Bentrok Para Pendekar Jilid 15

Baca Cersil Mandarin Online: Bentrok Para Pendekar Jilid 15
Jilid 15

Perawakan tubuh tidak tinggi, juga tidak pendek, rambutnya beruban, tidak mempunyai kumis atau jenggot. Mukanya pucat pasi dan berbentuk aneh, seperti habis dihajar orang. Sehingga tampak lucu.

Tapi semua orang tidak berani tertawa melihat muka yang lucu ini, yang mereka lihat adalah sepasang mata yang dingin mengerikan.

Matanya tak berbiji dan berwarna kuning, seluruhnya bola matanya berwarna putih.

Orang yang pernah melihat mata seperti ini, pasti seumur hidup takkan melupakannya.

Sedangkan panji yang digenggamnya bukanlah panji pengundang sukma, tapi panji tukang ramal yang bertuliskan, 'Ke atas menembus nirwana, ke bawah menyambangi neraka'.

Ternyata orang itu adalah seorang peramal buta.

Setelah melihat dari dekat, barulah semua orang merasa lega. Namun semuanya melupakan satu hal, manusia kadang lebih menakutkan daripada setan.

Siau Cap-it Long duduk kembali di bangkunya.

Terlepas si buta ini benar-benar buta atau tidak, paling tidak dia adalah seorang yang luar biasa.

Bila ada orang buta datang mencarimu dengan menumpang perahu kertas, perahu untuk sembahyang orang mati, tentu saja dia datang dengan maksud jahat.

Tentu saja kau pun tak perlu berdiri di luar pintu menyambut kedatangannya.

Apalagi Siau Cap-it Long jarang berdiri.

Perlahan-lahan si buta berjalan mendekat, ternyata dia tidak menggunakan tongkat bambunya untuk menuntun jalan.

Orang buta memiliki tanda khusus, Siau Cap-it Long dapat mengenalinya sekali pandang saja.

Kalau dia memang seorang buta, kenapa bisa datang sendiri ke tempat itu?

Apakah disebabkan cahaya lentera yang memancar dari kapal pesiarnya yang kelewat terang hingga dapat dirasakannya?

Bukankah perasaan orang buta selalu lebih tajam ketimbang orang biasa?

Orang buta itu berjalan dengan lambat, tapi langkahnya mantap. Semua orang yang berkumpul di geladak menyingkir ke samping memberi jalan.

Waktu lewat di antara orang banyak, lagaknya acuh seakan seorang raja yang lewat di antara para hambanya.

Belum pernah Siau Cap-it Long berjumpa dengan orang buta sesombong dan sejumawa ini, seandainya dia tidak buta pun belum tentu akan memandang sebelah mata terhadap semua yang hadir.

Seandainya dia benar-benar bisa melihat, mungkin tak seorang manusia pun di dunia ini yang dipandang sebelah mata olehnya. Tentu selama ini dia telah banyak melakukan perbuatan yang membuatnya merasa bangga, lalu apa yang pernah diperbuatnya?

Bila benar ia telah melakukan suatu perbuatan yang membuatnya bangga, tentu adalah suatu perbuatan besar, bila perbuatan yang menggemparkan pastilah banyak orang yang tahu.

Namun sekarang tak seorang pun yang tahu asal-usulnya, bahkan Hong Si-nio pun tak mengenalnya.

Hong Si-nio mempunyai firasat buruk mengenai kedatangan orang buta itu, dia pasti akan mendatangkan bencana atau kematian.

Di luar pintu ruang kapal, tergantung empat buah lentera.

Waktu itu si buta sudah berjalan hingga di bawah lentera.

"Berhenti!" seru Siau Cap-it Long tiba-tiba.

Si orang buta itu langsung berhenti, berdiri tegak lurus.

Sekalipun berdiri di bawah cahaya lentera yang terang benderang, namun sama sekali tak terlihat adanya debu atau kotoran yang menodai sekujur badannya.

Selama hidup belum pernah Siau Cap-it Long berjumpa dengan orang buta sebersih ini.

Saat itu si buta sedang menunggu dia bicara.

"Tahukah kau tempat apakah ini?" tanya Siau Cap-it Long.

Si orang buta menggeleng.

"Kau tahu siapakah aku?"

Kembali orang buta itu menggeleng.

"Kalau begitu, tidak seharusnya kau datang kemari."

"Tapi sekarang aku telah datang."

"Mau apa kau datang kemari?"

"Aku adalah seorang buta."

"Sudah kulihat, kau memang buta."

"Orang buta selalu banyak mendengar persoalan yang tak pernah didengar orang lain."

"Apa yang telah kau dengar?"

"Irama musik dan nyanyian."

"Berarti kau tahu tempat ini adalah Se-ouw?"

Si buta mengangguk.

"Suara musik dan nyanyian ada dimana-mana," ujar Siau Cap-it Long.

"Tapi irama musik dan nyanyian yang kudengar tadi sama sekali berbeda."

"Berbeda?"

"Beda sekali bila dibandingkan suara nyanyian lain."

"Dimana letak perbedaannya?"

"Ada irama lagu yang sedih, yang gembira, ada pula yang tenang penuh kebahagiaan, ada yang penuh dengan luapan emosi dan amarah," katanya perlahan, "seandainya kau pun buta seperti aku, dapat dipastikan kau akan mengerti banyak kejadian aneh dan menarik hati di balik irama lagu itu."

"Lantas apa yang kau tahu?"

"Bencana dan tragedi!"

Siau Cap-it Long mengepal kencang.

"Suara angin menjelang badai pasti berbeda dengan suara angin kala tenang, jeritan binatang buas di kala ajal juga berbeda di kala damai," ujar si buta dengan memiringkan kepala, "seorang kalau hendak kena bencana, bisa dirasakan dari irama nyanyian yang didendangkan, aku dapat merasakan hal itu."

Berubah paras Siau Cap-it Long.

Si buta melanjutkan omongannya, "Bencana ada kecil ada besar, bencana kecil paling mendatang kematian bagi diri sendiri, bencana besar bisa menyangkut jiwa orang lain yang tak berdosa."

"Kau tidak kuatir akan ikut terseret dalam bencana ini?" jengek Siau Cap-it Long.

"Kedatanganku ini justru hendak melihat keramaian."

"Keramaian apa?"

"Nona yang membawakan nyanyian itu."

Sungguh aneh, seorang buta dengan menumpang sebuah perahu kertas, khusus datang hanya untuk melihat orang menyanyi.

Siau Cap-it Long hanya diam saja.

Si buta juga diam.

Semua hadirin juga diam, mereka tahu apa yang dikatakannya memang tidak untuk bergurau.

"Kau benar-benar buta?" tanya Siau Cap-it Long sambil menatapnya tajam.

Si buta mengangguk.

"Masakah seorang buta bisa melihat?" tanya Siau Cap-it Long.

"Orang buta memang tak bisa melihat," katanya dengan tertawa penuh kepedihan, mukanya berkerut-kerut.

Saat itulah Siau Cap-it Long merasa seperti pernah bertemu dengan orang ini, tapi justru saat ini tidak teringat siapa gerangan dia.

"Tetapi orang buta justru dapat melihat apa yang tak bisa dilihat orang biasa," kata si buta.

"Bencana maksudmu?" sela Siau Cap-it Long.

Si buta manggut-manggut, lalu berkata, "Karena itulah aku kemari, ingin kutahu bencana macam apa yang bakal terjadi."

Siau Cap-it Long tertawa.

"Kenapa kau tertawa?" tegur si buta.

Tawa Siau Cap-it Long makin keras.

"Bencana itu bukan sesuatu yang menggelikan," seru si buta.

"Aku justru sedang menertawakan diriku sendiri."

"Kenapa?"

"Sebab selama ini belum pernah kudengar hal yang tak masuk akal ini."

Ternyata ada orang yang bisa menggerakkan hati Siau Cap-it Long. Biasanya Hong Si-nio pun tak sanggup menahan rasa gelinya dan akan tertawa terbahak-bahak.

Sekarang ia tak berani tertawa, tak mampu tertawa. Sebab dia tahu kejadian ini memang bukan suatu hal yang menggelikan.

"Apakah yang sedang menyanyi itu Pin-pin?" bisik Sim Bik-kun.

"Hm."

"Kau bilang Pin-pin sakit parah, bahkan mengidap penyakit yang tak bisa diobati."

"Hm."

Setelah menghela napas panjang, Sim Bik-kun berkata pula, "Apakah benar si buta ini bisa melihat suatu kejadian hanya dari mendengar suara nyanyiannya?"

Hong Si-nio diam, tak menjawab. Bukannya dia tak mau menjawab, tapi memang dia tak bisa menjawab. Kejadian ini memang tak masuk akal, namun justru benar-benar terjadi.

Setelah lewat beberapa lama, ia pun menghembuskan napas panjang, katanya, "Aku hanya berharap dia tidak melihat kejadian yang lain."

Bencana yang mereka hadapi memang sudah kelewat banyak. Lalu apalagi selain bencana yang bisa dilihat si buta ini?

Orang mengatakan Hong Si-nio itu liar dan galak, lebih mirip seorang lelaki, bahkan caranya minum lebih hebat dari lelaki.

Namun tiada yang mengatakan dia tidak cantik, dan sesungguhnya memang dia seorang yang cantik.

Perempuan, biasanya selalu beranggapan bahwa dirinya terlebih cantik dari orang lain. Namun berbeda dengan Hng Si-nio, dia beranggapan Sim Bik-kun terlebih cantik daripada dirinya, bahkan tiada yang lebih cantik darinya.

Namun sekarang anggapannya itu tidak benar, sebab sekarang dia menyaksikan ada seorang perempuan lain yang lebih cantik ....

Pin-pin!

Kecantikannya seakan mampu menyedot sukma setiap orang yang menyaksikannya.

Saat itu Pin-pin sedang menuruni tangga, mukanya pucat dan sayu.

Si buta berdiri di hadapannya, seakan sedang mengawasinya.

"Apa yang kau lihat?" tanya Siau Cap-it Long.

Si buta masih diam, lama kemudian baru menjawab, "Aku melihat sebuah rawa, rawa di lembah curam, tak ada kehidupan di sana...."

Tiba-tiba mukanya bercahaya, kemudian lanjutnya, "Tapi di tengah rawa itu ada seorang wanita."

Apakah yang ia maksudkan dengan rawa di lembah curam itu adalah lembah penyiksaan itu?

Apakah yang ia maksudkan dengan seorang wanita itu adalah Pin-pin yang didorong oleh Thian-kongcu?

Darimana ia bisa tahu semua ini?

Siau Cap-it Long menarik napas panjang, tanyanya, "Apalagi yang bisa kau lihat?"

Si buta bergumam lagi, "Aku lihat wanita itu merambat naik, tampaknya ia sedang sakit, sakit parah ..." Setelah menghembuskan napas, lanjutnya, "Tampaknya dia akan segera jetuh ke bawah, tapi mendadak ada sebuah tangan, tangan yang menariknya ke atas."

"Tentunya tangan seorang lelaki."

"Kini tangan itu sedang menggenggam sebilah golok yang aneh, sedang si wanita sedang menyanyi di sisinya, tapi mendadak senar kecapi putus dan dia tersungkur ke tanah."

"Apakah wanita yang sedang menyanyi itu adalah wanita di rawa itu?" tukas Siau Cap-it Long.

"Benar."

"Kau yakin? Dan kau dapat melihat wajahnya?"

"Aku tak bisa melihat wajahnya," sahut si buta ragu sejenak, "tapi dapat kulihat ada toh (noda sejak lahir) hijau setelapak tangan di pantat kirinya."

Belum habis ucapannya, paras muka Pin-pin seketika berubah hebat, kagetnya bukan main seakan dia didorong ke dasar jurang yang dalam.

Sebetulnya dia bukanlah seorang wanita yang mudah kaget ataupun takut, bahkan keteguhan hatinya melebihi baja, itulah sebabnya dia masih hidup sampai sekarang.

Tapi sekarang mengapa ia nampak begitu takut?

Apakah memang di pantat kirinya ada toh hijau itu?

Tersungging senyuman aneh di bibir si buta, katanya pula, "Ternyata aku tak salah lihat, aku tahu, aku tak bakal salah lihat...."

Perlahan si buta membalikkan tubuh hendak beranjak pergi, tapi mendadak tongkatnya ditusukkan ke tenggorokan Pin-pin.

Pin-pin tak bergerak, juga tak berusaha menghindar.

Sekujur tubuhnya seakan kaku, jangankan menghindar, bergerak pun tak mampu.

Semua orang menyaksikan tongkat si buta menusuk ke arah tenggorokan Pin-pin secepat kilat, namun tenggorokan Pin-pin masih seperti keadaan semula, tanpa terluka sedikit pun.

Untung di sampingnya ada Siau Cap-it Long, kecuali dia, siapa yang mampu menyelamatkan jiwanya?

Tak ada yang melihat bagaimana ia turun tangan, namun si buta dapat merasakannya.

Ia rasakan ada segulung tenaga menyerang bawah ketiaknya, dalam keadaan seperti itu, apabila ia tidak menarik tusukan tongkatnya, tentu dadanya akan remuk terhajar.

Si buta melompat mundur sejauh tujuh-delapan kaki, namun Siau Cap-it Long telah berdiri di depan pintu, menghadang jalan perginya.

Golok jagal rusa masih tetap berada di sarungnya. Tapi semua orang bisa merasakan hawa membunuh yang terpancar.

Si buta membalik tubuh dan berdiri berhadapan dengan Siau Cap-it Long, mukanya yang perot kaku membesi.

Dia tahu, orang yang berada di hadapannya ini takkan membiarkan dirinya berlalu dari situ dalam keadaan hidup.

"Kau telah salah sasaran," kata Siau Cap-it Long.

"Oya?"

"Yang ingin kau bunuh kan aku."

"Kau suruh aku membunuhmu?"

"Ya."

"Kenapa?"

"Karena kau sudah datang ke sini."

"Dan kau pun ingin membunuhku?"

Siau Cap-it Long tidak menyangkal.

Si buta tertawa, ujarnya hambar, "Padahal walau aku tak ingin membunuhmu, kau pun bisa membunuhku."

Sambil menatap wajah si buta, muncul perasaan aneh dalam hati Siau Cap-it Long, rasanya dia pernah bertemu dengan orang ini, tapi seketika tidak teringat siapakah dia?

Tangannya mulai meraba golok di pinggangnya.

"Sudah kukatakan, mesti aku buta, tapi bisa melihat apa yang orang lain tak bisa melihat," kata si buta.

"Sekarang apa yang kau lihat."

"Kusaksikan ada tangan menggenggam golok."

Siau Cap-it Long tidak kaget, kenyataan memang begitu.

"Aku pun melihat kau bertekad membunuhku," lanjutnya.

Siau Cap-it Long tertawa dingin.

"Seandainya peristiwa ini terjadi dua tahun yang lalu, kau pasti akan membiarkan aku berlalu, tapi sekarang kau telah berubah."

"Jadi dua tahun lalu kita pernah bertemu?" tanya Siau Cap-it Long.

"Umpama kita pernah bertemu, kuyakin dua tahun yang lalu kau bukan manusia semacam ini."

"Apa lagi yang kau lihat?"

"Aku lihat segumpal darah, di tengah genangan darah terdapat kutungan tangan, dalam genggaman kutungan tangan itu terdapat sebilah golok."

"Dapat kau lihat darah siapakah itu?"

"Darah siapa?" si buta tertawa, lanjutnya, "tentu saja darahmu, tangan dan golokmu."

Siau Cap-it Long mendongakkan kepala dan tertawa terbahak-bahak.

"Kematian bukan sesuatu yang menggelikan," tegur si buta.

"Yang kutertawakan kali ini adalah kau"

"Kenapa?"

"Sebab kali ini kau telah salah melihat." Golok jagal rusa masih berada dalam sarungnya. Golok belum dilolos, namun hawa membunuh makin tebal. Perlahan-lahan orang buta itu meletakkan kain putih di tangan kanannya, tiba-tiba ia melejit ke udara dan berjumpalitan beberapa kali, tongkat bambu ditusukkan ke depan.

Ketika melancarkan serangan, tongkat bambu yang lurus kaku itu bergetar dan meliuk-liuk, seakan berubah seperti ular. Seekor ular berbisa! Seekor ular berbisa yang hidup!

Ketika pertama kali melihat ular berbisa, waktu itu Siau Cap-it Long baru enam tahun. Yang dia jumpai adalah seekor ular derik yang ekornya bisa berbunyi keras.

Itulah untuk pertama kalinya dia digigit ular, juga merupakan terakhir kalinya.

Setelah itu, asal dia melihat sekilas, dengan cepat ia dapat membedakan jenis ular berbisa.

Untuk menghadapi kawanan binatang melata ini hanya ada satu cara, yaitu menghantam bagian tujuh inci di belakang kepala yang paling mematikan.

Selama ini dia tak pernah meleset, tak pernah gagal. Tapi kini dia gagal menemukan bagian itu, dia tak tahu dimana letaknya.

Ular berbisa di tangan si buta ini jauh lebih berbahaya dari ular berbisa yang pernah dijumpainya.

Kecuali si bangsawan Siau-yau-hou Thian-kongcu, ternyata orang buta ini merupakan lawan yang paling menakutkan, lawan tangguh yang selama hidup belum pernah dijumpainya.

Dia tahu, dalam keadaan seperti ini dia harus tenang.

Ketika tongkat bambu yang menyerupai ular berbisa itu menusuk tiba, dia sama sekali tidak bergerak.

Mengapa dia tidak bergerak?

Tidak bergerak itu berarti apa?

Tidak bergerak berarti bergerak!

Bukankah teori itu adalah rahasia paling tinggi dari ilmu silat?

Serangan tongkat si buta dari sungguhan berubah menjadi serangan tipuan, tongkatnya berubah seakan menjadi belasan tongkat yang mengancam bersama. sehingga sulit membedakan mana yang serangan sungguhan dan mana yang tipuan.

Bergerak berarti tidak bergerak.

Bayangan tongkat bambu seolah membeku menjadi selapis bayangan semu yang membingungkan, selapis kabut cahaya yang mengambang.

Kini Siau Cap-it Long mulai bergerak.

Tiba-tiba tubuhnya melompat sejauh delapan kaki.

"Tok, tok, tok", tongkat si buta menutul di lantai ruang kapal, tahu-tahu lantai kapal telah bertambah belasan lubang.

Siau Cap-it Long menghembuskan napas panjang.

Sekonyong-konyong tongkat bambu berbalik menyerang ke atas, lalu menyapu secepat kilat.

Sebenarnya tempat dimana Siau Cap-it Long berdiri lebih menguntungkan ketimbang si buta, namun siapa tahu lengan si buta pun seakan ikut berubah menjadi seekor ular berbisa, meliuk-liuk sesuka hatinya.

Lekas Siau Cap-it Long mundur ke belakang sambil melancarkan tendangan.

Sekilas gerakan ini sangat sederhana, namun justru tongkat si buta kena tertendangan dengan telak hingga mencelat.

Agaknya si buta tak menyangka akan gerakan ini. Cepat ia berputar untuk melindungi bagian tubuhnya yang lemah, lalu telapak tangan kiri membacok kaki Siau Cap-it Long.

Siau Cap-it Long menarik kakinya dan berdiri tegak di ruang geladak, kemudian ia sodokkan kepalannya ke hidung lawan.

Gerakannya masih biasa saja dan sederhana.

Siapa pun pasti menduga si buta akan dengan mudah menghindarinya, namun siapa sangka tiba-tiba pipi kirinya terasa sakit.

Ternyata pukulan Siau Cap-it Long yang sederhana itu telah bersarang di wajahnya yang jelek itu.

Si buta berjumpalitan di udara dan kembali berputar. Jarang ada orang yang bisa melakukan gerakan semacam itu.

Sekarang tahulah Siau Cap-it Long siapakah si buta ini.

Pin-pin pun tahu.

Seketika berubah hebat wajah kedua orang ini seakan melihat sukma gentayangan.

Dalam waktu singkat tubuh si buta yang masih berputar itu menerobos jendela dan melayang keluar.

Terdengar kumandang suaranya di kejauhan, "Ilmu silatmu sudah bertambah maju dibanding dua tahun silam, hanya sayang ...." Belum habis ucapannya, mendadak terdengar suara "Byuur."

Cahaya rembulan masih bersinar terang, gelombang air segera menghiasi permukaan danau, namun bayangannya sudah lenyap.

Paras Pin-pin seketika pucat, segera Siau Cap-it Long menggenggam tangannya yang dingin membeku.

Seketika suasana menjadi hening, bahkan suara napas pun tak terdengar.

Setelah lewat beberapa lama, dengan menghela napas Ong Bing berkata, "Sungguh lihai ilmunya."

Semua tahu jurus serangan yang dilancarkan si buta sungguh lihai dan mematikan dengan perubahan yang luar biasa.

Jarang ada orang yang bisa menghindari serangan itu, namun Siau Cap-it Long berhasil mengalahkannya, walaupun dengan jurus yang sangat umum dan sederhana.

XXIV. MABUK CINTA

Telaga Se-ouw ditimpa cahaya rembulan, indah mempesona.

Siapa orang yang mampu mengubah watak Hong Si-nio?

Jantung Hong Si-nio masih berdebar dengan kencang.

Debar jantungnya bukan dikarenakan pertarungan itu, namun sekarang dilihatnya Siau Cap-it Long sedang merangkul Pin-pin naik ke loteng.

Bagaimana pun ia seorang perempuan.

Dia sanggup mengorbankan diri demi orang, namun tak sanggup mengendalikan perasaan hatinya.

Bagaimana pula perasaan Sim Bik-kun?

Dengan tertawa paksa ujar Hong Su-nio perlahan, Dia memang gadis yang mearik dan patut dikasihani."

Sim Bik-kun memandang ke tempat jauh, seakan hatinya juga berada di sana, lama kemudian baru dia menjawab sambil menunduk, "Ya, aku tahu."

"Apakah sekarang kita akan naik dan mencarinya."

Sim Bik-kun tampak sangsi dan tidak menjawab.

Hong Si-nio tidak bertanya lagi karena dilihatnya Ong Bing sedang beranjak menghampiri mereka.

Dilihatnya Ong Bing celingukan seakan ada yang dicarinya.

"Siapa yang kau cari?" tegur Hong Si-nio.

"Loji."

Kini Hong Si-nio baru sadar kalau Su Jiu-san sudah tidak ada di sana.

Perahunya yang tadi ditarik balik terlihat sedang berlayar menjauh, sebagian besar para jago pun sudah pergi. Sisanya ada yang sedang tiduran atau sedang menikmati arak.

"Mana Su-loji?" kembali Ong Bing bertanya.

"Mana aku tahu, dia toh bukan anak kecil yang harus diawasi terus, kalian pun tak pernah menyerahkan dia padaku," jawab Hong Si-nio sambil menarik muka.

Ong Bing melengak, katanya, "Masakah dia pergi bersama orang lain?"

"Kenapa tidak kau periksa ke dalam?"

"Bagaimana denganmu?"

"Aku punya urusan sendiri, kau tak perlu ikut campur."

Ia pun menarik tangan Sim Bik-kun dan diajak masuk ke dalam ruang kapal.

Sekarang ia tahu, ternyata Sim Bik-kun bukan jenis perempuan yang dapat mengambil keputusan.

Sebenarnya ia masih mempunyai banyak persoalan yang perlu ditanyakan kepadanya.

Dengan terkejut Ong Bing mengawasi mereka yang sedang berjalan masuk ke ruang kapal, tak tahan teriaknya, "He, mau apa kalian? Kalian pun datang untuk membunuh Siau Cap-it Long?"

Hong Si-nio tidak menanggapi. Tiba-tiba terdengar ada seseorang menjawab, "Sekalipun semua orang ingin membunuh Siau Cap-it Long, namun kedua perempuan ini adalah kekecualian."

Cepat Ong Bing berpaling, segera ia tahu yang bicara adalah Hu It-gwan.

"Mengapa mereka terkecuali?" tanya Ong Bing penasaran, "memangnya kau tahu mereka itu siapa?"

Sahut Hu It-gwan dengan tersenyum licik, "Kalau mataku belum lamur, perempuan yang bicara tadi adalah Hong Si-nio."

Bukan main kaget Ong Bing.

Nama Hong Si-nio memang selalu mengagetkan orang yang mendengar.

"Kau pernah mendengar nama perempuan ini bukan?" kembali Hu It-gwan bertanya.

"Darimana kau mengenalinya?"

Kembali Hu It-gwan tertawa, "Sekalipun perempuan ini susah dihadapi, namun ilmu silatnya tidak terlalu tinggi, ilmu menyarunya pun jelek sekali."

"Lalu siapa perempuan yang satunya?"

"Aku tidak tahu, siapa yang sudi berjalan berendeng dengan perempuan siluman itu?"

"Apakah kau melihat Su-loji?"

"Ya, memang tadi aku melihat dia."

"Sekarang dimanakah dia?"

"Kalau Hong Si-nio saja tidak tahu kemana dia pergi, darimana aku tahu," kembali Hu It-gwan tertawa.

Tawanya sunggu mirip rase, licik.

"Apakah dia ikut pergi bersama perahu itu?"

Hu It-gwan menggeleng.

"Aneh, masakah orang segede itu bisa lenyap secara mendadak," kata Ong Bing dengan kening bekernyit.

"Menurut apa yang aku tahu, orang yang sering berhubungan dengan Hong Si-nio, seringkali lenyap tak keruan parannya."

"Sebenarnya apa yang ingin kau katakan?" bentak Ong Bing sambil melotot.

Hu It-gwan tersenyum.

"Kapal di atas air, orang di atas kapal, kalau orangnya tidak berada di kapal, lantas dia dimana?"

Tiba-tiba Ong Bing menerjang ke depan dan langsung menceburkan diri ke danau.

Melihat hal ini Hu It-gwan menghela napas panjang, gumamnya, "Agaknya orang ini tidak bodoh, kali ini dia menemukan tempat yang tepat."

Ruang di atas loteng perahu tidak terlalu besar, biarpun begitu pajangannya cukup menawan.

Tempat lilin terbuat dari perak, cahaya lentera masih menyinari seluruh ruangan kapal.

Siau Cap-it Long berdiri terpekur di depan jendela, memandang kegelapan malam, entah apa yang sedang dipikirkan.

Mungkin dia terbayang kembali lembah yang mengerikan itu.

Tak ada perubahan pada wajahnya, namun Pin-pin dapat menebak apa yang sedang dipikirkan lelaki ini.

Selama ini ia tidak mengganggunya. Setiap kali ia termenung, dia memang tidak pernah mengganggu ketenangannya.

Sebetulnya dalam hatinya penuh dengan persoalan yang ingin ditanyakannya, bahkan persoalan yang tak terlupakan dan sangat menakutkan.

Cahaya ketakutan masih terbayang di wajahnya, setiap kali ia pejamkan mata, selalu terbayang mimik aneh si buta itu.

Keheningan menyelimuti suasana di kapal itu. tiba-tiba terdengar ada orang berbicara. Tak jelas apa yang dibicarakan, tapi dilihatnya ada dua orang sedang berjalan ke atas loteng.

Dua orang yang berdandan sebagai tukang perahu.

Sekilas dikenalinya salah seorang adalah Hong Si-nio.

Kebetulan Hong Si-nio pun sedang menatap ke arahnya, tanyanya, "Apakah benar di pantatmu ada toh hijau?"

Itulah pertanyaan pertama yang dilontarkan Hong Su-nio.

Setiap orang dapat mendengar pertanyaan itu dengan jelas, namun tak ada yang menduga pertanyaan apa yang pertama kali akan diajukan Sim Bik-kun.

Padahal banyak yang ingin diucapkan Sim Bik-kun, namun dia tetap saja diam.

Sebetulnya ingin dia menerjang maju dan menjatuhkan dirinya dalam pelukan Siau Cap-it Long. Namun tidak ia lakukan, ia hanya diam dan berdiri menjublek di belakang Hong Si-nio.

Pin-pin pun tak menjawab pertanyaan Hong Si-nio.

Hong Si-nio pun tak bertanya lebih lanjut.

Akhirnya Siau Cap-it Long memutar tubuh berhadapan dengan mereka. Ia tahu sedang berhadapan dengan siapa, namun sekarang ia hanya memandangi kaki sendiri.

Tak tahu apa yang harus diucapkannya, ketiga perempuan ini penting dalam kehidupannya.

Salah satunya adalah kekasih hatinya, demi perempuan ini ia telah merasakan berbagai penderitaan dan siksaan, bahkan siap berkorban demi dirinya.

Seorang lainnya adalah penolong dirinya, yang seorang lagi telah menyerahkan segalanya bagi dirinya.

Mereka bertiga telah mengorbankan segalanya bagi dirinya, kini secara tiba-tiba berkumpul bersama di sini, sekarang apa yang bias ia perbuat.

Ombak di luar tenang, perasaan orang dalam ruang kapal justru bergelora.

Tiba-tiba Hong Si-nio tersenyum dan berkata, "Tampaknya penyamaran kami sangat bagus, sampai Siau Cap-it Long sendiri tidak mengenali kami."

Siau Cap-it Long tertawa, "Untung aku masih mengenali suaramu."

"Kalau kau sudah mengenali kami, kenapa tidak menyuguh arak?" tegur Hong Si-nio sambil bertolak pinggang.

Siau Cap-it Long segera menuang arak, sewaktu menuang ia melirik ke arah Hong Si-nio.

Dia tahu Hong Si-nio takkan membiarkan dirinya sengsara, ia lebih suka diri sendiri tersiksa dan menderita.

Hong Si-nio mendekatinya, mengangkat cawan arak itu dan ditenggaknya habis, setelah itu katanya, "Arak bagus!"

Tentu saja arak bagus.

"Arak ini adalah Li-ji-ang berusia 30 tahun," katanya tertawa, "kalau ingin menikmati arak jenis ini paling enak kalau ditemani masakan kepiting dari Yang-ting-ouw."

"Akan kumasakkan kepiting untuk teman arak," kata Pin-pin tiba-tiba sambil bangkit berdiri.

"Aku ikut," seru Hong Si-nio, "masalah kepiting rasanya aku lebih pintar dari kau."

Bila mereka berempat berkumpul, tentunya tempat itu akan terasa sempit. Kesempatan ini digunakan mereka berdua untuk mengundurkan diri dari situ.

Mereka sengaja memberi kesempatan kepada Siau Cap-it Long dan Sim Bik-kun untuk saling bicara. Namun Sim Bik-kun hanya berdiri mematung, memandang ke tempat jauh dengan pandangan kosong.

Akhirnya Sim Bik-kun berkata dengan suara perlahan, "Di meja sudah ada kepiting."

Di atas meja memang sudah tersedia kepiting. Pin-pin dan Hong Si-nio tahu hal ini.

Mereka tak habis mengerti mengapa Sim Bik-kun justru tak membiarkan mereka pergi agar dirinya bisa bicara berdua dengan Siau Cap-it Long. Apakah ia tak ingin bicara dengan Siau Cap-it Long? Atau dia tak berani?

Pada wajah Siau Cap-it Long tampak sedih, namun ia tetap tersenyum, "Kepiting itu masih hangat, memang cocok untuk teman minum arak."

Arak sudah mengalir ke dalam perut, namun kemurungan tetap saja menyelimuti hati masing-masing.

Hong Si-nio tetap tertawa, bicara juga paling banyak, apalagi setelah meneguk beberapa cawan arak. Katanya, "Apakah benar di tubuhmu ada toh hijau?"

Harusnya dia tak perlu bertanya, semua orang tahu apa yang dikatakan si buta itu adalah benar.

Dengan tertunduk, terpaksa Pin-pin menjawab lirih, "Benar!"

"Apakah benar berada di pantat?"

Muka Pin-pin merah jengah, dengan tersipu dia menunduk makin dalam.

Sebenarnya hal ini merupakan rahasia pribadinya. Lalu dari-mana si buta tahu?

Hong Si-nio berpaling mengawasi muka Siau Cap-it Long, seakan bertanya apakah dia tahu juga akan hal ini?

Wajah Pin-pin semakin jengah, ujarnya, "Kecuali ibuku, hanya ada satu orang lain yang tahu."

"Siapa?" tanya Hong Si-nio segera.

"Kakakku."

"Siau-yau-hou?"

"Ya."

Hong Si-nio melengak.

"Setelah ibu meninggal, hanya tinggal dia seorang yang tahu akan rahasia ini," ujar Pin-pin.

Dia bicara dengan tegas, dia memang bukan jenis perempuan yang sembrono.

"Bukankah kakakmu sudah mati?"

Wajah Pin-pin semakin memucat, terbias rasa takut dan ngeri, ia hanya diam saja.

Hong Si-nio kembali bertanya, "Setelah kakakmu mati, apakah rahasia ini tidak diketahui orang lain lagi?"

Pin-pin tetap bungkam, ia hanya melirik ke arah Siau Cap-it Long sekejap.

Muka Siau Cap-it Long ikut memucat, terpancar rasa ngeri di balik matanya.

Peristiwa apa yang membuatnya ngeri?

Apakah peristiwa yang sama seperti yang dialami Pin-pin?

Hong Si-nio sebentar melihat ke arahnya, lalu memandang Pin-pin, tanyanya, "Sebetulnya apa yang kalian pikirkan?"

"Tidak ada yang kami pikirkan," jawab Pin-pin dengan tersenyum paksa.

"Jadi kalian menduga Siau-yau-hou belum mati?" desak Hong Si-nio.

Pin-pin bungkam.

Siau Cap-it Long juga diam.

Keduanya seakan mengakui dugaan itu.

Melihat perubahan mimik kedua orang ini, Hong Si-nio ikut bergidik.

Dia kenal siapakah Siau-yau-hou.

Orang ini memang lihai, tak ada persoalan yang tak sanggup dia lakukan. Tidak heran, seandainya ada orang yang bisa bangkit dari kematian, maka orang itu adalah dirinya.

Siau Cap-it Long hanya menyaksikan tubuhnya tercebur ke dalam jurang, tapi dia tidak melihat jasadnya.

Kembali Hong Si-nio meneguk secawan arak, lalu berkata dengan tersenyum, "Rasanya tak mungkin si buta itu adalah dia."

"Kenapa?" tanya Siau Cap-it Long.

"Sebab Siau-yau-hou orang cebol, sedang si buta tidak."

"Mungkin saja dia bukan orang cebol sejak lahir."

"Bagaimana bisa begitu?"

"Sekarang baru aku tahu, mustahil seorang cebol bisa meyakinkan ilmu silat sedemikian lihai."

"Yang jelas dia seorang cebol."

Siau Cap-it Long menepekur sejenak, kemudian tanyanya, "Apakah kau pernah mendengar bayi khikang dari agama To?"

Tentu saja Hong Si-nio pernah mendengar. Setiap orang yang berlatih ilmu kebatinan, pasti memiliki tenaga murni, bila tenaga murni sudah terbentuk, maka wujudnya seperti bayi, bayi inilah yang seringkali keluar dari badan kasarnya untuk berkeliaran.

Orang berwujud bayi inilah yang disebut bayi khikang.

"Tapi itu hanya ada dalam dongeng."

"Benar, tapi dongeng bukannya tanpa dasar dan fakta."

"Fakta bagaimana?"

"Konon ada semacam kepandaian, bila dilatih sempurna, maka tubuhnya bisa menyusut bagai seorang bocah," Siau Cap-it Long menjelaskan, "kepandaian itu disebut Kiu-coan-huan-tong."

"Pernah kau saksikan kepandaian ini?"

"Belum."

"Jadi kepandaian inipun cuma dongeng belaka?"

"Mungkin saja."

"Kau pun menduga Siau-yau-hou menguasai kepandaian ini?"

"Jika ada orang yang berhasil melatih kepandaian ini, orang itu pastilah dia."

Hong Si-nio tak sanggup tertawa lagi.

"Bila ada orang menguasai kepandaian itu hingga puncak kesempurnaan, ketika terluka, tenaga murninya pasti akan buyar."

Hong Si-nio tetap diam, hanya mendengarkan.

Siau Cap-it Long melanjutkan, "Kalau orang yang menguasai kepandaian itu terluka parah, maka wujudnya akan kembali pada bentuk sebenarnya." Setelah menghela napas, katanya pula, "Pin-pin bukan orang cebol, ketika dia mulai tahu urusan, Siau-yau-hou sudah menjadi jagoan."

"Karena itu kau beranggapan Siau-yau-hou bukan orang cebol, tapi karena menguasai kepandaian semacam itu?" kata Hong Si-nio.

"Hm."

"Karena dia jatuh ke jurang dan terluka parah, maka wujudnya kembali seperti semula?"

Siau Cap-it Long diam tanpa menjawab, hakikatnya dia sudah beberapa kali menghadapi peristiwa yang tidak masuk akal.

Sebenarnya Hong Si-nio ingin tertawa, namun melihat perubahan wajah orang, dia pun urung tertawa.

"Jadi kau tetap menduga si buta itu adalah Siau-yau-hou?"

"Mungkin saja."

"Apa dasarnya?"

"Kecuali Siau-yau-hou, si buta ini terhitung jagoan tangguh yang pernah kuhadapi, bukan saja serangannya aneh dan lihai, lengannya bisa meliuk-liuk seperti ular."

Hong Si-nio percaya, ia sendiri ikut menyaksikan.

"Ilmu itu disebut Yoga," Siau Cap-it Long menjelaskan.

"Yoga!?"

"Ya, berasal dari Thian-tok (India)."

"Jadi kepandaian si buta dari Thian-tok?"

"Paling tidak ia pernah belajar Yoga, konon ilmu Kiu-coan-huan-tong juga berasal dari Thian-tok."

"Lalu apalagi?"

"Wajah si buta tidak keruan, biji matanya sudah berubah menjadi kuning, mungkin ia telah minum racun Kim-kwa-lo, rumput beracun yang hanya tumbuh di lembah pembunuh."

Rumput beracun Kim-kwa-lo tumbuh di sepanjang tebing lembah, bila layu bisa dipakai sebagai bahan pewarna, biasanya dipergunakan orang Tibet.

Jubah kaum Lhama berwarna kuning memakai bahan ini.

Kim-kwa-lo termasuk jenis rumput langka dan beracun jahat.

"Jadi orang yang telah minum racun Kim-kwa-lo mukanya jadi begitu?"

"Kalau tidak mampus, biasanya akan berubah seperti itu."

Hong Si-nio menghela napas panjang, katanya, "Tampaknya apa yang kau ketahui lebih banyak ketimbang diriku."

Siau Cap-it Long kembali tertawa paksa, sahutnya, "Belakangan ini aku banyak membaca buku."

"Tak kusangka kau ada waktu untuk membaca."

"Ilmu silatku pun banyak bertambah maju."

"Pernah kudengar dari si buta."

"Jika ia tak pernah menempurku, darimana dia tahu?" setelah menghela napas ia menambahkan, "Yang jelas tiada seorang pun yang bisa melihat hal yang tak bisa dilihat orang lain."

"Kecuali Siau-yau-hou, tak ada orang kedua yang tahu rahasia Pin-pin."

Siau Cap-it Long terdiam.

Tangan Hong Si-nio berkeringat dingin.

"Jangan-jangan orang yang dipelihara anjing adalah dia?"

"Orang yang dipelihara anjing?"

"Tiong-cu dari Thian-tiong itu."

"Kau pun tahu soal Thian-tiong?"

"Biarpun buku yang kubaca tidak banyak, tapi persoalan yang kuketahui justru tidak sedikit," kata Hong Si-nio sambil tertawa.

Setelah menenggak beberapa cawan arak kembali ia melanjutkan, "Bukan hanya soal Thian-tiong, ketuanya si anjing kecil juga sudah kuketahui."

"Darimana kau tahu?"

"Tentunya ada yang memberitahu padaku."

"Siapa?"

"Toh Lin."

"Siapa Toh Lin itu?"

"Orang yang mengajakku naik perahu delapan dewa."

"Perahu delapan dewa?"

"Masakah kau tak tahu perahu delapan dewa?"

"Tidak tahu."

"Belum pernah kau naik perahu itu?"

"Belum."

Hong Si-nio tertegun dibuatnya, apa yang diucapkan Siau Cap-it Long selamanya adalah benar. Ia heran bagaimana Siau Cap-it Long bisa tidak tahu.

"Ingatkah kau ketika mereka mengundangmu minum arak di atas perahu?"

"Ya."

"Nah, perahu itu adalah perahu delapan dewa."

"O, begitu, tapi aku tidak mengunjungi perahu mereka."

"Kenapa?”

"Karena penunjuk jalan yang membawaku ke sana tiba-tiba berubah pikiran."

"Kenapa?”

"Karena dia takut aku mampus dibokong orang."

"Siapa orang itu?"

"Seorang pemuda pengantar surat."

"Maksudmu Siau Cap-ji Long?"

Siau Cap-it Long manggut-manggut.

"Padahal sudah kuduga pastilah dia, Siau Cap-ji Long mana tega menyaksikan Siau Cap-it Long mampus," setelah tersenyum sejenak lanjutnya, "dan kalau bukan dia, siapa yang sudi membantu Siau Cap-it Long."

Dengan tertawa getir Siau Cap-it Long menyela, “Tapi tak kusangka bisa bersahabat dengan dia."

"Dia tidak jadi membawamu ke sana, lantas diajak kemana?"

"Mencari seseorang."

"Pin-pin?"

Tentu saja Pin-pin.

Demi Pin-pin siksaan apapun akan dihadapinya.

XXV. PERMAINAN KEMATIAN

Siau Cap-it Long bukanlah orang yang mandah dituntun, tapi demi Pin-pin apapun akan dilakukannya.

Pin-pin menundukkan kepala.

Sim Bik-kun juga menundukkan kepala.

Hong Si-nio mengangkat cawan arak.

Siau Cap-it Long pun mengangkat cawan.

Namun cawan-cawan itu sudah kosong.

Akhirnya Hong Si-nio pula yang mulai buka suara, katanya pada Pin-pin, "Hari itu, mengapa kau menghilang secara tiba-tiba?"

"Aku tak biasa minum arak, maka sedikit mabuk, lalu aku minum teh untuk mengurangi pengaruh arak ...."

Siapa tahu setelah minum teh justru dia tak sadarkan diri.

Yang mencampuri teh dengan obat bius adalah Hamwan Sam-seng, namun yang membawa pergi adalah Hamwan Sam-coat.

Mereka persembahkan Pin-pin kehadapan si Raja hiu. Raja hiu ini justru tidak makan manusia, terhadap Pin-pin pun sikapnya sangat sungkan.

"Tampaknya dia ingin memanfaatkan diriku untuk memeras Siau-toako melakukan sesuatu tugas, makanya dia menahan aku," kata Pin-pin dengan menunduk, waktu menyebut "Siau-toako" nadanya sungguh mesra.

"Siau Cap-ji Long tak tahu tempat dimana aku dikurung," lanjut Pin-pin dengan lirih, "tapi tak kusangka justru dialah yang mengajak Siau-toako mencariku."

Sim Bik-kun tetap diam seakan tidak mendengar. Hong Si-nio menghela napas, katanya, "Tak kusangka si Raja hiu punya murid seperti itu." Setelah berhenti sejenak, lanjutnya, "Muridnya itu tidak termasuk orang baik, tapi apakah juga termasuk sahabat yang baik?"

Siau Cap-it Long tak menjawab, hanya tersenyum getir. Kembali Siau Cap-it Long mengangkat cawannya, cawan yang sudah diisi arak.

Mata Hong Si-nio semakin terang, katanya pula, "Kau tak pernah ke perahu delapan dewa, namun aku pernah ke sana."

"Jadi kau bertemu si Raja hiu?"

"Ya, tapi dia tiak melihat aku."

"Kok bisa begitu?"

"Sebab orang mati tak bisa melihat."

"Jadi si Raja hiu sudah mati?" berubah paras Siau Cap-it Long.

“Bukan hanya dia yang mati, semua orang yang tercantum dalam undangan semuanya sudah mati, kecuali Hoa Ji-giok."

"Siapa yang membunuh mereka?"

"Seharusnya adalah kau."

"Aku?"

"Orang lain beranggapan begitu."

Siau Cap-it Long tertawa getir.

Hong Si-nio melanjutkan, "Senjata yang dipakai membunuh adalah sebilah golok, bahkan hanya dengan sekali bacokan."

"Memang kecuali aku, siapa yang bisa membunuh si Raja hiu hanya dengan sekali bacokan?"

"Ya begitulah, siapa pula yang bisa membunuh Hamwan Sam-seng dengan sekali tebasan?"

"Kau tak bisa menebaknya?"

Hong Si-nio menggeleng, katanya pula, "Memangnya kau bias menebak?"

"Buat apa aku pikirkan, kejadian semacam ini bukan yang pertama kali bagiku."

Hong Si-nio mengawasinya. Kemudian mengangkat cawan untuk menutupi wajahnya, dia sama sekali tak berpaling ke arah Sim Bik-kun.

Apakah Sim Bik-kun sedang mengawasinya?

Bagaimana perasaannya jika orang yang dicintainya difitnah orang?

Tiba-tiba Siau Cap-it Long bertanya, "Bagaimana kalian bisa sampai ke sini?"

"Untuk memenuhi sebuah undangan."

"Undangan siapa?"

"Undangan seseorang."

"Siapa?"

"Manusia yang dipelihara anjing."

"Si pengundang tentunya dua orang bukan?"

"Hm."

"Lalu siapa yang satunya?"

Hong Si-nio meneguk araknya, kemudian baru menjawab, "Lian Shia-pik."

Siau Cap-it Long terdiam.

Siau Cap-it Long memang merasa malu dan menyesal bila bertemu dengan orang ini.

Hong Si-nio pun melanjutkan ucapannya, "Dimanakan mereka berjanji untuk bertemu? Bisakah kau duga?"

Siau Cap-it Long menggeleng.

"Di sini."

"Di kapal Cui-gwat-lo?"

"Saat bulan purnama di kapal Cui-gwat-lo."

Bulan masih bulat.

Siau Cap-it Long memandang rembulan, kemudian menunduk. Ia tidak bertanya darimana Hong Si-nio tahu akan hal itu, juga tidak bertanya kepada Sim Bik-kun kenapa ia meninggalkan Lian Shia-pik.

Ia hanya menduga Lian Shia-pik pasti mempunyai hubungan dengan semua peristiwa keji itu.

Sekarang Lian Shia-pik akan datang ke sini, sedangkan Sim Bik-kun berada pula di sini, ia tak berani membayangkan apa yang bakal terjadi.

Tiba-tiba Sinm Bik-kun berdiri, sambil memandang rembulan katanya, "Waktu sudah hampir pagi, seharusnya aku pergi dari sini." Seketika perasaan Siau Cap-it Long menjadi dingin. Seharusnya memang ia tidak berada di sini.

Tapi kemana ia bisa pergi?

Siau Cap-it Long mengawasi cawannya yang sudah kering. Sim Bik-kun tidak memandangnya, sekejap pun tidak. Siapa bilang ia tidak sedih? Siapa bilang ia tidak menderita? Namun tidak mungkin baginya untuk tetap tinggal.

Tiba-tiba Hong Si-nio melotot ke arahnya, "Kau benar-benar akan pergi?"

"Walau kita datang berdua, tapi aku bisa pergi sendiri."

"Kau akan pergi seorang diri?"

"Ya."

Hong Si-nio menggebrak meja. "Tidak boleh jadi!"

"Kenapa tidak boleh?"

"Kau belum menemani aku minum arak, masakah mau pergi begitu saja? Tak nanti kubiarkan kau pergi."

Sim Bik-kun terperanjat, lalu tertawa paksa, "Jangan-jangan kau sudah mabuk."

"Peduli aku mabuk atau tidak, kau tak boleh pergi dari sini," seru Hong Si-nio melotot.

Sim Bik-kun menggenggam tangannya, "Kalau kau memaksaku minum, aku akan minum, kemudian aku tetap akan pergi."

"Kita datang berdua, seharusnya juga pergi bersama."

"Kalian berdua tidak boleh pergi," mendadak terdengar seorang membentak nyaring.

Semua orang tahu watak Hong Si-nio, dia bilang mau datang pasti datang, bilang pergi pasti pergi, siapa sanggup menghalanginya, walau diancam dengan golok ia takkan peduli.

Siau-yau-hou pun tak sanggup menghalanginya, namun kini ada orang melarangnya pergi. Dengan tersenyum Hong Si-nio mengawasi orang itu, ternyata adalah Ong Bing yang sedang berjalan menaiki tangga.

Seluruh tubuh Ong Bing basah kuyup, wajahnya masih tetap dingin kaku.

"Barusan kau yang berteriak?" tegur Hong Si-nio.

"Hm."

"Kau melarang aku pergi?"

"Hm."

”Tahukah kau mengapa aku masih duduk di sini?"

Ong Bing melotot padanya.

"Hong Si-nio melanjutkan, "Karena aku memang tidak ingin pergi."

"Sekarang ingin pergi pun tak mungkin bisa pergi."

"Kenapa? Memangnya kau ingin menahan aku?” Jengek Hong Si-nio sambil memicingkan mata.

"Hm."

"Sayang, kaki ini tumbuh di badanku, ketika aku ingin pergi, siapa pun takkan mampu menahannya."

"Biarpun kaki itu tumbuh di badanmu, bila kakimu itu yang ingin pergi, aku akan memotongnya," kata Ong Bing dingin.

"Jadi kalau aku ingin pergi, kau akan memotong kedua kakiku?"

"Hm."

Setelah menghela napas Hong Si-nio berujar pula, "Bila perempuan kehilangan kaki, betapa jeleknya dia."

Ong Bing tertawa dingin, katanya, "Paling tidak lebih bagus daripada seorang lelaki yang wajahnya dipenuhi lubang."

"Tak kulihat ada lubang di wajahmu."

"Itu disebabkan aku tak pernah berhubungan dengan dirimu"

"Lantas siapa yang pernah berhubungan dengan aku?"

"Su-loji."

"Su Jiu-san?"

"Masakah sudah kau lupakan dia?"

"Apakah di wajahnya ada lubang?"

"Mengapa tidak kau lihat sendiri," kata Ong Bing tertawa dingin.

* * * * *

Di wajah Su Jiu-san memang telah bertambah dengan beberapa lubang, lubang bekas luka yang mematikan.

Perasaan Hong Si-nio ikut sedih, bagaimanapun Su Jiu-san cukup dikenal olehnya, kesannya termasuk baik.

Tak tahan lagi Hong Si-nio bertanya setelah menghela napas panjang, "Dimana kau temukan dia?"

"Dalam air."

"Kukira tadi dia sudah pergi dari sini," kata Hong Si-nio lirih, "tak kusangka...."

Ong Bing mengepal tinjunya, serunya, "Kau pasti tak akan mengira ada orang melempar dia ke dalam air bukan?"

"Benar, sama sekali tak kuduga."

"Kau tak tahu siapa yang telah membunuhnya?"

Hong Si-nio hanya menggeleng.

Ong Bing bertambah gusar, "Kalau kau tidak tahu, memangnya siapa yang tahu?"

Dengan kaget Hong Si-nio mengawasinya, "Kenapa harus aku yang tahu?"

"Karena kaulah pembunuhnya," damprat Ong Bing beringas. Hong Si-nio tertawa lagi, namun mimik tawanya tidak wajar. Siapa pun dia kalau dituduh sebagai pembunuh, pasti takkan bisa tertawa secara wajar.

Dari samping Hou Bu-pe sejak tadi mengawasinya, mendadak ia bertanya, "Bukankah kau sudah lama kenal Su Jiu-san?"

"Orang yang kukenal memang banyak."

"Bukankah dia juga sudah mengenalmu sejak kau datang?"

Hong Si-nio mengangguk.

"Bukankah sejak tadi ia selalu membuntutimu?"

Hong Si-nio mengiakan.

"Kalau dia selalu di sampingmu, kalau ada orang membunuhnya, mungkinkah engkau tidak tahu?"

Mendadak Hong Si-nio berjingkrak gusar, semprotnya, "Sudah kubilang tidak tahu, ya tidak tahu."

Ia berjingkrak gusar, lebih garang dibanding Ong Bing, suaranya juga lebih keras dibanding teriakan Ong Bing. Jelas kelihatan ia sedang gugup.

Maklum Hong Si-nio tidak tahu dan susah menduga kecuali dirinya siapa yang mampu membunuh Su Jiu-san di atas kapal ini, lalu membuangnya ke dalam air.

Yang pasti Su Jiu-san bukan jago yang gampang dihadapi.

"Aku tahu," mendadak Siau Cap-it Long bicara.

Hou Bu-pe mengerut kening, "Kau tahu apa?"

"Paling tidak aku tahu satu hal," ujar Siau Cap-it Long.

"Coba jelaskan," kata Hou Bu-pe.

"Yang pasti tiada seorang pun di dunia ini yang berdiri diam mematung di tempatnya terus, apalagi membiarkan orang lain membuat lubang di mukanya, kecuali dia itu patung kayu," sampai di sini Siau Cap-it Long tertawa, lalu melanjutkan, "Su Jiu-san jelas bukan patung kayu, satu-satunya tokoh kosen di Kangouw yang mewarisi ilmu murni dari Thi-san-bun. Kalau sekarang ada orang menciptakan buku daftar senjata, kipas besinya itu mungkin masuk tiga puluh besar di antaranya."

"Sepertinya tidak sedikit yang engkau ketahui," jengek Hou Bu-pe.

"Aku juga tahu, umpama benar dia sebuah patung kayu, bila dilempar orang ke dalam air, tentu menimbulkan suara yang cukup keras. Aku yakin yang hadir di sini tiada yang tuli, kenapa kalian tidak mendengar orang tercebur ke dalam air?"

"Coba kau jelaskan," jengek Hou Bu-pe.

"Sebab dia tidak mati di atas kapal ini."

"Kalau tidak mati di atas kapal, memangnya mati dimana?" teriak Ong Bing penasaran.

"Di dalam air," ujar Siau Cap-it Long.

"Dalam air?" seru Ong Bing pula.

"Membunuh orang dalam air pasti tidak menimbulkan suara, maka orang yang berada di atas kapal tidak ada yang mendengar apa-apa."

"Tadi jelas dia masih berada di atas kapal, kenapa mendadak bisa berada dalam air?" semprot Ong Bing.

"Tadi jelas aku berada di loteng, kenapa mendadak berada di lantai bawah?"

"Kau sendiri yang turun bukan?"

"Kalau aku sendiri bisa turun dari loteng, kenapa dia sendiri tidak bisa turun ke air?"

Ong Bing melenggong, "Baik-baik ada di kapal untuk apa dia turun ke air?"

"Hal ini aku tidak tahu, kalau bisa, ingin aku tanya padanya."

Ong Bing tertawa dingin, "Sayang dia tidak bisa menjelaskan kepadamu."

"Orang ini jelas tidak mungkin menjelaskan kepadaku, tapi Su Jiu-san...."

"Kau tidak yakin kalau orang ini adalah Su Jiu-san?" Tanya Ong Bing.

"Kau yakin dia adalah Su Jiu-san?"

"Jelas yakin."

"Apa dasarmu kau yakin kalau ini mayat Su Jiu-san?"

Bersambung

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar