Bentrok Para Pendekar Jilid 13

Baca Cersil Mandarin Online: Bentrok Para Pendekar Jilid 13
Jilid 13

Toh Lin tetap di samping mengawasi dengan mendelong, katanya tiba-tiba, "Sekarang kita turun tangan?"

"Kalau tidak sekarang turun tangan, lain kali tiada kesempatan lagi."

Toh Lin tampak ragu, akhirnya mengambil sikap, "Aku belum pernah membunuh orang, kali ini biar aku yang turun tangan."

Hou Ing mengawasinya, "Kau tega turun tangan?"

Toh Lin menggigit bibir sambil memanggut, dari pinggir laras sepatunya ia juga mengeluarkan sebilah belati, bentuk dan panjangnya sama dengan milik Hou Ing.

Sorot mata Hong Si-nio menampilkan rasa kecewa dan sedih. Selama ini ia berpendapat Toh Lin adalah pemuda jujur polos, baru sekarang ia tahu pandangannya ternyata keliru.

Toh Lin menghindar beradu pandang dengan Hong Si-nio, melirik pun tidak berani.

Hou Ing berkomentar, "Waktu membunuh orang, kau harus memperhatikan korbanmu, supaya sasaran tepat, adakalanya sang korban harus sekali tusuk tamat riwayatnya. Atau akibatnya kau sendiri bisa mampus di tangannya."

"Lain kali akan selalu kuingat," sahut Toh Lin.

"Membunuh orang juga memerlukan ketrampilan, asal kau selalu ingat omonganku, mungkin kelak bisa menjadi pembunuh kelas wahid."

Siapa pun takkan pernah menduga, pemuda yang satu ini ternyata adalah pembunuh yang lihai di bidangnya.

Dengan tertawa ia menyambung, "Anggaplah cewek ini bersikap baik terhadap kita selama ini, maka jangan kau menyiksanya, incarlah sasaran tulang kelima di antara celah sebelah kiri rusuknya, tempat itu cukup sekali tusuk, jiwa pun melayang."

"Baiklah, aku tahu," sahut Toh Lin. Perlahan ia maju mendekat, jari-jari yang memegang gagang belati tampak memucat, otot hijau menonjol keluar, bola matanya memerah seperti berdarah.

Hou Ing tersenyum sambil menggendong tangan, bagi anggapannya, membunuh orang memang adegan yang enak dipandang.

Toh Lin mengertak gigi, mendadak belati di tangannya bergerak.

Gerakannya cepat dan tepat, sekali serang belatinya tepat menusuk di celah tulang rusuk keempat dan kelima di dada Hou Ing. Yang dia bunuh bukan Hong Si-nio, tapi Hou Ing! Senyum tawa di muka Hou Ing seketika membeku, bola matanya melotot seperti hendak mencelat keluar, dengan kaget menatapnya tajam, sorot matanya penuh rasa kaget, heran, ngeri dan benci.

Tak urung Toh Lin merinding oleh tatapan mata orang, tangan menjadi lemas, gagang belatinya pun ia lepas.

Pada detik itulah, sinar kilat berkelebat, belati di tangan Hou Ing secepat kilat juga menusuk di tengah tulang rusuknya.

Hou Ing menyeringai sadis, "Yang kuajarkan kepadamu adalah tusukan yang mematikan, sayang kau lupa mencabut belatimu, kepandaianmu membunuh orang memang harus belajar lagi."

Toh Lin mengertak gigi, secepat kilat mendadak ia turun tangan lagi, kali ini ia cabut belati di rusuk orang, "Sekarang aku sudah belajar lengkap."

Begitu darah menyembur keluar, muka Hou Ing tampak mengkerut menahan sakit, mulutnya megap-megap seperti ingin bicara. Tapi sepatah kata pun tidak kuasa bicara, perlahan badannya roboh terkapar di lantai, kali ini memang sekali tusuk jiwa melayang.

Mengawasi badan rekannya roboh binasa, mendadak Toh Lin membungkuk badan terbatuk-batuk. Ujung belati yang tajam, dingin dan keras tetap menancap di celah tulang rusuknya, badannya terasa menggigil.

Toh Lin belum roboh, karena belati masih menancap di dadanya. Meski berhasil membalas menusuk dada orang, Hou Ing sendiri kehabisan tenaga, tak mampu mencabut belati di dada Toh Lin.

Ada kalanya hal itu bisa terjadi, kalau sekali tusuk kau tak mampu membunuhnya mati, kemungkinan jiwamu sendiri mampus di tangannya malah.

Sejauh belati masih melekat di badanmu, jiwamu takkan segera melayang. Membunuh orang memang diperlukan ilmu yang tinggi.

Toh Lin masih terus terbatuk, makin lama batuknya makin keras. Tusukan Hou Ing memang kurang tenaga, walau tidak tepat mengenai jantung, tapi melukai paru-parunya..

Hong Si-nio hanya bisa mengawasinya. Pemuda ini memang berhati jujur dan polos. Penilaiannya tidak keliru.

Hong Si-nio tidak mengucurkan darah, tapi mengucurkan air mata.

Sekuatnya Toh Lin berusaha mengendalikan batuknya, lalu dengan napas tersengal-sengal beringsut menghampirinya, berusaha membuka tutukan Hiat-tonya. Kejap lain ia tak kuat berdiri, lalu jatuh di kursi, tenaga terakhir untuk bertahan pun sudah tak mampu dikerahkan lagi. Keringat sebesar kacang menetes membasahi selebar mukanya.

Hong Si-nio merobek bagian bawah gaunnya, dengan air dingin di baskom pojokan sana ia basahi kain itu untuk mengompres jidatnya.

Bujuknya lembut, "Untung tusukannya ini tidak tepat dan kurang dalam, bertahanlah untuk beberapa kejap, setelah napasmu normal dan rasa sakit jauh berkurang, nanti kubawa kau pergi berobat." Lalu dengan tawa yang dipaksakan menyambung, "Aku kenal seorang tabib pandai, dia pasti mampu menyembuhkan luka-lukamu."

Toh Lin juga mengunjuk senyum dipaksakan. Ia sendiri maklum dirinya takkan kuat bertahan lama, tapi banyak omongan yang ingin ia bicarakan.

Hanya arak yang bisa mendukung tekadnya, asal dapat bertahan sampai isi hatinya ditumpahkan, cukup puaslah hatinya.

"Beri aku arak, di tubuhku ada botol obat...."

Puyer itu berada dalam botol kecil yang terbuat dari kayu, bukan saja mahal dan antik, di tengah botol ditempeli kertas yang berlulis "Hun-lam Tiam-jong". Hun-lam-pek-yo adalah obat luka buatan Tiam-jong-bun, terkenal di kolong langit, obat mujarab yang mendapat penghargaan kaum Bulim.

Sayangnya betapapun mahal, hebat mujarab obat luka itu, takkan mampu menyembuhkan luka yang tepat mengenai sasaran, luka yang mematikan.

Waktu melancarkan serangan, tenaga Hou Ing memang sudah terkuras hampir habis, betapapun dia adalah ahli di bidangnya.

Hong Si-nio membanting kaki, serunya gelisah, "Kenapa semua ini dia lakukan? Kenapa dia ingin membunuhku?"

Toh Lin tertawa getir, "Kami ke Bu-kau-san-ceng dengan tujuan membunuhmu."

Hong Si-nio tertegun. Baru sekarang ia sadar, kenapa mereka rela menjadi pengiringnya.

"Sungguh aku tidak mengerti kenapa kau justru mencari kami. Waktu itu aku hampir tidak percaya kalau kau benar-benar adalah Hong Si-nio."

"Kenapa waktu itu kalian tidak turun tangan?"

"Hou Ing tidak pernah bertindak kalau tidak yakin pasti berhasil."

Kata Toh Lin lebih jauh, "Maka dia tidak pernah gagal membunuh orang." Sekaligus ia menghabiskan tiga cawan arak, sebotol obat ia tenggak seluruhnya didorong arak secawan, roman mukanya yang pucat mulai kelihatan bersemu merah, "Dalam usia sembilan belas, dia sudah terjebak sebagai pembunuh bayaran. Di antara sekian banyak anggota Thian Cong, sulit dicari yang mampu mengungguli dia."

Toh Lin tertawa getir, lalu menyambung pula, "Kali ini aku diperintah ikut dia, maksudnya supaya aku belajar kepadanya."

"Thian Cong?" belum pernah Hong Si-nio mendengar nama ini. "Yang memerintah kalian membunuhku adalah Thian Cong?"

"Betul."

"Dua huruf itu kedengarannya bukan nama seseorang."

"Thian Cong memang bukan nama orang, tapi milik orang banyak, nama sebuah organisasi gelap, kumpulan rahasia yang menakutkan." Sorot mata Toh Lin menampilkana rasa ngeri, "Aku sendiri tidak tahu berapa jumlah anggota mereka."

"Apakah Thian Cong didirikan oleh Siau-yau-hou?"

"Cosu atau cikal bakal Thian Cong she Thian."

Bukankah Siau-yau-hou selalu senang menyebut dirinya Thian-kongcu?

Benderang mata Hong Si-nio, paling tidak sekarang ia bisa membuktikan bahwa Siau Cap-it Long tidak bohong, Siau-yau-hou memang mengendalikan sebuah organisasi rahasia yang menakutkan. Hoa Ji-giok, Auyang-hengte adalah anggota organisasi itu.

Setelah Siau-yau-hou mati, siapa pewaris tahta pimpinan organisasi rahasia itu?

Apakah Lian Shia-pik? Soal ini adalah titik terpenting. Hong Si-nio berkeputusan untuk mencari tahu sampai jelas, namun ia insaf keadaan sekarang tidak bisa memberi tekanan lebih berat kepada Toh Lin, mengingat kondisinya yang sudah kempas-kempis. Setelah merenung sesaat ia bertanya dengan cara lembut, "Kau juga anggota Thian Cong?"

"Aku juga anggota."

"Sudah berapa lama kau menjadi anggota?"

"Belum lama, belum genap sepuluh bulan."

"Apakah tiap orang boleh menjadi anggota?"

"Tidak boleh," ucap Toh Lin, "untuk menjadi anggota Thian,. harus di bawah perantara seorang Hiang-cu, itupun harus diuji dan diluluskan oleh Thian Cong sendiri."

"Siapa Hiang-cu yang menjadi perantaramu?"

"Pamanku. Mantan Ciangbunjin Tiam-jong-pay yang bernama Cia Thian-ciok."

Hal ini kembali membuktikan bahwa omongan Siau Cap-it Long benar, Cia Thian-ciok adalah anggota organisasi rahasia itu, maka Siau Cap-it Long membikin buta matanya. Dari sini dapat disimpulkan pula bahwa apa yang dikatakan Pin-pin juga tidak salah. Betapapun sedikit terhibur hati Hong Si-nio, sedikit lega. Setelah mendengar uraian Lian Shia-pik, tak urung hatinya ikut mencurigai Siau Cap-it Long, maka seorang kalau dipaksa harus mencurigai pujaan hatinya, sungguh merupakan hal yang membuatnya sengsara.

"Kecuali Cia Thian-ciok, masih berapa banyak Hiang-cu dalam Thian Cong?"

"Konon ada tiga puluh lima orang, tiga puluh enam orang Thian-lo."

"Congcu hanya seorang?"

"Ya, hanya seorang."

Hong Si-nio berusaha mengendalikan gejolak perasaannya, “Kau pernah bertemu dia?”

"Pernah dua kali."

Jantung Hong Si-nio berdegup lebih kencang, rahasia ini sudah hamnpir bisa diungkap, tanpa sebab roman mukanya memerah.

"Pertama, waktu aku masuk dan diangkat menjadi anggota. Cia-susioklah yang membawaku bertemu beliau."

"Yang kedua?"

"Setelah mata Cia-susiok buta, kedudukan atau jabatannya digantikan oleh Hoa-hiangcu."

"Hoa Ji-giok maksudmu?"

Toh Lin mengangguk.

"Huh," Hong Si-nio menghembuskan napas dari mulut. Hoa Ji-giok ternyata juga orang Thian Cong. Tapi di antara mayat-mayat di Pat-sian-cun tidak tampak adanya Hoa Ji-giok.

"Untuk yang kedua kali, Hoa-hiangculah yang mengajakku menemui beliau."

"Dimana tempatnya?"

"Pat-sian-cun."

Kembali Hong Si-nio menghembuskan napas dari mulut. Peritiwa ini mirip sebuah gambar lukisan yang telah dirobek-robek, sekarang satu per satu mulai dibeberkan dan disatukan kembali.

"Hou Ing sengaja mengajakmu ke Pat-sian-cun, awalnya mungkin akan turun tangan di sana."

"Kalian juga tidak tahu penstiwa yang terjadi di sana?"

Toh Lin tertawa getir, "Tidak banyak yang kuketahui, di dalam Thian Cong, aku hanya anggota biasa, anggota yang tidak terpandang sama sekali, mungkin dibanding anjing yang dipelihara Congcu masih lebih rendah," tutur Toh Lin amat menyentuh, tawanya begitu pilu dan getir.

Usianya masih muda. Seorang pemuda paling tidak suka diremehkan, dihina apalagi direndahkan, hal itu bisa dirasakan, lebih baik mati daripada hidup tidak terpandang.

Hong Si-nio bertanya lagi, "Apakah Congcu memelihara anjing?"

"Dua kali aku bertemu dia, dua kali aku melihat dia membawa anjing."

“Anjingnya jenis apa?"

"Anjing itu kecil saja, tampangnya tidak galak, kelihatan Congcu amat menyayangi, beberapa kali bicara selalu menunduk mengelus kepala anjingnya."

Seorang yang menjadi pemimpin besar organisasi yang punya anggota banyak dan tersebar luas di seluruh pelosok negeri, jago silat lihai yang banyak membunuh dan berbuat kejahatan di Kang-ouw, ternyata seorang yang gemar memelihara anjing.

Hong Si-nio menghela napas. Mungkin hati manusia paling susah dipahami dibanding segala urusan tetek-bengek yang pernah terjadi di dunia.

Kini ia bertanya pada titik persoalan yang paling penting, "Siapakah dia sebenarnya?"

Setelah melontarkan pertanyaan, jantungnya mendadak berdetak keras.

"Tidak tahu."

Jawaban Toh Lin ini sungguh membuatnya amat kecewa. Meski rasa hatinya amat penasaran, namun ia belum putus asa, "Tadi kau bilang pernah melihatnya, memangnya bagaimana bentuk wajah dan perawakannya kau tidak melihatnya?"

"Aku tidak bisa melihatnya."

Hong Si-nio menghela napas, katanya dengan tertawa getir, "Kau sudah menjadi anggota Thian Cong, apakah waktu dia menerima dirimu mengenakan kedok?"

"Bukan hanya mengenakan kedok, jari-jari tangannya memakai sarung tangan yang terbuat dari kulit ikan hiu."

”Kenapa tangannya pun tak boleh dilihat orang? Apakah karena dia orang luar biasa?"

"Dia memang orang luar biasa dan aneh, gayanya waktu berjalan, sikapnya waktu bicara kelihatan berbeda dengan manusia umumnya."

"Dalam hal apa tidak sama?"

”Tidak bisa kujelaskan, tapi dimana dan kapan pun aku melihatnya, aku pasti dapat mengenalinya."

Menyala bola mata Hong Si-nio, tanyanya segera, "Kau pernah melihat atau bertemu dengan Lian Shia-pik?"

"Aku pernah melihatnya."

"Apakah dia Lian Shia-pik?"

"Pasti bukan."

"Muka atau perawakannya saja kau tidak pernah melihatnya, cara bagaimana kau berani memastikan kalau dia bukan Lian Shia-pik?"

"Dia seorang yang kurus kecil, Lian Shia-pik bukan laki-laki gede, dibanding dia perawakannya jauh lebih tinggi, dalam hal ini dia tidak mungkin berpura-pura."

Mulut Hong Si-nio serasa dibungkam, namun hatinya penasaran, teori yang dianggapnya pas, tak mungkin dipecahkan, mendadak seluruhnya batal, betpapun hatinya amat jengkel, namun ia harus menelan penasaran.

Wajah Toh Lin kini sudah memerah lebih segar, napasnya sudah biasa, kadang terbatuk beberapa kali, kalau belati tidak menancap di dadanya, orang takkan tahu kalau dia seorang yang luka parah, terutama sorot matanya, tidak mirip orang sakit.

Karena bola matanya sekarang juga menyala, rasanya lebih terang dibanding keadaan biasa, karena dia sedang mengawasi Hong Si-nio.

Hong Si-nio mengunjuk tawa, meski dipaksakan, katanya lembut, "Apapun yang terjadi, lukamu tidak terlalu parah, setelah makan obat, lekas sekali pasti sembuh."

Toh Lin memanggut, wajahnya mengulum senyum senang, "Kuharap demikian."

Usianya masih muda, tidak irigin mati selekas ini, sekarang terasa kematian makin menjauh, timbul sinar harapan untuk mempertahankan hidup. Dengan nanar ia mengawasi Hong Si-nio, mukanya makin merah, mendadak ia berkata, "Kalau setelah ini aku masih bisa bertahan hidup, setelah lukaku sembuh, kau masih memerlukan tenagaku sebagai pendampingmu tidak?"

"Tentu aku butuh bantuanmu."

Beberapa kali bibirnya bergerak, akhirnya ia memberanikan diri berkata, "Mau tidak aku menjadi pendampingmu untuk selamanya?"

Hong Si-nio manggut-manggut, hatinya pilu seperti ditusuk sembilu, jelas ia maklum isi hati pemuda ini terhadap dirinya. Dengan mempertaruhkan jiwa, orang berusaha menolong dirinya, kecuali tidak ingin diremehkan dan direndahkan oleh pihak Thian Cong, yang terpenting mungkin karena ia jatuh hati terhadap dirinya.

Kenapa bisa timbul rasa cinta terhadapnya? Siapa pun tak bisa menjelaskan. Perasaan manusia, memangnya siapa bisa menyelaminya?

Air mata Hong Si-nio belum meleleh karena ia terus berusaha mempertahankannya, bukan lantaran nasib pemuda ini ia merasa sedih dan pilu, dia sedih karena dirinya sendiri, sadar bahwa selama ini ia bersikap kurang kompromi terhadap pemuda ini, bahwasanya boleh dikata tidak ambil di hati, tidak ada perhatian sama sekali, tapi pemuda ini rela berkorban demi membela dirinya.

Bagaimana dengan Siau Cap-it Long.

Demi Siau Cap-it Long pengorbanan apa yang tidak pernah ia lakukan, sekarang apa pula yang dia peroleh.

Cinta memang tidak bisa dipaksakan, juga tidak bisa ditukar, cinta memangnya pengorbanan tanpa syarat.

Hong Si-nio paham akan pengertian ini, melihat bagaimana perasaan Toh Lin terhadap dirinya, kini ia paham lebih banyak, punya pengertian lebih mendalam.

Satu hal yang ia tidak mengerti, kenapa nasib selalu mempermainkan orang? Ada kalanya memaksa seorang untuk mencintai seorang yang tidak patut ia cintai?

Toh Lin termasuk seorang yang dipermainkan oleh nasib, patut dikasihani. Memangnya dirinya tidak merasakan punya nasib yang sama?

Untung Toh Lin tidak bisa melihat jalan pikirannya, dengan tersenyum tenteram memejam, kelihatan amat puas dan tenteram, "Kita bertemu belum lama, aku tahu kau takkan menaruh diriku dalam hati, tapi kelak ...." Senyumannya makin mekar, "Kelak hari masih panjang, masih panjang ...." Suaranya makin lirih, makin le-mas akhirnya ia sendiri tidak bisa mendengarnya.

Kini roman mukanya berubah amat cepat, dari merah berubah pucat pias, namun senyum masih menghias wajahnya.

Bagaimanapun akhirnya dia meninggal sambil tersenyum.

Berapa banyak orang bisa tersenyum setenteram dia waktu meninggal dunia?

XX. MIMPI HILANG CINTA PUN LENYAP

Matahari memancarkan cahayanya yang cemerlang.

Hong Si-nio berjalan di bawah terik matahari, air matanya Sudan kering. Dia bersumpah sejak kini takkan mengucurkan air mata.

Sekarang seluruh analisa dan teorinya sudah tumbang, tapi ia bersumpah akan menggusur 'orang itu', membongkar muslihatnya.

Kini ia sudah tahu, 'orang itu' adalah seorang yang suka memelihara anjing.

Seekor anjing berlari-lari kecil menyusuri jalan raya di bawah bayang-bayang payon rumah, langkahnya gontai seperti kehausan. Entah kenapa Hong Si-nio membuntuti anjing itu. Jelas ia mengerti, anjing ini pasti bukan anjing yang dipelihara 'orang itu', tapi ia kehabisan akal, tak tahu kemana harus berjalan, kemana pergi mencari berita supaya bisa menemukan 'orang itu', apalagi bisa menemukan Siau Cap-it Long.

Anehnya, makin terik sinar marahari, orang yang berjalan di bawah cahaya matahari akan lebih cepat merasa lelah.

Kini Hong Si-nio tidak mabuk lagi, setelah pengalaman sehari semalam itu, sekarang justru saat ia merasa paling penat. Ingin tidur tak bisa tidur, dengan mata terbelalak ia rebah di ranjang, ingin tidur tidak bisa tidur, rasanya sudah sering ia alami.

Sebatangkara, kesepian, tidak bisa tidur, resah dan sebal ... semua itu adalah perasaan orang yang susah ditahan, tapi seorang gelandangan, orang yang biasa keluyuran di luar, derita seperti itu sudah layak dirasakan.

Memangnya sampai kapan mempertahankannya?

Sampai kapan baru bisa tenteram?

Hong Si-nio tidak berani memikirkan.

Suami yang pengertian, anak yang patuh, keluarga bahagia, kehidupan nan tentram....

Semua itu adalah dambaan setiap perempuan, dahulu ia pernah membayangkannya, tapi sekarang sudah lama ia tidak pernah mengharapkannya lagi, sebab ia merasakan semua dambaan itu seiring bertambahnya usia, jarak itu makin jauh dan jauh ....

Jalan panjang ini makin lebar, tapi orang yang berlalu lalang makin jarang, tanpa terasa langkah Hong Si-nio menjurus keluar dari keramaian, terus menuju keluar kota, di jalanan yang sepi di depan sana terdapat sebuah hotel kecil, pintunya kecil, temboknya rendah, di pekarangan dalam ditaruh beberapa pot bunga seruni yang lagi mekar, penataannya mirip keluarga kecil dari kalangan kelas rendah.

Kalau di depan pintu tidak ditempel papan yang dicat beberapa huruf merah, hakikatnya tempat ini tidak mirip sebuah hotel.

Hotel yang tidak mirip hotel, betapapun tetap hotel, apalagi bagi seorang petualang yang tidak punya rumah, bolehlah dianggap sebagai penenteram hati yang lagi merana. Maka Hong Si-nio beranjak masuk, ia minta sebuah bilik yang dirasa nyaman dan tenteram. Sungguh ia perlu tidur barang sejenak.

Kebetulan di luar jendela tumbuh sepucuk pohon cukup besar yang mengalingi sorot matahari. Rebah di ranjang, mengawasi bayang-bayang daun pepohonan yang bergontai, hatinya terasa kosong dan hampa, sepertinya banyak persoalan harus dipikir, namun tiada satu pun yang bisa ia ingat.

Angin berhembus ringan, rasa sejuk berhembus masuk lewat jendela yang terbuka.

Tempat ini sungguh tenang, kelopak matanya terasa makin berat, akhirnya layap-layap ia mulai terbuai dan hampir tidur.

Apa boleh buat, di kala rasa kantuk sudah membuai pikirannya, mendadak dari kamar sebelah ia mendengar seorang sedang menangis. Tangisnya begitu sedih, suaranya rendah lagi lirih, namun Hong Si-nio dapat mendengarnya dengan jelas.

Tembok di sini kurang tebal, keadaan di sini memang teramat sunyi. Hong Si-nio membalik badan, pikirnya ingin tidur saja, namun isak tangis itu didengarnya makin jelas. Itulah isak tangis seorang perempuan.

Memangnya hati sedang dirundung persoalan apa? Seorang diri kenapa bersembunyi di sini untuk melampiaskan duka lara?

Mestinya Hong Si-nio tidak ingin mencampuri urusan orang lain, urusan sendiri cukup membuatnya resah. Mungkin karena terlalu banyak urusan, hati resah pikiran buntu, maka begitu tahu orang lain juga sedih dan lara, rasa simpati timbul dalam sanubarinya. Tak tahan akhirnya ia melompat bangun, setelah mengenakan sepatu ia membuka pintu beranjak ke kamar sebelah.

Pohon di pekarangan memang cukup rindang, suasana di sini nyaman, daun pintu kamar sebelah tertutup rapat. Sesaat ia ragu, isak tangis belum berhenti, akhirnya ia beranjak maju lalu mengetuk pintu perlahan.

Cukup lama, dari dalam ada suara orang menegur, "Siapa di luar?"

Suara orang seperti amat dikenalnya. Jantung Hong Si-nio bertambah cepat, dengan keras ia mendorong daun pintu, segera ia berteriak kaget, "Kau?"

Perempuan yang diam-diam bersembunyi di kamar dan berisak tangis itu ternyata bukan lain adalah Sim Bik-kun.

* * * * *

Di meja ada arak.

Sepertinya Sim Bik-kun sempat mabuk. Ada orang setelah mabuk suka tertawa, tertawa dan tertawa, ada juga setelah mabuk suka menangis, menangis dan menangis terus.

Melihat Hong Si-nio, bukan saja tidak menghentikan tangisnya, tangis Sim Bik-kun malah lebih keras, lebih sedih.

Hong Si-nio berdiri diam, mengawasi orang menangis.

Dia juga seorang perempuan, ia tahu bila seorang sedang menangis, siapa pun takkan bisa membujuknya, makin dibujuk tangisnya makin sedih, tangisnya bisa menjadi-jadi.

Kadang 'menangis' mirip orang minum arak.

Seorang boleh menangis, seorang juga boleh minum arak.

Tapi di kala minum arak, kalau ada seorang lain berdiri di samping mengawasi kau minum, selera minummu pasti hilang, arak takkan bisa masuk perut lagi.

Demikian halnya dengan menangis.

Karena diawasi Hong Si-nio, mendadak Sim Bik-kun berjingkrak, dengan bola matanya yang merah karena lama menangis menatap Hong Si-nio, serunya, "Untuk apa kau kemari?"

"Aku juga ingin tanya, untuk apa kau ke tempat ini?" tanya Hong Si-nio, lalu menarik kursi dan duduk, "Bagaimana kau bisa berada di tempat ini?"

"Kenapa aku tidak boleh ke tempat ini?"

Bukan saja lagi sedih, ternyata emosinya juga terbakar. Biasanya ia tidak pernah bersikap sekasar ini.

Hong Si-nio malah tertawa, "Tentu kau boleh ke tempat ini. Tapi bukankah kau sudah pulang?"

"Pulang kemana?"

"Pek-ma-san-ceng."

"Pek-ma-san-ceng bukan rumahku," air mata Sim Bik-kun hampir menetes lagi.

"Kemarin malam aku ke Pek-ma-san-ceng, kau ada di sana?"

"Ada."

"Lha, kenapa seorang diri kau keluyuran di sini?"

"Aku senang," bantah Sim Bik-kun sambil menggigit bibir, "aku senang keluar, kenapa tidak boleh keluar?"

"Dari tampangmu, kelihatan kau tidak senang," Hong Si-nio tidak memberi kelonggaran. "Sebetulnya lantaran apa kau lari dari rumah?"

Sim Bik-kun tak bisa menjawab. Arak masih ada di meja, mendadak ia meraih poci arak lalu dituang ke dalam mulut. Dia ingin mabuk, setelah mabuk baru bisa melupakan segala persoalan, bisa menolak pertanyaan yang tidak ingin dijawab. Sayang poci itu sudah kosong, sisanya masih beberapa tetes, mirip derai air matanya. Arak yang getir, segetir hatinya, sisa arak itu akhirnya bakal kering. Bagaimana dengan air mata?

"Pyaarrr", poci itu jatuh di lantai dan pecah berantakan. Hati Sim Bik-kun rasanya lebih hancur dibanding poci arak, sebab bukan hanya hatinya yang hancur, mimpinya juga telah lebur.

Hong Si-nio diam mengawasinya.

Nasib kenapa menyiksanya sedemikian rupa?

Sekarang dia sudah berubah total, kenapa nasib masih juga menyiksanya?

Akhirnya Hong Si-nio menghela napas ringan, "Tak peduli karena apa, rasanya tak perlu kau lari dari rumah."

Mengawasi pecahan poci di lantai, bola matanya yang semula indah berubah kosong, "Tidak pantas?"

Hong Si-nio bersuara dalam mulut.

Sim Bik-kun tertawa dingin, "Kemarin kau masih memaksaku, menyuruh aku pergi."

"Kemarin malam? Mungkin aku yang salah."

"Sejak kapan kau pernah merasa bersalah?"

Hong Si-nio menunduk, "Aku yang salah, karena aku tidak pernah memikirkan dirimu."

Yang dia pikir hanya seorang. Semua yang ia lakukan hanya untuk menyenangkan dia, supaya dia bahagia.

Demi dia, ia rela mengorbankan segalanya.

Tapi bagaimana dengan orang lain? Kenapa orang lain rela berkorban demi dirinya? Bukankah orang itu punya hak untuk mempertahankan hidup?

Dengan lirih Hong Si-nio berkata, "Deritamu sudah cukup berat, pengorbananmu jauh lebih banyak."

Baru sekarang ia sadar, dia tidak punya hak memaksa orang lain menerima derita, kebahagiaan orang ia bangun di atas penderitaan orang lain.

”Sekarang kau harus memikirkan dirimu sendiri untuk bertahan hidup beberapa hari lagi, rasakan kehidupan yang bahagia. Kau berbeda dengan aku, kalau keluyuran terus di luar, hidupmu jelas akan runtuh." Inilah curahan tulus dari hati yang paling dalam.

Terhadap perempuan yang cantik bagai kembang, bernasib setipis kertas, ia benar-benar merasa simpati dan kasihan.

Tapi satu hal ia lupa, kasihan itu kadang dipandang sebagai hinaan, seperti sindiran yang tajam, lebih gampang melukai perasaan orang.

Mestinya Sim Bik-kun sudah mempertahankan air matanya, mendadak bercucuran lagi, dengan kencang ia genggam kedua tangan, lama kemudian baru bertanya perlahan, "Menurutmu aku harus bagaimana?"

"Kurasa kau harus pulang."

"Pulang? Pulang kemana? Jelas kau tahu aku sudah tidak punya rumah."

"Rumah dibangun orang, sejauh kau masih punya orang, kau masih bisa membangun kembali rumahmu."

"Orang? ... Aku masih punya orang?"

"Selama ini kau masih punya."

"Lian Shia-pik maksudmu."

Hong Si-nio memanggut, katanya dengan tertawa getir, "Selama ini aku salah menilainya, dia bukan orang yang kuduga semula, bila kau mau kembali ke sampingnya, dia pasti akan menerima dan bersikap baik kepadamu, kalian masih bisa membangun mahligai keluarga."

Sim Bik-kun mendengarkan, mendengar sampai terpesona. Di dunia ini mana ada perempuan yang mau sepanjang hidup keluyuran di luar. Apakah dia sudah terbujuk?

"Bila kau rela," kata Hong Si-nio lebih jauh, "kapan saja boleh kuantar kau pulang, aku malah rela memohon maaf kepadanya." Kali ini ia bicara jujur, bicara dari hati yang paling dalam.

Sejauh Sim Bik-kun dapat meraih kebahagiaan, apapun yang harus ia lakukan, ia rela dan senang hati melakukan.

Mendadak Sim Bik-kun malah tertawa berderai. Tawanya makin keras terkial-kial.

Hong Si-nio melenggong. Tak pernah terbayang reaksi Sim Bik-kun bisa segila ini. Sungguh ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan.

Mendadak derai tawa Sim Bik-kun berubah menjadi jerit tangis, bukan tangis terisak seperti biasanya, tapi tangis tergerung-gerung yang menyayat hati. Mirip anak kecil yang kaget dan menangis ketakutan.

Tangisnya itu jelas tidak normal, tangis seperti ini lebih mendekati histeris, kalau didiamkan bisa menjadi gila.

Hong Si-nio mengertak gigi, mendadak ia melayangkan tangan dan "Plak", dengan keras ia gampar muka Sim Bik-kun.

Mendadak Sim Bik-kun menghentikan tangisnya. Tidak hanya tangisnya berhenti, napas, aliran darah dan pikirannya seperti berhenti. Sekujur badannya mengejang kaku, berdiri mematung seperti boneka.

Hong Si-nio justru mengucurkan air mata, "Kenapa kau begini? Apa aku salah omong?"

Sim Bik-kun tetap tidak bergeming, sorot matanya kosong hampa, seperti menatapnya, seperti memandang jauh ke depan.

"Mungkin aku salah omong, aku ...."

"Kau tidak salah," teriak Sim Bik-kun, "dia memang bukan Congcu dari Thian Cong, tapi aku lebih rela dia betul adalah Thian Cong."

"Kenapa?" seru Hong Si-nio tertegun.

“Sebab seorang Thian Cong, paling tidak adalah manusia."

"Memangnya dia bukan manusia?"

Karena menahan rasa sedih, muka Sim Bik-kun tampak mengkeret, "Selama ini aku anggap dia manusia, peduli dia baik atau buruk, tetap orang yang dihormati, siapa tahu ternyata dia tidak lebih hanya seorang budak."

"Budak? Budak siapa?"

"Budak Thian Sun."

"Thian Sun?"

"Siau-yau-hou adalah Thian-ci-cu, ahli warisnya tentu adalah Thian Sun."

"Walau Lian Shia-pik bukan Thian Sun, tapi budak Thian Sun?" Hong Si-nio lebih kaget, di luar dugaan, maka ia bertanya lagi, "Darimana kau tahu semua ini?"

"Sebab ... sebab sebagai isterinya, semalam aku tidur di kamarnya," cerita ini mirip cemeti, begitu ia bercerita berarti cemeti itu menghajar sekujur badannya. Perasaan ini bukan hanya penderitaan, tapi juga kepedihan, kekecewaan ....

Hong Si-nio maklum akan pergulatan perasaan ini. Dia tidak bertanya lebih lanjut, ia yakin Sim Bik-kun akan membeberkan cerita panjang yang mengejutkan.

"Dia menyangka aku sudah tidur, dia kira aku menghabiskan secawan obat yang dia berikan kepadaku."

"Kau tahu kalau itu obat bius?"

"Aku tidak tahu, tapi seteguk pun aku tidak meminumnya."

"Kenapa?"

"Aku tidak tahu kenapa, yang pasti aku tidak suka minum obat, obat apapun aku tidak mau minum."

Hong Si-nio mengangguk. Karena dia mengerti, seorang kalau sudah putus asa, maka ia akan berusaha menyiksa diri sendiri, mana mungkin dia mau minum obat.

Banyak persoalan di dunia ini, kadang kelihatan kebetulan, padahal kalau diperiksa dengan seksama, akan ditemukan semua itu karena 'karma'. Entah 'sebab' apa yang ditanam, akan menerima 'akibat' yang nyata. Kalau paham akan pengertian ini, kelak bila ingin menanam tentu akan memilih 'bibit' yang baik.

Sim Bik-kun berkata, "Dia tentu tak tahu kalau diam-diam aku membuang obatnya itu."

"Ya, pasti tidak menduga, karena selama menjadi suami isteri kau tidak pernah berbohong padanya." Itulah salah satu sebab.

"Waktu dia masuk kamar, sebenarnya aku belum tidur."

"Tapi kau pura-pura sudah lelap"

"Karena aku tidak ingin bicara dengan dia." Inipun salah satu sebab.

"Dia tidak mengganggumu?"

Sim Bik-kun menggeleng kepala, "Dia hanya berdiri di pinggir ranjang mengawasiku, lama dia menjublek di tempatnya, walau aku tidak berani membuka mata, namun aku rasakan keadaannya amat aneh."

"Aneh?"

"Waktu dia mengawasiku, aku merasa sekujur badanku makin dingin."

"Selanjutnya?"

”Kelihatannya aku memang sudah tidur, padahal hatiku memikirkan banyak persoalan ...."

Yang dia pikir waktu itu bukan Siau Cap-it Long.

Selama dua tahun belakangan ini, bayangan Siau Cap-it Long hampir mempengaruhi seluruh jiwa raga, seluruh jalan pikirannya.

Tapi kala itu yang dia pikir justru adalah Lian Shia-pik. Sebab Lian Shia-pik kini berada di depan ranjangnya, sebab antara dirinya dengan Lian Shia-pik masih meninggalkan kenangan manis madu, kenangan asyik-masyuk. Betapapun Lian Shia-pik adalah pria pertamanya.

Terbayang akan malam pertama dahulu, malam itu ia pun pura-pura tidur di ranjang, dia juga berdiri di ranjang seperti malam ini, mengawasinya, selama itu tak pernah menyentuh, meraba atau memanggilnya, secara diam-diam menutup selimut di badannya.

Betapa tegang dan rasa malu dirinya kala itu, sampai sekarang, kalau dibayangkan, akan mengundang rasa tegang, jantung berdetak lebih kencang.

Sepanjang mereka hidup bersama, belum pernah dia berbuat kasar, bicara keras, apalagi membentaknya. Sejak awal sampai terakhir mereka berpisah, dia tetap adalah suami teladan, suami pengertian yang lemah lembut.

Membayangkan sampai di sini, hampir tak tahan dia akan membuka mata, lalu menikmati malam pertama yang ....

Pada saat itulah, mendadak ia mendengar suara seorang bertepuk sekali di luar jendela. Lian Shia-pik segera beranjak ke sana, membuka daun jendela, dengan menekan suara berkata, "Kau terlambat, lekas masuk."

Orang di luar jendela tertawa ringan, katanya menggoda, "Malam pertama pengantin baru, kau tidak kuatir aku mengganggu kalian?"

Mendengar suara orang ini, sekujur badan Sim Bik-kun mendadak mengejang dingin.

Itulah suara Hoa Ji-giok. Ia kenal betul suara itu. Mimpi pun tak pernah terbayang dalam benaknya, Hoa Ji-giok datang menemui Lian Shia-pik.

Bagaimana mungkin mereka punya hubungan?

Sim Bik-kun berusaha mengendalikan diri, memusatkan perhatian mendengar percakapan mereka.

Lian Shia-pik berkata, "Aku tahu kau akan datang. Maka kucari akal membuatnya tidur."

"Dia tidak akan terjaga?"

"Tidak mungkin, obat yang kuberikan cukup membuatnya pulas sampai pagi."

Hoa Ji-giok sudah melompat masuk lewat jendela, katanya dengan cekikikan geli, "Jerih payahmu tidak ringan untuk mengajaknya balik, sekarang malah membuatnya tidur, apa tidak menyia-nyiakan malam yang indah ini?"

"Aku tidak pergi mencarinya, dia sendiri yang pulang."

"Tak heran orang bilang kau ini punya peran yang lihai, bukan hanya orangnya pulang, hatinya pun kembali kau genggam."

"Kalau aku hanya menginginkan orangnya pulang, buat apa aku berjerih-payah."

Mendengar percakapan mereka, sekujur badan Sim Bik-kun terasa dingin kaku, hati pun seperti tenggelam ke dasar jurang.

"Dalam hal ini kau telah melakukan perbuatan terbaik, maka Thian Sun ingin bicara langsung dengan engkau."

"Kapan?"

"Waktu padang rembulan."

"Dimana?"

"Cui-gwat-lo di Se-ouw."

"Aku pasti datang tepat waktu."

"Besok pagi kau harus sudah berangkat, pergi bersamaku, kita pergi dulu ke Jiu-hoa-tong menunggunya."

"Boleh."

"Kau tega meninggalkan dia seorang di sini?"

"Dia sudah mau pulang sendiri, yakin tidak akan pergi lagi."

"Kau yakin?"

"Sebab aku tahu, tiada tempat lain dimana dia bisa pergi."

Hoa Ji-giok cekikikan geli, "Kau memang serba pintar ...."

Itulah percakapan dua orang yang didengar Sim Bik-kun semalam. Sampai sekarang, sorot matanya masih diliputi rasa sedih dan derita.

Hong Si-nio maklum akan kepedihannya.

Siapa pun orangnya, setelah sadar dirinya dibohongi, dirinya dijual oleh suami sendiri, hatinya jelas takkan merasa senang. Dengan berlinang air mata, Sim Bik-kun melanjutkan, "Kali ini sebetulnya aku bertekad tidak akan meninggalkan dia lagi, aku ... sesungguhnya tiada tempat kemana aku bisa pergi. Tapi setelah mendengar percakapan mereka, sehari tinggal lebih lama di sana sudah tidak betah lagi, kalau bertahan di sana, mungkin aku bisa gila dibuatnya."

"Maka begitu dia pergi, kau pun minggat dari sana."

Sim Bik-kun manggut-manggut.

Bukan hanya tiada tempat kemana dia bisa pergi, malah seorang famili, seorang teman pun ia tidak punya.

Maka secara diam-diam ia berlari dan bersembunyi di hotel kecil ini, diam-diam menghabiskan air matanya.

Arak getir masuk perut berubah menjadi air mata.

Mengawasi orang, tiba-tiba Hong Si-nio tertawa, katanya lembut, "Sekarang aku ingat satu hal."

"Hal apa?" tak tahan Sim Bik-kun bertanya.

”Sepertinya kau dan aku belum pernah minum arak bersama."

"Ya, belum pernah."

"Apa salahnya hari ini kita minum bersama sampai mabuk?"

Tak menunggu reaksi Sim Bik-kun, mendadak ia berlari keluar seraya berteriak, "Ambilkan arak, botol besar ukuran 20 kati."

Betapapun baik kwalitas arak, dalam kondisi mereka sekarang, tetap menjadi arak getir. Demikian dalam angan-angan Sim Bik-kun, kehidupan ini memangnya mirip secawan arak getir. Hong Si-nio sudah menghabiskan dua cawan arak, cawan besar. Tapi cawan Sim Bik-kun masih penuh, setetes pun belum dimium.

"Kau tidak minum?"

"Aku tidak ingin mabuk."

Hong Si-nio mengkerut alis, "Kapan hidup ini pernah mabuk, kenapa kau tidak ingin mabuk?"

"Sebab aku sudah mengerti maksudmu."

"Aku punya maksud apa?"

"Kau ingin melolohku minum sampai mabuk, lalu meninggalkan aku di sini, kau sendiri akan pergi ke Se-ouw."

Hong Si-nio menyengir lebar, tawanya kecut.

"Aku tahu kau pasti akan menyusul Lian Shia-pik, pergi mencari Thian Sun, kesempatan baik kali ini takkan kau sia-siakan,"

Hong Si-nio tertawa getir, "Awalnya kau bukan orang yang suka curiga, kenapa sekarang berubah?"

"Karena aku dipaksa harus berubah."

"Memangnya kau juga ingin mencari mereka?"

"Memangnya aku tidak boleh pergi?"

"Kau tidak boleh."

"Kenapa?"

"Karena bila kedatangan kita diketahui mereka, jangan harap kau bisa hidup lagi."

"Maka kau melarang aku pergi?"

"Sebab kau tidak perlu berkorban lagi."

"Tapi kau boleh pergi, kau siap mati."

Sejenak Hong Si-nio diam, lalu bertanya, "Tahukah kau, aku ini orang macam apa?"

"Bukan saja cantik rupawan, cerdik pandai, jiwamu lapang dada, terbuka, setua ini usiamu, hidupmu lebih senang, lebih gembira dibanding orang lain, jauh lebih bahagia dibanding aku."

Hong Si-nio tertawa lagi, tawanya membayangkan betapa kosong hatinya, betapa sedih dan merana.

Cukup lama baru membuka suara, "Aku ini anak sebatang-kara, sejak kecil tidak punya rumah tiada keluarga tanpa famili, anak lain masih mengompol di pelukan ibunya, aku sudah terlunta-lunta di jalanan, kehangatan keluarga hakikatnya tidak pernah aku rasakan barang sehari saja.

"Waktu usiaku belasan tahun, aku sudah pandai naik kuda yang berlari paling kencang, minum arak paling keras, meski dari kwalitas paling rendah, bermain golok yang paling cepat, berpakaian baju paling baru dan bagus, berkenalan dengan teman yang punya kuasa.

"Sebab aku mengerti, perempuan macamku ini, kalau mau berkecimpung di Kangouw, maka harus banyak belajar cara bagaimana melindungi diri sendiri, sedikit meleng atau kendor kewaspadaan, mungkin sudah lama aku 'dimakan' oleh orang, sisa tulang pun susah dicari lagi.”

"Banyak orang menganggap aku hidup senang, karena aku sudah belajar menelan air mata ke dalam perut.

"Tahun ini usiaku sudah tiga puluh lima, masih seperti dua puluh tahun lalu, tiada rumah, tanpa famili, tiap datang tahun baru, seorang diri diam-diam aku menyembunyikan diri.

"Sebab tidak kubiarkan orang lain tahu, melihat aku mengucurkan air mata." Sampai di sini ia mengangkat kepala, menatap Sim Bik-kun, "Kau juga perempuan, kau tahu apa yang diharapkan, didambakan seorang wanita."

Sim Bik-kun menundukkan kepala.

"Keluarga bahagia, anak yang patuh, suami yang pengertian, kehidupan nan tentram ... semua itu adalah harapan dan dambaan setiap perempuan, sebab yang mereka inginkan bukan impian muluk, bukan barang mewah, tapi kebutuhan tiap keluarga."

"Satu pun aku tidak punya apa-apa."

Hong Si-nio menggengam tangan Sim Bik-kun, "Coba kau pikir, perempuan seperti aku ini, apa alasanku untuk mempertahankan hidup?"

Sim Bik-kun tertawa, sama-sama terawa getir, "Dan aku? Apa alasanku mempertahankan hidup?"

"Paling tidak ada satu alasan."

"Siau Cap-it Long?"

Hong Si-nio manggut, "Paling tidak, ada orang yang mencintaimu dan kau juga mencintainya."

Berdasar alasan ini, cukup bagi seorang perempuan untuk mempertahankan hidup.

"Maka kau tidak boleh mati, kau tidak boleh pergi." Hong Si-nio berdiri, "Bila bertemu dia, pasti kusuruh dia ke tempat ini mencarimu."

"Kau kira aku akan menunggunya di sini?"

"Kau harus menunggunya di sini."

"Kalau kau menjadi aku, kau mau menunggu?"

"Kalau ada seorang yang kucintai dan mencintaiku, berapa lama aku harus menunggu, aku akan selalu menunggunya."

Mengawasi mata orang yang berlinang air mata, Sim Bik-kun mendelu dibuatnya, "Kalau begitu, yang harus menunggu dia di sini adalah kau, bukan aku."

Kata-katanya sungguh mirip sebatang cemeti. Hong Si-nio merasakan sekujur badannya mengejang, cemeti ini tepat menghujam ke hulu hatinya, tempat yang paling lemah di tubuhnya.

Sim Bik-kun berkata kalem, "Sekarang aku bukan lagi perempuan yang lemah, perempuan yang tidak tahu apa-apa, maka banyak persoalan yang kau anggap aku tidak bisa mengerti, semua sudah kupahami."

"Kau ...." teriak Hong Si-nio.

Sim Bik-kun menukas ucapannya, "Maka kalau aku punya alasan untuk hidup, demikian pula engkau, kau boleh pergi menyerempet bahaya, kenapa aku tidak?" ucapannya bernada tegas penuh tekad, meski bernada sedih, "Kelahiranmu berbeda dengan kelahiranku, tapi sekarang, nasibmu sama dengan nasibku, kenapa kau menyangkal akan hal ini?"

Dengan tajam ia mengawasi Hong Si-nio, sorot matanya penuh pengertian dan simpati. Hong Si-nio juga tengah mengawasinya. Mereka berdua saling tatap, saling pandang ... dua cewek yang pasti berbeda, seperti dibelenggu oleh tambang yang sama ....

Apakah nasib itu? Bukankah nasib merupakan sebuah rantai gembok yang tidak kelihatan.

Apakah kasih? Apakah simpati? Ya, mirip sebuah rantai gembok yang tidak kelihatan.

XXI. PERAN SI TUKANG PERAHU

Kota Hang-ciu

Setelah keluar dari kota Yong-kim-bun, melewati Lam-ping-am-ciong, perahu terus didayung menuju ke Sam-tham-ing-gwat, waktu mereka tiba di Se-ling-kio, hari sudah mendekati senja.

Riak lembut di permukaan danau membayangi kemilau cahaya senja, dipandang dari kejauhan bagai kemilau permata bertaburan.

Seorang nelayan dengan topi hitam menutupi separoh wajah, tengah berjongkok di ujung jembatan menjulurkan joran memancing ikan.

Dari perahu pesiar di kejauhan sana, berkumandang alunan nyanyian merdu yang mengasyikan.

"Kau pernah ke sini?" tanya Hong Si-nio.

Sim Bik-kun mengangguk, bola matanya indah, membayangkan selintas kenangan nan sendu.

Dulu bukankah dia pesiar di danau ini bersama Lian Shia-pik.

"Kau tahu dimana letak Cui-gwat-lo?"

Sim Bik-kun menggeleng kepala.

Pemilik perahu yang mereka tumpangi adalah ibu beranak yang juga menjadi tukang perahu, sang putri tampak serba kasar dan kuat, rambut tak tersisir, pakaian pun carut-marut, namun masih nampak gerak-geriknya yang gemulai.

Mendadak ia mengulur tangan menunjuk ke depan, "Bukankah Cui-gwat-lo ada di sana?"

Yang ditunjuk adalah sebuah perahu pesiar yang berada jauh di tengah danau.

"Apakah Cui-gwat-lo adalah perahu pesiar itu?" tanya Hong Si-nio.

Giliran tukang perahu menjawab, "Di danau ini ada tiga buah perahu pesiar paling besar, yang pertama bernama Put-kik-wan, yang kedua bernama Su-hoat-hong dan yang ketiga adalah Cui-gwat-lo."

"Berapa besar perahu pesiar itu," tanya Hong Si-nio.

"Wah, besar sekali," sahut tukang perahu atau sang ibu, "di atas perahu sekaligus bisa disiapkan belasan meja perjamuan." Setelah menarik napas dengan nada kepincut ia meneruskan menutur, "Entah kapan aku bisa memiliki perahu pesiar seperti itu, tidak sia-sia seumur hidup aku bekerja sebagai tukang perahu."

Ia mengawasi sepasang jari tangannya, tangan perempuan umumnya halus runcing, tangannya justru kasar berkulit tebal. Maklum perempuan yang mencari nafkah di atas air, mereka bekerja tak kenal lelah, tidak ringan tak kenal berat, sepanjang hari bekerja, namun hasilnya tidak cukup untuk hidup satu hari, betapa lara dan rudin hidup mereka dapatlah dibayangkan.

Mengawasi tangan orang, mendadak Sim Bik-kun bertanya, "Biasanya sehari kalian bisa dapat berapa duit?"

Tukang perahu menyengir getir, "Mana bisa tiap hari dapat duit, umpama ada penumpang yang naik perahu, paling dapat upah belasan keping uang tembaga, memang di musim semi lebih mending ...."

Bicara tentang musim semi, matanya tampak bersinar. Musim semi adalah hari-hari panjang yang diharapkan tiap nelayan di danau ini. Padahal saat itu pertengahan musim rontok.

Mendadak Sim Bik-kun tertawa lebar, "Apa kalian tidak ingin pesiar ke kota barang beberapa hari? Kecuali ongkos perahu ini, nanti kutambah lima tahil perak?"

* * * * *

Setelah magrib.

Di perahu itu tinggal dua orang tukang perahu, yaitu seorang ibu dan seorang putrinya.

Lalu Hong Si-nio dan Sim Bik-kun kemana?

Bukankah mereka tadi menumpang perahu ini?

Sim Bik-kun sekarang adalah seorang ibu.

Seorang ibu biasanya jarang menarik perhatian orang, ia tidak suka ada orang mengenali dirinya.

Maka Hong Si-nio pun menjadi putri tukang perahu.

Entah bagaimana mereka mempersiapkan diri, yang pasti wajah mereka sudah berubah.

"Kau masih mengenalku?" tanya Sim Bik-kun.

Hong Si-nio tertawa, "Sungguh tak nyana, ternyata kau pandai tata rias."

"Tata riasku paling hanya bisa mengelabui mata orang di malam hari, sementara masih boleh diandalkan."

"Waktu bulan purnama, bukankah hari sudah malam?"

"Makanya kalau siang jangan kita muncul di depan umum."

"Apa kau tidak mendengar orang bilang Hong Si-nio adalah kucing malam?"

Malam ini tanggal tiga belas, masih dua hari baru terang bulan.

Rembulan malam ini belum bundar, belum bulat, namun cahayanya yang kemilau di permukaan air menambah indahnya pemandangan malam di danau.

"Menurut pendapatmu, orang yang bernama Thian Sun, esok lusa mungkin tidak datang?"

"Pasti datang, aku malah kuatir kalau dia datang, kita tidak bisa mengenalinya."

"Bila dia datang, kita pasti dapat mengenalinya."

"Kau yakin?"

"Paling sedikit kita punya tiga sumber."

"Coba jelaskan."

"Yang pertama, kita tahu orang itu berperawakan kecil kurus, selalu membawa anjing."

"Kedua, kita tahu dia akan datang ke Cui-gwat-lo."

"Ketiga, kita tahu kalau Lian Shia-pik akan bertemu dia."

"Walau kita tidak mengenalinya, tapi kita bisa melihat anjing, mengenal Cui-gwat-lo, juga mengenal Lian Shia-pik."

Hong Si-nio benar-benar penuh keyakinan, sayang ia melupakan satu hal.

Umpama kau betemu Thian Sun, memangnya apa yang bisa kau lakukan?

Bulan merambat kian tinggi, meski musim rontok telah pertengahan, air danau terasa dingin.

Duduk di haluan perahu, Hong Si-nio melepas sepatu kain hijaunya, dengan sepasang kakinya yang telanjang bermain air.

Sim Bik-kun tengah mengawasinya, menatap sepasang kakinya, mendadak ia berkata, "Kabarnya sekali tendang kau pernah merobohkan Poan Thian-hun dari Ki-lian-san."

Bersambung
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar