MALAM itu adalah malaman
Pee-gwee Tiong Ciu, yaitu pertengahan bulan delapan atau juga musim rontok,
dari pemerintahan Kaisar Yong Ceng tahun ke 7, rembulan permai sekali. Daerah
di sebelah timur dari propinsi Ciatkang seperti bermandikan sinar rembulan.
Malam itu juga angin Barat
mendesir berhembus menerpa pohon-pohon, menimbulkan suara halus, sampai
samar-samar terdengar dua kali suara tanda waktu dari atas ranggon tembok kota.
Terkadang saja terdengar sslak anjing. Di waktu malam sudah larut, semua pintu
rumah terkunci rapat-rapat.
Di istana Goanswee Giok Hu
(Jenderal Giok Hu) lentera menyala terang, beberapa orang perajurit
berjaga-jaga di muka istana Semua dalam kesanyian. Demikian pula beberapa orang
yang berkumpul di ruang tamu istana Jenderal Giok Hu tersebut tengah melakukan
pembicaraan dengan suasana yang hening, suara mereka pelahan sekali.
Jumlah mereka empat orang,
tampaknya ada sesuatu yang sangat penting tengah mereka rundingkan. Yang duduk
di sebelah kanan dekat meja besar tempat diletakkan beberapa cawan minuman,
seorang lelaki berusia hampir empat puluh tahun, mukanya tampan, gagah sekali.
Sepasang kumis terjuntai
pendek sampai sisi dagu, jenggotnya juga tumbuh pendek dan teratur rapi.
Bajunya tungshia bersulam yang indah. Dia tidak lain dari Jenderal Giok Hu.
Duduk di samping kirinya
seorang lelaki berusia lebih tua, hampir lima puluh lima tahun. Sama seperti
Giok Goan-swee, orang inipun gagah sikapnya, mengenakan baju yang bersulam
indah pula. Dia adalah wakil Giok Goanswee, yaitu Thio Pie Lam.
Dua orang lainnya yang duduk
berhadapan dengan Giok Goanswee adalah dua orang laki-laki berpakaian sebagai
Siucai, pelajar. Pakaian mereka sederhana, namun wajah mereka tampak sehat dan
sikap merekapun gagah dengan mata memancar sinar terang.
Yang seorang berusia hampir
lima puluh tahun, yang satunya lagi berumur tidak lebih dari tiga puluh empat
tahun. Yang berusia lebih tua tidak lain Giam Cu, seorang sasterawan terkenal
pada jaman ini. Buah kalamnya sudah dibaca oleh seluruh rakyat dan bernadakan
cinta pada negara.
Yang duduk di sisinya, yang
berusia lebih muda, adalah murid tertuanya, yaitu Bun San Cu, seorang yang
memiliki semangat berkobar-kobar dan pergaulan yang luas sekali, sudah berhasil
menciptakan beberapa sajak yang bersemangat perjuangan dan cinta terhadap
negeri.
Giam Cu adalah sahabat karib
Jenderal Giok Hu. Duapuluh tahun yang lalu, Jenderal Giok Hu banyak belajar
dari sahabatnya ini, karenanya walaupun kini sudah menjadi Jenderal yang
memiliki kekuasaan sangat besar, Jenderal tersebut tetap menghormati Giam Cu.
Hampir setiap tahun sekali
mereka bertemu untuk merundingkan berbagai sajak jika bukan Giam Cu yang
mengunjungi Jenderal Giok Hu, tentu sang Jenderal yang menemuinya. Belum
setahun sejak pertemuan mereka yang terakhir, Giam Cu justeru telah mengunjungi
Jenderal Giok Hu, tampaknya pujangga terkenal itu memiliki persoalan yang
sangat penting sekali.
Keheningan di ruang tersebut
terisi oleh batuk-batuk perlahan Jenderal Giok Hu, disusul kemudian oleh
kata-katanya: "Giam-heng, persoalan yang diceritakan olehmu telah
kumengerti seluruhnya, tapi apakah Giam-heng sudah memikirkannya dengan
sedalam-dalamnya akan akibat yang bisa timbul dari keinginan Giam-heng?"
"Ya, kalau saja Goanswae
bersedia membantu kami, tentu semuanya berjalan lancar." menyahuti Giam
Cu. "Kami sudah bertekad, walaupun bagaimana Kaisar Yong Ceng harus
dihukum atas kelalimannya, rakyat sudah terlalu menderita."
"Giam-heng," kata
Jenderal Giok Hu sambil menghela napas dalam-dalam, "aku memahami akan
kegagahanmu yang mencintai negara dan tetap setia kepada bangsa dan negara.
Akan tetapi yang Giam-heng utarakan tadi bukanlah pekerjaan mudah. Bukan aku
tidak menyetujui saran Giam-heng juga bukan maksudku untuk menentang, tetapi
cobalah Giam-heng pertimbangkan dengan seksama lagi, apakah tidak akan
menyebabkan berjatuhan korban yang terlalu banyak jika niat Giam-heng
dilaksanakan? Menurutku, pasti yang akan lebih menderita lagi adalah
rakyat."
Giam Cu menghela napas, ia
merogoh saku jubahnya mengeluarkan segulungan kertas.
"Goanswee bacalah
ini," katanya sambil menyodorkan gulungan kertas itu. "Kukira
Goanswee bisa memahami lebih dalam lagi perasaan kami."
Jenderal Giok Hu menyambuti
gulungan kertas itu, membuka dan membacanya. Wajahnya tampak jadi semakin
murung. Kemudian perlahan disodorkannya surat itu kepada Thio Pie Lam, wakil
Jenderal tersebut.
Muka Thio Pie Lam yang sejak
tadi sudah murung, jadi tambah murung setelah membaca surat tersebut, karena
surat itu ternyata di tulis sendiri oleh Giam Cu, dengan huruf-huruf yang
sangat indah. Bunyi surat itu sebagai berikut:
"Goanswee Giok Hu, rakyat
sekarang semakin menderita oleh kelaliman Kaisar Yong Ceng, yang semakin lama
kian memeras rakyatnya, seakan juga ingin menghirup titik darah terakhir dari
seluruh rakyat. Tidakkah hati Goanswee tergerak untuk membantu kami menghukum
Kaisar Yong Ceng ? Kami yakin, Goanswee akan selalu ingat, betapapun darah yang
mengalir di sekujur tubuh Goanswee adalah butir-butir darah Han, yang akhirnya
pasti akan dihirup pula oleh Kaisar yang lalim itu. Kemuliaan yang lebih
terpuji untuk Goanswee. walaupun kelak hanya sebagai seorang petani biasa,
dibandingkan sekarang Goanswee duduk di singgasana kekuasaan yang disediakan
oleh Kaisar penjajah itu ! Giam Cu dan kawan-kawan selalu berdoa kepada Thian
agar dilimpahkan kemuliaan."
Selesai membaca surat itu Thio
Pie-Lam menoleh kepada- atasannya dengan muka yang memancarkan berbagai macam
perasaan, la seakan mengalami kesukaran untuk mengutarakan sesuatu.
Jenderal Giok Hu menghela
napas dalam-dalam dengan muka tetap murung.
"Pie Lam," kata
Jenderal itu dengan suara menunjukkan kesusahan hatinya. "Bagaimana
komentarmu?"
"Ini .... ini
sesungguhnya sangat berbahaya sekali, Goanswee. Kalau saja Kaisar mengetahui
hal ini.... tentu.... tentu..." kata Thio Pie Lam dengan kata-kata yang
tidak lancar.
"Cukup Pie Lam,"
kata Jenderal Giok Hu "Simpanlah baik-baik surat Giam Sianseng."
Thio Pie Lam mengiakan dan
bangkit menuju kesebuah lemari, menarik laci dan menyimpan surat Giam Cu di situ.
Kemudian dia kembali ketempatnya, duduk disamping atasannya.
"Nah Giam-heng,"
kata Jenderal Giok Hu kemudian dengan ragu kepada Giam Cu. "Semua saran
Giam-heng telah kudengar seluruhnya. Baiklah, hal itu nanti dibicarakan
perlahan-lahan, jangan tergesa-gesa." Giam Cu tersenyum.
"Goanswee," katanya,
"memang sudah kuduga bahwa Goanswee akan mengalami pertentangan bathin,
karena memang persoalan itu bukanlah hal yang gampang untuk diselesaikan hanya
dalam satu atau dua hari untuk mengambil suatu keputusan."
Giam Cu berdiri diikuti oleh
muridnya. Bun San Cu. baru kemudian melanjutkan lagi kata-katanya: "Kini
kami pamitan, karena masih banyak yang perlu kami selesaikan, Kami berharap
untuk kemurahan hati Goan swee bahwa nanti sudah tiba saatnya tentu Goanswee
mau mendukung perjuangan kami."
Jenderal Giok Hu cepat berdiri
dan membalas hormat kepada kedua tamunya.
,Giam-heng, bukankah lebih
baik bermalam dulu di sini ?" Tanya Jenderal itu. "Kalian masih
terlalu lelah, baru tiba di sini dan belum beristirahat, Mana mungkin kalian
cepat-cepat pamit untuk melakukan perjalanan lagi ?"
"Terima kasih Goanswee,
di lain kesempatan nanti kita akan bercakap-cakap selama tiga hari tiga malam,
dengan kegembiraan penuh. Sekarang, di saat rakyat tengak menangis dan
menderita, bagaimana mungkin hati bisa tenang untuk merundingkan semua urusan
sastera maupun kegemaran kita?"
Giam Cu merangkapkan kedua
tangannya, membungkukkan tubuhnya dalam-dalam memberi hormat pada Jenderal itu
sebagai tanda pamitan. Muridnya pun memberi hormat kepada Jenderal Giok Hu dan
Thio Pie Lam.
Jenderal Giok Hu menghela
napas dalam-dalam dan dengan perasaan berat mengantarkan tamunya sampai di
gerbang istananya. Ketika berada di ruang dalam lagi berdua dengan Thio Pie
Lam, muka Jenderal Giok Hu muram sekali.
"Pie Lam, pembicaraan
kita tadi dengan Giam-heng dan muridnya harus dirahasiakan. Terus terang saja,
persoalan ini membuatku berada di posisi yang serba salah dan membingungkan.
Hong-siang (Kaisar) telah menganugrahi budi dan kedudukan yang demikian besar
kepadaku, mana mungkin aku bisa mengkhianatinya untuk membantu Giam Cu angkat
senjata menentang Hongsiang ? Tetapi, apa yang diucapkan oleh Giam Cu pun semua
merupakan kenyataan yang tidak bisa kita hindarkan walaupun kita memejamkan
mata." Jenderal itu menghela napas dalam-dalam lagi. Kusut sekali
pikirannya.
"Jadi bagaimana keputusan
Goanswee ?" Tanya Thio Pie Lam .
"Aku sedang bingung dan
belum bisa mengambil keputusan, Pie Lam. Tetapi yang pasti aku tidak bisa
membantu Giam Cu. Tetapi akupun tidak mungkin bisa menangkapnya Giam Cu sahabat
karibku, aku mengerti akan perasaan dan jiwanya yang tetap setia pada negara.
Aku memaklumi akan perasaannya itu. Tetapi jika suatu saat kelak kalau ia
angkat senjata dengan kawan-kawannya, bukankah aku akan berhadapan dengannya
?"
Dan Jenderal Giok Hu menghela
napas dalam dalam lagi. Tangannya dikibaskan perlahan: "Sekarang
tinggalkanlah aku sendiri. Pie Lam !"
Thio Pie Lam mengiyakan da
mengundurkan diri. Lama Jenderal Giok Hu duduk termenung dituang itu.
Pikivannya sangat kusut.
Malam semakin larut. Tidak
diketahui oleh Jenderal Giok Hu, bahwa sejak tadi ada seseorang yang mendekam
di atas payon genting, mendengarkan percakapan Jenderal Giok Hu dengan Giam Cu
berempat. Sosok tubuh itu tetap mendekam tidak menimbulkan sedikit suara,
menanti dengan sabar. Akhirnya dilihat Jendeial Giok Hu bangkit dari duduknya
dan berlalu meninggalkan ruangan tersebut.
Sosok bayangan itu sabar
sekali menunggu terus, dan setelah merasa aman, ia melompat turun, masuk ke
dalam ruang itu dengan sikap hati-hati sekali. la membuka laci lemari dan
mengambil gulungan surat yang diterima Jenderal Giok Hu dari pujangga Giam Cu.
Dimasukkan gulungan surat itu ke dalam saku jubahnya, menutup kembali laci dan
cepat-cepat berlalu dari ruangan tersebut.
la segera menuju ke istal
kuda, dengan memakai seekor kuda yang tampak kuat dan gagah, sosok tubuh itu
meninggalkan istana Jenderal Giok Hu. Malam semakin larut, angin Barat
berhembus semakin dingin.
-ooo0ooo-
CU KONGKONG tertawa
menyeringai sambil memperhatikan surat yang dibuka lebar-lebar di depannya.
Sudah tigakali dibacanya surat itu, sampai akhirnya meledak tertawa terkekeh Cu
Kongkong. "Hebat," kata Cu Kongkong sambil menoleh pada orang yang
berlutut di sampingnya. "Kau sudah melakukan tugas dengan baik, Liam Kong.
Aku akan menghadiahkan pangkat kepadamu, karena kau sudah memperoleh apa yang
kuinginkan."
"Terima kasih atas
kemurahan hati Kongkong," kata orang yang berlutut itu sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya. "Liam Kong akan ingat seumur hidup budi
kebaikan Kongkong, walaupun Liam Kong harus mati, tentu mati dengan puas."
Cu Kongkong tertawa terkekeh
perlahan menggulung surat di tangannya. "Liam Koog, sudah berapa lama kau
menyusup masuk ke istana Giok Hu ?" Tanya Cu Kongkong, mukanya
bersungguh-sungguh, tidak terlihat senyum atau tertawanya lagi."
Sudah lebih dari setengah
tahun, Kong-kong," jawab Liam Kong.
"Apakah selama itu Giok
Hu tidak memperlihatkan tanda-tanda akan mengkhianati kesetiaannya pada Hongsiang
mulai meluntur ?" Tanya Cu Kongkong lagi.
"Ampun Kongkong, apa yang
hamba lihat Goanswee Giok Hu tetap setia pada Hongsiang. Bahkan, terakhir
setelah pertemuan dengan Giam Cu, Goanswee Giok Hu masih bilang kepada Thio Pie
Lam bahwa ia tidak ingin menangkap Giam Cu karena hubungan mereka sebagai
sababat, tetapi justeru kalau Giam Cu mengangkat senjata jelas akan berhadapan
dengannya. Itu menunjukkan Jenderal Giok Hu tetap setia kepada Hongsiang."
Cu Kongkong mendengus.
"Hem, aku tetap meragukan katanya. Surat ini merupakan bukti nyata.
Hongsiang. Aku tidak menyukai Giok Hui karena ia terlampau cerdik, yang
kukuatirkan sewaktu-waktu kekuatan yang dimilikinya semakin besar. Bukankah
sekarang pun ia merupakan satu-satunya Jenderal yang paling dipercaya oleh
Hongsiang ? Karenanya Giok Hu harus disingkirkan. Kau mengerti maksudku, Liam
Kong?"
"Mengerti Kongkong,"
menyahuti Liam Kong sambil memanggut-manggutkan kepalanya dengan keadaan tetap
berlutut. "Liam Kong mengerti Kongkong."
"Bagus. Selama setengah
tahun melaksanakan tugasmu menyelusup kedalam istana Giok Hu dan menyamar
sebagai pelayan keluarga Giok Hu, semuanya dapat kau laksanakan dengan
sebaik-baiknya. Besok akan kusarankan kepada Hongsiang agar kau di angkat
sebagai Congtok di Bun An, menggantikan Congtok Lie Tek Hong, yang akan ditarik
pulang ke kota raja, kami akan pensiunkan dia."
Liam Kong manggut-manggutkan
kepalanya girang luar biasa dan mengucapkan terima kasih tidak hentinya.
"Sekarang pergilah kau
beristirahat!" perintah Cu Kongkong sambil mengibaskan sedikit lengan
jubahnya.
Liam Kong mengiyakan,
mengundurkan diri sambil tidak hentinya mengucapkan terima kasih atas kemurahan
hati Cu Kongkong yang akan menganugerahi pangkat Congtok padanya.
Cu Kongkong adalah Cu Bian
Liat, pengurus para Thaykam di istana. (Thaykam) kebiri, pelayan istana). Cu
Kongkong memiliki kekuasaan sangat besar, sebab ia merupakan "orang
kedua" di saat itu. Bahkan Yong Ceng walaupun resmi sebagai Kaisar. namun
hampir keseluruhan kebijaksanaan raja itu diatur oleh Cu Kongkong.
Sudah lama Cu Kongkong
mengetahui bahwa Jenderal Giok Hu merupakan Jenderal berdarah Han. Walaupun
benar ibu Jenderal Giok Hu seorang wanita Boan, tetapi ayah Jenderal tersebut
adalah orang Han sejati.
Yang membuat Cu Kongkong
tambah kuatir, justeru belakangan ini Kaisar Yong Ceng semakin mempercayai
Jenderal Giok Hu, yang selalu berhasil meredakan pemberontakan di berbagai
propinsi, dengan kemenangan yang gemilang. Tentu saja keberhasilan Jerderal
Giok Hu menambah kepercayaan Kaisar Yong Ceng padanya.
Keberhasilan Jenderal Giok Hu
menumpas berbagai pemberontakan di berbagai propinsi dan tempat itu justeru
membuat Cu Kongkong jadi kurang gembira. la melihat Jenderal Giok Hu semakin
lama kian diserahi kekuasaan yang semakin besar, dan kalau suatu waktu Jenderal
yang masih berdarah Han tersebut berbalik memusuhi Kaisar Yong Ceng, niscaya
akan sulit ditumpasnya. Karena itu Cu Kongkong berusaha untuk meruntuhkan
Jenderal Giok Hu, mencari-cari kesalahan Jenderal tersebut.
Atas perintahnya juga Liam
Kong, anak buah yang setia pada Cu Kongkong, pergi menyamar sebagai rakyat
biasa dan masuk bekerja di istana Jenderal Giok Hu sebagai seorang pelayan.
Setengah tahun lebih Liam Kong memperhatikan gerak-gerik Jenderal Giok Hu,
tetapi selama itu yang disaksikannya justeru Jenderal yang seorang ini sangat
setia kepada junjungannya. Baru pada malam itu ia berhasil mencuri dengar
seluruh percakapan Jenderal Giok Hu dengan Giam Cu, malah ia pun berhasil
mencuri surat Giam Cu yang diserahkan kepada Cu Kongkong. Surat Giam Cu itulah
yang akan dipergunakan Cu Kongkong meruntuhkan Jenderal Giok Hu dari
kedudukannya yang ada.
Waktu itu, setelah Liam Kong
berlalu, Cu Kongkong langsung pergi ke kamar Kaisar Yong Ceng. Kaisar tengah
menulis sebuah sajak, dan ketika dilapori bahwa Cu Kong kong mengunjunginya,
Kaisar itu segera menunda tulisannya tersebut dan menemui pengurus Thaykam yang
diseganinya juga, oleh Cu Kongkong menceritakan bahwa Jenderal Giok Hu akan
memberontak dan sebagai bukti nyata diberikannya surat yang ditulis Giam Cu,
kepada Kaisar.
Membaca surat itu muka Kaisar
Yong Ceng merah padam karena murka.
"Hongsiang jangan pusingi
urusan ini, serahkan pada Kongkong untuk mengurusnya !" kata Cu Kongkong
sambil tersenyum licik.
"Ya," kata Kaisar
Yong Ceng. "Aku tidak mau mendengar lagi tentang Giok Hu! Kongkong,
selesaikanlah sebaik-baiknya ! "
Girang Cu Kongkong, sebab ia
berhasil mempengaruhi Kaisar Yong-ceng. Semula ia menduga tentu memperoleh
kesulitan untuk meyakinkan Kaisar bahwa Jenderal Giok Hu ingin memberontak.
Segera Cu Kongkong mengundurkan diri dan menulis sebuah Firman, mencap dengan
cap kerajaan.
Memang setiap Firman Kaisar
selalu ditulis oleh Cu Kongkong, dan disinilah letak kekuasaan Cu Kongkong yang
terbesar, karena jika ia tidak menyukai seseorang, sekali saja ia menulis
sepucuk Firman, niscaya celakalah orang itu.
Sebab walaupun Firman itu
ditulis oleh Cu Kongkong, tetapi itu adalah Firman Kaisar yang lengkap dengan
cap kerajaan. Tidak ada seorangpun, baik Menteri, Jenderal atau pun siapa saja,
yang dapat membangkang terhadap bunyinya Firman Kaisar tersebut.
-ooo0ooo-
PAGI itu pohon Yangliu
bergoyang-goyang ditiup oleh angin Barat, lemah gemulai. Seorang penunggang
kuda yang melarikan binatang tunggangannya dengan cepat sekali, seakan ingin
merusak ketenangan suasana di tempat itu. Bahkan waktu kuda berlari memasuki
kota, penunggang kuda itu tidak bermaksud memerlahankan larinya binatang
tunggangan tersebut.
Kuda itu berhenti tiba-tiba di
depan istana Jenderal Giok Hu. Penunggang kuda itu, seorang lelaki bertubuh
tegap dan mukanya kotor oleh debu segera menerobos masuk ke dalam istana
Jenderal tersebut. Pengawal di depan pintu berdiri dengan sikap hormat, karena
mengenali orang tersebut Khang Thiam Lu, pahlawan nomor satu di pasukan Jenderal
Giok Hu.
Thio Pie Lam, wakil Jenderal
Giok Hu menyambut kedatangan Khang Thiam Lu. Heran Thio Pie Lam melihat sikap
Khang Thiam Lu yang begitu tergesa-gesa dan gugup, seakan ada sesuatu yang
tidak beres.
Khang Thiam Lu membisikkan
sesuatu pada Thio Pie Lam, muka Pie Lam seketika berobah pucat dan jadi gugup.
Berdua mereka ceoat-cepat masuk ke dalam, menemui Jenderal Giok Hu.
Jenderal Giok Hu menyambut
mereka dengan sikap tenang dan ramah, menyuruh mereka duduk. Tetapi Khang Thiam
Lu bukannya duduk malah sudah menjatuhkan diri berlutut di depan Jenderal,
katanya gugup sekali: "Harap Goanswee ampuni hamba, tetapi cepatlah
Goanswee berkemas untuk berangkat. Bahaya ada di depan mata."
Jenderal Giok Hu mengerutkan
kening melihat kelakuan anak buahnya ini. Biasa-nya Khang Thiam Lu gagah
perkasa. Menghadapi persoalan yang bagaimana sulit maupun berbahayanya, ia
tidak pernah jadi gugup seperti ini.
"Tenanglah Thiam Lu,
ceritakanlah apa yang terjadi?!" Tanya Jenderal Giok Hu.
"Bahaya ada di depan mata
Goanswee." menjelaskan Thiam Lu. "Cu Kongkong sudah mengirim
orang-orangnya untuk menghukum Goanswee. Mereka membawa Firman Kaisar.
"Memang ini pasti
perbuatan keji Cu Kong kong yang ingin mencelakai Goanswee. Karenanya, cepatlah
Goasnwee menyingkir, kami yang akan menghadapi mereka."
Kening Jenderal Giok Hu
mengkerut dalam-dalam.
"Iring-iringan pasukan
Kaisar sedang menuju kemari?!" Tanya Jenderal itu.
"Benar. Goanswee. Hamba
sudah menyelidiki dan ternyata mereka membawa Firman Kaisar untuk menghukum
Goanswee sekeluarga, dengan tuduhan bahwa Goanswee bekerja sama Giam Cu ingin
memberontak !"
Muram wajah Jenderal Giok Hu,
ia menggeleng perlahan, katanya dengan sikap gagah : "Tidak Thiam Lu, aku
tidak percaya Hongsiang akan mudah dihasut Cu Kongkong dan menjatuhkan hukuman
kepadaku sekeluarga ! Aku tidak percaya, aku akan menyambut kedatangan
mereka!"
Khan Thiam Lu tampak semakin
gugup dia menoleh kepada Thio Pie Lam, seakan ingin memohon Pie Lam bantu
membujuk atasan mereka mau menyingkir dari istananya tersebut. Pie Lam pun
tampak kebingungan.
"Goanswee," kata Pie
Lam sambil maju mendekati Jenderal Giok Hu. "AIangkah bijaksananya kalau
Goanswee menyingkir sementara waktu. Jika nanti persoalan sudah jelas, barulah
Goanswee memperlihatkan diri."
Tetapi Jenderal Giok Hu
menggelengkan kepalanya. "Tidak." katanya. "Aku tidak akan
meninggalkan posku. Sekarang kalian siapkanlah penyambutan untuk utusan Hong
siang !"
Pie Lam dan Thiam Lu semakin
kebingungan, tetapi Jenderal Giok Hu dengan sikap gagah dan muka bersungguh
sungguh sudah bertanya: "Apakah sekarang kalian berdua sudah tidak
mematuhi perintahku lagi?!"
"Tidak berani, tidak
berani !" Thiam Lu dan Pie Lam cepat-cepat berlutut. "Tetapi
Goanswee..." Thiam Lu menitikan air mata menangis. "Hamba tadi telah
menyelidiki, mereka bermaksud buruk pada Goanswee dan keluarga Goanswee.... sekarang
mereka masih terpisah kurang lebih 50 lie lagi, kalau... kalau Goanswee mau
menyingkir dulu tentu masih keburu.... Semua ini perbuatan Cu Kongkong,
Goanswee Bukankah selama ini sudah belasan orang pencinta negeri, Menteri
maupun Jenderal yang dibinasakan oleh Cu Kongkong dengan caranya yang keji
?"
Melihat Thiam Lu begitu gugup
dan panik, sampai menangis karena menguatirkan keselamatan Jenderal Giok Hu,
Jenderal itupun tidak bisa marah. Setelah menghela napas ia bilang: "Thiam
Lu, Pie Lam, kalian berdua tentu tahu dan tak mau mengerti betapapun besarnya
bahaya yang akan datang sebagai seorang Jenderal yang diangkat dan dipercaya
oleh Hongsiang, mana mungkin aku harus menyingkirkan diri karena akan datang
utusan kaisar. Mengertilah kalian. Juga, aku tidak percaya Hongsiang akan
melupakan jasa-jasaku begitu saja, melupakan kesetiaanku, percayalah Thiam Lu.
Betapapun juga kekuatiranmu itu tidak beralasan!" Setelah berkata begitu,
Jenderal Giok Hu berdiri tegak, dengan sikap gagah dan suara berpengaruh,
katanya: "Sekarang laksanakan kewajibanmu dan tugas kalian untuk
mempersiapkan penyambutan utusan Hongsiang. Lakukanlah ! "
Pie Lam maupun Thiam Lu tidak
berdaya lagi untuk membujuk atasan mereka, mereka tampak kebingungan. Thiam Lu
yang memang cetek air matanya sudah menangis terus sambil mengundurkan diri.
Tetapi keputusan Jenderal Giok Hu tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Jenderal Giok Hu berjalan
hilir mudik di ruang itu setelah kedua orang anak buahnya mengundurkan diri.
Pikirannya kusut sekali. Tadi ia bersikap gagah dan menyatakan kepada Thiam Lu
dan Pie Lam bahwa ia tidak percaya Kaisar akan mengirim utusan buat menghukum
dia dan keluarganya tetapi sesungguhnya di dasar hatinya terhadap kekuatiran
seperti itu.
Hanya saja rasa tanggung jawab
dan harga diri sebagai seorang Jenderal, betapapun besarnya bahaya yang akan
datang, ia tidak boleh meninggalkan pos-nya. Dugaan bahwa Cu Kongkong ingin
mencelakainya dan keluarganya, memang ada pada hati Jenderal Giok Hu. Dia tahu
siapa Cu Kongkong. Namun, ia pun sulit percaya bahwa Hongsiang bisa terpengaruh
begitu mudah oleh Cu Kongkong.
Jenderal Giok Hu pun
menghubung-hubungi peristiwa lenyapnya surat Giam Cu yang ditaruh di laci
lemari buku di ruang tamunya dengan berita kedatangan utusan Kaisar yang ingin
menghukumnya. Dan dugaannya, pasti ada penghianat yang telah mencuri surat Giam
Cu, diberikan kepada Cu Kongkong. Yang kemudian jatuh ketangan Kaisar Yong
Ceng.
Teringat akan hal itu Jenderal
Giok Hu menghela napas dalam-dalam. Tetapi kegagahannya sebagai seorang
Jenderal tidak memungkinkan dia dan keluarganya harus melarikan diri dan
dikejar-kejar pasukan Kaisar seperti seorang pencuri dikejar petugas berwajib.
Dan, Jenderal Giok Hu pasrah saja apa yang akan terjadi.
Sebagai pahlawan nomor satu di
pasukan Jenderal Giok Hu, Khang Thiam Lu memiliki banyak anak buah. Justeru ia
menerima laporan adanya pasukan Kaisar yang tengah iring-iringan menuju ke
istana Jenderal Giok Hu. Khang Thiam Lu sengaja pergi sendiri buat membuktikan
dan ia berhasil menyelidiki apa tujuan iring-iringan tersebut, la menangkap
seorang perajurit dan mengorek keterangan dari mulut perajurit tersebut, yang
diculik dan kemudian saking murkanya ia membunuh dengan sekali menepuk kepala
perajurit itu yang menjadi pecah. Mati seketika.
Cepat-cepat Khang Thiam Lu
memberi kabar kepada Jenderal Giok Hu agar menyingkir. Tetapi sarannya ditolak
Jenderal tersebut, dan Thiam Lu kebingungan.
Biasanya, jika utusan Kaisar
datang untuk menghukum seseorang, hal itu sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Tidak ada jalan lain buat Thiam Lu. ia mempersiapkan pasukannya, kalau memang
nanti Jenderal Giok HB dipaksa oleh Firman Kaisar dan ingin dicelakai, maka ia
akan mengadakan perlawanan dengan seluruh kekuatan pasukannya yang berjumlah
hampir tiga puluh orang.
Ada alasan mengapa Khang Tbiam
Lu begitu panik dan kebingungan. Begitu pula halnya dengan Thio Pie Lam, jadi
ikut bingung setelah Khang Thiam Lu menceritakan kepadanya bahwa di dalam
pasukan itu ikut Congkoan Gie Lim Kim (pengurus pasukan yang melindungi Kaisar)
Ban It Say, yang terkenal gagah dengan ilmu golok tunggalnya.
Juga bersama rombongan itu
ikut serta Thio Yu Liang, Congkoan Kim Ie Wie (pengurus pasukan yang bersulam
jubah emas), seorang jago pedang nomor satu di jaman ini, karena ilmu pedang
Pek-lui-kiam (Pe-dang Kilat) sudah kesohor di seluruh daratan Tionggoan dan
sulit dicari tandingannya. Iring-iringan utusan Kaisar itu dilengkapi oleh 500
orang pasukan Kim Ie Wie, yang semua rata-rata berkepandaian tinggi.
Itulah sebabnya mengapa Khang
Thiam Lu dan Thio Pie Lam jadi kebingungan dan panik. Dengan diperlengkapinya
iring-iringan Kaisar sekali ini dengan kekuatan yang demikian hebat, jelas
sengaja agar Jenderal Giok Hu tidak bisa meloloskan diri, Bahkan jago istana
seperti Thio Yu Liang dan Ban It Say ikut serta dalam iring-iringan Kaisar
tersebut. Bukankah tidak ada seekor lalatpun yang bisa lolos dari tangan kedua
jago nomor satu dari istana Kaisar itu ?
Jenderal Giok Hu sendiri yang
keluar menyambut kedatangan rombongan utusan Kaisar itu, didampingi oleh Khang
Thiam Lu dan Thio Pie Lam. Dengan sikap sangat hormat Jenderal tersebut mem
persilahkan para tamunya itu untuk masuk ke dalam istananya.
Tetapi dari rombongan tersebut
keluar seorang Thaykam berusia hampir lima puluh tahun, dengan sikap angkuh dan
sinis, suaranyapun angker waktu ia berseru: "Giok Hu pengkhianat!
Berlututlah untuk menerima Firman Hongya !"
Muka Jenderal Giok Hu berobah
pucat, tetapi ketika melihat Thaykam itu membuka segulungan kain merah bersulam
naga dari benang emas, tidak berani ayal lagi Jenderal Giok Hu berlutut, buat
menerima Firman Kaisar.
"Giok Hu menantikan
perintah Hongya !" kata Jenderal Giok Hu dengan suara tergetar.
Dengan suara lantang Thaykam
itu membacakan Firman Kaisar: "Karena terbukti Giok Hu tidak pandai
berterima kasih atas kebaikan Tim yang sudah menganugerahi pangkat sangat
tinggi padanya, di mana ia masih berpikir untuk memberontak menentang Tim,
bekerja sama dengan para pemberontak seperti Giam Cu, dengan ini Tim nyatakan
seluruh pangkat dan kekuasaannya dilepaskan darinya, dan Tim anugerahi
kemuliaan terakhir untuk Giok Hu dan keluarganya dengan kematian."
Muka Jenderal Giok Hu semakin
pucat pias mendengar bunyinya Firman Kaisar, karena itulah tanda bahwa ia
sekeluarga harus menerima hukuman mati. Tubuhnya menggigil.
"Tetapi. . Hongya,. .
." Suara Jenderal Giok Hu. tidak terdengar jelas.
Thio Pie Lam berdua Khang
Thiam Lu pun menjadi pucat pias, malah Khang Thiam Lu yang air matanya cetek
sudah mengucurkan air mata menahan isak tangisnya.
"Giok Hu ! Apakah kau mengakui
semua dosa-dosamu itu ?!" Tanya Thaykam yang membacakan Firman Kaisar
dengan suara nyaring.
"Tetapi... hamba akan
menjelaskan seluruh persoalan kepada Hongya,...Berilah hamba kesempatan untuk
bertemu dulu dengan Hongya!"
"Hemmm, Hongya sudah
menganugerahi kemuliaan terakhir untukmu. Dan, kami di tugaskan untuk
melaksanakan tugas mewakili Hongya menganugerahkan kemuliaan tersebut !"
Setelah berkata begitu, Thaykam tersebut menoleh kepada orang yang bertubuh
tinggi besar dan memelihara brewok tanpa kumis, yang tengah mengawasi Jenderal
Giok Hu dengan tatapan sinis.
Dialah Ban It Say, Congkoan
Gie Lim Kun. Thaykam itu bilang lagi: "Ban Tayjin, mulailah melaksanakan
tugas. Tidak boleh sepotong jiwa anjing, mau pun ayam yang dibiarkan lolos
!"
Ban It Say tertawa sambil
mengangguk Tangan kanannya dikibaskan. Belasan orang berpakaian sulam emas,
yaitu Kim It Wie dengan masing-masing golok ditangan sudah melompat mendekati
Jenderal Giok Hu.
Thio Pie Lam berdua Khang
Thian Lu terkejut, muka mereka pucat pias. Thio Pie Lam melompat ke depan
Jenderal Giok Hu, menangkis beberapa golok yang menyambar akan membacok
Jenderal tersebut. Sedangkan Khang Thiam Lu cepat cepat mencekal lengan
Jenderal Giok Hu. teriaknya: "Goanswee, mari menyingkir !"
Tetapi Jenderal Giok Hu
mengibaskan tangannya, maka cekalan Khang Tiam Lu ter lepas. "Pergilah kau
!" Katanya dengan muka yang pucat seperti mayat. la tampak jadi putus asa
campur kecewa. Walaupun sebetulnya Jenderal Giok Hu memiliki ilmu silat yang
cukup tinggi, tidak terlihat tanda-tanda ia ingin mengadakan perlawanan. la
tetap dalam keadaan berlutut.
Thio Pie Lam mati-matian
menghalau beberapa golok yang datang mengancam, kemudian berseru: "Khang
heng, cepat ajak Goansweeya menyingkir !"
Khang Thiam Lu dengan air mata
bercucuran berkata lagi untuk membujuk Jenderal Giok Hu: "Goanswee, apakah
kau sudah tidak mencintai keluargamu lagi. . . ?!"
Jenderal itu tetap berdiam
diri saja dengan muka yang pucat seperti kapur tembok.
Tubuhnya menggigil. Tetapi
Khang Thiam Lu tidak bisa meneruskan kata-katanya, dia merasakan tengkuknya
dingin dan cepat berkelit ke samping, kerena ia tahu itulah serangan bokongan.
Namun, Khang Thiam Lu kaget, ia sudah berkelit, hawa dingin itu masih tetap
menyambar di tengkuknya. Dia mengayunkan tangan ke atas menangkisnya.
Lengan Khang Thiam Lu terasa
nyeri, tubuhnya bergoyang-goyang, kemudian mundur dua langkah ke belakang.
Orang yang menyerangnya adalah Ban It Say, Cong koan Gie Lim Kun, yang tertawa
mengejek terkekeh dan tengah menyambar dengan tangan kirinya lagi.
Khang Thiam Lu menggerakkan
pedangnya buat menebas lengan Congkoan Gin Lim Kun tersebut, tetapi gesit bukan
main Ban It Say bisa melindungi tangannya, dimana ia menekuk tangan kirinya,
mendadak tangan kanannya menghantam ke depan, telak sekali memukul dada Khang
Thiam Lu.
Pikiran Khang Thiam Lu tengah
kalut, karenanya ia tidak bisa menghindari pukulan Ban It Say, dimana
perhatiannya sebagian tertumpah pada keselamatan Jenderal Giok Hu. Akibat
pukulan Ban It Say, tubuhnya terpelanting, namun cepat sekali ia bisa bangkit
dan menghirup dalam-dalam hawa udara untuk mengumpulkan semangatnya.
Ban It Say tertawa terkekeh,
katanya:
"Kau ingin melindungi
pemberontak, heh?!" Kedua tangannya sudah menyambar lagi.
Hebat cara menerjang Ban It Say,
dia seperti tidak memperdulikan pedang Khang Thiam Lu yang melintang ingin
menebas ke dua tangannya Malah, dengan sebat sekali kedua jari tangannya
berhasil menjepit pedang Khang Thiam Lu.
Hati Khang Thiam Lu mencelos,
dia tidak sangka Congkoan Gie Lim Kim ini sangat liehay, namanya memang tidak
kosong. Cepat-cepat dia melepaskan cekalan pada pedangnya, telapak tangan
kirinya menghantam pundak Ban It Say.
Ban It Say nyengir mengejek,
kemudian mematahkan pedang Khang Thiam Lu. Baru saja ia ingin menerjang Khang
Thiam Lu, mendadak Jenderal Giok Hu berseru: "Hentikan! Semua
berhenti!"
Semua orang jadi berdiam diri,
belasan orang Kim Ie Wie yang waktu itu tengah bertempur dengan pasukan Khang
Thiam Lu pun berhenti dan menoleh kepada Jenderal Giok Hu.
Jenderal Giok Hu tetap
berlutut, mukanya pucat pias, bibirnya agak gemetar. Dia ber kata dengan suara
nyaring: "Lihatlah," kata nya dengan melepaskan pedang yang
tergantung di pinggangnya. "Ini adalah Kim kiam (Pedang Emas) hadiah
Hongya, merupakan pedang kekuasaan yang dianugerahi oleh Hongya. Sekarang
Hongya menganggap aku berdosa, menjatuhkan hukuman mati kepada ku sekeluarga.
Walaupun ini merupakan kejadian penasaran yang akan terbawa sampai ke akherat,
namun sebagai Jenderal yang setia kepada Hongya, jelas aku tidak boleh
membangkang terhadap setiap keinginan Hongya. Baiklah, aku menerima hukuman
yang dijatuhi Hongya !"
Selesai berkata begitu,
tahu-tahu Jenderal Giok Hu mencabut Kim kiam, menghunusnya dengan cepat. Sama
cepatnya dengan itu menggorok leher Jenderal tersebut, sehingga lehernya putus
dan kepalanya menggelinding ke lantai. Tubuhnya mengikuti kemudian, rebah di
lantai, darah berceceran.
Thio Pie Lam berdua Khang
Thiam Lu menjerit kaget dan sedih, mereka coba mencegah perbuatan Jenderal yang
sudah berputus asa itu. Tetapi mereka tidak keburu, karena dirintangi oleh Ban
It Say dan anak buahnya. Malah waktu itu sudah melompat maju seseorang, yang
tubuhnya kurus jangkung, mengenakan tungshia (baju panjang) warna kuning.
Melihat keadaannya dia seperti
seorang penyakitan, tetapi dia tidak lain dari Thio Yu Liang, Congkoan Kim le
Wie yang sangat terkenal ilmu pedangnya. Dengan sikap seenaknya kedua tangannya
bergerak, dan kemana saja tangannya bergerak, terdengar jerit kematian, karena
seorang tentara Jenderal Giok Hu yang terhajar kepalanya terbinasa. Bengis
sekali Congkoan Kim le Wie ini.
Bagaikan kalap Thio Pie Lam
berdua Khang Thiam Lu berusaha menerjang Ban It Say dan Thio Yu Liang. Tetapi
kepandaian jago nomor satu dari istana itu benar-benar kosen, mereka gagah
sekali. Thio Pie Lam berdua Khang Thiam Lu seakan tidak dipandang sebelah mata
oleh mereka.
Ketika suatu kali Thio Yu
Liang menghantam dengan jari telunjuknya, menotok pundak Khang Thiam Lu, Tubuh
Thiam Lu tidak ampun lagi kejengkang keras ke belakang, bahkan belum lagi
bangkit berdiri dia sudah memuntahkan-darah segar.
Pasukan Kim Ie Wie yang
lainnya sudah menerjang masuk ke dalam istana Jenderal Giok Hu, semua pelayan
maupun tentara Jenderal Giok Hu dibinasakan. Seperti perintah Thaykam yang tadi
membacakan Firman Kaisar, bahwa sepotong jiwa anjing maupun ayam tidak boleh
ada yang lolos.
Hampir seratus orang lebih
pelayan keluarga Jenderal Giok Hu dibinasakan. Sanak famili maupun isteri dan
dua orang anak perempuan dari Jenderal Giok Hu dibinasakan semuanya.
Khang Thiam Lu setelah
memuntahkan darah segar, sebetulnya ingin melompat berdiri dan mati-matian
ingin mengadu jiwa.
Tetapi tiba-tiba dia teringat
sesuatu. Dan seketika ia memiliki semangat lagi, karena ia harus menyelamatkan
seseorang. Dia batal berdiri, hanya berdiam sejenak. Setelah melihat Thio Yu
Liang tidak memperhatikannya dan tengah mengibas-ngibaskan lengan jubahnya
untuk membersihkan debu dibajunya, Khang Thiam Lu merangkak hati-hati
menyingkir kedekat pintu, kemudian menyelinap ke balik istal dan berlari sekuat
tenaga menuju ke arah pantai.
"Hem, tidak ada yang
berarti di sini!" Menggumam Thio Yu Liang kepada Ban It Say waktu itu
tengah melayani Thio Pie Lam dengan kedua tangannya.
Ban It Say tertawa
bergelak-gelak. sambil menyampok tangan kanan Thio Pie Lam yang menyambar
kepadanya ia menyahuti: "Ya, memang sungguh mengecewakan! Kukira Jenderal
bau itu mempunyai banyak kaki tangan yang tangguh ! Aneh, hanya gentong-gentong
nasi tidak punya guna yang muncul di depan kita ! Eh, kita apakan gentong nasi
yang satu ini, Thio-heng ?!"
Thio Yu Liang tertawa.
"Aku akan memperlihatkan
suatu pertunjukan yang istimewa !" Jawab Thio Yu Liang. Perlahan-lahan dia
menghunus pedang nya, dilemparkannya pedang itu ke tengah udara. Waktu pedang
itu menukik meluncur turun, Thio Yu Liang sambil tertawa menyentil dengan jari
telunjuknya pada pedang tersebut, yang seketika terpental keras dan menyambar
kedada Thio Pie Lam.
Thio Pie Lam kaget dan hatinya
mencelos melihat menyambarnya pedang lawan tetapi pedang itu terlalu cepat
menyambar dadanya, dia tidak bisa menghindar, tahu-tahu tubuhnya terdorong
kuat, kejengkang, dadanya ditembusi pedang Thio Yu Liang dan mata pedang itu
menancap juga di batang pohon, seakan-akan tubuh Thio Pie Lam disate oleh
pedang tersebut! Ban It Say tertawa keras.
"Thio-heng, kau merampas
jasaku!" Teriaknya.
"Semua ini jasa kita
berdua!" kata Thio Yu Liang tidak acuh dan menghampiri Thio Pie Lam yang
tertancap di batang pohon, menarik pedangnya dan membersihkan di baju mayat
Thio Pie Lam.
Thaykam yang membacakan Firman
Kaisar telah menghampiri Ban It Say.
"Ban Tayjin, coba
periksa, apakah dua orang anak perempuan dan seorang anak lelaki Giok Hu sudah
diberesi semuanya ? Juga isteri dan 29 sanak famili yang tinggal bersamanya,
apakah sudah semuanya dirapikan. Hitung dan perhatikan dengan baik, jangan
sampai salah ! Seratus tiga belas pelayan, seorang isteri, tiga anak, dan
ditambah dua puluh sembilan sanak pamili. Seluruhnya berjumlah seratus empat
puluh enam. Jika ditambah oleh Giok Hu jadi seratus empat puluh tujuh
jiwa."
Ban It Say mengangguk dan
mulai menghitung, sedangkan Thio Yu Liang menghampiri Thaykam itu.
"Bagaimana dengan pasukan
perang dimarkas angkatan perang, yang semula berada di bawah kekuasaan Giok Hu
?!" Tanya Thio Yu Liang "Apakah Kongkong sudah membereskan semuanya
?"
"Thio Tayjin, kau jangan
kuatir. Kong kong selalu mengatur dengan sempurna segalanya. Telah diangkat
Jenderal Wang Shie sebagai pengganti Giok Hu. Keadaan di sana pun sudah
teratasi dengan baik! Ada dua ribu lebih tentara yang memihak pada Giok Hu,
mereka semua sudah dibereskan !" jawab Thaykam itu.
Thio Yu Liang
mengedip-ngedipkan matanya.
"Apakah kini tugas kami
sudah selesai, Tayjin" Tanyanya.
Thaykam itu mengangguk.
"Ya, kita akan langsung
kembali ke ke kotaraja," Jawabnya.
Ban It Say sudah selesai
menghitung dan menghampiri itu.
"Seluruhnya berjumlah
seratus empat puluh tiga jiwa !" Lapor Ban It Say. "Juga tampaknya
ada yang tidak beres, anak lelaki Giok Hu yang katanya berusia tujuh tahun
tidak ada di antara mayat-mayat itu...!"
Mukanya Thaykam tersebut
berobah hebat, agak gugup dia perintahkan: "Cari ! Periksa sekitar tempat
ini ! Pasti ada beberapa pelayan yang berusaha menyelamatkan anak pemberontak
ini !"
Segera juga pasukan Kim Ie Wie
dibawah pimpinan Thio Yu Liang dan Ban It Say mencari anak lelaki Jenderal Giok
Hu dan memeriksa sekitar tempat itu. Tetapi yang mereka cari tidak juga
berhasil ditemukan.
Sia-sia usaha mereka, sehingga
Thay kam itu marah-marah. Yang jadi sasaran kekejaman Ban It Say dan Thio Yu
Liang bersama anak buahnya, penduduk yang berdekatan dengan istana Jenderal
Giok Hu menjadi korban.
Entah berapa puluh orang yang
mereka bunuh. Darah membanjir di istana Jenderal Giok Hu. seorang Jenderal yang
terkenal sangat setia dan cinta pada negara akhirnya mati di tangan Kaisarnya.
junjungannya. Rakyat cuma bisa mengusap dada waktu mendengar peristiwa yang
menyedihkan tersebut, salah satu korban dari kelaliman Kaisar Yong Ceng.
-ooo0ooo-
MALAM telah larut, di pantai
selatan suara ombak berdebur dengan gemuruh, angin selatan pun berhembus sangat
keras dan dingin. Walaupun rembulan bersinar penuh di langit, tetapi sinarnya
tidak cukup menerangi sekitar daerah pantai itu, batu-batu karang yang tidak
rata bentuknya menimbulkan bayang-bayang seperti bayangan hantu malam yang
menyeramkan. Hanya dipermukaan air laut yang tengah pasang itu yang memantulkan
sinar berkeredepan akibat timpahan cahaya bulan.
Dibalik sebungkah batu karang
yang cukup besar bentuknya, di sebelah dalam dari kaki batu karang yang
menjorok ke dalam membentuk seperti goa, tampak dua sosok tubuh duduk dengan
menggigil kedinginan. Sosok tubuh yang satu duduk menyender di dekat mulut goa
di kaki gunung karang itu, tampaknya lemah dan sedang terluka berat. Scdangkan
yang seorang lagi duduk dengan dipangkuannya rebah sesosok tubuh kecil, seorang
anak lelaki berusia antara enam atau tujuh tahun, yang tubuhnya dibungkus oleh
baju luar dari salah seorang kedua orang tersebut.
Anak lelaki itu tengah tidur
nyenyak. Keadaan di tempat itu hening dan sepi sekali, cuma suara debur ombak
yang menampar serta menerjang batu-batu karang di pantai yang terdengar jelas.
Orang yang menyender di mulut
goa memanggil dan menggeser tubuhnya sedikit, tiba-tiba keheningan di tempat
itu terpecahkan oleh suara muntah orang tersebut. Sosok tubuh di dalam goa yang
tengah memangku anak lelaki kecil itu tampak kuatir dan tidak tenang.
"Tayjin, apakah kesehatan
Tayjin semakin memburuk?!", tegur orang didalam goa itu.
Orang diluar pintu goa
mengulapkan tangannya beberapa kali. "Tidak. Tidak apa-apa. Aku masih kuat
untuk melindungi kalian !" Kemudian dia menyender lagi, sinar bulan yang
berkelebat menyinari tempat itu karena pumpalan awan yang menutupi bulan bergeser,
memperlihatkan wajsh orang itu pucat pias.
Di sisi mulutnya tampak
noda-noda darah, karena yang dimuntah kannya tadi adalah darah! la tampaknya
tengah terluka di dalam tubuh yang cukup parah. Orang tersebut berpakaian
seperti seorang pahlawan kerajaan, biarpun tubuhnya sudah lemah, kenyataannya
ia masih ingin memperlihatkan sifat-sifat gagah, bahwa ia masih sanggup untuk
melindungi kedua orang itu.
Siapakah orang-orang di dalam
goa di bawah batu karang yang bentuknya seperti goa itu ?
Yang tadi memuntahkan darah
tidak lain dari Khang Thiam Lu, pengawal pribadi Jenderal Giok Hu yang sempat
meloloskan dari tangan orang-orang yang jadi utusan Kaisar Yong Ceng, yang
ingin membabat seluruh keluarga Jenderal Giok Hu. Semula Khang Thiam Lu
bertekad untuk mengadu jiwa melindungi Jenderal Giok Hu. bahkan waktu
menyaksikan Jenderal Giok Hu menemui kematian mengenaskan hati, ia menjadi
nekad dan ingin mengadu jiwa.
Walaupun ia sudah dilukai Thio
Yu Liang oleh totokan yans mengandung tenaga dalam kuat sekali, membuat Thiam
Lu terluka didalam tubuh yang parah, ia masih ingin mengadakan perlawanan
sampai titik napas terakhir.
Hanya saja saat itu justeru ia
teringat kepada putera bungsu Jenderal Giok Hu, yaitu Giok Han, yang
diketahuinya tengah bermain di pantai bersama Lam Sie. seorang pelayan keluarga
Jenderal Giok Hu.
Memang sejak kecil Giok Han
diasuh oleh Lam Sie, seorang pelayan yang setia dan jujur, berusia sudah cukup
lanjut hampir 60 tahun, karenanya, akhirnya dengan hati yang pedih dan perasaan
yang berat, Khang Thiam Lu berusaha untuk meloloskan diri, dan dia berhasil
dengan usahanya untuk menyingkir dari gedung Jenderal Giok Hu yang tengah
dibanjiri darah itu.
Dengan air mata bercucuran
Khang Thiam Lu berlari-lari ke pantai, untuk mengajak Lam Sie dan Giok Han
menyingkir menyelamatkan diri dari ancaman maut orang-orangnya Kaisar Yong
Ceng.
Sejak pagi tadi memang Giok
Han tidak seperti biasanya, rewel sekali, sering menangis dan sulit untuk
dibujuk oleh pengasuhnya. Lam Sie semula menyangka Giok Han sakit sehingga
rewel seperti itu.
Khang Thiam Lu menyuruh Lam
Sie mengajak Giok Han ke pantai, untuk menenangkannya dengan mengambil
kulit-kulit kerang, karena memang kesukaan Giok Han mengambil serta
mengumpulkan kulit kerang yang banyak terdapat di pasir pantai.
Lam Sie pun mengajak putera
bungsu Jenderal Giok Hu ke pantai, buat diajak bermain-main di pantai. Justeru
karenanya jiwa putera bungsu Jenderal Giok Hu jadi lolos dari kematian.
Khang Thiam Lu bertekad harus
menyelamatkan jiwa putera junjungannya, walaupun ia dalam keadaan terluka parah
namun Thiam Lu mengempos seluruh sisa tenaganya untuk berlari ke pantai dan
mengajak Giok Han bersama pengasuhnya menyingkir agak jauh dan bersembunyi di
bawah sebongkah batu karang dipantai itu. Sengaja ia tidak mengajak anak
junjungannya serta pengasuh anak itu meninggalkan pantai, sebab ia yakin
pasukan kerajaan yang diutus Kaisar Yong Ceng tidak mungkin menggeledah pantai
itu.
Jika ia kembali ke kota atau
pun meninggalkan pantai untuk pergi kekota lainnya, kemungkinan dilihat orang
dan diketahui jejak mereka oleh orang-orang Kaisar Yong Ceng lebih besar. Hanya
saja luka di dalam tubuh Khang Thiam Lu semakin parah juga.
Sejak siang tadi ia sudah
duduk bersemedhi untuk mengempos semangat murni, guna mengobati dirinya. Tetapi
gagal. Totokan Thio Yu Liang benar-benar hebat. Sudan berkali-kali Khang Thiam
Lu memuntahkan darah, keadaannya semakin lemah dan payah. Muka-nya semakin
pucat pasi, seperti kapur tembok putihnya. Di malam yang sangat dingin oleh sampokan
angin pantai membuat penderitaan Khang Thiam Lu semakin hebat, tetapi ia masih
berusaha terus dengan penuh kewaspadaan untuk menjaga keselamatan Giok Han dan
Lam Sie.
Itulah sebabnya ia masih duduk
bersender di pintu, goa batu karang itu, berjaga-jaga kalau saja ada orang yang
ingin mencelakai anak junjungannya tersebut. la bertekad akan mengadu jiwa
untuk melindungi anak junjungannya.
Lam Sie yang sejak tadi
membujuk Giok Han untuk tenang berdiam di dalam goa, merasa hancur luluh hati
maupun perasaannya. Betapa tidak, tadi sudah didengarnya dari Khang Thiam Lu
bahwa junjungannya serta keluarga Jenderal itu sudah dibabat habis oleh
orang-orang Kaisar Yong Ceng, terbunuh semuanya. Air mata turun berkali-kali
membasahi pipinya yang sudah keriput.
Sisa makanan kering yang
kebetulan masih ada yang dibawanya tadi ketika mengajak Giok Han ke pantai,
diberikan kepada anak itu, agar Giok Han tidak lapar dan tidak masuk angin.
Hanya saja, menjelang senja,
sisa makanan yang ada telah habis. Giok Han merengek ingin makan karena lapar.
Bingung bukan main Lam Sie dan Khang Thiam Lu. Sebetulnya Khang Thiam Lu hampir
nekad ingin pergi ke rumah penduduk terdekat di pantai itu, untuk meminta atau
mengambil sedikit makanan buat majikan kecilnya, tetapi Lam Sie sudah
mencegahnya kalau Khang Thiam Lu yang dalam keadaan luka parah pergi ke rumah
penduduk di dekat pantai itu, berarti sama saja mereka menunjukkan jejak kepada
orang-orangnya Kaisar Yong Ceng, dan bahaya yang mengancamnya akan besar
sekali.
Dengan bingung kedua orang itu
akhirnya membujuk Giok Han untuk bersabar menahan laparnya. "Besok paman
Khang akan membelikan Siauwya makanan yang enak-enak, ya ?!" membujuk Lam
Sie dengan hati yang pedih.
Karena lapar dan lelah,
akhirnya Giok Han tertidur dipangkuan Lam Sie. Hawa malam dingin sekali,
membuat anak itu sering menggigil. Khang Thiam Lu berdua Lam Sie sudah membuka
masing masing baju luarnya dan mempergunakan untuk menyelimuti anak itu. Hanya
saja baju luar itu tidak cukup untuk mencegah dinginnya udara malam, Giok Han
yang tidur dengan perut lapar masih sering menggigil kedinginan.
Hati Lam Sie semakin pedih
saja, begitu juga Khang Thiam Lu, yang melihat keadaan anak junjungannya
seperti itu dengan hati tersayat-sayat, air matanya sampai menitik beberapakali.
Cuma saja, mereka menguatkan hati untuk bertahan sampai tibanya fajar, sampai
bahaya telah lewat.
Waktu merambat terus dan suara
debur ombak yang terdengar terus menerus, selain dari itu tidak terdengar suara
apapun juga di kekelaman malam pada sekitar daerah pantai tersebut. Khang Thiam
Lu sangat lelah dan menderita oleh luka di dalam tubuh yang kian parah itu,
tetapi ia masih memaksakan diri mementang kedua matanya lebar-lebar untuk
bersiap siaga menghadapi segala kemungkinan, tangannya mencekal pedangnya
erat-erat.
Lam Sie pun sangat lelah,
matanya sering tertutup untuk, beristirahat, namun ia sering terhentak bangun
dengan terkejut. Dan waktu malam semakin larut, sekali lagi Lam Sie tersentak
kaget karena Giok Han mengigau memanggil-manggil: "Papa...Papa... Mama....
Mama...!"
Air mata Lam Sie dan Khang
Thiam Lu jadi bercucuran, hati mereka hancur sedih sekali. Tetapi tidak ada
yang bisa mereka lakukan. Lam Sie cuma memeluk Giok Han yang didekap erat-erat.
Anak itu tetap tidur dengan hati-hati Lam Sie meletakkan di pangkuannya lagi.
Akhirnya fajar menyingsing.
Giok Han sudah terbangun dari tidurnya.
"Paman Khang, Paman Lam,
Hanjie lapar...!" kata anak itu.
Lam Sie dan Khang Thiam Lu
mengangguk sambil memaksakan diri tersenyum, walaupun hati mereka pedih sekali.
"Sebentar lagi kita beli
makanan yang banyak dan enak-enak untuk Siauwya, ya ?!" Bujuk Lam Sie,
"Kukira sekarang sudah
boleh menyingkir, Lam Lopeh !" kata Khang Thiam Lu. "Pasukan Kaisar
tentu sudah menarik diri meninggalkan tempat ini!"
Lam Sie mengangguk. "Kita
harus mengambil arah yang berlawanan dengan mereka. Tetapi Khang Tayjin, apa
rencana kita untuk Siauwya ?"
Khang Thiam Lu menghela napas
dalam-dalam. la berpikir sejenak, kemudian menyahuti: "Kita pergi ke kota
Siauw An, menemui guruku, kita nanti minta nasehatnya."
Lam Sie mengangguk menyetujui,
karena dia sendiri bingung kemana ingin membawa majikan kecilnya itu, untuk
diselamatkan. Memang ia pun setuju dengan rencana Khang Thiam Lu, tentu guru
dari pengawal Jenderal Giok Hu ini bisa memberikan jalan yang terbaik,
setidak-tidaknya bantu melindungi Giok Han.
Bukankah kepandaian guru Khang
Thiam Lu pasti lebih tinggi dari Thiam Lu sendiri ? Di samping itu luka di
dalam tubuh Khang Thiam Lu bisa diobati oleh gurunya. Hanya saja, dari daerah
pantai itu untuk pergi mencapai kota Siauw An harus menempuh perjalanan tidak
kurang dari 20 hari perjalanan, yang dikuatirkan Lam Sie apakah Khang Thiam Lu
sanggup melakukan perjalanan sejauh itu dalam keadaan terluka cukup parah seperti
ini ?
"Ayo Lam Lopeh,
bersiap-siaplah ! Kita harus berangkat sekarang untuk mengejar waktu! Tetapi
ingat Lam Lopeh, kalau nanti dalam perjalanan ada rintangan, aku akan berusaha
mengatasi rintangan itu dan kau harus terus membawa Siauwya menemui guruku.
Carilah Gan Sie Hung di Siauw An. Mengertikah kau, Lam Lopeh ?!"
Lam Sie mengangguk, lalu
menggendong Giok Han. Tetapi Giok Han menolak untuk digendong oleh pengasuhnya
yang sudah cukup tua itu.
"Paman Lam, biar aku
jalan sendiri!", kata anak itu. "Paman Lam tampak sudah lelah,
sedangkan aku sudah tidur semalaman rasanya bisa jalan sendiri !"
Lam Sie terharu mendengar
perkataan majikan kecilnya, dengan air mata bercucuran dipeluknya Gok Han.
"Nanti kita beli makanan yang enak-enak, Siauwya.", bisiknya.
Matahari fajar memerah di ufuk
Timur, air laut sudah surut dan keadaan di pantai itu sangat sepi. Ketiga orang
tersebut meninggalkan tempat itu. Khang Thiam Lu dengan Lam Sie selalu waspada
dan berhati-hati, setiap bertemu dengan seseorang, mereka tentu akan bersikap
hati-hati dan waspada.
Setelah melakukan perjalanan
cukup jauh, mereka sampai di sebuah kampung yang tidak begitu besar. Sebuah
perkampungan nelayan. Lam Sie membeli beberapa makanan untuk majikan kecilnya.
Dengan perut kenyang, Giok Han tidak rewel lagi.
Hanya saja, ketika mereka
ingin melanjutkan perjalanan, Giok Han dengan heran bertanya kepada Lam Sie :
"Paman Lam, kita mau kemana ? Pergi jauh-jauh nanti dimarahi Papa!"
"Papa yang suruh kami
membawa Siauwya ke suatu tempat. Papa sedang menunggu Siauwya di sana !
"Berbohong Lam Sie.
"Apakah Mama dan ciecie
berada disana juga?" Tanya Giok Han.
"Ya," menyahuti Lam
Sie. "Siauwya tidak perlu kuatir, Papa tidak akan memarahi Siauwya, karena
ini perintahnya."
Mereka melanjutkan perjalanan
lagi. Hari itu Giok Han tampak segar dan ia melakukan perjalanan dengan sering
berlari-lari dengan tertawanya yang nyaring. la memetik bunga, melempari sungai
yang mereka lalui dengan butir-butir batu, tampaknya riang. Sedikitpun anak itu
tidak tahu, bahwa seluruh keluarganya sudah menjadi korban keganasan Kaisar
Yong Ceng.
Khan Thiam Lu sebetulnya sudah
semakin payah, luka di dalam tubuhnya kian parah. Tetapi ia berusaha untuk
tetap bisa melakukan perjalanan, sekali-sekali ia memuntahkan darah segar.
Melihat keadaan Khang Thiam Lu
seperti itu, Lam Sie semakin kuatir saja. Bagaimana kalau Khang Thiam Lu sudah
tidak kuat bertahan lebih jauh, sehingga lukanya kian parah lalu mati Apa yang
harus dilakukannya? Berulang kali selalu saja Lam Sie membujuk agar Khang Thiam
Lu beristirahat, perjalanan mereka tidak perlu tergesa-gesa, dan agar Khang
Thiam Lu pun mengundang tabib untuk mengobati luka di dalam tubuhnya.
Tetapi Khang Thiam Lu selalu
menggeleng lesu. la hanya sekali-kali menelan beberapa pil merah, pil
Sie-hun-tan buatan gurunya, agar ia bisa bertahan lebih lama lagi dengan luka
di dalam tubuhnya. Cuma saja, terakhir ia menelan tiga butir pil itu,
dilihatnya sisa di dalam botol hanya ada dua belas butir lagi. Berarti paling
tidak hanya bisa dipergunakan untuk empat hari. Jika obat itu habis, celakalah
dia!
Mengundang tabib biasa hanya
akan sia-sia, karena luka yang dideritanya adalah akibat totokan liehay dari
Thio Yu Liang, tidak mungkin bisa disembuhkan oleh tabib biasa. Malah bisa
mengundang bahaya, kalau tabib itu bercuriga dan melaporkan kepada pihak yang
berwajib. Akan menimbulkan kerewelan. Tetapi Khang Thiam Lu tidak pernah
mengutarakan kekuatirannya itu, dia hanya gelisah seorang diri.
Jika malam sudah tiba, mereka
bermalam di rumah penduduk, yang mereka berikan beberapa tail perak buat tuan
rumah. Sudan tiga hari tiga malam mereka melakukan perjalanan. Dan pada malam
keempatnya, waktu mereka bermalam dirumah seorang penduduk disebuah desa kecil
Khang Thiam Lu merasakan napasnya sesak satu-satu, tubuhnya separuh sudah kaku
sulit digerakkan, ia tahu daya tahan tubuhnya tidak akan lama lagi maka, waktu
dilihatnya Giok Han sudah tidur, perlahan-lahan Khang Thiam Lu menggeser
tubuhnya ke dekat Lam Sie, mukanya pucat sekali. Air matanya mengucur deras.
"Sungguh penasaran !
Sungguh penasaran!" Mengeluh Khang Thiam Lu dengan suara gemetar.
Lam Sie melihat keadaan Khang
Thiam Lu seperti itu jadi ikut mengucurkan air mata. "Beristirahatlah
Khang Tayjin, agar besok tenaga Khang Tayjin pulih..." hiburnya.
Khang Thiam Lu menggelengkan
kepala. Air matanya tetap mengucur deras.
"Sungguh penasaran Lam
Lopeh, tampak aku tidak kuat untuk bertahan lebih lama guna melindungi Siauwya
dan kau, Lopeh... lukaku tampaknya sulit dibendung untuk ber tahan beberapa hari
lagi saja.... Mungkin aku hanya bisa bertahan untuk satu hari lagi saja...
Sungguh penasaran . . . Ooo, Thian tampaknya tidak menaruh belas kasihan kepada
kita, Lam Lopeh !" Khang Thiam Lu, kemudian menangis terisak-isak.
Lam Sie kuatir bukan main, dipegangnya
lengan Khang Thiam Lu, dirasakan tubuh orang she Khang tersebut gemetar. Juga
dilihatnya muka Khang Thiam Lu yang pucat pias itu berselubung warna gelap,
matanya sudah tidak bersinar, di bawah pelupuk matanya tampak warna hitam
gelap, menunjukkan bahwa orang she Khang ini memang sudah tipis harapannya
untuk mempertahankan hidupnya lebih jauh, karena terlalu sedih campur kuatir,
Lam Sie tidak bisa bilang apa-apa, dia menangis terisak-isak.
Khang Thiam Lu dengan air mata
bercucuran memandangi Giok Han yang tengah tidur, duduk bengong berdiam diri
saja. Sampai akhirnya dia menoleh kepada Lam Sie, katanya: "Jika terjadi
sesuatu pada diriku kau harus membawa Siauwya mencari guruku di Siauw An, Lopeh
..." kata Thiam Lu lagi.
Lam Sie mengangguk beberapa
kali dengan sesengukan.
Khang Thiam Lu mengeluarkan
botol obatnya, tinggal sebutir. Diawasinya botol obat itu. Memang akhir-akhir
ini setiap kali memuntahkan darah, ia cuma memakan sebutir pil obatnya
tersebut. Seharusnya ia memakan enam atau paling sedikit tiga butir, namun
untuk memperpanjang penggunaan obat pil Sie-hun-tan tersebut, ia sengaja
memakannya hanya sebutir demi sebutir.
Setelah mengawasi sekian lama
pada botol obatnya itu, Khang Thiam Lu menghela napas dalam-dalam. Dia ingin
memasukkan pula botol obat itu kesaku bajunya, tetapi gerakan itu tiba-tiba
tersentak, ia memuntahkan darah segar. Lam Sie kaget, cepat-cepat memijiti
leher dan menumbuki perlahan-lahan punggung Thiam Lu.
Dengan napas yang sesak
satu-satu dan muka pucat pias kehijau-hijauan, Khang Thiam Lu mengeluarkan obat
yang tinggal sebutir itu dari botolnya, kemudian dimasukan ke dalam mulutnya,
ditelan dengan dibantu oleh air ludah. Lam Sie cepat-cepat mengambilkan secawan
air teh, yang diminum sedikit oleh Thiam Lu.
Napas Thiam Lu semakin sesak,
ia menyenderkan tubuh di dinding dengan muka yang pucat pias dan mata tertutup.
Tampaknya memang keadaan Thiam Lu semakin parah saja. Lam Sie jadi menangis
terisak-isak, kalau Thiam Lu mati, habislab harapannya untuk dibantu dan
dilindungi olehnya guna menyelamatkan Giok Han. Tanpa Thiam Lu, jelas pengasuh
tua tersebut akan menghadapi lebih banyak kesulitan dalam melindungi dan
menyelamatkan majikan kecilnya.
"Jangan menangis,
Lopeh...." kata Thiam Lu sambil membuka matanya perlahan-lahan. Napasnya
masih sesak dan suaranya gemetar "Kalau aku mati, usahakanlah Siauwya bisa
tiba di tempat guruku... ceritakan seluruh peristiwanya... perbuatan lalim
orang-orang Yong Ceng..."
Lam Sie mengangguk-angguk
sambil terisak-isak. Untuk tiba di Siauw An masih memerlukan waktu perjalanan
belasan hari. la mengurut dada Khang Thiam Lu dengau air mata tetap mengucur
tidak berhasil dibendungnya.
Malam sangat sunyi, pemilik
rumah ini pun rupanya sue!ah tidur. Tetapi, dalam kesepian dan keheningan itu.
tiba-tiba jendela kamar diketuk beberapa kali oleh seseorang, disusul suara
tertawa yang perlahan.
Khang Thiam Lu berdua Lam Sie
kaget tidak terhingga, muka mereka pucat pias. Khang Thiam Lu mencekal
pedangnya erat-erat, dengan dibantu oleh siku tangannya, dia coba bisa duduk
dengan benar. Hanya saja, tubuhnya bergoyang-goyang seperti akan terguling,
biarpun Thiam Lu sudah mengempos seluruh sisa tenaganya.
Kembali terdengar suara
ketukan perlahan di jendela kamar, Thiam Lu berdua Lam Sie saling pandang
sejenak dengan kekuatiran yang sangat, sedangkan Thiam Lu bertekad, dalam
keadaan lukanya yang parah seperti itu, akan mengadu jiwa kalau seseorang
bermaksud buruk terhadap mereka. Pedangnya yang dicekal kuat-kuat itu gemetar.
Kudengar suara orang menangis
di dalam kamar, pasti ada peristiwa yang sangat menyedihkan hati dialami oleh
orang di dalam kamar itu !" Terdengar suara seseorang suara yang parau dan
dalam.
"Kau usil sekali, biarkan
saja mereka menangis. Apakah kita perlu ikut menangis dengan mereka?"
Terdengar suara wanita agak nyaring.
"Aku bermaksud membantu
mereka jika memang mereka memperoleh kesukaran," menyahuti suara lelaki
yang parau itu. "Coba kau ketuk lagi."
Terdengar suara wanita yang
menggumam seperti tidak senang, tetapi disusul kemudian dengan suara ketukan
perlahan pada daun jendela.
"Hei orang di dalam
kamar, apakah kalian tengah dalam kesulitan?!" Terdengar suara wanita itu
cukup nyaring.
Butir-butir keringat sudah
membanjiri kening Khang Thiam Lu, ia sangat kuatir sekali. Dalam keadaan
terluka parah seperti ini, kalau ada orang yang bermaksud tidak baik pada
mereka, apa yang bisa dilakukannya ? Sedangkan Lam Sie hanya seorang pelayan
tua yang tidak memiliki kepandaian apa-apa, tenaganya sangat lemah. Lam Sie pun
sangat kuatir, dia sudah menghampiri pembaringan dimana Giok Han tengah tidur
nyenyak, bersiap-siap untuk melindungi Siauwya-nya sampai titik darah
penghabisan dengan mengadu jiwa jika seandainya ada orang yang mau mengganggu
keselamatan majikan kecilnya itu.
"Apakah orang di dalam
kamar itu tuli dan gagu semuanya ?!" Terdengar lagi suara menggumam wanita
itu. "Kau saja yang panggil mereka !"
"Panggil sekali lagi, aku
yakin mereka tengah menghadapi kesulitan!" Kata suara lelaki yang parau
dan dalam itu.
Terdengar suara ketukan lagi.
"Apakah kalian tuli dan
gagu?" Menegur wanita diluar kamar.
Khang Thiam Lu mengempos
seluruh sisa tenaganya. Dia berdiri, walaupun dengan tubuh yang
bergoyang-goyang seperti akan rubuh. Dicekal pedangnya kuat-kuat dan melangkah
menghampiri jendela. Dengan tangan kiri yang gemetar lemah, ia membuka daun
jendela itu. Diluar sangat gelap, sinar rembulan tidak berhasil menerangi
sekitar tempat itu. Tampak sepasang manusia tengah memandangi mereka.
Yang satu seorang lelaki
berusia empat puluh tahun, berpakaian sebagai pelajar, hanya anehnya bajunya
itu penuh tambalan. Keadaannya mirip pengemis apalagi dengan kopiahnya yang
sudah bulukan berbentuk segi tiga muncung tinggi.
Di sampingnya berdiri seorang
wanita berusia tiga puluh lima tahun, berpakaian yang hampir serupa, yaitu
penuh tambalan bagaikan pakaian pengemis. Muka mereka, yang saat itu tengah
tersenyum, tidak memperlihatkan tanda-tanda jahat.
Hanya saja dari cara berdiri
mereka, juga lagak mereka yang saling berpaling dan tersenyum-senyum di antara
mereka berdua, seakan juga mereka ini sepasang suami isteri yang tidak beres
ingatannya.
"Maaf, maaf, kami
mengganggu !" kata lelaki berpakaian pengemis itu. "Tampaknya tuan
sedang menghadapi kesulitan. Dan, apa tuan sedang terluka didalam yang berat
sekali !"
Dengan tangan gemetar Khang
Thiam Lu menjura memberi hormat. "Siapakah jie wie ? Ada petunjuk apakah
untukku ?"
"Petunjuk ?" Wanita
itu menoleh kepada lelaki yang mungkin suaminya. Kemudian tertawa. Lelaki itu
juga tertawa "Petunjuk apa ya ? Kukira kita yang perlu memperoleh petunjuk
darinya..."
Lelaki itu mengangguk-angguk
tanpa senyum, sikapnya serius sekali. "Ya, petunjuk apa, ya ? Petunjuk ?
Ooooo, apakah petunjuk untuk bisa makan dengan rapi ? Apa ya ?" Dan
mendadak sikap seriusnya lenyap, dia tertawa lebar.
Khang Thiam Lu menyaksikan
kelakuan kedua orang itu yang tidak karuan, jadi mengerutkan alisnya, Dengan
memaksakan diri tersenyum, karena dia tidak mau terlibat urusan, Khang Thiam Lu
bilang: "Maaf, jika jiewie tidak ada urusan lainnya, kami ingin
beristirahat, hari sudah terlalu larut malam."
"Ya, ya, tampaknya kau
memang perlu istirahat !" kata si lelaki yang tampaknya sinting itu.
"Eh, tunggu dulu. Tadi kau yang menangis, bukan ?"
Alis Khang Thiam Lu kembali
berkerut. "Maaf, aku sudah sangat mengantuk."
Tetapi lelaki itu tidak
memperdulikan sikap Khang Thiam Lu, dengan sikap serius dia bilang kepada
wanita di sampingnya. "Aku yakin dia yang menangis. Mungkin dia takut
mati," dan dia tertawa. "Lihat saja, dia terluka di dalam yang parah,
mungkin hatinya sedih, takut untuk mati. Dia jadi menangis, kalau mungkin
memanggil Mama dan Papanya .... untuk lari dari elmaut." Dan dia tertawa
lagi.
Wanita yang berpakaian sebagai
pengemis itu pun mengangguk-angguk sambil tertawa. "Ya, ya," katanya,
"kukira memang dia takut mati dan jadi sedih- Menangis bukan jalan yang
baik, nak !" kata-kata yang terakhir diucapkan oleh wanita itu sambil
berpaling kepada Khang Thiam Lu, memang ditujukan kepada Khang Thiam Lu.
Mendelu sekali hati Khang Thiam
Lu, Bebal ia melihat kelakuan kedua orang itu yang dilihatnya tidak beres,
membuatnya jadi mendongkol. Coba kalau dalam keadaan biasa, dia tidak sedang
terluka parah seperti ini, sejak tadi-tadi dia sudah mengusir sepasang manusia
yang tampaknya tidak beres ingatannya itu.
Tetapi sekarang, ia menahan
diri dan mengekang perasaannya, jika terjadi keributan tentu tidak baik untuk
pihaknya. Dengan menahan kemendongkolan hatinya, Khang Thiam Lu bilang:
"Baiklah, terima kasih untuk perhatian jiewie berdua," katanya.
"Maaf, aku tidak bisa menemani kalian berdua lebih lama lagi."
Lelaki yang berpakaian seperti
pengemis itu tersenyum, ia mengeluarkan sekerat daging dendeng kemudian
memakannya, mengunyah dengan sikap seenaknya. Melihat lagaknya, Khang Thiam Lu
semakin yakin bahwa lelaki ini tidak beres pikirannya.
"Sayang, sayang sekali !
Penyakit yang tidak begitu berbahaya seperti itu, akhirnya harus membuatnya
mati ! Tampaknya dia terluka oleh totokan....!" Menggumam lelaki
berpakaian pengemis itu sambil berpaling kepada wanita yang menjadi kawannya.
"Ya, lukanya sebelumnya
tidak usah membuat dia sampai menemui ajalnya !" Menyahuti wanita itu,
mengambil daging dendeng di tangan lelaki itu, kemudian memakannya.
Khang Thiam Lu yang sejak tadi
sudah mendelu dan ingin menutup lagi daun jendela kamar, mendengar percakapan
ke dua orang tersebut. Tiba-tiba serupa ingatan berkelebat di pikirannya,
hatinya kaget bercampur girang. la ingat kepada seseorang. "Apakah mereka
bukan sepasang Tabib Hutan yang sangat terkenal sekali, yang di dalam kalangan
Kangouw merupakan tabib yang mengetahui 104 luka yang terparah dan sanggup
diobati, sehingga merekapun digelari sebagai Sepasang Bengkel Manusia ?!"
Sepasang Tabib Hutan yang
dimaksudkan oleh Khang Thiam Lu adalah sepasang suami isteri yang memiliki
perangai luar biasa anehnya, di dalam kalangan Kangouw mereka sangat terkenal
sebagai pasangan suami isteri yang memiliki pengetahuan sangat tinggi untuk
ilmu pengobatan.
Sampai digelarinya sepasang
suami isteri itu sebagai Sepasang Bengkel Manusia, karena mereka berdua seperti
juga bengkelnya manusia, jika ada yang terluka parah, asal belum mati dan masih
bernapas, pasti jiwa orang itu bisa diselamatkan dan disembuhkan.