Beruang Salju Bab 02 Penyelamatan Anak Saudara Tua

Beruang Salju Bab 02 Penyelamatan Anak Saudara Tua

02 Penyelamatan Anak Saudara Tua

“Nanti paman akan menceritakannya, mari engkau ikut dengan paman......!” kata pria asing tersebut setelah merapihkan buntalannya yang dibungkus kembali dengan rapih dan digemblokkan pada punggungnya. “Engkau akan paman ajak ke suatu tempat yang menyenangkan.....!”

Sambil berkata begitu, pria asing itu telah mengulurkan tangannya bermaksud akan menggendong anak lelaki tersebut. Namun bersamaan dengan itu, terdengar suara tapak kaki kuda yang cukup ramai, menunjukkan bahwa tempat tersebut telah datang cukup banyak penunggang kuda.

Muka pria asing itu telah berobah, dia diam sejenak memperdengarkan. Dan didengar suara tapak kaki kuda itu berhenti, lalu terdengar suara seseorang berkata dengan suara yang dalam: “Menurut laporan yang kuterima tadi pria asing itu memasuki perkampungan ini......!”

Setelah mendengari sampai di situ, lelaki asing itu cepat menggendong anak lelaki itu ia membawa melompat ke pojok ruangan. Namun gerakannya itu rupanya sudah terlambat, karena dua orang lelaki bertubuh tinggi besar, berpakaian sebagai tentara Mongolia, telah melangkah masuk dengan kasar mendorong daun pintu sampai terlepas dan rubuh terbanting di lantai tanah itu. Menimbulkan suara yang berisik.

“Hei kau......!” teriak salah seorang dari kedua orang tentara Mongolia itu. “Ke mari kau.....!”

Mengetahui dirinya bersama anak lelaki itu tak dapat bersembunyi maka lelaki tersebut telah memutar tubuhnya. Sambil tersenyum lebar dia menghampiri ke arah kedua tentara Mongolia itu lalu berkata: “Rupanya tuan-tuan memiliki keperluan denganku?”

Kedua tentara. Mongolia itu mengawasi lelaki asing tersebut dengan sorot mata yang tajam. Salah seorang di antara mereka yang memelihara jenggot dan kumis yang tebal, telah tertawa keras. Sambil menggerakkan cemeti di tangannya. “Tarrr......!” suara cemeti itu menggeletar di tengah udara. “Engkau orang asing telah datang ke kampung ini, tentunya ada sesuatu yang hendak kaulakukan, heh?”

Lelaki asing itu tertawa dengan sikap yang tenang, katanya: “Kebetulan saja aku melewati daerah ini dan singgah di perkampungan ini, maka aku telah menemui seorang anak yang dalam keadaan mengenaskan seperti ini. Sama sekali tidak ada sesuatu yang hendak kulakukan. Harap tuan-tuan jangan terlalu mencurigaiku. Bukankah nasib anak ini, yang dalam keadaan sekarat ini, harus dikasihani?”

Bola mata dari kedua tentara Mongolia itu mencelak berputar. Mereka memperhatikan dari kepala sampai ke ujung kaki pria asing tersebut, lalu yang berkumis dan berjenggot balik berkata garang: “Siapa kau? agaknya engkau bukan manusia baik-baik tidak mematuhi anjuran pemerintah, untuk mengepang rambutmu......!”

Lelaki asing tersebut tertawa sabar sekali, lalu ia membungkukkan tubuhnya memberi hormat: “Aku bukan hendak membangkang perintah dan peraturan pemerintah, namun sungguh, aku tidak mengetahuinya hal peraturan yang baru dikeluarkan oleh pemerintah......!”

Mendengar perkataan lelaki asing tersebut, kedua tentara Mongolia tersebut telah mendengus perlahan, dan yang seorang lagi telah berkata dengan bengis, “Aku bertanya, siapa kamu?”

“Aku she Lie dan bernama Su Han,” menyahuti lelaki itu. “Apakah ada sesuatu yang tidak beres tuan-tuan?”

Baru saja Lie Su Han, lelaki asing tersebut berkata sampai di situ, dari luar telah menerobos masuk tiga orang tentara Mongolia lainnya yang semuanya memiliki potungan tubuh yang tegap dan wajah yang angker mengerikan.

Tentara Mongolia yang berkumis dan berjenggot itu telah tertawa dingin, ia berkata dengan suara yang bengis: “Engkau tidak cepat-cepat menghormat tuan besarmu?”

“Kukira aku cukup hormat menghadapi tuan-tuan..... dan......!”

Tetapi belum lagi Lie Su Han menjelesaikan perkataannya itu, justru tentara Mongolia yang seorang itu telah menggerakkan cemeti di tangannya sehingga suara “tarrr!” yang keras memecahkan udara lagi.

“Berlutut! Cepat berlutut! Jika kau membangkang, hemm, hemm, batok kepalamu itu akan kami pisahkan dari batang lehermu......!”

Mendengar perkataan terakhir dari tentara Mongolia tersebut Lie Su Han mengerutkan sepasang alisnya.

“Sesungguhnya apa yang dikehendaki oleh tuan-tuan?” tanya Lie Su Han mulai memperlihatkan sikap tidak senang, karena ia merasakan betapa tentara-tentara Mongolia ini keterlaluan sekali.

“Mengapa engkau masih banyak rewel? Cepat berlutut!” bentak tentara Mongolia yang berkumis dan berjenggot itu. “Cepat berlutut!”

“Hei!” katanya, “Baiklah!” kata Lie Su Han sambil membenarkan letak tubuh anak lelaki yang ada dalam gendongannya. Ia melangkah tiga tindak ke depan, mendekati para tentara Mongolia tersebut. Tubuhnya dibungkukkan sedikit, seperti juga hendak berlutut, tiba-tiba tangan kanannya telah disampokkan ke arah atas, ke dada dari tentara Mongolia yang berkumis dan berjenggot tersebut.

“Dukkkkk!” telapak tangan Lie Su Han telah menghantam dengan kuat dada tentara Mongolia tersebut. Dan luar biasa sekali, tubuh tentara Mongolia yang berkumis dan berjenggot tersebut, telah terlempar dari tempatnya, menubruk ke arah salah seorang temannya, sehingga kedua-duanya telah terlempar keluar dari dalam rumah itu dan terbanting keras di atas tanah.

Ketiga tentara Mongolia yang lainnya terkejut menyaksikan peristiwa yang tidak disangka semuanya oleh mereka. Mereka tertegun sejenak, tetapi kemudian waktu mereka tersadar dan hendak mencabut golok mereka masing-masing yang tersoren di pinggang.

Waktu itu Lie Su Han sudah tidak tinggal diam. Ia mengebutkan tangan kanannya lagi, maka tubuh ke tiga orang tentara Mongolia tersebut terpental kembali dengan kuat, dan terbanting pula di atas tanah di luar rumah.

Ke lima tentara Mongolia tersebut terkejut berbareng kesakitan namun cepat sekali mereka melompat berdiri sambil mencabut goloknya masing-masing.

Namun Lie Su Han tidak jeri, ia mengeluarkan suara tertawa dingin. Dan kemudian ia melangkah menghampiri ke lima tentara Mongolia tersebut, berani sekali sikapnya.

Ke lima tentara Mongolia tersebut memisahkan diri, mereka mengurung Lie Su Han. Malah tentara Mongolia yang berkumis dan berjenggot itu, telah mengeluarkan suara bentakan bengis mengandung kemarahan, goloknya telah digerakan untuk membacok ke arah batang leher Lie Su Han dan bacokan itu menimbulkan angin serangan “wuttt!” yang keras sekali.

Lie Su Han memperdengarkan suara tertawa dingin, tahu-tahu tubuhnya telah mandek ke bawah. Dan membarengi dengan itu, telunjuk dari tangan kanannya telah menyentil.

“Tringgg......!” golok tentara Mongolia yang tengah membacok tersebut telah disentilnya, sehingga golok tersebut terpental dan terlepas dari cekalan tangan pemiliknya. Dan belum lagi tentara Mongolia yang seorang itu mengetahui apa yang terjadi, tahu-tahu ia merasakan dadanya sakit sekali.

Ternyata Lie Su Han setelah menyentil, ia telah membarengi mengulurkan tangan kanannya itu, mencengkeram dada si tentara tersebut kemudian menghentaknya dengan kuat sekali sehingga tubuh tentara Mongolia yang seorang itu terpental ke tengah udara, lalu meluncur jatuh terbanting di atas tanah dengan keras. Tentara Mongolia tersebut hanya bisa mengeluarkan, suara erangan perlahan mengandung kesakitan yang sangat. Kemudian kepalanya terkulai lemah, ia telah pingsan.

Ke empat kawan dari tentara Mongolia tersebut kaget bukan kepalang, mereka tertegun sejenak, lalu tersadar dengan murka. Sambil mengeluarkan suara gerengan yang menyeramkan, mereka berempat telah melompat sambil menggerakkan goloknya membacok serentak ke berbagai bagian tubuh dari Lie Sun Han.

Namun Lie Su Han rupanya memang bukan salah seorang pria yang sembarangan, ia memiliki kepandaian silat yang tinggi. Karena begitu melihat menyambarnya ke empat batang golok tersebut, ia telah mengeluarkan suara tertawa dingin, sambil menggumam: “Hemm, kalian mencari penyakit sendiri!” dan tahu-tahu tubuhnya telah berkelebat-kelebat seperti juga bayangan, dengan tangan kanannya ia telah berhasil merampas ke empat batang golok dari ke empat orang tentara Mongolia tersebut.

Ketika ke empat tentara Mongol yang kehilangan senjata mereka tengah tertegun kaget, Lie Su Han telah melontarkan ke empat batang golok itu telah meluncur cepat menyambar ke arah sebatang pohon yang kering, tumbuh tidak jauh dari tempat itu. Kuat sekali ke empat batang golok itu menancap di batang pohon tersebut, dan dalam juga menancapnya, lalu badan keempat golok tersebut telah bergoyang memperdengarkan suara mendengung.

Dan tanpa membuang waktu lagi, tubuh Lie Su Han juga telah berlompatan ke sana ke mari, tahu-tahu terdengar empat kali suara jeritan yang beruntun, disusul dengan tubuh ke empat tentara Mongolia yang telah terpental dan terbanting bertumpuk di atas tanah! Kepala mereka jadi pusing dengan mata berkunang-kunang. Setelah mengeluarkan suara keluhan, ke empat tentara Mongolia itu tidak sadarkan diri. Pingsan.

Lie Su Han telah mengebul pakaiannya dengan jari tangan kanannya. Ia memperdengarkan suara tertawa dingin memandang sinis kepada ke lima tentara Mongolia yang menggeletak pingsan, tubuhnya kemudian mencelat ringan sekali ke atas punggung salah seekor kuda milik ke lima tentara mongol itu. Ketika ia menghentak tali les kuda tunggangan itu, kuda tunggangan tersebut telah mementang kaki mereka, berlari dengan cepat sekali, meninggalkan kampung Lung-cie......

Y

Lie Sun Han sesungguhnya merupakan seorang ahli silat yang cukup ternama di dalam rimba persilatan tapi akibat pecahnya peperangan antara tentara Mongolia dengan tentara Song, telah menimbulkan kekacauan yang sangat di daratan Tiong-goan. Seperti juga hal dengan para orang-orang gagah yang yang mencintai negeri, Lie Su Han telah mendaftarkan diri di kantor Tie-hu di kota Bun-cung, di mana dia bermaksud ingin ikut berjuang.

Tetapi betapa kecewanya Lie Su Han melihat kenyataan bahwa tentara Song dan juga kerajaan Song akhirnya runtuh, di mana Kublai Khan telah berhasil merebut daratan Tiong-goan dan pemerintah dengan nama kerajaan Boan-ciu. Dengan demikian, untuk mengurangi kekecewaan hatinya, Lie Su Han telah mengembara.

Di saat suasana tenang mulai terasa di daratan Tiong-goan, di mana pemerintah Boan-ciu mulai berjalan lancar dengan Kubilai Khan mengeluarkan beberapa peraturan untuk mengamankan negeri, di waktu itulah Lie Su Han teringat kepada kakaknya yaitu Lie Tiang An. Perasaan rindunya telah menyebabkan Lie Su Han menuju ke perkampungan Lung-cie, untuk menengoki kakaknya tersebut.

Berbeda dengan Lie Su Han yang sejak kecil memang senang sekali dengan ilmu silat, yang telah melatih diri giat sekali berbagai ilmu silat dari beberapa cabang pintu perguruan, tetapi Lie Tiang An justru seorang kutu buku, yang setiap hari menghabiskan waktunya untuk membaca buku, karena Lie Tiang An memang lebih senang memilih Bun (sastera) daripada ilmu Bu (silat).

Tetapi di saat negeri dalam keadaan perang seperti itu, di mana selalu timbul kekacauan, maka kekuatan dari seseorang sangat diperlukan sekali, maka ilmu silat memegang peranan tidak kecil. Jika Lie Su Han bisa menjaga keselamatan dirinya dengan mengandalkan kepandaian silatnya, tetapi Lie Tiang An justru merupakan manusia yang lemah dan tak berdaya. Ketika timbul peperangan, ia menjadi salah seorang korban perang. Di mana keluarganya, ia bersama anak dan isterinya, telah ditimpa kesulitan dan kemelaratan. Lie Tiang An hanya bisa menerima nasib saja, ketika perkampungan Lung-cie dilanda paceklik setelah usainya peperangan.

Lie Tiang An juga tidak berdaya apa-apa, terlebih lagi Lie Tiang An telah terserang oleh semacam penyakit menular akibat kekurangan makan yang mengandung zat-zat penguat tubuh. Disamping itu ia pun sangat berduka dan kecewa melihat negeri Song telah porak poranda oleh serbuan tentara Mongolia, membuat Lie Tiang An mati melas.

Isterinya ketika melihat kematian suaminya yang begitu mengenaskan, telah semakin tidak bersemangat menghadapi hidup di hari-hari selanjutnya. Jika ia masih bertahan hidup dalam kemiskinan seperti itu, hanya disebabkan anaknya belaka yang bernama Lie Ko Tie, yang waktu itu berusia enam tahun. Tetapi tekanan perasaan dan juga kemelaratan dari penghidupan ibu dan anak ini, di mana setiap harinya mereka hanya bisa makan semangkok bubur yang encer, telah menyebabkan nyonya tersebut menghembuskan napasnya yang terakhir, tidak berdaya untuk menjagai terus anaknya menjadi dewasa.

Untung saja di saat elmaut belum merenggut nyawa Lie Ko Tie, di waktu itu Lie Su Han tiba di perkampungan Lung-cie, sehingga jiwa keponakannya itu bisa diselamatkan oleh Lie Su Han.

Dengan mempergunakan kuda rampasannya dari tentara-tentara Mongolia itu, Lie Su Han melarikan terus binatang tunggangan itu menuju ke Siang-yang, dengan Lie Ko Tie berada dalam gendongannya.

Jarak antara perkampungan Lung-cie dengan kota Siang-yang terpisah empatratus lie. Dan setelah melakukan perjalanan hampir dua hari, barulah Lie Su Han tiba di kota Siang-yang. Berbeda dengan keadaan di perkampungan Lung-cie. Walaupun cukup banyak bekas bangunan yang telah tinggal menjadi puing-puing reruntuhan, namun kota Siang-yang cukup ramai, dan kehidupan pendudukan kota tersebut mulai berjalan normal. Dengan begitu, beberapa buah rumah penginapan yang selamat menjadi puing-puing akibat peperangan beberapa saat yang lalu, mulai dengan usahanya tersebut, menerima tamu-tamunya kembali, jumlah tamu-tamu yang berkunjung sedikit sekali, jika tidak ingin disebut tidak ada sama sekali.

Setiap harinya, rumah-rumah penginapan tersebut lebih banyak dikunjungi oleh para tentara Mongolia yang menguasai kota Siang-yang. Untuk berpesta pora, di mana mereka makan minum dan menginap, lalu membayar sekehendak hati mereka. Tapi para pengusaha rumah penginapan di kota Siang-yang tersebut memang tidak berdaya, karena mereka menyadarinya bahwa kini mereka menjadi rakyat jajahan belaka.

Tidak terlalu mengherankan, jika rumah penginapan yang masih ada itu, tidak keruan juga kotor tidak terurus dengan baik.

Waktu Lie Su Han tiba di kota Siang-yang, ia melihat orang-orang yang berdagang pun sedikit sekali, di samping barang dagangan mereka yang tidak berarti sama sekali, serba sedikit.

Setelah melakukan perjalanan dua hari dua malam seperti itu, Lie Su Han merasa letih, karena sepanjang perjalanannya ia jarang beristirahat. Sedangkan Lie Ko Tie yang berada dalam gendongannya, memang bisa tidur dengan baik, namun kesehatannya masih lemah sekali, dan tentunya perjalanan dua hari dua malam itu, bisa mengganggu kesehatannya anak tersebut. Maka begitu tiba di kota Siang-yang segera Lie-Su Han menghampiri sebuah rumah penginapan, yang memasang merek ‘Gu-an-tiam’ di mana rumah penginapan tersebut rupanya merangkap membuka rumah makan.

Seorang pelayan yang berpakaian kumal telah menyambut kedatangan Lie Su Han, dan menyambuti kuda tunggangan sang tamu. Sambil menggendong Lie Ko Tie, Lie Su Han telah melangkah ke dalam ruangan makan penginapan tersebut. Ia juga telah memesan sebuah kamar untuk mereka berdua, kemudian mengajak Lie Ko Tie untuk bersantap.

Sejak menerima beberapa butir pil obat yang diberikan oleh Lie Su Han kekuatan tubuh anak kecil itu mengalami kemajuan yang pesat sekali. Dan begitu juga selama dalam perjalanan dua hari dua malam itu. Lie Su Han telah beberapa kali memberikan pil obatnya tersebut kepada Lie Ko Tie, di samping memberinya makan dengan makanan kering yang berada dalam persediaannya. Sekarang selain letih, Lie Ko Tie boleh dibilang telah sehat.

Begitulah, dengan bernafsu keponakan dan sang paman itu telah bersantap makanan yang di pesan. Memang di rumah penginapan tersebut tak bisa dipesan masakan yang istimewa. Karena dalam keadaan yang belum aman benar dan juga masih agak kacau oleh korban peperangan di kota tersebut, hanya masakan yang sederhana belaka yang dapat disajikan oleh pemilik rumah penginapan itu.

Tetapi buat Lie Ko Tie anak lelaki tersebut, yang sebelumnya selain hanya dapat memakan bubur encer, masakan yang dihadapinya merupakan masakan yang paling lezat.

Setelah puas bersantap, keponakan dan paman itu masuk ke dalam kamar mereka untuk istirahat.

Dengan berada di kota Siang-yang, Lie Su Han bisa merawat kesehatan keponakannya itu sampai pulih benar. Berangsur-angsur tubuh Lie Ko Tie mulai gemuk berisi kembali. Mukanya yang semula kurus cekung dan hanya terlihat tulang pipi saja yang pucat pias itu, perlahan-lahan telah berangsur memerah berisi kembali.

Lie Su Han juga telah membeli beberapa perangkat pakaian untuk Lie Ko Tie. Setelah berdiam sebulan lebih, kesehatan Lie Ko Tie memang berangsur-angsur pulih kembali. Anak itu menjadi seorang anak yang sehat dan lincah, dengan tubuh yang montok dan memiliki tubuh yang padat berisi. Lie Su Han yang melihat perkembangan kesehatan keponakannya tersebut, jadi girang dan bersyukur sekali kepada Thian, karena keponakannya itu rupanya masih dipayungi oleh Thian.

Tetapi rupanya segala apapun tidak bisa selalu berjalan dengan licin, sewaktu-waktu akan tiba saatnya mengalami sesuatu yang di luar dugaan. Seperti halnya Lie Su Han dan Lie Ko Tie, yang selama sebulan lebih berdiam di kota Siang-yang dengan tenang tenteram, pada suatu hari telah menemui suatu peristiwa yang akhirnya akan menyeret diri mereka terlibat dalam suatu kancah pergolakan yang dahyat, yang terjadi di dalam kalangan Kang-ouw di mana mereka akhirnya harus mengalami banyak peristiwa yang aneh-aneh dan menakjubkan sekali.

Awal dari peristiwa tersebut berpangkal pada pagi hari itu, di saat mana Lie Su Han dan Lie Ko Tie tengah bersantap di ruang makan rumah makan tersebut dan di waktu itu Lie Ko Tie tengah mendengar cerita dari Lie Su Han, bagaimana keadaan dalam rimba persilatan. Memang Lie Su Han senang menceritakan segala pengalamannya, terutama sekali pengalamannya ketika ia ikut berperang melawan pasukan tentara Mongolia.

Lie Su Han memang telah bertekad untuk membawa Lie Ko Tie, keponakannya tersebut menemui gurunya, yaitu Bu Siang Siansu, seorang pendeta aneh yang hidup menyendiri di pegunungan yang memiliki kepandaian tinggi sekali. Namun ada suatu keanehan pada tabiat dari pendeta tersebut, ia mempelajari ilmu silat untuk mengisi kegemarannya belaka, tetapi tidak mau mempergunakannya untuk bertempur. Dan juga Bu Siang Siansu selalu hidup menyendiri, tidak pernah memamerkan kepandaiannya. Jika orang tidak mengenalnya, tentu tidak akan mengetahuinya bahwa pendeta tersebut sesungguhnya merupakan seorang pendeta sakti yang memiliki ilmu tinggi sekali.

Lie Su Han menjadi murid Bu Siang Siansu itupun terjadi secara kebetulan sekali. Lie Su Han seorang pemuda yang baru meningkat usia enambelas tahun pada waktu bertemu Bu Siang Siansu. Pada suatu hari ia berkelahi dengan belasan orang perampok dan di waktu itu, Lie Su Han memberikan perlawanan gigih walaupun sekujur tubuhnya telah terdapat banyak luka.

Ketika Lie Su Han menghadapi bahaya yang bisa membahayakan keselamatan dirinya, di mana tubuhnya mulai terhuyung-huyung tidak bisa berdiri tetap dan juga napasnya telah tersengal-sengal kehabisan tenaga, di saat itulah Bu Siang Siansu telah muncul dan memberikan pertolongannya. Hanya dua kali menggerakkan tangannya saja, Bu Siang Siansu berhasil merubuhkan belasan orang perampok itu, yang telah lari tunggang langgang.

Di saat itulah Lie Su Han telah berlutut dan memohon agar ia diterima menjadi murid Bu Siang Siansu. Dan Bu Siang Siansu yang melihat bahwa Lie Su Han merupakan seorang pemuda yang memiliki kemauan yang keras dan hati baja disamping itu juga jujur maka ia menerimanya menjadi muridnya dengan perjanjian Bu Siang Siansu akan menurunkan separuh dari kepandaiannya kepada pemuda tersebut dan ilmu itu akan dipergunakan oleh Lie Su Han untuk dipergunakan melakukan perbuatan mulia dan adil.

Separuh lagi dari kepandaian Bu Siang Siansu akan diturunkan lagi pada Lie Su Han, setelah Lie Su Han berusia empatpuluh tahun. Di waktu itu tentunya Lie Su Han telah menjadi seorang yang berhati sabar dan memiliki pemikiran yang matang dan tidak mungkin melakukan perbuatan-perbuatan dan tindakan yang ceroboh yang bisa membahayakan jiwa orang lain.

Menurut Bu Siang Siansu jika saat itu ia mewarisi seluruh kepandainnya kepada Lie Su Han dan pemuda tersebut yang memang masih memiliki jiwa muda yang mungkin juga cepat naik darah, hal itu akan membahayakan sekali keselamatan orang lain. Dengan begitu, ia memutuskan akan mewarisi separuh kepandaiannya setelah Lie Su Han memperlihatkan bahwa ia mempergunakan kepandaian Bu Siang Siansu yang separuh itu untuk melakukan perbuatan baik, bukan untuk kejahatan.

Itulah sebabnya Lie Su Han telah memutuskan untuk mengajak Lie Ko Tie menemui gurunya tersebut. Ia berharap semoga saja Lie Ko Tie diterima menjadi murid Bu Siang Siansu. Keponakannya tersebut, yang telah kehilangan kedua orang tuanya, dan hidup sebagai anak yatim piatu, memang benar-benar harus dikasihani nasib dan keadaannya, di mana Lie Su Han harus memikirkan bagaimana agar anak yatim ini bisa berdiri sendiri kelak, dan bisa hidup di kalangan masyarakat dengan layak.

Selesai bersantap, seperti biasanya Lie Su Han hendak mengajak Lie Ko Tie untuk mengelilingi kota Siang-yang melihat-lihat tempat yang penting di mana dulu sebelum pecahnya peperangan dan sebelum Siang-yang terjatuh ke tangan Mongolia merupakan tempat dari pasukan tentara Song menghimpun kekuatan. Dan juga Lie Su Han sering mengajak Lie Ko Tie mendatangi tempat-tempat di mana dulu para orang-orang gagah seperti Yo Ko, Kwee Ceng, Ciu Pek Thong, It Teng Taysu dan jago-jago ternama lainnya itu berkumpul ikut membantu perjuangan para tentara kerajaan Song.

Tetapi baru saja Lie Su Han membayar harga makanan yang telah disantap oleh mereka, dan baru saja ingin bangkit dari duduknya di saat itulah terdengar suara langkah kaki yang ramai di bagian ruang depan rumah penginapan tersebut. Juga terdengar ramainya suara orang yang tengah bercakap-cakap.

Lie Su Han telah menoleh, ia melihat dua orang tojin yang di tangan masing-masing membawa sebatang hud-tim tengah melangkah masuk ke ruang makan tersebut. Di belakangnya tampak delapan atau sembilan orang tentara Mongolia, yang sambil melangkah mengikuti kedua tojin tersebut memasuki ruang makan itu, tertawa-tawa dan bercakap-cakap ramai sekali.

Tetapi mata Lie Su Han yang tajam, segera dapat mengenali, di antara tentara Mongolia yang mengikuti di belakang kedua tojin itu terdapat dua orang tentara Mongolia yang pernah dihajarnya di perkampungan Lung-cie. Dari kelima tentara mongolia rupanya yang dua orang ini telah kembali ke Siang-yang.

Cepat-cepat Lie Su Han menundukkan kepalanya. Ia batal untuk berlalu, dan duduk sambil menarik tangan Lie Ko Tie.

“Jangan memandang ke arah mereka,” bisik Lie Su Han dengan suara yang perlahan. “Tundukkan kepalamu.”

Lie Ko Tie walaupun heran, tetapi telah menuruti perintah pamannya, ia telah menundukkan kepalanya dalam-dalam.

Sedangkan kedua tojin dan tentara-tentara Mongolia itu, yang keseluruhannya ternyata berjumlah sembilan orang, telah menghampiri sebuah meja yang besar yang letaknya di seberang meja Lie Su Han.

Mereka bercakap-cakap ramai sekali, dan dilihat dari sikap para tentara Mongolia tersebut, mereka sangat menghormati kedua tojin itu. Mereka bercakap-cakap sambil tertawa-tawa dengan suara yang ramai. Seorang pelayan telah segera melayani mereka.

Waktu salah seorang tojin itu tengah memesan makanan yang dikehendakinya, tiba-tiba salah seorang di antara kedua tentara Mongolia yang pernah dihajar pingsan oleh Lie Su Han, telah melihat Lie Su Han dan Lie Ko Tie. Mukanya seketika berobah pucat, tetapi cepat sekali pulih kembali sambil melirik kepada kedua tojin itu. Rupanya ia sangat mengandalkan kedua tojin tersebut, sehingga perasaan terkejutnya waktu melihat Lie Su Han segera lenyap, malah ia tertawa dingin.

Dengan suara yang perlahan ia telah membisiki kawannya yang seorang. Lalu berbisik-bisik lagi dengan tujuh orang tentara Mongolia lainnya. Mereka semuanya telah memandang tajam kepada Lie Su Han dan Lie Ko Tie. Dan tidak selang lama, tentara Mongolia yang seorang itu, dari kedua orang yang pernah dihajar pingsan oleh Lie Su Han, yang memiliki kumis dan jenggot tebal telah berdiri dari duduknya, melangkah dengan langkah yang lebar langsung menghampiri meja Lie Su Han.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar