Anak Harimau Bagian 17

Baca Cersil Mandarin Online: Anak Harimau Bagian 17

Bagian 17

"Aku pernah berpesan kepada Soat ji dan Thi gou berdua agar menyambut kedata-nganmu di mulut lembah, selain itu memberi penjelasan, kepadamu apa yang sesung-guhnya terjadi, sungguh tak disangka mereka berdua begitu binal."

Mendengar perkataan itu Si Cay soat segera tertawa geli, mukanya nampak sangat binal, sebaliknya Siau thi gou hanya duduk tenang tanpa mengucapkan sepatah katapun, seolah-olah persoalan ini sama sekali tiada hubungan dengan dirinya.

Lan See giok segera terbayang kembali perjumpaan mereka yang pertama kali di dusun nelayan, sejak waktu itu dia sudah merasa kalau Si Cay soat adalah seorang nona cilik yang sukar dilayani, selanjutnya dia berjanji akan bertindak lebih berhati -hati.

Sewaktu To seng cu melihat sepasang mata Siau thi gou berputar tiada hentinya di atas buah anggur tersebut, sambit tertawa, kem-bali ujarnya kepada Lan See giok.

"Anak giok, ayo cicipi buah buahan ter-se-but!"

Sambil berkata dia mengambil seuntai buah anggur dan diberikan kepada Lan See giok kemudian mengambil seuntai lagi untuk siau thi gou.

Setelah menerima buah anggur itu Lan See giok teringat kembali akan peristiwa lima ca-cad dari tiga telaga yang datang mencuri ki-tab, dengan nada tidak mengerti kembali dia bertanya:

"Locianpwe. dengan cara apa Oh Tin san sekalian berhasil mencuri kitab pusaka tersebut pada sepuluh tahun berselang?"

To seng cu tertawa dan manggut-manggut:

"Persoalan ini panjang sekali untuk di ceritakan, apalagi malam sudah semakin la-rut, biar kita bicarakan di kemudian hari saja.

Melihat To seng cu enggan berbicara, su-dah barang tentu Lan See giok sungkan un-tuk bertanya lebih jauh, untung saja masa mendatang masih panjang, dia masih mem-punyai banyak kesempatan untuk membica-rakan persoalan itu lagi.

Begitulah, ke empat orang itupun sambil makan buah anggur membicarakan serba serbi dunia persilatan, suasana dilalui de-ngan penuh riang gembira.

Akhirnya To seng cu berkata:

"Anak giok sudah menempuh perjalanan cukup jauh, malam ini beristirahatlah de-ngan cepat, anak giok kau boleh tidur bersa-ma Siau thi gou"

Mendengar perkataan itu, ke tiga orang muda mudi itu segera minta diri kepada To seng cu dan berjalan menuju ke depan pintu ruangan batu itu.

Lan See giok mengikuti Siau thi gou menuju ke pintu ruangan sebelah kiri, se-dang kan Si Cay soat seorang diri menuju ke pintu ruangan sebelah kanan, baru saja Lan See giok ingin mengucapkan sesuatu kepada gadis itu, tahu-tahu bayangan merah berkelebat lewat, Si Cay soat sudah lenyap dari pandangan.

Sementara itu terdengar Siau thi gou telah berseru:

"Engkoh giok, aku akan naik lebih dulu" Mendengar seruan tersebut Lan See giok segera berpaling, tampak bayangan hitam berkelebat lewat, tubuh Siau thi gou telah melayang ke atas langit-langit ruangan.

Ketika dia mendongakkan kepalanya, ter-nyata di atas langit-langit ruangan itu ter-da-pat sebuah gua yang luasnya tiga depa dan tinggi dua kaki dari permukaan tanah diataspun terpancar sinar yang terang.

Terdengar Siau thi gou berseru dari atas:

"Engkoh Giok, cepat naik!"

Lan See giok mengiakan dan segera melompat naik ke atas ruangan itu, ketika hampir mencapai ujung langit-langit, Siau thi gou mengulurkan tangannya dan menarik tangannya sehingga melayang tiga depa ke samping.

Ternyata di situ terdapat sebuah ruangan berbentuk bulat, di langit-langit ruangan tertera tiga butir mutiara, sekeliling dinding ruangan terdapat enam buah lubang sebesar kepalan yang berfungsi sebagai ventilasi udara,

Pada permukaan lantainya dilapisi perma-dani yang sama tebalnya dengan permadani yang berada di bawah, di sisi kiri bertumpuk selimut tebal yang pada satu bagian merupa-kan lapisan kain sutera sedang pada lapisan yang lain adalah bulu kambing yang berwar-na putih, nampaknya sangat lembut dan halus.

Sambil menjatuhkan diri berbaring di atas lantai, Siau thi gou segera berseru.

"Engkoh giok, tidurlah!"

Sambil berkata dia melemparkan selembar selimut kulit kepada Lan See giok.

Melihat gerak gerik yang polos dan lincah dari Siau thi gou, Lan See giok merasa bocah itu memang rada mirip seperti kerbau kecil, karena itu setelah menerima selimut pembe-riannya dia bertanya sambil tertawa:

"Adik Thi gou, mengapa sih namamu Thi gou atau kerbau baja? Mengapa tidak ber-nama Kim gou (kerbau emas) saja?"

Siau thi gou melototkan matanya bulat- bulat dan menggelengkan kepalanya ber-ulang kali, jawabnya dengan wajah ber-sungguh sungguh:

"Tidak boleh, tidak boleh."

Kemudian sambil menunjuk pada jari ta-ngannya, dia melanjutkan:

"Kongcou ku bernama Kim liong (naga emas), engkongku bernama Gin hou (harimau perak), sedang ayah bernama Tong kou (kuda tembaga) maka aku bernama Thi gou (kerbau baja)"

Lan See giok segera menjadi tertarik se-kali dengan susunan keluarga tersebut, cepat dia bertanya:

"Adik Thi gou, seandainya kau punya anak di kemudian hari, akan kau namakan siapa anakmu itu?"!

"Akan kunamakan Sikou (anjing platina),"

Lan See giok yang mendengar jawaban tersebut menjadi tertegun, sepasang alis matanya segera berkerut, kemudian berkata:

"Adik Thi gou, aku rasa urutan ini kurang sesuai, masa dari emas perak merosot terus menjadi tembaga, besi dan platina, dari naga dan harimau merosot menjadi kuda kerbau lantas anjing, bukankah dengan demikian satu generasi lebih jelek dari generasi beri-kutnya?"

Baru selesai dia berkata, tiba-tiba dari balik sebuah lubang bulat di atas dinding terdengar suara seseorang sedang tertawa cekikikan:

Dengan perasaan terkejut Lan See giok segera berpaling, namun dari balik tutup lubang itu gelap tak bersinar sehingga sulit baginya untuk menentukan dari liang yang manakah suara tertawa tersebut, berasal.

Melihat Lan See giok tertegun, Siau thi gou segera tertawa terbahak bahak sambil ber-kata:.

"Kau jangan bingung, enci Soat yang se-dang tertawa dia seringkali membicara-kan soal kau dengan diriku---"

Belum selesai dia berkata, dari balik liang tersebut, kembali terdengar Si Cay soat ber-seru:

"Adik Thi gou, bila kau cerewet terus, hati-hati besok!"

Mendengar teguran tersebut, Sian thi gou segera menjulurkan lidahnya yang kecil dan segera memejamkan matanya rapat-rapat.

Lan See Giok sendiri hanya bisa meman-dang lubang-lubang angin di atas dinding tersebut dengan wajah tertegun, sebenarnya dia ingin bertanya kepada Siau thi gou, apa saja yang telah diperintahkan To seng cu locianpwe kepada Si Cay soat mengapa pula gadis itu tidak menuruti perintah gurunya malahan mempermainkan dia. tapi setelah mendengar ancaman dari gadis tersebut. diapun tak berani bertanya lebih jauh.

Sementara dia masih termenung, tiba-tiba dari sisi tubuhnya bergema suara orang mendengkur, ketika berpaling. ternyata Siau thi gou sudah tertidur nyenyak.

Dengan perasaan apa boleh buat Lan See -giok segera menggelengkan kepalanya beru-lang ulang kali, dengan cepat dia menarik selimut dan ditutupkan ke atas tubuh sendiri.

Walaupun sudah berbaring, namun se-pasang mata yang belum juga mau terpejam, termangu mangu ditatapnya ke tiga butir mutiara di atas langit-langit ruangan tanpa berkedip, sementara dalam benaknya dipe-nuhi berbagai kejadian yang dialaminya se-lama ini, termasuk kejadian-kejadian yang sama sekali tak pernah diduga sebelumnya...



Kini, segala sesuatunya berjalan dengan lancar, ternyata dia telah mengalami banyak kejadian yang semula dianggap bahaya tahu-tahu berubah menjadi rejeki.

Dari pikiran yang bergolak, pelan-pelan perasaannya berhasil ditenangkan kembali. ditambah pula Siau Thi gou yang berbaring di sisinya telah mendengkur sedari tadi, tanpa terasa diapun tertidur nyenyak.

Perjalanan jauh selama berbulan bulan membuat pemuda ini tak pernah beristirahat dengan perasaan tenang, dia selalu kuatir kotak kecilnya dicuri orang.

Kini setelah beban pikirannya hilang, diapun tertidur dengan nyenyak sekali.

Ketika sadar kembali, Siau thi gou yang semula tidur di sisinya kini sudah tak nam-pak lagi batang hidungnya.

Cepat-cepat dia melompat bangun, ditemu-kan pada dinding ruangan di sisinya bertam-bah dengan sebuah pintu batu yang lebarnya dua depa dan tingginya mencapai langit-langit ruangan.

Lan See giok sungguh tak habis mengerti mengapa setelah mendusin diri tidurnya di sana telah bertambah lagi dengan sebuah pintu batu?"

Setelah melompat bangun dan diperiksa ternyata dinding ruangan telah digeserkan orang, pada bagian tengah pintu batu itu ter-dapat pula sebuah lubang angin yang sama besarnya dengan lubang angin di sisi lain.

Ke luar di pintu dia temukan sebuah un-dak undakan batu menuju ke atas yang en-tah menghubungkan ke tempat mana sedang pada bagian lain terdapat pula sebuah pintu yang lebarnya lebih kurang dua depa.

Dengan perasaan tak habis mengerti dia segera menuju ke pintu yang lain serta melongok ke dalam..

Ternyata ruangan itu hanya berisikan per-madani merah, selimut bulu serta sebuah cermin tembaga putih, bau harum semerbak yang sangat aneh memancar ke luar dari sana.

Tak terlukiskan rasa kaget Lan See giok dengan cepat dia mundur beberapa langkah sepasang matanya dengan cekatan menengok ke kiri dan kanan, sementara wajahnya segera memperlihatkan perasaan menyesal, jantungnya berdebar keras.

Selain itu diapun mengerti, ruangan ter-se-but sudah pasti merupakan kamar tidur Si Cay soat, bila sampai ketahuan gadis itub bahwa dia telajh memasuki kamagrnya, nisca-ya bmartabatnya akan dinilai sangat rendah.

Sebenarnya dia hendak menelusuri undak undakan batu itu untuk melongok ke atas, tapi sekarang ia sudah tak berani sembara-ngan bergerak lagi.

Baru saja dia akan berjalan balik, men-dadak ia mendengar suara teriakan Siau thi gou yang bergema datang secara lambat-lam-bat.

"Enci Soat, cepat kemari, disini terdapat seekor kelinci liar yang amat besar"

Mendengar teriakan itu, Lan See giok tahu Siau thi gou serta, Si Cay soat sedang berada di atas, maka ia segera menelusuri undak undakan batu itu dia berlari ke atas.

Sesudah berbelok ke kiri menikung ke kanan dan bergerak naik terus ke atas, akhirnya sampailah pemuda itu di ujung un-dak -undakan tersebut.

Pada ujung undak undakan itu, dia men-jumpai mulut ke luar berada di belakang se buah meja batu ruangan batu, di dalam ru-ang batu Itu tersedia pula meja bambu dan bangku kayu. namun semua perabot diatur dengan amat rapi.

Lan See giok lari ke luar pintu, dia melihat cahaya matahari telah memancarkan cahaya keemas-emasannya ke empat penjuru, aneka bunga tumbuh subur dimana mana, peman-dangan alam sangat indah dan me-nawan hati.

Rumah batu itu dikelilingi pepohonan siong yang mengitarinya pada jarak tujuh delapan kaki, segalanya kelihatan rapi dan teratur, sedikitpun tidak kelihatan acak-acakan.

Ketika pandangan matanya dialihkan ke sekitar sana, tampak tiga buah puncak bukit menjulang ke angkasa, ternyata di mana ia berada sekarang tak lain adalah dinding te-bing yang terlihatnya se-malam, punggung puncak Giok li hong.

Puncak Giok Ii hong tingginya mencapai ratusan kaki, di sisi kirinya terdapat sebuah air terjun, pemandangan indah sekali.

Menyaksikan kesemuanya itu. tiba-tiba saja Lan See giok merasakan dadanya men-jadi terbuka dan nyaman sekali.

Pada saat itulah, dari balik hutan ber-ku-mandang lagi suara teriakan dari Siau thi gou.

"Enci Soat, disini terdapat seekor kijang kecil--."

Belum habis Siau thi gou berteriak, terde-ngar suara Si Cay soat telah menukas:

"Jangan kita usik dia, mari kibts menangkap ikjan saja di telagga Cui oh?

Menbdengar suara pembicaraan mereka. Lan See giok segera berlarian menuju ke hu-tan itu sambil berteriak.

"Adik Thi gou, tunggu aku---"

Sambil berseru di segera berlarian masuk menuju ke dalam hutan yang terbentang di hadapannya.

Berpuluh puluh kaki dia telah menembusi hutan tersebut, tapi anehnya belum juga pe-muda tersebut berhasil ke luar dari lingku-ngan hutan tadi, kejadian tersebut dengan cepat menimbulkan perasaan-perasaan tak habis mengerti baginya.

Pada saat itulah, tiba-tiba terdengar Siau thi gou sedang memohon dari tempat yang tak jauh darinya.

"Enci Soat, cepat beritahu kepada engkoh Giok, bila guru tahu, kau pasti akan dimaki sebagai si binal lagi!"

Mendengar perkataan tersebut, Lan See giok segera menyadari kalau keadaan di situ kurang beres dengan cepat dia menghentikan gerakan tubuhnya.

Tiba-tiba terdengar Si Cay soat men-dengus dingin, lalu berseru dengan nada tak senang hati:

"Yang dia panggil kan adik Thi gou, Siapa sih yang memanggil aku"

Sekali lagi Lan See giok berpekik di dalam hati:

"Aduh celaka, yaa, mengapa aku lupa me-manggil Si Cay soat? Tidak heran kalau dia menjadi tak senang hati---"

Berpikir demikian, dengan nada minta maaf dia segera berseru. "Adik Soat, Ih--heng segera datang!"

Baru selesai dia berseru, tiba-tiba terde-ngar Siau thi gou sudah berteriak sambil tertawa:

"Engkoh Giok, turuti perkataanku, belok tiga kali ke kiri, belok lima kali ke kanan melihat tujuh jalan serong, berjumpa delapan maju ke depan-"

Lan See giok bukan anak bodoh, begitu peroleh petunjuk dia segera menjadi paham.

Sementara Siau thi gou masih berteriak te-riak dengan suara lantang, Lan See giok su-dah menerobos ke luar dari hutan tersebut.

Waktu itu Siau thi gou sedang berdiri sam-bil memegang seekor kelinci besar, melihat Lan See giok munculkan rdiri, sambil tezrtawa terbahak wbahak ia segerar berseru:

"Nah, itulah dia telah munculkan diri!"

Lan See giok segera berlari mendekat, menarik tangan Siau thi gou dan berterima kasih kepadanya, tapi oleh karena tidak di jumpai Si Cay soat, pemuda itu jadi celingu-kan----

Akhirnya dari jarak tujuh delapan kaki di depan sana, ia saksikan ada sesosok baya-ngan merah sedang berlarian menuju ke arah air terjun dengan kecepatan tinggi.

Sambil menuding ke arah bayangan Si Cay soat, Siau thi gou segera berseru:

"Engkoh giok ayo berangkat, mari kita lihat enci Soat menangkap ikan!"

Mereka berdua segera menyusul dari bela-kangnya dengan gerakan cepat.

Setelah berlarian sekian waktu, Si Cay soat yang sedang berlarian di depan telah menghentikan langkahnya.

Lan See giok tahu, tempat dimana Si Cay soat berdiri sekarang bisa jadi adalah telaga Cui oh, waktu itu si nona sedang membung-kus rambutnya dengan kain merah.

Ketika maju beberapa puluh kaki, lagi dia dapat melihat permukaan telaga yang luas-nya mencapai beberapa bau, airnya berwarna hijau dan beriak terhembus angin, peman-dangan alam di situpun amat indah.

Setelah berjalan mendekat, Lan See giok baru menjumpai tempat dimana Si Cay soat berdiri sekarang adalah sebuah tebing yang tinggi, jarak antara tempat itu dengan per-mukaan telaga paling tidak masih mencapai enam tujuh kaki.

Walaupun dalam hati kecilnya merasa terkejut, namun dia tak lupa menyampaikan salam untuk Si Cay soat, sekarang ia dapat melihat pakaian yang dikenakan Si Cay soat adalah sebangsa pakaian renang yang kulit bukan kulit sutera, namun terbuat dari seje-nis bahan istimewa.

Setelah mengenakan pakaian renang ini, perawakan tubuh Si Cay soat nampak lebih indah, semua lekukan tubuhnya tertera amat jelas, payudaranya yang montok nampak menonjol besar dibagian dada, pinggangnya amat ramping, pahanya berbentuk manis se-dang kakinya terbungkus sepatu kulit ber-warna merah, rambutnya yang panjang juga telah dibungkus kain merah.



Lan See giok benar-benar merasa ter-tegun, ia merasakan pandangan matanya menjadi silau, hatinya berdebar keras dan seolah-olah sedang dihadapkan dengan segumpal api.

Waktu itu Siau Thi gou hanya berharap enci Soat nya bisa menangkap seekor ikan besar, pada hakekatnya dia tidak memper-hatikan mimik wajah Lan See giok, sepasang matanya yang terbelalak lebar di arahkan terus ke permukaan telaga.

Melihat Si Cay soat sama sekali tidak menggubris dirinya. bahkan hanya berdiri di tepi tebing dengan mulut membungkam sa-darlah Lan See giok bahwa gadis itu sedang marah kepadanya.

Setelah tersenyum, dengan suara yang amat ramah pemuda itu kembali menyapa.

"Selamat pagi adik Soat!"

Mendengar sapaan tersebut, Si Cay soat mengerling sekejap ke arahnya dengan pan-dangan indah, kemudian tersenyum.

Pada saat itulah...

Tiba-tiba terdengar Siau thi gou berteriak keras.

"Aaah, seekor ikan Cui oh li (ikan leihi tela-ga cu).. ! "

Baru saja dia berteriak, bayangan merah telah berkelebat lewat, Si Cay soat dengan gaya Hay yan si sui (walet air bermain air) telah menubruk ke arah permukaan telaga.

Gemetar sekujur badan Lan See giok me-li-hat gerakan tubuh gadis itu, tanpa di-sadari dia menjerit kaget:

"Adik Soat, Hati-hati !"

Tampak Si Cay soat menekuk pinggang, sepasang lengannya didayungkan bersama lalu sepasang tangannya ditempelkan satu lama lainnya dan .... "Byuuur!". menceburkan diri ke dalam telaga.

Percikan air segera memancar ke empat penjuru...

Secepat ikan terbang bayangan merah itu meluncur dan menyelam ke dalam air telaga yang berwarna hijau tadi.

Lan See giok harus memasang telinga baik-baik sebelum dapat melihat bahwa kurang lebih dua kaki di depan Si Coy soat benar- benar terdapat seekor ikan besar yang sedang berenang menjauhi dengan gerak gerik yang amat gugup.

Kejar mengejar pun segera terjadi, ombak menggulung kian ke mari, biarpun sedang berenang, ternyata gerak-gerik Si Cay sobat terlihat indjah sekali.

Lang See giok selaibn merasa kagum juga sangat memuji, dia tak menyangka ilmu berenang yang dimiliki gadis itu demikian indah dan sempurna.

Dalam hati kecilnya ia segera memutuskan untuk memohon kepada To Seng-cu locian-pwe selain mempelajari ilmu silat yang ter-cantum- dalam kitab pusaka Pwee yap cin keng, diapun hendak mempelajari ilmu berenang,

Tiba-tiba Si -Cay soat yang berada, dalam air memutar badannya, kemudian pergela-ngan tangannya diayunkan ke depan seren-tetan cahaya perak langsung me-nyambar ke arah ikan besar itu.

Siau thi gou yang menyaksikan kejadian tersebut segera tertawa lebar.

Dengan cepat Lan See giok mengalihkan kembali sorot matanya ke arah telaga, waktu itu cahaya perak telah lenyap. sedangkan ikan besar tersebut sudah berguling di atas air kemudian terapung dengan bagian perut nya menghadap ke atas.

Si Cay soat segera berenang mendekati-nya, lalu sambil mengempit bangkai ikan besar tadi ia berenang ke tepian.

Siau thi gou juga berpaling kearah Lan See giok sambil ujarnya dengan senyum dikulum:

"Ilmu peluru pembelah air dari enci Soat amat tepat dan lihay sekali, betapa pun be-sarnya ikan yang diburu dan betapa cepat nya ikan itu berenang, jangan harap bisa lolos dari tangannya."

Lan See giok mengangguk berulang kali. namun sorot matanya masih ditujukan ke arah Si Cay soat yang sedang menaiki pantai.

Bayangan merah berkelebat lewat dengan menutulkan ujung kakinya di atas tonjolan batu karang, tahu-tahu Si Cay soat telah melompat naik ke atas tebing.

Sambil bersorak kegirangan Siau thi gou segera menyerbu ke depan untuk memeluk ikan besar itu.

Sambil tersenyum manis Si Cay soat me-ngerling sekejap ke arah Lan See giok yang sedang memandangnya dengan perasaan kagum, pelan-pelan dia membuka pengikat rambutnya, rambut yang panjangpun segera terurai ke bawah.

Lan See giok yang menyaksikan kejadian itu segera merasakan hatinya berdebar keras, gerak gerik Si Cay soat memang sungguh terlampau indah.

Tanpa terasa diapun memuji sambbil ter-senyum.j

"Adik Soat, iglmu berenangmu bsungguh amat indah, bila suatu ketika Ih-heng- pun dapat menguasai ilmu tersebut sesempurna kau, tentu akan merasa sangat puas."

Sekali lagi Si Cay soat tertawa manis, tiba-tiba ia menegur:

"Apa sih Ih-heng... Ih-heng terus terusan? Masa lagakmu selalu sok sungkan?"

Merah padam selembar wajah Lan See giok, buru-buru dia mengiakan berulang kali, walaupun kena disemprot. . anehnya dia sama sekali tidak mendongkol.

Dalam pada itu Siau thi gou telah selesai mengikatkan ikan besar dan kelinci besar itu, dengan gembira ia berteriak keras:

"Ayo berangkat, kita harus siapkan san-tapan siang yang paling lezat"

Maka berangkatlah ke tiga orang itu menuju ke hutan.

Setibanya di depan hutan, Lan See giok berjalan mengikuti di belakang Si Cay soat.

Hutan tersebut dalamnya hanya sepuluh kaki, dalam beberapa kali lompatan saja mereka telah menembusi hutan tersebut.

Lan See giok mengikuti di belakang Si Cay soat menuju ke sebuah ruang kecil yang ter-letak di belakang ruangan batu.

Tiba di depan ruangan itu, ternyata di situ letak dapur, semua peralatan dapur tersedia komplit di situ.

Si Cay soat segera membalikkan tubuhnya, lalu kepada Lan See giok dan Siau thi gou ujarnya.

"Engkoh giok menguliti kelinci. Adik Thi gou memotong ikan. aku akan pulang dulu untuk berganti pakaian"

Sembari berkata. dia membalikkan badan menuju ke dalam ruang batu.

Siau thi gou segera mengambil pisau dan mulai membersihkan sisik ikan dan mem-ber-sihkan isi perutnya, cara kerjanya cekatan dan amat terlatih.

Selama Lan See giok mengikuti ayahnya hidup dalam kuburan kuno, diapun sering kali berburu, maka soal menguliti kelinci juga bukan sesuatu pekerjaan yang asing baginya.

Sambil membersihkan ikan, tiba-tiba Siau thi gou bertanya: "Engkoh Giok, apakah kau datang kemari khusus untuk belajar ilmu dari suhu?"

Lan See giok mengangguk, jawabnya de-ngan bersungguh hati:

"Benar, aku datrang kemari atasz petunjuk dari wlocianpwe . . "r

"Sungguh aneh" kembali Siau thi gou me-nukas, "kalau toh tujuanmu belajar ilmu, mengapa kau masih saja memanggil suhu sebagai locianpwe?"

Lan See giok menjadi tertegun menghadapi pertanyaan tersebut, ia segera berhenti bekerja dan bisiknya:

"Adik thi gou, aku belum pernah meng-ang-kat guru, konon kalau hendak melakukan upacara pengangkatan, maka kita mesti menyembah empat kali, apa yang kau laku-kan dulu?"!

"Tanpa ragu Siau thi gou segera menjawab:

"Aku merangkak di atas tanah dan me-nyembah berulang kali . .. "

Belum selesai dia berkata, bayangan merah berkelebat lewat, Si Cay soat yang selesai berganti pakaian telah muncul kembali di situ. agaknya diapun sempat mendengar pembicaraan kedua orang itu, kepada Lan See giok segera ujarnya:

"Engkoh Giok, suhu orangnya ramah dan pengasih, dia tidak terlalu memperhatikan soal tetek bengek, selesai bersantap siang nanti, kau cukup menyembah empat kali di-hadapannya sambil memanggil suhu, aku pikir itu sudah cukup."

Lan See giok memandang ke arah Si Cay soat dengan penuh rasa terima kasih, setelah mengiakan diapun melanjutkan pekerjaan-nya menguliti kelinci.

Mendekati tengah hari pekerjaan memasak pun telah selesai, hidangan segera disajikan, selain ang sio hi, panggang daging kelinci, sayur sayuran, kuah tahu, masih tersedia pula seguci besar arak wangi.



Ketika semuanya sudah siap, Siau thi gou baru berteriak ke arah gua:

"Suhu, silahkan bersantap."

Tak lama kemudian, To seng cu dengan jubah kuningnya telah muncul dari balik gua, senyum ramah masih menghiasi wajah-nya.

Dalam pada itu Si Cay soat telah menuang empat cawan arak, isi cawan bagi dirinya ke-lihatan paling sedikit.

Lan See giok menunggu sampai To-seng-cu sudah duduk, dia baru menjatuhkan diri berlutut dan menyembah empat kali sambil katanya dengan serius.

"Suhu berada di atas, terimalah penghor-matan dari tecu Lan See giok..."

Sambil mengelus jenggotnya To seng cu tertawa terbahak bahak, ditatapnya pemuda itu dengan ramah, lalu ujarnya tersenyum.

"Anak giok, ayo cepat bangun!"

Walaupun Siau thi gou kelihatan agak bodoh, akan tetapi diapun dapat melihat kalau gurunya sedang amat gembira pada hari ini.

Lan See giok segera bangkit dan duduk di samping Siau thi gou, sedang Si Cay soat yang hendak membuat gembira gurunya mengambil cawan arak dan berseru kepada To seng cu sambil tertawa.

"Suhu, Soat-ji menghormati secawan arak untukmu, kionghi kau orang tua telah me-nerima seorang murid baru."

`To seng-cu tertawa terbahak bahak.

Haaahhh...haaahhh...haaahhh....budak binal, bukankah kau pun termasuk murid suhu yang baik?"

Diangkatnya cawan arak dan diteguk de-ngan lahap.

Siau thi gou turut mengangkat cawan araknya, suasana riang gembira segera me-nyelimuti seluruh ruangan.

Ketika To seng cu mencicipi Ang sio hi, dia memuji tiada hentinya atas kelezatan hida-ngan tersebut.

Tergerak hati Lan See giok, dia segera teri-ngat kembali dengan ilmu berenang yang di-miliki Si Cay soat, maka menggunakan ke-bsempatan tersebjut segera ujarngya dengan hormabt.

"Suhu diantara lima cacad dari tiga telaga, tecu sudah mendapat tahu kalau si Tongkat besi berkaki tunggal berdiam di benteng Pek hoo cay, si beruang berlengan tunggal ber-diam di bukit Tay ang san, sedang si manusia buas bertelinga tunggal Oh Tin san bercokol di benteng Wi-lim-poo yang dikitari telaga phoa yang oh, tecu rasa dua manusia cacad lainnya pasti berdiam pula di atas telaga. . .""

Sebelum Lan See giok menyelesaikan kata katanya, sambil mengelus jenggot To seng cu segera menyela.

"Benar, si Setan ganas bermata tunggal yang terhitung paling garang, ia berdiam di Lim lo pah, orang ini termasuk yang memiliki daya pengaruh terbesar antara rekan-rekannya, sedang si binatang bertanduk tunggal yang berilmu silat paling lemah tapi berotak paling cerdas itu, berdi-am di telaga Pek toh oh, ia telah ditotok mati oleh serga-pan Oh tin san sehingga tak perlu dikuatir-kan lagi, diantaranya aku kira yang patut diperhitungkan kekuatan nya adalah si raja ganas dari telaga Tong Ting oh, si Setan ga-nas bermata tunggal Toan Ci tin tersebut.

Lan See giok berkerut kening, lalu berkata dengan sedih.

"Dari lima manusia cacad di tiga telaga, tiga diantaranya menjagoi di atas telaga, padahal anak Giok tidak mengerti ilmu berenang, bila hendak menyelidiki jejak mereka rasanya sukar sekali, mohon suhu bersedia mewariskan pula ilmu berenang kepada anak giok".

To seng cu segera mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak bahak, sa-hutnya dengan gembira:

"Berbicara soal ilmu berenang, dalam dunia persilatan tiada orang yang bisa menandingi kehebatan Hu-yong siancu, se-balik nya berbicara dari tingkat muda, orang yang berilmu berenang paling tinggi adalah enci Cian mu, sedangkan ilmu berenang dari adik Soat mu berasal dari ajaran si naga sakti pembalik sungai, suhu sendiri sama sekali tidak menguasai kepandaian tersebut.

Setelah berhenti sejenak, dia memandang kearah Si Cay soat yang sedang cemberut dan tidak senang hati itu, kemudian me-lan-jutkan sambil tertawa:

"Namun, bila kau memang berniat untuk mempelajari kepandaian tersebut, tak ada salahnya untuk minta kepada adik Soat mbu untuk mengajajrkan dasar dasagrnya, sampai sib naga Sakti pembalik sungai datang ke Hoa San, barulah kau minta pelajaran secara langsung kepadanya---"

Lan See giok yang mendengar perkataan tersebut menjadi sangat gembira, ia segera bangkit meninggalkan tempat duduknya dan menjura kepada Si Cay soat sambil serunya:

"Adik soat, kalau begitu Ih-heng meng-u-capkan banyak terima kasih dulu kepadamu,"

Dalam hati kecilnya Si Cay soat me-rasa kegirangan, dia segera bangkit dan balas memberi hormat, pikirnya:

"Hmm, mulai hari ini pasti akan seperti Siau thi gou, selalu menuruti petunjukku."

Sebaliknya diluaran dia berkata dengan tenang:

"Engkoh giok, harap kau jangan berbuat demikian, siau moay tak berani menerima-nya."

Kemudian sengaja dia menengok ke arah To-seng-cu dan berkata kembali:

"Suhu, engkoh Giok kan sudah mempunyai enci Cian yang sangat lihay dalam ilmu berenang. bila soat ji memberi pelajaran dulu kepada engkoh giok, jangan-jangan ada orang yang merasa tak senang hati..."

To seng cu cukup mengetahui akan kebi-nalan muridnya ini, sekalipun demikian dia ,juga tahu kalau sesungguhnya gadis ini amat ramah dan berhati mulia, diapun sadar bahwa gadis ini diam-diam merasa tak puas dengan ilmu berenang yang dimiliki Ciu Siau cian, maka setelah tertawa geli katanya:

"Tidak mungkin, tidak mungkin, bila Ciu Siau-cian merasa tak puas kau dan anak giok bisa minta pelajaran bersama dengan-nya!"

Si Cay soat adalah seorang gadis yang pintar dan cekatan, walaupun ia tahu bahwa gurunya sengaja menggoda, tapi diapun mengerti, andaikata ilmu berenang yang di-miliki Ciu Siau-cian tidak lebih sempurna daripada kepandaiannya, tak mungkin guru nya akan berkata demikian:

Oleh sebab itu dengan nada tak percaya dia berkata dengan bersungguh sungguh:

"Suhu, benarkah ilmu berenang yang di-miliki enci Ciannya engkoh giok masih jauh lebih hebat daripada si naga tua pembalik sungai?"

To seng cu tahu kalau Si Cay soat telah memahami maksudnya, sambil tersenyum ia segera menjawab:

"Kalrau Thio loko muz mengandalkan twenaga dalamnya ryang sempurna, maka enci Cian- mu lebih mengandalkan gerakan tubuhnya yang lihay dan luar biasa, terutama sekali ilmu pedang di dalam airnya, sungguh cepat nya luar biasa, bahkan tidak kalah sempurna nya dari ilmu berenang yang dimiliki ibu nya.

Berbicara sampai di situ, dia memandang sekejap ke tiga orang muda mudi dengan pandangan penuh kasih sayang . . .

Kejut dan girang menyelimuti seluruh wa-jah Lan See giok, dia seperti tidak percaya kalau enci Ciannya yang begitu lembut, tenang dan cantik jelita bak bidadari dari kah-yangan, ternyata memiliki ilmu berenang yang jauh lebih hebat dari pada si naga pem-balik sungai.

Si Cay soat sendiri tentu saja percaya seratus persen atas perkataan dari gurunya, suatu perubahan aneh segera menghiasi paras mukanya, dia seperti ingin secepatnya dapat bertemu dengan Ciu Siau cian.

Hanya Siau thi gou seorang yang tidak menaruh perhatian khusus atas persoalan ini namun perkataan dari gurunya juga tak be-rani tidak didengarkan, dengan membelalak-kan sepasang matanya dia awasi gurunya tanpa berkedip, meski begitu dia pun tidak lupa untuk melalap daging dan ikan yang di-hidangkan dihadapannya.

To seng cu memandang sekejap ke tiga murid kesayangannya, ia merasa amat gem-bira terutama setelah menerima Lan See giok, dia merasa kepandaian silatnya bakal ada yang mewarisi.

Maka sambil menengok ke arah Si Cay soat, katanya lebih lanjut dengan mengan-dung arti mendalam:

Soat ji, bila kau bertemu dengan Ciu Siau cian lain waktu, panggillah lebih banyak enci kepadanya, suhu jamin pasti ada keuntu-ngan bagimu."



Si Cay soat mengangguk berulang kali, senyum kegirangan kembali menghiasi wa-jahnya, sifat ke kanak kanaknya juga sangat menonjol dimukanya.

Sementara itu, Lan See giok merasa gem-bira sekali karena gurunya To seng cu me-muji kehebatan enci Cian nya. di dalam hati kecilnya dia lantas berjanji, bila ia berhasil mempelajari ilmu silat yang tercantum dalam kitab Hud bun pwe-yap cinkeng tersebut, dia akan mewariskan kembali kepandaian terse-but kepada encinya agar gadis itu menjadi seorang pendekar wanita yang tiada keduanya di dunia ini.

Membayangkan kesemuanya itu, tanpa terasa dia tertawa. sinar matanya turut ber-kilat-kilat, To seng cu adalah seorang jagoan nomor wahid yang amat disegani orang di dalam dunia persilatan dewasa ini, walaupun usianya sudah mencapai seratus tahun, na-mun hatinya ramah dari orangnya saleh, setiap orang yang berhubungan dengannya pasti akan menaruh hormat dan sayang kepadanya.

Ketika ia menangkap sinar berkilat dari balik mata Lan See giok, orang tua itu segera mengetahui kalau si bocah lagi memikirkan suatu kejadian yang meng-gembirakan hati-nya.

Maka setelah meneguk araknya, dia ber-tanya sambil tertawa.

"Anak giok, persoalan apa sih yang sedang kau bayangkan? Mengapa kau nampak kegi-rangan?"

Lan See giok tidak menduga kalau guru-nya akan mengajukan pertanyaan seperti itu, dia menjadi tergagap, mukanya memerah dan segera memperlihatkan perasaan tidak tenang.

Melihat pemuda itu tidak berusaha untuk membohonginya, senyum gembira sekali lagi menghiasi wajah To Seng cu.

Si Cay soat memang gadis yang pintar, ia segera cemberut dan sambil mendengus kalanya agak cemburu:

"Apa lagi? Tentu sedang membayangkan enci Cian nya yang lihay dalam ilmu berenang!"

BAB 14

LAN See giok tidak menyangka kalau Si Cay soat bakal membongkar rahasia hatinya secara blak blakan, ia terkejut dan wajahnya segera berubah, buru-buru seru-nya kepada To seng cu:

"Anak giok tidak becus, dihadapan suhu memang masih teringat enci Cian, harap suhu sudi memaafkan ketidak tahuan anak giok!"

Si Cay soat maupun Siau thi gobu jadi melongo,j mereka tidak hgabis mengerti abpa sebabnya Lan See giok menunjukkan wajah gugup, dengan sorot mata yang bimbang tiada hentinya mereka awasi Lan See giok dan To seng cu secara bergantian, agaknya mereka berusaha mencari tahu masalah apakah yang membuat pemuda itu demikian gugupnya?

To seng cu juga tidak berkata kata. Ia me-neguk habis isi cawannya. lalu sambil me-nyodorkan mangkuk kosong itu ke hadapan Sian thi gou yang masih tertegun. kata-nya dengan suara rendah dan berat,

"Gou- ji. penuhi cawanku ini! "

Sementara itu, walaupun Si Cay soat juga dibuat kebingungan, namun dia dapat meli-hat bahwa suhunya sedikit tak bisa mengen-dalikan rasa gembiranya, sudah jelas guru-nya sedang merasa kegirangan setengah mati.

Siau thi-gou segera memenuhi cawan gu-runya dengan arak dan mengangsurkan kembali ke atas meja To seng cu, kembali ke hadapan gurunya.

Setelah menerima cawan dan meletakkan kembali ke atas meja, To seng cu kembali berkata dengan wajah serius:

"Selama berada dihadapan guru, berpikir-an cabang dan menjawab secara ngawur perta-nyaan guru, hal ini merupakan pantangan terbesar bagi dunia persilatan, yang ringan, pelanggarannya akan peroleh hukuman, yang berat akan dikeluarkan dari perguruan, anak giok, kau masih muda tapi setia dan seder-hana, sungguh tidak kecewa kuterima dirimu sebagai murid!"

Selesai berkata, dia meneguk araknya sampai habis.

Lan See giok terharu sekali oleh perkataan itu, sekali lagi dia memberi hormat sambil berkata:

"Anak giok bodoh, mungkin hanya akan menyia nyiakan harapan suhu saja!

To seng cu meneguk setengah cawan arak lagi, kini gejolak emosinya telah mereda, melihat di atas wajah pemuda itu tidak ter-lintas perasaan bangga, katanya kemudian lengan ramah:

"Anak giok, duduklah suhu tidak akan menyalahkan dirimu lagi- - -"

Sambil berkata, dia membuat gerakan de-ngan mempersilahkan pemuda itu duduk.

Lan See giok segera mengiakan dengan hormat dan duduk, Si Cay soat pun merasa gugup dan panik. ia benar-benar tak me-nyangka kalau perbuatannya bakal segawat itu, terbayang kembali ketika ia membongkar rahasia hbati Lan See giojk, saking menyegsal-nya dia sambpai menundukkan kepalanya rendah--rendah.

Namun dia bisa menduga, dengan tenaga dalam gurunya yang begitu sempurna serta ketebalan imannya yang mengagumkan, toh tak mampu mengendalikan gejolak emosi-nya, hal ini menandakan betapa gembira nya orang tua itu setelah mendapatkan Lan. See giok sebagai muridnya.

Siau thi gou orangnya ramah den polos, meski ia tidak mengerti apa gerangan yang terjadi, namun dapat terasa olehnya kalau enci Soat maupun engkoh giok nya sama-sama telah melakukan kesalahan besar.

To seng cu sangat gembira, setelah me-mandang sekejap ketiga orang bocah itu un-tuk mengurangi perasaan tak tenang dalam hati mereka, maka ujarnya kemudian sambil tersenyum.

"Sekarang, aku akan mengisahkan kembali peristiwa pada sepuluh tahun berselang ketika kitab cinkeng itu lenyap, agar kisah tadi bisa menambah pengetahuan kalian se-mua."

Mendengar perkataan itu, muda mudi ber-tiga itu segera meletakkan kembali sumpit nya dan bersama sama memandang ke arah guru mereka>

Sambil tertawa ramah To seng cu segera berkata:

"Kalian boleh mendengarkan sambil makan dan minum."

Kemudian setelah meneguk seteguk arak dan termenung beberapa saat, dia pun mulai bercerita.

"Sepuluh tahun berselang, di dalam kala-ngan hitam terdapat lima orang jago lihay, mereka adalah lima cacad dari tiga telaga yang termasyhur sekarang, entah dari mana mereka peroleh kabar ternyata orang- orang itu mendapat tahu kalau aku memiliki sejilid kitab pusaka ilmu silat yang amat hebat."

"Kemudian, berkumpullah mereka me-rundingkan bagaimana cara mencuri kitab tadi dan kemudian mempelajarinya ber-sama sama.

"Dasar bangsa kurcaci, walaupun mereka telah memutuskan bersama, toh dihati kecil masing-masing masih saja saling curiga men-curigai. namun untuk menghindari perhatian orang, secara terpisah mereka datang ke Hoa San dan berkumpul di bawah bukit sambil berunding bagaimana caranya mengamati gerak gerikku.

"Justru persoalran menjadi berazntakan aki-bat wsuatu kebetulanr, pada waktu itu aku se-dang bersemedi di dalam gua, mendadak kudengar suara golok sedang mengukir batu di depan dinding gua . . . "

Tergerak hati Lan See giok setelah mendengar perkataan itu, dia tahu yang di maksudkan gurunya, sudah pasti bait-bait syair yang terpampang di atas dinding di mulut gua tersebut, hanya saja ia tidak habis mengerti siapakah perempuan tersebut.

Setelah meneguk araknya setegukan, To seng cu berkata lebih jauh:

"Tergerak hatiku waktu itu sehingga segera munculkan diri, namun untuk menghindar mulut guaku ketahuan orang luar, aku tidak membuka pintu secara langsung, sampai orang itu sudah pergi jauh, barulah kubuka pintu gua dan ke luar. . ."

Lan See giok kembali merasa tidak habis mengerti, mengapa ia tidak menjumpai "pintu gua" ketika memasukinya semalam, tapi kalau menurut pembicaraan suhu pintu gua tersebut pasti tersembunyi di balik dinding gua sehingga tidak terlihat sama sekali.

Dalam pada itu, To seng cu telah berkata lebih jauh:

"Menanti suhu sampai di pintu depan, orang itu sudah pergi hingga tak terlihat lagi, kubaca sebentar bait syair di dinding gua itu lalu menembusi hutan tho dan me-ngejar ke luar lembah, tak lama kemudian kusaksikan seseorang sedang berlarian dengan cepat, menanti kususul lebih dekat, baru kuketahui kalau orang itu adalah Hu-yong siancu Han sin wan . . .

Tergetar perasaan Lan See giok, tanpa terasa serunya kaget: "Aaah . . dia . . . dia adalah bibi Wan . . . . ?"

"Benar, orang yang mengukir tulisan di de-pan gua tak lain adalah bibi Wanmu."

"Suhu, masalah pedih apakah yang dialami bibi Wan sehingga dia merasa begitu sedih?" tanya Lan See giok dengan perasaan tidak habis mengerti.

Tong seng cu berkerut kening seakan -akan enggan menjawab pertanyaan itu, kemudian katanya sambil tersenyum.

"Masalah ini menyangkut hubungan antara orang tuamu dengan bibi Wan, aku sendiri juga kurang tahu sehingga lebih baik tak usah kuterangkan di sini, tak ada salahnya bila kau tanyakan sendiri kepada bibimu di kemudian hari, mungkin dia akan mencerita-kan pengalamannya kepada mu. "

Melihat gurunya enggan menjawab, sudah barang tentu Lan See giok tak berani ber-tanya lebih jauh, terpaksa dia mengiakan berulang kali.

Tampaknya Siau thi gou memperhatikan sekali masalah tercurinya kitab cinkeng itu, dengan gelisah tiba-tiba dia menyela:

(Bersambung ke Bagian 18)

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar