Jilid 16
Ong Bing melenggong.
Pakaian orang ini memang mirip
Su Jiu-san, tapi raut wajahnya jelas tidak bisa dikenali lagi. Maklum siapa pun
dia kalau mukanya berlubang besar, tampangnya tentu berubah mengerikan dan
susah dikenali wajah aslinya.
Kata Siau Cap-it Long lebih
jauh, "Tiba-tiba Su Jiu-san menghilang, tahu-tahu engkau mengangkat mayat
ini dari dalam air, maka engkau beranggapan orang ini adalah Su Jiu-san,
padahal...."
"Padahal kenapa?"
tanya Ong Bing.
Tawar suara Siau Cap-it Long,
"Padahal kau sendiri sekarang tidak yakin kalau mayat ini adalah Su
Jiu-san."
Ong Bing tidak bisa
menyangkal. Mendadak ia sadar bahwasanya dirinya tidak yakin, tidak punya
bukti, tiada pegangan berani memastikan kalau mayat ini adalah Su Jiu-san.
Hou Bu-pe berkata dingin,
"Sepertinya kau beranggapan Su-loji sendiri yang turun ke air untuk
membunuh orang ini, lalu didandani mirip dirinya, supaya orang beranggapan
dirinya sudah mampus."
"Apa hal itu tidak
mungkin?"
"Kenapa dia berbuat
demikian? Kenapa mengelabui kami?"
"Silakan kau bertanya
sendiri kepadanya," ujar Siau Cap-it Long kalem, "kecuali dirinya,
kurasa tiada orang bisa memberi penjelasan kepadamu."
"Ada sebuah perkataan
ingin aku tanyakan kepadamu," desis Hou Bu-pe.
Siau Cap-it Long sedang
mendengarkan.
Beringas sikap Hou Bu-pe,
suaranya meninggi, "Kalau mayat ini bukan Su Jiu-san, lalu dimana Su
Jiu-san sekarang?"
Siau Cap-it Long belum
menjawab, seorang telah menjawab pertanyaan itu.
"Orangnya ada di
sini."
Seorang perempuan yang
berpendidikan, perempuan bangsawan, kalau orang sedang bicara, biasanya tidak
berani menyeletuk bicara, tak berani campur bicara. Selama ini Sim Bik-kun
dikenal sebagai perempuan dari keluarga bangsawan, tapi kali ini ia berani
melanggar kebiasaan.
"Dia ada di sini," wajahnya
pucat, tapi sorot matanya memancar terang, menatap seorang dengan tajam,
"Orang inilah Su Jiu-san.
XXVI. TERBONGKAR KEDOKNYA
Kalau insan persilatan di
Kangouw bilang banyak kaum Bulim mengenal Sim Bik-kun, komentar ini rasanya
berlebihan, terlalu dibesar-besarkan. Insan persilatan yang mengenal dirinya,
yakin tidak kalah banyak dibanding mereka yang mengenal Hong Si-nio. Bukan saja
tahu bahwa Sim Bik-kun adalah wanita tercantik di Bulim, siapa pun tahu dia
adalah perempuan suci anak bangsawan yang patuh aturan keluarga.
Orang tahu dan yakin perempuan
yang punya watak sesuci dia pasti tidak akan sembarang bicara, dan takkan
berbohong. Kalau tidak yakin, jelas ia tidak akan sembarang bicara.
Apa benar orang ini adalah Su
Jiu-san?
Pandangan seluruh hadirin
beralih ke arah yang dituding Sim Bik-kun, mereka melihat seraut wajah yang
aneh. Seraut wajah tanpa alis, tanpa hidung dan tanpa mulut. Seraut wajah kaku
mirip topeng kayu. Yang dituding Sim Bik-kun ternyata bukan lain adalah si baju
hijau yang bertutup muka.
Yang hadir hanya sekilas
memandangnya terus berpaling, siapa pun tak sudi lama-lama memandangnya.
Wajah itu tanpa mimik, hanya
ada dua lubang, dua lubang hitam dan dalam. Sepasang bola mata dalam lubang
kelihatan bercahaya, tajam bagai ujung senjata yang siap membuat lubang di
tubuh orang.
Hou Bu-pe tidak memandangnya
lebih lama, ia berpaling mengawasi Sim Bik-kun, lalu bertanya, "Kau bilang
dia adalah Su Jiu-san?"
Dengan kencang Sim Bik-kun
menggenggam jari-jari tangannya, kepalanya mengangguk.
Hou Bu-pe tertawa dingin,
"Tapi waktu kami naik ke atas kapal, dia sudah berada di atas kapal."
"Orang yang tadi itu
bukan dia."
"Bukan dia?" seru
Hou Bu-pe.
Hong Si-nio menimbrung,
"Waktu Siau Cap-it Long menari dengan goloknya tadi, orang ini sudah
berganti yang lain."
Hou Bu-pe mengerut kening,
tidak percaya. "Bukankah orang ini tadi pernah mcnghilang sejenak?"
"Ya."
"Waktu dia kembali,
orangnya sudah berganti orang lain."
"Berganti Su Jiu-san
maksudmu?"
"Aku tidak bisa
membedakan," sahut Hong Si-nio, "tapi Sim ... kalau temanku ini
bilang orang ini adalah Su Jiu-san, maka dia pasti benar."
"Dia ...." Hou Bu-pe
sangsi.
Segera Hong Si-nio
menambahkan, "Kalau tidak percaya, kenapa tidak kau buka tutup
mukanya."
Tak urung Hou Bu-pe berpaling
mengawasinya dua kali. Muka yang ditutup itu jelas tidak kelihatan mimiknya,
tapi dua bola mata yang setajam gurdi dalam lubang itu berubah menjadi lebih
gelap, lebih dalam dan menakutkan.
"Kalau benar kau bukan Su
Jiu-san, kenapa tidak kau perlihatkan wajah aslimu supaya dilihat orang
banyak," demikian kata Hong Si-nio.
Tak kuat menahan emosi,
mendadak Ong Bing berkata, "Kalau betul kau adalah Su-loji, cobalah kau
bicara, jelek-jelek kita adalah saudara senasib sepenanggungan, memangnya aku
membantu orang luar untuk memojokkanmu malah?"
Mendadak si baju hijau
menghardik keras, "Babi."
Ong Bing melenggong, "Apa
kau bilang?"
Dingin suara si baju hijau.
"Aku bilang kalian adalah babi."
Mata Ong Bing membelalak
lebar, berdiri terkesima seperti tidak mendengar atau mengerti perkataannya.
Maklum reaksi lelaki ini
memang tidak secepat orang lain. Si baju hijau berkata, "Sebaliknya kalian
tahu siapa perempuan ini?"
Yang dituding adalah Sim
Bik-kun.
Tadi Hong Si-nio sempat
mengucap satu huruf "Sim", tapi semua yang hadir tiada yang
memperhatikan.
Si baju hijau berkata,
"Dia inilah Sim Bik-kun. Perempuan yang meninggalkan keluarga lantaran
kepincut Siau Cap-it Long, demi Siau Cap-it Long, suami sendiri boleh dijual,
lalu apa yang dia ucapkan kalian mau mempercayainya?"
Rona muka Sim Bik-kun
kelihatan pucat pias, namun sikapnya tampak tenang dan tegar. Beberapa kali
Hong Si-nio bermaksud menukas perkataan si baju hijau, tapi ditarik olehnya.
Cahaya lampu menyinari
wajahnya, kali ini ia tidak menundukkan kepala lagi, malah mengangkat kepala
membusung dada. Sepertinya ia merasakan persoalan ini sudah bukan hal yang
memalukan bagi dirinya.
"Berdasar apa kau bilang
aku adalah Su Jiu-san, kau punya bukti apa?"
"Mukamu itu
buktinya."
"Kau pernah melihat mukaku?"
"Berani kau membuka
kedokmu supaya hadirin bisa melihat wajahmu?"
"Aku sudah bilang,
kedatanganku kemari bukan untuk ditonton orang."
"Kau datang untuk
membunuh orang?"
"Betul."
"Sekarang saatnya kau
membunuh orang?"
"0? Ya."
"Begitu tutup mukamu
dibuka, paling sedikit ada seorang akan roboh terkapar."
"Siapa?"
"Kalau bukan aku, pasti
engkau."
"Kalau aku bukan Su
Jiu-san, kau rela mati?"
"Akur."
Si baju hijau tertawa dingin,
jengeknya, "Putusan ngawur kurang bijaksana, kau pasti mampus."
"Memangnya sedang
kutunggu."
"Kenapa tidak kau kemari
membuka sendiri kedokku? Tidak berani bukan?"
Sim Bik-kun tidak bicara lagi,
tapi kakinya melangkah menghampiri.
Siau Cap-it Long menarik napas
pendek, sampai sekarang baru ia menyadari Sim Bik-kun ternyata sudah berubah.
Awalnya ia pantang bicara
menyinggung perasaan orang, tapi apa yang tadi diucapkan sungguh amat tajam,
setajam ujung golok.
Bahwasanya Sim Bik-kun adalah
perempuan yang lemah lembut, tapi sekarang berubah menjadi wanita yang penuh
tekad dan pemberani.
Siau Cap-it Long mengawasinya
melangkah ke sana, tidak mencegah atau merintanginya, sebab hatinya teramat
bangga.
Bangga akan keberaniannya,
bangga oleh tekadnya yang teguh.
Betapapun sekarang dia sudah
berdiri, bukan orang yang berdiri dipapah orang lain, tapi beidiri dengan
tenaga dan kekuatan sendiri, berdiri dengan dua kaki sendiri.
Tak tahan Hong Si-nio
berteriak memperingati, "Awas, hati-hati dia membokongmu."
Tanpa berpaling Sim Bik-kun
menjawab, "Dia tidak berani."
"Kenapa?" tanya Hong
Si-nio.
"Sebab aku sudah melihat
jelas wajah aslinya, juga tahu siapa majikannya."
"Siapa?" tanya Hong
Si-nio.
"Yaitu...."
Baru sepatah kata, dari luar
kabin mendadak seorang menerjang masuk seraya berteriak, "Nona Sim, buat
apa kau tempuh bahaya. Biar aku saja yang menyingkap kedoknya." Habis
perkataannya, orang itu sudah berada di depan si baju hijau, tubuhnya kurus
pendek, gerak-geriknya selincah kera, siapa lagi kalau bukan Ciangbunjin
Sing-gi-bun aliran selatan, Jong-wan Hu It-gwan.
Melihat Hu It-gwan menerjang
ke depannya, sepasang bola mata si baju hijau yang tersembunyi tampak mengkeret
ngeri, kelihatan lebih kaget dibanding orang lain.
"Kau ...."
sepertinya dia ingin bicara. Tapi Hu It-gwan bergerak lebih cepat, secepat kilat
meraih tutup mukanya. Maka terdengar suara "Plok" yang keras, lelatu
api berpijar, tutup muka yang terbuat dari kayu tebal itu mendadak pecah
berantakan.
Jerit kesakitan berkumandang
dalam kabin, cepat sekali Hu It-gwan berjumpalitan mundur di tengah udara,
dimana tangannya membalik, ia taburkan segenggam Siang-bun-ting, lalu dengan
gerakan Hwi-niao-to-lin (burung terbang pulang ke hutan), tubuhnya siap
menerobos jendela.
Betapa telengas scrangannya,
sungguh tepat dan cepat, semua yang hadir tak menduga sebelumnya. Terutama
Siang-bun-ting atau paku pelenyap sukma yang ditaburkan itu teramat ganas dan
jahat, tiga belas bintik sinar seluruhnya diarahkan ke tubuh Sim Bik-kun.
Sudah dalam perhitungannya,
Siau Cap-it Long dan lain-lain pasti berusah menyelamatkan jiwa Sim Bik-kun
lebih dulu, dan tidak sempat memperhatikan dirinya lagi. Tapi ia melupakan si
baju hijau yang sudah ia robohkan, ia menilai rendah seorang yang kecundang
oleh perbuatan kejinya.
Muka si baju hijau babak-belur
tak keruan, berlepotan darah, karena menahan kesakitan, tubuhnya bergetar dan
menggigil, dua tulang pundaknya hancur. Tapi biar mampus ia tidak membiarkan Hu
It-gwan melarikan diri.
Karena tulang pundak hancur,
dua tangannya lumpuh, tapi ia masih punya mulut, giginya masih mampu bekerja.
Baru saja Hu It-gwan menerobos
lewat jendela, mendadak ia rasakan tungkai kakinya kesakitan.
Ternyata si baju hijau
menggigit kakinya, mirip hewan kelaparan yang menggigit mangsanya, begitu
tergigit, mati pun takkan dilepaskan. Kembali berkumandang lolong kesakitan
yang keras, yang menjerit kesakitan kali ini adalah Hu It-gwan. Tubuhnya
terbanting ke dalam jendela, dengan gerakan Le-hi-ta-ting (ikan lele meletik),
ia masih berusaha melompat keluar melarikan diri.
Tapi kepala si baju hijau mendadak
menyeruduk bagian tengah antara dua pahanya. Hu It-gwan menjengking sambil
memeluk perut, tubuhnya jungkir balik di lantai, air mata, liur dan hidungnya
meleleh, wajahnya berkerut menahan sakit yang luar biasa. Kejap lain, yang
hadir di kabin mencium bau tidak sedap, ternyata celananya basah.
Tiap manusia pernah hidup.
Tiap manusia akhirnya pasti mati. Tapi ada sementara orang hidup miskin merana,
waktu mati tetap miskin merana, kalau benar demikian. itulah yang dinamakan
derita yang patut dibuat sedih.
Si baju hijau rebah telentang
di lantai, napasnya memburu, selebar mukanya berlepotan darah, mulut pun
menghamburkan darah, darah di tubuhnya bercampur darah musuhnya.
Mendadak si baju hijau
mcngeluarkan suara lirih lemah. "Losam ... Losam ...." dia mcmanggil
saudaranya.
Mungkin masih ada orang yang
sangsi, siapa dia sebenarnya, setelah mendengar panggilannya. orang sudah
maklum adanya. Ternyata pandangan dan tudingan Sim Bik-kun tidak salah.
Muka Hou Bu-pe tampak kuyu,
katanya setelah menghela napas panjang, "Apakah yang telah terjadi?"
Suara Su Jiu-san amat lirih
seperti orang mengigau, terpaksa mereka berjongkok mendekatkan telinga.
"Lotoa, aku salah," desahnya, "jangan kalian berbuat salah lagi,
musuh besarmu bukan Siau Cap-it Long, bukan dia yang harus dibunuh, yang patut
mampus adalah .... "
Dengan kencang Hou Bu-pe
menggenggam tangannya, Su Jiu-san menggeliat kesakitan, dari mulutnya keluar
tiga huruf kata, sayang suaranya teramat lemah, tiada orang bisa mendengar.
Siapakah orang yang pantas mampus? Siapakah orang pertama si baju hijau?
"Dalam peristiwa ini
ternyata mereka sudah bersekongkol."
"Betul."
"Hu It-gwan sudah tahu
bahwa si baju hijau yang pertama sudah menyingkir dan diganti oleh Su Jiu-san,
maka dia menghentak dengan Gun-gwan-it-khi-kang untuk melindunginya."
"Benar."
"Tapi tanpa sebab tak
mungkin mendadak Su Jiu-san lenyap bukan?"
"Maka mereka sudah
mempersiapkan jenazah orang lain, supaya orang berpendapat Su Jiu-san betul
sudah mati, mampus di tangan Hong Si-nio."
Ong Bing mengepal sepasang
tinjunya, geram sekali hatinya, "Si tua kera itu malah menyuruhku pergi
mencari jenazah orang itu."
"Karena dia menghendaki
kau melabrak dan mengadu jiwa dengan aku."
Wajah geram Ong Bing tampak
merah jengah.
Hong Si-nio tidak mencari
perkara padanya, dengan suara lembut ia berkata, "Kalau aku jadi engkau,
aku pun akan berpikir demikian. Rencana ini sungguh rumit dan jahat. Kurasa
mimpi pun mereka tidak menyangka ada orang dapat memecahkan rahasia
mereka."
Siapakah si baju hijau yang
pertama?
Kenapa dia menyingkir?
Setelah menyingkir kenapa
diganti orang lain?
Kenapa Su Jiu-san mau
menggantikan dia?
Sebetulnya apa maksud mereka?
Bagaimana asal-usulnya?
"Sekarang aku hanya ingin
tahu satu hal," kata Hong Si-nio.
"Satu hal apa?"
"Aku hanya tahu mereka
pasti orang-orang Thian Cong."
"Thian Cong itu
apa?"
Ong Bing masih ingin bertanya,
Hou Bu-pe mendadak berdiri, katanya perlahan, "Urusan itu kalian tidak
perlu tahu."
"Kenapa?"
"Karena kami harus segera
pergi." Sorot matanya memandang ke tempat jauh, bukan mcngawasi Siau
Cap-it Long, namun ucapannya ditujukan kepada Siau Cap-it Long, "Mungkin
kami tidak pantas datang kemari." Lalu tangan Ong Bing ditariknya, tanpa
menoleh mereka beranjak pergi.
Tak lama kemudian terdengar
"Byuur, byuur" dua kali, ternyata mereka tidak menunggu kapal datang
menyemput mereka.
"Sebetulnya mereka tidak
perlu buru-buru pergi," kata Siau Cap-it Long.
"Kenapa?" tanya Hong
Si-nio.
"Yang harus pergi kan
hanya mereka berdua, kapal penyeberangan tidak lama lagi pasti datang."
Sorot matanya memandang ke
arah nan jauh, selama ini tidak pernah ia mengawasi Sim Bik-kun.
Lalu perkataannya ditujukan
pada siapa? Mendelu hati Hong Si-nio, entah demi dia? Atau demi Sim Bik-kun?
Atau untuk diri sendiri? Sebelum ia membuka suara, Sim Bik-kun sudah berkata,
"Malam ini, mungkin tiada perahu penyeberangan lagi."
Bola mata Hong Si-nio seketika
cemerlang, tanyanya, "Kenapa?"
"Karena yang harus pergi
sudah pergi, buat apa perahu penyeberangan datang lagi?"
"Tapi engkau ...."
Mendadak Sim Bik-kun tertawa
lebar, katanya, "Biar kulihat apakah arak di lantai atas sudah habis,
kalau kau tidak berani minum, mumpung ada kesempatan lekaslah kau minggat
saja."
Mengawasi orang naik ke
loteng, Hong Si-nio tertawa riang, katanya menggeleng kepala, "Aku ini
juga perempuan tapi isi hati perempuan, sungguh aku tidak paham."
Siau Cap-it Long juga tertawa,
tertawa getir.
Hong Si-nio juga memandang
jauh ke depan, tidak melirik padanya, "Tapi, syukurlah, aku mulai paham
satu hal."
Siau Cap-it Long diam, sedang
mendengarkan.
Hong Si-nio mengerling sekilas
padanya, suaranya sendu, "Sekarang aku sadar, aku mengerti, bagaimana
perasaan seorang yang difitnah orang lain."
Siau Cap-it Long berdiam diri,
akhirnya manggut-manggut, "Ya, memang tidak enak rasanya ...."
Jarang orang membiarkan sisa
arak dalam cawan, orang juga jarang membiarkan air mata membasahi pipi,
begitulah manusia macam mereka. Begitu terisi penuh, cawan itu segera akan
kosong.
Bukan mereka benar-benar ingin
menikmati minum arak, bagi mereka arak tak lebih hanya sebuah alat, alat yang
dapat membuat manusia lupa diri.
Padahal mereka juga sadar,
maklum dalam hati ada sementara persoalan yang tidak mungkin bisa dilupakan
selamanya ....
Kalau sorot mata Hong Si-nio
tampak bercahaya, pandangan Sim Bik-kun sebaliknya seperti diliputi kabut
tebal. Secangkir demi secangkir mereka minum dan minum, mereka tidak mengajak
orang lain minum juga tidak banyak bicara.
Sepanjang pergaulan mereka
belakangan ini, tidak pernah terbayang oleh Hong Si-nio bahwa Sim Bik-kun juga
bisa dan mampu minum arak sebanyak itu, tidak habis mengerti kenapa dia mau
minum arak secara demikian. Hong Si-nio maklum, pasti bukan untuk melupakan
sesuatu, karena semua peristiwa itu sepanjang hidup takkan bisa dilupakan. Lalu
untuk apa ia berbuat demikian? Apakah dari relung hati yang paling dalam ingin
melimpahkan perasaannya, tapi tak berani melimpahkan di hadapan orang? Bukankah
arak dapat menambah keberanian orang.
Mendadak Hong Si-nio
menurunkan cawan araknya, "Aku tak mau minum lagi."
"Kenapa?" tanya Sim
Bik-kun mengerut alis.
"Karena bila aku mabuk,
aku tidak bisa mendengar."
"Tidak mendengar
apa?"
"Tidak mendengar apa yang
kau ucapkan."
"Aku tidak bilang
apa-apa, tidak omong apa-apa."
"Tapi aku tahu banyak
omongan yang ingin kau bicarakan, yang pasti cepat atau lambat, sekarang atau
besok kau pasti bicara."
Pantasnya ia tidak omong
begitu, tapi air kata-kata banyak masuk perut, tak kuasa ia menahan diri, mulut
pun mudah mengoceh sembarangan.
Sim Bik-kun jelas masih bisa
mendengar omongannya, perlahan ia turunkan cawan di meja, wajahnya seperti
dilapisi halimun tipis, mendadak ia berkata, "Kalian tahu tidak, siapa si
baju hijau yang pergi itu?"
Kabut tebal menyelimuti
permukaan danau, waktu segulung angin berhembus, segulung kabut menerobos
jendela masuk ke kabin, bila menengadah melihat luar jendela, rembulan sudah
tergantung jauh di ufuk langit.
Kabut seperti membungkus
sekujur tubuh mereka, perlahan Sim Bik-kun beranjak keluar, berdiri bersandar
di pagar kayu, memandang jauh ke kabut di tengah danau, seolah ia lupa menjawab
pertanyaan yang diajukan tadi.
Hong Si-nio justru mengulang
pertanyaan tadi, "Kau sudah tahu siapa si baju hijau itu?"
Suara Sim Bik-kun perlahan,
"Kalau kau mau sering memperhatikan gerak-geriknya, akan kau temukan
beberapa segi perbedaannya dengan orang lain." Ucapan ini jelas bukan
jawaban, tapi dengan sabar Hong Si-nio pasang kuping mendengarkan dengan
seksama.
"Tiap orang pasti punya
ciri khas yang berbeda dengan orang lain, kadang hanya gerakan kecil yang tidak
diperhatikan orang lain, tapi bila engkau lama bergaul dengan dia, hidup cukup
lama bersama dia, sekecil apapun perbedaan itu, kau pasti akan dapat melihat
cirinya itu," sampai di sini ia berhenti.
Hong Si-nio tetap diam.
mendengar dengan sabar.
"Maka, umpama ia
mengenakan kedok muka, kau akan tetap dapat mengenalinya," dengan suara
perlahan, lebih tegas Sim Bik-kun meneruskan, "Begitu berada di sini,
perasaanku lantas berkata bahwa aku kenal orang ini, kenal siapa si baju hijau
itu. Maka aku mulai memperhatikan dirinya."
Akhirnya tak tahan Hong Si-nio
bertanya, "Maka begitu mereka berganti orang, kau lantas dapat
membedakan?"
Sim Bik-kun manggut-manggut,
tapi kepalanya tidak berpaling.
"Darimana kau dapat
membedakan kalau orang kedua adalah Su Jiu-san adanya"
"Sebab dalam kebiasaan
hidupnya ia selalu memegang kipas, tangannya tak pernah berhenti menggerakkan
kipas lipatnya itu, maka biar tangan tidak memegang kipas, tangannya tetap
bergerak seperti kalau ia memegang kipas."
Lama Hong Si-nio terbenam
dalam renungannya, akhirnya bertanya, "Bagaimana dengan Lian Shia-pik? Ada
perbedaan apa dia dengan orang lain?"
Sekarang ia maklum bahwa si
baju hijau yang pertama itu adalah Lian Shia-pik, kecuali Lian Shia-pik,
perempuan mana yang pernah hidup bersama Sim Bik-kun selama itu?
"Aku yakin kau tahu kalau
dia akan datang memenuhi janji itu."
"Tapi tidak pernah
terpikir olehnya bahwa Siau Cap-it Long juga berada di Cui-gwat-lo, maka dia
merasa perlu datang dahulu ke sini melihat keadaan."
"Mungkin mereka sudah
tahu kalau Siau Cap-it Long sudah berada di Cui-gwat-lo, maka tempat perjanjian
pertemuan itu mereka tentukan di sini."
Untuk kali ini di hadapan
orang lain ia menyebut nama Siau Cap-it Long tanpa ragu atau canggung, kini
sikapnya betul-betul tenang, tapi waktu menyebut nama orang, suaranya terdengar
agak aneh. Hong Si-nio menghela napas, "Apapun persoalannya, yang pasti
dia sudah datang."
"Ya, dia sudah
datang," ujar Sim Bik-kun.
"Kalau dia sudah datang,
kenapa harus pergi?"
"Mungkin mumpung ada
kesempatan, ia harus mengatur rencana lain."
"Kalau ia harus pergi,
kenapa Su Jiu-san harus menggantikan kedudukannya?"
"Karena dia perlu seorang
tetap hadir di sini untuk melihat perkembangan situasi dan kondisi di
sini."
"Bila dia datang kembali,
dia bisa mengelabui mata kuping orang lain, begitu?"
"Sembarang waktu mereka
bisa ganti berganti orang."
"Menurut pendapatmu,
mungkin tidak dia kembali?"
"Pasti datang."
sahut Sim Bik-kun, suaranya terdengar berubah aneh, "Dia pasti akan
datang, maka aku harus segera pergi."
Saat Lian Shia-pik datang,
adalah waktu penentuan kalah menang, atau mati hidup antara Lian Shia-pik
dengan Siau Cap-it Long. Dua orang itu, yang satu adalah suaminya, seorang lagi
adalah orang penting dalam kehiduapannya; peduli siapa menang atau kalah di
antara kedua orang ini, ia pantang hadir dan menyaksikan dari pinggir. Maka ia
harus menyingkir.
"Tapi kau tidak
menyingkir."
"Ya, aku tidak
menyingkir."
"Kau masih berada di sini
supaya ada kesempatan melimpahkan perasaanmu ini?"
"Masih ada omongan yang
ingin kuucapkan."
"Coba jelaskan."
"Beberapa hari belakangan
ini, tentu kau merasakan aku banyak perubahan?"
Hong Si-nio memanggut.
"Dapat kau menerka kenapa
aku berubah?"
"Aku tidak bisa
menerka."
"Seorang kalau sudah
bertekad, sudah mengambil keputusan, dia pasti berubah."
"Kau sudah mengambil
keputusan?"
Sim Bik-kun mengangguk.
"Keputusan apa?"
"Aku bertekad akan
memberitahu kepadamu satu hal," kata Sim Bik-kun.
Hong Si-nio mendengarkan,
tiba-tiba relung hatinya diliputi perasaan takut dan ngeri yang tak berani ia
bayangkan.
Mendadak ia rasakan persoalan
yang akan disampaikan Sim Bik-kun adalah kejadian yang amat menakutkan.
"Kuberitahu padamu. Hanya
engkaulah teman hidup Siau Cap-it Long yang paling baik, paling cocok, dan
hanya kau seorang yang betul-betul memahami dirinya, mempercayainya, kalau dia
membiarkanmu pergi, maka dia orang dogol, dia sudah pikun," selesai bicara
mendadak tubuhnya melompat terbang dan "byuurrr" terjun ke dalam
danau. Hong Si-nio melompat menerkam, namun sudah terlambat.
Hong Si-nio membanting kaki.
serunya sambil berpaling, "Lekas ambil lentera, lekas bawa lentera
kemari."
Ucapannya ia tujukan kepada
Pin-pin. Pin-pin duduk melamun di buritan, tanpa bergeming seperti tak
mendengar teriakannya. Wajahnya yang pucat menampilkan mimik yang sukar
ditebak. Sejak tadi ia sudah duduk mematung di tempat itu, namun tiada orang
memperhatikan dirinya. Hong Si-nio kembali membanting kaki, tahu-tahu ia pun
terjun ke dalam air.
Air danau dingin, perasaan
Hong Si-nio lebih dingin, ia tidak melihat Siau Cap-it Long, juga tidak
menemukan Sim Bik-kun.
Ia ingin berteriak minta
tolong, tapi begitu mulut terbuka, air danau yang dingin seperti ujung pedang tertelan
dalam tenggorokan. Baru sekarang ia sadar dirinya tidak pandai berenang, dalam
air dirinya pasti takkan bisa menolong orang, justru orang lain yang akan
menolong dirinya, waktu ia sadar akan kesalahan ini, badannya terus melorot
turun tenggelam ke dasar danau.
Sepertinya kematian sudah
dekat, amat dekat, anehnya dalam sekejap ini ia tidak merasa ngeri, tidak
merasa takut menghadapi kematian. Sering kali orang bilang, pada detik-detik
menjelang ajal, seorang kadang memikirkan banyak kejadian yang aneh-aneh.
XXVII. SEMI BERAKHIR MIMPI PUN
BUYAR
Tapi hanya satu hal terpikir
dalam benaknya, apakah Siau Cap-it Long dapat menolong Sim Bik-kun?
Sekuatnya ia meronta ingin
melompat keluar mencari mereka.
Ia tak mampu melompat, sekujur
badannya seperti dibetot oleh jari-jari tangan yang tidak kelihatan, di saat ia
pasrah, di saat ia rasakan badannya makin dingin dan terjerumus ke tempat yang
makin gelap. Mendadak dari tengah kegelapan itu ia lihat sepasang bola mata
yang memancarkan cahaya, sepasang mata itu seperti berkembang menjadi puluhan
pasang, puluhan pasang mata Siau Cap-it Long.
Sudah pasti Hong Si-nio tidak
ingin mati.
Pada detik-detik yang
menentukan mati hidupnya itu, ia tidak pernah berdoa untuk diri sendiri. Dia
hanya berdoa semoga sang maha pencipta melindungi Siau Cap-it Long, menemukan
dan melindungi Sim Bik-kun. Sebab ia tahu, bila Sim Bik-kun mati, betapa duka
lara Siau Cap-it Long akan makin keras, makin merasa dan jauh. Biar diri
sendiri harus mati, berkorban demi Siau Cap-it Long, ia tidak rela sang pujaan
dibebani derita yang berkepanjangan.
Siau Cap-it Long oh Siau
Cap-it Long, sampai kapan baru kau akan menyelami, mengerti betapa perasaan
Hong Si-nio padamu?
Apa kau akan menunggu hingga
akhir hayatnya?
* * * * *
Hari sudah terang tanah.
Betapapun panjang sang malam,
akhirnya cuaca akan kembali terang.
Mentari muncul dari
peraduannya, cahayanya yang gemerlapan membayang di permukaan danau. Kini sorot
mata Siau Cap-it Long sudah tidak memancarkan cahaya, kalau sekarang kau melihat
matanya, pasti tidak percaya bahwa lelaki ini adalah Siau Cap-it Long.
Hanya seorang yang hatinya
sudah beku, sudah hampa tanpa perasaan, sudah mati, maka ia akan berubah
seperti itu.
Bola matanya seperti mata ikan
yang sudah kaku, bola mata ikan yang sudah beku, rona matanya jauh lebih
menakutkan dibanding air mukanya. Pertama yang Hong Si-nio lihat adalah
sepasang mata itu.
Ternyata Hong Si-nio tidak
mati, waktu siuman badannya terasa hangat dan kering, tapi perasaannya, hatinya
lebih dingin dibanding air danau yang paling dingin.
Sebab ia sudah melihat
sepasang mata Siau Cap-it Long, ia tidak melihat Sim Bik-kun.
Sisa arak semalam masih berada
di meja, di loteng kapal itu tiada orang ketiga, mungkinkah Pin-pin juga
minggat diam-diam? Kursi berserakan, kabin kereta yang mewah dengan perabot
serba mahal kini kacau balau, cahaya matahari yang menyorot masuk terasa guram,
suasana terasa kosong dan hampa.
Bagaimana dengan Sim Bik-kun?
Apakah ia tidak menemukan dia?
Apakah dia hilang ditelan air danau
yang dingin itu?
Hong Si-nio tidak berani
bertanya.
Melihat sorot mata yang
dirundung putus asa, ia tidak berani bertanya, tak perlu bertanya.
Aku masih hidup, Sim Bik-kun
justru sudah mati.
Dia berhasil menolongku, Sim
Bik-kun justru hilang untuk selamanya.
Hong Si-nio tidak bergerak,
tidak bersuara, hatinya hancur, hancur lebur.
Ia menderita bukan lantaran
kematian Sim Bik-kun, tapi demi Siau Cap-it Long. Sebab secara mendalam ia ikut
merasakan betapa derita batinnya, betapa pilu hatinya, kecuali dirinya, yakin
tiada orang kedua yang dapat meresapi derita itu, tiada orang dapat
membayangkan betapa mengenaskan penderitaannya.
Siau Cap-it Long duduk dekat
pintu luar ruang kabin, pandangannya mendelong mengawasi permukaan danau.
Alunan lembut air danau masih kelihatan begitu lembut, elok dan mempesona.
Bagaimana dengan Sim Bik-kun?
Danau seindah dan sejernih itu, kenapa melakukan perbuatan yang begitu kejam,
tega dan tidak kenal kasihan?
Siau Cap-it Long tidak
bergerak, tidak buka suara. Pakaiannya yang tadi basah kuyup mulai kering
ditiup angin musim rontok yang menghembus, air matanya pun sudah kering.
Perlahan Hong Si-nio berdiri,
perlahan maju mendekati lalu duduk di sampingnya. Siau Cap-it Long tidak
berpaling, tidak memandangnya. Hong Si-nio mengisi secawan arak lalu
diangsurkan kepadanya. Siau Cap-it Long tidak menolak, tapi tidak mengulur
tangan menerima cawan arak itu. Melihat pandangan matanya yang kosong, melihat
rona mukanya yang membeku dingin, hampir Hong Si-nio tidak tahan ingin
memeluknya kencang, menghiburnya dengan cara apa saja yang bisa ia lakukan.
Ia tidak melakukan apa-apa.
Sebab ia tahu, dalam kondisi
sekarang, bujukan dan rayuan macam apapun, bagi Siau Cap-it Long tidak lebih
mirip ujung jarum yang menusuk hulu hatinya, semacam sindiran yang akan lebih
membuatnya sedih dan lara.
Tiada persoalan macam apapun
di dunia ini yang bisa menghiburnya, peduli persoalan apapun kemungkinan besar
justru bisa menusuk perasaan dan melukai hatinya.
Entah berapa lama mereka
saling bungkam. Jidat Siau Cap-it Long sudah basah oleh keringat. Hong Si-nio
menggigit bibir, sekuatnya ia menahan air mata, waktu ia mengangkat kepala,
baru ia sadari mentari sudah doyong ke arah barat.
Waktu yang paling berharga
dalam sehari telah berlalu tanpa terasa. Sekarang hembusan angin mulai terasa
dingin, cahaya senja juga mulai guram. Mereka terus duduk begitu, diam tanpa
suara, tanpa terasa sudah duduk berjam-jam lamanya.
Hong Si-nio sudah merasakan
badannya mulai penat, pantatnya mulai kesemutan, namun ia tidak berani
bergerak. Bibirnya terasa kering, padahal cawan arak berada di tangannya, tapi
tiada niat untuk meminumnya.
Hembusan angin musim rontok
mulai terasa dingin.
Mendadak Siau Cap-it Long
berkata, "Bisa tidak kau berbicara?"
Suaranya rendah lirih, tapi
Hong Si-nio berjingkat kaget. Tak menyangka orang mau bicara, ia juga tidak
mengerti harus bicara apa. Dalam keadaan dan kondisi sekarang, apa yang bisa ia
bicarakan?
Pandangan kosong Siau Cap-it
Long tetap terarah ke tempat nan jauh, "Terserah mau bilang apa, yang
penting kau bicara .... bicara dan bicara terus tanpa henti."
Cukup lama mereka berdiam
diri, kesunyian ini sungguh bisa membuat orang gila.
Bagaimana dengan Sim Bik-kun?
Mestinya Hong Si-nio ingin
mengajukan pertanyaan ini, tapi ia tidak berani mengemukakan.
Cawan diangkat ke mulut,
secawan arak ia tenggak habis, lalu pelan-pelan ia turunkan cawan arak itu.
Siau Cap-it Long berkata,
"Mestinya banyak persoalan ingin kau bicarakan, kenapa kau tidak
bicara?"
"Aku ...." Hong
Si-nio ragu-ragu, suaranya perlahan, "aku pikir...."
"Pikir apa?" tanya
Siau Cap-it Long.
"Aku ingin mencari
Pin-pin."
"Tidak perlu kau
mencarinya."
"Tidak perlu?" seru
Hong Si-nio.
"Karena dia juga sudah
pergi. Waktu aku kembali, dia sudah pergi."
Wajahnya tidak menujukkan
perubahan, tapi bola matanya tampak berkedip-kedip. Walau sudah mengerahkan
setaker tenaga untuk mengendalikan diri, tapi ia sendiri tak mampu
mengendalikan banyak perubahan yang terjadi di tubuhnya.
Ternyata Pin-pin juga sudah pergi.
Betapapun Siau-yau-hou adakah
saudara kandungnya.
Bahwa kenyataan membuktikan
dia belum mati, entah kapan dia pasti akan kembali.
Kalau dia pasti akan datang,
maka dia pasti harus pergi?
Kalau Sim Bik-kun sudah pergi,
kenapa dia tidak boleh pergi?
Hong Si-nio menggenggam
kencang tangannya, kuku jarinya tembus melukai kulit daging sendiri. Mendadak
ia amat membenci Sim Bik-kun.
Kini sudah akan tiba
detik-detik menentukan mati hidup Siau Cap-it Long, dalam waktu sekejap itu,
jiwa dan kebesaran nama baiknya, akan mengalami ujian berat yang menakutkan,
kalau tidak hidup pasti mati.
Kini saatnya dia perlu dihibur
dan diberi semangat, dia malah tinggal pergi.
"Kau tak mengira Pin-pin
bisa pergi?" tanya Siau Cap-it Long.
"Aku ...."
"Apapun yang kau
pikir," tukas Siau Cap-it Long, "kau salah menduga."
"Tapi...."
"Karena kau tidak
memahaminya," kata Siau Cap-it Long, "maka kau takkan mengira kenapa
dia pergi."
Tadi ia menganjurkan Hong
Si-nio bicara, tapi berulang kali ia memutus omongan Hong Si-nio.
Bahwa dia ingin Hong Si-nio
terus bicara, mungkin karena ia sendiri juga ingin bicara.
Maka Hong Si-nio bungkam,
mendengar orang bicara.
Siau Cap-it Long memang
meneruskan bicara, "Lama dan lama sekali, ia pernah memberitahu padaku,
suatu hari bila dia ingin mati, ia akan pergi secara diam-diam, kemana pergi
tidak memberitahu kepadaku, aku juga tidak boleh tahu." Kelopak matanya
tampak kedutan, "Sebab dia tidak ingin aku melihatnya mati, dia rela mati
secara diam-diam, mati sendiri tiada orang di sampingnya, dia tidak ingin aku
bersedih karena kematiannya."
"Mestinya bisa kupikir
akan hal itu. Aku tahu dia wanita berwatak keras yang ingin menang sendiri, aku
juga tahu cirinya itu."
"Tapi kau tadi pasti
salah duga, untuk betul-betul memahami seorang memang tidak mudah."
Hong Si-nio segera bertanya,
"Apakah penyakitnya kambuh kembali?"
"Justru karena
penyakitnya makin memburuk, jelas tak mungkin ikut aku gelandangan, maka kami
kembali dan menetap di sini."
"Maka kau sengaja
mengundang orang-orang gagah di daerah ini berkumpul di sini, maksudmu supaya
ia melihat apakah di antara mereka ada anak buah Thian Cong?"
Perlahan Siau Cap-it Long
mengangguk, cukup lama baru berkata pula, "Aku berharap begitu mendengar
beritaku di sini, segera kalian memburu ke sini, tapi tak nyana ...."
Tak nyana kedatangannya justru
merupakan kesalahan besar yang tak mungkin dihapus untuk selamanya.
Hong Si-nio mengalihkan
perhatian, "Apa benar kau beranggapan si buta itu adalah
Siau-yau-hou?"
"Mungkin sekali adalah
dia."
"Apakah dia pula orang
yang memelihara anjing? Apakah orang yang berjanji pertemuan dengan Lian
Shia-pik betul adalah dia?"
"Kuharap betul dia."
"Kenapa?"
"Sebab urusan yang harus
dibuat perhitungan, cepat atau lambat kan harus diselesaikan, kalau bisa
dibereskan sekaligus kan lebih baik, bukan?"
Apa benar perhitungan ini bisa
sekali beres? Antara budi dan dendam yang ruwet, mungkinkah bisa diselesaikan
dalam sekali perhitungan?
Mungkin hanya bisa dibereskan
dengan satu cara. Kalau seorang sudah mati, maka dia sudah tidak berhutang
apapun terhadap orang, orang lain juga takkan bisa menagih hutang padanya.
Hong Si-nio mengawasinya,
mendadak ia sadar tubuhnya sudah basah oleh keringat, karena mendadak hatinya
diresapi rasa takut seperti yang dirasakan Siau Cap-it Long.
Mendadak Siau Cap-it Long
berkata, "Malam ini belum tanggal lima belas, kita masih bisa
mabuk-mabukan lagi."
"Kau ingin mabuk?"
"Kau mau menemaniku
bukan."
Hong Si-nio berdiri,
"Biar kucari arak."
Di bawah loteng masih ada
arak, tapi sudah tiada manusia. Semua yang hadir tadi kini sudah pergi semua.
bukan hanya tamu-tamu undangan yang pergi, semua kelasi, tukang masak, pokoknya
semua petugas di kapal ini sudah pergi.
Kapal itu masih berada di
tengah danau. Hanya mereka berdua yang masih tinggal di kapal itu, tempat ini
kini menjadi dunia milik mereka berdua.
Dapat bersanding dua-duaan
dengan Siau Cap-it Long adalah cita-cita Hong Si-nio selama hidup, kejadian
yang amat menggembirakan hatinya. Tapi saat itu ia merasakan dalam relung hatinya
dirambati rasa ketakutan yang timbul dari ujung kakinya.
Hong Si-nio menghembuskan
napas dari mulut, dengan memompa semangat ia menjinjing sebuah guci arak.
Peduli apapun yang akan
terjadi, sekarang mereka kumpul bersama. Umpama harus mati, baik atau buruk
mereka akan mati bersama.
Maka dengan langkah lebar ia
jinjing guci arak dan melangkah naik ke loteng.
Sehari lagi telah berlalu,
kini sudah tiba tengah malam.
Guci arak berada di meja, Siau
Cap-it Long dan Hong Si-nio duduk berhadapan, mereka tidak menyinggung Sim
Bik-kun, namun dalam sanubari mereka tetap mcngenangnya, bayangannya tetap
terekam dalam relung hatinya.
Tiba-tiba Siau Cap-it Long
berkata, "Aku kenal kau mungkin sudah belasan tahun."
"Tepatnya enam belas
tahun."
Mulutnya terasa kering, relung
hatinya amat getir, enam belas tahun, berapa kali enam belas tahun umur
manusia?
"Sepanjang tahun ini,
walau jarang kita bertemu, tapi aku tahu kau lebih memahamiku dibanding orang
lain."
Tanpa bersuara Hong Si-nio
manggut-manggut. "Maka aku mohon kau memaafkan aku."
"Memaafkanmu?"
"Sepanjang hidupku
kesalahan yang pernah kulakukan sungguh teramat banyak, pantasnya tidak patut
aku minta maaf kepada orang."
"Orang hidup, sebagai
manusia biasa, siapa tidak pernah melakukan kesalahan?"
"Siapa pun yang pernah
melakukan kesalahan, dia harus menebus dengan imbalan."
Hong Si-nio menggenggam
jari-jari tangan sendiri, "Imbalan apa yang ingin kau berikan? Mati?"
Siau Cap-it Long menunduk
diam, lama kemudian baru bersuara, "Hidup ini apa nikmatnya? Kenapa
kematian dibuat takut."
Hong Si-nio menyela,
"Maka kau ingin mati, maka kau ingin aku memaafkan engkau. Sebab kau
sendiri tahu, kalau engkau mati, berarti berhutang budi kcpadaku."
Siau Cap-it Long juga
menggenggam jari-jarinya dengan kencang, suaranya datar, "Kalau aku tidak
mati, apakah aku tidak menyia-nyiakan dia?" Sebelum Hong Si-nio
berkomentar ia menyambung, "Kalau di dunia ini tiada manusia macam diriku,
mungkin dia bisa hidup senang, hidup tenteram dengan keluarganya, tapi
sekarang...."
Mendadak Hong Si-nio berdiri,
katanya, "Di bawah masih ada arak, akan kuambil satu guci lagi, aku masih
ingin minum."
Bukan dia ingin mabuk, tapi
tidak senang mendengar ucapannya, betapapun ia seorang perempuan.
Lampu-lampu di bawah loteng
sudah padam seluruhnya, tangga loteng itu sempit dan gelap, dengan langkah
gontai ia turuni anak tangga, terasa perasaannya seperti mengambang, sekujur
badannya seperti kosong.
Cahaya rembulan menyorot masuk
lewat jendela, cahaya nan lembut temaram, waktu kakinya menginjak lantai dasar
ia mengangkat kepala, mendadak ia rasakan ada seorang duduk mematung di
kegelapan.
"Siapa di situ?"
Orang di kegelapan itu tidak
bersuara, tidak bergerak. Hong Si-nio tidak bertanya lagi karena kini ia sudah
melihat jelas seorang yang mengenakan baju hijau dengan warna dan kain yang
kumal, sebuah tutup muka yang lurus persegi menutup mukanya.
Si baju hijau yang misterius
itu datang lagi, yang datang kali ini jelas bukan Su Jiu-san.
"Siapa kau
sebenarnya?" tanya Hong Si-nio.
Si baju hijau tetap tidak
bergerak, tidak bersuara, di tengah kegelapan, keberadaannya mirip setan
dedemit yang datang hendak menagih nyawa orang.
Hong Si-nio menarik napas
panjang, katanya dingin, "Peduli kau orang atau setan, berani datang
kemari, apa salahnya aku melihat wajahmu, kalau tidak, umpama benar kau ini
setan, jangan harap bisa lari dari sini."
Sorot matanya tampak
memancarkan sinar, keadaannya sudah mulai sinting. Kalau Hong Si-nio sudah
mabuk, apa yang ingin dia lakukan, semua orang di dunia ini jangan harap ada
orang yang bisa merintanginya.
Mendadak ia menerjang masuk
sambil meraih tutup di muka orang.
Orang itu tetap tidak
bergerak, cahaya rembulan kebetulan menyorot ke mukanya.
Hong Si-nio tertegun menjublek
sesaat lamanya, akhirnya berseru, "Lian Shia-pik, ternyata benar
engkau."
Wajah Lian Shia-pik memutih,
bola matanya merah diwarnai darah, sepertinya dia juga pernah mengucurkan air
mata.
Dingin suara Hong Si-nio,
"Bu-kau Kongcu yang biasa mengagulkan diri, sejak kapan kau malu bertemu
dengan orang?"
Sorot mata Lian Shia-pik
dingin menatapnya tajam, wajahnya membeku seperti mengenakan kedok muka saja.
Tampang yang tidak
memperlihatkan perubahan, ada kalanya paling memilukan.
Bukankah Lian Shia-pik dengan
Sim Bik-kun adalah pasangan yang menjadi pujaan orang banyak?
Kalau Siau Cap-it Long tidak
hidup di dunia ini, bukankah pasangan muda ini bisa hidup rukun dan bahagia?
Membayangkan pengalaman hidup
sepasang muda-mudi ini, Hong Si-nio menjadi tidak tega, akhirnya ia menghela
napas, "Kalau ingin minum arak, boleh kau ikut aku naik ke loteng, masih
teringat tidak, dahulu kita pernah minum bersama bukan? Kita bertiga."
Sudah tentu Lian Shia-pik
masih ingat, kejadian waktu itu jelas takkan mudah dilupakan begitu saja.
Mengawasi Hong Si-nio, tak
tertahan ia juga menghela napas, di saat ia menghela napas itulah, mendadak
Hong Si-nio melihat sebuah tangan terulur keluar. Sebuah tangan yang putih,
tangan yang halus mulus dengan jari-jari lentik lagi runcing.
Begitu melihat tangan ini,
perasaan Hong Si-nio seperti tenggelam ke dasar danau. Ia kenal tangan ini. Di
saat ia terkesima itulah tangan mulus itu mendadak bergerak secepat kilat
memegang lengannya.
Didengarnya seorang berkata di
belakangnya, "Masihkah kau ingat dahulu kita juga pernah minum bersama,
hanya kita berdua saja." Senyum tawanya terdengar lembut dan halus, tapi
Hong Si-nio tidak bersuara, jari-jari tangannya menggenggam kencang.
Hoa Ji-giok!
Tak usah berpaling Hong Si-nio
mengenali suara orang itu, ia tahu bahwa yang memegang lengannya adalah Hoa
Ji-giok. Hong Si-nio menjadi ngeri dan merinding bulu kuduknya, ia rela dibelit
ular atau digigit hewan beracun, tapi tidak rela dan merasa jijik disentuh
orang ini.
Jari jemari tangan Hoa Ji-giok
yang lain justru memeluk pinggangnya, katanya tetap tersenyum, "Masih
ingat tidak, arak yang kita minum di ruang pengantin malam pertama itu."
Hong Si-nio membungkam, ia
ingin berteriak, ingin tumpah, sekali tendang ia ingin membunuh orang ini,
sayang dia hanya bisa berdiri mematung, diam tanpa kuasa. Meski badan dingin
menggigil, beruntung ia melihat Siau Cap-it Long.
Siau Cap-it Long berdiri di
anak tangga, air mukanya lebih putih dibanding wajah Lian Shia-pik, suaranya
dingin mengancam, "Lepaskan dia!"
Hoa Ji-giok mengedipkan mata,
sengaja bertanya, "Dia ini apamu, berdasar apa kau minta aku
melepasnya?"
"Lepaskan dia,"
kembali Siau Cap-it Long mengancam.
"Kau tahu aku ini apanya?
Tahukah kau, dia dan aku pernah sembahyang kepada langit dan bumi, masuk
pelaminan?"
Jari Siau Cap-it Long
menggenggam kencang gagang golok.
Golok jagal rusa, tangan Siau
Cap-it Long siapa tidak mengenalnya, siapa pun tokoh silat kosen bila melihat
tangan itu menggenggam golok, siapa pun takkan mampu tertawa.
Hoa Ji-giok justru tertawa
riang, "Aku kenal golokmu itu, golok peranti membunuh orang."
Siau Cap-it Long tidak
menyangkal.
Kata Hoa Ji-giok dengan
tertawa, "Sayangnya, bila golokmu terlolos keluar, yang terbunuh mampus
pertama bukan aku, tapi malah dia."
Jari-jari Siau Cap-it Long
yang menggenggam gagang golok memutih, namun sulit ia mencabut goloknya. Ia
tahu apa yang diucapkan Hoa Ji-giok bukan main-main.
"Malah berani
kujamin," ujar Hoa Ji-giok lebih jauh, "orang kedua yang bakal mampus
juga bukan aku, tapi engkau."
"O?" Siau Cap-it
Long bersuara dalam mulut.
"Oleh karena itu, umpama
dengan jiwamu ditukar dengan jiwanya, aku tetap tidak setuju, sebab ajalmu
sudah pasti tak mungkin dihindarkan lagi."
Memicing bola mata Siau Cap-it
Long, ia rasakan dari kegelapan sebelah sana muncul lagi dua orang, tangan
mereka membekal tiga batang senjata yang mengeluarkan sinar kemilau. Sebatang
golok ganco yang diikat rantai dan sepasang Long-ge-pang yang terbuat dari
perak murni. Dua jenis senjata yang berbeda, yang satu jenis lembut yang lain
keras, jarang ada tokoh Bulim zaman ini yang menggunakan senjata jenis ini.
Kalau ada orang mampu memakai jenis senjata ini, tak perlu diragukan, mereka
pasti jago kosen.
Diam-diam perasaan Siau Cap-it
Long mulai tegang. Ia insaf dalam kondisi seperti ini memang sukar dan tak
berdaya menolong Hong Si-nio.
Mendadak Hong Si-nio
berteriak, "Tidak perlu kau berkorban bersamaku, kalau aku harus mati hari
ini, kenapa tidak lekas kau pergi saja?"
Siau Cap-it Long mengawasinya,
sorot matanya menampilkan mimik aneh, entah marah? Rindu? Atau sedih?
Hoa Ji-giok tertawa riang,
"Kenapa kau menyuruhnya pergi?"
"Kenapa?"
Hoa Ji-giok berkata,
"Sebab kau sendiri tahu, di dunia ini hanya ada Siau Cap-it Long yang mati
terpenggal kepalanya, tidak pernah terjadi Siau Cap-it Long yang melarikan
diri."
Gemeratak gigi Hong Si-nio,
"Kalau begitu lekas kau bunuh aku saja."
"Kau tidak ingin melihat
dia mampus?"
"Aku tidak ingin melihat
dia mampus di tangan manusia rendah dan picik macam tampangmu ini."
"Kalau aku atur supaya
kau menyaksikan kematiannya, bagaimana?" ucap Hoa Ji-giok sambil mengulap
tangan.
Maka sinar gemerdep golok
ganco dan Long-ge-pang mulai bergerak.
Golok Siau Cap-it Long masih
berada di rangkanya.
"Kau belum boleh
mati," ujar Hoa Ji-giok, "sebab selama kau masih hidup, dia takkan
berani mencabut goloknya." Lalu dengan tersenyum lebar ia berpaling ke
arah Siau Cap-it Long, "Sebab bila golokmu terlolos, maka kau akan
menyaksikan kematiannya, kutanggung dia akan mampus lebih mengenaskan."
Betapa cepat Siau Cap-it Long
melolos golok, rasanya belum ada orang kedua yang mampu menandinginya, tapi
dalam kondisi sekarang, ia rasakan goloknya itu seperti beban berat yang tak
mampu digerakkan lagi.
Sejak tadi Lian Shia-pik
mengawasinya dingin, sekarang tiba-tiba berkata, "Tanggalkan golokmu, akan
kusuruh dia melepasnya."
Tanpa tanya tanpa ragu,
perlahan tapi pasti Siau Cap-it Long menanggalkan goloknya.
Golok jagal rusa, golok yang
diperolehnya dengan mempertaruhkan jiwa raga, sekarang seenaknya saja ia buang
golok itu ke lantai.
Bila dapat menolong jiwa Hong
Si-nio, kepala sendiri boleh terpenggal, apa arti sebatang golok?
Mendadak Hoa Ji-giok bergelak
tawa, serunya "Sekarang sudah pasti dia mampus, kau juga pasti
mampus."
Golok jagal rusa adalah golok
peranti membunuh orang, kecepatannya ibarat golok itu membabat rumput layaknya.
Tangan Siau Cap-it Long adalah
tangan kilat yang menggerakkan golok secepat halilintar.
Yakin tiada ketajaman golok
macam apapun di dunia ini yang dapat menandingi ketajaman golok jagal rusa.
Yakin tiada tangan siapa pun
di dunia ini yang dapat memainkan ilmu golok menakutkan seperti yang dimainkan
Siau Cap-it Long.
Kini ia tidak mungkin mencabut
golok, tidak berani melolos senjata, tapi sejauh golok masih berada di
tangannya, tiada orang berani bertingkah di hadapannya.
Sekarang ia buang begitu saja
golok yang mujizat itu. Mengawasi golok yang tergeletak di lantai, air mata
Hong Si-nio bercucuran.
Sampai sekarang baru ia paham
benar, demi dirinya, ternyata Siau Cap-it Long rela mengorbankan
segala-galanya.
Bersambung