Jilid 13
Toh Lin tetap di samping
mengawasi dengan mendelong, katanya tiba-tiba, "Sekarang kita turun
tangan?"
"Kalau tidak sekarang
turun tangan, lain kali tiada kesempatan lagi."
Toh Lin tampak ragu, akhirnya
mengambil sikap, "Aku belum pernah membunuh orang, kali ini biar aku yang
turun tangan."
Hou Ing mengawasinya,
"Kau tega turun tangan?"
Toh Lin menggigit bibir sambil
memanggut, dari pinggir laras sepatunya ia juga mengeluarkan sebilah belati,
bentuk dan panjangnya sama dengan milik Hou Ing.
Sorot mata Hong Si-nio
menampilkan rasa kecewa dan sedih. Selama ini ia berpendapat Toh Lin adalah
pemuda jujur polos, baru sekarang ia tahu pandangannya ternyata keliru.
Toh Lin menghindar beradu
pandang dengan Hong Si-nio, melirik pun tidak berani.
Hou Ing berkomentar,
"Waktu membunuh orang, kau harus memperhatikan korbanmu, supaya sasaran
tepat, adakalanya sang korban harus sekali tusuk tamat riwayatnya. Atau
akibatnya kau sendiri bisa mampus di tangannya."
"Lain kali akan selalu
kuingat," sahut Toh Lin.
"Membunuh orang juga
memerlukan ketrampilan, asal kau selalu ingat omonganku, mungkin kelak bisa
menjadi pembunuh kelas wahid."
Siapa pun takkan pernah
menduga, pemuda yang satu ini ternyata adalah pembunuh yang lihai di bidangnya.
Dengan tertawa ia menyambung,
"Anggaplah cewek ini bersikap baik terhadap kita selama ini, maka jangan
kau menyiksanya, incarlah sasaran tulang kelima di antara celah sebelah kiri
rusuknya, tempat itu cukup sekali tusuk, jiwa pun melayang."
"Baiklah, aku tahu,"
sahut Toh Lin. Perlahan ia maju mendekat, jari-jari yang memegang gagang belati
tampak memucat, otot hijau menonjol keluar, bola matanya memerah seperti
berdarah.
Hou Ing tersenyum sambil
menggendong tangan, bagi anggapannya, membunuh orang memang adegan yang enak
dipandang.
Toh Lin mengertak gigi,
mendadak belati di tangannya bergerak.
Gerakannya cepat dan tepat,
sekali serang belatinya tepat menusuk di celah tulang rusuk keempat dan kelima
di dada Hou Ing. Yang dia bunuh bukan Hong Si-nio, tapi Hou Ing! Senyum tawa di
muka Hou Ing seketika membeku, bola matanya melotot seperti hendak mencelat
keluar, dengan kaget menatapnya tajam, sorot matanya penuh rasa kaget, heran,
ngeri dan benci.
Tak urung Toh Lin merinding
oleh tatapan mata orang, tangan menjadi lemas, gagang belatinya pun ia lepas.
Pada detik itulah, sinar kilat
berkelebat, belati di tangan Hou Ing secepat kilat juga menusuk di tengah
tulang rusuknya.
Hou Ing menyeringai sadis,
"Yang kuajarkan kepadamu adalah tusukan yang mematikan, sayang kau lupa
mencabut belatimu, kepandaianmu membunuh orang memang harus belajar lagi."
Toh Lin mengertak gigi,
secepat kilat mendadak ia turun tangan lagi, kali ini ia cabut belati di rusuk
orang, "Sekarang aku sudah belajar lengkap."
Begitu darah menyembur keluar,
muka Hou Ing tampak mengkerut menahan sakit, mulutnya megap-megap seperti ingin
bicara. Tapi sepatah kata pun tidak kuasa bicara, perlahan badannya roboh
terkapar di lantai, kali ini memang sekali tusuk jiwa melayang.
Mengawasi badan rekannya roboh
binasa, mendadak Toh Lin membungkuk badan terbatuk-batuk. Ujung belati yang
tajam, dingin dan keras tetap menancap di celah tulang rusuknya, badannya
terasa menggigil.
Toh Lin belum roboh, karena
belati masih menancap di dadanya. Meski berhasil membalas menusuk dada orang,
Hou Ing sendiri kehabisan tenaga, tak mampu mencabut belati di dada Toh Lin.
Ada kalanya hal itu bisa
terjadi, kalau sekali tusuk kau tak mampu membunuhnya mati, kemungkinan jiwamu
sendiri mampus di tangannya malah.
Sejauh belati masih melekat di
badanmu, jiwamu takkan segera melayang. Membunuh orang memang diperlukan ilmu
yang tinggi.
Toh Lin masih terus terbatuk,
makin lama batuknya makin keras. Tusukan Hou Ing memang kurang tenaga, walau
tidak tepat mengenai jantung, tapi melukai paru-parunya..
Hong Si-nio hanya bisa
mengawasinya. Pemuda ini memang berhati jujur dan polos. Penilaiannya tidak
keliru.
Hong Si-nio tidak mengucurkan
darah, tapi mengucurkan air mata.
Sekuatnya Toh Lin berusaha
mengendalikan batuknya, lalu dengan napas tersengal-sengal beringsut
menghampirinya, berusaha membuka tutukan Hiat-tonya. Kejap lain ia tak kuat
berdiri, lalu jatuh di kursi, tenaga terakhir untuk bertahan pun sudah tak
mampu dikerahkan lagi. Keringat sebesar kacang menetes membasahi selebar mukanya.
Hong Si-nio merobek bagian
bawah gaunnya, dengan air dingin di baskom pojokan sana ia basahi kain itu
untuk mengompres jidatnya.
Bujuknya lembut, "Untung
tusukannya ini tidak tepat dan kurang dalam, bertahanlah untuk beberapa kejap,
setelah napasmu normal dan rasa sakit jauh berkurang, nanti kubawa kau pergi
berobat." Lalu dengan tawa yang dipaksakan menyambung, "Aku kenal
seorang tabib pandai, dia pasti mampu menyembuhkan luka-lukamu."
Toh Lin juga mengunjuk senyum
dipaksakan. Ia sendiri maklum dirinya takkan kuat bertahan lama, tapi banyak
omongan yang ingin ia bicarakan.
Hanya arak yang bisa mendukung
tekadnya, asal dapat bertahan sampai isi hatinya ditumpahkan, cukup puaslah
hatinya.
"Beri aku arak, di
tubuhku ada botol obat...."
Puyer itu berada dalam botol
kecil yang terbuat dari kayu, bukan saja mahal dan antik, di tengah botol
ditempeli kertas yang berlulis "Hun-lam Tiam-jong". Hun-lam-pek-yo
adalah obat luka buatan Tiam-jong-bun, terkenal di kolong langit, obat mujarab
yang mendapat penghargaan kaum Bulim.
Sayangnya betapapun mahal,
hebat mujarab obat luka itu, takkan mampu menyembuhkan luka yang tepat mengenai
sasaran, luka yang mematikan.
Waktu melancarkan serangan,
tenaga Hou Ing memang sudah terkuras hampir habis, betapapun dia adalah ahli di
bidangnya.
Hong Si-nio membanting kaki,
serunya gelisah, "Kenapa semua ini dia lakukan? Kenapa dia ingin
membunuhku?"
Toh Lin tertawa getir,
"Kami ke Bu-kau-san-ceng dengan tujuan membunuhmu."
Hong Si-nio tertegun. Baru
sekarang ia sadar, kenapa mereka rela menjadi pengiringnya.
"Sungguh aku tidak
mengerti kenapa kau justru mencari kami. Waktu itu aku hampir tidak percaya
kalau kau benar-benar adalah Hong Si-nio."
"Kenapa waktu itu kalian
tidak turun tangan?"
"Hou Ing tidak pernah
bertindak kalau tidak yakin pasti berhasil."
Kata Toh Lin lebih jauh,
"Maka dia tidak pernah gagal membunuh orang." Sekaligus ia
menghabiskan tiga cawan arak, sebotol obat ia tenggak seluruhnya didorong arak
secawan, roman mukanya yang pucat mulai kelihatan bersemu merah, "Dalam
usia sembilan belas, dia sudah terjebak sebagai pembunuh bayaran. Di antara
sekian banyak anggota Thian Cong, sulit dicari yang mampu mengungguli
dia."
Toh Lin tertawa getir, lalu
menyambung pula, "Kali ini aku diperintah ikut dia, maksudnya supaya aku
belajar kepadanya."
"Thian Cong?" belum
pernah Hong Si-nio mendengar nama ini. "Yang memerintah kalian membunuhku
adalah Thian Cong?"
"Betul."
"Dua huruf itu
kedengarannya bukan nama seseorang."
"Thian Cong memang bukan
nama orang, tapi milik orang banyak, nama sebuah organisasi gelap, kumpulan
rahasia yang menakutkan." Sorot mata Toh Lin menampilkana rasa ngeri,
"Aku sendiri tidak tahu berapa jumlah anggota mereka."
"Apakah Thian Cong
didirikan oleh Siau-yau-hou?"
"Cosu atau cikal bakal Thian
Cong she Thian."
Bukankah Siau-yau-hou selalu
senang menyebut dirinya Thian-kongcu?
Benderang mata Hong Si-nio,
paling tidak sekarang ia bisa membuktikan bahwa Siau Cap-it Long tidak bohong,
Siau-yau-hou memang mengendalikan sebuah organisasi rahasia yang menakutkan.
Hoa Ji-giok, Auyang-hengte adalah anggota organisasi itu.
Setelah Siau-yau-hou mati,
siapa pewaris tahta pimpinan organisasi rahasia itu?
Apakah Lian Shia-pik? Soal ini
adalah titik terpenting. Hong Si-nio berkeputusan untuk mencari tahu sampai
jelas, namun ia insaf keadaan sekarang tidak bisa memberi tekanan lebih berat
kepada Toh Lin, mengingat kondisinya yang sudah kempas-kempis. Setelah merenung
sesaat ia bertanya dengan cara lembut, "Kau juga anggota Thian Cong?"
"Aku juga anggota."
"Sudah berapa lama kau
menjadi anggota?"
"Belum lama, belum genap
sepuluh bulan."
"Apakah tiap orang boleh
menjadi anggota?"
"Tidak boleh," ucap
Toh Lin, "untuk menjadi anggota Thian,. harus di bawah perantara seorang
Hiang-cu, itupun harus diuji dan diluluskan oleh Thian Cong sendiri."
"Siapa Hiang-cu yang
menjadi perantaramu?"
"Pamanku. Mantan
Ciangbunjin Tiam-jong-pay yang bernama Cia Thian-ciok."
Hal ini kembali membuktikan
bahwa omongan Siau Cap-it Long benar, Cia Thian-ciok adalah anggota organisasi
rahasia itu, maka Siau Cap-it Long membikin buta matanya. Dari sini dapat
disimpulkan pula bahwa apa yang dikatakan Pin-pin juga tidak salah. Betapapun
sedikit terhibur hati Hong Si-nio, sedikit lega. Setelah mendengar uraian Lian
Shia-pik, tak urung hatinya ikut mencurigai Siau Cap-it Long, maka seorang
kalau dipaksa harus mencurigai pujaan hatinya, sungguh merupakan hal yang
membuatnya sengsara.
"Kecuali Cia Thian-ciok,
masih berapa banyak Hiang-cu dalam Thian Cong?"
"Konon ada tiga puluh
lima orang, tiga puluh enam orang Thian-lo."
"Congcu hanya
seorang?"
"Ya, hanya seorang."
Hong Si-nio berusaha
mengendalikan gejolak perasaannya, “Kau pernah bertemu dia?”
"Pernah dua kali."
Jantung Hong Si-nio berdegup
lebih kencang, rahasia ini sudah hamnpir bisa diungkap, tanpa sebab roman
mukanya memerah.
"Pertama, waktu aku masuk
dan diangkat menjadi anggota. Cia-susioklah yang membawaku bertemu
beliau."
"Yang kedua?"
"Setelah mata Cia-susiok
buta, kedudukan atau jabatannya digantikan oleh Hoa-hiangcu."
"Hoa Ji-giok
maksudmu?"
Toh Lin mengangguk.
"Huh," Hong Si-nio
menghembuskan napas dari mulut. Hoa Ji-giok ternyata juga orang Thian Cong.
Tapi di antara mayat-mayat di Pat-sian-cun tidak tampak adanya Hoa Ji-giok.
"Untuk yang kedua kali,
Hoa-hiangculah yang mengajakku menemui beliau."
"Dimana tempatnya?"
"Pat-sian-cun."
Kembali Hong Si-nio
menghembuskan napas dari mulut. Peritiwa ini mirip sebuah gambar lukisan yang
telah dirobek-robek, sekarang satu per satu mulai dibeberkan dan disatukan
kembali.
"Hou Ing sengaja
mengajakmu ke Pat-sian-cun, awalnya mungkin akan turun tangan di sana."
"Kalian juga tidak tahu
penstiwa yang terjadi di sana?"
Toh Lin tertawa getir,
"Tidak banyak yang kuketahui, di dalam Thian Cong, aku hanya anggota biasa,
anggota yang tidak terpandang sama sekali, mungkin dibanding anjing yang
dipelihara Congcu masih lebih rendah," tutur Toh Lin amat menyentuh,
tawanya begitu pilu dan getir.
Usianya masih muda. Seorang
pemuda paling tidak suka diremehkan, dihina apalagi direndahkan, hal itu bisa
dirasakan, lebih baik mati daripada hidup tidak terpandang.
Hong Si-nio bertanya lagi,
"Apakah Congcu memelihara anjing?"
"Dua kali aku bertemu
dia, dua kali aku melihat dia membawa anjing."
“Anjingnya jenis apa?"
"Anjing itu kecil saja,
tampangnya tidak galak, kelihatan Congcu amat menyayangi, beberapa kali bicara
selalu menunduk mengelus kepala anjingnya."
Seorang yang menjadi pemimpin
besar organisasi yang punya anggota banyak dan tersebar luas di seluruh pelosok
negeri, jago silat lihai yang banyak membunuh dan berbuat kejahatan di
Kang-ouw, ternyata seorang yang gemar memelihara anjing.
Hong Si-nio menghela napas.
Mungkin hati manusia paling susah dipahami dibanding segala urusan tetek-bengek
yang pernah terjadi di dunia.
Kini ia bertanya pada titik
persoalan yang paling penting, "Siapakah dia sebenarnya?"
Setelah melontarkan
pertanyaan, jantungnya mendadak berdetak keras.
"Tidak tahu."
Jawaban Toh Lin ini sungguh
membuatnya amat kecewa. Meski rasa hatinya amat penasaran, namun ia belum putus
asa, "Tadi kau bilang pernah melihatnya, memangnya bagaimana bentuk wajah
dan perawakannya kau tidak melihatnya?"
"Aku tidak bisa
melihatnya."
Hong Si-nio menghela napas,
katanya dengan tertawa getir, "Kau sudah menjadi anggota Thian Cong,
apakah waktu dia menerima dirimu mengenakan kedok?"
"Bukan hanya mengenakan
kedok, jari-jari tangannya memakai sarung tangan yang terbuat dari kulit ikan
hiu."
”Kenapa tangannya pun tak
boleh dilihat orang? Apakah karena dia orang luar biasa?"
"Dia memang orang luar
biasa dan aneh, gayanya waktu berjalan, sikapnya waktu bicara kelihatan berbeda
dengan manusia umumnya."
"Dalam hal apa tidak
sama?"
”Tidak bisa kujelaskan, tapi
dimana dan kapan pun aku melihatnya, aku pasti dapat mengenalinya."
Menyala bola mata Hong Si-nio,
tanyanya segera, "Kau pernah melihat atau bertemu dengan Lian
Shia-pik?"
"Aku pernah
melihatnya."
"Apakah dia Lian
Shia-pik?"
"Pasti bukan."
"Muka atau perawakannya
saja kau tidak pernah melihatnya, cara bagaimana kau berani memastikan kalau
dia bukan Lian Shia-pik?"
"Dia seorang yang kurus
kecil, Lian Shia-pik bukan laki-laki gede, dibanding dia perawakannya jauh
lebih tinggi, dalam hal ini dia tidak mungkin berpura-pura."
Mulut Hong Si-nio serasa
dibungkam, namun hatinya penasaran, teori yang dianggapnya pas, tak mungkin
dipecahkan, mendadak seluruhnya batal, betpapun hatinya amat jengkel, namun ia
harus menelan penasaran.
Wajah Toh Lin kini sudah
memerah lebih segar, napasnya sudah biasa, kadang terbatuk beberapa kali, kalau
belati tidak menancap di dadanya, orang takkan tahu kalau dia seorang yang luka
parah, terutama sorot matanya, tidak mirip orang sakit.
Karena bola matanya sekarang
juga menyala, rasanya lebih terang dibanding keadaan biasa, karena dia sedang
mengawasi Hong Si-nio.
Hong Si-nio mengunjuk tawa,
meski dipaksakan, katanya lembut, "Apapun yang terjadi, lukamu tidak
terlalu parah, setelah makan obat, lekas sekali pasti sembuh."
Toh Lin memanggut, wajahnya
mengulum senyum senang, "Kuharap demikian."
Usianya masih muda, tidak
irigin mati selekas ini, sekarang terasa kematian makin menjauh, timbul sinar
harapan untuk mempertahankan hidup. Dengan nanar ia mengawasi Hong Si-nio,
mukanya makin merah, mendadak ia berkata, "Kalau setelah ini aku masih
bisa bertahan hidup, setelah lukaku sembuh, kau masih memerlukan tenagaku
sebagai pendampingmu tidak?"
"Tentu aku butuh
bantuanmu."
Beberapa kali bibirnya
bergerak, akhirnya ia memberanikan diri berkata, "Mau tidak aku menjadi
pendampingmu untuk selamanya?"
Hong Si-nio manggut-manggut,
hatinya pilu seperti ditusuk sembilu, jelas ia maklum isi hati pemuda ini
terhadap dirinya. Dengan mempertaruhkan jiwa, orang berusaha menolong dirinya,
kecuali tidak ingin diremehkan dan direndahkan oleh pihak Thian Cong, yang
terpenting mungkin karena ia jatuh hati terhadap dirinya.
Kenapa bisa timbul rasa cinta
terhadapnya? Siapa pun tak bisa menjelaskan. Perasaan manusia, memangnya siapa
bisa menyelaminya?
Air mata Hong Si-nio belum
meleleh karena ia terus berusaha mempertahankannya, bukan lantaran nasib pemuda
ini ia merasa sedih dan pilu, dia sedih karena dirinya sendiri, sadar bahwa
selama ini ia bersikap kurang kompromi terhadap pemuda ini, bahwasanya boleh
dikata tidak ambil di hati, tidak ada perhatian sama sekali, tapi pemuda ini
rela berkorban demi membela dirinya.
Bagaimana dengan Siau Cap-it
Long.
Demi Siau Cap-it Long
pengorbanan apa yang tidak pernah ia lakukan, sekarang apa pula yang dia
peroleh.
Cinta memang tidak bisa
dipaksakan, juga tidak bisa ditukar, cinta memangnya pengorbanan tanpa syarat.
Hong Si-nio paham akan
pengertian ini, melihat bagaimana perasaan Toh Lin terhadap dirinya, kini ia
paham lebih banyak, punya pengertian lebih mendalam.
Satu hal yang ia tidak
mengerti, kenapa nasib selalu mempermainkan orang? Ada kalanya memaksa seorang
untuk mencintai seorang yang tidak patut ia cintai?
Toh Lin termasuk seorang yang
dipermainkan oleh nasib, patut dikasihani. Memangnya dirinya tidak merasakan
punya nasib yang sama?
Untung Toh Lin tidak bisa
melihat jalan pikirannya, dengan tersenyum tenteram memejam, kelihatan amat
puas dan tenteram, "Kita bertemu belum lama, aku tahu kau takkan menaruh
diriku dalam hati, tapi kelak ...." Senyumannya makin mekar, "Kelak
hari masih panjang, masih panjang ...." Suaranya makin lirih, makin le-mas
akhirnya ia sendiri tidak bisa mendengarnya.
Kini roman mukanya berubah
amat cepat, dari merah berubah pucat pias, namun senyum masih menghias
wajahnya.
Bagaimanapun akhirnya dia
meninggal sambil tersenyum.
Berapa banyak orang bisa
tersenyum setenteram dia waktu meninggal dunia?
XX. MIMPI HILANG CINTA PUN
LENYAP
Matahari memancarkan cahayanya
yang cemerlang.
Hong Si-nio berjalan di bawah
terik matahari, air matanya Sudan kering. Dia bersumpah sejak kini takkan
mengucurkan air mata.
Sekarang seluruh analisa dan
teorinya sudah tumbang, tapi ia bersumpah akan menggusur 'orang itu',
membongkar muslihatnya.
Kini ia sudah tahu, 'orang
itu' adalah seorang yang suka memelihara anjing.
Seekor anjing berlari-lari kecil
menyusuri jalan raya di bawah bayang-bayang payon rumah, langkahnya gontai
seperti kehausan. Entah kenapa Hong Si-nio membuntuti anjing itu. Jelas ia
mengerti, anjing ini pasti bukan anjing yang dipelihara 'orang itu', tapi ia
kehabisan akal, tak tahu kemana harus berjalan, kemana pergi mencari berita
supaya bisa menemukan 'orang itu', apalagi bisa menemukan Siau Cap-it Long.
Anehnya, makin terik sinar
marahari, orang yang berjalan di bawah cahaya matahari akan lebih cepat merasa
lelah.
Kini Hong Si-nio tidak mabuk
lagi, setelah pengalaman sehari semalam itu, sekarang justru saat ia merasa
paling penat. Ingin tidur tak bisa tidur, dengan mata terbelalak ia rebah di
ranjang, ingin tidur tidak bisa tidur, rasanya sudah sering ia alami.
Sebatangkara, kesepian, tidak
bisa tidur, resah dan sebal ... semua itu adalah perasaan orang yang susah
ditahan, tapi seorang gelandangan, orang yang biasa keluyuran di luar, derita
seperti itu sudah layak dirasakan.
Memangnya sampai kapan
mempertahankannya?
Sampai kapan baru bisa
tenteram?
Hong Si-nio tidak berani
memikirkan.
Suami yang pengertian, anak
yang patuh, keluarga bahagia, kehidupan nan tentram....
Semua itu adalah dambaan
setiap perempuan, dahulu ia pernah membayangkannya, tapi sekarang sudah lama ia
tidak pernah mengharapkannya lagi, sebab ia merasakan semua dambaan itu seiring
bertambahnya usia, jarak itu makin jauh dan jauh ....
Jalan panjang ini makin lebar,
tapi orang yang berlalu lalang makin jarang, tanpa terasa langkah Hong Si-nio
menjurus keluar dari keramaian, terus menuju keluar kota, di jalanan yang sepi
di depan sana terdapat sebuah hotel kecil, pintunya kecil, temboknya rendah, di
pekarangan dalam ditaruh beberapa pot bunga seruni yang lagi mekar, penataannya
mirip keluarga kecil dari kalangan kelas rendah.
Kalau di depan pintu tidak
ditempel papan yang dicat beberapa huruf merah, hakikatnya tempat ini tidak
mirip sebuah hotel.
Hotel yang tidak mirip hotel,
betapapun tetap hotel, apalagi bagi seorang petualang yang tidak punya rumah,
bolehlah dianggap sebagai penenteram hati yang lagi merana. Maka Hong Si-nio
beranjak masuk, ia minta sebuah bilik yang dirasa nyaman dan tenteram. Sungguh
ia perlu tidur barang sejenak.
Kebetulan di luar jendela
tumbuh sepucuk pohon cukup besar yang mengalingi sorot matahari. Rebah di
ranjang, mengawasi bayang-bayang daun pepohonan yang bergontai, hatinya terasa
kosong dan hampa, sepertinya banyak persoalan harus dipikir, namun tiada satu
pun yang bisa ia ingat.
Angin berhembus ringan, rasa
sejuk berhembus masuk lewat jendela yang terbuka.
Tempat ini sungguh tenang,
kelopak matanya terasa makin berat, akhirnya layap-layap ia mulai terbuai dan
hampir tidur.
Apa boleh buat, di kala rasa
kantuk sudah membuai pikirannya, mendadak dari kamar sebelah ia mendengar
seorang sedang menangis. Tangisnya begitu sedih, suaranya rendah lagi lirih,
namun Hong Si-nio dapat mendengarnya dengan jelas.
Tembok di sini kurang tebal,
keadaan di sini memang teramat sunyi. Hong Si-nio membalik badan, pikirnya
ingin tidur saja, namun isak tangis itu didengarnya makin jelas. Itulah isak
tangis seorang perempuan.
Memangnya hati sedang
dirundung persoalan apa? Seorang diri kenapa bersembunyi di sini untuk
melampiaskan duka lara?
Mestinya Hong Si-nio tidak
ingin mencampuri urusan orang lain, urusan sendiri cukup membuatnya resah.
Mungkin karena terlalu banyak urusan, hati resah pikiran buntu, maka begitu
tahu orang lain juga sedih dan lara, rasa simpati timbul dalam sanubarinya. Tak
tahan akhirnya ia melompat bangun, setelah mengenakan sepatu ia membuka pintu
beranjak ke kamar sebelah.
Pohon di pekarangan memang
cukup rindang, suasana di sini nyaman, daun pintu kamar sebelah tertutup rapat.
Sesaat ia ragu, isak tangis belum berhenti, akhirnya ia beranjak maju lalu
mengetuk pintu perlahan.
Cukup lama, dari dalam ada
suara orang menegur, "Siapa di luar?"
Suara orang seperti amat
dikenalnya. Jantung Hong Si-nio bertambah cepat, dengan keras ia mendorong daun
pintu, segera ia berteriak kaget, "Kau?"
Perempuan yang diam-diam
bersembunyi di kamar dan berisak tangis itu ternyata bukan lain adalah Sim
Bik-kun.
* * * * *
Di meja ada arak.
Sepertinya Sim Bik-kun sempat
mabuk. Ada orang setelah mabuk suka tertawa, tertawa dan tertawa, ada juga
setelah mabuk suka menangis, menangis dan menangis terus.
Melihat Hong Si-nio, bukan
saja tidak menghentikan tangisnya, tangis Sim Bik-kun malah lebih keras, lebih
sedih.
Hong Si-nio berdiri diam,
mengawasi orang menangis.
Dia juga seorang perempuan, ia
tahu bila seorang sedang menangis, siapa pun takkan bisa membujuknya, makin
dibujuk tangisnya makin sedih, tangisnya bisa menjadi-jadi.
Kadang 'menangis' mirip orang
minum arak.
Seorang boleh menangis,
seorang juga boleh minum arak.
Tapi di kala minum arak, kalau
ada seorang lain berdiri di samping mengawasi kau minum, selera minummu pasti
hilang, arak takkan bisa masuk perut lagi.
Demikian halnya dengan
menangis.
Karena diawasi Hong Si-nio,
mendadak Sim Bik-kun berjingkrak, dengan bola matanya yang merah karena lama
menangis menatap Hong Si-nio, serunya, "Untuk apa kau kemari?"
"Aku juga ingin tanya,
untuk apa kau ke tempat ini?" tanya Hong Si-nio, lalu menarik kursi dan
duduk, "Bagaimana kau bisa berada di tempat ini?"
"Kenapa aku tidak boleh
ke tempat ini?"
Bukan saja lagi sedih,
ternyata emosinya juga terbakar. Biasanya ia tidak pernah bersikap sekasar ini.
Hong Si-nio malah tertawa,
"Tentu kau boleh ke tempat ini. Tapi bukankah kau sudah pulang?"
"Pulang kemana?"
"Pek-ma-san-ceng."
"Pek-ma-san-ceng bukan
rumahku," air mata Sim Bik-kun hampir menetes lagi.
"Kemarin malam aku ke
Pek-ma-san-ceng, kau ada di sana?"
"Ada."
"Lha, kenapa seorang diri
kau keluyuran di sini?"
"Aku senang," bantah
Sim Bik-kun sambil menggigit bibir, "aku senang keluar, kenapa tidak boleh
keluar?"
"Dari tampangmu,
kelihatan kau tidak senang," Hong Si-nio tidak memberi kelonggaran.
"Sebetulnya lantaran apa kau lari dari rumah?"
Sim Bik-kun tak bisa menjawab.
Arak masih ada di meja, mendadak ia meraih poci arak lalu dituang ke dalam
mulut. Dia ingin mabuk, setelah mabuk baru bisa melupakan segala persoalan,
bisa menolak pertanyaan yang tidak ingin dijawab. Sayang poci itu sudah kosong,
sisanya masih beberapa tetes, mirip derai air matanya. Arak yang getir, segetir
hatinya, sisa arak itu akhirnya bakal kering. Bagaimana dengan air mata?
"Pyaarrr", poci itu
jatuh di lantai dan pecah berantakan. Hati Sim Bik-kun rasanya lebih hancur
dibanding poci arak, sebab bukan hanya hatinya yang hancur, mimpinya juga telah
lebur.
Hong Si-nio diam mengawasinya.
Nasib kenapa menyiksanya
sedemikian rupa?
Sekarang dia sudah berubah
total, kenapa nasib masih juga menyiksanya?
Akhirnya Hong Si-nio menghela
napas ringan, "Tak peduli karena apa, rasanya tak perlu kau lari dari
rumah."
Mengawasi pecahan poci di
lantai, bola matanya yang semula indah berubah kosong, "Tidak
pantas?"
Hong Si-nio bersuara dalam
mulut.
Sim Bik-kun tertawa dingin,
"Kemarin kau masih memaksaku, menyuruh aku pergi."
"Kemarin malam? Mungkin
aku yang salah."
"Sejak kapan kau pernah
merasa bersalah?"
Hong Si-nio menunduk,
"Aku yang salah, karena aku tidak pernah memikirkan dirimu."
Yang dia pikir hanya seorang.
Semua yang ia lakukan hanya untuk menyenangkan dia, supaya dia bahagia.
Demi dia, ia rela mengorbankan
segalanya.
Tapi bagaimana dengan orang lain?
Kenapa orang lain rela berkorban demi dirinya? Bukankah orang itu punya hak
untuk mempertahankan hidup?
Dengan lirih Hong Si-nio
berkata, "Deritamu sudah cukup berat, pengorbananmu jauh lebih
banyak."
Baru sekarang ia sadar, dia
tidak punya hak memaksa orang lain menerima derita, kebahagiaan orang ia bangun
di atas penderitaan orang lain.
”Sekarang kau harus memikirkan
dirimu sendiri untuk bertahan hidup beberapa hari lagi, rasakan kehidupan yang
bahagia. Kau berbeda dengan aku, kalau keluyuran terus di luar, hidupmu jelas
akan runtuh." Inilah curahan tulus dari hati yang paling dalam.
Terhadap perempuan yang cantik
bagai kembang, bernasib setipis kertas, ia benar-benar merasa simpati dan
kasihan.
Tapi satu hal ia lupa, kasihan
itu kadang dipandang sebagai hinaan, seperti sindiran yang tajam, lebih gampang
melukai perasaan orang.
Mestinya Sim Bik-kun sudah
mempertahankan air matanya, mendadak bercucuran lagi, dengan kencang ia genggam
kedua tangan, lama kemudian baru bertanya perlahan, "Menurutmu aku harus
bagaimana?"
"Kurasa kau harus
pulang."
"Pulang? Pulang kemana?
Jelas kau tahu aku sudah tidak punya rumah."
"Rumah dibangun orang,
sejauh kau masih punya orang, kau masih bisa membangun kembali rumahmu."
"Orang? ... Aku masih
punya orang?"
"Selama ini kau masih
punya."
"Lian Shia-pik
maksudmu."
Hong Si-nio memanggut, katanya
dengan tertawa getir, "Selama ini aku salah menilainya, dia bukan orang
yang kuduga semula, bila kau mau kembali ke sampingnya, dia pasti akan menerima
dan bersikap baik kepadamu, kalian masih bisa membangun mahligai
keluarga."
Sim Bik-kun mendengarkan,
mendengar sampai terpesona. Di dunia ini mana ada perempuan yang mau sepanjang
hidup keluyuran di luar. Apakah dia sudah terbujuk?
"Bila kau rela,"
kata Hong Si-nio lebih jauh, "kapan saja boleh kuantar kau pulang, aku
malah rela memohon maaf kepadanya." Kali ini ia bicara jujur, bicara dari
hati yang paling dalam.
Sejauh Sim Bik-kun dapat
meraih kebahagiaan, apapun yang harus ia lakukan, ia rela dan senang hati melakukan.
Mendadak Sim Bik-kun malah
tertawa berderai. Tawanya makin keras terkial-kial.
Hong Si-nio melenggong. Tak
pernah terbayang reaksi Sim Bik-kun bisa segila ini. Sungguh ia tidak tahu apa
yang harus ia lakukan.
Mendadak derai tawa Sim
Bik-kun berubah menjadi jerit tangis, bukan tangis terisak seperti biasanya,
tapi tangis tergerung-gerung yang menyayat hati. Mirip anak kecil yang kaget
dan menangis ketakutan.
Tangisnya itu jelas tidak
normal, tangis seperti ini lebih mendekati histeris, kalau didiamkan bisa
menjadi gila.
Hong Si-nio mengertak gigi,
mendadak ia melayangkan tangan dan "Plak", dengan keras ia gampar
muka Sim Bik-kun.
Mendadak Sim Bik-kun
menghentikan tangisnya. Tidak hanya tangisnya berhenti, napas, aliran darah dan
pikirannya seperti berhenti. Sekujur badannya mengejang kaku, berdiri mematung
seperti boneka.
Hong Si-nio justru mengucurkan
air mata, "Kenapa kau begini? Apa aku salah omong?"
Sim Bik-kun tetap tidak
bergeming, sorot matanya kosong hampa, seperti menatapnya, seperti memandang
jauh ke depan.
"Mungkin aku salah omong,
aku ...."
"Kau tidak salah,"
teriak Sim Bik-kun, "dia memang bukan Congcu dari Thian Cong, tapi aku
lebih rela dia betul adalah Thian Cong."
"Kenapa?" seru Hong
Si-nio tertegun.
“Sebab seorang Thian Cong,
paling tidak adalah manusia."
"Memangnya dia bukan
manusia?"
Karena menahan rasa sedih,
muka Sim Bik-kun tampak mengkeret, "Selama ini aku anggap dia manusia,
peduli dia baik atau buruk, tetap orang yang dihormati, siapa tahu ternyata dia
tidak lebih hanya seorang budak."
"Budak? Budak
siapa?"
"Budak Thian Sun."
"Thian Sun?"
"Siau-yau-hou adalah
Thian-ci-cu, ahli warisnya tentu adalah Thian Sun."
"Walau Lian Shia-pik
bukan Thian Sun, tapi budak Thian Sun?" Hong Si-nio lebih kaget, di luar
dugaan, maka ia bertanya lagi, "Darimana kau tahu semua ini?"
"Sebab ... sebab sebagai
isterinya, semalam aku tidur di kamarnya," cerita ini mirip cemeti, begitu
ia bercerita berarti cemeti itu menghajar sekujur badannya. Perasaan ini bukan
hanya penderitaan, tapi juga kepedihan, kekecewaan ....
Hong Si-nio maklum akan
pergulatan perasaan ini. Dia tidak bertanya lebih lanjut, ia yakin Sim Bik-kun
akan membeberkan cerita panjang yang mengejutkan.
"Dia menyangka aku sudah
tidur, dia kira aku menghabiskan secawan obat yang dia berikan kepadaku."
"Kau tahu kalau itu obat
bius?"
"Aku tidak tahu, tapi
seteguk pun aku tidak meminumnya."
"Kenapa?"
"Aku tidak tahu kenapa,
yang pasti aku tidak suka minum obat, obat apapun aku tidak mau minum."
Hong Si-nio mengangguk. Karena
dia mengerti, seorang kalau sudah putus asa, maka ia akan berusaha menyiksa
diri sendiri, mana mungkin dia mau minum obat.
Banyak persoalan di dunia ini,
kadang kelihatan kebetulan, padahal kalau diperiksa dengan seksama, akan
ditemukan semua itu karena 'karma'. Entah 'sebab' apa yang ditanam, akan
menerima 'akibat' yang nyata. Kalau paham akan pengertian ini, kelak bila ingin
menanam tentu akan memilih 'bibit' yang baik.
Sim Bik-kun berkata, "Dia
tentu tak tahu kalau diam-diam aku membuang obatnya itu."
"Ya, pasti tidak menduga,
karena selama menjadi suami isteri kau tidak pernah berbohong padanya."
Itulah salah satu sebab.
"Waktu dia masuk kamar,
sebenarnya aku belum tidur."
"Tapi kau pura-pura sudah
lelap"
"Karena aku tidak ingin
bicara dengan dia." Inipun salah satu sebab.
"Dia tidak
mengganggumu?"
Sim Bik-kun menggeleng kepala,
"Dia hanya berdiri di pinggir ranjang mengawasiku, lama dia menjublek di
tempatnya, walau aku tidak berani membuka mata, namun aku rasakan keadaannya
amat aneh."
"Aneh?"
"Waktu dia mengawasiku,
aku merasa sekujur badanku makin dingin."
"Selanjutnya?"
”Kelihatannya aku memang sudah
tidur, padahal hatiku memikirkan banyak persoalan ...."
Yang dia pikir waktu itu bukan
Siau Cap-it Long.
Selama dua tahun belakangan
ini, bayangan Siau Cap-it Long hampir mempengaruhi seluruh jiwa raga, seluruh
jalan pikirannya.
Tapi kala itu yang dia pikir
justru adalah Lian Shia-pik. Sebab Lian Shia-pik kini berada di depan
ranjangnya, sebab antara dirinya dengan Lian Shia-pik masih meninggalkan
kenangan manis madu, kenangan asyik-masyuk. Betapapun Lian Shia-pik adalah pria
pertamanya.
Terbayang akan malam pertama
dahulu, malam itu ia pun pura-pura tidur di ranjang, dia juga berdiri di
ranjang seperti malam ini, mengawasinya, selama itu tak pernah menyentuh,
meraba atau memanggilnya, secara diam-diam menutup selimut di badannya.
Betapa tegang dan rasa malu
dirinya kala itu, sampai sekarang, kalau dibayangkan, akan mengundang rasa
tegang, jantung berdetak lebih kencang.
Sepanjang mereka hidup
bersama, belum pernah dia berbuat kasar, bicara keras, apalagi membentaknya.
Sejak awal sampai terakhir mereka berpisah, dia tetap adalah suami teladan,
suami pengertian yang lemah lembut.
Membayangkan sampai di sini,
hampir tak tahan dia akan membuka mata, lalu menikmati malam pertama yang ....
Pada saat itulah, mendadak ia
mendengar suara seorang bertepuk sekali di luar jendela. Lian Shia-pik segera
beranjak ke sana, membuka daun jendela, dengan menekan suara berkata, "Kau
terlambat, lekas masuk."
Orang di luar jendela tertawa
ringan, katanya menggoda, "Malam pertama pengantin baru, kau tidak kuatir
aku mengganggu kalian?"
Mendengar suara orang ini,
sekujur badan Sim Bik-kun mendadak mengejang dingin.
Itulah suara Hoa Ji-giok. Ia
kenal betul suara itu. Mimpi pun tak pernah terbayang dalam benaknya, Hoa
Ji-giok datang menemui Lian Shia-pik.
Bagaimana mungkin mereka punya
hubungan?
Sim Bik-kun berusaha
mengendalikan diri, memusatkan perhatian mendengar percakapan mereka.
Lian Shia-pik berkata,
"Aku tahu kau akan datang. Maka kucari akal membuatnya tidur."
"Dia tidak akan
terjaga?"
"Tidak mungkin, obat yang
kuberikan cukup membuatnya pulas sampai pagi."
Hoa Ji-giok sudah melompat
masuk lewat jendela, katanya dengan cekikikan geli, "Jerih payahmu tidak
ringan untuk mengajaknya balik, sekarang malah membuatnya tidur, apa tidak
menyia-nyiakan malam yang indah ini?"
"Aku tidak pergi
mencarinya, dia sendiri yang pulang."
"Tak heran orang bilang
kau ini punya peran yang lihai, bukan hanya orangnya pulang, hatinya pun
kembali kau genggam."
"Kalau aku hanya
menginginkan orangnya pulang, buat apa aku berjerih-payah."
Mendengar percakapan mereka,
sekujur badan Sim Bik-kun terasa dingin kaku, hati pun seperti tenggelam ke
dasar jurang.
"Dalam hal ini kau telah
melakukan perbuatan terbaik, maka Thian Sun ingin bicara langsung dengan
engkau."
"Kapan?"
"Waktu padang
rembulan."
"Dimana?"
"Cui-gwat-lo di
Se-ouw."
"Aku pasti datang tepat
waktu."
"Besok pagi kau harus
sudah berangkat, pergi bersamaku, kita pergi dulu ke Jiu-hoa-tong
menunggunya."
"Boleh."
"Kau tega meninggalkan
dia seorang di sini?"
"Dia sudah mau pulang
sendiri, yakin tidak akan pergi lagi."
"Kau yakin?"
"Sebab aku tahu, tiada
tempat lain dimana dia bisa pergi."
Hoa Ji-giok cekikikan geli,
"Kau memang serba pintar ...."
Itulah percakapan dua orang
yang didengar Sim Bik-kun semalam. Sampai sekarang, sorot matanya masih
diliputi rasa sedih dan derita.
Hong Si-nio maklum akan
kepedihannya.
Siapa pun orangnya, setelah sadar
dirinya dibohongi, dirinya dijual oleh suami sendiri, hatinya jelas takkan
merasa senang. Dengan berlinang air mata, Sim Bik-kun melanjutkan, "Kali
ini sebetulnya aku bertekad tidak akan meninggalkan dia lagi, aku ...
sesungguhnya tiada tempat kemana aku bisa pergi. Tapi setelah mendengar
percakapan mereka, sehari tinggal lebih lama di sana sudah tidak betah lagi,
kalau bertahan di sana, mungkin aku bisa gila dibuatnya."
"Maka begitu dia pergi,
kau pun minggat dari sana."
Sim Bik-kun manggut-manggut.
Bukan hanya tiada tempat
kemana dia bisa pergi, malah seorang famili, seorang teman pun ia tidak punya.
Maka secara diam-diam ia
berlari dan bersembunyi di hotel kecil ini, diam-diam menghabiskan air matanya.
Arak getir masuk perut berubah
menjadi air mata.
Mengawasi orang, tiba-tiba
Hong Si-nio tertawa, katanya lembut, "Sekarang aku ingat satu hal."
"Hal apa?" tak tahan
Sim Bik-kun bertanya.
”Sepertinya kau dan aku belum
pernah minum arak bersama."
"Ya, belum pernah."
"Apa salahnya hari ini
kita minum bersama sampai mabuk?"
Tak menunggu reaksi Sim
Bik-kun, mendadak ia berlari keluar seraya berteriak, "Ambilkan arak,
botol besar ukuran 20 kati."
Betapapun baik kwalitas arak,
dalam kondisi mereka sekarang, tetap menjadi arak getir. Demikian dalam angan-angan
Sim Bik-kun, kehidupan ini memangnya mirip secawan arak getir. Hong Si-nio
sudah menghabiskan dua cawan arak, cawan besar. Tapi cawan Sim Bik-kun masih
penuh, setetes pun belum dimium.
"Kau tidak minum?"
"Aku tidak ingin
mabuk."
Hong Si-nio mengkerut alis,
"Kapan hidup ini pernah mabuk, kenapa kau tidak ingin mabuk?"
"Sebab aku sudah mengerti
maksudmu."
"Aku punya maksud
apa?"
"Kau ingin melolohku
minum sampai mabuk, lalu meninggalkan aku di sini, kau sendiri akan pergi ke
Se-ouw."
Hong Si-nio menyengir lebar,
tawanya kecut.
"Aku tahu kau pasti akan
menyusul Lian Shia-pik, pergi mencari Thian Sun, kesempatan baik kali ini
takkan kau sia-siakan,"
Hong Si-nio tertawa getir,
"Awalnya kau bukan orang yang suka curiga, kenapa sekarang berubah?"
"Karena aku dipaksa harus
berubah."
"Memangnya kau juga ingin
mencari mereka?"
"Memangnya aku tidak
boleh pergi?"
"Kau tidak boleh."
"Kenapa?"
"Karena bila kedatangan
kita diketahui mereka, jangan harap kau bisa hidup lagi."
"Maka kau melarang aku
pergi?"
"Sebab kau tidak perlu
berkorban lagi."
"Tapi kau boleh pergi,
kau siap mati."
Sejenak Hong Si-nio diam, lalu
bertanya, "Tahukah kau, aku ini orang macam apa?"
"Bukan saja cantik
rupawan, cerdik pandai, jiwamu lapang dada, terbuka, setua ini usiamu, hidupmu
lebih senang, lebih gembira dibanding orang lain, jauh lebih bahagia dibanding
aku."
Hong Si-nio tertawa lagi,
tawanya membayangkan betapa kosong hatinya, betapa sedih dan merana.
Cukup lama baru membuka suara,
"Aku ini anak sebatang-kara, sejak kecil tidak punya rumah tiada keluarga
tanpa famili, anak lain masih mengompol di pelukan ibunya, aku sudah
terlunta-lunta di jalanan, kehangatan keluarga hakikatnya tidak pernah aku
rasakan barang sehari saja.
"Waktu usiaku belasan
tahun, aku sudah pandai naik kuda yang berlari paling kencang, minum arak
paling keras, meski dari kwalitas paling rendah, bermain golok yang paling
cepat, berpakaian baju paling baru dan bagus, berkenalan dengan teman yang
punya kuasa.
"Sebab aku mengerti,
perempuan macamku ini, kalau mau berkecimpung di Kangouw, maka harus banyak
belajar cara bagaimana melindungi diri sendiri, sedikit meleng atau kendor
kewaspadaan, mungkin sudah lama aku 'dimakan' oleh orang, sisa tulang pun susah
dicari lagi.”
"Banyak orang menganggap
aku hidup senang, karena aku sudah belajar menelan air mata ke dalam perut.
"Tahun ini usiaku sudah
tiga puluh lima, masih seperti dua puluh tahun lalu, tiada rumah, tanpa famili,
tiap datang tahun baru, seorang diri diam-diam aku menyembunyikan diri.
"Sebab tidak kubiarkan
orang lain tahu, melihat aku mengucurkan air mata." Sampai di sini ia
mengangkat kepala, menatap Sim Bik-kun, "Kau juga perempuan, kau tahu apa
yang diharapkan, didambakan seorang wanita."
Sim Bik-kun menundukkan
kepala.
"Keluarga bahagia, anak
yang patuh, suami yang pengertian, kehidupan nan tentram ... semua itu adalah
harapan dan dambaan setiap perempuan, sebab yang mereka inginkan bukan impian
muluk, bukan barang mewah, tapi kebutuhan tiap keluarga."
"Satu pun aku tidak punya
apa-apa."
Hong Si-nio menggengam tangan
Sim Bik-kun, "Coba kau pikir, perempuan seperti aku ini, apa alasanku
untuk mempertahankan hidup?"
Sim Bik-kun tertawa, sama-sama
terawa getir, "Dan aku? Apa alasanku mempertahankan hidup?"
"Paling tidak ada satu
alasan."
"Siau Cap-it Long?"
Hong Si-nio manggut,
"Paling tidak, ada orang yang mencintaimu dan kau juga mencintainya."
Berdasar alasan ini, cukup
bagi seorang perempuan untuk mempertahankan hidup.
"Maka kau tidak boleh
mati, kau tidak boleh pergi." Hong Si-nio berdiri, "Bila bertemu dia,
pasti kusuruh dia ke tempat ini mencarimu."
"Kau kira aku akan
menunggunya di sini?"
"Kau harus menunggunya di
sini."
"Kalau kau menjadi aku,
kau mau menunggu?"
"Kalau ada seorang yang
kucintai dan mencintaiku, berapa lama aku harus menunggu, aku akan selalu
menunggunya."
Mengawasi mata orang yang
berlinang air mata, Sim Bik-kun mendelu dibuatnya, "Kalau begitu, yang
harus menunggu dia di sini adalah kau, bukan aku."
Kata-katanya sungguh mirip
sebatang cemeti. Hong Si-nio merasakan sekujur badannya mengejang, cemeti ini
tepat menghujam ke hulu hatinya, tempat yang paling lemah di tubuhnya.
Sim Bik-kun berkata kalem,
"Sekarang aku bukan lagi perempuan yang lemah, perempuan yang tidak tahu
apa-apa, maka banyak persoalan yang kau anggap aku tidak bisa mengerti, semua
sudah kupahami."
"Kau ...." teriak
Hong Si-nio.
Sim Bik-kun menukas ucapannya,
"Maka kalau aku punya alasan untuk hidup, demikian pula engkau, kau boleh
pergi menyerempet bahaya, kenapa aku tidak?" ucapannya bernada tegas penuh
tekad, meski bernada sedih, "Kelahiranmu berbeda dengan kelahiranku, tapi
sekarang, nasibmu sama dengan nasibku, kenapa kau menyangkal akan hal
ini?"
Dengan tajam ia mengawasi Hong
Si-nio, sorot matanya penuh pengertian dan simpati. Hong Si-nio juga tengah
mengawasinya. Mereka berdua saling tatap, saling pandang ... dua cewek yang
pasti berbeda, seperti dibelenggu oleh tambang yang sama ....
Apakah nasib itu? Bukankah
nasib merupakan sebuah rantai gembok yang tidak kelihatan.
Apakah kasih? Apakah simpati?
Ya, mirip sebuah rantai gembok yang tidak kelihatan.
XXI. PERAN SI TUKANG PERAHU
Kota Hang-ciu
Setelah keluar dari kota
Yong-kim-bun, melewati Lam-ping-am-ciong, perahu terus didayung menuju ke
Sam-tham-ing-gwat, waktu mereka tiba di Se-ling-kio, hari sudah mendekati
senja.
Riak lembut di permukaan danau
membayangi kemilau cahaya senja, dipandang dari kejauhan bagai kemilau permata
bertaburan.
Seorang nelayan dengan topi
hitam menutupi separoh wajah, tengah berjongkok di ujung jembatan menjulurkan
joran memancing ikan.
Dari perahu pesiar di kejauhan
sana, berkumandang alunan nyanyian merdu yang mengasyikan.
"Kau pernah ke
sini?" tanya Hong Si-nio.
Sim Bik-kun mengangguk, bola
matanya indah, membayangkan selintas kenangan nan sendu.
Dulu bukankah dia pesiar di
danau ini bersama Lian Shia-pik.
"Kau tahu dimana letak
Cui-gwat-lo?"
Sim Bik-kun menggeleng kepala.
Pemilik perahu yang mereka
tumpangi adalah ibu beranak yang juga menjadi tukang perahu, sang putri tampak
serba kasar dan kuat, rambut tak tersisir, pakaian pun carut-marut, namun masih
nampak gerak-geriknya yang gemulai.
Mendadak ia mengulur tangan
menunjuk ke depan, "Bukankah Cui-gwat-lo ada di sana?"
Yang ditunjuk adalah sebuah
perahu pesiar yang berada jauh di tengah danau.
"Apakah Cui-gwat-lo
adalah perahu pesiar itu?" tanya Hong Si-nio.
Giliran tukang perahu
menjawab, "Di danau ini ada tiga buah perahu pesiar paling besar, yang
pertama bernama Put-kik-wan, yang kedua bernama Su-hoat-hong dan yang ketiga
adalah Cui-gwat-lo."
"Berapa besar perahu
pesiar itu," tanya Hong Si-nio.
"Wah, besar sekali,"
sahut tukang perahu atau sang ibu, "di atas perahu sekaligus bisa
disiapkan belasan meja perjamuan." Setelah menarik napas dengan nada
kepincut ia meneruskan menutur, "Entah kapan aku bisa memiliki perahu
pesiar seperti itu, tidak sia-sia seumur hidup aku bekerja sebagai tukang
perahu."
Ia mengawasi sepasang jari
tangannya, tangan perempuan umumnya halus runcing, tangannya justru kasar
berkulit tebal. Maklum perempuan yang mencari nafkah di atas air, mereka
bekerja tak kenal lelah, tidak ringan tak kenal berat, sepanjang hari bekerja,
namun hasilnya tidak cukup untuk hidup satu hari, betapa lara dan rudin hidup
mereka dapatlah dibayangkan.
Mengawasi tangan orang,
mendadak Sim Bik-kun bertanya, "Biasanya sehari kalian bisa dapat berapa
duit?"
Tukang perahu menyengir getir,
"Mana bisa tiap hari dapat duit, umpama ada penumpang yang naik perahu,
paling dapat upah belasan keping uang tembaga, memang di musim semi lebih
mending ...."
Bicara tentang musim semi,
matanya tampak bersinar. Musim semi adalah hari-hari panjang yang diharapkan
tiap nelayan di danau ini. Padahal saat itu pertengahan musim rontok.
Mendadak Sim Bik-kun tertawa
lebar, "Apa kalian tidak ingin pesiar ke kota barang beberapa hari?
Kecuali ongkos perahu ini, nanti kutambah lima tahil perak?"
* * * * *
Setelah magrib.
Di perahu itu tinggal dua
orang tukang perahu, yaitu seorang ibu dan seorang putrinya.
Lalu Hong Si-nio dan Sim
Bik-kun kemana?
Bukankah mereka tadi menumpang
perahu ini?
Sim Bik-kun sekarang adalah
seorang ibu.
Seorang ibu biasanya jarang
menarik perhatian orang, ia tidak suka ada orang mengenali dirinya.
Maka Hong Si-nio pun menjadi
putri tukang perahu.
Entah bagaimana mereka
mempersiapkan diri, yang pasti wajah mereka sudah berubah.
"Kau masih
mengenalku?" tanya Sim Bik-kun.
Hong Si-nio tertawa,
"Sungguh tak nyana, ternyata kau pandai tata rias."
"Tata riasku paling hanya
bisa mengelabui mata orang di malam hari, sementara masih boleh
diandalkan."
"Waktu bulan purnama,
bukankah hari sudah malam?"
"Makanya kalau siang
jangan kita muncul di depan umum."
"Apa kau tidak mendengar
orang bilang Hong Si-nio adalah kucing malam?"
Malam ini tanggal tiga belas,
masih dua hari baru terang bulan.
Rembulan malam ini belum
bundar, belum bulat, namun cahayanya yang kemilau di permukaan air menambah
indahnya pemandangan malam di danau.
"Menurut pendapatmu,
orang yang bernama Thian Sun, esok lusa mungkin tidak datang?"
"Pasti datang, aku malah
kuatir kalau dia datang, kita tidak bisa mengenalinya."
"Bila dia datang, kita
pasti dapat mengenalinya."
"Kau yakin?"
"Paling sedikit kita
punya tiga sumber."
"Coba jelaskan."
"Yang pertama, kita tahu
orang itu berperawakan kecil kurus, selalu membawa anjing."
"Kedua, kita tahu dia
akan datang ke Cui-gwat-lo."
"Ketiga, kita tahu kalau
Lian Shia-pik akan bertemu dia."
"Walau kita tidak
mengenalinya, tapi kita bisa melihat anjing, mengenal Cui-gwat-lo, juga
mengenal Lian Shia-pik."
Hong Si-nio benar-benar penuh
keyakinan, sayang ia melupakan satu hal.
Umpama kau betemu Thian Sun,
memangnya apa yang bisa kau lakukan?
Bulan merambat kian tinggi,
meski musim rontok telah pertengahan, air danau terasa dingin.
Duduk di haluan perahu, Hong
Si-nio melepas sepatu kain hijaunya, dengan sepasang kakinya yang telanjang
bermain air.
Sim Bik-kun tengah
mengawasinya, menatap sepasang kakinya, mendadak ia berkata, "Kabarnya
sekali tendang kau pernah merobohkan Poan Thian-hun dari Ki-lian-san."
Bersambung