Cula Naga Pendekar Sakti Bagian 06

Baca Cersil Mandarin Online: Cula Naga Pendekar Sakti Bagian 6
Cula Naga Pendekar Sakti Bagian 6

Tung Yang tidak kurang kagetnya. Wa-laupun bagaimana kosennya Wei Sin Siansu tapi menerima tiga pukulan tanpa memberikan perlawanan, itu sama saja seperti mencari kematian. Terlebih lagi yang akan memukul adalah Thian Tee Jie Kui, sepasang iblis yang kepandaiannya pun tidak rendah !

Mungkin Wei Sin Siansu tidak akan mengalami celaka apa-apa kalau ia boleh mengerahkan lwekangnya waktu menerima ketiga pukulan sepasang iblis itu, karena memang lwekang Wei Sin Siansu sudah mencarai tingkat yang sulit diukur. Tapi tanpa mempergunakan lwekangnya, menerima tiga pukulan itu dalam keadaan "kosong", sama saja seperti Wei Sin Siansu bunuh diri ! Tung Yang tidak bisa menahan diri, ia melompat ke samping si pendeta tua. "Siansu, jangan turuti keinginan gila mereka. Biarkan Lohu yang akan melayani mereka, iblis seperti mereka tidak boleh dihadapi dengan sikap seperti itu, bisa membahayakan jiwa Siansu..."

Wei Sin Siansu membuka matanya, sabar sekali sikapnya. "Omitohud ! Omitohud Siecu jangan kuatir, umur manusia berada di tangan Thian. Biarkanlah Loceng memenuhi keinginan mereka."

Tung Yang mendelik pada Thian Tee Jie Kui. Tapi dia tidak berdaya untuk membujuk Wei Sin Siansu agar membatalkan maksudnya.

Thian Tee Jie Kui tersenyum saling pandang satu dengan yang lain. Mereka percaya begitu menerima pukulan pertama mereka, si pendeta tua akan mati seketika. Bayangkan saja, menerima pukulan tanpa ada perlawanan, tanpa mengerahkan lwekang, menerima dengan keadaan "kosong", bagaimana tangguhnya sekalipun seseorang, pasti tidak akan sanggup menerima pukulan yang kekuatannya cuma seratus kati sekali pun.

Apa iagi yang akan melakukan pukulan tersebut Thian Tee Jie Kui. yang bisa mempergunakan lwekangnya dan kekuatan dari pukulan mereka sekitar 500 kati sampai 1000 kati !

Sebagai pendeta suci, Wei Sin Siansu tidak mau terjadi pertumpahan darah. Jika memang masih ada jalan keluar, ia tidak menyetujui pertempuran itulah sebabnya pendeta suci Siauw Lim Sie ini memilih jalan menerima syarat-syarat yang diajukan Thiian Tee Jie Kui, menerima tiga pukulan mereka tanpa memberikan perlawanan !

"Silahkan, Jiewie !" kata Wei Sin Siansu sabar dan meram kembali, sabar suaranya.

Tun Yang, Bu An Taysu, Kam Siang Cie berempat dan Thian Tee Jie Kui mengawasi si pendeta suci yang sudah menanti pukulan-pukulan dari Thian Tee Jie Kui dengan pasrah Kalau Tung Yang.. Bun An Taysu dan Kam Siang Cie berempat mengawasi dengan berkuatir, sedangkan Thian Tee Jie Kui mengawasi si pendeta dengan perasaan terheran-heran.

Tidak mereka sangka bahwa pendeta itu bersungguh-sungguh menerima syarat mereka. Akhirnya si Jenggot melenggak. dia tertawa besar.

"Baiklah Siansu," kata si Jenggot. "Kau jangan mempersalahkan kami, kau yang minta kami melakukannya."

Thian Tee Jie Kui memasukkan pedang masing-masing, kemudian bersiap-siap dengan pukulan mereka, keadaan jadi tegang sekali. Tung Yang, Bun An Taysu dan yang lainnya mengawasi dengan hati berdenyut-denyut, bersiap-siap kalau memang Wei Sin terancam keselamatannya mereka akan menyerbu untuk menolong. Hati mereka tegang bukan main.

Si Jenggot mengerahkan tujuh bagian tenaga dalamnya, disalurkan pada kepalan tangannya. Begitu pula si Jangkung. Serentak mereka mengayunkan tangan, memukul Wei Sin Siansu. Bisa dibayangkan hebatnya pukulan itu, kalau pukulan tersebut dilakukan si Jenggot atau si Jangkung sendiri-sendiri, mungkin tenaga pukulannya tidak terlalu hebat tapi kini mereka melakukannya serentak berdua, dua tenaga digabungkan menjadi satu, kepalan tangan Thian Tee Jie Kui mengenai punggung Wei Sin Siansu.

Tubuh pendeta itu bergoyang-goyang, tapi tidak sampai terjerunuk ke depan. Pendeta suci itu tetap berdiri di tempatnya, matanya tetap meram, hanya mukanya berobah agak pucat. Tangannya masih dirangkapkan.

Ketika kepalan tangan Thian Tee Jie Kui menghantam punggung si pendeta suci Siauw Lim Sie, tangan Tung Yang mencekal gagang pedangnya erat-erat dengan telapak tangan berkeringat. Sedangkaii Bun An Taysu bersama empat muridnya mengawasi dengan muka pucat, kuatir bercampur legang.

"Jurus pertama," sabar sekali suara Wei Sin Taysu. "Silahkan Jiewie dengan jurus kedua !"

Thian Tee Jie Kui saling mengawasi. Mereka sebetulnya menghormati juga pendeta suci ini, mereka kagumi akan ketabahan si pendeta yang mau menerima pukulan mereka tanpa melawan. Memang itu ditepati oleh si pendeta, yang menerima pukulan Thian Tee Jie Kui tanpa mengerahkan Lwekangnya. Tadi Thian Tee Jie Kui memukul dengnn tujuh bagian tenaga dalam mereka, pertama mereka merasa sayang jika si pendeta benar-bennr mati di tangan mereka, walaupun bagaimana mereka tidak mau kalau ilmu yang sudah begitu tinggi dipelajari si pendeta harus lenyap karena kematiannya.

Alasan kedua. Thian Tee Jie Kui pun bukan manusia bodoh. Mereka berlaku hati-hati kuatir kalau Wei Sin Taysu main gila. Begitu pukulan mereka menghantam, si pendeta mempergunakan lwekangnya untuk mengadakan perlawanan. Ini bisa mencelakai Thian Tee Jie Kui, kalau mereka memukul sekuat tenaga lwekang.

ltulah sebabnya mereka hanya mempeigunakan tujuh bagian saja dari tenaga dalamnya, jika ada hal yang tidak terduga, mereka masih bisa menarik pulang tenaganya dan mempergunakan sisa tenaganya untuk mengadakan pembelaan diri.

Hanya saja, pukulan mereka seperti tidak memberikan hasil apa-apa, jangankan si pendeta rubuh, terjerunuk kedepan saja tidak kuda-kuda si pendeta suci tidak berobah. Di samping perasaan kagum, Thian Tee Jie Kui penasaran.

"Baiklah."

"pikir si Jenggot. "Kau yang minta kematian dari kami, lihatlah... apakah sekarang kau masih sanggup menerima pukulan kami ?!" sambil berpikir begitu si Jenggot melirik pada si Jangkung, memberi isyarat agar isterinya memukul lebih kuat. Mereka bersiap-siap, waktu si Jenggot berseru: "inilah pukulan kedua !" tangan mereka meluncur dengan tenaga lwekang yang jauh lebih kuat, sembilan bagian!

Pukulan Thian Tee Jie Kui sekali ini mengeluarkan suara nyaring, tubuh Wei Sin Siansu terdorong maju kedepan, kuda-kuda kakinya gempur, ia maju sampai lima langkah ! Muka pendeta suci itu tambah pucat, karena kelewat pucat sampai muka Wie Sin Siansu kehijau-hijauan.

Si pendeta suci tidak menyangka lwekang Thian Tee Jie Kui kuat dan terlatih baik. la merasakan anggota dalam tubuhnya seperti pada jungkir balik, keringat memenuhi keningnya, juga kepala dan tubuhnya. Setetes demi setetes butir-butir keringat jatuh, tubuhnya agak menggigil.

Tetapi tinggal satu jurus lagi, jika ia menolak menerima pukulan yang ketiga, jelas Thian Tee Jie Kui tidak mau memberikan surat-surat yang pernah dirampas oleh kedua iblis itu. Hanya saja, kalau ia menerima satu pukulan lagi, Wei Sin Siansu yakin kecil sekali kemungkinan ia berhasil menerimanya.

"Suhu?" panggil Bun An Taysu kuatir.

Wei Sin Siansu membuka matanya, mengulapkan tangannya. "Tinggal satu jurus lagi. Biarkan Loceng menerimanya, urusan jadi beres." Sabar sekali suaranya. Kemudian menoleh pada Thian Tee Jie Kui: "Jiewie beleh memukul lagi, inilah yang ketiga..!"

Pendeta suci yang sudah lanjut usia itu memejamkan matanya lagi, dengan sepasang tangan terangkapkan.

Keringit dingin mengalir dari sekujur tubuh Kam Siang Cie berempat. Mereka kuatir bukan main untuk keselamatan Sucouw tersebut. Tung Yang pun merasakan hatinya berdebar keras, la kagum melihat kegagahan pendeta suci Siauw Lim Sie itu. Betapa tidak, menerima pukulan-pukulan Thian Tee Jie Kui tanpa memberikan perlawanan, bahkan semua itu diterima dengan keikhlasan hati yang tinggi.

Sebetulnya jika saja Wei Sin Siansu mau. Thian Tec Jie Kui bukanlah tandingannya, karena kepandaian pendeta suci itu sudah mencapai tingkat yang sulit untuk diukur. Tokh dia memilih cara seperti itu, yaitu menerima tiga pukulan dari kedua iblis tersebut. Kini adalah saat-saat menentukan Thian Tee Jie Kui akan memukul untuk ketiga kalinya.

Thian Tec Jie Kui sendiri diam-diam kagum sekali pada ketangguhan Wei Sin Siansu. "Benar-benar hebat pendeta Siauw Lim ini" pikir si Jenggot. "Tapi, pukulan yang ketiga ini harus dilakukan lebih kuat lagi... dua kali dia memang tidak memberikan perlawanan, mustahil ketiga ini ia akan membokong kami dan secara diam-diam memberikan perlawanan ?"

Segera si Jenggot memberi isyarat pada si Jangkung, mereka bersiap-siap untuk memukul lagi. Si Jenggot malah berbisik : "Kerahkan seluruh tenagamu !" Si Jangkung mengangguk. Mereka memang mengempos seluruh kekuatan tenaga dalam pada kepalan tangan masing-masing. Disertai dengan teriakan nyaring, sepasang iblis itu memukul punggung Wei Sin Siansu.

Pendeta tua itu terpukul hebat. Tubuhnya terhuyung kedepan, tapi dia bisa mempertahankan diri tidak sampai rubuh. Begitu kuat pukulan ketiga yang diterima dari Thian Tee Jie Kui, sampai sipendeta suci itu merasakan sekujur tubuhnya sakit bagaikan di hantam bungkahan batu besar yang menimpanya.

Seluruh isi perutnya seperti terbalik. Rasa sakit seperti dari perut naik ke-ujung ubun-ubun, dan jantungnya seperti ingin berhenti berdenyut menerima pukulan yang dahsyat seperti itu. Cepat cepat Wei Sin Siansu mengerahkan lwekangnya, untuk menguasai diri. Matanya gelap untuk sejenak-dia berdiam diri. Sampai akhinya dia merangkapkan kedua tangannya:

"Omitohud Omi-tohud ! Loceng sudah menerima tiga pukulan Jiewie, tentu surat-surat itu mau Jiewie kembalikan pada kami, bukan?"

Thian Tee Jie Kui berdiri tertegun, mereka kagum bukan main melihat ketangguhan sipendeta suci itu. Kalau orang lain, mungkin tulang-tulang sekujur tubuhnya sudah hancur luluh oleh pukulan terakhir Thian Tee Jie Kui.

Tung Yang sendiri kaget dan kagum. Dia kaget melihat hebatnya pukulan Thian Tee Jie Kui, waktu kedua tangan iblis-iblis itu menyambar mengeluarkan kesiuran angin yang keras dan kuat, kagum karena si pendeta suci Siauw Lim masih berhasil menguasai dirinya, tidak sampai rubuh, hanya terhuyung ke depan beberapa langkah.

"Baiklah," kata si Jangkung sambil merogo sakunya mengeluarkan dua gulung surat diangsurkan kepada Wie Sin Siansu. "Surat-surat kalian tidak kami butuhkan lagi !"

Wie Sin Siansu menyambuti surat itu, Thian Tee Jie Kui melesat menjauh, mereka ingin pergi meninggalkan tempat itu.

"Tunggu dulu!" Bun An Taysu begitu nyaring sambil berlari mengejar Thian Tee Jie Kui. Muka kedua iblis berobah, mereka memutar tubuh masing-masing mengawasi Bun An Taysu. "Apa yang ingin Siauwceng tanyakan pada kalian !"

"Apakah pihak Siauw Lim Sie merupakan manusia-manusia yang tak berharga bicaranya ? Kami sudah menyerahkan surat-surat kalian. apakah masih ingin mencari-cari persoalan dengan kami?" Tanya si Jenggot gusar.

"Siauwceng ingin menngetahui Jiewie bekerja untuk pihak mana dan mengapa seperti sengaja ingin mempersulit Siauw Lim Sie, agar timbul bentrokan antara pihak Siauceng dengan Bu Tong Pay ?"

Hal ini tidak perlu kau ketahui, yang terpenting surat-surat kalian sudah kami kembalikan" menyahuti si jangkung ketus. Dia menarik tangan suaminya. "Ayo kita pergi !"

Bun An Taysu tidak menahan kepergian kedua iblis tersebut, dengan muka guram kembali ke sisi Wie Sin Siansu.

Waktu itu tubuh Wie Sin Siansu bergoyang-goyang seperti mau rubuh dan "Uwaah !" si pendeta suci memuntahkan darah segar, mukanya pucat pias. la gagal untuk menyembuhkan luka dalam tubuhnya dengan lwekangnya. Semula Wie Sin SianSu berusaha sekuat tenaganya agar tampak tetap segar setelah menerima tiga pukulan Thian Tee Jie Kui, sebab kedua iblis itu akan lebih berani kalau mengetahui Wie Sin Siansu sudah terluka, justeru kepergian Thian Tee Jie Kui memang disebabkan mereka gentar melihat Wie Sin Siansu tidak terluka menerima tiga pukulan yang dahsyat, kalau sampai pihak Siauw Lim Sie merobah pikirannya, bukankah Thian Tee Jie Kui akan memperoleh kesulitan ? Karenanya. mereka cepat-cepat menyingkirkan diri.

Wie Sin Siansu menghela napas dalam-dalam. "Setelah Loceng beristirahat sebulan tentu kesehatan Loceng akan pulih." katanya sabar.

Tung Yang cepat-cepat mengeluarkan dua butir Yo-wan, diberikan kepada si pendeta suci Siauw Lim. "Telanlah obat ini Siansu Walaupun obat ini bukan obat dewa yang bisa menyembuhkan luka dalam yang berat, tapi sedikitnya bisa mengurangi rasa sakit dan juga memperpanjang umur!"

Wie Sin Siansu tersenyum, ia mengucapkan kebesaran Sang Buddha beberapa kali, menerima pemberian Tung Yang. "Terima kasih Tung Siecu. Urusan telah selesai, dengan dikembalikanya surat-surat ini pada kami, salah paham dari pihak Bu Tong Pay bisa dihindarkan. Bun An, biarlah surat ini kau bersama Loceng yang mengantarkan ke Bu Tong San, agar tidak timbul kericuhan lagi dalam perjalanan!"

Bun An Taysu mengiyakan, lalu menoleh kepada Kam Siang Cie berempat. "Pergilah kalian pulang, beritahukan pada Hongihio aku berdua Sucouw akan pergi ke Bu Tong San menyampaikan surat-surat penting ini ! Laporkan juga pada Hongthio, urusan telah beres, surat-surat penting sudah berhasil kami minta dari Thian Tee Jie Kui."

Kam Siang Cie berempat memberi hormat, mereka segera meninggalkan tempat itu, terlebih dulu juga memberi hormat pada Tung Yang.

Tung Yang melihat Wie Sin Siansu dalam keadaan luka yang tidak ringan, karenanya cepat ia bilang pada Bun An Taysu : "Taysu, lebih baik beristirahat dulu, agar gurumu bisa pulih kesegarannya !"

Wie Sin Siansu membuka Yo-wan yang diberikan Tung Yang, ia bilang : "Benar Bun An, kita ikut Tung Hiapsu (pendekar Tung) untuk menemui putera Giok Goanswee Bun An Taysu mengangguk...

"Baiklah Tung Hiapsu kami memang ingin bertemu dengan putera Giok Goanswee. Menyesal kami tidak dapat menolong Giok Goanswee sekeluarga dari malapetaka itu."

Mereka kembali ke rumah di mana Tung Im berdua Giok Han tadi dtinggal. Tapi, waktu sampai di depan rumah itu, Tung Yang sudah mengerutkan alisnya. la melihat sesuatu yang tidak beres terjadi di rumah itu.

Daun pintu terbuka, di dekat pintu terdapat sebatang pedang menggeletak tanpa sarungnya. Pasti sudah terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Segera Tung Yang menahan Bun An Tay su dan Wie Sin Siansu.

"Tampak terjadi sesuatu yang tidak beres, Siansu," menjelaskan Tung Yang pada Wie Sin Sian-su. Segera ia melompat kedekat pintu. Dari dalam berkelebat sinar putih dari berbagai jurusan kearah Tung Yang, itulah beberapa batang pedang, yang menyambar padanya-Bahkan pedang-pedang itu menyambar dengan kecepatan luar biasa. Untung Tung Yang sudah berwaspada sejak tadi, begitu melihat menyambarnya pedang-pedang tersebut, ia segera melompat ke belakang, menyentil salah satu pedang yang menyambar kearah mukanya.

Menyusul dengan itu melompat beberapa sosok tubuh dari dalam rumah, dari balik semak belukarpun sudah lompat keluar belasan sosok tubuh lainnya. Dalam waktu sekejap mata hampir tigapuluh orang Tosu (pendeta yang melihara rambut, penganut agama Toisme) mengurung Tung Yang bertiga Wie Sin Siansu dan Bun An Taysu ditengah-tengah lingkaran.

Muka semua Tosu bengis dan galak, mereka memandang dengan mata tajam mengancam. Pedang merekapun siap tercekal di tangan untuk menerjang maju. Diantara mereka ada Tosu berusia empat puluh tahun, yang maju kedepan merangkapkan kedua tangannya tanpa melepaskan pedangnya pada Wie Sin Siinsu.

"Wie Sin Sian-su, kami murid-murid Bu Tong Pay menghormati Siansu, asal Siansu mau berterus-terang, murid-murid Siauw Lim mana yang sudah menurunkan tangan jahat pada murid murid Bu Tong Pay selama ini ?!" Suaranya lantang sekali. "Pinto yakin tentu Siansu akan bicara jujur..!"

Muka Bm An Taysu berobah hebat, dia gusar dan mendongkol.

"Kalian selalu mudah begitu saja main tuduh, main fitnah ! Kami dari Siauw Lim tidak pernah melakukan sesuatu yang melanggar hukum kemanusiaan, tetapi kalian selalu memojokkan kami dengan tuduhan yang tidak-tidak ! Lalu, apa maunya kalian sekarang main kurung dan kepung seperti ini?"

Tosu setengah baya itu mengawasi Bun An Taysu dengan mata tajam, tapi ia tidak meladeni. Segera ia bilang lagi pada Wie Sin Siansu. "Maukah Siansu bicara yang sebenarnya ?"

Tung Yang sudah tidak sabar, la kuatirkan isterinya dan Giok Han.

"Kerbau-kerbau busuk," memaki Tung Yang "Kau apakan isteriku dan Hanjie?!" Sambil berseru begitu tubuh Tung Yang melesat kearah pintu, maksudnya mau menerobos masuk. Tapi tiga orang Tosu yang berjaga ditempat itu segera menyambuti dengan tikaman pedang mereka.

Habis kesabaran Tung Yang, sambil menghindarkan pedang disebelah kanan, kedua tangannya serentak maju, dengan gerakan sangat cepat sekali dia berhasil mencengkeram pergelangan tangan kedua Tosu itu, membetotnya, sampai tubuh kedua Tosu itu terjerumuk kedepan mencium tanah.

Tung Yang sendiri menerobos masuk kedalam rumah. Hanya saja ketika melewati pintu, ia disambuti oleh tikaman dua batang pedang. Tanpa buang waktu Tung Yang melayani dua orang Tosu yang menyerang setengah membokong, mulutnyapun sudah berteriak nyaring: "Kie-moay, bagaimana keadaanmu dan Hanjie ?"

"Tua bangka sialan, mengapa pulang demikian terlambat ?" teriak Tuni Im dari dari dalam kamar. "Kerbau-kerbau busuk Bu Tong itu mempergunakan asap bius merubuhkan aku! Mereka menghina aku menotok jalan darah dan mengikatku ! Juga Hanjie diikat mereka! Sungguh kurang ajar sekali! Kau harus membalaskan sakit hatiku, tua bangka !"

"Oooo, begitu kurang ajar kelakuan kerbau-kerbau ini?" teriak Tung Yang. "Baik aku akan melampiaskan sakit hatimu, Kie-moay !" Tahu-tahu tubuh Tung Yang berkelebat sangat cepat, sehingga kedua Tosu yang akan menyerang lagi dengan pedang masing-masing, kaget kehilangan lawannya. Sebelum mereka tahu apa-apa, tengkuk masing-masing telah kena dicekuk, kemudian dilemparkan keatas. tubuh mereka menabrak langit-langit. Kedua Tosu itu menjerit kesakitan, apa lagi wakiu tubuh mereka jatuh ambruk dilantai, sakitnya bukan main.

Mereka coba menggunakan Ginkang buat menolong diri, tapi tubuh mereka seperti kaku, seakan jalan darahnya tertotok, Tung Yang mendekati mereka, berjongkok disamping kedua Tosu itu tangannya menampar berulang kali, muka kedua Tosu itu seketika merah bengkak.

"Kerbau dungu seperti kalian yang berani main gila menghina isteriku, ya?"! teriak Tung Yang sengit, tangannya terayun lagi menampar pulang pergi muka kedua Tosu itu.

"Kami... kami.. hanya menjalankan perintah!" Seru kedua Tosu itu, mata mereka kunang-kunang dan gelap. Sebetulnya kedua Tosu itu sebagai murid Bu Tong Pay tidak gampang-gampang akan menyerah, mereka bukan manusia-manusia pengecut. Untuk menghadapi kematian mereka tidak gentar. Tapi tamparan Tung Yang keras sekali, telapak tangan itu seperti lempengan besi yang menghajari muka mereka pulang pergi, sakitnya luar biasa, kepala merekapun pusing bukan main. Dalam mendongkol dan gusarnya, Tung Yang mengumbar tamparan pada kedua Tosu itu.

Setelah puas menampari kedua Tosu itu, Tung Yang berdiri sambil mengayunkan kaki kanannya menendang beberapa kali. Barulah dia pergi kedalam kamar, meninggalkan kedua Tosu itu yang sudah jatuh pingsan !

Tung Im dan Hanjie dalam keadaan terikat. Cepat-cepat Tung Yang membebaskan isterinya dari ikat pinggang pada tangan dan kakinya, kemudian Giok Han. Bocah itu masih pingsan belum sadarkan diri, Tung Yang memeriksa denyut nadinya dengan cara Bong Me dan ia mengetahui kesehatan Giok Han tidak terganggu.

"Tua bangka, kau pergi kemana saja begitu lama ? Bagus ya, aku sampai dihina hidung kerbau Bu Tong itu, sedangkan... sedangkan..." Gusar Tung Im, ia melampiaskan kemendongkolannya pada Tung Yang. Tapi, cepat sekali ia melesat keluar kamar tanpa meneruskan kata-katanya, melihat dua Tosu yang menggeletak pingsan, dia mengayunkan kaki kanannya menendang pergi dengan sengit. Kemudian berlari keluar untuk menghajar Tosu-tosu lainnya. Tapi melihat Tosu-tosu itu tengah mengepung dua orang pendeta berjubah kuning. Tung Im jadi ragu-ragu, dia kembali ke kamar.

Tung Yang nyengir.

"Maafkan Kie-moay, aku mana menyangka hidung-hidung kerbau itu bisa menghinamu ? Biar aku akan melampaiskan penasaranmu, jagalah Hanjie, aku akan pergi menghajar hidung-hidung kerbau itu!"

Tung Im hanya mendengus, Tung Yang cepat cepat keluar. Dilihatnya Wie Sin Siansu tengah bicara dengan sabar. "Bun An, mundurlah, Biarlah Loceng yang bicara."

Bun An Tay su yang masih berdarah panas, tidak berani membantah perintah Suhunya, segera mundur beberapa langkah. Wie Sin Siansu dengan sabar meneruskan kata-katanya. "Dan Totiang, tahukah Totiang, betapa dalam persoalan ini ada pihak ketiga yang ingin mengadu dombakan kita, Siau Lim dengan Bu tong? Marilah kita bicara baik-baik ! Simpanlah pedangmu, Totiang!"

"Hemmm !" Tosu setengah baya itu cuma mendengus, dia tidak menuruti permintaan Wie Sin Siansu menyimpan pedangnya, bahkan dicekalnya kuat-kuat, kuatir kalau Wie Sin Siansu menyerang tiba-tiba padanya. Dengan sorot mata tajam malah ia mengawasi Wie Sin Siansu.

"Siansu mau bicara, bicaralah ! Pinto minta Siansu mau bicara yang jujur."

Wie Sin Siansu tertawa sabar. "Totiang," katanya. "Apakah Totiang tidak percaya pada Loceng, mungkin Totiang beranggapan Loceng akan bicara ngawur berdusta ? Omi-tohud ! Omitohud !"

"Tetapi kenyataan memang memperlihatkan pihak Siauw Lim Pay yang harus mempertanggung jawabkan pembunuhan terhadap beberapa orang saudara seperguruan Pinto!" Ketus sekali Tosu itu menjawab.

"Ya, ya, kalau memang terbukti Siauw Lim Pay yang bersalah dalam persoalan ini, tentu kami akan bertanggung jiwab. Loceng pun akan menyerahkan murid murid Siauw Lim Pay yang melakukan kejahatan dan perbuatan kejam itu pada kalian, agar kalian yang mcngadilinya ! Tetapi sekarang Loceng mohon agar Totiang mau mendengar dulu kata-kata Loceng. Baru-baru ini pihak Loceng berhasil memperoleh bukti-bukti yang bisa membersihkan nama baik kami dan membuktikan bahwa pembunuhan-pembunuban terhadap murid Bu Tong Pay bukanlah dilakukan oleh pihak Loceng !"

"Bukti-bukti ?" tanya Tosu itu. "Apakah bukti-bukti itu bukan buatan Siauw Lim Sie sendiri, untuk cuci tangan dari dosa-dosanya?"

Wie Sin Siansu menghela napas dalam-dalam. "Omitohud ! Omitohud ! Kami tidak akan melakukan perbuatan hina seperti itu. percayalah pada Loceng, tidak ada baiknya kita saling bercuriga."

"Bukti-bukti apa yang bisa Siansu berikan pada kami ?" Tanya Tosu itu setelah ragu-ragu sejenak.

"Ini dua pucuk surat. Bukti-bukti ini yang akan bicara, bahwa pihak Loceng tidak tersangkut dalam pembunuhan tersebut!" Wie Sin Siansu mengeluarkan dua pucuk surat yang tadi dikembalikan Thian Tee Jie Kui. "Memang sebelumnya pihak Loceng sudah mengirim dua orang murid Siauw Lim pergi mengantar surat-surat ini, hanya terjadi rintangan dalam perjalanan. Beruntung dua pucuk surat ini akhirnya bisa diminta kembali. Bacalah oleh Totiang."

Tosu itu bimbang, tapi ia memberi isyarat pada murid Bu Tong yang ada di sampingnya untuk mengambil surat-surat itu dari tangan Wie Sin Siansu. Tosu itu, dengan pedang tercekal di tangan, masih berusia muda tidak lebih dari duapuluh lima tahun. Ia tetap mencekal pedangnya waktu mengambil kedua pucuk surat itu dari tangan Wie Sin Siansu, kemudian diserahkan pada Tosu setengah baya.

"Bacalah oleh kau, Lu Pin," perintah Tosu setengah baya itu.

Lu Pin Tojin mengiyakan, meletakkan pedangnya di tanah, membuka gulungan surat yang satu. Tapi gulungan itu agak lengket dan sulit dibuka. Akhirnya dengan agak sulit ia berhasil membuka gulungan surat tersebut, diusap-usap oleh tangannya untuk dibeber. Lu Pin Tojin mulai membaca: "Ciangbunjin Bu Tong Pay Yang Mulia, bersama dengan surat ini kami atas nama Siauw Lim Sie... Oooo... Oooo...!" Dan di susul dengan teriakan Lu Pin Tojin, tubuhnya segera rubuh berguling-guling di tanah jari tangannya dikibas-kibaskan seperti menderita kesakitan. Keadaan Lu Pin Tojin seperti seekor kerbau yang disembelih.

Semua orang kaget Wie Sin Siansu sendiri sampai berobah mukanya. Tosu setengah baya itu memandang dengan mata terbeliak murid-murid Bu Tong Pay lainnya mengawasi Lu Pin Tojin dengan muiut ternganga. Tapi itu hanya beberapa detik, Tosu setengah baya segera tersadar apa yang harus dilakukannya, dia melompat ke dekat Lu Pin Tojin buat memeriksa keadaannya.

Waktu itu Lu Pin Tojin masih kelejatan di tanah, mukanya sudah hitam gelap, suaranyapun semakin perlahan, sampai akhirnya tubuhnya berkelejatan lemah, diam tidak bergerak lagi.

Muka Tosu setengah baya itu berobah geram, memancarkan kemarahan yang meluap-luap. pedangnya dikibaskan mengaung. "Hwesnio hina, di depan kami kau masih berani melakukan pembunuhan dengan cara hina seperti ini!" Berseru Tosu setengah baya tersebut sambil mengawasi Wie Sin Siansu dan Bun An Taysu dengan mata yang seperti mau melompat keluar. "Sekarang apa yang ingin kalian berdua katakan lagi untuk bela diri."

Semua murid Bu Tong Pay sudah mencekal pedang mereka erat-erat. Tampaknya mereka gusar sekali dan siap menerjang maju. Bun An Taysu juga jadi kaget tidak terkira, tapi segera ia sadar bahwa Lu Pin To jin keracunan.

Rupanya gulungan surat itu mengandung racun yang cara kerjanya sangat dahsyat. Diam-diam Bu An Taysu menggigil ngeri. Coba kalau ia yang membuka surat itu, entah bagaimana nasibnya. Tapi semuanya sudah terjadi begitu, tidak ada pilihan lain bagi Bun An Taysu selain bersiap-siap untuk menerima kemarahan Tosu-Tosu Bu Tong Pay itu.

Muka Wie Sin Siansu muram, tubuhnya menggigil sedikit menahan goncangan hatinya, la tidak menyangka bahwa Thian Tee Jie Kui bisa melakukan perbuatan rendah seperti itu, mengembalikan dua surat-surat itu dengan sebelumnya menaburkan racun yang daya kerjanya sangat dahsyat.

"Tenanglah Totiang," kata Wie Sin Siansu "Dengar dulu penjelasan Loceng."

"Kata-kata apa lagi yang ingin kau ucapkan untuk bela diri ? Di depan mata kami kau masih berani membunuh murid Bu Tong Pay ! Baiklah, Pinto Khoe Cie Tojin ingin minta pengajaran dari Siansu !"

Waktu itu mata Khoe Cie Tojin merah dibakar gusar yang meluap-luap, ia pun memberi isyarat kepada kawan-kawannya untuk bersiap-siap menyerbu kedua Hweshio Siauw Lim tersebut.

Wie Sin Siansu menghela napas dalam-dalam, tidak disangkanya urusan jadi demikian runyam. Semula ia menyangka, begitu membaca surat-surat tersebut, salah paham pihjk Bu Tong Pay bisa dihilangkan dan terselesaikan.

Tetapi siapa sangka, justru muncul lagi urusan yang menambah ruwet persoalan ini. "Baiklah Totiang, kini Loceng akan bicara terus terang. Bukankah Loceng tadi telah memberitahukan bahwa pihak Siauw Lim sudah mengirim dua orang muridnya untuk mengantarkan surat-surat ini pada Ciangbunjin kalian? Nah, justeru dalam perjalanan surat-surat itu dirampas oleh Thian Tee Jie Kui ! Loceng turun gunung justeru buat mengurus surat-surat itu, minta pada Thian Tee Jie Kui mengembalikan surat-surat itu.

Memang akhirnya Thian Tee Jie Kui mau mengembalikan surat-surat tersebut, Lo ceng dan murid Loceng ini belum lagi membuka dan melihatnya. Kami semula percaya Thian Tee Jie Kui akan bersikap baik, karena mereka kalah bertaruh ! Siapa tahu. Thian Tee Jie Kui sudah menaburkan racun jahat pada surat-surat tersebut ! Omitohud ! Omitohud !"

Muka Khoe Cie Tajin merah dan pucat bergantian karena terlalu marah, tubuhnya menggigil, matanya merah dan mengalirkan air mata. Seorang Sutenya sudah mati karena keracunan, justeru terjadinya di depan pucuk hidungnya !

"Apapun alasan yang dimajukan, kami sudah tidak bisa mempercayai lagi pihak Siauw Lim Pay! Kami minta pertanggungan jawab ! Satu jiwa harus dibayar satu jiwa! Silahkan kalian mengeluarkan senjata, kami akan mengadu jiwa demi keadilan !" Teriak Khoe Cie Tojin.

Urusan jadi demikian runyam. Tung Yang segera melompat masuk kedalam gelanggang. "Dengarkan !" teriaknya. "Aku yang menyaksikan sendiri Wie Sin Siansu meminta pulang surat-surat itu dari tangan Thian Tee Jie Kui, dan sejak menerima kembali surat-surat itu tadi belum lama, Wie Sin Siansu belum lagi membuka surat itu atau membacanya ! Aku Tung Yang bersedia jadi saksi, tidak mungkin aku berdusta !"

Waktu berkata begitu Tung Yang bicara keras sekali, sebab diapun murka Wie Sin Siansu didesak demikian rupa oleh orang-orang Bu Tong Pay.

Setengah kalap Khoe Cie Tojin mengibaskan pedangnya sampai mengaung. "Tung Yang, di dalam Kangouw namamu pun bukannya terlalu bersih! Kami tidak bisa mempercayai kesaksianmu ! Kami menyaksikan sendiri, betapa beraninya orang Siauw Lim membunuh saudara seperguruan kami didepan mata kami !"

"Apa ? Kau tidak percaya padaku ? Jadi kau anggap aku berdusta dan memberikan kesaksian palsu?" teriak Tung Yang gusar campur mendongkol. "Apakah kalian kira Tosu-tosu hidung kerbau dari Bu Tong pun terhitung manusia-manusia bersih dan baik ? Cisss, kulihat justeru murid-murid Bu Tong merupakan gentong-gentong nasi tidak punya guna ! Manusia tidak tahu malu!"

Khoe Cie Tojin dan saudara seperguruannya semakin kalap. Bahkan mereka siap-siap menerjang, tapi Wie Sin Siansu lompat ke samping Tung Yang. "Tung Hiapsu. sudahlah Berikanlah Loceng kesempatan untuk bicara!"

"Murid-murid Bu Tong mamrsia-manusia bejat tidak tahu malu!" Masih Tung Yang memaki, dia jengkel mendengar Khoe Cie Tojin menyebut-nyebut dia dalam kalangan Kangouw namanya tidak terlalu bersih. Hal itu sangat menyinggung perasaannya.

Bu An Taysu sendiri waktu itu sudah gusar melihat kelakuan murid-murid Bu Tong yang mengancam akan menyerang, ia bersiap-siap untuk menerima setiap serangan. Tapi bukan main kagetnya Bin An Taysu melihat Wie Sin Siansu memuntahkan darah segar.

Suhu...?!" Bun An Taysu berseru sambil melompat kedekat gurunya. "bagaimana keadaan Suhu? "

Wie Sin Siansu menghela napas, menggelengkan kepalanya perlahan mendorong sedikit lengan Bin An Taysu. Lalu memandang pada Khoe Cie Tojin. "Totiang, benar-benarkah Totiang tidak mau mendengar dulu keterangan Loceng ? Tidakkah Totiang mau memberikan kesempatan beberapa saat saja untuk penjelasan yang benar ?"

Tung Yang memang mendongkol terhadap pendeta-pendeta Bu Tong Pay, ia menuding dengan tangan kanan. "Kalian hidung kerbau dungu, lihatlah ! Karena kedunguan kalian membuat Wie Sin Siansu memuntahkan darah segar seperti itu ! Kalau memang Siansu itu mau mencelakai kalian apakah kalian masih bisa hidup? Berapa tingginya kepandaian kalian!"

Benar kata-kata Tung Yang merupakan makian, tapi kata-kata itu merupakan kenyataan. Khoe Cie Tojin dan kawan-kawannya pun tahu, kalau Wie Sin Siansu bersama Bun An Taysu hendak mencelakai mereka, tentu hal itu tidaklah terlalu sukar. Walaupun belum tentu mereka semuanya bisa dibinasakan oleh Wie Sin Siansu dan Bun An Taysu apalagi dibantu oleh Tung Yang, tapi mereka pasti akan rusak terluka parah.

Sedangkan buat menangkap Wie Sin Siansu berdua Bun An Taysu pasti tidak mungkin bisa dilaksanakan mereka. Setelah berpikir sejenak Khoe Cie Tojin bilang ketus: "Baiklah, kami tidak menyangka sedikutpun, bahwa yang melakukan pembunuhan-pembunuhan kejam terhadap saudara-saudara seperguruan Pinto bukan hanya murid-murid Slauw Lim Sie tingkat bawah ! Tokoh Siauw Lim Sie seperti Wie Sin Siansu Locianpwe pun ikut serta terlibat didalamnya ! Pantas saudara-saudara seperguruan Pinto tidak berhasil membela diri dan terbinasa mengenaskan! Kamipun memang tidak memiliki kehormatan buat berurusan dengan Wie Sin Siansu Locianpwe, kami akan kembali ke gunung untuk melaporkan semua ini pada tetua-tetua kami!"

Wie Sin Siansu menghela napas mukanya semakin murung. Kalau Khoe Cie Tojin dan murid-murid Bu Tong Pay ini pulang ke gunung memberikan laporan mereka, bukankah urusan jadi semakin ruwet dan salah paham antara Bu Tong Pay dengan Siauw Lim Sie akan semakin berat dan hebat?

"Dengarlah dulu. Totiang," kala Wie Sin Siansu "Loceng cuma mohon kalian mau mendengar dulu keterangan Loceng. Nanti barulah kita lihat, siapa yang bersalah dalam hal ini. Loceng ingin memperlihatkan, betapapun dugaan Bu Tong Pay selama ini keliru, karena Siauw Lim Sie memang tidak tersangkut dalam kasus pembunuhan yang terjadi selama ini terhadap murid-murid Bu Tong ! Semua itu hanya fitnah belaka !"

Muka Khoe Cie Tojin berobah pucat dan merah bergantian, air matanya masih mengucur deras, ia menangis sedih. "Baiklah. kata-kata apa lagi yang ingin Siansu kemuka kan, untuk pelengkap laporan kami pada Ciangbunjin setelah kami pulang ke gunung?"

"Marilah kita melihat dulu surat-surat itu!" Kaia Wie Sin Siansu sambil menunjuk kedua gulungan surat yang menggeletak di tanah. "Setelah membaca isi surat itu, tentu Totiang dan murid-murid Bu Tong lainnya akan menyadari bahwa selama ini kita hanya diadu dombakan oleh pihak ketiga, yang menginginkan kita bentrok dengan yang lainnya !"

Khoe Cie Tojin mengawasi ragu-ragu si pendeta suci Siauw Lim Sie, akhirnya ia mengangguk. "Mungkin juga nanti terbukti bahwa musuh yang mencelakai orang-orang kami bukan pendeta-peadeta suci Siauw Lim Sie, melainkan orang bulan ! "Jelas kata-kata terakhir itu merupakan ejekan yang ditujukan kepada Wie sin Siansu dan Siauw Lim pay.

Mata Bun An Taysu mendelik, ia mendongkol bukan main. Tapi Wie Sin Siansu membawa sikap tetap saleh, ia merangkapkan kedua tangannya memberi hormat. "Terima kasih, Totiang rupanya masih mau memberi muka terang kepada Loceng."

Kemudian Wie Sin Siansu memberi isyarat kepada Bun An Taysu agar membacakan isi surat-surat yang menggeletak di tanah. Bun An melaksanakan perintah, dengan ujung pedangnya dia menggeser surat yang satu dan mulai membaca dengan saara yang nyaring:

"Ciangbunjin Bu Tong pay Yang Mulia, bersama dengan surat ini kami atas nama Siauw Lim Sie ingin menyampaikan berita yang rasanya tidak begitu menyenangkan. Sejauh ini Bu Tong Pay sudah mengembangkan sayap dan terlalu mengumbar murid-muridnya, seakan dalam Kangouw hanya ada Bu Tong Pay, padahal Thio Sam Hong, cakal-bakal Bu Tong Pay tokh memperoleh kepandaiannya dari Siauw Lim Pay kami. ltulah sebabnya, sebagai ganjaran yang setimpal, kami menghukum beberapa murid Bu Tong Pay..." Membaca sampai di situ, suara Bun An Taysu semakin perlahan tubuhnya menggigil. la melirik pada Wie Sin Siansu dengan muka berobah pucat.

Wie Sin Siansu pun berdiri dengan tubuh gemetar. la kaget tidak terkira. Tidak disangkanya bunyi surat tersebut berobah dari yang sesungguhnya. Tung Yang pun kaget tidak terkira, dia tidak menyangka sedikitpun akan begitu macam bunyinya surat yang di anggap bisa menolong meredahkan kesalahan-pahaman antara Sauw Lim Sie dengan pihak Bu Tong Pay.

Muka Khoe Cie Tojin berobah hebat, sebentar merah sebentar pucat kehijau-hijauan. la bersama murid-murid Bu Tong Pay lainnya merasa terhina dan sakit hati, karena menganggap pendeta-pendeta Siauw Lim Sie itu memang sengaja hendak menghina dan mempermainkan mereka. Tangan Koe Cie Tojin menggenggam gagang pedang kuat-kuat.

Setelah rasa kagetnya berkurang, dalam sikap ragu-ragu, Bun An Taysu melanjutkan lagi membaca surat itu : "Jika keputusan dan kebijaksanaan kami ini kurang mengembira-kan hati Tojin-Tojin terhormat dari Bu Tong Pay. kami persilahkan untuk berkunjung saja berhitungan di Siauw Lim Sie. Setiap saat kami menanti. Sekali lagi kami ingin menegaskan, selanjutnya Bu Tong Pay harus tunduk dan patuh pada Siauw Lim Sie. Tertanda : Hongthio Siauw Lim Pay, Tang Sin Siansu."

Hebat bunyinya surat itu. Bukannya bisa meredahkan salah paham yang terjadi, malah bisa memperruncing persoalan. Bun An Taysu membaca surat yang satunya lagi, dengan suara agak tergetar:

"Ciangbunjin Bu Tong Pay yang Mulia, jika memang murid-murid Bu Tong Pay sulit diurus dan diajar, silahkan kirim mereka ke Siauw Lim Sie, kami yang akan mendidiknya, mengajarkan pada mereka bagaimana menjadi Tosu yang baik dan saleh. Salam dari murid-murid Siauw Lim Sie,"

Bunyi surat yang kedua inipun sama hebatnya seperti yang pertama. Muka Bun An Taysu sampai berobah pucat, keringat dingin menitik deras di keningnya "Suhu . . . ?" Suaranya sember ketika ia menoleh kepada Wie Sin Siansu, seakan ingin minta pendapat gjrunya. Wie Sin Siansu berdiri dengan mata terpejam dan muka pucat puas.

Tubuh pendeta Suci yang tua itu gemetaran menahan rasa kaget, marah dan campur sesal ! Tidak disangkanya bahwa surat-surat itu bukanlah surat-surat asli yang diinginkan. Rupanya Thian Tee Jie Kui sudah menukarnya surat-surat asli dengan surat-surat yang dipalsukan tersebut! inilah hebat, tampaknya salah paham antara Bu Tong Pay dengan Siauw Lim Pay tidak bisa diredakan lagi.

Khoe Cie Tojin tidak bisa menahan diri lagi, tubuhnya tiba-tiba melompat kepada W'e Sin Siansu, pedangnya menikam dada,pendeta suci itu diiringi teriakan nekad, air matanya juga bercucuran. "Pinto akan adu jiwa..."

Sebetulnya sebagai pendeta suci Siauw Lim Sie yang me nitiki kepandaian sudah sukar diukur, Wie Sin Siansu bisa saja meng-hindarkan diri diri tikaman tersebut. Tapi ia tidak melakukannya. Bibirnya yang gemetar cuma menyebut: "Omitohud...! Siancay ! Siancay !" Matanya dipejamkan dan ia membiarkan mata pedang yang akan menancap di dadanya!

Tidak terkira kagetnya Bun An Taysu, tapi ia tidak mungkin keburu menolongi Wie Sin Siansu. Bun An cuma berseru: "Suhu... hati-hati...!"

Tung Yang sejak tadi berdiri menjublek karena heran dan kaget mendengar Bun An Taysu membaca surat-surat itu dengan isinya yang di luar dugaan, juga tidak kurang kagetnya melihat jiwa pendeta suci Siau Lim Sie terancam.

Tanpa pikir panjang tubuhnya melompat dan ia menangkis pedang Khoe Cie Tojin dengan ranting pohon yang sejak tadi dicekalnya. Telapak tangan kirinya juga memukul dada Khoe Cie lojin.

Murid Bu Tong P^y yang seorang ini sedang nekad dan kalap, tapi tidak urung pukulan telapak tangan Tung Yang menyebabkan ia terpental ke belakang dengan muka yang pucat pias.

Murid-murid Bu Tong Pay lainnya ingin menyerbu, tetapi Khoe Cie Tojin memberi isyarat. "Baiklah, kami murid-murid Bu Tong Pay memang tidak punya guna. Kami akan memberitahukan hal itu kepada tetua-tetua kami, agar mereka minta pengajaran para Siansu, untuk jadi Tosu-tosu yang baik dan saleh !"

Setelah berkata dengan kemurkaan yang meledak, ia memberi isyarat kepada saudara-saudara seperguruannya, mereka angkat kaki meninggalkan tempat itu.

Wie Sin Siansu membuka matanya, hendak mencegah kepergian Khoe Cie Tojin dan saudara-saudara seperguruannya. Tetapi hal itu tidak dilakukannya, akhirnya ia menghela napas dengan muka yang murung. Urusan telah berkembang semakin buruk.

Bun An Taysu melompat ke dekat Wie Sin Siansu. "Suhu," katanya. "Mengapa surat-surat itu..."

"Omitohud!" Thian Tee Jie Kui berhasil menukar surat-surat itu dengan yang palsu. Tampakuya persoalan semakin rumit, karena pihak Bu Tong pai semakin keras menuduh yang tidak-tidak kepada pihak kita." Berulangkali pendeta suci itu menghela napas wajahnya muram.

"Kita tidak perlu kuatir, Suhu !" Kata Bun An Taysu mendongkol. "Kalau memang pihak Bu Tong tidak mau memberi sedikit muka terang kepada kita dan tetap bersikeras menuduh yang tidak-tidak kepada kita, hal itu rasanya tidak boleh dibiarkan saja. Kita harus menghadapinya, agar mereka tidak kecewa !"

"Siancay ! Siancay ! Bun An, jangan berpendirian seperti itu. Kita memang kena fitnah dan kewajiban kita untuk membersihkan nama baik kita. kalaupun bagaimana tetua-tetua Bu Tong Pay harus diberikan pengertian, bahwa pihak kita berdua tengah diadu dombakan oleh pihak lainnya. Namun urusan sudah terjadi demikian jauh, jadi semakin rumit."

Tung Yang menghampiri Wie Sin Siansu. "Siansu tidak boleh kecil hati, kalau Bu Tong Pay tidak mau memberi muka terang pada pihak Siansu, apa salahnya dihadapi dengan sebaik-baiknya ? Bukankah mereka para hidung kerbau yang dungu tidak bisa diberi pengertian ?"

Wie Sin Siansu tersenyum pahit. "Tung Hiapsu, terima kasih atas perhatian Hiapsu. Urusan ini adalah persoalan dalam pintu perguruan kami, dan akan kami selesaikan sebaik mungkin. Oya, bisakah Loceng melihat putera Giok Goanswee ?"

Tung Yang mengajak Wie Sin Siansu dan Bun An Taysu ke dalam rumah, memperkenalkan kepada isterinya, Tung Im. Waktu itu Giok Han masih rebah pingsan belum sadarkan diri, Melihat keadaan Giok Han, alis Wie Sin Siansu berobah tambah muram, sepasang alisnya yang sudah putih berkerut.

"Omitohud ! Omitohud ! Apa yang telah terjadi pada diri Siauw Kongcu ini?" tanya Wie Sin Siansu dengan suara yang ragu-ragu.

"Ia dilukai secara kurang ajar oleh Bwee Sim Mo Lie, racun mengendap didalam tulang pundaknya." Menjelaskan Tung Yang.

Wie in Siansu menghela napas dalam-dalam. "Sayang, sayang..." gumamnya dan tidak bilang apa-apa lagi.

Tung Yang dan Tung Im jadi heran. Bahkan Tung Yang tidak bisa menahan diri, segera mendekati Wie Sin Siansu, merangkapkan kedua tangannya memberi hormat. "Apakah Siansu ada pengajaran tentang anak ini?" tanyanya.

Muka Wie Sin Siansu muram benar, dia menghela napas dalam-dalam, baru sekarang dengan sikap yang sudah berobah menjadi sabar kembali, dia menunjuk kepada Giok Han. "Kalau Giok Kongcu tidak segera memperoleh pengobatan yang tepat, niscaya akan sia-sialah jika tokh akhirnya ia tetap bisa hidup." setelah berkata begitu, sipendeta berulangkali berucap : "Siancay ! Siancay !"

Tercekat hati Tung Yang. la sebagai tabib yang memiliki ilmu pengobatan yang tinggi. Memang diketahuinya bahwa Giok Han harus menerima pengobatan yang cukup lama, tapi dia tidak melihat bahaya yang terlalu besar pada luka bocah itu. "Siansu, kami mohon petunjuk Siansu..." kata Tung Yang, ia mengawasi pendeta tua itu.

"Tung Hiapsu, maafkan, Loceng tahu bahwa Tung Hiapsu seorang ahli pengobatan, Tetapi, Giok Kongcu memerlukan Im Giok (Batu Pualam Dingin) yang terdapat di Lo-im-tang, agar racun didalam tubuhnya terhisap keluar seluruhnya Hal ini Loceng kemukakan bukan sekali-kali meremehkan kepandaian Tung Hiapsu, tapi sekali saja melakukan sedikit kekeliruan, bukankah berarti penyesalan seumur hidup? Omitohud ! Omitohud !"

Tung Yang semakin kaget. Segera ia tersadar, betapa memang luka Giok Han memang hebat sekali. Pendeta suci itu memiliki penglihatan yang sangat tajam. Memang apa yang diucapkan Wie Sin Siansu tepat sekali saja Tung Yang keliru dalam pengobatan pada Giok Han, maka bisa menyebabkan Giok Han bercacad seumur hidup.

Ini merupakan suatu persoalan yang harus diputuskan dengan cepat. Tentang Im Giok, batu pualam yang dimiliki Siauw Lim Sie, memang pernah didengarnya. Im Giok sebuah pembaringan terbuat dari batu Giok yang usianya sudah ribuan tahun, dingin sekali. Jika seseorang duduk berssmedhi diranjang batu Im Giok tersebut, bisa menambah cepat kesempurnaan Lwekang. Jika rebah di ranjang Im Giok, seluruh tubuh akan bersih dari racun-racun kotor, yang semuanya akan terhisap keluar dari tubuh.

"Siansu!" kata Tung Yang sambil memberi hormat lagi kepada Wie Sin Siansu "Ada sedikit permintaanku, Entah Siansu mau memenuhinya atau tidak.."

"Katakanlah Tung Hiapsu. jika memang Loceng sanggup melakukannya, tentu akan memenuhi permintaan Tung Hiapsu."

"Anak itu," kata Tung Yang sambil menunjuk pada Giok Han yang rebah pingsan diranjang. "Ia menderita luka karena keracunan hebat, oleh tangan jahat Bwee Sim Mo Lie, Lohu memang mengerti sedikit ilmu pengobatan dan tahu tentang racun-racun. Jika menghadapi racun-racun biasa saja, memang Lohu bisa menyembuhkan sebaik-baiknya. Namun sekarang, anak itu menderita luka yang parah. Racun sempat menerobos masuk kedalam tulangnya yang patah. Kasihan kalau anak itu sampai cacad, terlebih lagi dia putra satu-satunya dari Giok Goan-swee almarhum...

Wie Sin Siansu merangkapkan kedua tangannya, dengan ssbar pendeta alim Siauw Lim Sie itu bilang: "Jadi maksud Tung Hiapsu ingin meminta agar kami memperbolehkan anak itu mempergunakan ranjang Im Giok, bukan ?"

Tung Yang mengangguk. "Ya, di samping memperbolehkan anak itu mempergunakan ranjang Im Giok, juga Lohu ingin meminta kemurahan haii Siansu untuk bantu menyembuhkan anak itu, agar ia terhindar dari cacad. Memang semula Lohu bertekad hendak berusaha menyembuhkannya, tapi sekarang Lohu berpikir lain. Lohu kuatir kalau kalau nanti gagal dengan usahaku, sehingga berakibat buruk untuk anak itu. Kalau memang Siansu tidak keberatan, sekali lagi Lohu mohon kemurahan hati Siansu untuk menolong anak itu. Juga, jika sudah sembuh anak itu tidak memiliki famili, jika ikut dengan kami hal itu tidak baik, cara hidup kami tidak menentu. Alangkah baiknya jika anak itu diasuh oleh Siauw Lim Sie..."

"Siancay ! Siancay !" Wie Sin Siansu tersenyum sabar. "Baiklah! Dengan memandang Giok Goan-swee, agar arwahnya bisa tenteram karena keturunannya satu-satunya tidak di telantarkan, maka Loceng akan berusaha untuk memenuhi permintaan Tung Hiapsu !"

Girang Tung Yang. la bersama Tung Im memberi hormat kepada pendeta tua yang alim itu, mengucapkan terimakasih. Wie Sin Siansu memberi isyarat kepada Bun An Taysu agar menggendong Giok Han, kemudian mereka berpisahan.

Sebelum berpisahan Tung Yang masih sempat berjanji akan bantu menyelidiki tentang Thian Tee Jie Kui dan siapa orang yang berada di belakangnya, yang ingin mengadu domba Siauw Lim Pay dengan Bu Tong Pay.

Juga Tung Yang berjanji akan berusaha bantu menyelidiki tentang dua surat penting yang hilang, yang sempat dipalsukan oleh Thian Tee Jie Kui. Merekapun berpisahan, Wie Sin Siansu berlalu membawa Giok Han, sedangkan Tung Yang berdua Tung Im memutuskan tidak kembali ke tempat mereka, di puncak gunung Biesan.

Mereka sudah berjanji pada Wie Sin Siansu untuk bantu pihak Siauw Lim Sie menyelidiki tentang surat-surat yang lenyap, juga mereka ingat akan "undangan" Thio Eng Goat, iblis beracun. Mereka harus memenuhi undangan itu, yaitu di bulan dua-belas pada tanggal limabelas datang ke lembah Kui-hun (Arwah Setan).

Sebetulnya Tung Im maupun Tung Yang ingin melewati hari-hari tua mereka dengan tenang di tempat pengasingan dan tidak mencampuri urusan Kangouw. Namun kini tampaknya mereka sudah terseret ikut dalam pergolakan dalam dunia persilatan, tampaknya sulit buat mereka menarik diri lagi...

Wie Sin Siansu pendeta suci Siauw Lim Sie, biasanya ia sangat tenang, walaupun menghadapi urusan yang paling berat sekalipun. Tung Im dengan Tung Yang hanya melihat pendeta itu menaruh perhatian untuk keselamatan Giok Han. tapi tidak terlihat perasaan lain di muka pendeta suci itu.

Tetapi setelah berpisah dengan Tung Im dan Tung Yang, Wie Sin Siansu lenyap ketenangannya, la sambil berlari di sisi Bun An Taysu yang menggendong Giok selalu melirik memperhatikan wajah Giok Han. "Anak ini harus diselamatkan ! Hai ! Hai ! Untung saja kita bertemu pada waktu yang tetap. Terlambat beberapa hari lagi, entah bagaimana masa depan anak ini. Kasihan keluarga Giok Goanswee telah dihancurkan oleh Kaisar lalim, anak ini, yang merupakan satu-satunya keturunan Giok Goanswe, tengah terancam jiwanya."

Sebetulnya Bun An sejak pertama mereka melihat Giok Han, sudah mengetahui bahwa gurunya berkuatir. Sudah puluhan tahun Bun An Taysu mendampingi gurunya, karenanya ia tahu gurunya tengah tegang, sebap seperti biasanya kalau perasaannya tengah gelisah. Wie Sin Siansu akan memandang sesuatu dengan mata bersinar tajam, justeru waktu melihat Giok Han pertama kali, mata Wie Sin Siansu memang bersinar sangat tajam.

Sekarang mendengar perkataan gurunya seperti itu. Bun An Taysu jadi tidak mengerti. "Suhu," katanya tanpa mengurangi larinya. "Anak ini memang terluka cukup berat, tetapi rasanya tidak akan membahayakan jiwanya."

Wie Sin Siansu menghela napas geleng-geleng kepalanya "Bun An tidakkah kau lihat pada bagian tepat titik jalan darah Su-ho-hiat tiga hun dibawah alis, ada bayangan hitam sama ?"

Bun An Taysu tengah menggendong Giok Han, tapi ia bisa menoleh dan melihat. Benar saja, pada titik jalan darah Su-ho-hiat tiga hun dibawah alis Giok Han, ada bayangan kehitam-hitaman. Hati Bun An Taysu tercekat inilah berbahaya untuk keselamatan jiwa Giok Han. Biasanya, jika seseorang menderita luka parah, dan pada titik Su-ho-hiat-nya terlihat bayangan hitam, berarti lukanya itu parah benar, yang mengganggu kerjanya jantung.

Kalau sampai warna titik di Su-ro-hiat menghitam lebih gelap, akan putuslah napas orang itu. Walaupun obat dewa tidak mungkin bisa menyelamatkannya lagi. Segera Bun An Taysu tersadar, mengapa gurunya begitu gelisah. Bun An Taysu jadi berdiam diri saja dengan hati ikut gelisah. "Apa yang harus kita lakukan, Suhu ?" tanyanya.

Wie Sin Siansu kelihatannya seperti orang linglung, la tak menyahut, cuma menggelengkan kepala. Alisnya yang memutih tampak mengkerut dalam-dalam. "Satu-satunya jalan yang bisa kita tempuh," Wie Sin Siansu bilang setelah lewat beberapa lama, memperpanjang jiwa anak ini dengan membendung jalan darau Wai-sie, Seng-sie dan Cie-kang. Jalan darah itu semuanya harus ditotok dengan tepat, nanti setelah tiba di Siauw Lim barulah kita menggunakan ranjang Im Giok dan memohon kemurahan hati Hongthio buat mempergunakan Tat Mo Sinkang menyelamatkan jiwa anak ini! Walau bagaimanapun, anak ini harus diselamatkan, jangan sampai mengecewakan arwah Giok Goanswee !" berkata sampai disitu Wie Sin Siansu menghela napas. Pikirannya agak kalut. Urusan antara Siauw Lim dengan Bu Tong Pay yang timbul salah paham, walaupun merupakan urusan yang cukup berat, tapi tidak menggelisahkan seperti memikirkan keselamatan Giok Han, yang sampai saat itu masih tetap pingsan tidak sadarkan diri.

Setelah itu, sipendeta suci Siauw Lim Sie berdua muridnya hanya berlari dengan mempergunakan ilmu lari cepat tanpa berkata-kata, keduanya berdiam diri.

Selang beberapa hari, sesudah menyeberangi Sangai Kuning(Hoangho) dan masuk kedaerah S'amsay, keadaan Giok Han mengalami kemajuan. Setelah tiga jalan darahnya, Wai-sie dan Cie-kang, ditotok oleh Wie Sin Siansu dengan Tat Mo Sinkang, boleh dibilang umur si bocah bisa diperpanjang, untuk bertahan sampai mereka bisa mencapai Siauw Sit San, di mana kuil Siauw Lim Sie berada.

Mungkin masih memerlukan perjalanan satu bulan lebih. Dua hari sejak penotokan ketiga jalan darah tersebut, Giok Han mulai sadar, pertama-tama si bocah kaget dan menanyakan mengapa ia bisa berada bersama kedua pendeta itu. Wie Sin Siansu sabar menceritakan segalanya, juga apa yang didengarnya dari Tung Yang diceritakan lagi pada Giok Han.

Bocah itu jadi heran dan bingung. Waktu Tung Yang mcnolongi dan membawanya pergi, si bocah dalam keadaan pingsan, Hal itu tidak diketahuinya. la hanya ingat, waktu itu dia tengah berkutetan dengan Bwee Sim Mo Lie yang digigitnya, yang diingatnya telah menghantam dan membuat ia terpental menderita kesakitan Selanjutnya dia tidak tahu lagi, karena jatuh pingsan.

Agak rewel Giok Han menanyakan tentang encie Yang Lan-nya, tentang Yang Bu In, terutama sekali mengenai Lam Sie, pengasuh tua yang setia itu, juga tentang Khang Thiam Lu, kewalahan Wie Sin Siansu menerima pertanyaan bertubi-tubi dan rewel dari si bocah. ia sendiri tidak tahu dan tidak kenal dengan orang-orang yang ditanyakan Giok Han. namun sabar sekali pendeta alim ini melayani setiap kerewelan Giok Han. "Tenanglah, anak. Nanti kau akan bertemu lagi dengan mereka... sekarang kesehatanmu harus dipentingkan dulu, jangan terlalu banyak berpikir, bisa mengganggu kesehatanmu."

Tapi Giok Han masih terus juga rewel, Bun An Taysu yang selalu mewakili Wie Sin Siansu menenangkan Giok Han, ikut kewalahan juga. Hanya saja, kedua pendeta itu sabar luar biasa. Mereka ingat, anak ini adalah satu-satunya keturunan Giok Goanswee yang masih hidup, merekapun terharu melihat begitu besar perhatian Giok Han kepada orang-orang yang dicintainya, yang pernah dekat dengannya.

Di dalam dunia persilatan kedua Hweshio Siauw Lim Sie ini adalah pendeta-pendeta suci yang sangat disegani, yang tidak akan banyak bicara jika tidak perlu. Mereka adalah pendeta-pendeta saleh yang tidak mungkin dilibat oleh kerewelan seperti yang dilakukan oleh Giok Han.

Tapi kini, terhadap Giok Han, kedua pendeta itu seperti berobah bagaikan burung beo yang harus bicara terus menerus menenangkan si bocah, membujuknya dan menghiburnya.

Giok Han tidak puas dengan keterangan-keterangan kedua Hweshio itu, apa lagi mendengar dirinya akan dibawa ke Siauw Lim Sie, akhirnya disebabkan terlalu jengkel, bocah itu menangis: "Aku tidak boleh menangis. Seorang Kongcu tidak akan menangis!" Waktu menangis Giok Han menggumam begitu tidak hentinya, namun air matanya tetap mengucur deras ! Tentu saja ini merupakan peristiwa mengharukan campur lucu.

Hati Wie Sin Siansu jadi tergetar, hatinya terharu. Biasanya ia merupakan pendeta alim yang tidak mudah dikuasai oieh perasaan marah, senang, jengkel dan lain-lainnya, hanya sekarang dia ikut terharu, apa lagi mengingat seluruh keluarga diiri bocah di depannya ini telah dimusnahkan oleh Kaisar yang lalim. Dipeluknya Giok Han, ditepuk-tepuk punggungnya penuh kasih sayang dan sabar.

"Benar anak, kau tidak boleh menangis. Seorang Kongcu tidak akan menangis."

"Tapi .... tapi mengapa aku harus di pisahkan dari Encie Yang Lan ? Paman Bu In ? Paman Khang Thiam Lu dan naman Lam Sie ? Mengapa aku harus dibawa ke Siauw Lim Sie ? Bukankan .... bukankah Taysu bisa membawaku pulang di tengah-tengah mereka?", kata Giok Han sambil menghapus air matanya.

Wie Sin Siansu menghela napas. Sabar sekali katanya: "Kesehatanmu tidak baik, kau terluka anak. Karenanya kami membawa mu ke Siauw Lien Sie untuk berobat. Nanti setelah sembuh tentu kami akan mengantarkan kau kembali ke tengah-tengah mereka, orang-orang yang kau cintai !"

"Taysu tidak berbohong?" tanya Giok Han.

Wie Sin Siansu tidak marah, juga tersinggung oleh pertanyaan si bocah. "Loceng berjanji dan akan menepati janji Loceng."

Giok Han menoleh kepada Bun An Taysu. "Taysu juga berjanji?".

"Ya berjanji, nanti kami akan mengantarkan kau kembali ke Encie Yang Lan, ke paman Lam Sie dan yang lain-lainnya," menyahuti Bun An Taysu sambil tersenyum.

"Jangan bohong ya ?! Aku anak yang bernasib jelek, orang tuaku dibunuh orang. keluargaku dihancurkan. Di dunia ini aku hidup sendiri, Encie Yang Lan, paman Lam Sie dan yang lain-lainnya sangat sayang padaku Kalau... kalau aku dipisahkan dari mereka... nanti... nanti aku tidak tahu kemana harus pergi, hidup sendiri..." Dan air mata Giok Han mengucur lagi, tampaknya dia jadi sedih.

Terharu hati Wie Sin Siansu dan Bun An Taysu, mereka segera menghibur Giok Han. Dasar bocah, tentu saja Giok Han tidak tahu siapa kedua pendeta didepannya, yang sebetulnya merupakan hwesio-hwesio suci Siauw Lim Sie.

Orang lain, untuk bertemu dan bercakap-cakap dengan mereka sulitnya bukan main, justeru sekarang Giok Han demikian rewel dan sikapnya selalu memperlihatkan din tidak mempercayai kedua Hwe-sio suci itu !

Sejak kecil Wie Sin Siansu maupun Bun An Taysu hidup di kuil Siauw Lim Sie. Setiap hari bergaul dengan kitab-kitab suci, mereka tidak pernah kenal wanita ataupun juga berpikir untuk kawin, Sekarang mereka berdua harus menghibur dan menenangkan Giok Han, tentu saja keduanya jadi kewalahan. Jika ada yang menyaksikan, betapa kedua Hwesio itu demikian sibuk selalu menghibur dengan berbagai janji dan tingkah agar si bocah gembira, tentu orang akan tertawa geli.

Bun An Taysu sampai mengajak Giok Han untuk main petak, saling kejar, atau main hitung-hitung jari tangan, permainan yang biasa dilakukan anak-anak !

Karena sikap yang luar biasa sabar dan juga Giok Han melihat kedua Hwesio itu tidak memperlihatkan tanda-tanda sebagai orang jahat, akhirnya lewat beberapa hari bocah itupun mulai pulih kegembiraannya, walaupun masih sering rewel menanyakan Encie Yang Lannya, paman Lam Sie, paman khang Thiam Lu, atau juga menanyakan kapan ia diantarkan untuk bisa berkumpul dengan mereka.

Satu yang membuat tenang hati Giok Han, walaupun Wie Sin Siansu tidak mengetahui siapa itu Bwee Sim Mo Lie yang disebut-sebut Giok Han sebagai Ciecie yang paling jahat dan tengah mengancam keluarga Yang, pendeta suci yang bijaksana ini bilang bahwa Bwee Sim Mo Lie akhirnya bisa dibujuk untuk menjadi teman keluarga Yang, sehingga tidak terjadi pertempuran lagi

Oooo, jadi Ciecie Bwee Sim Mo Lie tidak marah-rnarah lagi pada keluarga paman Yang ? tanya Giok Han.

"Ya, mereka sudah jadi sahabat, karenanya kau tidak perlu kuatir lagi tentang mereka." Menimpali Bun An Taysu

Setelah melewati Hoancoan, mereka terpisah tidak jauh lagi dengan Siauw Sit San. Melakukan perjalanan 6 hari lagi, akhirnya mereka tiba dikuil Siauw Lim Sie.

Melihat Siauw Lim Sie yang megah dan angker, Giok Han sejenak tertegun. "Hebat, hebat !" pujinya.

Bun An Taysu menoleh pada si bocah. "Apanya yang bagus, Hanjie ?"

"Kuil ini sangat indah, mungkin istana Kaisar lalim itupun rmsih kalah angkernya!" menyahiti Giok Han.

Bun An Taysu tertawa. "Tentu. istana seorang Kaisar yang umumnya kotor, penuh dengan perbuatan maksiat, penuh dengan orang-orang yang berlumuran dosa, mana bisa dibandingkan dengan keangkeran kuil kami ?"

Waktu bicara begitu, walaupun tengah menimpali pembicaraan seorang bocah, wajah Bun An Taysu pun memperlihatkan kebanggaan, mukanya berseri-seri, memandang betapa megahnya kuil Siauw Lim Sie, yang sudah sekian puluh ribu rahun berdiri tanpa pernah goyah oleh perobahan jaman maupun perobahan pemerintahan.

Giok Han tidak bisa menangkap makna perkataan Bun An Taysu, ia mengawasi si pendeta. Dilihat muka Bun An Taysu berseri-seri, matanya tajam sekali, tanpa disadari timbul rasa hormat di hati Giok Han pada Hweshio ini. Agung sekali sikapnya. "Jadi di istana Kaisar lalim itu memang banyak orang berdosa, Taysu ? Juga istana itu kotor sekali ?"

Bun An Taysu seperti tersadar dari lamunannya, ia tersenyum sabar, mengusap-usap kepala s bocah. "Nanti setelah dewasa kau akan mengerti semuanya, Han jie."

"Wie Sin Siansu pun seperti kesima mengawasi Siauw Lim Sie yang berdiri tegak angker di hadapannya. Betapa kini justeru Siauw Lim Sie tengah dilibatkan oleh fitnah agar bentrok dengan Bu Tong Pay.

Benar Bu Tong Pay tidak sebesar Siauw Lim Sie, tidak seangker Siauw Lim Sie, akan tetapi Bu Tong Pay bukanlah pintu perguruan yang lemah. Terlehih lagi yang membuat Wie Sin Siansu menyesal sekali, Bu Tong Pay merupakan satu-satunya pintu perguruan dari golongan putih, yang disegani oleh seluruh dunia persilatan setelah Siauw Lim Sie !

Kembalinya Wie Sin Siansu bersama Bun An Taysu yang membawa Giok Han segera dilaporkan pada Hongthio Siauw Lim Sie, Tang Sin Siansu.

Sute Tang Sin Siansu yang lainnya, Tang Bun Siansu, Tang Lang Siansu dan Tang Lu Siansu, ikut menyambut. Mereka sebelumnya telah menerima laporan dari Kam Siang Cie berempat yang sudah kembali ke Siauw Lim Sie beberapa waktu yang lalu.

Wie Sin Siansu berdua Bun An Taysu cepat-cepat memberi hormat kepada tetua-tetua mereka. Dengan muka agak muram Tang Sin Siansu bilang: "Wie Sin, bagaimana lukamu ? Apakah tidak ada halangan sesuatu ? Urusan memang kabarnya dapat kau selesaikan dengan diambil kembali kedua pucuk surat berharga itu, hanya saja kau terlalu berani dengan menerima ketiga pukulan dari manusia rendah seperti Thian Tee Jie Kui."

Dengan sikap hormat Wie Sin menyahuti: "Setelah beristirahat sebulan lebih dengan mempergunakan Tat Mo Sinkang, berkat doa Hongthio, kesehatan tecu telah pulih sebagaimana biasa, tapi perihal kedua surat itu..."

Wie Sin Siansu menoleh pada Bun An Taysu yang waktu itu tengah saling lirik dengan Giok Han dan tersenyum-senyum, karena si bocah selalu berbisik-bisik rewel sekali menanyakan mengapa begini banyak pendeta, dan siapa keempat pendeta tua yang tampaknya begitu alim dan agung sehingga Bun An Taysu harus menjelaskan dengan berbisik-bisik juga.

"Tecu kira Bun An bisa menjelaskannya kepada Hongthio..." Bun An Taysu cepat-cepat maju memberi hormat kepada tetua-tetuanya dan menceritakan apa yang sudah terjadi, tentang dipalsukannya surat-surat itu. Muka Tang Sin Siansu berobah murung.

"Kalau demikian kita harus kirim orang ke Bu Tong Pay. menjelaskan duduk persoalan yang sebenarnya, tanpa perlu mengandalkan kedua surat itu lagi. Kiia usahakan pihak Bu Tong Pay mau mengerti," kata Tang Sin Siansu setelah Bun An Taysu selesai dengan ceritanya, kemudian Hongthio ini menoleh pada Tang Bun Siansu:

"Sute, Bagaimana kalau kau mewakiliku untuk menemui Ciangbunjin Bu Tong, menyelesaikan persoalan ini ?"

Alis Tang Bun Siansu yang sudah putih semuanya seperti tumpukan salju, mengkerut. "Apakah hal ini tidak akan menyebabkan bertambah besarnya salah paham antara pihak kita dengan pihak Bu Tong ? Suheng, walaupun bagaimana surat-surat yang menjadi bukti harus kita peroleh, juga kita harus membongkar perbuatan siapa yang telah menyebarkan fitnah ke alamat kita! Dengan cara demikian jelas bisa diterima oleh Ciangbunjin Bu Tong Pay."

Tang Sin Siansu menghela napas dalam-dalam. "Rasanya, Ciangbunjin Bu Tong masih mau memberikan muka terang pada kita kalau kau mewakiliku secara resmi menemuinya. Tidak ada pilihan lain,"

"Baiklah Suheng, kapan aku berangkat ?"

"Secepatnya. Aku yakin Siong Kie Tojin bukan seorang berpikiran cupat bisa terhasut oleh fitnah rendahan seperti itu. Jika kita bisa menjelaskan duduk persoalannya dengan sebaik-baiknya, kesalah pahaman ini bisa diatasi."
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar