Cula Naga Pendekar Sakti Bagian 09

Baca Cersil Mandarin Online: Cula Naga Pendekar Sakti Bagian 9
Cula Naga Pendekar Sakti  Bagian 9

Gadis itu yang menjelaskan bahwa Tang Bun Suheng dari Siauw Lim Sie dan ingin berkunjung ke Bu Tong San. Kami tetua-tetua Bu Tong tentu saja gembira menerima kunjungan ini dan menyambut keluar. Tapi bukan kepalang heran kami, karena Tang Bun Suneng selalu bilang: "Liong Kak... Liong Kak... Celaka.... akan hancur ?semuanya...!

"Dan selalu bicara begitu, tidak ada kata lain yang diucapkannya, seakan juga Tang Bun Siansu hilang ingatan ! kami segera menanyakan pada gadis yang mendampinginya. Gadis itu mengakui sebagai seorang yang kebetulan bertemu dengan Tang Bun Suheng,dan mengantarkan ke Bu Tong San, kemudian dia pamitan setelah menyerahkan kepada kami sepucuk surat..."

Muka Tang Sin Siansu berobah hebat, Dia kuatir bukan main mendengar keadaan Sutenya seperti itu. "Lalu bagaimana ?" tanya nya tak sabar.

"Kami curigai gadis itu, tapi kami jelas tidak bisa menahannya untuk minta keterangan lebih jauh. Apalagi gadis itu sudah pergi dengan segera. Siong Kie Suheng, ciangbunjin kami, segera membuka surat itu, ternyata isinya mencurigakan benar Selengkapnya sebagai berikut:

"Siong Kie Tojin, kami mohon kemurahan hatimu untuk mengantarkan pulang Tang Bun siansu ke Siauw Lim Sie karena tampaknya Tang Bun Siansu mengalami peristiwa yang membuat ia jadi pelupa kami menemukannya ia sedang duduk di muka sebuah rumah di kaki gunung Bu Tong San, karenanya kami menitipkannya pada pihak Bu Tong Pay." Surat itu tidak mencantumkan nama si pengirim."

Muka Tang Sin Siansu berobah semakin hebat. dia gusar bercampur kuatir. Gusar ada orang yang mencelakai Tang Bun Siansu kuatir untuk keselamatan adik seperguruannya la pun memanggil Tang Lang Siansu dan Tang Lu Siansu untuk ikut mendengarkan cerita Soan Lo Cinjin.

Setelah meminum tehnya. Soan Lo Cinjin melanjutkan ceritanya: "Waktu itu Siong Kie Suheng jadi curiga, apa lagi melihat keadaan Tang Bun Siansu seperti itu. la segera menduga dalam peristiwa ini pasti terdapat sesuatu yang tidak beres. Bahkan. Siong Kie Suheng menduga, dengan meminjam tangan Bu Tong Pay untuk mengirim pulang Tang Bun Siansu ke Siauw Lim Sie, hal itu untuk menambah ruwet urusan, di mana Bu Tong Pay seakan ingin diadu dombakan semakin hebat dengan pihak Siauw Lim Sie."

Soan Lo Cinjin terdiam sejenak, baru kemudian melanjutkan: "Seperti kita semua ketahui, baru-baru ini timbul salah paham di antara murid-murid dua pintu perguruan, Bu Tong dan Siauw Lim Sie. Semula Siong Kie Suheng menduga bahwa salah paham itu disebabkan oleh sikap murid-murid Siauw Lim Sie yang mungkin terlalu sombong. Tapi dengan adanya peristiwa ini, seketika Siong Kie Suheng lersadar, bahwa selama ini kami tengah di adu domba.

Justru kalau kami mengantarkan Tang Bun Siansu ke Siauw Lim Sie, berarti salah paham itu akan bertambah besar. Di waktu itu Siong Kie Suheng yakin, ada pihak ketiga yang menginginkan bentrokan semakin hebat antara Bu Tong dengan Siauw Lim.

"Bagaimana dengan Su heng kami ?" tanya Tang Lu yang tidak bisa menahan diri, karena geram dan berkuatir.

Soan Lo Cinjin menghela napas panjang-panjang. "Surat itu seperti membuka pikiran kami. Ada pihak ketiga yang bekerja menginginkan Bu Tong dengan Siauw Lim bentrok dan hubungan baik selama ini menjadi rusak. Segera Siong Kie Suheng memeriksa keadaan Tang Ban Siansu, keadaannya benar-benar luar biasa, ia seperti hilang ingatan. Selalu yang diucapkannya adalah: "Liong kak . . . akan hancur semuanya . . . Liong Kak...", tidak ada keterangan berarti yang bisa diberikan Tang Bun Siansu, karena selalu juga ia berkata cuma kata-kata itu belaka, walaupun Siong Kie Suheng berusaha bertanya berbagai hal.

Yang lebih luar biasa Siong Kie Suheng tidak melihat tanda-tanda luka didiri Tang Bun Siansu, hanya pikirannya yang jadi tidak beres, karena yang di ucapkannya selalu Liong Kak, Liong Kak saja ... . "

Muka Tang Sin, Tang Lu dan Tang Lang bertiga berobah hebat, mereka gelisah sekali.

"Kini Tang Bun Sute masih berada di Bu Tong San ?" tanya Tang Sin Hongthio, setelah bisa menenangkan sedikit perasaannya.

Soan Lo Cinjin mengangguk. "Ya, sementara ini Siong Kie Suheng berusaha merawatnya. Dengan mempergunakan Im Ciu Khikang coba untuk memulihkan pikiran Tang Bun Siansu."

Kaget Tang Sin Siansu bertiga adik seperguannya, karena Im Ciu Khikang merupakan lwekang tertinggi dari Bu Tong Pay. Jika tidak dalam keadaan terpaksa, tenaga salett itu tidak akan dipergunakan oleh tokoh Bu Tong, karena setiap penggunaan Im Ciu Khi kang akan meminta tenaga yang sangat besar sekarang Siong Kie Cinjin, Ciangbunjin Bu Tong Pay, mempergunakan Im Ciu Khinkang untuk mengobati Tang Bun Siansu.

Hal ini merupakan hal yang sangat mengejutkan, karena jika Bu Tong Ciangbun itu mempergunakan Khikangnya tersebut, apa lagi untuk suatu pengobatan, ia harus mengorbankan semangat dan tenaganya cukup besar, untuk memulihkan semangat dan tenaganya diperlukan waktu semedhi tiga bulan.

Tang Sin Hong-thio segera berdiri, merangkapkan kedua tangannya. "Terima kasih atas jerih payah Siong Kie Ciangbunjin, nanti tolong sampaikan rasa terima kasih kami kepadanya jika Cinjin sudah pulang..."

Soan Lo Cinjin cepat-cepat membalas hormat Hongthio Siauw Lim Sie. "itulah kewajiban kami. Salah paham yang pernah terjadi di antara pihak kita adalah perbuatan orang ketiga, karenanya Siong Kie Suheng perintahkan aku menghadap kemari, untuk menyelesaikan persoalan tersebut, agar kita tidak diadu domba lebih jauh. Di samping itu Pinto pun diminta merundingkan tindakan apa sebaiknya untuk menghadapi peristiwa ini, terutama terhadap diri Tang Bun Siansu ?"



Tang Sin Siansu menghela napas. "Aneh!" gumam ketua Siauw Lim Sie ini. "Kepandaian Tang Bun Sute sudah sulit diukur, jarang ada orang bisa menandinginya, apa lagi membuatnya tidak berdaya seperti itu. IImu siluman apakah yang telah dipergunakan membuat Tang Bun Sute jadi tak berdaya seperti itu ?"

Muka Tang Lu Siansu dan Tang Lang Siansu muram.

"Tang Bun Siansu selalu bilang tentang Liong Kak, apakah Hongthio mengetahui perihal Liong Kak itu ?" tanya Soan Lo Cinjin.

Tang Sin Siansu menggeleng.

"Baru sekarang kami mendengarnya. Benda apakah Liong Kak (Cula Naga) itu ? Apakah didunia ini memang tardapat Naga, sehingga ada Culanya ?"

Soan Lo Cinjin jadi mengerutkan alisnya, ikut bangun dan heran. Semula maksud kunjungannya ke Siauw Lim Sie selain untuk menyelesaikan salah paham antara murid-murid Bu Tong dengan murid-murid Siauw Lim Sie. pun ia ingin mengetahui apa sebenarnya Liong Kak itu yang selalu disebut-sebut oleh Tang Bun Siansu. Tapi kini harapannya jadi habis, karena Tang Sin Siansu sendiri tidak mengetahui perihal Liong Kak itu.

Segera mereka berunding, sampai menjelang malam hari barulah Tang Sin Siansu memutuskan Tang Lu Siansu dan Tang Lan Siansu akan turun gunung ikut dengan Soan Lo Cinjin, membawa pulang Tang Bun Siansu. Dalam kesempatan itu Soan Lo Cinjin sekali lagi menekankan: "Bukan Pinto tidak mau membawa serta pulang Tang Bun Siansu ke Siauw Lim, tapi menurut Siong Kie Suheng salah paham di antara kedua pihak bisa bertambah besar kalau Pinto membawa pulang Tang Bun Siansu, bisa menambah besar kecurigaan pihak Siauw Lim! Pada murid-murid kami telah diberitahukan bahwa selama ini ada pihak ketiga yang ingin mengadu domba antara Bu Tong dengan Siauw Lim dan selanjutnya kami perintahkan agar mereka tidak boleh memusuhi lagi pendeta-pendeta Siauw Lim. Harapan Siong Kie Suheng pun demikian, agar Hong thio mau menjelaskan duduk persoalannya kepada murid-murid Siauw Lim. ini mencegah timbulnya urusan yang tidak menggembirakan, di mana pihak ketiga itu bertepuk tangan dan tertawa senang kalau melihat kita saling cakar-cakaran !"

Tang Sin Siansu mengangguk. "Ya, memang Loceng akan memberitahukan pada mereka semua tentang hal itu Tetapi Sian-jin, siapakah kiranya menurut Sianjin orang ketiga itu ?"

Justuru sejauh itu Pinto masih belum mengetahui! Sampai siapa adanya gadis cantik jelita yang mengantarkan Tang Bun Siansu kekuil kami, masih belum kami ketahui ! Orang ketiga itu bukan hanya terdiri satu orang saja, pihak ketiga itu terdiri dari banyak orang, yang mungkin tengah melakukan sesuatu yang tidak beres dalam rimba persilatan !"

Benar-benar Tang Sin Siansu bertiga sutenya dan Soan Lo Cinjin dibuat bingung oleh peristiwa ini. Tetapi akhirnya diputuskan yang paling utama ialah membawa Tang Bun Siansu pulang ke Siauw Lim Sie. Dua hari Soan Lo Cinjin berdiam dikuil Siauw Lim Sie, akhirnya pamitan dari Hongthio Siauw Lim Sie. Bersama Tang Lang Siansu dan Tang Lu Siansu. Soan Lo Cinjin bertiga kembali ke Bu Tong Pay.

Seperginya Soan Lo Cinjin, Tang Sin Hongthio segera mengumpulkan murid-murid Siauw Lim Sie dan memberitahukan apa yang sudah terjadi, kemudian perintahkan murid-murid angkatan kedua, Wie Sin Siansu dan yang lainma, turun gunung untuk melakukan penyelidikan, siapakah pihak ketiga yang selama ini ingin mengacaukan hubungan antara Siauw Lim dengan Bu Tong, apa yang mereka inginkan dan juga benda apakah yang bernama Liong Kak itu. Wie Sin Siansu bertujuh dengan sute-sutenya turan gunung. Sedangkau Giok Han sementara akan diawasi dan dididik langsung oleh Tang Sin Siansu.

Dalam sejarah persilatan memang baru pertama kali terjadi dimana tiga dari empat tetua Siauw Lim Sie yaitu Tang Bun Siansu, Tang Lang Siansu dan Tang Lu Siansu berada diluar kuil. Ditambah lagi dengan tujuh dari murid tingkat kedua Siauw Lim Sie, yang turun gunung. Walaupun bagaimana hebatnya kejadian yang pernah terjadi, belum pernah tokoh-tokoh Siauw Lim Sie turun gunung demikian banyak jumlahnya.

Tang Lang Siansu berdua Tang Lu Siansu berhasil tiba di Bu Tong San bersama-sama Soan Lo Cinjin tanpa mengalami suatu kejadian, kemudian membawa Tang Bun Siansu pulang ke Siauw Lim Sie keadaan Tang Bun Siansu benar-benar mengherankan, karena ia seperti lupa diri dan hanya mengoceh tidak hentinya tentang Liong Kak. Jika diajak bicara, maka selalu dia menvebut-nyebut tentang Liong Kak, tanpa mengucapkan lainnya.

Bukan main sedihnya Tang Lu Siansu, tidak ada jalan lain untuk mereka, hanya mengajak Tang Bun Siansu pulang ke Siauw Lim Sie. biar Tang Sin Siansu sebagai Hong thio nanti menentukan apa sebenarnya yang sudah terjadi pada Tang Bun Siansu, sedangkan pada diri Tang Bun Siansu sendiri tidak kelihatan tanda-tanda terluka.

Cuma pikirannya yang tidak normal lagi, seperti dikuasai suatu kekuatan yarg tidak tampak, sehingga pendeta suci Siauw Lim Sie itu selalu menyebut-nyebut perihal Liong Kak...

Wie Sin Siansu bertujuh dengan adik-adik seperguruannya justru berlangsung lain, dimana mereka menemukan hal-hal yang mengejutkan dan mengherankan. Peristiwa hebat yang sebelumnya tidak pernah mereka sangka, yang melihatkan mereka pada urusan yang menakjubkan.

Sejak turun gunung, Wie Sin Siansu mengajak enam orang sutenya untuk pergi ke arah barat, dimana jika memang Tang Bun Siansu pergi ke Bu Tong Pay tentu mengambil arah yang sama. Dengan mengambil arah jalan yang pasti ditempuh oleh Tang Bun Siansu, Wie Sin Siansu berharap bisa bertemu dengan orang-orang yang telah mencelakai Tang Bun Siansu.



Sebulan lebih mereka melakukan perjalanan, tapi selama itu tidak terjadi suatu apapun juga, Ketika mereka tiba di Cuiyang, mereka tetap belum bertemu sesuatu yang mencurigakan.

Wie Khie Siansu mulai tidak sabar, waktu mereka menginap disebuah kuil, Wie Khie Siansu bilang: "Suheng, apakah cerita yang diutarakan Soan Lo Cinjin bukan bualan belaka, karangan yang dibuat untuk melepaskan diri dari kesalahan mereka sebab mencelakai Tang Bun Susiok ?"

Wie Sin Siansu menggeleng "Soan Lo adik Siong Kie Cinjin. tak mungkin ia berdusta." Katanya tegas. "Didalam peristiwa ini pasti terdapat urusan yang rumit. Kita harus menyelidikinya, kini muka Siauw Lim dan Bu Tong seperti digampar berkali-kali! Salah pnham yang ada antara Siauw Lim dengan Bu Tong jika dibiarkan terus niscaya akan bertambah besar dengan akibat yang lebih parah.

Bukankah sebelum berangkat Hongthio sudah berpesan, jika belum berhasil kita harus terus berusaha menyelidik sampai berhasil- Kalau perlu kita berpencar, untuk menyelidiki diberbagai tempat."

"Tapi Suheng," kata Wie Tay Siansu, adik seperguruan ketiga, "yang membuatku tidak mengerti apa yang telah terjadi pada diri Tang Bun Susiok? Siapa yang dapat mencelakainya seperti itu ? Sedangkan kepandaian Tang Bun Susiok sudah mencapai tingkat yang sulit diukur, jika ada pengeroyokan paling tidak Tang Bun Susiok tidak bisa merubuhkan musuhnya, namun iapun tak bisa dicelakai! Namun sekarang Tang Bun Susiok katanya seperti orang linglung, seperti hilang ingatan dan selalu menyebut-nyebut perihal Liong Kak..."

"Ya, inilah yang mengherankan," mengangguk Wie Sin Siansu sambil menghela napas. "Sebetulnya apakah Liong Kak itu ? Teka-teki ini yang harus kita pecahkan..."

Pendeta-pendeta itu duduk terpekur mereka tidak tahu harus mulai dari mana dalam penyelidikan, sebab boleh dibilang tidak ada petunjuk tentang urusan yang harus mereka selidiki ini.

Malam iiu sepi sekali, telah larut. Kuil di mana ketujuh hweshio suci Siauw Lim Sie tinggal adalah sebuah kuil yang sudah tidak terawat, berada di pintu kota sebelah barat, tampak sepi sekali. Rembulan tergantung di-langit, dengan cahayanya yang kuning ke-emas-emasan.

Wie Sin Siansu bertujuh dengan sute-sute nya duduk bersemedhi. Mereka beristirahat menantikan fajar untuk melanjutkan perjalanan.

Dalam kesunyian malam seperti itu, mendadak telinga ketujuh pendeta suci Siauw Lim Sie yang sangat tajam mendengar suara langkah kaki yang ringan diluar kuil. Suara langkah itu mendekati kearah kuil. Wie Sin Siansu membuka matanya, melirik kepada saudara-saudara seperguruannya.

Wie Khie, Wie Tay dan yang lainnya pun sudah membuka mata, menunjukkan merekapun tengah heran mendengar suara langkah kaki yang ringan diluar kuil. Entah siapa yang tengah mendatangi ? Ke tujuh. pendeta suci itu tetap duduk bersemedhi, hanya mata mereka memandang kepintu gerbang kuil tersebut, yang sudah rusak dan tidak tertutup.

Suara langkah kaki itu terdengar semakin dekat, bahkan dipintu gerbang kuil muncul sesosok tubuh kecil. Ketujuh pendeta itu menghela napas lega, karena yang datang tidak lain seorang anak lelaki berusia dua belas atau tigabelas tahun, tubuhnya juga tidak terlalu tinggi. Cahaya bulan menerangi sebagian tempat tersebut, redup sekali, muka anak itu tidak terlihat jelas.

Anak lelaki itu tidak melangkah lebih jauh, berdiri di dekat pintu gerbang kuil. "Siauw Lim Cit sian (tujuh pendeta suci Siauw Lim Sie). ada pesan untuk kalian!"

Tiba-tiba anak itu bicara dengan suara parau dan suara itu bukanlah suara anak-anak.

Wie Sin Sin Siansu bertujuh kaget, mengapa anak itu mengetahui mereka tujuh pendeta Siauw Lim Sie. Belum lagi Wie Sin Siansu bertanya, anak itu sudah berkata lagi: "Dengarkanlah baik-baik, jika memang kalian tidak mau celaka, kembalilah ke Siauw Lim Sie untuk baik-baik membaca Liam-kheng !"

Wie Tay Siansu tidak bisa menahan sabar, tahu-tahu tubuhnya melesat dalam keadaan duduk menyambar ke arah anak itu. "Bocah, siapa kau ?"

Tangan kiri dikibaskan untuk mengancam muka anak itu. tangan kanannya disusuli dengan jari-jari tangan terbuka siap mencengkram, buat mencekik anak itu.

Menurut perhitungan anak itu pasti mengelakkan mukanya dari sampokan tangan kiri Wie Tay Siansu, dan saat itu tangan kanan Wie Tay Siansu akan berhasil mencengkram pundak si bocah. Tapi, justru anak itu bukannya mengelak, malah maju selangkah kedepan. la tidak gentar menghadapi kibasan lengan kiri Wie Tay Siansu, bahkan menotok dengan jari telunjuknya ke iga si pendeta.

Kaget Wie Tay Siansu, karena yang diincar oleh jari telunjuk anak itu adalah jalan darah "Su-ie-hiat" didekat iga. tiga dim dari Tie-ma-hiat. Kalau jalan darah itu tertotok, Wie Tay Siansu akan rubuh, walaupun tidak sampai menderita luka parah, cukup menjatuhkan nama baiknya.

Maka terpaksa Wie Tay Siansu menarik pulang tangan kirinya. dan membatalkan cengkeraman tangan kanannya. Disaat itulah dia melihat sinar bulan menerangi muka anak, dia bisa melihat tegas muka anak itu. Ternyata muka anak itu seraut muka yang sudah tua sekali, muka seorang laki-laki berusia hampir lima puluh tahun ! Jadi, orang didepannya bukanlah seorang anak kecil, melainkan seorang tua bertubuh cebol pendek.

"Hemm" tertawa mengejek si cebol sambil mundur selangkah setelah gagal menotok. Sekali lagi dengarlah baik-baik, jika kalian ingin selamat, kembalilah ke Siauw Lim Sie untuk baik-baik membaca Liamkheng !"



Sambil berkata begitu, si cebol memutar tubuhnya, hendak berlalu. Wie Sin Siansu tidak bisa menahan sabar. "Tunggu !" seru pendeta suci ini, tubuhnya melesat ke pintu kuil, dia ingin menghadang si cebol. Tapi si cebolpun mempunyai Ginkang yang tinggi, tubuhnya lincah sekali, dalam sekejap mata dia sudah terpisah belasan tombak. Rupanya dia hendak melepaskan diri dari pendeta-pendeta Siauw Lim Sie itu.

Wie kie Siansu dan pendeta-pendeta Siauw Lim Sie lainnya tidak mau membuang waktu, ikut mengejar. Si cebol ini merupakan kunci awal dalam penyelidikan mereka. Kalau sempat terlepas, berarti mereka akan kehilangan jejak penyelidikan yang tengah mereka lakukan. Pasti si cebol memiliki hubungan erat dengan dicelakainya Tang Bun Siansu.

Wie Sin Siansu mengempos semangatnya, dia murid kedua Siauw Lim Sie, maka luar biasa ginkangnya. Tubuhnya seringan kapas telah melesat dan mendahului si cebol, menghadang didepan orang itu sambil mengulurkan tangan kanannya untuk memegang tulang piepe si cebol.

Terancam seperti itu memaksa si Cebol menahan kakinya. Dia berdiri tegak dengan sikap menantang.

"Siancay, siapakah Siecu ?" tanya Wie Sin Siansu sambil mengawasi. Dilihatnya muka si cebol seraut wajah seorang yang sudah berusia limapuluh tahun lebih, hanya tubuhnya yang pendek seperti bocah berumur 12 atau 13 tahun.

Mukanya berpotongan empat persegi, matanya besar, alisnya tebal hitam, bibirnya kecil agak monyong. Tapi muka itu agak bengis, matanyapun bersinar tajam sekali.

Si cebol tersenyum dingin "Aku bermaksud baik memberitahukan kepada kalian agar kembali ke Siauw Lim Sie. jika memang kalian tidak mau bercelaka. Ayo buka jalan untukku.."

"Omitohud. tunggu dulu Siecu. jelaskanlah siapa Siecu sebenarnya dan mengapa menyuruh kami kembali ke Siauw Lim Sie jika tidak mau bercelaka ? kecelakaan apa yang akan kami alami ?" tanya Wie Sin Siansu, yang waktu itu sudah memutuskan walaupun bagaimana tidak akan melepaskan si cebol, karena dialah yang bisa membuka rahasia teka-teki yang selama ini menghantui Siauw Lim maupun Bu Tong.

Si cebol dengan berani tertawa terbahak-bahak. Waktu itu enam pendeta suci Siauw Lim Sie lainnya sudah tiba dan mengambil posisi mengurung si cebol di tengah-tengah. Berani sekali si cebol mengawasi satu persatu pendeta-pendeta itu. "Hemmm, kau tentu Wie Sin. kau Wie Khie, Wie Tay, Wie Lie, Wie Un, Wie Sie dan kau Wie Lung bukan ? Hmmm, semuanya lengkap, tujuh pendeta sakti Siauw Lim Sie. Tapi, biarpun kalian berkumpul semua di sini, jangan harap bisa menahan diriku...!"

"Siancai," memuji Wie Sin Siansu tenang, dia yakin si cebol bagaimana liehaynya pun tidak mungkin bisa lolos dari tangannya dan enam orang Sutenya. Seandainya si cebot berkepandaian tinggi luar biasa, tidak mungkin dia bisa melepaskan diri dari ketujuh pendeta sakti itu.

Menghadapi seorang pendeta sakti Siauw Lim tingkat ke 2 itu saja sudah sulit, apa lagi sekarang berkumpul lengkap di situ ketujuh pendeta sakti tingkat ke -2 tersebut. "Marilah kita bicara baik-baik, Siecu, siapakah she dan nama Siecu ?"

"Aku Uh Ma," menyahutt si cebol dingin. "Apakah kalian tidak malu ingin mempergunakan jumlah banyak untuk menghina yang sedikit ?"

Kaget Wie Sin Siansu bertujuh. Walaupun mereka jarang turun gunung, tapi mereka sering juga mendengar perkembangan di dalam dunia persilatan. Mereka pernah mendengar bahwa Uh Ma adalah salah seorang dedengkot iblis yang paling ganas malang melintang di daerah Barat, dia disebut See-mo.

Pada waktu itu justru terdapat empat dedengkot iblis, yang masing-masing menguasai daerah Barat, Timur, Selatan dan Utara. Keempat dedengkot iblis itu disebut Sec-mo, Tang-mo, Lam-mo dan Pak-mo, kepandaian mereka masing-masing istimewa dan selama itu malang melintang merupakan dedengkot paling disegani di kalangan hitam pada daerah masing-masing.

Sekarang di depan mereka justru muncul See-mo dedengkot iblis dari Barat. tentu saja ke tujuh pendeta Siauw Lim itu jadi kaget.

Melihat ketujuh pendeta Siauw Lim tertegun, Uh Ma tahu-tahu melejit ke samping kanan, ingin melewati samping Wie Tay Siansu.

Memang Uh Ma memiliki Ginkang yang aneh, tubuhnya seperti belut ingin menyelusup melewait sisi Wie Tay. Namun Wi Tay Siansu pun bukannya pendeta Iemah, matanya awas. Melihat Uh Ma ingin meloloskan diri, tahu-tahu dia menotok dengan jari telunjuknya pada punggung Uh Ma. memaksa untuk masuk ke dalam kalangan.

Tapi Uh Ma tidak mau mundur, dia benar-benar luar biasa, ketika ujung jari telunjuk Wie Tay hampir mengenai punggungnya, di saat si pendeta Siauw Lim yakin telunjuknya bisa menotok tepat pada sasarannya kalau Uh Ma tidak mau mundur ke dalam kalangan, mendadak saja tubuh Uh Ma seperti tidak bertulang, lunak dan jadi bisa semakin lebih pendek cari ukuran tubuh sebenarnya, lemas seperti seekor belut telah merunduk lebih rendah dan tahu-tahu dia telah berada di belakang Wie Tay Siansu. Namun di saat itu Uh Ma juga berseru kaget.

Kiranya, biarpun dia bisa mempergunakan ilmu yang aneh, yaitu ilmu belut untuk meloloskan diri dari totokan Wie Tay Siansu, tokh dia sendiri tidak urung kena dikepret oleh ujung jari pendeta Siauw Lim Sie itu. Hal ini disebabkan waktu Wie Tay Siansu menyaksikan Uh Ma ingin meloloskan diri dengan mengkeretkan tubuhnya, seperti belut menyelinap disisinya tanpa menarik pulang telunjuknya, Wie Tay Siansu mengibas. Jari telunjuknya menabas melebihi golok.

Mengenai pundak Uh Ma. Tapi Wie Tay Siansu kaget, jari telunjuknya panas dan kesemutan, sebab pundak Uh Ma keras melebihi baja. Uh Ma - sendiri sampai menjerit.



Dalam sedetik itu saja kedua orang ini sudah mengadu kekuatan. Jika orang lain yang lwekangnya tanggung-tanggung kena dikepret oleh ujung jari telunjuk Wie Tay Siansu, tentu sudah semaput ataupun binasa kalau tidak terluka parah.

Kedua orang ini segera tahu bahwa khikang mereka rupanya berimbang, dan kegesitan tampaknya Uh Ma masih menang dari Wie Tay Siansu, karena dia memiliki ginkang istimewa, ilmu belut.

Wie Tay Siansu hendak melompat kepada Uh Ma, tapi Wie Sin Siansu menahannya. "Uh Siecu !" kata Wie Sin Siansu kemudian dengan suara sabar. "Jelaskanlah, apa maksudmu dengan perintahkan kami kembali ke Siauw Lim Sie."

Wie Sin Siansu menempuh jalan mengalah seperti itu sebab ia tahu Uh Ma bukan orang sembarangan, dibelakang Uh Ma tentu masih terdapat orang-orang yang belum mereka ketahui. Jika terjadi pertempuran, jelas pendeta-pendeta Sianw Lim Sie inipun sulit menggunakan pat-kwa-tin maju serentak bertujuh mengepung Uh Ma. masih kekurangan seorang lagi, untuk mengisi salah satu pintu Jaga, hal itu akan membawa akibat tidak baik untuk Siauw Lim Sie, mereka akan ditertawakan oleh orang-orang rimba persilatan, yang dianggap pandai main keroyok.

Uh Ma tertawa, dia berlari sambil teriaknya: "Terserah kalian mau menuruti nasehatku atau tidak, aku hanya memperingati saja. Sampai bertemu lagi, aku tidak bisa menemani kalian, pendeta-pendeta suci yang terhormat..." suaranya semakin lama jadi semakin samar karena ia semakin jauh.

Wie Khie Siansu dan yang lainnya hendak mengejar, tapi Wie Sin Siansu menahannya. "Jangan, Sute." kata Wie Sin. "Biarkan dia pergi !"

"Tapi Suheng. dari mulutnya kita bisa korek keterangan," kata Wie Khie Siansu.

Wie Sin Siansu menghela napas sambil menggelengkan kepalanya.

"Nanti kita bisa bertemu lagi dengannya!" kata Wie Sin Siansu, mereka kembali masuk kedalam kuil. Setelah duduk Wie Sin Siansu bilang: "Uh Ma pasti akan muncul lagi... bukankah dia mengancam kita agar kembali ke Siauw Lim Sie ? Nah, kalau kita tidak menuruti kata-katanya, dia akan muncul lagi. Tentu saja dengan berbagai cara, karenanya kita harus waspada."

Wie Khie Siansu dan yang lainnya mengangguk. Mereka bisa diberi pengertian dan tidak memaksa untuk mengejar Uh Ma, See-mo, yang telah muncul dan pergi dengan cara yang luar biasa seperti itu.

Sebagai pendeta-pendeta suci yang sudah memiliki latihan lwekang tinggi, Wie Sin Siansu bertujuh tidak tidur, mereka cukup bersemedhi untuk mengatur jalan pernapasan, dan memulihkan kesegaran tubuh. Waktu bersemedhi, pikiran Wie Sin Siansu tidak bisa tetap, ia berpikir terus.

Dia yakin, jika Uh Ma tidak mungkin mampu mencelakai Tang Bun Siansu, Lalu siapa ? Mengapa melakukan tindakan itu, membuat Tang Bun siansu hilang ingatan? Cara apa yang dipergunakan, sehingga Tang Bun Siansu yang demikian tinggi kepandaiannya, jadi tidak berdaya?

Semakin bulat tekad Wie Sin Siansu untuk menyelidiki sebetulnya ada apa dibalik teka-teki yang selama ini menyelubungi pihak Siauw Lim Sie dan Bu Tong Pay, Hampir saja Bu Tong Pay bentrok dengan Siauw Lim Sie, kalau saja Soan Lo Cinjin tidak berkunjung ke Siauw Lim Sie untuk memberikan penjelasan dan mereka menanamkan saling pengertian serta saling kepercayaan satu pihak dengan pihak lainnya.

Malam itu lewat tanpa terjadi sesuatu lagi. Wie Sin Siansu bertujuh melanjutkan perjalanan mereka. Lima hari tidak terjadi sesuatu. Uh Ma tidak pernah muncul lagi. Walaupun demikian, Wie Sin Siansu bertujuh tetap waspada.

Sore itu mereka tiba di Hoshia, sebuah kota tidak begitu besar. Disinilah ketujuh pendeta Siauw Lim Sie menghadapi peristiwa yang benar-benar aneh.

Ketujuh pendeta Siauw Lim Sie tengah mencari kuil untuk numpang bermalam, ketika mereka berada dijalan raya seseorang menghampiri mereka.

"Taysu, apakah kalian dari Siauw Lim Sie?" tanya orang itu.

Wie Sin Siansu mengawasi orang itu, seorang laki-laki berpakaian compang-camping, penuh tambalan-tambalan, membawa pundi arak dipunggungnya usianya mungkin 40 tahun memakai kopiah bulu, potongan mukanya tirus memanjang, matanya bersinar tajam.

"Benar," menyahuti Wie Sin Siansu, diliputi tanda tanya, karena melihat cara berpakaian orang itu, jelas orang ini bukan pengemis biasa, pasti dia salah seorang dari Kaypang, perkumpulan pengemis. "Darimana Si ecu mengetahui kami dari Siauw Lim Sie ?"

Pengemis yang bajunya penuh dengan tambalan-tambalan itu, tersenyum, "Melihat dari cara berpakaian Taysu saja sudah menjelaskan bahwa kalian adalah orang-orang Siauw Lim. Oya, aku ingin menyampaikan pesan. Jika memang Taysu bertujuh tidak keberatan, pulanglah ke Siauw Lim Sie, demi keselamatan Jil-wie Taysu..."

Muka Wie Sin Siansu berobah, inilah untuk kedua kalinya mereka bertujuh diancam agar pulang. Jika yang sebelumnya adalah dedengkot iblis See-mo, sekali ini adalah seorang pengemis Kaypang. Juga, melihat matanya yang bersinar tajam, dia bukanlah pengemis Kaypang sembarangan.

"Mengapa kami harus pulang ke Siauw Lim ?" tanya Wie Sin Siansu menahan sabar.

Pengemis itu menyeringai.

"Udara sekarang kotor, dunia penuh kuman. alangkah baiknya kalau pendeta-pendeta suci seperti Cu wie Taysu pulang ke Siauw Lim Si, tenang-tenang membaca Liam kheng !"



Wie Khie Siansu tidak sabar lagi, belum lagi Wie Sin Siansu menyahuti, dia sudah melangkah maju, menghampiri pengemis itu. "Siapa kau sebenarnya ? siapa yang menyuruh kau menemui kami ?" Tangan Wie Khie Siansu terjulur dengan disertai khikang yang kuat, dia bermaksud mencengkeram Iengan si pengemis.

Tapi pengemis itu tertawa sambil menggaruk-garuk pundaknya, yang dimiringkan. Dengan gerak seperti tidak sengaja itu, dia sudah meloloskan cengkeraman tangan Wie Khie Siansu, kemudian melangkah mundur ke belakang dua tindak.

"Aku hanya menyampaikan pesan saja, harap Citwie Taysu tidak galak-galak terhadapku !" Dia bermaksud ingin memutar tubuh untuk pergi.

Wie Khie Siansu yang gagal dengan cengkeramannya, sudah menyerang lagi. Sekali ini dia melakukannya dengan ketat sekali, karena dia tidak mau membiarkan si pengemis berlalu. Cuma saja, pengemis itu benar-benar luar biasa, biarpun tenaga dalamnya tidak setinggi Wie Khie Siansu, terlihat dari sikapnya yang tidak berani mengadu kekuatan, tapi tubuhnya seperti kera saja cepatnya bisa menghindarkan dua kali serangan Wie Khie Siansu dan berlari pesat seperti terbang.

Wie Khie Siansu masih penasaran, ingin mengejar. Hanya Wie Sin Siansu menahannya. Di tempat itu cukup ramai orang yang berlalu lalang, jika terjadi pertempuran hal itupun tidak membawa keuntungan untuk pendeta-pendcta Siauw Lim Sie ini. Wie Khie Siansu masih mendongkoi. dia penasaran sekali.

"Kita harus mengompas keterangan dari pengemis itu. Suheng, kalau tidak, selamanya kita seperti menghadapi musuh dalam kabut . . . mereka bisa mengetahui perihal kita, sedangkan kita gelap tentang mereka !" kata Wie Khie Siansu.

Wie Sin Siansu tidak bilang apa-apa, tapi dia tidak menyetujui pernyataan Wie Khie Siansu. Mereka melanjutkan perjalanan dan akhirnya menumpang di kuil E Am Sie, di dekat pintu kota sebelah selatan.

Pengurus kuil itu pendeta-pendeta baik hati, mereka tidak keberatan memberi sebuah ruangan kepada tujuh hweshio itu untuk beristirahat.

Malam itu sepi sekali dan keadaan di kuil Bie Am Sie hening. Wie An Siansu yakin malam ini pasti datang pengganggu lagi." Dan dugaannya tidak meleset, ketujuh pendeta itu tengah berjaga-jaga waspada, waktu sesosok tubuh berkelebat didepan jendela kamar, dalam bentuk bayangan hitam di kertas jendela.

Sebagai seorang yang sudah memiliki khikang tinggi, Wie Tay Siansu tidak melompat mengejar, hanya menuding dengan jari telunjuknya, dan ujung jari telunjuknya meluncur keluar tenaga khikang kuat dan tajam, kearah sosok bayangan diluar jendela.

"Ihhh," terdengar sosok tubuh itu berseru kaget, tapi sejenak kemudian diganti olen tertawanya. "Memang tidak percuma nama besar Siauw Lim Sie, karena murid-muridnya memiliki kepandaian yang mengagumkan !"

Wie Tay Siansu bertujuh dengan Wie Sin Siansu dan lain-lainnya telah melompati jendela mengejar sosok bayangan itu. Rupanya orang itu tidak berusaha melarikan diri, dia malah tengah berdiri tegak menantikan ke tujuh pendeta Siauw Lim, dia berdiri dengan tubuh tinggi berdiri dibawah sorot sinar rembulan..

Hati ke tujuh pendeta Siauw Lim tercekat, mereka tertegun sejenak, karena dilihatnya orang di depan mereka mengenakan jubah sebagai Hwesio ! Dan yang lebih mengejutkan ketujuh hweshio Siauw Lim Sie ini, hweshio yang seorang itu tidak lain dari ketua kuil yang sore tadi menyambut kedatangan mereka, yang tampak manis budi dan ramah.

"Kau ?" Wie Sin Siansu keheranan dan tidak bisa menahan diri. "Mengapa... kau bersikap seperti maling?"

"Sabar Citwie Suheng, dengar dulu keterangan Siauwceng. sebetulnya semua ini demi kebaikan Citwie Suheng... kalau saja Citwie Suheng mau mendengarkan baik-baik nasehat Siauwceng."

"Nasehat apa?" tanya Wie Khie Siansu tidak sabar.

"Sebetulnya, Siauwceng ingin menyampaikan pesan agar Citwie Suheng cepat-cepat kembali ke Siauw Lim Sie dan baik-baik membaca Liamkeng di sana, kalau tidak, tentu perjalanan ini bisa membawa bahaya tidak kecil buat Citwie Suheng ..." Perlahan dan sabar hweshio itu bicara, tetapi kata-katanya mengandung ancaman terselubung.

Wie Sin Siansu bertujuh tertegun, inilah untuk ketiga kalinya mereka diperingati agar pulang ke Siauw Lim Sie jika tidak mau bercelaka ! Yang pertama oleh dedengkot iblis See-mo, kemudian pengemis Kaypang dan sekarang pendeta ! Benar-benar aneh luar biasa, Wie Sin Siansu bertujuh sampai saling pandang satu dengan yang lainnya.

"Siancai !" kata Wie Sin Siansu sambil menenangkan goncangan perasaannya. Suaranya sabar. "Kami tengah menjalani perintah Hongthio untuk menyelidiki suatu persoalan, kau adalah yang ketiga kali menasehati agar kami pulang ke Siauw Lim Sie. Maukah kau memberitahukan siapa yang meminta kau menyampaikan hal itu kepada kami?"

"Memang ada yang perintahkan Siauw-ceng menyampaikan hal itu. tapi tentu saja Siauw ceng tidak mungkin menyebutkan namanya pada Cit-wie suheng. Jika ingin hidup tentram, kembalilah ke Siauw Lim Sie, dunia kini sudah kotor berdebu, penuh dengan kuman-kuman penyakit, apa manfaatnya Cit wie Suheng mengembara mencampuri kekotoran dunia ?"

"Omitohud ! Omitohud ! Bolehkah kami mengetahui gelaran sucimu ?" tanya Wie Sin Siansu sambil mengawasi tajam hweshio di depannya. "Dan, dari kuil manakah pintu perguruanmu ?"

"Sebetulnya tidak terlalu perlu benar Citwie Suheng mengetahui namaku. Tetapi biarlah, tidak salah juga kalau kuberitahukan. Aku she Kwang bernama Cu Pu..."



"Apa ?" Wie Sin Siansu bertujuh berseru heran campur kaget...Kau.... kau Kwang Cu Pu..? Yang biasanya dipanggil sebagai "Tong-mo (iblis dari Timur) ?"

Hweshio itu tersenyum. "Walaupun Siauw-ceng mengenakan jubah kependetaan, tapi Siauwceng tidak tahan untuk mengikuti cara hidup Hudya, dimana tidak boleh makan makanan berjiwa. Entah berapa kali Siauw cengli-dosa melanggar larangan itu. sebab makanan daging kura-kura dan lidah ayam merupakan makanan kegemaran Siauwceng. Sehingga banyak orang yang kemudian memanggilku bukan sipendeta, melainkan siiblis. Karena Siauwceng berasal dari Timur, mereka memberikan gelaran Tong-mo kepada Siauwceng..."

Tenang sekali sikap Kwang Cu Pu waktu berkata-kata begitu, seakan-akan tidak ada sesuatu yang luar biasa dalam keterangannya itu.

"Jadi kau bukan kepala kuil ini?" Tanya Wie Sin Siansu.

"KaIau memang ingin jadi kepala kuil, entah sudah berapa ratus kuil yang bisa kuambil alih pimpinannya, tapi Siauwceng tidak memiliki keinginan mempersibuk diri sebagai pemimpin sebuah kuil, Hanya sore tadi Siauwceng kebetulan lewat disini dan beritahukan kepada kepala kuil ini, bahwa untuk beberapa hari kuilnya Siauwceng ambil alih. Dia keberatan, maka agar tidak menimbulkan kesulitan Siauwceng telah kirim dia ke Giam Lo Ong !"

Kata-kata tenang dan sabar, apa yang dikatakannya seakan urusan biasa saja. Yang dimaksudkan dia telah mengirim kepala kuil Bie Am Sie ke Giam Lo Ong yaitu telah dibinasakannya, dikirim ke Raja Akherad.

Muka Wie Sin Siansu bertujuh berobah. Mereka tidak heran melihat kekejaman Tong-mo, karena bukankah dia sudah digelari sebagai iblis dari Timur? Sepak terjangnya pasti tidak terpuji, walaupun dia mengenakan jubah kependetaan.

"Jelaskanlah, apa maksudmu dan teman-temanmu yang mengancam kami agar kembali ke Siauw Lim Sie!" kata Wie Sin Siansu serius, sedangkan Wie Tay Siansu berenam bersiap-siap akan membekuk Tong-mo, agar dia tidak sempat melarikan diri untuk korek keterangan dari iblis Timur itu.

Tong-mo tersenyum. Tenang sekali sikapnya. "Sebetulnya apa yang kami lakukan ini demi keselamatan Citwie. agar kalian tidak mengalami bahaya yang tidak nienyonangkan. Bukankah See-mo pernah menemui Cit wie Suheng? Demikian juga Pak- mo ?"

"Kami sudah bertemu dangan See-mo, tapi dia pergi tanpa memberikan penjelasan kepada kami !" menyahuti Wie Sin Siansu berusaha menyabarkan diri. "Sedangkan tentang Pak-mo, kami belum pernah bertemu."

Tong-mo tertawa keras. "Siauwceng kira kalian sudah bertemu. Pak-mo selalu mengenakan pakaian penuh tambalan seperti murid Kaypang. Dia juga membawa sebuah cupu arak warna merah tua..."

"Ooooo, pengemis itu?" tanya Wie Sin Siansu. "Ya, ya. kami memang pernah bertemu !" Sedangkan di dalam hatinya Wie Sin Siansu tercekat. Dia heran bukan main, mengapa dedengkot-dedengkot iblis ini bisa berkumpul didalam sebuah kota ? Mengapa Tong-mo, See-mo dan Pak mo bisa berada dikota ini dalam waktu bersamaan? Lalu, apakah diwaktu mendatang Lam-mo pun akan muncul, iblis dari Selatan itu?

Keempat dedengkot iblis itu biasanya saling bertentangan satu dengan yang lainnya. Mereka seperti berlomba-lomba untuk menjagoi sebagai satu-satunya jago yang tiada tanding. Bahkan akhirnya karena keempat dedengkot ibhs itu hampir berimbang tidak ada yang di bawah dan tidak ada yang lebih atas, maka mereka hanya menguasai daerah masing-masing. Timur, Barat, Selatan dan Utara ltulah sebabnya mereka disebut sebagai Tong-mo, See-mo, Lam-mo dan Pak mo.

Sejauh itu, dalam rimba persilatan keempatnya merupakan dedengkot iblis yang paling ditakuti oleh orang-orang aliran hitam maupun putih. Sekarang mengapa tiga dari empat iblis itu bisa muncul berbareng di sebuah kota, bahkan seperti bekerja sama mengancam ketujuh pendeta Siauw Lim Sie itu.

Jika Lam-mo muncul, berarti keempat iblis itu bekerja sama. Apakah mereka berempat yang selama ini menimbulkan kerusuhan, karena mengadu domba Bu Tong dengan Siauw Lim ? Tapi, melihat kepandaian mereka, walaupun mereka merupakan dedengkot-dedengkot iblis diempat wilayah, tokh kepandaian mereka belum lagi bisa menyamai ketua-ketua Siauw Lim maupun Bu Tong.

Karenanya dugaan seperti itu tidak mungkin tepat. Wie Sin Siansu sendiri jadi heran dan bingung. Lalu siapa orang yang berdiri di belakang keempat iblis ini? Melihat keempat iblis yang bisa dikuasai, jelas kepandaian orang itu jauh diatas mereka, merupakan datuk iblis yang tidak terlawan.

Keempat iblis, Tong-mo, See-mo, Lam-mo dan Pak-mo bukankah termasuk manusia-manusia yang gampang tunduk kepada orang lain, tapi sekarang mereka tampaknya bekerja untuk orang lain. Siapa orang dibelakang mereka ?

Tong-mo tertawa "Karenanya Citwie Suheng. Kembalilah kalian ke Siauw Lim Sie, akan sia-sia saja Citwie Suheng mempertaruhkan keselamatan jiwa Citwie . . . ini untuk kebaikan Cit wie !"

Wie Sin Siansu adalah pendeta saleh yang sanggup menahan emosi. Walaupun ia heran, bingung dan penasaran, namun dia bisa membendung perasaannya.

"Baiklah Kwang Sicu, kalau kau bisa memberitahukan kepada kami apa sebenarnya keinginan kalian, jika memang beralasan, maka kami akan pulang. Juga, beritahukanlah kepada kami, kalian bekerja untuk siapa?"

Tong-mo tidak menantikan Wie Sin Siansu menyelesaikan perkataannya sudah menggoyang-goyangkan tangannya. "Hal ini tidak mungkin! Tidak mungkin! Karena kalau sepatah kata saja kuberitahukan kepada kalian siapa majikan kami, berarti jiwa kami tidak memperoleh pengampunan lagi!"



Waktu bicara begitu, dimukannya tampak rasa takut. Tentu saja inipun membuat Wie Sin Siansu bertujuh kembali keheranan. Sebagai dedengkot iblis didaerah Timur, jelas Tong-mo merupakan satu-satunya iblis di Timur yang paling berkuasa dan tidak pernah takut terhadap jin atau setan. Malah dengan tubuh terpotong seribu potongpun dia tidak jeri. Tapi sekarang mengapa untuk memberitahukan nama orang kepada siapa dia bekerja, tampaknya dia demikian ketakutan? Begitu hebatkah orang tersebut?

"Kami hanya bermaksud baik," kata Tong-mo waktu ketujuh pendeta itu tengah tertegun berdiam diri. "Jika memang Citwie Suheng mau mendengarkan nasehatku, tentu Citwie Suheng akan selamat tidak kurang suatu apapun juga. Pulanglah ke Siauw Lim Sie,"

"Kalau kami menolak nasehatmu ?" tanya Wie Sin Siansu tidak sabar, kemendongkolannya sudah meluap sampai kelehernya.

Tong-mo tertawa, sikapnya tenang sekali, seakan tidak memandang sebelah mata kepada ke tujuh hweshio Siauw Lim Sie itu.

"Murid-murid Siauw Lim Sie hebat-hebat. terlebih lagi tetua-tetuanya seperti kalian, ilmu Citwie Suheng memang lihay. Tapi apakah Cit wie Suheng memiliki ilmu melampaui Tang Bun Siansu ? kukira itu saja merupakan contoh bagi kalian, agar dapat berpikir dua kali..."

Wie Khie Siansu dan Wie Tay Siansu tidak bisa menahan diri lagi, dengan disertai Wie Lung Siansu, ketiga pendeta itu melompat ke dekat Tong-mo. Tiga tangan pendeta meluncur menghantam Tong-mo. "Kalau begitu Susiok kami dianiaya oleh kau dan teman-temanmu !" teriak pendeta-peudeta itu hampir berbareng.

Tong-mo tidak berkisar dan tempatnya. Tenang dia mengangkat tangan kanannya, di tekuk ke depan, dia menangkis pukulan Wie Khie Siansu dengan kekerasan, sedangkan pukulan Wie Tay Siansu dihindarkan dengan memiringkan kepalanya, pukulan Wie Lung Siansu di terima oleh kaki kanannya yang terangkat ke atas.

Bess, besss," pukulan Wie Kie Siansu maupun Wie Lung Siansu. yang mengenai tangan dan kaki Tong-mo. seperti mengenai tumpukan kapas, tidak memberikan hasil apa-apa. Kedua pendeta itu kaget, mereka menarik pulang tenaga pukulan, tapi terlambat. Waktu segera muncul tenaga menolak dari tangan dan kaki Tong-mo. Cepat-cepat Wie Khie Siansu mengempos semangatnya, mengerahkan enam bagian tenaga dalamnya. Tubuh ketiga orang itu tergetar, kemudian di susul oleh Tong-mo yang melompat dua tombak lebih, memutar tubuhnya untuk angkat kaki.

Rupanya, Tong-mo tadi menguji kekuatan tenaga kedua hwesio itu, dan dia kaget. Nama besar Siauw Lim Sie memang tidak kosong. Jika orang biasa yang menerima tenaga tolakan Tong-mo, tentu tulang-tulang sekujur tubuhnya akan hancur berantakan.

Tetapi kedua pendeta itu cuma tergetar saja tubuhnya. Tong-mo pun tidak luput dari getaran yang keras, sampai tangannya nyeri kesemutan, itulah sebabnya dia melompat mundur bermaksud angkat kaki.

"Mau kemana kau ?" Wie Khie Siansu melompat hendak mengejar.

Tong-mo melontarkan sesuatu, meledak di tanah dan segumpalan asap menyebar di sekitar tempat itu. Wie Khie Siaiansu menahan langkah kakinya, kuatir kalau asap itu beracun. Dari balik gumpalan asap itu terdengar suara Tong-mo: "janganlah berkepala batu, turutilah nasehat baik Siauwceng, pulanglah ke Siauw Lim Sie..." Suaranya semakin samar, ketika asap itu menipis, sudah tidak kelihatan bayangan Tong-mo.

Wie Sin siansu menghela napas.

"Sute, tampaknya kita menghadapi urusan yang tidak enteng," katanya sambil mengenakan alis, mukanya muram. "Melihat demikian, kemungkinan akan muncul urusan-urusan yang lebih mengkuatirkan, karena di belakang keempat dedengkot iblis itu pasti terdapat orang yang jauh lebih liehay! Yang mengherankan, mengapa keempat dedengkot iblis itu bisa diperalat oleh orang itu? Hanya tinggal Lam-mo yang belum muncul..."

"Lam-mo akan segera memperlihatkan diri pada kalian," tiba-tiba terdengar suara seseorang memotong perkataan Wie Sin Siansu membuai ketujuh pendeta itu menoleh ke arah datangnya suara tersebut, tampak seorang gadis berusia antara 18 - 20 tahun, tengah duduk di dahan pohon sambil ter senyum-senyum.

Rambutnya dikuncir dua, mukanya berpotongan seperti buah tho, memerah cantik sekali. Bajunya singset, sebagaimana baju yang biasa dikenakan wanita-wanita pengembara, hanya ditambah oleh jaket kulit berbulu tebal. Tenang sekali sikapnya.

"Siapa nona ?" tanya Wie Sin Siansu setelah berkurang rasa herannya. "Maukah nona memberikan penjelasan kepada kami?"

Gadis itu tertawa hihihi merdu sekali. kemudian melompat turun.

"Kalian pendeta-pendeta Siauw Lim Sie biasanya tidak pernah usil terhadap urusan orang lain, tapi sekarang mengapa justru ingin melibatkan diri persoalan Kangouw?" merdu suara si gadis, ia pun bicara wajar, tidak takut-takut, sangat tenang sikapnya.

Wie Sin Siansu tersenyum.

"Nona, memang sebetulnya kami tidak mau mencampuri urusan di luar kuil kami, tapi ini merupakan keadaan yang memaksa kami untuk mencampurinya! Kami terdesak sekali, di mana ada orang-orang tidak bertanggung jawab ingin merusak nama baik Siauw Lim dengan Bu Tong !"

"Oya ?" si gadis membuka matanya lebar-lebar. "Benarkah itu?"



Wie Sin Siansu mengangguk. "Loceng tidak akan bicara dari hal yang tidak benar." sahutnya. "Siapakah nama nona?"

Si gadis tertawa lagi, sikapnya lincah seperti tadi. "Aku ? Taysu boleh memanggilku dengan Siauw Hoa !"

"Siaaw Hoa ?" tanya Wie Sin Siansu. "Kalau Loceng boleh tahu siapakah guru nona?"

Siauw Hoa (Si Bunga Kccil) tertawa lagi suaranya tetap merdu. "Guruku tidak pernah mau disebut-sebut namanya, beliau pun tidak termasuk orang yang gemar menyombongkan diri, karenanya jarang sekali mau memperkenalkan diri kepaca orang-orang lain. Sebab itu, akupun tidak mau begitu saja beritahukan nama guruku. Nanti bisa kau tanyakan langsung padanya...!" Siauw Hoa tertawa lagi, polos sekali sikapnya.

Menghadapi kelakuan si gadis yang lincah dan tidak pernah mau memberikan keterangan yang dikehendaki, Wie Sin Siansu habis sabar. "Apakah nona mempunyai hubungan dengan See-mo, Tong-mo dan Pak-mo ?" tanyanya. "Apakah nonapun bekerja sama dengan mereka ?"

"See-mo ? Tong-mo ? Pak-mo ? iblis dari Timur, Barat dan Utara ?" tanya si gadis. "Aku tidak kenal dengan mereka. Siapa mereka ? Mengapa bergelar seram-seram seperti itu ?"

"Benarkah nona tidak kenal dengan mereka ?" menegasi Wie Sin Siansu.

"Apakah kau anggap aku berdusta ?" balik tanya si gadis sambil buka matanya lebar-lebar mengawasi si pendeta.

Wie Sin Siansu merangkapkan kedua tangannya. "Siancay, Siancay, mana berani Lo-ceng mempunyai dugaan buruk pada nona. Tetapi bisa nona memberikan keterangan kepada Loceng, apa maksud kedatangan nona menemui kami ?"

"Aku tidak mencari kalian dan tidak bermaksud menemui kalian !" menyahuti si gadis sambil tertawa geli. "Bukankah kalian yang datang kemari di saat aku tengah main-main dan duduk senang-senang di atas dahan pohon? Ah. Taysu ternyata seorang pendeta yang suka berbohong juga ! Sudan jelas Taysu sekalian yang datang kemari, tapi diputar balik aku yang seakan-akan datang mencari kalian !"

Pipi Wie Sin Siansu berobah merah, dia kaget juga dibaliki seperti itu oleh si gadis. Tetapi dia tidak marah, dia malah merasa geli. Apa yang dikatakan si gadis memang tidak salah, mereka justru yang datang ke situ sedangkan si gadis memang sudah berada di atas dahan pohon.

"Ya, ya, nona yang benar," kata Wie Sin Siansu segera. "Apa yang sedang nona lakukan di sini ?"

"0oh, kembali Taysu jadi pendeta yang paling usil di dunia ! Aku mau melakukan apa di tempat ini apa urusannya dengan Taysu? Apakah setiap perbuatanku harus dilaporkan kepada Taysu ?"

Benar-benar nakal gadis manis ini, ia pun pandai sekali bicara. Wie Sin Siansu menyukai gadis ini, yang tampaknya sangat cerdik dan tidak marah oleh kata-katanya yang nakal itu. Sambil tersenyum dia bilang; "Sudahlah nona, jangan mempermainkan kami. Kami sedang mencari seseorang, dia mempunyai arti yang sangat penting untuk ketenangan dalam Kangouw. Maukah nona memberitahukan sesuatu yang nona ketahui ?"

Siauw Hoa tertawa "Tentu, justru aku ingin memberitahukan sesuatu kepada Taysu"

"Ooooh, kami berterima kasih sekali kepada nona, jika nona mau memberitahukan kepada kami siapa keterangan..." kata Wie Sin Siansu sambil menjura rangkapkan tangannya memberi hormat kepada si gadis.

Siauw Hoa cepat lompat menghindar ke samping.

"Tidak berani aku menerima hormat Taysu. Cukup Taysu sekalian mendengarkan baik-baik." kata si gadis. "Aku kemarin menerima pesan dari seseorang, agar menyampaikan pesan itu kepada tujuh orang pendeta Siauw Lim Sie. Tentu yang dimaksud Taysu bertujuh, karena Taysu berjumlah tujuh, juga merupakan pendeta-pendeta Siauw Lim Sie..."

"Ya, katakanlah nona, apa pesan untuk kami itu?" tanya Wie Sin Siansu tidak sabar.

"Orang itu berpesan, agar Taysu bertujuh kembali saja ke Siauw Lim Sie..."

Belum lagi Siauw Hoa menyelesaikan perkataannya, Wie Tay Siansu tidak sabar dengan mendongkoI sudah memotong: "Untuk baik-baik membaca Liamkeng, karena jika meneruskan perjalanan kami, akan ada bahaya ! Bukankah begitu pesanannya?"

Si gadis tertawa. Matanya di buka lebar-lebar. "Ooh. Taysu itu rupanya pandai meramal! Mengapa Taysu mengetahui bunyi pesan itu"

"Jadi benar pesan itu berbunyi seperti itu?" tanya Wie Sin Siansu menegas.

"Sembilan bagian memang benar, tapi ada satu bagian yang salah!" menyahuti si gadis.

"Apa yang satu bagian itu?" tanya Wie Tay Siansu tidak sabar.

Wie Sin Siansu memberi isyarat kepada Wie Tay Siansu agar dapat menguasai diri, dia kemudian memandang sigadis. "Coba nona beritahukan kepada kami, apa yang satu bagian dari pesan itu yang belum kami ketahui ?"

Sigadis manis tertawa lagi sambil menunjuk Wie Tay Siansu.

"Taysu yang satu itu galak benar, matanya merah dan bengis, aku jadi takut..." katanya, dan mukanya memperlihatkan mimik seperti ketakutan, sehingga lagaknya jadi lucu sekaii.

Mendongkol Wie Tay Siansu, tapi Wie Sin Siansu telah memberi isyarat padanya agar bisa menguasai diri, mata dia berdiam diri, cuma mengawasi si gadis dengan mata yang tajam.

Wie Sin Siansu tersenyum. "Siancay. Siancay, nona tidak perlu kuatir, kami pendeta-pendeta baik yang tidak akan melakukan sesuatu perbuatan tercela ! Silahkan nona memberitahukan bunyi pesan itu selengkapnya ! Maafkan sute Loceng tadi telah memotong cerita nona!"

"kalian pendeta-pendeta yang tidak pernah melakukan perbuatan tercela ? Ooooo, Taysu. aku ingin tanya, kalau seorang pendeta mengawasi mendelik kepada seorang gadis yang ketakutan, apakah ini perbuatan baik dan terpuji ?"

Merah muka Wie Tay Siansu, tapi kemendongkolannya semakin menjadi. Dia mendelu, mendongkol tanpa bisa melampiaskan kemendongkolannya dan cuma melengos ke arah lain.

Wie Sin Siansu tertawa, "Nona jangan keliru, tadi sute Loceng hanya terkejut. ia tidak bermaksud mendeliki nona, kebetulan memang matanya agak besar..." kata pendeta tua tersebut. "Silahkan nona memberitahukan pesan nona yang satu bagian itu..."

"Bukan pesanku, tapi pesan orang lain yang dititipkan padaku!" menyahuti Siauw Hoa, tetap masih ingin menggoda.

Wie Sin Siansu hanya mengangguk saja dan merangkapkan kedua tangannya, sikapnya bersungguh-sungguh, pendeta alim ini tampak angker, matanya yang jernih bersinar berwibawa, sehingga Siauw Hoa melihat itu terkejut dan menunduk, dia tidak berani main-main lagi.

Baiklah, memang pesan itu bunyinya seperti yang diberitahukan oleh Taysu itu. Tetapi masih ketinggalan satu bagian. Bunyi pesan itu selengkapnya adalah: "Taysu bertujuh kembali saja ke Siauw Lim Sie untuk baik-baik membaca Liamkeng. karena percuma saja melakukan perjalanan dalam kalangan Kangouw, hanya akan menambah rumitnya urusan dan banyaknya korban-korban yang berjatuhan, jadi perjalanan Taysu bertujuh hanya membahayakan diri Taysu bertujuh ! Nah, itulah bunyi pesan orang itu selengkapnya !"

Alis Wie Sin Siansu mengkerut, sedangkan muka Wie Tay Siansu, Wie Kie Siansu Wi Kan Siansu dan yang lainnya jadi berobah, sebentar merah sebentar pucat. Kalau tadi Wie Sin Siansu belum memberi isyarat agar mereka berdiam diri saja dan membiarkan Wie Sin Siansu sendiri yang menghadapi si gadis, tentu Wie Tay tidak sabar lagi akan menubruk si gadis, membekuknya dan mengorek keterangan secara paksa dari gadis itu.

Karenanya, keenam Hwesio Siauw Lim itu hanya mengawasi saja dengan berbagai macam perasaan berkecamuk di hati masing-masing.

"Siancay ! Sicncay ! Bolehkah kami mengetahui siapa orang yang meninggalkan pesan itu pada nona ?" tanya Wie Sin Siansu tetap sabar.

Si gadis mengangkat pundaknya sambil tertawa. "Aku tidak kenal dengan orang itu, nanti Taysu boleh selidiki siapa orang itu sebenarnya."

Setelah berkata begitu si gadis memutar tubuhnya "Aku mau pergi..."

"Tunggu dulu, nona !" cegah Wie Sin Siansu.

"Suheng. dia mungkin kaki tangannya manusia-manusia iblis itu !" kata Wie Tay Siansu tidak sabar.

Wie Sin Siansu cama menggelengkan kepala memberi isyarat agar Wie Tay Siansu tidak ikut bicara dulu, dia menghampiri si gadis. "Nona... benarkah nona tidak mengetahui siapa orang yang menitipkan pesan pada nona ?"

"Ya, aku tidak tahu !" menyahuti si gadis, "Kau jangan mengawasi aku seperti harimau mau menerkam mangsanya."

Digoda seperti itu oleh si gadis Wie Sin Siansu sekali ini tidak tersenyum. "bagaimana rupa muka dan tubuh orang itu ?"

"Muka orang itu? Oooo, mukanya jelek sekali, hidungnya besar, mulutnya lebar, matanya meletos keluar . . . tubuhnya jangkung tinggi seperti raksasa!"

"Nona jangan main-main" kata Wie Sin Siansu yang tahu si gadis berbohong dan hanya ingin mempermainkan. "Beritahukanlah yang sebenarnya." sambiI berkata begitu tangan Wie Sin Siansu diulurkan untuk memegang tangan si gadis. Tapi Siauw Hoa cepat sekali mundur setindak, namun dia kaget waktu tangan Wie Sin Siansu tetap meluncur akan mencengkram tangannya.

Dengan gerakan "Lee Hie Ta Teng " atau "Ikan Gabus Meletik" tubuh Siauw Hoa melompat mundur jumpalitan, tapi kembali si gadis kaget, tahu-tahu tangan Wie Sin Siansu sudah mencekal pergelangan tangannya.

Diam-diam Siauw Hoa kagum. Dia gesit dan lincah, tapi si pendeta tampaknya seperti tidak bergerak dari tempatnya ternyata berhasil mencekal lengannya. Dia berseru nyaring: "Pendeta-pendeta jahat ! Kau mengapa mempersakiti aku ?"

Wie Sin Siansu menghela napas, melepaskan cekalannya pada pergelangan tangan si gadis. "Katakanlah yang sebenarnya, nona !" sabar suara si pendeta.

"Kamu pendeta-pendeta jahat, aku benci pada kalian !" teriak Siauw Hoa sambil memutar tubuhnya dan berlari pergi.

Wie Tay Siansu ingin mengejar, tapi di cegah oleh Wie Sin Siansu, yang menghela napas sambil mengawasi kepergian si gadis. "Usianya masih muda, tapi dia rupanya memiliki kepandaian tidak rendah," gumam Wie Sin Siansu. "Dua kali aku ingin mencekal lengannya, dia bisa menghindar dan baru ke tiga kalinya berhasil mencekal lengannya. Rasanya kalau mereka yang sebaya dengannya bertempur, gadis itu bukan lawan yang mudah dikalahkan..!"

"Dia pasti kaki tangan iblis-iblis itu, Suheng," kata Wie Tay tidak sabar. "Jika dia dilepas, kita akan kehilangan jejak lagi! Bukankah lebih baik kita membekuknya ?"

Wie Sin Siansu menghela napas. "jangan kita lihat saja apa yang ingin mereka lakukan selanjutnya ! Empat kali kita sudah menerima peringatan mereka, dari Tong-mo, See-mo, Pak-mo dan gadis itu. Apakah.... dia Lam-mo ? Tapi tidak mungkin, usianya masih terlalu muda, dan kepandaiannya pun berbeda terlalu jauh jika dibandingkan dengan kepandaian Tong-mo, See-mo dan Pak-mo."

"Sekarang apa yang akan kita lakukan, Suheng?" tanya Wie Tay Siansu.

"Ya, kepergian gadis itu malah menpersulit kita lebih parah lagi. kita semakin gelap tentang mereka, tapi mereka mengetahui tentang kita !" Wie Khie Siansu ikut bicara. "Kalau saja tadi kita menangkapnya dan memaksa dia bicara..."

Wie Sin Siansu menghela napas dalam-dalam.



"Sute. kalau hal itu kita lakukan, kita mau taruh muka di mana ? Bagaimana kalau nanti tersiar dalam kalangan Kangouw bahwa tujuh pendeta Siauw Lim Sie menghina seorang gadis kecil ?"

Muka Wie Tay Siansu dan yang lainnya berobah merah, mereka malu dan berdiam diri. Wie Sin Siansu menghela napas dan mengajak keenam orang Sutenya untuk melanjutkan perjalanan.

"Kita tunggu saja, sampai di mana mereka ingin mempermainkan kita !" kata Wie Sin Siansu. "Nanti merekapun akan memperlihatkan diri !"

Malam itu rembulan bersinar tidak terlalu terang, karena hanya separuh. Di sebuah lembah tampak sesosok bayangan gesit bukan main tengah berlari-lari. Jika ada orang melihat di waktu itu, jelas akan menyangka bahwa sosok bayangan tersebut adalah hantu penunggu lembah yang tengah terbang melayang-layang di tengah udara, karena terlalu cepat dan ringan tubuhnya berlari dengan ginkang yang tinggi.

Lembah itu sepi dan sunyi dalam kekelaman malam, hanya suara kutu malam yang terdengar mengisi keheningan malam di lembah yang cukup luas. Angin bertiup cukup dingin, dan sosok bayangan itu dengan gesit telah menyelinap ke-sudut lembah dimana terdapat banyak batu-batu gunung yang bersusun saling tindih, sehingga perjalanan di situ agak sukar.

Di samping kiri tumpukan batu-batu bersusun itu terdapat mata air yang mengalir dari sela-sela dinding lembah, mengalir perlahan-lahan di antara celah-celah batu tersebut, yang sebagian telah kehijau-hijauan warnanya karena berlumut.

Keadaan di tempat itu yang licin dan sulit untuk dilalui tampaknya tidak merupakan rintangan bagi sosok tubuh itu, bagaikan seekor capung yang terbang ke sana ke mari, sosok tubuh itu melompat dari batu yang satu ke susunan batu yang lainnya, dengan lincah dan ringan, tidak kalah gesitnya ketika ia pertamakali masuk kedalam lembah.

Akhirnya ia tiba di depan sebuah goa, yang gelap pekat. hanya sinar rembulan yang separuh itu menerangi keadaan di sekitar lembah itu. Sosok tubuh itu berhenti, kemudian berlutut di depan goa dengan sikap hormat. Dia mengenakan baju singsat warna hitam, kepalanya dibungkus oleh topi bulu yang tebal, yang mengangguk-angguk ketika ia berkata : "Suhu, tecu telah kembali!"

Hening keadaan di sekitar tempat itu, yang kemudian diisi oleh suara batuk-batuk perlahan, suara batuk seorang yang telah Ianjut usia. Kemudian disusul lagi oleh suara: "Bi Tin, bagaimana ketujuh hwesio itu ? Apakah mereka mau menuruti perintah pemimpin kita ?"

Bi Tin mengangkat kepalanya memandang ke arah goa itu, sinar bulan menerangi mukanya. Dia seorang pemuda berusia dua puluh tahun lebih, dengan tubuh yang tegap. Hidungnya mancung, matanya bagus dan terang, bibirnya tipis. Dengan sikap hormat dia bilang:

"Tampaknya ketujuh Hweshio tidak mau mematuhi keinginan pemimpin kita Suhu ! Mereka malah seperti tidak mengacuhkan. Tampaknya tidak ada jalan lain untuk membendung mereka, harus disingkirkan dengan cara lain...!"

Dari dalam goa terdsngar tertawa terkekeh perlahan, disusul batuk-batuk perlahan.

"Jalan lain untuk menyingkirkan mereka ? Apakah maksudmu aku terpaksa harus keluar dari goa ini untuk menghalau mereka ?" tanya orang di dalam goa itu.

"Benar Suhu, tampaknya memang tidak ada jalan lain. Ketiga paman Tong-mo, See-mo dan Pak-mo tidak berani turun tangan sebelum menerima persetujuan dari Suhu apa yang harus dilakukan terhadap ketujuh pendeta itu !"

"Apa yang mereka lakukan terhadap ke-tujuh pendeta itu?"

"Paman Tong mo, See mo dan Pak-mo hanya menemui mereka dan menyampaikan pesan pemimpin kita, kemudian menghindar dari mereka. Bukankah Suhu juga berpesan begitu, agar menghindarkan bentrokan dengan ketujuh pendeta itu"

"Ya, memang aku berpesan begitu. Tapi? rasanya kalau Tong-mo, See-mo dan Pak-mo bertiga menghadapi ke tujuh pendeta itu, mereka bukan tandingan hwesio-hwesio Siauw Lim Sie itu. Mereka murid-murid tingkat ke dua, kepandaian mereka telah sempurna. Jumlah merekapun bertujuh. Walaupun Tong-mo See mo dan Pak-mo tidak sampai rubuh dan terluka ditangan mereka, namun tetap saja akan sia-sia usaha seperti itu, kalau mereka bertiga akhirnya harus meninggalkan juga ketujuh pendeta itu. Rasanya kalau dibantu olehku, sehingga kami berempat pun sulit untuk merubuhkan ketujuh pendeta itu. Karenanya. aku berpesan hindarkanlah bentrokan dengan ketujuh pendeta itu, sampai pemimpin kita memberikan keputusan apa yang harus kita lakukan!"

"Lalu sekarang, apa yang harus kita lakukan, Suhu ?" tanya Bi Tin.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar