tubuhnya juga terhebat” Siauw Cap it-long memberi keterangan. “Dan orang pertama yang harus kita bekuk adalah manusia yang bernama To Siao Thian ini”

“Kalau dia sudah datang, apa yang harus kukerjakan ?” bertanya Sim Pek Kun.

Siauw Cap it-long ragu ragu, berpikir beberapa lama ia, bergumam :

“Biasanya seorang yang licik mempunyai penyakit sendiri” “Penyakit apa ?’

“Penyakit takut sendiri kepada banyangan diri sendiri” berkata Siauw Cap it-long. “kita harus menggunakan kelemahan mereka”

“Bagaimana harus menghadapinya ?”

Siauw Cap it-long membisiki sesuatu, mengutarakan rencananya ditelinga Sim Pek Kun. Hampir saja mereka bersentuhan.

Seperti apa yang Siauw Cap it-long sudah duga, orang yang pertama yang berhasil menemukan jejak meraka adalah simanusia paling licik, To Siao Thian.

Itu waktu, Sim Pek Kun sedang duduk disebuah batu yang sedang menonjol keluar. Letaknya batu itu berada didepan goa, solah oalh sedang mengalami pikiran kusut, ia berhujan hujan, dan tidak merasakan rasa dingin.

To Siao Thian sudah berada ditempat itu, tapi tidak diketahui oleh Sim Pek Kun.

To Siao Thian bisa melihat adanya Sim Pek Kun, tapi To Siao Thian tidak menemukan Siauw Cap it-long.

Kemana Siauw Cap it-long ? Tentunya bersembunyi di dalam goa.

Dengan rasa curiga, dengan berindap indap, To Siao Thian berjalan kedepan. Wajahnya memperlihatkan senyuman, dan ia berada didepan Sim Pek Kun, seolah olah memperlihatkan sikapnya terkejut, ia bertanya :

“Lian Hujin, bagaimana kau bisa berada ditempat ini ?”

Seolah olah TO Siao Thian itu bukan membikin pengejaran, seolah olahao Thian itu sedang berjalan jalan, atau mungkin bertamasya dan tiba ditempat tersebut, seolah olah To Siao Thian bertemiu dengan Sim Pek Kun secara tidak sengaja.

Mendengar teguran To Siao Thian, baru Sim Pek Kun mendongakan kepala, melirik kearah jago licik itu, dengan senyumanya bertanya :

“Lama betul ? mengapa sampai sekarang baru sampai ?”

Sepasang mata To Siao Thian mengkilat kilat ia mencari jalan keluar untuk mengartikan pertanyaan itu, tanyanya :

“Lian Hujin sedang menunggu diriku ?”

Sim Pek Kun berkata :

“Aku mengalami sesati jalan, kini sedang menunggu orang yang bisa diandalkan untuk mengantar aku pulang”

To Siao Thian bertanya :

“Kemana Siauw Cap it-long ?”

Sim Pek Kun menghela napas, ia berkata

“Sudah mati ! tentunya kalian tahu, tidak mungkin dia bisa memperpanjang hidupnya "

To Siao Thian mengangguk anggukkan kepala, ia juga turut mengeluarkan keluhan napas panjang, seolah olah, sangat bersedih, dan kini ia berkata :

“Betul betul. Lukanya memang betul betul berat. tapi kalau mendapat perngobatan secara tetap dan cepat, kukira ia masih mempunyai kesempatan hidup”

Sim Pek Kun tertawa.

To Siao Thian bertanya lagi :

“Dimanakah mayatnya Siauq Cap it-long itu ? ah! kukira, ia masih belum mati betul”

Sim Pek Kun melirik kearah goa, tapi secepat itu pula kerlingan matanya dialihkan ketempat lain, ia berkata :

“Aku sudah berlari lari setengah malam. Sangat letih, tidak kuat menggendongnya, kubuang dia ditengah jalan”

“Dibuang dimana ?” bertanya To SIao Thian.

Agak gugup Sim Pek Kun berkata :

“Didalam keadaan gelap gulita, mana kutahu terbuang dimana. Perlahan lahan saja kita cari, mungkin bisa ditemukan”

“Sudah pasti bisa ditemukan” berkata To Siao Thian tertawa.

Tiba tiba wajah To Siao Thian ditekuk masam, tubuhnya mencelat kearah goa, berteriak keras :

“Siauw Cap it-long ! DIdalam keadaan yang seperti ini, pa guna kau main petak sembunyi ? Hayo ! Keluar ! "

Tidak terdengar sahutan, goa itu sangat sunyi dan sepi.

Tapi Sim Pek Kun memperlihatkan wajahnya yang ketakutan, wajah yang gelisah.

Sepasang biji mata To Siao Thian berputar, dan ia membalik kembali, kini sudah berada disebelah SIm PEk Kun, tngannya dicengkeram memegang pergelangan tangan San Ratu Rimba Persilatan, ditekuk kebelakang.

“Maaf! " ia berkata cepat.

Wajah Sim Pek Kun berubah, ia membentak :

“Mau apa ?”

“Tidak apa apa” berkata TO Siao Thian. “Hanya minta pertolongan dan bantuan Lian Hujin, coba berjalan didepan, ajak aku memasuki goa.

Dengan mengertak gigi, SIm Pek Kun membentak :

“Berani... berani kau berlaku kurang ajar ?”

Dengan dingin To Siao Thian berkata :

“Untuk hari biasa, tentu saja tidak berani. Tapi lain dulu lain sekarang. Didalam keadaan yang seperti ini, didaerah kehutanan yang sunyi dan sepi, tiada lain mahluk penghuni, lebih baik Lian Hujin mengambil sikap yang lebih bijaksana”

Wajah Sim Pek Kun pucat pasi, lagi lagi membanting banting kaki.

To SIao Thian sudah mendorong Sim Pek Kun kedepan goa, hendak dijadikan tameng, mau dijadikan sandera. Sesudah itu, dengan kecurigaan yang luar biasa, To SIao Thian membentak :

Bagian 10 Selesai
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar