Tung Yang tidak kurang
kagetnya. Wa-laupun bagaimana kosennya Wei Sin Siansu tapi menerima tiga
pukulan tanpa memberikan perlawanan, itu sama saja seperti mencari kematian.
Terlebih lagi yang akan memukul adalah Thian Tee Jie Kui, sepasang iblis yang
kepandaiannya pun tidak rendah !
Mungkin Wei Sin Siansu tidak
akan mengalami celaka apa-apa kalau ia boleh mengerahkan lwekangnya waktu
menerima ketiga pukulan sepasang iblis itu, karena memang lwekang Wei Sin
Siansu sudah mencarai tingkat yang sulit diukur. Tapi tanpa mempergunakan
lwekangnya, menerima tiga pukulan itu dalam keadaan "kosong", sama
saja seperti Wei Sin Siansu bunuh diri ! Tung Yang tidak bisa menahan diri, ia
melompat ke samping si pendeta tua. "Siansu, jangan turuti keinginan gila
mereka. Biarkan Lohu yang akan melayani mereka, iblis seperti mereka tidak
boleh dihadapi dengan sikap seperti itu, bisa membahayakan jiwa Siansu..."
Wei Sin Siansu membuka
matanya, sabar sekali sikapnya. "Omitohud ! Omitohud Siecu jangan kuatir,
umur manusia berada di tangan Thian. Biarkanlah Loceng memenuhi keinginan
mereka."
Tung Yang mendelik pada Thian
Tee Jie Kui. Tapi dia tidak berdaya untuk membujuk Wei Sin Siansu agar
membatalkan maksudnya.
Thian Tee Jie Kui tersenyum
saling pandang satu dengan yang lain. Mereka percaya begitu menerima pukulan
pertama mereka, si pendeta tua akan mati seketika. Bayangkan saja, menerima
pukulan tanpa ada perlawanan, tanpa mengerahkan lwekang, menerima dengan
keadaan "kosong", bagaimana tangguhnya sekalipun seseorang, pasti
tidak akan sanggup menerima pukulan yang kekuatannya cuma seratus kati sekali
pun.
Apa iagi yang akan melakukan
pukulan tersebut Thian Tee Jie Kui. yang bisa mempergunakan lwekangnya dan
kekuatan dari pukulan mereka sekitar 500 kati sampai 1000 kati !
Sebagai pendeta suci, Wei Sin
Siansu tidak mau terjadi pertumpahan darah. Jika memang masih ada jalan keluar,
ia tidak menyetujui pertempuran itulah sebabnya pendeta suci Siauw Lim Sie ini
memilih jalan menerima syarat-syarat yang diajukan Thiian Tee Jie Kui, menerima
tiga pukulan mereka tanpa memberikan perlawanan !
"Silahkan, Jiewie !"
kata Wei Sin Siansu sabar dan meram kembali, sabar suaranya.
Tun Yang, Bu An Taysu, Kam
Siang Cie berempat dan Thian Tee Jie Kui mengawasi si pendeta suci yang sudah
menanti pukulan-pukulan dari Thian Tee Jie Kui dengan pasrah Kalau Tung Yang..
Bun An Taysu dan Kam Siang Cie berempat mengawasi dengan berkuatir, sedangkan
Thian Tee Jie Kui mengawasi si pendeta dengan perasaan terheran-heran.
Tidak mereka sangka bahwa
pendeta itu bersungguh-sungguh menerima syarat mereka. Akhirnya si Jenggot
melenggak. dia tertawa besar.
"Baiklah Siansu,"
kata si Jenggot. "Kau jangan mempersalahkan kami, kau yang minta kami
melakukannya."
Thian Tee Jie Kui memasukkan
pedang masing-masing, kemudian bersiap-siap dengan pukulan mereka, keadaan jadi
tegang sekali. Tung Yang, Bun An Taysu dan yang lainnya mengawasi dengan hati
berdenyut-denyut, bersiap-siap kalau memang Wei Sin terancam keselamatannya
mereka akan menyerbu untuk menolong. Hati mereka tegang bukan main.
Si Jenggot mengerahkan tujuh
bagian tenaga dalamnya, disalurkan pada kepalan tangannya. Begitu pula si
Jangkung. Serentak mereka mengayunkan tangan, memukul Wei Sin Siansu. Bisa
dibayangkan hebatnya pukulan itu, kalau pukulan tersebut dilakukan si Jenggot
atau si Jangkung sendiri-sendiri, mungkin tenaga pukulannya tidak terlalu hebat
tapi kini mereka melakukannya serentak berdua, dua tenaga digabungkan menjadi
satu, kepalan tangan Thian Tee Jie Kui mengenai punggung Wei Sin Siansu.
Tubuh pendeta itu
bergoyang-goyang, tapi tidak sampai terjerunuk ke depan. Pendeta suci itu tetap
berdiri di tempatnya, matanya tetap meram, hanya mukanya berobah agak pucat.
Tangannya masih dirangkapkan.
Ketika kepalan tangan Thian
Tee Jie Kui menghantam punggung si pendeta suci Siauw Lim Sie, tangan Tung Yang
mencekal gagang pedangnya erat-erat dengan telapak tangan berkeringat.
Sedangkaii Bun An Taysu bersama empat muridnya mengawasi dengan muka pucat,
kuatir bercampur legang.
"Jurus pertama,"
sabar sekali suara Wei Sin Taysu. "Silahkan Jiewie dengan jurus kedua
!"
Thian Tee Jie Kui saling
mengawasi. Mereka sebetulnya menghormati juga pendeta suci ini, mereka kagumi
akan ketabahan si pendeta yang mau menerima pukulan mereka tanpa melawan.
Memang itu ditepati oleh si pendeta, yang menerima pukulan Thian Tee Jie Kui
tanpa mengerahkan Lwekangnya. Tadi Thian Tee Jie Kui memukul dengnn tujuh
bagian tenaga dalam mereka, pertama mereka merasa sayang jika si pendeta
benar-bennr mati di tangan mereka, walaupun bagaimana mereka tidak mau kalau
ilmu yang sudah begitu tinggi dipelajari si pendeta harus lenyap karena kematiannya.
Alasan kedua. Thian Tee Jie
Kui pun bukan manusia bodoh. Mereka berlaku hati-hati kuatir kalau Wei Sin
Taysu main gila. Begitu pukulan mereka menghantam, si pendeta mempergunakan
lwekangnya untuk mengadakan perlawanan. Ini bisa mencelakai Thian Tee Jie Kui,
kalau mereka memukul sekuat tenaga lwekang.
ltulah sebabnya mereka hanya
mempeigunakan tujuh bagian saja dari tenaga dalamnya, jika ada hal yang tidak
terduga, mereka masih bisa menarik pulang tenaganya dan mempergunakan sisa
tenaganya untuk mengadakan pembelaan diri.
Hanya saja, pukulan mereka
seperti tidak memberikan hasil apa-apa, jangankan si pendeta rubuh, terjerunuk
kedepan saja tidak kuda-kuda si pendeta suci tidak berobah. Di samping perasaan
kagum, Thian Tee Jie Kui penasaran.
"Baiklah."
"pikir si Jenggot.
"Kau yang minta kematian dari kami, lihatlah... apakah sekarang kau masih
sanggup menerima pukulan kami ?!" sambil berpikir begitu si Jenggot
melirik pada si Jangkung, memberi isyarat agar isterinya memukul lebih kuat. Mereka
bersiap-siap, waktu si Jenggot berseru: "inilah pukulan kedua !"
tangan mereka meluncur dengan tenaga lwekang yang jauh lebih kuat, sembilan
bagian!
Pukulan Thian Tee Jie Kui
sekali ini mengeluarkan suara nyaring, tubuh Wei Sin Siansu terdorong maju
kedepan, kuda-kuda kakinya gempur, ia maju sampai lima langkah ! Muka pendeta
suci itu tambah pucat, karena kelewat pucat sampai muka Wie Sin Siansu
kehijau-hijauan.
Si pendeta suci tidak
menyangka lwekang Thian Tee Jie Kui kuat dan terlatih baik. la merasakan
anggota dalam tubuhnya seperti pada jungkir balik, keringat memenuhi keningnya,
juga kepala dan tubuhnya. Setetes demi setetes butir-butir keringat jatuh,
tubuhnya agak menggigil.
Tetapi tinggal satu jurus
lagi, jika ia menolak menerima pukulan yang ketiga, jelas Thian Tee Jie Kui
tidak mau memberikan surat-surat yang pernah dirampas oleh kedua iblis itu.
Hanya saja, kalau ia menerima satu pukulan lagi, Wei Sin Siansu yakin kecil
sekali kemungkinan ia berhasil menerimanya.
"Suhu?" panggil Bun
An Taysu kuatir.
Wei Sin Siansu membuka
matanya, mengulapkan tangannya. "Tinggal satu jurus lagi. Biarkan Loceng
menerimanya, urusan jadi beres." Sabar sekali suaranya. Kemudian menoleh
pada Thian Tee Jie Kui: "Jiewie beleh memukul lagi, inilah yang ketiga..!"
Pendeta suci yang sudah lanjut
usia itu memejamkan matanya lagi, dengan sepasang tangan terangkapkan.
Keringit dingin mengalir dari
sekujur tubuh Kam Siang Cie berempat. Mereka kuatir bukan main untuk
keselamatan Sucouw tersebut. Tung Yang pun merasakan hatinya berdebar keras, la
kagum melihat kegagahan pendeta suci Siauw Lim Sie itu. Betapa tidak, menerima
pukulan-pukulan Thian Tee Jie Kui tanpa memberikan perlawanan, bahkan semua itu
diterima dengan keikhlasan hati yang tinggi.
Sebetulnya jika saja Wei Sin
Siansu mau. Thian Tec Jie Kui bukanlah tandingannya, karena kepandaian pendeta
suci itu sudah mencapai tingkat yang sulit untuk diukur. Tokh dia memilih cara
seperti itu, yaitu menerima tiga pukulan dari kedua iblis tersebut. Kini adalah
saat-saat menentukan Thian Tee Jie Kui akan memukul untuk ketiga kalinya.
Thian Tec Jie Kui sendiri
diam-diam kagum sekali pada ketangguhan Wei Sin Siansu. "Benar-benar hebat
pendeta Siauw Lim ini" pikir si Jenggot. "Tapi, pukulan yang ketiga
ini harus dilakukan lebih kuat lagi... dua kali dia memang tidak memberikan
perlawanan, mustahil ketiga ini ia akan membokong kami dan secara diam-diam
memberikan perlawanan ?"
Segera si Jenggot memberi
isyarat pada si Jangkung, mereka bersiap-siap untuk memukul lagi. Si Jenggot
malah berbisik : "Kerahkan seluruh tenagamu !" Si Jangkung
mengangguk. Mereka memang mengempos seluruh kekuatan tenaga dalam pada kepalan
tangan masing-masing. Disertai dengan teriakan nyaring, sepasang iblis itu
memukul punggung Wei Sin Siansu.
Pendeta tua itu terpukul
hebat. Tubuhnya terhuyung kedepan, tapi dia bisa mempertahankan diri tidak
sampai rubuh. Begitu kuat pukulan ketiga yang diterima dari Thian Tee Jie Kui,
sampai sipendeta suci itu merasakan sekujur tubuhnya sakit bagaikan di hantam
bungkahan batu besar yang menimpanya.
Seluruh isi perutnya seperti
terbalik. Rasa sakit seperti dari perut naik ke-ujung ubun-ubun, dan jantungnya
seperti ingin berhenti berdenyut menerima pukulan yang dahsyat seperti itu.
Cepat cepat Wei Sin Siansu mengerahkan lwekangnya, untuk menguasai diri.
Matanya gelap untuk sejenak-dia berdiam diri. Sampai akhinya dia merangkapkan
kedua tangannya:
"Omitohud Omi-tohud !
Loceng sudah menerima tiga pukulan Jiewie, tentu surat-surat itu mau Jiewie
kembalikan pada kami, bukan?"
Thian Tee Jie Kui berdiri
tertegun, mereka kagum bukan main melihat ketangguhan sipendeta suci itu. Kalau
orang lain, mungkin tulang-tulang sekujur tubuhnya sudah hancur luluh oleh
pukulan terakhir Thian Tee Jie Kui.
Tung Yang sendiri kaget dan
kagum. Dia kaget melihat hebatnya pukulan Thian Tee Jie Kui, waktu kedua tangan
iblis-iblis itu menyambar mengeluarkan kesiuran angin yang keras dan kuat,
kagum karena si pendeta suci Siauw Lim masih berhasil menguasai dirinya, tidak
sampai rubuh, hanya terhuyung ke depan beberapa langkah.
"Baiklah," kata si
Jangkung sambil merogo sakunya mengeluarkan dua gulung surat diangsurkan kepada
Wie Sin Siansu. "Surat-surat kalian tidak kami butuhkan lagi !"
Wie Sin Siansu menyambuti
surat itu, Thian Tee Jie Kui melesat menjauh, mereka ingin pergi meninggalkan
tempat itu.
"Tunggu dulu!" Bun
An Taysu begitu nyaring sambil berlari mengejar Thian Tee Jie Kui. Muka kedua
iblis berobah, mereka memutar tubuh masing-masing mengawasi Bun An Taysu.
"Apa yang ingin Siauwceng tanyakan pada kalian !"
"Apakah pihak Siauw Lim
Sie merupakan manusia-manusia yang tak berharga bicaranya ? Kami sudah
menyerahkan surat-surat kalian. apakah masih ingin mencari-cari persoalan
dengan kami?" Tanya si Jenggot gusar.
"Siauwceng ingin
menngetahui Jiewie bekerja untuk pihak mana dan mengapa seperti sengaja ingin
mempersulit Siauw Lim Sie, agar timbul bentrokan antara pihak Siauceng dengan
Bu Tong Pay ?"
Hal ini tidak perlu kau
ketahui, yang terpenting surat-surat kalian sudah kami kembalikan"
menyahuti si jangkung ketus. Dia menarik tangan suaminya. "Ayo kita pergi
!"
Bun An Taysu tidak menahan
kepergian kedua iblis tersebut, dengan muka guram kembali ke sisi Wie Sin
Siansu.
Waktu itu tubuh Wie Sin Siansu
bergoyang-goyang seperti mau rubuh dan "Uwaah !" si pendeta suci
memuntahkan darah segar, mukanya pucat pias. la gagal untuk menyembuhkan luka
dalam tubuhnya dengan lwekangnya. Semula Wie Sin SianSu berusaha sekuat
tenaganya agar tampak tetap segar setelah menerima tiga pukulan Thian Tee Jie
Kui, sebab kedua iblis itu akan lebih berani kalau mengetahui Wie Sin Siansu
sudah terluka, justeru kepergian Thian Tee Jie Kui memang disebabkan mereka
gentar melihat Wie Sin Siansu tidak terluka menerima tiga pukulan yang dahsyat,
kalau sampai pihak Siauw Lim Sie merobah pikirannya, bukankah Thian Tee Jie Kui
akan memperoleh kesulitan ? Karenanya. mereka cepat-cepat menyingkirkan diri.
Wie Sin Siansu menghela napas
dalam-dalam. "Setelah Loceng beristirahat sebulan tentu kesehatan Loceng
akan pulih." katanya sabar.
Tung Yang cepat-cepat
mengeluarkan dua butir Yo-wan, diberikan kepada si pendeta suci Siauw Lim.
"Telanlah obat ini Siansu Walaupun obat ini bukan obat dewa yang bisa
menyembuhkan luka dalam yang berat, tapi sedikitnya bisa mengurangi rasa sakit
dan juga memperpanjang umur!"
Wie Sin Siansu tersenyum, ia
mengucapkan kebesaran Sang Buddha beberapa kali, menerima pemberian Tung Yang.
"Terima kasih Tung Siecu. Urusan telah selesai, dengan dikembalikanya
surat-surat ini pada kami, salah paham dari pihak Bu Tong Pay bisa dihindarkan.
Bun An, biarlah surat ini kau bersama Loceng yang mengantarkan ke Bu Tong San,
agar tidak timbul kericuhan lagi dalam perjalanan!"
Bun An Taysu mengiyakan, lalu
menoleh kepada Kam Siang Cie berempat. "Pergilah kalian pulang,
beritahukan pada Hongihio aku berdua Sucouw akan pergi ke Bu Tong San
menyampaikan surat-surat penting ini ! Laporkan juga pada Hongthio, urusan
telah beres, surat-surat penting sudah berhasil kami minta dari Thian Tee Jie
Kui."
Kam Siang Cie berempat memberi
hormat, mereka segera meninggalkan tempat itu, terlebih dulu juga memberi
hormat pada Tung Yang.
Tung Yang melihat Wie Sin
Siansu dalam keadaan luka yang tidak ringan, karenanya cepat ia bilang pada Bun
An Taysu : "Taysu, lebih baik beristirahat dulu, agar gurumu bisa pulih
kesegarannya !"
Wie Sin Siansu membuka Yo-wan
yang diberikan Tung Yang, ia bilang : "Benar Bun An, kita ikut Tung Hiapsu
(pendekar Tung) untuk menemui putera Giok Goanswee Bun An Taysu mengangguk...
"Baiklah Tung Hiapsu kami
memang ingin bertemu dengan putera Giok Goanswee. Menyesal kami tidak dapat
menolong Giok Goanswee sekeluarga dari malapetaka itu."
Mereka kembali ke rumah di
mana Tung Im berdua Giok Han tadi dtinggal. Tapi, waktu sampai di depan rumah
itu, Tung Yang sudah mengerutkan alisnya. la melihat sesuatu yang tidak beres
terjadi di rumah itu.
Daun pintu terbuka, di dekat
pintu terdapat sebatang pedang menggeletak tanpa sarungnya. Pasti sudah terjadi
sesuatu yang tidak diinginkan. Segera Tung Yang menahan Bun An Tay su dan Wie
Sin Siansu.
"Tampak terjadi sesuatu
yang tidak beres, Siansu," menjelaskan Tung Yang pada Wie Sin Sian-su.
Segera ia melompat kedekat pintu. Dari dalam berkelebat sinar putih dari
berbagai jurusan kearah Tung Yang, itulah beberapa batang pedang, yang menyambar
padanya-Bahkan pedang-pedang itu menyambar dengan kecepatan luar biasa. Untung
Tung Yang sudah berwaspada sejak tadi, begitu melihat menyambarnya
pedang-pedang tersebut, ia segera melompat ke belakang, menyentil salah satu
pedang yang menyambar kearah mukanya.
Menyusul dengan itu melompat
beberapa sosok tubuh dari dalam rumah, dari balik semak belukarpun sudah lompat
keluar belasan sosok tubuh lainnya. Dalam waktu sekejap mata hampir tigapuluh
orang Tosu (pendeta yang melihara rambut, penganut agama Toisme) mengurung Tung
Yang bertiga Wie Sin Siansu dan Bun An Taysu ditengah-tengah lingkaran.
Muka semua Tosu bengis dan
galak, mereka memandang dengan mata tajam mengancam. Pedang merekapun siap
tercekal di tangan untuk menerjang maju. Diantara mereka ada Tosu berusia empat
puluh tahun, yang maju kedepan merangkapkan kedua tangannya tanpa melepaskan
pedangnya pada Wie Sin Siinsu.
"Wie Sin Sian-su, kami
murid-murid Bu Tong Pay menghormati Siansu, asal Siansu mau berterus-terang,
murid-murid Siauw Lim mana yang sudah menurunkan tangan jahat pada murid murid
Bu Tong Pay selama ini ?!" Suaranya lantang sekali. "Pinto yakin
tentu Siansu akan bicara jujur..!"
Muka Bm An Taysu berobah
hebat, dia gusar dan mendongkol.
"Kalian selalu mudah
begitu saja main tuduh, main fitnah ! Kami dari Siauw Lim tidak pernah
melakukan sesuatu yang melanggar hukum kemanusiaan, tetapi kalian selalu
memojokkan kami dengan tuduhan yang tidak-tidak ! Lalu, apa maunya kalian
sekarang main kurung dan kepung seperti ini?"
Tosu setengah baya itu
mengawasi Bun An Taysu dengan mata tajam, tapi ia tidak meladeni. Segera ia
bilang lagi pada Wie Sin Siansu. "Maukah Siansu bicara yang sebenarnya
?"
Tung Yang sudah tidak sabar,
la kuatirkan isterinya dan Giok Han.
"Kerbau-kerbau
busuk," memaki Tung Yang "Kau apakan isteriku dan Hanjie?!"
Sambil berseru begitu tubuh Tung Yang melesat kearah pintu, maksudnya mau
menerobos masuk. Tapi tiga orang Tosu yang berjaga ditempat itu segera
menyambuti dengan tikaman pedang mereka.
Habis kesabaran Tung Yang,
sambil menghindarkan pedang disebelah kanan, kedua tangannya serentak maju,
dengan gerakan sangat cepat sekali dia berhasil mencengkeram pergelangan tangan
kedua Tosu itu, membetotnya, sampai tubuh kedua Tosu itu terjerumuk kedepan
mencium tanah.
Tung Yang sendiri menerobos
masuk kedalam rumah. Hanya saja ketika melewati pintu, ia disambuti oleh
tikaman dua batang pedang. Tanpa buang waktu Tung Yang melayani dua orang Tosu
yang menyerang setengah membokong, mulutnyapun sudah berteriak nyaring:
"Kie-moay, bagaimana keadaanmu dan Hanjie ?"
"Tua bangka sialan,
mengapa pulang demikian terlambat ?" teriak Tuni Im dari dari dalam kamar.
"Kerbau-kerbau busuk Bu Tong itu mempergunakan asap bius merubuhkan aku!
Mereka menghina aku menotok jalan darah dan mengikatku ! Juga Hanjie diikat
mereka! Sungguh kurang ajar sekali! Kau harus membalaskan sakit hatiku, tua
bangka !"
"Oooo, begitu kurang ajar
kelakuan kerbau-kerbau ini?" teriak Tung Yang. "Baik aku akan
melampiaskan sakit hatimu, Kie-moay !" Tahu-tahu tubuh Tung Yang
berkelebat sangat cepat, sehingga kedua Tosu yang akan menyerang lagi dengan
pedang masing-masing, kaget kehilangan lawannya. Sebelum mereka tahu apa-apa,
tengkuk masing-masing telah kena dicekuk, kemudian dilemparkan keatas. tubuh
mereka menabrak langit-langit. Kedua Tosu itu menjerit kesakitan, apa lagi
wakiu tubuh mereka jatuh ambruk dilantai, sakitnya bukan main.
Mereka coba menggunakan
Ginkang buat menolong diri, tapi tubuh mereka seperti kaku, seakan jalan
darahnya tertotok, Tung Yang mendekati mereka, berjongkok disamping kedua Tosu
itu tangannya menampar berulang kali, muka kedua Tosu itu seketika merah
bengkak.
"Kerbau dungu seperti
kalian yang berani main gila menghina isteriku, ya?"! teriak Tung Yang
sengit, tangannya terayun lagi menampar pulang pergi muka kedua Tosu itu.
"Kami... kami.. hanya
menjalankan perintah!" Seru kedua Tosu itu, mata mereka kunang-kunang dan
gelap. Sebetulnya kedua Tosu itu sebagai murid Bu Tong Pay tidak
gampang-gampang akan menyerah, mereka bukan manusia-manusia pengecut. Untuk
menghadapi kematian mereka tidak gentar. Tapi tamparan Tung Yang keras sekali,
telapak tangan itu seperti lempengan besi yang menghajari muka mereka pulang
pergi, sakitnya luar biasa, kepala merekapun pusing bukan main. Dalam
mendongkol dan gusarnya, Tung Yang mengumbar tamparan pada kedua Tosu itu.
Setelah puas menampari kedua
Tosu itu, Tung Yang berdiri sambil mengayunkan kaki kanannya menendang beberapa
kali. Barulah dia pergi kedalam kamar, meninggalkan kedua Tosu itu yang sudah
jatuh pingsan !
Tung Im dan Hanjie dalam
keadaan terikat. Cepat-cepat Tung Yang membebaskan isterinya dari ikat pinggang
pada tangan dan kakinya, kemudian Giok Han. Bocah itu masih pingsan belum
sadarkan diri, Tung Yang memeriksa denyut nadinya dengan cara Bong Me dan ia
mengetahui kesehatan Giok Han tidak terganggu.
"Tua bangka, kau pergi
kemana saja begitu lama ? Bagus ya, aku sampai dihina hidung kerbau Bu Tong
itu, sedangkan... sedangkan..." Gusar Tung Im, ia melampiaskan
kemendongkolannya pada Tung Yang. Tapi, cepat sekali ia melesat keluar kamar
tanpa meneruskan kata-katanya, melihat dua Tosu yang menggeletak pingsan, dia
mengayunkan kaki kanannya menendang pergi dengan sengit. Kemudian berlari
keluar untuk menghajar Tosu-tosu lainnya. Tapi melihat Tosu-tosu itu tengah
mengepung dua orang pendeta berjubah kuning. Tung Im jadi ragu-ragu, dia
kembali ke kamar.
Tung Yang nyengir.
"Maafkan Kie-moay, aku
mana menyangka hidung-hidung kerbau itu bisa menghinamu ? Biar aku akan
melampaiskan penasaranmu, jagalah Hanjie, aku akan pergi menghajar
hidung-hidung kerbau itu!"
Tung Im hanya mendengus, Tung
Yang cepat cepat keluar. Dilihatnya Wie Sin Siansu tengah bicara dengan sabar.
"Bun An, mundurlah, Biarlah Loceng yang bicara."
Bun An Tay su yang masih
berdarah panas, tidak berani membantah perintah Suhunya, segera mundur beberapa
langkah. Wie Sin Siansu dengan sabar meneruskan kata-katanya. "Dan
Totiang, tahukah Totiang, betapa dalam persoalan ini ada pihak ketiga yang
ingin mengadu dombakan kita, Siau Lim dengan Bu tong? Marilah kita bicara
baik-baik ! Simpanlah pedangmu, Totiang!"
"Hemmm !" Tosu
setengah baya itu cuma mendengus, dia tidak menuruti permintaan Wie Sin Siansu
menyimpan pedangnya, bahkan dicekalnya kuat-kuat, kuatir kalau Wie Sin Siansu
menyerang tiba-tiba padanya. Dengan sorot mata tajam malah ia mengawasi Wie Sin
Siansu.
"Siansu mau bicara,
bicaralah ! Pinto minta Siansu mau bicara yang jujur."
Wie Sin Siansu tertawa sabar.
"Totiang," katanya. "Apakah Totiang tidak percaya pada Loceng,
mungkin Totiang beranggapan Loceng akan bicara ngawur berdusta ? Omi-tohud !
Omitohud !"
"Tetapi kenyataan memang
memperlihatkan pihak Siauw Lim Pay yang harus mempertanggung jawabkan
pembunuhan terhadap beberapa orang saudara seperguruan Pinto!" Ketus
sekali Tosu itu menjawab.
"Ya, ya, kalau memang
terbukti Siauw Lim Pay yang bersalah dalam persoalan ini, tentu kami akan
bertanggung jiwab. Loceng pun akan menyerahkan murid murid Siauw Lim Pay yang
melakukan kejahatan dan perbuatan kejam itu pada kalian, agar kalian yang
mcngadilinya ! Tetapi sekarang Loceng mohon agar Totiang mau mendengar dulu
kata-kata Loceng. Baru-baru ini pihak Loceng berhasil memperoleh bukti-bukti
yang bisa membersihkan nama baik kami dan membuktikan bahwa
pembunuhan-pembunuban terhadap murid Bu Tong Pay bukanlah dilakukan oleh pihak
Loceng !"
"Bukti-bukti ?"
tanya Tosu itu. "Apakah bukti-bukti itu bukan buatan Siauw Lim Sie
sendiri, untuk cuci tangan dari dosa-dosanya?"
Wie Sin Siansu menghela napas
dalam-dalam. "Omitohud ! Omitohud ! Kami tidak akan melakukan perbuatan
hina seperti itu. percayalah pada Loceng, tidak ada baiknya kita saling
bercuriga."
"Bukti-bukti apa yang
bisa Siansu berikan pada kami ?" Tanya Tosu itu setelah ragu-ragu sejenak.
"Ini dua pucuk surat.
Bukti-bukti ini yang akan bicara, bahwa pihak Loceng tidak tersangkut dalam
pembunuhan tersebut!" Wie Sin Siansu mengeluarkan dua pucuk surat yang
tadi dikembalikan Thian Tee Jie Kui. "Memang sebelumnya pihak Loceng sudah
mengirim dua orang murid Siauw Lim pergi mengantar surat-surat ini, hanya
terjadi rintangan dalam perjalanan. Beruntung dua pucuk surat ini akhirnya bisa
diminta kembali. Bacalah oleh Totiang."
Tosu itu bimbang, tapi ia
memberi isyarat pada murid Bu Tong yang ada di sampingnya untuk mengambil
surat-surat itu dari tangan Wie Sin Siansu. Tosu itu, dengan pedang tercekal di
tangan, masih berusia muda tidak lebih dari duapuluh lima tahun. Ia tetap
mencekal pedangnya waktu mengambil kedua pucuk surat itu dari tangan Wie Sin
Siansu, kemudian diserahkan pada Tosu setengah baya.
"Bacalah oleh kau, Lu
Pin," perintah Tosu setengah baya itu.
Lu Pin Tojin mengiyakan,
meletakkan pedangnya di tanah, membuka gulungan surat yang satu. Tapi gulungan
itu agak lengket dan sulit dibuka. Akhirnya dengan agak sulit ia berhasil membuka
gulungan surat tersebut, diusap-usap oleh tangannya untuk dibeber. Lu Pin Tojin
mulai membaca: "Ciangbunjin Bu Tong Pay Yang Mulia, bersama dengan surat
ini kami atas nama Siauw Lim Sie... Oooo... Oooo...!" Dan di susul dengan
teriakan Lu Pin Tojin, tubuhnya segera rubuh berguling-guling di tanah jari
tangannya dikibas-kibaskan seperti menderita kesakitan. Keadaan Lu Pin Tojin
seperti seekor kerbau yang disembelih.
Semua orang kaget Wie Sin
Siansu sendiri sampai berobah mukanya. Tosu setengah baya itu memandang dengan
mata terbeliak murid-murid Bu Tong Pay lainnya mengawasi Lu Pin Tojin dengan
muiut ternganga. Tapi itu hanya beberapa detik, Tosu setengah baya segera
tersadar apa yang harus dilakukannya, dia melompat ke dekat Lu Pin Tojin buat
memeriksa keadaannya.
Waktu itu Lu Pin Tojin masih
kelejatan di tanah, mukanya sudah hitam gelap, suaranyapun semakin perlahan,
sampai akhirnya tubuhnya berkelejatan lemah, diam tidak bergerak lagi.
Muka Tosu setengah baya itu
berobah geram, memancarkan kemarahan yang meluap-luap. pedangnya dikibaskan
mengaung. "Hwesnio hina, di depan kami kau masih berani melakukan
pembunuhan dengan cara hina seperti ini!" Berseru Tosu setengah baya
tersebut sambil mengawasi Wie Sin Siansu dan Bun An Taysu dengan mata yang
seperti mau melompat keluar. "Sekarang apa yang ingin kalian berdua
katakan lagi untuk bela diri."
Semua murid Bu Tong Pay sudah
mencekal pedang mereka erat-erat. Tampaknya mereka gusar sekali dan siap
menerjang maju. Bun An Taysu juga jadi kaget tidak terkira, tapi segera ia
sadar bahwa Lu Pin To jin keracunan.
Rupanya gulungan surat itu
mengandung racun yang cara kerjanya sangat dahsyat. Diam-diam Bu An Taysu
menggigil ngeri. Coba kalau ia yang membuka surat itu, entah bagaimana
nasibnya. Tapi semuanya sudah terjadi begitu, tidak ada pilihan lain bagi Bun
An Taysu selain bersiap-siap untuk menerima kemarahan Tosu-Tosu Bu Tong Pay
itu.
Muka Wie Sin Siansu muram,
tubuhnya menggigil sedikit menahan goncangan hatinya, la tidak menyangka bahwa
Thian Tee Jie Kui bisa melakukan perbuatan rendah seperti itu, mengembalikan
dua surat-surat itu dengan sebelumnya menaburkan racun yang daya kerjanya
sangat dahsyat.
"Tenanglah Totiang,"
kata Wie Sin Siansu "Dengar dulu penjelasan Loceng."
"Kata-kata apa lagi yang
ingin kau ucapkan untuk bela diri ? Di depan mata kami kau masih berani
membunuh murid Bu Tong Pay ! Baiklah, Pinto Khoe Cie Tojin ingin minta
pengajaran dari Siansu !"
Waktu itu mata Khoe Cie Tojin
merah dibakar gusar yang meluap-luap, ia pun memberi isyarat kepada
kawan-kawannya untuk bersiap-siap menyerbu kedua Hweshio Siauw Lim tersebut.
Wie Sin Siansu menghela napas
dalam-dalam, tidak disangkanya urusan jadi demikian runyam. Semula ia
menyangka, begitu membaca surat-surat tersebut, salah paham pihjk Bu Tong Pay
bisa dihilangkan dan terselesaikan.
Tetapi siapa sangka, justru
muncul lagi urusan yang menambah ruwet persoalan ini. "Baiklah Totiang,
kini Loceng akan bicara terus terang. Bukankah Loceng tadi telah memberitahukan
bahwa pihak Siauw Lim sudah mengirim dua orang muridnya untuk mengantarkan
surat-surat ini pada Ciangbunjin kalian? Nah, justeru dalam perjalanan
surat-surat itu dirampas oleh Thian Tee Jie Kui ! Loceng turun gunung justeru
buat mengurus surat-surat itu, minta pada Thian Tee Jie Kui mengembalikan
surat-surat itu.
Memang akhirnya Thian Tee Jie
Kui mau mengembalikan surat-surat tersebut, Lo ceng dan murid Loceng ini belum
lagi membuka dan melihatnya. Kami semula percaya Thian Tee Jie Kui akan
bersikap baik, karena mereka kalah bertaruh ! Siapa tahu. Thian Tee Jie Kui
sudah menaburkan racun jahat pada surat-surat tersebut ! Omitohud ! Omitohud
!"
Muka Khoe Cie Tajin merah dan
pucat bergantian karena terlalu marah, tubuhnya menggigil, matanya merah dan
mengalirkan air mata. Seorang Sutenya sudah mati karena keracunan, justeru
terjadinya di depan pucuk hidungnya !
"Apapun alasan yang
dimajukan, kami sudah tidak bisa mempercayai lagi pihak Siauw Lim Pay! Kami
minta pertanggungan jawab ! Satu jiwa harus dibayar satu jiwa! Silahkan kalian
mengeluarkan senjata, kami akan mengadu jiwa demi keadilan !" Teriak Khoe
Cie Tojin.
Urusan jadi demikian runyam.
Tung Yang segera melompat masuk kedalam gelanggang. "Dengarkan !"
teriaknya. "Aku yang menyaksikan sendiri Wie Sin Siansu meminta pulang
surat-surat itu dari tangan Thian Tee Jie Kui, dan sejak menerima kembali
surat-surat itu tadi belum lama, Wie Sin Siansu belum lagi membuka surat itu
atau membacanya ! Aku Tung Yang bersedia jadi saksi, tidak mungkin aku berdusta
!"
Waktu berkata begitu Tung Yang
bicara keras sekali, sebab diapun murka Wie Sin Siansu didesak demikian rupa
oleh orang-orang Bu Tong Pay.
Setengah kalap Khoe Cie Tojin
mengibaskan pedangnya sampai mengaung. "Tung Yang, di dalam Kangouw namamu
pun bukannya terlalu bersih! Kami tidak bisa mempercayai kesaksianmu ! Kami
menyaksikan sendiri, betapa beraninya orang Siauw Lim membunuh saudara
seperguruan kami didepan mata kami !"
"Apa ? Kau tidak percaya
padaku ? Jadi kau anggap aku berdusta dan memberikan kesaksian palsu?"
teriak Tung Yang gusar campur mendongkol. "Apakah kalian kira Tosu-tosu
hidung kerbau dari Bu Tong pun terhitung manusia-manusia bersih dan baik ?
Cisss, kulihat justeru murid-murid Bu Tong merupakan gentong-gentong nasi tidak
punya guna ! Manusia tidak tahu malu!"
Khoe Cie Tojin dan saudara
seperguruannya semakin kalap. Bahkan mereka siap-siap menerjang, tapi Wie Sin
Siansu lompat ke samping Tung Yang. "Tung Hiapsu. sudahlah Berikanlah
Loceng kesempatan untuk bicara!"
"Murid-murid Bu Tong
mamrsia-manusia bejat tidak tahu malu!" Masih Tung Yang memaki, dia
jengkel mendengar Khoe Cie Tojin menyebut-nyebut dia dalam kalangan Kangouw
namanya tidak terlalu bersih. Hal itu sangat menyinggung perasaannya.
Bu An Taysu sendiri waktu itu
sudah gusar melihat kelakuan murid-murid Bu Tong yang mengancam akan menyerang,
ia bersiap-siap untuk menerima setiap serangan. Tapi bukan main kagetnya Bin An
Taysu melihat Wie Sin Siansu memuntahkan darah segar.
Suhu...?!" Bun An Taysu
berseru sambil melompat kedekat gurunya. "bagaimana keadaan Suhu? "
Wie Sin Siansu menghela napas,
menggelengkan kepalanya perlahan mendorong sedikit lengan Bin An Taysu. Lalu
memandang pada Khoe Cie Tojin. "Totiang, benar-benarkah Totiang tidak mau
mendengar dulu keterangan Loceng ? Tidakkah Totiang mau memberikan kesempatan
beberapa saat saja untuk penjelasan yang benar ?"
Tung Yang memang mendongkol
terhadap pendeta-pendeta Bu Tong Pay, ia menuding dengan tangan kanan.
"Kalian hidung kerbau dungu, lihatlah ! Karena kedunguan kalian membuat
Wie Sin Siansu memuntahkan darah segar seperti itu ! Kalau memang Siansu itu
mau mencelakai kalian apakah kalian masih bisa hidup? Berapa tingginya
kepandaian kalian!"
Benar kata-kata Tung Yang
merupakan makian, tapi kata-kata itu merupakan kenyataan. Khoe Cie Tojin dan
kawan-kawannya pun tahu, kalau Wie Sin Siansu bersama Bun An Taysu hendak
mencelakai mereka, tentu hal itu tidaklah terlalu sukar. Walaupun belum tentu
mereka semuanya bisa dibinasakan oleh Wie Sin Siansu dan Bun An Taysu apalagi
dibantu oleh Tung Yang, tapi mereka pasti akan rusak terluka parah.
Sedangkan buat menangkap Wie
Sin Siansu berdua Bun An Taysu pasti tidak mungkin bisa dilaksanakan mereka.
Setelah berpikir sejenak Khoe Cie Tojin bilang ketus: "Baiklah, kami tidak
menyangka sedikutpun, bahwa yang melakukan pembunuhan-pembunuhan kejam terhadap
saudara-saudara seperguruan Pinto bukan hanya murid-murid Slauw Lim Sie tingkat
bawah ! Tokoh Siauw Lim Sie seperti Wie Sin Siansu Locianpwe pun ikut serta
terlibat didalamnya ! Pantas saudara-saudara seperguruan Pinto tidak berhasil
membela diri dan terbinasa mengenaskan! Kamipun memang tidak memiliki
kehormatan buat berurusan dengan Wie Sin Siansu Locianpwe, kami akan kembali ke
gunung untuk melaporkan semua ini pada tetua-tetua kami!"
Wie Sin Siansu menghela napas
mukanya semakin murung. Kalau Khoe Cie Tojin dan murid-murid Bu Tong Pay ini
pulang ke gunung memberikan laporan mereka, bukankah urusan jadi semakin ruwet
dan salah paham antara Bu Tong Pay dengan Siauw Lim Sie akan semakin berat dan
hebat?
"Dengarlah dulu.
Totiang," kala Wie Sin Siansu "Loceng cuma mohon kalian mau mendengar
dulu keterangan Loceng. Nanti barulah kita lihat, siapa yang bersalah dalam hal
ini. Loceng ingin memperlihatkan, betapapun dugaan Bu Tong Pay selama ini
keliru, karena Siauw Lim Sie memang tidak tersangkut dalam kasus pembunuhan
yang terjadi selama ini terhadap murid-murid Bu Tong ! Semua itu hanya fitnah
belaka !"
Muka Khoe Cie Tojin berobah
pucat dan merah bergantian, air matanya masih mengucur deras, ia menangis
sedih. "Baiklah. kata-kata apa lagi yang ingin Siansu kemuka kan, untuk
pelengkap laporan kami pada Ciangbunjin setelah kami pulang ke gunung?"
"Marilah kita melihat
dulu surat-surat itu!" Kaia Wie Sin Siansu sambil menunjuk kedua gulungan
surat yang menggeletak di tanah. "Setelah membaca isi surat itu, tentu
Totiang dan murid-murid Bu Tong lainnya akan menyadari bahwa selama ini kita
hanya diadu dombakan oleh pihak ketiga, yang menginginkan kita bentrok dengan
yang lainnya !"
Khoe Cie Tojin mengawasi
ragu-ragu si pendeta suci Siauw Lim Sie, akhirnya ia mengangguk. "Mungkin
juga nanti terbukti bahwa musuh yang mencelakai orang-orang kami bukan
pendeta-peadeta suci Siauw Lim Sie, melainkan orang bulan ! "Jelas
kata-kata terakhir itu merupakan ejekan yang ditujukan kepada Wie sin Siansu
dan Siauw Lim pay.
Mata Bun An Taysu mendelik, ia
mendongkol bukan main. Tapi Wie Sin Siansu membawa sikap tetap saleh, ia
merangkapkan kedua tangannya memberi hormat. "Terima kasih, Totiang
rupanya masih mau memberi muka terang kepada Loceng."
Kemudian Wie Sin Siansu
memberi isyarat kepada Bun An Taysu agar membacakan isi surat-surat yang
menggeletak di tanah. Bun An melaksanakan perintah, dengan ujung pedangnya dia
menggeser surat yang satu dan mulai membaca dengan saara yang nyaring:
"Ciangbunjin Bu Tong pay
Yang Mulia, bersama dengan surat ini kami atas nama Siauw Lim Sie ingin
menyampaikan berita yang rasanya tidak begitu menyenangkan. Sejauh ini Bu Tong
Pay sudah mengembangkan sayap dan terlalu mengumbar murid-muridnya, seakan
dalam Kangouw hanya ada Bu Tong Pay, padahal Thio Sam Hong, cakal-bakal Bu Tong
Pay tokh memperoleh kepandaiannya dari Siauw Lim Pay kami. ltulah sebabnya,
sebagai ganjaran yang setimpal, kami menghukum beberapa murid Bu Tong
Pay..." Membaca sampai di situ, suara Bun An Taysu semakin perlahan
tubuhnya menggigil. la melirik pada Wie Sin Siansu dengan muka berobah pucat.
Wie Sin Siansu pun berdiri
dengan tubuh gemetar. la kaget tidak terkira. Tidak disangkanya bunyi surat
tersebut berobah dari yang sesungguhnya. Tung Yang pun kaget tidak terkira, dia
tidak menyangka sedikitpun akan begitu macam bunyinya surat yang di anggap bisa
menolong meredahkan kesalahan-pahaman antara Sauw Lim Sie dengan pihak Bu Tong
Pay.
Muka Khoe Cie Tojin berobah
hebat, sebentar merah sebentar pucat kehijau-hijauan. la bersama murid-murid Bu
Tong Pay lainnya merasa terhina dan sakit hati, karena menganggap
pendeta-pendeta Siauw Lim Sie itu memang sengaja hendak menghina dan
mempermainkan mereka. Tangan Koe Cie Tojin menggenggam gagang pedang kuat-kuat.
Setelah rasa kagetnya
berkurang, dalam sikap ragu-ragu, Bun An Taysu melanjutkan lagi membaca surat
itu : "Jika keputusan dan kebijaksanaan kami ini kurang mengembira-kan
hati Tojin-Tojin terhormat dari Bu Tong Pay. kami persilahkan untuk berkunjung
saja berhitungan di Siauw Lim Sie. Setiap saat kami menanti. Sekali lagi kami
ingin menegaskan, selanjutnya Bu Tong Pay harus tunduk dan patuh pada Siauw Lim
Sie. Tertanda : Hongthio Siauw Lim Pay, Tang Sin Siansu."
Hebat bunyinya surat itu.
Bukannya bisa meredahkan salah paham yang terjadi, malah bisa memperruncing
persoalan. Bun An Taysu membaca surat yang satunya lagi, dengan suara agak
tergetar:
"Ciangbunjin Bu Tong Pay
yang Mulia, jika memang murid-murid Bu Tong Pay sulit diurus dan diajar, silahkan
kirim mereka ke Siauw Lim Sie, kami yang akan mendidiknya, mengajarkan pada
mereka bagaimana menjadi Tosu yang baik dan saleh. Salam dari murid-murid Siauw
Lim Sie,"
Bunyi surat yang kedua inipun
sama hebatnya seperti yang pertama. Muka Bun An Taysu sampai berobah pucat,
keringat dingin menitik deras di keningnya "Suhu . . . ?" Suaranya
sember ketika ia menoleh kepada Wie Sin Siansu, seakan ingin minta pendapat
gjrunya. Wie Sin Siansu berdiri dengan mata terpejam dan muka pucat puas.
Tubuh pendeta Suci yang tua
itu gemetaran menahan rasa kaget, marah dan campur sesal ! Tidak disangkanya
bahwa surat-surat itu bukanlah surat-surat asli yang diinginkan. Rupanya Thian
Tee Jie Kui sudah menukarnya surat-surat asli dengan surat-surat yang
dipalsukan tersebut! inilah hebat, tampaknya salah paham antara Bu Tong Pay
dengan Siauw Lim Pay tidak bisa diredakan lagi.
Khoe Cie Tojin tidak bisa
menahan diri lagi, tubuhnya tiba-tiba melompat kepada W'e Sin Siansu, pedangnya
menikam dada,pendeta suci itu diiringi teriakan nekad, air matanya juga
bercucuran. "Pinto akan adu jiwa..."
Sebetulnya sebagai pendeta
suci Siauw Lim Sie yang me nitiki kepandaian sudah sukar diukur, Wie Sin Siansu
bisa saja meng-hindarkan diri diri tikaman tersebut. Tapi ia tidak melakukannya.
Bibirnya yang gemetar cuma menyebut: "Omitohud...! Siancay ! Siancay
!" Matanya dipejamkan dan ia membiarkan mata pedang yang akan menancap di
dadanya!
Tidak terkira kagetnya Bun An
Taysu, tapi ia tidak mungkin keburu menolongi Wie Sin Siansu. Bun An cuma
berseru: "Suhu... hati-hati...!"
Tung Yang sejak tadi berdiri
menjublek karena heran dan kaget mendengar Bun An Taysu membaca surat-surat itu
dengan isinya yang di luar dugaan, juga tidak kurang kagetnya melihat jiwa
pendeta suci Siau Lim Sie terancam.
Tanpa pikir panjang tubuhnya
melompat dan ia menangkis pedang Khoe Cie Tojin dengan ranting pohon yang sejak
tadi dicekalnya. Telapak tangan kirinya juga memukul dada Khoe Cie lojin.
Murid Bu Tong P^y yang seorang
ini sedang nekad dan kalap, tapi tidak urung pukulan telapak tangan Tung Yang
menyebabkan ia terpental ke belakang dengan muka yang pucat pias.
Murid-murid Bu Tong Pay
lainnya ingin menyerbu, tetapi Khoe Cie Tojin memberi isyarat. "Baiklah,
kami murid-murid Bu Tong Pay memang tidak punya guna. Kami akan memberitahukan
hal itu kepada tetua-tetua kami, agar mereka minta pengajaran para Siansu,
untuk jadi Tosu-tosu yang baik dan saleh !"
Setelah berkata dengan
kemurkaan yang meledak, ia memberi isyarat kepada saudara-saudara
seperguruannya, mereka angkat kaki meninggalkan tempat itu.
Wie Sin Siansu membuka
matanya, hendak mencegah kepergian Khoe Cie Tojin dan saudara-saudara
seperguruannya. Tetapi hal itu tidak dilakukannya, akhirnya ia menghela napas
dengan muka yang murung. Urusan telah berkembang semakin buruk.
Bun An Taysu melompat ke dekat
Wie Sin Siansu. "Suhu," katanya. "Mengapa surat-surat
itu..."
"Omitohud!" Thian
Tee Jie Kui berhasil menukar surat-surat itu dengan yang palsu. Tampakuya
persoalan semakin rumit, karena pihak Bu Tong pai semakin keras menuduh yang
tidak-tidak kepada pihak kita." Berulangkali pendeta suci itu menghela
napas wajahnya muram.
"Kita tidak perlu kuatir,
Suhu !" Kata Bun An Taysu mendongkol. "Kalau memang pihak Bu Tong
tidak mau memberi sedikit muka terang kepada kita dan tetap bersikeras menuduh
yang tidak-tidak kepada kita, hal itu rasanya tidak boleh dibiarkan saja. Kita
harus menghadapinya, agar mereka tidak kecewa !"
"Siancay ! Siancay ! Bun
An, jangan berpendirian seperti itu. Kita memang kena fitnah dan kewajiban kita
untuk membersihkan nama baik kita. kalaupun bagaimana tetua-tetua Bu Tong Pay
harus diberikan pengertian, bahwa pihak kita berdua tengah diadu dombakan oleh
pihak lainnya. Namun urusan sudah terjadi demikian jauh, jadi semakin
rumit."
Tung Yang menghampiri Wie Sin
Siansu. "Siansu tidak boleh kecil hati, kalau Bu Tong Pay tidak mau
memberi muka terang pada pihak Siansu, apa salahnya dihadapi dengan
sebaik-baiknya ? Bukankah mereka para hidung kerbau yang dungu tidak bisa
diberi pengertian ?"
Wie Sin Siansu tersenyum
pahit. "Tung Hiapsu, terima kasih atas perhatian Hiapsu. Urusan ini adalah
persoalan dalam pintu perguruan kami, dan akan kami selesaikan sebaik mungkin.
Oya, bisakah Loceng melihat putera Giok Goanswee ?"
Tung Yang mengajak Wie Sin
Siansu dan Bun An Taysu ke dalam rumah, memperkenalkan kepada isterinya, Tung
Im. Waktu itu Giok Han masih rebah pingsan belum sadarkan diri, Melihat keadaan
Giok Han, alis Wie Sin Siansu berobah tambah muram, sepasang alisnya yang sudah
putih berkerut.
"Omitohud ! Omitohud !
Apa yang telah terjadi pada diri Siauw Kongcu ini?" tanya Wie Sin Siansu
dengan suara yang ragu-ragu.
"Ia dilukai secara kurang
ajar oleh Bwee Sim Mo Lie, racun mengendap didalam tulang pundaknya."
Menjelaskan Tung Yang.
Wie in Siansu menghela napas
dalam-dalam. "Sayang, sayang..." gumamnya dan tidak bilang apa-apa
lagi.
Tung Yang dan Tung Im jadi
heran. Bahkan Tung Yang tidak bisa menahan diri, segera mendekati Wie Sin
Siansu, merangkapkan kedua tangannya memberi hormat. "Apakah Siansu ada
pengajaran tentang anak ini?" tanyanya.
Muka Wie Sin Siansu muram
benar, dia menghela napas dalam-dalam, baru sekarang dengan sikap yang sudah
berobah menjadi sabar kembali, dia menunjuk kepada Giok Han. "Kalau Giok
Kongcu tidak segera memperoleh pengobatan yang tepat, niscaya akan sia-sialah
jika tokh akhirnya ia tetap bisa hidup." setelah berkata begitu, sipendeta
berulangkali berucap : "Siancay ! Siancay !"
Tercekat hati Tung Yang. la
sebagai tabib yang memiliki ilmu pengobatan yang tinggi. Memang diketahuinya
bahwa Giok Han harus menerima pengobatan yang cukup lama, tapi dia tidak
melihat bahaya yang terlalu besar pada luka bocah itu. "Siansu, kami mohon
petunjuk Siansu..." kata Tung Yang, ia mengawasi pendeta tua itu.
"Tung Hiapsu, maafkan,
Loceng tahu bahwa Tung Hiapsu seorang ahli pengobatan, Tetapi, Giok Kongcu
memerlukan Im Giok (Batu Pualam Dingin) yang terdapat di Lo-im-tang, agar racun
didalam tubuhnya terhisap keluar seluruhnya Hal ini Loceng kemukakan bukan
sekali-kali meremehkan kepandaian Tung Hiapsu, tapi sekali saja melakukan
sedikit kekeliruan, bukankah berarti penyesalan seumur hidup? Omitohud !
Omitohud !"
Tung Yang semakin kaget.
Segera ia tersadar, betapa memang luka Giok Han memang hebat sekali. Pendeta
suci itu memiliki penglihatan yang sangat tajam. Memang apa yang diucapkan Wie
Sin Siansu tepat sekali saja Tung Yang keliru dalam pengobatan pada Giok Han,
maka bisa menyebabkan Giok Han bercacad seumur hidup.
Ini merupakan suatu persoalan
yang harus diputuskan dengan cepat. Tentang Im Giok, batu pualam yang dimiliki
Siauw Lim Sie, memang pernah didengarnya. Im Giok sebuah pembaringan terbuat
dari batu Giok yang usianya sudah ribuan tahun, dingin sekali. Jika seseorang
duduk berssmedhi diranjang batu Im Giok tersebut, bisa menambah cepat
kesempurnaan Lwekang. Jika rebah di ranjang Im Giok, seluruh tubuh akan bersih
dari racun-racun kotor, yang semuanya akan terhisap keluar dari tubuh.
"Siansu!" kata Tung
Yang sambil memberi hormat lagi kepada Wie Sin Siansu "Ada sedikit permintaanku,
Entah Siansu mau memenuhinya atau tidak.."
"Katakanlah Tung Hiapsu.
jika memang Loceng sanggup melakukannya, tentu akan memenuhi permintaan Tung
Hiapsu."
"Anak itu," kata
Tung Yang sambil menunjuk pada Giok Han yang rebah pingsan diranjang. "Ia
menderita luka karena keracunan hebat, oleh tangan jahat Bwee Sim Mo Lie, Lohu
memang mengerti sedikit ilmu pengobatan dan tahu tentang racun-racun. Jika
menghadapi racun-racun biasa saja, memang Lohu bisa menyembuhkan
sebaik-baiknya. Namun sekarang, anak itu menderita luka yang parah. Racun
sempat menerobos masuk kedalam tulangnya yang patah. Kasihan kalau anak itu
sampai cacad, terlebih lagi dia putra satu-satunya dari Giok Goan-swee
almarhum...
Wie Sin Siansu merangkapkan
kedua tangannya, dengan ssbar pendeta alim Siauw Lim Sie itu bilang: "Jadi
maksud Tung Hiapsu ingin meminta agar kami memperbolehkan anak itu
mempergunakan ranjang Im Giok, bukan ?"
Tung Yang mengangguk.
"Ya, di samping memperbolehkan anak itu mempergunakan ranjang Im Giok,
juga Lohu ingin meminta kemurahan haii Siansu untuk bantu menyembuhkan anak
itu, agar ia terhindar dari cacad. Memang semula Lohu bertekad hendak berusaha
menyembuhkannya, tapi sekarang Lohu berpikir lain. Lohu kuatir kalau kalau
nanti gagal dengan usahaku, sehingga berakibat buruk untuk anak itu. Kalau
memang Siansu tidak keberatan, sekali lagi Lohu mohon kemurahan hati Siansu
untuk menolong anak itu. Juga, jika sudah sembuh anak itu tidak memiliki
famili, jika ikut dengan kami hal itu tidak baik, cara hidup kami tidak
menentu. Alangkah baiknya jika anak itu diasuh oleh Siauw Lim Sie..."
"Siancay ! Siancay
!" Wie Sin Siansu tersenyum sabar. "Baiklah! Dengan memandang Giok
Goan-swee, agar arwahnya bisa tenteram karena keturunannya satu-satunya tidak
di telantarkan, maka Loceng akan berusaha untuk memenuhi permintaan Tung Hiapsu
!"
Girang Tung Yang. la bersama
Tung Im memberi hormat kepada pendeta tua yang alim itu, mengucapkan
terimakasih. Wie Sin Siansu memberi isyarat kepada Bun An Taysu agar
menggendong Giok Han, kemudian mereka berpisahan.
Sebelum berpisahan Tung Yang
masih sempat berjanji akan bantu menyelidiki tentang Thian Tee Jie Kui dan
siapa orang yang berada di belakangnya, yang ingin mengadu domba Siauw Lim Pay
dengan Bu Tong Pay.
Juga Tung Yang berjanji akan
berusaha bantu menyelidiki tentang dua surat penting yang hilang, yang sempat
dipalsukan oleh Thian Tee Jie Kui. Merekapun berpisahan, Wie Sin Siansu berlalu
membawa Giok Han, sedangkan Tung Yang berdua Tung Im memutuskan tidak kembali
ke tempat mereka, di puncak gunung Biesan.
Mereka sudah berjanji pada Wie
Sin Siansu untuk bantu pihak Siauw Lim Sie menyelidiki tentang surat-surat yang
lenyap, juga mereka ingat akan "undangan" Thio Eng Goat, iblis
beracun. Mereka harus memenuhi undangan itu, yaitu di bulan dua-belas pada
tanggal limabelas datang ke lembah Kui-hun (Arwah Setan).
Sebetulnya Tung Im maupun Tung
Yang ingin melewati hari-hari tua mereka dengan tenang di tempat pengasingan
dan tidak mencampuri urusan Kangouw. Namun kini tampaknya mereka sudah terseret
ikut dalam pergolakan dalam dunia persilatan, tampaknya sulit buat mereka
menarik diri lagi...
Wie Sin Siansu pendeta suci
Siauw Lim Sie, biasanya ia sangat tenang, walaupun menghadapi urusan yang
paling berat sekalipun. Tung Im dengan Tung Yang hanya melihat pendeta itu
menaruh perhatian untuk keselamatan Giok Han. tapi tidak terlihat perasaan lain
di muka pendeta suci itu.
Tetapi setelah berpisah dengan
Tung Im dan Tung Yang, Wie Sin Siansu lenyap ketenangannya, la sambil berlari
di sisi Bun An Taysu yang menggendong Giok selalu melirik memperhatikan wajah
Giok Han. "Anak ini harus diselamatkan ! Hai ! Hai ! Untung saja kita
bertemu pada waktu yang tetap. Terlambat beberapa hari lagi, entah bagaimana
masa depan anak ini. Kasihan keluarga Giok Goanswee telah dihancurkan oleh
Kaisar lalim, anak ini, yang merupakan satu-satunya keturunan Giok Goanswe,
tengah terancam jiwanya."
Sebetulnya Bun An sejak
pertama mereka melihat Giok Han, sudah mengetahui bahwa gurunya berkuatir.
Sudah puluhan tahun Bun An Taysu mendampingi gurunya, karenanya ia tahu gurunya
tengah tegang, sebap seperti biasanya kalau perasaannya tengah gelisah. Wie Sin
Siansu akan memandang sesuatu dengan mata bersinar tajam, justeru waktu melihat
Giok Han pertama kali, mata Wie Sin Siansu memang bersinar sangat tajam.
Sekarang mendengar perkataan
gurunya seperti itu. Bun An Taysu jadi tidak mengerti. "Suhu,"
katanya tanpa mengurangi larinya. "Anak ini memang terluka cukup berat,
tetapi rasanya tidak akan membahayakan jiwanya."
Wie Sin Siansu menghela napas
geleng-geleng kepalanya "Bun An tidakkah kau lihat pada bagian tepat titik
jalan darah Su-ho-hiat tiga hun dibawah alis, ada bayangan hitam sama ?"
Bun An Taysu tengah
menggendong Giok Han, tapi ia bisa menoleh dan melihat. Benar saja, pada titik
jalan darah Su-ho-hiat tiga hun dibawah alis Giok Han, ada bayangan
kehitam-hitaman. Hati Bun An Taysu tercekat inilah berbahaya untuk keselamatan
jiwa Giok Han. Biasanya, jika seseorang menderita luka parah, dan pada titik
Su-ho-hiat-nya terlihat bayangan hitam, berarti lukanya itu parah benar, yang
mengganggu kerjanya jantung.
Kalau sampai warna titik di
Su-ro-hiat menghitam lebih gelap, akan putuslah napas orang itu. Walaupun obat
dewa tidak mungkin bisa menyelamatkannya lagi. Segera Bun An Taysu tersadar,
mengapa gurunya begitu gelisah. Bun An Taysu jadi berdiam diri saja dengan hati
ikut gelisah. "Apa yang harus kita lakukan, Suhu ?" tanyanya.
Wie Sin Siansu kelihatannya
seperti orang linglung, la tak menyahut, cuma menggelengkan kepala. Alisnya
yang memutih tampak mengkerut dalam-dalam. "Satu-satunya jalan yang bisa
kita tempuh," Wie Sin Siansu bilang setelah lewat beberapa lama,
memperpanjang jiwa anak ini dengan membendung jalan darau Wai-sie, Seng-sie dan
Cie-kang. Jalan darah itu semuanya harus ditotok dengan tepat, nanti setelah
tiba di Siauw Lim barulah kita menggunakan ranjang Im Giok dan memohon
kemurahan hati Hongthio buat mempergunakan Tat Mo Sinkang menyelamatkan jiwa
anak ini! Walau bagaimanapun, anak ini harus diselamatkan, jangan sampai
mengecewakan arwah Giok Goanswee !" berkata sampai disitu Wie Sin Siansu
menghela napas. Pikirannya agak kalut. Urusan antara Siauw Lim dengan Bu Tong
Pay yang timbul salah paham, walaupun merupakan urusan yang cukup berat, tapi
tidak menggelisahkan seperti memikirkan keselamatan Giok Han, yang sampai saat
itu masih tetap pingsan tidak sadarkan diri.
Setelah itu, sipendeta suci
Siauw Lim Sie berdua muridnya hanya berlari dengan mempergunakan ilmu lari
cepat tanpa berkata-kata, keduanya berdiam diri.
Selang beberapa hari, sesudah
menyeberangi Sangai Kuning(Hoangho) dan masuk kedaerah S'amsay, keadaan Giok
Han mengalami kemajuan. Setelah tiga jalan darahnya, Wai-sie dan Cie-kang,
ditotok oleh Wie Sin Siansu dengan Tat Mo Sinkang, boleh dibilang umur si bocah
bisa diperpanjang, untuk bertahan sampai mereka bisa mencapai Siauw Sit San, di
mana kuil Siauw Lim Sie berada.
Mungkin masih memerlukan
perjalanan satu bulan lebih. Dua hari sejak penotokan ketiga jalan darah
tersebut, Giok Han mulai sadar, pertama-tama si bocah kaget dan menanyakan
mengapa ia bisa berada bersama kedua pendeta itu. Wie Sin Siansu sabar
menceritakan segalanya, juga apa yang didengarnya dari Tung Yang diceritakan
lagi pada Giok Han.
Bocah itu jadi heran dan
bingung. Waktu Tung Yang mcnolongi dan membawanya pergi, si bocah dalam keadaan
pingsan, Hal itu tidak diketahuinya. la hanya ingat, waktu itu dia tengah
berkutetan dengan Bwee Sim Mo Lie yang digigitnya, yang diingatnya telah
menghantam dan membuat ia terpental menderita kesakitan Selanjutnya dia tidak
tahu lagi, karena jatuh pingsan.
Agak rewel Giok Han menanyakan
tentang encie Yang Lan-nya, tentang Yang Bu In, terutama sekali mengenai Lam
Sie, pengasuh tua yang setia itu, juga tentang Khang Thiam Lu, kewalahan Wie
Sin Siansu menerima pertanyaan bertubi-tubi dan rewel dari si bocah. ia sendiri
tidak tahu dan tidak kenal dengan orang-orang yang ditanyakan Giok Han. namun
sabar sekali pendeta alim ini melayani setiap kerewelan Giok Han.
"Tenanglah, anak. Nanti kau akan bertemu lagi dengan mereka... sekarang
kesehatanmu harus dipentingkan dulu, jangan terlalu banyak berpikir, bisa
mengganggu kesehatanmu."
Tapi Giok Han masih terus juga
rewel, Bun An Taysu yang selalu mewakili Wie Sin Siansu menenangkan Giok Han,
ikut kewalahan juga. Hanya saja, kedua pendeta itu sabar luar biasa. Mereka
ingat, anak ini adalah satu-satunya keturunan Giok Goanswee yang masih hidup,
merekapun terharu melihat begitu besar perhatian Giok Han kepada orang-orang
yang dicintainya, yang pernah dekat dengannya.
Di dalam dunia persilatan
kedua Hweshio Siauw Lim Sie ini adalah pendeta-pendeta suci yang sangat
disegani, yang tidak akan banyak bicara jika tidak perlu. Mereka adalah
pendeta-pendeta saleh yang tidak mungkin dilibat oleh kerewelan seperti yang
dilakukan oleh Giok Han.
Tapi kini, terhadap Giok Han,
kedua pendeta itu seperti berobah bagaikan burung beo yang harus bicara terus
menerus menenangkan si bocah, membujuknya dan menghiburnya.
Giok Han tidak puas dengan
keterangan-keterangan kedua Hweshio itu, apa lagi mendengar dirinya akan dibawa
ke Siauw Lim Sie, akhirnya disebabkan terlalu jengkel, bocah itu menangis:
"Aku tidak boleh menangis. Seorang Kongcu tidak akan menangis!" Waktu
menangis Giok Han menggumam begitu tidak hentinya, namun air matanya tetap
mengucur deras ! Tentu saja ini merupakan peristiwa mengharukan campur lucu.
Hati Wie Sin Siansu jadi
tergetar, hatinya terharu. Biasanya ia merupakan pendeta alim yang tidak mudah
dikuasai oieh perasaan marah, senang, jengkel dan lain-lainnya, hanya sekarang
dia ikut terharu, apa lagi mengingat seluruh keluarga diiri bocah di depannya
ini telah dimusnahkan oleh Kaisar yang lalim. Dipeluknya Giok Han,
ditepuk-tepuk punggungnya penuh kasih sayang dan sabar.
"Benar anak, kau tidak
boleh menangis. Seorang Kongcu tidak akan menangis."
"Tapi .... tapi mengapa
aku harus di pisahkan dari Encie Yang Lan ? Paman Bu In ? Paman Khang Thiam Lu
dan naman Lam Sie ? Mengapa aku harus dibawa ke Siauw Lim Sie ? Bukankan ....
bukankah Taysu bisa membawaku pulang di tengah-tengah mereka?", kata Giok
Han sambil menghapus air matanya.
Wie Sin Siansu menghela napas.
Sabar sekali katanya: "Kesehatanmu tidak baik, kau terluka anak. Karenanya
kami membawa mu ke Siauw Lien Sie untuk berobat. Nanti setelah sembuh tentu
kami akan mengantarkan kau kembali ke tengah-tengah mereka, orang-orang yang
kau cintai !"
"Taysu tidak
berbohong?" tanya Giok Han.
Wie Sin Siansu tidak marah,
juga tersinggung oleh pertanyaan si bocah. "Loceng berjanji dan akan
menepati janji Loceng."
Giok Han menoleh kepada Bun An
Taysu. "Taysu juga berjanji?".
"Ya berjanji, nanti kami
akan mengantarkan kau kembali ke Encie Yang Lan, ke paman Lam Sie dan yang
lain-lainnya," menyahuti Bun An Taysu sambil tersenyum.
"Jangan bohong ya ?! Aku
anak yang bernasib jelek, orang tuaku dibunuh orang. keluargaku dihancurkan. Di
dunia ini aku hidup sendiri, Encie Yang Lan, paman Lam Sie dan yang
lain-lainnya sangat sayang padaku Kalau... kalau aku dipisahkan dari mereka...
nanti... nanti aku tidak tahu kemana harus pergi, hidup sendiri..." Dan
air mata Giok Han mengucur lagi, tampaknya dia jadi sedih.
Terharu hati Wie Sin Siansu
dan Bun An Taysu, mereka segera menghibur Giok Han. Dasar bocah, tentu saja
Giok Han tidak tahu siapa kedua pendeta didepannya, yang sebetulnya merupakan
hwesio-hwesio suci Siauw Lim Sie.
Orang lain, untuk bertemu dan
bercakap-cakap dengan mereka sulitnya bukan main, justeru sekarang Giok Han
demikian rewel dan sikapnya selalu memperlihatkan din tidak mempercayai kedua
Hwe-sio suci itu !
Sejak kecil Wie Sin Siansu
maupun Bun An Taysu hidup di kuil Siauw Lim Sie. Setiap hari bergaul dengan
kitab-kitab suci, mereka tidak pernah kenal wanita ataupun juga berpikir untuk
kawin, Sekarang mereka berdua harus menghibur dan menenangkan Giok Han, tentu
saja keduanya jadi kewalahan. Jika ada yang menyaksikan, betapa kedua Hwesio
itu demikian sibuk selalu menghibur dengan berbagai janji dan tingkah agar si
bocah gembira, tentu orang akan tertawa geli.
Bun An Taysu sampai mengajak
Giok Han untuk main petak, saling kejar, atau main hitung-hitung jari tangan,
permainan yang biasa dilakukan anak-anak !
Karena sikap yang luar biasa
sabar dan juga Giok Han melihat kedua Hwesio itu tidak memperlihatkan
tanda-tanda sebagai orang jahat, akhirnya lewat beberapa hari bocah itupun
mulai pulih kegembiraannya, walaupun masih sering rewel menanyakan Encie Yang
Lannya, paman Lam Sie, paman khang Thiam Lu, atau juga menanyakan kapan ia
diantarkan untuk bisa berkumpul dengan mereka.
Satu yang membuat tenang hati
Giok Han, walaupun Wie Sin Siansu tidak mengetahui siapa itu Bwee Sim Mo Lie
yang disebut-sebut Giok Han sebagai Ciecie yang paling jahat dan tengah
mengancam keluarga Yang, pendeta suci yang bijaksana ini bilang bahwa Bwee Sim
Mo Lie akhirnya bisa dibujuk untuk menjadi teman keluarga Yang, sehingga tidak
terjadi pertempuran lagi
Oooo, jadi Ciecie Bwee Sim Mo
Lie tidak marah-rnarah lagi pada keluarga paman Yang ? tanya Giok Han.
"Ya, mereka sudah jadi
sahabat, karenanya kau tidak perlu kuatir lagi tentang mereka." Menimpali
Bun An Taysu
Setelah melewati Hoancoan,
mereka terpisah tidak jauh lagi dengan Siauw Sit San. Melakukan perjalanan 6
hari lagi, akhirnya mereka tiba dikuil Siauw Lim Sie.
Melihat Siauw Lim Sie yang
megah dan angker, Giok Han sejenak tertegun. "Hebat, hebat !"
pujinya.
Bun An Taysu menoleh pada si
bocah. "Apanya yang bagus, Hanjie ?"
"Kuil ini sangat indah,
mungkin istana Kaisar lalim itupun rmsih kalah angkernya!" menyahiti Giok
Han.
Bun An Taysu tertawa.
"Tentu. istana seorang Kaisar yang umumnya kotor, penuh dengan perbuatan
maksiat, penuh dengan orang-orang yang berlumuran dosa, mana bisa dibandingkan
dengan keangkeran kuil kami ?"
Waktu bicara begitu, walaupun
tengah menimpali pembicaraan seorang bocah, wajah Bun An Taysu pun memperlihatkan
kebanggaan, mukanya berseri-seri, memandang betapa megahnya kuil Siauw Lim Sie,
yang sudah sekian puluh ribu rahun berdiri tanpa pernah goyah oleh perobahan
jaman maupun perobahan pemerintahan.
Giok Han tidak bisa menangkap
makna perkataan Bun An Taysu, ia mengawasi si pendeta. Dilihat muka Bun An
Taysu berseri-seri, matanya tajam sekali, tanpa disadari timbul rasa hormat di
hati Giok Han pada Hweshio ini. Agung sekali sikapnya. "Jadi di istana
Kaisar lalim itu memang banyak orang berdosa, Taysu ? Juga istana itu kotor
sekali ?"
Bun An Taysu seperti tersadar
dari lamunannya, ia tersenyum sabar, mengusap-usap kepala s bocah. "Nanti
setelah dewasa kau akan mengerti semuanya, Han jie."
"Wie Sin Siansu pun
seperti kesima mengawasi Siauw Lim Sie yang berdiri tegak angker di hadapannya.
Betapa kini justeru Siauw Lim Sie tengah dilibatkan oleh fitnah agar bentrok
dengan Bu Tong Pay.
Benar Bu Tong Pay tidak
sebesar Siauw Lim Sie, tidak seangker Siauw Lim Sie, akan tetapi Bu Tong Pay
bukanlah pintu perguruan yang lemah. Terlehih lagi yang membuat Wie Sin Siansu
menyesal sekali, Bu Tong Pay merupakan satu-satunya pintu perguruan dari
golongan putih, yang disegani oleh seluruh dunia persilatan setelah Siauw Lim
Sie !
Kembalinya Wie Sin Siansu
bersama Bun An Taysu yang membawa Giok Han segera dilaporkan pada Hongthio
Siauw Lim Sie, Tang Sin Siansu.
Sute Tang Sin Siansu yang
lainnya, Tang Bun Siansu, Tang Lang Siansu dan Tang Lu Siansu, ikut menyambut.
Mereka sebelumnya telah menerima laporan dari Kam Siang Cie berempat yang sudah
kembali ke Siauw Lim Sie beberapa waktu yang lalu.
Wie Sin Siansu berdua Bun An
Taysu cepat-cepat memberi hormat kepada tetua-tetua mereka. Dengan muka agak
muram Tang Sin Siansu bilang: "Wie Sin, bagaimana lukamu ? Apakah tidak
ada halangan sesuatu ? Urusan memang kabarnya dapat kau selesaikan dengan
diambil kembali kedua pucuk surat berharga itu, hanya saja kau terlalu berani
dengan menerima ketiga pukulan dari manusia rendah seperti Thian Tee Jie
Kui."
Dengan sikap hormat Wie Sin
menyahuti: "Setelah beristirahat sebulan lebih dengan mempergunakan Tat Mo
Sinkang, berkat doa Hongthio, kesehatan tecu telah pulih sebagaimana biasa,
tapi perihal kedua surat itu..."
Wie Sin Siansu menoleh pada
Bun An Taysu yang waktu itu tengah saling lirik dengan Giok Han dan
tersenyum-senyum, karena si bocah selalu berbisik-bisik rewel sekali menanyakan
mengapa begini banyak pendeta, dan siapa keempat pendeta tua yang tampaknya
begitu alim dan agung sehingga Bun An Taysu harus menjelaskan dengan
berbisik-bisik juga.
"Tecu kira Bun An bisa
menjelaskannya kepada Hongthio..." Bun An Taysu cepat-cepat maju memberi
hormat kepada tetua-tetuanya dan menceritakan apa yang sudah terjadi, tentang
dipalsukannya surat-surat itu. Muka Tang Sin Siansu berobah murung.
"Kalau demikian kita
harus kirim orang ke Bu Tong Pay. menjelaskan duduk persoalan yang sebenarnya,
tanpa perlu mengandalkan kedua surat itu lagi. Kiia usahakan pihak Bu Tong Pay
mau mengerti," kata Tang Sin Siansu setelah Bun An Taysu selesai dengan
ceritanya, kemudian Hongthio ini menoleh pada Tang Bun Siansu:
"Sute, Bagaimana kalau
kau mewakiliku untuk menemui Ciangbunjin Bu Tong, menyelesaikan persoalan ini
?"
Alis Tang Bun Siansu yang
sudah putih semuanya seperti tumpukan salju, mengkerut. "Apakah hal ini
tidak akan menyebabkan bertambah besarnya salah paham antara pihak kita dengan
pihak Bu Tong ? Suheng, walaupun bagaimana surat-surat yang menjadi bukti harus
kita peroleh, juga kita harus membongkar perbuatan siapa yang telah menyebarkan
fitnah ke alamat kita! Dengan cara demikian jelas bisa diterima oleh
Ciangbunjin Bu Tong Pay."
Tang Sin Siansu menghela napas
dalam-dalam. "Rasanya, Ciangbunjin Bu Tong masih mau memberikan muka
terang pada kita kalau kau mewakiliku secara resmi menemuinya. Tidak ada
pilihan lain,"
"Baiklah Suheng, kapan
aku berangkat ?"
"Secepatnya. Aku yakin
Siong Kie Tojin bukan seorang berpikiran cupat bisa terhasut oleh fitnah
rendahan seperti itu. Jika kita bisa menjelaskan duduk persoalannya dengan
sebaik-baiknya, kesalah pahaman ini bisa diatasi."