Anak Berandalan Bagian 05

Baca Cersil Mandarin Online: Anak Berandalan Bagian 5
Anak Berandalan Bagian 5

Siauw Cap-it-long membalikkan kepala. Dengan sepasang matanya yang bersinar bening, memperhatikan gerak-gerik nyonya itu. Suatu cegahan halus agar Sim Pek Kun tidak meneruskan usahanya yang hendak bangkit meninggalkannya.

Satu komplotankah dia dengan Siao Kongcu tadi ?

Sim Pek Kun memindahkan sebelah kakinya yang tidak terluka.

Lagi-lagi Siauw Cap-it-long membentak :

“Jangan bergerak. Atau kau harus menjalankan operasi kaki, dengan lenyapnya alat gerak jalan itu.”

Dibentak pulang pergi seperti itu, Sim Pek Kun menjadi naik darah, dia membalas dengan suara keras :

“Hm... Terima kasih atas perhatianmu. Kau tidak kenal kepadaku. Aku juga tidak kenal kepadamu. Masing-masing tidak saling mengenal. Mengapa harus turut campur patah atau tidaknya sepasang kakiku ?”

Hanya dengan mempergunakan sebelah kaki yang baik, Sim Pek Kun meninggalkan tempat pembaringan rumput.

Siauw Cap-it-long tertawa. Tertawanya aneh sekali, tidak mengandung cegahan juga tidak mengandung cemoohan. Seolah-olah mengatakan terserah kepada kemauanmu.

Betul-betul Sim Pek Kun berusaha meninggalkan kelenteng rusak yang kecil dan engap itu, dia tidak betah sekali.

Hanya berlompat satu langkah, terasa rasa sakit yang tidak terhingga.

Toh Sim Pek Kun keras kepala, dia masih memaksakannya. Siauw Cap-it-long tidak mencegah lagi. Dan membiarkan nyonya itu meninggalkan kelenteng.

Dengan wajah asam cembetut, Sim Pek Kun meninggalkan kelenteng. Dia sangat marah atas perlakuan Siauw Cap-it-long yang dianggap terlalu kurang ajar, apalagi memandang sepasang mata laki-laki liar itu, lebih-lebih kurang ajar lagi. Karena itulah dia harus pergi cepat-cepat.

Seumur hidup Siauw Cap-it-long belum pernah dia memaksa atau menekan seseorang.

Dan dimalam ini, dia tidak memaksa Sim Pek Kun melakukan sesuatu.

Dikala Sim Pek Kun meninggalkan pintu kelenteng, Siauw Cap-it-long merasa geli sekali.

Setiap orang menyebut kecantikan nyonya Lian Seng Pek tanpa tandingan, disertai dengan pujian pujian lain, seperti arif bijaksana, manis budi, tidak pernah marah, ramah tamah, dan kata kata lainnya.

Belum pernah ada orang yang melihat Sim Pek Kun merengut.

Dan kini, Siauw Cap-it-long dapat menyaksikan wajah yang asam cembetut itu. Lebih cantik dari sesuatu wajah yang tertawa atau membawakan sikapnya yang biasa.

Tentu saja dianggap sebagai sesuatu kejadian yang menyenangkan.

Dan Sim Pek Kun sudah lenyap dimalam gelap.

Bercerita Sim Pek Kun yang berjalan dimalam gelap, dia hanya bergerak dengan sebelah kaki yang tidak pincang, caranya sangat lucu sekali, toh dia tidak tertawa. Rasa sakit dan nyeri yang tidak terhingga merangsang dirinya. Diusahakan sedapat mungkin, agar dia dapat melepas dari pengawasan laki-laki kurang ajar itu.

Akhirnya dia bersender pada sebuah pohon, setelah dipikir ulang, dia merasa heran atas sikap yang sudah dibawakan.

Mengapa dia marah kepada seseorang yang belum dikenal ?

Dengan alasan apa dia marah kepada laki-laki itu.

Dimisalkan orang tersebut tidak bermaksud baik, sudah lama dia celaka. Rasa takutnya yang tidak terhingga membuat dia jatuh pingsan, terlalu lama dia tidak sadarkan diri. Itulah suatu kesempatan untuk melakukan perbuatan yang kurang ajar kepada dirinya.

Dan laki-laki itu tidak melakukan hal tersebut.

Mengapa dia harus marah kepadanya ?

Apalagi, mengingat kedudukan dirinya. Setelah mengalami gangguan si anak laki-laki kecil yang binal dan jahat itu, dia jatuh pingsan dan kemudian berada didalam sebuah kelenteng rusak.

Tentunya telah ditolong oleh laki-laki yang mempunyai sepasang mata kurang ajar itu.

Laki-laki yang mempunyai sepasang mata kurang ajar adalah didalam anggapan Sim Pek Kun, didalam hal ini, Siauw Cap-it-long yang dimaksudkan olehnya.

Angin menderu-deru, semakin keras dan semakin dingin.

Ditempat udara bebas tidak ada api unggun yang Siauw Cap-it-long pasang, lenyaplah semua rasa hangat dari api tersebut.

Sim Pek Kun menyelubungkan dirinya menjadi satu ringkelan kecil yang rapet, hampir dia tidak tahan menerima siksaan seperti ini.

Sebelah kaki yang terluka, inilah luka yang disebabkan oleh senjata rahasia beracun dari Siao Kongcu, perlahan demi perlahan, kaki ini mulai sakit kembali. Bagaikan ditusuk-tusuk oleh ribuan jarum kecil, penderitaannya bertambah semacam lagi.

Akhirnya kaki inipun membeku.

Sim Pek Kun menggigit bibir. Dia diam dibawah pohon itu.

Sim Pek Kun dibesarkan dan hidup didalam keadaan serba mewah, belum pernah dia hidup seorang diri.

Kini dirasakan sakit sekali, sengsara sekali.

Air mata mulai berjatuhan dari sepasang kelopak panca indranya itu.

Mau sekali dia menangis menggerung-gerung.

Dimalam gelap, didalam keadaan angin udara berkuasa dijagat raya, mungkinkah dia harus menangis seperti anak kecil ?

Sim Pek Kun bertahan sedapat mungkin.

Akhirnya dia berjongkok dan menangis sesenggukan.

Tiba tiba .....

Satu tangan menepuknya perlahan, sangat perlahan sekali, seolah-olah takut mengejutkan si nyonya cantik jelita itu.

Biar betapa perlahanpun tepukan tangan itu, biar selembut mungkinpun datangnya tepukan tangan itu, tetap mengejutkan si nyonya Lian Seng Pek.

“Aaaaaa......” Sim Pek Kun terlompat kaget.

“Aduh.....” Rasa sakitnya dikaki menyerang kembali.

Dikala dia menoleh, terlihatlah sepasang sinar mata yang sangat bening dan bercahaya, itulah sepasang sinar mata Siauw Cap-it-long yang dianggap kurang ajar.

Dilain tangan Siauw Cap-it-long sudah membawa semangkuk berisikan wedang panas yang masih mengepul berasap.

“Minumlah !” Disodorkannya kedepan sangat perlahan. “Kujamin tidak mengandung racun.”

Sim Pek Kun balas memandang laki-laki petualang itu. Sinar mata nyonya Lian Seng Pek tidak kalah terangnya, tidak kalah beningnya, dan didalam penilaian jenis kelamin lain, sinar mata inipun sangat menantang, sangat kurang ajar.

Dua pasang mata beradu didalam keadaan gelap gulita.

Tanpa disadari olehnya, Sim Pek Kun menyambuti mangkuk wedang panas itu.

Uap panas yang disemburkan oleh wedang itu membawakan rasa hangat yang tidak terhingga.

Inilah kasih sesama manusia.

Air mata Sim Pek Kun menetes jatuh didalam mangkuk wedang panas itu.

Teessss......

SEPATU SEORANG WANITA.

Kembali ketempat kelenteng kecil, sempit, rusak dan bobrok itu.

Tidak ada perubahan sama sekali.

Sim Pek Kun terbaring di tempat tumpukan rumput kering, sebelah kaki nyonya itu semakin besar, membengkak keras. Senjata rahasia Siao Kongcu terlalu jahat.

Siauw Cap-it-long bertengger di depan tumpukan pembakaran kayu.

Api bernyala merah. Lidah api bermain kian ke mari.

Angin masih bertiup keras.

Sim Pek Kun memeramkan matanya, terkenang kembali kejadian yang baru saja dialami.

Belum pernah dia mengucurkan air mata. Di mana pun, belum pernah dia menjatuhkan butiran bening si panca indra.

Kini, baru saja dia menangis di depan seorang laki-laki asing yang baru saja dikenal di tengah jalan.

Dia tidak berani memandang Siauw Cap-it-long, dan menjadi gelisah di tempatnya.

Siauw Cap-it-long membuka suara:

“Tidurlah. Dimisalkan kau mau pergi juga, sebentar lagi toh sudah pagi, tunggu sampai hari terang, baru kau boleh berangkat.....”

Suara ini sangat berpengaruh, seolah-olah kena sirap, Sim Pek Kun tertidur.

Rumput kering yang ditumpuk di tempat itu sangat keras, mengandung bau busuk yang tidak sedap.

Setelah Sim Pek Kun lelap tidur, semua tidak dirasakan olehnya.

Siauw Cap-it-long masih tetap bercokol di depan tumpukan kayu-kayu api.

Tanpa membikin persiapan kepada adanya laki-laki itu, Sim Pek Kun dapat tertidur. Dia sangat percaya kepada Siauw Cap-it-long, tidak mungkin laki-laki itu mengganggu dirinya. Karena itulah, dia cepat menjadi pulas.

Di bawah pengawasan Siauw Cap-it-long, segala sesuatu pasti menjadi beres.

Setiap orang bisa tidur tenang.

Hembusan angin meniup pergi malam gelap, hari menjadi pagi.

Di kala Sim Pek Kun bangun dari tidurnya, angin malam sudah berhenti kerja, api unggun masih belum padam, kayu-kayu baru sudah bertumpukan di atasnya, itulah hasil perbuatan Siauw Cap-it-long.

Dan laki-laki aneh itu sudah tidak berada pada tempatnya yang semula.

Mungkinkah sudah pergi tanpa pamit?

Mengikuti perkembangan tari-tarian lidah api, Sim Pek Kun merasa sangat gundah sekali. Seperti kehilangan sesuatu yang tidak bisa disebut atau diartikan dengan kata-kata.

Dia seperti ditipu, dia seperti ditinggalkan pergi oleh orang yang terdekat.

Begitu baikkah Siauw Cap-it-long kepadanya?

Sim Pek Kun tidak tahu.

Dia belum tahu nama dari laki-laki kasar itu, mengapa boleh begitu mempercayakan dirinya?

Laki2 itu mempunyai hak kebebasan untuk meninggalkannya seorang diri. Tidak ada kewajiban untuk menjaga sampai pagi. Tidak perlu meminta ijin darinya lagi.

Dikala Lian Seng Pek pergi, sang suami itupun tidak perlu meminta izinnya.

Apalagi seorang asing yang belum dikenal nama?

Dengan alasan apa, dia harus mengekang kebebasan orang?

Pikiran Sim Pek Kun sangat kacau sekali, bingung gundah gulana.

Sayup sayup.....

Terdengar suara lagu sedih yang pernah dibawakan oleh laki2 asing itu.

Mata Sim Pek Kun bercahaya terang, semangatnya segar kembali.

Laki2 yang mempunyai sinar mata kurang ajar itu belum pergi. Belum meninggalkan dirinya.

Semakin lama, lagu itu semakin jelas. Siauw Tjap it long sedang berjalan datang.

Rasa hangat yang mengarungi kelenteng itu dirasakan semakin tebal.

Adanya rumput kering berbau busuk, adanya kelenteng kecil yang sempit tidak berbenak lagi.

Dan ini waktu, Siauw Tjap it long berjalan datang, memasuki pintu kelenteng. Tangan kiri laki2 itu menenteng ember kayu, sedangkan tangan kanannya membundel seikat obat2an yang tidak dikenal.

Langkahnya laki2 itu sangat lincah sekali, dan sudah berada didepan Sim Pek Kun.

“Selamat pagi!” Sim Pek Kun memberi ucapan salam kepadanya.

“Kukira sudah cukup siang” Jawaban Siauw Tjap it long urang simpatik.

Sim Pek Kun kebogehan.

Siauw Tjap it long meletakkan tentengannya, hanya melirik sebentar dan melakukan sesuatu.

Sim Pek Kun membuka mulut, katanya:

“Atas kejadian semalam itu, aku....”

Terasa kembali kejadian yang sudah berlangsung, selembar wajah Sim Pek Kun menjadi merah jengah.

Dia menyambung kata2nya:

“Atas kejadian itu, aku meminta maaf atas bantuanmu, sudah pasti harus kubalas dan kuingat....”

Siauw Tjap it long mengeluarkan suaranya yang sangat dingin:

“Aku tidak mengharapkan balasan. Jangan kau ingat2 kembali urusan itu.”

Sim Pek Kun tertegun. Sikap yang dibawakan oleh laki2 kasar ini berada diluar dugaannya.

Tidak sedikit laki2 yang dikenal oleh Sim Pek Kun, rata2 itu membawakan sikap yang sopan, sangat hormat dan menaruh harga diri didepannya.

Hanya laki2 inilah yang sangat berandalan, sangat kurang ajar, selalu menentang kata2nya.

Manusia normalkah orang ini?

Sim Pek Kun memperhatikan segala gerak gerik Siauw Tjap it long. Dia hendak menemukan sesuatu sifat laki2 ini yang mempunyai ciri2 lain daripada orang lain.

Siauw Tjap it long sudah meletakkan ikatan obat yang baru saja dipetik, kemudian membawa ember kayu yang berisikan air itu langsung menuju ketempat perapian.

Diatas tumpukan kayu bakar, diatas api yang masih berkobar, terpasang empat buah cagak keramik, dengan kawat2 yang tidak mudah terbakar, dibawah kerangka itu tergantung kuali besi.

Inilah kuali besi yang pernah memasak air dimalam hari.

Wedang panas itu dihasilkan dari kuali ini.

Satu malam suntuk sang kuali diberi pemanasan yang terus menerus, karena itu airnyapun sudah kering.

Kuali itu membara panas, warnanya berubah menjadi merah.

Siauw Tjap it long mengangkat ember kayu itu, dan langsung menuangkan airnya.

Tjeeesssss........

Dengan air dingin yang diruang kekuali panas mengejutkan hati Sim Pek Kun.

Laki laki apakah yang sedang dihadapi olehnya?

Dia memperhatikan Siauw Tjap it long memasak air.

WANITA SUCI DAN LAKI2 BERANDALAN

Siauw Tjap it long menurunkan ember kayunya, kini dia mulai memasak air. Dia duduk didepan api pemanasan itu, dan menunggu mendidihnya air yang dimasak.

Sim pek Kun semakin tertarik.

Siapakah laki2 ini?

Dia tidak kenal kepada Siauw Tjap it long, karena itu mempunyai dugaan seperti diatas.

Dia adalah seorang laki laki yang sangat aneh, laki laki gagah perkasa yang pernah dijumpai, laki2 berandalan yang tidak kenal aturan dan laki2 kasar yang tidak tahu perasaan wanita.

Kelenteng ini seperti sangat menyenangkannya, mungkinkah seorang laki2 gelandangan? Mungkinkah dia menetap didalam kelenteng ini? Rahasia apakah yang menyelubungi dirinya? Mengapa dia tidak mau menyebutkan namanya?

Tentu saja Sim Pek Kun tidak tahu bahwa laki2 yang berada didepannya itu adalah Siauw Tjap it long yang ternama, juga berandalan yang sedang mau ditantang oleh suaminya.

Lian Seng Pek mencari Siauw Tjap it long dilain tempat, tentu saja tidak berhasil menemukannya.

Siauw Tjap it long sedang bermalam disebuah kelenteng rusak dengan istrinya.

Siauw Tjap it long tidak pernah memandang Sim Pek Kun secara meneliti, dia takut kepada kecantikan wanita itu.

Menunggu masaknya air, Siauw Tjap it long mendengungkan kembali lagunya yang sangat sedih.

Dia tidak memberi perlayanan yang secukupnya kepada sang tamu. Dan tidak menganggap Sim Pek Kun sebagai seorang tamu. Sim Pek Kun dapat merasakan adanya kecanggungan ini. Dia berpikir: “Dia tak mau melayani aku, mengapa aku harus bersama sama dengannya? Mengapa aku harus menetap di dalam kelenteng rusak ini? Tidak ada alasan untuknya mencegah aku pergi dari tempat ini. Aku harus segera kembali”

Siau Cap It Long masih juga melagukan irama yang tak bernada itu. Tidak pernah menoleh kearah Sim Pek Kun, tidak pernah menggubris Sim Pek Kun.

Adanya wanita cantik jelita ditempat itu mungkin dianggapnya sebagai patung hidup saja.

Sim Pek Kun menjadi marah, dia berkata dengan suara keras. “Hei, aku hendak kembali. Namaku Sim Pek Kun, bilamana kau ada waktu, datanglah dirumahku, aku tinggal dikampung Sim kee chung. Disana, aku tidak menyia nyiakan kebaikkan hatimu. Aku wajib memberi balas jasa yang setimpal”

Tanpa menoleh kebelakang, Siau Cap It Long balik mengajukan pertanyaan: “Kau hendak pulang sekarang?”

“Betul” jawaban wanita cantik jelita itu sangat singkat.

“Bisakah kau pulang seorang diri?” bertanya lagi laki laki kasar itu.

Sim Pek Kun memandang kearah kakinya yang membengkak semakin besar, dia mencoba menggerakkan kaki tersebut, tapi tidak berhasil. Bukan saja kaki itu sudah menjadi kaku, dia tidak dapat menguasainya lagi.

Bagaimana dia menjawab pertanyaan laki laki asing tersebut?

Sementara itu air di dalam kuali mulai mendidih.

SIau Cap It Long membuka ikatan ramuan obat obatan yang dibawanya, memilih beberapa macam, dan diseduhnya kedalam kuali yang berisi air mendidih itu.

Dengan memilih serangkai kayu kuat, dia mulai mengolah obat obatan yang dibuat.

Sim Pek Kun masih memaku ditempat dengan sinar mata tertatap pada sebelah kakinya yang seperti kaki gajah bengkak.

Belum pernah Sim Pek Kun menyembah kepada orang, belum pernah Sim Pek Kun meminta pertolongan kepada orang. Tetapi, di dalam hal ini, mau tidak mau dia harus meminta pertolongan dari laki laki yang dianggapnya mempunyai sinar mata kurang ajar itu.

“Aku....aku...” suaranya terdengar agak gemetar. “Aku hendak meminta tolong kepadamu”

“Hmm?!...” Siau Cap It Long hanya mendehem.

“Maukah kau menolong aku mencari sebuah kereta?” berkata lagi Sim Pek Kun.

“Tidak bisa” berkata Siau Cap It Long singkat.

SIm Pek Kun tertegun. “Mengapa?” Ia bertanya heran.

Siau Cap It Long berkata: “Tempat ini terlalu jauh dengan kota, kedudukkannya pun berada dilereng gunung, tidak mungkin ada kereta yang bisa naik ketempat ini”

Sim Pek Kun bingung, kemudian berkata: “Tapi.... bagaimanakah aku bisa berada ditempat ini?”

Dengan bersungguh sungguh Siau Cap It Long berkata: “Aku menggendong dirimu”

Selembar wajah Sim Pek Kun berubah menjadi merah, dia merasa sangat malu sekali. Ternyata selagi ia tidak sadarkan diri tadi, Siauw Cap-it-long sudah menggendongnya sehingga tiba di dalam kelenteng rusak yang sempit ini.

Siauw Cap-it-long berkata lagi:

“Kau tak mau kugendong lagi, bukan?”

Sim Pek Kun harus berpikir lama, bagaimana dia membiarkan dirinya digendong Siauw Cap-it-long? Tidak ada lain jalan kecuali menurut kemauannya. Tapi, dia tidak mau pula membiarkan dirinya digendong-gendong oleh orang yang belum dikenalnya.

“Aku...aku.... mengapa kau membawa aku ke tempat ini?”

Siauw Cap-it-long menerangkan:

“Kalau tidak kau kubawa ke tempat ini, lalu hendak dikemanakan? Membiarkan kau terlantar di tengah jalan? Coba kau umpamakan kau menjadi aku. Kau bertemu seekor kucing atau anjing yang terlantar, bisakah kau membiarkan binatang kecil itu menderita begitu saja?”

Wajah Sim Pek Kun semakin pucat, belum pernah dia mempunyai niatan untuk menampar pipi seorang laki-laki, tapi kini ingin sekali ia menampar laki-laki kurang ajar ini. Cuma sayangnya kakinya kini tidak bisa digerakkan lagi. Karena itu, dengan tubuh gemetaran, saking menahan rasa gemasnya, dia menggigil di tempat.

Kini Siauw Cap-it-long sudah bangun berdiri, membalikkan badan dan memandang Sim Pek Kun, sepasang matanya tertatap pada luka di kaki wanita itu.

Sim Pek Kun mulai menaruh curiga, dengan marah ia membentak:

“Apa yang hendak kau lakukan?”

Siauw Cap-it-long tertawa-tawa, kemudian berkata:

“Sedang kupikirkan, bagaimana harus membuka sepatu di kakimu itu?”

“Tidak.....” Sim Pek Kun berteriak keras. Dia menentang hal yang hendak dilakukan oleh laki-laki itu. Mana boleh membiarkan sepatunya dibuka oleh laki-laki yang belum dikenalnya? Sedangkan suaminya sendiripun belum tentu pernah melihat kaki kecil itu.

Terdengar suara ocehan Siauw Cap-it-long:

“Kukira sepatumu tidak bisa dibuka lagi, kecuali menggunakan pisau untuk merusaknya lebih dulu. Kakimu sudah bengkak dan tentu saja akan menimbulkan rasa sakit yang tidak terhingga.”

Dan betul-betul Siauw Cap-it-long sudah mengeluarkan pisau lipatnya.

Sim Pek Kun segera memprotes:

“Apa yang hendak kau lakukan?”

“Mengobati kakimu”

“Aku tidak mau!”

“Kaki itu bisa busuk nanti kalau dibiarkan begitu saja.”

“Aku tidak perduli!”

“Kau...kau.....”

“Mengapa?

“Kau hendak berlaku kurang ajar!”

Siauw Cap-it-long tertawa dan ia berkata:

“Belum pernah aku membuka sepatu seorang wanita. Tapi sekarang, keadaan sudah sangat memaksa sekali.”

Suara Sim Pek Kun menjadi gemetar:

“Ku....kukira, kau adalah laki-laki yang kurang ajar.... betul-betul kau sebagai laki-laki kurang ajar”

Siauw Cap-it-long berkata:

“Aku memang seorang lelaki yang kurang ajar.”

Ciaat... dengan kecepatan kilat Siauw Cap-it-long sudah menggoreskan pisaunya, begitu cepat pula dia sudah melepas sepatu Sim Pek Kun.

“Kalau kau menghendaki turun gunung tanpa digendong, inilah cara penyembuhan satu-satunya yang paling cepat. Aku harus menyembuhkan dulu lukamu.” berkata Siauw Cap-it-long.

Di jaman itu, tak ada laki-laki yang bisa membuka sepatu wanita, kecuali suami sendiri. Sim Pek Kun tidak ada pilihan lain, kecuali menyerah.

Gerakan Siauw Cap-it-long terlalu cepat sekali, sehingga ia tak mampu berbuat apa-apa. Apalagi dalam keadaan begini, di mana kakinya sudah tambah membengkak. Dengan sangat cekatan Siauw Cap-it-long lalu menyediakan air panas di depan Sim Pek Kun.

“Rendamlah kakimu di dalam air ini!” berkata Siauw Cap-it-long. Inilah air yang masih panas mengandung ramuan-ramuan obat yang sudah disediakan.

Sim Pek Kun tidak mempunyai pilihan lain, terpaksa mengikuti segala petunjuk yang diberikan Siauw Cap-it-long.

Sesudah merendam kaki Sim Pek Kun ke dalam air panas itu, Siauw Cap-it-long memilih lain ramu-ramuan obat, dikunyah di dalam mulut, obat itu digigit-gigit olehnya, dan bagaikan seorang nenek yang sedang bersirih, gumpalan obat itu dikeluarkan kembali lalu dipegangnya di tangan.

Sim Pek Kun memeramkan kedua matanya. Perasaan yang ada di hatinya sekarang sesungguhnya belum pernah terpikir olehnya kalau bakal terjadi di tempat ini.

Siauw Cap-it-long mengangkat kaki Sim Pek Kun yang sudah direndam di tempat air panas tadi, dan kini obat yang sudah dikunyah itu diborehkan kepada luka yang ada di kaki si nyonya cantik jelita.

Tidak ada perlawanan, Sim Pek Kun sudah menyerah pada takdir.

Kaki Sim Pek Kun yang kecil halus putih itu, berada dalam tangan Siauw Cap-it-long.

Sim Pek Kun sudah membayangkan pernahkah suaminya melakukan pekerjaan seperti apa yang sedang dilakukan oleh laki-laki asing kurang ajar ini?

Jawabannya sangat singkat:

“Tidak pernah!”

Luka yang diderita Sim Pek Kun sebenarnya tidaklah terlalu parah, hanya seperti disengat oleh semut, atau digigit seekor nyamuk biasa saja, hanya berbintik merah.

Tapi ditempat itulah justru Siao Kongcu telah memberi racun jahat dari senjata rahasianya, maka luka dikaki Sim Pek Kun menjalar hingga ke paha, bengkak membesar sekali.

Sesudah diborehkannya obat ramu ramuan Siauw Tjap-it-long, rasa sakit dan perih itu perlahan lahan mulai lenyap, dimulai dari rasa panas, lalu timbul suatu perasaan yang sangat dingin. Inilah mungkin pengaruh obatnya yang mulai berjalan.

Penilaian Sim Pek Kun, Siauw Tjap it long adalah seorang laki2 liar, laki laki gelandangan yang mempunyai sepasang mata kurang ajar. Karena itu, sejak tadi dia ketakutan sendiri.

Tapi kini terbukti tidak ada kejadian berikutnya. Kalau begitu dia adalah laki2 yang baik!

Siauw Tjap it long sudah selesai mengobati luka dikaki Sim Pek Kun, setelah selesai mengobati ia lalu bangin berdiri meninggalkan wanita itu. Dan duduk tepekur didepan api unggun, membawakan lagu yang entah dipungut dari mana itu, yang bernada penuh kesepian, kesunyian dan kesengsaraan.

Sim Pek Kun sudah membuka mata, dengan suara perlahan dia berkata:

“Terima kasih”

Cepat sekali luka dikakinya yang membengkak itu sudah mulai susut.

“Tidak kusangka ilmu ketabibanmu sangat hebat” berkata Sim Pek Kun.

“Sangat beruntung aku dapat bertemu denganmu”

Tanpa menolehkan kepala, Siauw Tjap it long berkata:

“Aku tidak mengerti apa itu yang kau sebutkan ilmu ketabiban. Yang kutahu hanyalah: Bagaimana harus mempertahankan hidup manusia yang hampir direnggut maut!”

Sim Pek Kun menganggukkan kepala, dia menyetujui pendapat laki2 itu.

“Kini aku tahu, dalam keadaan terpaksa semua orang akan berusaha”

Siauw Tjap it long berkata :

“Setiap orang ingin hidup, setiap orang juga wajib hidup. Umpamanya saja seekor binatang yang tidak mengenal ilmu ketabiban. Jikalau berada dalam keadaan terluka, binatang itupun pasti akan berdaya upaya mencari obat2an untuk menyembuhkan luka lukanya, kalau perlu menyembunyikan diri lebih dulu.”

“Ada kejadian seperti ini?” berkata Sim Pek Kun.

Siauw Tjap it long berkata:

“Pernah aku menemukan seekor serigala yang sedang terluka, serigala itu melarikan diri terjun kedalam sesuatu air kecomberan. Waktu itu aku tidak mengerti, mengapa dia harus menerjunkan diri kedalam air. Kukira semula dia hendak bunuh diri. Tapi mungkinkah itu?”

“Serigala itu tidak bunuh diri?” berkata Sim Pek Kun heran.

“Tidak !” berkata Siauw Tjap it long tertawa “Kuperhatikan betul2, serigala itu merendam diri ditempat berair tersebut selama dua hari, dan pada dua hari kemudian ia sudah bnagkit kembali. Ternyata dalam air itu ada mengandung obat2an, sehingga ia berhasil menyembuhkan dirinya. Ia berhail memperpanjang umurnya.”

Untuk pertama kalinya Sim Pek Kun menyaksikan Siauw Tjap it long tertawa. Dikala menyebut binatang, baru dapat melihat wajah laki2 itu tertawa.

Siauw Tjap it long berkata lagi:

“Manusia dan binatang tidak ada perbedaannya. Kalau binatang masih mau berusaha memperpanjang umurnya, masakan manusia harus diam saja menunggui ajalnya sampai?”

Apakah betul manusia dan binatang itu mahkluk yang serupa?

Sim Pek Kun berpikir lama tentang kejadian ini.

Dikala pertama kali berkumpul dengan Siauw Tjap it long, Sim Pek Kun sangat kawatir sekali, ia takut kepada laki laki asing yang belum dikenalnya itu.

Kini sudah terjadi perobahan. Laki2 dengan lagu2 yang berirama tak menentu. Mau dia meduga, bahwa laki2 itu mungkin masih hidup dalam suatu keadaan yang belum normal seluruhnya, ia sengsara, entah sengsara oleh karena apa, entah apa pula yang dirindukan olehnya.

Semacam kabut misteri menyelubungi laki laki tersebut. Dan karena inilah semakin menarik perhatian Sim Pek Kun.

“Disinikah kau tinggal?” tanya Sim Pek Kun.

Siauw Tjap it long lekas menjawab:

“Akhir2 ini aku memang sering tinggal ditempat ini”

Sim Pek Kun bertanya lagi:

“Sebelumnya?”

Siauw Tjap it long berkata:

“Aku tidak pernah mengenang masa lampau. Segala sesuatu yang sudah lewat akan segera kulupakan, dan segala kejadian yang belum terjadi tidak pernah kupikirkan.”

“Kau..... kau tidak mempunyai rumah sebagai tempat tinggal yang tetap?” berkata Sim Pek Kun

“Rumah tempat tinggal yang tetap?” Siauw Tjap it long tertawa menyeringai “Aku selamanya hidup. Aku akan menjajaki seluruh dunia rimba persilatan. Setiap tempat akan kuanggap sebagai tempat tinggalku. Itulah satu2nya kesenanganku.”

Seseorang yang tidak menpunyai tempat tinggal tetap, bukankah berarti hidupnya sangat merana sekali. Tapi sering juga terjadi orang itu hidup sebagai orang gelandangan. Mungkinkah orang ini orang gelandangan? Sim Pek Kun menyedot napas dalam dalam, dia menduga atas apa kira2 sudah dialami laki2 itu, karena itulah dia lalu berkata:

“Kukira setiap orang wajib mempunyai satu rumah. Apabila kau mempunyai kesulitan, aku dapat membantumu...”

“Terima kasih.” Siauw Tjap it long berkata dingin.

“Katakalah, apa kiranya yang menyulitkanmu?” berkata lagi Sim Pek Kun

“Kau tanyakan kesulitanku?” suara Siauw Tjap it long tidak enak sekali didengar. “Yang menjadi kesulitanku ialah, kau..... kau tidak bisa menutup mulutmu itu.”

Mendengar itu Sim Pek Kun tercengang, dia tertegun sekian lama.

Bertemu dengan seorang laki2 yang tidak mengenal adat istiadat, tidak mengerti arti tata sopan santun, adalah merupakan satu pengalaman yang baru saja dialaminya.

Tapi, betul2 Sim Pek Kun lantas menutup mulut. Ini adalah permintaan laki2 yang pernah menolong dirinya.

Keadaan ditempat itu menjadi sangat sepi sekali.

Pada saat itulah; tiba2 dari jauh terdengar suara derap kaki orang yang mendatangi arah kelenteng situ.

Siauw Tjap it long dan Sim Pek Kun saling pandang. Mereka sama2 heran untuk apa mereka datang ketempat sesepi ini?

Derapan langkah kaki itu semakin lama semakin nyata, dua orang mulai berjalan memasuki kelenteng.

Siapa dua orang ini?

Dua orang yang datang adalah dua laki2 berpakaian mewah. Yang berjalan dikanan adalah seorang tua,pinggangnya menyoren golok, tentunya seorang jago rimba persilatan asli dengan senjata itu. Dan yang dikiri masih lebih muda umurnya, diduga diantara tiga puluhan, ia menggunakan senjata berat, dan sedang menggembol senjata tersebut dipunggungnya.

Dan orang ini segera menemukan Sim Pek Kun dan Siauw Tjap it long didalam kelenteng itu, segera juga mereka berseru:

“Nyonya Lian Seng Pek yang sedang kami hadapi?” bertanya mereka.

Sim Pek Kun mengerutkan alisnya “Siapakah kalian berdua?” ia sangat heran.

Orang tua yang menyoren golok dipinggang tersenyum dan berkata:

“Kami Pang Tiauw Hui kawan baik Lian Seng Pek Kongcu. Dikala hari pernikahan nyonya Lian dan Liang Kongcu itu, kamipun pernah datang menenggak arak kegirangan kalian.”

“Oa.....” Sim Pek Kun tertawa girang,”Ternyata Pang Tiauw Hui tayhiap dengan julukan Golok Emas?”

Tertawa Pang Tiauw Hui semakin riang, dai berkata dengan bangga:

“Nama Golok Emas itu diberikan oleh kawan2 dunia Kang ouw kepadaku. Sebetulnya nama itu tidak patut disebut lagi.”

Adanya kawan suaminya ditempat ini tentu sangat menggirangkan hati Sim Pek Kun. Sambil tersenyum meriah dia berkata:

“Dan bagaimana dengan gelar dan nama sebutan tuan ini?”

Si wanita cantik jelita menunjukkan tangannya kepada laki2 yang menggembol pedang dipunggung itu.

Si Golok Emas Pang Tiauw Hui segera member keterangan:

“Inilah Liok bin-kiam khek Liu Eng Lam putra ketiga dari Bu-yu-kiam khek Liu Sam Ya. Sudah pernah bertemu muka beberapa kali dengan Lian Seng Pek Kongcu.”

Sim Pek Kun memberi hormat, katanya:

“Ternyata Liu Kongcu. Sudah lama tidak bertemu dengan ayahmu, bagaimanakah dengan penyakit batuk ayahmu itu?”

Liu Eng Lam membungkukkan badan dan dia memberikan jawaban dengan hormat:

“Atas rejeki Tuhan, penyakitnya sudah sembuh.”

Sim Pek Kun lalu bertanya lagi kepada kedua orang itu:

“Bagaimana jiwi bisa tahu kalau aku berada ditempat ini?”

Si Golok Emas Pang Tiauw Hui juga yang segera menalangi menjawab:

“Dikelenteng ini bukan tempatnya yang baik untuk membicarakan persoalan kita. Diluar kami telah menyediakan satu tenda gotong, silahkan nyonya Lian kembali kekampung, kami akan mengawalnya.”

Gerak gerik Liu eng Lam dan Pang Tiauw Hui sangat hormat, bicaranya juga sopan santun, tidak seperti Siauw Tjap it long. Karena itu Sim Pek Kun lantas merasa dirinya sudah kembali kedalam lingkungan keluarganya sendiri, dia girang sekali. Dia tidak takut dihina oleh orang lain lagi, ia tidak perlu takut dibentak bentak oleh orang lain lagi. Munculnya Liu eng Lam dan Pang Tiauw Hui membuat Sim Pek Kun lupa kepada Siauw Tjap it long.

Sim Pek Kun menganggukkan kepala, dia bersedia kembali ke Sim kee-tjhung.

Pang Tiauw Hui menggapaikan tangan kearah luar, sebentar kemudian dari sana berlari datang sebuah tandu gotong, dua wanita berbaju hijau yang gagah dan tegap, menggotong datang tandu itu, langsung menuju kearah kelenteng.

Dua wanita berbaju hijau yang mempunyai gerakan cekatan dengan membawa tandu gotong sudah tiba didepan pintu kelenteng, mereka meletakkan tandu gotong itu dan siap menyambut sang nyonya besar.

Atas segala persiapan yang telah disediakan oleh Liu Eng Lam dan Pang Tiauw Hui tentu saja membuat Sim Pek Kun sangat puas. Sambil tertawa dia berkata kepada kedua kawan suaminya itu:

“Jiwi mempunyai pikiran yang bagus sekali, sungguh membuat aku tidak enak hati.”

Liu Eng Lam membungkukkan setengah badan dan berkata:

“Silahkan Lian hujin naik kereta.”

Pang Tiauw Hui sudah membuat segala persiapan secara sempurna, segera ia dapat mengajak nona cantik jelita itu pergi meninggalkan Siauw Cap-it-long.

Sim Pek Kun siap melangkahkan kedua kakinya, dia sudah merasa puas, dan hendak segera pulang kekampung halaman.

Disaat ini, tiba-tiba terdengar suara geraman Siauw Cap-it-long.

“Tunggu dulu !”

Baru Sim Pek Kun sadar, bahwa disitu masih ada seorang laki-laki yang mempunyai sinar mata kurang ajar, biar bagaimanapun laki-laki itu pernah menolong dirinya. Maka dia wajib mengucapkan sesuatu. Dan tidak segera naik kedalam tandu gotong itu.

Pang Tiauw Hui mendelikkan matanya, segera dia membentak :

“Siapa kau ?”

“Hmm........” Siauw Cap-it-long mengeluarkan suara dengusan dari hidung.

“Ada hubungan apa kau dengan keluarga Lian ?” bertanya Pang Tiauw Hui dingin.

Liu Eng Lam juga membentak :

“Hei, kami adalah Liok bin kiam khek Liu Eng Lam dan Si Golok Emas Pang Tiauw Hui, dua-duanya kawan dari Lian Seng Pek. Siapa kau, mengapa berani usil ?”

“Hmm......” Sebelum menjawab pertanyaan itu, Siauw Cap-it-long berdehem lebih dahulu, dan baru dia berkata :

“Boleh saja aku mengaku bahwa aku adalah pendekar besar dari daerah Tiong Ciu, Tiong-Ciu Tayhiap Ouw Yang Kiu, kau percaya atau tidak ?”

Liu Eng Lam tertawa dingin, dengan nada suara yang tidak enak sekali didengarnya dia lantas berkata :

“Pui, cecongormu yang seperti ini hendak memalsukan nama Tiong-ciu Tayhiap Ouw Yang Kiu ? ... Hm....”

“Kau tidak percaya aku Ouw Yang Kiu, mengapa aku harus percaya bahwa kau adalah Liu Eng Lam dan Pang Tiauw Hui ?”

“Aku tidak memaksa kau percaya” berkata Liu Eng Lam tawar.

“Nyonya Lian sudah percaya kepada kami, itu saja sudah cukup.”

Siauw Cap-it-long berdengus.

“Ouw... ? Dia percaya pada kalian berdua ?”

Dan tiga pasang mata dari tiga laki-laki itu menoleh kearah Sim Pek Kun, meminta pendapat nyonya Lian Seng Pek.

Nyonya cantik jelita berdehem sebentar, kedudukannya agak terjepit juga, ia tidak boleh bergerak, dan mereka sudah bentrok, karena itulah dia berkata :

“Kalian bertiga mempunyai maksud yang sama baiknya, tapi aku.... "

Siauw Cap-it-long memotong pembicaraan nyonya itu, dia berkata cepat :

“Lihat ! Dia sudah mulai menaruh curiga kepada kalian. Tapi sebagai seorang yang bijaksana dan sopan tentu tidak mau mengutarakan kecurigaannya itu.”

Liu Eng Lam berkata :

“Memang dia sudah mulai curiga kepadamu tapi tidak mau mengutarakannya.”

Siauw Cap-it-long berkata tawar :

“Aku tidak pernah mengaku bahwa aku adalah Liok-bin kiam-khek Liu Eng Lam.”

“Tentu saja kau bukan Liok bin kiam khek Liu Eng Lam.” berkata Liu Eng Lam. “Akulah Liok bin kiam khek Liu Eng Lam.”

“Kau Liok bin kiam khek Liu Eng Lam ?” Siauw Cap-it-long mencibirkan bibirnya.

“Srettt....” Liu Eng Lam mengeluarkan pedangnya, secepat itu pula dia sudah menggerakkan senjata tersebut, membarengi gerakan itu terdengar suara patahan kayu dahan yang sedang dipegang oleh Siauw Cap it long, yang lantas patah menjadi empat potongan kecil-kecil.

Reaksi Siauw Cap it long biasa saja, tidak menunjukkan sikapnya yang memperlihatkan takut atau ngeri, tidak bergerak dari kedudukannya semula, dengan tawa ia berkata :

“Ilmu pedang ini betul-betul ilmu pedang Bu yu kiam khek dari keluarga Liu.”

“Tentu !” berkata Liu Eng Lam girang. “Kiranya kau juga cukup mempunyai mata yang hebat, masih mengenali jurus ilmu pedangku.” Pang Tiauw Hui berteriak dengan suara keras :

“Kau adalah seorang yang mengenal ilmu silat, tentunya sudah tahu tipu ini bernama Bu-yu sam-cap, didalam dunia persilatan kecuali Liu Sam Ya dan Liu kongcu, tidak ada orang ketiga yang dapat memainkannya.”

Sim Pek Kun turut tertawa, dengan memaksakan diri dia berkata :

“Liu kongcu mempunyai ilmu silat yang hebat, jurus Bu-yu sam-cap yang kau mainkan tadi mungkin sudah lebih hebat dari kalau diperlihatkan oleh kakekmu.”

Siauw Cap it long memandang kepada nyonya itu, kemudian berkata kepadanya :

“Tidak maukah kau tanyakan kepada mereka, bagaimana mereka tahu kalau kau bisa berada ditempat ini ?”

“Soal ini tidak perlu diperdebatkan.” berkata Sim Pek Kun.

“Dengan nama besar Pang Tayhiap dan Liu kongcu, aku percaya kepada mereka.”

Siauw Cap it long berkata :

“Betul, Mereka mempunyai nama yang cukup dikenal, tentu saja kata-katanya lebih boleh dipercaya daripadaku, karena aku tidak mempunyai nama !”

Sim Pek Kun menundukkan kepala, dengan suara lemah lembut dia berkata :

“Aku tahu, kau juga mempunyai maksud yang baik ....”

Suara si nyonya cantik jelita terputus oleh suara tertawanya Pang Tiauw Hui, terdengar jago silat Golok Emas itu berkata :

“Maksud baik ? kukira tidak baik.”

Liu Eng Lam juga berkata :

“Berulang kali ia mengganggu usaha kita yang hendak pulang kembali, maksudnya mencegah nyonya ikut kepada kita dan tetap tinggal ditempat ini, dan tentunya dia mempunyai maksud tujuan yang tidak baik.”

“Maksud apakah itu....?”

Pang Tiauw Hui menggelengkan kepala dan berkata :

“Betul. Tepat. Mari kita cacah dulu dia, bawa saja kembali kerumah, kompres padanya ! Siapa suruh dia suka usil dalam urusan orang lain ?”

Golok Emas si jago tua itu segera keluar dari kerangkanya.

Kawan ? Lawan ?

Dikala Pang Tiauw Hui sudah siap menendang Siauw Cap it long, Liu Eng Lam melakukan pencegahan, dia hendak menjadi seorang baik, katanya :

“Tunggu dulu ! Besar sekali kemungkinannya mungkin orang inipun salah satu kawan dari nyonya Lian Seng Pek. Mana boleh kita mengganggunya ?”

Pang Tiauw Hui menoleh kearah Sim Pek Kun, dan bertanyalah ia kepada nyonya cantik jelita itu :

“Nyonya Lian kenal orang ini ?”

Sim Pek Kun menjadi gugup, cepat-cepat menundukkan kepala, sambil jawabnya : “Ti.....tidak.”

“Huaa, ha, ha,.....” Tiba-tiba Siauw Cap it long tertawa ngakak. “Tentu saja kau tidak kenal aku. Kau adalah nyonya Lian Seng Pek yang ternama, mana mungkin mau berkenalan dengan seorang gelandangan yang seperti aku ?”

“Betul..... betul.....” Cepat-cepat Liu Eng Lam berkata. “Tidak mungkin nyonya Lian mau mengenal kau dengan seorang gelandangan kotor yang tidak tahu malu !”

Dari kanan dan kiri, Pang Tiauw Hui dan Liu Eng Lam lalu menggencet Siauw Cap it long.

Kini Liu Eng Lam bergerak lebih dahulu, pedangnya bergeser cepat, membuat suatu tirai pedang, menyerang kearah Siauw Cap it long, Inilah ilmu pedang Bu-yu-kiam-khek, ilmu pedang yang menjadi kebanggaan keluarga Liu.

Ilmu pedang Bu-yu kiam khek adalah ilmu pedang seorang tokoh wanita jago purbakala. Karena itu, tipu-tipu dan gerakan-gerakannya lebih banyak cocok digunakan oleh wanita daripada kaum pria. Walaupun demikian keluarga Liu sangat mahir sekali dalam ilmu pedang itu, tidak kalah hebatnya.

Ilmu Bu-yu kiam khek sangat mementingkan pertahanan diri sendiri, dibawah tangan Liu Eng Lam pun demikian juga, penyerangan tiga bagian dan pertahanan tujuh bagian. Demikian banyak variasi-variasi itu, toh jarang sekali yang mengandung ancaman maut.

Siauw Cap it long masih saja tertawa ditempatnya, tanpa bergerak dari kedudukannya semula dia membiarkan dirinya dikurung oleh sinar-sinar pedang Liu Eng Lam.

Disaat ini Pang Tiauw Hui juga turut bicara :

“Nyonya Lian Seng Pek tidak kenal kepadanya jadi tidak perlulah kita malu-malu lagi. Bunuh saja habis perkara !”

Golok Emas jago inipun turut membacok dengan senjata yang beratnya lebih dari 20 kati itu, serangannya terlalu berat mengandung maut.

Liu Eng Lam bermain dengan ilmu pedang Bu-yu kiam-khek, variasinya begitu bagus dan membuat satu pagar pedang yang mengurung Siauw Cap it long disamping itu golok Pang Tiauw Hui membacok, dan Siauw Cap it long, harus bergeser tempat, menghindari datangnya bacokan ini.

Pang Tiauw Hui tidak puas, dia membacok sekali lagi. Ciat...... tapi masih juga tidak berhasil mengenai sasarannya.

Diserang oleh dua orang, Siauw Cap it long belum mengirim balasan, dia menggeser kedudukan dari kanan ke kiri dan dari kiri ke kanan, dari utara ke barat atau dari barat ke timur, terus menerus demikian.

Tidak selembar ujung bajunyapun yang terkena serangan golok apalagi ilmu pedang Liu Eng Lam. Tenang tenang saja Siauw Cap it long menghindari serangan serangan mereka.

Kemarahan Pang Tiauw Hui meluap luap, dia menggencarkan serangannya, dan dengan suara geram berkata kepada kawannya :

“Liu Eng Lam, jangan beri kesempatan dia hidup lagi. Ayo bunuh !”

Ciat..... satu bacokan golok datang cepat.

Liu Eng lam membantu dari samping, Wing... membikin satu serangan pedang,..... serangan pedang ini membantu usaha Pang Tiauw Hui, agar musuhnya tidak dapat melarikan diri.

Sepasang sinar mata Siauw Cap it long tiba-tiba saja menjadi sangat liar sekali, dengan melompat kekiri sebentar menghindari golok, dan dari sana ia berkata dengan suara dingin :

“Baik. Kalian hendak membunuh aku ? Mengapa melarang aku membunuh kalian ?”

Siauw Cap it long menekukkan sepasang tangannya, sangat keras, tubuh terpelintir cepat sekali dan entah dengan gerakan apa tahu-tahu dia sudah lompat keluar dari kurungan dua orang itu.

Ilmu pedang Bu-yu kiam hoat yang dimainkan oleh Liu Eng Lam adalah ilmu pedang yang sangat rapat sekali, ilmu pedang yang khusus untuk mengurung seseorang didalam pertahanan, tokh tidak berhasil mengurung Siauw Cap it long.

Tangan Siauw Cap-it-long disodorkan kedepan.

Liu Eng Lam merasa tertekan, karena itu cepat-cepat dia mundur kebelakang, hampir ia tergelintir jatuh, kaki menyentuh sesuatu, dan itulah mangkok obat yang semalam digunakan oleh Siauw Cap-it-long untuk menyembuhkan sakit Sim Pek Kun.

Terjadi pertempuran terlalu cepat sekali, Sim Pek Kun mundur kebelakang, dan dikala kaki Liu Eng Lam menginjak mangkok obat, terbayang kembali kejadian semalam, karena itulah cepat-cepat dia berteriak:

Berhenti......berhenti.....! jangan serang dia lagi, semua adalah orang sendiri!”

Itu waktu, tangan Siauw Cap-it-long sudah menutup semua jalan kematian lawannya, dengan satu teriakan jari saja dia pasti dapat mengambil jiwa musuh itu.

Sisaat itulah tiba-tiba terdengar suara teriakan Sim Pek Kun.

Karena Siauw Cap-it-long mendengar Sim Pek Kun mengatakan bahwa semua adalah orang sendiri, maka dengan cepat ia lantas berhenti bergerak.

Siauw Cap-it-long sudah menarik kembali serangannya.

Disaat suara Sim Pek Kun tercetus keluar dari mulutnya, Siauw cap-it-long merasa darahnya bergolak cepat, hawa pembunuhannya lenyap mendadak, dia dapat menerima perintah tadi, karena itu dia menghentikan serangannya.

Tidak sama dengan keadaan Siauw Cap-it-long. Reaksi Pang Tiauw Hui dan Liu Eng Lam sangat berbeda sekali, mereka mempunyai pengalaman-pengalaman tempur yang sangat banyak dan itulah kesempatan untuk melenyapkan lawan dari permukaan bumi, satu saja tidak mau menerima perintah tadi, cepat-cepat mereka menggunakan kesempatannya. Dan masing-masing melompat maju setapak, pedang dan golok berterbangan, dan menyerang kepala dan perut Siauw Cap-it-long.

Tresss........ pundak Siauw Cap-it-long berdarah. Dia hanya berhasil menghindari perut dan kepalanya, tetapi tidak dapat menghindari ancaman pada pundaknya. Dengan demikian Siauw Cap-it-long jadi menderita rugi.

Pang Tiauw Hui girang sekali, goloknya dibalikan dan menyerang lagi.

Liu Eng Lam meberi kerja sama yang baik, dengan pedang ditangan yang diputar sedemikian rupa ia menjaga diri sendiri dan juga menjaga keamanan Pang Tiauw Hui.

Terdengar suara bentakan Siauw Cap-it-long yang mengguntur keras, dan disaat itu pula senjata-senjata Pang Tiauw Hui dan Liu Eng Lam sudah terlepas dari tangan masing-masing, merasa tangannya kesemutan dengan rasa sakit yang tidak terhingga, dan saking cepatnya gerakan itu, mereka tidak sadar bahwa golok dan pedang mereka sudah lenyap!

Terdegar suara pletak-pletak beberapa kali, dan secepat itu pula dibarengi denga suara yang keras Buk..... tembok kelenteng sudah pecah sebagian, runtuhan batu-batunya berserakan dilantai.

Diantara hancurnya reruntuhan puing-puing itu tampak tubuh Siauw Cap-it-long yang melesat keluar dan lenyap dengan cepat meninggalkan kelenteng itu, ia keluar melalui pecahan dinding tembok kelenteng.

Adanya Sim Pek Kun didepan pintu kelenteng yang sudah bergegas-gegas hendak meninggalkan tempat tersebut, tentu saja sangat menganggu kepergian Siauw Cap-it-long, dia jadi tidak bisa mengelak dan menerjang ke arah dimana ada berdiri nyonya besar itu. Untuk menghindari kerewelan-kerewelan dari Pang Tiauw Hui dan Liu Eng Lam itulah Siauw Cap-it-long terpaksa jadi menjebol dinding tembok, dan dari sana ia melenyapkan diri.

Begitu, Siauw Cap-it-long akhirnya pergi dengan begitu saja.

Pang Tiauw Hui, Liu Eng Lam memandang patahan golok dan pedang mereka, keringat dingin membasahi sekujur tubuh kedua orang tersebut, Mereka tidak berani berkutik barang sedikit pun.

Apabila laki-laki gelandangan tadi ada mempunyai niatan atau maksud tidak baik mungkinkah nyawa mereka sampai sekarang ini masih melekat pada raganya?

Lama sekali kedua jago silat itu terpaku ditempat, dan setelah betul-betul mengetahui bahwa lawannya sudah tidak ada, Liu Eng Lam baru mengeluarkan keluhan napas panjang, lalu katanya:

“Sungguh satu manusia luar biasa!”

Pang Tiauw Hui juga mengeluarkan keluhan yang sama:

“Manusia luar biasa! Betul-betul luar biasa sekali !”

Liu Eng Lam berkata :

“Betul-betul aku takluk.”

Pang Tiauw Hui menyeka keringatnya, kemudian dia berkata sambil menyengir:

“Jago silat yang sehebat dia, mengapa aku tidak dapat mengenal ?”

Liu Eng Lam juga menyusut keringatnya, dan ia pun turut berkata:

“Kecepatan tangan orang ini sungguh-sungguh menakjubkan, ini lah kecepatan yang pernah kulihat di dalam rimba persilatan.

Pang Tiauw Hui menolah kearah nyonya cantik kita Sim Pek Kun, kemudian bertanya kepadanya:

“Tahukah nyonya Lian, siapa sebenarnya orang itu tadi ?”

Sim Pek Kun masih menatap lubang dinding yang jebol oleh Siauw Cap-it-long tanpa bergerak, entah apa yang sedang dipikirkannya. Dengan sendiri ia tidak dapat menjawab pertanyaan Pang Tiauw Hui tadi. Dia diam saja.

Liu Eng Lam batuk-batuk dua kali, dan bertanya kepada nyonya itu:

“Tahukah nyonya siapa orang tadi ? Mungkinkah kawan nyonya?

Baru sekarang Sim Pek Kun sadar dari lamunannya. Setelah menghela napas perlahan, barulah ia berkata: “Ku harapkan saja dia adalah kawan dari suamiku. Siapa pun bila dapat berkenalan dengan seorang yang seperti dia tentu akan merasa senang.”

Sim Pek Kun tidak mengatakan Siauw Cap-it-long sebagai kawannya, hanya mengatakan mungkin kawan dari suamiku. Ini lah pernyataan yang sangat tepat. Sebab, dengan kedudukan yang dimiliki oleh Lian Seng Pek dan Sim Pek Kun sebagai orang-orang sopan, tentu saja dia tidak boleh melakukan kesalahan, dan juga tidak boleh mengucapkan kata-kata salah atau pembicaraan yang salah.

Liu Eng Lam berkata:

“Nyonya Lian tidak tahu nama dari orang itu ?”

Sim Pek Kun menggelengkan kepala. “Tidak” katanya.

Pang Tiauw Hui berpikir lama, dengan tiba-tiba saja ia berkata keras:

“Kukira orang tadi mungkin adalah Siauw Cap-it-long !”

Siauw Cap-it-long !

Selembar wajah Liu Eng Lam menjadi pucat pasi, lenyaplah semua warna darahnya, dia berteriak kaget:

“Siauw Cap-it-long? Tidak mungkin kalau dia Siauw Cap-it-long !”

Pang Tiauw Hui menghela napas, kemudian berkata:

“Siauw Cap-it-long adalah seorang penjahat yang dapat membunuh orang tanpa berkedip, tetapi dia memiliki ilmu kepandaian yang sangat tinggi, semua orang tahu akan hal ini. Belum ada yang dapat menandinginya, jejaknya pun sangat sulit diikuti, asal usulnya tidak ada yang tahu, hanya sedikit orang yang kenal dengannya”

Jago silat Golok Emas Pang Tiauw Hui adalah seorang jago kenamaan, walaupun demikian terhadap Siauw Cap-it-long, ia pun tidak berani memandang rendah, kulitnya menggerinyut, betapapun dia masih takut kepada Siauw Cap-it-long.

Keadaan Liu Eng Lam tidak banyak berbeda dengan keadaan kawannya itu, bibirnya menjadi matang biru, saking takutnya kepada nama Siauw Cap-it-long. Tidak henti-hentinya dia menyusut keringat yang mengucur terus-menerus.

Sim Pek Kun mengoyang-goyangkan kepala, dia tidak setuju kepada keputusan kedua orang itu, dengan tawar ida berkata:

“Aku tahu benar, orang tadi bukannya Siauw Cap-it-long !”

Pang Tiau Hui menolehkan kepala memandang kepada sang nyonya cantik jelita dan mengajukan pertanyaan:

“Bagaimana nyonya tahu ?”

Sim Pek Kun memberi penjelasan dengan kata-kata begini:

“Siauw Cap-it-long malang melintang dalam dunia rimba persialatan, dia dapat membunuh orang tanpa berkedip, dia sangat kejam sekali. Tapi aku tahu benar, orang tadi bukanlah seorang yang sangat kejam, bukan orang jahat, dia baik sekali. Itu aku tahu benar !”

Pang Tiauw Hui berkata:

“Dalamnya lautan masih mudah diduga. Tapi hati orang siapa tahu? Semakin jahat orang itu, semakin gans pula tentu sifatnya. Semakin sulit pula dilihat sepintas lalu bagaimana wataknya.”

Sim Pek Kun tertawa atas reaksi dan putusan Pang Tiauw Hui serta Liu Eng Lam, tentu saja tidak dapat diterima oleh akalnya, karena itulah dia berkata lagi:

“Kegemaran Siauw Cap-it-long, tentu saja jiwa kalian berdua..............”

Tidak perlu diteruskan lagi kata-katanya Sim Pek Kun tadi, gamblang dan jelas sekali maksudnya ialah: Kalau benar orang tadi betul-betul adalah Siauw Cap-it-long jangan digembor-gemborkan orang sebagai tokoh iblis rimba persilatan yang sangat gemar membunuh orang, jiwa Pang Tiauw Hui dan Liu Eng Lam pasti sudah dikirim ke dunia lain, atau jelasnya mereka pasti dibunuh mati.

Liu Eng Lam demikian pun Pang Tiauw Hui, mereka sama-sama mengerti, apa yang dimaksudkan oleh Sim Pek Kun tadi.

Terbukti bahwa Liu Eng Lam dan Pang Tiauw Hui tidak copot kepala, juga tidak menjadi cedera, hanya pedang dan golok mereka yang dipatahkan oleh laki-laki gelandangan tadi. Inilah sudatu bukti bahwa lawan itu bukan Siauw Cap-it-long.

Memang, sering kali terjadi kesalahpahaman-kesalahpahaman yang tidak masuk diakal. Sering kali pula terjadi fitnah-fitnah yang busuk dijatuhkan atas diri orang baik-baik. Demikian pula keadaannya Siauw Cap-it-long. Didalam rimba persilatan orang menyebutnya sebagai Anak Berandalan, ada juga yang menyebutnya dengan nama julukan seram, Iblis Tukang Bunuh Manusia, jago silat yang senang membunuh.

Untuk memecahkan ketegangan itu segera Liu Eng Lam berkata :

“Betul atau tidaknya orang tadi sebagai Siauw Cap-it-long, yang penting kita harus segera membawa nyonya Lian pulang ke kampung.”

Pang Tiauw Hui menganggukan kepala, kemudian berkata cepat.”

“Betul, kita harus segera membawa nyonya Lian pulang ke kampung.”

Pang Tiauw Hui dan Liu Eng Lam menyilahkan Sim Pek Kun naik keatas tandu gotong yang sudah tersedia.

Sim Pek Kun sudah bergegas-gegas hendak meninggalkan tempat itu, maksudnya ialah hendak pulang ke kampung. Karena itu pulalah dia mau cepat-cepat naik kedalam tandu gotong yang sudah disiapkan.

Dua wanita berbaju hijau dengan tangan dan kaki yang sangat cekatan, membawa tandu gotong itu turun gunung.

Liu Eng Lam dan Pang Tiauw Hui mengikuti dibelakang mereka.

Jalan pegunungan tidak rata, berliku-liku dan naik turun tidak keruan macam, tapi dua wanita berbaju hijau itu mempunyai kecepatan lari yang luar biasa, mereka membuat satu keseimbangan badan yang cukup menarik, karena itu tidak terjadi sesuatu hal yang diluar kemungkinan.

Mereka sudah jauh meninggalkan kelenteng bobrok yang rusak itu, juga meninggalkan jauh pula daerah pegunungan, jalan sudah mulai kelihatan mendatar.

Sebentar lagi mereka akan tiba diperkampungan Sim-kee-tjhung.

Kalau saja mereka sudah sampai dalam perkampungan Sim-kee-tjhung, maka segala sesuatu sudah menjadi beres, dan tak perlu penulis ceritakan pula kelanjutannya. Dalam keadaan seperti ini, seharusnya Sim Pek Kun sangat senang, tetapi kenyataan tidaklah demikian. Seolah-olah ada sesuatu yang mengganggu pikirannya, dia membiarkan Liu Eng Lam dan Pang Tiauw Hui mengintil dibelakang tanpa mengajak mereka berbicara, walau sekecap katapun juga.

Terbayang kembali sepasang sinar mata laki-laki gelandangan tadi, sangat aneh sekali. Sepasang mata itu terlalu kurang ajar, wajahnyapun wajah seorang gelandangan, tapi biar bagaimana Sim Pek Kun tidak dapat melupakannya.

Babak demi babak, terulang kembali hal-hal yang terjadi tadi.

Ingat benar Sim Pek Kun, bagaimana kejadiannya sewaktu Siauw Cap-it-long digencet oleh Liu Eng Lam dan Pang Tiauw Hui, lalu Sim Pek Kun menjadi malu kepada diri sendiri, dia berpikir: Mengapa aku malu berkawan dengan orang yang seperti itu? Sim Pek Kun merasa berhutang budi kepada Siauw Cap-it-long, dan dia pernah berjanji bahwa dirinya hendak menolong laki-laki gelandangan itu. Mungkinkah sudah lupa dia kepada janjinya sendiri? Sim Pek Kun tidak berani berpikir terlalu lama.

Sim Pek Kun dijunjung orang, tapi tidak satupun orang2 itu yang dapat memelihara persahabatan baik dengan dirinya.

Belum pernah dia mempercayakan sesuatu kepada seseorang.

Sering kali terjadi, untuk kepentingan diri sendiri, orang2 itu mengorbankan kepentingan orang lain. Sim Pek Kun tidak sependapat dengan mereka. Dan kini dia sedang melakukan sesuatu yang bukan menjadi kehendak hatinya, dia tidak mau mengaku bahwa laki-laki yang sudah pernah memberikan pertolongan kepada dirinya itu adalah kawannya, Sim Pek Kun menyangkal keras Siauw Cap-it-long sebagai kawannya.

Sim Pek Kun merasa malu kepada dirinya sendiri. Sim Pek Kun merasa bersalah kepada Siauw Cap-it-long.

Dibawah kaki gunung sudah menantikan sebuah kereta berkuda. Orang yang menjadi kusir kereta bertudung lebar dipasang sedemikian rupa sehingga tidak dapat terlihat jelas bagaimana rupa wajahnya, mungkin sengaja dia berbuat begini supaya orang tidak dapat melihat wajahnya.

Dua wanita berbaju hijau yang menggotong tandu dimana ada duduk Sim Pek Kun, tiba2 meletakkan usungan itu.

Sim Pek Kun keluar dari tandu gotong.

Kusir kereta yang bertudung lebar itu menghampiri Sim Pek Kun, membungkukkan badan dan berkata:

“Tentunya nyonya Lian sudah kaget sekali bukan?”

Suatu ucapan yang biasa saja tapi tidak sepatutnya diucapkan oleh seorang tukang tarik kereta.

Dari bentuk, cara dan adat istiadat itu, Sim Pek Kun sudah mulai merasakan sesuatu yang tidak beres, dia mulai menaruh curiga.”

Pang Tiauw Hui dan Liu Eng Lam tidak berani datang terlalu dekat, seolah2 mempunyai kedudukan yang berada dibawah kusir kereta itu.

Kusir kereta yang bertudung lebar memandang kepada dua wanita berbaju hijau dan berkata kepada mereka:

“Bantu nyonya Lian naik keatas kereta. Kita harus cepat.”

Dengan diiringi oleh dua orang wanita berbaju hijau itu Sim Pek Kun naik keatas kereta.

Pang Tiauw Hui dan Liu Eng Lam memisahkan diri dari kereta berdiri sangat jauh sekali.

Sim Pek Kun semakin tambah curiga, maka dia memandang kepada kedua orang itu dan berkatalah mereka:

“Kalian tidak berkuda?”

Pang Tiauw Hui dan Liu Eng Lam menundukkan kepala mereka, sangat rendah kebawah.

Sim Pek Kun berkata lagi:

“Mengapa kalian tidak naik serta kedalam kereta?”

Pang Tiauw Hui dan Liu Eng Lam tidak berani mendongakkan kepala mereka, seolah2 dua orang pesakitan yang merasa bersalah.

Dan waktu itulah tiba2 si kusir kereta berkata lagi:

“Kamipun sudah cukup menjamin keselamatan nyonya Lian, tidak membutuhkan bantuan mereka lagi.”

Yang diartikan oleh kusir kereta itu ialah tidak membutuhkan tenaga bantuan Pang Tiauw Hui dan Liu Eng Lam. Kalau begitu, kedudukan kedua orang tersebut jelas masih berada dibawah sikusir kereta.

Sim Pek Kun memperhatikan wajah kusir kereta itu, sebagian besar tertutup oleh tudung lebar, maka ia jadi tidak dapat membedakan bentuk dan raut wajah orang tersebut.

Nama jago silat Golok Emas Pang Tiauw Hui dan Bu yu kiam khek Liu Eng Lam sangat tersohor, seharusnya kedudukkan mereka diatas kusir kereta itu, tapi keluarnya ucapan yang berupa perintah tadi, seolah olah sudah mnejadi atasan kedua orang tersebut, dan inilah ketidak wajaran.

Sim Pek Kun memandang tukang kereta dan bertanya :

“Kau siapa?”

“Kusir kereta.”

Sim Pek Kun bertanya lagi:

“Dimana kau bekerja?”

“Dirumah keluarga Lian.” jawab pula orang itu.

“Di rumah keluarg Lian?” Sim Pek Kun menanti ketegasan.

Kusir kereta yang bertudung lebar menganggukkan kepala. “Betul” dia membenarkan pertanyaan SIm Pek Kun.

Sim Pek Kun berkata lagi:

“Berapa lamakah kau bekerja, mengapa aku belum pernah melihat kau?”

Orang itu bungkam, dan memperlihatkan ketidak puasan, lalu tiba-tiba berkata :

“Banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang seharusnya tidak diucapkan, dan salah satu pertanyaan itu ialah pertanyaan nyonya Lian tadi. Banyak tanya akan mengakibatkan banyak kerewelan.”

Sim Pek Kun belum dapat melihat dengan jelas wajah orang itu, tapi rasa curiganya semakin besar lagi, kini dia menduga pasti bahwa ada sesuatu yang tidak beres, karena itu ia berteriak kepada Liu Eng Lam dan Pang Tiauw Hui:

“Pang Tayhiap, Liu kongcu, siapa sebenarnya orang ini ? Dan apa sebetulnya yang sudah terjadi ?”

Pang Tiauw Hui mengeluarkan batuk keringnya, tetap tidak berani mendongakkan kepala, dengan gugup berkata :

“Teng.... teng...”

Pang Tiauw Hui dan Liu Eng Lam tidak mempunyai keberanian untuk mengatasi kesulitan itu.

Si kusir kereta menekuk wajahnya, segera dia membentak kepada kedua wanita berbaju hijau :

“Tunggu apa kalian. Lekas tutup pintu kereta.”

Dua wanita berbaju hijau itu segera lompat naik keatas kereta, tangan dan kaki mereka memang cekatan, gesit sekali.

Sim Pek Kun berusaha melepaskan diri, tapi dia tidak berhasil, karena itulah dia berteriak-teriak :

“Berani kalian berlaku kurang ajar dihadapanku ?”

Dan berteriak kepada Pang Tiauw Hui.

“Pang Tiauw Hui, sebagai kawan Lian Seng Pek, mengapa kau membiarkan mereka memperlakukan istrinya seperti ini ?”

Pang Tiauw Hui menundukkan kepala semakin rendah, seolah-olah ditanah ada sesuatu yang menarik hatinya, dia seperti sudah menjadi bisu dan tuli.

Kusir kereta lompat naik keatas tempat duduknya, dengan dingin ia berkata,

“Setelah nyonya bertemu dengan kongcu kami, segala sesuatu pasti akan lekas menjadi beres.”

Sim Pek Kun mengeluarkan suara melengking tinggi:

“Kongcumu? Mungkinkah kongcu kecil yang ganas dan telengas itu?....”

Terpikir kepada pemuda kecil yang sangat telengas dan binal sekali, satu perasaan dingin merangsang tubuh Sim Pek Kun, tubuhnya menjadi gemetar lagi.

Kusir kereta tidak melayaninya, dan memandang kepada Pang Tiauw Hui dan Liu Eng Lam serta berkata kepada mereka :

“Pang Tayhiap, Liu kongcu, segeralah kalian berangkat.”

Tanpa menunggu reaksi mereka lagi, kusir kereta itu sudah siap menjalankan keretanya.

Wajah Liu Eng Lam yang sudah pucat pasi itu, selalu matang membiru, dan disaat inilah tiba-tiba dia membalikkan badan, dari tangan kirinya tiba-tiba meluncur dua benda rahasia mengancam dua wanita berbaju hijau. Tangan kanannya melempar sebuah belati langsung kearah kusir kereta tadi.

Gerakan Liu Eng Lam ini sangat cepat sekali, juga tepat dan kejam.

Kusir kereta dan kedua orang wanita berbaju hijau tidak menyangka kalau bakal terjadi hal tersebut, dikala mereka sadar senjata-senjata rahasia itu sudah mengenai sasaran. Setelah terdengar tiga kali jeritan tertahan, tiga orang lantas kelihatan menggeletak di tanah.

Liu Eng Lam berhasil menolong Sim Pek Kun dari gangguan ketiga orang yang mau menculiknya.

Sim Pek Kun juga terkejut, ketika kusir kereta itu jatuh jumpalit tudungnya yang lebar terbuka, dan itulah wajah kepala salah satu dari anak buah Siao kongcu, yang sangat ditakuti.

Sebelum menghembuskan napas yang terakhir, kusir kereta itu masih sempat mengeluarkan ancaman kepada Liu Eng Lam :

“Kau.... kau.... berani kau ...” napasnya tersendat dan dalam keadaan demikianlah dia mengakhiri riwayat hidupnya.

Disaat itu si kusir kereta sudah menyambuk kuda, maka keretapun berangkat, dikala dia jatuh tepat sekali tubuhnya tergilas oleh keretanya sendiri.

Tubuh Liu Eng Lam sudah melesat terbang sangat tinggi sekali, dan dengan satu gebrakan dia sudah lompat ditempat duduk sang kusir, dengan cekatan dia menarik les kuda itu, kereta berhenti segera,

Pang Tiauw Hui mendekatinya perlahan-lahan sekali, dengan membanting-banting kaki dia berkata :

“Liu Eng Lam.... kau.... kau sangat berani sekali.... Tidak terpikirkah olehmu, bahaya apa yang sekiranya bisa mengancam kita semua?”

Liu Eng Lam meringis.

“Oh, oh,....”

Pang Tiauw Hui berkata lagi:

“Aku tidak mengerti, apa yang menjadi maksud tujuanmu. Bukankah kau cukup mengerti apa yang akan dilakukan oleh siao Kongcu kepada orang2 yang berani berkhianat kepadanya?”

Liu Eng Lam mengepalkan kedua tangannya, kemudian berkata dengan perlahan:

“Kedudukan kita sudah kejepit sekali”

Pang Tiauw Hui berkata lagi:

“Tentu saja terjepit, karena kau berani menentang Siao Kongcu.”

Liu Eng Lam berkata:

“Tapi kau juga tidak lepas dari tanggung jawab ini”

Pang Tiauw Hui berkata:

“Aku tahu. Aku terseret kedalam jurang kesusahan.... inilah gara gara perbuatanmu. Tapi.... tapi.... apa yang menyebabkan sampai kau berani berbuat seperti ini?”

Liu Eng Lam menoleh kearah Sim Pek Kun dikereta, dengan sepatah demi sepatah dia berkata:

“Biar bagaimana aku tidak akan membiarkannya terjatuh kedalam rombongan tangan iblis jahat itu.”

Sampai ini waktu, ketegangan Sim Pek Kun mulai mereda, urat syarafnya yang ditekan terus menerus, hampir menjadi kejang karenanya.

“Liu kongcu...” dia berkata kepada Liu Eng Lam, suaranya terharu, “Aku... berterima kasih kepadamu.”

Dan dia menoleh serta memandang kepada Pang Tiauw Hui, sekejap kata tidak dikeluarkan olehnya.

Jago Silat Golok Emas Pang Tiauw Hui tidak memberikan reaksi sesuatu apa, setelah menghela napas ia berkata:

“Aku tahu, kau sakit hati kepadaku.”

Sim Pek Kun mengeretek gigi, mulutnya sudah berkatup2 seolah-olah hendak mengucapkan sesuatu, tapi kata2 itu tidak keluar dari mulutnya, itulah kata yang kejam bagi Pang Tiauw Hui, karena tidak mau menyakiti hati lebih dalam lagi, maka ditelannya kembali kata2 tadi.

Pang Tiauw Hui menghela napas kembali, menundukkan kepala dan berkata dengan suara rendah:

“Bukan maksudnya tidak mau menolong, tapi apa guna menolongmu? Kau, Liu Eng Lam dan aku bertiga andaikan menjadi satu, juga bukan tandingannya Siao Kongcu seorang. cepat atau lambat pasti kita akan terjatuh ketangan mereka. Karena itulah lebih baik kita menyerah saja.”

Teringat akan tangan kejamnya Siao Kongcu ini, Pang Tiauw Hui menggigil dingin, seram sekali.

Sim Pek Kun berkata gemas:

“Ternyata kalian juga menjadi begundal begundalnya?”

Liu Eng Lam menggoyangkan kepala, segera dia memberi penjelasan:

“Lian-hujin jangan salah mengerti, kami bukan anak buah Siao-kongcu.”

Sim Pek Kun berkata:

“Mengapa kalian mau mendengar perintahnya …?”

“Kami … kami …” Liu Eng Lam tidak meneruskan kata-katanya.

Pang Tiauw Hui berkata:

“Inilah mendapat tekanannya.”

Sim Pek Kun berkata lagi:

“Pantas kalian tahu bahwa aku berada dalam kelenteng rusak itu. Ternyata atas perintah Siao-kongcu itu.”

Pang Tiauw Hui menganggukkan kepala, dengan perlahan dia berkata:

“Bila tidak ada petunjuk orang, bagaimana kami tahu bahwa Lian-hujin berada didalam kelenteng itu?” Sim Pek Kun belum keluar dari keretanya, dan kepada kedua orang itu dia berkata perlahan: “Ternyata kalianlah yang bersalah, kalian bukanlah kawan sejati, laki-laki kotor itulah yang telah kupersalahkan, ternyata hatinya lebih bersih dari hati kalian berdua …”

Sim Pek Kun memberi penilaian lain kepada Siauw Cap-it-long!

Untuk menolong nyonya cantik-jelita itu Liu Eng Lam sudah mempertaruhkan jiwanya, tapi hanya sebaris kalimat ucapan terima kasih saja yang diterima olehnya, dan sesudah itu Sim Pek Kun memberi pujian kepada seorang laki-laki yang asing dan belum dikenalnya. Karena inilah dia tidak puas, dengan dingin dia berkata:

“Terima kasih … orang itupun bukan orang baik, mana kau tahu dia mengandung maksud sesuatu yang tertentu!”

Pang Tiauw Hui menekuk wajahnya, bergumam kepada kawan tersebut:

“Seperti kau juga.”

Liu Eng Lam menolehkan kepala, ia membentak:

“Aku? Mengapa kau menyebut diriku?”

Pang Tiauw Hui tertawa dingin, kemudian berkata:

“Jangan kau sangka aku tidak tahu maksud-maksud tertentu dari tujuanmu, heh? Sudah lama kuduga akan terjadinya peristiwa yang seperti ini.”

“Saat apa?” bertanya Liu Eng Lam.

Dengan geram Pang Tiauw Hui berkata:

“Sudah lama aku tahu bahwa kau gemar sekali pada paras cantik, tapi matipun tidak kuduga semula, bahwa kau berani mengatasi nyonya cantik-jelita ini, berani kau menanggung-jawab dari segala akibatnya. Berpikirlah kembali. Apa kiramu Lian Seng Pek mau tinggal peluk tangan bila sampai diketahuinya nyonyanya diganggu olehmu?”

Dikala Sim Pek Kun hampir dibawa lari oleh kusir kereta Siao kongcu itu, Pang Tiauw Hui berpeluk tangan, tidak memberi bantuan, tapi Liu Eng Lam mempertaruhkan jiwanya, dan membunuh dua wanita berbaju hijau serta kusir bertudung lebar itu, karena inilah Sim Pek Kun lebih simpatik pada Liu Eng Lam. Kini nama dan jiwa Liu Eng Lam dicemoohkan orang, tentu saja dia marah, segera dia membentak :

“Pang Tiauw Hui, jangan kau mengucap yang bukan-bukan ! Liu kongcu bukanlah orang yang seperti kau sebutkan itu !”

Pang Tiauw Hui tertawa dingin, kemudian berkata :

“Jangan kau kira ia seorang baik. Terus terang kukatakan padamu, pada waktu-waktu belakangan ini, setiap bulan perawan perawan dan gadis-gadis cantik jatuh kedalam tangannya, wanita-wanita yang dipermainkan dan dijebloskan kedalam lumpur kenistaan oleh Liu Eng Lam, paling sedikit ada sepuluh orang, atau sekurang-kurangnya belasan, tidak ada orang yang tahu, perbuatan siapa yang jahat itu. Tapi aku tahu, itu adalah perbuatan Bu yu Kiam-khek Liu Eng Lam ini !”

Pernah juga Sim Pek Kun mendengar cerita adanya seorang tokoh silat yang gemar pada paras cantik, tukang merusak kehormatan wanita dan gadis gadis perawan, tapi Sim Pek Kun tidak tahu siapa tokoh silat itu. Hanya orang menduga kepada Siauw Cap-it-long, mengingat nama Siauw Cap-it-long yang sudah jelek itu, dan Siauw Cap-it-long tidak berusaha menampilkan dirinya untuk mencuci tuduhan tuduhan tadi. Karena itulah dugaan kepada Siauw Cap-it-long semakin keras.

Kalau begitu, orang yang mengganggu kesucian gadis-gadis dan perawan-perawan itu adalah Liu Eng Lam.

Mungkinkah ada kejadian seperti ini ?

Sim Pek Kun tertegun. Ia memaku di tempatnya. Entah apa yang sedang dipikirkan olehnya.

Dicuci maki didepan seorang wanita yang cantik jelita, tentu saja Liu Eng Lam menjadi marah, dengan tiba-tiba saja ia menggeram keras, disertai dengan suara bentakannya :

“Pang Tiauw Hui, jangan kau berlaku kurang ajar ! Kau sendiri manusia apa sebetulnya ? Bila tidak ada bantuanku, kau kira kau bisa....”

“Bantuan siapa ?” tanya Pang Tiauw Hui “Bantuan kau kah ? Tidak tahu malu, rahasia-rahasiamu ini jatuh ketangan Siao kongcu dan Siao kongcu memberi tahu kepadaku, karena itulah aku tahu.”

Liu Eng Lam membentak :

“Kau kira aku tidak tahu rahasia-rahasiamu ? Aku tahu Siao kongcu juga pernah berkata kepadaku tentang kesalahan-kesalahanmu.”

Pang Tiauw Hui membentak keras :

“Fitnah ! Kesalahan apa yang aku perbuat ? Jangan kau sembarang memfitnah, katakan segera !”

Liu Eng Lam berkata tenang :

“Tentu saja, sekarang tidak ada yang berani mengganggu atau mengutak-utikmu. Karena kau adalah seorang hartawan yang ternama, kau adalah seorang tokoh silat yang ternama, kau mempunyai perusahaan Piauw kiok yang ternama. Sayang kekayaan dan perusahaanmu itu didapat secara tidak halal. Jangan kau kira aku tidak tahu, dengan cara membuka perusahaan Piauw kiok itu secara menggelap kau mengadakan pembunuhan-pembunuhan, kau mengadakan perampokan perampokan, caramu ini terlalu licik sekali. Kau membunuh orang yang mempercayakan barang itu kepadamu. Kau membunuh orang yang mengirimkan harta benda kepadamu. Dengan demikian harta kekayaan dan uang-uang mereka itu jatuh kedalam tanganmu. Kau melakukan perbuatan-perbuatan ini secara sembunyi-sembunyi; Jangan kira tidak ada yang tahu, heh ! Aku tahu, Siao kongcupun tahu....”

Pang Tiauw Hui melompat bangun, dia membentak dengan suara keras :

“Anjing kau.... binatang kau....”

Pang Tiauw Hui dan Liu Eng Lam adalah dua tokoh silat kenamaan, mereka adalah jago-jago yang sangat berwibawa, pakaian dan dandanan mereka beserta juga tingkah laku mereka adalah tingkah laku seorang sopan yang terpuji, sangat hormat sekali, tapi dalam keadaan yang seperti sekarang ini seolah-olah sudah seperti dua ekor anjing gila, saling cakar, saling maki, dan saling caci.

Perdebatan masih berlangsung terus.

Pang Tiauw Hui membentak lagi :

“Kau manusia anjing, kerjamu merusak wanita suci ! Tidak adillah rasanya Tuhan memelihara manusia seperti kau ini !”

Denga suara yang tidak kalah geramnya, dengan nada yang tidak kalah tingginya, Liu Eng Lam segera membalas :

“Kau bajingan tengik.... kau perampok ulung.... manusia berselimut serigala.... Tuhan wajib mengutuk dirimu, cukuplah sudah waktunya kau harus mati !”

Jago Golok Emas Pang Tiauw Hui membentak lagi :

“Kau adalah seorang kongcu hidung belang ! Liu Eng Lam, betul-betul kau gila pipi licin, melihat nyonya Lian Seng Pek, timbul niatan jahatmu, sehingga berani menentang perintah Siao kongcu ! Lupakah kau kepada kekejaman Siao kongcu, karena perbuatan kau ini, aku dapat terseret olehmu ! Kematian sudah berada diambang pintu untukmu.”

Liu Eng Lam berkata lagi :

“Kau hendak mencuci diri ?”

“Tentu.” berkata Pang Tiauw Hui. “Aku tidak turut serta dalam penghianatanmu ini, hanya kau yang membunuh ketiga orangnya, bukan aku.”

“Tapi Siao kongcu tidak mau perdulikan soal itu. Kukira, lebih baik kau bekerja sama denganku.” bujuk Liu Eng Lam.

“Tidak !” Pang Tiauw Hui menolak “Siapa kesudian harus bekerja sama dengan orang kotor seperti kau ?”

“Lalu kau mau apa ?”

“Menangkap dan menyerahkan dirimu kepada Siao kongcu !” bentak Pang Tiauw Hui.

“Kau mampu ?” Liu Eng Lam menantang.

“Mengapa tidak ?” Pang Tiauw Hui sudah mengeluarkan goloknya.

Persiapan pertempuran segera terjadi. Liu Eng Lam mengeluarkan pedangnya. Dua jago itu sudah bersitegang keras sekali.

Dari dua jago yang ternama menjadi dua ekor anjing gila, Pang Tiauw Hui dan Liu Eng Lam bertempur. Satu dengan golok ditangan dan satu dengan pedang, mereka sudah mulai bertempur.

Nyonya cantik jelita Sim Pek Kun mengikuti perdebatan mereka tadi, dan kini dibiarkan lagi kedua jago itu bertempur.

Angin menderu-deru, sinar pedang dan golok berkilat-kilat, menggulung kedua jago yang masing-masing mempunyai pendirian lain, pertempuran itu berjalan hebat sekali.

Sim Pek Kun dilahirkan dalam suatu keluarga besar yang berkepandaian silat, sedikit banyak ia dapat memberi ukuran yang agak tepat, pertempuran Liu Eng Lam dan Pang Tiauw Hui tidak mungkin selesai dalam waktu yang singkat, karena tenaga dalam mereka dan tipu-tipu silat mereka seimbang. Paling sedikit harus memakan waktu tiga ratus jurus, baru dapat diselesaikan.

Dua orang yang bertentangan pendapat bertempur hebat, Liu Eng Lam hendak menolong si cantik jelita Sim Pek Kun karena ia sayang kepada kecantikan nyonya itu, dan hendak digunakan sendiri, tidak mau diserahkan kepada Siao kongcu.

Pang Tiauw Hui masih takut kepada kekuasaan Siao kongcu, maka dia tidak mau diturut sertakan didalam pemberontakan tadi. Dan dengan maksud menangkap Liu Eng Lam dia dapat menarik pahala lain.

Sim Pek Kun mengertek gigi, ia tahu bahaya yang sedang mengancam dirinya, maka biar bagaimana dia harus berusaha meninggalkan tempat itu.

Sim Pek Kun membuka jendela kereta, dan disana terdapat bangsal tempat duduk si kusir, diangkatnya bangsal tempat duduk itu dan dilempar kearah kuda.

Terdengar ringkikan kuda yang merasa sakit terkena pukulan bangsal tempat duduk tadi, empat kaki kuda terangkat naik dan kabur pergi, gerakan ini disertai oleh kuda disampingnya, dengan membawa kereta yang terdapat Sim Pek Kun, kaburlah binatang-binatang itu.

Kejadian ini tidak disadari oleh Liu Eng Lam dan Pang Tiauw Hui.

Kereta yang membawa Sim Pek Kun lari kencang.

Kuda yang menarik kereta berlari semakin keras, keadaannya sangat berbahaya, tapi Sim Pek Kun membiarkan kejadian itu berlangsung terus, ia tidak berusaha menghentikannya dan juga tidak berusaha lompat keluar dari kereta.

Dia lebih suka mati tertumbuk batu atau terpelanting jatuh, dia tidak bersedia jatuh ketangan Liu Eng Lam. Liu Eng Lam adalah Kongcu hidung belang, kongcu yang sering memperkosa wanita.

Goncangan kereta yang tidak terkendalikan itu sangat keras sekali, Sim Pek Kun diobrak-abrikkan didalam kereta, kakinya yang mulai kejang terasa sangat sakit, tapi dia membiarkannya begitu saja.

Sengsara badan yang dirasakan olehnya tidak berarti bilamana dibandingkan dengan suara hati yang tidak terperihkan itu.

Seseorang yang hendak menunggu ajal kematiannya sering berpikir yang bukan-bukan dan sering berpikir kejadian-kejadian yang aneh, sering berpikir tentang sesuatu yang belum pernah terpikir olehnya.

Dan kejadian ini, bayangan yang terpikir oleh Sim Pek Kun bukan bayangan ibu bapaknya juga bukan bayangan suaminya, itulah suatu bayangan yang sangat asing, bayangan seorang laki-laki dengan pakaian yang compang-camping, dengan sepasang matanya yang liar dan nakal menatap kearahnya, itulah Siauw Cap-it-long.

Kalau saja tadi dia mau percaya keterangan laki-laki itu, tidak akan mungkin dapat terjadi kejadian seperti ini.

Inilah suatu kesalahan. Suatu kesalahan yang membawa akibat panjang, dan dia harus menerima akibat-akibatnya sekarang.

Lenyap bayangan Siauw Cap-it-long baru terpeta bayangan Lian Seng Pek.

Kalau saja suami itu bersedia mendampingi dirinya, mana mungkin dapat terjadi kejadian-kejadian yang seperti ini ?

Tidak mungkin. Lian Seng Pek mempunyai ilmu kepandaian yang tinggi, dan sang suami itu cukup untuk menjamin keselamatan dirinya. Sim Pek Kun memberi sesalan yang tidak terhingga kepada Lian Seng Pek.

Timbul suatu niatannya yang berontak pada kenyataan, dia pikir : Bilamana aku dinikahkan dengan seseorang biasa saja, bukan seorang jago silat seperti Lian Seng Pek, takkan mungkin semua ini terjadi. Hidupku tenang tidak bergelombang, dan cukup puas setiap hari didampingi oleh seorang suami yang sangat mencinta.

Terbayang kembali wajah laki-laki bermata liar itu. Nah, bayangan Siauw Cap-it-long lagi.

Suatu perbandingan yang menyolok mata sifat-sifat Lian Seng Pek dan Siauw Cap-it-long berbeda sekali.

Sim Pek Kun berpikir :

“Kalau aku kawin dengan laki-laki itu, tentunya tidak seperti Lian Seng Pek yang lebih mementingkan usaha daripada istri sendiri....”

Inilah akibat suatu pikiran yang sudah berontak kepada kenyataan, entah bagaimana Sim Pek Kun mempunyai pikiran yang bukan-bukan, mungkinkah dia dapat kawin dengan Siauw Cap-it-long ?

Kereta masih berguncang terus, kaki-kaki kuda berketoprakan ditanah, membawa penumpangnya lari tanpa tujuan.

Apapun tidak dipikir kembali oleh Sim Pek Kun, dia memeramkan matanya, dan bersedia menerima kematian. Mati jatuh kedalam jurang, atau tertumbuk kebatu besar, adalah lebih baik dari pada jatuh kedalam tangan Liu Seng Lam.

Tiba-tiba … Terdengar satu suara benturan yang sangat keras, kereta itu rusak dan jatuh jumpalitan.

Nasib Sim Pek Kun belum ditakdirkan mati, kebetulan sekali tubuhnya terpelanting pada daun pintu kereta, pintu itu terjeblak terbuka dan tubuh si nyonya cantik-jelita jatuh, jatuhnyapun demikian tepat, ia jatuh diatas rumput-rumput yang tebal, walaupun sangat sakit sekali, dia tidak sampai mati.

Ternyata kuda itu telah menyeret kereta menubruk sebuah pohon besar, dan hanya dengan sisa kayu-kayu kereta saja sang kuda masih melarikan diri terus meninggalkan kereta yang sudah hancur rusak ditempat itu.

Sim Pek Kun terbaring didalam keadaan yang sakit sekali.

Dimisalkan Sim Pek Kun tidak terlempar keluar dari kereta itu, sudah pasti jiwanya melayang pergi. Inilah peruntungannya yang masih bagus.

KAWIN PAKSA

SIM PEK KUN tidak segera bangkit dari tempat jatuhnya semula, dia terbaring ditempat itu beberapa lama, dengan memejamkan kedua matanya.

Dikala Sim Pek Kun membuka kedua matanya, dia menyaksikan suatu pemandangan yang menakutkan. Didepannya berdiri seseorang, itulah Liu Eng Lam.

Liu Eng Lam sudah berdiri di depan Sim Pek Kun, tapi wajahnya sudah berlainan sama sekali, gerak geriknya bukanlah gerak gerik yang tadi diperlihatkan.

Pipi Liu Eng Lam sudah matang biru, bengap seperti habis dipukul orang, tubuhnya menggigil seperti orang kedinginan, seolah-olah takut kepada Sim Pek Kun.

Mengapa Liu Eng Lam takut kepada Sim Pek Kun?

Inilah yang sedang dipikirkan oleh si nyonya cantik jelita. Seharusnya dialah yang takut kepada kongcu hidung belang itu.

Lama sekali Liu Eng Lam berdiri, lalu perlahan-lahan dia menghampiri korbannya.

Yang heran ialah wajah Liu Eng Lam tidak memperlihatkan satu wajah yang riang gembira, seolah-olah napsu birahinya sudah lenyap sama sekali. Gerakannya sangat lambat, seolah-olah dibanduli oleh besi yang beratnya ratusan kilo.

Sim Pek Kun menjadi begitu takut, segera dia hendak melarikan diri, tapi tidak berdaya. Ia hendak bangkit dan berjalan, tapi segera jatuh lagi.

Liu Eng Lam maju tiga tapak lagi.

Sim Pek Kun segera membentak:

“Berhenti! Berani kau maju setapak lagi, segera aku bunuh diri di hadapanmu.”

Kongcu hidung belang Liu Eng Lam ternyata bisa dengar kata, betul-betul dia berhenti. Tidak maju lagi.

Sim Pek Kun mengeluarkan keluhan napas lega. Apa yang menyebabkan perubahan Liu Eng Lam? Mengapa dia begitu jinak?

Jawaban ini sangat sulit diduga, sebab saat inilah tiba-tiba terdengar satu suara, datangnya dari arah Liu Eng Lam:

“Jangan takut, dia tidak mungkin mati, dia juga tidak mungkin bisa bunuh diri. Siapakah yang bisa mati tanpa ijin dariku?”

Suara ini sangat merdu, berwibawa, inilah suara si anak kecil yang jahat itu, Siao kongcu!

Kata-kata Siao kongcu ditujukan kepada Liu Eng Lam.

Wajah Liu Eng Lam berubah, rasa takutnya hinggap terulang kembali. Betapa kejamnya Siao kongcu itu, ia sudah tahu betul.

Bukan sekali ini Sim Pek Kun mendengar suara Siao kongcu, berulang kali dia pernah mendengarnya, itulah suara yang paling menyeramkan.

Sangat masuk di akallah bila Liu Eng Lam ketakutan setengah mati, ternyata Siao kongcu berada di belakangnya.

Bentuk tubuh Siao kongcu terlalu kecil, ia berada di belakang tubuh Liu Eng Lam, karena itulah Sim Pek Kun jadi tidak dapat melihatnya.

Adanya Siao kongcu di tempat ini betul-betul memaksa Sim Pek Kun tidak bisa mati.

Didepan Siao Kongcu yang berkepandaian tinggi, siapa yang bisa bunuh diri ?

Terlihat satu bayangan kecil melesat, tahu-tahu Siau Kongcu sudah berada didepan Sim Pek Kun, dengan tertawa haha hihi, dengan suara yang seperti manis budi, gadis berpakaian pria ini berkata :

“Nyonya-ku yang baik, jangan harap kau bisa mati, kau akan lebih sengsara lagi. Kukira kau sedang berada dalam keadaan kesepian, maksudku ialah memberi kau seorang kawan untuk mendampingimu.”

Siao Kongcu mengenakan baju luar berwarna merah, diatas kepalanya hitam jengat bertudung kopiah kuning emas, tertiup angin dan bergoyang-goyang, wajahnya yang putih bersemu kemerah-merahan itu benar-benar bisa membuat orang terpikat kepadanya. Seharusnya orang yang seperti ini adalah orang yang menarik hati.

Kenyataan tidak. Menyaksikan munculnya Siao Kongcu ditempat itu membuat Sim Pek Kun ketakutan sekali, seolah-olah bertemu dangan ular yang sangat berbisa, seekor binatang yang paling ditakuti didalam dunia. Dengan suaranya yang gemetaran Sim Pek Kun berkata :

“Permusuhan apakah yang pernah terjadi di antara kita ? Mengapa kau menggangguku selalu ?”

Siao Kongcu tertawa, dengan sikapnya yang manis dia berkata :

“Justru karena belum pernah terjadi permusuhan antara kita, aku jadi harus membuat satu sengketa baru lebih dahulu. Dan karena kita tidak bermusuhan, aku tidak dapat membiarkan kau mati bunuh diri.”

Kemudian Siao Kongcu menoleh kearah Liu Eng Lam, dan menggapaikan tangannya kepada kongcu hidung belang itu :

“Hayo..... Kemari..... mengapa kau berdiri seperti patung disana ? Kau sudah dewasa, bukan ? Mengapa harus malu ?”

Liu Eng Lam menundukkan kepala lalu setapak demi setapak dia melangkah, dengan tindakan berat dia maju kedepan.

Liu Eng Lam sudah berkhianat kepada Siao Kongcu, tapi Siao kongcu tidak membunuhnya, inilah suatu kejadian yang janggal sekali.

Siao kongcu bukanlah tokoh silat yang mudah dihadapi, entah apa yang sedang dipikirkan olehnya ? Liu Eng Lam lebih suka mati didalam tangan jago kecil ini, terlalu kejam sekali dia menganiaya orang.

Siao kongcu sudah berdiri didepan Sim Pek Kun, dan Liu Eng Lam pun mendampingi mereka. Waktu itulah Siao kongcu tiba-tiba menggoyang-goyangkan kepalanya, dengan suara yang sangat merdu didengar dia berkata :

“Nah, bagaimana kau tidak berhati-hati sehingga membiarkan orang memukul kedua pipimu seperti ini ?”

Orang yang belum mengenal kepribadian Siao kongcu; tentu akan menduga bahwa kedua pipi Liu Eng Lam yang sudah rusak itu adalah hasil kerja orang lain. Tapi kenyataannya tidaklah demikian, itulah hasil buah tangan Siao kongcu sendiri.

Dari dalam saku bajunya Siao kongcu mengeluarkan sebuah sapu tangan putih, dihampirinya Liu Eng Lam dan menggosok-gosokkan sapu tangan itu pada kedua pipi si kongcu hidung belang. Gerakannya sangat luwes sekali, seolah-olah seorang ibu yang sangat prihatin kepada putranya.

Liu Eng Lam menyengir, seolah-olah hendak dipaksakan tertawa. Tapi mungkinkah dia dapat tertawa ? Keadaannya lebih menyedihkan dari pada kalau dia menangis. Lebih buruk dari pada wajah seorang yang menangis.

Setelah selesai mengusap-usap kedua pipi Liu Eng Lam yang matang biru itu, Siao kongcu menggibrik-gibrikkan baju Liu Eng Lam juga. Dan dibersihkannya dengan baik sekali. setelah itu dia berkata :

“Nah, dengan memaksakan diri didalam keadaan seperti ini kau dapat bertemu dengan orang. Tapi lain kali berhati-hatilah jangan sampai terpukul wajahmu sendiri, wajah tampan adalah modal penting.”

Liu Eng Lam menganggukkan kepala, seolah-olah boneka hidup saja. Dia membiarkan dirinya dikendalikan oleh Siao kongcu.

Liu Eng Lam mempasrahkan diri, Sim Pek Kun juga pasrahkan nasib dia pejamkan kedua belah matanya dan menunggu tindakan-tindakan selanjutnya.

Melihat kedua mata Sim Pek Kun yang dipejamkan, wajah Siao kongcu berubah, segera dia membentak :

“Buka matamu, dan dengarlah perintahku. Bila ku ajukan suatu pertanyaan, jawablah dengan terus terang. Jangan kau main gila ! jangan menbuat aku marah, ya ! Bila sampai terjadi sesuatu, umpamanya kusobek atau kucopot pakaianmu, apakah yang akan terjadi ? Disitu akan timbul suatu manusia cantik jelita telanjang bulat, itulah kau. Berpikirlah baik-baik!”

Sebelum ucapan tadi selesai dikeluarkan, kedua mata Sim Pek Kun dibuka kembali. Betul-betul ia mendengar perintah. Siao kongcu tertawa girang, dengan sungguh-sungguh dia berkata :

“Nah, inilah baru namanya seorang anak yang baik.”

Umur Siao kongcu sebenarnya jauh lebih muda daripada Sim Pek Kun, tapi dia menyebut nyonya cantik itu sebagai anak baik. Sungguh menggelikan sekali dalam pendengaran umum.

Tapi, rasa geli ini tidak dirasakan oleh Sim Pek Kun, juga tidak begitu meresap dalam pendengaran Liu Eng Lam, karena mereka sedang dalam kesulitan.

Selesai memperanakan Sim Pek Kun, Siao kongcu menepuk-nepuk pundak Liu Eng Lam dan berkata kepadanya :

“Inilah Bu-ya-kiam-khek Liu Eng Lam yang ternama, belum lama saja sudah membunuh orang. Satu kusir kereta, dua wanita berbaju hijau dan satu lagi adalah kawan baiknya sendiri si Jago Silat Golok Emas Pang Tiauw Hai.”

Dan Siao kongcu menoleh kepada Sim Pek Kun seraya bertanya:

“Tahukah kau, mengapa dia melakukan pembunuhan-pembunuhan tadi?”

Sim Pek Kun menggoyangkan kepala.

Siao kongcu mendelikkan sepasang matanya, segera dia membentak keras:

“Kau sudah tidak mempunyai mulut, heh! KAngan cuma goyang-goyang kepala! Jawab pertanyaanku dengan mulut, bicara segera!”

Dada Sim Pek Kun dirasakan seperti mau meledak, tetapi bertemu dengan manusia seperti Siao kongcu ini, apa yang bisa diperbuatnya? Kecuali menurut segala perintahnya, tidak ada lain jalan. Karena itulah dengan menahan butiran-butiran air mata yang sudah berada di ujung kelopak matanya, ia memaksakan diri berkata:

“Aku....aku.... tidak tahu”

Siao kongcu menggeleng-gelengkan kepala, kemudia berkata lagi:

“Bohong! Kukira kau tidak bisa tidak tahu. Kau tahu, kau pasti tahu mengapa Liu Eng Lam membunuh kawannya, mengapa Liu Eng Lam membunuh dua wanita berbaju hijau dan membunuh kusir kereta itu? Kau tahu, bukan?”

Sim Pek Kun terpaksa menganggukkan kepala dan menjawab:

“Betul. Betul.... aku tahu,”

“Tentu saja kau tahu,” berkata Siao kongcu.

Sim Pek Kun diam, sementara Siao kongcu sudah nyerocos lagi:

“Dia sudah jatuh cinta kepadamu, cintanya itu sesungguh hati, bukan?”

“Aku....aku.... aku tidak tahu.” Sim Pek Kun semakin gugup.

“Bagaimana kau tidak tahu?” berkata Siao kongcu. “Nah, jawab lagi sebuah pertanyaanku: Pernahkah Lian Seng Pek membunuh orang karenamu?”

Sim Pek Kun berkata:

“Belum”

“Nah,” berkata Siao kongcu. “Inilah suatu bukti, bahwa Liu Eng Lam lebih besar cintanya dari pada Lian Seng Pek.”

Inilah suatu siksaan batin, Sim Pek Kun tidak dapat menahan gejolak hatinya, segera dia mengutarakan ketidak-puasan itu, dengan suara yang sember dan terisak-isak dia berkata:

“Kau.... kau ini manusia dari mana? Begitu kejam!” Dengan maksud apa kau menyiksa orang sampai begini rupa?”

Siao kongcu menghela napas, seolah-olah tidak mendengar suara gugatan Sim Pek Kun tadi, dia mengoceh sendirian:

“Oh … angin semakin keras bertiup. Kalau aku telanjang bulat ditempat dan dalam keadaan seperti ini, tentu akan masuk angin … Oh, aku malu sekali … masakan ditelantarkan ditengah jalan tanpa selembar benangpun …!”

Tekadnya untuk membunuh diri diurungkan, Sim Pek Kun memejamkan matanya, menggerentek menjulurkan lidahnya. Banyak orang mengatakan, manusia yang menggigit lidahnya sendiri bisa mati segera. Ia bersedia mengambil jalan nekad tersebut untuk menghindari siksaan-siksaan yang lebih hebat lagi.

Tapi gerakan Siao-kongcu terlalu cepat, sebelum Sim Pek Kun berhasil menggigit lidahnya sendiri, tangan si gadis berpakaian pria sudah menekan gerahamnya. Dicekal begitu rupa, sudah tentu tidak bisa Sim Pek Kun bunuh diri.

Dengan suara yang dibuat-buat, selembut-lembut mungkin, Siao-kongcu lalu berkata perlahan sekali:

“Seseorang yang mau hidup tidak mudah, mau mati juga tidak gampang-gampang. Barangkali kau baru dapat membuktikan kenyataan-kenyataan ini sekarang, bukan?”

Geraham Sim Pek Kun tertekan keras, sudah tentu jadi tidak bisa bicara lagi. Maka ia hanya mengangguk perlahan.

Siao-kongcu berkata lagi:

“Mau kau jawab pertanyaanku?”

Sim Pek Kun mengangguk lagi.

Dalam dunia tidak ada lagi yang lebih susah dari pada seseorang yang tertekan, hati, tertekan jiwa dan bathinnya. Sim Pek Kun kini mengalami hal seperti itu.

Siao-kongcu tertawa, dia berhasil menekan si nyonya cantik-jelita. Lebih dahulu dilepaskannya pegangan tangannya, baru berkata:

“Kau adalah seorang pintar, tentu kau tahu bagaimana harus menghadapi orang. Aku kira tidak bermaksud membunuh diri lagi bukan?”

Sim Pek Kun menganggukkan kepala.

“Betul.” Ia berkata. “Biarlah aku mendapat kebebasan bicara lagi.”

Siao-kongcu berkata sambil tersenyum:

“Hutang budi harus dibalas dengan budi. Ini adalah salah satu bunyi pepatah kuno. Dapatkah kau memahaminya? Seperti kau tahu Liu Eng Lam itu sudah sangat cinta kepadamu. Itu adalah budi. Jadi, seharusnya kau juga harus membalas dengan budi lagi, bukan?”

“Betul.” Hati Sim Pek Kun sudah menjadi beku, dia menjawab sekenanya.

“Kau mau membalas budi orang itu?” desak lagi Siao-kongcu.

Pandangan mata Sim Pek Kun tertuju kearah tempat yang jauh sekali, dengan suara datar menjawab:

“Aku wajib membalas budinya.”

Siao-kongcu berkata: “Seorang wanita yang hendak membalas budi seorang pria, hanya ada satu cara yang paling mudah. Kau seorang wanita, tentunya memahami cara-cara terbaik apa yang kaumaksudkan itu.”

Pikiran Sim Pek Kun menjadi kalut sendiri, apapun seperti tidak ada di tempat itu, seolah-olah dia telah menjadi sebuah patung hidup, yang tidak mempunyai hak bicara dan tidak mempunyai hak bertindak sendiri. Segala sesuatu harus mengikuti kemauan pembuatnya.

Apa yang diucapkan oleh Siao Kongcu boleh tidak dianggap sama sekali. Dia mendengar, tapi seolah-olah tidak mendengarnya.

Sementara itu sudah berkata lagi, “Liu Eng Lam hendak kawin denganmu. Maukah kau membalas budi ini? Maukah kau menjadi istrinya?”

Sejenak Sim Pek Kun tertegun, akhirnya menjawab dengan gugup, “Aku … aku …!”

“Kau tidak mau berdiri di depan orang tanpa pakaian, bukan? Apalagi di tengah malam seperti ini! Hendaknya kau dapat memahami maksud kata-kataku ini.” Berkata Siao Kongcu pula. Tapi Sim Pek Kun malah bungkam.

“Angin bertiup begini kencangnya, bisa masuk angin kau nanti.”

Tanpa menghiraukan reaksi Sim Pek Kun yang sudah berhasil dikuasai oleh Siao Kongcu, dia berpaling kepada Liu Eng Lam, dan berkata padanya,

“Kau tentunya sangat cinta kepadanya. Maukah kau memperistri dia?”

Liu Eng Lam seolah-olah sudah dijanjikan patung hidup, dia juga seperti tidak mempunyai hak bicara lagi, segala sesuatu sudah diserahkan Siao Kongcu untuk diaturnya, mendengar pertanyaan ini, dia menjadi semakin gugup, “Sebetulnya, …aku ….” Liu Eng Lam merasa sulit untuk memberikan jawaban. Apa yang harus dijawabnya?

Sambil tertawa Siao Kongcu berkata, “Mau …mau…tapi bagaimana dengan ….”

“Kau takut dia tidak mau?” memotong Siao Kongcu.

Liu Eng Lam menundukkan kepalanya semakin ke bawah.

Siao Kongcu cepat-cepat berkata lagi,

“Betul-betul kau seorang tolol! Dia sudah mau membalas budimu. Dengan suatu pernyataan yang halus dia sudah mengatakan bersedia menjadi istrimu, apa lagi dia sudah melakukan malam pengantin, apa yang bisa diperbuat olehnya?”

Mengawini seorang nyonya yang sangat cantik jelita, itulah sudah merupakan maksud tujuan Liu Eng Lam. Tapi dalam keadaan seperti ini, atas paksaan-paksaan dan tekanan-tekanan kekerasan Siao Kongcu, bagaimana dia harus memberikan jawaban?

SIAW CAP-IT-LONG datang kembali

Adapun maksud serta tujuan Liu Eng Lam yang berkhianat kepada Siao Kongcu adalah mendapat sedikit kesenangan dari si nyonya cantik jelita Sim Pek Kun, kini Siao Kongcu hendak menikahkannya dengan wanita itu, tentu saja dia kesenangan sekali. Sayang perasaannya masih tertekan, sedikit banyak rasa takut itu masih ada, sepasang matanya ditetapkan kepada Sim Pek Kun, nyonya itu tetap cantik, tetap jelita, tetap menarik.

Siao Kongcu berkata lagi,

“Inilah suatu kesempatan bagus, mau kaugunakan atau tidak? Bila kau mau, harus menganggukkan kepala, dan aku akan segera menjadi wali kalian supaya kalian bisa segera melangsungkan pernikahan di tempat ini”

“Di tempat seperti ini?” Liu Eng Lam semakin terkejut.

Dengan dingin, Siao kongcu berkata,

“Yah! Apakah kau tidak setuju? Ini suatu yang bagus. Bukan saja sebagai kamar pengantin, juga boleh dijadikan sebagai tempat kuburan. Coba aku mau tahu bagaimana kau hendak menjawab pertanyaanku?”

Berulang kali Liu Eng Lam menganggukkan kepala, cepat-cepat dia berkata,

“Aku sih senang saja … aku mau … aku mau. Biarlah segala sesuatunya kuserahkan kepada Siao kongcu saja.”

Siao kongcu sangat puas sekali, dia berkata dengan sangat girang, “Nah, begitu baru betul. Begitu baru dapat dinamakan seorang anak baik. Aku akan segera membuat persiapan kalian. Baik-baiklah kau menjaga mempelai perempuan. Dia hanya mempuyai sebatang lidah, bilamana lidah itu digigit dan putus, sebentar lagi apa yang dapat kau mainkan?”

Liu Eng Lam mendapat tugas untuk menjaga Sim Pek Kun.

Siao kongcu sudah menyerahkan tugas pengawasannya kepada Liu Eng Lam, dengan tenang ia lalu memetik dua tangkai dahan pohon. Dua tangkai pohon itu dibuatnya seperti berbentuk lilin, ditancapkannya di tanah dan berkata kepada Liu Eng Lam dan Sim Pek Kun,

“Inilah lilin pengantin kalian.”

Ditunjukanya lagi kereta yang sudah pecah-pecah itu, dan berkata,

“Itulah kamar pengantin kalian. Nanti kalau kalian berdua sudah memasuki malam pertama, jangan khawatir, aku akan menjaga kalian di tempat ini. Kuharap saja, setelah menjadi suami-istri yang sah, kalian tidak akan melupakan aku yang sekarang menjadi mak comblang kalian.”

Liu Eng Lam memandang ke arah kereta yang sudah rusak itu, lalu menoleh ke arah Sim Pek Kun. Kini mengertilah dia sudah, bahwa karena tergila-gila oleh paras cantik dia akhirnya harus menderita begini. Suatu perjodohan yang dipaksakan!

Tiba-tiba saja dia bertekuk lutut di hadapan si Siao kongcu, dengan separuh meratap berkata,

“Siao kongcu …, aku mohon pengampunanmu….”

Tapi si Siao kongcu dengan cepat berkata, “Kau sudah berkhianat kepadaku. Aku tak menarik panjang urusan ini, sudah terlalu baik, bukan? Buat kau malah sudah kucarikan seorang perempuan yang cantik, yang akan kujodohkan kepadamu. Apakah kau masih kurang puas juga? Apa lagi yang kau mau?”

“jadi, sukakah kongcu mengampuniku?”

“Kalau aku tak suka mengampuni kau, sebatang golok tentunya sudah masuk ke dalam tubuhmu sejak tadi, kau mengerti?”

Rasa girangnya Liu Eng Lam tidak alang kepalang, ia menarik napas lega, lalu berulang kali mengucapkan terima kasih.

Bagian 5 Selesai
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar