Dan dalam goa terdengar suara
batuk-batuk perlahan. Kemudian baru terdengar jawaban. "Sekarang pergilah
kau mengawasi gerak-gerik ketujuh Hwesio itu, aku akan pergi menemui pemimpin
kita, nanti baru kuberi tahukan pada mi apa yang harus kita lakukan !"
"Baik, Suhu !" Bi
Tin mengangguk satu kali lagi berlutut didepan goa itu, kemudian bangkit dan
berlari meninggalkan tempat tersebut keluar dari lembah.
Dari dalam goa terdengat suara
batuk-batuk lagi perlahan, disusul muncul sesosok tubuh. Sinar bulan menerangi
tempat itu redup sekali, tapi cukup jelas untuk melihat sosok tubuh itu adalah
seorang lelaki lanjut usia, mungkin hampir enampuluh tahun.
Tubuhnya kurus dan mengenakan
jubah panjang warna kuning. Rambutnya digelung ke atas, ditusuk oleh gading
panjang seperti tusuk konde yang biasa dipakai oleh seorang Tojin.
Melihat keadaan orang tua itu
memang seperti seorang penyakitan, tapi apa yang di lakukannya kemudian
benar-benar mencengangkan, hampir seperti terjadi dalam khayal dan mustahil
saja. Tangan kiri dan tangan kanannya yang kurus seperti tulang dibungkus
kulit, diulurkan kedepan, kedekat sebongkah batu yang mungkin beratnya lebih
dari 1000 kati, dengan seenaknya orang tua itu mengangkat batu tersebut,
kemudian menurunkannya perlahan-lahan dipindahkan kesampingnya !
Seorang manusia bisa
mengangkat batu yang beratnya lebih dan 1000 kati dengan begitu mudah, seakan
tidak mengeluarkan tenaga, meletakkannya perlahan-lahan, benar-benar peristiwa
yang jarang terjadi. Untuk bisa menggeser batu seberat itu saja rasanya sudah
jarang bisa ditemui, apalagi mengangkat dan memindahkannya perlahan-lahan
menurunkan kembali ! Tapi orang tua itu tampaknya tidak mempergunakan tenaga
sedikitpun juga.
Tempat di mana batu tadi
diangkat, tampak terbuka sebuah goa yang cukup besar, tanpa ragu-ragu orang tua
itu melangkah masuk kedalam goa. Dia menyusuri lorong yang panjang gelap dan
lembab, sampai akhirnya menikung beberapa kali, barulah dikejauhan tampak sinar
terang.
Dia melangkah lebih cepat,
tiba didalam goa yang memiliki penerangan, dimana ternyata merupakan sebuah
ruangan yang penuh dengan perabotan rumah tangga yang mewah ! ltulah sebuah goa
yang telah disulap menjelma jadi sebuah ruang yang mewah dan terang benderang
oleh sinar belasan batang lilin !
Di ruang tersebut tampak duduk
seorang pemuda berusia 20 tahun, dengan sikap angkuh, mukanya dingin melebihi
es tidak memperlihatkan perasaan apapun juga, matanya bersinar tajam, juga
dingin. Alisnya tebal hitam, bibirnya tipis. Dia pemuda tampan, tubuhnya kurus
semampai, jubah yang dipakainya sangat mewah.
"Kongcu, ada yang ingin
kulaporkan kepadamu." kata orang tua itu sambil membungkukkan tubuhnya
sedikit sebagai tanda sikap menghormat pada pemuda itu.
Pemuda berpakaian mewah
tersebut melirik, mukanya tetap dingin tidak memperlihatkan perasaan apapun Ci
Hoan Liong, katanya suaranya sama dingin seperti mukanya. "Apakah ketujuh
pendeta Siauw Lim Sie itu sudah bisa dibereskan ?"
"Belum, Kongcu. Justru
aku ingin meminta pertimbangan Kongcu, apakah aku perlu memperlihatkan diri,
karena apa yang dilakukan oleh Tong-see-pak bertiga hanya memancing rasa
penasaran ketujuh pendeta itu, mereka malah semakin curiga."
Pemuda itu tertawa dingin.
"Ci Hoan Liong,"
katanya kemudian, tetap tawar. "Kau sudah mengetahui apa yang kuinginkan,
bukan ?"
"Ya, sudah tahu."
"Mengapa kau belum
lakukan ?"
"Tapi Kongcu ..."
orang tua itu tampak bimbang.
Pemuda itu berpaling, matanya
mencorong bersinar tajam sekali.
"Apa lagi ?"
tanyanya dingin.
"Kalau ketujuh pendeta
itu kita celakakan, dunia Kangouw akan heboh, tentu pihak Siauw Lim Sie pun
tidak akan berdiam diri saja..."
"Ci Hoan Liong, yang
kuinginkan adalah ketujuh pendeta itu harus dibuat sama seperti Tang
Bun...!"
"Baik, baik Kongcu...
perintah akan dilaksanakan," kata Ci Hoan Liong segera, tampaknya dia
gentar melihat muka si pemuda yang sudah memerah menunjukkan bahwa pemuda itu
mulai marah. Kemudian Ci Hoan Liong memberi hormat dengan membungkukkan sedikit
tubuhnya dan keluar dari goa itu.
Si pemuda tetap duduk di
tempatnya berdiam diri mengawasi kepergian Ci Hoan Liong. Hanya terdengar
tertawa dinginnya yang menyeramkan, nadanya seperti mengandung maut, bisa
meremangkan bulu tengkuk.
Ci Hoan Liong keluar dari goa
tersebut menutup kembali mulut goa dengan batu besar, kemudian tubuhnya seperti
selembar daun kering berkelebat lenyap dalam kegelapan malam. la sudah
memutuskan untuk mengumpulkan Pak-mo, Tong-mo dan Se mo, untuk mulai bekerja
melakukan sesuatu, karena dia sendiri tidak lain dari Lam-mo Ci Hoan Liong,
yang paling ganas di daerah Selatan, iblis yang paling ditakuti oleh semua
orang Kangouw.
Angin malam di lembah bertiup
perlahan sepi setelah kepergian Ci Hoan Liong. Tapi, tidak lama kemudian dari
balik semak belukar muncul sesosok tubuh, memandang sekelilingnya, lalu memperdengarkan
siulan cukup nyaring.
Dari balik semak belukar di
sekitar tempat itu bermunculan belasan orang lainnya Dari gerakan mereka jelas
yang berkumpul di situ terdiri dari orang-orang berilmu tinggi, karena gerakan
mereka selain ringan, juga ketika masing-masing hinggap di tanah sama sekali
tidak menimbulkan suara.
"Kita harus mulai,"
kata orang yang muncul pertama tadi. "Kesempatan ini satu-satunya buat
kita bekerja, Lam-mo sedang pergi, pasti iblis itu seorang diri di dalam
gua"
Teman-temannya mengiyakan.
Sinar rembulan remang-remang, tapi masih cukup jelas untuk melihat orang-orang
itu semuanya berpakaian sebagai pengemis, Masing-masing membawa senjata,
umumnya pedang. Hanya seorang dari mereka, yaitu yang pertamakali muncul tadi,
mencekal sebatang tongkat bambu kecil panjang berwarna hijau, yang rupanya
dipergunakan sebagai pengganti senjata tajam.
Jumlah pengemis-pengemis itu
hampir dua puluh orang, mereka menghampiri batu penutup goa. Tiga orang diri
mereka maju buat menggeser batu besar di muiut goa. Cukup menelan tenaga buat
mereka bisa menggeser batu itu, kemudian tampak mulut goa, gelap dan tidak
tampak seorang manusiapun.
Pengemis-pengemis itu
bermaksud masuk dengan sikap waspada dan bersiap-siap menerima serangan
mendadak, tapi tiba-tiba terdengar: "Apakah kalian masih tidak
berterimakasih karena kuberikan kesempatan buat hidup terus dan sudah bosan
hidup ingin cepat-cepat mati ?"
Suara itu terdengar dekat,
tapi juga seperti terdengar jauh. Pengemis yang mencekal tongkat bambu hijau
mengerutkan alisnya, ia tahu itulah suara yang dikirim dari jarak jauh, yang
biasa disebut Coan-im-jip-bit. la tidak berdiam diri, segera menghirup udara
dalam-dalam, mengempos khikangnya, membuka mulut menyahuti dengan mempergunakan
tenaga Hiim-im-hua-seng (Memecah Udara), yang sama dengan Coan-im-jip-bit
(Menyusupkan suara ke dalam kepadatan)
"Keluarlah iblis
terkutuk, dosamu sudah melewati takaran ! kami atas nama Kaypang ingin
menghukummu, untuk mewakili murid-murid Kaypang yang telah kau celakakan dengan
cara yang paling biadab !"
"He-he-he,"
terdengar tertawa dari dalam goa, lama hening, akhirnya tampak muncul sesosok
tubuh di mulut goa. Belasan pengemis itu mundur bersiap-siap dengan senjata
masing-masing untuk menerjang.
Ternyata sosok tubuh yang
keluar dari dalam goa itu tidak lain si pemuda tampan bermuka dingin. Bahkan ia
pun tertawa "he-he-he"" dengan suara yang dingin "Kalian
benar-benar sudah bosan hidup dan merepotkanku untuk mengirim kalian ke neraka
! Baiklah, kalau aku menolak, nanti disebut keterlaluan sudah bercapai Ielah
mendesak untuk minta mati, eh, eh, ditolak, tentu mengecewakan. Nah,
bersiap-siaplah untuk berangkat ke neraka."
"Sombong!" teriak
salah seorang pengemis yang tidak bisa mengendalikan kemarahannya yang disusul
tubuhnya melesat ke dekat si pemuda, pedangnya akan menikam leher.
"Cit-tee hati-hati
!" pengemis yang mencekal tongkat bambu hijau terkejut dan memperingati.
Tapi sudah terlambat !
Pemuda itu tetap berdiri
tenangkan mukanya tetap dingin mengawasi datangnya pedang yang hanya terpisah
beberapa dim lagi dari lehernya. Dia tahu-tahu menyentil dengan tangan
kanannya. "Dessss," tubuh pengemis yang dipanggil Cit-tee (adik
ketujuh) terpental keras, terpelanting ke tanah bergulingan beberapakali.
Matanya jadi juling kepalanya dirasakan kaku, tubuhnya seperti dihantam godam
dan tulang-tulangnya seperti mau copot, pusingnya sampai keotaknya. Untuk
sejenak pengemis itu tidak bisa bangun.
Pengemis-pengemis lain berseru
kaget campur marah, mereka bersiap menyerang. Tapi pengemis yang mencekal
tongkat bambu hijau mencegah dengan isyarat pergunakan tongkatnya, lalu dia
menghampiri temannya yang rebah dengan mata tetap juling karena terlalu
pusingnya, diusap-usap leher temannya, barulah rasa pusing si Cit-tee
berkurang, dia bisa bangun, walaupun rasa pusingnya belum lenyap seluruhnya.
Yang mengherankan buat
pengemis-pengemis lainnya, kawan mereka tadi menikam sebetulnya dengan cara
yang cepat dan jurus yang ampuh, yaitu "Peng ho-kiat-tang" (Sungai Es
mencair), salah satu jurus terampuh dari ilmu pedang kaum Kaypang, yang
biasanya jarang bisa dielakkan oleh lawan, apalagi dilakukannya mendadak
begitu.
Tapi luar biasa sekali, pemuda
itu hanya sedikit memiringkan tubuhnya, mengangkat tangannya dan menyentil,
teman mereka terpelanting dengan mata terjuling-juling ! Karena mereka semakin
waspada, itu membuktikan kepandaian pemuda ini, yang mereka sebut-sebut sebagai
iblis laknat, memang tinggi.
Pengemis yang memegang tongkat
bambu sudah kembali ketempatnya. ia mengawasi tajam pada sipemuda tampan.
"iblis laknat! Hari ini adalah saatnya dimana kau harus menebus
dosa-dosamu ! Bersiap-siaplah untuk menerima hukumanmu!"
"Benarkah itu?"
tanya sipemuda dingin. Mukanya tetap tidak memperlihatkan perasaan apapun.
"Apakah kau tidak keliru bicara? Justru kalian yang harus bersiap-siap
untuk berangkat ke neraka!"
Pengemis tua itu tidak mau
mengadu mulut. "Aku Thian Sin Cu (Si Malaikat Langit) ingin melihat
sebetulnya berapa tinggi kepandaianmu!" Tongkatnya langsung menuding
dengan jurus "Kim Ciam Touw Sian" (Benang Menusuk Jarum Emas).
disusul bentakannya: "Cabut senjatamu!"
Sipengemis yang bernama Thian
Sin Cu tidak mau membiarkan sipemuda bicara terlalu banyak, memaksanya untuk
bertempur.
Pemuda itu tetap berlaku
tenang, "0oh, tidak tahunya Thian Sin Cu? Bagus ! Sekarang kau bisa
benar-benar jadi Malaikat Langit. akan kukirim kau kesana !" Dia
merangkapkan kedua tangannya, berani sekali dia menekapkan kedua telapak
tangannya menangkap ujung tongkat bambu, padahal ujung tongkat bambu itu mengandung
tenaga khikang yang sangat kuat !
Thian Sin Cu tidak menarik
tongkatnya dia ingin melihat berapa besar tenaga dalam pemuda ini, yang
diketahuinya sangat sadis. la juga mengenali cara si pemuda menghadapi
tongkatnya adalah yang disebut Hun-kiy-cian (ilmu Pukulan Memecah dan Membuka).
Hanya yang tidak disangkanya adalah kekuatan khikang pemuda itu, sebab begitu
ujung tongkatnya kena ditangkap oleh jepitan kedua telapak tangan si pemuda,
tongkat itu tidak bergeming lagi, biarpun Thian Sin Cu mendorong kuat sekali
disertai khikang tetap ujung tongkat terjepit diantara kedua telapak tangan si
pemuda.
Muka si pemuda tetap dingin,
dia perdengarkan tertawanya yang dingin sekali "Kini giliranku untuk
menghadiahkan kau satu jurus!" Bersamaan dengan itu kedua telapak tangan
si pemuda tergetar, dan Thian Sin Cu kaget tidak terkira, sampai ia
mengeluarkan keringat dingin. Tangannya dirasakan kesemutan waktu tongkat yang
digenggamnya tergetar semakin lama semakin keras.
Itnlah tenapa khikang yang
luar biasa ampuh ! Hampir tidak bisa diterima oleh akal sehat Thian Sin Cu,
pemuda dalam usia semuda itu bisa memiliki khikang yang demikian tinggi ! Tapi
sebagai seorang kangouw berpengalaman, ia cepat bisa mengendalikan diri. Dia
mengempos semangatnya, tahu-tahu, tangan kirinya menyambar ke muka pemuda itu
dengan "Tin San Ciang" (Pukulan menggetarkan Gunung") kuat
sekali tenaga pukulan itu, jangankan manusia yang terpukul, batupun akan
menjadi tepung halus kalau terpukul oleh kepalan tangan Thian Sin Cu saat itu.
Pemuda itu merasa kesiuran
angin kuat menyambar mukanya, tetap mukanya dingin. "Cukup tinggi lwekang
jembel ini!" pikir pemuda itu. Dia bukan hanya berpikir, kedua telapak
tangannya tahu-tahu dibuka, tubuhnya dengan kecepatan luar biasa sudah
menyingkir ke samping kanan, ia bergerak dengan jurus
"Ouw-liong-jiauw-cu" (Naga Hitam Melibat Tiang), tahu-tahu dia sudah
di samping Thian Sin Cu, telapak tangan kanannya meluncur turun akan menepuk
pundak si pengemis !
Bukan Thian Sin Cu seorang
yang kaget, teman-teman si pengemispun berseru kaget. Beberapa orang bermaksud
untuk melompat menolongi. walaupun mereka tahu sudah terlambat dan tidak
mungkin bisa mencapai si pemuda sebelum telapak tangan itu jatuh pada
sasarannya.
Yang lebih mengejutkan tubuh
si pemuda berdiri dengan tegak, tangan meluncur turun, muka yang dingin, dia
tengah menjalankan salah satu jurus dari ilmunya yang mengandung maut !
Thian Sin Cu waktu itu
sebetulnya tengah hilang sedikit keseimbangan tubuhnya, karena tongkat yang
tengah didorongnya tahu-tahu terlepas dari jepitan kedua telapak tangan si
pemuda. Tubuhnya agak terjerunuk ke depan dengan kuda-kuda yang agak tergempur.
Sekarang dia diserang begitu dahsyat tentu saja dia kaget.
Waktu jiwanya tengah terancam
bahaya, secepatnya dia bergerak dengan Gin-han-hui-te (Bima-sakti Mem-bentak Di
Udara). dia coba membalikkan tongkatnya ke belakang, di sodok sekuat tenaga,
maksudnya ingin menusuk perut si pemuda.Tapi gerakannya terlambat, telapak
tangan si pemuda sudah berada di pundaknya, dan Thian Sin Cu mengeluh.
"Mati aku..."
Semua mata pengemi's-pengemis
yang ada di situ terbuka tegang melihat jiwa Thian Sin Cu terancam tanpa mereka
bisa melakukan sesuatu. Sudah bisa dipastikan Thian Sin Cu sedikitnya akan
terluka parah dan mungkin cacad seumur hidupnya.
Di detik menentukan itu,
mendadak terdengar teriakan. "Koko... ampuni dia !"
Alis si pemuda berkerut, tapi
tangannya sudah ditarik kembali batal menepuk pundak Thian Sin Cu itulah cara
yang sulit sekali dilakukan oleh sembarangan orang, di saat tenaga tengah
dikerahkan tangan meluncur, mendadak bisa ditarik kembali membatalkan tepukan.
Jika seseorang lwekangnya belum mercarai tingkat yang tinggi tentu sulit
baginya melakukan perbuatan seperti itu.
Di tempat itu telah tambah
seorang gadis berusia 18 tahun, rambutnya dikuncir dua, mukanya berpotongan
seperti buah tho, memerah cantik sekali.
Bajunya singset. sebagaimana
baju yang biasa dikenakan wanita-wanita pengembara, hanya ditambah oleh jaket
kulit berbulu tebal. Gadis itu tertawa-tawa. Ternyata dia tidak lain dari Siauw
Hoa (Si Bunga Kecil)!
"Kau selalu usil
mencampuri urusanku!" menggumam si pemuda dingin.
Thian Sin Cu sendiri yang
semula sudah siap-siap menerima pukulan maut itu dengan mengempos seluruh
khikangnya pada pundak, ketika mengetahui si pemuda menahan pukulannya,
tubuhnya bergulingan ke depan cukup jauh dengan "Hui-hong-sut"
(berlari-terbang). Waktu berdiri dengan memegang tongkat bambunya, muka Thian
Sin Cu agak pucat, dan keringat pun penuh di keningnya. Walaupun usia pemuda
itu masih muda, namun kepandaiannya ternyata tidak kalah-dari kepandaian Thian
Sin Cu.
"Seng-ko, kau
memarahiku?" bibir Siauw Hoa yang kecil mungil yang semula tertawa-tawa,
seketika terkatup dan jadi cemberut marah, tapi tetap gadis ini tampak sangat
cantik.
Si pemuda menghela napas
"Mengapa kau datang kemari?" tegurnya tanpa menjawab pertanyaan Siauw
Hoa.
"Kau jawab dulu
pertanyaanku, apakah kau marah padaku?" menggeleng si gadis ngambul.
"Tidak! Katakanlah
mengapa kau datang kemari ?"
"Menyusul kau ! Thia-thia
perintahkan kau pulang !"
Muka si pemuda berobah guram.
"Kau pulang dulu, aku masih ada urusan yang perlu dibereskan. Jika
urusanku sudah beres, segera aku pulang."
"Tapi Thia-thia bilang
aku harus pulang bersamamu, ada yang ingin dibicarakan Thia-thia bersamamu
!"
Si pemuda membanting kakinya
beberapa kali, tampaknya jengkel. Dia melirik kepada belasan pengemis yang
waktu itu dengan dipimpin Thian Sin Cu mengambil sikap mengepung dia bersama
Siauw Hoa.
Thian Sin Cu setelah mengatur
jalan pernapasannya kesegarannya pulih, rasa kagetnya telah lenyap. dia
memimpin teman-temannya untuk mengepung si pemuda dan Siauw Hoa di
tengah-tengah, siap untuk menyerang serentak. Siauw Hoa tertawa.
"Sudahlah Seng-ko. ampuni
mereka ! Apa gunanya ribut-ribut dengan segala macam pengemis seperti itu ? Ayo
kita pulang...!" Setelah berkata begitu Siauw Hoa berpaling kepada Thian
Sin Cu dan teman-temannya. "Kalian tunggu apa lagi tidak mau cepat-cepat
angkat kaki menerima pengampunan koko-ku ? Apakah menunggu Lam-mo, Pak-mo, See-mo
dan Tong-mo berempat tiba di sini ? Mereka berempat tengah mendatangi kemari,
rasanya tidak lama lagi akan sampai di sini !"
Mendongkol bukan main Thian
Sin Cu dan teman-temannya mendengar perkataan Siauw Hoa, mereka juga tahu
itulah gertakan belaka. Tapi, gadis itu memang telah menolong Thian Sin Cu,
menyelamatkan jiwa si pengemis dari tangan maut si pemuda.
Di samping itu kalau sampai
Tong-mo berempat benar-benar datang ke situ, ini merupakan ancaman yang tidak
ringan. Menghadapi pemuda yang usianya masih begitu muda sudah cukup sulit, apa
lagi kalau keempat iblis itu tiba di sini. Maka Thian Sin Cu memutuskan mereka
harus cepat-cepat berlalu.
"Baiklah," katanya
tawar. "Walaupun bagaimana dosa-dosamu harus dipertanggung-jawabkan, tidak
sekarang pasti di waktu mendatang!" Setelah berkata begitu Thian Sin Cu
dengan sikap gusar mengibaskan tongkatnya mengisyaratkan kawan-kawannya untuk
segera meninggalkan tempat itu.
Si pemuda cuma mengawasi
dingin, tanpa mengucapkan sepatah perkataan. Setelah rombongan pengemis Kaypang
lenyap dalam kegelapan malam, barulah si pemuda membanting-banting kakinya
beberapakali dengan jengkel.
"Siauw Hoa, kau selalu
mencampuri urusanku ! Oooooh, kalau aku.... kalau aku..."
"Hi-hi-hi-hi... kalau aku
kenapa, Seng-ko ?" tanya Siauw Hoa sambil tertawa.
"SudahIah ! Jika nanti
kau masih terus menerus mencampuri urusanku, satu saat aku pasti tidak akan
hiraukan kau lagi !" menyahuti si pemuda.
"Seng-ko... kau sekarang
berobah jahat ! Jika kau tidak mau menghiraukan aku lagi biarlah aku menangis
saja!" Benar-benar si gadis menangis terisak-isak. Si pemuda jadi
kelabakan, dicekal kedua lengan si gadis, lalu dihiburinya.
"Aku hanya bergurau,
Siauw Hoa, Ayo tertawa lagi, aku tetap sayang padamu..!" membujuk
sipemuda.
Siauw Hoa benar-benar gadis
dengan perangai agak aneh. Tadi dia begitu mudah menangis, tapi sama mudahnya
kini dia tertawa, walaupun air matanya masih membasahi pipinya.
"Benarkah Seng-ko? Kau
selamanya akan tetap sayang padaku, bukan ?" menegasi Siauw Hoa.
Pemuda itu mengangguk kesal,
karena adiknya ini selalu juga merepotkannya.
"Ayo kita cepat-cepat
pulang, Seng-ko. Thia-thia tentu sedang menantikan kita dengan kuatir ! Tadi
kepada See-mo telah kuberitahukan, agar dia beritahukan Pak-mo, Tong-mo dan
Lam-mo, agar mereka pulang."
Pemuda itu mengangguk lesu,
tangannya ditarik oleh Siauw Hoa meninggalkan lembah itu.
Siapakah pemuda yang disebut
Seng-ko oleh Siauw Hoa ? Dan siapa gadis yang tampak selalu lincah dengan paras
yang cantik? Mereka tidak lain dua bersaudara kandung dari keluarga yang paling
berkuasa disaat itu setelah Kaisar Yong Ceng, yaitu putra-putri Cu Bian Lian,
Cu KongKong !
Memang lucu kedengarannya
seorang Thay-kam seperti Cu Kongkong bisa mempunyai anak, sepasang pula ! Hal
itu terjadi karena sebelum masuk istana menjadi Thaykam, Cu Kongkong pernah
menikah. Setahun setelah ia memperoleh anak, yaitu Cu Lie Seng. Disusul
kemudian dengan hamil isterinya untuk kedua kalinya. Waktu itulah Cu Bian Liat
bertengkar dan dihina oleh Tihu kotanya, pembesar itu menangkap dan
menjebloskan Cu Bian Liat kepenjara.
Sakit hati terhadap Tihu itu
membuat Cu Bian Liat bertekad hendak masuk istana, agar kelak bisa balas sakit
hatinya pada Tihu itu. Ketika ia dibebaskan, ia segera berangkat kekoraraja
tanpa menanti kelahiran anaknya yang kedua, masuk keistana dan jabatan yang
diterimanya adalah Thaykam.
Karena nekad, walaupun harus
dikebiri, ia menerima jabatan itu, karena ia mempunyai rencana sendiri untuk
kelak setelah memiliki kekuasaan membalas sakit hatinya pada Tihu yang pernah
menghina dan menjebloskannya kedalam penjara!
Siapa sangka, Cu Bian Liat
akhirnya merupakan satu-satunya Thaykam yang disayang Kaisar, bahkan Kaisar
telah memberikan kekuasaan yang besar padanya. Kemudian Kaisar tua mati,
diganti oleh Yong Ceng.
Raja yang baru naik takhta
itupun ternyata mencurahkan seluruh kepercayaan kepada Thaykam yang satu ini.
Cu Kongkong semakin kuat dengan kekuasaannya. Tihu yang jadi musuhnya sudah
siang-siang habis sekeluarga dibabat oleh Cu Kongkong !
Setelah merasa kedudukannya
mantap benar, Cu Kongkong membawa kedua orang anak dan istrinya keistana.
Peristiwa penyambutan isteri
dan anak-anak Cu Kongkong terjadi belasan tahun yang lalu, sebelum ayahanda
Kaisar Yong Ceng wafat, dalam saat mana Cu Kongkong memang sudah memiliki
kekuasaan yang cukup besar.
Sebagai orang kebiri, tentu
saja Cu Kongkong sudah tidak mengharapkan sesuatu lagi dari isterinya, hubungan
mereka hanya sebagai persaudaraan belaka. Bagi Cu Kongkong, yang mungkin
terpenting dalam hidupnya, memberi kesenangan kepada kedua anak-anaknya !
Kasih sayang berlebihan,
perlakuan memanjakan berlebih-lebihan, bisa mempengaruhi perkembangan jiwa
maupun watak seorang anak. Dan demikian pula halnya dengan Cu Lie Seng. la
tumbuh jadi dewasa dengan perangai yang berobah jadi jelek sekali, sifatnya pun
buruk.
Tidak jarang ia melakukan
perbuatan tidak terpuji, kejam dan sadis terhadap orang yang tidak
disenanginya. Siapa yang berani menentang pemuda ini, yang merupakan putera
dari orang yang memiliki kekuasaan kedua setelah Kaisar Yong Ceng? Terlebih
lagi di belakang Cu Lie Seng pun berdiri tokoh-tokoh rimba persilatan yang
sengaja diundang oleh Cu Bian Liat Cu Kongkong sebagai pelindung anaknya
tersebut, merangkap sebagai guru silatnya juga !
Cu Lie Seng pun memiliki otak
yang cerdas di samping sifat-sifat buruknya. la mudah sekali mempelajari
sesuatu, seakan tidak ada sesuatu yang sulit baginya. Mempelajari semacam ilmu
silat saja bisa dilakukan dengan cepat.
Pemuda ini pun telah berusaha
menggabungkan berbagai ilmu silat dari macam-macam aliran untuk menjadi semacam
ilmu silat yang ampuh, semua itu di lakukan secara diam-diam, tidak seorangpun
dari guru-gurunya yang mengetahui hal tersebut.
Karena merasa sebagai
satu-satunya orang yang memiliki kekuasaan besar, di mana semua orang-orang
kepercayaan ayahnya pun tunduk padanya, maka Cu Lie Seng semakin lama semakin
mengumbar nafsu jahatnya. la sering mengganggu isteri orang baik-baik,
mengganggu puteri dari keluarga yang tidak berdaya.
Siapa saja yang diinginkannya,
baik wanita atau laki-laki. harus menuruti setiap keinginan pemuda ini. Yang
wanita, terutama yang cantik-cantik, tentu akan jadi bahan permainan si pemuda.
Sedangkan yang laki-laki tentu akan dijadikan anak buahnya, untuk membantunya
melaksanakan perbuatan jahatnya.
Semakin bertambah usia pemuda
itu, semakin banyak perbuatan tak terpuji yang dilakukan. Dan malah terakhir
ini ia berpikir untuk menguasai orang-orang rimba persilatan, di mana ia
bercita-cita menjadi jago satu-satunya di dalam dunia persilatan, semua
pendekar harus tunduk padanya.
Banyak jago-jago ternama yang
dihubunginya dengan mempergunakan kekuasaan ayahnya, jarang pendekar-pendekar
yang dihubunginya berani menolak ajakan si pemuda, agar bekerja di bawah
perintahnya.
Cu Kongkong bukan tidak
mendengar sepak-terjang anaknya yang satu itu. Tapi Cu Bian Liat bukannya
menegur sang putra, malah diam-diam perintahkan beberapa orang pahlawan
kepercayaannya untuk diam-diam mengawal anaknya, sebagai pelindung anak Thaykam
yang paling berkuasa itu.
Waktu itu Cu Lie Seng bersama
Siauw Hoa sampai dimulut lembah, mendadak tampak seseorang tengah berlari
menghampiri kepada mereka. Alis Cu Lie Seng mengkerut, gumamnya: "Mengapa
manusia tak punya guna ini berlari-lari seperti itu?"
Dia mengenal bahwa yang teman
menghampiri kearah dia dan Siauw Hoa adalah Ang Bi Tin, murid Lam-mo.
Ang Bi Tin sampai didepan Cu
Lie Seng. pemuda itu memberi hormat. "Cukong, Suhu ku mengharapkan
kedatangan Cukong."
"Dimana ?" tawar
suara Cu Lie Seng.
"Suhu bersama tiga orang
paman sedang menghadapi ketujuh pendeta Siauw Lim Sie. Sebelumnya Suhu
perintahkan aku menguntit ke tujuh pendeta itu, sampai akhirnya Suhu datang
bersama tiga paman lainnya, mereka bicara sebentar dengan ketujuh pendeta Siauw
Lim Sie, akhirnya bertempur.
Suhu berpesan agar kami
mengundang Cukong kesana, karena kalau Cukong tidak datang Suhu belum lagi tahu
apa tindakan selanjutnya terhadap ketujuh pendeta itu !" Waktu menjelaskan
Bi Tin menunduk tidak berani menentang sorot mata Cu Lie Seng yang tajam luar
biasa. Muka Cu Lie Seng begitu dingin, sehingga Bi Tin menggidik kalau
memandangnya.
"Mereka bertempur
dimana?" tanya Cu Lie Seng akhirnya.
"Tidak terlalu jauh dari
sini, hanya terpisah puluhan lie saja." menyahuti Bi Tin.
Siauw Hoa memegang tangan
kakaknya. "Seng-ko, ayo kita pulang, Thia-thia sedang menunggu! Dan
kau..." Siauw Hoa menoleh pada Bi Tin, "beritahukan pada gurumu dan
ketiga orang paman agar menyusul kami pulang keistana !"
"Ya, ya." Menyahuti
Bi Tin.
Tapi Ci Lie Seng menggeleng.
"Adikku, jangan memaksa
aku untuk pulang sekarang juga. Aku ingin melihat pertempuran itu, pasti
menarik!" Kata Cu Lie Seng. "Kau tentu tertarik melihat pertunjukan
yang pasti sangat menarik."
Siauw Hoa monyongkan mulutnya,
tapi hanya sebentar saja, kemudian dia mengangguk.
Bi Tin mengantarkan Cu Lie
Seng dan Cu Siauw Hoa ketempat dimana Lam-mo dengan Pak-rno, See-mo dan Tong-mo
yang tengah bertempur dengan tujuh pendeta Siauw Lim Sie. Tempat dimana
berlangsungnya pertempuran itu ternyata hanya terpisah belasan lie, cepat
sekali mereka tiba disitu. didekat pintu kampung Liauw-cun.
Cu Lie Seng tidak melakukan
tindakan apa-apa, hanya menonton saja pertempuran itu yang berlangsung seru
sekali, Siauw Hoa dan Bi Tin pun berdiam diri menyaksikan betapa pertempuran
yang tengah berlangsung benar-benar merupakan pertunjukan sangat menarik,
dimana tujuh orang pendeta Siauw Ltm Sie tengah menghadapi empat dedengkot
iblis!
Saat itu Wie Sin Siansu yang
memimpin keenam orang sutenya tengah mengepung Lam-mo, Pak-mo, See-mo dan
Tong-mo. Rupanya ketujuh pendeta Siauw Lim Sie tidak mau memberikan kesempatan
keempat dedengkot itu meloloskan diri dari dalam kalangan, Tong-mo berempat pun
memberikan perlawanan yang menakjubkan, karena tangan kaki mereka yang bergerak
selalu menimbulkan kesiuran angin keras, sampai terasa oleh Cu Lie Seng, Siauw
Hoa dan Bi Tin, biarpun mereka berdiri ditempat yang terpisah agak jauh dari
kalangan pertempuran tersebut.
"Sekarang sudah
jelas," terdengar Wie Lung Siansu membentak sambil menyerang memakai jurus
"Tek-song-ciu" (Tangan Memetik Bintang). kelima jari tangan kanannya
berkembang akan menakup kepala Pak-mo. Dedengkot iblis yang berpakaian seperti
pengemis itu tertawa "he-he-he-he !" tubuhnya melesat kesamping
dibarengi dengan jurus "Hun-kang-toan-liu" (Membendung Sungai
Memutuskan Aliran), sebat bukan main kakinya menendang rusuk Wie Lung Siansu.
"Kalian yang selama ini telah mengacau ingin mengadu domba antara Bu Tong
dengan Siauw Lim !"
"Hi-hi-hi..."
Tertawa mengejek Tong-mo. "kalau sudah tahu, ya sudah! Jangan gaiak-galak
begini !" Sambil mengejek, Tong-mo yang berpakaian sebagai hweshio,
melompat kesamping Wie Khie Siansu, telapak tangannya yang penuh hawa khikang
sehingga tampak kulitnya memerah seperti darah, meluncur kepinggang sipendeta.
Wie Khie Siansu merasakan
angin panas nyeri menyambar pinggangnya, dia agak terkejut. "Hemmmm iblis
ini menguasai Ang-see-ciang..!" Dia tidak berayal, karena mengetahui
Ang-see-ciang sejenis ilmu hitam yang sangat beracun. Setiap orang yang melatih
ilmu itu pasti telapak tangannya memerah seperti darah jika mempergunakan ilmu
tersebut, kalau mengenai sasaran akan berakibat hebat, jangankan manusia,
batupun akan hancur jadi bubuk!
Mengetahui bahaya yang
mengancam Wie Khie Siansu bukan hanya berkelit belaka. "Siancay," dia
memuji, sambil tangannya tiba-tiba mendorong kearah dada Tong-mo, dibarengi
pengerahan khikangnya, ia mempergunakan salah satu jurus dari ilmu andalan
Siauw Lim Sie yang bernama "Liu-seng-kan-goat" (Bintang Sapu Mengejar
Rembulan), kuat dorongan yang disertai tenaga khikang yang sudah terlatih baik,
karena Tong-mo seketika merasakan napasnya sesak, membuatnya harus cepat cepat
membatalkan serangan Ang-see-ciang pada sipendeta.
Semua itu hanya beberapa detik
saja, tapi itulah jago-jago ulung yang tengah bertanding, sekali saja salah
satu pukulan mereka mengenai sasaran, celakalah korban tersebut !
Baru Tong-mo menyingkir,
justru di belakangnya menyambar angin yang panas seperti membakar. Tahulah
Tong-mo bahwa ia tengah diserang oleh pukulan yang dahsyat. Tanpa menoleh lagi
ia segera mengempos semangat murninya, membungkukkan sedikit tubuhnya dengan
kaki kanan tertekuk, berbareng telapak tangannya meluncur ke belakang.
"Plakkk," terdengar
suara keras disusul lagi oleh "Dessss!" Tangan Tong-mo saling bentur
dengan tangan Wie Tay Siansu. Keduanya lompat mundur kebelakang dengan muka
berobah, tadi mereka sudah mempergunakan tenaga dalam yang sama-sama tinggi,
dan dalam satukali bentrokan itu masing-masing merasa kagum terhadap lawan mereka
yang sinkangnya ternyata berimbang satu dengan yang lain.
Lam-mo waktu itu tengah
melayani Wie Sin Siansu. Si pendeta alim Siauw Lim Sie yang sabar ini tampaknya
sudah mengeluarkan ilmunya yang tinggi, berulangkali ia mengibas dan memukul
mempergunakan kepalan tangannya. Namun Lam-mo walaupun sudah tua serta kurus
bagaikan orang berpenyakitan, selalu dapat menghindarkan serangan lawan, malah
kalau sudah terpaksa ia menangkis dengan kekerasan. Terdengar berkali-kali
suara "Wutttt !"
"Dessss! menunjukkan
hebatnya benturan dua macam tenaga sinkang yang sudah terlatih tinggi !
Dalam suatu kesempatan Wie Sin
Siansu sedang menghindarkan salah satu ancaman serangannya, Lam-mo membarengi
menyerang lagi dengan jurus "Tui-hun-tok-pok" (Mengejar Roh Menarik
Sukma), tangan kanannya lurus ingin mencengkram pundak Wie Sin Siansu, tangan
kirinya mendorong kuat sekali, sampai terdengar suara "Ciuutt!"
berulangkali.
"Pukulan sangat jahat dan
beracun ! Siancai." menggumam Wie Sin Siansu, si pendeta menghindar tidak
menyambuti pukulan lawan. Kemudian mereka mendekat dan mengukur kekuatan lagi.
Lain lagi cara bertempur
See-mo, dedengkot iblis yang memiliki bentuk tubuh pendek cebol seperti tubuh
seorang anak kecil. la benar-benar gesit luar biasa, karena tubuhnya yang cebol
itu berkelebat kesana kemari.
Wie Un Siansu dan Wie Lie
Siansu agak repot menghadapinya ! Kalau memang See mo hanya berkelebat kesana
kemari belaka, tentu tidak akan berarti apa-apa buat kedua pendeta alim Siauw
Lim Sie, justru dedengkot iblis yang cebol ini selalu membarengi dengan
pukulan-pukulannya yang berhawa dingin dan mengandung maut !
Sinkang Wie Un Siansu dan Wie
Lie Siansu masih berada di bawah sinkang Suhengnya, Wie Sin Siansu karenanya
biarpun mereka berdua menghadapi Sae-mo tetap saja membuat mereka repot.
Sebab-sebab utama mengapa
kedua pendeta alim Siauw Lim Sie ini sibuk melayani See-mo adalah disebabkan
bentuk tubuh See-mo yang cebol. Kalau saja dedengkot iblis ini bertubuh normal,
tentu Wie Un Siansu dan Wie Lie Siansu tidak serepot itu. Apalagi memang Sce-mo
tampaknya mengandalkan ginkangnya yang tinggi, untuk berkelebat ke sana ke
mari, diselingi oleh pukulan-pukulan mengandung maut!
Wie Un Siansu tahu bahwa ilmu
pukulan maut See-mo adalah yang disebut Sin-kong-ciang (Tangan Sinar Sakti)
sejenis ilmu pukulan sesat dan beracun. Setiap memukul, akan disertai oleh
khikang yang kuat, memancarkan hawa dingin yang keras, kalau lawan
berkepandaian tanggung-tanggung. tentu satu dua jurus saja See-mo sudah bisa
merubuhkan lawannya! Tetapi sekarang justru yang dihadapinya adalah pendeta
alim Siauw Lim Sie tingkat kedua, yang kepandaiannya sulit diukur, bahkan dua
orang sekaligus, karenanya biarpun sudah lebih dari dua jam dia mempergunakan
ginkangnya diselingi oleh pukulan-pukulan Sin-kong-ciang, tetap saja dia gagal
merubuhkan Wie Un Siansu atau Wie Lie Siansu. Untuk menyentuh jubah pendeta itu
sajapun tidak pernah terjadi"
Cu Lie Seng mengawasi dengan
mata mencorong memancarkan sinar tajam. Dia tidak mencegah pertempuran itu,
tanpa bersuara ia mengikuti jalan pertempuran tersebut penuh perhatian. Memang
Cu Lie Seng diam-diam sedang menggubah bermacam-macam ilmu aliran pintu
perguruan silat yang ingin digabung dan diciptakan menjadi sebuah aliran baru.
Sekarang menyaksikan jalannya
pertempuran antara tokoh-tokoh berkepandaian tinggi, jelas menggembirakan
hatinya. Dia bisa memperhatikan dengan sesama setiap jurus yang dipergunakan
oleh para pendeta Siauw Lim Sie dan empat dedengkot iblis itu.
Sebagai pemuda berotak sangat
cerdas, Cu Liu Seng memang memiliki kelebihan dibandingkan dengan pemuda-pemuda
sebaya dengannya. Sekali lihat saja dia bisa mengingat sesuatu sampai
berbulan-bulan dan bertahun-tabun lamanya berada dalam ingatannya. Sekarang
menyaksikan jalannya pertarungan lagi memang See-mo tampaknya mengandalkan
ginkangnya yang tinggi, untuk berkelebat ke sana ke mari, diselingi oleh
pukulan-pukulan mengandung maut!
-----------
tempuran itu, iapun hanya
menyaksikan dan diam-diam berusaha mengingat setiap gerak dan jurus yang
dipergunakan oleh mereka yang tengah bertempur.
Wie Sin Siansu sambil
bertempur, beberapa kali bertanya kepada Lam-mo. Tetapi sejauh itu Lam-mo tidak
melayani pertanyaan si pendeta.
"Apa salah kami Bu Tong
dan Siauw Lim Sie sehingga kalian hendak mengadu domba kami ?" tanya Wie
Sin Siansu setelah menghindarkan ancaman tangan Lam-mo. "Lalu, siapakah
yang melukai Tang Bun Susiok kami ?"
Lam-mo tidak segera menyahuti,
tangan kirinya mengirim pukulan kuat dengan Sun-eisi-kian-yo ( Pukulan menuntun
Kambing ), disusul lagi oleh tangan kanannya akan menghajar lambung pendeta
alim Siauw Lim Sie tersebut dengan jurus "Kie-hwe-liauw-thian" (
Angkat Obor Menerangi Langit).
Hebat kedua pukulan tersebut,
Wie Sin Siansu pun menyadari tidak mungkin bisa main-main menerima kedua pukulan
itu. Sambil bilang "Siancai", tubuhnya tahu-tahu melesat ke samping
kiri beberapa langkah dengan jurus "Jie-yan-coan-lian" (Anak Walet
Menembus Tirai) dia menghindari pukulan tangan kiri Lam-mo, dengan memutar
sedikit pundaknya, tangan kanannya mengibas keras, menangkis pukulan tangan
kanan dedengkot iblis dari Selatan iiu.
"Plakkkkk !",
"Dessssss !" kedua tangan saling bentur tubuh Wie Sin Siansu
tergetar, sedangkan Lam-mo bergoyang-goyang tubuhnya dengan kaki melangkah
setindak ke belakang. Muka Lam-mo juga berobah, karena waktu tangannya kebentur
dengan tangan si pendeta, dirasakan betapa pergalangan tangannya bagaikan
dihantamkan pada besi, nyeri dan sakit.
"Hemmmm. benar-benar
Siauw Lim Sie tidak punya nama kosong," pikir Lam-mo sambil memperbaiki
kedudukan kedua kakinya, "si gundul inipun tampaknya menang seurat
dariku..."
Memang jika dua orang ahli
silat ternama saling mengadu kekuatan, walaupun hanya satu dua gebrakan saja,
sedikit saja terjadi perkembangan pada diri lawan, segera bisa diketahui mana
yang lebih tangguh.
Perbedaan yang sedikit pun
sangat memegang peranan besar untuk kalah menangnya seorang ahli silat yang
kepandaiannya sudah tinggi.
Wie Sin Siansu berdiri tegak
tidak maju menyusuli serangan, mengawasi lawannya dengan sorot mata tajam,
walaupun mukanya tetap memperlihatkan sikap welas-asih. Sabar sekali tampaknya.
"Beritahukanlah pada
kami, mengapa kalian memusuhi kami?" tanya si pendeta, suaranya tetap
sabar. "Dan juga beritahukanlah siapa yang telah mencelakai Tang Bun
Susiok kami, maka kami tidak akan mempersulit kalian lagi!"
Lam-mo tertawa, menyeramkan
suara tertawanya, seperti tangis iblis saja, mendirikan bulu tengkuk, itulah
tanda bahwa dedengkot iblis ini telah murka. Amarahnya itu meledak dalam bentuk
tertawa mengerikan tersebut.
"Jadi kau mau tahu
mengapa Siauw Lim Sie dan Bu Tong Pay harus lenyap dari persilatan ?"
tanyanya kemudian mengejek. "itulah disebabkan kalian merupakan
manusia-manusia bodoh yang selalu membanggakan diri sebagai orang-orang yang
tak tertandingkan lagi ! Kami ingin lihat, apakah selanjutnya Bu Tong dan Siauw
Lim masih bisa menancapkan kaki di dalam Kangouw!"
Alis Wie Sin Siansu bergerak
sedikit, tapi mukanya tetap sabar. "Siancai! Siancai! ltulah suatu
keinginan yang berlebih-lebihan Siauw Lim tidak pernah usil dengan perkara
Kangouw, tapi kalian rupanya sudah menghimpun kekuatan cuma untuk mempersulit
kami ! Baiklah, lalu siapa yang menurunkan tangan beracun pada Tang Bun Susiok
kami?"
Lam-mo tertawa bergelak-gelak
menye-lai.ilan. "Tentang itu" katanya... Tentu saja..."
"Ci Hoan Liong!"
Tiba tiba Cu Lie Seng memanggil, dingin suaranya.
Lam-mo Ci Hoan Liong seketika
berhenti bicara, menoleh dan tubuhnya segera melompat ke dekat Cu Lie Seng.
"Ada apa, Kongcu ?" tanyanya, keheranan.
"Biarkan aku yang bicara
dengan pendeta itu !" menyahuti Cu Lie Seng dingin.
"Baik. Kongcu !" Ci
Hoan Liong tidak berani membantah dan berdiri di samping Cu Lie Sang. Si pemuda
melangkah perlahan-lahan mendekati Wie Sin Siansu. sikapnya angkuh dan seperti
tidak memandang mata pada pendeta sakti Siauw Lim Sie tersebut. Setelah dekat,
pemuda itu mengangkat tangannya, serunya dingin: "Semuanya jangan
bertempur !"
Pak-mo. See-mo dan Tong-mo
bertiga patuh benar pada perintah Cu Lie Seng, mereka segera memisahkan diri dari
lawan masing-masing melompat keluar dari kalangan dan berdiri di dekat Cu Lie
Seng, masing-masing memanggil hormat: "Cu Kongcu...!" si pemuda hanya
mengangguk dengan muka dingin angkuh.
Wie Lung Siansu, Wie Kie
Siansu dan empat pendeta Siauw Lim Me lainnya segera berkumpul didekat Wi Sin
Siansu dengan sikap bersiap sedia untuk bertempur lagi.
Cu Lie Seng dengan muka kaku
dingin mengawasi Wie Sin Siansu, tidak ada sikap menghormat, biarpun usianya
masih muda sekali. Sama dinginnya seperti mukanya kemudian dia biiang:
"Kalian ingin tahu siapa yang menghukum Tang Bun dari Siauw Lim Sie, bukan
?"
Wie Sin Siansu merangkapkan
kedua tangannya, "Omitohud, sedikitpun tidak salah !" menyahuti
pendeta itu. "Maukah Kongcu memberitahukannya ?"
Muka Cu Lie Seng tetap dingin.
"Tang Bun memang pantas menerima hukuman itu karena sikap kepala batunya
yang tidak kenal jalan kebaikan yang kuberikan padanya !" Dingin suara Cu
Lie Seng, seakan tengah memberitahukan sesuatu yang tidak penting, acuh tak
acuh sikapnya.
Muka Wie Sin Siansu bertujuh
berobah. Tadi mereka bertekad harus dapat menundukkan keempat dedengkot iblis.
Walaupun Tang-mo, See-mo, Pak-mo dan Lam-mo terkenal sebagai dedengkot iblis
berkepandaian tinggi namun Wie Sin Siansu bertujuh yakin bila menundukkan mereka,
meski harus memakan waktu yang cukup lama Siapa tahu kini muncul pemuda bermuka
dingin dengan sikap angkuhnya itu, yang menyebut-nyebut Tang Bun Susiok mereka
memang pantas menerima hukuman darinya.
Jelas hati ketujuh pendeta itu
mendongkol, juga heran dan bertanya-tanya dalam hati siapa in nama pemuda ini.
Wie Tay Sianssu yang memang
berangasan tidak bisa menahan diri. "Bicara jangan berbelit-belit, katakan
saja apakah yang mencelakai Tang Bun Susiok adalah kau ?"
Cu Lie Seng mengangkat
kepalanya menatap dingin kepada Wie Tay Siansu tanpa senyum pada bibirnya yang
terkatup rapat.
Setelah mengawasi sejenak, Cu
Lie Seng mengangguk. "Benar, memang aku yang melakukannya..."
"Kau harus
mempertanggungjawabkan per buatan kejimu !" Teriak Wie Tay Siansu melompat
akan menyerang Cu Lie Seng, tapi Wie Sin Siansu bergerak lebih cepat, mencekal
lengan sutenya dan katanya: "Sute. biarkan dia bicara dulu...!"
kemudian menoleh kepada Cu Lie Seng, katanya : "Nah, teruskanlah
keteranganmu..."
Cu Lie Seng mengawasi tetap
dengan muka dingin, tidak tampak sedikitpun rasa takut dimukanya, bahkan
sikapnya seakan juga ia tidak pandang sebelah matapun pada pendeta-pendeta alim
Siauw Lim Sie tersebut.
"Aku mau bicara atau
tidak apa urusannya dengan kau ?" Tanya Cu Lie Seng dingin. "Jika aku
tidak mau bicara kalianpun tidak mungkin bisa memaksaku bicara!"
"Siancai," luar
biasa sabarnya Wie Sin Siansu. "Kami hanya ingin tahu yang sebenarnya
siapa pelaku keji yang mencelakakan Tang Hun Su-siok kami !"
"Kalau sudah tahu, kalian
mau berbuat apa ?"
"Kami tentu akan melihat
persoalan tersebut dulu, mengapa sampai Tang Bun Susiok kami dicelakakan
seperti itu !"
"Hem, sudah kuberitahukan
tadi semua itu terjadi karena kebodohan Tang Bun sendiri ! Dia terlalu keras
kepala."
"Sekarang singkatnya,
yang mencelakai Tang Bun Susiok kami adalah kau ?" tanya Wie Sin Siansu
mulai tidak sabar.
Cu Lie Seng mengawasi dingin
pada Wie Sin Siansu, matanya agak sipit sedikit, tapi sinarnya tajam sekali.
Mukanyapun beku dingin tidak berperasaan. "Benar," mengangguk pemuda
itu. "Aku yang telah menghukumnya Nah, sekarang kalian sudah mengetahui
yang menghukum Tang Bun adalah aku, apa yang hendak kalian lakukan ?"
Wie Tay Siansu sekali ini
tidak bisa bersabar lebih jauh, tiba-tiba dia melesat melewati samping
suhengnya, dengan gerakan "Tui-tung- bong-goat" (Mendorong jendela
Melihat Rembulan), tubuhnya melesat pesat ke Cu Lie Seng, dibarengi dengan
tangan kanannya mengibas memukul dengan jurus " Swat-hoa-liok-cut"
(Bunga Salju Berhambur-an Keenam Penjuru), kuat tenaga khikang yang
dipergunakannya. Wie Tay Siansu memang adik seperguruan Wie Sin Siansu, tapi
sinkangnya hanya berbeda sedikit sekali dari Suhengnya.
Sekarang Wie Tay Siansu tengah
meluap amarahnya, bisa dibayangkan dahsyatnya pukulan yang dilakukan si
pendeta. Cu Lie Seng kaget juga merasakan menyambarnya angin yang panas ke
mukanya, walaupun kibasan tangan Wie Tay Siansu belum sampai.
Namun dia tidak takut, apa
lagi waktu itu Lam-mo yang berada di sampingnya telah maju ke depannya, mewakilinya
menangkis tangan Wie Tay Siansu. "Plakkk !" dua tangan saling bentur,
dua kekuatan hebat saling bertemu.
Dalam marahnya Wie Tay Siansu
tidak menunggu sampai menarik pulang tangan kanannya, tangan kirinya sudah
menghantam lagi dengan "Ban-sui-tiauw-cong"" (Laksana Sungai
Mengalir Ke Laut). Pukulan tangan kirinya sekali ini pun tidak kalah kuatnya
dari yang pertama.
Lam-mo tadi merasakan
tangannya tergetar ketika tangannya kebentur dengan tangan si pendera. tapi
melihat Wie Tay Siansu memukul lagi tidak kalah hebatnya, cepat-cepat dia
mengempos semangatnya, tangan kirinya diangkat untuk menotok kedua biji mata
Wie Tay Siansu dengan jurus "Cun-ma-pun-coan" (Kuda indah Mengejar
Mata Air).
Wie Tay Siansu tengah melayang
di tengah udara, kini matanya diancam. Memang tidak ada jalan lain baginya
menghadapi serangan istimewa dari Lam-mo, ia harus menarik pulang pukulan
tangan kirinya, untuk dipakai menangkis totokan jari tangan si dedengkot iblis
itu.
Tapi belum lagi dia menarik
tangan kirinya, See-mo, sidedengkot iblis yang pendek cebol itu sudah
menghantam pinggangnya. Angin pukulannya kuat sekali, jurus dari Sin-kong-ciang
See-mo Uh Ma memang dahsyat sekali, dia menghantam dengan mencurahkan tujuh
bagian tenaga khikangnya, ingin menghantam hancur pinggang sipendeta.
See-mo Uh Ma pun memiliki
ginkang yang istimewa, diapun menyerang dengan cara membokong seperti itu,
karenanya Wie Tay Siansu terancam benar keselamatannya, Jika dia menghadapi
totokan Lam-mo, jelas pinggangnya akan hancur dihantam Sin-kong-cianguya See-mo
Uh Ma.
Kalau dia membagi perhatian
untuk memunahkan pukulan See-mo, matanya terancam bahaya jari tangan Lam-mo
yang menotok tidak enteng!
Wie Un Siansu dan Wie Lung
Siansu ingin melompat untuk membantu saudara seperguruannya. Tapi Wie Sin Siansu
memberi isyarat, kepada kedua sutenya agar mereka berdiam diri saja "Wie
Tay bisa menghadapi semua itu !" kata Wie Sin Siansu.
Wie Un Siansu dan Wie Lung
Siansu batal melompat maju untuk menolongi, mereka percaya Wie Sin Siansu tidak
mungkin salah lihat, karena kepandaian Toasuheng itu berada diatas mereka.
Apa yarg dikatakan Wie Sin
Siansu tidak salah, karena Wie Tay Siansu dalam keadaan terancam, waktu
tubuhnya masih terapung di tengah udara, tiba-tiba kedua tangan-nya tampak
ditarik pulang lagi berputar seperti titiran. tubuhnya berpoksay (salto), dia
mempergunakan "Bi-ciongkui" (llmu pukulan Menyesatkan)
Semuanya berlangsung begitu
cepat sehingga bagi mereka yang kepandaiannya masih tanggung-tanggung tentu
tidak bisa melihat jelas apa yang terjadi. Dalam sedetik itu saja terdengar
suara benturan keras.
"Wuutt...! Desss !
Blanggg !" disusul kemudian tubuh Wie Tay Siansu meluncur di tengah udara
dengan arah berlawanan dari tadi. Kalau semula dia menerjang maju, kini
tubuhnya berpoksay ke belakang dan tahu-tahu sudah berdiri di samping Wie Sin
Siansu tanpa kurang suatu apapun juga !
Lam-mo dan See-mo kaget waktu
tadi tangan mereka terpukul telapak tangan Wie Tay Siansu dan sedetik itu mata
mereka kabur oleh gerakan tubuh Wie Tay Siansu, tahu-tahu pukulan mereka telah
saling bentur begitu kuat, sampai masing-masing merasa pergelangan tangan
kesemutan.
Begitu mereka tersadar dan
melihat Wie Tay Siansu sudah berdiri di samping Wie Sin Siansu, mereka tidak
urung jadi kagum untuk liehaynya pendeta itu.
Kalau tadi yang menerima
serangan Lam-mo dan See-mo berdua bukan Wie Tay Siansu seorang yang
berkepandaian sudah tinggi, tentu akan cilaka di tangan maut kedua dedengkot
iblis itu. Tapi, dalam keadaan terjepit seperti itulah Wie Tay Siansu
mempergunakan "Bi-ciong-kun" di mana sepasang tangannya bergerak
cepat sekali mengaburkan pandangan mata kedua dedengkot iblis itu.
Mempergunakan kesempatan yang
hanya satu detik itu Wie Tay Siansu sudah menghantam tangan Lam-mo dan See mo,
mempergunakan tenaga membalik tubuhnya bisa terdorong mental bersalto ke
belakang. Sedangkan See-mo dan Lam-mo dalam keadaan kaget dan heran sebab
pandangan mata mereka kabur, pengerahan tenaga dalam kurang penuh, perhatian
mereka sedetik itu terpecahkan, membuat tangan mereka yang terpukul tangan Wie
Tay Siansu jadi kesemutan dan nyeri !
Cu Lie Seng berdiri tenang,
mukanya tetap beku dingin tidak perlihatkan apakah dia gembira atau marah.
Matanya yang bentuknya sangat bagus mencorong bersinar tajam sekali, pandangan
yang dingin dan bisa membuat orang lain jadi menggigil melihatnya.
Wie Sin Siansu yang sabar luar
biasa, kinipun mulai naik darah, mengetahui pemuda di depannya adalah orang
yang mencelakakan Tang Bun Siansu. la maju dua langkah, katanya tajam.
"Apa sebabnya kau menganiaya Tang Bun Susiok kami ?"
"Sebabnya ?" Cu Lie
Seng membuang pandang ke arah lain, sikapnya tetap dingin dan masih dengan
sikap angkuh tidak memandang setelah mata kepada ketujuh perdeta Siauw Lim.
"Kalian benar-benar tujuh
pendeta tolol ! Sudan berkali-kali kuberitahukan sebabnya adalah Tang Bun
terlalu berkepala batu!"
"Dengan cara bagaimana
kau menganiaya Susiok kami?" Tanya Wie Sin Siansu tidak perdulikan ejekan
Cu Lie Seng.
"Tidak sulit. Untuk
menghukum seorang tolol seperti Tang Bun tidak terlalu sulit ! Aku telah
merusak urat syaraf pusat di tengkuknya."
Muka tujuh pendeta alim Sauw
Lim Sie berobah hebat, tubuh Wie Un Siansu dan Wie Khie Siansu sampai menggigil
menahan marah. Wie Tay Siansu seperti kalap menjerit hendak menyerang lagi.
Wie Sin Siansu merangkapkan
tangannya "Omitohud !" pujinya pada kebesaran sang Buddha.
"Baiklah ! Kau sudah mengakui semua perbuatanmu, Kini jelas yang
menganiaya Susiok kami adalah kau, maka Kongcu kau harus ikut dengan kami ke
Siauw Lim Sie, untuk mempertanggungjawabkan perbuatanmu itu, nanti Hongthio
kami yang akan mengadili kau dan memutuskan hukuman apa yang layak diberikan
kepadamu! Usiamu masih demikian muda, tapi tanganmu sangat beracun sekali
Siancai ! Siancai !"
Cu Lie Seng memandang dingin
kepada Wie Sin Siansu, dia bilang: "Ikut kalian ke Siauw Lim Sie ? Apakah
kau kira begitu mudah untuk mengajakku ke sana ? Diundang oleh Hongthio kalian,
yang turun gunung dan berlutut didepan kakiku, belum tentu aku terima
undangannya !"
Naik darah Wie Sin Siansu.
Bagaimana sabarnya pendeta ini, mendengar hinaan yang keterlaluan seperti itu,
lenyap kesabarannya.
"Baiklah, Loceng ingin
meminta pelajaran dari kau, Kongcu !" Tawar suara si pendeta, dia sudah
memutuskan walaupun bagaimana haras membekuk Cu Lie Seng, untuk dibawa ke Siauw
Lim Sie, buat diserahkan kepada Hongthio Siauw Lim Sie.
Cu Lie Seng memutar tubuhnya
tidak memperdulikan Wie Sin Siansu dan enam orang Suenya, dia menarik tangan
Siauw Hoa. "Adik Siauw Hoa, mari kita pulang... menjemukan melayani
pendeta-pendeta tolol seperti mereka !"
Wie Sin Siansu mengibaskan
lengan jubahnya mengisyaratkan keenam Sutenya, yang melompat mengepung Cu Lie
Seng bersama Siauw Hoa, Lam-mo, Pak-mo, See-mo dan Tong-mo di tengah-tengah.
"Karena kau mengakui kau
seorang diri yang menganiaya Tang Bun Susiok kami, kami tidak akan mengganggu
yang lainnya. Nah, silakan yang tidak berkepentingan untuk pergi, kami tidak
akan mengganggu kalian !" Nyaring suara Wie Sin Siansu, yang sudah naik
darah.
Tenang sekali Cu Lie Seng, dia
melangkah terus tidak acuh pada ketujuh pendeta Siauw Lim. Sedikitpun tidak
tampak rasa kuatir dia akan diserang. Lam-mo berempat berjalan di belakangnya.
Wie Sin Siansu menggerakkan
tangan kanannya, isyarat unuk mulai menyerang. Lam-mo tiba-tiba tertawa bergelak-gelak.
Keras sekali suara tertawanya, bergelomnang berayun-ayun, seakan menggoncangkan
sekitar tempat itu, yang seperti dilanda gempa. Lam-mo memang ahli
Coan-im-jip-bit (Menyusup-kan Suara Ke Dalam Kepadatan / Mengirim Suara Dari
Jarak Jauh) yang tentu saja memiliki sinkang yang sudah tinggi.
Sekarang dia tertawa dengan
mempergunakan ilmunya, tidak mengherankan kalau tempat itu bergoncang bagaikan
dilanda gempa.
Wie Sin Siansu bertujuh
mengawasi waspada, siap menyerang. Sedangkan suara tertawa Lam-mo mendadak
lenyap. Muka dedengkot iblis dari Selatan ini tampak bengis.
"Kalian hendak membawa
pergi Kongcu kami? Ini berarti kalian harus membawa kami juga! Hei Wie Sin,
tahukah kau siapa Kongcu kami ini? Kukira, jika kau kuberitahukan siapa Kongcu
kami ini, kau dengan Sutemu itu pasti menggigil ketakutan !"
Wie Sin Siansu sudah habis
kesabarannya, bentaknya: "Ya, kami memang ingin mengetahui nama orang yang
sudah mencelakakan Susiok kami...!"
"Kongcu kami adalah putra
terkasih Cu Kongkong Cu Bian Liat! Nah, kalau memang kalian ingin mempersulit
Kongcu kami, silahkan.... kami akan melayani keinginan kalian !" Setelah
berkata begitu, beberapa kali Lam-mo Ci Hoan Liong tertawa mengejek.
Kaget Wie Sin Siansu bertujuh.
Mereka mengetahui siapa itu yang disebut Cu Kong-kong Cu Bian Liat ! itulah
Thaykam yang paling berpengaruh, dan didaratan Tionggoan setelah Kaisar Yong
Ceng, Cu Bian Liat lah orang kedua yang memiliki kekuasaan sangat besar!
Alis Wie Sin Siansu memain.
"janganlah menjual nama Cu Bian Liat untuk menggertak kami, walaupun
bagaimana pemuda itu harus kami bawa ke Siauw Lim Sie !"
Lam-mo mengangguk "Buat
apa kami menjual nama Cu Kongkong. Tanyakan kepada Cu Kouwnio, apakah dia bukan
putri Cu Kongkong ?"
Siauw Hoa tersenyum nakal.
"Benar, paman-paman pendeta". Aku dan Seng-ko anak-anak Cu Kongkong.
justru kami sedang bersiap-siap untuk pulang ! Sudahlah paman-paman pendeta,
lebih baik kalau kalian kembali saja ke Siauw Lim Sie, bukankah Tang Bun
hweshio kelakpun bisa disembuhkan ? Dia cuma dirusak..."
"Siauw Hoa!" bentak
Cu Lie Seng keras.
Siauw Hoa tertawa. "Tidak
apa-apa memberitahukan bagaimana cara menyembuhkan Susiok mereka, agar tidak
timbul urusan lain nya lagi ! Thia-thia sedang menunggu kita, kalau kita
terlambat tentu Tnia thia berkuatir sekali !"
Setelah berkata begitu, Siauw
Hoa menoleh kepada Wie Sin Siansu, sedangkan Cu Lie Seng tampak jadi tidak
senang namun dia tidak berusaha mencegah pula ketika adiknya menjelaskan lebih
jauh kepada Wie Sin Siansu: "Tang Bun hwesio cuma di rusak urat
"Giok-cie-hiat" di tengkuknya, juga ia telah menelan semacam obat
kami, jika kelak lewat satu tahun reaksi obat itu lenyap, pikiran Tang Bun
hwesio akan pulih seperti sedia kala. Untuk menyembuhkan jalan darah
"Giok-cic-hiat" nya, kalian harus membantu melatih lwekangnya selama
1 tahun, mengingat sinkang Tang Bun hwesio tentu bisa sembuh seperti sediakala,
paling tidak hanya lwekangnya yang berkurang dua bagian !"
Bukan kepalang marahnya Wie
Sin Siansu bertujuh mendengar keterangan si gadis bahwa yang dirusak adalah
urat syaraf "Giok-cie-hiat" sehingga membuat Tang Bun tidak ingat
sesuatu lagi, bicara selalu seperti tengah mengigau, juga telah diberikan
sejenis racun, yang menurut si gadis baru akan punah sendirinya setelah satu
tahun
Tapi yang hebat, sekarang Wie
Sin Siansu bertujuh mengetahui pemuda dan si gadis adalah anak-anak Cu
Kongkong, Kalau kedua muda-mudi ini mengalami cidera, berarti Siauw Lim Sie
sudah menanamkan permusuhan dengan orang kedua terbuat di daratan Tionggoan.
Bermusuhan dengan pemerintah tentu ada risikonya yang berat.
Wie Sin Siansu, walaupun
berpengalaman, tidak berani memutuskan sendiri bagaimana dan langkah apa yang
harus mereka tempuh. Jika mereka memaksa bersikeras hendak membawa Cu Lie Seng
pulang ke Siauw Lim Sie, Cu Kongkong kemudian mengirim pasukannya untuk
menghancurkan Siauw Lim Sie, bukankah akan muncul peristiwa besar ?
Melihat Wie Sin Siansu
tertegun di tempatnya dan pendeta itu ragu-ragu, Lam-mo tertawa dingin,
"Karenanya. kalau memang Siauw Lim kalian ingin tetap utuh-menyingkirlah !
Seujung rambut saja Cu Kongcu terganggu, tidak ada seorang pendeta Siauw Lim
Sie yang bisa hidup lebih lama la.gi ! Siauw Lim Sie pasti akan dihancurkan
oleh Cu Kongkong."
Wie Sin Siansu tidak
perdulikan ejekan Lam-mo, dia melirik pada We Tay berenam kemudian mengibaskan
tangannya, mengisyaratkan agar keenam pendeta itu menyingkir buka jalan buat Cu
Lie Seng dan kawan-kawannya.
Enam pendeta lainnya
sebetulnya sudah murka bukan main dan hampir tidak bisa menahan diri, mereka
ingin cepat-cepat membuka serangan untuk membekuk Cu Lie Seng namun merekapun
tdak berani membantah perintah Toasuheng mereka, segera dengan terpaksa keenam
pendeta itu kembali ke belakang Wie Sin Siansu. Hanya mata mereka yang
mengawasi dengan sinar tajam penuh kebencian dan sakit hati pada Cu Lie Seng.
"Paman-paman pendeta,
kalian ternyata pendeta-pendeta yang bisa berpikir dengan baik ! Terima kasih,
kami tidak bisa lama-lama menemui kalian, kami ingin pulang..!" Dia
bersama Cu Lie Seng meninggalkan tempat itu dikawal oleh Lam-mo berempat
Pak-mo, Tong-mo dan See-mo.
Yang paling gegetun adalah Wie
Tay Siansu, dia murka, tapi tidak bisa melampiaskan mendongkol dan marahnya,
karena dia tidak berani melanggar perintah Toasuheng-nya. Akhirnya untuk
melampiaskan penasarannya, dia membanting-bantingkan kakinya.
Wie Sin Sianau menghela napas
mengawasi kepergian Cu Lie Seng dan yang lainnya. "Sudahlah, kita kembali
ke Siauw Lim Sie, melaporkan kepada Hongthio, minta petunjuk Hongthio apa yang
bisa kita lakukan! Urusan berkembang demikian, kalau sampai kita memaksa si
pemuda dan membekuknya kalau benar-benar dia anak-anak Cu Thaykam niscaya bisa
mengancam keselamatan Siauw Lim Sie secara keseluruhannya ! Yang terpenting
kita mulai berhasil mencari jejak orang yang mencelakakan Tang Bun Susiok Yang
belum kita ketahui barang apa yang disebut Liong-kak."
Memang keiujuh pendeta itu
penasaran, namun akhirnya mereka memutuskan untuk kembali ke Siauw Lim Sie.
Hampir duapuluh orang pengemis
duduk di lapangan rumput cukup luas di luar pintu kampung Lauw-cun. Mereka
duduk berjajar membentuk lingkaran, tengah merundingkan sesuatu, Malam telah
larut, sinar rembulan bersinar terang, sekitar tempat itu sepi dan senyap,
tidak terlihat seorang manusia lainnya selain belasan pengemis itu.
Mereka merundingkan sesuatu
dengan suara perlahan, seperti saling berbisik. Tapi, pada suatu kali, salah
seorang di artara belasan pengemis itu berseru nyaring: "Walaupun kiia
harus mempertaruhkan jiwa, tidak sepantasnya kita melepaskan iblis laknat itu !
Sudah cukup banyak saudara-saudara kita yang dicelakakannya ! Kita harus
bertindak ! Kalau perlu mengumpulkan orang-orang Bu-lim untuk ikut menghadapi
keempat pengawalnya.
Memang Lam-mo, See-mo. Pak-mo
dan Tong-mo liehay, namun dengan cara seperti sekarang, di mana kita seperti
takut kebentur dengan iblis laknat itu, sedangkan musuh yang kita cari sudah
ada di depan mata, hendak kita taruh di mana muka terang Kay pang?" Suara
pengemis yang seorang ini nyaring dan lantang, mengandung nada marah. Dia pengemis
berusia empat puluh tahun lebih, mukanya empat persegi, waktu marah seperti itu
mukanya merah-padam.
"Sabar, Sute.
"pengemis yang duduk di sebelah kanan, yang tampaknya sebagai pemimpin
pertemuan para pengemis tersebut. Sabar suaranya. Tangannya memegang tongkat
bambu hijau, dia tidak lain Thian Sin Cu, si Malaikat Langit.
"Kita harus melihat
keadaan ! Memang bisa saja kita berlaku nekad, bertempur mengadu jiwa dengan
iblis laknat dan keempat pengawalnya. Tapi buat apa ? Kita harus mengakui.
Lam-mo dedeng-kot iblis yang berkepandaian tinggi. Belum lagi Pak-mo, See-mo
dan Tong-mo !
Kalau memang hanya ada seorang
dari Keempat dedengkot iblis tersebut, tentu kita masih memiliki kesempatan
memperoleh kemenangan. Tapi dengan adanya Lam-mo. Pak-mo. Tong-mo dan See-mo
berempat, apa yang bisa kita lakukan ? Belum lagi iblis laknat itu, walaupun
usianya masih muda tapi kepandaiannya ini dan cukup tinggi."
"Thian Suheng, kalau kita
tidak berusaha sekarang untuk membekuk si iblis laknat tentu di lain waktu
tidak ada kesempatan lagi ! Sekali saja dia kembali ke kotaraja, kembali ke
istana ayahnya, habislah harapan kita bisa membekuknya ! Di sana bukan hanya
Lam-mo, See-mo, Pak-mo dan Tong-mo berempat, tapi banyak sekali
pahlawan-pahlawan kerajaan yang memiliki kepandaian tinggi."