Cula Naga Pendekar Sakti Bagian 01

Baca Cersil Mandarin Online: Cula Naga Pendekar Sakti Bagian 1
Cula Naga Pendekar Sakti  Bagian 1

MALAM itu adalah malaman Pee-gwee Tiong Ciu, yaitu pertengahan bulan delapan atau juga musim rontok, dari pemerintahan Kaisar Yong Ceng tahun ke 7, rembulan permai sekali. Daerah di sebelah timur dari propinsi Ciatkang seperti bermandikan sinar rembulan.

Malam itu juga angin Barat mendesir berhembus menerpa pohon-pohon, menimbulkan suara halus, sampai samar-samar terdengar dua kali suara tanda waktu dari atas ranggon tembok kota. Terkadang saja terdengar sslak anjing. Di waktu malam sudah larut, semua pintu rumah terkunci rapat-rapat.

Di istana Goanswee Giok Hu (Jenderal Giok Hu) lentera menyala terang, beberapa orang perajurit berjaga-jaga di muka istana Semua dalam kesanyian. Demikian pula beberapa orang yang berkumpul di ruang tamu istana Jenderal Giok Hu tersebut tengah melakukan pembicaraan dengan suasana yang hening, suara mereka pelahan sekali.

Jumlah mereka empat orang, tampaknya ada sesuatu yang sangat penting tengah mereka rundingkan. Yang duduk di sebelah kanan dekat meja besar tempat diletakkan beberapa cawan minuman, seorang lelaki berusia hampir empat puluh tahun, mukanya tampan, gagah sekali.

Sepasang kumis terjuntai pendek sampai sisi dagu, jenggotnya juga tumbuh pendek dan teratur rapi. Bajunya tungshia bersulam yang indah. Dia tidak lain dari Jenderal Giok Hu.

Duduk di samping kirinya seorang lelaki berusia lebih tua, hampir lima puluh lima tahun. Sama seperti Giok Goan-swee, orang inipun gagah sikapnya, mengenakan baju yang bersulam indah pula. Dia adalah wakil Giok Goanswee, yaitu Thio Pie Lam.

Dua orang lainnya yang duduk berhadapan dengan Giok Goanswee adalah dua orang laki-laki berpakaian sebagai Siucai, pelajar. Pakaian mereka sederhana, namun wajah mereka tampak sehat dan sikap merekapun gagah dengan mata memancar sinar terang.

Yang seorang berusia hampir lima puluh tahun, yang satunya lagi berumur tidak lebih dari tiga puluh empat tahun. Yang berusia lebih tua tidak lain Giam Cu, seorang sasterawan terkenal pada jaman ini. Buah kalamnya sudah dibaca oleh seluruh rakyat dan bernadakan cinta pada negara.

Yang duduk di sisinya, yang berusia lebih muda, adalah murid tertuanya, yaitu Bun San Cu, seorang yang memiliki semangat berkobar-kobar dan pergaulan yang luas sekali, sudah berhasil menciptakan beberapa sajak yang bersemangat perjuangan dan cinta terhadap negeri.

Giam Cu adalah sahabat karib Jenderal Giok Hu. Duapuluh tahun yang lalu, Jenderal Giok Hu banyak belajar dari sahabatnya ini, karenanya walaupun kini sudah menjadi Jenderal yang memiliki kekuasaan sangat besar, Jenderal tersebut tetap menghormati Giam Cu.


Hampir setiap tahun sekali mereka bertemu untuk merundingkan berbagai sajak jika bukan Giam Cu yang mengunjungi Jenderal Giok Hu, tentu sang Jenderal yang menemuinya. Belum setahun sejak pertemuan mereka yang terakhir, Giam Cu justeru telah mengunjungi Jenderal Giok Hu, tampaknya pujangga terkenal itu memiliki persoalan yang sangat penting sekali.

Keheningan di ruang tersebut terisi oleh batuk-batuk perlahan Jenderal Giok Hu, disusul kemudian oleh kata-katanya: "Giam-heng, persoalan yang diceritakan olehmu telah kumengerti seluruhnya, tapi apakah Giam-heng sudah memikirkannya dengan sedalam-dalamnya akan akibat yang bisa timbul dari keinginan Giam-heng?"

"Ya, kalau saja Goanswae bersedia membantu kami, tentu semuanya berjalan lancar." menyahuti Giam Cu. "Kami sudah bertekad, walaupun bagaimana Kaisar Yong Ceng harus dihukum atas kelalimannya, rakyat sudah terlalu menderita."

"Giam-heng," kata Jenderal Giok Hu sambil menghela napas dalam-dalam, "aku memahami akan kegagahanmu yang mencintai negara dan tetap setia kepada bangsa dan negara. Akan tetapi yang Giam-heng utarakan tadi bukanlah pekerjaan mudah. Bukan aku tidak menyetujui saran Giam-heng juga bukan maksudku untuk menentang, tetapi cobalah Giam-heng pertimbangkan dengan seksama lagi, apakah tidak akan menyebabkan berjatuhan korban yang terlalu banyak jika niat Giam-heng dilaksanakan? Menurutku, pasti yang akan lebih menderita lagi adalah rakyat."

Giam Cu menghela napas, ia merogoh saku jubahnya mengeluarkan segulungan kertas.

"Goanswee bacalah ini," katanya sambil menyodorkan gulungan kertas itu. "Kukira Goanswee bisa memahami lebih dalam lagi perasaan kami."

Jenderal Giok Hu menyambuti gulungan kertas itu, membuka dan membacanya. Wajahnya tampak jadi semakin murung. Kemudian perlahan disodorkannya surat itu kepada Thio Pie Lam, wakil Jenderal tersebut.

Muka Thio Pie Lam yang sejak tadi sudah murung, jadi tambah murung setelah membaca surat tersebut, karena surat itu ternyata di tulis sendiri oleh Giam Cu, dengan huruf-huruf yang sangat indah. Bunyi surat itu sebagai berikut:

"Goanswee Giok Hu, rakyat sekarang semakin menderita oleh kelaliman Kaisar Yong Ceng, yang semakin lama kian memeras rakyatnya, seakan juga ingin menghirup titik darah terakhir dari seluruh rakyat. Tidakkah hati Goanswee tergerak untuk membantu kami menghukum Kaisar Yong Ceng ? Kami yakin, Goanswee akan selalu ingat, betapapun darah yang mengalir di sekujur tubuh Goanswee adalah butir-butir darah Han, yang akhirnya pasti akan dihirup pula oleh Kaisar yang lalim itu. Kemuliaan yang lebih terpuji untuk Goanswee. walaupun kelak hanya sebagai seorang petani biasa, dibandingkan sekarang Goanswee duduk di singgasana kekuasaan yang disediakan oleh Kaisar penjajah itu ! Giam Cu dan kawan-kawan selalu berdoa kepada Thian agar dilimpahkan kemuliaan."

Selesai membaca surat itu Thio Pie-Lam menoleh kepada- atasannya dengan muka yang memancarkan berbagai macam perasaan, la seakan mengalami kesukaran untuk mengutarakan sesuatu.

Jenderal Giok Hu menghela napas dalam-dalam dengan muka tetap murung.

"Pie Lam," kata Jenderal itu dengan suara menunjukkan kesusahan hatinya. "Bagaimana komentarmu?"

"Ini .... ini sesungguhnya sangat berbahaya sekali, Goanswee. Kalau saja Kaisar mengetahui hal ini.... tentu.... tentu..." kata Thio Pie Lam dengan kata-kata yang tidak lancar.

"Cukup Pie Lam," kata Jenderal Giok Hu "Simpanlah baik-baik surat Giam Sianseng."

Thio Pie Lam mengiakan dan bangkit menuju kesebuah lemari, menarik laci dan menyimpan surat Giam Cu di situ. Kemudian dia kembali ketempatnya, duduk disamping atasannya.

"Nah Giam-heng," kata Jenderal Giok Hu kemudian dengan ragu kepada Giam Cu. "Semua saran Giam-heng telah kudengar seluruhnya. Baiklah, hal itu nanti dibicarakan perlahan-lahan, jangan tergesa-gesa." Giam Cu tersenyum.

"Goanswee," katanya, "memang sudah kuduga bahwa Goanswee akan mengalami pertentangan bathin, karena memang persoalan itu bukanlah hal yang gampang untuk diselesaikan hanya dalam satu atau dua hari untuk mengambil suatu keputusan."

Giam Cu berdiri diikuti oleh muridnya. Bun San Cu. baru kemudian melanjutkan lagi kata-katanya: "Kini kami pamitan, karena masih banyak yang perlu kami selesaikan, Kami berharap untuk kemurahan hati Goan swee bahwa nanti sudah tiba saatnya tentu Goanswee mau mendukung perjuangan kami."

Jenderal Giok Hu cepat berdiri dan membalas hormat kepada kedua tamunya.

,Giam-heng, bukankah lebih baik bermalam dulu di sini ?" Tanya Jenderal itu. "Kalian masih terlalu lelah, baru tiba di sini dan belum beristirahat, Mana mungkin kalian cepat-cepat pamit untuk melakukan perjalanan lagi ?"

"Terima kasih Goanswee, di lain kesempatan nanti kita akan bercakap-cakap selama tiga hari tiga malam, dengan kegembiraan penuh. Sekarang, di saat rakyat tengak menangis dan menderita, bagaimana mungkin hati bisa tenang untuk merundingkan semua urusan sastera maupun kegemaran kita?"

Giam Cu merangkapkan kedua tangannya, membungkukkan tubuhnya dalam-dalam memberi hormat pada Jenderal itu sebagai tanda pamitan. Muridnya pun memberi hormat kepada Jenderal Giok Hu dan Thio Pie Lam.

Jenderal Giok Hu menghela napas dalam-dalam dan dengan perasaan berat mengantarkan tamunya sampai di gerbang istananya. Ketika berada di ruang dalam lagi berdua dengan Thio Pie Lam, muka Jenderal Giok Hu muram sekali.

"Pie Lam, pembicaraan kita tadi dengan Giam-heng dan muridnya harus dirahasiakan. Terus terang saja, persoalan ini membuatku berada di posisi yang serba salah dan membingungkan. Hong-siang (Kaisar) telah menganugrahi budi dan kedudukan yang demikian besar kepadaku, mana mungkin aku bisa mengkhianatinya untuk membantu Giam Cu angkat senjata menentang Hongsiang ? Tetapi, apa yang diucapkan oleh Giam Cu pun semua merupakan kenyataan yang tidak bisa kita hindarkan walaupun kita memejamkan mata." Jenderal itu menghela napas dalam-dalam lagi. Kusut sekali pikirannya.

"Jadi bagaimana keputusan Goanswee ?" Tanya Thio Pie Lam .

"Aku sedang bingung dan belum bisa mengambil keputusan, Pie Lam. Tetapi yang pasti aku tidak bisa membantu Giam Cu. Tetapi akupun tidak mungkin bisa menangkapnya Giam Cu sahabat karibku, aku mengerti akan perasaan dan jiwanya yang tetap setia pada negara. Aku memaklumi akan perasaannya itu. Tetapi jika suatu saat kelak kalau ia angkat senjata dengan kawan-kawannya, bukankah aku akan berhadapan dengannya ?"

Dan Jenderal Giok Hu menghela napas dalam dalam lagi. Tangannya dikibaskan perlahan: "Sekarang tinggalkanlah aku sendiri. Pie Lam !"

Thio Pie Lam mengiyakan da mengundurkan diri. Lama Jenderal Giok Hu duduk termenung dituang itu. Pikivannya sangat kusut.

Malam semakin larut. Tidak diketahui oleh Jenderal Giok Hu, bahwa sejak tadi ada seseorang yang mendekam di atas payon genting, mendengarkan percakapan Jenderal Giok Hu dengan Giam Cu berempat. Sosok tubuh itu tetap mendekam tidak menimbulkan sedikit suara, menanti dengan sabar. Akhirnya dilihat Jendeial Giok Hu bangkit dari duduknya dan berlalu meninggalkan ruangan tersebut.

Sosok bayangan itu sabar sekali menunggu terus, dan setelah merasa aman, ia melompat turun, masuk ke dalam ruang itu dengan sikap hati-hati sekali. la membuka laci lemari dan mengambil gulungan surat yang diterima Jenderal Giok Hu dari pujangga Giam Cu. Dimasukkan gulungan surat itu ke dalam saku jubahnya, menutup kembali laci dan cepat-cepat berlalu dari ruangan tersebut.

la segera menuju ke istal kuda, dengan memakai seekor kuda yang tampak kuat dan gagah, sosok tubuh itu meninggalkan istana Jenderal Giok Hu. Malam semakin larut, angin Barat berhembus semakin dingin.

-ooo0ooo-

CU KONGKONG tertawa menyeringai sambil memperhatikan surat yang dibuka lebar-lebar di depannya. Sudah tigakali dibacanya surat itu, sampai akhirnya meledak tertawa terkekeh Cu Kongkong. "Hebat," kata Cu Kongkong sambil menoleh pada orang yang berlutut di sampingnya. "Kau sudah melakukan tugas dengan baik, Liam Kong. Aku akan menghadiahkan pangkat kepadamu, karena kau sudah memperoleh apa yang kuinginkan."

"Terima kasih atas kemurahan hati Kongkong," kata orang yang berlutut itu sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. "Liam Kong akan ingat seumur hidup budi kebaikan Kongkong, walaupun Liam Kong harus mati, tentu mati dengan puas."

Cu Kongkong tertawa terkekeh perlahan menggulung surat di tangannya. "Liam Koog, sudah berapa lama kau menyusup masuk ke istana Giok Hu ?" Tanya Cu Kongkong, mukanya bersungguh-sungguh, tidak terlihat senyum atau tertawanya lagi."

Sudah lebih dari setengah tahun, Kong-kong," jawab Liam Kong.

"Apakah selama itu Giok Hu tidak memperlihatkan tanda-tanda akan mengkhianati kesetiaannya pada Hongsiang mulai meluntur ?" Tanya Cu Kongkong lagi.

"Ampun Kongkong, apa yang hamba lihat Goanswee Giok Hu tetap setia pada Hongsiang. Bahkan, terakhir setelah pertemuan dengan Giam Cu, Goanswee Giok Hu masih bilang kepada Thio Pie Lam bahwa ia tidak ingin menangkap Giam Cu karena hubungan mereka sebagai sababat, tetapi justeru kalau Giam Cu mengangkat senjata jelas akan berhadapan dengannya. Itu menunjukkan Jenderal Giok Hu tetap setia kepada Hongsiang."

Cu Kongkong mendengus. "Hem, aku tetap meragukan katanya. Surat ini merupakan bukti nyata. Hongsiang. Aku tidak menyukai Giok Hui karena ia terlampau cerdik, yang kukuatirkan sewaktu-waktu kekuatan yang dimilikinya semakin besar. Bukankah sekarang pun ia merupakan satu-satunya Jenderal yang paling dipercaya oleh Hongsiang ? Karenanya Giok Hu harus disingkirkan. Kau mengerti maksudku, Liam Kong?"

"Mengerti Kongkong," menyahuti Liam Kong sambil memanggut-manggutkan kepalanya dengan keadaan tetap berlutut. "Liam Kong mengerti Kongkong."

"Bagus. Selama setengah tahun melaksanakan tugasmu menyelusup kedalam istana Giok Hu dan menyamar sebagai pelayan keluarga Giok Hu, semuanya dapat kau laksanakan dengan sebaik-baiknya. Besok akan kusarankan kepada Hongsiang agar kau di angkat sebagai Congtok di Bun An, menggantikan Congtok Lie Tek Hong, yang akan ditarik pulang ke kota raja, kami akan pensiunkan dia."

Liam Kong manggut-manggutkan kepalanya girang luar biasa dan mengucapkan terima kasih tidak hentinya.

"Sekarang pergilah kau beristirahat!" perintah Cu Kongkong sambil mengibaskan sedikit lengan jubahnya.

Liam Kong mengiyakan, mengundurkan diri sambil tidak hentinya mengucapkan terima kasih atas kemurahan hati Cu Kongkong yang akan menganugerahi pangkat Congtok padanya.

Cu Kongkong adalah Cu Bian Liat, pengurus para Thaykam di istana. (Thaykam) kebiri, pelayan istana). Cu Kongkong memiliki kekuasaan sangat besar, sebab ia merupakan "orang kedua" di saat itu. Bahkan Yong Ceng walaupun resmi sebagai Kaisar. namun hampir keseluruhan kebijaksanaan raja itu diatur oleh Cu Kongkong.

Sudah lama Cu Kongkong mengetahui bahwa Jenderal Giok Hu merupakan Jenderal berdarah Han. Walaupun benar ibu Jenderal Giok Hu seorang wanita Boan, tetapi ayah Jenderal tersebut adalah orang Han sejati.

Yang membuat Cu Kongkong tambah kuatir, justeru belakangan ini Kaisar Yong Ceng semakin mempercayai Jenderal Giok Hu, yang selalu berhasil meredakan pemberontakan di berbagai propinsi, dengan kemenangan yang gemilang. Tentu saja keberhasilan Jerderal Giok Hu menambah kepercayaan Kaisar Yong Ceng padanya.

Keberhasilan Jenderal Giok Hu menumpas berbagai pemberontakan di berbagai propinsi dan tempat itu justeru membuat Cu Kongkong jadi kurang gembira. la melihat Jenderal Giok Hu semakin lama kian diserahi kekuasaan yang semakin besar, dan kalau suatu waktu Jenderal yang masih berdarah Han tersebut berbalik memusuhi Kaisar Yong Ceng, niscaya akan sulit ditumpasnya. Karena itu Cu Kongkong berusaha untuk meruntuhkan Jenderal Giok Hu, mencari-cari kesalahan Jenderal tersebut.

Atas perintahnya juga Liam Kong, anak buah yang setia pada Cu Kongkong, pergi menyamar sebagai rakyat biasa dan masuk bekerja di istana Jenderal Giok Hu sebagai seorang pelayan. Setengah tahun lebih Liam Kong memperhatikan gerak-gerik Jenderal Giok Hu, tetapi selama itu yang disaksikannya justeru Jenderal yang seorang ini sangat setia kepada junjungannya. Baru pada malam itu ia berhasil mencuri dengar seluruh percakapan Jenderal Giok Hu dengan Giam Cu, malah ia pun berhasil mencuri surat Giam Cu yang diserahkan kepada Cu Kongkong. Surat Giam Cu itulah yang akan dipergunakan Cu Kongkong meruntuhkan Jenderal Giok Hu dari kedudukannya yang ada.

Waktu itu, setelah Liam Kong berlalu, Cu Kongkong langsung pergi ke kamar Kaisar Yong Ceng. Kaisar tengah menulis sebuah sajak, dan ketika dilapori bahwa Cu Kong kong mengunjunginya, Kaisar itu segera menunda tulisannya tersebut dan menemui pengurus Thaykam yang diseganinya juga, oleh Cu Kongkong menceritakan bahwa Jenderal Giok Hu akan memberontak dan sebagai bukti nyata diberikannya surat yang ditulis Giam Cu, kepada Kaisar.

Membaca surat itu muka Kaisar Yong Ceng merah padam karena murka.

"Hongsiang jangan pusingi urusan ini, serahkan pada Kongkong untuk mengurusnya !" kata Cu Kongkong sambil tersenyum licik.

"Ya," kata Kaisar Yong Ceng. "Aku tidak mau mendengar lagi tentang Giok Hu! Kongkong, selesaikanlah sebaik-baiknya ! "

Girang Cu Kongkong, sebab ia berhasil mempengaruhi Kaisar Yong-ceng. Semula ia menduga tentu memperoleh kesulitan untuk meyakinkan Kaisar bahwa Jenderal Giok Hu ingin memberontak. Segera Cu Kongkong mengundurkan diri dan menulis sebuah Firman, mencap dengan cap kerajaan.

Memang setiap Firman Kaisar selalu ditulis oleh Cu Kongkong, dan disinilah letak kekuasaan Cu Kongkong yang terbesar, karena jika ia tidak menyukai seseorang, sekali saja ia menulis sepucuk Firman, niscaya celakalah orang itu.

Sebab walaupun Firman itu ditulis oleh Cu Kongkong, tetapi itu adalah Firman Kaisar yang lengkap dengan cap kerajaan. Tidak ada seorangpun, baik Menteri, Jenderal atau pun siapa saja, yang dapat membangkang terhadap bunyinya Firman Kaisar tersebut.

-ooo0ooo-

PAGI itu pohon Yangliu bergoyang-goyang ditiup oleh angin Barat, lemah gemulai. Seorang penunggang kuda yang melarikan binatang tunggangannya dengan cepat sekali, seakan ingin merusak ketenangan suasana di tempat itu. Bahkan waktu kuda berlari memasuki kota, penunggang kuda itu tidak bermaksud memerlahankan larinya binatang tunggangan tersebut.

Kuda itu berhenti tiba-tiba di depan istana Jenderal Giok Hu. Penunggang kuda itu, seorang lelaki bertubuh tegap dan mukanya kotor oleh debu segera menerobos masuk ke dalam istana Jenderal tersebut. Pengawal di depan pintu berdiri dengan sikap hormat, karena mengenali orang tersebut Khang Thiam Lu, pahlawan nomor satu di pasukan Jenderal Giok Hu.

Thio Pie Lam, wakil Jenderal Giok Hu menyambut kedatangan Khang Thiam Lu. Heran Thio Pie Lam melihat sikap Khang Thiam Lu yang begitu tergesa-gesa dan gugup, seakan ada sesuatu yang tidak beres.

Khang Thiam Lu membisikkan sesuatu pada Thio Pie Lam, muka Pie Lam seketika berobah pucat dan jadi gugup. Berdua mereka ceoat-cepat masuk ke dalam, menemui Jenderal Giok Hu.

Jenderal Giok Hu menyambut mereka dengan sikap tenang dan ramah, menyuruh mereka duduk. Tetapi Khang Thiam Lu bukannya duduk malah sudah menjatuhkan diri berlutut di depan Jenderal, katanya gugup sekali: "Harap Goanswee ampuni hamba, tetapi cepatlah Goanswee berkemas untuk berangkat. Bahaya ada di depan mata."

Jenderal Giok Hu mengerutkan kening melihat kelakuan anak buahnya ini. Biasa-nya Khang Thiam Lu gagah perkasa. Menghadapi persoalan yang bagaimana sulit maupun berbahayanya, ia tidak pernah jadi gugup seperti ini.

"Tenanglah Thiam Lu, ceritakanlah apa yang terjadi?!" Tanya Jenderal Giok Hu.

"Bahaya ada di depan mata Goanswee." menjelaskan Thiam Lu. "Cu Kongkong sudah mengirim orang-orangnya untuk menghukum Goanswee. Mereka membawa Firman Kaisar.

"Memang ini pasti perbuatan keji Cu Kong kong yang ingin mencelakai Goanswee. Karenanya, cepatlah Goasnwee menyingkir, kami yang akan menghadapi mereka."

Kening Jenderal Giok Hu mengkerut dalam-dalam.

"Iring-iringan pasukan Kaisar sedang menuju kemari?!" Tanya Jenderal itu.

"Benar. Goanswee. Hamba sudah menyelidiki dan ternyata mereka membawa Firman Kaisar untuk menghukum Goanswee sekeluarga, dengan tuduhan bahwa Goanswee bekerja sama Giam Cu ingin memberontak !"

Muram wajah Jenderal Giok Hu, ia menggeleng perlahan, katanya dengan sikap gagah : "Tidak Thiam Lu, aku tidak percaya Hongsiang akan mudah dihasut Cu Kongkong dan menjatuhkan hukuman kepadaku sekeluarga ! Aku tidak percaya, aku akan menyambut kedatangan mereka!"

Khan Thiam Lu tampak semakin gugup dia menoleh kepada Thio Pie Lam, seakan ingin memohon Pie Lam bantu membujuk atasan mereka mau menyingkir dari istananya tersebut. Pie Lam pun tampak kebingungan.

"Goanswee," kata Pie Lam sambil maju mendekati Jenderal Giok Hu. "AIangkah bijaksananya kalau Goanswee menyingkir sementara waktu. Jika nanti persoalan sudah jelas, barulah Goanswee memperlihatkan diri."

Tetapi Jenderal Giok Hu menggelengkan kepalanya. "Tidak." katanya. "Aku tidak akan meninggalkan posku. Sekarang kalian siapkanlah penyambutan untuk utusan Hong siang !"

Pie Lam dan Thiam Lu semakin kebingungan, tetapi Jenderal Giok Hu dengan sikap gagah dan muka bersungguh sungguh sudah bertanya: "Apakah sekarang kalian berdua sudah tidak mematuhi perintahku lagi?!"

"Tidak berani, tidak berani !" Thiam Lu dan Pie Lam cepat-cepat berlutut. "Tetapi Goanswee..." Thiam Lu menitikan air mata menangis. "Hamba tadi telah menyelidiki, mereka bermaksud buruk pada Goanswee dan keluarga Goanswee.... sekarang mereka masih terpisah kurang lebih 50 lie lagi, kalau... kalau Goanswee mau menyingkir dulu tentu masih keburu.... Semua ini perbuatan Cu Kongkong, Goanswee Bukankah selama ini sudah belasan orang pencinta negeri, Menteri maupun Jenderal yang dibinasakan oleh Cu Kongkong dengan caranya yang keji ?"

Melihat Thiam Lu begitu gugup dan panik, sampai menangis karena menguatirkan keselamatan Jenderal Giok Hu, Jenderal itupun tidak bisa marah. Setelah menghela napas ia bilang: "Thiam Lu, Pie Lam, kalian berdua tentu tahu dan tak mau mengerti betapapun besarnya bahaya yang akan datang sebagai seorang Jenderal yang diangkat dan dipercaya oleh Hongsiang, mana mungkin aku harus menyingkirkan diri karena akan datang utusan kaisar. Mengertilah kalian. Juga, aku tidak percaya Hongsiang akan melupakan jasa-jasaku begitu saja, melupakan kesetiaanku, percayalah Thiam Lu. Betapapun juga kekuatiranmu itu tidak beralasan!" Setelah berkata begitu, Jenderal Giok Hu berdiri tegak, dengan sikap gagah dan suara berpengaruh, katanya: "Sekarang laksanakan kewajibanmu dan tugas kalian untuk mempersiapkan penyambutan utusan Hongsiang. Lakukanlah ! "



Pie Lam maupun Thiam Lu tidak berdaya lagi untuk membujuk atasan mereka, mereka tampak kebingungan. Thiam Lu yang memang cetek air matanya sudah menangis terus sambil mengundurkan diri. Tetapi keputusan Jenderal Giok Hu tidak bisa ditawar-tawar lagi.

Jenderal Giok Hu berjalan hilir mudik di ruang itu setelah kedua orang anak buahnya mengundurkan diri. Pikirannya kusut sekali. Tadi ia bersikap gagah dan menyatakan kepada Thiam Lu dan Pie Lam bahwa ia tidak percaya Kaisar akan mengirim utusan buat menghukum dia dan keluarganya tetapi sesungguhnya di dasar hatinya terhadap kekuatiran seperti itu.

Hanya saja rasa tanggung jawab dan harga diri sebagai seorang Jenderal, betapapun besarnya bahaya yang akan datang, ia tidak boleh meninggalkan pos-nya. Dugaan bahwa Cu Kongkong ingin mencelakainya dan keluarganya, memang ada pada hati Jenderal Giok Hu. Dia tahu siapa Cu Kongkong. Namun, ia pun sulit percaya bahwa Hongsiang bisa terpengaruh begitu mudah oleh Cu Kongkong.

Jenderal Giok Hu pun menghubung-hubungi peristiwa lenyapnya surat Giam Cu yang ditaruh di laci lemari buku di ruang tamunya dengan berita kedatangan utusan Kaisar yang ingin menghukumnya. Dan dugaannya, pasti ada penghianat yang telah mencuri surat Giam Cu, diberikan kepada Cu Kongkong. Yang kemudian jatuh ketangan Kaisar Yong Ceng.

Teringat akan hal itu Jenderal Giok Hu menghela napas dalam-dalam. Tetapi kegagahannya sebagai seorang Jenderal tidak memungkinkan dia dan keluarganya harus melarikan diri dan dikejar-kejar pasukan Kaisar seperti seorang pencuri dikejar petugas berwajib. Dan, Jenderal Giok Hu pasrah saja apa yang akan terjadi.

Sebagai pahlawan nomor satu di pasukan Jenderal Giok Hu, Khang Thiam Lu memiliki banyak anak buah. Justeru ia menerima laporan adanya pasukan Kaisar yang tengah iring-iringan menuju ke istana Jenderal Giok Hu. Khang Thiam Lu sengaja pergi sendiri buat membuktikan dan ia berhasil menyelidiki apa tujuan iring-iringan tersebut, la menangkap seorang perajurit dan mengorek keterangan dari mulut perajurit tersebut, yang diculik dan kemudian saking murkanya ia membunuh dengan sekali menepuk kepala perajurit itu yang menjadi pecah. Mati seketika.

Cepat-cepat Khang Thiam Lu memberi kabar kepada Jenderal Giok Hu agar menyingkir. Tetapi sarannya ditolak Jenderal tersebut, dan Thiam Lu kebingungan.

Biasanya, jika utusan Kaisar datang untuk menghukum seseorang, hal itu sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi. Tidak ada jalan lain buat Thiam Lu. ia mempersiapkan pasukannya, kalau memang nanti Jenderal Giok HB dipaksa oleh Firman Kaisar dan ingin dicelakai, maka ia akan mengadakan perlawanan dengan seluruh kekuatan pasukannya yang berjumlah hampir tiga puluh orang.

Ada alasan mengapa Khang Tbiam Lu begitu panik dan kebingungan. Begitu pula halnya dengan Thio Pie Lam, jadi ikut bingung setelah Khang Thiam Lu menceritakan kepadanya bahwa di dalam pasukan itu ikut Congkoan Gie Lim Kim (pengurus pasukan yang melindungi Kaisar) Ban It Say, yang terkenal gagah dengan ilmu golok tunggalnya.

Juga bersama rombongan itu ikut serta Thio Yu Liang, Congkoan Kim Ie Wie (pengurus pasukan yang bersulam jubah emas), seorang jago pedang nomor satu di jaman ini, karena ilmu pedang Pek-lui-kiam (Pe-dang Kilat) sudah kesohor di seluruh daratan Tionggoan dan sulit dicari tandingannya. Iring-iringan utusan Kaisar itu dilengkapi oleh 500 orang pasukan Kim Ie Wie, yang semua rata-rata berkepandaian tinggi.

Itulah sebabnya mengapa Khang Thiam Lu dan Thio Pie Lam jadi kebingungan dan panik. Dengan diperlengkapinya iring-iringan Kaisar sekali ini dengan kekuatan yang demikian hebat, jelas sengaja agar Jenderal Giok Hu tidak bisa meloloskan diri, Bahkan jago istana seperti Thio Yu Liang dan Ban It Say ikut serta dalam iring-iringan Kaisar tersebut. Bukankah tidak ada seekor lalatpun yang bisa lolos dari tangan kedua jago nomor satu dari istana Kaisar itu ?

Jenderal Giok Hu sendiri yang keluar menyambut kedatangan rombongan utusan Kaisar itu, didampingi oleh Khang Thiam Lu dan Thio Pie Lam. Dengan sikap sangat hormat Jenderal tersebut mem persilahkan para tamunya itu untuk masuk ke dalam istananya.

Tetapi dari rombongan tersebut keluar seorang Thaykam berusia hampir lima puluh tahun, dengan sikap angkuh dan sinis, suaranyapun angker waktu ia berseru: "Giok Hu pengkhianat! Berlututlah untuk menerima Firman Hongya !"

Muka Jenderal Giok Hu berobah pucat, tetapi ketika melihat Thaykam itu membuka segulungan kain merah bersulam naga dari benang emas, tidak berani ayal lagi Jenderal Giok Hu berlutut, buat menerima Firman Kaisar.

"Giok Hu menantikan perintah Hongya !" kata Jenderal Giok Hu dengan suara tergetar.

Dengan suara lantang Thaykam itu membacakan Firman Kaisar: "Karena terbukti Giok Hu tidak pandai berterima kasih atas kebaikan Tim yang sudah menganugerahi pangkat sangat tinggi padanya, di mana ia masih berpikir untuk memberontak menentang Tim, bekerja sama dengan para pemberontak seperti Giam Cu, dengan ini Tim nyatakan seluruh pangkat dan kekuasaannya dilepaskan darinya, dan Tim anugerahi kemuliaan terakhir untuk Giok Hu dan keluarganya dengan kematian."



Muka Jenderal Giok Hu semakin pucat pias mendengar bunyinya Firman Kaisar, karena itulah tanda bahwa ia sekeluarga harus menerima hukuman mati. Tubuhnya menggigil.

"Tetapi. . Hongya,. . ." Suara Jenderal Giok Hu. tidak terdengar jelas.

Thio Pie Lam berdua Khang Thiam Lu pun menjadi pucat pias, malah Khang Thiam Lu yang air matanya cetek sudah mengucurkan air mata menahan isak tangisnya.

"Giok Hu ! Apakah kau mengakui semua dosa-dosamu itu ?!" Tanya Thaykam yang membacakan Firman Kaisar dengan suara nyaring.

"Tetapi... hamba akan menjelaskan seluruh persoalan kepada Hongya,...Berilah hamba kesempatan untuk bertemu dulu dengan Hongya!"

"Hemmm, Hongya sudah menganugerahi kemuliaan terakhir untukmu. Dan, kami di tugaskan untuk melaksanakan tugas mewakili Hongya menganugerahkan kemuliaan tersebut !" Setelah berkata begitu, Thaykam tersebut menoleh kepada orang yang bertubuh tinggi besar dan memelihara brewok tanpa kumis, yang tengah mengawasi Jenderal Giok Hu dengan tatapan sinis.

Dialah Ban It Say, Congkoan Gie Lim Kun. Thaykam itu bilang lagi: "Ban Tayjin, mulailah melaksanakan tugas. Tidak boleh sepotong jiwa anjing, mau pun ayam yang dibiarkan lolos !"

Ban It Say tertawa sambil mengangguk Tangan kanannya dikibaskan. Belasan orang berpakaian sulam emas, yaitu Kim It Wie dengan masing-masing golok ditangan sudah melompat mendekati Jenderal Giok Hu.

Thio Pie Lam berdua Khang Thian Lu terkejut, muka mereka pucat pias. Thio Pie Lam melompat ke depan Jenderal Giok Hu, menangkis beberapa golok yang menyambar akan membacok Jenderal tersebut. Sedangkan Khang Thiam Lu cepat cepat mencekal lengan Jenderal Giok Hu. teriaknya: "Goanswee, mari menyingkir !"

Tetapi Jenderal Giok Hu mengibaskan tangannya, maka cekalan Khang Tiam Lu ter lepas. "Pergilah kau !" Katanya dengan muka yang pucat seperti mayat. la tampak jadi putus asa campur kecewa. Walaupun sebetulnya Jenderal Giok Hu memiliki ilmu silat yang cukup tinggi, tidak terlihat tanda-tanda ia ingin mengadakan perlawanan. la tetap dalam keadaan berlutut.

Thio Pie Lam mati-matian menghalau beberapa golok yang datang mengancam, kemudian berseru: "Khang heng, cepat ajak Goansweeya menyingkir !"

Khang Thiam Lu dengan air mata bercucuran berkata lagi untuk membujuk Jenderal Giok Hu: "Goanswee, apakah kau sudah tidak mencintai keluargamu lagi. . . ?!"

Jenderal itu tetap berdiam diri saja dengan muka yang pucat seperti kapur tembok.

Tubuhnya menggigil. Tetapi Khang Thiam Lu tidak bisa meneruskan kata-katanya, dia merasakan tengkuknya dingin dan cepat berkelit ke samping, kerena ia tahu itulah serangan bokongan. Namun, Khang Thiam Lu kaget, ia sudah berkelit, hawa dingin itu masih tetap menyambar di tengkuknya. Dia mengayunkan tangan ke atas menangkisnya.

Lengan Khang Thiam Lu terasa nyeri, tubuhnya bergoyang-goyang, kemudian mundur dua langkah ke belakang. Orang yang menyerangnya adalah Ban It Say, Cong koan Gie Lim Kun, yang tertawa mengejek terkekeh dan tengah menyambar dengan tangan kirinya lagi.

Khang Thiam Lu menggerakkan pedangnya buat menebas lengan Congkoan Gin Lim Kun tersebut, tetapi gesit bukan main Ban It Say bisa melindungi tangannya, dimana ia menekuk tangan kirinya, mendadak tangan kanannya menghantam ke depan, telak sekali memukul dada Khang Thiam Lu.

Pikiran Khang Thiam Lu tengah kalut, karenanya ia tidak bisa menghindari pukulan Ban It Say, dimana perhatiannya sebagian tertumpah pada keselamatan Jenderal Giok Hu. Akibat pukulan Ban It Say, tubuhnya terpelanting, namun cepat sekali ia bisa bangkit dan menghirup dalam-dalam hawa udara untuk mengumpulkan semangatnya.

Ban It Say tertawa terkekeh, katanya:

"Kau ingin melindungi pemberontak, heh?!" Kedua tangannya sudah menyambar lagi.

Hebat cara menerjang Ban It Say, dia seperti tidak memperdulikan pedang Khang Thiam Lu yang melintang ingin menebas ke dua tangannya Malah, dengan sebat sekali kedua jari tangannya berhasil menjepit pedang Khang Thiam Lu.

Hati Khang Thiam Lu mencelos, dia tidak sangka Congkoan Gie Lim Kim ini sangat liehay, namanya memang tidak kosong. Cepat-cepat dia melepaskan cekalan pada pedangnya, telapak tangan kirinya menghantam pundak Ban It Say.

Ban It Say nyengir mengejek, kemudian mematahkan pedang Khang Thiam Lu. Baru saja ia ingin menerjang Khang Thiam Lu, mendadak Jenderal Giok Hu berseru: "Hentikan! Semua berhenti!"

Semua orang jadi berdiam diri, belasan orang Kim Ie Wie yang waktu itu tengah bertempur dengan pasukan Khang Thiam Lu pun berhenti dan menoleh kepada Jenderal Giok Hu.

Jenderal Giok Hu tetap berlutut, mukanya pucat pias, bibirnya agak gemetar. Dia ber kata dengan suara nyaring: "Lihatlah," kata nya dengan melepaskan pedang yang tergantung di pinggangnya. "Ini adalah Kim kiam (Pedang Emas) hadiah Hongya, merupakan pedang kekuasaan yang dianugerahi oleh Hongya. Sekarang Hongya menganggap aku berdosa, menjatuhkan hukuman mati kepada ku sekeluarga. Walaupun ini merupakan kejadian penasaran yang akan terbawa sampai ke akherat, namun sebagai Jenderal yang setia kepada Hongya, jelas aku tidak boleh membangkang terhadap setiap keinginan Hongya. Baiklah, aku menerima hukuman yang dijatuhi Hongya !"



Selesai berkata begitu, tahu-tahu Jenderal Giok Hu mencabut Kim kiam, menghunusnya dengan cepat. Sama cepatnya dengan itu menggorok leher Jenderal tersebut, sehingga lehernya putus dan kepalanya menggelinding ke lantai. Tubuhnya mengikuti kemudian, rebah di lantai, darah berceceran.

Thio Pie Lam berdua Khang Thiam Lu menjerit kaget dan sedih, mereka coba mencegah perbuatan Jenderal yang sudah berputus asa itu. Tetapi mereka tidak keburu, karena dirintangi oleh Ban It Say dan anak buahnya. Malah waktu itu sudah melompat maju seseorang, yang tubuhnya kurus jangkung, mengenakan tungshia (baju panjang) warna kuning.

Melihat keadaannya dia seperti seorang penyakitan, tetapi dia tidak lain dari Thio Yu Liang, Congkoan Kim le Wie yang sangat terkenal ilmu pedangnya. Dengan sikap seenaknya kedua tangannya bergerak, dan kemana saja tangannya bergerak, terdengar jerit kematian, karena seorang tentara Jenderal Giok Hu yang terhajar kepalanya terbinasa. Bengis sekali Congkoan Kim le Wie ini.

Bagaikan kalap Thio Pie Lam berdua Khang Thiam Lu berusaha menerjang Ban It Say dan Thio Yu Liang. Tetapi kepandaian jago nomor satu dari istana itu benar-benar kosen, mereka gagah sekali. Thio Pie Lam berdua Khang Thiam Lu seakan tidak dipandang sebelah mata oleh mereka.

Ketika suatu kali Thio Yu Liang menghantam dengan jari telunjuknya, menotok pundak Khang Thiam Lu, Tubuh Thiam Lu tidak ampun lagi kejengkang keras ke belakang, bahkan belum lagi bangkit berdiri dia sudah memuntahkan-darah segar.

Pasukan Kim Ie Wie yang lainnya sudah menerjang masuk ke dalam istana Jenderal Giok Hu, semua pelayan maupun tentara Jenderal Giok Hu dibinasakan. Seperti perintah Thaykam yang tadi membacakan Firman Kaisar, bahwa sepotong jiwa anjing maupun ayam tidak boleh ada yang lolos.

Hampir seratus orang lebih pelayan keluarga Jenderal Giok Hu dibinasakan. Sanak famili maupun isteri dan dua orang anak perempuan dari Jenderal Giok Hu dibinasakan semuanya.

Khang Thiam Lu setelah memuntahkan darah segar, sebetulnya ingin melompat berdiri dan mati-matian ingin mengadu jiwa.

Tetapi tiba-tiba dia teringat sesuatu. Dan seketika ia memiliki semangat lagi, karena ia harus menyelamatkan seseorang. Dia batal berdiri, hanya berdiam sejenak. Setelah melihat Thio Yu Liang tidak memperhatikannya dan tengah mengibas-ngibaskan lengan jubahnya untuk membersihkan debu dibajunya, Khang Thiam Lu merangkak hati-hati menyingkir kedekat pintu, kemudian menyelinap ke balik istal dan berlari sekuat tenaga menuju ke arah pantai.

"Hem, tidak ada yang berarti di sini!" Menggumam Thio Yu Liang kepada Ban It Say waktu itu tengah melayani Thio Pie Lam dengan kedua tangannya.

Ban It Say tertawa bergelak-gelak. sambil menyampok tangan kanan Thio Pie Lam yang menyambar kepadanya ia menyahuti: "Ya, memang sungguh mengecewakan! Kukira Jenderal bau itu mempunyai banyak kaki tangan yang tangguh ! Aneh, hanya gentong-gentong nasi tidak punya guna yang muncul di depan kita ! Eh, kita apakan gentong nasi yang satu ini, Thio-heng ?!"

Thio Yu Liang tertawa.

"Aku akan memperlihatkan suatu pertunjukan yang istimewa !" Jawab Thio Yu Liang. Perlahan-lahan dia menghunus pedang nya, dilemparkannya pedang itu ke tengah udara. Waktu pedang itu menukik meluncur turun, Thio Yu Liang sambil tertawa menyentil dengan jari telunjuknya pada pedang tersebut, yang seketika terpental keras dan menyambar kedada Thio Pie Lam.

Thio Pie Lam kaget dan hatinya mencelos melihat menyambarnya pedang lawan tetapi pedang itu terlalu cepat menyambar dadanya, dia tidak bisa menghindar, tahu-tahu tubuhnya terdorong kuat, kejengkang, dadanya ditembusi pedang Thio Yu Liang dan mata pedang itu menancap juga di batang pohon, seakan-akan tubuh Thio Pie Lam disate oleh pedang tersebut! Ban It Say tertawa keras.

"Thio-heng, kau merampas jasaku!" Teriaknya.

"Semua ini jasa kita berdua!" kata Thio Yu Liang tidak acuh dan menghampiri Thio Pie Lam yang tertancap di batang pohon, menarik pedangnya dan membersihkan di baju mayat Thio Pie Lam.

Thaykam yang membacakan Firman Kaisar telah menghampiri Ban It Say.

"Ban Tayjin, coba periksa, apakah dua orang anak perempuan dan seorang anak lelaki Giok Hu sudah diberesi semuanya ? Juga isteri dan 29 sanak famili yang tinggal bersamanya, apakah sudah semuanya dirapikan. Hitung dan perhatikan dengan baik, jangan sampai salah ! Seratus tiga belas pelayan, seorang isteri, tiga anak, dan ditambah dua puluh sembilan sanak pamili. Seluruhnya berjumlah seratus empat puluh enam. Jika ditambah oleh Giok Hu jadi seratus empat puluh tujuh jiwa."

Ban It Say mengangguk dan mulai menghitung, sedangkan Thio Yu Liang menghampiri Thaykam itu.

"Bagaimana dengan pasukan perang dimarkas angkatan perang, yang semula berada di bawah kekuasaan Giok Hu ?!" Tanya Thio Yu Liang "Apakah Kongkong sudah membereskan semuanya ?"

"Thio Tayjin, kau jangan kuatir. Kong kong selalu mengatur dengan sempurna segalanya. Telah diangkat Jenderal Wang Shie sebagai pengganti Giok Hu. Keadaan di sana pun sudah teratasi dengan baik! Ada dua ribu lebih tentara yang memihak pada Giok Hu, mereka semua sudah dibereskan !" jawab Thaykam itu.

Thio Yu Liang mengedip-ngedipkan matanya.

"Apakah kini tugas kami sudah selesai, Tayjin" Tanyanya.

Thaykam itu mengangguk.

"Ya, kita akan langsung kembali ke ke kotaraja," Jawabnya.



Ban It Say sudah selesai menghitung dan menghampiri itu.

"Seluruhnya berjumlah seratus empat puluh tiga jiwa !" Lapor Ban It Say. "Juga tampaknya ada yang tidak beres, anak lelaki Giok Hu yang katanya berusia tujuh tahun tidak ada di antara mayat-mayat itu...!"

Mukanya Thaykam tersebut berobah hebat, agak gugup dia perintahkan: "Cari ! Periksa sekitar tempat ini ! Pasti ada beberapa pelayan yang berusaha menyelamatkan anak pemberontak ini !"

Segera juga pasukan Kim Ie Wie dibawah pimpinan Thio Yu Liang dan Ban It Say mencari anak lelaki Jenderal Giok Hu dan memeriksa sekitar tempat itu. Tetapi yang mereka cari tidak juga berhasil ditemukan.

Sia-sia usaha mereka, sehingga Thay kam itu marah-marah. Yang jadi sasaran kekejaman Ban It Say dan Thio Yu Liang bersama anak buahnya, penduduk yang berdekatan dengan istana Jenderal Giok Hu menjadi korban.

Entah berapa puluh orang yang mereka bunuh. Darah membanjir di istana Jenderal Giok Hu. seorang Jenderal yang terkenal sangat setia dan cinta pada negara akhirnya mati di tangan Kaisarnya. junjungannya. Rakyat cuma bisa mengusap dada waktu mendengar peristiwa yang menyedihkan tersebut, salah satu korban dari kelaliman Kaisar Yong Ceng.

-ooo0ooo-

MALAM telah larut, di pantai selatan suara ombak berdebur dengan gemuruh, angin selatan pun berhembus sangat keras dan dingin. Walaupun rembulan bersinar penuh di langit, tetapi sinarnya tidak cukup menerangi sekitar daerah pantai itu, batu-batu karang yang tidak rata bentuknya menimbulkan bayang-bayang seperti bayangan hantu malam yang menyeramkan. Hanya dipermukaan air laut yang tengah pasang itu yang memantulkan sinar berkeredepan akibat timpahan cahaya bulan.

Dibalik sebungkah batu karang yang cukup besar bentuknya, di sebelah dalam dari kaki batu karang yang menjorok ke dalam membentuk seperti goa, tampak dua sosok tubuh duduk dengan menggigil kedinginan. Sosok tubuh yang satu duduk menyender di dekat mulut goa di kaki gunung karang itu, tampaknya lemah dan sedang terluka berat. Scdangkan yang seorang lagi duduk dengan dipangkuannya rebah sesosok tubuh kecil, seorang anak lelaki berusia antara enam atau tujuh tahun, yang tubuhnya dibungkus oleh baju luar dari salah seorang kedua orang tersebut.

Anak lelaki itu tengah tidur nyenyak. Keadaan di tempat itu hening dan sepi sekali, cuma suara debur ombak yang menampar serta menerjang batu-batu karang di pantai yang terdengar jelas.

Orang yang menyender di mulut goa memanggil dan menggeser tubuhnya sedikit, tiba-tiba keheningan di tempat itu terpecahkan oleh suara muntah orang tersebut. Sosok tubuh di dalam goa yang tengah memangku anak lelaki kecil itu tampak kuatir dan tidak tenang.

"Tayjin, apakah kesehatan Tayjin semakin memburuk?!", tegur orang didalam goa itu.

Orang diluar pintu goa mengulapkan tangannya beberapa kali. "Tidak. Tidak apa-apa. Aku masih kuat untuk melindungi kalian !" Kemudian dia menyender lagi, sinar bulan yang berkelebat menyinari tempat itu karena pumpalan awan yang menutupi bulan bergeser, memperlihatkan wajsh orang itu pucat pias.

Di sisi mulutnya tampak noda-noda darah, karena yang dimuntah kannya tadi adalah darah! la tampaknya tengah terluka di dalam tubuh yang cukup parah. Orang tersebut berpakaian seperti seorang pahlawan kerajaan, biarpun tubuhnya sudah lemah, kenyataannya ia masih ingin memperlihatkan sifat-sifat gagah, bahwa ia masih sanggup untuk melindungi kedua orang itu.

Siapakah orang-orang di dalam goa di bawah batu karang yang bentuknya seperti goa itu ?

Yang tadi memuntahkan darah tidak lain dari Khang Thiam Lu, pengawal pribadi Jenderal Giok Hu yang sempat meloloskan dari tangan orang-orang yang jadi utusan Kaisar Yong Ceng, yang ingin membabat seluruh keluarga Jenderal Giok Hu. Semula Khang Thiam Lu bertekad untuk mengadu jiwa melindungi Jenderal Giok Hu. bahkan waktu menyaksikan Jenderal Giok Hu menemui kematian mengenaskan hati, ia menjadi nekad dan ingin mengadu jiwa.

Walaupun ia sudah dilukai Thio Yu Liang oleh totokan yans mengandung tenaga dalam kuat sekali, membuat Thiam Lu terluka didalam tubuh yang parah, ia masih ingin mengadakan perlawanan sampai titik napas terakhir.

Hanya saja saat itu justeru ia teringat kepada putera bungsu Jenderal Giok Hu, yaitu Giok Han, yang diketahuinya tengah bermain di pantai bersama Lam Sie. seorang pelayan keluarga Jenderal Giok Hu.

Memang sejak kecil Giok Han diasuh oleh Lam Sie, seorang pelayan yang setia dan jujur, berusia sudah cukup lanjut hampir 60 tahun, karenanya, akhirnya dengan hati yang pedih dan perasaan yang berat, Khang Thiam Lu berusaha untuk meloloskan diri, dan dia berhasil dengan usahanya untuk menyingkir dari gedung Jenderal Giok Hu yang tengah dibanjiri darah itu.

Dengan air mata bercucuran Khang Thiam Lu berlari-lari ke pantai, untuk mengajak Lam Sie dan Giok Han menyingkir menyelamatkan diri dari ancaman maut orang-orangnya Kaisar Yong Ceng.

Sejak pagi tadi memang Giok Han tidak seperti biasanya, rewel sekali, sering menangis dan sulit untuk dibujuk oleh pengasuhnya. Lam Sie semula menyangka Giok Han sakit sehingga rewel seperti itu.

Khang Thiam Lu menyuruh Lam Sie mengajak Giok Han ke pantai, untuk menenangkannya dengan mengambil kulit-kulit kerang, karena memang kesukaan Giok Han mengambil serta mengumpulkan kulit kerang yang banyak terdapat di pasir pantai.

Lam Sie pun mengajak putera bungsu Jenderal Giok Hu ke pantai, buat diajak bermain-main di pantai. Justeru karenanya jiwa putera bungsu Jenderal Giok Hu jadi lolos dari kematian.

Khang Thiam Lu bertekad harus menyelamatkan jiwa putera junjungannya, walaupun ia dalam keadaan terluka parah namun Thiam Lu mengempos seluruh sisa tenaganya untuk berlari ke pantai dan mengajak Giok Han bersama pengasuhnya menyingkir agak jauh dan bersembunyi di bawah sebongkah batu karang dipantai itu. Sengaja ia tidak mengajak anak junjungannya serta pengasuh anak itu meninggalkan pantai, sebab ia yakin pasukan kerajaan yang diutus Kaisar Yong Ceng tidak mungkin menggeledah pantai itu.



Jika ia kembali ke kota atau pun meninggalkan pantai untuk pergi kekota lainnya, kemungkinan dilihat orang dan diketahui jejak mereka oleh orang-orang Kaisar Yong Ceng lebih besar. Hanya saja luka di dalam tubuh Khang Thiam Lu semakin parah juga.

Sejak siang tadi ia sudah duduk bersemedhi untuk mengempos semangat murni, guna mengobati dirinya. Tetapi gagal. Totokan Thio Yu Liang benar-benar hebat. Sudan berkali-kali Khang Thiam Lu memuntahkan darah, keadaannya semakin lemah dan payah. Muka-nya semakin pucat pasi, seperti kapur tembok putihnya. Di malam yang sangat dingin oleh sampokan angin pantai membuat penderitaan Khang Thiam Lu semakin hebat, tetapi ia masih berusaha terus dengan penuh kewaspadaan untuk menjaga keselamatan Giok Han dan Lam Sie.


Itulah sebabnya ia masih duduk bersender di pintu, goa batu karang itu, berjaga-jaga kalau saja ada orang yang ingin mencelakai anak junjungannya tersebut. la bertekad akan mengadu jiwa untuk melindungi anak junjungannya.

Lam Sie yang sejak tadi membujuk Giok Han untuk tenang berdiam di dalam goa, merasa hancur luluh hati maupun perasaannya. Betapa tidak, tadi sudah didengarnya dari Khang Thiam Lu bahwa junjungannya serta keluarga Jenderal itu sudah dibabat habis oleh orang-orang Kaisar Yong Ceng, terbunuh semuanya. Air mata turun berkali-kali membasahi pipinya yang sudah keriput.

Sisa makanan kering yang kebetulan masih ada yang dibawanya tadi ketika mengajak Giok Han ke pantai, diberikan kepada anak itu, agar Giok Han tidak lapar dan tidak masuk angin.

Hanya saja, menjelang senja, sisa makanan yang ada telah habis. Giok Han merengek ingin makan karena lapar. Bingung bukan main Lam Sie dan Khang Thiam Lu. Sebetulnya Khang Thiam Lu hampir nekad ingin pergi ke rumah penduduk terdekat di pantai itu, untuk meminta atau mengambil sedikit makanan buat majikan kecilnya, tetapi Lam Sie sudah mencegahnya kalau Khang Thiam Lu yang dalam keadaan luka parah pergi ke rumah penduduk di dekat pantai itu, berarti sama saja mereka menunjukkan jejak kepada orang-orangnya Kaisar Yong Ceng, dan bahaya yang mengancamnya akan besar sekali.

Dengan bingung kedua orang itu akhirnya membujuk Giok Han untuk bersabar menahan laparnya. "Besok paman Khang akan membelikan Siauwya makanan yang enak-enak, ya ?!" membujuk Lam Sie dengan hati yang pedih.

Karena lapar dan lelah, akhirnya Giok Han tertidur dipangkuan Lam Sie. Hawa malam dingin sekali, membuat anak itu sering menggigil. Khang Thiam Lu berdua Lam Sie sudah membuka masing masing baju luarnya dan mempergunakan untuk menyelimuti anak itu. Hanya saja baju luar itu tidak cukup untuk mencegah dinginnya udara malam, Giok Han yang tidur dengan perut lapar masih sering menggigil kedinginan.

Hati Lam Sie semakin pedih saja, begitu juga Khang Thiam Lu, yang melihat keadaan anak junjungannya seperti itu dengan hati tersayat-sayat, air matanya sampai menitik beberapakali. Cuma saja, mereka menguatkan hati untuk bertahan sampai tibanya fajar, sampai bahaya telah lewat.

Waktu merambat terus dan suara debur ombak yang terdengar terus menerus, selain dari itu tidak terdengar suara apapun juga di kekelaman malam pada sekitar daerah pantai tersebut. Khang Thiam Lu sangat lelah dan menderita oleh luka di dalam tubuh yang kian parah itu, tetapi ia masih memaksakan diri mementang kedua matanya lebar-lebar untuk bersiap siaga menghadapi segala kemungkinan, tangannya mencekal pedangnya erat-erat.

Lam Sie pun sangat lelah, matanya sering tertutup untuk, beristirahat, namun ia sering terhentak bangun dengan terkejut. Dan waktu malam semakin larut, sekali lagi Lam Sie tersentak kaget karena Giok Han mengigau memanggil-manggil: "Papa...Papa... Mama.... Mama...!"

Air mata Lam Sie dan Khang Thiam Lu jadi bercucuran, hati mereka hancur sedih sekali. Tetapi tidak ada yang bisa mereka lakukan. Lam Sie cuma memeluk Giok Han yang didekap erat-erat. Anak itu tetap tidur dengan hati-hati Lam Sie meletakkan di pangkuannya lagi.

Akhirnya fajar menyingsing. Giok Han sudah terbangun dari tidurnya.

"Paman Khang, Paman Lam, Hanjie lapar...!" kata anak itu.

Lam Sie dan Khang Thiam Lu mengangguk sambil memaksakan diri tersenyum, walaupun hati mereka pedih sekali.

"Sebentar lagi kita beli makanan yang banyak dan enak-enak untuk Siauwya, ya ?!" Bujuk Lam Sie,

"Kukira sekarang sudah boleh menyingkir, Lam Lopeh !" kata Khang Thiam Lu. "Pasukan Kaisar tentu sudah menarik diri meninggalkan tempat ini!"

Lam Sie mengangguk. "Kita harus mengambil arah yang berlawanan dengan mereka. Tetapi Khang Tayjin, apa rencana kita untuk Siauwya ?"

Khang Thiam Lu menghela napas dalam-dalam. la berpikir sejenak, kemudian menyahuti: "Kita pergi ke kota Siauw An, menemui guruku, kita nanti minta nasehatnya."

Lam Sie mengangguk menyetujui, karena dia sendiri bingung kemana ingin membawa majikan kecilnya itu, untuk diselamatkan. Memang ia pun setuju dengan rencana Khang Thiam Lu, tentu guru dari pengawal Jenderal Giok Hu ini bisa memberikan jalan yang terbaik, setidak-tidaknya bantu melindungi Giok Han.



Bukankah kepandaian guru Khang Thiam Lu pasti lebih tinggi dari Thiam Lu sendiri ? Di samping itu luka di dalam tubuh Khang Thiam Lu bisa diobati oleh gurunya. Hanya saja, dari daerah pantai itu untuk pergi mencapai kota Siauw An harus menempuh perjalanan tidak kurang dari 20 hari perjalanan, yang dikuatirkan Lam Sie apakah Khang Thiam Lu sanggup melakukan perjalanan sejauh itu dalam keadaan terluka cukup parah seperti ini ?

"Ayo Lam Lopeh, bersiap-siaplah ! Kita harus berangkat sekarang untuk mengejar waktu! Tetapi ingat Lam Lopeh, kalau nanti dalam perjalanan ada rintangan, aku akan berusaha mengatasi rintangan itu dan kau harus terus membawa Siauwya menemui guruku. Carilah Gan Sie Hung di Siauw An. Mengertikah kau, Lam Lopeh ?!"

Lam Sie mengangguk, lalu menggendong Giok Han. Tetapi Giok Han menolak untuk digendong oleh pengasuhnya yang sudah cukup tua itu.

"Paman Lam, biar aku jalan sendiri!", kata anak itu. "Paman Lam tampak sudah lelah, sedangkan aku sudah tidur semalaman rasanya bisa jalan sendiri !"

Lam Sie terharu mendengar perkataan majikan kecilnya, dengan air mata bercucuran dipeluknya Gok Han. "Nanti kita beli makanan yang enak-enak, Siauwya.", bisiknya.

Matahari fajar memerah di ufuk Timur, air laut sudah surut dan keadaan di pantai itu sangat sepi. Ketiga orang tersebut meninggalkan tempat itu. Khang Thiam Lu dengan Lam Sie selalu waspada dan berhati-hati, setiap bertemu dengan seseorang, mereka tentu akan bersikap hati-hati dan waspada.

Setelah melakukan perjalanan cukup jauh, mereka sampai di sebuah kampung yang tidak begitu besar. Sebuah perkampungan nelayan. Lam Sie membeli beberapa makanan untuk majikan kecilnya. Dengan perut kenyang, Giok Han tidak rewel lagi.

Hanya saja, ketika mereka ingin melanjutkan perjalanan, Giok Han dengan heran bertanya kepada Lam Sie : "Paman Lam, kita mau kemana ? Pergi jauh-jauh nanti dimarahi Papa!"

"Papa yang suruh kami membawa Siauwya ke suatu tempat. Papa sedang menunggu Siauwya di sana ! "Berbohong Lam Sie.

"Apakah Mama dan ciecie berada disana juga?" Tanya Giok Han.

"Ya," menyahuti Lam Sie. "Siauwya tidak perlu kuatir, Papa tidak akan memarahi Siauwya, karena ini perintahnya."

Mereka melanjutkan perjalanan lagi. Hari itu Giok Han tampak segar dan ia melakukan perjalanan dengan sering berlari-lari dengan tertawanya yang nyaring. la memetik bunga, melempari sungai yang mereka lalui dengan butir-butir batu, tampaknya riang. Sedikitpun anak itu tidak tahu, bahwa seluruh keluarganya sudah menjadi korban keganasan Kaisar Yong Ceng.

Khan Thiam Lu sebetulnya sudah semakin payah, luka di dalam tubuhnya kian parah. Tetapi ia berusaha untuk tetap bisa melakukan perjalanan, sekali-sekali ia memuntahkan darah segar.

Melihat keadaan Khang Thiam Lu seperti itu, Lam Sie semakin kuatir saja. Bagaimana kalau Khang Thiam Lu sudah tidak kuat bertahan lebih jauh, sehingga lukanya kian parah lalu mati Apa yang harus dilakukannya? Berulang kali selalu saja Lam Sie membujuk agar Khang Thiam Lu beristirahat, perjalanan mereka tidak perlu tergesa-gesa, dan agar Khang Thiam Lu pun mengundang tabib untuk mengobati luka di dalam tubuhnya.

Tetapi Khang Thiam Lu selalu menggeleng lesu. la hanya sekali-kali menelan beberapa pil merah, pil Sie-hun-tan buatan gurunya, agar ia bisa bertahan lebih lama lagi dengan luka di dalam tubuhnya. Cuma saja, terakhir ia menelan tiga butir pil itu, dilihatnya sisa di dalam botol hanya ada dua belas butir lagi. Berarti paling tidak hanya bisa dipergunakan untuk empat hari. Jika obat itu habis, celakalah dia!

Mengundang tabib biasa hanya akan sia-sia, karena luka yang dideritanya adalah akibat totokan liehay dari Thio Yu Liang, tidak mungkin bisa disembuhkan oleh tabib biasa. Malah bisa mengundang bahaya, kalau tabib itu bercuriga dan melaporkan kepada pihak yang berwajib. Akan menimbulkan kerewelan. Tetapi Khang Thiam Lu tidak pernah mengutarakan kekuatirannya itu, dia hanya gelisah seorang diri.

Jika malam sudah tiba, mereka bermalam di rumah penduduk, yang mereka berikan beberapa tail perak buat tuan rumah. Sudan tiga hari tiga malam mereka melakukan perjalanan. Dan pada malam keempatnya, waktu mereka bermalam dirumah seorang penduduk disebuah desa kecil Khang Thiam Lu merasakan napasnya sesak satu-satu, tubuhnya separuh sudah kaku sulit digerakkan, ia tahu daya tahan tubuhnya tidak akan lama lagi maka, waktu dilihatnya Giok Han sudah tidur, perlahan-lahan Khang Thiam Lu menggeser tubuhnya ke dekat Lam Sie, mukanya pucat sekali. Air matanya mengucur deras.

"Sungguh penasaran ! Sungguh penasaran!" Mengeluh Khang Thiam Lu dengan suara gemetar.

Lam Sie melihat keadaan Khang Thiam Lu seperti itu jadi ikut mengucurkan air mata. "Beristirahatlah Khang Tayjin, agar besok tenaga Khang Tayjin pulih..." hiburnya.

Khang Thiam Lu menggelengkan kepala. Air matanya tetap mengucur deras.

"Sungguh penasaran Lam Lopeh, tampak aku tidak kuat untuk bertahan lebih lama guna melindungi Siauwya dan kau, Lopeh... lukaku tampaknya sulit dibendung untuk ber tahan beberapa hari lagi saja.... Mungkin aku hanya bisa bertahan untuk satu hari lagi saja... Sungguh penasaran . . . Ooo, Thian tampaknya tidak menaruh belas kasihan kepada kita, Lam Lopeh !" Khang Thiam Lu, kemudian menangis terisak-isak.

Lam Sie kuatir bukan main, dipegangnya lengan Khang Thiam Lu, dirasakan tubuh orang she Khang tersebut gemetar. Juga dilihatnya muka Khang Thiam Lu yang pucat pias itu berselubung warna gelap, matanya sudah tidak bersinar, di bawah pelupuk matanya tampak warna hitam gelap, menunjukkan bahwa orang she Khang ini memang sudah tipis harapannya untuk mempertahankan hidupnya lebih jauh, karena terlalu sedih campur kuatir, Lam Sie tidak bisa bilang apa-apa, dia menangis terisak-isak.

Khang Thiam Lu dengan air mata bercucuran memandangi Giok Han yang tengah tidur, duduk bengong berdiam diri saja. Sampai akhirnya dia menoleh kepada Lam Sie, katanya: "Jika terjadi sesuatu pada diriku kau harus membawa Siauwya mencari guruku di Siauw An, Lopeh ..." kata Thiam Lu lagi.

Lam Sie mengangguk beberapa kali dengan sesengukan.

Khang Thiam Lu mengeluarkan botol obatnya, tinggal sebutir. Diawasinya botol obat itu. Memang akhir-akhir ini setiap kali memuntahkan darah, ia cuma memakan sebutir pil obatnya tersebut. Seharusnya ia memakan enam atau paling sedikit tiga butir, namun untuk memperpanjang penggunaan obat pil Sie-hun-tan tersebut, ia sengaja memakannya hanya sebutir demi sebutir.

Setelah mengawasi sekian lama pada botol obatnya itu, Khang Thiam Lu menghela napas dalam-dalam. Dia ingin memasukkan pula botol obat itu kesaku bajunya, tetapi gerakan itu tiba-tiba tersentak, ia memuntahkan darah segar. Lam Sie kaget, cepat-cepat memijiti leher dan menumbuki perlahan-lahan punggung Thiam Lu.

Dengan napas yang sesak satu-satu dan muka pucat pias kehijau-hijauan, Khang Thiam Lu mengeluarkan obat yang tinggal sebutir itu dari botolnya, kemudian dimasukan ke dalam mulutnya, ditelan dengan dibantu oleh air ludah. Lam Sie cepat-cepat mengambilkan secawan air teh, yang diminum sedikit oleh Thiam Lu.

Napas Thiam Lu semakin sesak, ia menyenderkan tubuh di dinding dengan muka yang pucat pias dan mata tertutup. Tampaknya memang keadaan Thiam Lu semakin parah saja. Lam Sie jadi menangis terisak-isak, kalau Thiam Lu mati, habislab harapannya untuk dibantu dan dilindungi olehnya guna menyelamatkan Giok Han. Tanpa Thiam Lu, jelas pengasuh tua tersebut akan menghadapi lebih banyak kesulitan dalam melindungi dan menyelamatkan majikan kecilnya.

"Jangan menangis, Lopeh...." kata Thiam Lu sambil membuka matanya perlahan-lahan. Napasnya masih sesak dan suaranya gemetar "Kalau aku mati, usahakanlah Siauwya bisa tiba di tempat guruku... ceritakan seluruh peristiwanya... perbuatan lalim orang-orang Yong Ceng..."

Lam Sie mengangguk-angguk sambil terisak-isak. Untuk tiba di Siauw An masih memerlukan waktu perjalanan belasan hari. la mengurut dada Khang Thiam Lu dengau air mata tetap mengucur tidak berhasil dibendungnya.

Malam sangat sunyi, pemilik rumah ini pun rupanya sue!ah tidur. Tetapi, dalam kesepian dan keheningan itu. tiba-tiba jendela kamar diketuk beberapa kali oleh seseorang, disusul suara tertawa yang perlahan.

Khang Thiam Lu berdua Lam Sie kaget tidak terhingga, muka mereka pucat pias. Khang Thiam Lu mencekal pedangnya erat-erat, dengan dibantu oleh siku tangannya, dia coba bisa duduk dengan benar. Hanya saja, tubuhnya bergoyang-goyang seperti akan terguling, biarpun Thiam Lu sudah mengempos seluruh sisa tenaganya.

Kembali terdengar suara ketukan perlahan di jendela kamar, Thiam Lu berdua Lam Sie saling pandang sejenak dengan kekuatiran yang sangat, sedangkan Thiam Lu bertekad, dalam keadaan lukanya yang parah seperti itu, akan mengadu jiwa kalau seseorang bermaksud buruk terhadap mereka. Pedangnya yang dicekal kuat-kuat itu gemetar.

Kudengar suara orang menangis di dalam kamar, pasti ada peristiwa yang sangat menyedihkan hati dialami oleh orang di dalam kamar itu !" Terdengar suara seseorang suara yang parau dan dalam.

"Kau usil sekali, biarkan saja mereka menangis. Apakah kita perlu ikut menangis dengan mereka?" Terdengar suara wanita agak nyaring.

"Aku bermaksud membantu mereka jika memang mereka memperoleh kesukaran," menyahuti suara lelaki yang parau itu. "Coba kau ketuk lagi."

Terdengar suara wanita yang menggumam seperti tidak senang, tetapi disusul kemudian dengan suara ketukan perlahan pada daun jendela.

"Hei orang di dalam kamar, apakah kalian tengah dalam kesulitan?!" Terdengar suara wanita itu cukup nyaring.

Butir-butir keringat sudah membanjiri kening Khang Thiam Lu, ia sangat kuatir sekali. Dalam keadaan terluka parah seperti ini, kalau ada orang yang bermaksud tidak baik pada mereka, apa yang bisa dilakukannya ? Sedangkan Lam Sie hanya seorang pelayan tua yang tidak memiliki kepandaian apa-apa, tenaganya sangat lemah. Lam Sie pun sangat kuatir, dia sudah menghampiri pembaringan dimana Giok Han tengah tidur nyenyak, bersiap-siap untuk melindungi Siauwya-nya sampai titik darah penghabisan dengan mengadu jiwa jika seandainya ada orang yang mau mengganggu keselamatan majikan kecilnya itu.

"Apakah orang di dalam kamar itu tuli dan gagu semuanya ?!" Terdengar lagi suara menggumam wanita itu. "Kau saja yang panggil mereka !"

"Panggil sekali lagi, aku yakin mereka tengah menghadapi kesulitan!" Kata suara lelaki yang parau dan dalam itu.

Terdengar suara ketukan lagi.

"Apakah kalian tuli dan gagu?" Menegur wanita diluar kamar.

Khang Thiam Lu mengempos seluruh sisa tenaganya. Dia berdiri, walaupun dengan tubuh yang bergoyang-goyang seperti akan rubuh. Dicekal pedangnya kuat-kuat dan melangkah menghampiri jendela. Dengan tangan kiri yang gemetar lemah, ia membuka daun jendela itu. Diluar sangat gelap, sinar rembulan tidak berhasil menerangi sekitar tempat itu. Tampak sepasang manusia tengah memandangi mereka.

Yang satu seorang lelaki berusia empat puluh tahun, berpakaian sebagai pelajar, hanya anehnya bajunya itu penuh tambalan. Keadaannya mirip pengemis apalagi dengan kopiahnya yang sudah bulukan berbentuk segi tiga muncung tinggi.

Di sampingnya berdiri seorang wanita berusia tiga puluh lima tahun, berpakaian yang hampir serupa, yaitu penuh tambalan bagaikan pakaian pengemis. Muka mereka, yang saat itu tengah tersenyum, tidak memperlihatkan tanda-tanda jahat.

Hanya saja dari cara berdiri mereka, juga lagak mereka yang saling berpaling dan tersenyum-senyum di antara mereka berdua, seakan juga mereka ini sepasang suami isteri yang tidak beres ingatannya.

"Maaf, maaf, kami mengganggu !" kata lelaki berpakaian pengemis itu. "Tampaknya tuan sedang menghadapi kesulitan. Dan, apa tuan sedang terluka didalam yang berat sekali !"



Dengan tangan gemetar Khang Thiam Lu menjura memberi hormat. "Siapakah jie wie ? Ada petunjuk apakah untukku ?"

"Petunjuk ?" Wanita itu menoleh kepada lelaki yang mungkin suaminya. Kemudian tertawa. Lelaki itu juga tertawa "Petunjuk apa ya ? Kukira kita yang perlu memperoleh petunjuk darinya..."

Lelaki itu mengangguk-angguk tanpa senyum, sikapnya serius sekali. "Ya, petunjuk apa, ya ? Petunjuk ? Ooooo, apakah petunjuk untuk bisa makan dengan rapi ? Apa ya ?" Dan mendadak sikap seriusnya lenyap, dia tertawa lebar.

Khang Thiam Lu menyaksikan kelakuan kedua orang itu yang tidak karuan, jadi mengerutkan alisnya, Dengan memaksakan diri tersenyum, karena dia tidak mau terlibat urusan, Khang Thiam Lu bilang: "Maaf, jika jiewie tidak ada urusan lainnya, kami ingin beristirahat, hari sudah terlalu larut malam."

"Ya, ya, tampaknya kau memang perlu istirahat !" kata si lelaki yang tampaknya sinting itu. "Eh, tunggu dulu. Tadi kau yang menangis, bukan ?"

Alis Khang Thiam Lu kembali berkerut. "Maaf, aku sudah sangat mengantuk."

Tetapi lelaki itu tidak memperdulikan sikap Khang Thiam Lu, dengan sikap serius dia bilang kepada wanita di sampingnya. "Aku yakin dia yang menangis. Mungkin dia takut mati," dan dia tertawa. "Lihat saja, dia terluka di dalam yang parah, mungkin hatinya sedih, takut untuk mati. Dia jadi menangis, kalau mungkin memanggil Mama dan Papanya .... untuk lari dari elmaut." Dan dia tertawa lagi.

Wanita yang berpakaian sebagai pengemis itu pun mengangguk-angguk sambil tertawa. "Ya, ya," katanya, "kukira memang dia takut mati dan jadi sedih- Menangis bukan jalan yang baik, nak !" kata-kata yang terakhir diucapkan oleh wanita itu sambil berpaling kepada Khang Thiam Lu, memang ditujukan kepada Khang Thiam Lu.

Mendelu sekali hati Khang Thiam Lu, Bebal ia melihat kelakuan kedua orang itu yang dilihatnya tidak beres, membuatnya jadi mendongkol. Coba kalau dalam keadaan biasa, dia tidak sedang terluka parah seperti ini, sejak tadi-tadi dia sudah mengusir sepasang manusia yang tampaknya tidak beres ingatannya itu.

Tetapi sekarang, ia menahan diri dan mengekang perasaannya, jika terjadi keributan tentu tidak baik untuk pihaknya. Dengan menahan kemendongkolan hatinya, Khang Thiam Lu bilang: "Baiklah, terima kasih untuk perhatian jiewie berdua," katanya. "Maaf, aku tidak bisa menemani kalian berdua lebih lama lagi."

Lelaki yang berpakaian seperti pengemis itu tersenyum, ia mengeluarkan sekerat daging dendeng kemudian memakannya, mengunyah dengan sikap seenaknya. Melihat lagaknya, Khang Thiam Lu semakin yakin bahwa lelaki ini tidak beres pikirannya.

"Sayang, sayang sekali ! Penyakit yang tidak begitu berbahaya seperti itu, akhirnya harus membuatnya mati ! Tampaknya dia terluka oleh totokan....!" Menggumam lelaki berpakaian pengemis itu sambil berpaling kepada wanita yang menjadi kawannya.

"Ya, lukanya sebelumnya tidak usah membuat dia sampai menemui ajalnya !" Menyahuti wanita itu, mengambil daging dendeng di tangan lelaki itu, kemudian memakannya.

Khang Thiam Lu yang sejak tadi sudah mendelu dan ingin menutup lagi daun jendela kamar, mendengar percakapan ke dua orang tersebut. Tiba-tiba serupa ingatan berkelebat di pikirannya, hatinya kaget bercampur girang. la ingat kepada seseorang. "Apakah mereka bukan sepasang Tabib Hutan yang sangat terkenal sekali, yang di dalam kalangan Kangouw merupakan tabib yang mengetahui 104 luka yang terparah dan sanggup diobati, sehingga merekapun digelari sebagai Sepasang Bengkel Manusia ?!"

Sepasang Tabib Hutan yang dimaksudkan oleh Khang Thiam Lu adalah sepasang suami isteri yang memiliki perangai luar biasa anehnya, di dalam kalangan Kangouw mereka sangat terkenal sebagai pasangan suami isteri yang memiliki pengetahuan sangat tinggi untuk ilmu pengobatan.

Sampai digelarinya sepasang suami isteri itu sebagai Sepasang Bengkel Manusia, karena mereka berdua seperti juga bengkelnya manusia, jika ada yang terluka parah, asal belum mati dan masih bernapas, pasti jiwa orang itu bisa diselamatkan dan disembuhkan.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar