"Aku pernah berpesan
kepada Soat ji dan Thi gou berdua agar menyambut kedata-nganmu di mulut lembah,
selain itu memberi penjelasan, kepadamu apa yang sesung-guhnya terjadi, sungguh
tak disangka mereka berdua begitu binal."
Mendengar perkataan itu Si Cay
soat segera tertawa geli, mukanya nampak sangat binal, sebaliknya Siau thi gou
hanya duduk tenang tanpa mengucapkan sepatah katapun, seolah-olah persoalan ini
sama sekali tiada hubungan dengan dirinya.
Lan See giok segera terbayang
kembali perjumpaan mereka yang pertama kali di dusun nelayan, sejak waktu itu
dia sudah merasa kalau Si Cay soat adalah seorang nona cilik yang sukar
dilayani, selanjutnya dia berjanji akan bertindak lebih berhati -hati.
Sewaktu To seng cu melihat
sepasang mata Siau thi gou berputar tiada hentinya di atas buah anggur
tersebut, sambit tertawa, kem-bali ujarnya kepada Lan See giok.
"Anak giok, ayo cicipi
buah buahan ter-se-but!"
Sambil berkata dia mengambil
seuntai buah anggur dan diberikan kepada Lan See giok kemudian mengambil
seuntai lagi untuk siau thi gou.
Setelah menerima buah anggur
itu Lan See giok teringat kembali akan peristiwa lima ca-cad dari tiga telaga
yang datang mencuri ki-tab, dengan nada tidak mengerti kembali dia bertanya:
"Locianpwe. dengan cara apa
Oh Tin san sekalian berhasil mencuri kitab pusaka tersebut pada sepuluh tahun
berselang?"
To seng cu tertawa dan
manggut-manggut:
"Persoalan ini panjang
sekali untuk di ceritakan, apalagi malam sudah semakin la-rut, biar kita
bicarakan di kemudian hari saja.
Melihat To seng cu enggan
berbicara, su-dah barang tentu Lan See giok sungkan un-tuk bertanya lebih jauh,
untung saja masa mendatang masih panjang, dia masih mem-punyai banyak
kesempatan untuk membica-rakan persoalan itu lagi.
Begitulah, ke empat orang
itupun sambil makan buah anggur membicarakan serba serbi dunia persilatan,
suasana dilalui de-ngan penuh riang gembira.
Akhirnya To seng cu berkata:
"Anak giok sudah menempuh
perjalanan cukup jauh, malam ini beristirahatlah de-ngan cepat, anak giok kau
boleh tidur bersa-ma Siau thi gou"
Mendengar perkataan itu, ke
tiga orang muda mudi itu segera minta diri kepada To seng cu dan berjalan
menuju ke depan pintu ruangan batu itu.
Lan See giok mengikuti Siau
thi gou menuju ke pintu ruangan sebelah kiri, se-dang kan Si Cay soat seorang
diri menuju ke pintu ruangan sebelah kanan, baru saja Lan See giok ingin
mengucapkan sesuatu kepada gadis itu, tahu-tahu bayangan merah berkelebat
lewat, Si Cay soat sudah lenyap dari pandangan.
Sementara itu terdengar Siau
thi gou telah berseru:
"Engkoh giok, aku akan
naik lebih dulu" Mendengar seruan tersebut Lan See giok segera berpaling,
tampak bayangan hitam berkelebat lewat, tubuh Siau thi gou telah melayang ke
atas langit-langit ruangan.
Ketika dia mendongakkan
kepalanya, ter-nyata di atas langit-langit ruangan itu ter-da-pat sebuah gua
yang luasnya tiga depa dan tinggi dua kaki dari permukaan tanah diataspun
terpancar sinar yang terang.
Terdengar Siau thi gou berseru
dari atas:
"Engkoh Giok, cepat
naik!"
Lan See giok mengiakan dan
segera melompat naik ke atas ruangan itu, ketika hampir mencapai ujung
langit-langit, Siau thi gou mengulurkan tangannya dan menarik tangannya
sehingga melayang tiga depa ke samping.
Ternyata di situ terdapat
sebuah ruangan berbentuk bulat, di langit-langit ruangan tertera tiga butir
mutiara, sekeliling dinding ruangan terdapat enam buah lubang sebesar kepalan
yang berfungsi sebagai ventilasi udara,
Pada permukaan lantainya
dilapisi perma-dani yang sama tebalnya dengan permadani yang berada di bawah,
di sisi kiri bertumpuk selimut tebal yang pada satu bagian merupa-kan lapisan
kain sutera sedang pada lapisan yang lain adalah bulu kambing yang berwar-na
putih, nampaknya sangat lembut dan halus.
Sambil menjatuhkan diri
berbaring di atas lantai, Siau thi gou segera berseru.
"Engkoh giok,
tidurlah!"
Sambil berkata dia melemparkan
selembar selimut kulit kepada Lan See giok.
Melihat gerak gerik yang polos
dan lincah dari Siau thi gou, Lan See giok merasa bocah itu memang rada mirip seperti
kerbau kecil, karena itu setelah menerima selimut pembe-riannya dia bertanya
sambil tertawa:
"Adik Thi gou, mengapa
sih namamu Thi gou atau kerbau baja? Mengapa tidak ber-nama Kim gou (kerbau
emas) saja?"
Siau thi gou melototkan
matanya bulat- bulat dan menggelengkan kepalanya ber-ulang kali, jawabnya
dengan wajah ber-sungguh sungguh:
"Tidak boleh, tidak
boleh."
Kemudian sambil menunjuk pada
jari ta-ngannya, dia melanjutkan:
"Kongcou ku bernama Kim
liong (naga emas), engkongku bernama Gin hou (harimau perak), sedang ayah
bernama Tong kou (kuda tembaga) maka aku bernama Thi gou (kerbau baja)"
Lan See giok segera menjadi
tertarik se-kali dengan susunan keluarga tersebut, cepat dia bertanya:
"Adik Thi gou, seandainya
kau punya anak di kemudian hari, akan kau namakan siapa anakmu itu?"!
"Akan kunamakan Sikou
(anjing platina),"
Lan See giok yang mendengar
jawaban tersebut menjadi tertegun, sepasang alis matanya segera berkerut,
kemudian berkata:
"Adik Thi gou, aku rasa
urutan ini kurang sesuai, masa dari emas perak merosot terus menjadi tembaga,
besi dan platina, dari naga dan harimau merosot menjadi kuda kerbau lantas
anjing, bukankah dengan demikian satu generasi lebih jelek dari generasi
beri-kutnya?"
Baru selesai dia berkata,
tiba-tiba dari balik sebuah lubang bulat di atas dinding terdengar suara
seseorang sedang tertawa cekikikan:
Dengan perasaan terkejut Lan
See giok segera berpaling, namun dari balik tutup lubang itu gelap tak bersinar
sehingga sulit baginya untuk menentukan dari liang yang manakah suara tertawa
tersebut, berasal.
Melihat Lan See giok tertegun,
Siau thi gou segera tertawa terbahak bahak sambil ber-kata:.
"Kau jangan bingung, enci
Soat yang se-dang tertawa dia seringkali membicara-kan soal kau dengan
diriku---"
Belum selesai dia berkata,
dari balik liang tersebut, kembali terdengar Si Cay soat ber-seru:
"Adik Thi gou, bila kau
cerewet terus, hati-hati besok!"
Mendengar teguran tersebut,
Sian thi gou segera menjulurkan lidahnya yang kecil dan segera memejamkan
matanya rapat-rapat.
Lan See Giok sendiri hanya
bisa meman-dang lubang-lubang angin di atas dinding tersebut dengan wajah
tertegun, sebenarnya dia ingin bertanya kepada Siau thi gou, apa saja yang
telah diperintahkan To seng cu locianpwe kepada Si Cay soat mengapa pula gadis
itu tidak menuruti perintah gurunya malahan mempermainkan dia. tapi setelah
mendengar ancaman dari gadis tersebut. diapun tak berani bertanya lebih jauh.
Sementara dia masih termenung,
tiba-tiba dari sisi tubuhnya bergema suara orang mendengkur, ketika berpaling.
ternyata Siau thi gou sudah tertidur nyenyak.
Dengan perasaan apa boleh buat
Lan See -giok segera menggelengkan kepalanya beru-lang ulang kali, dengan cepat
dia menarik selimut dan ditutupkan ke atas tubuh sendiri.
Walaupun sudah berbaring,
namun se-pasang mata yang belum juga mau terpejam, termangu mangu ditatapnya ke
tiga butir mutiara di atas langit-langit ruangan tanpa berkedip, sementara
dalam benaknya dipe-nuhi berbagai kejadian yang dialaminya se-lama ini,
termasuk kejadian-kejadian yang sama sekali tak pernah diduga sebelumnya...
Kini, segala sesuatunya
berjalan dengan lancar, ternyata dia telah mengalami banyak kejadian yang
semula dianggap bahaya tahu-tahu berubah menjadi rejeki.
Dari pikiran yang bergolak,
pelan-pelan perasaannya berhasil ditenangkan kembali. ditambah pula Siau Thi
gou yang berbaring di sisinya telah mendengkur sedari tadi, tanpa terasa diapun
tertidur nyenyak.
Perjalanan jauh selama
berbulan bulan membuat pemuda ini tak pernah beristirahat dengan perasaan
tenang, dia selalu kuatir kotak kecilnya dicuri orang.
Kini setelah beban pikirannya
hilang, diapun tertidur dengan nyenyak sekali.
Ketika sadar kembali, Siau thi
gou yang semula tidur di sisinya kini sudah tak nam-pak lagi batang hidungnya.
Cepat-cepat dia melompat
bangun, ditemu-kan pada dinding ruangan di sisinya bertam-bah dengan sebuah
pintu batu yang lebarnya dua depa dan tingginya mencapai langit-langit ruangan.
Lan See giok sungguh tak habis
mengerti mengapa setelah mendusin diri tidurnya di sana telah bertambah lagi
dengan sebuah pintu batu?"
Setelah melompat bangun dan
diperiksa ternyata dinding ruangan telah digeserkan orang, pada bagian tengah
pintu batu itu ter-dapat pula sebuah lubang angin yang sama besarnya dengan
lubang angin di sisi lain.
Ke luar di pintu dia temukan
sebuah un-dak undakan batu menuju ke atas yang en-tah menghubungkan ke tempat
mana sedang pada bagian lain terdapat pula sebuah pintu yang lebarnya lebih
kurang dua depa.
Dengan perasaan tak habis
mengerti dia segera menuju ke pintu yang lain serta melongok ke dalam..
Ternyata ruangan itu hanya
berisikan per-madani merah, selimut bulu serta sebuah cermin tembaga putih, bau
harum semerbak yang sangat aneh memancar ke luar dari sana.
Tak terlukiskan rasa kaget Lan
See giok dengan cepat dia mundur beberapa langkah sepasang matanya dengan
cekatan menengok ke kiri dan kanan, sementara wajahnya segera memperlihatkan
perasaan menyesal, jantungnya berdebar keras.
Selain itu diapun mengerti,
ruangan ter-se-but sudah pasti merupakan kamar tidur Si Cay soat, bila sampai
ketahuan gadis itub bahwa dia telajh memasuki kamagrnya, nisca-ya bmartabatnya
akan dinilai sangat rendah.
Sebenarnya dia hendak
menelusuri undak undakan batu itu untuk melongok ke atas, tapi sekarang ia sudah
tak berani sembara-ngan bergerak lagi.
Baru saja dia akan berjalan
balik, men-dadak ia mendengar suara teriakan Siau thi gou yang bergema datang
secara lambat-lam-bat.
"Enci Soat, cepat kemari,
disini terdapat seekor kelinci liar yang amat besar"
Mendengar teriakan itu, Lan
See giok tahu Siau thi gou serta, Si Cay soat sedang berada di atas, maka ia
segera menelusuri undak undakan batu itu dia berlari ke atas.
Sesudah berbelok ke kiri
menikung ke kanan dan bergerak naik terus ke atas, akhirnya sampailah pemuda
itu di ujung un-dak -undakan tersebut.
Pada ujung undak undakan itu,
dia men-jumpai mulut ke luar berada di belakang se buah meja batu ruangan batu,
di dalam ru-ang batu Itu tersedia pula meja bambu dan bangku kayu. namun semua
perabot diatur dengan amat rapi.
Lan See giok lari ke luar
pintu, dia melihat cahaya matahari telah memancarkan cahaya keemas-emasannya ke
empat penjuru, aneka bunga tumbuh subur dimana mana, peman-dangan alam sangat
indah dan me-nawan hati.
Rumah batu itu dikelilingi
pepohonan siong yang mengitarinya pada jarak tujuh delapan kaki, segalanya
kelihatan rapi dan teratur, sedikitpun tidak kelihatan acak-acakan.
Ketika pandangan matanya
dialihkan ke sekitar sana, tampak tiga buah puncak bukit menjulang ke angkasa,
ternyata di mana ia berada sekarang tak lain adalah dinding te-bing yang
terlihatnya se-malam, punggung puncak Giok li hong.
Puncak Giok Ii hong tingginya
mencapai ratusan kaki, di sisi kirinya terdapat sebuah air terjun, pemandangan
indah sekali.
Menyaksikan kesemuanya itu.
tiba-tiba saja Lan See giok merasakan dadanya men-jadi terbuka dan nyaman
sekali.
Pada saat itulah, dari balik
hutan ber-ku-mandang lagi suara teriakan dari Siau thi gou.
"Enci Soat, disini
terdapat seekor kijang kecil--."
Belum habis Siau thi gou
berteriak, terde-ngar suara Si Cay soat telah menukas:
"Jangan kita usik dia,
mari kibts menangkap ikjan saja di telagga Cui oh?
Menbdengar suara pembicaraan
mereka. Lan See giok segera berlarian menuju ke hu-tan itu sambil berteriak.
"Adik Thi gou, tunggu
aku---"
Sambil berseru di segera
berlarian masuk menuju ke dalam hutan yang terbentang di hadapannya.
Berpuluh puluh kaki dia telah
menembusi hutan tersebut, tapi anehnya belum juga pe-muda tersebut berhasil ke
luar dari lingku-ngan hutan tadi, kejadian tersebut dengan cepat menimbulkan
perasaan-perasaan tak habis mengerti baginya.
Pada saat itulah, tiba-tiba
terdengar Siau thi gou sedang memohon dari tempat yang tak jauh darinya.
"Enci Soat, cepat
beritahu kepada engkoh Giok, bila guru tahu, kau pasti akan dimaki sebagai si
binal lagi!"
Mendengar perkataan tersebut,
Lan See giok segera menyadari kalau keadaan di situ kurang beres dengan cepat
dia menghentikan gerakan tubuhnya.
Tiba-tiba terdengar Si Cay
soat men-dengus dingin, lalu berseru dengan nada tak senang hati:
"Yang dia panggil kan
adik Thi gou, Siapa sih yang memanggil aku"
Sekali lagi Lan See giok
berpekik di dalam hati:
"Aduh celaka, yaa,
mengapa aku lupa me-manggil Si Cay soat? Tidak heran kalau dia menjadi tak senang
hati---"
Berpikir demikian, dengan nada
minta maaf dia segera berseru. "Adik Soat, Ih--heng segera datang!"
Baru selesai dia berseru,
tiba-tiba terde-ngar Siau thi gou sudah berteriak sambil tertawa:
"Engkoh Giok, turuti
perkataanku, belok tiga kali ke kiri, belok lima kali ke kanan melihat tujuh
jalan serong, berjumpa delapan maju ke depan-"
Lan See giok bukan anak bodoh,
begitu peroleh petunjuk dia segera menjadi paham.
Sementara Siau thi gou masih
berteriak te-riak dengan suara lantang, Lan See giok su-dah menerobos ke luar
dari hutan tersebut.
Waktu itu Siau thi gou sedang
berdiri sam-bil memegang seekor kelinci besar, melihat Lan See giok munculkan
rdiri, sambil tezrtawa terbahak wbahak ia segerar berseru:
"Nah, itulah dia telah
munculkan diri!"
Lan See giok segera berlari
mendekat, menarik tangan Siau thi gou dan berterima kasih kepadanya, tapi oleh
karena tidak di jumpai Si Cay soat, pemuda itu jadi celingu-kan----
Akhirnya dari jarak tujuh
delapan kaki di depan sana, ia saksikan ada sesosok baya-ngan merah sedang
berlarian menuju ke arah air terjun dengan kecepatan tinggi.
Sambil menuding ke arah
bayangan Si Cay soat, Siau thi gou segera berseru:
"Engkoh giok ayo
berangkat, mari kita lihat enci Soat menangkap ikan!"
Mereka berdua segera menyusul
dari bela-kangnya dengan gerakan cepat.
Setelah berlarian sekian
waktu, Si Cay soat yang sedang berlarian di depan telah menghentikan
langkahnya.
Lan See giok tahu, tempat
dimana Si Cay soat berdiri sekarang bisa jadi adalah telaga Cui oh, waktu itu
si nona sedang membung-kus rambutnya dengan kain merah.
Ketika maju beberapa puluh
kaki, lagi dia dapat melihat permukaan telaga yang luas-nya mencapai beberapa
bau, airnya berwarna hijau dan beriak terhembus angin, peman-dangan alam di
situpun amat indah.
Setelah berjalan mendekat, Lan
See giok baru menjumpai tempat dimana Si Cay soat berdiri sekarang adalah
sebuah tebing yang tinggi, jarak antara tempat itu dengan per-mukaan telaga
paling tidak masih mencapai enam tujuh kaki.
Walaupun dalam hati kecilnya
merasa terkejut, namun dia tak lupa menyampaikan salam untuk Si Cay soat,
sekarang ia dapat melihat pakaian yang dikenakan Si Cay soat adalah sebangsa
pakaian renang yang kulit bukan kulit sutera, namun terbuat dari seje-nis bahan
istimewa.
Setelah mengenakan pakaian
renang ini, perawakan tubuh Si Cay soat nampak lebih indah, semua lekukan
tubuhnya tertera amat jelas, payudaranya yang montok nampak menonjol besar
dibagian dada, pinggangnya amat ramping, pahanya berbentuk manis se-dang kakinya
terbungkus sepatu kulit ber-warna merah, rambutnya yang panjang juga telah
dibungkus kain merah.
Lan See giok benar-benar
merasa ter-tegun, ia merasakan pandangan matanya menjadi silau, hatinya
berdebar keras dan seolah-olah sedang dihadapkan dengan segumpal api.
Waktu itu Siau Thi gou hanya
berharap enci Soat nya bisa menangkap seekor ikan besar, pada hakekatnya dia
tidak memper-hatikan mimik wajah Lan See giok, sepasang matanya yang terbelalak
lebar di arahkan terus ke permukaan telaga.
Melihat Si Cay soat sama
sekali tidak menggubris dirinya. bahkan hanya berdiri di tepi tebing dengan
mulut membungkam sa-darlah Lan See giok bahwa gadis itu sedang marah kepadanya.
Setelah tersenyum, dengan
suara yang amat ramah pemuda itu kembali menyapa.
"Selamat pagi adik
Soat!"
Mendengar sapaan tersebut, Si
Cay soat mengerling sekejap ke arahnya dengan pan-dangan indah, kemudian
tersenyum.
Pada saat itulah...
Tiba-tiba terdengar Siau thi
gou berteriak keras.
"Aaah, seekor ikan Cui oh
li (ikan leihi tela-ga cu).. ! "
Baru saja dia berteriak,
bayangan merah telah berkelebat lewat, Si Cay soat dengan gaya Hay yan si sui
(walet air bermain air) telah menubruk ke arah permukaan telaga.
Gemetar sekujur badan Lan See
giok me-li-hat gerakan tubuh gadis itu, tanpa di-sadari dia menjerit kaget:
"Adik Soat, Hati-hati
!"
Tampak Si Cay soat menekuk
pinggang, sepasang lengannya didayungkan bersama lalu sepasang tangannya
ditempelkan satu lama lainnya dan .... "Byuuur!". menceburkan diri ke
dalam telaga.
Percikan air segera memancar
ke empat penjuru...
Secepat ikan terbang bayangan
merah itu meluncur dan menyelam ke dalam air telaga yang berwarna hijau tadi.
Lan See giok harus memasang
telinga baik-baik sebelum dapat melihat bahwa kurang lebih dua kaki di depan Si
Coy soat benar- benar terdapat seekor ikan besar yang sedang berenang menjauhi
dengan gerak gerik yang amat gugup.
Kejar mengejar pun segera
terjadi, ombak menggulung kian ke mari, biarpun sedang berenang, ternyata
gerak-gerik Si Cay sobat terlihat indjah sekali.
Lang See giok selaibn merasa
kagum juga sangat memuji, dia tak menyangka ilmu berenang yang dimiliki gadis
itu demikian indah dan sempurna.
Dalam hati kecilnya ia segera
memutuskan untuk memohon kepada To Seng-cu locian-pwe selain mempelajari ilmu silat
yang ter-cantum- dalam kitab pusaka Pwee yap cin keng, diapun hendak
mempelajari ilmu berenang,
Tiba-tiba Si -Cay soat yang
berada, dalam air memutar badannya, kemudian pergela-ngan tangannya diayunkan
ke depan seren-tetan cahaya perak langsung me-nyambar ke arah ikan besar itu.
Siau thi gou yang menyaksikan
kejadian tersebut segera tertawa lebar.
Dengan cepat Lan See giok
mengalihkan kembali sorot matanya ke arah telaga, waktu itu cahaya perak telah
lenyap. sedangkan ikan besar tersebut sudah berguling di atas air kemudian
terapung dengan bagian perut nya menghadap ke atas.
Si Cay soat segera berenang
mendekati-nya, lalu sambil mengempit bangkai ikan besar tadi ia berenang ke
tepian.
Siau thi gou juga berpaling
kearah Lan See giok sambil ujarnya dengan senyum dikulum:
"Ilmu peluru pembelah air
dari enci Soat amat tepat dan lihay sekali, betapa pun be-sarnya ikan yang
diburu dan betapa cepat nya ikan itu berenang, jangan harap bisa lolos dari
tangannya."
Lan See giok mengangguk
berulang kali. namun sorot matanya masih ditujukan ke arah Si Cay soat yang
sedang menaiki pantai.
Bayangan merah berkelebat
lewat dengan menutulkan ujung kakinya di atas tonjolan batu karang, tahu-tahu
Si Cay soat telah melompat naik ke atas tebing.
Sambil bersorak kegirangan
Siau thi gou segera menyerbu ke depan untuk memeluk ikan besar itu.
Sambil tersenyum manis Si Cay
soat me-ngerling sekejap ke arah Lan See giok yang sedang memandangnya dengan
perasaan kagum, pelan-pelan dia membuka pengikat rambutnya, rambut yang panjangpun
segera terurai ke bawah.
Lan See giok yang menyaksikan
kejadian itu segera merasakan hatinya berdebar keras, gerak gerik Si Cay soat
memang sungguh terlampau indah.
Tanpa terasa diapun memuji
sambbil ter-senyum.j
"Adik Soat, iglmu
berenangmu bsungguh amat indah, bila suatu ketika Ih-heng- pun dapat menguasai
ilmu tersebut sesempurna kau, tentu akan merasa sangat puas."
Sekali lagi Si Cay soat
tertawa manis, tiba-tiba ia menegur:
"Apa sih Ih-heng...
Ih-heng terus terusan? Masa lagakmu selalu sok sungkan?"
Merah padam selembar wajah Lan
See giok, buru-buru dia mengiakan berulang kali, walaupun kena disemprot. .
anehnya dia sama sekali tidak mendongkol.
Dalam pada itu Siau thi gou
telah selesai mengikatkan ikan besar dan kelinci besar itu, dengan gembira ia
berteriak keras:
"Ayo berangkat, kita
harus siapkan san-tapan siang yang paling lezat"
Maka berangkatlah ke tiga
orang itu menuju ke hutan.
Setibanya di depan hutan, Lan
See giok berjalan mengikuti di belakang Si Cay soat.
Hutan tersebut dalamnya hanya
sepuluh kaki, dalam beberapa kali lompatan saja mereka telah menembusi hutan
tersebut.
Lan See giok mengikuti di
belakang Si Cay soat menuju ke sebuah ruang kecil yang ter-letak di belakang
ruangan batu.
Tiba di depan ruangan itu,
ternyata di situ letak dapur, semua peralatan dapur tersedia komplit di situ.
Si Cay soat segera membalikkan
tubuhnya, lalu kepada Lan See giok dan Siau thi gou ujarnya.
"Engkoh giok menguliti
kelinci. Adik Thi gou memotong ikan. aku akan pulang dulu untuk berganti
pakaian"
Sembari berkata. dia
membalikkan badan menuju ke dalam ruang batu.
Siau thi gou segera mengambil
pisau dan mulai membersihkan sisik ikan dan mem-ber-sihkan isi perutnya, cara
kerjanya cekatan dan amat terlatih.
Selama Lan See giok mengikuti
ayahnya hidup dalam kuburan kuno, diapun sering kali berburu, maka soal
menguliti kelinci juga bukan sesuatu pekerjaan yang asing baginya.
Sambil membersihkan ikan,
tiba-tiba Siau thi gou bertanya: "Engkoh Giok, apakah kau datang kemari
khusus untuk belajar ilmu dari suhu?"
Lan See giok mengangguk,
jawabnya de-ngan bersungguh hati:
"Benar, aku datrang
kemari atasz petunjuk dari wlocianpwe . . "r
"Sungguh aneh"
kembali Siau thi gou me-nukas, "kalau toh tujuanmu belajar ilmu, mengapa
kau masih saja memanggil suhu sebagai locianpwe?"
Lan See giok menjadi tertegun
menghadapi pertanyaan tersebut, ia segera berhenti bekerja dan bisiknya:
"Adik thi gou, aku belum
pernah meng-ang-kat guru, konon kalau hendak melakukan upacara pengangkatan,
maka kita mesti menyembah empat kali, apa yang kau laku-kan dulu?"!
"Tanpa ragu Siau thi gou
segera menjawab:
"Aku merangkak di atas
tanah dan me-nyembah berulang kali . .. "
Belum selesai dia berkata,
bayangan merah berkelebat lewat, Si Cay soat yang selesai berganti pakaian
telah muncul kembali di situ. agaknya diapun sempat mendengar pembicaraan kedua
orang itu, kepada Lan See giok segera ujarnya:
"Engkoh Giok, suhu
orangnya ramah dan pengasih, dia tidak terlalu memperhatikan soal tetek bengek,
selesai bersantap siang nanti, kau cukup menyembah empat kali di-hadapannya
sambil memanggil suhu, aku pikir itu sudah cukup."
Lan See giok memandang ke arah
Si Cay soat dengan penuh rasa terima kasih, setelah mengiakan diapun
melanjutkan pekerjaan-nya menguliti kelinci.
Mendekati tengah hari
pekerjaan memasak pun telah selesai, hidangan segera disajikan, selain ang sio
hi, panggang daging kelinci, sayur sayuran, kuah tahu, masih tersedia pula
seguci besar arak wangi.
Ketika semuanya sudah siap,
Siau thi gou baru berteriak ke arah gua:
"Suhu, silahkan
bersantap."
Tak lama kemudian, To seng cu
dengan jubah kuningnya telah muncul dari balik gua, senyum ramah masih
menghiasi wajah-nya.
Dalam pada itu Si Cay soat
telah menuang empat cawan arak, isi cawan bagi dirinya ke-lihatan paling
sedikit.
Lan See giok menunggu sampai
To-seng-cu sudah duduk, dia baru menjatuhkan diri berlutut dan menyembah empat
kali sambil katanya dengan serius.
"Suhu berada di atas,
terimalah penghor-matan dari tecu Lan See giok..."
Sambil mengelus jenggotnya To
seng cu tertawa terbahak bahak, ditatapnya pemuda itu dengan ramah, lalu
ujarnya tersenyum.
"Anak giok, ayo cepat
bangun!"
Walaupun Siau thi gou
kelihatan agak bodoh, akan tetapi diapun dapat melihat kalau gurunya sedang
amat gembira pada hari ini.
Lan See giok segera bangkit
dan duduk di samping Siau thi gou, sedang Si Cay soat yang hendak membuat
gembira gurunya mengambil cawan arak dan berseru kepada To seng cu sambil
tertawa.
"Suhu, Soat-ji
menghormati secawan arak untukmu, kionghi kau orang tua telah me-nerima seorang
murid baru."
`To seng-cu tertawa terbahak
bahak.
Haaahhh...haaahhh...haaahhh....budak
binal, bukankah kau pun termasuk murid suhu yang baik?"
Diangkatnya cawan arak dan
diteguk de-ngan lahap.
Siau thi gou turut mengangkat
cawan araknya, suasana riang gembira segera me-nyelimuti seluruh ruangan.
Ketika To seng cu mencicipi
Ang sio hi, dia memuji tiada hentinya atas kelezatan hida-ngan tersebut.
Tergerak hati Lan See giok,
dia segera teri-ngat kembali dengan ilmu berenang yang di-miliki Si Cay soat,
maka menggunakan ke-bsempatan tersebjut segera ujarngya dengan hormabt.
"Suhu diantara lima cacad
dari tiga telaga, tecu sudah mendapat tahu kalau si Tongkat besi berkaki
tunggal berdiam di benteng Pek hoo cay, si beruang berlengan tunggal ber-diam
di bukit Tay ang san, sedang si manusia buas bertelinga tunggal Oh Tin san
bercokol di benteng Wi-lim-poo yang dikitari telaga phoa yang oh, tecu rasa dua
manusia cacad lainnya pasti berdiam pula di atas telaga. . .""
Sebelum Lan See giok
menyelesaikan kata katanya, sambil mengelus jenggot To seng cu segera menyela.
"Benar, si Setan ganas
bermata tunggal yang terhitung paling garang, ia berdiam di Lim lo pah, orang
ini termasuk yang memiliki daya pengaruh terbesar antara rekan-rekannya, sedang
si binatang bertanduk tunggal yang berilmu silat paling lemah tapi berotak
paling cerdas itu, berdi-am di telaga Pek toh oh, ia telah ditotok mati oleh
serga-pan Oh tin san sehingga tak perlu dikuatir-kan lagi, diantaranya aku kira
yang patut diperhitungkan kekuatan nya adalah si raja ganas dari telaga Tong
Ting oh, si Setan ga-nas bermata tunggal Toan Ci tin tersebut.
Lan See giok berkerut kening,
lalu berkata dengan sedih.
"Dari lima manusia cacad
di tiga telaga, tiga diantaranya menjagoi di atas telaga, padahal anak Giok
tidak mengerti ilmu berenang, bila hendak menyelidiki jejak mereka rasanya
sukar sekali, mohon suhu bersedia mewariskan pula ilmu berenang kepada anak
giok".
To seng cu segera mendongakkan
kepalanya dan tertawa terbahak bahak, sa-hutnya dengan gembira:
"Berbicara soal ilmu
berenang, dalam dunia persilatan tiada orang yang bisa menandingi kehebatan
Hu-yong siancu, se-balik nya berbicara dari tingkat muda, orang yang berilmu
berenang paling tinggi adalah enci Cian mu, sedangkan ilmu berenang dari adik
Soat mu berasal dari ajaran si naga sakti pembalik sungai, suhu sendiri sama
sekali tidak menguasai kepandaian tersebut.
Setelah berhenti sejenak, dia
memandang kearah Si Cay soat yang sedang cemberut dan tidak senang hati itu,
kemudian me-lan-jutkan sambil tertawa:
"Namun, bila kau memang
berniat untuk mempelajari kepandaian tersebut, tak ada salahnya untuk minta
kepada adik Soat mbu untuk mengajajrkan dasar dasagrnya, sampai sib naga Sakti
pembalik sungai datang ke Hoa San, barulah kau minta pelajaran secara langsung
kepadanya---"
Lan See giok yang mendengar
perkataan tersebut menjadi sangat gembira, ia segera bangkit meninggalkan
tempat duduknya dan menjura kepada Si Cay soat sambil serunya:
"Adik soat, kalau begitu
Ih-heng meng-u-capkan banyak terima kasih dulu kepadamu,"
Dalam hati kecilnya Si Cay
soat me-rasa kegirangan, dia segera bangkit dan balas memberi hormat, pikirnya:
"Hmm, mulai hari ini
pasti akan seperti Siau thi gou, selalu menuruti petunjukku."
Sebaliknya diluaran dia
berkata dengan tenang:
"Engkoh giok, harap kau
jangan berbuat demikian, siau moay tak berani menerima-nya."
Kemudian sengaja dia menengok
ke arah To-seng-cu dan berkata kembali:
"Suhu, engkoh Giok kan
sudah mempunyai enci Cian yang sangat lihay dalam ilmu berenang. bila soat ji
memberi pelajaran dulu kepada engkoh giok, jangan-jangan ada orang yang merasa
tak senang hati..."
To seng cu cukup mengetahui
akan kebi-nalan muridnya ini, sekalipun demikian dia ,juga tahu kalau sesungguhnya
gadis ini amat ramah dan berhati mulia, diapun sadar bahwa gadis ini diam-diam
merasa tak puas dengan ilmu berenang yang dimiliki Ciu Siau cian, maka setelah
tertawa geli katanya:
"Tidak mungkin, tidak
mungkin, bila Ciu Siau-cian merasa tak puas kau dan anak giok bisa minta
pelajaran bersama dengan-nya!"
Si Cay soat adalah seorang
gadis yang pintar dan cekatan, walaupun ia tahu bahwa gurunya sengaja menggoda,
tapi diapun mengerti, andaikata ilmu berenang yang di-miliki Ciu Siau-cian
tidak lebih sempurna daripada kepandaiannya, tak mungkin guru nya akan berkata
demikian:
Oleh sebab itu dengan nada tak
percaya dia berkata dengan bersungguh sungguh:
"Suhu, benarkah ilmu
berenang yang di-miliki enci Ciannya engkoh giok masih jauh lebih hebat
daripada si naga tua pembalik sungai?"
To seng cu tahu kalau Si Cay
soat telah memahami maksudnya, sambil tersenyum ia segera menjawab:
"Kalrau Thio loko muz
mengandalkan twenaga dalamnya ryang sempurna, maka enci Cian- mu lebih
mengandalkan gerakan tubuhnya yang lihay dan luar biasa, terutama sekali ilmu
pedang di dalam airnya, sungguh cepat nya luar biasa, bahkan tidak kalah
sempurna nya dari ilmu berenang yang dimiliki ibu nya.
Berbicara sampai di situ, dia
memandang sekejap ke tiga orang muda mudi dengan pandangan penuh kasih sayang .
. .
Kejut dan girang menyelimuti
seluruh wa-jah Lan See giok, dia seperti tidak percaya kalau enci Ciannya yang
begitu lembut, tenang dan cantik jelita bak bidadari dari kah-yangan, ternyata
memiliki ilmu berenang yang jauh lebih hebat dari pada si naga pem-balik
sungai.
Si Cay soat sendiri tentu saja
percaya seratus persen atas perkataan dari gurunya, suatu perubahan aneh segera
menghiasi paras mukanya, dia seperti ingin secepatnya dapat bertemu dengan Ciu
Siau cian.
Hanya Siau thi gou seorang
yang tidak menaruh perhatian khusus atas persoalan ini namun perkataan dari
gurunya juga tak be-rani tidak didengarkan, dengan membelalak-kan sepasang
matanya dia awasi gurunya tanpa berkedip, meski begitu dia pun tidak lupa untuk
melalap daging dan ikan yang di-hidangkan dihadapannya.
To seng cu memandang sekejap
ke tiga murid kesayangannya, ia merasa amat gem-bira terutama setelah menerima
Lan See giok, dia merasa kepandaian silatnya bakal ada yang mewarisi.
Maka sambil menengok ke arah
Si Cay soat, katanya lebih lanjut dengan mengan-dung arti mendalam:
Soat ji, bila kau bertemu
dengan Ciu Siau cian lain waktu, panggillah lebih banyak enci kepadanya, suhu
jamin pasti ada keuntu-ngan bagimu."
Si Cay soat mengangguk
berulang kali, senyum kegirangan kembali menghiasi wa-jahnya, sifat ke kanak
kanaknya juga sangat menonjol dimukanya.
Sementara itu, Lan See giok
merasa gem-bira sekali karena gurunya To seng cu me-muji kehebatan enci Cian
nya. di dalam hati kecilnya dia lantas berjanji, bila ia berhasil mempelajari
ilmu silat yang tercantum dalam kitab Hud bun pwe-yap cinkeng tersebut, dia
akan mewariskan kembali kepandaian terse-but kepada encinya agar gadis itu
menjadi seorang pendekar wanita yang tiada keduanya di dunia ini.
Membayangkan kesemuanya itu,
tanpa terasa dia tertawa. sinar matanya turut ber-kilat-kilat, To seng cu
adalah seorang jagoan nomor wahid yang amat disegani orang di dalam dunia
persilatan dewasa ini, walaupun usianya sudah mencapai seratus tahun, na-mun
hatinya ramah dari orangnya saleh, setiap orang yang berhubungan dengannya
pasti akan menaruh hormat dan sayang kepadanya.
Ketika ia menangkap sinar
berkilat dari balik mata Lan See giok, orang tua itu segera mengetahui kalau si
bocah lagi memikirkan suatu kejadian yang meng-gembirakan hati-nya.
Maka setelah meneguk araknya,
dia ber-tanya sambil tertawa.
"Anak giok, persoalan apa
sih yang sedang kau bayangkan? Mengapa kau nampak kegi-rangan?"
Lan See giok tidak menduga
kalau guru-nya akan mengajukan pertanyaan seperti itu, dia menjadi tergagap,
mukanya memerah dan segera memperlihatkan perasaan tidak tenang.
Melihat pemuda itu tidak
berusaha untuk membohonginya, senyum gembira sekali lagi menghiasi wajah To
Seng cu.
Si Cay soat memang gadis yang
pintar, ia segera cemberut dan sambil mendengus kalanya agak cemburu:
"Apa lagi? Tentu sedang
membayangkan enci Cian nya yang lihay dalam ilmu berenang!"
BAB 14
LAN See giok tidak menyangka
kalau Si Cay soat bakal membongkar rahasia hatinya secara blak blakan, ia terkejut
dan wajahnya segera berubah, buru-buru seru-nya kepada To seng cu:
"Anak giok tidak becus,
dihadapan suhu memang masih teringat enci Cian, harap suhu sudi memaafkan
ketidak tahuan anak giok!"
Si Cay soat maupun Siau thi
gobu jadi melongo,j mereka tidak hgabis mengerti abpa sebabnya Lan See giok
menunjukkan wajah gugup, dengan sorot mata yang bimbang tiada hentinya mereka
awasi Lan See giok dan To seng cu secara bergantian, agaknya mereka berusaha
mencari tahu masalah apakah yang membuat pemuda itu demikian gugupnya?
To seng cu juga tidak berkata
kata. Ia me-neguk habis isi cawannya. lalu sambil me-nyodorkan mangkuk kosong
itu ke hadapan Sian thi gou yang masih tertegun. kata-nya dengan suara rendah
dan berat,
"Gou- ji. penuhi cawanku
ini! "
Sementara itu, walaupun Si Cay
soat juga dibuat kebingungan, namun dia dapat meli-hat bahwa suhunya sedikit
tak bisa mengen-dalikan rasa gembiranya, sudah jelas guru-nya sedang merasa
kegirangan setengah mati.
Siau thi-gou segera memenuhi
cawan gu-runya dengan arak dan mengangsurkan kembali ke atas meja To seng cu,
kembali ke hadapan gurunya.
Setelah menerima cawan dan
meletakkan kembali ke atas meja, To seng cu kembali berkata dengan wajah
serius:
"Selama berada dihadapan
guru, berpikir-an cabang dan menjawab secara ngawur perta-nyaan guru, hal ini
merupakan pantangan terbesar bagi dunia persilatan, yang ringan, pelanggarannya
akan peroleh hukuman, yang berat akan dikeluarkan dari perguruan, anak giok,
kau masih muda tapi setia dan seder-hana, sungguh tidak kecewa kuterima dirimu
sebagai murid!"
Selesai berkata, dia meneguk
araknya sampai habis.
Lan See giok terharu sekali
oleh perkataan itu, sekali lagi dia memberi hormat sambil berkata:
"Anak giok bodoh, mungkin
hanya akan menyia nyiakan harapan suhu saja!
To seng cu meneguk setengah
cawan arak lagi, kini gejolak emosinya telah mereda, melihat di atas wajah
pemuda itu tidak ter-lintas perasaan bangga, katanya kemudian lengan ramah:
"Anak giok, duduklah suhu
tidak akan menyalahkan dirimu lagi- - -"
Sambil berkata, dia membuat
gerakan de-ngan mempersilahkan pemuda itu duduk.
Lan See giok segera mengiakan
dengan hormat dan duduk, Si Cay soat pun merasa gugup dan panik. ia benar-benar
tak me-nyangka kalau perbuatannya bakal segawat itu, terbayang kembali ketika
ia membongkar rahasia hbati Lan See giojk, saking menyegsal-nya dia sambpai
menundukkan kepalanya rendah--rendah.
Namun dia bisa menduga, dengan
tenaga dalam gurunya yang begitu sempurna serta ketebalan imannya yang
mengagumkan, toh tak mampu mengendalikan gejolak emosi-nya, hal ini menandakan
betapa gembira nya orang tua itu setelah mendapatkan Lan. See giok sebagai
muridnya.
Siau thi gou orangnya ramah
den polos, meski ia tidak mengerti apa gerangan yang terjadi, namun dapat
terasa olehnya kalau enci Soat maupun engkoh giok nya sama-sama telah melakukan
kesalahan besar.
To seng cu sangat gembira,
setelah me-mandang sekejap ketiga orang bocah itu un-tuk mengurangi perasaan
tak tenang dalam hati mereka, maka ujarnya kemudian sambil tersenyum.
"Sekarang, aku akan
mengisahkan kembali peristiwa pada sepuluh tahun berselang ketika kitab cinkeng
itu lenyap, agar kisah tadi bisa menambah pengetahuan kalian se-mua."
Mendengar perkataan itu, muda
mudi ber-tiga itu segera meletakkan kembali sumpit nya dan bersama sama
memandang ke arah guru mereka>
Sambil tertawa ramah To seng
cu segera berkata:
"Kalian boleh
mendengarkan sambil makan dan minum."
Kemudian setelah meneguk
seteguk arak dan termenung beberapa saat, dia pun mulai bercerita.
"Sepuluh tahun berselang,
di dalam kala-ngan hitam terdapat lima orang jago lihay, mereka adalah lima
cacad dari tiga telaga yang termasyhur sekarang, entah dari mana mereka peroleh
kabar ternyata orang- orang itu mendapat tahu kalau aku memiliki sejilid kitab
pusaka ilmu silat yang amat hebat."
"Kemudian, berkumpullah
mereka me-rundingkan bagaimana cara mencuri kitab tadi dan kemudian
mempelajarinya ber-sama sama.
"Dasar bangsa kurcaci,
walaupun mereka telah memutuskan bersama, toh dihati kecil masing-masing masih
saja saling curiga men-curigai. namun untuk menghindari perhatian orang, secara
terpisah mereka datang ke Hoa San dan berkumpul di bawah bukit sambil berunding
bagaimana caranya mengamati gerak gerikku.
"Justru persoalran
menjadi berazntakan aki-bat wsuatu kebetulanr, pada waktu itu aku se-dang
bersemedi di dalam gua, mendadak kudengar suara golok sedang mengukir batu di
depan dinding gua . . . "
Tergerak hati Lan See giok
setelah mendengar perkataan itu, dia tahu yang di maksudkan gurunya, sudah
pasti bait-bait syair yang terpampang di atas dinding di mulut gua tersebut,
hanya saja ia tidak habis mengerti siapakah perempuan tersebut.
Setelah meneguk araknya
setegukan, To seng cu berkata lebih jauh:
"Tergerak hatiku waktu
itu sehingga segera munculkan diri, namun untuk menghindar mulut guaku ketahuan
orang luar, aku tidak membuka pintu secara langsung, sampai orang itu sudah
pergi jauh, barulah kubuka pintu gua dan ke luar. . ."
Lan See giok kembali merasa
tidak habis mengerti, mengapa ia tidak menjumpai "pintu gua" ketika
memasukinya semalam, tapi kalau menurut pembicaraan suhu pintu gua tersebut
pasti tersembunyi di balik dinding gua sehingga tidak terlihat sama sekali.
Dalam pada itu, To seng cu
telah berkata lebih jauh:
"Menanti suhu sampai di
pintu depan, orang itu sudah pergi hingga tak terlihat lagi, kubaca sebentar
bait syair di dinding gua itu lalu menembusi hutan tho dan me-ngejar ke luar
lembah, tak lama kemudian kusaksikan seseorang sedang berlarian dengan cepat,
menanti kususul lebih dekat, baru kuketahui kalau orang itu adalah Hu-yong
siancu Han sin wan . . .
Tergetar perasaan Lan See
giok, tanpa terasa serunya kaget: "Aaah . . dia . . . dia adalah bibi Wan
. . . . ?"
"Benar, orang yang
mengukir tulisan di de-pan gua tak lain adalah bibi Wanmu."
"Suhu, masalah pedih
apakah yang dialami bibi Wan sehingga dia merasa begitu sedih?" tanya Lan
See giok dengan perasaan tidak habis mengerti.
Tong seng cu berkerut kening
seakan -akan enggan menjawab pertanyaan itu, kemudian katanya sambil tersenyum.
"Masalah ini menyangkut
hubungan antara orang tuamu dengan bibi Wan, aku sendiri juga kurang tahu
sehingga lebih baik tak usah kuterangkan di sini, tak ada salahnya bila kau
tanyakan sendiri kepada bibimu di kemudian hari, mungkin dia akan mencerita-kan
pengalamannya kepada mu. "
Melihat gurunya enggan
menjawab, sudah barang tentu Lan See giok tak berani ber-tanya lebih jauh,
terpaksa dia mengiakan berulang kali.
Tampaknya Siau thi gou
memperhatikan sekali masalah tercurinya kitab cinkeng itu, dengan gelisah
tiba-tiba dia menyela:
(Bersambung ke Bagian 18)