Anak Berandalan Bagian 14

Baca Cersil Mandarin Online: Anak Berandalan Bagian 14
Anak Berandalan
Gu Long (Khu Lung)
-------------------------------
----------------------------

Baca Cersil Mandarin Online: Anak Berandalan Bagian 14

Siao Kongcu berkata, “Maka sudahkah kau ketahui kalau Sim Pek Kun itu juga mencintai Siauw Cap-it-long?”

Raja gila boneka Thian Kongcu berkata, “Hanya seseorang yang picik, baru tidak mengetahui cara2 cinta seseorang. Hanya seseorang yang picik, tidak mengetahui kalau wanita itu mencintai laki2 yang dikasihi olehnya.”

Siao Kongcu Ling ling menggigit bibirnya, ia bertanya, “Kau percaya kalau kau bisa mendapatkan Sim Pek Kun?”

Raja gila boneka Thian Kongcu berkata, “Kalau saja ia berani mendampingiku, kalau saja ia balik kembali, pasti akan kudapatkan wanita itu.”

Siao kongcu kini bertanya lagi, “Sesudah kau tahu, kalau Sim Pek Kun jatuh hati kepada Siauw Cap-it-long, mengapa kau masih menginginkannya?”

Raja gila boneka Thian Kongcu berkata, “Kalau saja aku bisa mendapatkannya, aku akan mempunyai cara2 untuk melepaskan kenang-kenangan lamanya.”

Tangan Siao Kongcu yang meng-urut2 itu semakin lama semakin lemah, akhirnya ia terhenti. Kepalanya ditundukkan ke bawah, dua butir air mata jatuh di tanah.

Raja gila boneka Thian kongcu membalikkan kepala, menarik tangan Ling ling, ia tertawa dan merangkul gadis cantik itu, dengan gayanya yang istimewa, ia berkata:

“Cara-cara ini tidak mungkin diketahuiu orang lain, kecuali kau!”

Ling ling menangis sesungukkan, menangis di dalam pelukan raja gila boneka.

* * *

Menceritakan perjalanan Siauw Cap-it-long.

Sesudah berhasil membongkar rahasia istana ajaibnya Thian Kongcu, Siauw Cap-it-long meminta Sim Pek Kun, mengajak sang ratu rimba persilatan, meninggalkan tempat tersebut.

Di dalam istana boneka, Sim Pek Kun lebih bisa menyelami hati Siauw Cap-it-long.

Siauw Cap-it-long bisa merasakan betapa besar cinta kasih Sim Pek Kun.

Di dalam istana boneka, mereka telah melupakan se-gala2nya.

Siauw Cap-it-long dan Sim Pek Kun banyak melupakan kesengsaraan2 mereka.

Kini mereka sudah bebas dari kekuasaan raja gila boneka Thian Kongcu, meninggalkan istana boneka.

Mereka mendapat kebebasan kembali.

Tapi kebebasan di dalam hal lain, mereka mendapat tekanan kebebasan tertentu.

Seseorang yang hidup tidak bisa melupakan cara2 yang sudah lama mereka lewatkan.

Siauw Cap-it-long tidak lagi merendengi Sim Pek Kun, ia sengaja berjalan di belakang wanita tersebut.

Gap pemisah kesusilaan harus dijaga keras!

Sim Pek Kun pandai membawa diri, ia tidak menunggu pikiran laki2 tersebut, ia jalan tetap di muka.

Bahaya telah lalu. Mereka harus mengenal aturan, mereka harus menggunakan tata krama kehidupan manusia yang normal.

Seharusnya hati mereka menjadi girang, karena sudah berhasil lari dari cengkeraman Thian Kongcu.

Tapi kenyataannya tidak. Dugaan mereka begitu cepat meleset!

Biar bagaimana, sudah waktunya mereka berpisahan.

Siauw Cap-it-long harus mengantarkan Sim Pek Kun ke dalam kedua pelukan suami ratu tersebut.

Di saat ini, tiba2 terdengar suara kuda yang dilarikan sangat cepat, arahnya dari belakang mereka.

Siauw Cap-it-long sedang berpikir, bagaimana harus menarik Sim Pek Kun agar mereka bisa mengalahkan bahaya yang baru datang itu? Menghindar dari terjangan kereta?

Di saat ini, kereta sudah berhenti di samping sisi mereka.

Kereta ditarik oleh empat ekor kuda pilihan, larinya sangat cepat, berhentinya pun baik, kereta itu berwarna hitam, dicat sangat mengkilap, suatu kereta kebesaran.

Jendela kereta tersingkap, di sana muncul dua wajah misterius. Inilah kedua kakek tukang main catur.

Orang tua yang berbaju coklat berkata, “Naiklah!”

Orang tua yang berbaju hijau juga berkata, “Kami mendapat tugas untuk mengantar kalian!”

Siauw Cap-it-long menjadi ragu2, menerima hormat itu dan berkata, “Terima kasih atas kebaikan djiwi berdua. Tapi kami masih kuat untuk berjalan, tolong sampaikan kepada junjungan kalian, bahwa kami tidak bisa menerima cara2 pengantaran yang terlalu di-besar2kan.”

Orang tua berbaju coklat meng-geleng2kan kepala dan berkata, “Tidak mungkin, biar bagaimana kami harus mengantarkan.”

“Betul,” turut sambung bicara si orang tua berbaju hijau. “Harus diantar.”

“Mengapa?” bertanya Siauw Cap-it-long.

Orang tua berbaju coklat berkata, “Karena kau adalah orang pertama yang bisa keluar dari dalam istana boneka dalam keadaan segar bugar.”

Orang tua berbaju hijau berkata, “Karena kau adalah orang pertama yang bisa membebaskan kami berdua.”

Dan wajah orang tua itu memperlihatkan sikapnya yang dingin, tapi dua pasang mata memancarkan kehangatan manusia. Kehangatan dari jago2 rimba persilatan.

Untuk pertama kalinya, Siauw Cap-it-long bisa merasakan bahwa kedua tokoh silat tiga jaman itu betul-betul masih hidup.

Akhirnya Siauw Cap-it-long menerima tawaran, mengajak Sim Pek Kun menaiki kereta.

* * *

Keadaan di dalam kereta istana boneka itu tidak kalah mewahnya dari apa yang ada pada perabot2 istana, serba mewah, serba menarik.

Duduk di tempat yang seperti itu, tentunya sangat nyaman dan…

Tapi Sim Pek Kun tidak bisa merasakan kemewahan tersebut. Hatinya beku dan kalut, sikapnya dingin, sangat adem.

Sim Pek Kun duduk di dalam kereta seperti patung hidup, sepasang matanya memandang jauh keluar tanpa isi sama sekali.

Siauw Cap-it-long juga bisa merasakan perobahan2, tapi ia tidak bisa dan tidak berhak untuk mengganggu ketenangan sang ratu rimba persilatan.

Orang tua berbaju coklat memandang Siauw Cap-it-long dan berkata, “Sesudah meninggalkan tempat ini, jangan sekali-kali kalian balik kembali.”

Orang tua berbaju hijau juga berkata, “Tidak perduli apa yang terjadi, jangan kau balik kembali.”

“Mengapa?” Siauw Cap-it-long menarik rasa curiga, syak wasangka.

Orang tua berbaju coklat memperlihatkan rasa takut yang luar biasa, ia berkata serak:

“Karena dia bukan orang, bukan manusia.”

Orang tua berbaju hijau berkata, “Dia adalah iblis! Dia adalah hantu! Dia adalah manusia jejadian yang paling kejam!”

Siauw Cap-it-long bisa menyelami isi maksud tujuan dari kedua orang tua tukang main catur itu, mereka sedang mengibaratkan si raja gila boneka Thian Kongcu.

Orang tua berbaju coklat berkata lagi, “Siapa yang bertemu dengannya, tujuh turunan nasib sial. Lebih baik mati daripada hidup di bawah cengkeramannya.”

Orang tua berbaju hijau berkata: “Kau bisa mengerti, siapa yang kami artikan itu”

Siauw Cap-it-long mengangguk-anggukkan kepala dan berkata :

“Boanpwe mengerti, dan boanpwe juga bisa menduga, bagaimana asal usul jiwie berdua.”

“Tentu saja kau bisa menduga.” berkata orang tua berbaju coklat. Dengan ilmu kepandaian yang kau miliki, untuk rimba persilatan dewasa ini, tidak ada orang keempat yang bisa menandingimu. Kami berdua termasuk didalam empat orang itu.”

“Dia adalah orang pertama.” Berkata orang tua berbaju hijau.

“Iblis pertama.” berkata orang tua berbaju coklat, “Dia adalah iblis jahat tanpa tandingan.”

Siauw Cap-it-long memandang kedua orang tua dan mengajukan pertanyaan :

“Kalian termasuk jago-jago tanpa tandingan, mengapa takut kepadanya?”

Orang tua berbaju hijau berkata :

“Tapi kami berdua menggabungkan kekuatan, juga bukan tandingannya.”

Orang tua berbaju coklat berkata :

“Belum pernah ada seorang jago silat yang bisa menerima tiga puluh jurus serangannya.”

Orang tua berbaju hijau berkata :

“Mungkin kau bisa menerima lima belas jurus serangannya.”

Orang tua berbaju coklat berkata :

“Tapi tidak mungkin bertahan lama.”

Siauw Cap-it-long sedang mempertimbangkan peringatan-peringatan baik dari kedua orang tersebut. Ia berpikir dan berkata :

“Kini aku bisa menduga-duga, siapa adanya raja boneka itu.”

Orang tua berbaju coklat berkata :

“Lebih baik kau tidak tahu. Karena itu kau bisa bebas dari ancamannya.”

Orang tua berbaju hijau berkata :

“Setiap saat ia bisa membunuh matimu.”

Siauw Cap-it-long bertanya :

“Jiwie berdua pernah menempurnya ?”

Orang tua berbaju coklat menundukkan kepala, ia berkata sedih :

“Kalau tidak, bagaimana kami bisa berada ditempat itu? Malam main catur, siang main catur, pagi main catur, dan kerjanya setiap hari hanya main catur?”

Orang tua berbaju hijau memandang Siauw Cap-it-long dan bertanya :

“Apa kau kira, kami kesudian bermain catur ?”

Orang tua berbaju coklat berkata :

“Sebenarnya, permainan catur kita itu hanya tergolong permainan catur kelas empat. Tapi tidak ada jalan lain kecuali melewatkan waktu dengan cara-cara yang seperti itu. Terus terang kuceritakan kepadamu, begitu tangan kami memegang biji catur, kepala ini dirasakan menjadi seperti bengkak, semakin lama semakin besar, setiap saat bisa meledak. Tapi.........”

Disaat ini, kereta berhenti,

Orang tua berbaju hijau berkata :

“Baiklah. Hanya sampai disini saja.”

Siauw Cap-it-long memperhatikan kedua kakek itu, ia berkata :

“Mungkinkah Jiwie berdua tidak mau berusaha untuk membebaskan diri ?”

Orang tua berbaju coklat dan orang tua berbaju hijau saling pandang, mereka menyengir, kedua-duanya menggelengkan kepala.

Orang tua berbaju coklat berkata :

“Kami sudah terlalu tua. Tidak mempunyai itu keberanian untuk lari. Tidak mempunyai tenaga lagi.”

Orang tua berbaju hijau lebih sedih lagi, ia berkata hampir menangis :

“Dahulu, pernah beberapa kali kami berusaha melarikan diri. Tidak perduli kemana, pasti dia sudah berada dibelakang kami.”

Siauw Cap-it-long merenungkan dan mencamkan kata-kata peringatan mereka.

“Dengan kekuatan kita bertiga......”

“Jangan memikir sampai ketempat itu.” berkata orang tua berbaju hijau.

Orang tua berbaju coklat juga berkata :

“Jangan kau mencoba-coba.”

“Mengapa ?” bertanya Siauw Cap-it-long.

Orang tua berbaju coklat berkata :

“Kalau saja kau mempunyai pikiran yang seperti itu, maka dia sudah bisa mengetahui dia bisa membunuh.”

Orang tua berbaju hijau berkata :

“Kalau dia hendak membunuh mati seorang, tidak mungkin orang itu membebaskan diri.”

“Tapi........” Siauw Cap-it-long masih belum mengerti jelas.

Orang tua berbaju coklat memotong pembicaraan Siauw Cap-it-long, ia berkata, “Jangan berharap yang bukan2.”

Orang tua berbaju hijau berkata, “Jangan anggap rejekimu itu bisa terus menerus ada. Nasib baik hanya satu kali, mungkin dua kali, atau tiga kali. Tapi tidak mungkin seterusnya, kau harus berhati-hati. Lebih baik pergi jauh jauh dari tempat ini. Lebih jauh lebih baik, jangan berusaha balik lagi.”

Orang tua berbaju coklat berkata, “Kalau saja kau jatuh ke dalam tangannya, itulah nasib bayangan yang seperti kita, kau sudah menjadi bonekanya, permainannya. Setiap saat ia senang, kita dicocol-cocol. Kita adalah tandingan yang bisa melayani permainan silatnya. Lebih baik mati daripada hidup yang seperti ini.”

Orang tua berbaju hijau berkata, “Kalau orang lain yang jatuh ke dalam tangannya, tentu disiksa sehingga sengsara, kemudian meninggal dunia. Kau bukan jago biasa, kau mempunyai kehebatan yang luar biasa, karena itu dia sayang membunuh dirimu. Seperti sayang juga menamatkan riwayat hidup kami berdua, setiap saat di kala ia senang hati, setiap waktu dia gatal tangan, kita berdua yang bisa dijadikan pertandingan ilm silat.”

Orang tua berbaju coklat berkata, “Dengan adanya kami berdua yang memberi pelayanan bertahan, sedikit banyak bisa menggembirakannya.”

Orang tua berbaju hijau berkata, “Karena itu, kami anjurkan, jangan mengikuti jejak langkah kita. Jangan sampai dijadikan permainan olehnya. Itu waktu, mati susah, hidup pun susah! Kami berdua adalah bayangannya.”

Orang tua berbaju coklat jauh memandang ke arah istana boneka, ia berkata, “Kami sudah tua, tiga jaman sudah dilewatkan. Tidak bisa hidup lama lagi, sesudah kematian kita, mana mungkin dia menemukan tandingan baru. Karena itu, pasti dia kesepian…”

Orang tua berbaju hijau berkata: “Kalau dia sudah kesepian, dia mencari jago silat terkuat. Pilihan itu jatuh kepadamu.”

Orang tua berbaju coklat berkata:

“Karena itu, jauhilah tempat ini.”

Orang tua berbaju hijau berkata:

“Karena itu, jangan dekat2 kepada kaki tangannya.”

Orang tua berbaju coklat berkata:

“Ia akan kesepian, sesudah kami tidak berada di tempat itu.”

“Dia tidak mudah mencarikan calon pengganti.”

“Kecuali dirimu!”

“Maka kau menjadi tokoh silat super sakti kelas dua.”

Siauw Cap-it-long hanya diam saja di tempat duduknya, mengikuti anjuran2 dan mengikuti pembicaraan kedua orang tua yang main catur tersebut.

Kedua orang itu bukan betul2 berhobi main catur, mereka main catur untuk melewatkan keisengan waktu. Mereka adalah boneka-boneka hidup si raja gila boneka Thian Kongcu, untuk menandingi permainan silatnya yang begitu hebat dan tinggi.

Siauw Cap-it-long mengajak Sim Pek Kun keluar dari kereta itu.

Orang tua berbaju coklat berkata:

“Lekas! Lekas pergi! Pergilah yang jauh dari tempat ini.”

Orang tua berbaju hijau berkata:

“Kalau saja kau balik kembali, dimisalkan dia tidak membunuh dirimu, kami berdua juga bisa mengambil jiwamu.”

PENGANTIN PEREMPUAN YANG BERANDALAN

Sim Pek Kun berjalan di depan, Siauw Tjap it-long mengikuti di belakangnya. Mereka baru bebas dari permainan ajaib si raja gila boneka Thian koncu. Tanpa menoleh ke belakang, Sim Pek Kun bertanya: “Bagaimana penilaianmu kepada kedua orang tadi? Mungkinkah orang-orang yang diutus olehnya untuk menakut-nakuti kita?”

“Tidak mungkin.” jawab Siauw Tjap it-long.

“Mengapa tidak mungkin?” bertanya Sim Pek Kun.

Siauw Tjap it-long menjawab: “Kedua orang tua tadi, adalah jago silat tanpa tandingan pada tiga generasi, ia bisa membunuh orang tanpa berkedip mata, tapi tidak mungkin mengucapkan kata-kata yang bohong.”

“Kau kenal kepada mereka? Siapakah kakek tua itu?”

Siauw Tjap it-long berkata: “Pada dua puluh tahun yang lalu, rimba persilatan pernah digegerkan oleh mereka, belum pernah ada orang yang tidak kenal kepada mereka. Tiap orang rimba persilatan yang mendengar namanya pasti....”

Sebelum Siauw Tjap it-long menyebut nama kedua kakek tersebut, dari jauh terdengar suara tambur dan gembreng dipukul.

Dung... Creng... Dung... Creng...

Memandang ketempat itu, tampak oleh mereka sebuah iring-iringan datang maju ke depan. Itulah iring-iringan pengantin.

Pengantin laki-laki duduk di atas kuda yang tinggi besar, berjalan dipaling depan.

Sebagai layaknya seorang pengantin, sekarang dia bergirang hati. Tapi pengantin laki-laki asam cemberut. Wajahnya sangat pucat pasti terlalu banyak pikiran.

Kawin paksa?

Hanya perkawinan paksa yang bisa mengakibatkan seperti ini.

Sim Pek Kun tidak berani memandang ke arah iring-iringan pengantin itu, ia sedang terkenang kepada masa kecilnya, dimana ia dijemput oleh Liang Seng Pek untuk diperistri olehnya.

Itulah kenangan lama, jauh dimasa silam.

Seseorang yang masih berada dalam keadaan pusing dan masih uring-uringan, bukannya mengiri kepada kesenangan, tapi orang itu tidak bisa menyesuaikan diri dengan suasana kondisinya, orang itu pasti menjadi sebel.

Demikian juga keadaan Siauw Tjap it-long, dia masih berada di dalam pikiran-pikiran yang bercabang, belum mendapatkan penemuan jalan yang tepat.

Adanya iringan pengantin itu membuat batinnya menjadi kacau. Dia takut orang yang menjadi seperti itu.

Biasanya Siauw Tjap it-long bisa turut memeriahkan, tapi hari ini tidak, disengaja atau tidak disengaja ia terbatuk batuk.

Sim Pek Kun masih memikirkan keadaan lama, dia tidak berani menentang kenyataan, menundukan kepala, tidak mau melihat adanya iring-iringan itu.

Bukan dengki, bukan iri, Seperti inilah sifat manusia!

Siauw Tjap it-long dan Sim Pek Kun tidak mau ambil tahu, siapa yang menjadi pengantin laki, dan siapa yang menjadi pengantin perempuan.

Urusan itu tidak mempunyai hubungan dengan mereka.

Dung... Creng... Dung... Creng...

Pengantin laki sedang duduk di atas kuda yang tinggi, kuda itu jangkung dan gagah. Dia berada di dalam puncak kemenangan, tapi kemenangan itu tidak mudah dicapai. Seseorang yang bangga, dengan mengharapkan semua pusat perhatian ditujukan kepadanya, tapi dia tidak berhasih menarik perhatian Sim Pek Kun dan Siauw Tjap it-long.

Dung... Creng... Dung... Creng... Tit to let.... Tit to let....

Tambur, gembreng dan suara seruling dibunyikan terus menerus. Mengiringi suasana penjemputan pengantin itu, mengiringi perjalanan itu.

Iring-iringan itu sudah dekat dengan tempat Sim Pek Kun dan Siauw Tjap it-long. Pengantin laki masih sedang mengenangkan cara-caranya bagaimana dia mendapatkan sang idaman. Tidak mudah untuknya mengawini wanita galak yang kini berada di dalam tandu pengantin.

Karena pilihan itulah, tidak sedikit kesulitan-kesulitan yang dihadapi. Karena pilihannya sudah jatuh kepada si dia, tidak sedikit kesengsaraan yang dihadapi sebelumya, sang lelaki hampir putus harapan, hampir ia melepaskan kesempatan untuk mengejar-ngejar wanita berandalan itu.

Keuletan dan rasa cinta kasih yang membara mendorong keberaniannya. Akhirnya sang wanita berandalan menganggukkan kepala, berkatalah ia: “Aku mau!”

Kata-kata di atas keluar dari mulut seorang jago wanita tanpa tanding!

Nah! Betapa girangnya rasa hati pengantin pria disaat itu, ia berhasil mendapatkan jodohnya.

Di atas kuda, sang pengantin lelaki mengeluh: “Oh! Hati seorang wanita sulit diduga!”

Jodohnya itu betul-betul berada di luar dugaannya!

Hari-hari yang sengsara berhasil dilewatkan, ia sudah tidak perlu mengejar-ngejar wanita itu lagi, sehingga ia berhasil menundukkan kekerasan si wanita idaman.

Ia menoleh kearah joli pengantin perempuan, tidak lama lagi ia bisa memperistrikan siperempuan galak.

Walaupun galak, dia berkepandaian tinggi, dia cantik dan pemberani! Terpikir sampai disini, pikirannya terbuka pula.

Seolah-olah mendapatkan dirinya disuaatu awan jatuh terbang di atas kepala semua orang.

Sekarang laki-laki di atas kuda boleh menjadi bangga, dia mendongakkan kepala karena bangga atas prestasi yang sudah dicapai. Dan tidak mau tahu, dengan segala sesuatu yang berada di depannya, dia tidak melihat adanya Siauw Tjap it-long dan Sim Pek Kun!

Dung... Creng... Dung... Creng... Tit to let.... Tit to let....

Tambur dan tanjidor masih dipukul yang memekakkan telinga Siauw Tjap it-long.

Bercerita tentang keadaan pengantin perempuan. Enam belas orang menggotong tandu dan mereka menggotong tandu pengantin. Seperti biasanya, joli pengantin itu serba mewah, serba rebo.

Tirai joli pengantin sudah diturunkan, dalam arti ini, pengantin perempuan harus taat kepada peraturan-peraturan, dilarang keluar dari dalam joli, kecuali hendak memasuki kamar.

Pengantin perempuan ini lain dari pada yang lain! Inilah letak perbedaan pengantin perempuan yang sedang kita jumpai, pengantin perempuan yang sedang dilakonkan bermata panjang, tidak mau disekap seperti itu.

Biasanya sesudah pengantin perempuan masuk ke dalam joli iringan, dia harus menjadi patung, tidak boleh bergerak, tidak boleh banyak suara, apalagi tolah-toleh, dilarang keras!

Sampaipun keadaan-keadaan yang sangat kritis, seperti melepas buah busuk juga, terlarang, katanya kurang ajar.

Karena itu, sebelum pengantin perempuan menaiki joli, ada juga larangan yang tidak terdaftar, calon pengantin dilarang makan, tidak boleh meminum ari. Minuman itu bisa meracau perut, kalau kurang hati-hati celanapun bisa basah.

Sesudah pengantin memasuki kurungan joli, tidak ubahnya seperti seekor burung yang masuk ke dalam sangkar kurungan.

Tapi pengantin perempuan ini luar biasa. Lain dari pada yang lain. Dia sengaja memasang tangannya pada tirai-tirai tepi, melirik kekanan dan kekiri. Sepasang matanya yang liar, celingak celinguk kemari, seperti hendak menemukan sesuatu penemuan baru.

Banyak orang yang menyaksikan keadaan pengantin perempuan yang seperti itu, hati mereka berpikir: “Masih berada di dalam joli sudah tidak sabaran seperti itu? Wah! Dasar pengantin perempuan yang genit! Dasar pengantin laki yang sial! Bagaimana ia bisa menguasai perempuan liar ini?”

Bersampokannya iringan pengantin tadi dengan rombongan Siauw Tjap it-long, segera menimbulkan sedikit insiden. Ceritanya sebagai berikut:

Kalau saja Siauw Tjap it-long menerenungkan kepala kearah samping, Sim Pek Kun merenungkan kepala kearah tanah, pengantin laki-laki menengadahkan pandangannya ke atas, ketiga orang ini tidak mau atau menghindari dari kenyataan yang ada.

Hanya seorang, inilah pengantin perempuan yang bermata jeli, segera dia bisa menemukan jejak Siauw Tjap it-long!

Tiba-tiba saja, tirai joli tersingkap, tubuh pengantin perempuan itu terbang keatas. Lembaran-lembaran kain merah, bagaikan kupu-kupu yang menyingkap melunjur berada di depan Siauw Tjap it-long.

Siauw Tjap it-long tertegun, desiran-desiran angin itu membuat ia terkejut. Mana bisa terpikir olehnya, apa maksud kedatangan pengantin perempuan?

Perkembangan berikutnya lebih hebat lagi, tangan pengantin perempuan terayun,.. pok... dia menepuk pundak Siauw Tjap it-long, suaranya yang garing merdu berkata: “Hei laki-laki sialan! Selama beberapa lama ini kemana saja kau mengumpatkan diri? Apa sudah mati?”

Tepukan tangan pengantin perempuan itu cukup keras, hampir saja membuat Siauw Tjap it-long terjengkang ke belakang.

Apalagi sesudah mendengar suara sang pengantin perempuan, tubuh Siauw Tjap it-long hampir jatoh ngeloso. Suara itu tidak asing lagi, itulah suara Hong Sie Nio!

Tukang tambur, tukang gembreng, tukang gotong, tukang pikul, semua iring-iringan dari rombongan itu yang berjumlah lima puluhan tertegun. Mereka melotokan mata lebar-lebar, melowokan mulut besar-besar.

Perkembangan yang seperti itu berada diluar dugaan semua orang.

Sim Pek Kun juga menoleh, dia menjadi heran.

Terdengar cekikikan Hong Sie Nio, ia berkata: “Hei, aku hanya memberi satu ons bedak memupuri wajahku, kau sudah tidak kenal kepadaku lagi?”

Siauw Tjap it-long menghela nafas, dengan suara getir ia berkata: “Dimisalkan aku tidak mengenali? Sudah seharusnya bisa menduga, di dalam dunia, kecuali wanita berandalan Hong Sie Nio, mana mungkin bisa menemukan perempuan galak yang lainnya?”

Inilah perempuan berandalan Hong Sie Nio. Dia memupuri wajahnya begitu medok lebih dari satu ons mungkin bisa setengah kilo. Inilah hasil buah karya dari para peng??? menurut ceritanya, wajah seorang pengantin perempuan harus putih molek, tidak boleh hitam, harus menutupi jerawatnya, makanya membedaki dengan tebal.

Maka setiap pengantin perempuan harus sama cantiknya dan rata-rata tidak jauh berbeda. Betapa tebalpun bedak yang memupuri kedua pipi, tidak mungkin bisa mengganggu keriangan Hong Sie Nio.

Hong Sie Nio! Wanita berandalan yang terkenal! Walaupun dia sudah menjadi pengantin, sepasang mata Hong Sie Nio yang liar itu tetap liar.

Terdengar pula suara tertawa cekikikan Hong Sie Nio, dia menepuk pundak Siauw Tjap it-long, ia berkata lagi: “Hei, berada diluar dugaanmu, bukan? Tentu kau tidak menyangka, kalau aku juga bisa menjadi pengantin?”

“Betul-betul tidak kusangka.” berkata Siauw Tjap it-long menyengir. Sesudah bertahun-tahun Hong Sie Nio mengejar Siauw Tjap it-long tanpa hasil, Siauw Tjap it-long itu tidak berani menemui Hong Sie Nio.

Melihat cara penghadapan Siauw Tjap it-long yang seperti itu, Hong Sie Nio tidak bisa menahan geloranya, mendekati laki-laki berandalan dan berkata dengan suara perlahan: “Mengapa tidak terpikir olehmu?”

Siauw Tjap it-long berkata perlahan: “Kau sudah menjadi pengantin, tidak naik ke atas joli, lihat! Banyak orang yang memperhatikan kearah kita.”

Dengan mendelikkan sepasang matanya Hong Sie Nio membentak: “Takut apa? Bukan mereka yang menjadi pengantin, aku tidak takut.”

Disingkapnya baju pengantin sedikit, berputar dengan lincah, mendemonstrasikan pakaian itu, diperlihatkannya kepada Siauw Tjap it-long, dengan tertawa Hong Sie Nio bertanya: “Baguskah pakaian ini? Lihat! Bagaimana keadaanku? Tentunya semakin cantik?”

“Semakin cantik.” berkata Siauw Tjap it-long. “Semakin bagus. Sungguh tidak mudah menemukan pengantin perempuan yang seperti ini.”

Hong Sie Nio menudingkan jarinya sehingga mengenai hidung Siauw Tjap it-long, ia berkata: “Maka... kau laki-laki yang sudah hampir mati ini tidak mempunyai rejeki.”

Siauw Tjap it-long mengusap hidung itu, dengan tertawa getir berkata: “Rejeki pemberianmu sulit diterima,”

Lagi-lagi Hong Sie Nio mendelikkan mata, kemudian menyipitkan sepasang mata itu, ia berkata: “Hei! Laki-laki sialan, coba kau terka siapa yang menjadi pengantin laki-laki?”

Sebelum Siauw Tjap it-long menjawab, pengantin laki-laki yang berada di atas kuda sudah meluncur datang. Laki-laki itu mempunyai raut wajah empat persegi, keadaanya sangat tegang, itulah Yo Khay Thay! Kawan lama!

Mengenali Yo Khay Thay, segera Siauw Tjap it-long mengenali kepada sang pengantin laki, dia berkata: “Ternyata saudara Yo Khay Thay! Selamat! Selamat!

Mengenali siapa yang berada di depan sana, Yo Khay Thay juga tertegun. Beberapa saat ia harus berpikir, bagaimana menyeret Hong Sie Nio ke dalam jolinya kembali?

Membalas hormat Siauw Tjap it-long, dia berkata: “Terima kasih. Pernikahan kami dilangsungkan sangat terburu-buru, banyak kawan yang tidak menerima undangan. Lain kali...”

Tiba-tiba Hong Sie Nio berjingkrak, memandang kuda Yo Khay Thay dan berkata: “Apa? Lain kali? Urusan yang seperti ini mana bisa dilangsungkan sampai beberapa kali? Apa yang lain kali? Apa kau mau kawin lagi? Hei, manusia dogol!”

Yo Khay Thay segera mengetahui akan kesalahan pembicaraan, keringatnya mengucur semakin banyak. Keadaan itu sudah membingungkan dirinya. Kini semakin bingung lagi.

“Eh... eh... di dalam keadaan yang seperti ini, mana boleh kau keluar dari joli pengantin?”

Hong Sie Nio bertolak pinggang, dengan galak dia berkata: “Mengapa tidak boleh? Bertemu dengan kawan lama, masakan tidak boleh bicara sebentar?”

“Tapi... tapi...” Yo Khay Thay agak gugup.

“Tapi apa?” yang perempuan lebih galak.

“Di dalam keadaanmu yang seperti ini, kau adalah seorang pengantin perempuan.”

“Apa bedanya menjadi pengantin atau bukan?” bertanya Hong Sie Nio. “Apa pengantin sudah bukan orang?”

Wajah Yo Khay Thay memerah, ia menghadapi Siauw Tjap it-long dan Sim Pek Kun. Yo Khay Thay berkata: “Coba tolong kalian jelaskan, keadaan yang seperti ini apa tidak membingungkan diriku? Mana ada pengantin yang galak?”

“Aku memang galak.” berkata Hong Sie Nio. “Mau apa? Tidak setuju? Boleh pilih lain lagi, ganti yang lain.”

Yo Khay Thay sudah melompat turun dari kuda tunggangannya, dengan nafas tersengal-sengal dia berteriak: “Tidak tahu aturan... tidak tahu aturan....”

Suara Hong Sie Nio melengking panjang: “Eh, siapa yang tidak tahu aturan? sekarang kau ingin menggunakan aturan? Mengapa dahulu tidak? Hayo katakan! Mengapa dahulu tidak?”

“Dahulu... dahulu...”

Yo Khay Thay menyusut keringatnya yang turun semakin banyak. Dengan dingin Hong Sie Nio berkata: “Dahulu aku belum bersedia dikawini olehmu, maka kau melulusi segala permintaan, kentutku juga dikatakan wangi. Tapi keadaan berubah, sekarang aku sudah naik ke dalam joli kemanten, aku sudah dianggap jadi orang dari keluarga Yo kalian? Mau petantang petenteng? Mau mengekang dengan peraturan? Betul begitu?”

Sikap Yo Khay Thay menjadi lemah, dia menghela nafas berkata, “Bukan maksudku seperti itu, tapi…”

“Tapi apa lagi?” menudingkan jari Hong Sie Nio.

Yo Khay Thay melirik ke arah rombongan orang yang begitu banyak, semua mata ditujukan ke arahnya. Dia semakin malu, dengan suara perlahan dia berkata:

“Tapi agak kurang pantas membawakan sikap kelakuan yang seperti ini. Apalagi di depan banyak orang. Mereka bisa mentertawakanku.”

Hong Sie Nio tidak puas kepada sikap Yo Khay Thay yang plin-plan, ia bersedia dikawini oleh Yo Khay Thay, karena putus harapan atas cintanya kepada Siauw Cap-it-long. Kini Siauw Cap-it-long tampil kembali, cinta kepada Yo Khay Thay itu luntur.

Semakin tidak puas atas sikap Yo Khay Thay yang kurang tegas, kurang pemberani, semakin perlahan Yo Khay Thay bersuara, semakin keras pula Hong Sie Nio membentang bacot. Dengan keras ia berteriak:

“Takut apa? Biar saja mereka tertawa! Aku tidak takut kepada orang yang tertawa.”

Wajah Yo Khay Thay berubah. Biar bagaimana Yo Khay Thay mempunyai jiwa kepribadian sendiri. Dia seorang laki2, dibentak pulang pergi, dimaki kian kemari, dia juga naik darah. Dengan suara yang tidak kalah kerasnya, dia membentak:

“Hai, bagaimana aku bisa menjadi orang diperlakukan kau seperti ini?”

Hong Sie Nio berkata, “Kau malu mendapat isteri yang seperti aku?”

Yo Khay Thay menutup mulut, itulah jawaban di dalam tanpa bahasa.

Dengan dingin Hong Sie Nio berkata: “Baik, kau malu karena mendapatkan isteri yang seperti aku. Aku juga tidak kesudian menjadi kemantin.”

Sesudah itu di-robek2nya pakaian kemantin, dicopotnya tudung kemantin, dibanting dan dilemparkannya ke tanah, dengan suara keras berkata:

“Nah! Kemanten batal! Biarpun aku sudah naik ke atas joli, aku belum memasuki kamarmu, aku belum menjadi nyonyamu, dan kau belum berhak mengekang kebebasanku.”

Semua mata yang menyaksikn kejadian itu melotot, tukang gotong, tukang gembreng, tukang tambur dan rombongan yang terpencar itu belum pernah menyaksikan adanya kemantin yang dibatalkan.

Apa lagi cara2 yang seperti dibawakan oleh Hong Sie Nio, kejadian itu adalah pengecualian besar.

Mereka telah menggotong banyak kemantin, mereka juga sudah mengiringi banyak kemantin. Mereka juga telah menghadiri resepsi banyak kemantin, tapi tidak ada satu pengantin yang memiliki sifat2 Hong Sie Nio.

Mereka belum pernah mendengar cerita yang seperti apa Hong Sie Nio telah lakukan.

Upacara perkawinan yang mengalami kegagalan!

UPACARA PERKAWINAN YANG MENGALAMI KEGAGALAN

Yo Khay Thay bukan seorang ahli pidato, di saat ia menjadi gugup, sulit berbicara.

Hari ini, bukan saja gugup, keadaan Yo Khay Thay sudah begitu sulit.

“Kau… kau…”

Tidak lain ucapan yang bisa keluar dari mulut Yo Khay Thay.

Tindak tanduk Hong Sie Nio memang agak keterlaluan, sebagai jago wanita yang berandalan, Hong Sie Nio tidak pernah takut kepada siapapun juga. Termasuk Siauw Cap-it-long.

Perkawinannya dengan Yo Khay Thay, hanya mempasrahkan diri kepada umur. Dia sudah lebih dari tiga puluh tahun, sudah waktunya menikah, mendapat cinta kasih Yo Khay Thay, ditolak oleh Siauw Cap-it-long akhirnya dia menyerah.

Hong Sie Nio menerima lamaran Yo Khay Thay.

Kini entah bagaimana, munculnya Siauw Cap-it-long membuat harapan lama itu kambuh kembali. Dia meninggalkan Yo Khay Thay.

Siauw Cap-it-long hendak memberi sedikit anjuran, tapi dia lebih kenal kepada sifat dan adat Hong Sie Nio. Adat Hong Sie Nio lebih keras dari granit. Siapapun tidak bisa tahan.

Hong Sie Nio tidak tanggung2, semua baju kemantin dicopot juga, dilempar ke arah kepala Yo Khay Thay, menarik tangan Siauw Cap-it-long dan berjalan pergi.

“Mari2!” katanya, “Mari kita berangkat, aku tidak menjadi mantu dari keluarga Yo. Hendak kulihat apa aku bisa mati kelaparan.”

Yo Khay Thay lompat dua langkah, berteriak, “Kau tidak boleh pergi.”

Hanya kata2 ini yang bisa dilontarkannya.

Tangan Yo Khay Thay lebih cepat, dia menarik Hong Sie Nio dengan maksud membatalkan keberangkatan jago berandalan perempuan itu.

Dengan keras Hong Sie Nio melemparkan pegangan tangan Yo Khay Thay.

“Dengan alasan apa kau menahan kepergianku?” menudingkan jarinya ke hidung Yo Khay Thay, Hong Sie Nio membentak, “Aku beri peringatan terakhir! Lain kali jangan mencoba untuk membentur diriku. Jangan mencoba untuk membayangi diriku, atau… akan kuberi hajaran yang setimpal.”

Yo Khay Thay mematung di tempat, butiran-butiran keringat menetes jatuh.

Siauw Cap-it-long merasa kasihan atas perlakuan yang ditimpahkan kepada Yo Khay Thay, dia sedang menimbang2, dengan cara bagaimana bisa meredakan situasi itu.

Tapi gerakan Hong Sie Nio lebih cepat, menyeret Siauw Cap-it-long, dia hendak digusur berangkat.

Siauw Cap-it-long tidak pernah takut kepada orang, kecuali kepada Hong Sie Nio, dengan wajah cemberut dia berkata:

“Tidak bisakah kau melepaskan tanganmu? Aku masih kuat berjalan.”

“Eh?” mendelik mata Hong Sie Nio. “Malu kepada orang? Siapa yang kau takuti? Kau tidak takut kepadaku, mengapa takut kepada orang?”

Bertemu dengan Hong Sie Nio, betul2 Siauw Cap-it-long mati kutu, dia meratap, “Tapi… tapi aku masih mempunyai seorang kawan.”

Baru sekarang Hong Sie Nio teringat, sungguh2 di sana masih ada seorang yang berdiri. Ia menolehkan kepala ke arah Sim Pek Kun dan berkata:

“Oh… maaf, nona ini yang menjadi kawanmu? Mari kita berangkat, orang2 dari keluarga Yo Khay Thay banyak uangnya, besar kekuasannya. Kita orang tidak perlu berkomplot dengan mereka.”

Sim Pek Kun ragu2 sebentar, akhirnya mengikuti di belakang Siauw Cap-it-long dan Hong Sie Nio.

Di dalam keadaan yang seperti itu, tiada pilihan kedua bagi sang ratu rimba persilatan.

Keadaan yang paling canggung adalah Yo Khay Thay. Tapi Sim Pek Kun tidak kalah canggungnya.

Hong Sie Nio masih belum puas atas kejadian-kejadian itu, ia mendelik mata, menuding2 Yo Khay Thay dan berkata:

“Hei, mengapa masih mematung di tempat ini? Lain kali jangan suka membayangi orang lagi, tahu! Awas!”

Secara tiba2 saja Yo Khay Thay meletus, semangatnya terbangun, dengan suara keras yang belum pernah dikeluarkan olehnya berkata, “Baik, dimisalkan hanya seorang wanita yang berada di dalam dunia, aku juga tidak memilih dirimu, wanita siluman yang tidak tahu malu.”

Betapa sabarpun Yo Khay Thay, dia masih berupa seorang manusia yang hidup. Ditendang bolak-balik, dicaci maki pulang pergi, akhirnya dia naik darah. Adat Yo Khay Thay pun pecah.

Hong Sie Nio dikejutkan oleh reaksi yang seperti itu, tertegun beberapa waktu, dengan dingin dia berkata, “Baik… baik… inilah janjimu sendiri. Kau jangan menyesal, kau jangan melupakan.”

Hong Sie Nio, Siauw Cap-it-long dan Sim Pek Kun meninggalkan tempat itu.

Wajah mereka masam. Tidak satu dari ketiga orang itu yang mulai bicara, mereka sedang dirundung kemalangan.

Kadang2 juga, Hong Sie Nio menoleh ke belakang dengan harapan menemukan jejak Yo Khay Thay yang memohon dan meratap.

Biasanya bisa saja Yo Khay Thay melakukan hal itu.

Hari ini, Yo Khay Thay sudah mendapatkan malu besar, dia diam.

Hong Sie Nio menundukkan kepala, jalan lagi beberapa langkah, lagi2 menoleh ke belakang.

Akhirnya Siauw Cap-it-long yang memecah kesunyian, dia membuka suara:

“Tidak perlu dilihat lagi, dia tidak mungkin berani mengintil di belakang, jangan anggap meremehkan seseorang, di dalam dunia bukan wanita saja yang pantas mendapat hak hidup, kaum laki2 juga…”

Selembar wajah Hong Sie Nio terus menjadi merah, dengan dingin dia berkata, “Kau kira aku mengharapkan kedatangannya?”

“Mungkinkah bukan?” bercemooh Siauw Cap-it-long.

“Tentu saja bukan,” berkata Hong Sie Nio, “Aku hendak melihat nona ini.”

Betul2 Hong Sie Nio menoleh dan memperhatikan Sim Pek Kun.

Sim Pek Kun sedang menundukkan kepala melakukan perjalanan, tapi semua juga bisa mengetahui keadaan ratu rimba persilatan itu.

Hong Sie Nio melepaskan pegangan tangan yang menggandeng Siauw Cap-it-long. Perlahan-lahan mendekati Sim Pek Kun, dengan memaksakan tertawa dia bertanya:

“Nona ini sangat cantik, gadis dari keluarga manakah?”

“Dari keluarga Sim,” jawab Sim Pek Kun singkat.

Suara Sim Pek Kun begitu rendah seperti keluar dari hidung, tidak terdengar jelas apa yang dijawab olehnya.

Dengan tertawa Hong Sie Nio berkata, “Tentunya kau belum biasa menyaksikan perlakuanku yang seperti ini bukan?”

Siauw Cap-it-long menghela nafas dan berkata, “Kalau saja dia tidak heran tentu itulah kejadian yang aneh…”

Hong Sie Nio masih membujuk rayu, dia berkata kepada Sim Pek Kun:

“Nona ini bisa menjadi heran melihat caraku tadi. Siauw Cap-it-long adalah kawan lamaku, ia sudah menjadi adik angkatku, maka… bertemu dengannya, aku menjadi kesal, maunya marah2 saja. Dia nakal dan binal.”

Keterangan Hong Sie Nio tadi lebih baik tidak diteruskan, daripada memberi penjelasan yang ber-lebih2an.

Siauw Cap-it-long tertawa nyengir.

Mendapat keterangan tadi, seharusnya Sim Pek Kun bisa tertawa geli, tapi tidak terunjuk perubahan di wajahnya. Ia masih dirundung kekesalan.

Hong Sie Nio memperhatikan wajah ratu rimba persilatan itu, kecantikan Sim Pek Kun masih belum luntur, kepadatan tubuh wanita itu masih tidak kalah darinya, perlahan-lahan dia menarik tangan Siauw Cap-it-long, dengan suara perlahan ia bertanya:

“Eh, nona ini atau bukan… itumu?”

Kata ganti itu banyak mengandung kemungkinan arti, kekasih atau pilihannya.

Siauw Cap-it-long bergoyang kepala dengan tertawa getir.

Sepasang biji mata Hong Sie Nio berputar-putar, ia tertawa cekikikan.

“Jangan malu2,” ia berkata. “Seorang laki2 harus mengawini seorang perempuan, mengapa malu? Tidak perlu disangkal, kalau bukan mengapa dia besar cemburu?”

Dari sikap yang diperlihatkan oleh Sim Pek Kun, suatu bukti betapa cemburu dan jelusnya hati wanita tersebut.

Inilah karena perlakukan Hong Sie Nio kepada Siauw Cap-it-long yang ber-lebih2an.

Semakin lama Hong Sie Nio semakin genit, ia memperlihatkan sikapnya yang begitu rapat, begitu apet.

Inilah dari cara2 untuk menyakiti hati wanita seterunya.

Sim Pek Kun itu dianggap seteru.

Sim Pek Kun menundukkan kepala, seolah olah tidak melihat cara2 demonstrasi Hong Sie Nio, seolah2 tidak mendengar kata2 Hong Sie Nio.

Kini Hong Sie Nio meninggalkan Siauw Cap-it-long, mendekati Sim Pek Kun kembali.

“Entah nona gadis dari mana, kau sangat cantik menarik. Kalau betul2 cinta kepada Siauw Cap-it-long, lebih baik kau bilang saja kepadaku, aku yang menjadi kakaknya ini bisa dan bersedia menjadi mak comblang.”

Mendengar kata2 Hong Sie Nio, hati Siauw Cap-it-long dirasakan meloncat, tapi dia tidak berani memandang Sim Pek Kun, dia tidak berani membantah.

Sim Pek Kun masih menundukkan kepala, tidak menggubris suara Hong Sie Nio.

Suatu waktu dia melirik ke arah Siauw Cap-it-long, dan disaat ini, Siauw Cap-it-long juga melirik ke arahnya, dua pasang sinar mata beradu.

Sim Pek Kun berkata, “Mengapa kau tidak memberi keterangan kepada kakak tuamu ini?”

Siauw Cap-it-long tertawa nyengir.

Mendapat tanggapan yang seperti itu, Hong Sie Nio besar hati, dia bertanya:

“Keterangan apa?”

Dengan dingin Sim Pek Kun menjawab, “Hubunganku dengannya bukan kawan biasa. Dan untuk jelasnya, lebih baik kau tanyakan sendiri kepada orang yang kau katakan sebagai adikmu itu. Ketahuilah, aku sudah menjadi isteri orang.”

Hong Sie Nio tidak bisa tertawa lagi.

Per-lahan2 Sim Pek Kun meneruskan keterangannya, “Kulihat kalian berdua sangat cocok sekali, biar nanti kuberi tahu kepada suamiku agar ia bisa mengamprokan perjodohan kalian. Eh, kakak tua ini nona dari mana, biar bagaimana harus menerima sedikit berkah kami, aku nyonya Lian Seng Pek.”

Suara Sim Pek Kun sangat tenang, cukup terhormat.

Tapi suara ini seperti sebilah pisau yang tajam, menusuk di dalam uluhati Siauw Cap-it-long.

Hong Sie Nio tertegun.

Belum pernah Hong Sie Nio menemukan kesulitan seperti apa yang kini dihadapi. Memandang ke arah Sim Pek Kun dan Siauw Cap-it-long, silih berganti ia mematung juga.

Giliran Sim Pek Kun yang menguasai situasi, ia memberi keterangan, “Nama suamiku Lian Seng Pek, dari keluarga besar Lian. Mungkin kau pernah dengar nama ini.”

Nafas Hong Sie Nio dirasakan mejadi sesak, hampir terhenti. Dugaan-dugaannya itu salah. Percuma saja ia memperlihatkan sikapnya yang baik kepada Sim Pek Kun. Ternyata wanita itu sudah bersuami.

Hong Sie Nio bukan seorang tolol, ia tahu cara2 seorang wanita yang mencinta dan wanita yang tidak mencinta, dari cara Sim Pek Kun dan Siauw Cap-it-long berdua, hubungan apakah yang pernah terjalin? Inilah yang membingungkan dirinya.

Sim Pek Kun masih memegang kunci kekuasaan, dia berkata:

“Asal kau bersedia, aku bersama suamiku segera membikin persiapan untuk pernikahan kalian.”

Di saat ini, secara tiba2 saja Siauw Cap-it-long berteriak:

“Tutup mulut!”

Secepat itu, si jago berandalan bergerak, memegang tangan Sim Pek Kun, dengan keras ia meng-goyang2nya.

Menggunakan ujung matanya yang dingin Sim Pek Kun melirik ke arah Siauw Cap-it-long, se-olah2 baru pertama kali berkenalan dengan jago berandalan kita. Dengan suaranya yang lebih kejam ia berkata:

“Kuharap kau bisa melepaskan pegangan tangan itu.”

Suara Siauw Cap-it-long sudah menjadi serak, ia berkata, “Jangan… jangan kau memperlakukan aku seperti ini.”

“Huh!” Sim Pek Kun mengeluarkan suara dari hidung. “Berlakulah agak sopan, aku adalah isteri Lian Seng Pek. Jangan kau mencoba mengganggu isteri orang.”

Seperti dicambuk oleh pecut yang tidak tampak, tangan Siauw Cap-it-long itu ditarik mundur. Tubuhnya juga mundur ke belakang, setapak demi setapak menjauhi Sim Pek Kun.

Hong Sie Nio sedang me-mikir2, bagaimana seorang nyonya besar yang seperti nyonya Lian Seng Pek bisa berjalan ber-sama2 dengan jago berandalan Siauw Cap-it-long?

Ini waktu Siauw Cap-it-long memperlihatkan cara2 yang lain, sepasang matanya itu menjadi kosong melompong, jauh memandang ke depan, se-olah2 sepasang mata orang yang sakit ingatan.

Cara-cara ini menyakiti Hong Sie Nio, belum pernah ia melihat Siauw Cap-it-long hilang semangat seperti apa yang ia saksikan.

Baru sekarang ia menyelami hati Siauw Cap-it-long. Betapa dalam cinta Siauw Cap-it-long kepada Sim Pek Kun.

Terdengar suara Sim Pek Kun berkata lagi, “Kau pernah menolong diriku, aku juga pernah menolongmu. Sama2, kita tidak menanam budi dan kitapun tidak berhutang budi.”

Siauw Cap-it-long menganggukkan kepala dan berkata, “Ya.” Suaranya sangat lemah.

Sim Pek Kun berkata: “Luka yang kau derita belum sembuh betul, seharusnya aku mengantarmu beberapa waktu pula. Tapi kau sudah ada kawan baru. Kukira tidak perlu aku menyusahkan diri.”

Sampai di sini, Sim Pek Kun harus menelan ludah. Ia bisa merasakan getaran jiwanya yang bertentangan dengan apa yang sudah diucapkan olehnya.

Menunggu suara itu menjadi tengan, per-lahan2 ia berkata, “Seperti yang kau tahu, aku adalah wanita yang sudah bersuami. Apa yang kulakukan harus ber-hati2 kalau sampai terjadi desas desus, kita akan tidak baik.”

“Ya,” Siauw Cap-it-long menganggukkan kepala lemah. “Aku mengerti.”

“Nah,” berkata Sim Pek Kun. “Sukur saja kalau kau bisa mengerti. Apapun yang terjadi, kita tetap sebagai kawan baik.”

Sesudah memberi penjelasan tentang kedudukannya, Sim Pek Kun membalikkan badan, meninggalkan Siauw Cap-it-long dan Hong Sie Nio.

Baru sekarang Hong Sie Nio bisa menguasai keadaan, ia memanggil, “Nona Sim…”

Sim Pek Kun menahan langkahnya, dia berusaha menenangkan situasi keadaan, dengan tawar berkata, “Panggil saja Lian-hujin.”

Lian-hujin berarti nyonya Lian.

Hong Sie Nio berkata, “Lian-hujin hendak mencari Lian Seng Pek Kongcu?”

Sim Pek Kun balik bertanya, “Mungkinkah masih belum waktunya mencari dia?”

“Tapi Lian-hujin tidak tahu, dimana Lian Kongcu berada. Lebih baik kita bersama-sama, ber-sama2 lebih baik daripada berpisahan. Agar tidak sampai terjadi sesuatu yang berada di luar dugaan.”

“Terima kasih,” Sim Pek Kun menolak tawaran itu. “Terima kasih atas kebaikan budi kalian, kukira tidak perlu mengantar pulang.”

Hong Sie Nio masih berusaha membujuk, tapi sudah ditutup oleh pembicaraan Sim Pek Kun, sang ratu rimba persilatan berkata:

“Saudara Yo Khay Thay adalah kawan baik suamiku, dia juga lebih gentleman. Aku hendak bertemu dengannya, meminta bantuannya. Meminta bantuan Yo Khay Thay lebih aman dari meminta bantuan kalian, tidak akan terjadi desas desus yang bukan2.”

Hong Sie Nio kalah berdebat, dia tidak bisa membuka mulutnya. Tidak ada alasan untuk membantah keterangan dan dalih yang sudah dikatakan oleh Sim Pek Kun.

Kejadian ini jarang sekali bisa dialami oleh Hong Sie Nio, biasanya dia yang nyerocos, lawan akan dibungkamkan. Hari ini istimewa, bukan saja kalah bicara, Hong Sie Nio kehabisan bahan pembicaraan. Di depan Sim Pek Kun, dia tidak mempunyai kesempatan untuk marah, tidak mempunyai kesempatan untuk mengobral hawa nafsunya.

Yang sungguh2 berada di luar dugaan, Sim Pek Kun yang begitu alim serta pendiam masih mempunyai kehebatan yang luar biasa. Sim Pek Kun memang lihay.

Per-lahan2 Sim Pek Kun berkata, “Lain kali, bila kalian mempunyai waktu, datanglah ke kampung Sim-kee-chung. Kami suami isteri bisa balas membikin penyambutan.”

Meninggalkan Hong Sie Nio dan Siauw Cap-it-long, Sim Pek Kun balik kembali ke arah rombongan Yo Khay Thay.

Tanpa menoleh Sim Pek Kun mengambil keputusan tegas!

Angin bertiup dingin, cukup keras, membuat tulang2 terasa dingin.

Lembaran daun tua yang menguning satu per satu jatuh rontok, berterbangan di angkasa.

Dalam keadaan yang seperti itu, Siauw Cap-it-long bersandar pada sebatang pohon, tidak berdebat, tidak ada gerakan.

Akhinya Hong Sie Nio yang memecahkan kesunyian itu, ia mengeluarkan keluhan panjang, dengan menyengir berkata:

“Oh… aku telah mencelakakanmu. Aku terlalu banyak bicara. Terlalu mengobral kata2.”

Siauw Cap-it-long seperti tidak mendengar rasa penyesalan Hong Sie Nio, beberapa saat kemudian, dia berkata:

“Tidak ada hubungan dengan urusan itu.”

“Tapi…”

Siauw Cap-it-long berkata, “Kalau sudah waktunya berpisah, lebih baik ia berpisah. Hal ini lebih baik daripada terjadi rasa sakit di kemudian hari.”

Hong Sie Nio menatap wajah laki2 berandalan itu, dia berkata:

“Maksudmu sakit sekarang lebih baik daripada sakit di kemudian hari?”

“Betul…” jawab Siauw Cap-it-long berdengung.

Hong Sie Nio berkata, “Dia cukup cantik, sangat menarik, kecerdikannya juga tidak berada di bawahku. Tapi dia mempunyai sifat2 yang lebih lemah.”

Siauw Cap-it-long memandang lurus jauh ke depan.

Hong Sie Nio berkata lagi, “Tapi urusan belum selesai sampai di sini. Tidak seperti apa yang kau pikirkan.”

“Seharusnya bagaimana?” bertanya Siauw Cap-it-long, ia menundukkan kepala.

“Kukira dia mengambil putusan yang keburu nafsu,” berkata Hong Sie Nio.

Siauw Cap-it-long berkata, “Dia sudah mengambil putusannya. Lebih baik jangan kita tarik panjang.”

Menarik tangan Hong Sie Nio, Siauw Cap-it-long berhasil mengambil sikapnya yang semula, ia berkata:

“Mari. Aku tak perlu lari darimu lagi. Mari kita minum arak bersama.”

Akhirnya Siauw Cap-it-long berhasil mengusir pergi bayangan2 yang tidak disukai, ia tertawa.

Hong Sie Nio juga tertawa. Tertawa gembira.

Wajah kedua orang itu tertawa, tapi apa yang berselimut dalam lubuk hati ketertawaan mereka?

Kesengsaraan dan kepahitan yang tidak terhingga.

* * *

Sesudah meninggalkan Siauw Cap-it-long, hati Sim Pek Kun menjadi kosong hampa tiada isi.

Dia melakukan perjalanan seorang diri.

“Jauh di mata dekat di hati!”

Pepatah ini sering dibaca oleh Sim Pek Kun, tapi tidak mudah menyelami isi hatinya. Baru sekarang ia mengerti, makna dari inti sari pepatah tadi.

“Oh… jauh di mata. Dekat di hati.”

Semakin jauh dengan Siauw Cap-it-long, semakin terkenang pula kepada laki2 berandalan itu.

Air mata Sim Pek Kun jatuh bercucuran, hatinya berteriak, “Siauw Cap-it-long! Siauw Cap-it-long! Bukan sengaja hendak menyakiti hatimu, dalam keadaan tiada daya, apa boleh buat. Umurmu masih muda, kau masih mempunyai hari depan yang gilang gemilang. Aku tidak bisa me-nyeret2 dirimu.”

Siauw Cap-it-long belum bisa menerima kiriman suara hati Sim Pek Kun.

Hati ratu rimba persilatan tersebut masih berteriak lagi:

“Ya! Kau pasti sakit hati, remuk redam. Kau boleh marah, kau bisa berteriak, tapi waktu akan mencuci bersih segala noda itu. Bagaikan angin lalu, kuharap saja kau bisa melupakan diriku.”

Begitu mudah? Bisakah Siauw Cap-it-long melupakan Sim Pek Kun?

Tentu saja tidak mungkin.

Reaksi timbal balik terjadi pada hal yang sama. Bisakah Sim Pek Kun melupakan Siauw Cap-it-long? Tentu saja tidak.

Melupakan sesuatu yang berkesan itu adalah sesuatu yang tidak mudah.

Hati Sim Pek Kun bagaikan terikat, bagaikan terpuntir, rasa sedih dan pilu.

Untuk seumur hidupnya, tidak mungkin dia bisa melupakan Siauw Cap-it-long. Sepasang sinar mata yang bercahaya terang, gerak-geriknya yang memikat, dadanya yang bidang…

Sedapat mungkin Sim Pek Kun menghapus bayangan2 itu.

Dia tidak berhasil, semakin keras mau melepas bayangan itu, semakin jelas pula terpeta.

“Oh!” wanita ini mengeluh. “Begini kejamkah takdir mempermainkan insannya? Mengapa mengamprokkan kita?”

Di samping jalan terdapat pohon2 rimbun.

Sim Pek Kun berlari ke arah pohon2 itu, menubruk salah satu di antaranya, dia menangis sedih.

Dengan isak tangis itu, dia mengharapkan bisa menghapus bayangan Siauw Cap-it-long, hati Sim Pek Kun tidak bisa menerima penderitaan yang begitu hebat, sulit mengembalikan keadaan normal.

Sim Pek Kun tidak menganggap cara2 tadi sebagai cara yang salah, kecuali cara ini, tidak ada cara yang lebih baik lagi.

Isak tangis Sim Pek Kun men-jadi2.

Berapa lama ia menangis di tempat itu, Sim Pek Kun sudah lupa waktu.

Tiba2 satu tangan terjulur, meng-usap2 pundak wanita itu.

Hati Sim Pek Kun tercekat, ia hendak melejit, tapi tidak berhasil mengikuti ironi suaranya.

“Mungkinkah Siauw Cap-it-long,” bisik hati nurani. “Dia balik kembali?”

Deburan nafas Sim Pek Kun hampir saja terhenti.

Apa yang bisa dilakukan olehnya? Kalau saja Siauw Cap-it-long mengejarnya kembali? Menubruknya? Menangis di dalam dadanya? Mengusirnya lagi? Apa menyakiti hatinya yang lebih hebat?

Oh…

Tidak…

Sim Pek Kun tidak mempunyai itu kekuatan untuk menyakiti orang yang pernah menolong dirinya.

Dia sudah rela kabur bersama Siauw Cap-it-long. lari keujung langit, mereka bisa mencicipi kehidupan yang baru.

Sesudah berhasil mengambil keputusan itu, Sim Pek Kun menolehkan kepala ke belakang.

Hatinya yang sudah mekar, tiba-tiba saja kuncup kembali, tenggelam dalam, seperti kecebur ke dasar lautan.

Apa yang dilihat Sim Pek Kun ?

Tangan yang mengelus itu sangat halus, itulah bukan tangan Siauw Cap-it-long, tangan ini tidak asing, karena inilah tangan sang suami.

Tangan Lian Seng Pek !

Orang yang datang adalah jago muda ternama Lian Seng Pek.

Wajah Lian Seng Pek pucat pasi, hanya sepasang sinar matanya itu yang masih mengandung kecahayaan, sepasang sinar mata yang penuh cinta kasih kepada seorang isteri.

Dibiarkannya saja Sim Pek Kun menatapnya seperti itu, rayuan-rayuan tanpa suara disalurkan kebenak hati isterinya.

Tenggorokan Sim Pek Kun seperti tersentak, hatinya juga seperti tercekat.

Beberapa saat kemudian, akhirnya Lian Seng Pek memecahkan kesunyian, dia berkata :

“Orang-orang dirumah sudah menunggu lama, mari kita balik.”

Suaranya begitu tenang, tidak berkejolak.

Seolah-olah Lian Seng Pek sudah melupakan noda-noda Sim Pek Kun didalam lingkungan keluarga Lian.

Mungkinkah bisa dihapus begitu saja ?

Sim Pek Kun tidak bisa menghapuskan noda-noda yang sudah mengotori dirinya.

Biar bagaimanapun, Sim Pek Kun tidak bisa melupakan drama-drama yang sudah terjadi.

Raga Sim Pek Kun berada didepan Lian Seng Pek, jiwanya sudah terbang jauh, terbang ke ujung langit bersama-sama bayangan Siauw Cap-it-long.

Sim Pek Kun berusaha menarik kembali, sukma yang sudah terbang itu, tapi sangat berat, harus menggunakan tenaga banyak.

Sukma itu ditariknya kejaman selam, diwaktu yang sama pula, suatu saat musim rontok, disaat senja hari, mereka berjalan-jalan dibawah pohon rindang.

Memandang air jernih yang mengalir, mereka mengecapi kesenangan alam.

Itu waktu, Sim Pek Kun dan Lian Seng Pek masih berkasih-kasihan. Mereka lupa pulang.

Itu waktu Lian Seng Pek berkata:

“Orang-orang di rumah sudah lama menunggu, mari kita kembali.”

Nada dan suara yang sama, kata-kata yang sama, dan dilontarkan pula dari sebuah mulut yang sama.

Itu waktu, Sim Pek Kun kembali, tanpa banyak komentar.

Sim Pek Kun mengiringi segala kehendak hati Lian Seng Pek. Sekarang, kata-kata yang berkesan itu diulang kembali: “Orang-orang di rumah, sudah lama menunggu, mari kita kembali.”

Reaksinya jauh berbeda.

Sim Pek Kun kurang menyesuaikan keadaan itu, dia tidak bisa mengangkat langkah kakinya, mengikuti apa yang sudah diucapkan oleh sang suami.

Dia membangkang.

Keadaan berobah, jaman berputar.

Timbulnya bayangan Siauw Cap-it-long telah mengubah situasi yang seperti itu.

Sim Pek Kun mengeluarkan keluhan napas panjang, dengan nada sayu, ia berkata:

“Kembali? Kemana aku harus kembali?”

Lian Seng Pek masih membawakan sikapnya yang menyayang, dengan suara merdu ia berkata:

“Kembali ke rumah. Tentu saja kita kembali ke rumah.”

“Rumah?” Sim Pek Kun mengeluarkan suara ini dengan nada hampir menangis.

“Mungkinkah aku masih mempunyai sebuah rumah?”

Lian Seng Pek berkata:

“Kau berhak mengecapi kesenangan rumah kita.”

“Itulah jaman dahulu kala.” jawab Sim Pek Kun.

“Tidak.” berkata Lian Seng Pek. “Jaman itu masih berlaku untuk keadaan sekarang.”

Sim Pek Kun menggoyangkan kepala, ia berkata:

“Tidak sama”

Lian Seng Pek berkata:

“Tidak ada yang tidak sama, segala sesuatu yang lalu, biar saja dia lewat, kalau saja kau mau kembali, keadaan tetap seperti sedia kala.”

Sim Pek Kun tidak menjawab lagi. Dia termenung lama.

“Bagaimana?” bertanya Lian Seng Pek.

Sim Pek Kun berkata:

“Baru sekarang aku mengerti.”

“Apa yang kau maksudkan?” bertanya Lian Seng Pek.

“Orang yang hendak kau ajak pulang itu bukanlah aku”

“Siapa?” bertanya Lian Seng Pek heran.

“Nama harum dari keluarga Lian tidak bisa dicemarkan, tidak boleh ternoda, karena itu, nona mantu Lian Seng Pek tidak boleh merusak kehormatan keharuman nama itu, biar aku kembali ke kandang, pulang ke rumah lama.”

Lian Seng Pek bungkam.

Sim Pek Kun berkata lagi, “Maka, kau masih mengharapkan pulangnya diriku, asal saja aku kembali, semuanya bisa dimaafkan, tapi...”

Lian Seng Pek masih membungkam.

Gejolak hati Sim Pek Kun tidak bisa dipadamkan, suaranya semakin lama semakin meningkat, naik dua oktaf dia berkata, “Sudahkan terpikir olehku, aku juga berupa manusia biasa. Aku bukanlah orang yang mudah dipermainkan, aku tidak mau dipercaturkan oleh keluarga Lian.”

Wajah Lian Seng Pek menjadi murung, dia berkata, “Eh, mungkinkah aku telah melakukan sesuatu kesalahan?”

Kepala Sim Pek Kun ditundukkan ke bawah, air matanya bercucuran kembali, dia juga bersedih, katanya perlahan, “Kau tidak salah, akulah yang bersalah. Aku harus meminta maaf.”

Dengan suara yang seperti rayuan, Lian Seng Pek berkata, “Setiap orang itu pernah melakukan kesalahan, tapi biar saja mereka lewat, sudah lama kulupakan kesalahan2 itu.”

Kepala Sim Pek Kun di-geleng2kan, dia berkata, “Tidak. Mungkin kau bisa melupakan kesalahan itu, tapi aku tidak.”

“Mengapa?” bertanya Lian Seng Pek.

Putusan Sim Pek Kun yang sudah hampir tidak tergoyahkan, tiba2 saja terbengkokkan, tapi ditariknya kembali, dengan sepatah demi sepatah ia berkata, “Karena hatiku sudah berubah.”

Lian Seng Pek seperti tercambuk oleh pecut yang tidak tampak, hampir saja ia terguling jatuh. Dengan menggigit bibir yang hampir berdarah, ia berkata, “Kau tidak mau kembali?”

Sim Pek Kun berkata, “Seperti apa yang kau sudah tahu, seringkali aku menyakiti orang. Tapi betul2 hatiku sudah berubah, lebih baik aku berterus terang daripada menipu dirimu.”

“Maksudmu...”, suara Lian Seng Pek terputus.

Sim Pek Kun berkata, “Mulai saat ini, aku tidak mau hidup ber-sama2 mu lagi. Aku tidak mau memaksakan diri. Aku juga tidak mau menipu diri sendiri, aku sudah tidak cinta kepadamu.”

Lian Seng Pek mengepalkan tangannya keras2, ia menjadi tegang. “Betul... betul kau sudah jatuh cinta kepadanya?” dia bertanya.


Bagian 14 Selesai
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar