Cula Naga Pendekar Sakti Bagian 05

Baca Cersil Mandarin Online: Cula Naga Pendekar Sakti Bagian 5
Cula Naga Pendekar Sakti  Bagian 5

"Oooo, isteriku yang cantik, ternyata kau masih saja memiliki rasa cemburu yang besar dan berlebihan? Sampai mati, aku akan tetap mencintai kau. Percayalan, aku tidak mungkin bisa hidup didunia ini tanpa kau ! Aku boleh kehilangan seluruh ilmu silatku, kehilangan jiwaku, tetapi janganlah kehilangan kau!" Sambil berkata begitu, disertai tertawa, Tung Yang merangkul istrinya.

Tung Im meronta sambil memukuli dada Tung Yang. "Cisss, tua bangka tidak tahu malu" Makinya, tapi hatinya senang bukan kepalang. Malah, akhirnya dia tidak memukuli dada Tung Yang dan merebahkan kepalanya didada Tung Yang. Memang, walaupun mereka sudah sama-sama tua, tapi selalu mesra. Sikap mereka terbuka dan sering bergurau.

Tung Im dan Tung Yang sebetulnya sejak sepuluh tahun yang lalu sudah tidak pernah turun gunung. Mereka hidup mengasingkan diri tidak pernah mau tahu tentang peristiwa dalam kalangan Kangouw. Memilih hidup tenang tanteram ditempat pengasingan mereka, yaitu dipuncak gunung Bie San.

Walaupun sebelumnya mereka merupakan sepasang pendekar aneh yang berkepandaian sangat tinggi dan jarang menemui tandingan tapi mereka tidak pernah berpikir lagi untuk melibatkan diri dalam berbagai urusan Kangouw.

Bahkan Tung Yang sudah bersumpah bahwa ia akan melewati hari-hari tuanya bersama isterinya tanpa mempergunakan pedang maupun ilmu silatnya. Seperti juga jago tua ini sudah menyimpan pedang dan ingin melewati usia tuanya dengan tenang sebagai manusia biasa.

Sengaja mereka memilih tempat yang sepi dan tersembunyi di puncak Bie San, karena kuatir ketenangan mereka diganggu oleh kedatangan teman atau pun lawan. Maka sejak Tung Yang berdua Tung Im mengasingkan diri, tidak ada seorangpun, baik lawan maupun kawan, yang mengetahui dimana tempat pengasingan mereka. Bahkan, tidak ada seorangpun yang mengetahui apakah Tung Yarg dan Tung Im masih hidup.

Tetapi, tampaknya memang Tung Yang dan Tung Im sulit untuk hidup tenang tenteram dan tidak melibatkan diri dalam urusan Kangouw, sebab disuatu sore disaat Tung Yang turun gunung, untuk membeli beberapa kebutuhan mereka dikampung yang ada dikaki gunung Bie San sebelah Barat, justeru Tung Yang bertemu dengan beberapa puluh orang Kangouw yang berkumpul di kampung itu.

Tentu saja Tung Yang heran menyaksikan munculnya demikian banyak orang Kangouw dikampung jang biasanya sangat sepi. Dia segera mengikuti gerak-gsrik puluhan orang Kangouw itu, memasang telinga mendengarkan percakapan mereka. Ternyata puluhan orang Kangouw itu adalah para pendekar yang setia pada negeri dan mereka tengah melakukan perjalanan kedaerah sebelah timur dari propinsi Ciatkang, untuk menolongi Jenderat Giok Hu.

Berita tentang akan dihukumnya Jenderal Giok Hu sekeluarga oleh Kaisar Yong Ceng sudah tersiar dikalangan pendekar gagah pecinta negeri. Karena Kaisar Yong Ceng menduga Jenderal Giok Hu mempunyai hubungan baik dengan pujangga Giam Cu serta ingin bekerja sama dengan pujangga ternama, yang tengah giat menghimpun para pendekar untuk coba membangun negeri dan meruntuhkan Yong Ceng.

Kaget bukan main Tung Yang mendengar semua itu. la tidak menyangka bahwa Jenderal Giok Hu yang sangat terkenal setia itu tengah terancam bahaya maut. Segera ia kembali kepuncak Bie San dan menceritakan kepada isterinya, mengajak untuk turun gunung, guna membantu dan melindungi Jenderal Giok Hu.

Tung Im tidak bisa menolak keinginan suaminya, begitulah mereka turun gunung, untuk pergi membantui Jenderal Giok Hu. menyelamatkan Jenderal itu bersama keluarganya. Tetapi kedatangan mereka terlambat. Dua hari setelah terjadi pembantaian di rumah keluarga Jenderal Giok Hu. Mereka hanya menyaksikan para pendekar yang datang terlambat juga ketempat itu, menangisi mayat-mayat malang melintang digedung istana Jenderal Giok Hu.

Beberapa orang pendekar gagah membawa mayat Jenderal Giok Hu, untuk mempersatukan kembali kepala dengan tubuh dan kemudian dikubur disuatu tempat yang dirahasiakan.

Kedatangan para pendekar gagah dan Sepasang Tabib Hutan terlambat, karena orang orang Kaisar Yong Ceng pun sudah mendengar tentang bergeraknya banyak para pendekar gagah yang ingin membantui Jenderal Giok Hu.

Kalau Hal itu terjadi, tentu orang-orang Kaisar menghadapi kesulitan tidak kecil. Mereka mempecepat perjalanan dan empat hari lebih cepat mendahului dari rencana sebelumnya. Karenanya waktu itu keluarga Jenderal Giok Hu dibantai tanpa kesulitan apa-apa. Disamping Jenderal Giok Hu tinggal di Istananya tanpa memiliki banyak pengawal Sebab seluruh pasukan ditempatkan di Markas Besar dan diperbatasan. Hukuman yang dijatuhi Kaisar Yong Ceng pun sangat cepat pelaksanaannya, sehingga orang yang setia kepada Jenderal Giok Hi belum lagi sempat datang untuk menyelamatkan Jenderal yang setia tersebut.

Celakanya, Jenderal Giok Hu pun tidak bermaksud untuk mengadakan perlawanan, ia tidak mau disebut sebagai Jenderal pemberontak, la menerima hukuman yang dijatuh Kaisar Yong Ceng dengan cara bunuh diri memotong lehernya sendiri sampai putus. Kematian yang sangat mengenaskan.

Bukan main kecewanya Sepasang Tabib Hutan atas keterlambatan mereka tiba di Istana Jendral Giok Hu. Mereka yakin, jika waktu itu mereka berada digedung Jenderal Giok Hu, niscaya bisa menyelamatkan Jenderal setia itu maupun keluarganya.

Dalam keadaaan bersedih dan uring-uringan seperti itu, justeru Sepasang Tabib Hutan bertemu dengan Khang Thiam Lu yang dalam keadaan terluka di dalam yang parah. Tung Yang menolong Thiam Lu dengan memberikan obat serta menghantam punggungnya, guna membuka beberapa jalan darah di tubuhnya tidak berbahaya lagi. Mereka kemudian pergi. Sedikitpun mereka tidak menyangka bahwa bocah yang bersama Thiam Lu adalah keturunan satu-satunva Jenderal Giok Hu yang masih hidup.



Kalau mereka mengetahui tentu disaat itu juga mereka rawat. Sampai akhirnya mereka mendengar tentang sepak terjang Bwee Sim Mo Lie, tetap tidak memperlihatkan diri pada iblis ganas itu. Hanya mengikuti rombongan Thiam Lu secara diam-diam dan memberikan perlindungan.

Sebetulnya. sudah beberapa kali Bwee Sim Mo Lie ingin mencelakai Khang Thiam Lu bertiga Lam Sie dan Giok Han. sebab selama belum membunuh ketiga orang itu, seialu juga Bwee Sim Mo Lie masih penasaran. Dia ingin membunuh secara diam-diam, untuk membuktikan walaupun bagaimana dia merupakan pembunuh nomor satu di dunia.

Biarpun di mulut sudah berjanji pada Giok Han, untuk melepaskan ketiga orang itu dari kematian, tapi hatinya tetap tidak puas. Dia berusaha untuk membunuh Thiam Lu bertiga secara diam-diam dengan jarum beracunnya.

Cuma saja. Sepasang Tabib Hutan selalu bisa menggagalkan usaha Bwee Sim Mo Lie, dengan cara memberikan pertolongan secara diam-diam. Akhirnya sampailah Thiam Lu bertiga di rumah keluarga Yang, barulah Sepasang Tabib Hutan mengetahui bahwa bocah yang bersama Thiam Lu adalah Giok Han.

Waktu itu mereka sebetulnya ingin segera memperlihatkan diri, tapi akhirnya menunda keinginan tersebut, sebab mereka mengetahui Bwee Sim Mo Lie tengah berkeliaran di sekitar rumah keluarga Yang, ingin menceIakai keluarga Yang, juga Thiam Lu Lam Sie dan Giok Han.

Sebab itulah Sepasang Tabib Hutan itu tetap tidak memperlihatkan diri. Sampai akhirnya di saat Yang Lan mengalami ancaman bahaya, mereka muncul memperlihatkan diri. Tidak ada jalan lain, karena mereka melihat Giok Han pun sudah terluka oleh tangan ganas Bwee Sim Mo Lie.

Maunya Tung Im. jika tidak perlu mereka tidak usah memperlihatkan diri. Mereka boleh memberikan perto'ongan secara diam-diam: Siapa tahu, Giok Han pun dicelakai oleh Bwee Sim Mo Lie dan mereka tidak ke buru untuk muncul menolonginya, sebab bersembunyi agak jauh. Dan itulah sebabnya sepasang suami isteri ini akhirnya harus memperlihatkan diri juga.

Sekarang justeru mereka memperoleh kenyataan Giok Han terluka cukup parah, jika tidak memperoleh pengobatan yang tepat niscaya bisa merugikan masa depan Giok Han. Sebagai Sepasang Tabib yang sangat liehay dalam ilmu pengobatannya, tentu saja Sepasang Tabib Hutan tersebut mengetahui benar, bahwa luka Giok Han bisa saja disembuhkan dalam waktu singkat, hanya di bagian luar belaka.

Sedangkan bagian dalamnya rusak. Dan kelak jika sudah dewasa tentu bocah itu akan mengalami kesulitan untuk mempergunakan Lwekangnya. Karena Tung Yang maupun Tung Im mengetahui Giok Han harus disembuhkan dalam arti yang sebenar-benarnya sembuh, agar tidak menimbulkan kesulitan lagi buat anak itu kalau sudah dewasa.

Penyembuhan yang utama adalah melenyapkan hawa beracun yang sudah meresap ke dalam tulang pundak Giok Han yang patah. Kalau hanya untuk sekedar menyambung tulang pundak si bocah, itu bukan pekerjaan yang sulit. Sekarang justeru yang sulit, harus memulihkan kembali seluruh urat dan otot di pundak itu, agar tidak ada sedikitpun sisa hawa racun tangan maut Bwee Sim Mo Lie.

Hari itu di rumah tempat mereka menumpang sangat sepi, tidak terlihat seorang manusiapun juga. Keempat orang pendeta itupun tidak terlihat mata hidungnya. Beberapa kali Tung Yang keluar dari kamar, tetap saja ia belum melihat keempat pendeta itu kembali.

Mendekati sore, Tung Yang dan Tung lm yang tengah menguruti lagi sekujur tubuh Giok Han, agar hawa racun di tubuh bocah itu keluar semuanya, mendengar suara ribut-ribut di luar kamar. Kemudian sunyi lagi. Selesai melakukan pengurutan, Tung Yang keluar.

Dilihatnya keempat orang pendeta itu sudah kembali, tapi keadaan mereka sangat luar biasa, keempat orang Hwesio itu semuanya menderita luka-luka disekujur tubuh, keadaannya sangat mengenaskan sekali, jubah kependetaan merekapun koyak-koyak.

Darah yang menodai pakaian tampak dipunggung, lengan, muka dan bagian tubuh lainnya, keadaan keempat Hwesio itu sangat menyedihkan.

Tung Yang melihat keadaan keempat orang Hwesio itu, jadi berdiri tertegun sejenak, kemudian kembali ke dalam kamar. Sedangkan keempat pendeta itu hanya melirik sekilas pada Tung Yang dan mereka berdiam diri. Muka mereka murung. Rupanya mereka sudah dirubuhkan oleh lawan dengan cara menyedihkan sekali. Tidak ada seorang pun di antara keempat pendeta itu yang bersuara. Semuanya bungkam.

Tung Im kaget waktu diberitahukan Tung Yang tentang keadaan keempat orang Hwesio itu.

"Apa yang sudah terjadi pada mereka?" Menggumam Tung Im.

Tung Yang nyengir.

"Sudah jelas mereka kena dirubuhkan oleh lawan dengan menyedihkan." kata Tung Yang. "Entah siapa lawannya, tampaknya ilmu pedangrya tak boleh dipandang remeh Walaupun keempat orang Hwesio itu merupakan pendeta-pendeta yang belum tinggi Lwekangnya, dan hanya terbawa oleh emosi disebabkan usia muda, tapi mereka adalah murid-murid Siauw Lim Sie yang tidak boleh terlalu diremehkan ilmunya. Kalau memang mereka tidak ketemu lawan yang benar-benar liehay, tentu berempat keadaan mereka tidak rusak seperti itu."

Tung Im mengangguk. "Ya, seharusnya mereka sedikitnya masih bisa mempertahankan diri. Ilmu silat pedang Siauw Lim Sie memiliki pertahanan yang kuat dan ketat, tidak mungkin sembarangan orang bisa merubuhkan mereka berempat dengan keadaan menyedihkan seperti itu."

Waktu Tung Yang mau berkata-kata lagi tiba-tiba terdengar salah seorang dari keempat pendeta itu berkata: "Benar-benar memalukan hari ini kita dirubuhkan dengan cara yang menyedihkan seperti ini ! Entah apa kata suhu jika kita laporkan semua ini!"

"Sudahlah Toa-suheng, walaupun bagaimana kita harus melaporkan kepada Suhu. Tidak mungkin kita menghadapi mereka, kepandiannya memang jauh diatas kita. Bukankah merekapun mengatakan, jika tidak memandang kita dari tingkatan muda, mereka akan membinasakan kita? Kalau melihat ilmu pedang mereka, memang ancaman mereka bukan main-main dan bisa saja mereka membuktikan untuk membinasakan kita. Buktinya, setiap disebut bagian mana anggota tubuh kita akan dilukainya, meka bagian tersebutlah yang terluka, walaupun kita sudah berjaga-jaga dengan rapat."

"Tetapi bagaimana dengan barang kita?" tanya pendeta lainnya.

"Kita serahkan saja pada Suhu untuk meminta dari mereka !"

"Tetapi pamor kita sudah runtuh ditangan mereka, dua orang manusia aneh itu!"

"Ya, kita tidak perlu mati, Toa-suheng. Memang manusia aneh itu memiliki kepandaian yang sangat tinggi, yang mungkin setingkat dengan guru kita. Kalau kita rubuh di tangan mereka, kita tidak perlu menyesal."

"Bagaimana kalau mereka menghilang tanpa meninggalkan jejak di saat kita pergi memberikan laporan pada suhu ?"

"Kita atur begini saja, dua dari kita pergi melapor pada Suhu, dua lainnya tetap mengawasi mereka."

"Hai, hai," terdengar Toa-suheng menghela napas dalam-dalam. "Siapa sangka urusan ini meluas semakin ruwet, kalau Suhu yang menemui mereka dan sampai Suhu rubuh di tangan mereka, bukankah pamor Siauw Lim Sie runtuh di tangan kita?"

"Mana mungkin Suhu rubuh di tangan mereka? Bukankah Suhu sangat liehay dan jangankan mereka, sedangkan kalau sekarang berkumpul beberapa orang aneh lainnya yang membantu mereka, Suhu mungkin masih bisa menghadapi dengan baik."

"Sam-te, urusan ini sebetulnya urusan kecil, di mana Suhu pernah bilang, jika kita bisa meminta secara baik-baik, memang ada baiknya kita tidak perlu mempergunakan kekerasan, Suhu bilang, dengan memandang Siauw Lim Si., mungkin mereka mau mengembalikan barang-barang kita. Tetapi kenyataannya, kita tidak memberi muka terang, mereka malah mengejek, di katakannya Siauw Lim Sie pintu perguruan apa dan apa harganya disebut-sebut di depan mereka ? Diwaktu itu aku tidak bisa menahan diri dan mulai membuka serangan, karenanya Kita akhirnya mengalami kejadian menyedihkan dan memalukan ini, di mana kita dirubuhkan dengan mudah oleh mereka.

Jika hal itu diketahui oleh Suhu, apakah Suhu bisa menahan diri untuk bicara baik-baik dengan mereka? Jika sampai terjadi pertempuran dan suhu dirubuhkan mereka, inilah repot. Berarti urusan akan meluas. Kalau tetua-tetua kita harus turun gunung mengurus persoalan mi, bukankah Siau Lim Sie akan kehilangan muka ?!"

Sejenak keadaan jadi hening, tidak terdengar suara ke empat orang pendeta itu. Tampaknya mereka sedang bingung.

Tung Yang berdua Tung Im pun merasa heran. Entah urusan apakah yang tengah di-hadapi keempat orang pendeta Siauw Lim Sie itu ? Barang apakah yang ingin mereka minta? Siapakan MEREKA yang dimaksudkan oleh keempat orang pendeta Siauw Lim Sie itu. yang tampaknya memiliki kepandaian sangat tinggi dan ilmu pedang yang tidak bisa diremehkan? Lalu siapa guru keempat murid Siauw Lim Sie itu ?

Karena semua pertanyaan itu tidak bisa terjawab, dasar memang Tung Yang memiliki tabiat selalu ingin tahu urusan orang lain, jadi merasakan hatinya gatal. Semakin lama hatinya semakin terkitik oleh keinginan buat mengetahui persoalan yang sebenarnya. Dia nyengir kepada isterinya, bilangnya: "Aku akan keluar buat menanyai umsan apakah yang sedang mereka hadapi. Mereka murid-murid Siauw Lim Sie, tampaknya urusan mereka adalah urusan yang benar, Tidak ada salahnya kalau kita membantu mereka, jika memang diperlukan."

"Hai, hai," menghela napas Tung Im. "Kembali kumat sifat usilmu !"

Tetapi Tung Yang cuma nyengir dan isterinya tidak menahannya waktu dia keluar dari kamar.

Keempat pendeta itu berpaling mengawasi Tung Yang, tidak ada yang menyapanya, Tung Yang menghampirinya sambil tertawa. "Aduh, aduh, mengapa keadaan Siewie Taysu seperti itu ?", tanya Tung Yang "Kebetulan aku memiliki obat luka, kalau kalian tidak keberatan menerimanya, mau aku berikan buat kalian !"

Sambil berkata begitu Tung Yang mengeluarkan empat butir Yo wan berwarna coklat tua dan menyerahkan kepada keempat pendeta itu. Keempat pendeta tersebut ragu-ragu menerima Yo-wan itu, mengawasinya sejenak, kemudian si Hwe-shio yang jadi Toa-suheng bertanya pada Tung Yang : "Lojinke, siapakah Lojinke sebenarnya ?"

"Aku si orang tua perantauan yang tidak punya tempat tetap," menjawab Tung Yang "Silahkan Siewie Taysu makan obatku, jangan kuatir, obat itu bukan racun, pasti bisa menyembuhkan luka-luka Taysu sekalian, kebetulan memang aku si tua mengerti sedikit-sedikit ilmu pengobatan."

Keempat orang pendeta itu berdiam bimbang, sampai si Toa-suheng memecahkan pembungkus Yo-wan dan menciumnya. Dia merasakan harum semerbak dari Yo-wan tersebut, menunjukkan bahwa itulah obat yang sangat baik sekali, karena memancarkan harumnya Cengsom dan kolesom. Juga ia mencium beberapa bau obat-obat lainnya yang diramu dalam Yo-wan tersebut.

Akhirnya ia menelan Yo-wan tersebut, ketiga orang hweshio lainnya mengikuti perbuatan Toa-suheng nya. Mereka pun menelan Yo-wan di tangan masing-masing. Segera mereka merasakan semangat mereka pulih, jauh lebih segar dan sebelumnya.

Si Toa-suheng merangkapkan kedua tangannya, katanya: "Pin-ceng Kam Siang Cie mengucapkan syukur dan terima kasin pada Lojinke. Tampaknya Lojinke sedang menghadapi kesulitan dengan anak Lojinke yang kabarnya menderita demam. Apakah sekarang anak Lojinke sudah sembuh ?"

Tung Yang nyengir. "Sudah, sudah sembuh," katanya. "Sekarang keadaannya jauh lebih baik. Tetapi justeru aku si tua jadi heran melihat Taysu berempat mengalami keadaan seperti itu. Siapakah penjahat yang telah menganiaya kalian berempat?"

Kam Siang Cie menghela napas dengan wajah murung, katanya kemudian: "sebetulnya sungguh memalukan sekali. Kami kebetulan bertemu dengan lawan yang sangat tangguh, kami berempat rubuh ditangan mereka. Walaupun Pinceng bersama tiga Sute Pinccng berusaha mengadakan perlawanan, tetap saja nihil. Kedua ojang musuh kami itu benar-benar tangguh. Mereka. bernama Thian Tee Jie Kui (Dua Iblis Bumi Langit)"



Muka Tung Yang berobah, dia berseru kaget. "Apa ?", tanyanya. "Thian Tee Jie Kui berada disini ?"

Melihat sikap Tung Yang, keempat pendeta itu memandang heran dan bercuriga. Memang Kam Siang Cie sejak pertama kali melihat Tung Yang dan Tung Im, ia sudah bercuriga bahwa kedua orang tua itu bukanlah orang biasa. Sekarang mendengar tentang Thian Tee Jie Kui muka Tung Yang berobah, walaupun sejenak saja, itu sudah cukup menambah kecurigaan Kam Siang Cie dan ketiga orang adik seperguruannya. Mereka jadi semakin berwaspada.

"Benar," menyahuti Kam Siang Cie. "Thian Tee Jie Kui yang telah "melukai kami, Apakah Lojinke kenal dengan mereka?"

"Tung Yang sudah bersikap biasa, dia nyengir sambil garuk-garuk kepalanya.

"Tidak. tidak hanya sering dengar tentang mereka," katanya. "Kabarnya Thian Tee Jie Kui sangat hebat ilmunya, jarang yang bisa menandingi mereka."

Dimulut dia berkata begitu, dihatinya Tung Yang justeru berpikir! "Aneh, keempat keledai gundul ini tidak tahu selatan, mereka berani bermusuhan dengan Thian Tee Jie Kui? Mana mereka bisa layani kedua iblis Bumi Langit itu ? Seratus pendeta seperti mereka sekalipun tidak mungkin bisa melayani Thian Tee Jie Kui "

"KaIau begitu Lojinke banyak mendengar tentang kalangan Kangouw dan tentunya Lojinke sendiripun orang Kangouw," kata Kam Siang Cie.

Tung Yang nyengir lagi.

"Ya, ada beberapa orang Kangou-w yang jadi sahabatku, dari merekalah aku mendengar kisah-kisah tentang Kangouw," menyahuti Tung Yang. "Oya, barang apa yang sebetulnya Taysu berempat ingin ambil dari Thian Tee Jie Kui?"

Kam Siang Cie bersama tiga orang saudara seperguruannya bimbang, mereka saling mengawasi. Tetapi akhirnya Kam Siang Cie memutuskan untuk menceritakan apa yang tengah mereka lakukan dan telah dialami oleh mereka, karena mengingat budi kebaikan Tung Yang yang sudah memberikan obat luka kepada mereka. Tampaknya Tung Yang pun bukan sebangsa manusia tidak baik.

"Sebetulnya kami malu buat menceritakannya," bercerita Kam Siang Cie akhirnya. "Sebulan yang lalu dua orang Sute Pinceng melakukan perjalanan turun gunung untuk mengawal barang yang akan dikirim ke Bu Tong Pay..."

"Aneh !" Mcmotong Tung Yang tiba-tiba. "Bukankah selama ini Siauw Lim Sie memiliki peraturan yang keras, bahwa murid-muridnya dilarang untuk jadi piauwsu (pengawal barang kiriman) maupun membantu pekerjaan Piauw-kiok? Apa yang didengar olehku situa, jika ada murid Siauw Lim Si yang melanggar larangan tersebut akan menerima hukuman sangat berat dari pintu perguruan ? Juga yang aneh, justeru seperti Tay-su. tidak memakai gelaran seperti pendeta-pendeta Siauw Lim Sie lainnya, Taysu hanya memakai tiga huruf nama, yaitu Kam Siang Cie...!"

Kam Siang Cie menghela napas, lesu sekali sikapnya. "Tentang gelaran memang kami belum berhak memakainya, karena kami adalah murid Siauw Lim Sie tingkat kesembilan. Murid-murid Siauw Lim Sie yang sudah mencapai tingkat empat, barulah mempergunakan gelaran dengan resmi."

"Jadi pendeta-pendeta Siauw Lim Sie dari tingkat kelima kebawah belum boleh memakai gelaran?" Tanya Tung Yang tambah heran.

"Ya. memang peraturannya begitu. Tetapi biaranya murid-murid dari piniu perguruan kami sudah mempersiapkan gelaran untuk dirinya, yang dipergunakannya jika turun gunung. Ialu bagi murid-murid yang tidak mematuhi peraturan pintu perguruan. Kami kira melanggar peraturan seperti itu tidak baik buat kami, mengapa kami harus memaksakan diri memakai gelaran kependetaan, sedangkan kedudukan kami memang belum sampai pada tingkat yang telah ditetapkan? semua peraturan tersebut untuk mencegah murid-murid yang belum mencapai tingkat empat melarikan diri turun gunung, karena merasa kepandaiannya sudah cukup. Biasanya murid dari pintu perguruan kami yang sudah mencapai tingkat keempat, barulah menyadari, betapapun juga mereka harus lebih menyempurnakan kepandaiannya. Kesadaran mereka Iebih penuh dan baik dari murid-murid tingkat lima, keenam atau ketujuh dan seterusnya. Banyak orang yang sengaja datang ke Siauw Lim Sie kami untuk mempelajari ilmu silat kami, hanya untuk memiliki ilmu silat dan setelah merasa cukup dengan ilmu siiat yang mereka peroleh, akan turun gunung dengan cara melarikan diri. Mereka tidak mau menjadi pendeta seumur hidupnya.

Sebab itu, buat apa mereka mempergunakan gelaran dulu, jika pada akhirnya tokh mereka melarikan diri ? Bukankah jika terjadi persoalan seperti itu, murid yang melarikan diri itu sudah bisa mempergunakan namanya terus dan tidak usah jadi pendeta, juga tidak mempersulit pintu perguruan kami"

Tung Yang mengangguk-angguk baru mengerti.

"Ooo, kiranya begitu..." katanya.

"Tentang peraturan yang menyatakan murid Siauw Lim Sie dilarang ikut mencampuri urusan piauwkiok, memang Lojinke tidak salah. Ada peraturan seperti itu, jika ada murid Siauw Lim Sie dari tingkat keberapa saja, yang diketahui jelas membantu kegiatan Piauwkiok, maka akan dijatuhi hukuman yang berat. Selama sepuluh tahun harus duduk bersemedhi menghadapi tembok, untuk menebus dosa mereka.

Tetapi kedua Sute Pinceng yang turun guaung justeru tidak ada urusan dengan pihak Piauwkiok. Mereka malah menerima tugas dari guru kami untuk membawa sesuatu barang, yang akan diberikan kepada pihak Bu Tong Pay, kepada Ciangbunjin pintu perguruan tersebut, karena barang itu sangat penting sekali dimana mencegah timbulnya salah paham diantara Siauw Lim Pay dan Bu Tong Pay.



Barang itu bisa membuktikan bahwa pihak Siauw Lim Sie tidak bersalah terhadap pembunuhan masal belasan orang murid Bu Tong Pay dikota Bian Sang. Tetapi sayang, justeru dalam perjalanan kedua Sute Pinceng telah di lukai oleh Thian Tee Jie Kui, tetapi kami gagal untuk merampas kembali barang itu dari tangan Thian Tee Jie Kui, dia benar-benar manusia-manusia aneh berkepandaian sangat lihay." Setelah berkata begitu, Kam Siang Cie menghela napas dalam-dalam, mukanya murung.

"Barang apa yang Taysu maksudkan sebagai barang bukti itu ?", tanya Tung Yang semakin ketarik. "Bolehkah aku situa mengetahuinya ?"

Sepasang alis Kam Siang Cie mengkerut, menunjukkan keraguan. Kemudian baru dia memberitahukan. "Dua pucuk surat, didalam surat itu dijelaskan siapa pembunuh belasan murid Bu Tong Pay ! Kalau surat itu tidak sampai ketangan ciangbunjin Bu Tong Pay, niscaya akan menimbulkan salah paham besar, akhirnya melahirkan bentrokan keras antara Siauw Lim Sie dengan Bu Tong Pay, sebab baru-baru ini justeru banyak orang-orang Kangouw menuduh pelaku pembunuhan masal terhadap murid-murid Bu Tong Pay adalah pihak Siauw Lim Pay!

Celakanya lagi, justeru pada setiap korban terdapat tanda lima jari tangan, yang ada didada masing-masing, tanda bekas pukulan Sin Wan Kun Hoat, salah satu ilmu pukulan Siauw Lim kami, ltulah sebabnya banyak yang menduga bahwa pembunuh murid-murid Bu Tong Pay dilakukan oleh orang Siauw Lim.

Kami selama sebulan lebih melakukan penyelidikan dan berhasil menemukan dua pucuk surat sebagai tanda bukti bahwa pelakunya bukan orang Siauw Lim, kami ingin mencuci bersih nama baik pintu perguruan kami, karenanya guru kami perintahkan dua orang Sute Pinceng, yaitu Liok Sute dan Ngo Sute untuk mengantarkan barang bukti itu kepada Ciangbunjin Bu Tong Pay, agar selanjutnya kami dua pintu perguruan bisa bersama-sama melakukan penyelidikan siapakah pembunuh kejam yang sebenarnya.

Namun, siapa sangka muncul Thian Tee Jie Kie, yang merampas barang bukti itu. Kedua adik seperguruan Pinceng pulang dalam keadaan luka parah, sebetulnya Suhu sudah tak sabar lagi dan ingin menemui Thian Tee Jie Kui, hanya saja setelah dipertimbangkan Suhu perintahkan kami berempat untuk meminta pulang barang bukti itu, sebab kalau Suhu yang menemui Thian Tee Jie Kui sulit menghindarkan pertempuran lagi. Rupanya memang Thian Tee Jie Kui mencari-cari urusan dengan pihak kami, ia malah menghina dan melukai kami."

Tung Yang mengangguk, ia mulai mengerti duduk persoalannya. Di dalam hatinya Tung Yang berpikir: "Ya, memang tampaknya Thian Tee Jie Kui mencari-cari urusan dengan pihak Siauw Lim. la sengaja melukai dua adik seperguruan pendeta ini, tidak dibunuhnya. Padahal jika Thian Tee Jie Kui mau, dia bisa melakukannya dengan mudah. Demikian juga terhadap keempat pendeta ini.

Tampaknya persoalan bukan urusan enteng, di balik semua ini pasti tersembunyi urusan yang cukup ruwet. Kalau sampai Siauw Lim dengan Bu Tong bentrok, inilah hebat."

Kam Siang Cie menghela napas, katanya lagi dengan lesu: "Kami telah dirubuhkan, pamor kami sudah runtuh, kami bermaksud pulang, terima kasih atas hadiah obat Lojinke."

"Tunggu dulu," kata Tung Yang. "Sekarang Thian Tee Jie Kui berada di mana ?"

Kam Siang Cie tidak segera menyahuti, ia mengawasi, Tung Yang sejenak, baru kemudian katanya : "Mereka berdiam di lamping bukit Kie-sung, tidak terlalu jauh dari sini !"

"Mari kita pergi menemui mereka !" ujar Tung Yang sambil berdiri.

Kam Siang Cie berjingkrak karena kaget demikian juga tiga orang aiik seperguruannya.

"Lojinke...?" Suara Kam Siang Cie tidak lancar.

Tung Yang nyengir. "jangan kuatir, kalian tidak akan celaka di tangan mereka. Aku punya cara untuk meminta surat-surat penting kalian dari tangan mereka."

Sekarang Kam Siang Cie berempat semakin yakin bahwa orang tua di depan mereka ini bukanlah orang sembarangan. Tapi mereka bimbang, apakah orang tua ini bisa menghadapi Thian Tee Jie Kui ? Apa yang bisa dilakukan Tung Yang? Cara apa yang katanya bisa dipergunakan untuk meminta surat-surat penting dari kedua iblis itu ?

Melihat Kam Siang Cie berempat mengawasi ragu-ragu padanya, Tung Yang nyengir lagi, katanya: "Jangan kuatir, kujamin tidak akan terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan pada kalian. Tunggu, aku ingin beritahu kan dulu pada isteriku..."

"Locianpwe," tiba-tiba Kam Siang Cie merangkapkan kedua tangannya, "Bolehkah kami mengetahui siapa Locianpwee sesungguhnya ?"

"Nanti juga kalian mengetahui," menyahuti Tung Yang, kemudian kembali ke dalam kamar.

"Nah, kumat lagi kebiasaan burukmu, selalu usil mencampuri urusan orang lain !" Belum lagi Tung Yang sempat memberitahukan pada Tung Im, isterinya sudah menyambutnya dengan kata-kata seperti itu, sebab Tung Im mendengar semua percakapan Tung Yang dengan keempat pendeta Siauw Lim.

"Terpaksa, kebetulan Thian Tee Jie Kui berada di sini, siapa tahu urusanku yang dulu belum diselesaikan dengan mereka bisa diselesaikan sekarang ? Kau jaga Giok Han, aku akan menemani keempat pendeta itu!"

Tung Im tertawa. "Baiklah, percuma saja aku menahan-nahan kau tua bangka, kau manusia yang tidak bisa dicegah, selalu maunya sendiri. Pergilah, tapi jangan lama-lama jika Hanjie sudah sadar, tentu membutuhkan pengobatan yang lebih cermat lagi"

Tung Yang keluar menghampiri keempat pendeta. la bilang: "Nanti Siewie Taysu yang menghadapi pule sepasang iblis itu. jangan takut, aku nanti memberikan cara yang terbaik untuk menghadapi mereka, inilah jurus-juius yang perlu kalian pergunakan, niscaya Thian Tee Jie Kui tidak bisa mencelakai kalian !"



Sambil berkata begitu, Tung Yang memperlihatkan gerakan-gerakan yang terdiri dari beberapa jurus. Sederhana dan mudah untuk ditangkap dan dipahami oleh keempat pendeta tersebut. Menyaksikan jurus-jurus yang diberitahukan oleh Tung Yang, keempat pendeta itu jadi kaget dan kagum.

Mereka baru menyadari bahwa Tung Yang memang benar-benar seorang jago tua yang memiliki kepandaian tinggi. Jurus-jurus yang diajarkan oleh Tung Yang memang cara yang paling baik untuk menghadapi serangan yang bagaimanapun dari lawan.

Sederhana sekali jurus itu, cuma terdiri dari empat gerakan, akan tetapi dengan empat gerakan yang diulang-ulang terus, musuh yang bagaimana tangguhpun tidak bisa menerobos pembelaan diri tersebut.

Tung Yang menyuruh keempat pendeta itu mempraktekkannya, dan memberitahukan kekeliruan-kekeliruan yang mereka lakukan. Jurus yang diajarkan Tung Yang sebetulnya mirip dengan jurus "Sie Kuan Cap Peh Lo Han", hanya saja terdapat perbedaan sedikit pada bagian pembukaan serta penutupnya. Jauh lebih ketat. Kam Siang Cie berempat jadi kagum bukan main, kini mereka menghormati benar orang tua itu.

"Mari kita berangkat," ajak Tung Yang setelah melihat keempat pendeta tersebut berhasil menguasai gerakan dari jurus yang diajarkannya. Walaupun ragu-ragu, keempat pendeta itu mengangguk. Diam-diam mereka girang, karena mereka percaya orang tua ini yang tampaknya sangat liehay, bisa jadi tuan penolong. Mereka telah runtuh di tangan Thian Tee Jie Kui, kalau sekarang bisa merebut dua pucuk surat penting dari tangan si iblis atas pertolongan orang tua ini, bukankah mereka tidak perlu terlalu kecewa ? Yang membuat mereka ragu-ragu ialah, kalau orang tua ini rubuh di tangan Thian Tee Jie Kui. bukankah mereka berempatpun akan dianiaya oleh kedua iblis itu ?

Sebab sebelum melepaskan keempat pendeta yang sudah dilukai itu, Thian Tee Jie Kui sempat biiang: "Jika, kalian berempat kembali kemari, waktu itu kami tidak akan bermurah hati seperti sekarang, jantung kalian satu persatu akan kami keluarkan untuk dipanggang... Tapi keempat pendeta itu nekad.

Dengan berlari-lari mereka pergi ke lamping bukit Kie-sung, tidak terlalu jauh, sebab mereka cepat sudah tiba di sana, keadaan di sekitar tempat itu sepi, tidak terlihat seorang manusiapun juga. Lamping bukit tersebut berada di lembah Sui-kok, pohon-pohon tumbuh liar.

Kam Siang Cie menunjuk pada lamping bukit di sebelah kanan. "Mereka berdiam di goa yang terdapat di bukit itu!"

", katanya.

"Ayo kalian berempat menyerbu lagi, nanti kalau Taysu berempat gagal menghadapi mereka, barulah aku turun tangan!"

Kam Siang Cie menarik napas dalam-dalam, untuk menindih keraguan. la menoleh kepada ketiga orang adik seperguruannya, mengangguk memberi isyarat. Dengan ringan mereka melompati sebungkah batu besar, melompati lagi beberapa potong batu tibalah mereka di depan goa, di tempat mana menurut Kam Siang Cie berdiam Thian Tee Jie Kui.

Baru saja Kam Siang Cie berempat menancapkan kaki di tanah depan goa yang gelap sudah terdengar suara yang mengaung bengis : "Kalian benar-benar mau mampus, kerbau-kerbau dungu ! Bukannya pulang ke kandangmu di Siauw Lim, malah masih berkeliaran di sini ! Siapa yang kalian bawa-bawa kemari ?"

Kaget juga Tung Yang, benar-benar hebat pendengaran Thian Tee Jie Kui. Dengan hanya mendengar saja, dari jarak yang cukup jauh seperti itu, ia sudah mengetahui Kam Siang Cie bukan datang berempat saja. Segera Tung Yang tertawa terbahak-bahak.

"Aku Tung Yang yang ingin menyelesaikan persoalan kita, Thian Tee Jie Kui ! kebetulan tadi aku bertemu dengan keempat Taysu itu, kusuruh mereka mengantarkan aku kemari." Suara Tung Yang pun mengaung karena ia tidak mau kalah, menggunakan Lwekangnya waktu berkata-kata, seperti juga suara Tung Yang menggetarkan bukit tersebut dan sekitarnya.

Ooh, oooh. kiranya si tabib siluman yang datang !" Terdengar suara mengejek dari dalam goa, suara wanita. "Mana gundikmu. tabib siluman ?"

"Hehehe. gundikku sedang kelelahan, ia minta aku sendiri yang menyelesaikan persoalan kita yang sudah tertunda puluhan tahun !"

"Hu ! Hu ! Sialan ! Kau datang sendiri, berarti aku hilang kegembiraan. Paling tidak hanya suamiku yang melayani kau!"

"

"Kalian maju bersama juga aku tidak ke beratan, kita akan main-main dengan gembira !" Manyahuti Tung Yang, sambil melesat mendekati goa itu.

"Hei kerbau-kerbau Siauw Lim," terdengar suara mengaung tadi, suara laki-laki, disusul dari dalam goa muncul sesosok tubuh, seorang tua yang berjenggot panjang dan mengenakan jubah hijau. Orang itu benar-benar kate tingginya belum cukup tiga kaki dan mukanya luar biasa pula.

Tapi, yang paling yang paling luar biasa adalah jenggotnya yang berukuran lebih panjang dari pada badannya, sehingga terseret-seret di tanah. Bagian pinggang dari jubahnya yang berwarna hijau tua, diikat dengan tali rumput yang juga berwarna hijau. Matanya mendelik menyapu pada Kam Siang Cie berempat: "Apakah kalian minta mampus baru senang? Mengapa tidak cepat-cepat menggelinding pergi ?"

Kam Siang Cie tidak buang waktu lagi, segera menubruk dengan pedang ditangan, menikam pada si Jenggot ini. Tiga orang adik seperguruannya juga membarengi dengan tikaman mereka.

Si Jenggot salah seorang dari Thian Tee Jie Kui, berlaku bengis satu kali ia sudah didesak, ia tidak mau membiarkan. Dengan beruntun ia mempergunakan "Pek Khong Ciang" atau "Pukulan udara kesong"" untuk menghajar keempat pendeta Siiuw Lim Sie. Akan tetapi hatinya tercekat, sebab tahu-tahu cara menyerang keempat pendeta tersebut berobah.



Ini tidak pernah disangka-sangka, sebab belum lama yang lalu masih mudah untuk merubuhkan keempat pendeta itu. Tapi seketika si Jenggot tersadar. "Hat. ini tentu kau tabib siluman yang main gila!" Segera tangannya meraba pinggangnya, berkelebat sinar menyilaukan, di tangan si Jenggot sudah tercekal pedang, yang waktu digerakkan mengeluarknn suara mengaung. "Sekarang aku tidak akan memberi ampun lagi pada kalian, walaupun kalian menangis dan terkencing-kencing mohon pengampunan!"

Membarengi kata-katanya. pedangnya berkelebat. Terdengar suara benturan antara benda logam yang terjadi beruntun, yang luar biasa empat batang pedang Kam Siang Cie berempat jadi buntung !

Tung Yang mengawasi dengan hati menyesal. Dia mengajari Kam Siang Cie berempat jurus yang bisa dipergunakan membela diri dengan rapat. Tapi tampaknya Kam Siang Cie gagal untuk memanfaatkan jurus yang diajarkannya itu. Di samping Lwekangnya yang masih kalah jauh dengan si Jenggot, keempat pendeta itupun main buka serangan, itulah kesalahan terbesar, kalau saja Kam Siang Cie berempat mau hanya bela diri belum tentu mereka dapat dirubuhkan begitu cepat.

Namun Tung Yang tidak bisa berdiam diri terlalu lama, keempat pendeta Siauw Lim Sie itu terancam keselamatannya. la segera melompat kedepan. Waktu itu pedang si Jenggot mengaung berkelebatan menikam Kam Siang Cie. dikibas oleh ujung lengan baju Tung Yang, sehingga pedang saling bentur dengan ujung lengan baju Tung Yang.

Pedang terhentak, kesempatan itu dipergunakan oleh Kam Siang Cie melompat mundur, mukanya pucat pias, karena ia baru saja lolos dari kematian. Tiga orang adik seperguruannya pun melompat mundur.

Si Jenggot menarik pulang pedangnya, tertawa dengan muka bengis.

"Aku tidak menyangka bahwa kau si tabib siluman mau bekerja untuk Siauw Lim Sie, sungguh bermimpipun tidak pernah kusangka." mengejek si Jenggot.

"Dengar dulu," kata Tung Yang. "Urusan kita tertunda dan belum terselesaikan. Sekarang kita bisa bertemu, tentu saja aku jadi tidak sabar. Persoalan kau dengan pendeta-pendeta Siauw Lim Sie boleh kalian urus nanti !"

Muka si Jenggot dalam keadaan biasa sudah menakutkan, karena seperti muka mayat. Tapi sekarang mukanya jauh lebih menakutkan. "Aku tidak nyana Sioe Bok Tiang Seng Kang begitu liehay," kata si Jenggot mengejek. "Tampaknya setelah berpisah belasan tahun, kau memperoleh kemajuan yang lumayan !"

"Eh, Jenggot!" kata Tung Yang nyengir "Sekarang kita tidak usah terlalu banyak basa-basi. Aku ingin sekali melihat berapa banyak kemajuan yang selama ini kau peroleh."

"Baiklah, mari kita mulai!", kata si jenggot. "Hanya sayang gundikmu tidak di ajak serta, sehingga isteriku harus kesepian berdiam saja di dalam goa."

"Senjata apa yang akan kau gunakan?" Tanya Tung Yang. "Coba aku lihat dulu !"

"Kau anggap pedangku ini tidak pantas dipergunakan melayanimu?" si Jenggot menegasi. "Boleh ! Lihatlah !" la berjingkrak, tahu-tahu pedangnya sudah menyambar menimbulkan suara mengaung, kearah leher Tung Yang.

Tung Yang tertawa terkekeh-kekeh, melompat mundur. Dengan sikap mengejek dia bilang: "Aduhhhh, hampir saja leherku putus !" Tangannya merogo kantong bajunya mengeluarkan sebuah gunting kecil, yang di angkat tinggi-tinggi. "Kau tahu kegunaan gunting ini?", tanyanya.

Muka si jenggot semakin menakutkan, ia rupanya meluap kemarahannya oleh ejekan Tung Yang. Gunting kecil di tangan Tung Yang adalah gunting untuk meracik daun obat-obatan, sekarang ingin dipergunakan untuk melayaninya.

Bukankah itu sama saja dengan ejekan yang tak terkira bagi si jenggot ? Dia segera mengibaskan pedangnya, Bersiap-siap untuk melompat menerjang.

"Eh, Jenggot !", kata Tung Yang, tetap mengejek. "Apakah kau tahu nama gunting mustikaku ini ?"

"Segala senjata bangsa siluman mana bisa mempunyai nama yang mulia ?!", menyahuti si Jenggot murka.

Tung Yang tertawa terbahak-bahak. "Benar kau," katanya. "Namanya memang kurang mulia. Gunting ini dinamakan Kauw Mo Cian (Gunting Bulu Anjing), karena mengetahui bahwa di tempat ini terdapat seorang manusia jadi-jadian yang berjenggot panjang, aku sudah sengaja membawa Kauw Mo Cian untuk menggunting jenggotnya!"

Kam Siang Cie bersama seorang adik seperguruannya, si Sie-te lantas saja tertawa besar karena tidak bisa menahan perasaan lucu atas ucapan dan lagak Tung Yang. Mereka seperti melupakan suasana tegang yang tadi mereka hadapi, dimana hampir saja mereka celaka di ujung pedang si Jenggot. Sedangkan Jie Suheng dan Sam-te pun turut merasakan geli di dalam hati.

Thian Tee Jie Kui mengibaskan pedangnya seraya berkata: "Memang jenggotku agak terlalu panjang. Aku akan merasa berterima kasih jika kau suka tolong mengguntingkannya. Marilah !"

Selagi sang lawan berkata-kata, Tung Yang mengawasi dinding bukit dengan mata mendelong, seperti juga ia tak mendengar perkataan orang. Tapi mendadak cepat bagaikan kilat, gunting itu menyambar jenggot Thian Tee Jiu Kui. Serangan tiba-tiba itu sama sekali tak diduga si Jenggot. Untuk berkelit sudah tak mungkin lagi, tapi sebagai ahli silat kelas satu, dalam keadaan berbahaya, secara otomatis kedua kakinya menjejak bumi dan kedua tangannya memegang gagang pedang, di mana ujung pedang menekan bumi, sehingga pada saat itu juga badannya yang kate mencelat ke atas, setombak lebih tingginya.

Tung Yang cepat, tapi Thian Tee Jee Kui yang laki2 ini lebih cepat lagi. Demikianlah, dalam segebrakan itu meraka sudah mempertunjukkan kepandaian yang mengejutkan orang.

Akan tetapi, walaupun Thian Tee Jie Kui laki-laki ini berhasil menyelamatkan diri, ia tidak berhasil seluruhnya, karena tiga lembar jenggotnya sudah kena digunting putus.



Tung Yang kelihatan gembira sekali. Sembari mengangkat tiga lembar jenggot itu dengan tangan kirinya, ia meniup keras-keras. Tiga lembar jenggot itu menyambar kearah ranting pohon yang tidak terpisah jauh darinya. Dengan mengeluarkan suara nyaring ranting pohon itu patah dan jatuh ke tanah.

Kam Siang Cie berempat kagum dan kaget melihat ilmu yang luar biasa dari orang tuayang sebelumnya tidak mereka pandang sebelah mata. Tetapi Thian Tee Jie Kui yang laki-laki ini mengetahui bahwa yang barusan mematahkan ranting bukannya tiga lembar jenggot itu, tapi tiupan itu yang disertai dengan tenaga dalam.

Karena terlalu kagum menyaksikan peristiwa itu, adik seperguruan Kam Siang Ce yang ketiga. Sam-ce menganggap bahwa ranting itu dijatuhkan dengan tenaga jenggot. "Locianpwe !" ia berteriak. "Jenggotmu benar-benar lihay ! Omi to-hud !"

Tung Yang tertawa terbahak-bahak. "Eh, Jenggot ! Mari kau !" ia menggapai. Semakin lama kegembiraan Tung Yang terbangun.

Sesudah dipermainkan beberapa kali, si Jenggot jadi mata gelap. la menyambar Tung Yang dengan pedangnya, walaupun bertubuh kate, si Jenggot ternyata mempunyai tenaga yang luar biasa. Dengan menerbitkan kesiuran angin dahsyat, pedang yang berkilauan itu, menyambar-nyambar, jika kena, sudah pasti Tung Yang akan mengalami ancaman tidak enteng.

Pada saat pedang itu tinggal terpisah setengah kaki dari dirinya, tangan kiri Tung Yang sekonyong-konyong menyambar ke bawah coba menerkam gagang pedang, sedangkan gunting ditangan kanannya lagi-lagi menyambar jenggot Thian Tee Jie Kui.

Bukan main gusarnya si Jenggot. Dengan sekaii mringkan kepala, jenggotnya terlolos dari guntingan, sedang pedangnya terus disabetkan kebawah, ketangan Tung Yang.

"Ah !" Kam Siang Cie mengeluarkan seruan tertahan dan ketiga orang adik seperguruannya pun berseru kaget. Mereka membuka mata lebar-Iebar untuk dapat melihat lebih terang, apa yang akan terjadi."

Begitu pedang menabas tangan musuh, Thian Tee Jie Kui merasakan bahwa ia seolah-olah memukul kapas. la mengenal bahaya, buru-buru ia menarik pulang senjatanya. Tapi sudah kasep ! Dengan sekali membalikkan tangan, Tung Yang sudah mencengkeram ujung pedang itu !"

Thian Tee Jie Kui kaget dan gusar. Sam-bil mengerahkan tenaga dalamnya, ia menyodokkan pedangnya. Sodokan itu hebat luar biasa dan menurut pantas Tung Yang akan tertikam atau sedikitnya terdorong oleh ujung pedang.

Tapi diluar dugaan, dengan mengerahkan sedikit tenaga, tahu- tahu tubuh Tung Yang melompat kesamping. sehingga Thian Tee Jie Kui menyodok tempat kosong. Berbareng dengan melompatnya Tung Yang, iapun terpaksa melepaskan cekalannya pada ujung pedang.

Dengan geregetan Thian Tee Jie Kui membuat sebuah lingkaran dengan pedangnya yang lalu ditikamkan ke kepaIa musuh. Kali ini Tung Yang agaknya sengaja ingin mempertontonkan ilmunya. Dia mengerahkan tenaga, tubuhnya "terbang" setombak lebih, melewati pedang yang menyambar itu. Melihat kepandaian yang begitu luar biasa, tanpa merasa Kam Siang Cie berempat bersorak sorak.

Menghadapi lawan yang begitu berat, Thian Tee Jie Kui segera mengempos semangatnya dan mengirimkan tikaman-tikaman dahsyat. la mengetahui bahwa tak gampang-gampnng bisa melukakan musuh, akan tetapi jika ia bisa mendesak musuh, ia sudah boleh dikatakan memperoleh kemenangan.

Tak dinyana, ilmu Tung Yang sungguh luar biasa. Belasan tahun mereka berpisah, ternyata kepandaian Tung Yang memperoleh kemajuan yang pesat sekali. Tangan kanannya yang mencekal gunting tak hentinya menyambar jenggot Thian Tee Jie Kui, sedang tangan kirinya selalu menggunakan setiap kesempatan untuk merebut pedang musuh, dengan ilmu Kin Na Ciu Hoat.

Dalam sekejap, mereka sudah bertempur puluhan jurus, tanpa ada yang keteter. Tapi tak usah dikatakan lagi, bahwa dalam pertandingan itu. si Jenggot tidak dipandang sebelah mata oleh Tung Yang, yang tetap hanya menggunakan gunting kecil peracik daun-daun obat sebagai senjatanya !

Sesudah lewat beberapa jurus lagi. Thian Tee Jie Kui merubah cara berkelahinya. la memutar senjatanya bagaikan titiran, sehingga tubuhnya yang kate seolah-olah dikurung dengan sinar putih. Dilain pihak, Tung Yang melompat-lompat tak hentinya, sehingga di tempat itu terdapat suatu pemandangan yang betul-betul luar biasa.

Kam Siang Cie berempat mengenal rupa-rupa ilmu silat dari berbagai partai dan cabang persilatan. Akan tetapi, sesudah beberapa lama memperhatikan ilmu pedang si Jenggot dan ilmu silat Tung Yang, belum juga mereka bisa meraba ilmu apa yang digunakan sikate.

Si Jenggot tahu bahwa Tung Yang sengaja mempermainkannya dan jika pertandingan dilangsungkan terus, ia tentu akan mendapat malu didepan mata empat orang murid Siauw Lim Sie. Maka lantas saja dia berseru: "Tabib siluman, aku ingin bicara, hentikan dulu permainan kita. Setelah bicara, nanti kita bisa main-main seribu jurus lagi!" iapun bermaksud melompat keluar dari gelanggang.

Tung Yang sudah berteriak : "Tak bisa! Tak bisa!" Berbareng dengan perkataannya, badannya melesat dari tempatnya menubruk pedang si Jenggot. Hampir pada detik itu juga, dengan berbunyi: "Tring," pedang si Jenggot sudah tersentil dan terpegang oleh tangan kiri Tung Yang yang lalu menggerakkan tangan kanannya untuk menggunting jenggot orang. Semua orang terkesiap, karena si Jenggot pasti tak bisa berkelit lagi dan jenggotnya yang begitu indah akan segera tergunung putus.

Tapi ada suatu hal yang tidak diketahui Kam Siang Cie berempat. Jenggot Thian Tee Jie Kui bukannya jenggot biasa, sebaliknya justeru "senjata" yang dapat digunakan seperti Joanpian. Demikianlah pada detik yang sangat berbahaya ia menggoyangkan kepalanya dan jenggot itu segera menggulung gunting Tung Yang, yang lalu dibetotnya.



"Hei, Jenggot!" teriak Tung Yang. "jenggotmu benar-benar lihay !" Untuk sejenak mereka berkutet. Jenggot Thian Tee Jie Kui membetot gunting, sedang tangan Tung Yang tetap menjepit pedang sikate. Untuk kesekian kalinya Tung Yang tertawa berkakakan. "Menarik, sungguh menarik !" katanya.

Sekonyong-konyong, berkelebat sesosok bayangan yang gerakannya cepat luar biasa, menghantam punggung Tung Yang.

Kam Siang Cie berempat menduga bahwa bokongan itu, yang dikirim secara mendadak, tak akan dapat dikelit lagi. Tapi, pada detik yang menentukan seperti kilat tangan Tung Yang menyanggah bawah ketiak orang itu, yang tenaga pukulannya segera dapat dipunahkan.

"Bangsat !" maki orang itu dengan suara gusar. "Mari kita adu jiwa !"

"Akur !" menyambut Tung Yang. "Kukira ini lebih menarik, untuk menyelesaikan persoalan kita !"

Ternyata orang yang membokong itu seorang wanita yang mencelat keluar dari dalam goa. Dialah Thian Tee Jie Kui yang kedua. Keadaannya juga luar biasa. Si Jenggot sudah luar biasa keadaannya, wanita ini malah lebih luar biasa lagi, Tubuhnya tinggi, lebih tinggi dari ketinggian badan wanita umumnya, kurang lebih sembilan kaki, jangkung sekali. Yang menyolok adalah rambutnya, yang seperti tumbuh hanya beberapa helai saja dikepalanya, jarang benar, mendekati gundul. Mukanya yang jelek jadi tambah jelek dengan tambutnya seperti itu. Bajunya juga berwarna hijau seperti baju si Jenggot.

Karena tadi Tung Yang memunahkan bokongan Thian Tee Jie Kui yang perempuan, si Jenggot memiliki kesempatan untuk menjauhi Tung Yang. Pedangnya diputar, sambil menikam memaksa Tung Yang melepaskan jepitannya, dan ia sudah terpisah lima tombak dari Tung Yang.

Si Jangkung sudah menghunus pedangnya. Tadi dia mengikuti jalannya pertempuran, ia memperoleh kenyataan keadaan tidak menguntungkan suaminya, maka ia muncul sambil membokong, Pedang di tangannya di kibaskan.

"Mari mulai !" katanya. "Aku ingin meliliat berapa jauh sudah kau latih ilmu anjingmu itu !"

Tung Yang tertawa terbahak-bahak. "Ya, memang kebetulan sekali, adanya kalian aku bisa berlatih untuk melihat berapa jauh ilmu yang telah kulatih memperoleh kemajuan !"

Si Jenggot menggelengkan kepala "Tidak ! Tidak adil! Nanti kalau kita menang, dia bilang kita mengandalkan jumlah banyak menindas dia ! Pergilah kau jemput gundikmu, bawa kemari ! kami akan menunggu !"

He, he, kau suruh aku jemput isteriku ? Ooo, aku tahu tentu kau sudah rindu ingin melthal betapa cantiknya isteriku, bukan?"

Muka si Jenggot jidi merah padam, tambah menakutkan saja dengan mukanya seperti mayat.

Isteri si Jenggot, si jangkung, tidak sabar lagi. Pedangnya menyambar menikam dada Tung Yang. Tapi Tung Yang tiga kali bisa menghindarkan. Si Jenggot juga tidak tinggal diam, karena ia tahu isterinya tidak mungkin sanggup menghadapi Tung Yang seorang diri, pedangnya berkelebat menikam Tung Yang.

Semakin lama semakin hebat. Sesudah lewat beberapa jurus lagi, si Jenggot segera bersilat dengan ilmu Kim Liong Hie Sui (Naga Emas Memain Di Air). Dengan berkesiuran angin yang menderu-deru, pedangnya mengancam beberapa bagian berbahaya di tubuh Tung Yang.

Dikepung dua lawan tangguh, Tung Yang jadi sibuk juga. Beberapa kali gunting kecilnya sempat menangkis pedang si Jangkung.

Tadi Tung Yang meremehkan si Jenggot, tapi sekarang ia baru mengerti bahwa kalau maju berdua bersama-sama, Thian Tee Jie Kui benar-benar hebat. Si Jenggot seperti burung yang tumbuh sayap, kepandaiannya jadi beberapa kali lipat dibandingkan tadi.

Rupanya ilmu pedang si Jenggot dengan ilmu pedang si Jangkung merupakan ilmu pedang yang dapat bekerja sama. Hati Tung Yang tercekat juga "Hmm," pikirnya. "Kemajuan mereka ternyata tidak kecil..." karenanya Tung Yang pun tidak berani main-main, ia melayani dengan penuh kesungguhan.

Setelah bertempur beberapa jurus lagi, Tung Yang mulai sibuk menghadapi kedua lawannya ini, walau tidak sampai terdesak. Bahkan akhirnya Tung Yang sudah menyimpan gunting kecilnya, menghadapi dua lawannya lebih serius.

"Sampai kapanpun juga." kata si Jangkung, "jangan harap kau bermimpi kami memberikan kitab obat yaug kau inginkan itu !"

"Hmm. tanpa kitab obat itu akupun sudah bisa meramu obat-obat yang kuinginkan."

Tung Yang menyahuti sambil menghindar tikaman pedang si jangkung pada pahanya. "Aku tidak menginginkan lagi kitab obat itu !Kalian memiliki pun tidak mungkin bisa mempelajarinya !"

Si Jangkung berseru bengis, pedangnya tiga kali beruntun menikam. Tapi Tung Yang berhasil menghindar. Namun, waktu ia ingin mengelak dari tikaman ketiga, justeru pedang si Jenggot pun menyambar punggung Tung Yang, membuatnya kaget.

Dia tersentak sedetik, tapi hal itu menyebabkan pedang si Jangkung menyerempet lenganrya, bajunya nya robek,kulit lengannya juga baret oleh ujung pedang, darah mengucur.

Secepat kilat jari tangan Tung Yang menyentil pedang si Jenggot, ia merasakan ujung jari tangannya yang menyentil kesemutan, segera sadar bahwa si Jenggot menikam dengan Lwekang yang tinggi. Sedahgkan si Jenggot mundur, telapak tangannya pedih akibat getaran sentilan Tung Yang.

Mempergunakan kesempatan itu Tung Yang melompat mundur sampai tiga tombak, mereka bertiga berhadapan.

"Sekarang baiklah," kata Tung Yang dengan muka bersungguh-sungguh, tangannya menghunus pedangnya dari balik jubahnya. "Aku terpaksa menghadapi kalian, karena kalian tampaknya tidak seperti dulu lagi, yang mau mencampuri urusan Kangouw dan mengadu domba perguruan demi perguruan silat satu dengan yang lainnya ! Dulu aku menghormati kalian, sebab kalian hanya mengejar ilmu yang lebih tinggi... namun sekarang kalian entah bekerja untuk siapa ingin mengadu domba Siau Lim Sie dengan Bu Tong Pay ?"



"Apa pedulimu ?" Si Jangkung berteriak.

"Itu urusan kami yang tidak patut dicampuri oleh kau ! Hari ini kau akan melihat bahwa Thian Tee Jie Kui jauh lebih liehay dari kau dan kitab obat itupun Syah menjadi milik kami, jika kau sudah kami rubuhkan! Kedatanganmu kemari seorang diri, itu salahmu sendiri ! Bagi kami kau datang berdua dengan gundikmu atau sendiri sama saja tidak ada perbedaan !"

"Aku siap melayani kalian ! Tapi sebelum itu, kembalikanlah dulu surat-surat yang kalian curi dari murid Siauw Lim Sie, agar mereka bisa pergi meninggalkan tempat ini dan kita bisa main sepuas hati !" Tung Yang bilang. "janganlah jadi maling hina yang cuma menginginkan surat-surat orang lain!"

Muka si jangkung dan si jenggot berobah. Si Jangkung juga tertawa mengejek. "Tepat kiranya dugaan kami, kau rupanya bekerja untuk Siauw Lim Sie ! Baik, mulailah ! Setelah membereskan kau, keempat anjing Siauw Lim itupun akan kubereskan !"

Ketiga orang itu berhadap-hadapan, siap untuk mengukur ilmu. Kam Siang Cie berempat mengawasi tegang, mereka tahu akan ada tontonan yang luar biasa, mungkin sulit mereka saksikan lagi seumur hidup.

Si Jenggot dan si Jangkung pun menyadari, Tung Yang dengan pedangnya pasti jauh lebih liehay dari sebelumnya, mereka tidak berani sembarangan memulai.

Dalam keadaan tegang dan sunyi seperti itu, karena mungkin yang terdengar hanyalah suara napas yang tertahan-tahan dari Kam Siang Cie berempat, mendadak terdengar suara yang lembut sekali, sabar luar biasa: "Omitohud, mengapa harus saling bunuh ? Bukankah Thian telah memberikan kehidupan pada kalian dan kalian harus memelihara kehidupan itu sebaik-baiknya ?"

Menyusuli suara yang lembut dan sabar itu, muncul dua orang berjubah panjang warna kuning, dengan kepala yang botak. Mereka dua orang pendeta. Kam Siang Cie berempat melihat kedua pendeta itu, yang satu berusia hampir empat puluh tahun dan yang seorang lagi pendeta tua bampir berumur 80 tahun dan tubuhnya kurus, segera berseru girang. Berlari menghampiri, mereka berlutut sambil memanggil : "Suhu ! Sucouw !"

Pendeta tua itu dengan sabar menggerakkan tangan kanannya, memberi isyarat pada keempat orang cucu murid itu bangun. Sedangkan muka pendeta yang usianya lebih muda, yang dipanggil Suhu (guru) oleh Kam Siang Cie berempat, sangat guram, sepasang alisnya berkerut mengawasi Thian Tee Jie Km berdua.

"Jangan memberi penghormatan, jangan memberikan penghormatan, kalian murid-murid Siauw Lim Sie yang baik, sudah berusaha sekuat kemampuan kalian untuk memulihkan keruwetan yang akan terjadi itu. Bangunlah...!" kata pendeta tua itu waktu Kam Siang Cie mengadu pada gurunya tentang sikap Thian Tee Jie Kui yang tetap tidak mau mengembalikan surat-surat penting yang telah dirampas kedua iblis itu, malah menghina pintu perguruan mereka.

Tung Yang melihat kedatangan kedua pendeta itu jadi kaget. Dia kenal pendeta tua itu, Wei Sin Siansu, pendeta Siauw Lim Sie tingkat dua. Sampai pendeta ini datang sendiri, berarti urusan benar-benar sangat penting. Sedangkan pendeta yang lebih muda guru Kam S ang Cie berempat, tidak dikenal Tung Yang.

"Siancai ! Siancai !" Wei Sin Siansu merangkapkan kedua tangannya sambil melangkah menghampiri Tung Yang. "Terima kasih atas bantuan Tung Siecu!"

Tung Yang cepat-cepat menyimpan pedangnya, merangkapkan kedua tangannya menghormat pada pendeta tua itu. "Siansu, apakah selama ini sehat-sehat saja ?"

"Terima kasih, berkat doa Siecu keselamatan Loceng cukup baik!" menyahuti pendeta itu sabar. Mukanya pun penuh kasih, memaksa orang untuk menghormatinya. Sinar matanya sangat bening, tajam tapi mengandung kelembutan.

"Oooo ya, mana Tung Hu jin !"

"Kami telah mengobati luka seorang anak, kebetulan kami bertemu dengan empat murid Siansu. la sedang menunggui sambil meneruskan pengobatan pada anak itu." Menjelaskan Tung Yang.

"Omitohud ! Apa yang terjadi pada anak itu?" Tanya Wei Sin Siansu. "Apakah lukanya berat ?"

"Cukup berat, Siansu. Dia putera Giok Goanswee yang sempat lolos dari tangan maut orang-orang Yong Ceng !"

Muka Wie Sin Siansu berobah guram, ia merangkapkan kedua tangannya. "Omitohud, semoga Thian bisa memimpin Kaisar itu..." katanya. "Loceng pun sudah mendengar peristiwa itu. Kalau urusan di sini sudah selesai, Loceng mgin bertemu dengan anak Giok Goanswee itu. Sayang ! Sayang ! Jenderal setia seperti Giok Goanswee harus menemui bencana seperti itu!"

Waktu Wei Sie Siansu tengah bercakap-cakap dengan Tung Yang, guru Kam Siang Cie tampaknya sudah tidak sabar. Dengan muka yang guram pendeta ini melangkah maju mendekati Thian Tee Jie Kui. Sepasang tangannya dirangkapkan dan membungkukkan sedikit tubuhnya pada sepasang iblis itu, katanya dingin : "Siauwceng Bun An Taysu ingin memohon pada Jiewie (tuan berdua) agar mau memberi sedikit muka terang pada Siauw Lim Sie kami, mengembalikan surat-surat kami."

Melihat kedatangan Bun An Taysu berdua Wie Sin Siansu. Thian Tee Jie Kui mulai bimbang. Kalau yang datang hanya Bu An Taysu. jelas mereka tidak takut. Tapi Wei Sin Siansu adalah pendeta yang sulit diukur lagi.

la termasuk pendeta yang disegani oleh semua orang-orang Kangouw, sikapnya yang sabar dan lembut memaksa semua orang menghormatinya, kalau sampai Wei Sin Siansu turun tangan, bukanlah hal ini sama saja berarti Thian Tee Jie Kui memperoleh kesukaran yang tidak kecil?

"Hem, surat-surat itu kami peroleh bukan dengan jalan mudah," kata si Jangkung dengan suara dingin. "Apakah demikian gampang kalian memintanya kembali ?"



Sebetulnya Bun An Taysu sudah tidak sabar, tadi dia mendengar pengaduan Kam Siang Cie tentang perlakuan Thian Tee Jie Kui dan kemendongkolan sudah membakar hati si pendeta. Hanya saja dia masih berusaha membawa sikap yang sabar.

"Apa yang diinginkan Jiewie ?" tanyanya sambil mengawasi Thian Tai Jie Kii bergantian. " iiirat-surat itu milik kami, dan sudah selayaknya kalau kami memintanya pula dari tangan Jiewie ..."

"Hemm, jika kalian inginkan surat-surat itu, boleh! Boleh ! Kami akan mengembalikannya, asalkan kalian bisa memenuhi persyaratannya !" Kata si jangkung dingin.

"Apa syarat-syaratnya ?" Bun An Taysu menegur.

"Kami akan mengembalikan surat-surat itu," kata si Jangkung dingin, "Asal kau sanggup menerima tiga kali pukulan kami berdua tanpa memberikan perlawanan!"

Muka Bu An Taysu berobah. Tangannya tahu-tahu mencekal gagang pedang, dan "Sreeeettt !" pedangnya terhunus. Mukanya memerah. "Jiewie terlalu mendesak, terpaksa Siauwceng harus meminta pengajaran dari Jiewie ..."

Rupanya habis kesabaran Bu An Taysu, iu bermaksud menghadapi kedua iblis itu.

"Bun An. mundur !" Tiba-tiba terdengar perintah Wei Sin Siansu. "Simpanlah pedangmu !" Wei Sin Siansu melangkah ke depan Thian Tee Jie Kui. "Tadi Jiewie bilang, asal kami bisa menerima tiga pukulan Jiewie tanpa memberikan perlawanan, Jiewie akan mengembalikan surat-surat itu ? Dapatkah nanti Jiewie menepati janji kalau tawaran Jiewie kami terima ?"

Si jangkung tertawa mengejek. "Kau sudah terlalu tua dan pasti tidak akan sanggup menerima tiga pukulan kami berdua, kami tidak akan mengingkari janji, asal ada salah seorang di antara kalian yang bersedia menerima tiga pukulan dari kami tanpa memberikan perlawanan !"

"Omitohud ! Loceng bersedia menerimanya ! Tulang-tulang tua Loceng bersedia menerima tiga pukulan kalian!" Sabar sekali suara Wei Sin Siansu. "Nah, silahkan Jie wie !" Wei Sin Siansu merangkapkan kedua tangannya, memejamkan mata, bersiap-siap menerima pukulan kedua iblis itu.

Kaget semua orang Bun An Taysu sampai berseru: "Suhu ?!" tapi Wei Sin Siansu tidak melayani panggilan muridnya. Cucu muridnya berempat juga hanya bisa memandang dengan kuatir, tanpa bisa melakukan apa-apa melihat kakek guru mereka yang ingin menerima pukulan-pukulan dari kedua iblis itu tanpa memberikan perlawanan.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

1 komentar

  1. Rada'an aneh, sejak kapan Para Pendeta2 Siauw Liem Sie pake Pedang.... Biasanya Pake tongkat Sian Tung...