Cula Naga Pendekar Sakti Bagian 10

Baca Cersil Mandarin Online: Cula Naga Pendekar Sakti Bagian 10
Cula Naga Pendekar Sakti Bagian 10

Dan dalam goa terdengar suara batuk-batuk perlahan. Kemudian baru terdengar jawaban. "Sekarang pergilah kau mengawasi gerak-gerik ketujuh Hwesio itu, aku akan pergi menemui pemimpin kita, nanti baru kuberi tahukan pada mi apa yang harus kita lakukan !"

"Baik, Suhu !" Bi Tin mengangguk satu kali lagi berlutut didepan goa itu, kemudian bangkit dan berlari meninggalkan tempat tersebut keluar dari lembah.

Dari dalam goa terdengat suara batuk-batuk lagi perlahan, disusul muncul sesosok tubuh. Sinar bulan menerangi tempat itu redup sekali, tapi cukup jelas untuk melihat sosok tubuh itu adalah seorang lelaki lanjut usia, mungkin hampir enampuluh tahun.

Tubuhnya kurus dan mengenakan jubah panjang warna kuning. Rambutnya digelung ke atas, ditusuk oleh gading panjang seperti tusuk konde yang biasa dipakai oleh seorang Tojin.

Melihat keadaan orang tua itu memang seperti seorang penyakitan, tapi apa yang di lakukannya kemudian benar-benar mencengangkan, hampir seperti terjadi dalam khayal dan mustahil saja. Tangan kiri dan tangan kanannya yang kurus seperti tulang dibungkus kulit, diulurkan kedepan, kedekat sebongkah batu yang mungkin beratnya lebih dari 1000 kati, dengan seenaknya orang tua itu mengangkat batu tersebut, kemudian menurunkannya perlahan-lahan dipindahkan kesampingnya !

Seorang manusia bisa mengangkat batu yang beratnya lebih dan 1000 kati dengan begitu mudah, seakan tidak mengeluarkan tenaga, meletakkannya perlahan-lahan, benar-benar peristiwa yang jarang terjadi. Untuk bisa menggeser batu seberat itu saja rasanya sudah jarang bisa ditemui, apalagi mengangkat dan memindahkannya perlahan-lahan menurunkan kembali ! Tapi orang tua itu tampaknya tidak mempergunakan tenaga sedikitpun juga.

Tempat di mana batu tadi diangkat, tampak terbuka sebuah goa yang cukup besar, tanpa ragu-ragu orang tua itu melangkah masuk kedalam goa. Dia menyusuri lorong yang panjang gelap dan lembab, sampai akhirnya menikung beberapa kali, barulah dikejauhan tampak sinar terang.

Dia melangkah lebih cepat, tiba didalam goa yang memiliki penerangan, dimana ternyata merupakan sebuah ruangan yang penuh dengan perabotan rumah tangga yang mewah ! ltulah sebuah goa yang telah disulap menjelma jadi sebuah ruang yang mewah dan terang benderang oleh sinar belasan batang lilin !

Di ruang tersebut tampak duduk seorang pemuda berusia 20 tahun, dengan sikap angkuh, mukanya dingin melebihi es tidak memperlihatkan perasaan apapun juga, matanya bersinar tajam, juga dingin. Alisnya tebal hitam, bibirnya tipis. Dia pemuda tampan, tubuhnya kurus semampai, jubah yang dipakainya sangat mewah.

"Kongcu, ada yang ingin kulaporkan kepadamu." kata orang tua itu sambil membungkukkan tubuhnya sedikit sebagai tanda sikap menghormat pada pemuda itu.

Pemuda berpakaian mewah tersebut melirik, mukanya tetap dingin tidak memperlihatkan perasaan apapun Ci Hoan Liong, katanya suaranya sama dingin seperti mukanya. "Apakah ketujuh pendeta Siauw Lim Sie itu sudah bisa dibereskan ?"

"Belum, Kongcu. Justru aku ingin meminta pertimbangan Kongcu, apakah aku perlu memperlihatkan diri, karena apa yang dilakukan oleh Tong-see-pak bertiga hanya memancing rasa penasaran ketujuh pendeta itu, mereka malah semakin curiga."

Pemuda itu tertawa dingin.

"Ci Hoan Liong," katanya kemudian, tetap tawar. "Kau sudah mengetahui apa yang kuinginkan, bukan ?"

"Ya, sudah tahu."

"Mengapa kau belum lakukan ?"

"Tapi Kongcu ..." orang tua itu tampak bimbang.

Pemuda itu berpaling, matanya mencorong bersinar tajam sekali.

"Apa lagi ?" tanyanya dingin.

"Kalau ketujuh pendeta itu kita celakakan, dunia Kangouw akan heboh, tentu pihak Siauw Lim Sie pun tidak akan berdiam diri saja..."

"Ci Hoan Liong, yang kuinginkan adalah ketujuh pendeta itu harus dibuat sama seperti Tang Bun...!"

"Baik, baik Kongcu... perintah akan dilaksanakan," kata Ci Hoan Liong segera, tampaknya dia gentar melihat muka si pemuda yang sudah memerah menunjukkan bahwa pemuda itu mulai marah. Kemudian Ci Hoan Liong memberi hormat dengan membungkukkan sedikit tubuhnya dan keluar dari goa itu.

Si pemuda tetap duduk di tempatnya berdiam diri mengawasi kepergian Ci Hoan Liong. Hanya terdengar tertawa dinginnya yang menyeramkan, nadanya seperti mengandung maut, bisa meremangkan bulu tengkuk.

Ci Hoan Liong keluar dari goa tersebut menutup kembali mulut goa dengan batu besar, kemudian tubuhnya seperti selembar daun kering berkelebat lenyap dalam kegelapan malam. la sudah memutuskan untuk mengumpulkan Pak-mo, Tong-mo dan Se mo, untuk mulai bekerja melakukan sesuatu, karena dia sendiri tidak lain dari Lam-mo Ci Hoan Liong, yang paling ganas di daerah Selatan, iblis yang paling ditakuti oleh semua orang Kangouw.

Angin malam di lembah bertiup perlahan sepi setelah kepergian Ci Hoan Liong. Tapi, tidak lama kemudian dari balik semak belukar muncul sesosok tubuh, memandang sekelilingnya, lalu memperdengarkan siulan cukup nyaring.

Dari balik semak belukar di sekitar tempat itu bermunculan belasan orang lainnya Dari gerakan mereka jelas yang berkumpul di situ terdiri dari orang-orang berilmu tinggi, karena gerakan mereka selain ringan, juga ketika masing-masing hinggap di tanah sama sekali tidak menimbulkan suara.

"Kita harus mulai," kata orang yang muncul pertama tadi. "Kesempatan ini satu-satunya buat kita bekerja, Lam-mo sedang pergi, pasti iblis itu seorang diri di dalam gua"

Teman-temannya mengiyakan. Sinar rembulan remang-remang, tapi masih cukup jelas untuk melihat orang-orang itu semuanya berpakaian sebagai pengemis, Masing-masing membawa senjata, umumnya pedang. Hanya seorang dari mereka, yaitu yang pertamakali muncul tadi, mencekal sebatang tongkat bambu kecil panjang berwarna hijau, yang rupanya dipergunakan sebagai pengganti senjata tajam.

Jumlah pengemis-pengemis itu hampir dua puluh orang, mereka menghampiri batu penutup goa. Tiga orang diri mereka maju buat menggeser batu besar di muiut goa. Cukup menelan tenaga buat mereka bisa menggeser batu itu, kemudian tampak mulut goa, gelap dan tidak tampak seorang manusiapun.

Pengemis-pengemis itu bermaksud masuk dengan sikap waspada dan bersiap-siap menerima serangan mendadak, tapi tiba-tiba terdengar: "Apakah kalian masih tidak berterimakasih karena kuberikan kesempatan buat hidup terus dan sudah bosan hidup ingin cepat-cepat mati ?"

Suara itu terdengar dekat, tapi juga seperti terdengar jauh. Pengemis yang mencekal tongkat bambu hijau mengerutkan alisnya, ia tahu itulah suara yang dikirim dari jarak jauh, yang biasa disebut Coan-im-jip-bit. la tidak berdiam diri, segera menghirup udara dalam-dalam, mengempos khikangnya, membuka mulut menyahuti dengan mempergunakan tenaga Hiim-im-hua-seng (Memecah Udara), yang sama dengan Coan-im-jip-bit (Menyusupkan suara ke dalam kepadatan)

"Keluarlah iblis terkutuk, dosamu sudah melewati takaran ! kami atas nama Kaypang ingin menghukummu, untuk mewakili murid-murid Kaypang yang telah kau celakakan dengan cara yang paling biadab !"

"He-he-he," terdengar tertawa dari dalam goa, lama hening, akhirnya tampak muncul sesosok tubuh di mulut goa. Belasan pengemis itu mundur bersiap-siap dengan senjata masing-masing untuk menerjang.

Ternyata sosok tubuh yang keluar dari dalam goa itu tidak lain si pemuda tampan bermuka dingin. Bahkan ia pun tertawa "he-he-he"" dengan suara yang dingin "Kalian benar-benar sudah bosan hidup dan merepotkanku untuk mengirim kalian ke neraka ! Baiklah, kalau aku menolak, nanti disebut keterlaluan sudah bercapai Ielah mendesak untuk minta mati, eh, eh, ditolak, tentu mengecewakan. Nah, bersiap-siaplah untuk berangkat ke neraka."

"Sombong!" teriak salah seorang pengemis yang tidak bisa mengendalikan kemarahannya yang disusul tubuhnya melesat ke dekat si pemuda, pedangnya akan menikam leher.

"Cit-tee hati-hati !" pengemis yang mencekal tongkat bambu hijau terkejut dan memperingati. Tapi sudah terlambat !

Pemuda itu tetap berdiri tenangkan mukanya tetap dingin mengawasi datangnya pedang yang hanya terpisah beberapa dim lagi dari lehernya. Dia tahu-tahu menyentil dengan tangan kanannya. "Dessss," tubuh pengemis yang dipanggil Cit-tee (adik ketujuh) terpental keras, terpelanting ke tanah bergulingan beberapakali. Matanya jadi juling kepalanya dirasakan kaku, tubuhnya seperti dihantam godam dan tulang-tulangnya seperti mau copot, pusingnya sampai keotaknya. Untuk sejenak pengemis itu tidak bisa bangun.

Pengemis-pengemis lain berseru kaget campur marah, mereka bersiap menyerang. Tapi pengemis yang mencekal tongkat bambu hijau mencegah dengan isyarat pergunakan tongkatnya, lalu dia menghampiri temannya yang rebah dengan mata tetap juling karena terlalu pusingnya, diusap-usap leher temannya, barulah rasa pusing si Cit-tee berkurang, dia bisa bangun, walaupun rasa pusingnya belum lenyap seluruhnya.

Yang mengherankan buat pengemis-pengemis lainnya, kawan mereka tadi menikam sebetulnya dengan cara yang cepat dan jurus yang ampuh, yaitu "Peng ho-kiat-tang" (Sungai Es mencair), salah satu jurus terampuh dari ilmu pedang kaum Kaypang, yang biasanya jarang bisa dielakkan oleh lawan, apalagi dilakukannya mendadak begitu.

Tapi luar biasa sekali, pemuda itu hanya sedikit memiringkan tubuhnya, mengangkat tangannya dan menyentil, teman mereka terpelanting dengan mata terjuling-juling ! Karena mereka semakin waspada, itu membuktikan kepandaian pemuda ini, yang mereka sebut-sebut sebagai iblis laknat, memang tinggi.

Pengemis yang memegang tongkat bambu sudah kembali ketempatnya. ia mengawasi tajam pada sipemuda tampan. "iblis laknat! Hari ini adalah saatnya dimana kau harus menebus dosa-dosamu ! Bersiap-siaplah untuk menerima hukumanmu!"

"Benarkah itu?" tanya sipemuda dingin. Mukanya tetap tidak memperlihatkan perasaan apapun. "Apakah kau tidak keliru bicara? Justru kalian yang harus bersiap-siap untuk berangkat ke neraka!"

Pengemis tua itu tidak mau mengadu mulut. "Aku Thian Sin Cu (Si Malaikat Langit) ingin melihat sebetulnya berapa tinggi kepandaianmu!" Tongkatnya langsung menuding dengan jurus "Kim Ciam Touw Sian" (Benang Menusuk Jarum Emas). disusul bentakannya: "Cabut senjatamu!"

Sipengemis yang bernama Thian Sin Cu tidak mau membiarkan sipemuda bicara terlalu banyak, memaksanya untuk bertempur.

Pemuda itu tetap berlaku tenang, "0oh, tidak tahunya Thian Sin Cu? Bagus ! Sekarang kau bisa benar-benar jadi Malaikat Langit. akan kukirim kau kesana !" Dia merangkapkan kedua tangannya, berani sekali dia menekapkan kedua telapak tangannya menangkap ujung tongkat bambu, padahal ujung tongkat bambu itu mengandung tenaga khikang yang sangat kuat !

Thian Sin Cu tidak menarik tongkatnya dia ingin melihat berapa besar tenaga dalam pemuda ini, yang diketahuinya sangat sadis. la juga mengenali cara si pemuda menghadapi tongkatnya adalah yang disebut Hun-kiy-cian (ilmu Pukulan Memecah dan Membuka). Hanya yang tidak disangkanya adalah kekuatan khikang pemuda itu, sebab begitu ujung tongkatnya kena ditangkap oleh jepitan kedua telapak tangan si pemuda, tongkat itu tidak bergeming lagi, biarpun Thian Sin Cu mendorong kuat sekali disertai khikang tetap ujung tongkat terjepit diantara kedua telapak tangan si pemuda.

Muka si pemuda tetap dingin, dia perdengarkan tertawanya yang dingin sekali "Kini giliranku untuk menghadiahkan kau satu jurus!" Bersamaan dengan itu kedua telapak tangan si pemuda tergetar, dan Thian Sin Cu kaget tidak terkira, sampai ia mengeluarkan keringat dingin. Tangannya dirasakan kesemutan waktu tongkat yang digenggamnya tergetar semakin lama semakin keras.

Itnlah tenapa khikang yang luar biasa ampuh ! Hampir tidak bisa diterima oleh akal sehat Thian Sin Cu, pemuda dalam usia semuda itu bisa memiliki khikang yang demikian tinggi ! Tapi sebagai seorang kangouw berpengalaman, ia cepat bisa mengendalikan diri. Dia mengempos semangatnya, tahu-tahu, tangan kirinya menyambar ke muka pemuda itu dengan "Tin San Ciang" (Pukulan menggetarkan Gunung") kuat sekali tenaga pukulan itu, jangankan manusia yang terpukul, batupun akan menjadi tepung halus kalau terpukul oleh kepalan tangan Thian Sin Cu saat itu.

Pemuda itu merasa kesiuran angin kuat menyambar mukanya, tetap mukanya dingin. "Cukup tinggi lwekang jembel ini!" pikir pemuda itu. Dia bukan hanya berpikir, kedua telapak tangannya tahu-tahu dibuka, tubuhnya dengan kecepatan luar biasa sudah menyingkir ke samping kanan, ia bergerak dengan jurus "Ouw-liong-jiauw-cu" (Naga Hitam Melibat Tiang), tahu-tahu dia sudah di samping Thian Sin Cu, telapak tangan kanannya meluncur turun akan menepuk pundak si pengemis !

Bukan Thian Sin Cu seorang yang kaget, teman-teman si pengemispun berseru kaget. Beberapa orang bermaksud untuk melompat menolongi. walaupun mereka tahu sudah terlambat dan tidak mungkin bisa mencapai si pemuda sebelum telapak tangan itu jatuh pada sasarannya.

Yang lebih mengejutkan tubuh si pemuda berdiri dengan tegak, tangan meluncur turun, muka yang dingin, dia tengah menjalankan salah satu jurus dari ilmunya yang mengandung maut !

Thian Sin Cu waktu itu sebetulnya tengah hilang sedikit keseimbangan tubuhnya, karena tongkat yang tengah didorongnya tahu-tahu terlepas dari jepitan kedua telapak tangan si pemuda. Tubuhnya agak terjerunuk ke depan dengan kuda-kuda yang agak tergempur. Sekarang dia diserang begitu dahsyat tentu saja dia kaget.

Waktu jiwanya tengah terancam bahaya, secepatnya dia bergerak dengan Gin-han-hui-te (Bima-sakti Mem-bentak Di Udara). dia coba membalikkan tongkatnya ke belakang, di sodok sekuat tenaga, maksudnya ingin menusuk perut si pemuda.Tapi gerakannya terlambat, telapak tangan si pemuda sudah berada di pundaknya, dan Thian Sin Cu mengeluh. "Mati aku..."

Semua mata pengemi's-pengemis yang ada di situ terbuka tegang melihat jiwa Thian Sin Cu terancam tanpa mereka bisa melakukan sesuatu. Sudah bisa dipastikan Thian Sin Cu sedikitnya akan terluka parah dan mungkin cacad seumur hidupnya.

Di detik menentukan itu, mendadak terdengar teriakan. "Koko... ampuni dia !"

Alis si pemuda berkerut, tapi tangannya sudah ditarik kembali batal menepuk pundak Thian Sin Cu itulah cara yang sulit sekali dilakukan oleh sembarangan orang, di saat tenaga tengah dikerahkan tangan meluncur, mendadak bisa ditarik kembali membatalkan tepukan. Jika seseorang lwekangnya belum mercarai tingkat yang tinggi tentu sulit baginya melakukan perbuatan seperti itu.

Di tempat itu telah tambah seorang gadis berusia 18 tahun, rambutnya dikuncir dua, mukanya berpotongan seperti buah tho, memerah cantik sekali.

Bajunya singset. sebagaimana baju yang biasa dikenakan wanita-wanita pengembara, hanya ditambah oleh jaket kulit berbulu tebal. Gadis itu tertawa-tawa. Ternyata dia tidak lain dari Siauw Hoa (Si Bunga Kecil)!

"Kau selalu usil mencampuri urusanku!" menggumam si pemuda dingin.

Thian Sin Cu sendiri yang semula sudah siap-siap menerima pukulan maut itu dengan mengempos seluruh khikangnya pada pundak, ketika mengetahui si pemuda menahan pukulannya, tubuhnya bergulingan ke depan cukup jauh dengan "Hui-hong-sut" (berlari-terbang). Waktu berdiri dengan memegang tongkat bambunya, muka Thian Sin Cu agak pucat, dan keringat pun penuh di keningnya. Walaupun usia pemuda itu masih muda, namun kepandaiannya ternyata tidak kalah-dari kepandaian Thian Sin Cu.

"Seng-ko, kau memarahiku?" bibir Siauw Hoa yang kecil mungil yang semula tertawa-tawa, seketika terkatup dan jadi cemberut marah, tapi tetap gadis ini tampak sangat cantik.

Si pemuda menghela napas "Mengapa kau datang kemari?" tegurnya tanpa menjawab pertanyaan Siauw Hoa.

"Kau jawab dulu pertanyaanku, apakah kau marah padaku?" menggeleng si gadis ngambul.

"Tidak! Katakanlah mengapa kau datang kemari ?"

"Menyusul kau ! Thia-thia perintahkan kau pulang !"

Muka si pemuda berobah guram. "Kau pulang dulu, aku masih ada urusan yang perlu dibereskan. Jika urusanku sudah beres, segera aku pulang."

"Tapi Thia-thia bilang aku harus pulang bersamamu, ada yang ingin dibicarakan Thia-thia bersamamu !"

Si pemuda membanting kakinya beberapa kali, tampaknya jengkel. Dia melirik kepada belasan pengemis yang waktu itu dengan dipimpin Thian Sin Cu mengambil sikap mengepung dia bersama Siauw Hoa.

Thian Sin Cu setelah mengatur jalan pernapasannya kesegarannya pulih, rasa kagetnya telah lenyap. dia memimpin teman-temannya untuk mengepung si pemuda dan Siauw Hoa di tengah-tengah, siap untuk menyerang serentak. Siauw Hoa tertawa.

"Sudahlah Seng-ko. ampuni mereka ! Apa gunanya ribut-ribut dengan segala macam pengemis seperti itu ? Ayo kita pulang...!" Setelah berkata begitu Siauw Hoa berpaling kepada Thian Sin Cu dan teman-temannya. "Kalian tunggu apa lagi tidak mau cepat-cepat angkat kaki menerima pengampunan koko-ku ? Apakah menunggu Lam-mo, Pak-mo, See-mo dan Tong-mo berempat tiba di sini ? Mereka berempat tengah mendatangi kemari, rasanya tidak lama lagi akan sampai di sini !"

Mendongkol bukan main Thian Sin Cu dan teman-temannya mendengar perkataan Siauw Hoa, mereka juga tahu itulah gertakan belaka. Tapi, gadis itu memang telah menolong Thian Sin Cu, menyelamatkan jiwa si pengemis dari tangan maut si pemuda.

Di samping itu kalau sampai Tong-mo berempat benar-benar datang ke situ, ini merupakan ancaman yang tidak ringan. Menghadapi pemuda yang usianya masih begitu muda sudah cukup sulit, apa lagi kalau keempat iblis itu tiba di sini. Maka Thian Sin Cu memutuskan mereka harus cepat-cepat berlalu.

"Baiklah," katanya tawar. "Walaupun bagaimana dosa-dosamu harus dipertanggung-jawabkan, tidak sekarang pasti di waktu mendatang!" Setelah berkata begitu Thian Sin Cu dengan sikap gusar mengibaskan tongkatnya mengisyaratkan kawan-kawannya untuk segera meninggalkan tempat itu.

Si pemuda cuma mengawasi dingin, tanpa mengucapkan sepatah perkataan. Setelah rombongan pengemis Kaypang lenyap dalam kegelapan malam, barulah si pemuda membanting-banting kakinya beberapakali dengan jengkel.

"Siauw Hoa, kau selalu mencampuri urusanku ! Oooooh, kalau aku.... kalau aku..."

"Hi-hi-hi-hi... kalau aku kenapa, Seng-ko ?" tanya Siauw Hoa sambil tertawa.

"SudahIah ! Jika nanti kau masih terus menerus mencampuri urusanku, satu saat aku pasti tidak akan hiraukan kau lagi !" menyahuti si pemuda.

"Seng-ko... kau sekarang berobah jahat ! Jika kau tidak mau menghiraukan aku lagi biarlah aku menangis saja!" Benar-benar si gadis menangis terisak-isak. Si pemuda jadi kelabakan, dicekal kedua lengan si gadis, lalu dihiburinya.

"Aku hanya bergurau, Siauw Hoa, Ayo tertawa lagi, aku tetap sayang padamu..!" membujuk sipemuda.

Siauw Hoa benar-benar gadis dengan perangai agak aneh. Tadi dia begitu mudah menangis, tapi sama mudahnya kini dia tertawa, walaupun air matanya masih membasahi pipinya.

"Benarkah Seng-ko? Kau selamanya akan tetap sayang padaku, bukan ?" menegasi Siauw Hoa.

Pemuda itu mengangguk kesal, karena adiknya ini selalu juga merepotkannya.

"Ayo kita cepat-cepat pulang, Seng-ko. Thia-thia tentu sedang menantikan kita dengan kuatir ! Tadi kepada See-mo telah kuberitahukan, agar dia beritahukan Pak-mo, Tong-mo dan Lam-mo, agar mereka pulang."

Pemuda itu mengangguk lesu, tangannya ditarik oleh Siauw Hoa meninggalkan lembah itu.

Siapakah pemuda yang disebut Seng-ko oleh Siauw Hoa ? Dan siapa gadis yang tampak selalu lincah dengan paras yang cantik? Mereka tidak lain dua bersaudara kandung dari keluarga yang paling berkuasa disaat itu setelah Kaisar Yong Ceng, yaitu putra-putri Cu Bian Lian, Cu KongKong !

Memang lucu kedengarannya seorang Thay-kam seperti Cu Kongkong bisa mempunyai anak, sepasang pula ! Hal itu terjadi karena sebelum masuk istana menjadi Thaykam, Cu Kongkong pernah menikah. Setahun setelah ia memperoleh anak, yaitu Cu Lie Seng. Disusul kemudian dengan hamil isterinya untuk kedua kalinya. Waktu itulah Cu Bian Liat bertengkar dan dihina oleh Tihu kotanya, pembesar itu menangkap dan menjebloskan Cu Bian Liat kepenjara.

Sakit hati terhadap Tihu itu membuat Cu Bian Liat bertekad hendak masuk istana, agar kelak bisa balas sakit hatinya pada Tihu itu. Ketika ia dibebaskan, ia segera berangkat kekoraraja tanpa menanti kelahiran anaknya yang kedua, masuk keistana dan jabatan yang diterimanya adalah Thaykam.

Karena nekad, walaupun harus dikebiri, ia menerima jabatan itu, karena ia mempunyai rencana sendiri untuk kelak setelah memiliki kekuasaan membalas sakit hatinya pada Tihu yang pernah menghina dan menjebloskannya kedalam penjara!

Siapa sangka, Cu Bian Liat akhirnya merupakan satu-satunya Thaykam yang disayang Kaisar, bahkan Kaisar telah memberikan kekuasaan yang besar padanya. Kemudian Kaisar tua mati, diganti oleh Yong Ceng.

Raja yang baru naik takhta itupun ternyata mencurahkan seluruh kepercayaan kepada Thaykam yang satu ini. Cu Kongkong semakin kuat dengan kekuasaannya. Tihu yang jadi musuhnya sudah siang-siang habis sekeluarga dibabat oleh Cu Kongkong !

Setelah merasa kedudukannya mantap benar, Cu Kongkong membawa kedua orang anak dan istrinya keistana.

Peristiwa penyambutan isteri dan anak-anak Cu Kongkong terjadi belasan tahun yang lalu, sebelum ayahanda Kaisar Yong Ceng wafat, dalam saat mana Cu Kongkong memang sudah memiliki kekuasaan yang cukup besar.

Sebagai orang kebiri, tentu saja Cu Kongkong sudah tidak mengharapkan sesuatu lagi dari isterinya, hubungan mereka hanya sebagai persaudaraan belaka. Bagi Cu Kongkong, yang mungkin terpenting dalam hidupnya, memberi kesenangan kepada kedua anak-anaknya !

Kasih sayang berlebihan, perlakuan memanjakan berlebih-lebihan, bisa mempengaruhi perkembangan jiwa maupun watak seorang anak. Dan demikian pula halnya dengan Cu Lie Seng. la tumbuh jadi dewasa dengan perangai yang berobah jadi jelek sekali, sifatnya pun buruk.

Tidak jarang ia melakukan perbuatan tidak terpuji, kejam dan sadis terhadap orang yang tidak disenanginya. Siapa yang berani menentang pemuda ini, yang merupakan putera dari orang yang memiliki kekuasaan kedua setelah Kaisar Yong Ceng? Terlebih lagi di belakang Cu Lie Seng pun berdiri tokoh-tokoh rimba persilatan yang sengaja diundang oleh Cu Bian Liat Cu Kongkong sebagai pelindung anaknya tersebut, merangkap sebagai guru silatnya juga !

Cu Lie Seng pun memiliki otak yang cerdas di samping sifat-sifat buruknya. la mudah sekali mempelajari sesuatu, seakan tidak ada sesuatu yang sulit baginya. Mempelajari semacam ilmu silat saja bisa dilakukan dengan cepat.

Pemuda ini pun telah berusaha menggabungkan berbagai ilmu silat dari macam-macam aliran untuk menjadi semacam ilmu silat yang ampuh, semua itu di lakukan secara diam-diam, tidak seorangpun dari guru-gurunya yang mengetahui hal tersebut.

Karena merasa sebagai satu-satunya orang yang memiliki kekuasaan besar, di mana semua orang-orang kepercayaan ayahnya pun tunduk padanya, maka Cu Lie Seng semakin lama semakin mengumbar nafsu jahatnya. la sering mengganggu isteri orang baik-baik, mengganggu puteri dari keluarga yang tidak berdaya.

Siapa saja yang diinginkannya, baik wanita atau laki-laki. harus menuruti setiap keinginan pemuda ini. Yang wanita, terutama yang cantik-cantik, tentu akan jadi bahan permainan si pemuda. Sedangkan yang laki-laki tentu akan dijadikan anak buahnya, untuk membantunya melaksanakan perbuatan jahatnya.

Semakin bertambah usia pemuda itu, semakin banyak perbuatan tak terpuji yang dilakukan. Dan malah terakhir ini ia berpikir untuk menguasai orang-orang rimba persilatan, di mana ia bercita-cita menjadi jago satu-satunya di dalam dunia persilatan, semua pendekar harus tunduk padanya.

Banyak jago-jago ternama yang dihubunginya dengan mempergunakan kekuasaan ayahnya, jarang pendekar-pendekar yang dihubunginya berani menolak ajakan si pemuda, agar bekerja di bawah perintahnya.

Cu Kongkong bukan tidak mendengar sepak-terjang anaknya yang satu itu. Tapi Cu Bian Liat bukannya menegur sang putra, malah diam-diam perintahkan beberapa orang pahlawan kepercayaannya untuk diam-diam mengawal anaknya, sebagai pelindung anak Thaykam yang paling berkuasa itu.

Waktu itu Cu Lie Seng bersama Siauw Hoa sampai dimulut lembah, mendadak tampak seseorang tengah berlari menghampiri kepada mereka. Alis Cu Lie Seng mengkerut, gumamnya: "Mengapa manusia tak punya guna ini berlari-lari seperti itu?"

Dia mengenal bahwa yang teman menghampiri kearah dia dan Siauw Hoa adalah Ang Bi Tin, murid Lam-mo.

Ang Bi Tin sampai didepan Cu Lie Seng. pemuda itu memberi hormat. "Cukong, Suhu ku mengharapkan kedatangan Cukong."

"Dimana ?" tawar suara Cu Lie Seng.

"Suhu bersama tiga orang paman sedang menghadapi ketujuh pendeta Siauw Lim Sie. Sebelumnya Suhu perintahkan aku menguntit ke tujuh pendeta itu, sampai akhirnya Suhu datang bersama tiga paman lainnya, mereka bicara sebentar dengan ketujuh pendeta Siauw Lim Sie, akhirnya bertempur.

Suhu berpesan agar kami mengundang Cukong kesana, karena kalau Cukong tidak datang Suhu belum lagi tahu apa tindakan selanjutnya terhadap ketujuh pendeta itu !" Waktu menjelaskan Bi Tin menunduk tidak berani menentang sorot mata Cu Lie Seng yang tajam luar biasa. Muka Cu Lie Seng begitu dingin, sehingga Bi Tin menggidik kalau memandangnya.

"Mereka bertempur dimana?" tanya Cu Lie Seng akhirnya.

"Tidak terlalu jauh dari sini, hanya terpisah puluhan lie saja." menyahuti Bi Tin.

Siauw Hoa memegang tangan kakaknya. "Seng-ko, ayo kita pulang, Thia-thia sedang menunggu! Dan kau..." Siauw Hoa menoleh pada Bi Tin, "beritahukan pada gurumu dan ketiga orang paman agar menyusul kami pulang keistana !"

"Ya, ya." Menyahuti Bi Tin.

Tapi Ci Lie Seng menggeleng.

"Adikku, jangan memaksa aku untuk pulang sekarang juga. Aku ingin melihat pertempuran itu, pasti menarik!" Kata Cu Lie Seng. "Kau tentu tertarik melihat pertunjukan yang pasti sangat menarik."

Siauw Hoa monyongkan mulutnya, tapi hanya sebentar saja, kemudian dia mengangguk.

Bi Tin mengantarkan Cu Lie Seng dan Cu Siauw Hoa ketempat dimana Lam-mo dengan Pak-rno, See-mo dan Tong-mo yang tengah bertempur dengan tujuh pendeta Siauw Lim Sie. Tempat dimana berlangsungnya pertempuran itu ternyata hanya terpisah belasan lie, cepat sekali mereka tiba disitu. didekat pintu kampung Liauw-cun.

Cu Lie Seng tidak melakukan tindakan apa-apa, hanya menonton saja pertempuran itu yang berlangsung seru sekali, Siauw Hoa dan Bi Tin pun berdiam diri menyaksikan betapa pertempuran yang tengah berlangsung benar-benar merupakan pertunjukan sangat menarik, dimana tujuh orang pendeta Siauw Ltm Sie tengah menghadapi empat dedengkot iblis!

Saat itu Wie Sin Siansu yang memimpin keenam orang sutenya tengah mengepung Lam-mo, Pak-mo, See-mo dan Tong-mo. Rupanya ketujuh pendeta Siauw Lim Sie tidak mau memberikan kesempatan keempat dedengkot itu meloloskan diri dari dalam kalangan, Tong-mo berempat pun memberikan perlawanan yang menakjubkan, karena tangan kaki mereka yang bergerak selalu menimbulkan kesiuran angin keras, sampai terasa oleh Cu Lie Seng, Siauw Hoa dan Bi Tin, biarpun mereka berdiri ditempat yang terpisah agak jauh dari kalangan pertempuran tersebut.

"Sekarang sudah jelas," terdengar Wie Lung Siansu membentak sambil menyerang memakai jurus "Tek-song-ciu" (Tangan Memetik Bintang). kelima jari tangan kanannya berkembang akan menakup kepala Pak-mo. Dedengkot iblis yang berpakaian seperti pengemis itu tertawa "he-he-he-he !" tubuhnya melesat kesamping dibarengi dengan jurus "Hun-kang-toan-liu" (Membendung Sungai Memutuskan Aliran), sebat bukan main kakinya menendang rusuk Wie Lung Siansu. "Kalian yang selama ini telah mengacau ingin mengadu domba antara Bu Tong dengan Siauw Lim !"

"Hi-hi-hi..." Tertawa mengejek Tong-mo. "kalau sudah tahu, ya sudah! Jangan gaiak-galak begini !" Sambil mengejek, Tong-mo yang berpakaian sebagai hweshio, melompat kesamping Wie Khie Siansu, telapak tangannya yang penuh hawa khikang sehingga tampak kulitnya memerah seperti darah, meluncur kepinggang sipendeta.

Wie Khie Siansu merasakan angin panas nyeri menyambar pinggangnya, dia agak terkejut. "Hemmmm iblis ini menguasai Ang-see-ciang..!" Dia tidak berayal, karena mengetahui Ang-see-ciang sejenis ilmu hitam yang sangat beracun. Setiap orang yang melatih ilmu itu pasti telapak tangannya memerah seperti darah jika mempergunakan ilmu tersebut, kalau mengenai sasaran akan berakibat hebat, jangankan manusia, batupun akan hancur jadi bubuk!

Mengetahui bahaya yang mengancam Wie Khie Siansu bukan hanya berkelit belaka. "Siancay," dia memuji, sambil tangannya tiba-tiba mendorong kearah dada Tong-mo, dibarengi pengerahan khikangnya, ia mempergunakan salah satu jurus dari ilmu andalan Siauw Lim Sie yang bernama "Liu-seng-kan-goat" (Bintang Sapu Mengejar Rembulan), kuat dorongan yang disertai tenaga khikang yang sudah terlatih baik, karena Tong-mo seketika merasakan napasnya sesak, membuatnya harus cepat cepat membatalkan serangan Ang-see-ciang pada sipendeta.

Semua itu hanya beberapa detik saja, tapi itulah jago-jago ulung yang tengah bertanding, sekali saja salah satu pukulan mereka mengenai sasaran, celakalah korban tersebut !

Baru Tong-mo menyingkir, justru di belakangnya menyambar angin yang panas seperti membakar. Tahulah Tong-mo bahwa ia tengah diserang oleh pukulan yang dahsyat. Tanpa menoleh lagi ia segera mengempos semangat murninya, membungkukkan sedikit tubuhnya dengan kaki kanan tertekuk, berbareng telapak tangannya meluncur ke belakang.

"Plakkk," terdengar suara keras disusul lagi oleh "Dessss!" Tangan Tong-mo saling bentur dengan tangan Wie Tay Siansu. Keduanya lompat mundur kebelakang dengan muka berobah, tadi mereka sudah mempergunakan tenaga dalam yang sama-sama tinggi, dan dalam satukali bentrokan itu masing-masing merasa kagum terhadap lawan mereka yang sinkangnya ternyata berimbang satu dengan yang lain.

Lam-mo waktu itu tengah melayani Wie Sin Siansu. Si pendeta alim Siauw Lim Sie yang sabar ini tampaknya sudah mengeluarkan ilmunya yang tinggi, berulangkali ia mengibas dan memukul mempergunakan kepalan tangannya. Namun Lam-mo walaupun sudah tua serta kurus bagaikan orang berpenyakitan, selalu dapat menghindarkan serangan lawan, malah kalau sudah terpaksa ia menangkis dengan kekerasan. Terdengar berkali-kali suara "Wutttt !"

"Dessss! menunjukkan hebatnya benturan dua macam tenaga sinkang yang sudah terlatih tinggi !

Dalam suatu kesempatan Wie Sin Siansu sedang menghindarkan salah satu ancaman serangannya, Lam-mo membarengi menyerang lagi dengan jurus "Tui-hun-tok-pok" (Mengejar Roh Menarik Sukma), tangan kanannya lurus ingin mencengkram pundak Wie Sin Siansu, tangan kirinya mendorong kuat sekali, sampai terdengar suara "Ciuutt!" berulangkali.

"Pukulan sangat jahat dan beracun ! Siancai." menggumam Wie Sin Siansu, si pendeta menghindar tidak menyambuti pukulan lawan. Kemudian mereka mendekat dan mengukur kekuatan lagi.

Lain lagi cara bertempur See-mo, dedengkot iblis yang memiliki bentuk tubuh pendek cebol seperti tubuh seorang anak kecil. la benar-benar gesit luar biasa, karena tubuhnya yang cebol itu berkelebat kesana kemari.

Wie Un Siansu dan Wie Lie Siansu agak repot menghadapinya ! Kalau memang See mo hanya berkelebat kesana kemari belaka, tentu tidak akan berarti apa-apa buat kedua pendeta alim Siauw Lim Sie, justru dedengkot iblis yang cebol ini selalu membarengi dengan pukulan-pukulannya yang berhawa dingin dan mengandung maut !

Sinkang Wie Un Siansu dan Wie Lie Siansu masih berada di bawah sinkang Suhengnya, Wie Sin Siansu karenanya biarpun mereka berdua menghadapi Sae-mo tetap saja membuat mereka repot.

Sebab-sebab utama mengapa kedua pendeta alim Siauw Lim Sie ini sibuk melayani See-mo adalah disebabkan bentuk tubuh See-mo yang cebol. Kalau saja dedengkot iblis ini bertubuh normal, tentu Wie Un Siansu dan Wie Lie Siansu tidak serepot itu. Apalagi memang Sce-mo tampaknya mengandalkan ginkangnya yang tinggi, untuk berkelebat ke sana ke mari, diselingi oleh pukulan-pukulan mengandung maut!

Wie Un Siansu tahu bahwa ilmu pukulan maut See-mo adalah yang disebut Sin-kong-ciang (Tangan Sinar Sakti) sejenis ilmu pukulan sesat dan beracun. Setiap memukul, akan disertai oleh khikang yang kuat, memancarkan hawa dingin yang keras, kalau lawan berkepandaian tanggung-tanggung. tentu satu dua jurus saja See-mo sudah bisa merubuhkan lawannya! Tetapi sekarang justru yang dihadapinya adalah pendeta alim Siauw Lim Sie tingkat kedua, yang kepandaiannya sulit diukur, bahkan dua orang sekaligus, karenanya biarpun sudah lebih dari dua jam dia mempergunakan ginkangnya diselingi oleh pukulan-pukulan Sin-kong-ciang, tetap saja dia gagal merubuhkan Wie Un Siansu atau Wie Lie Siansu. Untuk menyentuh jubah pendeta itu sajapun tidak pernah terjadi"

Cu Lie Seng mengawasi dengan mata mencorong memancarkan sinar tajam. Dia tidak mencegah pertempuran itu, tanpa bersuara ia mengikuti jalan pertempuran tersebut penuh perhatian. Memang Cu Lie Seng diam-diam sedang menggubah bermacam-macam ilmu aliran pintu perguruan silat yang ingin digabung dan diciptakan menjadi sebuah aliran baru.

Sekarang menyaksikan jalannya pertempuran antara tokoh-tokoh berkepandaian tinggi, jelas menggembirakan hatinya. Dia bisa memperhatikan dengan sesama setiap jurus yang dipergunakan oleh para pendeta Siauw Lim Sie dan empat dedengkot iblis itu.

Sebagai pemuda berotak sangat cerdas, Cu Liu Seng memang memiliki kelebihan dibandingkan dengan pemuda-pemuda sebaya dengannya. Sekali lihat saja dia bisa mengingat sesuatu sampai berbulan-bulan dan bertahun-tabun lamanya berada dalam ingatannya. Sekarang menyaksikan jalannya pertarungan lagi memang See-mo tampaknya mengandalkan ginkangnya yang tinggi, untuk berkelebat ke sana ke mari, diselingi oleh pukulan-pukulan mengandung maut!

-----------

tempuran itu, iapun hanya menyaksikan dan diam-diam berusaha mengingat setiap gerak dan jurus yang dipergunakan oleh mereka yang tengah bertempur.

Wie Sin Siansu sambil bertempur, beberapa kali bertanya kepada Lam-mo. Tetapi sejauh itu Lam-mo tidak melayani pertanyaan si pendeta.

"Apa salah kami Bu Tong dan Siauw Lim Sie sehingga kalian hendak mengadu domba kami ?" tanya Wie Sin Siansu setelah menghindarkan ancaman tangan Lam-mo. "Lalu, siapakah yang melukai Tang Bun Susiok kami ?"

Lam-mo tidak segera menyahuti, tangan kirinya mengirim pukulan kuat dengan Sun-eisi-kian-yo ( Pukulan menuntun Kambing ), disusul lagi oleh tangan kanannya akan menghajar lambung pendeta alim Siauw Lim Sie tersebut dengan jurus "Kie-hwe-liauw-thian" ( Angkat Obor Menerangi Langit).

Hebat kedua pukulan tersebut, Wie Sin Siansu pun menyadari tidak mungkin bisa main-main menerima kedua pukulan itu. Sambil bilang "Siancai", tubuhnya tahu-tahu melesat ke samping kiri beberapa langkah dengan jurus "Jie-yan-coan-lian" (Anak Walet Menembus Tirai) dia menghindari pukulan tangan kiri Lam-mo, dengan memutar sedikit pundaknya, tangan kanannya mengibas keras, menangkis pukulan tangan kanan dedengkot iblis dari Selatan iiu.

"Plakkkkk !", "Dessssss !" kedua tangan saling bentur tubuh Wie Sin Siansu tergetar, sedangkan Lam-mo bergoyang-goyang tubuhnya dengan kaki melangkah setindak ke belakang. Muka Lam-mo juga berobah, karena waktu tangannya kebentur dengan tangan si pendeta, dirasakan betapa pergalangan tangannya bagaikan dihantamkan pada besi, nyeri dan sakit.

"Hemmmm. benar-benar Siauw Lim Sie tidak punya nama kosong," pikir Lam-mo sambil memperbaiki kedudukan kedua kakinya, "si gundul inipun tampaknya menang seurat dariku..."

Memang jika dua orang ahli silat ternama saling mengadu kekuatan, walaupun hanya satu dua gebrakan saja, sedikit saja terjadi perkembangan pada diri lawan, segera bisa diketahui mana yang lebih tangguh.

Perbedaan yang sedikit pun sangat memegang peranan besar untuk kalah menangnya seorang ahli silat yang kepandaiannya sudah tinggi.

Wie Sin Siansu berdiri tegak tidak maju menyusuli serangan, mengawasi lawannya dengan sorot mata tajam, walaupun mukanya tetap memperlihatkan sikap welas-asih. Sabar sekali tampaknya.

"Beritahukanlah pada kami, mengapa kalian memusuhi kami?" tanya si pendeta, suaranya tetap sabar. "Dan juga beritahukanlah siapa yang telah mencelakai Tang Bun Susiok kami, maka kami tidak akan mempersulit kalian lagi!"

Lam-mo tertawa, menyeramkan suara tertawanya, seperti tangis iblis saja, mendirikan bulu tengkuk, itulah tanda bahwa dedengkot iblis ini telah murka. Amarahnya itu meledak dalam bentuk tertawa mengerikan tersebut.

"Jadi kau mau tahu mengapa Siauw Lim Sie dan Bu Tong Pay harus lenyap dari persilatan ?" tanyanya kemudian mengejek. "itulah disebabkan kalian merupakan manusia-manusia bodoh yang selalu membanggakan diri sebagai orang-orang yang tak tertandingkan lagi ! Kami ingin lihat, apakah selanjutnya Bu Tong dan Siauw Lim masih bisa menancapkan kaki di dalam Kangouw!"

Alis Wie Sin Siansu bergerak sedikit, tapi mukanya tetap sabar. "Siancai! Siancai! ltulah suatu keinginan yang berlebih-lebihan Siauw Lim tidak pernah usil dengan perkara Kangouw, tapi kalian rupanya sudah menghimpun kekuatan cuma untuk mempersulit kami ! Baiklah, lalu siapa yang menurunkan tangan beracun pada Tang Bun Susiok kami?"

Lam-mo tertawa bergelak-gelak menye-lai.ilan. "Tentang itu" katanya... Tentu saja..."

"Ci Hoan Liong!" Tiba tiba Cu Lie Seng memanggil, dingin suaranya.

Lam-mo Ci Hoan Liong seketika berhenti bicara, menoleh dan tubuhnya segera melompat ke dekat Cu Lie Seng. "Ada apa, Kongcu ?" tanyanya, keheranan.

"Biarkan aku yang bicara dengan pendeta itu !" menyahuti Cu Lie Seng dingin.

"Baik. Kongcu !" Ci Hoan Liong tidak berani membantah dan berdiri di samping Cu Lie Sang. Si pemuda melangkah perlahan-lahan mendekati Wie Sin Siansu. sikapnya angkuh dan seperti tidak memandang mata pada pendeta sakti Siauw Lim Sie tersebut. Setelah dekat, pemuda itu mengangkat tangannya, serunya dingin: "Semuanya jangan bertempur !"

Pak-mo. See-mo dan Tong-mo bertiga patuh benar pada perintah Cu Lie Seng, mereka segera memisahkan diri dari lawan masing-masing melompat keluar dari kalangan dan berdiri di dekat Cu Lie Seng, masing-masing memanggil hormat: "Cu Kongcu...!" si pemuda hanya mengangguk dengan muka dingin angkuh.

Wie Lung Siansu, Wie Kie Siansu dan empat pendeta Siauw Lim Me lainnya segera berkumpul didekat Wi Sin Siansu dengan sikap bersiap sedia untuk bertempur lagi.

Cu Lie Seng dengan muka kaku dingin mengawasi Wie Sin Siansu, tidak ada sikap menghormat, biarpun usianya masih muda sekali. Sama dinginnya seperti mukanya kemudian dia biiang: "Kalian ingin tahu siapa yang menghukum Tang Bun dari Siauw Lim Sie, bukan ?"

Wie Sin Siansu merangkapkan kedua tangannya, "Omitohud, sedikitpun tidak salah !" menyahuti pendeta itu. "Maukah Kongcu memberitahukannya ?"

Muka Cu Lie Seng tetap dingin. "Tang Bun memang pantas menerima hukuman itu karena sikap kepala batunya yang tidak kenal jalan kebaikan yang kuberikan padanya !" Dingin suara Cu Lie Seng, seakan tengah memberitahukan sesuatu yang tidak penting, acuh tak acuh sikapnya.

Muka Wie Sin Siansu bertujuh berobah. Tadi mereka bertekad harus dapat menundukkan keempat dedengkot iblis. Walaupun Tang-mo, See-mo, Pak-mo dan Lam-mo terkenal sebagai dedengkot iblis berkepandaian tinggi namun Wie Sin Siansu bertujuh yakin bila menundukkan mereka, meski harus memakan waktu yang cukup lama Siapa tahu kini muncul pemuda bermuka dingin dengan sikap angkuhnya itu, yang menyebut-nyebut Tang Bun Susiok mereka memang pantas menerima hukuman darinya.

Jelas hati ketujuh pendeta itu mendongkol, juga heran dan bertanya-tanya dalam hati siapa in nama pemuda ini.

Wie Tay Sianssu yang memang berangasan tidak bisa menahan diri. "Bicara jangan berbelit-belit, katakan saja apakah yang mencelakai Tang Bun Susiok adalah kau ?"

Cu Lie Seng mengangkat kepalanya menatap dingin kepada Wie Tay Siansu tanpa senyum pada bibirnya yang terkatup rapat.

Setelah mengawasi sejenak, Cu Lie Seng mengangguk. "Benar, memang aku yang melakukannya..."

"Kau harus mempertanggungjawabkan per buatan kejimu !" Teriak Wie Tay Siansu melompat akan menyerang Cu Lie Seng, tapi Wie Sin Siansu bergerak lebih cepat, mencekal lengan sutenya dan katanya: "Sute. biarkan dia bicara dulu...!" kemudian menoleh kepada Cu Lie Seng, katanya : "Nah, teruskanlah keteranganmu..."

Cu Lie Seng mengawasi tetap dengan muka dingin, tidak tampak sedikitpun rasa takut dimukanya, bahkan sikapnya seakan juga ia tidak pandang sebelah matapun pada pendeta-pendeta alim Siauw Lim Sie tersebut.

"Aku mau bicara atau tidak apa urusannya dengan kau ?" Tanya Cu Lie Seng dingin. "Jika aku tidak mau bicara kalianpun tidak mungkin bisa memaksaku bicara!"

"Siancai," luar biasa sabarnya Wie Sin Siansu. "Kami hanya ingin tahu yang sebenarnya siapa pelaku keji yang mencelakakan Tang Hun Su-siok kami !"

"Kalau sudah tahu, kalian mau berbuat apa ?"

"Kami tentu akan melihat persoalan tersebut dulu, mengapa sampai Tang Bun Susiok kami dicelakakan seperti itu !"

"Hem, sudah kuberitahukan tadi semua itu terjadi karena kebodohan Tang Bun sendiri ! Dia terlalu keras kepala."

"Sekarang singkatnya, yang mencelakai Tang Bun Susiok kami adalah kau ?" tanya Wie Sin Siansu mulai tidak sabar.

Cu Lie Seng mengawasi dingin pada Wie Sin Siansu, matanya agak sipit sedikit, tapi sinarnya tajam sekali. Mukanyapun beku dingin tidak berperasaan. "Benar," mengangguk pemuda itu. "Aku yang telah menghukumnya Nah, sekarang kalian sudah mengetahui yang menghukum Tang Bun adalah aku, apa yang hendak kalian lakukan ?"

Wie Tay Siansu sekali ini tidak bisa bersabar lebih jauh, tiba-tiba dia melesat melewati samping suhengnya, dengan gerakan "Tui-tung- bong-goat" (Mendorong jendela Melihat Rembulan), tubuhnya melesat pesat ke Cu Lie Seng, dibarengi dengan tangan kanannya mengibas memukul dengan jurus " Swat-hoa-liok-cut" (Bunga Salju Berhambur-an Keenam Penjuru), kuat tenaga khikang yang dipergunakannya. Wie Tay Siansu memang adik seperguruan Wie Sin Siansu, tapi sinkangnya hanya berbeda sedikit sekali dari Suhengnya.

Sekarang Wie Tay Siansu tengah meluap amarahnya, bisa dibayangkan dahsyatnya pukulan yang dilakukan si pendeta. Cu Lie Seng kaget juga merasakan menyambarnya angin yang panas ke mukanya, walaupun kibasan tangan Wie Tay Siansu belum sampai.

Namun dia tidak takut, apa lagi waktu itu Lam-mo yang berada di sampingnya telah maju ke depannya, mewakilinya menangkis tangan Wie Tay Siansu. "Plakkk !" dua tangan saling bentur, dua kekuatan hebat saling bertemu.

Dalam marahnya Wie Tay Siansu tidak menunggu sampai menarik pulang tangan kanannya, tangan kirinya sudah menghantam lagi dengan "Ban-sui-tiauw-cong"" (Laksana Sungai Mengalir Ke Laut). Pukulan tangan kirinya sekali ini pun tidak kalah kuatnya dari yang pertama.

Lam-mo tadi merasakan tangannya tergetar ketika tangannya kebentur dengan tangan si pendera. tapi melihat Wie Tay Siansu memukul lagi tidak kalah hebatnya, cepat-cepat dia mengempos semangatnya, tangan kirinya diangkat untuk menotok kedua biji mata Wie Tay Siansu dengan jurus "Cun-ma-pun-coan" (Kuda indah Mengejar Mata Air).

Wie Tay Siansu tengah melayang di tengah udara, kini matanya diancam. Memang tidak ada jalan lain baginya menghadapi serangan istimewa dari Lam-mo, ia harus menarik pulang pukulan tangan kirinya, untuk dipakai menangkis totokan jari tangan si dedengkot iblis itu.

Tapi belum lagi dia menarik tangan kirinya, See-mo, sidedengkot iblis yang pendek cebol itu sudah menghantam pinggangnya. Angin pukulannya kuat sekali, jurus dari Sin-kong-ciang See-mo Uh Ma memang dahsyat sekali, dia menghantam dengan mencurahkan tujuh bagian tenaga khikangnya, ingin menghantam hancur pinggang sipendeta.

See-mo Uh Ma pun memiliki ginkang yang istimewa, diapun menyerang dengan cara membokong seperti itu, karenanya Wie Tay Siansu terancam benar keselamatannya, Jika dia menghadapi totokan Lam-mo, jelas pinggangnya akan hancur dihantam Sin-kong-cianguya See-mo Uh Ma.

Kalau dia membagi perhatian untuk memunahkan pukulan See-mo, matanya terancam bahaya jari tangan Lam-mo yang menotok tidak enteng!

Wie Un Siansu dan Wie Lung Siansu ingin melompat untuk membantu saudara seperguruannya. Tapi Wie Sin Siansu memberi isyarat, kepada kedua sutenya agar mereka berdiam diri saja "Wie Tay bisa menghadapi semua itu !" kata Wie Sin Siansu.

Wie Un Siansu dan Wie Lung Siansu batal melompat maju untuk menolongi, mereka percaya Wie Sin Siansu tidak mungkin salah lihat, karena kepandaian Toasuheng itu berada diatas mereka.

Apa yarg dikatakan Wie Sin Siansu tidak salah, karena Wie Tay Siansu dalam keadaan terancam, waktu tubuhnya masih terapung di tengah udara, tiba-tiba kedua tangan-nya tampak ditarik pulang lagi berputar seperti titiran. tubuhnya berpoksay (salto), dia mempergunakan "Bi-ciongkui" (llmu pukulan Menyesatkan)

Semuanya berlangsung begitu cepat sehingga bagi mereka yang kepandaiannya masih tanggung-tanggung tentu tidak bisa melihat jelas apa yang terjadi. Dalam sedetik itu saja terdengar suara benturan keras.

"Wuutt...! Desss ! Blanggg !" disusul kemudian tubuh Wie Tay Siansu meluncur di tengah udara dengan arah berlawanan dari tadi. Kalau semula dia menerjang maju, kini tubuhnya berpoksay ke belakang dan tahu-tahu sudah berdiri di samping Wie Sin Siansu tanpa kurang suatu apapun juga !

Lam-mo dan See-mo kaget waktu tadi tangan mereka terpukul telapak tangan Wie Tay Siansu dan sedetik itu mata mereka kabur oleh gerakan tubuh Wie Tay Siansu, tahu-tahu pukulan mereka telah saling bentur begitu kuat, sampai masing-masing merasa pergelangan tangan kesemutan.

Begitu mereka tersadar dan melihat Wie Tay Siansu sudah berdiri di samping Wie Sin Siansu, mereka tidak urung jadi kagum untuk liehaynya pendeta itu.

Kalau tadi yang menerima serangan Lam-mo dan See-mo berdua bukan Wie Tay Siansu seorang yang berkepandaian sudah tinggi, tentu akan cilaka di tangan maut kedua dedengkot iblis itu. Tapi, dalam keadaan terjepit seperti itulah Wie Tay Siansu mempergunakan "Bi-ciong-kun" di mana sepasang tangannya bergerak cepat sekali mengaburkan pandangan mata kedua dedengkot iblis itu.

Mempergunakan kesempatan yang hanya satu detik itu Wie Tay Siansu sudah menghantam tangan Lam-mo dan See mo, mempergunakan tenaga membalik tubuhnya bisa terdorong mental bersalto ke belakang. Sedangkan See-mo dan Lam-mo dalam keadaan kaget dan heran sebab pandangan mata mereka kabur, pengerahan tenaga dalam kurang penuh, perhatian mereka sedetik itu terpecahkan, membuat tangan mereka yang terpukul tangan Wie Tay Siansu jadi kesemutan dan nyeri !

Cu Lie Seng berdiri tenang, mukanya tetap beku dingin tidak perlihatkan apakah dia gembira atau marah. Matanya yang bentuknya sangat bagus mencorong bersinar tajam sekali, pandangan yang dingin dan bisa membuat orang lain jadi menggigil melihatnya.

Wie Sin Siansu yang sabar luar biasa, kinipun mulai naik darah, mengetahui pemuda di depannya adalah orang yang mencelakakan Tang Bun Siansu. la maju dua langkah, katanya tajam. "Apa sebabnya kau menganiaya Tang Bun Susiok kami ?"

"Sebabnya ?" Cu Lie Seng membuang pandang ke arah lain, sikapnya tetap dingin dan masih dengan sikap angkuh tidak memandang setelah mata kepada ketujuh perdeta Siauw Lim.

"Kalian benar-benar tujuh pendeta tolol ! Sudan berkali-kali kuberitahukan sebabnya adalah Tang Bun terlalu berkepala batu!"

"Dengan cara bagaimana kau menganiaya Susiok kami?" Tanya Wie Sin Siansu tidak perdulikan ejekan Cu Lie Seng.

"Tidak sulit. Untuk menghukum seorang tolol seperti Tang Bun tidak terlalu sulit ! Aku telah merusak urat syaraf pusat di tengkuknya."

Muka tujuh pendeta alim Sauw Lim Sie berobah hebat, tubuh Wie Un Siansu dan Wie Khie Siansu sampai menggigil menahan marah. Wie Tay Siansu seperti kalap menjerit hendak menyerang lagi.

Wie Sin Siansu merangkapkan tangannya "Omitohud !" pujinya pada kebesaran sang Buddha. "Baiklah ! Kau sudah mengakui semua perbuatanmu, Kini jelas yang menganiaya Susiok kami adalah kau, maka Kongcu kau harus ikut dengan kami ke Siauw Lim Sie, untuk mempertanggungjawabkan perbuatanmu itu, nanti Hongthio kami yang akan mengadili kau dan memutuskan hukuman apa yang layak diberikan kepadamu! Usiamu masih demikian muda, tapi tanganmu sangat beracun sekali Siancai ! Siancai !"

Cu Lie Seng memandang dingin kepada Wie Sin Siansu, dia bilang: "Ikut kalian ke Siauw Lim Sie ? Apakah kau kira begitu mudah untuk mengajakku ke sana ? Diundang oleh Hongthio kalian, yang turun gunung dan berlutut didepan kakiku, belum tentu aku terima undangannya !"

Naik darah Wie Sin Siansu. Bagaimana sabarnya pendeta ini, mendengar hinaan yang keterlaluan seperti itu, lenyap kesabarannya.

"Baiklah, Loceng ingin meminta pelajaran dari kau, Kongcu !" Tawar suara si pendeta, dia sudah memutuskan walaupun bagaimana haras membekuk Cu Lie Seng, untuk dibawa ke Siauw Lim Sie, buat diserahkan kepada Hongthio Siauw Lim Sie.

Cu Lie Seng memutar tubuhnya tidak memperdulikan Wie Sin Siansu dan enam orang Suenya, dia menarik tangan Siauw Hoa. "Adik Siauw Hoa, mari kita pulang... menjemukan melayani pendeta-pendeta tolol seperti mereka !"

Wie Sin Siansu mengibaskan lengan jubahnya mengisyaratkan keenam Sutenya, yang melompat mengepung Cu Lie Seng bersama Siauw Hoa, Lam-mo, Pak-mo, See-mo dan Tong-mo di tengah-tengah.

"Karena kau mengakui kau seorang diri yang menganiaya Tang Bun Susiok kami, kami tidak akan mengganggu yang lainnya. Nah, silakan yang tidak berkepentingan untuk pergi, kami tidak akan mengganggu kalian !" Nyaring suara Wie Sin Siansu, yang sudah naik darah.

Tenang sekali Cu Lie Seng, dia melangkah terus tidak acuh pada ketujuh pendeta Siauw Lim. Sedikitpun tidak tampak rasa kuatir dia akan diserang. Lam-mo berempat berjalan di belakangnya.

Wie Sin Siansu menggerakkan tangan kanannya, isyarat unuk mulai menyerang. Lam-mo tiba-tiba tertawa bergelak-gelak. Keras sekali suara tertawanya, bergelomnang berayun-ayun, seakan menggoncangkan sekitar tempat itu, yang seperti dilanda gempa. Lam-mo memang ahli Coan-im-jip-bit (Menyusup-kan Suara Ke Dalam Kepadatan / Mengirim Suara Dari Jarak Jauh) yang tentu saja memiliki sinkang yang sudah tinggi.

Sekarang dia tertawa dengan mempergunakan ilmunya, tidak mengherankan kalau tempat itu bergoncang bagaikan dilanda gempa.

Wie Sin Siansu bertujuh mengawasi waspada, siap menyerang. Sedangkan suara tertawa Lam-mo mendadak lenyap. Muka dedengkot iblis dari Selatan ini tampak bengis.

"Kalian hendak membawa pergi Kongcu kami? Ini berarti kalian harus membawa kami juga! Hei Wie Sin, tahukah kau siapa Kongcu kami ini? Kukira, jika kau kuberitahukan siapa Kongcu kami ini, kau dengan Sutemu itu pasti menggigil ketakutan !"

Wie Sin Siansu sudah habis kesabarannya, bentaknya: "Ya, kami memang ingin mengetahui nama orang yang sudah mencelakakan Susiok kami...!"

"Kongcu kami adalah putra terkasih Cu Kongkong Cu Bian Liat! Nah, kalau memang kalian ingin mempersulit Kongcu kami, silahkan.... kami akan melayani keinginan kalian !" Setelah berkata begitu, beberapa kali Lam-mo Ci Hoan Liong tertawa mengejek.

Kaget Wie Sin Siansu bertujuh. Mereka mengetahui siapa itu yang disebut Cu Kong-kong Cu Bian Liat ! itulah Thaykam yang paling berpengaruh, dan didaratan Tionggoan setelah Kaisar Yong Ceng, Cu Bian Liat lah orang kedua yang memiliki kekuasaan sangat besar!

Alis Wie Sin Siansu memain. "janganlah menjual nama Cu Bian Liat untuk menggertak kami, walaupun bagaimana pemuda itu harus kami bawa ke Siauw Lim Sie !"

Lam-mo mengangguk "Buat apa kami menjual nama Cu Kongkong. Tanyakan kepada Cu Kouwnio, apakah dia bukan putri Cu Kongkong ?"

Siauw Hoa tersenyum nakal. "Benar, paman-paman pendeta". Aku dan Seng-ko anak-anak Cu Kongkong. justru kami sedang bersiap-siap untuk pulang ! Sudahlah paman-paman pendeta, lebih baik kalau kalian kembali saja ke Siauw Lim Sie, bukankah Tang Bun hweshio kelakpun bisa disembuhkan ? Dia cuma dirusak..."

"Siauw Hoa!" bentak Cu Lie Seng keras.

Siauw Hoa tertawa. "Tidak apa-apa memberitahukan bagaimana cara menyembuhkan Susiok mereka, agar tidak timbul urusan lain nya lagi ! Thia-thia sedang menunggu kita, kalau kita terlambat tentu Tnia thia berkuatir sekali !"

Setelah berkata begitu, Siauw Hoa menoleh kepada Wie Sin Siansu, sedangkan Cu Lie Seng tampak jadi tidak senang namun dia tidak berusaha mencegah pula ketika adiknya menjelaskan lebih jauh kepada Wie Sin Siansu: "Tang Bun hwesio cuma di rusak urat "Giok-cie-hiat" di tengkuknya, juga ia telah menelan semacam obat kami, jika kelak lewat satu tahun reaksi obat itu lenyap, pikiran Tang Bun hwesio akan pulih seperti sedia kala. Untuk menyembuhkan jalan darah "Giok-cic-hiat" nya, kalian harus membantu melatih lwekangnya selama 1 tahun, mengingat sinkang Tang Bun hwesio tentu bisa sembuh seperti sediakala, paling tidak hanya lwekangnya yang berkurang dua bagian !"

Bukan kepalang marahnya Wie Sin Siansu bertujuh mendengar keterangan si gadis bahwa yang dirusak adalah urat syaraf "Giok-cie-hiat" sehingga membuat Tang Bun tidak ingat sesuatu lagi, bicara selalu seperti tengah mengigau, juga telah diberikan sejenis racun, yang menurut si gadis baru akan punah sendirinya setelah satu tahun

Tapi yang hebat, sekarang Wie Sin Siansu bertujuh mengetahui pemuda dan si gadis adalah anak-anak Cu Kongkong, Kalau kedua muda-mudi ini mengalami cidera, berarti Siauw Lim Sie sudah menanamkan permusuhan dengan orang kedua terbuat di daratan Tionggoan. Bermusuhan dengan pemerintah tentu ada risikonya yang berat.

Wie Sin Siansu, walaupun berpengalaman, tidak berani memutuskan sendiri bagaimana dan langkah apa yang harus mereka tempuh. Jika mereka memaksa bersikeras hendak membawa Cu Lie Seng pulang ke Siauw Lim Sie, Cu Kongkong kemudian mengirim pasukannya untuk menghancurkan Siauw Lim Sie, bukankah akan muncul peristiwa besar ?

Melihat Wie Sin Siansu tertegun di tempatnya dan pendeta itu ragu-ragu, Lam-mo tertawa dingin, "Karenanya. kalau memang Siauw Lim kalian ingin tetap utuh-menyingkirlah ! Seujung rambut saja Cu Kongcu terganggu, tidak ada seorang pendeta Siauw Lim Sie yang bisa hidup lebih lama la.gi ! Siauw Lim Sie pasti akan dihancurkan oleh Cu Kongkong."

Wie Sin Siansu tidak perdulikan ejekan Lam-mo, dia melirik pada We Tay berenam kemudian mengibaskan tangannya, mengisyaratkan agar keenam pendeta itu menyingkir buka jalan buat Cu Lie Seng dan kawan-kawannya.

Enam pendeta lainnya sebetulnya sudah murka bukan main dan hampir tidak bisa menahan diri, mereka ingin cepat-cepat membuka serangan untuk membekuk Cu Lie Seng namun merekapun tdak berani membantah perintah Toasuheng mereka, segera dengan terpaksa keenam pendeta itu kembali ke belakang Wie Sin Siansu. Hanya mata mereka yang mengawasi dengan sinar tajam penuh kebencian dan sakit hati pada Cu Lie Seng.

"Paman-paman pendeta, kalian ternyata pendeta-pendeta yang bisa berpikir dengan baik ! Terima kasih, kami tidak bisa lama-lama menemui kalian, kami ingin pulang..!" Dia bersama Cu Lie Seng meninggalkan tempat itu dikawal oleh Lam-mo berempat Pak-mo, Tong-mo dan See-mo.

Yang paling gegetun adalah Wie Tay Siansu, dia murka, tapi tidak bisa melampiaskan mendongkol dan marahnya, karena dia tidak berani melanggar perintah Toasuheng-nya. Akhirnya untuk melampiaskan penasarannya, dia membanting-bantingkan kakinya.

Wie Sin Sianau menghela napas mengawasi kepergian Cu Lie Seng dan yang lainnya. "Sudahlah, kita kembali ke Siauw Lim Sie, melaporkan kepada Hongthio, minta petunjuk Hongthio apa yang bisa kita lakukan! Urusan berkembang demikian, kalau sampai kita memaksa si pemuda dan membekuknya kalau benar-benar dia anak-anak Cu Thaykam niscaya bisa mengancam keselamatan Siauw Lim Sie secara keseluruhannya ! Yang terpenting kita mulai berhasil mencari jejak orang yang mencelakakan Tang Bun Susiok Yang belum kita ketahui barang apa yang disebut Liong-kak."

Memang keiujuh pendeta itu penasaran, namun akhirnya mereka memutuskan untuk kembali ke Siauw Lim Sie.

Hampir duapuluh orang pengemis duduk di lapangan rumput cukup luas di luar pintu kampung Lauw-cun. Mereka duduk berjajar membentuk lingkaran, tengah merundingkan sesuatu, Malam telah larut, sinar rembulan bersinar terang, sekitar tempat itu sepi dan senyap, tidak terlihat seorang manusia lainnya selain belasan pengemis itu.

Mereka merundingkan sesuatu dengan suara perlahan, seperti saling berbisik. Tapi, pada suatu kali, salah seorang di artara belasan pengemis itu berseru nyaring: "Walaupun kiia harus mempertaruhkan jiwa, tidak sepantasnya kita melepaskan iblis laknat itu ! Sudah cukup banyak saudara-saudara kita yang dicelakakannya ! Kita harus bertindak ! Kalau perlu mengumpulkan orang-orang Bu-lim untuk ikut menghadapi keempat pengawalnya.

Memang Lam-mo, See-mo. Pak-mo dan Tong-mo liehay, namun dengan cara seperti sekarang, di mana kita seperti takut kebentur dengan iblis laknat itu, sedangkan musuh yang kita cari sudah ada di depan mata, hendak kita taruh di mana muka terang Kay pang?" Suara pengemis yang seorang ini nyaring dan lantang, mengandung nada marah. Dia pengemis berusia empat puluh tahun lebih, mukanya empat persegi, waktu marah seperti itu mukanya merah-padam.

"Sabar, Sute. "pengemis yang duduk di sebelah kanan, yang tampaknya sebagai pemimpin pertemuan para pengemis tersebut. Sabar suaranya. Tangannya memegang tongkat bambu hijau, dia tidak lain Thian Sin Cu, si Malaikat Langit.

"Kita harus melihat keadaan ! Memang bisa saja kita berlaku nekad, bertempur mengadu jiwa dengan iblis laknat dan keempat pengawalnya. Tapi buat apa ? Kita harus mengakui. Lam-mo dedeng-kot iblis yang berkepandaian tinggi. Belum lagi Pak-mo, See-mo dan Tong-mo !

Kalau memang hanya ada seorang dari Keempat dedengkot iblis tersebut, tentu kita masih memiliki kesempatan memperoleh kemenangan. Tapi dengan adanya Lam-mo. Pak-mo. Tong-mo dan See-mo berempat, apa yang bisa kita lakukan ? Belum lagi iblis laknat itu, walaupun usianya masih muda tapi kepandaiannya ini dan cukup tinggi."

"Thian Suheng, kalau kita tidak berusaha sekarang untuk membekuk si iblis laknat tentu di lain waktu tidak ada kesempatan lagi ! Sekali saja dia kembali ke kotaraja, kembali ke istana ayahnya, habislah harapan kita bisa membekuknya ! Di sana bukan hanya Lam-mo, See-mo, Pak-mo dan Tong-mo berempat, tapi banyak sekali pahlawan-pahlawan kerajaan yang memiliki kepandaian tinggi."

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar