Lan See-giok tertawa dingin,
ia merasa si pukulan pasir merah To Siok pandai sekali bersandiwara, ini
menunjukkan pula bahwa orangnya licik dan sangat berbahaya.
Sementara Lan See-giok masih
termenung, si pukulan pasir merah To Siok telah me-lom-pat ke depannya,
kemudian sambil menga-wasi pemuda itu dengan sorot mata benci, ia menegur
keras.
“Kau benar-benar adalah putra
dari gurdi emas peluru perak Lan Khong-tay ?"
"Sekarang aku tak punya
banyak waktu untuk berbicara denganmu, jika kau memang berniat membalas dendam
atas sakit hati yang pernah kau terima dari ayahku dulu, silahkan saja kau
menuntutnya kepadaku...."
Sekali lagi si pukulan pasir
merah To Siok mendongakkan kepalanya sambil tertawa seram.
"Heeehhh.. heeehhh...
heeehhh.... bocah keparat, kau tak usah sombong dulu, lihat saja nanti apakah
kau masih mampu me-ninggalkan Pek hoo cay ini dalam keadaan hidup?!
Sambil berkata, hawa murninya
segera di-salurkan ke dalam telapak tangannya, warna kulit yang semula putih
seketika berubah menjadi merah membara.
Lan See-giok gusar sekali,
namun sebelum ia sempat berkata sesuatu, tiba-tiba Gui Pak-clang telah berkata
pula dengan suara yang berat dan dalam.
"Saudara To, buat apa kau
mesti terburu napsu? Untuk membunuh ayam mengapa mesti memakai pisau pembunuh
kerbau? Biar siaute utus orang untuk membekuk bangsat tersebut, kemudian baru
diserahkan kepada saudara To untuk menghukumnya."
Sebagai tamu yang datang dari
jauh. pu-kulan pasir merah To Siok merasa kurang leluasa untuk menampik maksud
baik Gui Pak ciang, setelah tertawa angkuh, pelan-pe-lan dia mengundurkan diri
dari situ.
Lan See-giok berkerut kening.
wajahnya berubah menjadi hijau membesi, sambil mengawasi si toya besi berkaki
tunggal segera bentaknya keras-keras.
Gui Pak ciang, kau tidak
berani mengata-kan siapa yang telah membunuh ayahku?"
Toya baja berkaki tunggal Gui
Pak ciang sama sekali tidak menggubris pertanyaan Lan See giok, kepada seorang
lelaki cebol berwajah kuning yang berdiri di belakangnya, ia berseru keras:
"Harimau berkaki cebol,
cepat kau ringkus bocah keparat she Lan itu!"
Pemuda cebol itu mengiakan,
tanpa banyak bicara dia menerjang ke muka Lan See giok, tangan kirinya
menggapai semen-tara kepalan kanannya langsung menjotos ulu hati lawan.
Lan See giok mendengus marah,
dengan cekatan dia mengegos ke samping, gagal de-ngan serangannya. pemuda cebol
itu mende-sak maju lebih jauh, kembali dia melancar-kan pukulan.
Lan See giok mendengus,
tiba-tiba dia ber-putar kencang dan menyelinap ke belakang pemuda cebol itu,
diiringi bentakan, keras sebuah tendangan kilat dilancarkan menghantam belakang
pinggang musuh . . . .
"Blaammm!"
Diiringi suara benturan keras,
jerit kesa-kitan yang menyayat hati seperti babi mau disembelih, bergema di
seluruh ruangan tubuhnya yang cebol tahu-tahu sudah mencelat ke luar dari
ruangan dan meluncur ke dinding bangunan seberang.
peristiwa ini berlangsung amat
cepat untuk sesaat Gui Pak-ciang, si nenek dan To Siok sampai tertegun
dibuatnya, wajah mereka berubah hebat.
"Blaammm...! "
Debu dan pasir beterbangan
memenuhi angkasa, rupanya pemuda cebol itu sudah menumbuk di atas dinding
bangunan sebe-rang menyebabkan sebagian dindingnya am-brol, tentu saja pemuda
cebol itu sendiri segera jatuh tak sadarkan diri
Lan See-giok cukup mengerti
keadaan situasi yang dihadapinya sekarang, mustahil masalah yang dihadapi bisa
diselesaikan se-cara damai, karenanya kepada si pukulan pasir merah To Siok,
kembali dia menantang.
"Hei, kalau ingin
membalas dendam, ayo cepat turun tangan, aku sendiri memang ingin selekasnya
menyelesaikan persengke-taanmu dengan mendiang ayahku dulu"
Sebagai seorang jago kawakan
yang cukup termasyhur namanya di dalam dunia persi-latan, tentu saja si pukulan
pasir merah To Siok tidak memandang sebelah matapun ter-hadap Lan See giok,
mendengar tantangan itu. dia segera berteriak keras dan langsung menerjang ke
muka.
"Saudara To. tunggu dulu!
Biar aku saja yang mematahkan kaki anjing bajingan cilik ini!" tiba-tiba
nenek berbaju abu-abu itu menjerit marah.
Ditengah bentakan. dia turut
menerjang pula ke arah Lan See giok. --
Tergerak hati si pukulan pasir
merah To Siok mendengar ucapan itu, mendadak tim-bul niat jahat dihati
kecilnya. Dengan suara dalam sahutnya kemudian:
"Enso, kau mesti berhati
hati!"
Kemudian dia sendiri
menyelinap ke bela-kang tubuh Lan See giok. Sementara itu, si nenek berbaju
abu-abu itu sudah memutar toyanya menciptakan selapis bayang-an toya yang
langsung mengurung batok kepala anak muda tersebut.
Betapa gusarnya Lan See-giok
melihat tingkah laku nenek berbaju abu-abu itu, se-mentara ia bersiap sedia
melancarkan sera-ngan, tiba-tiba dari atas rumah terdengar se-seorang berseru
merdu.
“Lan siauhiap, harap tahan
dulu!"
Dengan wajah tertegun Lan See
giok ber-paling, tapi pada saat itulah desingan angin tajam menyambar dari
belakang kepalanya, bersamaan waktunya si nenek berbaju abu--abu itu juga
membentak keras, toya bajanya mendadak berubah arah menyapu lutut musuh dengan
gerakan secepat kilat.
Keadaan menjadi kritis dan
berbahaya sekali...
Untung saja Lan See-giok tidak
menjadi panik, sambil membentak keras ia keluarkan gerakan naga sakti melambung
ke udara, suatu gerakan sakti dari tujuh gerakan naga harimau, dengan gerakan
secepat sambaran petir dia melejit ke atas atap rumah,
Tiba-tiba saja terdengar suara
bentrokan yang amat keras disusul suara jerit kesakitan yang sangat memilukan
hati.
Ketika Lan See-giok berpaling,
ternyata sepasang kaki si pukulan pasir merah To Siok yang sedang melancarkan
sergapan licik dari belakang itu, sudah terhajar oleh sapuan toya baja si nenek
berbaju abu-abu sehingga hancur tak karuan.
Sedangkan Gui Pak-ciang
sekalian yang menyaksikan peristiwa tersebut menjadi panik dan buru turun semua
ke gelanggang.
Pada saat itulah dari atas
atap rumah me-layang turun sesosok bayangan manusia, dia tak lain adalah Tok
Nio-cu yang baru saja menyusul pulang.
Tatkala sadar bahwa
serangannya me-n-genai sasaran yang keliru, si nenek berbaju abu-abu itu nampak
tertegun dan berdiri mematung, kemudian sambil menjerit kaget ia buang toya nya
ke atas tanah.
Dengan wajah pucat pias dan
peluh dingin jatuh bercucuran, cepat-cepat ia berusaha membantu si pukulan
pasir merah To Sio! untuk bangkit dari genangan darah .....
Mendadak....
Berkilat sinar bengis dari
balik mata pu-kulan pasir merah To Siok, sambil memben-tak keras tiba-tiba saja
telapak tangan kanannya yang berwarna merah darah itu dibacokkan ke atas
thian-leng hiat di ubun-ubun si nenek berbaju abu-abu.
Peristiwa ini berlangsung
sangat tiba-tiba dan sama sekali di luar dugaan, d tambah lagi jarak diantara
mereka begitu dekat, Gui Pak-ciang dan Tok Nio-cu sekalian yang berusaha
menolongpun jadi terlambat se-langkah.
"Plaaakkk!"
Suara retakan yang sangat
keras bergema diangkasa, lalu isi benak nampak berceceran dimana mana, tulang
dan darah berham-buran menyelimuti seluruh permukaan tanah.
Diiringi jeritan lengking yang
memilukan hati, nenek berbaju abu-abu itu tewas se-ketika.
Berhasil membunuh nenek
tersebut, tiba-tiba saja si pukulan pasir merah To Siok me-lejit ke udara dan
menumbukkan kepala nya ke atas lantai, tak ampun kepalanya hancur seketika dan
jiwanya turut melayang mening-galkan raganya.
Gui Pak ciang serta Tok Nio-cu
hanya bisa berdiri melongo menghadapi perubahan yang berlangsung secara
tiba-tiba itu.
Ujung baju terhembus angin
bergema me-mecahkan keheningan, dengan suatu gera-kan yang ringan Lan See giok
melayang turun ke atas tanah...
Gui Pak ciang yang melihat hat
tersebut segera membentak keras. "Bocah keparat, aku akan beradu jiwa
denganmu!"
Bagaikan seekor harimau gila,
dia men-dorong beberapa orang yang berdiri di seki-tarnya dan sambil
mengayunkan toya me-nyerbu ke hadapan Lan See giok...
Tok Nio-cu sangat terkejut
melihat ke kala-pan orang, cegahnya tanpa terasa:
"Pak ciang, jangan...”
Belum habis ia berseru,
tubuhnya telah menubruk ke muka dan mencengkeram per-gelangan tangan Gui Pak
ciang.
Seketika gerak maju Gui Pak
ciang terhen-ti, dengan pandangan tak habis mengerti ia menengok kearah gundik
kesayangannya itu, sementara sorot matanya penuh dengan tanda tanya:
Lan See giok sendiripun turut
tertegun melihat tindak tanduk dari Tok Nio-cu itu.
"Pak ciang!"
terdengar Tok Nio-cu berkata dengan gelisah, "tenangkan dahulu pikiran-mu,
kau bukan tandingan dari Lan siauhiap.
Sementara berbicara, dia masih
tetap menggenggam pergelangan tangan kanan Gui Pak ciang erat-erat.
Di hari-hari biasa Gui Pak
ciang memang paling menyayangi Tok Nio-cu serta menuruti semua perkataannya,
saat tersebut tanpa terasa ia berseru tertahan dan mengalihkan pandangannya
yang kaget ke wajah Lan See giok dua kaki dihadapannya.
Sambil melepaskan cekalannya
pada per-gelangan tangan Gui Pak-ciang, kembali Tok nio-cu berkata.
"Pak-ciang, kalau
dihitung-hitung kau, toh masih termasuk seorang jago kawakan dalam dunia persilatan,
masa kau tidak da-pat melihat bahwa ilmu si1at Lan siauhiap telah mencapai
puncak kesempurnaan yang luar biasa, dimana panas dingin tak akan mempengaruhi
tubuhnya menyerang dengan menurut kemauban pikirannya?"j
Menggigil kergas sekujur
badabn Gui Pak -ciang setelah mendengar ucapan itu, tanpa terasa dia
mengalihkan pandangan matanya ke atas pakaian tipis yang dikenakan pemuda itu,
sementara toya besinya pelan-pelan di turunkan kembali ke bawah:
Tok Nio-cu mengerling sekejap
ke arah Lan See giok, kemudian katanya lebih jauh:
"Lan siauhiap ada urusan
yang khusus hendak ditanyakan kepadamu, mengapa kau tidak mempersilahkan Lan
siauhiap masuk ke dalam ruangan ."
Dengan cepat Gui Pak ciang
berhasil me-ngendalikan perasaan cepat dia mengangguk berulang kali kemudian
sambil menjura ka-tanya:
"Lan siauhiap, silahkan
masuk dan me-ngambil tempat duduk!"
"Maksud baik caycu dan
hujin biar kute-rima di dalam hati saja ...." tampik Lan See giok cepat,
sebelum pemuda itu menyelesai-kan kata katanya, Tok nio-cu kembali me-nyela:
"Mana mungkin masalah
besar yang penting artinya bisa di selesaikan dengan dua tiga patah kata saja?
Apalagi pembicaraan secara tergesa-gesa, akan menyebabkan ba-nyak masalah yang
tertinggal. bila sampai hal tersebut menyebabkan hal yang tidak di-inginkan,
bukankah berabe jadinya? Aku rasa lebih baik kita bicarakan secara seksa-ma dan
mendalam saja!"
Lan See giok menganggap
perkataan tersebut memang ada benarnya juga, mesti tidak diketahui olehnya
apakah Tok Nio-cu mempunyai rencana lain dibalik kesemuanya ini, namun demi
sakit hati ayahnya dia tak ingin memperdulikan hal-hal semacam itu.
"Perkataan hujin memang
benar." katanya kemudian, "cuma dengan berbuat begitu ke-hadiranku
tentu akan mengganggu kalian berdua."
Begitulah, dengan diiringi
kata-kata me-rendah, Gui Pak-ciang dan Tok Nio-cu mengi-ringi Lan See-giok
masuk ke dalam ruangan.
Dalam pada itu, ke
tujuh-delapan orang dayang sudah menyembunyikan diri ke balik ruangan dengan
ketakutan, sedangkan kedua puluhan lelaki kekar itu sama-sama berkum-pul di
sekitar arena, ada diantara mereka yang justru berdiri di depan jenazah pukulan
pasir merah dan si nenek berbaju abu-abu guna menghindari segala kemungkinan
yang tak diinginkan.
Setelah perjamuan
diselenggarakan, de-ngan tak sabar Lan See giok segera berkata:
"Lo cay-cu, sekarang
kuharap bkau suka menjeljaskan kepadaku gsiapakah pembunbuh sebenarnya yang
telah menghabisi nyawa mendiang ayahku? Dengan bantuanmu, aku harap bisa
selekasnya membalaskan dendam bagi kematian ayahku sehingga arwah nya di alam
baka pun bisa secepatnya memperoleh ketenangan."
Ketika mengucapkan kata-kata
tersebut ia seperti tak bisa menahan rasa pedih dalam hatinya lagi, air mata
segera mengembang dalam kelopak matanya.
Menghadapi pertanyaan
tersebut, si toya besi berkaki tunggal Gui Pak ciang hanya termangu-mangu untuk
beberapa saat lama nya. kemudian setelah menghela napas sedih ia berkata:
"Walaupun aku merupakan
salah satu di antara lima orang yang menguntit ayahmu namun sesungguhnya aku
sendiripun tak tahu sebetulnya ayahmu tewas di tangan siapa, sekalipun begitu
aku berani bersum-pah kepada langit bahwa kematian ayahmu bukan disebabkan oleh
perbuatanku."
Secara diam-diam Lan See giok
mengamati wajah Gui Pak ciang dengan seksama kemu-dian dikombinasikan pula
dengan dugaan sendiri, maka katanya kemudian sambil manggut-manggut:
"Yaa, aku memang tak
pernah mencurigai lo caycu sebagai pembunuh ayahku, itulah sebabnya aku sengaja
datang kemari untuk mohon petunjuk dari Lo caycu, sebab pada malam itu lo-caycu
juga pernah menggeledah seluruh tubuhku dengan toya besimu, meski kau hanya
sebagai manusia kedua!"
Berubah hebat paras muka Gui
Pak ciang setelah mendengar ucapan tersebut tiba-tiba ia mendongakkan kepalanya
dan mengawasi wajah Lan See giok dengan perasaan terkejut, tanyanya kemudian
dengan nada tak habis mengerti:
"Jadi si bocah yang
menggeletak mati di lantai adalah adik kandungmu?"
"Tidak, mendiang ibuku
hanya melahirkan aku seorang"
Perasaan tak tenang segera
menyelimuti perasaan Gui Pak ciang, katanya kemudian dengan wajah menyesal.
"Waktu itu aku
benar-benar tidak tahu kalau Lan siauhiap belum mati, dalam geli-sah dan
gusarku, aku sangat berharap bisa muncul suatu keajaiban didepanku, itulah
sebabnya aku sampai melakukarn perbuatan bodzoh yang sangat wmenggelikan,
kurharap siauhiap sudi melupakan kesalahanku dima-sa lampau."
Melihat rasa menyesal yang
meliputi wajah Gui Pak-ciang, perasaan tak puas yang su-dah lama tersimpan
dalam benak Lan See-giok pun segera hilang lenyap tak berbe-kas.
"Dendam sakit hati
terbunuhnya ayahku jauh lebih berat ketimbang sedikit siksaan dan penderitaan
dibadan" katanya kemudian "bila lo-caycu bersedia menerangkan
kepadaku siapa pembunuh sebetulnya, bu-kan cuma arwah ayah dialam baka akan
ber-gembira akupun tak akan pernah melupakan budi kebaikan lo caycu "
Gui Pak ciang berkerut kening,
ia seperti teringat akan sesuatu, kemudian tanyanya dengan perasaan tak
mengerti.
"Bukankah waktu itu
siauhiap hadir di arena? Masa kau tidak tahu siapa pembunuh sebenarnya?"
"Waktu itu, kebetulan
sekali aku baru pu-lang dari berpergian, begitu ku jumpai men-diang ayahku
tewas, saking sedihnya aku lantas jatuh pingsan, itulah sebab nya tidak
kuketahui siapakah pembunuh sebenarnya. Itu pula sebagai alasanku me-ngapa
datang kemari hari ini, kuharap lo-caycu bersedia memberi penjelasan, bila
dendam ini bisa kubalas budi kebaikanmu tak akan pernah kulupakan ....."
Di atas wajah Gui Pak-ciang
segera menunjukkan perasaan serba salah, dia menjadi ragu dan tampaknya seperti
ada se-suatu masalah yang tak bisa dijelaskan olehnya.
Tok Nio-cu yang melihat
kesulitan suaminya segera menimbrung dengan cepat.
"Pak-ciang, kalau toh kau
berada di luar garis dalam persoalan itu, sudah-sepantas-nya bila kau memberi
tahukan hal yang se-benarnya kepada Lan Siauhiap, daripada orang lain menaruh
curiga terus kepadamu."!
Lan See-giok segera
mendapatkan kesan bahwa Tok Nio-cu meski berwajah genit dan berjulukan tak
sedap, sesungguhnya ia ber-hati baik dan pandai memahami perasaan orang, tanpa
terasa dia melirik sekejap ke arahnya dengan pandangan berterima kasih.
Gui Pak-ciang termenung
beberapa saat lamanya, kemudian katanya pelan:
"Untuk tetap memegang
janji, terus terang saja kukatakan bahwa banyak persoalan yang tak mungkin bisa
ku jelaskan secara leluasa, tapi bila Lan siauhiap ingin meng-ajukan suatu
pertanyaan, silahkan saja di sampaikan, asal aku tahu pasti akan ku-jawab
seluruhnya. entah bagaimana penda-pat Siauhiap?"
"Lan See giok cukup
mengetahui watak umat persilatan yang sangat memegang janji, bagi mereka kepala
boleh dipenggal, darah boleh mengalir, namun janji tetap janji dan sekali
berjanji tak pernah akan diingkari kembali.
Karenanya pemuda itu lantas
mengangguk sambil ujarnya:
Baiklah kalau begitu aku ingin
lo-caycu menjelaskan apa sebabnya kalian, berlima yang masing-masing menjagoi
wilayah yang berbeda, ternyata pada malam yang sama telah muncul semua di tepi
telaga Phoa-yang--oh, apakah sebelum kejadian kalian telah berhasil mendapat
tahu alamat ayahku?!
Gui Pak ciang meneguk habis
secawan arak, kemudian ia baru menjawab lirih:
"Kami berlima dari tiga
telaga telah berte-kad untuk mencari barang yang hilang terse-but sampai
ketemu. untuk itu kami telah mencari jejak ayahmu dan Hu-yong siancu di
mana-mana, selain itu kamipun berjanji setiap tahun bertemu dua kali untuk
mela-porkan hasil penyelidikan masing- masing sepuluh tahun kami tak pernah
beristirahat namun kamipun tak pernah berhasil me-ne-mukan sesuatu
jejakpun."
Kembali dia meneguk habis
secawan arak untuk melampiaskan gejolak emosi di dalam hatinya, lalu setelah
memandang ke tempat kejauhan sana, ia berkata lebih jauh.
"Menjelang tahun ke
sembilan, ada orang yang secara diam-diam telah melihat Hu--yong siancu muncul
ditengah sebuah hutan lebih kurang dua puluh li di sebelah barat telaga
phoa-yang-oh."
Tiba-tiba ia menatap wajah Tok
Nio-cu dan Lan See-giok sekalian, lalu serunya dengan nada serius:
"Kelihaian ilmu silat
Hu-yong siancu dan kecekatannya dalam menghadapi setiap per-soalan, pada
hakekatnya sama ter-masyhurnya dengan kecantikan wajahnya, jangan lagi orang
yang melihatnya cuma se-orang mata-bmata biasa, biajr si makhluk begr-tanduk
tunggabl yang kesohor karena kecer-dasannyapun belum tentu bisa menguntit di
belakang Hu-yong siancu serta menyelidiki tempat tinggalnya.
Tok Nio-cu menjadi sangat
cemburu sete-lah mendengar suaminya memuji muji ke-cantikan wajah Hu-yong
siancu, segera dia bertanya:
"Kalau toh Hu-yong siancu
amat cantik hingga termasyhur dikolong langit, mengapa aku tak pernah mengetahuinya
selama ini?
Gui Pak ciang segera tertawa
terbahak ba-hak.
"HAAAAAAHHHHH...
haaahhh... haaahhh... Cui-peng bukan, aku sengaja hendak mengu-capkan kata-kata
yang tidak menyenangkan hatimu, sesungguhnya disaat kecantikan Hu-yong siancu
termasyhur dalam dunia persi-latan, waktu itu kau masih seorang budak ingusan
yang tak tahu urusan!"
Diam-diam Lan See giok
terkejut, menurut pandangannya bibi wan paling banter baru berusia dua puluh
enam tujuh tahunan dan tak bakal melewati tiga puluh tahun, tapi kalau
mendengar dari perkataan Gui Pak ciang, bukankah bibi wan nya sudah mendekati
usia empat puluh tahun?
Sementara dia masih termenung,
Tok Nio-cu dengan wajah merah jengah telah berta-nya lagi.
"Kalau menurut
keteranganmu, bukankah saat ini semua rambut Hu-yong siancu telah berubah
menjadi putih?"
"Bagi mereka yang
memiliki tenaga dalam sempurna, kebanyakan mereka masih dapat mempertahankan
kecantikan wajahnya tetap awet muda, berbicara ketika Hu-yong siancu termasyhur
dan sedang hangat hangatnya ber-main asmara dengan Lan Khong tay..."
Lan See giok merasakan hatinya
bergetar keras, tiba-tiba saja matanya memancarkan sinar berkilat...
Dengan cepat Gui Pak ciang
menyadari akan kekhilafan sendiri sambil tertawa ter-gelak dan wajah memerah
katanya kemu-dian. "Pokoknya usia. Hu-yong siancu saat ini paling tidak
sudah mencapai tiga puluh tujuh delapan tahun, haaahhh . . haaahhh.. tapi
mungkin juga sudah tiga puluh sem-bi-lan, empat puluh tahunan ...."
Sementara itu, Tok Nio-cu
yangb melihat si-narj mata Lan See ggiok yang begitub tajam seperti sembilu, ia
jadi terbungkam dalam seribu bahasa karena terkejut.
Berbicara yang sebenarnya, Lan
See giok sendiripun ingin sekali mengetahui sampai dimanakah hubungan dari
ayahnya dengan Hu-yong siancu dimasa lampau.
Namun sekarang, dia tak ingin
mem-bong-kar masalah tersebut lebih jauh, karena kuatir duduknya persoalan akan
kabur dari maksud tujuan kedatangannya juga gagal total.
Melihat semua orang terbungkam
untuk sesaat, dia pun segera berkata lagi:
"Apakah orang yang
pertama kali men-jum-pai jejak Hu-yong siancu tersebut ber-hasil menguntit
sampai di tempat kediaman Han lihiap?"
Sampai sekarang Gui Pak ciang
masih be-lum mengetahui apakah hubungan dari Lan See giok dengan Hu-yong
siancu, mendengar pertanyaan itu, diapun segera menjawab dengan wajah
bersungguh sungguh.
"Apa kau anggap gampang
untuk mengejar perempuan itu? Tampaknya Hu-yong siancu sendiripun sudah merasa
kalau jejaknya se-dang di ikuti orang, dengan mengerahkan ilmu meringankan
tubuhnya dia lantas menerobos masuk ke dalam hutan dan le-nyap dalam waktu
singkat.
"Setelah kejadian, kami
semua memperoleh laporan tersebut, maka hasil perundingan memutuskan akan
mengadakan pencarian secara besar besaran di wilayah hutan dan bukit kecil di
seputar barat telaga Phoa yang Oh. Minggu pertama gagal, minggu berikut-nya
kembali gagal-.. .
"Lalu dengan cara apa Lo
caycu sekalian berhasil menemukan kuburan tempat tinggal ayahku?" tanya
pemuda itu tak habis mengerti,.
Gui Pak ciang menghela napas
panjang, kemudian berkata:
"Kalau dibicarakan yang
sebenarnya, hal ini merupakan suatu kejadian yang sangat kebetulan sekali,
waktu itu kentongan per-tama baru menjelang, udara gelap dan awan sangat tebal,
sewaktu aku melewati daerah yang berhutan lebat itu, tanpa sengaja telah
melihat ada sesosok bayangan manusia yang bergerak cepat ke depan, bayangan itu
sering kali berhenti sebentar sambil celingukran ke-sana kemazri, keadaannya
wamat mencuriga-rkan, ini membuat hatiku bertambah curiga, hanya saja berhubung
jaraknya amat jauh hingga tidak kuketahui siapakah dia.
"Waktu itu tergerak
hatiku dan segera me-lakukan pengejaran, alhasil kulihat orang itu memasuki
sebuah hutan yang lebat, menanti aku menyusul ke situ, bayangan tadi tahu-tahu
sudah hilang lenyap, ketika aku mengejar lebih ke utara, sampailah dimuka
kuburan Leng ong-bong.. ,"
Melihat Gui Pak -ciang telah
berbicara sampai ke masalah yang amat diperhatikan olehnya, ia pun memasang
telinga sambil mendengarkan dengan seksama.
Sebaliknya Tok Nio-cu seperti
tidak tertarik sama sekali atas persoalan tersebut namun ia toh berlagak
seakan-akan ikut mendengar-kan dengan seksama meski matanya yang jeli tiada
hentinya mengawasi wajah Lan See-giok dengan lembut.
Terdengar Gui Pak-ciang
bercerita lebih jauh:
"Aku tidak percaya, kalau
di tanah peku-buran yang sudah terbengkalai itu terdapat rumah tinggal manusia
hidup, karena itu kulanjutkan pengejaran ke utara, puluhan li kemudian
kusaksikan di arah barat laut muncul kembali sesosok bayangan manusia yang
bergerak cepat, bila dilihat dari arah tujuannya, orang itu seperti lagi
bergerak menuju ke kuburan-Leng ong bong. Ini se-mua membuat aku sadar bahwa
sesuatu ke-jadian pasti berlangsung di sana, akupun berhenti sambil mengamati
orang tadi lebih seksama, akhirnya baru kuketahui kalau orang itu bukan orang
yang pertama kali tadi, namun aku toh mengejarnya juga."
Ia berhenti sejenak, wajahnya
selain nam-pak murung juga mendongkol, mungkin ia kesal karena tak berhasil
mendapatkan kotak kecil itu atau mungkin juga merasa menyesal karena datang
terlambat.
Setelah menarik napas panjang,
ia berkata lebih jauh.
"Menanti aku menyusul ke
kuburan Leng ong bong orang itupun tak kutemukan lagi, tapi aku segera
menemukan pintu belakang sebuah kuburan besar terbuka lebar, kuatir kalau pintu
itu akan tutup dengan segera, maka tanpa memperdulikan ancaman bahaya 1agi, aku
segera menerjang masuk!"
Berbicara sampai di situ. dia
menengok kearah Lan See giok dengan permintaan maaf, katanya penuh rasa
menyesal.
Keadaan selanjutnya telah,
siauhiap alami sendiri, jadi aku pun tak. usah bercerita lebih jauh"
Lan See giok yang melihat si
toya besi ber-kaki tunggal Gui Pak ciang meski sudah ber-bicara sekian lama,
namun belum juga men-jelaskan siapa pembunuh ayahnya, hatinya menjadi gelisah,
tiba - tiba dia me-nimbrung:
"Lo caycu, bukankah si
beruang berlengan tunggal Kiong Tek ciong telah bersembunyi dalam lorong jauh
sebelum peristiwa itu ter-jadi, ketika jejaknya berhasil kau temukan, apakah
kau tidak bertanya kepadanya de-ngan kesempatan yang bagaimanakah dia turun
tangan terhadap mendiang ayahku. . .
Ketika berbicara sampai
disini, dia sudah tak dapat menahan rasa sedih di dalam hati-nya lagi, sepasang
matanya segera berkaca- kaca, dan kata-kata selanjutnya tak mampu dilanjutkan
lagi.
Gui Pak ciang segera berkata:
"Pada mulanya aku tidak
mengetahui kalau dia adalah si beruang berlengan tunggal, karena suasana dalam
lorong sangat gelap, ditambah pula ada pantulan sinar lentera di atas meja,
setelah kususul sampai di luar kuburan barulah kuketahui bahwa orang itu adalah
Kiong Tek ciong..."
Lan See-giok merasakan
tubuhnya bergetar keras, dia seperti teringat akan sesuatu, tanpa terasa
tanyanya dengan cemas:
"Lo caycu, sebenarnya
kalian masuk ke dalam kuburan lewat mana? Sudah banyak tahun aku berdiam di
kuburan itu, kuketa-hui kuburan tersebut hanya terdapat sebuah pintu masuk,
barang siapa hendak memasu-ki kuburan itu, dia harus melalui kuburan kosong di
mana mendiang ayahku berdiam. Ya, sekarang aku baru ingat, ketika kalian saling
berkejaran ke luar dari kuburan ma-lam itu, rasanya tidak melalui tempat di
mana aku roboh?"
Gui Pak ciang pun merasa
terkejut.
"Ya, hingga kinipun aku
masih curiga, siapa gerangan yang telah membuka pintu ke luar itu?"
Lan See giok terkejut sekali,
cepat-cepat ia bertanya kemudian:
"Jadi maksud Lo-caycu,
ada orabng yang telah mjembuka pintu magsuk baru sebelubm peristiwa itu
terjadi?"
`Benar" Gui Pak-ciang
mengangguk beru-lang kali, "setelah aku mengejar si beruang berlengan
tunggal malam itu, dapat kulihat bahwa pintu ke luar di bawah batu nisan
kuburan tersebut masih baru sekali ...."
Sekarang Lan See-giok baru
merasa terke-jut sekali, dia yakin orang yang membunuh ayahnya pasti sudah lama
mengetahui jejak ayahnya, sehingga segala sesuatunya dia lak-sanakan dengan
rencana yang sangat rapi dan matang. "
Sementara itu Tok Nio-cu ikut
menimbrung pula.
"Bila Kiong Tek-ciong
tahu kalau dia bisa kabur melalui tempat tersebut, berarti mulut masuk itu
dibuka olehnya!"
"Aaah, akupun berpendapat
demikian" Gui Pak ciang mengangguk tanda menyetujui pendapat tersebut.
Lan See-giok sangat setuju
dengan penda-pat ini, sebab ketika si Setan iblis ber-mata tunggal Toan ki tin
memasuki kuburan terse-but dan kemudian ke luar lagi dari situ sam-bil membawa
si makhluk bertanduk tunggal si Yu-ih dia tidak melalui pintu baru terse-but,
ini menunjukkan bahwa Toan ki-tin pun tidak mengetahui letak pintu baru
tersebut ...."
Berpikir sampai disini, dia
merasa semakin yakin kalau si beruang berlengan tunggal lah si pembunuh ayahnya
tapi ia pun teringat kembali akan tingkah laku si setan bermata tunggal yang
sama sekali tidak menggeledah jenazah ayahnya, malahan membongkar pembaringan
dan almari yang ada, kejadian ini kembali membuatnya bingung dan merasa tidak
habis mengerti.
Berpikir demikian, ia lantas
berpaling ke arah Gui Pak ciang dan bertanya dengan nada menyelidik.
"Menurut keterangan
tersebut, pembunuh ayahku yang sesungguhnya tentulah si beru-ang berlengan
tunggal?"
Sebelum Gui Pak-ciang sempat
menjawab, dengan nada meyakinkan Tok Nio-cu menim-brung.
"Seharusnya hal ini sudah
tak perlu dira-gukan lagi, menurut pandangan pada umum nya Kiong Tek-ciong bisa
mempersiapkan pintu baru untuk memasuki lorong kuburan ini berarti dia sudah
mempunyai rencana se-belumnya,b aku rasa bayanjgan yang di lihgat Pak-ciang
mablam itu pun bisa jadi adalah Kiong Tek ciong."
Gui Pak ciang mengangguk
berulang kali sambil berguman.
"Yaa, kalau dilihat dari
segala bukti yang ada, semestinya pembunuhan itu merupakan hasil karya Kiong
tua. tapi kalau dinilai dari kemampuan ilmu silat yang dimilikinya. mestinya
dia bukan tandingnya Lan tay-hiap.,. .
Sebelum Gui Pak-ciang
menyelesaikan kata- katanya. Tok Nio-cu telah mendengus sembari menukas.
"Mengapa sih makin tua
kau seperti se-makin pikun? Beruang berlengan tunggal bisa menyusup masuk
secara diam-diam dan bersembunyi di tempat kegelapan, berarti dia dapat pula
menyerang Lan tayhiap secara tiba-tiba, masa hal seperti ini tak mungkin ia
lakukan?"
Gui Pang ciang segera
terbungkam oleh perkataan itu.
Sebenarnya Lan See giok ingin
mencerita-kan semua pengalamannya, tapi kemudian ia merasa hal ini tak perlu,
sebab hanya akan mengalutkan keadaan saja hingga merugikan diri sendiri.
Lagi pula tujuan kedatangannya
ke Pek hoo cay juga tak lain hanya ingin menyerap lebih banyak hal-hal yang
mencurigakan dari beruang berlengan tunggal, dari pembica-raannya dengan Gui
Pak ciang. . . .
Betul lima manusia cacad dari
tiga telaga terlibat semua dalam usaha melacaki jejak ayahnya, tapi diapun
percaya orang yang membunuh ayahnya pasti orang lain.
Sebagai seorang pemuda yang
saleh, dia tak ingin mengandalkan kepandaian silatnya untuk sembarangan
membunuh hingga aki-bat nya mereka yang tak bersalahpun ikut me-ngorbankan
selembar jiwanya.
Bila hal ini sampai dilakukan,
bukan saja bibi Wan nya tak akan senang hati, gurunya pasti marah dan bila
sampai tersiar luas dalam dunia persilatan, bukan cuma dirinya akan dikucilkan
orang, arwah ayahnya yang berada dialam baka pun akan turut menang-gung malu.
Oleh sebab itu pemuda tersebut
bertekad hendak menyelidiki dulu persoalan tersebut sampai jelas sebelum
melakukan tindakan pembalasan.
Dari penuturan Gui Pak ciang
tentang di buatnya pintu baru oleh beruang berlengan tunggal untuk melarikanr
diri, kecurigazannya terhadap wKiong Tek ciongr memang bertambah besar, tapi
diapun tak ingin menyingkirkan rasa curiganya terhadap tingkah laku Setan
bermata tunggal yang menggeledah pemba-ringan serta barang-barang miliknya....
Tok Nio-cu yang menjumpai
pemuda itu hanya termenung saja, segera-menegur sam-bil tertawa genit:
"Siauhiap, bagaimana
menurut pendapat-mu tentang perkataanku barusan?"
Lan See giok segera memusatkan
kembali pikirannya seraya menjawab. "Hal ini ter-gantung bagaimana
penjelasan si beruang berlengan tunggal setelah berhasil disusul oleh Lo
caycu."
Gui Pak ciang menggelengkan
kepalanya berulang kali.
"Kami berdua segera
bertarung begitu ber-jumpa, akibatnya aku tidak menegur, dia pun tidak
bertanya, jadi berbicara yang se-sungguhnya aku sama sekali tidak tahu de-ngan
cara bagaimana si beruang berlengan tunggal bisa mendapat tahu alamat ayahmu
dan bagaimana mungkin ia bisa membuka lorong rahasia tersebut. Apalagi
berbincang soal jalan pemikiranku waktu itu, masalah-masalah demikian sama
sekali tidak penting bagiku"
Lan See-giok merasa perkataan
dari Gui Pak ciang ada benarnya juga, sebab waktu itu apa yang terpikir olehnya
hanya bagai-mana cara merebut kotak kecil itu, sehingga masalah-masalah
demikian memang sama sekali tidak penting baginya.
Walaupun hasil pembicaraan
kali ini tidak berhasil baginya untuk mendapat tahu siapa gerangan pembunuh
sebenarnya, tapi kalau dilihat dari keberhasilannya mendapat tahu bahwa si
beruang berlengan tunggal menge-tahui pintu rahasia tersebut, boleh di bilang
perjalanannya ke Pek ho cay kali ini tidak sia-sia belaka.
Lan See giok menganggap
pertanyaannya sudah cukup, maka ia segera bangkit berdiri dan ujarnya seraya
menjura:
"Aku berterima kasih
sekali atas sambutan dan jamuan yang diselenggarakan Lo-caycu bagi kehadiranku
ini, mumpung waktu belum terlampau larut malam, aku bermaksud un-tuk mohon diri
lebih dulu."
Tok Nio-cu segera bangkit
berdiri sambil berseru cepat:
"Siauhiap, saat ini
tengah malam sudah lewat, mengapa kau harus meninggalkan tempat ini? Apa
salahnya kalau beristirahat dulu semalam, besok baru melanjutkan per-jalanan
lagi.
Gui Pak ciang serta ke enam
orang lainnya serentak bangkit berdiri dan berusaha pula menahan pemuda itu.
Namun Lan See giok menampik
dengan tegar.
"Sekarang aku masih
mempunyai urusan penting lainnya sehingga tak berani ber-diam kelewat lama,
maksud baik Lo caycu dan nyonya biar kuterima dalam hati saja."
Seusai berkata dia lantas
meninggalkan meja perjamuan.
Melihat maksud hati sang
pemuda yang teguh, Tok Nio-cu tahu kalau percuma saja ia mencoba menahannya,
maka katanya kemu-dian:
"Bila siauhiap masih ada
urusan penting, tentu saja kami tak berani menahannya lebih jauh, cuma dalam
perjalanan siauhiap untuk menelusuri jejak musuh besarmu kali ini , aku pikir
pasti membutuhkan seekor kuda jempolan. bila siauhiap tidak menampik aku
bersedia menghadiahkan kuda Pek liang kou milikku untuk siauhiap . . .
Lan See-giok sangat terharu,
namun die pun enggan menerima hadiah orang dengan begitu saja, maka sebelum
perempuan itu menyelesaikan kata-katanya, dia telah men-jura sambil tukasnya:
"Aku tak pandai
menunggang kuda dan lagi sama sekali tak berpengalaman me-rawat kuda. maksud
baik nyonya biar ku terima di hati saja...
Selesai berkata kembali dia
melangkah ke luar dari ruangan.
Tok Nio-cu tentu saja tak
ingin memaksa kan kehendaknya, katanya kemudian sambil tersenyum:
"Lan siauhiap, kau
terlampau merendah saja.�
"Bersama si toya baja
berkaki tunggal Gui Pak-ciang sekalian, mereka menghantar pe-muda itu sampai di
luar ruangan�
Dalamb keadaan beginij, Lan
See-giok ghanya ingin secbepatnya meneruskan per-jalanan, begitu sampai di luar
ruangan, dia lantas menjura kepada Gui Pak-ciang dan Tok Nio-cu sambil katanya:
"Harap Kalian berdua
menghantar sampai di sini saja, kini tengah malam sudah lewat, tidak usah
merepotkan orang lain untuk membuka pintu benteng lagi, aku pikir ingin memohon
diri disini saja.?
Gui Pak ciang tertawa
terbahak-bahak ber-sama Tok Nio-cu katanya.
"Jalan pemikiran siauhiap
memang amat sempurna, tapi sebagai tuan rumah paling tidak kami harus
menghantar mu sampai di atas benteng .... ...
Lan See-giok tak ingin
menampik lebih jauh, tanpa banyak berbicara dia segera me-lejit ke atas atap
rumah dan melayang ke bangunan seberang.
Berhubung Gui Pak-ciang dan
Tok Nio-cu sudah mengetahui kalau Lan See giok memiliki kepandaian silat yang
tinggi, meski kagum dan memuji dihati. mereka sama sekali tidak tercengang,
serentak kedua orang itu menyusul dari belakang.
Dalam waktu singkat mereka
telah tiba di depan pintu gerbang benteng. .
Ketika menyaksikan kemunculan
pemim-pin benteng beserta istri di situ, serentak para penjaga membungkukkan
badan nya memberi hormat, sementara sorot mata pe-nuh rasa terkejut dialihkan
ke wajah sang pemuda, Lan See-giok menghentikan lang-kahnya sambil berkata
lagi.
"Harap kalian menjaga
diri baik-baik, aku akan mohon diri lebih dulu."
Dengan mengerahkan ilmu Hud
kong sin kang untuk menunjang gerakan tubuh menunggang angin terbang melayang,
pemu-da itu meluncur ke bawah secepat sambaran kilat dan langsung meluncur ke
arah hutan pohon siong yang lebat itu.
Tampaknya Lan See giok memang
ada maksud untuk mendemonstrasikan kehe-batannya, dia telah mempergunakan
tehnik "melayang" untuk meluncur ke bawah bukit, meski kelihatannya
lamban, padahal cepat-nya bukan alang kepalang, dalam waktu singkat bayangan
tubuhnya sudah berada dimuka hutan.
Gui Pak-ciang maupun Tok
Nio-cu dan para penjaga lainnya untuk sesaat dibikin tertegun saking kagetnya,
belum pernah mereka bdengar tentang jilmu meringankagn tubuh yang bebgini
hebatnya.
Sementara mereka masih
melamun, ba-yangan tubuh Lan See giok telah lenyap di-balik hutan sana.
Segera Gui Pak ciang dan Tok
Nio-cu ber-seru lantang.
"Lan siauhiap, harap kau
menjaga diri baik-baik, maaf bila kami tak bisa meng-antar lebih jauh."
Dari kejauhan sana segera
berkumandang suara Jawaban dari Lan See giok:
"Silahkan kalian kembali,
bila ada jodoh kita akan berjumpa kembali lain kesem-patan."
Menyaksikan kehebatan pemuda
itu, tanpa terasa Gui Pak-ciang menggelengkan kepalanya berulang kali sambil
berguman:
"Ya, dengan ilmu
meringankan tubuh yang begini hebatnya, menunggang kuda justru malah akan
merepotkan"
Dia lantas membalikkan badan
dan kem-bali dulu ke dalam ruangan...
Lan See giok ingin secepatnya
menempuh perjalanan, maka sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya yang
sempurna dia melaju menuju ke bukit Tay ang san.
Dalam perjalanan, otaknya
berputar tiada hentinya memikirkan soal perbuatan si Beru-ang berlengan tunggal
yang membuka pintu masuk baru secara diam-diam. sudah jelas pekerjaan tersebut
tak akan selesai di kerja-kan selama satu hari.
Padahal seingatnya ayahnya
adalah si orang yang sangat cekatan, bagaimana mungkin perbuatan orang tersebut
sampai tak di ketahui olehnya....?
Darimana si beruang berlengan
tunggal mendapat tahu kalau ayahnya bersembunyi dalam kuburan....
Berdasarkan keterangan dari
Gui Pak ciang, berkumpulnya lima manusia cacad di pekuburan raja hanya
merupakan suatu ke-jadian yang kebetulan saja, memang sebelum peristiwa mereka
tak pernah meng-adakan kontak satu sama lainnya.
Tapi benarkah peristiwa itu
hanya suatu kebetulan?
Jika dipikirkan dengan lebih
mendalam dia dapat merasa bahwa di antara kelima orang tersebut tampaknya sudah
mempunyai per-janjian secara diam-diam.
Teringat persoarlan ini,
diapunz lantas ber-penwdapat bahwa ketrerangan yang diberikan Gui Pak-ciang
kepadanya, belum tentu betul semuanya, sebab bukankah dia berkata akan tetap
memegang janji?
Setelah memikirkan masalah
tersebut berulang kali, akhirnya dia merasa persoalan baru akan menjadi terang
bila ia sudah tiba Tay-ang-san dan mengorek keterangan dari mulut si beruang
berlengan tunggal Kiong Tek-ciang.
Tanpa terasa hari sudah terang
tanah.
Dibalik kabut pagi yang
lamat-lamat men-yelimuti permukaan tanah, tampak bayangan bukit menjulang jauh
di depan sana, di situ-lah terletak bukit Bu-tong-san.
Lan see-giok tidak berniat
sama sekali un-tuk berpesiar, dia hanya ingin secepatnya sampai di bukit
Tay-ang-san dan meng-ung-kap misteri yang menyelimuti pikirannya se-lama ini,
karenanya dia memutuskan untuk menyeberangi bukit Bu-tong-san dan lang-sung
menuju ke kota Siang yang.
Dengan mengerahkan ilmu
meringankan tubuhnya yang sempurna, dia melesat ke de-pan memasuki bukit
Bu-tong-san melalui kaki bukit sebelah barat.
Semakin jauh dia menempuh
perjalanan dirasakan semakin sukar dan berbahaya, bukan begitu saja bahkan
kabut makin lama semakin menebal sehingga untuk beberapa saat dia kehilangan
arah mata angin.
Setelah mendaki sebuah dinding
tebing dan melalui sebuah bukit curam, dihadapan nya sekarang terbentang sebuah
lembah hi-jau yang luasnya mencapai puluhan hektar.
Aneka bunga yang indah tumbuh
di dalam lembah tersebut, hawa udara terasa hangat bagaikan di musim semi,
rumput bagaikan permadani hijau, tiga empat batang pohon siong raksasa tumbuh
di sana sini, betul-betul sebuah tempat pengasingan yang amat romantis dan
indah.
Lan See giok memperhatikan
sekitar tem-pat itu beberapa saat, tiba-tiba berkilat sepasang matanya, rasa
kaget bercampur gembira menyelimuti seluruh wajahnya ........
Di bawah ranting - ranting
pohon siong yang rindang, tampak seekor bangau kecil sedang memandang ke
arahnya dengan sek-sama, binatang tersebut sama sekali tidak menunjukkan rasa
takut terhadap kehadiran orang asing.
Lan See giok merasa tertarik
sekali, pelan-pelan dia berjalan menghampirinya, takut kalau burung-burung
bangau itu terbang ketakutan, ia tak berani menubruk secara sembarangan.
Kedua ekor burung bangau itu
memang kelihatan aneh, menghadapi Lan See giok yang berjalan mendekat sambil
tersenyum itu, mereka tidak nampak takut atau berniat untuk kabur, kepalanya
malah berulang kali berpaling mengawasi orang asing tersebut.
Lan See giok mendekati tepi
kolam, dia menjumpai air kolam amat jernih dengan aneka ikan berenang kian
kemari, anehnya burung bangau tersebut tiada menyantap ikan-ikan tersebut,
mereka justru mematuki pohon siong dengan paruh paruhnya.
(Bersambung ke Bagian 23)