"Aku sendiri tidak
mengetahui dengan jelas, tetapi menurut cerita-cerita orang Kangouw, justru
kekasih Liok Bie Lan adalah salah seorang murid Bu Tong Pay, yang liehay ilmu
silatnya. Karenanya setiap kali mereka bertengkar dan bertanding, selalu juga
Bie Lan tidak bisa merobohkan kekasihnya.
Mungkin jika berhasil
merobohkan kekasihnya, ia akan membunuh kekasihnya itu. Dan sebab itu pula
mengapa Bie Lan pergi mencari guru lagi, mempelajari ilmu silat yang lebih
tinggi serta mempelajari ilmu penggunaan racun yang dahsyat. Entah dengan siapa
dia belajar semua itu, tetapi yang jelas kepandaiannya puluhan kali lipat lebih
hebat dari sebelumnya...!"
Tentang nama kekasih dari Liok
Bie Lan aku sendiri tidak tahu. Hanya ilmu keluarga Liok walaupun liehay, tetap
bukan tandingan dari kepandaian kekasih Liok Bie Lan, karena memang kekasih Bie
Lan liehay dan sudah menguasai ilmu Bu Tong Pay cukup sempurna.
Menurut cerita orang, kekasih
Bie Lan adalah murid Bu Tong Pay tingkat ke tiga.
Thiam Lu menghela napas
dalam-dalam dia bilang: "Aku beruntung terhindar dari kematian karena
pernah bertemu dengan Sepasang Tabib Hutan yang sangat liehay tadi malam, yang
telah memberikan dendeng obat padaku. Sekarang aku baru menyadari mengapa jalan
darahku selalu bergolak jika ku kerahkan pernapasan dan hawa murni di tubuh,
akibat pukulan Sepasang Tabib Hutan, yang memutar balik peredaran darahku,
sehingga diserang oleh jarum-jarum beracun Liok Bie Lan tadi, tidak sampai
membuatku mati.
Mata Bie Lan pun sangat tajam,
melihat aku tidak segera mati terluka oleh beberapa batang jarum beracunnya,
dia dapat menduga bahwa aku tertolong oleh obatnya Sepasang Tabib Hutan, maka
dia menanyakan Sepasang Tabib Hutan itu."
"Ada hubungan apa antara
Liok Bie Lan Ciecie dengan Sepasang Tabib Hutan itu, paman Khang ?!" Tanya
Giok Han semakin ingin mengetahui.
"Aku sendiri tidak tahu,
mungkin di antara mereka ada ganjalan sakit hati...!", menjelaskan Thiam
Lu. "Baiklah, sekarang kita boleh bersyukur karena bahaya telah lewat.
Mari kita lanjutkan perjalanan."
"Paman Khang belum sehat
benar, lebih baik kita beristirahat dulu sampai paman Khang sembuh dan sehat
benar," kata Giok Han.
Thiam Lu menggeleng sambil
bangun berdiri.
"Sekarang aku sudah pulih
sebagian, sudah bisa melanjutkan perjalanan. Jika membuang-buang waktu, aku
kuatir racun yang masih bersarang di dalam tubuhku akan mengamuk lagi, tentu
aku akan gagal mengajak kalian menemui guruku ..."
"Menemui guru paman Khang
? Untuk apa ?!" Tanya Giok Han heran. "Bukankah keberangkatan kita
ini untuk pergi menemui Papa ?"
Thiam Lu menghela napas
dalam-dalam wajahnya murung dan air matanya menitik turun. Dengan terbata-bata
dia menceritakan apa yang telah dialami oleh keluarga Jenderal Besar Giok Hu,
ayah Giok Han. Hal ini terpaksa diceritakan oleh Thiam Lu, karena selama dalam
perjalanan selalu muncul urusan-urusan yang membuat Thiam Lu bertiga terancam.
la kuatir kalau sewaktu-waktu
dia mati, maka Lam Sie memperoleh kesulitan untuk menceritakan peristiwa itu,
sebab tidak mengetahui siapa-siapa yang telah membunuh ayah, ibu, kakak
perempuan Giok Han dan sanak familinya seluruh keluarga.
Dia memberitahukan pada Giok
Han, yang harus di ingat adalah dua nama, yaitu Ban It Say serta Thio Yu Liang.
Thiam Lu juga menceritakan bahwa semua bencana itu disebabkan oleh Kaisar Yong
Ceng. Waktu menceritakan semuanya, air mata Thiam Lu tidak berhentinya
mengucur. Lam Sie juga menangis terisak-isak.
Bagaikan mendengar petir bagi
Giok Han waktu mendengarkan cerita Thiam Lu. Wa-laupun dia masih kecil, namun
dia seorang anak yang cerdas dan cepat sekali mengerti urusan. Dia menangis
sesenggukan dan akhirnya pingsan tidak sadarkan diri.
Thiam Lu berdua Lam Sie jadi
kebingungan. Thiam Lu tidak berani menyentuh tubuh Giok Han, sebab dia tahu di
tubuhnya sendiri masih mengendap racun yang dahsyat dia kuatir kalau menyentuh
tubuh Giok Han nanti bisa membahayakan bocah itu. Lam Sie yang telah berusaha
menyadarkan majikan kecilnya.
Waktu siuman, Giok Han
menangis terisak-isak sedih sekali, Lam Sie berdua Thiam Lu coba menghiburnya.
"Paman Khang sengaja
menceritakan semua ini kepadamu, agar kau ingat Siauwya, betapapun juga setelah
dewasa nanti, kau harus membalaskan sakit hati keluargamu ! Karenanya, sekarang
kau harus berusaha menghindar dari kejaran orang-orang Yong Ceng, agar kau
memiliki kesempatan menuntut ilmu dan nanti membalas sakit hati ayah ibu,
saudara dan sanak familimu !" kata Khang Thiam Lu di antara isak
tangisnya.
Giok Han memeluk Lam Sie
erat-erat sambil menangis, kemudian dia melepaskan pelukannya, menjatuhkan diri
di hadapan Khang Thiam Lu, katanya dengan air mata bercucuran: "Terima
kasih atas pertolongan Paman Khang dan Paman Lam berdua atas diriku, budi
kebaikan itu tidak akan Hanjie lupakan sampai kapanpun juga. Tetapi Hanjie pun
tidak akan melupakan nama-nama seperti Ban It Say, Thio Yu Liang maupun raja
jahat Yong Ceng ! Ketiga nama itu akan terukir terus sampai kelak Hanjie bisa
membalas sakit hati Papa, Mama, Ciecie dan saudara-saudara Hanjie... para paman
dan bibi yang lainnya ! Hanjie bersumpah, jika Hanjie tidak bisa membersihkan
nama Papa dari fitnah dan membalas sakit hati Papa, Hanjie tidak mau hidup...!"
Lam Sie memeluk Giok Han,
sedangkan Thiam Lu dengan air mata bercucuran tapi bibir tersenyum terharu,
berkata : "Bagus. itulah semangat lelaki sejati, Siauwya ! Kami akan
berusaha melindungi Siauwya sampai titik darah terakhir, untuk membalas budi kebaikan
Papa Siauwya, Giok Goanswee ! Mari kita lanjutkan perjalanan, tempat tujuan
masih cukup jauh... mudah-mudahan tidak ada rintangan lainnya !"
Giok Han mengangguk. Lam Sie
menggendongnya. Tetapi Giok Han menolak.
"Jangan bersusah payah
dan bercapai lelah lagi untukku, paman Lam. Aku berhutang budi yang sedalam
lautan dan setinggi gunung, karena tanpa kau berdua paman Khang, aku tentu
sudah terbunuh juga oleh orang-orang Kaisar jahat itu ! Bahkan, aku akan
menganggap kalian berdua, paman Khang dan paman Lam, sebagai pengganti kedua
orang tuaku !" kata Giok Han sambil menangis terisak-isak.
Lam Sie berdua Khang Thiam Lu
pun terharu atas nasib majikan kecil mereka, ke duanya bertekad untuk
mempertaruhkan jiwa buat melindugi Giok Han.
Perjalanan dilanjutkan,
walaupun Thiam Lu belum sehat seperti sebelumnya, ia sudah bisa melakukan
perjalanan. Hanya sekali-sekali dirasakan kepalanya pening dan pandangan
matanya kabur gelap berkunang-kunang.
Jika terjadi seperti itu, maka
Thiam Lu duduk bersemedi 10 menit, mengatur pernapasannya, dan jika darahnya
terasa bergolak, peredaran darahnya seperti terbalik, dia menghentikan
semedhinya. Tidak berani Thiam Lu memaksa untuk mengatur pernapasan dan hawa
murni tubuhnya lebih lama lagi, kuatir kalau-kalau bisa menyebabkan timbulnya
hal-hal yang tidak diinginkan pada anggota dalam tubuhnya. Maka semedhinya
selalu disudahi dan rasa pening lenyap, matanya menjadi terang lagi dan
semangatnya pulih.
Sejak dari saat itu, Giok Han
tidak mau digendong oleh Lam Sie, dia berjalan kaki sendiri. Walaupun Lam Sie
berulangkali membujuknya agar dia mau digendong, tetapi selalu Giok Han
menolaknya.
Dan hati Thiam Li berdua Lam
Sie tambah terharu melihat sikap bocah ini, sebab melakukan perjalanan
sepanjang hari seperti itu, menyebabkan Giok Han sangat menderita, kakinya jadi
luka-luka oleh lecet yang cukup pedih, tetapi bocah itu keras hati, tetap tidak
mau digendong.
Sejak mengetahui peristiwa
yang menimpa keluarganya, ia jadi sangat menghormati Lam Sie dan Thiam Lu,
karenanya dia tidak mau menyusahkan Lam Sie lagi dengan menggendongnya.
Walaupun telapak kakinya selalu terasa sakit buat berjalan, dia tetap
menahannya.
Hanya sekali-sekali jika
istirahat Giok Han menangis meratapi Papa, Mama dan Ciecie-ciecienya. Anak ini
jadi murung sekali sepanjang hari tidak pernah riang seperti hari-hari
sebelumnya.
Melakukan perjalanan empat
hari Giok Han jatuh sakit. Tubuhnya panas. Thiam Lu mengajak Lam Sie dan Giok
Han menumpang di rumah seorang penduduk.
Entah sudah beberapa kali Giok
Han tidak sadarkan diri akibat demam yang tinggi, tubuhnya panas seperti
menguap. Tidak jarang juga bocah itu mengigau memanggil-manggil Papa, Mama atau
Ciecienya. Hati Thiam Lu berdua Lam Sie seperti disayat-sayat pisau, sedih
bukan main.
Melihat majikan kecil mereka
tampaknya sangat menderita sekali. Tetapi apa daya mereka untuk meringankan
penderitaan Giok Han ? Anak ini tergempur bathinnya, hancur perasaannya terlalu
dalam dukanya, juga menderita berat dalam melakukan perjalanan, sehingga akhir
nya dia jatuh sakit seperti itu.
Dua hari dua malam Thiam Lu
berdua Lam Sie menunggui Giok Han, berbagai usaha dilakukan mereka untuk
merendahkan panas tubuh Giok Han. Pada hari ketiga. Giok Han mulai sadar dan
panas tubuhnya mulai turun.
Sengaja Thiam Lu menunda
perjalanan mereka, menunggu kesembuhan Giok Han. Beruntung pemilik rumah yang
mereka tumpangi sangat baik, membantu mereka mencarikan daun-daun obat untuk
Giok Han.
Setelah mengasoh hampir
sepuluh hari, kesehatan Giok Han mulai berangsur pulih. Tetapi, bocah itu tidak
lincah lagi, ia jadi pemurung. Tubuhnya pun jauh lebih kurus dari sebelumnya.
Dia sering termenung, karena anak itu rupanya masih selalu, teringat cerita
Khang Thiam Lu tentang bencana berdarah yang menimpa keluarganya.
Setelah lewat dua hari lagi,
Thiam Lu mengajak Lam Sie dan Giok Han untuk melanjutkan perjalanan, karena
mereka tidak bisa terlalu lama menunda-nunda perjalanan tersebut. Kuatir bahaya
dari orang-orang Kaisar Yong Ceng datang mengacau kalau mereka terlalu lama
berada disitu.
Untuk mencapai kota Siauw An
masih memerlukan waktu perjalanan delapan hari lagi, dan mereka melakukan
perjalanan tidak terlalu cepat seperti sebelumnya, karena Thiam Lu maupun Lam
Sie menyadari bahwa Giok Han harus banyak istirahat, dia baru sembuh dari sakitnya.
Selama dalam perjalanan Giok
Han pun jarang bcara, dia jadi pendiam dan murung, Lam Sie berusaha untuk
menghiburnya, namun tetap saja tidak bisa memulihkan kegembiraan anak tersebut.
Ada satu yang membuat Thiam Lu
kian hari kian berkuatir, peredaran darah ditu-buhnyapun semakin acak-acakan
sulit untuk dikendalikan. Karenanya dia berharap bisa cepat-cepat tiba ditempat
gurunya, disamping untuk minta gurunya melindungi Giok Han, pun ingin meminta
pertolongan gurunya mengobati luka yang dideritanya.
Selama dalam perjalanan Giok
Han tidak pernah mengeluh, walaupun kakinya mulai luka-luka lecet yang lebih
lebar, dia tidak pemah merintih kesakitan. Setiap kali Lam Sie membujuknya
untuk menggendongnya, Giok Han tersenyum sedih, katanya: "justeru kalau
Giok Han sudah lebih besar dari sekarang yang harus menggendong paman Lam,
karena paman Lam sudah berusia lanjut...!"
Dan jawaban seperti itu
membuat Lam Sie berdua Thiam Lu semakin terharu. Mereka tidak bisa memaksa Giok
Han untuk digendong saja dalam perjalanan tersebut, karena walaupun masih kecil
tampaknya Giok Han memiliki hati yang tabah dan keras seperti Papanya. Memang,
biarpun masih kecil, anak itu rupanya mewarisi Sifat-sifa t gagah dari Papanya,
Jenderal Besar Giok Hu.
Perjalanan dilakukan
perlahan-lahan, sering-sering beristirahat. Thiam Lu menduga dengan perjalanan
yang lambat seperti itu mungkin dua belas hari lagi baru bisa tiba di Siauw An.
Beruntung selama dalam perjalanan tidak bertemu halangan lainnya. Untuk
menghibur hati Giok Han, Thiam Lu sering menceritakan serak terjang orang-orang
gagah dalam rimba persilatan dari berbagai golongan.
Tampaknya Giok Han tertarik
mendengarkan cerita-cerita kegagahan para pendekar dalam rimba persilatan dia
pun sering bilang dengan bersemangat, jika sudah dewasa kelak ingin jadi
pendekar yang gagah dan mementingkan perbuatan mulia.
Menjadi pendekar sakti, untuk
membalaskan sakit hati orang tua dan saudara-saudaranya.
"Nanti guruku tentu mau
mengajarkan kau ilmu-ilmu yang sangat tinggi," kata Thiam Lu. "Aku
yakin Siauwya kelak bisa menjadi Pendekar gagah perkasa!" Menghibur Thiam
Lu.
Semakin seringnya mendengar
kisah-kisah kegagahan orang-orang rimba persilatan, Giok Han semakin
memperlihatkan sikap gagah dan tabah, tidak kenal lelah dalam perjalanan. Hanya
saja Thiam Lu dan Lam Sie yang menguatirkan kesehatan Giok Han bisa terganggu
kalau melakukan perjalanan terlalu berat, maka mereka banyak mempergunakan
kesempatan untuk beristirahat. Seharinya paling tidak mereka cuma menempuh tiga
puluh lie lebih.
Kota Siauw An merupakan kota
yang cukup besar, juga penduduknya sangat padat. Di jalan Yang-cen, tampak
barisan rumah-rumah penduduk yang tidak begitu padat, karena jalan ini
merupakan jalan utama di kota tersebut, para orang kaya dan berpangkat mendiami
rumah-rumah yang berada di jaIan tersebut.
Dengan sendirinya, jalan itu
merupakan jalan yang tidak terlalu bising dan ramai.
Di depan sebuah rumah yang
pada kedua sisi pilarnya terdapat patung singa-singaan besar berwarna hitam,
dengan pintu warna hitam, gelang tembaga yang mengkilap ke kuning-kuningan,
tampak seseorang tengah membersihkan daun-daun kering yang runtuh dari pohon
yang tumbuh di depan rumah itu.
Dengan sapu dan pengki orang
itu membersihkan sekitar depan rumah itu. Usia orang tersebut mungkin sudah
lima puluh tahun, tapi tubuhnya masih gagah dan tegap.
Tengah membersihkan patung
singa-singaan sebelah kanan, mendadak menghampiri seorang pemuda berpakaian
pelajar.
Usia pemuda itu baru 20 tahun,
pakaiannya sangat rapi. Selintas lihat segera bisa diterka bahwa dia pasti
putera hartawan atau putera pembesar negeri. Waktu berjalan menaiki undakan
tangga menghampiri pelayan yang tengah membersihkan patung singa-singaan ltu,
lagaknya angkuh, mulutnya tersenyum sinis sekali. Kopiah yang dipakainya kopiah
pelajar yang bersulam benang emas.
"Hei Tang Kui, mana
majikanmu?!" Tegur pemuda itu dengan sikap yang lancang tidak ada hormat
sedikitpun.
Pelayan rumah itu menoleh,
tampaknya dia terkejut. Kemudian membungkukkan tubuhnya dengan sikap
takut-takut, tersenyum-senyum terpaksa.
"Oooo, Cie Kongcu datang
? Apa kabar Cie Kongcu?!", tanya pelayan itu.
Sepasang alis pemuda itu
mengkerut dalam-dalam, tampaknya galak sekali.
"Tang Kui, apakah
telingamu sudah tuli ?", bentaknya bengis. "Aku tanya, dimana
majikanmu?"
"Oooo, Cie Kongci
menanyakan Loya ? Maafkan Kongcu, maklumlah umurku sudah tua, sehingga
pendengaranku tidak baik lagi Loya ada di dalam. Apakah perlu aku memanggil
Loya?"
"Hmmm," angkuh
sekali pemuda itu bersikap, mengawasi sinis ke dalam rumah lewat sela pintu
yang agak terbuka. Kemudian mendekati Tang Kui, pelayan itu.
"Sekarang" katanya, "kau dengarkanlah baik-baik pertanyaanku
!"
"Ya, ya Kongcu. Apa
pertanyaan Kong cu?"
"Apakah Yang Siocia ada ?
Pergi kau beritahukan padanya bahwa aku rindu benar padanya dan ingin bertemu
dengannya."
Ceriwis sekali cara bicara
pemuda itu. Tang Kui tampak kaget. "Cie Kongcu, maafkan... aku... aku
tidak berani untuk memberitahukan Siocia akan kedatangan Kongcu, Di dalam ada
Lo ya... nanti Loya akan memarahiku," kata pelayan itu takut-takut.
Pemuda itu jadi cemberut,
tahu-tahu tangan kanannya menjitak kepala Tang Kui cukup keras, sampai berbunyi
nyaring dan Tang Kui berseru kesakitan, tapi tubuhnya tetap membungkuk tidak
berani melawan.
"Pelayan goblok
kau!" kata Cie Kongcu sengit. "Tentu saja kau beritahukan Siociamu
tanpa diketahui Ioyamu. Pergi sana, awas kalau kau tidak memberitahukan kepada
Siociamu . . . akan kujitak lagi kepalamu!"
Pelayan itu sangsi, tapi dia
juga takut pada pemuda yang galak ini. Maka akhirnya ia terpaksa masuk ke
dalam.
Pemuda itu menunggu dengan
sikap tidak sabar. Sampai akhirnya pelayan itu ke luar lagi.
"Sudah ?" Tanya Cie
Kongcu sambil tertawa lebar dan merogo sakunya, mengeluarkan lima tail perak, disodorkan
kepada Tang Kui. "Hadiah untukmu !"
Pelayan itu tidak mau menerima
hadiah si pemuda, dia menggoyang-goyangkan tangannya.
"Terima kasih Kongcu,
tidak usah beri hadiah," katanya agak gugup. "Tentang Siocia..."
"Ya, kenapa dengan
Siociamu ?" Tanya si pemuda tidak sabar.
"Siocia sedang
bercakap-cakap dengan Loya, tidak ada kesempatan untuk memberitahukan pada
Siocia tentang kedatangan Kongcu!"
Muka Cie Kongcu jadi guram,
dia melemparkan uang yang lima tail perak ke muka Tang Kui.
"Ambil buatmu! Tetapi
jika Siociamu selesai bercakap-cakap dengan Loyamu, kau harus segera
memberitahukan kepadanya bahwa aku sudah kemari, dan aku menunggu dia di taman
Lo-sik-wan. Mengerti?!"
"Mengerti Kongcu. Tetapi,
apakah harus disampaikan pada Siocia bahwa Kongcu menunggunya di taman
Lok-sik-wan ?", tanya Tang Kui.
"Tentu saja. Aku akan
menunggunya di sana. Semakin cepat dia datang menemui aku, semakin baik lagi.
Nanti kau akan ku persen lebih banyak lagi !"
"Tapi... tapi
Kongcu..." Tang Kui tampak bingung dan ragu-ragu.
"Apa lagi ?" bentak
Cie Kongcu, galak sikapnya.
"Bagaimana kalau Siocia
tidak mau pergi menemui Kongcu, malah nanti memarahiku ?", tanya Tang Kui.
Muka Cie Kongcu berobah muram,
dia tahu-tahu menghunus pedang pendek dari balik jubah dan pedang pendek itu
ditandai-kan ke leher Tang Kui.
"Kalau Siociamu tidak mau
datang ke Lo-sik-wan, berarti lehermu akan putus. Mengerti ?", mengancam
Cie Kongcu dengan suara bengis.
Kaget Tang Kui, semangatnya
serasa terbang meninggalkan raganya. Tubuhnya sampai terhuyung kebelakang
dengan muka pucat hampir dia jatuh keserimpet. "Mengerti... mengerti
Kongcu."
Cie Kongcu memasukkan pedang
pendeknya ke sarungnya, mengibaskan jubahnya dan melangkah pergi dengan sikap
yang angkuh sekali.
Tang Kui berdiri bengong
mengawasi kepergian pemuda itu, setelah melihat si pemuda lenyap ditikungan
jalan, barulah dia berani menggerutu: "Hu, hu, kalau Loya mengetahui
kelakuanmu seperti itu, tentu Loya tidak akan mau mengerti. Pasti akan
menghajarmu habis-habisan, pemuda berandal !"
Tang Kui tiba-tiba berdiri
tertegun, mulutnya setengah terbuka, matanya pun terpentang lebar-lebar,
seperti menyaksikan sesuatu yang mengejutkannya. Namun, akhirnya ia berseru
gembira dan berlari menghampiri ketiga orang yang tengah mendatangi ke arahnya.
"Khang Tayjin, mengapa
kau tidak kirim kabar akan pulang?!", berseru Tang Kui.
Ketika orang itu tidak lain
dari Khang Thiam Lu, Lam Sie dan Giok Han. Thiam Lu tersenyum, ia pun senang
bertemu dengan Tang Kui, pelayan setia yang sudah puluhan tahun bekerja pada
gurunya. "Apakah kau baik-baik saja, Tang Lopeh ?", tanya Thiam Lu.
"Suhu ada di rumah ?"
"Ada. Ada, Tayjin. Oooo,
betapa rindunya aku si tua pada Tayjin. Sudah berapa tahun Tayjin tidak
berkunjung?" Berkata sampai di sini barulah Tang Kui melihat pakaian Thiam
Lu bertiga Iusuh dan tidak keruan, juga mukanya agak pucat, dia bertanya heran
campur kaget: "Tayjin, apa yang terjadi ?"
Thiam Lu tersenyum dan
mengajak Lam Sie berdua Giok Han masuk ke rumah gurunya, diikuti oleh Tang Kui
Pelayan itu masih menanyakan beberapa pertanyaan, tetapi Thiam Lu mengulapkan
tangannya. Mereka menanti di ruang tamu, Tang Kui berlari ke dalam untuk
memberitahukan kedatangan Thiam Lu bertiga kepada majikannya.
Tidak lama kemudian ke luar
seorang.
lelaki bertubuh jangkung
kurus, dengan kumis jenggot yang sudah memutih, sikapnya tenang dan masih
gagah, tetapi terpancar kegembiraan. Belum lagi dia melihat Thiam Lu bertiga,
sudah bertanya : "Thiam Lu, sudah lama kau tidak berkunjung..."
Tetapi di waktu itu dia
melihat Giok Han dan Lam Sie, juga keadaan Thiam Lu bertiga yang pakaiannya
tidak keruan, ia jadi tertegun, tanyanya ragu-ragu : "Apa yang sudah jadi,
Thiam Lu ?"
Thiam Lu cepat-cepat
menghampiri gurunya dan berlutut di depan lelaki tua itu, yang memang Yang Bu
In, pendekar tua yang pernah sangat terkenal dengan Wan-kun (Ilmu Pukulan Kera)
sehingga disegani oleh orang-orang KangOuw di Kangouw dan sekitarnya.
Sambil memberi hormat pada
gurunya, air mata Thiam Lu sudah mengalir. la menceritakan apa yang telah
dialami oleh atasannya, yaitu Jenderal Giok Hu sekeluarga yang dimusnahkan oleh
orang-orangnya Kaisar Yong Ceng.
Muka Yang Bu In berobah muram,
ia menghela napas dalam-dalam sambil gumamnya: "Menteri dan Jenderal setia
dibunuh penjilat dan pengkhianat dibiarkan berkeliaran, tampaknya negeri jadi
semakin tidak aman dan akan runtuh...!" ia lalu menoleh kepada Giok Han,
katanya lagi : "Kasihan anak ini..."
Thiam Lu perintahkan Giok Han
memberi hormat kepada gurunya, Lam Sie juga datang memberi hormat kepada guru
Thiam Lu. Giok Han walaupun masih kecil, tetapi ia mengerti aturan. la segera
menjatuhkan diri. Bahkan ia cerdas sekali, dengan sesenggukan anak itu bilang :
"Lopeh, tolonglah Hanjie."
Hati Yang Bu In semakin
terharu, dia mengusap usap kepala anak itu. "Anak pintar" katanya
dengan mata berkaca-kaca. "Bukan" hanya aku yang akan melindungimu,
tetapi semua orang gagahpun akan melindungimu. Janganlah kau bersedih terus
atas malapetaka yang menimpah keluargamu, kau harus tabah dan mulai sekarang
harus rajin-rajin belajar ilmu silat, karena di pundakmu ada beban yang berat,
yaitu kau harus melenyapkan penasaran orang tua dan saudara-saudaramu kalau kelak
sudah besar."
Dengan mata masih mengucur.
Giok Han tetap berlutut dan menganggukkan kepalanya berulang kali. "Terima
kasih, Lopeh," kata anak itu. "Hanjie akan memperhatikan
nase-hat-nasehet Lopeh."
Yang Bu In menoleh pada Tang
Kui, perintahnya : "Siapkan kamar untuk mereka perjalanan yang jauh tentu
membuat mereka sangat lelah"
Tang Kui mengiyakan dan
berlalu, sedangkan Bu In menoleh pada Thiam Lu, katanya; "Sekarang kalian
tentu lelah sekali, pergilah beristirahat dulu, nanti baru kita bercakap-cakap
lagi."
Thiam Lu mengiyakan. Suasana
di rumah Bu In sungguh tenteram. Terlebih lagi memang sudah bersengsara selama
dalam perjalanan, Thiam Lu bertiga Lam Sie dan Giok Han beristirahat dengan
sebaik-baiknya.
Sore itu Tang Kui sibuk
mempersiapkan meja untuk perjamuan. Mukanya murung, karena tadi dia baru saja
disemprot oleh Yang Lan, Yang Siocia. Waktu Tang Kui memberitahukan perihal
kedatangan Cie Kongcu yana ceriwis itu pada nona majikannya, Yang Lan gusar. la
memaki mengapa Tang Kui tidak memberitahukan tadi-tadi padanya, agar dia bisa
menghajar pemuda kurang ajar itu.
Yang Lan mamang puteri tunggal
keluarga Yang, masih muda usianya paling tidak baru 18 tahun, walaupun ia
memiliki paras yang cantik dan tubuh yang menarik, sifatnya sangat keras. Sejak
kecil ia sudah dididik langsung oleh ayahnya, sehingga menjadi seorang nona
yang memiliki kepandaian tidak rendah. la pun tidak kenal takut.
Namun disebabkan sejak kecil
sudah melatih ilmu silat, tidak jarang sikapnya seperti lelaki, tidak
memperdulikan lagi aturan-aturan hubungan pria dan wanita, ia bergaul cukup
bebas dengan pemuda manapun juga. Cie Kongcu adalah salah seorang dari sekian
banyak pemuda yang menginginkan si gadis hanya saja bedanya Cie Kongcu putera
Tiehu di kota itu, sebagai putera pembesar yang paling berkuasa di kota
tersebut, tentu saja dia besar kepala dan angkuh.
Dia ingin mempergunakan
kekuasaan ayahnya untuk menundukkan Yang Lan. Hanya sayang, slfat-sifatnya
inilah yang membuat Yang Lan malah jadi muak dan membencinya. Selalu si gadis
tidak pernah melayani pemuda tersebut.
Sebetulnya, sudah beberapa
kali Yang Lan ingin menghajar pemuda angkuh dan ceriwis tersebut, cuma masih
dipikirkan oleh Yang Lan akibatnya kalau ia bertindak terlalu keras pada pemuda
itu, yang pasti bisa membahayakan ketenteraman keluarganya.
Ayah Cie Kongcu pasti tidak
mau mengerti jika anaknya itu dihajar babak belur oleh Yang Lan. Hanya saja,
semakin lama lagak Cie Sun Hoat. Cie Kongcu itu, semakin semena-mena, selalu
sewenang-wenang terhadap orang-orang yang tidak berdaya, rasa tidak puas di
hati Yang Lan semakin besar saja.
Sekarang Tang Kui melaporkan
bahwa pemuda itu mengharuskan dia sore ini pergi ke taman Lo-sik-wan, meluaplah
kemarahan Yang Lan. Dirasakannya ini merupakan penghinaan untuk dirinya.
Walaupun Yang Lan menyadari Cie Sun Hoat memiliki ilmu silat juga, tapi
kepandaiannya dirasakan jauh berada di atas pemuda itu.
Dan ia bertekad sore ini akan
memberikan hajaran kepada pemuda ceriwis tersebut, supaya nanti tidak terlalu
kurang ajar. la ingin'melakukan rencananya itu sendiri, tidak memberitahukan
pada ayahnya, karena kuatir dilarang oleh ayahnya.
Waktu Tang Kui mulai merapikan
meja untuk persiapan perjamuan, Yang Lan bermaksud pergi ke taman Lo-sik-wan
untuk menemui Cie Sun Hoat. la memperhitungkan paling tidak memerlukan waktu
semakanan nasi dan ia sudah bisa kembali ke rumah untuk ikut hadir dalam
perjamuan, guna menghormati Suhengnya yang baru pulang.
Yang Lan bersiap-siap untuk
berangkat ia merapikan pakaiannya, agar singsat dan menyandang pedang di
pinggangnya. Lalu memeriksa kantong senjata rahasia. Baru saja ia mau
berangkat, waktu itu ayahnya tampak mendatangi dengan wajah yang tidak wajar
seperti biasanya, muram sekali. Si gadis terkejut.
Yang Bu In menghampiri
puterinya dengan lesu, sepasang alisnya mengkerut waktu melihat cara berpakaian
nnaknya. "Kau mau kemana, Lanjie ?" tanyanya.
Si gadis tidik biasa berdusta,
ia menceritakan maksud kepergiannya dan rencana untuk menghajar Cie Sun Hoat.
Yang Bu In menggeleng-gelengkan kepalanya, dengan sikap tegang ia bilang:
"Persoalan anak itu biarkan saja, bukan urusan yang penting. Sekarang kau
ikut ayah."
Dan Bu In memutar tubuhnya.
Yang Lan mengikuti dengan perasaan heran, pertama, sikap ayahnya yang tidak
biasanya. Jika sebelum-belumnya selalu tenang menghadapi berbagai masalah yang
bagaimana berat sekalipun, sekarang justeru tampak agak gelisah dan mukanyapun
muram agak pucat. Kedua, apa yang ingin diperlihatkan ayahnya dengan
mengajaknya ? Apa yang ingin dilakukan ayahnya apakah yang telah terjadi ?
"Thia, ada apa?"
Tanya si gadis yang tidak bisa membendung perasaan ingin tahunya, waktu ia
mengikuti ayahnya di sampingnya.
"Nanti kau akan melihat
sendiri,"" me-nyahuti ayahnya "Ayo cepat, ada sesuatu yang tidak
beres."
"Tentang apa, Thia
?"
"Akan ada ancaman bahaya
yang sangat besar..." menyahuti ayahnya.
Kembali Yang Lan heran melihat
kelakuan ayahnya. Sebagai seorang pendekar gagah berkepandaian tinggi, Yang Bu
In tidak pernah gentar pada siapapun juga. Sejak dulu. jarang ada yang dapat
menandingi kepandaiannya. Tetapi sekarang tampaknya ada sesuatu yang bisa
membuat Bu In demikian gelisah, pasti urusannya pun sangat hebat.
Diam-diam Yang Lan jadi ikut
gelisah, hatinya berdebar-debar. Tetapi melihat sikap ayahnya
bersungguh-sungguh seperti itu, si gadis tidak berani banyak bertanya. Hanya
hatinya diliputi seribu satu macam pertanyaan, yang tidak terjawab.
Ayahnya ternyata mengajak ke
ruang semadhi. Bu In membuka pintu kamar semadhi kemudian menunjuk ke arah
tembok bagian atas dari dinding sebelah kanan kamar itu. "Lihatlah,"
katanya dengan suara agak tergetar. "Dia sudah meninggalkan tanda
pengenalnya."
Yang Lan menengadah dan
melihat sesuatu yang membuat hatinya tergetar. Di dinding itu terdapat dua
belas bangkai ayam, yang terpantek di situ dalam posisi seperti bunga bwee. Di
samping kanan dari bangkai-bangkai ayam itu, terpisah beberapa cie. tampak
sebuah lukisan bendera, bentuknya segi tiga, dengan gambar bulatan kecil di
tengahnya. Gambar apapun tidak terdapat di lukisan bendera tersebut, selain
lingkaran kecil itu. Muka Yang Lan berobah.
"Apa maksudnya semua ini,
Thia?" tanya Yang Lan sambil menoleh mengawasi ayahnya. "Apa yang
sudah terjadi, Thia ?"
Muka Bu In muram dan gelap
sekali, tampak ia tengah berpikir keras. Setelah menghela napas dalam-dalam,
barulah ia menjawab pertanyaan anaknya: "Inilah bahaya yang kukatakan tadi
tengah mengancam kita."
"Siapa yang melakukan
ini, Thia? Siapa DIA yang Thia sebutkan tadi ?" tanya Yang Lan lagi.
Muka Bu In berobah agak pucat,
tubuhnya pun menggigil. Tampaknya ada sesuatu yang hebat tengah dipikirkannya.
"Thia, kita harus mencari
orang yang berbuat kurang ajar ini, yang mengotori kamar samadhi Thia-thia
!" Berseru Yang Lan yang kemarahannya sudah tidak bisa ditahan lagi.
Tetapi ayahnya
mengulap-ulapkan tangannya, Dengan lesu ia menghampiri anaknya. Dipegangnya
pundak Yang Lan.
"Anak, tampaknya memang
bencana itu akhirnya datang juga." katanya. "Kau harus tenang, kita
harus bisa menguasai diri, agar bencana itu tidak memusnahkan seluruh keluarga
Yang !"
"Memusnahkan seluruh
keluarga Yang ? Apa maksud Thia-thia ? Manusia kurang ajar mana yang tidak
kenal mati ingin mengganggu keluarga Yang ?!" Berseru Yang Lan.
Bu In menghela napas
dalam-dalam, ia tampaknya bersusah hati, katanya: "Tampak nya inilah yang
disebut takdir. Memang, akhirnya takdir itu sulit dihindarkan juga..."
Menggumam Bu In dengan suara tergetar.
"Thia." panggil Yang
Lan. "Mengapa Thia-thia bersikap seperti itu ? Bukankah kita bisa mencari
orang yang berbuat kurang ajar itu dan beri pelajaran keras kepadanya ?"
Bu In menggelengkan kepalanya.
"Percuma, tidak mungkin
kita bisa menghadapinya." menyahuti Bu In lesu.
Bukan kepalang heran hati Yang
Lan. Dari dulu belum pernah ia menyaksikan sikap ayahnya seperti sekarang.
seperti ketakutan, gelisah dan putus asa. Benar-benar Yang Lan jadi tidak
mengerti oleh sikap ayahnya sekarang ini.
"Apakah orang itu sangat
liehay. Thia ?" Tanya Yang Lan tidak sabar. "Kita hisa maju bersama
untuk menghadapinya, Thia... walaupun bagaimana liehaynya orang itu. kita
berdua pasti bisa menghadapi dan mengatasinya."
Bu In menghela napas
dalam-dalam sambil menggelengkan kepalanya. Dia menuding kearah bangkai-bangkai
ayam yang terpantek di tembok dengan posisi yang aneh itu. "Coba kau
perhatikan,"
"katanya lesu.
"Apakah ada sesuatu yang aneh ?"
Yang Lan memperhatikan
bangkai-bangkai ayam itu, lalu menggelengkan kepalanya ia tidak melihat
keluar-biasaan dari bangkai-bangkai ayam itu, hanya keluar-biasaannya
bangkai-bangkai ayam itu terpantek di tembok dalam kamar semadhi ayahnya.
"Tidak ada sesuatu yang
luar biasa Thia. Hanya perbuatan kurang ajar seperti ini berarti menghina keluarga
Yang secara keterlaluan ! Orang itu harus dihajar sekeras-keras-nya, kalau
perlu dibunuh !" Kata Yang Lan kemudian.
Bu In menghela napas
dalam-dalam.
"Anak," katanya
lesu. "Perhatikanlah, ayam-ayam itu dibunuh dengan cara memutuskan
lehernya, bukan ? Bangkai-bangkai ayam itu masing-masing tidak berkepala
lagi."
Menggidik juga hati Yang Lan,
dia memperhatikan sekali lagi. Benar saja, semua bangkai-bangkai ayam itu tanpa
kepala. Darah yang menetes dari leher bangkai-bangkai ayam tak berkepala itu
mengotori tembok berceceran, memang tampaknya kepala ayam itu masing-masing
ditarik dengan kuat sampai putus, kemudian bangkai ayam itu dipantek.
"Dan, kau perhatikan
lagi, ayam-ayam itu terpantek ditembok bukannya oleh paku!" Menjelaskan Bu
In pula, lesu dan perlahan suaranya.
Yang Lan kembali terkejut, dia
memperhatikan. Dan apa yang diberitahukan ayahnya memang tidak salah,
bangkai-bang-kai ayam itu terpantek ditembok bukan oleh paku, tetapi oleh
masing-masing sebatang jarum yang cukup panjang!
Tercekat hati Yang Lan. inilah
luar biasa, siapakah yang telah memantek bangkai-bangkai ayam itu dengan hanya
mempergunakan jarum ? Kalau bangkai-bangkai itu terpantek oleh paku, itu bukan
hal yang mengherankan. Tetapi justeru sekarang bangkai-bangkai ayam itu
ternyata dipantek oleh jarum-jarum yang tipis halus itu, tetapi dapat menembus
dinding yang keras. Ini menunjukkan tenaga dalam orang itu sangat tinggi.
Siapakah orang itu?
Dengan muka yang berobah jadi
tegang, Yang Lan bertanya kepada ayahnya: "Thia, sesungguhnya siapakah
orang yang kurang ajar itu yang telah melakukan semua ini ?"
Untuk sejenak Bu In tidak
menjawab, dia cuma menggumam: "Ya, mungkin sudah tiba saatnya aku
berhitungan dengannya !" Lalu dia menoleh kepada Yang Lan: "Orang itu
memiliki dendam yang kalau ingin dibilang sedalam lautan dan setinggi gunung,
itu masih belum apa-apa. Dendamnya sudah melebihi dalamnya lautan dan tingginya
gunung, mungkin juga dendamnya itu setinggi langit !"
Dengan mata guram Bu In
menoleh kepada bangkai-bangkai ayam yang terpantek ditembok, lalu katanya lagi:
"Sekarang kau hitung bangkai-bangkai ayam itu."
Yang Lan menuruti perintah
ayahnya. Dia menghitungnya. "Dua belas ekor semuanya, Thia."
"Ya, perhatikan posisi
terpanteknya bangkai-bangkai ayam itu. pertama-tama, di atas sana terpantek dua
ekor, bukan?" Kata Bu In tidak bersemangat.
"Benar. Thia."
"ltu berarti untuk aku
dan ibumu!"
"Apa Thia ?"
"Dua ekor bangkai ayam
yang paling atas, diartikan adalah aku dan ibumu, Dan kau lihat, dibawahnya
hanya terpantek seekor bangkai ayam, bukan ?"
"Benar Thia."
"ltu berarti
dirimu,"
"Thia ?"
"Dan dibawahnya ada
berapa bangkai ayam lagi ?" Tanya Bu In pula.
"Tiga bangkai ayam, dan
dibawahnya tiga bangkai lagi Thia."
"Ya. ltulah diartikan
enam orang pelayan kita. Tiga ekor bangkai ayam disebelah atas diartikan
pelayan laki-laki kita dan tiga ekor dibawahnya adalah tiga orang pelayan
wanita keluarga Yang, yang harus mati juga !"
Menggidik Yang Lan mendengar
suara ayahnya yang dalam dan tegang, benar-benar luar biasa peristiwa yang
terjadi hari ini. Alis sigadis mengkerut dalam-dalam. dengan ragu-ragu kemudian
dia bertanya: "Lalu, yang tiga ekor lagi itu untuk siapa. Dua bangkai
ayam, kemudian terakhir satu bangkai. Bukankah kita semuanya hanya berjumlah
sembilan orang?"
Bu In menghela napas
dalam-dalam, tampak jelas dia tengah bersusah hati. "Ya, di rumah mi
memang kemarin berjumlah sembilan orang. Dia bermaksud membunuh kita
sekeluarga, tanpa perduli semua pelayan pun harus mati. Tetapi, hari ini
justeru jumlah dirumah kita ini sudah bertambah menjadi duabelas orang !
Bukankah Thiam Lu, Lam Sie dan Giok Han bertiga melengkapi jumlah
bangkai-bangkai ayam itu menjadi dua belas ekor? Dua ekor bangkai yang dibawah
dari barisan tiga adalah dimaksudkan Thiam Lu dan Lam sie Dan yang terakhir,
bangkai ayam yang seekor itu adalah Giok Han ! Genaplah jumlah seluruh penghuni
rumah ini, duabelas jiwa ! Dan semuanya harus mati !"
Habislah kesabaran Yang Lan.
"Thia, walaupun orang itu
memiliki tiga pasang tangan dan tiga pasang kaki mustahil kita tidak bisa
menghadapinya ? Terlebih pula sekarang ada Khang Suheng, tentu kita bisa
menghadapinya dengan sebaik-baiknya ! Thia-thia jangan kuatir."
Bu In tersenyum, tapi
senyumnya itu lebih mirip seperti meringis..
"Kalau ingin dinilai
kepandaiannya, mungkin aku masih bisa menghadapinya, walaupun mungkin sekarang
aku tidak bisa seperti dulu lagi, yaitu merobohkannya, tapi rasanya iapun sulit
buat mencelakai aku. Tetapi, yang berbahaya sekali pada orang itu, justeru dia
kini sudah mahir sekali mempelajari ilmu racun yang sangat ampuh... selama
belasan tahun ia mati-matian mempelajari ilmu racannya, dan sekarang ia sudah
berobah menjadi pembunuh nomor satu di dunia yang paling kejam dan bengis yang
bisa membunuh tanpa mata berkedip. Setiap orang yang bertemu dengannya,
kabarnya harus mati Tidak ada satu jiwapun yang lolos, besar kecil, tua muda,
pria dan wanita semuanya harus mati ditangannya, oleh racunnya yang
dahsyat...!"
Yang Lan jadi bingung dan
gelisah.
"Lalu apa yang harus kita
lakukan Thia ?", tanyanya gugup.
"Kau harus berusaha tetap
menghadapinya dengan tenang. Bagaimanapun sulit buat mengelak lagi dari dia.
Tetapi yang kukuatirkan adalah keselamatan Giok Han, anak itu yang belum
mengerti apa-apa, dan iapun satu-satunya keturunan Jenderal Giok Hu, ternyata
harus masuk dalam daftar kematian yang diberikan DIA. Juga aku ingin minta
sesuatu kepadamu, Yang Lan. Kau harus melakukan perintahku ini baik-baik.
janganlah buang-buang waktu, ajaklah ibumu untuk menyingkir dari rumah ini.
Kukira aku sanggup untuk menghadapi DIA dan merintanginya setengah harian,
sampai kalian bisa menyingkir lebih jauh. Semakin jauh kalian menyingkir dari
sini semakin baik lagi."
Benar-benar membingungkan Yang
Lan. Ayahnya bisa berputus asa seperti itu. Padahal dulu, ayahnya tidak pernah
gentar menghadapi bahaya yang bagaimana besar sekalipun. Tetapi sekarang
mengapa tampaknya semangat sang ayah itu runtuh dan dia berputus asa ?
"Thia, sebetulnya
siapakah DIA itu ?!" tanya Yang Lan akhirnya.
"Belasan tahun yang lalu
ia sudah merupakan iblis wanita yang paling kejam, aku sudah kerkali-kali
bertanding dengannya, tetapi sejauh itu ia tidak berhasil merubuhkanku.
Akhirnya dia menghilang. Selama dua belas tahun tidak terdengar lagi sepak
terjangnya. Hanya pernah dikatakannya kepadaku, bahwa ia akan pergi mempelajari
ilmu racun, dan kelak suatu saat ia akan mencariku, untuk buat perhitungan.
"Justeru sejak tiga tahun
yang lalu dari sahabat-sahabatku ada kabar bahwa dia sudah turun gunung dan
mengacau rimba persilatan dengan kekejamannya, kecil besar dan wanita pria!
Bahkan binatang-binatang yang bertemu dengannya, seperti bebek, ayam ataupun
anjing, memiliki nasib yang buruk juga, karena akan dibunuh pula!
Hanya yang mengherankan,
menurut sahabat-sahabatku, dia masih tetap muda jelita, sangat cantik sekali
dengan pakaian sutera putihnya, usianya mungkin baru duapuluh tahun lebih.
Padahal, dulu saja sudah dua puluh tahun lebih, dan kini tentunya dia sudah
berusia empat puluh tahunan... Apakah memang dia pun mempelajari ilmu yang
khusus untuk bisa awet muda?!"
Setelah bercerita begitu, Bu
In menghela napas dalam-dalam, dia bilang lagi: "DIA she Thio dan bernama
Eng Goat, Ingatlah olehmu, jika memang aku sampai terbinasa di tangannya dan
kalian ibu anak bisa lolos, suatu saat kelak kau harus membalaskan penasaranku.
Sekarang sudah tidak ada waktu lagi untuk menceritakan sebab-sebab permusuhan
kami, nanti kalau ternyata aku bisa lolos dari maut, waktu itu akan kuceritakan
sejelas-jelasnya. Ayo cepat, sekarang juga kau ajak ibumu untuk menyingkir dari
rumah ini!" Waktu berkata begitu, sikap Bu In gelisah agak panik, tegang.
Yang Lan jadi menitikkan air
mata.
"Thia, apakah tidak
mungkin lagi buat kita bersama-sama dengan Khang Suheng untuk coba mengadakan
perlawanan guna menghadapinya. Siapa tahu ada perobahan dan bisa lolos dari
bahaya...?"
Tiba-tiba muka Bu In jadi
bersungguh-sungguh, dengan kumis jenggotnya yang sudah memutih itu
bergerak-gerak, tampaknya dia marah. "Yang Lan, apakah sekarang kau sudah
tidak mau mematuhi lagi perintahku?"
Kaget Yang Lan. Sejak kecil
sampai dewasa belum pernah menyaksikan ayahnya marah, diapun belum pernah
dibentak seperti itu.
"Thia... kau...?",
sigadis jadi menangis keras.
Sejenak kemudian kemarahan Bu
In menurun, dia memeluk puterinya.
"Lanjie, pergilah ajak
ibumu menyingkir," katanya dengan suara yang berobah jadi lembut lagi.
"KaIau memang kau sayang padaku, kau harus menuruti kata-kata ayah.
Pergilah ! Percuma saja kalau kita harus mati semua ditangan DIA ! Biarlah aku
sendiri yang akan menghadapinya. Sebentar lagi akupun akan perintahkan Thiam Lu
buat mengajak Lam Sie din Giok Han menyingkir dari rumah ini... sebelum DIA
muncul ? Maka, sekarang cepatlah berkemas, bawalah yang perlu saja, lalu
ajaklah ibumu menyingkir, semakin jauh semakin baik."
Yang Lan tidak berani
membantah, dia menghapus air matanya, katanya: "Baiklah Thia... tetapi,
tetapi..."
Alis Bu In mengkerut.
"Ayo pergi ! Cepat
!" Bentaknya.
Yang Lan tidak berani
membantah lagi, Walaupun hatinya merasa berat harus mengajak ibunya menyingkir
dan meninggalkan ayahnya menghadapi musuh yang tampaknya disegani dan memilik
kepandaian yang tidak disebelah bawah kepandaian ayahnya. Dia menangis
sesenggukan berlari kekamarnya untuk mengemasi barang-barang seperlunya.
Setelah Yang Lan
meninggalkannya, Bu In berdiri bengong dikamar semedhinya, mengawasi
bangkai-bangkai ayam yang terpantek ditembok. Dia menghela napas berkali-kali
dengan muka pucat. Perlihan sekali bibirnya terdengar menggumam:
"Pembalasan... pembalasan...". setelah mengawasi bangkai-bangkai ayam
yang terpantek sekian lama, iapun keluar dari kamar semedhinya. Memanggil Tang
Kui, yang diperintahkan memanggil Khang Thiam Lu. Cepat Thiam Lu datang
menemuinya.
Thiam Lu heran melihat gurunya
berdiri didepan pintu kamar semedhi dengan wajah yang luar biasa, pucat dan
muram, tidak biasanya sikap gurunya. Tadi waktu Tang Kui menyampaikan ia
dipanggil sang guru, Thiam Lu sudah bertanya tanya didalam hati, apakah gurunya
ingin mendengar cerita peristiwa menyedihkan dari bencana yang menimpali
keluarga Jenderal Giok Hu ? Tapi, setelah melihat keadaan gurunya seperti itu,
Thiam Lu cepat menduga, pasti terjadi sesuatu yang hebat.
"Suhu," Thiam Lu
menghampiri dan memberi hormat. "Ada apakah, Suhu ? Tampaknya ada sesuatu
yang tidak beres...?"
Bu In tidak menyahut
pertanyaan muridnya, dia mengajak Thiam Lu masuk kedalam kamar semedhinya,
Melihat bangkai-bangkai ayam yang terpantek ditembok dan bendera segi tiga yaag
dilukis oleh darah, hati Thiam Lu tercekat.
"Bwee Sim Mo Lie ?!"
Berseru Thiam Lu dengan tubuh agak menggigil.
"Ya, tiga tahun
belakangan ini memang kudengar dari sahabat-sahabat Kangouw. DIA digelari
sebagai Bwee Sim Mo Lie," kata Bu In dengan sikap lesu, "Kau pernah
mendengar tentangnya ?"
"Bukan hanya mendengarnya
saja, Suhu. Waktu dalam perjalanan kemari, kami bertiga telah bertemu dengannya
dan hampir saja Tecu mati ditangannya, diserang oleh jarum-jarum beracunnya
!"
Sambil berkata begitu Thiam Lu
membuka baju dibagian dada dan memperlihatkan bekas luka luka jarum timpukan
Bwee Sim Mo Lie Liok Sie Lan.
Muka Bu In berobah hebat, dia
menghampiri dua langkah lebih dekat pada Thiam Lu, tanyanya dengan suara
tergetar: "Kau.... pernah bertemu dengannya ?"
Thiam Lu mengangguk dan
menceritakan pengalamannya, waktu terjadi serangan orang orang Kaisar Yang
Ceng, di mana dia berhasil meloloskan diri, demi melindungi dan menyelamatkan
anak satu-satunya dari Jenderal Giok Hu, agar tidak terbinasa oleh orang-orang
Kaisar. Juga diceritakan pertemuannya dengan Sepasang Tabib hutan, yang cara
memberikan pengobatan atau pertolongannya aneh sekali, juga pertemuannya dengan
Bwee Sim Mo Lie Liok Bie Lan, wanita pembunuh nomor satu di dunia itu.
"Oooo. kalau saja
Sepasang Tabib Hutan berada di sini, mungkin kita masih bisa menghadapi bencana
yang akan menimpa keluarga Yang !" Mengeluh Bu In setelah selesai
mendengar cerita muridnya,
"Apakah Bwee Sim Mo Lie
punya ganjalan dengan Suhu ?" Tanya Thiam Lu, jadi ikut tegang.
Bu In mengangguk dengan wajah
murung.
"Ya, itulah urusan
belasan tahun yang lalu. Tetapi, coba kau ceritakan ciri-ciri Bwee Sim Mo Lie
padaku,"
"kata Bu In dengan
sepasang alis mengkerut.
Thiam Lu menceritakan ciri-ciri
Bwee Sim Mo Lie, cara berpakaiannya, wajahnya dan juga cara-cara iblis wanita
itu bicara.
"Aneh ! Sungguh. aneh
!" menggumam Bu In setelah mendengar tentang ciri-ciri Bwee Sim Mo Lie,
keningnya berkerut dalam-dalam. "Mengapa dia bisa awet muda seperti itu ?
Ilmu apa yang dipelajarinya ?" kemudian dia menoleh kepada muridnya,
tanyanya: "Apakah kau melihat jelas wajahnya?"
"Ya Suhu,"
mengangguk Thiam Lu, dia heran melihat kelakuan gurunya. "Apakah ada
sesuatu yang mencurigakan. Suhu ?"
"Usianya !" kata Bu
In. "UMUR iblis wanita itu yang sangat mengherankan."
"Teecu memperhatikan
dengan jelas, wajahnya memang cantik dan masih muda sekali Suhu, mungkin baru
duapuluh tahun. Dia memiliki wajah yang dingin, tidak memperlihatkan perasaan
apapun juga..."
"Aneh ! Lalu apa lagi
yang kau ketahui mengenai DIA ?" tanya Bu In.
"Apa yang Teecu dengar
dari teman-teman dalam Kangouw, iblis wamta itu puteri dari keluarga Liok,
namanya Bie Lan..."
"Apa ? She Liok ?"
Tampak Bu In kaget.
"Ya, orang-orang Kangouw
mengetahuinya dia bernama Liok Bie Lan, Suhu!"
"Oooo, urusan jadi
semakin rumit. Aneh sekali ! Jadi dia bukan Thio Eng Goat ?"
"Thio Eng Goat ? Siapa
dia Suhu ?"
"Iblis wanita yang
bergelar Bwee Sim Mo Lie itu !"
Thiam Lu menggeleng.
"Maafkan Suhu, Teecu
kurang begitu jelas tentang dia. Apakah dia Liok Bie Lan atau Thio Eng Goat,
Tecu tidak berani memastikannya."
"Akh, urusan mengapa jadi
demikiap ruwet ?" Menggumam Bu In. "Apakah iblis wanita yang
menyatroniku ini bukan DIA ? Tapi tidak mungkin, bendera segi tiga dengan di
dalam bendera itu tertera lukisan bulat kecil, adalah tanda pengenal DIA !
Apakah munculnya dia kembali dalam Kangouw setelah menghilang belasan tahun,
lalu disertai dengan penggunaan nama baru?"
Thiam Lu cuma mengawasi
bingung pada gurunya. Bu In menghela napas dalam-dalam waktu mengetahui
muridnya tengah mengawasi terheran-heran dan bingung padanya.
"Thiam Lu, kini aku ingin
memberitahukan kepadamu, bahwa iblis wanita itu mengancam akan membunuh seluruh
keluarga Yang, bahkan kau bersama Lam Sie serta Giok Han sudah dimasukkan dalam
daftar, Lihatlah, jumlah bangkai ayam itu duabelas ekor. Sedangkan di rumah ini
hanya berpenghuni 9 jiwa. Aku, subo (isteri guru) dan sumoay (adik seperguruanmu),
ditambah enam orang pelayan, tiga laki-laki dan tiga wanita. Ditambah dengan
kau. Lam Sie serta Giok Han, jumlahnya jadi duabelas ekor. Karenanya, kau harus
mengajak Lam Sie serta Giok Han cepat-cepat menyingkir dari rumah ini !
Biarkanlah aku menghadapi
sendiri iblis wanita itu. Walaupun dia tangguh, tetapi rasanya aku masih bisa
menghadapinya untuk seharian. Nah, pergilah kau menjajak Giok Han dan Lam Sie.
Anak itu harus di selamatkan, dia putra satu-satunya Jenderal Giok Hu yang
masih hidup. Pergilah !"
Pucat muka Thiam Lu, dia kaget
mendengar perintah gurunya. Cepat-cepat dia menekuk lututnya, berlutut di depan
gurunya; "Suhu, janganlah menyuruhku untuk meninggalkan Suhu. Walaupun
bagaimana bahayanya iblis wanita itu, Teecu akan mendampingi Suhu buat
menghadapinya !"
"Thiam Lu, apakah
sekarang kau mulai membangkang terhadap perintahku?" Bentak Bu In, yang
tiba-tiba tampak jadi gusar serta suaranya keras meninggi.
Thiam Lu tetap berlutut
mengangguk-anggukan kepalanya sambil menangis.
"Janganlah Suhu menempuh
bahaya seorang diri. Teecu belum pernah melakukan sesuatu buat Suhu. Ijinkanlah
sekali ini Teecu mendampingi Suhu buat menghadapi iblis wanita itu. Kalau
memang harus buang jiwa di tangan iblis itu, hati Teecu puas..." kata
Thiam Lu dengan air mata bercucuran deras.
Hati Bu In jadi tergoncang,
dia terharu melihat kesetiaan muridnya. Dia tertegun bengong di tempatnya
dengan mata yang merah, air mata mengembang di matanya, sehingga tampak
berkaca-kaca.
"Thiam Lu,
bangunlah!" Perintahnya sambil mengangkat pundak muridnya. Kemudian
katanya lagi : "Aku mengetahui baktimu sebagai muridku, Thiam Lu. Tetapi
yang harus kau ingat adalah keselamatan Giok Han. Dia jauh lebih berarti dari
segala-galanya. Tanggung jawabmu besar sekali terhadap keselamatan jiwa anak
itu. Nah, pergilah ! Turutilah kata-kataku . . . !"
Thiam Lu menggeleng sambil
menghapus air matanya. "Percuma saja Suhu. Bwee Sim Mo Lie tangguh sekali,
terlebih-lebih racunnya. Rasanya, kalau sekarang Teecu mengajak Giok Han
menyingkir, itupun sudah terlambat. Pasti iblis wanita itu sudah berada di
sekitar tempat ini... Karenanya, ijinkanlah Teecu mendampingi Suhu untuk
bersama-sama menghadapi iblis itu."
Terharu Bu In melihat
kesetiaan muridnya. Alasan yang dikemukakan Thiam Lu pun bisa diterima dalam
akal sehat. Bukanlah Bwee Sim Mo Lie sudah berkeliaran di sekitar tempat ini ?
Bahkan, dia sudah berhasil menyelusup masuk ke kamar semedhi Bu In, memantek
belasan bangkai ayam, tanpa ada seorangpun yang mengetahui. Karenanya, kilau
Thiam Lu mengajak Giok Han menyingkir, itu sama bahayanya dengan berdiam di
tempat ini. Kalau di tengah jaian iblis wanita itu menghadang dan membunuh
Thiam Lu bertiga Giok Han dan Lam Sie, bukankah itu lebih berbahaya ? Bukankah
seorang diri saja Thiam Lu tidak mungkin bisa menghadapi iblis wanita yang
tangguh itu ?
Akhirnya, setelah menghela
napas dalam-dalam, Bu In mengangguk.
"Baiklah Thiam Lu, tetapi
kau harus melihat gelagat. Kalau sekiranya bencana sudah tidak bisa dielakkan,
maka kau harus berusaha membawa Giok Han menyingkir dan membiarkan aku seorang
diri coba menghadapi iblis itu..."
Thiam Lu mengangguk dengan
berduka. Dia sudah melihat Bwee Sim Mo Lie, karenanya dia tahu iblis wanita itu
selain tangguh ilmu silatnya, juga liehay racunnya. Kalau hanya ilmu silatnya
belaka, belum tentu gurunya gentar menghadapi iblis wanita tersebut. Walaupun
belum tentu gurunya bisa merubuhkan iblis wanita itu, namun Bwee Sim Mo Lie pun
rasanya sulit buat merubuhkan gurunya.
Sekarang justeru kenyataan
yang ada Bwee Sim Mo Lie liehay dengan racunnya, karenanya dia jadi sangat
berbahaya sekali. Walaupun Bu In tangguh, tak-diragukan dia bisa menghadapi
racun iblis wanita itu.
Tiba-tiba Bu In teringat
sesuatu. Cepat-cepat dia keluar dari kamar semedhinya untuk pergi mencari Yang
Lan, membatalkan perintahnya agar Yang Lan mengajak ibunya menyingkir dari
rumah ini. Rupanya Bu In sudah menyadari, kalau Yang Lan berdua isterinya menyingkir
dari rumah ini, belum tentu bisa dijamin keselamatannya, bahkan jauh lebih
berbahaya.
Kalau iblis wanita itu
menghadang mereka, siapa yang bisa menghadapi ? Yang Lan seorang diri tentu
sulit bisa meloloskan diri dari ancaman maut di tangan iblis wanita itu Jika di
rumah ini, berarti Bu In, Khang Thiam Lu dan Yang Lan bertiga masih bisa
bergabung untuk menghadapi Bwee Sim Mo Lie.
Segera Khang Thiam Lu diajak
berunding oleh Bu In dan Yang Lan, dengan cara bagaimana mereka bisa menghadapi
iblis wanita im. Bu In minta Thiam Lu menceritakan lagi pengalamannya waktu
dilukai oleh Bwee Sim Mo Lie, untuk mencari kelemahan iblis wanita itu.
Semua pelayan keluarga Yang,
termasuk Tang Kui diperintahkan sembunyi di ruang tengah. Demikian pula Lam Sie
dan Giok Ban, ditempatkan di ruang tengah bersama-sama para pelayan-pelayan
itu, yang semuanya diliputi perasaan tegang. Perjamuan yang semula ingin
diselenggarakan sore ini, jadi dibatalkan.
Waktu lewat serasa merambat
sedetik demi sedetik sangat menggelisahkan, suasana tegang meliputi mereka.
Walaupun Yang Bu In berusaha bersikap tenang, tetapi ia selalu gagal, karena
dari sikapnya jelas ia sangat gelisah dan bingung.
Mukanya pun agak pucat. Bu In
beisiap-siap di ruang belakang sedangkan Thiam Lu di ruang depan. Yang Lan
sendiri berada di dekat ruang tengah, bersama ibu, Giok Han, Lam Sie dan
kee-nam orang pelayan keluarga Yang. Suara berkeresek sedikit saja bisa
mengejutkan mereka.
Tetapi Bwee Sim Mo Lie yang
dttunggu-tunggu itu belum juga datang, karena sejauh itu belum lagi diketahui
kapan iblis wanita tersebut akan menyatroni keluarga Yang tersebut. Hari sudah
merambat mendekati magrib. Yang Lan perintahkan seorang pelayan, nya untuk
menyalakan api penerangan.
Ketegangan dan kegelisahan
yang menguasai orang-orang yang ada di rumah keluarga Yang tersebut semakin
lama semakin hebat, mereka selalu dicekam oleh perasaan kuatir, kalau-kalau
iblis wanita itu menyerang secara membokong, murcul dengan tiba-tiba. Kewaspadaan
tetap tinggi, setiap ada suara yang bagaimana perlahanpun, mereka pasti akan
menoleh untuk melihat dan memperhatikan penuh kewaspadaan. Hati mereka
berdebar-debar diliputi kegelisahan dan kuatir.
Dalam keheningan yang ada itu,
mendadak terdengar suara gelang pintu yang terbuat dari kuningan
dibentur-benturkan keras kepada pintu luar rumah keluarga Yang. Suaranya
menggema nyaring sekali.
Thiam Lu sampai melompat
berdiri dengan tangan mencekal pedang erat-erat, hatinya berdebar keras. Apakah
si iblis sudah datang ?
Bu In pun yang berjaga-jaga di
ruang belakang, ikut tercekat hatinya. Sepasang alisnya mengkerut. Siapakah
yang telah menggedor-gedor pintu luar itu ? Si iblis wanita lah yang datang ?
Tetapi dia tidak berani meninggalkan tempatnya, dia hanya memasang
pendengarannya. Kalau memang si iblis yang datang, dia akan segera keluar untuk
membantui Thiam Lu.
Dengan muka agak pucat dan
hati tegang Thiam Lu menghampiri pintu rumah. Kembali gelang kuningan pada
pintu dibentur-benturkan keras sekali, disusul dengan suara seseorang
menggerutu: "Oooh, manusia-manusia tuli semua! Sungguh menyebalkan !"
Itulah suara laki-laki ! Thiam
Lu berkurang kuatirnya, tapi tetap berwaspada waktu membuka daun pintu. Seorang
pemuda berpakaian pelajar berdiri dengan sikap yang angkuh. Ketika melihat
Thiam Lu, dia melirik dengan sorot mata yang sinis. "Hmm, satu jam lebih
tuan mudamu menunggu di sini, apakah kalian tuli semua ?!" Tegurnya tawar.
Khang Thiam Lu tidak kenal
pemuda ini dia mengawasi sejenak, lalu tanyanya : "Siapa kah Hengtai dan
siapakah yang Hengtai cari ?"
Alis pemuda itu berkerut,
dengan sikapnya yang angkuh, pemuda itu yang tidak lain dari Cie Sun Hoat,
bilang: "Aku tadi sudah meninggalkan pesan kepada salah seorang pelayan
keluarga Yang, agar Yang Siocia datang ke taman Lo-sik-wan. Tapi mengapa Yang
Siocia tidak datang ? Apakah memang keluarga Yang mulai berkepala besar dan
ingin cari gara-gara denganku ?!"
Tidak senang Thiam Lu melihat
sikap pemuda itu, tetapi waktu itu justeru keluarga Yang tengah terancam
bencana yang besar dia berusaha menahan diri dan memaksakan tersenyum:
"Maafkan, Yang Siocia justeru sedang sibuk sehingga tidak bisa menemui
Hengtai Nah, rasanya lebih tepat kalau lain waktu Hengtai datang berkunjung
lagi kemari mungkin Yang Siocia bisa menemuimu."
Dengan sikap yang angkuh dan
tangan di pinggang, Cie Sun Hoat membentak : "Apa! Lain waktu kembali
kemari? Cepat panggil Yang Siocia buat menemuiku !" Dan waktu membentak
begitu, mata Cie Sun Hoat terpentang lebar-lebar, mendelik.
Thiam Lu semakin tidak
menyukai pemuda itu di depannya. Kalau saja terjadi di waktu-waktu biasa, tentu
dia akan menghajar babak belur pemuda kurang ajar tersebut. Belum lagi dia
bilang apa-apa lagi dari dalam sudah terdengar teriakan Yang Lan : "Khang
Suheng, dia pemuda ceriwis putera Tiehu di kota ini, dia ingin berbuat kurang
ajar pada keluarga Yang, beri tanda mata agar di waktu mendatang dia tidak
terlalu tekabur!"
Walau tidak mengetahui duduk
persoalannya, tetapi mendengar anjuran Yang Lan, Thiam Lu seketika bisa
mengambil kesimpulan bahwa pemuda ini pasti bukan orang baik-baik, katanya:
"Nah, kau sudah mendengar sendiri bukan ? Yang Siocia tidak mau menemuimu.
Pergilah, sebelum terjadi sesuatu yang kurang baik untukmu !" Dingin
sekali suara Thiam Lu.
Cie Sun Hoat masih bertolak
pinggang dan sikapnya semakin menjadi-jadi. "Ooooh, benar-benar keluarga
Yang cari penyakit ! Biar, aku akan masuk melihat, berapa hebatnya keluarga
Yang sehingga tekebur seperti itu?!" Dia pun segera mementang kedua
kakinya melangkah mau masuk melewati Thiam Lu.
Mendelu hati Thiam Lu
menyaksikan kelakuan si pemuda yang kurang ajar ini. Waktu itulah tangan
kirinya diulur buat menjambak pundak pemuda tersebut. Maksudnya mencegah pemuda
itu masuk melewati pintu gerbang.
Cie Sun Hoat merasakan
sambaran angin di belakangnya, ia memutar sedikit pundaknya dan menggeser kaki
kanannya, tangan kirinya tiba-tiba mencolok ke arah mata Khang Thiam Lu. itulah
serangan telengas dan keji. Benar-benar diluar dugaan Khang Thiam Lu.
Untung saja serangan itu
dilakukan Cie Sun Hoat yang tenaga dalamnya belum terlatih baik, kalau
dilakukan oleh seorang ahli niscaya celakalah Thiam Lu, apalagi memang dirinya
belum lagi sembuh dari luka di dalam.
Mengetahui Cie Sun Hoat memang
bukan orang baik-baik, melihat cara menyerangnya yang begitu kejam, cepat Thiam
Lu merobah kedudukan tangannya. Jika semula ia hendak mencengkeram, sekarang
jari-jari tangannya terkepal dan tahu-tahu menghantam tepat dada Cie Sun Hoat,
karena tangannya itu diturunkan dan meluncur melebihi kecepatan sambaran tangan
Cie Sun Hoat sendiri.
Tercekat hati Cie Sun Hoat,
tapi ia tidak bisa berbuat lain, hanya menjerit keras ketika dirasakan dadanya
sakit luar biasa, tubuhnya juga melayang terpental ke dalam rumah, jatuh terbanting
cukup keras. Mukanya pucat pias, meringis menahan sakit pada dadanya ketika ia
berusaha untuk bangkit.
Khang Thiam Lu tidak bertindak
sampai di situ saja, ia cepat menjambak bahu si pemuda, kemudian melemparkannya
ke luar gerbang.
"Sekali lagi kau berani
datang kemari untuk mengacau jiwamu tidak akan kuampuni lagi !" Mengancam
Thiam Lu mendongkol.
Cie Sun Hoat yang terbanting
untuk ke dua kalinya merangkak bangun. Setelah berhasil berdiri, dengan muka
masih meringis ia menuding Thiam Lu, katanya : "Monyet liar ! Kau akan
merasakan akibatnya berani menghina Siauwya (tuan muda)-mu !"
"Tetapi sambil mengancam
begitu, pemuda itu dengan muka masih meringis telah beringsut-ingsut mundur,
kemudian berlari pergi.
Mendongkol sekali Thiam Lu.
Kalau saja ia bukan sedang dalam keadaan seperti saat itu, dimana keluarga Yang
tengah meng hadapi ancaman bahaya yang besar, niscaya dia akan mengejar pemuda
itu dan membereskannya. Seumur hidupnya baru sekali ini dirinya dimaki orang
lain dengan sebutan monyet liar". Ditutupnya pintu gerbang dan kembali ke
dalam, ke ruang thia. untuk berjaga-jaga pula di situ.
Peristiwa mcngacaunya Cie Sun
Hoat tidak jadi pembicaraan di antara orang-orang di dalam gedung Yang Bu In,
sebab mereka kembali dicekam oleh ketegangan atas ancaman bahaya maut yang
belum lagi tiba. Semuanya tetap waspada dan suara yang sekecil apapun akan
menyebabkan mereka terkejut dan bersiaga.
Waktu beredar terus, malam
telah tiba. Sunyi sekali keadaan di gedung Yang Bu In mungkin, kalau saat itu
ada seseorang menyaksikan keadaan gedung keluarga Yang akan menduga bahwa
gedung itu kosong dan tidak berpenghuni.
Tidak terdengar suara apapun,
hanya suara napas dari orang-orang yang berada di dalam gedung, mengandung
ketegangan dan juga rasa kuatir !
Hari semakin larut malam, Tang
Kui ingin buang air kecil ke belakang. Dengan hati berdebar-debar dia pergi ke
belakang. Pergi ke belakang tidak lama tiba-tiba terdengar suara teriakan Tang
Kui yang keras disusul dengan munculnya Tang Kui yang berlari-lari dengan muka
pucat dan tubuh menggigil keras.
Yang Bu In, Khang Thiam Lu dan
yang lainnya kaget tidak terkira oleh jeritan Tang Kui, mereka melompat ke
belakang. Ketika melihat si pelayan masuk dengan keadaannya seperti itu, cepat
Thiam Lu melompat ke sampingnya, mencekal lengannya.
"Tang Lopeh, ada apa
?" Tanyanya sambil menggoyang-goyangkan lengan pelayan tua tersebut.
Tang Kui tidak bisa menyahuti,
tubuhnya menggigil keras, malah kakinya yang gemetar itu lemas tidak bertanaga
lagi, dia jatuh terduduk. Mulutnya terbuka seakan ingin mengucapkan sesuatu,
tapi tidak ada suara yaug keluar dari mulutnya, Bibirnya gemetar keras, mukanya
pucat seputih kapur tembok.
"Tenanglah Lopeh, ada apa
?!" Desak Thiam Lu tambah kuatir. Semua orang juga mengawasi dengan hati
berdebar.
Tam Kui menunjuk ke arah
jurusan belakang dengan tangan menggigil keras matanya terbuka lebar-lebar.
Tidak ada sepatah perkataan yang keluar dari mulutnya. Mungkin disebabkan rasa
takut yang kelewatan, menyebabkan ia tidak sanggup untuk bicara. Tidak buang
waktu lagi Thiam Lu meloncat ke belakang, Yang Bu In mengikuti di belakangnya
dengan sikap bersiap siaga, Sebelum menyusul Thiam Lu, Bu In masih sempat pesan
pada Yang Lan: "Kau tetap jaga di sini, jangan kemana-mana !"
Ketika Bu In sampai di
belakang, dilihatnya Thiam Lu tengah berdiri menjublek mengawasi sesuatu.
Segera Bu In mengawasi kearah tempat yang tengah dipandangi Thiam Lu, hati Bu
In jadi tergoncang keras sepasang alisnya mengkerut dalam-dalam. Bu In
menyaksikan pemandangan yang benar-benar menggetarkan hati, terlebih lagi waktu
itu keluarganya memang tengah menghadapi ancamam bahaya, tidak mengherankan
hatinya tergoncang keras. Tetapi ia tertegun sebentar, kemudian melompat
mendekati Thiam Lu.
"Pemuda yang sore
tadi..." menggumam Thiam Lu waktu melihat Bu In. Bu In menghela napas
dalam-dalam. "Pasti pekerjaan Bwee Sim Mo Lie," menggumam Bu In.
"Entah apa maksudnya membinasakan pemuda itu ?"
Sambil berkata begitu Bu In
mendekati pohon Touw dimana pada salah satu cabangnya terikat bergantung
sesosok mayat. Dan mayat itu tergantung dengan kedua kaki terikat di atas,
kepala terjungkir di bawah, kedua tangan mayat itu terjuntai ke bawah. Mayat
itu tidak lain dari mayat Cie Sun hoat, pemuda yang sore tadi mengacau di depan
rumah keluarga Yang.
Lama Bu In berdiri tertegun di
situ mengawasi mayat Cie Sun Hoat, lni kesulitan baru untuk keluarga Yang,
karena Cie Sun Hoat putera tunggal yang sangat dimanja oleh ayahnya yang juga
terkenal lalim, justeru mati serta mayatnya berada di dalam rumah keluarga
Yang.
Mendadak Bu In berseru.
"Celaka !" dan keringat dingin mengucur deras. Tubuhnya agak
menggigil. Thiam Lu yang mendengar seruan Bu In, cepat-cepat melompat ke
dekatnya. Belum lagi dia bertanya, Bu In sudah bilang: "Celaka ! iblis itu
pasti sudah berada di sini ! Kita telah meninggalkan mereka... Ayo cepat
kembali! Oooo, mudan-mudahan tidak terlambat !"
Thiam Lu kaget bukan main
mendengar perkataan Bu In. ia pun baru teringat kepada Yang Ian, Giok Han dan
yang lainnya yang mereka tinggalkan. Dengan diantara mayat Cie Sun Hoat dan
digantung di pohon Touw yang tumbuh di dalam rumah keluarga Yang, niscaya Bwee
Sim Mo Lie memang sudah berkeliaran di dalam rumah ini! Tidak buang waktu
sedetikpun, kedua orang itu segera berlari ke ruang dalam.
Mereka baru bisa bernapas lega
setelah melihat disitu tidak terjadi sesuatu apapun. Hanya orang-orang orang
berkumpul di situ memandang Thiam Lu berdua Bu In dengan muka pucat pias, mata
mereka memancarkan kekuatiran yang amat sangat. Mereka tadi sudah mendengar
cerita Tang Kui tentang mayat yang tergantung di pohon Touw yang tumbuh di
belakang rumah mereka.
Tang Kui yang ketenangannya
mulai pulih tadi sudah bisa menceritakan apa yang dilihatnya, yang membuat dia
kaget dan takut setengah mati, sampai tidak bisa bicara saking ketakutan.
Setelah diberi minum secawan air teh, barulah dia bisa menenangkan diri dan
menceritakan kepada semua orang yang berkumpul di situ. Cerita Tang Kui membuat
semua orang tambah kuatir.
Terlebih lagi Yang Lan, yang
menguatirkan keselamatan Thiam Lu dan ayahnya, kalau memang dia tidak ingat
bahwa orang-orang yang berada diruang itu harus dilindungi olehnya, niscaya dia
sudah menyusul ke belakang. Dia kuatir kalau-kalau ayahnya dan Thiam Lu bertemu
dengan si iblis dan mendalami cidera.