Bentrok Para Pendekar Jilid 04

Baca Cersil Mandarin Online: Bentrok Para Pendekar Jilid 4
Jilid 4

Bumbung bambu cukup besar, berisi tiga kati arak wangi.

Hong Si-nio mengangsurkan satu bumbung ke Sim Bik-kun, "Mabuk menghilangkan resah, kalau tidak mabuk, entah bagaimana gejolak perasanmu selama tiga hari mendatang."

Sejenak bimbang, akhirnya Sim Bi-kun menerima bumbung arak itu.

"Habis satu bumbung arak ini, kau sudah mabuk belum."

"Ya, belum tahu," sahut Sim Bik-kun.

"Kiranya kau juga biasa minum arak, sungguh tak kusangka."

"Sejak kecil nenek sering menyuruh aku menemaninya minum arak."

"Pernah mabuk?"

Sim Bik-kun memanggut.

"Aku yakin kau pernah mabuk, kalau sering bergaul dengan setan arak, tidak mabuk baru aneh."

Sim Bik-kun menunduk, hatinya seperti ditusuk jarum. Dia pernah mabuk dua kali, karena kasmaran terhadap Siau Cap-it Long.

Lapat-lapat ia seperti mendengar dendang lagu yang penuh nada kepedihan, seperti mendengar denting suara cawan dipukul sumpit mengiringi dendang lagu itu.

"Siau Cap-it Long, di kala kau tak berada di sampingku, siapa di dunia ini yang dapat memahami derita dan kesepianmu?"

Mendadak Sim Bik-kun mengangkat bumbung, tiga kati arak sekaligus ditenggaknya habis.

Perempuan yang semula diagulkan sebagai gadis suci, mestinya tidak minum arak dengan cara demikian, tapi sekarang ... peduli amat, peduli gadis suci? Sepanjang hidupnya kini bukankah dirinya dibuat sengsara dan menderita gara-gara 'gadis suci', karena sebagai gadis suci yang harus menjadi contoh, sampai ia tidak berani mencintai atau membenci, dalam dua hal perasaan yang bertolak belakang inilah dirinya menjadi korban penasaran, kepada siapa ia harus membela diri?

Mengawasi Hong Si-nio, mendadak ia tertawa cekikikan, "Eh, kau bukan gadis suci."

"Aku bukan, selama hidup aku tak sudi jadi gadis suci."

"Makanya hidupmu lebih riang dibanding aku."

"Hidupku memang jauh lebih riang dibanding kebanyakan orang." Mulut bicara pikiran justru bertanya pada diri sendiri, "Benarkah hidupku lebih riang dari orang lain?" Ia tenggak habis arak satu bumbung.

Seorang bisa tidak hidup riang gembira, bukan ditentukan oleh apakah ia adalah 'gadis suci'.

"Seorang kalau bisa hidup riang, pandangan terbuka, pasti hidupnya lebih ringan."

"Jika kau adalah aku," demikian kata Sim Bik-kun, "pikiranmu bisa terbuka?”

"Aku ...." Hong Si-nio tak mampu menjawab.

Sim Bik-kun cekikikan geli, tawa yang rawan, tawa kecut, tawa pahit, lebih kecut daripada air mata. Tapi dia masih terus tertawa dan tertawa.

Tiba-tiba Hong Si-nio bertanya, "Kalau kali ini kau bisa bertemu Siau Cap-it Long, bisa tidak kau tinggalkan seluruhnya dan menikah dengan dia?"

Dalam keadaan biasa yakin Hong Si-nio tak berani bertanya, tapi sekarang, entah hasrat apa yang mendorong ia mengajukan pertanyaan itu.

Sim Bik-kun masih tertawa, tawa cekikikan, "Tentu aku akan menikah dengannya, kenapa aku tidak bisa menikah dengan dia? Dia mencintai aku, aku juga mencintai dia, kenapa kami tidak boleh hidup berdampingan sepanjang hidup?"

Mendadak tawanya berubah menjadi isak tangis yang memilukan, akhirnya sulit dibedakan ia menangis atau tertawa.

Kalau kali ini bertemu Siau Cap-it Long, apa benar dia bakal menikah dengannya? Kalau tidak bakal menikah, buat apa mencarinya? Kalau sudah bertemu memangnya kenapa? Bukankah bakal menambah derita? Sim Bik-kun menarik napas panjang, sepanjang hidup manusia sering kali terjadi apa boleh buat, tapi kalau kau ingin terus memikirkan persoalan itu, gundah gulana akan selalu menjadi beban kehidupanmu.

Daripada bertemu lebih baik tidak bertemu, memangnya mau apa setelah bertemu? Bagaimana kalau tidak bertemu?

"Hihi, kau mabuk," Hong Si-nio menertawainya.

"Ya, aku mabuk," lirih suara Sim Bik-kun.

Betul mabuk, malah cepat mabuk. Seorang kalau ingin mabuk, begitu minum arak, tidak perlu banyak, lekas ia akan mabuk, sebab kalau tidak mabuk, tak mungkin berpura-pura mabuk.

Lucunya, seorang kalau selalu ingin mabuk setelah banyak minum, ia sendiri sukar membedakan apakah dirinya betul mabuk apa pura-pura mabuk.

Hong Si-nio menggeliat, lalu duduk di lantai, "Aku tidak mencintai Nyo Khay-thay. Sebab dia terlalu jujur, pikirannya lapang tidak punya inisiatip."

"Aku tahu."

"Hoa Ji-giok justru tidak jujur, akalnya banyak dan licik."

"Kalau dia lelaki tulen, mau kau menikah dengan dia?"

"Tidak akan."

Kini seperti mendadak sadar, kalau benar dia mencintai seorang lelaki, umpama lelaki lain jauh lebih unggul, ia berjanji akan sepenuh hati mencintai pujaan hatinya itu.

Cinta memang sesuatu yang aneh, tidak bisa dipaksa juga tidak bisa pura-pura.

Mendadak Sim Bik-kun bertanya, "Bukankah engkau juga ingin menikah dengan Siau Cap-it Long?"

"Kau keliru," sahut Hong Si-nio, "umpama seluruh lelaki di dunia ini mampus seluruhnya, aku tidak akan kawin dengan dia."

"Ah, kenapa?"

"Sebab yang dia cintai engkau bukan aku." Mimiknya seperti tertawa, tapi tawa pilu, "Maka kau terhitung tandinganku, lawan yang harus kubunuh."

Sim Bik-kun tertawa berderai. Mereka cekakak-cekikik sambil terus minum, akhirnya mereka sendiri tidak tahu apa saja yang telah mereka lakukan, isi hati apa saja yang telah dilimpahkan.

Samar-samar mereka seperti melihai Siau Cap-it Long menampakkan diri, kejap lain berubah menjadi Lian Shia-pik, terakhir malah berubah jadi Nyo Khay-thay.

Dari ribuan Siau Cap-it Long berganti ribuan Lian Shia-pik, lalu berubah jadi Nyo Khay-thay. Paling akhir berubah lagi menjadi Hoa Ji-giok.

Dengan tersenyum lebar Hoa Ji-giok berdiri di hadapan mereka, tawa nan manis lembut lagi mempesona.

Hong Si-nio meronta ingin berdiri, tapi kepala pusing dan sakit sekali, mulut juga kering getir.

"Hari ini kalian betul-betul mabuk," kata Hoa Ji-giok kalem. "sudah tiga hari tiga malam."

Hong Si-nio sungguh tidak tahu bagaimana keadaan mereka berdua selama tiga hari tiga malam ini. Tapi tidak tahu lebih baik daripada tahu?

"Untung kalian sudah berada di rumah dengan selamat," kata Hoa Ji-giok.

Tak tahan Hong Si-nio bertanya, "Rumah siapa?"

“Tentu rumah kita?" senyumnya makin manis, "jangan lupa di hadapan orang banyak kau sudah menyatakan bahwa kau adalah biniku, menyangkal juga percuma."

"Aku hanya ingin bertanya, kenapa kau suruh aku menipu Sim Bik-kun dan menculiknya kemari?"

"Sebab dua tua bangkotan itu sukar dilayani. Dengan cara itu baru bisa kuundang dia kemari."

"Apa yang akan kau lakukan padanya?"

"Coba kau terka."

"Kau juga ingin mengambilnya jadi istrimu."

"Kau sendiri perempuan, buat apa punya bini banyak?"

"Aku perempuan?" Hoa Ji-giok tertawa dengan mata terbelalak, "siapa bilang aku perempuan?"

Hong Si-nio berjingkat, "Memangnya bukan?"

"Jelas bukan, kalau ada orang bilang aku ini perempuan, pasti orang gila?"

Memang hampir gila Hong Si-nio dibuatnya, tak tahan ia berteriak, "Memangnya kau ini laki atau perempuan?"

Dengan senyum di kulum mendadak Hoa Ji-giok membuka baju, "Kau bisa membedakan bukan."

Hoa Ji-giok adalah laki-laki tulen, anak kecil juga pasti bilang dia adalah laki-laki.

Hati Hong Si-nio seperti dibenamkan dalam lumpur.

"Tempo hari pada detik-detik yang menentukan itu aku surut dan mundur teratur, tujuanku adalah supaya kau percaya bahwa aku adalah perempuan. Kalau kau beranggapan aku bukan perempuan, dalam kondisi seperti itu, pasti kesempatan tidak kau abaikan."

Gemeratak gigi Hong Si-nio, "Kau bukan perempuan, juga bukan manusia."

Tawa Hoa Ji-giok makin riang, "Karena kau percaya aku ini wanita, maka kau mau membantu aku membawa Sim Bik-kun ke tempatku ini."

Sim Bik-kun tidak memberi reaksi, kondisinya memang sudah kaku.

"Tapi kali ini pasti takkan kubuang percuma kesempatanku."

"Aku sudah menyerah menjadi binimu, apalagi yang akan kau lakukan padaku?"

"Usiamu memang sedikit tua, tapi ada bagian-bagian tertentu punyamu masih lebih menyenangkan dibanding nona cilik." Mata-nya menjelajah tempat-tempat tertentu di badan Hong Si-nio, sorot matanya seperti menikmati tubuh Hong Si-nio yang sudah telanjang.

Hoa Ji-giok tertawa lebar, "Kini aku sudah punya bini secantik bunga seputih batu giok, ditambah lagi nona cantik nomor satu di Bulim jadi gundikku, sungguh besar rezekiku." Sorot matanya beralih ke tubuh Sim Bik-kun.

Mimik Sim Bik-kun kaku dingin, tanpa perubahan, "Huh, jangan harap."

"Jangan harap maksudmu?"

"Berani kau menyentuh tubuhku, biar aku mati di depanmu."

"Di hadapanku kau tidak mungkin mati."

"Kalau begitu biar kau saja yang mampus." Begitu ucapannya berakhir, dibarengi ulapan tangan, segenggam jarum emas melesat terbang.

Jarum emas keluarga Sim pernah menggetarkan kaum persilatan, diakui sebagai salah satu dari delapan senjata rahasia paling lihai di Bulim.

Bukan saja gaya serangan jarum ini berbeda, gerakan serangan dan hasilnya berakibat fatal bagi sang korban, begitu menyusup dalam tubuh, langsung mengalir mengikuti peredaran darah. Hanya setengah jam, jarum menusuk jantung, malaikat atau dewa juga takkan bisa menolong.

Sayang sebagai gadis suci, cara turun tangan Sim Bik-kun tidak boleh keji, kepandaian menyambit jarum warisan keluarga paling hanya terhitung 'lempar' saja, tidak ganas juga kurang cepat.

Menyerang dengan senjata rahasia kalau tidak tega, apalagi lambat, betapapun hebat rahasia senjata itu, di tanganmu menjadi barang mainan belaka.

Sambil tertawa lebar, Hoa Ji-giok hanya membalik badan seenaknya, taburan jarum yang lebat itu lenyap seketika, jelas dia juga adalah tokoh lihai dalam permainan senjata rahasia, dibanding kemampuan Sim Bik-kun tadi bedanya jauh sekali.

Hong Si-nio menggereget gemas, "Dia bukan manusia, kita takkan mampu menghadapinya."

"Aku menyukaimu, bukan lantaran kau pintar, tapi juga karena tahu diri, sebab tidak banyak perempuan tahu diri yang bisa kumiliki."

"Apa benar kau menyukai aku?"

"Tentu betul."

"Kenapa masih mencari perempuan lain lagi? Kau tidak kuatir aku cemburu?"

"Perempuan cemburuan aku tidak suka."

"Umpama sekarang kau tidak menyukai aku juga sudah terlambat."

"Lho?"

"Baru saja menikah, kau sudah serong dengan perempuan lain, kelak apa tidak lebih ganas?"

"Maksudmu aku harus membebaskan dia?"

Hong Si-nio memanggut, "Asal kau tidak menyentuh perempuan lain, aku rela menjadi binimu, atau ...."

"Atau bagaimana?"

"Atau ... akan kuberikan hajaran setimpal, kau takut?"

"Tidak takut."

"Tidak takut aku melabrakmu?"

"Aku sudah biasa dilabrak orang, dilabrak bini sendiri kan malah mesra." Bicara sampai di sini, air mukanya mendadak berubah amat aneh, seperti murka juga amat menderita.

Mengawasi perubahan aneh itu, Hong Si-nio jadi tidak tega, "Siapa orang terakhir yang melabrakmu?"

Hoa Ji-giok menggenggam jari-jarinya, "Siapa lagi, Siau Cap-it Long."

V. DIMANA SIAU CAP-IT LONG?

Siau Cap-it Long, lagi-lagi Siau Cap-it Long. Semua persoalan buruk di dunia, sepertinya diborong olehnya.

Hoa Ji-giok mendesis penuh dendam, "Karena dia merebut pujaanku, maka aku juga merebut pujaannya."

"Dia merebut pujaanmu? Siapa?"

"Dia merebut Pin-pinku."

"Siapa Pin-pin itu?"

"Pin-pin adalah adik misanku, juga adalah calon istriku." Kelihatan betapa gusar hatinya, "Mentang-mentang ilmu silatnya lebih tinggi dibanding aku, Siau Cap-it Long merebut dan membawa adik misanku, orang lain melirik saja juga dilarang olehnya."

"O, jadi karena melirik padanya, dua biji mata Cia Thian-ciok dibikin buta, begitu?"

Hoa Ji-giok mengangguk, suaranya dingin, "Kalau kalian menganggap dia baik, kalian bisa menyesal. Terhadap Pin-pin dia benar-benar baik, demi Pin-pin perbuatan apa saja bisa dia lakukan, Pin-pin menyuruh dia mencolok buta mata orang, tidak pernah ia membangkang."

"Aku tidak percaya," teriak Hong Si-nio. "Sepatah kata pun aku tidak percaya."

"Tidak percaya? Atau tidak berani percaya?"

"Mampus pun aku tidak percaya," seru Hong Si-nio.

Hoa Ji-giok menghela napas, "Sepertinya kau ini tergiia-gila terus padanya."

"Dahulu aku juga pernah memfitnah, tapi sekarang aku sudah tahu, Siau Cap-it Long pasti dan yakin bukan orang macam itu, pasti takkan melakukan perbuatan seperti itu."

"Dahulu mungkin dia bukan orang macam itu, tiap orang bisa berubah kapan saja."

"Apapun yang kau katakan, apapun alasannya, aku tetap tidak percaya."

Berkilat bola mata Hoa Ji-giok, "Kalau aku bisa membuktikan, bagaimana?"

Sim Bik-kun mengertak gigi, "Kalau ada bukti dan nyata, apa pun kehendakmu terserah."

"Kalau aku bisa membuktikan, kau mau menikah denganku?" desak Hoa Ji-giok.

"Sudah kubilang, apapun kehendakmu, terserah."

"Janjimu bisa ditepati tidak?"

"Aku memang wanita, namun tidak pernah bohong tidak pernah ingkar janji."

"Bagus, aku percaya padamu." Kata Hoa Ji-giok sambil bertepuk tangan.

"Cara bagaimana kau akan memberi bukti kepadanya," desak Hong Si-nio.

"Akan kubawa dia pergi melihat Siau Cap-it Long dan Pin-pin.”

"Melihat dimana?"

"Tay-hing-lau."

"Tay-hing-lau dimana?"

"Tempat untuk menghamburkan uang."

"Siau Cap-it Long ada di sana?"

"Beberapa hari ini aku yakin dia ada di sekitar Koh-soh, kalau sudah berada di sekitar sana, pasti pergi ke Tay-hing-lau."

"Masa begitu?"

"Sebab sekarang dia seorang kaya. Kalau tidak mengajak cewek pujaannya ke Tay-hing-lau mencari hiburan, sia-sia dia berada di wilayah Soh-ciu ini."

"Maksudmu kau juga akan membawa kami ke tempat itu?"

"Tapi kalian harus berjanji satu hal kepadaku."

"Coba jelaskan."

"Mata kalian boleh melotot mengawasi, tapi mulut tidak boleh bicara. Harus tutup mulut."

"Kenapa?"

"Sebab sekali kalian membuka mulut, segala pemandangan akan lenyap."

"Baik, aku terima syaratmu."

"Kau bisa terus tutup mulut tanpa bersuara?"

"Kau anggap aku ini wanita macam apa? Wanita cerewet?" Hong Si-nio menjengek.

Hoa Ji-giok tertawa geli, "Kau bukan perempuan cerewet, tapi aku tidak percaya saat itu kau bisa menepati janji."

Hong Si-nio berjingkrak berdiri, "Kalau bini sendiri tidak dipercaya, siapa yang kau percaya?"

Hoa Ji-giok menyeringai, "Seorang lelaki kalau terlalu percaya bini, maka dia lelaki goblok. Nyo Khay-thay adalah bukti lelaki goblok itu. Kalau dia cerdik, mana bisa kau minggat dari kamar pengantinnya?"

Hong Si-nio menghela napas, "Dia bukan orang goblok, dialah laki-laki sejati."

"Tapi aku bukan laki-laki goblok juga bukan laki-laki sejati."

"Jadi kau sudah memutuskan untuk tidak percaya padaku?"

Hoa Ji-giok berpaling ke arah Sim Bik-kun, "Aku malah mempercayai dia, aku tahu dialah perempuan jujur tidak suka bertingkah."

"Maksudmu aku tidak jujur lagi suka bertingkah?”

"Dalam rumah ini orang jujur kurasa hanya dia seorang."

"Lalu apa keputusanmu, mau menjahit bibirku?"

"Menjahit bibirmu juga tak berguna, siapa tahu kau bakal bandel."

"Kau... apa langkahmu?"

"Akan kupikir caranya," ujar Hoa Ji-giok dengan tersenyum penuh arti.

Kalau ingin perempuan seperti Hong Si-nio duduk diam, tidak banyak tingkah, memang harus diatasi dengan suatu cara yang luar biasa.

Dan sekarang Hong Si-nio sudah duduk diam, tidak banyak tingkah, sebab dia tidak bisa bergerak. Hiat-to di sekujur badannya pada titik kontrol gerak-gerik kaki tangan sudah ditutuk, dikendalikan. Mukanya ditutup kain merah, bentuk sanggul kepalanya juga diubah, malah mulutnya dijejal buah apel. Cara ini bukan yang paling pintar, tapi paling berhasil.

Muka Sim Bik-kun juga ditutupi kain hitam.

Koh-soh terhitung kota yang masih mengukuhi adat lama, gadis atau nona-nona muda yang beraktivitas di luar rumah, semua pasti menutup muka dengan sari hitam atau jenis lain yang dirasa pantas.

Maka kehadiran mereka yang luar biasa itupun tidak menarik perhatian khalayak sekitarnya.

Dandanan mereka cukup perlente, pakaian dari bahan mahal, hiasan menghias sanggul kepala. Sebab tempat ini memang sering dikunjungi para cukong yang berkantong tebal.

Awalnya tempat ini dinamakan Bok-tan-lau, namun sudah menjadi kebiasaan di sini, tiada Bok-tan, cari Tay-hing pasti banyak. Maka Bok-tan-lau berubah menjadi Tay-hing-lau.

Kini saatnya magrib. Magrib umumnya adalah waktu yang tepat untuk menghamburkan uang, waktu yang paling pas untuk mengadu nasib dengan uang. Mau menghamburkan uang di sinilah tempatnya, minum secangkir teh, kau harus merogoh kocek delapan tahil perak.

Benda atau barang apa saja yang dijual di sini, harganya sepuluh kali lebih mahal, celakanya tiada sesuatu yang istimewa di tempat ini.

Bunga Bok-tan sudah layu, di antara pot-pot bunga di luar loteng tertata rapi beberapa pot kembang seruni. Bunga seruni sedang mekar semarak, warna-warni berbeda pula, tiap kuntum kembang yang enak dipandang.

Belasan meja di atas loteng, hampir penuh.

Tiap lelaki yang keluyuran di sini tentu bermuka riang, cerah, pakaian juga serba mewah dan mahal, rata-rata naik kuda, ada juga yang naik kereta, menyoreng pedang di pinggang, sarung pedang dihiasi mutiara dan jamrud, beberapa di antaranya datang dengan menggoyang kipas bergambar, lukisan kipas digambar oleh tangan ahli, pelukis terkenal.

Para wanita yang berbaur di sini semua berdandan ayu, ke tempat ini bukan untuk makan, tapi untuk pamer kecantikan dan perhiasan.

Hong Si-nio bersama Sim Bik-kun duduk di pojok dekat jendela. Hoa-ji-giok berpakaian hijau dengan topi kecil menutup kepala, dengan laku sopan berdiri di belakang mereka, menyamar jadi pelayan yang melayani sang nyonya dan gadisnya yang lagi pesiar.

Wanita yang datang ke tempat ini tidak wajib ditemani suami, gendak atau lelaki siapa saja. Di Kangouw tidak sedikit orang kaya dari jenis wanita, di antaranya malah ada yang ingin memancing ikan. Lelaki yang ada di Tay-hing-lau, semua adalah ikan kakap, ikan besar.

Ikan yang paling besar sekarang sedang duduk di depan mereka. Umur lelaki ini sekitar empat-lima puluhan, memelihara jenggot kambing, mukanya bundar, kulitnya putih, putih susu, sepasang tangannya terawat amat baik, lebih baik dibanding jari-jari tangan gadis pingitan, jari tengah kanan kiri mengenakan cincin bermata kucing sebesar kelengkeng.

Perempuan yang mendampingi jelas adalah perempuan cantik, cantik menggiurkan, usianya paling enam belas, sepasang bola matanya indah, jelalatan mirip mata anak kecil yang rakus melihat banyak hidangan, mulutnya mungil bersungut, sebelum tertawa sering hidungnya bersungut-sungut, begitu aleman lagi genit. Memang perempuan jenis inilah yang paling disukai lelaki setengah umur itu.

Semua lelaki yang ada di sekitar situ pasti melirik diam-diam, melirik sepasang anting yang menghias kupingnya, anting jade hijau pupus berbentuk amat indah. Di wilayah Koh-soh sukar didapat anting yang sama.

Di belakang mereka selain gadis cilik pelayan dan kacung muda, dua lelaki menyoreng pedang berpakaian hitam bersiaga.

Kemana pun Liu-soh-ciu pergi pasti diikuti dua pengawal. Empat pengawal Liu-soh-ciu jelas bukan tokoh silat kelas kambing.

Lelaki yang menyoreng pedang di sebelah kanan bernama Ko Kang dijuluki Tui-hong-kiam. Tidak sedikit tokoh silat di Kangouw dijuluki Tui-hong-kiam. Orang yang punya julukan, kepandaiannya tentu bukan main-main. Tapi tiap kali memandang dua orang yang duduk di meja seberang sana, sikap mereka kelihatan hormat. Ilmu silat Ko Kang lihai dan cepat, terhitung tokoh Kangouw kawakan, ia kenal kedua orang itu.

'Pek-tiong-siang-hiap', murid terkenal dari perguruan ternama, beberapa peristiwa besar pernah mereka lakukan, mendapat acungan jempol dan pujian dari kaum persilatan.

Terutama Ji-hiap Auyang Bun-tiong, dia memperoleh warisan keluarga yang telah lama putus turunan, senjatanya adalah Cu-bo-le-hun-thoh. Seperti diketahui, keluarga Auyang turun temurun adalah keluarga persilatan yang kaya raya, salah satu dari tiga keluarga persilatan yang disegani kaum persilatan. Kedua saudara kakak beradik itu jelas juga adalah termasuk kaum Tay-hing.

Bagaimana dengan Siau Cap-it Long? Siau Cap-it Long tidak terlihat bayangannya. Sudah dua hari mereka nenunggu di sini, tiada berita juga bayangan Siau Cap-it Long muncul.

"Bila dia berada di sekitar Koh-soh, pasti datang."

"Bagaimana tahu kalau dia berada di sekitar Koh-soh?"

Hong Si-nio sudah malas menduga-duga, apalagi menunggu lebih lama, sungguh tak tahan lagi.

Tapi pada waktu itulah tiba-tiba Siau Cap-it Long menampakkan diri. Begitulah kalau menunggu orang, makin ditunggu makin gelisah, makin lama setelah tidak betah dan ingin pergi, tahu-tahu orangnya datang.

Sebuah kereta serba baru warna hitam gelap ditarik delapan ekor kuda tahu-tahu berhenti di luar pintu.

Hong Si-nio yang sudah malang melintang di Kangouw, belum pernah melihat kereta segede semegah dan angker seperti kereta hitam ini.

Siau Cap-it Long datang naik kereta itu, malah bukan sendirian. Selain dua anak laki-Iaki, empat genduk cilik dan kusir kereta yang semua berdandan rapi, ditemani pula seorang gadis rupawan yang berpakaian serba putih, rambutnya tampak hitam mengkilap.

"Dia inilah Pin-pin."

Dipandang dari loteng, wajah Pin-pin tidak terlihat jelas, yang terlihat hanya gelung rambutnya yang indah serta taburan mutiara yang besar sebagai hiasan sanggulnya.

Siau Cap-it Long melangkah dulu di depan, dengan sebelah tangannya sang nona memeluk lengan Siau Cap-it Long dan beranjak perlahan. Mereka sudah turun dari kereta, melangkah ke pintu, dilihat dari atas wajahnya tidak terlihat jelas.

Betulkah dia itu Siau Cap-it Long? Hong Si-nio dan Sim Bik-kun seperti berlomba membelalakkan bola mata, terasa detak jantung tiga kali lipat lebih kencang, dengus napas yang ditahan seperti akan putus saja. Betapa besar keinginan mereka melihat Siau Cap-it Long, sekarang mereka malah berharap laki-Iaki itu bukan Siau Cap-it Long.

Derap kaki sudah berkumandang menaiki tangga loteng, jantung terasa berdegup lebih keras. Mendadak mereka menahan napas, kini mereka sudah melihat sepasang matanya, benderang seperti cahaya bintang kejora yang memancar terang di malam musim rontok.

Ternyata orang itu betul adalah Siau Cap-it Long. Siau Cap-it Long sudah datang.
Dalam hidup Siau Cap-it Long tidak mengutamakan pakaian, ada kalanya kaos saja tidak dipakai. Tapi baju yang dipakai hari ini, seluruhnya dari bahan paling mahal, buatan tailor terkenal dengan mode terbaru, cocok pas dengan potongan badan, bajunya serba hitam, sehitam biji matanya yang bersinar terang.

Baju sutra yang lembut mengencang di tubuh, dengan perawakan tubuh yang gagah, tinggi tegap, pundaknya tidak begitu lebar, kaki juga tidak lencir panjang, di pinggang melilit sabuk kulit warna hitam pula, menyoreng miring sebatang golok. Golok pendek yang bentuknya ganjil lagi aneh, sarung pedang mengkilap seperti terbuat dari emas, di tengahnya dihiasi tiga butir mutiara hitam, mutiara yang jarang dimiliki manusia umumnya. Betapa tidak menyolok pandang orang-orang yang melihatnya.

Kecuali sebilah golok, tubuhnya tiada mengenakan perhiasan apa-apa, namun makin dipandang, orang merasa keagungan sikapnya yang menonjol.

Ternyata Siau Cap-it Long sekarang pandai memilih baju. Sebetulnya Siau Cap-it Long adalah seorang laki-Iaki yang tidak suka berdandan, apalagi berhias, pernah beberapa hari ia tidak mandi, tidak mencukur jenggot dan kumis, tapi hari ini mukanya kelihatan kelimis, kuku jari juga digunting rapi, rambut juga disisir rapi, baju dan celananya halus rapi.

Hong Si-nio mengawasi dengan rasa kejut, kalau mulutnya tidak disumbat, dan Hiatonya tidak ditutuk, pasti tak tahan sudah berteriak keras, sungguh sukar dipercaya bahwa lelaki ini adalah orang yang dikenalnya sejak lama yaitu Siau Cap-it Long, kenapa kelihatannya lebih tua.

Kecuali golok di pinggang, Pin-pin merupakan hiasan tambahan yang menyolok juga, cewek ini masih sangat muda, sayang kulit badannya memutih pucat. Sorot matanya mirip pandangan bocah jenaka yang masih murni dan polos, terbayang juga rona memelas.

Gadis belia di samping Liu-soh-ciu boleh terhitung nona cantik yang jarang ada bandingan, kalau dibanding dengan Pin-pin, bedanya amat menyolok.

Terasa oleh Hong Si-nio jenis kecantikan nona belia ini rada mirip kecantikan Sim Bik-kun, kalau Sim Bik-kun lebih matang, nona ini lebih muda, lebih lemah. Tidak setenang, lemah lembut seperti Sim Bik-kun.

Begitu nona belia berada dalam rumah, hadirin merasa nona muda ini amat angkuh dan congkak, kecuali Siau Cap-it Long, tiada manusia lain yang pantas dilirik, apalagi dipandang olehnya, umpama ada orang mampus di hadapannya, ia juga enggan melihatnya.

"Inilah Pin-pin."

Perasaan Sim Bik-kun seperti makin tenggelam "Demi Pin-pin, dia rela melakukan apa saja keinginannya, kalau Pin-pin ingin dia mengorek bola mata sendiri, tanpa sangsi akan ia lakukan."

Kaki tangan dingin, badan Sim Bik-kun juga basah oleh keringat dingin. Kini ia harus mengakui, Pin-pin adalah wanita yang membuat laki-laki mana pun rela berkorban baginya.

"Pin-pin setimpal jadi pasangan Siau Cap-it Long, dia masih muda belia, belum pernah menikah, pasangan yang tidak akan membuat Siau Cap-it Long kesal, risau dan salah."

Sim Bik-kun merasa sekujur badan dingin, tapi tidak kedinginan, mendadak ia sadar, mestinya ia tidak berada di tempat ini.

Siau Cap-it Long tidak boleh melihat dan tahu ia berada disini, ia tidak ingin membawa petaka, membuatnya ragu, membuatnya serba salah.

"Tanpa aku, mungkin hidupnya akan lebih bahagia," demikian batinnya, dengan kencang ia menggigit bibir, tanpa terasa air mata membasahi pipi.

Siau Cap-it Long tahu orang banyak sedang mengawasi dirinya, mengawasi pakaiannya, goloknya dan cewek yang menggelendot di badannya.

Dia tidak peduli, biasanya ia segan diawasi orang, sekarang ia telah berubah, kelihatan ia puas malah, Siau Cap-it Long sudah berubah menjadi laki-laki yang suka pamer kekayaan seperti Liu-soh-ciu.

Dengan memeluk lengan Siau Cap-it Long, dengan badan ia menggelendot di tubuh orang, sedikitpun Pin-pin tidak merasa ragu, malu atau sebaliknya memperlihatkan kemesraan. Senyum manis khusus untuk Siau Cap-it Long saja, senyum mekar dan bangga. Sebab seluruh perhatian hadirin di Bok-tan-lau kini sudah menjadi miliknya.

Mereka naik ke atas loteng, di belakang mengikut serombongan orang, mirip raja yang menggandeng permaisuri memasuki istana.

Pemilik rumah makan membuka jalan, sikapnya munduk-munduk dan tutur katanya menjilat, "Di sana ada meja di pinggir jendela, tuan-tuan silakan duduk, segera kami suruh menyuguhkan teh panas."

Siau Cap-it Long mengangguk, hakikatnya ia tidak memperhatikan omongan orang, juga tak peduli semua orang yang hadir di loteng. Seolah-olah ia hadir di dunia lain, dunia yang tidak perlu memperhatikan kepentingan orang lain.

Waktu lewat depan meja Liu-soh-ciu, mendadak Pin-pin berhenti, matanya mengawasi anting batu jade. Gadis yang mengenakan anting itu tersenyum, syukur ia masih memiliki benda yang harus dibanggakan di depan nona lain.

Masih memeluk lengan Siau Cap-it Long, mendadak Pin-pin berkata, "Menurutmu, bagaimana sepasang anting ini?"

Pandangan Siau Cap-it Long tetap ke depan, kepala juga tidak menoleh, tapi ia mengangguk, "Kelihatannya bagus juga."

"Aku suka warnanya," kata Pin-pin.

"Kau suka?" Siau Cap-it Long menegas.

"Sangat suka, entah Cici ini sudi mengalah padaku tidak?"

"Pasti boleh," ujar Siau Cap-it Long kalem.

Muka Liu-soh-ciu berubah. "Aku tahu dia tidak rela," sanggahnya.

Siau Cap-it Long tertawa, tawa yang sama, sikapnya masih bermalas-malasan, nadanya menyindir, "Kau tahu kemauannya?"

"Sudah tentu tahu, sebab sepasang anting ini milikku."

"Kan sudah kau berikan padanya."

"Dia juga sudah jadi milikku."

"Omonganmu tidak kuatir membuatnya sedih?"

Liu-soh-ciu menarik muka, suaranya dingin, "Sudah kubilang, dirinya juga milikku."

Nona itu menundukkan kepala, sorot matanya mulai mengunjuk rasa kuatir dan takut.

Baru sekarang Siau Cap-it Long mengawasinya sekilas, tawanya tawar, "Kau istrinya?"

Nona itu menggeleng.

"Putrinya?"

Nona itu menggeleng pula.

"Lalu kenapa dia bilang kau miliknya?"

Liu-soh-ciu berjingkrak, suaranya keras, "Sebab aku sudah membelinya."

"Berapa duit kau membelinya?"

"Kau tidak perlu tahu!"

"Kalau aku ingin tahu?"

Liu-soh-ciu menggebrak meja, dampratnya gusar, "Kau ini barang apa? Berani kurang ajar di depanku."

"Aku bukan barang, aku manusia."

Saking gusarnya, Liu-soh-ciu membesi kaku. "Ko Kang," serunya keras.

Tangan Ko Kang menggenggam gagang pedang, hanya sedikit bergerak, mendadak menghadang di depan Siau Cap-it Long.

"Aku sebal melihat orang ini, suruh dia pergi!"

Dingin sorot mata Ko Kang, "Dia bilang sebal melihatmu, kau sudah dengar?"

"Mendengar dengan jelas," sahut Siau Cap-it Long.

"Tidak lekas kau menyingkir?"

"Aku suka di sini."

Ko Kang menyeringai, "Jadi kau senang rebah di sini?"

"Kau ingin membuatku rebah di sini?"

"Betul." Mendadak pedang tercabut, sinar gemerdep menusuk dada Siau Cap-it Long.
Sinar pedang bagai kilat, kecepatan Tui-hong-kiam memang hebat. Yang hadir sudah ada yang menjerit, tusukan itu jelas akan amblas di dada Siau Cap-it Long. Yang diserang tetap diam saja, hanya mengulur sebelah tangan menjentik di ujung pedang orang.

"Ting", pedang itu mendadak patah sepanjang delapan senti. "Tring", suara potongan pedang jatuh di lantai.

Berubah air muka Ko Kang, teriaknya, "Kau ... kau siapa?"

"Aku she Siau," sahut Siau Cap-it Long.

"Siau... Siau apa?"

"Siau Cap-it Long."

Nama besar itu bagai sebuah palu godam menghantam kepala Ko Kang. Dengan mata terbelalak ia mengawasi orang di depannya, dari kepala turun mengawasi golok di pinggang orang, "Kaukah Siau Cap-it Long?"

"Ya, tulen bukan palsu."

Selebar muka Ko Kang basah oleh keringat, mendadak ia membalik, "Dia bilang dia suka tinggal di sini."

Muka Liu-soh-ciu juga pucat pias, "Aku sudah mendengar."

"Dialah Siau Cap-it Long."

"Aku tahu," sahut Liu-soh-ciu. Tentu ia pernah mendengar nama kebesaran Siau Cap-it Long.

Ko Kang berkata, "Siau Cap-it Long berkata kalau dia ingin tetap di sini, maka tiada seorang pun berani menyuruhnya pergi."

Tangan Liu-soh-ciu saling genggam, wajahnya membesi, "Kalau dia tidak mau pergi, kau saja yang pergi!"

Bilang pergi ya pergi, tanpa menoleh ia hengkang dari tempat itu. Umpama nilai harga yang dijanjikan Liu-soh-ciu cukup tinggi, jelas takkan lebih berharga dibanding kepala sendiri. Apalagi disuruh pergi oleh Siau Cap-it Long, rasanya juga tidak terlalu memalukan.

Mengawasi orang turun dari tangga, Liu-soh-ciu menghela napas, tawanya dipaksakan, "Sungguh aku tidak tahu tuan adalah Siau Cap-it Long."

"Sekarang kau sudah tahu?" tawar suara Siau Cap-it Long.

"Kau benar menyukai sepasang anting ini?"

"Apa yang dia sukai, serahkan kepadanya!"

"Jadi segala sesuatu yang dia sukai, kau berikan padanya?"

Perlahan Siau Cap-it Long mengangguk, mengulang ucapan orang dengan nada tegas, "Semua benda yang disukai, aku serahkan kepadanya."

Liu-soh-ciu mengertak gigi, "Baiklah, akan kuberikan kepadamu, selanjutnya kita bisa jadi sahabat."

"Aku tidak mau terima gratis, juga tak mau bersahabat."

Berubah air muka Liu-soh-ciu, "Apa maumu?"

"Sepasang anting ini kau beli dengan uang?"

"Ya, dengan harga mahal."

"Berapa kau beli?"

"Delapan ribu tahil."

"Aku beli enam belas ribu tahil," kata Siau Cap-it Long, hanya sekedar mengulap tangan, seorang kacungnya yang cerdik pandai segera maju menyodorkan cek.

"Inilah cek Goan-ki dari bank keluarga Nyo yang terkenal, tunai dan kapan saja boleh diambil."

Melotot mata Liu-soh-ciu, mendadak ia berpaling sambil berseru, "Serahkan padanya!"

Merah mata gadis belia itu, perlahan ia mencopot anting dari kupingnya, lalu ditaruh di atas meja.

"Sekarang anting ini milikmu," kata Liu-soh-ciu, "kalau tiada urusan boleh silakan ambil."

Mendadak Siau Cap-it Long tertawa, "Masih ada urusan lain."

Berubah pucat muka Liu-soh-ciu, "Urusan apa?"

"Tadi kubilang, aku suka tempat ini."

"Kau ... aku harus menyingkir dari tempat ini?"

"Betul."

"Aku ... kalau tidak menyingkir?"

"Harus menyingkir," tawar suara Siau Cap-it Long, tapi nadanya mulai mengancam.

Liu-soh-ciu menyingkir pergi, berhadapan dengan Siau Cap-it Long, bagaimana ia tidak mengalah?

Setelah duduk Siau Cap-it Long mengambil sepasang anting itu, "Warna sepasang anting ini memang bagus."

Pin-pin tertawa, "Tapi sekarang aku sudah bosan."

Siau Cap-it Long melenggong, "Maksudmu kau tidak suka?"

"Barang ini membikin kau repot, aku tak mau menerimanya."

Sikap Siau Cap-it Long berubah manis, tawanya juga lembut dan gembira, "Setelah kau merasa bosan, aku pun ikut bosan." Sembari bicara mendadak ia mengayun tangan, anting seharga enam belas ribu tahil ia buang keluar jendela.

Pin-pin bersorak lirih sambil bertepuk tangan, tawanya riang.

Hong Si-nio justru hampir meledak dadanya saking jengkel, sungguh tak pernah terbayang olehnya sekarang Siau Cap-it Long sudah berubah sewenang-wenang, menindas yang lebih rendah. Syukur ia tidak mampu bergerak, dalam keadaan biasa mungkin ia sudah memburu ke sana menampar mukanya.

Saking gemasnya ingin ia menuding hidungnya serta mencaci, memangnya sudah lupa kala hidupnya terlunta-lunta, makan semangkok mi bakso saja harus bon dulu dan lima minggu baru mampu membayar. Akan ditudingnya pula apa dia sudah melupakan Sim Bik-kun, melupakan para wanita sahabatnya yang pernah rela berkorban bagi dirinya. Sayang ia tidak mampu bersuara, terpaksa menyaksikan saja dengan pandangan melotot.

Dahulu Siau Cap-it Long selalu diomeli, kenapa tidak mau mandi? Tidak mencukur kumis dan jenggot? Kenapa suka memakai kaos kaki berlubang dan sepatu butut yang sudah pecah alasnya?

Kondisi Siau Cap-it Long sekarang jauh berubah, seperti telur rebus yang sudah dikuliti, kelihatan halus dan mengkilap. Tapi perasaan yang terbenam dalam relung hatinya mengatakan bahwa Siau Cap-it Long yang dahulu tampak lebih gagah dibanding keadaannya sekarang.

Sim Bik-kun duduk tanpa bergeming, bagaimana perasaan hatinya? Hong Si-nio tidak berani memikirkannya, melirik pun tidak tega. Kalau dirinya menjadi Sim Bik-kun, mungkin sekarang sudah mampus karena sesak napas.

Awalnya Siau Cap-it Long seorang pemuda yang kenal kasih tebal budi, kenapa berubah sedemikian drastis?

Liu-soh-ciu sudah pergi, Pek-tiong-siang-hiap yang sudah duduk dan mulai minum arak mendadak menghentikan minumnya, setelah saling pandang, tanpa bersuara mereka berdiri.

Sekilas Pin-pin melirik ke arah mereka, lalu berseru, "Apa kalian mau pergi?"

Kembali Auyang bersaudara beradu pandang, yang muda mengangguk dan menjawab, "Nona berbicara dengan kami?"

"Ya," sahut Pin-pin.

"Kami tidak kenal nona, entah ada petunjuk apa?" tanya Auyang Bun-tiong.

"Kalian tidak kenal aku, aku kenal kalian malah."

"O, ...."

"Kau bernama Auyang Bun-tiong, kakakmu bernama Auyang Bun-pek, dua saudara bukan barang baik."

Berubah air muka Auyang Bun-tiong. Sikap Auyang Bun-pek jadi beringas, "Kami bersaudara dalam hal apa berbuat salah kepada nona?"

"Memangnya kalian tidak tahu?"

"Aku tidak tahu," sahut Bun-tiong.

Mendadak Pin-pin berpaling ke arah Siau Cap-it Long, "Kau kenal mereka?"

"Tidak kenal," sahut Siau Cap-it Long.

”Tapi mereka terus melotot kepadaku."

"Oya?"

"Aku tidak suka orang menatapku begitu."

"Kau tidak suka?"

"Malah menjijikkan."

Siau Cap-it Long menarik napas panjang, sedikit menoleh matanya melirik, "Kalian dengar apa yang dia katakan?"

Membesi selebar muka kedua saudara Auyang, sekuat mungkin mengendalikan diri.

"Apa katanya?"

"Dia bilang benci mata kalian berdua."

"Mata ini tumbuh di kepalaku, peduli orang lain suka atau tidak."

"Orang lain membenci mata kalian, apa gunanya sepasang mata kalian?"

"Apa maksudmu?"

"Maksudku sudah jelas, kau belum paham?"

"Maksudmu kami harus mengorek keluar mata ini."

"Memang begitu maksudku."

"Kalau begitu silakan ambil sendiri!"

"Tadi kau bilang mata milikmu sendiri, kenapa harus aku yang mengambil?"

Auyang Bun-tiong tertawa keras, "Orang ini menyuruh kita mengorek biji mata sendiri."

"Mengorek mata sendiri lebih enteng daripada dipenggal kepalanya bukan?"

Suasana Bok-tan-lau mendadak sunyi senyap, jantung hadirin berdegup kencang, semua berkeringat dingin.

Bahwa orang hanya sekilas memandangnya, lalu menyuruh mengorek biji mata sendiri. Masih ada perbuatan sekejam ini di dunia? Orang ini malah Siau Cap-it Long.

Hong Si-nio hampir tidak percaya kalau kejadian ini nyata, tapi kejadian ini memang nyata. Dahulu bertaruh jiwa pun ia berani menentang omongan orang, kini kenyataan seperti betul; sesuai yang dibicarakan orang. Hong Si-nio memejamkan mata, ia tidak mau melihat dan tak tega melihat, air mata meleleh membasahi pipi.

Sebetulnya Auyang-hengte sudah menyandang buntalannya, kini mereka letakkan di atas meja. Entah apa isi buntalan itu, kelihatan cukup berat.

Mengawasi mereka lalu mengawasi buntalan di atas meja, Siau Cap-it Long tertawa, "Thi-ping-yan-yen-kuai dan Cu-bo-le-hun-thoh?"

"Betul," sahut Auyang Bun-tiong.

"Sejak kematian Kim-lojit si bangsat dari Cap-ji-lian-hoan-ou, sudah puluhan tahun tiada insan persilatan di Kangouw yang menggunakan senjata Cu-bo-le-hun-thoh lagi."

"Tidak salah," Auyang Bun-tiong menjawab.

"Konon senjata jenis ini banyak menyembunyikan tipu-tipu aneh luar biasa, jauh berbeda dengan senjata lemas jenis lain."

"Betul."

"Sebab jenis senjata ini tidak panjang, tidak pendek, tidak lemas juga tidak keras, untuk latihan saja perlu waktu lima belas tahun, setelah itu baru boleh dikata mahir memainkan senjata ini."

"Betul."

"Maka kaum persilatan yang mau memakai senjata jenis ini bisa dihitung dengan jari. Bila dia mahir menggunakan senjata ini boleh terhitung jago kosen."

Auyang Bun-tiong menyeringai, "Pengetahuanmu ternyata tidak cetek."

”Thi-ping-yan-yen-kuai panjang pendek, termasuk senjata yang sukar dipelajari, di tengah permainan senjata ini masih bisa diselingi hamburan senjata rahasia. Konon Thay-ou-sam-kiat yang terkenal itu dulu juga mampus oleh sepasang senjata ini."

"Memangnya hanya Thay-ou-sam-kiat saja lawan yang mati di bawah Thi-ping-yan-yen-kuai," jengek Auyang Bun-tiong.

"Kalian lahir dari keluarga ternama, senjata yang digunakan juga jarang serta ahli, aku yakin kepandaian kalian berdua tentu terhitung kelas wahid."

"Rasanya cukup berbobot."

"Baik sekali," kata Siau Cap-it Long, perlahan ia bangkit serta menghampiri mereka, senyum tetap menghias wajahnya, "Sekarang silakan kalian turun tangan bersama, bila kalian bisa melawan tiga jurus seranganku, aku akan ...."

"Kau mau apa?" desak Auyang Bun-tiong.

"Aku akan mengorek bola mataku sendiri untuk kalian."

"Bagus," Auyang Bun-tiong bergelak tertawa, "gagah betul Siau Cap-it Long."

Siau Cap-it Long menegaskan, "Baik buruk nama Siau Cap-it Long, apa yang diucapkan, belum pernah menjilat ludah sendiri."

"Kalau hanya tiga jurus kami bersaudara tidak mampu melayanimu, selanjutnya kami malu bertemu orang. Apa susahnya membikin buta mata sendiri, beres bukan?"

"Kalau demikian, apa pula yang kalian tunggu?" tantang Siau Cap-it Long.

"Betul kami hanya melayani tiga jurus seranganmu?"

"Betul, tiga jurus...."

Selama ini belum pernah ada orang yang mampu mengalahkan Pek-tiong-siang-hiap hanya dalam tiga jurus. Yang pasti Auyang-hengte jago yang tidak mudah dilayani.
Kini Hong Si-nio yakin bahwa Siau Cap-it Long betul-betul sudah berubah, lebih pantas kalau dikata mirip si gila yang takabur.

Hadirin di loteng semburat ke pinggir. Bukan didorong ke pinggir, tapi didesak semacam hawa membunuh yang tak terlihat, tiada orang rela menjadi korban sambaran senjata nyasar, namun keinginan menonton pertempuran hebat membatalkan niat mereka untuk berlari turun ke bawah. Apa betul Siau Cap-it Long mampu mengalahkan Pek-tiong-siang-hiap yang menggetarkan dunia persilatan? Siapa saja asal tidak buta, pasti ingin menyaksikan pertempuran hebat ini. Auyang-hengte pelan-pelan membalikkan badan, membuka buntalan mereka. Tiap gerak tangan mereka pelan dan penuh perhitungan, jelas menggunakan waktu yang pendek ini untuk berusaha menenangkan pikiran, meneguhkan hati, mempertimbangkan jurus dan tipu apa untuk melayani serangan musuh, kini mereka sadar lahir batin, sudah memperoleh ketenangan.

Duel tokoh kosen yang diutamakan hanya ketenangan, sekali gugup dan teledor, kematian akibatnya. Memang tidak malu dua bersaudara ini memperoleh julukan jago kosen yang sudah ratusan kali bertempur tak pernah kalah.

Angin berhembus lewat jendela, semilir angin berubah dingin.

"Tring, ting, ting", di tengah gemerincing bunyi besi beradu, Auyang Bun-tiong menggentak tangan, bunyi nyaring beradunya dua senjata cukup menciutkan nyali orang.

"Membunuh orang dengan senjata jenis ini kelihatannya jauh lebih mudah."

"Memang tidak sukar."

"Kalau hari ini kalian mampu melawan tiga jurus seranganku, bukan hanya menggetarkan dunia, dua keuntungan sekaligus diraih, rasanya tidak akan ada kesukaran."

Auyang Bun-tiong hanya menyeringai dingin.

Siau Cap-it Long berkata pula, "Cuma tiada persoalan semudah dan segampang itu di dunia ini. Bahwa aku berani menantang engkau, jelas aku yakin mampu mengatasimu."

"Kalau dengan obrolanmu kau bermaksud mengganggu ketenangan kami, apa tidak salah?"

"Aku hanya ingin memperingatkan satu hal padamu," enteng suara Siau Cap-it Long.

"Satu hal apa?"

"Kuharap kalian tidak lupa golok apa yang kupakai."

"Keh-lo-to?" terangkat alis dua bersaudara ini.

"Betul, Keh-lo-to."

Mengawasi golok di pinggang orang, sikap angkuh dua bersaudara ini tampak menurun tiga bagian.

"Kuyakin kalian tahu golokku ini amat tajam, besi bisa diiris seperti tahu. Biarpun Thi-ping-yan-yen-kuai enam puluh tiga kati beratnya, sekali tabas pasti putus."

Otot hijau tampak menonjol pada kedua lengan Auyang Bun-pek yang menggenggam senjata panjang pendek itu, ujung matanya juga kelihatan kedutan. Hati yang mulai tenang kembali bergolak, perasaan berubah gundah.

Seperti tidak memperhatikan perubahan sikap mereka, Siau Cap-it Long berkata lebih lanjut, "Maka kuanjurkan supaya tidak menangkis golokku dengan senjata kalian." Jari-jarinya sudah menggenggam gagang golok, apakah goloknya sudah akan dicabut?

Mendadak Auyang-hengte menggeser kedudukan, tubuh mereka bergerak melintang, hanya dalam sekilas gerak mereka sambil mengucap dua patah kalimat, "Hanya bertahan tanpa menyerang. Bergerak mundur untuk maju." Lahir batin dua bersaudara ini terjalin rapat, gerak mereka juga serasi dan berpadu. Melawan musuh bersama jelas bukan hanya sekali saja.

Asal dapat menghindar tiga jurus, berarti sudah menang. Biar golokmu tajam luar biasa, bila tidak menangkis golokmu, memangnya tiga jurus saja tidak mampu menghindar atau menyingkir? Begitu mengembangkan gerak tubuh, mereka bersiaga dalam jarak tujuh langkah di sekeliling Siau Cap-it Long. Kalau tangan diulur panjang golok paling enam kaki, kalau ingin merobohkan mereka, Siau Cap-it Long harus bergerak menyerang. Begitu golok bergerak berarti sudah satu jurus serangan dilancarkan.

Mengawasi aksi dua bersaudara ini, Siau Cap-it Long tertawa. Auyang-hengte tidak melihat senyum di wajahnya, mata mereka hanya memperhatikan tangan yang memegang golok.

Perlahan-lahan Siau Cap-it Long menghunus goloknya, gerakannya amat lamban, goloknya memancarkan kemilau hijau, tiada gemerlap cahaya yang menyilaukan. Tapi begitu golok itu terlolos, seolah-olah memancarkan hawa membunuh yang tidak terlihat, tapi terasa mendesak pernapasan.

Auyang-hengte saling tukar pandang, mereka terus berputar mengelilingi gelanggang.

Pelan-pelan Siau Cap-it Long mulai mengayun golok, lambat-lambat....
Pandangan Auyang-hengte ikut beralih mengikuti gerak golok, dengan sendirinya gerak langkah mereka ikut menjadi lambat.

Golok sudah gerak, satu gerakan berarti satu jurus, jadi masih ada sisa dua jurus.

Seperti sedang menikmati keindahan golok sendiri, Siau Cap-it Long berkata lirih, "Inilah jurus pertama."

Gerak jurus demikian jelas dan pasti takkan bisa melukai lawan. Padahal hanya tiga jurus, berarti satu jurus disia-siakan. Apa betul orang ini sudah gila?

Sekonyong-konyong cahaya golok yang kemilau hijau itu melambung ke atas, bagai kilat menyambar ke arah Auyang Bun-pek. Serangan golok ini hebat bagai geledek, perbawanya seperti tak tertahankan, jelas berbeda dengan jurus pertama tadi.

Air muka Auyang Bun-pek seperti mengkeret disinari cahaya golok. Tongkat besi di tangan memang berat, namun ia tidak berani menangkis, terpaksa ia berkelit. Auyang Bun-tiong kuatir sang kakak terancam jiwanya, melihat pertahanan bagian belakang Siau Cap-it Long terbuka, sepasang senjata panjang pendek langsung menggebuk ke punggung lawan.

Di luar tahunya gerak golok Siau Cap-it Long hanya gertak sambal belaka, ia sudah memperhitungkan bakal mengundang serangan dari belakang, mendadak pinggang menggeliat, dengan sigap tangan kiri bergerak menangkap Cu-bo-le-hun-thoh, lalu ditarik serta didorong ke depan. Betapa kuat tenaga betotan dan dorongan itu, sungguh amat mengejutkan.

Terasa oleh Auyang Bun-tiong telapak tangannya pecah. Pergelangan tangan juga terkilir, Cu-bo-le-hun-thoh terlepas, tubuhnya ikut menyeruduk ke depan menumbuk sikut Siau Cap-it Long. Seperti dipalu godam rasanya, mendadak pandangan menjadi gelap, darah segar menyembur dari mulutnya.

Tidak berhenti sampai di situ, senjata rampasan di tangan Siau Cap-it Long, dengan menggunakan tenaga serudukan lawan, ia lempar ke belakang. Kebetulan gerak langkah Auyang Bun-pek persis ke arah sini, yang diperhatikan hanya menghindari golok di tangan kanan lawan, mimpi pun tak menduga tangan lawan sudah memegang senjata rampasan. "Tring", dimana kilat menyambar disusul hamburan darah segar menyemprot ke mukanya. Menyusul Cu-bo-ie-hun-thoh juga menghantam dada.

Bersambung
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar