Jilid 14
Hong Si-nio manggut-manggut
saja.
"Kau menendang dengan
sepasang kakimu itu?"
"Hanya dengan satu
kaki."
Sim Bik-kun tertawa geli.
Sudah lama ia tidak pernah tertawa, di hadapannya terbentang pemandangan danau
nan permai, hawa nan sejuk, hatinya terbuka, pikiran jernih, tawa nan sejuk.
Dengan tersenyum lebar ia
berkata, "Sepasang kakimu itu rasanya tidak mirip kaki yang dapat
menendang mati orang."
"Aku paling senang bila
orang mengatakan kakiku bagus, kalau kau pria, akan kusuruh kau mengelus
kakiku."
"Sayang aku bukan
...." kata Sim Bik-kun, suaranya amat lirih.
Apakah karena ia merindukan
Siau Cap-it Long?
Sayang kau bukan Siau Cap-it
Long.
Sayang sekali anda juga bukan
Siau Cap-it Long.
Siau Cap-it Long dimanakah kau
berada?
Kenapa sampai sekarang belum
ada beritamu?
Cahaya rembulan lebih terang.
Namun air muka mereka lebih guram.
Dari tengah danau kembali
berkumandang nyanyian merdu, suaranya nyaring bening, diselingi cekikikan geli
nan mengasyikan, sang penyanyi yakin adalah soprano yang cantik lagi rupawan.
Ternyata nyanyian dan gelak
tawa berkumandang dari arah Cui-gwat-lo di kejauhan sana. Bayangan orang banyak
tengah berpesta kelihatan samar dari kejauhan.
Hong Si-nio mendadak tertawa
riang, katanya, "Sayang dalam dua hari ini kita sibuk, kalau tidak, kita
terjang ke atas ikut minum beberapa cawan."
Sim Bik-kun berkata, "Kau
tahu siapa yang mengadakan perjamuan di atas kapal?"
"Aku tidak tahu."
"Siapa pengundangnya kau
tak tahu, berani kau naik ke sana?"
"Peduli siapa dia, dia
pasti mau menyambut kehadiranku."
"Kenapa?"
"Sebab kita ini
perempuan, kalau lelaki sedang minum arak, melihat perempuan yang enak
dipandang datang, dia pasti senang menyambut kedatangannya."
"Sepertinya kau amat
berpengalaman?"
"Terus terang saja,
kejadian seperti itu, entah berapa puluh kali pernah kulakukan."
Sim Bik-kun mengawasinya,
mengawasi bola matanya yang bersinar, mengawasi lesung pipitnya yang
menggiurkan, akhirnya ia menghela napas, "Sayang aku bukan lelaki, kalau
tidak, aku rela menjadi binimu."
Hong Si-nio, tertawa,
"Kalau engkau lelaki, aku juga senang menjadi istrimu."
Walau sedang tertawa, tapi
tawanya tampak sendu.
Mereka merindukan Siau Cap-it
Long. Siau Cap-it Long, Siau Cap-it Long kenapa kau selalu membikin orang kasmaran,
ingin melupakanmu, hati malah risau, membuang pikiran melupakanmu juga tak
mungkin.
Sekonyong-konyong dari arah
tanggul seseorang memanggil, "Tukang perahu, bawa perahumu kemari."
Hong Si-nio menghela napas,
"Nah, kita dapat obyekan, nasib kita agak mujur hari ini."
Sim Bik-kun berkata,
"Sebagai tukang perahu, dia membutuhkan tenaga kita, jangan rezeki ini
ditolak."
"Betul, masuk akal,"
seru Hong Si-nio seraya melompat ke depan meraih galah, sekali mengerahkan
tenaga, perahu meluncur kencang ke arah tepian.
"Kau bisa mengendalikan
perahu ini?" tanya Sim Bik-kun.
"Delapan belas macam
senjata semua dapat kumainkan dengan mahir, memangnya hanya mengayuh aku tidak
mampu?"
Sim Bik-kun tertawa geli,
tanyanya, "Adakah sesuatu yang tidak mampu kau lakukan?"
"Ada satu."
"Apa itu?"
”Selamanya aku tidak suka
berpura-pura, aku tidak perlu merasa malu."
Yang mau naik perahu ada tiga
orang.
Dengan rasa riang Hong Si-nio
berkata, "Kalau orang-orang Kangouw dikumpulkan di sini, lalu berbaris
lewat di mukaku, tiap tiga orang, paling sedikit ada satu orang yang
kukenal."
Dalam hal ini Hong Si-nio
memang tidak membual. Ia kenal satu di antara ketiga orang itu.
Seorang lelaki bermata sipit,
berpenampilan keren, mengenakan jubah panjang, memegang kipas yang
digoyang-goyang, penampilannya mirip pelajar.
Gelarnya memang Pwe-bing
Suseng, pelajar pencabut nyawa. Kipas lipat di tangannya itu adalah gaman yang
diandalkan.
Dalam kalangan Bulim, tokoh
silat yang memakai kipas lempit sebagai senjata memang jarang. Pwe-bing Suseng
Su Jiu-san adalah salah satu di antara tokoh yang disegani itu.
Orang yang berkawan atau
bergaul dengannya tentu bukan sembarang tokoh.
Siau Cap-it Long sering
bicara, "Dari sekian banyak insan persilatan, paling sedikit setengah di
antaranya dikenal Hong Si-nio, setengah di antara mereka juga mengenal Hong
Si-nio."
Tapi ketiga orang ini semua
tidak mengenalnya, Su Jiu-san pun tidak mengenalnya, maklum cuaca
remang-remang, bentuk rupanya kini juga sudah berubah, sebab siapa mengira Hong
Si-nio bisa jadi tukang perahu di Se-ouw.
"Tuan-tuan mau
kemana?" tanya Hong Si-nio.
"Cui-gwat-lo,"
katanya Su Jiu-san, "kau tahu dimana Cui-gwat-lo?"
Hong Si-nio lega, tempat lain
di sekitar Se-ouw jelas ia tidak tahu, Cui-gwat-lo jelas ia sudah tahu.
Su Jiu-san sudah mencari
tempat duduk di haluan, diam-diam ia memperhatikan tukang perahu yang cewek
ini, terakhir ia mengawasi kaki orang, tiga laki-laki itu semua mengawasi
kakinya.
Hong Si-nio tidak bisa
melarang orang mengawasi kakinya, namun hatinya amat gemas dan keki melihat
cara mereka memandang, rasanya seperti ingin menjahit mata mereka saja. Sebab
ia sendiri maklum, tukang perahu perempuan yang sepanjang tahun bekerja keras
di atas air, tak mungkin memiliki sepasang kaki semulus, putih dan menggiurkan
seperti kakinya, maka ia harus berusaha mengalihkan perhatian mereka, celakanya
otaknya seperti bebal, tiada akal terpikir olehnya. Sementara sorot mata ketiga
orang ini seperti tajamnya paku memantek sepasang kakinya.
Untunglah dari Cui-gwat-lo yang
besar dan benderang itu berkumandang gelak tawa ramai disertai tepuk tangan
yang gegap gempita, disusul suara nyanyian berkumandang lagi, suaranya keras
berisi, bukan penyanyi perempuan, tapi seorang lelaki dengan nada tinggi
membawakan lagu romantis nan mengasyikan.
Mendadak Su Jiu-san tertawa
dingin, "Eh, tampaknya dia amat gembira."
Laki-laki setengah umur
bermuka kuning temannya itu menanggapi, "Sepertinya sejak tanggal lima,
dia mulai mengadakan pesta, hari ini sudah tujuh hari, pesta-pora belum juga
usai."
Seorang lelaki yang lain
menimbrung, "Maka aku mengaguminya." Lelaki ini bertubuh kekar,
brewok lagi.
"Kau mengaguminya?"
"Siapa pun dia, setelah
tujuh hari pesta mabuk-mabukan, masih punya semangat membawakan lagu seriang
itu, aku akan mengaguminya."
Lelaki muka kuning mengejek
dingin, "Darimana kau tahu dia sudah berpesta-pora selama tujuh
hari?"
"Sebab aku tahu dia
seorang yang pasti mabuk tiap kali menyentuh arak," kata si brewok.
Mengawasi kemilau cahaya di
permukaan air danau, sorot mata Su Jiu-san seperti berusaha menyelami
persoalan, katanya dengan perlahan, "Entah berapa cewek yang dia panggil
untuk teman minumnya?"
"Tergantung berapa banyak
tamu yang dia undang," ujar lelaki setengah umur bermuka kuning.
"Orang-orang gagah di
wilayah Kanglam, sepertinya dia undang seluruhnya."
"Apa tujuannya?"
"Siapa tahu."
Seorang mengundang tamu makan
minum, sang tamu tidak tahu untuk apa pengundang mengadakan pesta, ini kejadian
aneh, pengundangnya lebih aneh.
Walau kepala menunduk, tapi
sorot mata Hong Si-nio benderang.
Siapakah tuan rumah yang
mengadakan pesta?
Apakah Thian Sun?
Mengapa mengundang semua insan
persilatan di daerah Kanglam? Memangnya punya maksud tertentu atau hanya
jebakan belaka?
Jebakan untuk membunuh mangsa?
Terbayang dalam ingatan Hong
Si-nio akan pembunuhan di Pat-sian-cun beberapa waktu lalu, ingin rasanya dia
melarang Su Jiu-san dan kawan-kawan naik ke kapal pesiar itu.
Namun ia sendiri ingin melihat
keadaan di sana, dia pun ingin tahu siapa tuan rumah penyelenggara pesta.
Hong Si-nio menghela napas
panjang.
Di atas kapal mendadak tak
terdengar lagi suara orang berpesta-pora, rupanya sedang mengawasinya dengan
mata melotot, bukan sedang mengawasi kakinya yang mulus, tetapi sedang
mengawasi wajahnya.
Untung dia mengenakan topi
lebar, hingga sebagian wajahnya tertutup. Ia pun menundukkan kepala.
Walaupun mata Su Jiu-san
sipit, ternyata mulutnya sangat lebar. Mendadak ia tertawa tergelak, serunya,
"Aku Su Jiu-san."
Dengan kepala masih tertunduk,
Hong Si-nio memanggilnya, "Su-toaya!"
"Jangan kau panggil aku
Su-toaya, panggil saja aku Su-jiya," kata Su Jiu-san, lalu lanjutnya,
"Dia inilah Ho-toaya, Hou Bu-pe."
Lelaki setengah umur berwajah
kuning manggut-manggut. Terpaksa Hong Si-nio memanggilnya, "Ho-toaya!"
Sudah jelas tampangnya seperti
orang berpenyakitan, tetapi namanya justru Bu-pe, tak berpenyakit, sungguh
menggelikan, demikian batin Hong Si-nio.
"Akulah Ong-losam, Ong
Bing," timbrung lelaki brewok itu.
Hong Si-nio menahan geli,
agaknya Ong-losam ini lebih sopan dibanding kedua rekannya.
"Nona, siapa
namamu?" tanya Su Jiu-san.
"Ah, aku yang rendah
hanyalah seorang tukang perahu," sahut Hong Si-nio.
"Sekalipun kau seorang
tukang perahu kan juga punya nama."
"Rasanya tak perlu aku
mengatakannya."
"Bukankah kita sudah naik
di atas perahu yang sama, ini namanya kita berjodoh, untuk apa kau sembunyikan
namamu?"
Sungguh orang ini sangat
memuakkan, menyebalkan, pantas saja dijuluki Pwe-bing Suseng, pelajar pencabut
nyawa.
Hou Bu-pe menukas,
"Biasanya perempuan suka malu menyebut namanya di hadapan laki-laki."
"Kelihatannya dia
bukanlah seorang perempuan pemalu."
"Buat apa kau memaksanya
memberitahu namanya, kalau dia tidak mau menyebut nama sendiri, ya
sudahlah," sela Ong Bing.
Su Jiu-san menatap Hong Si-nio
lekat-lekat, katanya pula, "Mengapa kau enggan menyebut namamu?"
"Aku tidak berani,"
teriak Hong Si-nio.
"Kau takut asal-usulmu
ketahuan?"
Hong Si-nio tertawa dingin,
"Memangnya seorang tukang perahu punya asal-usul apa yang memalukan."
"Memangnya kau tukang
perahu tulen?"
"Tentu."
"Tampaknya tidak
mirip."
"Apanya yang tidak
mirip?"
"Semuanya tidak
mirip."
"Lalu aku mirip
apa?" dengan mengertak gigi Hong Si-nio tertawa dingin.
Mendadak Su Jiu-san melompat
bangun sambil mementang kipas lipatnya.
Jari-jari tangan Hong Si-nio
terkepal kencang. Ia merasakan niat jahat lelaki di hadapannya ini.
Sinar mata Su Jiu-san
memancarkan sinar buas.
Apapun yang akan dilakukan
lelaki itu, Hong Si-nio sudah bersiap untuk melancarkan serangan, berniat
melancarkan tendangan terlebih dulu, kalau bisa sekali tendang membuat musuh
langsung roboh terkapar.
"Kita sudah tiba di
Cui-gwat-lo!" teriak Sim Bik-kun tiba-tiba.
Ketika Hong Si-nio berpaling,
benar saja, perahu mereka telah berada di dekat kapal pesiar besar itu. Kapal
pesiar yang terang benderang disinari cahaya lentera, suara musik pun
berkumandang dari atas loteng, sedangkan di bagian bawah tampak sunyi sepi,
rupanya seluruh penumpang sedang berkumpul di ujung geladak.
Ada sekitar 30-an orang yang
berkumpul di situ, tampaknya mereka sedang berbisik-bisik, entah apa yang
dibisikkan.
"Mengapa mereka tidak
berkumpul di ruang dalam?" demikian pikir Hong Si-nio penuh keheranan.
Siapa penyelenggara pesta?
Mengapa tidak berkumpul di
dalam?
Su Jiu-san mengawasinya,
tiba-tiba tanyanya, "Kau sanggup melompat ke atas kapal?"
Hong Si-nio menggeleng.
"Kau tak ingin melihat
keramaian di sana?"
Kembali Hong Si-nio
menggeleng.
"Kau tidak
menyesal?"
"Kenapa mesti
menyesal?"
Su Jiu-san tertawa, katanya,
"Karena penyelenggara pesta adalah orang yang ingin dilihat siapa
pun."
"Siapa?"
"Siau Cap-it Long!"
XXII. PESTA DI CUI-GWAT-LO
Siau Cap-it Long!
Ternyata tuan rumah
penyelenggara pesta adalah Siau Cap-it Long.
Pemilik kapal mengundang Lian
Shia-pik bersua di sini, ternyata dia pun sedang menyeienggarakan pesta.
Apakah semuanya ini hanya
kebetulan? Atau dia memang sengaja mengatur hal ini?
Dia tahu di antara sepuluh
jago di dunia persilatan, sembilan orang adalah musuh bebuyutannya, mengapa dia
tetap menyelenggarakan pesta di situ, bahkan mengundang seluruh musuh
bebuyutannya?
Hong Si-nio tertegun.
Su Jiu-san tidak
menggubrisnya, sembari menggoyang kipas ia melompat naik ke atas kapal. Hou
Bu-pe serta Ong Bing mengikut di belakangnya.
Sebagian besar kawanan jago di
atas geladak segera maju menyambut kedatangannya, pergaulan Su Jiu-san memang
sangat luas.
Tapi dimana Siau Cap-it Long?
Mengapa dia tidak menyambut kedatangan tamunya?
Hong Si-nio mulai menyesal,
mengapa tidak ikut naik ke sana.
Sim Bik-kun menghampirinya,
tanyanya lirih, "Kau kenal orang she Su itu?"
"Hm!"
"Apakah
mengenalimu?"
"Rasanya begitu."
Setelah sangsi sejenak,
kembali Sim Bik-kun bertanya, "Menurut kau, apakah dia sengaja bergurau
denganmu?"
"Aku rasa dia tidak
berani," sahut Hong Si-nio.
"Lalu ... apakah benar
penyelenggara pesta itu Siau...." Berputar biji mata Hong Si-nio,
tukasnya, "Kau berjaga di sini, sementara aku akan menyusup masuk lewat
buritan perahu."
Cui-gwat-lo ternyata lebih
besar dan lebih tinggi dari kapal yang ditumpanginya.
Hong Si-nio mendekam di atas
wuwungan kapal sambil mengawasi ke bawah, namun tidak nampak sesuatu gerakan
apapun di atas loteng kapal pesiar itu, dia dapat melihat jelas semua orang
yang sedang berkumpul di geladak.
Dari tiga puluhan orang yang
hadir, paling tidak dia kenal empat-lima belas orang di antaranya.
Seorang kakek berambut putih
kurus, kecil dan pendek sedang berbincang dengan Hou Bu-pe.
Hong Si-nio segera mengenali
orang itu, Ciangbunjin Sing-gi-bun aliran selatan, si monyet sakti Hu It-gwan.
Biarpun orang ini belum
terhitung jagoan yang berilmu tinggi, namun posisi dan kedudukannya dalam dunia
persilatan sangat tinggi. Namun terlihat dia sangat menghormat pada Hou Bu-pe.
Hong Si-nio tidak tahu orang
macam apa Hou Bu-pe, darimana pula asal-usulnya?
"Sudah lama aku mendengar
dan mengagumi nama besar Hou-sianseng, sayang baru bertemu denganmu
sekarang," terdengar Hu It-gwan berkata sambil tertawa.
"Selama ini memang tidak
banyak orang yang bisa bertemu denganku," sahut Hou Bu-pe dingin.
"Jadi Hou-sianseng memang
sudah lama tak pernah terjun lagi dalam dunia persilatan?"
Hou Bu-pe manggut-manggut,
lalu katanya, "Karena aku terluka oleh pukulan To-pik-eng-ong (Raja elang
berlengan tunggal) hingga aku harus merawat luka selama lebih 15 tahun."
Mendengar ucapannya ini hampir
Hong Si-nio melompat bangun saking kagetnya, teringat olehnya asal-usul seorang
kosen yang telah lama menghilang.
Dulu, Ciangbunjin partai
Sian-thian Bu-khek-pay, Tiongciu-tayhiap Tio Bu-khek, mempunyai Sute bernama Ho
Bu-kong, ilmu silatnya sangat tinggi, belum lama ia terjun dalam dunia
persilatan, tahu-tahu jejaknya hilang tak berbekas. Kemungkinan Hou Bu-pe ini
adalah Ho Bu-kong.
Tio Bu-khek yang berjuluk
pendekar besar itu sesungguhnya adalah seorang Kuncu gadungan dan berjiwa
munafik, dia sendiri pada akhirnya tewas di tangan Siau Cap-it Long dalam
pertarungan memperebutkan golok jagal rusa.
Kini secara tiba-tiba Hou
Bu-pe muncul di sini, apakah kemunculannya ini bermaksud untuk membalas dendam?
To-pik-eng-ong adalah salah
seorang jago tangguh yang ditugaskan oleh Tio Bu-khek untuk melindungi golok
jagal rusa, namun dia sendiri juga tewas secara mengenaskan.
Apakah Hou Bu-pe tahu akan
rahasia dibalik peristiwa itu?
Hong Si-nio tak melihat
perubahan mimik wajahnya, tapi ia yakin parasnya pasti merah padam. Dalam
keadaan seperti ini tak mungkin ia terus membual di depan Hou Bu-pe, ia mulai
mencari akal untuk ngacir dari tempat ini.
Belum sempat ia angkat kaki,
Ong Bing sudah menarik tangannya sambil berkata, "Di kapal ini tersedia
arak dan daging, mengapa kalian tidak menikmatinya?"
Hong Si-nio sudah menduga akan
pertanyaan ini.
Hu It-gwan hanya diam saja,
terhadap Ong Bing ia tidak akan sungkan seperti terhadap Hou Bu-pe.
Walau Ong Bing berangasan dan
kasar, namun ia bukanlah orang bodoh, mengetahui sikap orang yang dingin, ia
menegur sambil melotot, "Kau hanya kenal pada Hou-toako, memangnya kau
tidak mengenali aku?"
"Memangnya kau ini
siapa?" sahut Hu It-gwan.
"Aku bernama Ong Bing,
seorang Hwesio yang tak terkenal."
"O!"
"Aku hanyalah seorang
Hwesio yang diusir dari Siau-lim-si."
Hu It-gwan tidak menanggapi,
hanya tertawa dingin.
Tiba-tiba Ong Bing menunjuk
hidung sendiri, katanya, "Akulah si Hwesio liar yang nyaris menghancurkan
ruang Lo-han-tong kuil Siau-lim-si, akulah si Hwesio baja yang tidak mampus
walau sudah digebuk seratus delapan puluh kali pukulan toya."
Berubah hebat paras muka Hu
It-gwan. Rupanya ia telah salah menduga orang.
Hong Si-nio pun tidak kalah terperanjatnya.
Mengapa Hwesio liar ini bisa
muncul di sini? Apakah dia datang untuk menghadapi Siau Cap-it Long.
Tanpa mempedulikan Ong Bing
yang masih tercengang, Hu It-gwan berkata sambil menghela napas, "Tidak
sembarang orang boleh naik ke kapal itu."
"Memangnya kalian bukan
tamu yang diundang Siau Cap-it Long?"
"Justru kami adalah tamu
undangannya."
"Kalau kalian adalah
tamunya, kenapa tak boleh masuk ke dalam?"
Hu It-gwan ragu-ragu sejenak,
kemudian sahutnya sambil tertawa, "Tamu undangan banyak macamnya, sebab
tujuan kedatangan setiap orang berbeda."
"Lalu apa tujuan
kedatanganmu?"
"Aku datang untuk
bertamu."
"Kalau bertamu tak boleh
masuk, lantas manusia macam apa yang boleh masuk?"
"Orang yang datang untuk
membunuhnya!"
"Hanya orang yang ingin
membunuhnya baru boleh masuk untuk minum arak?" tanya Ong Bing melengak.
"Betul."
"Siapa yang omong
begitu?"
"Dia sendiri."
Tiba-tiba Ong Bing
mendongakkan kepala dan tertawa, serunya, "Bagus! Siau Cap-it Long si
bocah keparat, kau memang hebat.”
Di tengah kumandang gelak
tawanya yang nyaring, dia beranjak dari situ dan menerjang ke ruang perahu
dengan langkah lebar.
Lekas Su Jiu-san menarik
tangannya.
"He, mengapa kau menarik
tanganku, bukankah kita datang untuk membunuhnya?" tegur Ong Bing dengan
kening berkerut.
"Sekarang belum tiba
saatnya."
"O, karena itu kita tidak
boleh masuk untuk minum arak?"
"Di luar geladak begitu
banyak sahabat, apa artinya bila kau masuk seorang diri?"
Ong Bing merasa tak puas
mendengar perkataan itu, namun dia tidak membantah dan tidak berusaha lagi
menyerbu ke dalam. Meskipun begitu ia masih mengomel, "Hanya orang yang
ingin membunuhnya yang boleh masuk untuk minum arak, keparat... bila kau bukan
telur busuk tentu kau memang punya kemampuan."
Sebenarnya Siau Cap-it Long
seorang keparat atau telur busuk? Hong Si-nio pun sering bertanya kepada diri
sendiri, entah sudah berapa puluh kali.
Sekonyong-konyong dari ruang
bawah loteng terdengar suara orang terbatuk-batuk, rupanya ada seorang yang
sedang duduk di ruangan situ sambil menenggak arak, mungkin karena kurang
hati-hati hingga tersedak.
Hanya orang yang ingin
membunuhnya yang boleh masuk untuk minum arak. Jadi orang ini datang untuk
membunuhnya.
Nyali siapa yang begitu besar
hingga berani datang secara terang-terangan untuk membunuh Siau Cap-it Long?
Hong Si-nio jadi ingin tahu
orang macam apa dia.
Sayang dia tak dapat
melihatnya. Orang itu berdiri membelakangi jendela hingga wajahnya tak
terlihat.
Hong Si-nio hanya bisa melihat
orang itu memakai baju biru yang sudah luntur dan ada beberapa tambalan.
Dengan santainya orang itu
masih makan dan minum.
Siapakah dia?
Siapa pun orangnya, dengan
penampilannya yang santai dan keberaniannya untuk datang secara
terang-terangan, jelas dia bukan sembarang tokoh.
Di dalam maupun di luar
geladak tak nampak bayangan Siau Cap-it Long, kemana perginya dia?
Perlahan-lahan Hong Si-nio
merambat turun kembali ke perahunya sendiri, tampak Sim Bik-kun menunggu dengan
cemas dan gelisah.
"Kau telah berjumpa
dengannya?"
Hong Si-nio menggeleng.
"Tapi aku yakin dia pasti
berada di kapal itu."
"Kenapa?"
"Sebab hanya dia yang
bisa melakukan perbuatan semacam ini," sahut Hong Si-nio sambil menghela
napas.
"Perbuatan apa?"
Hong Si-nio tertawa getir:
"Dia telah mengundang tiga-empat
puluh orang untuk berpesta, namun khusus untuk orang yang bermaksud
membunuhnya."
"Mengapa dia berbuat
begitu?"
"Siapa yang tahu,
perbuatannya memang selalu membingungkan orang, biar berpikir sampai kepala
pecah juga belum tentu orang lain bisa menebaknya."
Padahal dia bukannya tidak
tahu sama sekali.
Siau Cap-it Long sengaja
berbuat begitu karena dia pun tahu tak seorang pun di antara para tamunya itu
yang bermaksud membunuhnya.
Dia hanya ingin tahu, ingin
membuktikan, berapa banyak orang yang ingin membunuhnya.
Semua perbuatan Siau Cap-it
Long hanya Hong Si-nio seorang yang paham, di kolong langit ini tiada orang
kedua yang jauh lebih memahami Siau Cap-it Long ketimbang dirinya.
Hanya saja dia enggan
mengutarakan keluar. Apalagi di hadapan Sim Bik-kun.
Dia berharap Sim Bik-kun jauh
lebih memahami Siau Cap-it Long ketimbang dirinya.
Dari ruang kapal pesiar
kembali berkumandang suara seruling dan irama lagu, perlahan Sim Bik-kun
mendongakkan kepala, mengawasi jendela yang terang benderang dengan termangu,
sorot matanya berubah sendu.
Hong Si-nio tahu apa yang
sedang dia pikirkan.
Benarkah dia berada di atas
loteng?
Berapa banyak orang yang
menemaninya?
Siapa saja yang sedang
menemaninya?
Gara-gara cinta, orang mudah
berubah jadi pencemburu dan banyak curiga?
Diam-diam Hong Si-nio menghela
napas panjang, tiba-tiba katanya, "Aku ingin naik lagi ke atas kapal untuk
melihat keadaan."
"Tapi ... tapi bukankah
Su Jiu-san telah mengenalimu?" kata Sim Bik-kun ragu.
"Kalau dia sudah mengenaliku,
kenapa pula aku harus menghindarinya?"
Sim Bik-kun tidak bicara lagi.
Sebenarnya ia tidak setuju
dengan perbuatan Hong Si-nio, namun apa daya, ia tak mampu mencegahnya.
Bagaimanapun juga mereka adalah dua orang perempuan yang berbeda watak, pandangan
mereka terhadap suatu persoalan juga selalu berbeda.
Hong Si-nio tak pernah
menghindari suatu persoalan ataupun kehendaknya, apapun resikonya.
Mendadak Sim Bik-kun berbisik,
"Aku ikut!"
"Kau?"
"Kalau kau boleh ke sana,
mengapa aku tak boleh?"
Dengan perasaan terkejut Hong
Si-nio mengawasi wajahnya, sorot matanya memancarkan senyum kegembiraan.
Ternyata Sim Bik-kun telah
berubah.
Dia seakan sudah mendapatkan
sesuatu benda yang sebelumnya mustahil dimilikinya, yaitu keberanian!
"Mari kita pergi bersama,"
ajak Hong Si-nio sambil menarik tangannya, "tempat yang bisa kudatangi,
tentu saja kau pun boleh ke sana."
Hong Si-nio segera melompat
naik ke geladak kapal pesiar.
Sim Bik-kun segera menyusul di
belakangnya.
Ternyata ilmu meringankan
tubuhnya cukup tinggi, ilmu senjata rahasia warisan keluarganya terlebih sangat
hebat, namun setiap kali bertarung, dia sering mengalami kekalahan.
Mungkin hal ini disebabkan dia
tidak memiliki keberanian. Tanpa keberanian, setinggi apapun ilmu silatnya
menjadi tak berguna.
Ketika melihat ada dua orang
wanita yang berdandan sebagai tukang perahu tiba-tiba melompat naik ke atas
kepal dengan Gin-kang yang hebat, tentu saja menimbulkan perasaan terkejut bagi
semua orang.
Tapi Hong Si-nio sama sekali
tak ambil peduli. Ia hanya menyapa Su Jiu-san, yang lain tak digubrisnya.
Su Jiu-san mendekatinya sambil
menggoyang kipas lipatnya, sorot mata semua orang tertuju pada dirinya.
Semua kenalan Su Jiu-san
memang lebih baik dihindari, karena orang ini tersohor gemar membunuh orang,
apalagi di sampingnya ada Hwesio baja yang kebal terhadap senjata.
"Akhirnya kau datang
juga," sapa Su Jiu-san.
"Hm!"
"Sudah kuduga, kau pasti
akan datang," kembali kata Su Jiu-san sambil tertawa.
"Oya?"
"Bukan suatu pekerjaan
yang gampang bagi seseorang untuk menipu sahabat lama dengan menyaru
muka."
"Apalagi terhadap seorang
sahabat lama macam kau," sambung Hong Si-nio.
Gelak tawa Su Jiu-san semakin
riang.
"Oleh sebab itu sedari
tadi kau sudah mengenaliku?" kata Hong Si-nio lagi.
Su Jiu-san manggut-manggut,
katanya lagi, "Tapi aku pun merasa tak paham akan suatu hal."
"Hal yang mana?"
"Darimana kau tahu kalau
Siau Cap-it Long ada di sini?" bisik Su Jiu-san dengan suara lirih.
Hong Si-nio segera menarik
muka, sahutnya ketus, "Kenapa aku harus tahu kemana Siau Cap-it Long
pergi, memangnya aku ini ibunya?"
Sekali lagi Su Jiu-san tertawa
tergelak.
"Aku pun tak sudi
mengurus tujuanmu datang kemari."
"Tentu saja," sahut
Su Jiu-san tergelak, "memangnya kau emakku?"
"Aku hanya ingin kau
melakukan satu hal untukku."
"Katakan saja."
"Aku hanya ingin kau
menemani aku, kemana pun aku pergi."
Su Jiu-san mengawasinya dengan
terperangah, di luar dugaan, tapi dia pun merasa gembira.
Kembali Hong Si-nio melotot
sekejap, bisiknya, "Aku hanya ingin kau merahasiakan asal-usulku."
Setelah memandang perempuan
itu sekejap, akhirnya Su Jiu-san menghela napas panjang, katanya, "Sudah
kuduga, kedatanganmu ini takkan menguntungkan bagiku." Lalu dengan
memicingkan mata dia melirik sekejap ke arah Sim Bik-kun yang berada di
belakang perempuan itu, tanyanya lagi, "Siapa dia?"
"Kau tak perlu tahu, aku
ingin bertanya, kau mau membantu atau tidak?"
"Boleh tidak kalau aku
menolak?"
"Tidak bisa."
"Kalau tak bisa, buat apa
kau bertanya lagi padaku?" sahut Su Jiu-san sambil tertawa getir.
Hong Si-nio tertawa, ujarnya
dengan wajah berseri, "Kalau begitu temani aku ke sana, aku ingin ke
sana."
"Mau apa kau ke
sana?"
"Aku hanya ingin tahu
siapa yang sedang duduk di situ sambil minum arak?"
"Kau tak bakal tahu."
"Kenapa?"
"Sebab dia memakai
penutup wajah."
Orang itu ternyata memakai
topeng kulit manusia yang lebih mirip sebuah penutup muka.
Karena topeng ini rata sama
sekali permukaannya, tak ada kerutan wajah, juga tak nampak hidung, mata maupun
mulut, yang terlihat hanya dua buah lubang.
Dari balik lubang itu memancar
sinar mata yang tajam.
Orang itu nampak santai, tapi
karena dia mengenakan topeng hingga tampak misterius.
"Jadi kau pun tak tahu
siapa orang itu?" tanya Hong Si-nio.
Su Jiu-san menggeleng,
sahutnya tertawa getir, "Cara yang dipergunakan orang ini jauh lebih
mujarab ketimbang menyamar, biar bininya datang juga belum tentu bisa
mengenalinya."
"Kalau kau sudah berani
datang, kenapa tak berani menjumpai orang itu?" tanya Hong Si-nio dengan
kening berkerut.
"Pertanyaan ini
seharusnya kau ajukan kepadanya, setelah memperoleh jawabannya baru
memberitahukan kepadaku."
"Siau Cap-it Long
maksudmu?"
"Betul, seharusnya kau
tanyakan persoalan ini kepada Siau Cap-it Long, aku sendiri pun ...."
Mendadak ucapannya berhenti di
tengah jalan, sorot matanya segera beralih ke arah tangga loteng kapal itu.
Seseorang dengan langkah
mantap sedang menuruni tangga.
Orang itu memiliki perawakan
tubuh kekar, gagah dan lincah.
Dia mengenakan jubah hitam
dari sutera yang halus, sebilah golok tersoreng di pinggangnya.
Golok jagal rusa!
Akhirnya Siau Cap-it Long
muncul!
Meskipun berdiri di antara
orang banyak, dia masih tampak kesepian dan lelah. Namun sepasang matanya
mencorong terang dan dingin.
Setiap kali melihat sorot
matanya, timbul perasaan aneh dalam hati Hong Si-nio.
Manis, kecut atau bahkan
getir.
Orang lain tentu tak paham,
bahkan dia sendiri juga susah membedakan.
Lalu bagaimana dengan Sim
Bik-kun?
Setelah melihat Siau Cap-it
Long muncul, bagaimana pula perasaan Sim Bik-kun?
Mereka hanya berdiri termangu,
tidak memanggil, juga tidak masuk ke dalam.
Sebab keduanya tak ingin
memanggil duluan, siapa pun tak ingin memperlihatkan perubahan perasaannya.
Bagaimanapun juga mereka
adalah wanita, wanita yang sudah terpeleset dan jatuh ke dalam lembah
percintaan.
Apalagi selain mereka, di
sekeliling tempat itu masih terdapat banyak orang yang sedang memandangnya.
Siau Cap-it Long sama sekali
tidak berpaling ke arah mereka, dia bahkan tidak menaruh perhatian.
Sorot matanya mengawasi
manusia berbaju hijau yang mengenakan penutup wajah, tegurnya, "Kau datang
untuk membunuhku?"
Orang berbaju hijau itu
mengangguk.
"Dan kau tahu kalau aku
berada di atas loteng?"
"Hm!"
"Kenapa tidak langsung naik
ke atas dan turun tangan?"
"Aku tidak ingin
terburu-buru."
"Benar, membunuh orang
memang tak bisa dilakukan dengan terburu-buru," Siau Cap-it Long
mengangguk.
"Itulah sebabnya aku tak
pernah terburu-buru bila ingin membunuh seseorang."
"Tampaknya kau mengerti
cara membunuh orang."
"Kalau aku tidak
mengerti, mana mungkin datang kemari untuk membunuhmu?" sela orang berbaju
hijau itu dingin.
Siau Cap-it Long tertawa.
Biarpun sedang tertawa namun
sorot matanya justru tampak dingin dan berkilat, ditatapnya orang berbaju hijau
itu dan katanya, "Topengmu itu jelek sekali."
"Sekalipun jelek, namun
besar manfaatnya."
"Kalau kau memang punya
nyali untuk membunuhku, kenapa tak berani memperlihatkan wajah aslimu?"
"Sebab aku datang untuk
membunuh, bukan untuk bertemu denganmu."
"Bagus, bagus
sekali," Siau Cap-it Long tertawa.
"Apanya yang bagus?"
"Kau memang seorang yang
menarik, sungguh jarang ada orang datang untuk membunuhku," setelah
menghela napas, lanjutnya, "sayang terlalu banyak orang yang tak tahu diri
di dunia ini, terlebih orang yang tak punya nyali."
"Orang yang tak punya
nyali?"
"Aku sudah menyiapkan
hidangan dan arak cukup banyak, tak disangka hanya kau seorang yang berani
datang."
"Mungkin orang lain tak
ingin membunuhmu."
Siau Cap-it Long tertawa
dingin.
"Mungkin orang lain ingin
membunuhku, tetapi tidak berani secara terang-terangan, hanya berani membokong
orang dengan cara licik."
Baru selesai ia berkata, dari
luar ruangan telah menerjang masuk seseorang, dia adalah seorang lelaki
berkumis paku dan berwajah hitam.
"Aku bernama Ong
Bing," teriaknya keras.
"Kau pun datang untuk
membunuhku?" tanya Siau Cap-it Long sambil menatap wajahnya, senyuman
kembali terlintas di balik sorot matanya.
"Sekalipun aku tidak
berniat membunuhmu, tapi sekarang aku harus membunuhmu."
"Kenapa?"
"Karena aku tak tahan
melihat lagakmu yang memuakkan."
"Bagus, tak disangka
kembali muncul seorang yang menyenangkan."
"Hm, walaupun orang yang
menyenangkan sangat banyak, orang yang memuakkan justru hanya aku
seorang," terdengar seseorang tertawa dingin.
"Siapa?"
"Aku!"
Seseorang perlahan-lahan
berjalan masuk, wajahnya kaku kuning kepucat-pucatan, orang ini adalah Hou
Bu-pe.
"Kau adalah orang yang
tak menyenangkan?" tanya Siau Cap-it Long.
Paras muka Hou Bu-pe tetap
kaku tanpa perubahan.
Kembali Siau Cap-it Long
menghela napas panjang, "Tampaknya kau memang orang yang tidak
menyenangkan."
"Orang yang datang untuk
membunuhmu mungkin banyak jumlahnya, namun yang mampu membunuhmu rasanya hanya
satu orang," tiba tiba Hou Bu-pe berkata.
"O ya?"
"Kalau kau sudah tahu
cepat atau lambat akhirnya kau bakal mati, kenapa kau malah menganggap dia
menyenangkan?"
"Apakah orang itu adalah
kau?"
"Hm!"
Lagi-lagi Siau Cap-it Long
tertawa.
"Tapi sebelum aku turun tangan,
terlebih dulu aku akan mewakilimu membunuh seseorang," kembali Hou Bu-pe
berkata.
"Kenapa?"
"Sebab kau telah
mewakiliku membunuh seseorang."
"Siapa?"
"To-pik-eng-ong!"
"Dia bukan tewas di
tanganku?"
"Peduli apapun yang telah
terjadi, yang pasti dia tewas gara-gara kau"
"Oleh karena itu kau
hendak mewakiliku membunuh orang?"
"Benar."
"Siapa yang akan kau
bunuh?"
”Terserah siapa pun yang ingin
kau bunuh."
Siau Cap-it Long menghela
napas panjang, katanya perlahan, "Tampaknya kau adalah orang yang bisa
membeda budi dan dendam secara jelas."
Hou Bu-pe tidak menjawab, dia
hanya tertawa dingin.
"Kapan kau akan
membunuhku?" tanya Siau Cap-it Long lagi.
"Terserah kau."
"Jadi kau tidak
terburu-buru?"
"Cukup lama aku menunggu,
apa salahnya kalau menunggu beberapa hari lagi."
"Apa kau bersedia
menunggu hingga bulan purnama lewat?"
"Kenapa harus menunggu
setelah bulan purnama lewat?"
Siau Cap-it Long tersenyum.
"Bulan purnama di danau
Se-ouw sangat indah, kalau sudah mampus, bukankah kejadian ini sangat tidak
menarik?"
"Malam ini bulan
purnama."
"Itulah sebabnya kau tak
perlu menunggu terlalu lama."
"Baik, akan
kutunggu!"
"Asal di sini tersedia
arak, biarpun harus menunggu beberapa hari lagi juga tidak soal" Ong Bing
menambahkan.
"Bagus, hidangkan
arak!" seru Siau Cap-it Long sambil tertawa tergelak.
Arak pun segera disuguhkan.
Dengan cepat Ong Bing
menenggak tiga cawan arak, mendadak teriaknya sambil menggebrak meja,
"Kalau arak sudah dihidangkan, mana dagingnya?"
Maka daging pun dihidangkan.
Tiba-tiba orang berbaju hijau
menggebrak meja sambil berseru pula, "Setelah arak dan daging dihidangkan,
mana nyanyiannya?"
Suara irama musik pun
berdendang membelah keheningan di kapal itu, menyusul kemudian terdengar
seseorang bersenandung.
Siau Cap-it Long mendongakkan
kepala sambil tertawa tergelak, "Seorang lelaki sejati dapat menikmati
kehidupan dengan gembira begini, mati pun tak perlu menyesal, apalagi dapat
menikmati lagu sambil menenggak arak."
Suara kecapi dari atas loteng
berdentang makin cepat.
Siau Cap-it Long mencabut
golok, kemudian mulai menari mengikuti irama lagu.
Cahaya golok memancar memenuhi
angkasa bagaikan naga sakti sedang bermain, sama sekali tak nampak bayangan
tubuhnya.
Semua orang yang hadir di atas
geladak kapal terpana, tapi ada seorang yang paling terpana?
Sim Bik-kun? Atau Hong Si-nio?
Dia terpana sampai air mata
mengucur deras.
Mengapa dia tidak melihat
kehadiranku? Su Jiu-san dapat mengenaliku, mengapa dia tidak?
Apakah dia telah melupakan
kami berdua? Atau memang selamanya dia tak pernah menaruh perhatian terhadap
wanita?
Ia gembira, juga kecewa,
campur aduk perasaannya. Mengapa tidak dirinya saja yang menegurnya terlebih
dulu?
Hong Si-nio sudah bukan
perempuan macam itu, ia telah berubah.
Mungkinkah mulai berubah sejak
pertemuan malam itu?
Mungkinkah dirinya telah
berubah menjadi seorang perempuan sejati sejak malam yang tak terlupakan itu?
Cahaya golok yang berkilauan
menyinari wajahnya, namun justru sinar matanya berubah menjadi redup.
Dia tidak merasakan pada saat
itu Sim Bik-kun sedang mengawasinya.
Dia sedang mengenang
kehangatan, kemesraan, kepedihan dan kegembiraan ketika masih bersamanya.
Lalu apa yang sedang
dipikirkan Sim Bik-kun?
Tiba-tiba berkumandang suara
pekikan naga, suara pekikan yang memekakkan telinga.
Cahaya rembulan kembali
bersinar terang.
Sementara golok itu sudah
disarungkan kembali.
Siau Cap-it Long duduk sambil
mengangkat cawan, parasnya berubah jadi tenang, seakan tak pernah terjadi
sesuatu apapun.
Menyaksikan permainan golok
yang begitu hebat, seketika peluh Ong Bing bercucuran di jidat sebesar kedelai.
Apakah benar yang dimainkan
itu adalah ilmu golok?
Apakah benar ilmu golok itu
dimainkan seorang diri?
Saking gugupnya Ong Bing
menyambar poci arak di meja, langsung ditenggaknya habis, setelah itu barulah
ia menghela napas panjang, saat itulah baru ia sadar bahwa di hadapannya telah
berkurang seorang.
Meskipun paras Hou Bu-pe yang
berwarna kuning pucat masih tanpa perubahan, namun diam-diam ia pun membesut
keringat yang menetes dijidatnya.
Ong Bing berpaling ke arahnya,
menuding tempat duduk di hadapannya yang telah kosong.
Hou Bu-pe hanya menggeleng.
Tak seorang pun yang melihat
sejak kapan orang berbaju hijau itu pergi dari situ, tak ada yang tahu dia
pergi lewat mana.
Kapal itu berlabuh di tengah
danau, kemana dia bisa pergi?
Mendadak terdengar orang
berteriak, "Coba lihat perahu itu!"
Perahu itu sebenarnya adalah
perahu Hong Si-nio, sebelumnya perahu itu sudah diikat pada kapal dengan seutas
tali.
Hong Si-nio terhitung wanita
yang gegabah, namun Sim Bik-kun termasuk yang amat teliti, sebelum meninggalkan
perahu tadi, dia telah mengikatkan tali di ujung perahunya dengan tiang di atas
Cui-gwat-lo.
Kini tali pengikat itu sudah
diputus orang, sementara perahu itu sedang bergerak perlahan menuju ke tepi
danau.
"Bocah itu pasti berada
di atas perahu."
"Biar aku pergi
mencarinya."
"Buat apa dicari?"
"Aku hanya ingin tahu
orang macam apakah dia? Mengapa dia pergi begitu saja dari sini?"
Ternyata yang bicara adalah
seorang lelaki kekar berwajah keren, seorang Hohan dari Tay-ouw, si macan
kumbang air Ciang Hing.
Baru saja dia ingin melompat
ke depan, mendadak seorang berjalan keluar dari sisi ruang perahu sambil
menggendong tangan, orang itu adalah orang berbaju hijau yang misterius itu.
Ternyata dia tidak melarikan
diri.
Ciang Hing tertegun.
Hampir semua yang hadir ikut
tertegun.
Orang berbaju hijau itu sudah
siap masuk kembali ke dalam ruang perahu, dia melirik perahu itu sekejap,
tiba-tiba sambil membalik badan dia membuat gerakan menarik, sepasang tangannya
dicakarkan berulang kali di tengah udara ke arah perahu yang sedang bergerak
pelan itu.
Perahu yang sudah mulai
menjauhi kapal secara tiba-tiba kembali mendekati kapal pesiar itu.
Seketika paras muka Ciang Hing
berubah hebat, demikian pula paras semua orang yang hadir di situ.
Ciangbunjin Sing-gi-bun Hu
It-gwan yang lama tak bersuara tiba tiba menarik napas panjang, kemudian
serunya, "Bukankah ilmu ini adalah Tiong-lo-hui-hiat Kun-goan-it-khi-sin-kang
yang sangat hebat itu?"
Begitu mendengar ucapan itu,
seketika semua orang terperanjat.
Orang berbaju hijau itu sama
sekali tidak memandang ke arah mereka, melirik pun tidak, sembari menggendong
tangan dia masuk kembali ke ruang perahu dan duduk seperti tadi.
"Ilmu golok yang
hebat!" katanya pada Siau Cap-it Long sambil mengangkat cawan.
"Ilmu khikang yang
hebat!" balas Siau Cap-it Long sambil mengangkat pula cawannya.
Sekali teguk orang berbaju
hijau menghabiskan isi cawannya, kemudian pujinya, "Arak bagus!"
"Ilmu golok bagus, ilmu
khikang bagus, arak pun bagus, ada tidak yang tak bagus?"
"Ada!"
"Apa yang tak
bagus?"
"Golok sudah keluar dari
sarung, namun tak menjumpai darah, itulah tidak bagus."
"Ada yang lain?"
tanya Siau Cap-it Long tenang.
"Mengendalikan perahu
dengan khikang hanya akan membuang tenaga saja, suatu perbuatan yang tidak
cerdas."
"Ada lagi?"
"Dalam cawan ada arak
tapi telinga tak mendengar suara nyanyian, inilah tidak menggembirakan."
"Bagus, bagus, sungguh
menggembirakan, kalau tidak minum sampai mabuk, percuma disuguh arak
wangi," katanya sambil tertawa, lalu ia pun bertepuk tangan, maka lagu pun
kembali didendangkan memecah keheningan malam.
Untuk ketiga kalinya Hong
Si-nio mendengar suara nyanyian yang merdu ini, akhirnya dapatlah ia mengenali
suara gadis yang mendendangkan lagu itu.
Pin-pin!
Ya, pasti Pin-pin.
Ternyata Siau Cap-it Long
berhasil juga menemukan gadis itu.
Mendadak muncul suatu perasaan
aneh dalam hati Hong Si-nio, dia tak tahu perasaan itu pertanda gembira atau
sedih?
Saat itulah Sim Bik-kun
menarik ujung bajunya.
Ia pun menempelkan mulutnya di
sisi telinga perempuan ini sambil bertanya, "Ada apa?"
"Orang ini bukan yang
tadi," bisik Sim Bik-kun lirih.
"Orang yang mana?"
"Orang berbaju hijau
itu."
Berubah paras muka Hong
Si-nio.
Kembali Sim Bik-kun berkata,
"Biarpun pakaian dan penutup muka yang dikenakan sama, namun orangnya
telah berubah."
"Kau dapat
melihatnya?"
"Hm."
"Dimana letak
perbedaannya?"
"Tangan orang ini jauh
lebih kecil dan kukunya sedikit lebih panjang daripada orang tadi."
"Kau yakin tidak
salah?"
Ia baru sadar, mestinya
pertanyaan ini tidak perlu diajukan, karena ia tahu watak Sim Bik-kun. Hal yang
tak diyakini takkan diutarakannya.
Mengapa orang berbaju hijau itu
harus bertukar diri? Rencana busuk apalagi yang akan dilakukannya selain ingin
membunuh Siau Cap-it Long?
Tak tahan Hong Si-nio
bertanya, "Kau tahu siapa orang itu?"
"Tidak."
"Aku pun tidak tahu siapa
dia, tapi semestinya bisa kutebak siapakah orang ini."
"Kenapa?"
"Tidak banyak tokoh dunia
persilatan yang berhasil menguasai ilmu khikang sehebat itu."
"Mungkin saja tenaga
khikangnya juga palsu," kata Sim Bik-kun setelah termenung sejenak.
"Palsu?"
"Bukankah mereka datang
berdua? Bisa saja salah satu di antara mereka mendorong perahu itu dari dalam
air."
"Jadi mereka sengaja main
sandiwara untuk menakut-nakuti orang?"
"Hm."
"Tapi Hu It-gwan
terhitung jago kawakan, masakah dia tak curiga terhadap orang ini?"
"Mungkin saja dia
bersekongkol dengan mereka."
Hong Si-nio tertegun.
Tiba-tiba saja dia sadar bukan saja Sim Bik-kun berubah jadi pemberani, dia pun
berubah jadi semakin pintar.
Seringkali kepintaran ibarat
sebilah golok tajam, makin sering diasah akan makin tajam dan berbahaya.
"Cring", tiba-tiba
suara kecapi berhenti, suara nyanyian pun ikut berhenti.
Ketika senar kecapi terputus,
suasana keliling tempat itupun berubah jadi hening, sepi.
Entah sudah lewat lama
kemudian, perlahan orang berbaju hijau itu berkata, "Senar kecapi putus
nyanyian pun terhenti, tidak bagus."
Mendadak Siau Cap-it Long
melompat bangun. Kembali orang berbaju hijau itu berkata, "Senar kecapi
sudah putus, tapi tetap ngotot untuk dimainkan, tidak cerdik." Siau Cap-it
Long duduk kembali di tempat semula. "Tamu sudah kehilangan gairah,
perjamuan sudah waktunya buyar, tidak menggembirakan."
Siau Cap-it Long menatap tajam
orang itu, ujarnya dingin, "Banyak mulut banyak bencana, banyak mulut
pasti celaka, tidak bagus dan tidak cerdas."
"Benar."
Kemudian orang berbaju hijau
itu bungkam, bahkan mata pun dipejamkan.
Siau Cap-it Long mengangkat
cawannya, tapi segera diletakkan kembali, wajahnya yang semula berseri kini
berubah serius, mendadak sambil bangkit berdiri katanya, "Siapa yang ingin
pergi silakan pergi, yang ingin tetap tinggal silakan tetap tinggal, aku sudah
mabuk, ingin tidur, aku benar-benar mabuk."
"Hm, aku sudah datang,
kau tak boleh mabuk," mendadak seseorang menimpali dengan suara dingin.
XXIII. TAMU BERBAJU PUTIH DAN
NYANYIAN DUKA
Di geladak kapal, tak seorang
pun bicara.
Di ujung geladak pun lengang.
Hening!
Lalu darimanakah suara itu?
Suara itu datang dari tengah
danau.
Di antara riak air di
permukaan danau, di bawah cahaya rembulan yang terang benderang, di mana orang
itu?
Di kejauhan sana, nun jauh di
sana tcrlihat sebuah lentera, perahu dan sesosok bayangan manusia. Biarpun
orang itu masih jauh di sana, namun suaranya terdengar jelas seperti di kepala
ini.
Memang orang kalau sudah
sempurna tenaga dalamnya, tidak akan sulit melakukan hal itu. Yang mengherankan
justru ia dapat mendengarkan percakapan di kapal itu.
Siapakah dia?
Tak seorang pun tahu.
Perahu kecil itu ibarat
selembar daun teratai yang terapung di permukaan air, bergerak lambat sekali.
Siau Cap-it Long pun sudah
melihat perahu kecil di tengah danau, dia pun sudah melihat bayangan manusia
yang berada di atas perahu. Tiba-tiba serunya sambil tertawa, "Kalau
sampai kau pun ikut datang, mana mungkin aku tidak mabuk?"
Ucapan itu tidak terlalu keras
tapi bergema sampai jauh.
"Tidak boleh!"
"Kenapa?"
"Ada tamu datang dari
jauh, masakah tuan rumahnya mabuk?"
"Tamu dari jauh?
Darimana?"
"Di antara ombak yang
menggulung, di balik awan tebal."
Siau Cap-it Long tidak
bertanya lagi, sebab perahu itu sudah semakin dekat. Terlihat seorang berdiri
di bawah cahaya lentera.
Seorang berbaju putih, berdiri
bagaikan sukma gentayangan, tangannya memegang sebuah panji berwarna putih
pula. Apakah panji putih pengundang sukma? Sukma gentayangan siapa yang akan
diundangnya? Ternyata perahu kecil itupun berwarna putih, seakan sedang
tenggelam secara perlahan.
Ciang Hing yang berdiri paling
depan tiba-tiba menjerit, raut mukanya mengejang keras, teriaknya, "Setan
... yang datang bukan manusia tapi setan!"
Selangkah demi selangkah dia
mundur ke belakang dan mendadak tubuhnya roboh terkapar.
Jago tangguh yang sudah lama
malang melintang di danau Tay-ouw ini ternyata jatuh semaput lantaran kaget.
Tak seorang pun yang
menghampirinya ataupun berusaha memayang tubuhnya.
Semua berdiri kaku, jari tangan
basah oleh keringat dingin, bahkan ujung jari pun jadi dingin.
Sekarang semua dapat melihat
dengan jelas, ternyata perahu yang digunakan orang berbaju putih itu adalah
perahu yang terbuat dari kertas.
Perahu kertas yang biasanya
dibakar dan dilarung ketika memperingati kematian hari ketujuh seseorang. Paras
muka Hong Si-nio turut berubah. "Yang datang bukan manusia, tapi
setan!" Kalau dia manusia hidup yang terdiri dari darah dan daging, mana
mungkin bisa menyeberangi danau dengan menumpang perahu kertas?
"Di antara ombak yang
menggulung, di balik awan tebal." Jangan-jangan dia memang datang dari
neraka? Apa benar di dunia ini ada setan? Hong Si-nio tidak percaya.
Selama hidup ia tak percaya
dengan segala macam dongeng atau omong kosong, dia selalu melihat kenyataan.
Dia hanya percaya satu hal.
Terlepas orang itu sctan atau
manusia, yang pasti dia sangat menakutkan.
Peduli darimana dia,
kehadirannya adalah untuk membunuh Siau Cap-it Long.
Angin malam di musim gugur
berhembus lembut.
Ketika angin lembut berhembus
lewat, menggoyang perahu kertas itu hingga tenggelam ke dasar danau.
Tapi anehnya, orang di atas
perahu itu tidak ikut karam.
Kini dia sudah tiba di atas
Cui-gwat-lo.
Ruang kapal pesiar itu masih
terang benderang, di bawah sorot lentera, semua dapat melihat tampang orang itu
dengan jelas.
Bersambung