"Baiklah Suheng, aku
terima perintah. Secepatnya aku akan berangkat ke Bu Tong San."
Tang Sin Siansu menoleh pada
Wie Sin Siansu, menunjuk Giok Han tanyanya : "Wie Sin, siapakah engko
kecil itu ?"
Wie Sin Siansu baru ingat Giok
Han. Cepat-cepat ia menarik tangan Giok Han. "Hanjie berlututlah memberi
hormat kepada Hongthio..."
Giok Han mengawasi sejenak
Tang Sin Siansu, dia tidak berlutut, hanya kedua tangannya kemudian
dirangkapkan, membungkuk memberi hormat. Dengan suara lantang ia bilang :
"Siauw-tee Giok Han menanyakan kesehatan Lohweshio (pendeta tua) apakah
baik-baik saja?
Tercekat Wie Sin Siansu dan
Bun An Taysu sudah melompat ke dekat Giok Han, katanya gugup: "Hanjie. kau
harus memanggil... Siansu..!"
Melihat kelakuan si bocah Tang
Sin Siansu tidak marah, bahkan tersenyum. la melihat jiwa anak ini keras
sekali, karena ia tidak bersedia berlutut dan malah memberi hormat dengan
tingkah seakan-akan ia sudah dewasa.
Waktu berkata menanyakan
kesehatan Tang Sin iapun bersikap gagah sekali. Matanya bersinar tajam, tidak
takut-takut menatap pada Tang Sin. Diam-diam hati Tang Sin Siansu heran, entah
siapa anak yang luar biasa ini. la mengibaskan sedikit lengan jubahnya
perintahkan Bun An Taysu mundur, dengan suara penuh kasih Tang Sin Siansu
bertanya:
"Siancay ! Siancay !
Hormatmu telah Loceng terima. Giok Siauwko (engko kecil Giok), tampaknya kau
harus beristirahat karena kesehatanmu tidak begitu baik."
Kaget Giok Han. Bukan main
tajamnya mata pendeta suci itu, yang sekali lihat saja mengetahui bahwa Giok
Han tengah terluka di dalam. Tang Sin Siansu tidak perdulikan sikap Giok Han,
hanya menoleh pada Wie Sin Sian Su: "Giok Siauwko tampaknya perlu
perawatan di Im Giok Tong dan juga titik jalan darah Wai-sie, Seng-sie dan
Cie-kang yang tertotok harus segera dibebaskan. Jika ketiga jalan darah itu
tertotok dalam waktu berlarna-lama bisa memberikan akibat sampingan yang tidak
menyenangkan. Segeralah rawat Giok Siauwko, dan malam ini kau menemuiku di
Kim-ih-tong untuk membicarakan beberapa hal."
Setelah berkata begitu, Tang
Sin Siansu menoleh lagi pada Giok Han, sabar suaranya. "Giok Siauwko,
istirahatlah dengan tenang, sementara ini. kesehatan kau perlu perawatan yang
sebaik-baiknya. Hai, bar, entah siapa yang turunkan tangan begitu telegas
kepadamu yang masih demikian muda?"
Tanpa menantikan jawaban Tang
Sin Siansu memberi tanda agar yang lain boleh mengundurkan diri, sedangkan
Hong-thio Siauw Lim Sie itupun sudah memutar tubuh. Wie Sin Siansu tidak ayal
lagi membawa Giok Han ke Im Giok Tong, untuk memberikan pengobatan pada si
bocah.
Giok Han kagum pada Tang Sin
Siansu. Pendeta tua yang alim itu selain mengetahui ia terluka berat, juga
sekali lihat mengetahui tiga jalan darahnya dalam keadaan tertotok. Segera
lahir perasaan menghormat yang sangat besar terhadap Hongthio Siau Lim Sie itu.
Wie Sin Siansu perintahkan Bun
An Taysu mengurus keperluan buat Giok Han yang waktu itu telah rebah telentang
di pembaringan Im Giok, sebuah pembaringan yang terbuat dari batu Giok berwarna
merah darah, dan dari Im Giok menyiarkan hawa yang dinginnya melebihi dinginnya
es.
Walaupun tubuhnya menggigil,
Giok Han tidak berani membantah waktu Wie Sin Siansu perintahkan ia rebah
disitu. Gigi si bocah sampai bercatrukan.
Selesai mengatur segalanya.
Wie Sin Siansu memberitahukan Giok Han bahwa ia harus pergi menghadap Hongthio,
karena pasti Hongthionya ingin minta keterangan tentang Giok Han. "Kau
harus rebah disini tiga hari tiga malam, Hanjie," menjelaskan Wie Sin
Siansu sebelum meninggalkan Im Giok Tong.
Kaget Giok Han.
"Taysu", katanya, ia tetap memanggil Wie Sin Taysu dengan sebutan
Taysu disamakan seperti ia memanggil Bun An Taysu, tapi Wie Sin Siansu pun
tidak keberatan atas panggilan seperti itu.
"Aku bisa mati kedinginan
jika harus rebah terus disini.."
Wie Sin Piansu tirsenyum.
"Tidak ada orang yang mati jika rebah di Im Giok, bahkan bisa menambah
kekuatan dan kesegaran tubuh!"
Giok Han masih mau bertanya,
tapi pendeta itu sudah memutar tubuh dan meninggalkannya. Bun An Taysu yang melayani
Giok Han, untuk makan minum sibocah semua diatur dengan sebaik-baiknya, setiap
tiga jam sekali diberikan semangkok bubur sarang burung Yan-oh yang telah
dicampur obat, demikian pula untuk minum Giok Han pun sudah dicampur semacam
obat.
Rebah setengah harian, setelah
makan dan minum dua kali, Giok Han tidak merasa kedinginan lagi. Malah bocah
itu merssakan tubuhnya seperti mengeluarkan uap yang panas sekali, keringat
yang banyak, ranjang Im Giok pun tidak dingin, hanya sejuk, tidak menyiksa
lagi.
Bun An Taysu yang diam-diam
memperhatikan tingkah Giok Han, jadi heran juga. Dia melihat bocah ini sangat
keras hati. Jangankan seorang bocah seperti dia, sedangkan Bun An Taysu sendiri
disuruh rebah di pembaringan im Giok sebelum makan Yan-oh dicampur obat dan
minum air obat lainnya, tidak akan sanggup menahan dinginnya pembaringan batu
giok merah tersebut.
Tetapi Giok Han justeru tadi
biarpun sangat kedinginan, hanya bertanya apakah dia tidak akan mati kedinginan
pada Wie Sin Siansu, setelah melihat Wie Sin Siansu tidak begitu
mengacuhkannya, bocah inipun tidak rewel lagi, hanya gigit giginya rapat-rapat
dan tidak membuka mulut lagi, biarpun dinginnya luar biasa disekujur tubuh.
Muka bocah itu sampai hijau pucat menahan dingin, tubuhnya juga bergoncang hebat.
Menyaksikan hal demikian Bun An Taysu jidi berpikir: "Bocah luar biasa!
Tidak kecewa dia keturunan Jenderal besar Giok Hu."
Dalam perjalanan ke Siauw Lim
Sie. Bun An Taysu pun sudah melihat bahwa Giok Han tidak seperti anak-anak
sebaya lainnya. Giok Han memiliki sikap yang berani sekali, terkadang mendekati
kenekadan. Keras hati dan otaknya sangat cerdas.
Setiap pertanyaannya selalu
pada hal-hal yang penting. Sejak saat itu saja sebetulnya sudah muncul rasa
sayang dihati Bun An Taysu, karenanya melihat Giok Han menggigil keras seperti
itu, tidak ayal ia memberikan Yan-oh campur obat agar sibocah bisa menahan rasa
dingin ranjang lm Giok.
Wie Sie Siansu sendiri tahu,
setiap orang, apa lagi seorang yang tidak mengerti ilmu silat, rebah diranjang
lm Giok akan diserang dingin luar biasa. Tapi pendeta suci itu mengeraskan
hatinya, agar Giok Han tetap rebah di ranjang itu, pura-pura tidak mengetahui
si bocah menderita kedinginan hebat.
Pertama, dengan cara demikian
bisa membekukan sebagian racun yang mengendap di dalam tulang sumsum pada
pundak Giok Han, kedua lebih cepat proses penghisapan racun yang dilakukan oleh
ranjang lm Giok.
Wie Sin Siansu pun punya
alasan lainnya, ia ingin mendidik Giok Han agar keras dan lebih tabah, seperti
yang selama ini di perlakukan terhadap semua murid-murid Siauw Lim Sie, ditanam
kedisiplinan yang kuat. Bukankah di waktu mendatang bocah ini harus diasuhnya,
dididik, seperti permintaan Tung Yang beberapa waktu lalu yang telah
diluluskannya ?
Tapi maksud Wie Sin Siansu
justeru keliru diterima oleh Giok Han. Waktu pertamakali ia rebah di
pembaringan lm Giok, menderita kedinginan hebat dan Wie Sin Siansu
meninggalkannya dengan sikap biasa saja seperti tidak melihat penderitaannya,
si bocah justeru berpikir sedih: "Biar, memang aku anak yatim yang tidak
punya orang tua lagi, siapapun boleh memperlakukan aku semau-maunya ! Aku tidak
boleh memperlihatkan kelemahanku pada pendeta tua kurus itu biar mati aku harus
tetap rebah di ranjang ini. Aku tidak boleh membiarkan dia nanti menghinaku
sebagai anak tidak berguna !"
Dan Giok Han gigit giginya
kuat-kuat, bibirnya kehitam-hitaman menuruni dingin luar biasa, tubuhnya
mengigil keras. la nekad biar harus mati, dia tidak akan meninggalkan ranjang
Im Giok! Hanya rasa sedih sering menyelinap ke dasar hatinya, ia jadi teringat
lagi keadaannya sebatangkara, tidak ada orang tua, tidak ada sanak famili,
hidup seorang diri, dan tidak ada orang yang melindunginya lagi.
Walaupun Wie Sin Sian-su dan
Bun An Taysu sepanjang perjalanan ke Siauw Lim Sie memperlakukannya sangat
manis dan baik, tokh sekarang ia disiksa rebah kedinginan hebat di ranjang Im
Giok! la jadi membanding-bandingkan dengan paman Lam Sie-nya, yang benar-benar
mengasihinya, sangat sayang.
Teringat pada paman Lam Sie
nya, hati Giok Han jadi sedih, matanya merah dan air matanya hampir mengucur
keluar. Mendadak ia berpikir; "Tidak ! Tidak! Aku tidak boleh menangis.
Kalau pendeta itu melihat aku menangis, dia tentu menyangka aku menangis
disebabkan tak tahan dingin ! Aku tidak boleh menangis !" Mati.matian Giok
Han menahan agar air matanya tidak mengucur keluar.
Setelah beberapakali makan
Yan-oh dan minum air yang diberikan Bun An Taysu, rasa dingin itu berkurang,
bahkan akhirnya hilang. Ranjang Im Giok terasa sejuk saja. Giok Han jadi girang.
"Hemmmm, lihat, Sekarang aku sudah terbiasa di ranjang ini. bisa melawan
hawa dingin itu. Tentu si pendeta kurus itu akan kecewa melihat aku tidak
kedinginan lagi !" Pikir si bocah. Mimpipun dia tidak bahwa sebetulnya
yang membuatnya tahan melawan hawa dingin itu disebabkan ia makan Yan-oh dan
minum air yang telah dicampur obat, yang diberikan oleh Bun An Taysu atas
perintah Wie Sin Taysu sejauh itu. walaupun Giok Han menerima perlakuan yang
manis dari Wie Sin Siansu dan pendeta-perdeta lainnya, tokh dia masih selalu
bercuriga, sulit mempercayai sepenuhnya pendeta-pendeta itu, tidak seperti dia
terhadap paman Lam Sie-nya, yang memang dipercayai sepenuhnya...
Wajah Tang Sin Siansu muram
mendengar cerita Wie Sin Siansu tentang malapetaka yang menimpa keluarga
Jenderal Besar Giok Hu. "Ya. di dunia segalanya tak ada yang sempurna.
Yang sempurna sesungguhnya tidak sempurna, yang baik sesungguhnya buruk, yang
buruk sesungguhnya baik ! Kaisar yang penuh gemerlap kemewahan dan kekuasaan,
sesungguhnya lebih buruk akhlaknya dari seorang pengemis ! Selama manusia di
dunia mengejar kemuliaan, hidupnya akan bertarung dengan berbagai kesulitan.
Selama manusia mencapai kedudukan tinggi, semakin berat penderitaan dan
kesengsaraan yang akan dterimanya di dunia ini. Omitohud...."
Wie Sin Siansu pun menghela
napas. Dengan hati-hati ia memandang pada Hongthionya. "Kalau memang
Hongthio tidak keberatan, tecu ingin mengajukan suatu permohonan ..."
katanya.
"Bilanglah, Wie
Sin," Tang Sin Siansu mengawasi Wie Sin Siansu, sehingga Wie Sin Siansu
tidak berani menatap lebih lama dan menunduk. "Bukankah kau ingin anak
yang malang nasibnya itu diperkenankan tinggal di sini ?"
"Benar, Hongthio."
hati-hati sekali Wie Sin Siansu menyahuti. "Seperti yang sudah tecu
ceritakan tadi bahwa tecu sudah menyanggupi permintaan Tung Yang Hiapsu untuk
merawat anak itu. Kalau memang Hongthio mengijinkan..."
Tapi, apakah anak ini mau
dirawat dengan lingkungan di sini ? Maukah dia kelak dicukur rambut ? Maukah
dia menerima kehidupan sebagai Hwesio ?"
"Dia masih kecil,
Hongthio. Jika memang dirawat dengan baik tentu ia pun akan mengerti maksud
baik kita."
"Baiklah kau rawatlah
baik-baik anak itu. Jika kelak setelah dewasa ia keberatan untuk masuk dalam
dunia HOED kita tidak perlu memaksa. Di dasar hati anak itu bersemayam dendam
yang besar, yang akan bertambah besar jika kelak setelah ia dewasa, Karena itu,
akan sia-sialah kalau tokh kita kelak memaksa ia memasuki jalan HOED (BUDDHA).
la masih kecil, tapi sudah
dilibat oleh jaring kehidupan, sehingga jaring-jaring itu sulit dilepaskan
kembali sebelum ia mengalami kehidupan yang sebenarnya. Biarpun demikian, anak
ini harus dididik dengan sebaik-baiknya tanpa perbedaan. Yang harus kau
perhatikan Wie Sin. juga menjadi tugasmu, usahakanlah agar dendam yang membakar
hatinya itu dapat dikurangi sedikit demi sedikit.
Mustahil untuk melenyapkan,
tapi jika dapat DIKURANGI, niscaya anak itu tidak akan mengalami kesengsaraan
yang lebih berat jika sudah dewasa karena terbakar terus menerus oleh
dendamnya."
"Petunjuk Hongthio akan
Tecu laksanakan sebaik-baiknya, terima kasih untuk kemurahan hati
Hongthio," kata Wie Sin Siansu dengan sikap hormat.
Tang Sin Siansu memberi
isyarat Wie Sin Siansu boleh mengundurkan diri. Sepeninggal Wie Sin Siansu,
Hongthio Siauw Lim Sie itu duduk termenung dengan wajah murung, la seorang
pendeta saleh, seorang pendeta alim, yang sangat mulia hatinya dan sudah
mencapai tingkat yang tinggi dalam kependetaannya. la selalu dapat menguasai
diri dari segala kegembiraan yang berlebihan, kesedihan. kebingungan atau
kegelisahan. la tidak gampang marah, juga tidak gampang gembira, semuanya
selalu berlangsung dengan wajar.
Tetapi persoalan Giok Han,
justeru di dasar hatinya timbul perasaan kuatir Kekuatiran yang menggelisahkan.
la melihat anak itu walaupun masih kecil, tapi di dirinya terdapat sesuatu yang
rasanya tidak di miliki oleh anak-anak sebaya dengannya. Seperti waktu memberi
hormat kepadanya di mana Giok Han tidak mau berlutut, hanya memberi hormat
seperti lazimnya orang-orang dewasa.
la pun berkata-kata dengan
mantap dan terang. Justeru dalam kesempatan itu Tang Sin Siansu sempat melihat
sinar mata si bocah yang tajam luar biasa, seperti lautan yang dalam, yang
mengandung berjuta-juta rahasia. Hongthio Siau Lim Sie yang bijaksana inipun
tidak mengetahui, mengapa mendadak saja di saat itu timbul kekuatiran waktu ia
mengetahui dari Wie Sin bahwa bocah itu adalah satu-satunya keturunan Jendcral
Bcsar Giok Hu yang telah dianiaya oleh orang-orang Kaisar.
Terlebih lagi setelah
mendengar cerita Wie Sin Siansu tentang sikap-sikap Giok Han selama dalam
perjalanan menuju pulang ke Siauw Lim Sie, hati Tang Sin Siansu semakin
ragu-ragu, tidakkah bocah yang masih kecil itu, yang tampak tidak berdaya,
kelak setelah menerima gemblengan dari Siauw Lim Sie, akan menimbulkan ledakan
dahsyat ?
Jika memang dapat dikendalikan
sehingga ledakan itu tidak menimbulkan kesulitan kesulitan, adalah hal yang
sangat baik. Tetapi dapatkah ? Bukankah Giok Han tampak seorang yang terlalu
keras hati, perasa dan cerdas sekali ? Apakah api dendam yang tumbuh di dasar
jiwa anak itu kelak tidak akan ikut membakar Siauw Lim Sie ?
Dan semalaman itu Tang Sin
Siansu jadi mempertimbangkan persoalan Giok Han, walaupun pada Wie Sin telah di
ijinkannya untuk menerima Giok Han sebagai muridnya, mendidik dan merawatnya !
itupun sebetulnya sudah melanggar dari kebiasaan Siauw Lim Sie selama ribuan
tahun menerima seorang murid, yang harus dari tingkat termuda, dan seharusnya
yang diperintahkan menjadi guru Giok Han adalah pendeta Siauw Lim Sie tingkat
ke 9, bukan Wie Sin Siansu, pendeta tingkat 2 !
Giok Han masih rebah di
pembaringan Im Giok waktu Wie Sin Siansu kembali ke lm Giok Tong. Bun An Taysu
melaporkan tahwa kini daya tahan Giok Han mulai membaik, setelah beberapa kali
makan Yan-oh yang dicampur obat dan minum air obat yang diberikannya. Win Sin
Siansu hanya mengangguk, langsung mendekati pembaringan.
Giok Han melirik Wie Sin
Siansu tanpa bilang apa-apa, sipendeta tersenyum. "Kesehatanmu mulai
membaik, Hanjie. Dan dalam beberapa hari mendatang kau akan dapat disembuhkan,
racun di dalam tulangmu akan bisa terhisap habis dan bersih oleh Im Giok
I"
Lalu Giok Han diperintahkan
duduk. Di dalam hati si bocah berpikir; "Hm. Hm kau pura-pura tidak heran
melihat aku bisa bertahan terus di pembaringan ini?"
Walaupun hatinya agak
mendongkol, namun dia tidak berani mengutarakan perasaannya.
Wie Sin Siansu tidak bilang
apa-apa, hanya mulai memijiti sekujur tubuh Giok Han. Lalu meminta Giok Han
rebah lagi-Tampak Wie Sin Siansu puas. "Siancay ! Siancay ! Akhirnya
kesulitan itu bisa teratasi juga. Nanti jika sudah tiba saatnya, Loceng akan
minta pada Hongthio agar membebaskan seluruh jalan darahmu dari sisa-sisa racun
dengan desakan Tat Mo Sinkang. Dengan kemurahan hati Hongthio, niscaya seluruh
sisa racun itu bisa dipunahkan."
"Hu, kemurahan hati !
Sejak tadi aku disiksa seperti ini masih disebut kemurahan hati !" Pikir
Giok Han mendongkol.
Wie Sin Siansu mengawasi si
bocah. "Setelah kau sembuh, kau harus mengikuti semua petunjuk Loceng, karena
selanjutnya kau akan Loceng rawat sebagai murid Loceng.
Upacara pengangkatan murid,
guru kelak di selenggarakan dan dipimpin oleh Hongthio."
"Aku menjadi muridmu,
Taysu?" tanya Giok Han, ingin bangun duduk, tapi pundak-nya ditekan
sedikit oleh Wie Sin Siansu, dia jadi rebah terus.
"Aku... aku ingin kembali
ke rumah Encie Yang Lan."
"Nanti kalian bisa
bertemu, kau akan kumpul kembali dengan orang-orang yang kau cintai. "Tapi
untuk kepentingan dan kebaikanmu, kau harus menerima pendidikan dari Loceng,
seperti permintaan Tung Hiapsu."
"Aku . . . aku tidak
kenal siapa Tung Hiapsu itu, Taysu... dia tidak berhak untuk menyuruh aku
berguru pada Taysu."
"Nak kau akan bertemu
dengan Tung Hiapsu, sekarang kau harus menuruti apa yang diinginkannya, semua
ini untuk kebaikanmu juga. Hanjie,"
"Tapi aku tidak mau baca
Liamkheng. Untuk apa belajar Liamkheng!" Teriak Giok Han sambil berontak
bangun, duduk sambil mementang matanya lebar-lebar.
Wie Sin Siansu tersenyum.
"Siancay ! Apakah kau akan belajar ilmu kependetaan? Membaca Liamkheng
?" tanya si pendeta, sabar. "Tidak Hanjie, kau akan mempelajari ilmu
silat Siauw Lim kami."
"Sulit ?" Giok Han
tampak murung. Sebagai seorang bocah ia tidak tahu apa itu Siauw Lim, karena ia
selama ini kagum pada Khang Thiam Lu, yang diketahuinya sebagai pembantu
ayahnya yang memiliki kepandaian tinggi sekali, la juga kagum kepada Yang Bu
In, guru Khang Thiam Lu. yang diduga i pasti memiliki kepandaian lebih tinggi
dari Khang Thiam Lu sendiri. Juga Giok Han kagum pada Yang Lan, gadis yang
lincah dan cantik, yang pandai sekali menggerakkan pedangnya.
Tapi pendeta tua ini yang
kurus dan seperti tidak mempunyai tenaga, apakah bisa mengajarkan ilmu silat?
Mungkin untuk menggerakkan pedang saja pendeta yang sudah sangat tua dan kurus
ini sudah tidak kuat. Karena itu Giok Han mengawasi Wie Sin Siansu ragu-ragu.
Wie Sin Siansu mengusap-usap
kepala si bocah. "Sekarang rebahlah kembali tenang-tenang di sini. Jangan
berpikir apa-apa, karena itu bisa memperlambat kesembuhanmu, Hanjie. Loceng
akan datang kemari besok pagi. Suhengmu, Bun An, akan merawatmu."
Giok Han masih diam saja, dia
benar-benar ragu. Dia sudah dengar dari Khang Thiam Lu mengenai malapetaka yang
menimpa keluarganya. Dia pernah minta pada Yang Bu In, guru Khang Thiam Lu, agar
ia diterima menjadi muridnya, agar kelak bisa memiliki kepandaian seperti Khang
Thiam Lu.
Tapi, sekarang pendeta ini
yang akan mengangkat dia jadi murid. Bisa apa pendeta setua iyu ? Paling tidak
ia hanya diajarkan membaca Liamkeng. Dan Giok Han tambah mendongkol saja.
"Tidak, aku tidak mau
jadi keledai gundul seperti dia !" pikirnya. "sekarang biar saja, dia
mau bicara apapun boleh, tapi jika ada kesempatan aku akan melarikan diri dari
tempat ini."
Sedang Giok Han bengong, Bun
An Tay-su menghampiri. "Kionghie. Sute,"
"katanya sambil
tersenyum. "Tidak kusangka kau memiliki rejeki demikian bagus bisa
langsung menjadi suteku.."
"Rejeki bagus kentut
!" pikir Giok Han tambah mendongkol. "Siapa sudi jadi keledai gundul
seperti kau!" Karena mendongkol Giok Han diam saja. Dia jadi semakin
bimbang. Dia kalau menjadi murid Wie Sin Siansu berarti jadi Sute (adik
seperguruan) Bun An Taysu. Sedangkan Bun An Taysu seorang Hwesio, berarti dia
juga harus jadi Hwesio.
Mencukur rambut, makan hanya
makan sayuran tanpa barang berjiwa, yaitu cia-cai. Membaca Liamkheng setiap
hari. Oooo, semakin dipikirkan, Giok Han semakin sebal. la jadi ingin
cepat-cepat bisa meninggalkan kuil ini. agar bisa cepat-cepat kumpul dengan
Khang Thiam Lu dan yang lain-Iainnya.
Bcberapa hari telah lewat
lagi, kesehatan Giok Han mengalami kemajuan pesat.
Setelah tujuh hari rebah di
pembaringan Im Giok, yang sudah tidak menyiksa Giok Han dengan hawa dinginnya,
malam hari ke delapan Hongthio Siauw Lim Sie datang ke Im Giok Tong, meletakan
telapak tangan di punggung Giok Han dan segumpal hawa panas seperti menerobos
masuk lewat kulitnya, tersalur ke seluruh tubuhnya, membuat Giok Han merasakan
tubuhnya bagaikan terbakar hawa panas itu.
Keringat membanjir membasahi
sekujur tubuhnya. Sepatah katapun tidak diucapkan Tang Sin Siansu. begitu pula
setelah selesai menyalurkan Tat Mo Sinkang Hongthio Siauw Lim Sie meninggalkam
Im Giok Tong tanpa mengucapkan sepatah perkataan.
Giok Han memang sedang
mendongkol jadi semakin mendongkol. "Hu, sombongnya ! Jangan takut,
keledai gundul, nanti kalau ada kesempatan aku pun akan meninggalkan tempat
ini, sehingga kau tidak ngambek, seperti itu harus menanggung makan
tidurku."
Dua hari Wie Sin Siansu
melakukan pengurutan tubuh Giok Han. si bocah juga merasakan pundaknya tidak
nyeri lagi. Akhirnya Wie Sin Siansu bilang: "Sekarang kau sudah sembuh
keseluruhannya. Tadi Hongthio berpesan, besok pagi akan diselenggarakan upacara
pengangkatan guru-murid. Kau jangan bersikap ugal-ugalan, jangan membikin malu
Loceng. "
Giok Han cuma mengangguk.
Otaknya bekerja keras, semakin dekat saat upacara pengangkatan guru-murid, dia
semakin keras ingin melarikan diri.
Malam telah larut. Dilihatnya
Bun An Taysu telah meninggalkan Im Giok Tong untuk istirahat. Memang belakangan
ini Bun An Taysu tidak perlu menunggui Giok Han seharian penuh, sebab si bocah
telah sembuh tidak kurang suatu apapun.
Dengan berindap-indap Giok Han
turun dari pembaringan Im Giok, menuju ke pintu. Tidak dikunci, dia keluar.
Keadaan di luar ruangan terang oleh sinar rembulan, harumnya asap hio dan
samar-samar suara pendeta-pedeta yang tengah membaca Liamkheng serta ketukan
berirama kayu Bokkhie.
Giok Han bingung, pintu mana
untuk keluar. Tembok-tembok kuil tinggi dan tidak mungkin melarikan diri lewat
tembok-tembok kuil tersebut. Dia mencari-cari pintu gerbang kuil tapi Siauw Lim
Sie demikian luas. Namun Giok Han bertekad bulat, ia harus melarikan diri.
Sedang Giok Han berindap-indap
dengan sikap hati-hati mencari pintu gerbang, ia berusaha tidak dilihat oleh pendeta-pendeta
Siauw Lim Sie, mendadak dilihatnya dua orang murid Siauw Lim Sie dari tingkatan
muda tengah jalan menghampiri, di tangan dua orang Hwesio muda itu membawa baki
berisi mangkok. Mungkin mereka baru-selesai melayani guru mereka.
Giok Han cepat-cepat
menyembunyikan diri dibelakang batu gunung-gunungan kecil di sebelah kanan,
menunggu sampai kedua
Hweshio muda itu cukup jauh,
ia bermaksud keluar dari tempat persembunyiannya. Tiba-liba Giok Han kaget,
karena pundaknya ditepuk seseorang. Cepat ia menoleh. Wie Sin Siansu berdiri
dengan bibir tersenyum berdiri tidak jauh dari tempat Giok Han dan dengan suara
yang sabar sekali pendeta itu bilang:
"Kau baru sembuh Hanjie,
malampun telah larut. Ayo kembali ke tempatmu! - Bukankah besok pagi-pagi kau
sudah harus bangun, untuk menjalani upacara pengangkatan guru-murid ?"
Giok Han tertegun sejenak,
tapi akhirnya ngoloyor untuk kembali ke kamarnya-Dalam hatinya dia mengutuki
dirinya sendiri. "Tolol, beritahukan saja kau tidak mau jadi muridnya,
urusan jadi beres. Tapi.. marahkah dia? Ayo, katakan saja...!"
Begitulah batinnya
bertentangan. Akhirnya setelah melangkah beberapa tombak, Giok Han menahan
langkahnya, memutar tubuhnya. Wie Sin Siansu masih berdiri di tempatnya, tetap
dengan senyum yang sabar.
"Taysu..." Giok Han
ragu-ragu, suaranya perlahan.
"Ada yang ingin kau
katakan, Hanjie ?"
"Taysu ... sebetulnya aku
ingin memberitahukan kepidamu, Taysu. Aku ... aku tidak mau menjadi muridmu.
Bukankah kau sudah berjanji setelah aku sembuh, akan akan mengantarkan aku ke
rumah Encie Yang Lan ?"
Wie Sin Siansu tersenyum. Dia
seorang pendeta yang waspada. sejak semula ia sudah menyadari adanya
pertentangan dan perasaan tidak menyukai dihati bocah itu terhadap lingkungan
maupun dirinya. Tadipun pendeta ini tahu Giok Han nekad hendak melarikan diri.
Hanya sengaja hal itu tidak di tegurnya, ia pura-pura tidak tahu maksud si
bocah.
Sekarang Giok Han bilang
begitu, ia semakin yakin Giok Han memang tengah mengalami pertentangan
dihatinya. "Benar apa yang Hongthio beritahukan, anak ini mempunyai hati
yang keras, suka nekad dan juga kepala batu. la harus ditundukkan dulu,
menyadarkannya agar ia tahu semua itu untuk kepentingannya."
Berpikir begitu Wie Sin Siansu
merangkapkan kedua tangannya, "Siancay," katanya. "tentu saja
Loceng tidak akan memaksa kau menjadi murid Loceng. Tetapi dengarlah Hanjie,
betapapun Loceng hanya ingin melaksanakan kewajiban, memenuhi janji Loceng pada
Tung Hiapsu. Kami sama berusaha memikirkan masa depanmu. Kini kau sudah yatim
piatu, kami berkasihan..."
Mata Giok Han tiba-tiba
terbuka lebar-lebar "Tetapi aku tidak pernah minta kepada Taysu untuk
berkasihan kepadaku" Katanya keras. "Juga aku tidak pernah minta
dikasihani dari orang yang disebut Tung Hiapsu itu! Walaupun aku anak yatim,
aku tidak mengemis belas kasihan dari siapapun !"
"Siancay! Siancay !
jangan kau salah menafsirkan perkataan Loceng. Justru yang kami lakukan semua
ini untuk, menghormat mendiang ayahmu, keluargamu yang telah di dimusnahkan
oleh Kaisar yang lalim itu. Jika kini kau meninggalkan Siauw Lim Sie, lalu ada
orang Kaisar lalim ini yang mengetahui. kau pasti dicelakai mereka. Loceng
ingin agar kau baik-balk belajar di sini, nanti setelah dewasa kau boleh
meninggalkan tempat ini, kemana saja kau mau,"
"Hu, keledai tua ini mau
menakut-nakuti aku," pikir Giok Han. Segera dia menyahuti: "Biarlah,
Taysu tidak usah repot-repot memikirkan keselamatanku. Jika memang aku
tertangkap oleh orang-orang Kaisar lalim itu, namanya sudah nasib. Aku pasrah
saja." -
Tiba-tiba lenyap senyum Wie
Sin Siansu. sikapnya serius dan wajahnya jadi angker. Melihat perobahan sikap
si pendeta. Giok Han juga kaget. Mata si pendeta bersinar-seakan di matanya itu
ada sinar yang kuat sekali, sangat terang dalam kegelapan malam.
"Han jie, kecewa kau
sebagai putera Giok Goanswee ! Kami mengetahui Giok Goanswee seorang Jenderal
besar yang jujur dan berani, tapi keberaniannya itu untuk membela negara! Tapi
kau? Kau lebih rela mati teraniaya ditangan orang-orang rendah kaki tangan
kaisar lalim itu !Dimana kegagahanmu? Mana usahamu agar kelak bisa jadi seorang
yang berguna untuk bangsa seperti yang dirintis oleh ayahmu ?"
Ditegur dengan suara keras
seperti itu. Giok Han jadi tertunduk. Dia kaget dan hatinya bimbang. Apa yang
diucapkan pendeta suci Siauw Lim itu sangat mendera dihatinya. Ya, Thia-thia
sudah tiada, apakah sebagai anak Thia-thia aku tidak berusaha untuk menjadi
seorang manusia berguna untuk bangsa? Walaupun pendeta-pendeta ini belum tentu
bisa mendidikku dengan ilmu yang berarti, tapi apa salahnya? Dia tokh bermaksud
baik.? Nanti masih bisa dipertimbangkan lagi kalau ternyata dia tidak bisa
mendidik dengan ilmu yang tinggi. . ."
Disebut-sebut tentang ayahnya,
Giok Han juga jadi sedih.
Wie Sin Siansu menghela napas
dalam-dalam, kemudian menghampiri Giok Han, di usap-usap kepala sibocah.
"Hanjie," suara Wie
Sin Siansu berobah sabar, penuh kasih sayang. "Loceng harap kau mau
memenuhi satu permintaan Loceng. Terimalah keinginan Loceng, kau menjadi murid
Loceng. Nanti setelah tamat pelajaran mu, kau boleh pergi kemana kau suka.
Loceng tidak akan melarang, inilah janji Loceng."
"Luar biasa!"
Pendeta suci Siauw Lim Sie tingkat kedua sampai meminta dan berharap bisa
mengambil Giok Han sebagai muridnya-agar Giok Han mau mengangkatnya sebagai
guru sibocah ! inilah urusan yang baru pertama kali terjadi dalam rimba
persilatan!
Orang lain, walaupun bersembah
sujud sambil menangis tujuh hari tujuh malam, memohon agar di terima menjadi
murid Siauw Lim Sie, merupakan urusan yang sulit sekali! Tetapi Giok Han kini yang
didesak oleh Wie Sin Siansu, pendeta suci Siauw Lim Sie tingkat dua, agar mau
menjadi muridnya!
Kepalanya diusap-usap seperti
itu oleh Wie Sin Siansu, juga mendengar suara sipendeta yang lembut, hati Giok
Han jadi lunak lagi.
"Bagaimana ?" Tanya
Wie Sin Siansu ketika melihat Giok Han menengadah tanpa berkata apa-apa, mata
sibocah memancarkan keraguan.
"Baiklah, Taysu..."
perlahan suara Giok Han.
"Siancay ! Omitohud !
Sekarang kembalilah kau ke Im Giok Tong. Ini adalah malam terakhir kau tidur
disitu, saat-saat terakhir untuk membersihkan tubuh dari racun-racun yang
pernah mengendap didalam tulangmu."
Giok Han tidak bilang apa-apa,
ngeloyor kembali kedalam Im Giok Tong. Wie Sin Siansu berdiri disitu dibawah
siraman sinar rembulan, menghela napas lega. Tampaknya Giok Han mulai mengerti
akan maksud baiknya. Wie Sin Siansu mempunyai alasan sendiri mengapa ia
demikian memaksa agar Giok Han menjadi muridnya.
Pertama-tama ia ingat bahwa
Giok Han seorang bocah yang jelas sifatnya masih kekanak-kanakan Hal itu
dimaklumi oleh Wie Sin Siansu. Ke-dua, ia merupakan putera satu-satunya dari
Jenderal besar Giok Hu, yang sekeluarga telah dianiaya dan musnah oleh tangan
kejam Kaisar lalim yang tengah berkuasa.
Wie Sin Siansu seperti rakyat
lainnya, sangat menghormati Jenderal yang jujur dan setia pada negeri. Rasa
hormat itulah menimbulkan rasa sayang kalau Giok Han sebagai keturunan Giok
Goanswee satu-satunya yang masih hidup, harus terlantar dan tersia-sia.
Jika anak itu kelak memperoleh
seorang guru yang biasa saja, bukankah arwah Giok Goan-Svvee tidak akan meram?
Belum lagi kemungkinan kalau terjadi sibocah jatuh ketangan orang-orang
golongan hitam. Karena itulah Wie Sin Siansu berusaha agar sibocah bisa
ditundukkannya dan mau menjadi muridnya!
Itu pula sebabnya mengapa Wie
Sin Siansu akan mendidik langsung bocah itu, tidak diserahkan kepada muridnya
ataupun cucu muridnya, agar menjadi guru sibocah.
Masih ada alasan lainnya yang
terpenting buat Wie Sin Siansu, la melihat Giok Han memiliki bakat yang sangat
baik, ditambah kecerdasannya yang memang terpuji, bahwa bocah itu memiliki otak
yang terang. Hal ini telah dibicarakan Wie Sin Siansu dengan Tang Sin Siansu,
Hongthionya.
Kekuatiran terbesar jika
dengan semua keadaan seperti itu, dimana bakat, kecerdasan dan juga api dendam
yang terpendam didasar hati sibocah, jatuh ketangan orang tidak bertanggung
jawab, nicaya bisa disalah gunakan ! Memang kemungkinan Giok Han kelak menjadi
seorang yang tanguh dan cerdas, bisa saja terjadi.
Tanpa pengarahan yang tepat,
apa jadinya pada bocah itu kelak ? Apakah bocah itu akan dibiarkan tanpa
pengarahan dan kelak menjelma jadi seorang dedengkot iblis?
Alasan-alasan itulah mengapa
Tang-Sin Siansu dan juga Wie Sin Siansu memilih lebih baik bocah itu dirawat
dan dididik dalam lingkungan Siauw Lim Sie, dengan harapan agar bocah itu kelak
tumbuh dalam lingkungan baik, bisa menjelmakan jiwa dan perasaannya pada arah
yang baik pula.
Wie Sin Siansu menghela napas
dalam-dalam, rembulan bersinar terang, akhirnya pendeta suci tersebut kembali
kekamarnya.
Keesokan paginya tampak
kesibukan di ruang Tat Mo Tong, belasan murid Siauw Lim Sie tengah
mempersiapkan suatu upacara sembahyang. Tidak lama lagi akan diselenggarakan
upacara sembahyang pengangkatan guru-murid antara Giok Han terhadap Wie Sin
Siansu. Hanya bedanya sekarang, tidak terdapat alat-alat pemangkas rambut,
seperti yang biasa terjadi pada upacara-upacara yang sama di waktu-waktu
sebelumnya, karena sekali ini memang terdapat pengecualiannya dimana Giok Han
tidak akan dicukur rambutnya, tidak menjadi murid Siauw Lim Sie yang harus
menjadi Hweshio.
Sejak pagi tadi Giok Han sudah
diajak Bun An Taysu untuk salin pakaian, dengan seperangkat pakaian yang rapi
dan bersih. Kemudian diajak ke Tat Mo Tong, dimana sudah berkumpul banyak sekali
murid-murid Siauw Lim Sie. Giok Han di dudukkan di-sebuah tikar anyaman
bergamparkan patkwa.
Suasana hening sekali. Waktu
Wie Sin Siansu melangkah masuk dalam ruangan, semua murid yang berkumpul di
ruang itu, yang semuanya terdiri dari tingkat ke 9, 8, 7, 6, 5, dan 4, berdiri
menjurah memberi hormat, Murid murid Siauw Lim tingkat 3, dan duduk di sebelah
atas undakan ruang itu ikut berdiri memberi hormat kepada Wie Sin Siansu.
Setelah Wie Sin Siansu mengambil tempat duduk tidak jauh dari Giok Han, beralaskan
selembar tikar bergambar patkwa juga, menyusul masuk Hongthio Siauw Lim Sie
Tang Sin siansu.
Didahului oleh suara genta
yang dibunyikan berturut-turut sebanyak 10 kali, suara genta menggema di
seluruh tempat itu seputaran kuil Siauw Lim Sie. Di belakang Tang Sin Siansu
tampak murid-murid Siauw Lim Sie tingkat ke 1, sute dari Tang Sin Siansu.
Mereka terdiri dari Tang Lang Siansu, Tang Lu Siansu dan Tang Bun Siansu.
Untuk keperluan menghadiri
upacara pengangkatan murid baru Siauw Lim Sie, Tang Lun Siansu yang menerima
perintah Suhengnya untuk pergi ke Bu Tong Pay, sudah menangguhkan
keberangkatannya. Ini memang merupakan peraturan Siauw Lim Sie. dimana untuk
pengangkatan seorang murid baru Siauw Lim Sie, selain harus dipimpin oleh
Hongthio Siauw Lim Sie, juga disaksikan oleh tiga tetua lainnya. Tang Bun
Siansu Tang Lang Siansu dan Tang Lu Siansu, dengan demikian resmilah sang murid
menjadi murid Siauw Lim Sie.
Ketika keempat pendeta suci
Siauw Lim Sie memasuki ruang Tat Mo Tong, semua pendeta yang berkumpul di
ruangan itu berdiri. Murid-murid Siauw Lim mulai dari tingkat ke 4 sampai
tingkat ke 9 berlutut menyambut kedatangan ketua mereka.
Tang Sin Siansu berempat
dengan ketiga orang sutenya mengambil tempat duduk. Sikap mereka angker sekali,
masing-masing mengenakan jubah merah darah bersulamkan benang emas kuning
gemerlapan. Inilah jubah resmi pemimpin-pemimpin Siauw Lim Sie.
Keadaan di dalam ruangan itu
hening sekali "Murid-murid dan cucu murid yang berkumpul hari ini,"
berkata Tang Sin Siansu dengan suara yang jelas dan sabar, tapi berwibawa,
"semua untuk menyambut kehadiran seorang saudara seperguruan kalian. Hari
ini adalah hari pengangkatan resmi seorang murid baru dari pintu perguruan
kita. Calon murid itu bernama Giok Han, berusia 7 tahun tiga bulan, putera dari
tuan Giok Hu, yang pernah menjabat pangkat Goanswee. Setelah mempertimbangkan
dalam beberapa hal yang berhubungan dengan anggaran dasar pintu perguruan kita,
calon murid Giok Han akan diterima menjadi murid Siauw Lim Sie perawatan dan pendidikannya
akan dipercayakan kepada Wie Sin Siansu, murid Siauw Lim Sie tingkat ke
2..."
Berkata sampai di situ, Tang
Sin Siansu tidak bisa meneruskan kata-katanya, karena seketika di dalam ruangan
itu ramai oleh suara bisik-bisik di antara para pendeta. Ini merupakan kejadian
yang tidak pernah terjadi dalam pintu perguruan Siauw Lim Sie, seorang anak
berusia 7 tahun yang akan diterima menjadi murid Siauw Lim Sie bisa langsung
dirawat dan dididik oleh murid tingkat ke 2, merupakan urusan yang janggal bagi
semua pendeta yang berkumpul di situ, sebabnya, dengan menjadi murid Wie Sin
Siansu, status Giok Han resmi menjadi murid tingkat ke 3, setingkat dengan Bun
An Taysu dan beberapa murid-murid Wie Sin Siansu lainnya.
Juga Giok Han seketika menjadi
Susiok (paman guru) dan Susiokcouw (kakek paman guru) dari murid Siauw Lim Sie
tingkat 4, 5, 6,7,8, dan 9. Murid-murid Bun An Taysu dan yang lainnya otomatis
menjadi keponakan murid Giok Han ! Urusan demikian luar biasa, karenanya
murid-murid Siauw Lim Sie itu saling berbisik.
Tang Sin Siansu mengangkat
lengan jubahnya, mendehem, kemudian berkata angker: "Loceng harap semua
tenang. Dengarkan baik-baik. semua keputusan yang diambil bukan berdasarkan
keputusan seketika. Hal ini telah dirundingkan di antara tetua-tetua dan
pimpinan-pimpinan kita. Ada beberapa faktor dan alasan mengapa kami harus
mengambil keputusan seperti itu, yang rasanya agak panjang kalau harus
dikemukan di sini sekarang, apakah ada pertanyaan ?"
Sepi ruangan itu. Tidak ada
yang bertanya. "Omitohud," memuji Tang Sin Siansu atas kebesaran Sang
Buddha "Kita bisa segera memulai upacara sembahyang pengangkatan
guru-murid."
Segera beberapa orang pendeta
yang memang bertugas mengurus jalannya upacara sembahyang pengangkatan
guru-murid itu menghampiri Giok Han, yang sejak tadi duduk diam saja dengan
hati bertanya-tanya, mengapa pendeta-pendeta yang berkumpul di ruangan tersebut
memandangi dengan sikap tidak puas.
Giok Han dipimpin jalan
kehadapan Tang Sin Siansu, ia diajarkan berlutut dan memanggil Tang Sin Siansu
dengan dengan sebutan "Sucouw" (kakek guru) tiga kali. Tang Sin
Siansu meletakkan telapak tangan di pundak si bocah, sabar dan halus suaranya
ketika ia bilang: "Bangunlah."
Menyusul kemudian baru Giok
Han memberi hormat dengan berlutut kepada Tang Bun Siansu, Tang Lang Siansu dan
Tang Lu Sian Su yang masing-masing dipanggil dengan sebutan
"Susiokcouw." Upacara berikutnya Giok Han melakukan sembahyang
terhadap meja abu Tat MO COUWSU pendiri pintu perguruan Siauw Lim Sie, leluhur
pertama yang membangun kuil Siauw Lim Sie. Oi meja abu itu terdapat gambar
lukisan seorang Hweshio bertubuh tinggi besar dan tegap, dengan berewok yang
tebal, tampaknya bukan seperti orang Han.
Angker dan berwibawa sekali.
Hidup lukisan tersebut, sehingga mata pendeta dalam gambar itu seakan
memancarkan sinar berpengaruh. Giok Han memasang hio tujuh batang, berlutut di
depan meja abu mengangguk tujuh kali. Waktu itu Tang Sin Siansu pun sudah
berdiri di samping Giok Han, dengan tangan mencekal beberapa batang hio
menyala, berucap dengan suara nyaring : "Tecu Tang Sin Siansu menghadap
Couwsuya menghunjuk hormat. Bersama Tecu ikut serta murid tingkat ketiga, Giok
Han, menghadap pada Couwsuya. Ber-kah dan bimbingan Couwsuya diharapkan benar
oleh Giok Han." la berlutut dan menganggukkan kepalanya tiga kali.
Menancapkan hio di tempatnya, menjurah lagi.
Kemudian, Tang Sin Siansu
memutar tubuhnya Tang Bun Siansu, Tang Lang Siansu dan Tang Lu Siansu pun
setelah memberi hormat kepada meja abu Tat Mo Couwsu, berdiri di belakang Tang
Sin Siansu. Giok Han masih berlutut.
"Giok Han !" suara
Tang Sin Siansu angker sekali. Giok Han terkejut mengangkat kepalanya, tapi
seorang pendeta pengatur upacara sembahyang yang ada disamping Giok Han
berbisik: "Menunduk, jangan angkat kepala. Menjawablah panggilan
Hongthio."
"Ya Hongthio . . ?"
"menyahuti Giok Han
perlahan sambil menundukan kepalanya lagi.
Sepasang alis Tang Sin Siansu
dan juga Tang Bun. Tang Lang maupun Tang Lu Siansu, jadi mengkerut. Pendeta
pengatur upacara sembahyang itu sibuk membisikan Giok Han: "Jangan
memanggiI dengan sebutan Hongthio. Kau harus memanggil dengan Sucouw."
"Ya.. Sucouw ?! Giok Han
mengulangi jawabannya, tapi hatinya jadi tambah tidak senang. Demikian
bertele-tele dan rumit upacara pengangkatan guru-murid. Dia jadi sebal.
"Dengarkanlah baik-baik
Giok Han !" kata Tang Sin Siansu lagi. "Mulai hari ini kau diterima
menjadi salah seorang murid Siau Lim Sie. Karena yang akan mendidik dan merawat
kau murid-murid Siauw Lim Sie tingkat ke dua, dengan sendirinya kau sebagai
murid Siauw Lim Sie tingkat ke 3. Berkat doa dan restu Couwsuya, ijin dari
leluhur-leluhur kita yang lainnya, upacara sembahyang pengangkatan guru murid
berlangsung dengan lancar. Mengingat akan usiamu yang masih terlalu kecil, kami
tidak akan memaksa kau mengambil jalan HOED, karenanya kau adalah satu-satunya
murid Siauw Lim Sie yang tidak cukur rambut, kaupun tidak perlu mempergunakan
gelar kependetaan, cukup mempergunakan namamu yang semula.
Kelak jika kau sudah dewasa
dan bermaksud menempuh jalan HOED, hal itu baru akan dipertimbangkan kembali,
barulah Kami tetua-tetuamu akan mencarikan gelaran mulia untukmu. Mulai
sekarang, kau terikat oleh peraturan-peraturan Sauw Lim Sie yang harus kau
patuhi sebaik-baiknya. Dengarkanlah baik-baik!"
"Ya, Sucouw ..."
Menyahuti Giok Han
Walaupun sebal tapi hatinya
gentar melihat keangkeran Tang Sm Siansu dan tiga pendeta Suci Siauw Lim
lainnya yang berdiri di belakang Hongthio tersebut, sehingga ia tidak berani
rewel.
"Peraturan yang
pertama," bilang Tang Sin Siansu lagi, "bunyinya : Setiap murid Siauw
Lim Sie harus patuh pada gurunya seperti kepada orang tuanya, menghormati guru
maupun pintu perguruannya. Harus patuh kepada saudara seperguruan yang
tingkatannya lebih tinggi darinya, harus memperhatikan kesejahteraan
saudara-saudara seperguruan, demikian juga terhadap saudara-saudara
seperguruannya yang tingkatannya lebih bawah. Tidak boleh mempelajari ilmu
silat dari perguruan lain, terlebih lagi ilmu sesat."
Giok Han hanya mendengarkan,
sepatah perkataanpun tidak diperhatikan, masuk telinga kiri keluar telinga
kanan, Sebal sekali sibocah dengan upacara-upacara yang demikian rumit dan
bertele-tele.
"Bunyi peraturan kedua:
Setiap murid Siauw Lim Sie harus menjunjung tinggi kebenaran, keadilan dan
welas asih. Tidak boleh mempergunakan kepandaiannya buat melakukan perbuatan
tercela atau tindakan yang bisa mendatangkan malu terhadap pintu perguruan.
Tidak boleh mempergunakan kepandaiannya untuk menindas yang lemah. Peraturan
yang ketiga : Setiap murid Siauw Lim Sie ..." Hongthio Siauw Lim Sie itu
membacakan terus peraturan-peraturan Siauw Lim Sie, yang harus dipatuhi oleh
setiap murid Siauw Lim Sie, yang keseluruhannya berjumlah 30 peraturan. Sampai
akhirnya setelah selesai membacakan ketiga puluh peraturan tersebut, Tang Sin
Siansu bilang: "Dan bagi setiap murid Siauw Lim Sie yang melanggar salah
satu dari peraturan yang telah diberitahukan kepadanya di hadapan Couwsuya,
akan menerima hukuman yang setimpal dengan dosa-dosanya !"
Tang Sin Siansu mengibaskan
lengan jubahnya, Wie Sin Siansu maju, duduk di sebuah kursi yang ada disamping
Hongthio Siau Lim Sie, kemudian Giok Han maju berlutut di depan Wie Sin Siansu,
memanggil "Suhu !" tiga kali sambil memanggutkan kepala tujuh kali.
Wie Sin Siansu menepuk-nepuk
pundak Giok Han sambil tersenyum. "Bangunlah muridku . . . mulai sekarang
kau harus rajin-rajin-belajar apa yang akan kuajarkan kepadamu."
"Ya Suhu," dan Giok
Han berdiri di samping gurunya. Murid-murid Siauw Lim Sie mulai dari tingkatan
ke sembilan maju memberikan ucapan selamat kepada Giok Han. Memang agak lucu
juga peristiwa pengangkatan guru murid sekali ini, karena pada waktu ini
murid-murid tingkat 9, 8. 7 dan seterusnya memanggil Giok Han dengan panggilan
"Susiokcouw"
"Susiok" dan
Iain-lain, panggilan tingkat yang lebih muda kepada tingkat yang lebih tinggi.
Sedangkan murid-murid Siauw
Lim Sie tingkat 2 dan 3 yang memberikan ucapan selamat kepada Giok Han sambil
menyertai nasehat-nasenat mereka, agar Giok Han rajin-rajin belajar.
Pendeta tingkat 2, saudara-saudara
seperguruan yang sama tingkat dengan Wie Sin Siansu, memanggil Giok Han dengan
sebutan Sutit, keponakan murid. Pendeta dan tingkat 3 memanggil Giok Han
"Sute " adik seperguruan. Bun An Taysu sendiri sambil tertawa berkata
kepada sute bungsunya ini: "Sute, aku akan senang sekali nanti latihan
bersama-sama kau!"
Tetapi 8 murid Wie Sin Siansu
lainnya, tampaknya tidak begitu gembira dengan memperoleh seorang sute kecil
seperti Giok Han, mereka tampak tidak puas. Seorang bocah seperti Giok Han
mendadak saja bisa mencapai kedudukan yang sama tingkat dengan mereka.
Upacara pengangkatan
guru-murid itupun dilanjutkan dengan minum teh, dan akhirnya bubar. Giok Han
memperoleh kamar yang terletak pada kuil sebelah timur, tempat untuk
murid-murid Siauw Lim Sie tingkat 2 dan 3. kamarnya bersih, ia sekamar dengan
Bun An Taysu, si Toasuheng (kakak seperguruan tertua), karena Wie Sin Siansu
memerintahkan Bun An Taysu mendampingi si Sute bungsu ini sambil membimbingnya.
Memang benar Wie Sin Siansu
yang akan mendidik langsung murid bungsunya. namun Bun An Taysupun harus
sering-sering memberikan petunjuk kenada Giok Han. agar si adik seperguruan
bungsu itu tidak mengalami kesulitan untuk menerima semua pelajaran dari Wie
Sin Siansu.
Wie Sin Siansu mulai mendidik
Giok Han dari ilmu dasar, yaitu ilmu pukulan delapan belas arhad, Cap Peh Lo
Han Kun. Ilmu pukulan ini terbagi dalam 18 jurus dan setiap jurus terbagi dalam
6 gerakan, sehing ga keseluruhannya berjumlah 108 gerakan.
Ini merupakan langkah pertama
bagi murid SiauwLim Sie melatih ilmu pukulan, jika sudah menguasai Cap Peh Lo
Han Kun, barulah akan ditingkatkan kepada ilmu pukulan lainnya. Walaupun
disebut sebagai ilmu dasar, Cap Peh Lo Han kun dari Siauw Lim Sie ini bukanlah
ilmu sembarangan.
Seorang ahli dari Siauw Lim
Sie, dengan mempergunakan ilmu pukulan tersebut pasti tidak akan rubuh ditangan
musuh berjumlah lebih dari 70 orang! Terlebih lagi kalau ilmu pukulan Cap Peh
Lo Han Kun disertai dengan tenaga Sinkang akan menjelma sebagai ilmu pukulan
yang tiada lawannya!
Setelah sebulan lebih
berlatih, Giok Han mulai senang. Kegembiraannya pulih. Ternyata para
pendeta-pendeta itu tidak mengajarkannya membaca Liamkheng seperti yang
ditakutinya. Hanya Bun An Tavsu suka juga mengajarkan Giok Han membaca maupun
menulis, yang sama sekali tidak ada sangkut paut dengan kependetaan. Membaca
syair-syair kuno, menulis dan juga mengenal makna huruf-huruf dari jaman kuno
sampai huruf yang sekarang dipergunakan.
Karena sekamar dengan Giok
Han, Bun An Taysu pun di waktu-waktu senggang suka bercerita pada si bocah
tentang pengalamannya di dunia Ka-ngouw. Memberitahukan juga cara hidup
orang-orang Kangouw, tokoh-tokoh Kangouw yang terkenal. Jika mendengarkan
cerita Bun An Taysu tentang tokoh-tokoh Kangouw maupun kejadian-kejadian di
rimba persilatan Giok Han senang sekali. Sebagaimana seorang anak kecil
lainnya, diapun senang di dongengi, hanya bedanya bocah ini menginginkan
dongeng dari kisah kenyataan para pendekar dijaman silam, bukan dongengan yang
tidak masuk dalam akal.
Otak Giok Han memang encer dan
mudah menerima semua pelajaran yang diberikan Wie Sin Siansu maupun Bun An
Taysu. Tidak pernah si bocah mengalami kesulitan dalam mempelajari Cap Peh Lo
Han Kun.
Wie Sin Siansu sendiri merasa
heran campur girang. la tidak menyangka Giok Han bisa menerima semua pelajaran
dengan mudah. Dengan sendirinya, semuanya berlangsung lancar tanpa kesulitan.
Sebelumnya Wie Sin Siansu merencanakan untuk mengajarkan ke setiap jurus dari
Cap Peh Lo Han Kun pada Giok Han selama seminggu. Jurus pertama sudah dilatih
seminggu baru akan diajarkan jurus yang kedua dan begitu seterusnya.
Tetapi ketika hari pertama Wie
Sin Siansu mengajarkan jurus pertama Cap Peh Lo Han kun, Giok Han sudah segera
bisa menangkap apa yang diajarkan kepadanya. Tidak sampai setengah hari tangan
dan kuda-kucla kedua kakinya sudah mantap, dan menjelang sore hari ia sudah
menguasai jurus pertama ilmu pukulan delapan belas arhad tersebut !
Mulanya Wie Sin Siansu
tercengang, takjub, tidak mempercayai apa yang disaksikannya. Namun akhirnya
pendeta alim Siauw Lim Sie itu harus mengakui kelebihan-kelebihan Giok Han dari
bocah-bocah sebaya dengannya, baik bakat maupun kecerdasannya. "Tidak
kecewa ia keturunan seorang besar seperti Giok Hu Goanswee !" Berpikir Wie
Sin Siansu saat itu.
Keesokan paginya Wie Sin
Siansu perintahkan Giok Han mengulangi jurus pertama yang kemarin
dipelajarinya. Si bocah bisa menjalankan jurus itu dengan baik tanpa kesalahan
sedikitpun. Kuda-kuda kedua kakinya pun tepat. Wie Sin Siansu jadi memutuskan
mengajarkan jurus kedua. Jurus ini lebih rumit dan sulit, dengan enam gerakan
juga seperti jurus pertama.
Tapi setiap gerakan memiliki
perobahan-perobahan yang mendadak. Dia menyangka Giok Han memerlukan waktu
empat atau lima hari untuk mempelajari dan menguasainya, walaupun otak si bocah
sangat encer. Tapi si pendeta tua itu kecele lagi. Giok Han bisa mempelajaiinya
malah lebih cepat dari jurus pertama ! Jurus kedua dari ilmu pukulan delapan
belas arhad itu telah dikuasai waktu matahari tepat bersinar di tengah-tengah,
menjelang tengah hari ! Tidak ada alasan lagi buat Wie Sin Siansu menunda-nunda
jurus lainnya, yang siang itu diajarkan kepada Giok Han.
Sebagai pendeta yang sakti,
Wie Sin Siansu pun akhirnya mengetahui mengapa jurus pertama yang lebih mudah
dari jurus ke dua malah dilatih lebih lama oleh Giok Han.
Jurus pertama dilatih satu
harian, sedangkan jurus kedua yang lebih sulit hanya setengah hari saja. Hal
itu disebabkan jurus pertama adalah saat-saat pertama kali Giok Han melatih
ilmu silat Cap Peh Lo Han Kun, memerlukan persesuaian keadaan tubuh dan
lain-lainnya. Jurus kedua dilatihnya justeru ketika ia sudah bisa menyesuaikan
diri, karenanya jauh lebih cepat !
Jurus ketiga, ke empat dan
seterusnya dilatih pada hari ke dua itu, mulai tengah hari sampai sore! Waktu
akan kembali ke tempatnya, Wie Sin Siansu sudah menurunkan seluruh ke delapan
belas jurus Cap Peh Lo Han Kun ! Memang suatu kejadian luar biasa, dalam dua
hari Giok Han sudah menguasai kedelapan belas jurus Cap Peh Lo Han K.un,
lengkap dengan setiap 6 perobahan gerakan dari setiap jurus, yang dapat
dikuasainya dengan baik tanpa ada kesalahanpun juga !
Malam iiu Wie Sin Siansu
segera melaporkan hal itu kepada Tang Sin Siansu. Dengan muka berseri-seri
penuh rasa girang dan takjub, Wie Sin Siansu menceritakan bagaimana mulai jurus
ke 2 sampai jurus ke 18, dilatih oleh Giok Han hanya dalam waktu 1 hari saja !
Mendapat keterangan seperti
itu muka Tang Sin Siansu malah jadi murung, tampaknya ia bersusah hati. Wic Sin
Siansu kaget, ia menyangka dirinya melakukan suatu kesalahan. Apalagi
dilihatnya Hongthionya berdiam diri saja.
"Hongthio," kata Wie
Sin Siansu hati-hati. "Apakah... apakah ada sesuatu yang tidak benar
?"
Tang Sin Siansu menghela napas
dalam-dalam. "Tampaknya apa yang Loceng kuatirkan akan menjadi kenyataan.
Jika anak itu tidak dipelihara dengan pengarahan sebaik-baiknya, bisa
menimbulkan kesulitan yang tidak sedikit."
Wie Sin Siansu tidak mengerti,
hanya mengawasi Hongthionya.
"Wie Sin, kau sudah
melihat betapa cerdasnya anak itu, bukan?" Tanya Tang Sin Siansu sambil
mengawasi Wie Sin Siansu, Cepat cepat Wie Sin Siansu mengiyakan. "Nah,
dari semua itu saja sudah bisa kita pastikan, bahwa Giok Han dapat mempelajari
sebagian besar ilmu silat Siauw Lim Sie tidak lebih dari dua atau tiga tahun!
Ilmu perguruan kita tidak akan rampung hanya di latih dua puluh tahun,
sedikitnya memerlukan tigapuluh tahun, itupun belum pasti bisa dilatih
keseluruhannya. Kalau sekarang ilmu pintu perguruan kita yang harus dilatih
oleh seorang murid selama tigapuluh tahun lebih, dapat dilatih oleh seseorang
hanya dalam waktu dua atau tiga tahun, apa yang akan terjadi ?"
Wie Sin Siansu tercekat,
mukanya jadi pucat. Seketika ia baru tersadar. "Maksud Hongthio... Giok
Han..."
"Bocah itu tampaknya luar
biasa sekali, berbeda dengan anak-anak sebaya lainnya. Buktinya? Cap Peh Lo Han
Kun biasanya bisa dikuasai oleh seorang murid baru setelah ia berlatih dengan
tekun selama satu tahun. Terkadang lebih. Tapi, Giok Han bisa menguasainya
dalam dua hari, seperti dalam laporanmu tadi ! Benar-benar kejadian yang sulit
diterima oleh akal kita. Sesuatu yang sangat mustahil, tapi sudah menjadi
kenyataan.
Melihat kenyataan seperti itu,
Loceng berani memastikan anak itu bisa mempelajiri sebagian ilmu silat kita
dalam waktu dua tiga tahun. Tidak lebih dari itu!"
Wie Sin Siansu jadi berpikir
keras. Apa yang dikatakan Hongthionya ini tidak keliru. Melihat kecerdasan yang
dimiliki Giok Han, tampaknya memang bukan mustahil ia bisa mempelajari sebagian
ilmu silat Siauw Lim Sie dalam waktu yang sangat singkat.
"Hongthio," kata Wie
Sin Siansu kemudian, "apakah hal ini bukan terjadi hanya kebetulan saja,
mungkin nanti melatih ilmu lainnya ia tidak akan secepat itu? Atau..."
Tang Sin Siansu tersenyum
sabar, ia mengulapkan tangannya. "Omitohud! Siancay! Kau tentu ingin
bilang bahwa Giok Han kebetulan bisa mempelajari Cap Peh Lo Han Kun begitu
cepat dan mungkin jika mempelajari ilmu lain ia tidak secepat itu? Loceng kira
malah sebaliknya ! ia akan lebih cepat dan lebih mudah menguasai ilmu lainnya,
karena semakin banyak ilmu yang telah diserap, bukakah ia akan lebih cepat
memahami sesuatu jurus dari setiap ilmu pukulan, yang bagaimana sulit
sekalipun?
Boleh saja kita menduga bahwa
dulu waktu ayahnya masih hidup, ia sudah mulai mempelajari ilmu silat dibawah
bimbingan ayahnya atau panglima-panglima kepercayaan ayahnya. Kemungkinan
seperti itu bisa saja terjadi mengingat ayahnya seorang Jenderal besar, Tapi,
masuk akalkah jika Cap Peh Lo Han Kun dipelajari dan dikuasai oleh seorang anak
seperti Giok Han hanya dalam dua hari? Sedangkan murid tingkat sembilan, yang
sudah bertahun-tahun berdiam disini, jika kita perintahkan membawakan Cap Peh
Lo Han Kun, belum tentu bisa membawakannya dengan sempurna, kesalahan kesalahan
kecil pasti dibuatnya. Sedangkan menurut laporan kau Wie Sin, waktu itu Giok
Han sudah menguasai kedelapan belas jurus Cap Pen Lo Han Kun, kau perintahkan
kepadanya membawakan dari mulai jurus-jurus ilmu pukulan itu dan tidak ada
kesalahan kecilpun yang dilakukannya! Yang Loceng kuatirkan, kalau memang anak
itu bisa dibawa dalam pengarahan yang baik, tentu merupakan anugerah HODCOUW
(Sang Budha), tapi kalau sebaliknya ? Siapa yang bisa mengendalikannya kelak
kalau ia sudah dewasa dan menguasai ilmu silat Siauw Lim ?"
Wie Sin Siansu menggidik
mendengar perkataan Tang Sin Siansu terakhir itu. "Kalau demikian, apakah
harus ada pembatasan-pembatasan dulu dalam menurunkan pelajaran kepada anak
itu. Hongthio?" tanya Wie Sin Siansu.
Tang Sin Siansu menggeleng.
"Siancay, hal itu tidak baik. Tidak pernah perbuatan seperti itu kita
lakukan terhadap murid yang manapun. IImu Siauw Lim yang manapun berhak
dipelajari oleh seluruh murid-murid Siauw Lim Sie, tanpa pengecualian,
tergantung dari kemampuan dan bakat mereka. Hanya Giok Han tampaknya memiliki
keluar-biasaan yang harus dipertimbangkan sebaik-baiknya, bagaimana caranya
membawa anak itu pada suasana lingkungan jiwa yang baik, agar perkembangan
jiwanya lurus dan bersih."
"Kita tak berhak
menghambatnya dengan membatasi ilmu untuknya, tapi perlu sekali pengamatan
terhadap semua sepak terjangnya, dengan demikian kita bisa mengetahui
secepatnya bagaimana jiwa dan watak anak itu, agar tidak terjadi penyesalan
setelah terlambat. Jika terlihat tanda-tanda kurang baik dalam sepak
terjangnya, kita harus segera menghentikan pengajaran padanya. Kita akan
rundingkan lagi hal itu, apakah perlu diambil langkah-langkah seperlunya,
misalnya anak itu dikeluarkan dari Siauw Lim Sie dengan alasan tertentu dan
dipercayakan kepada pintu perguruan lainnya."
Wie Sin Siansu mengangguk.
"Tecu akan memperhatikannya sebaik mungkin. Mudah-mudahan apa yang kita
kuatirkan tidak terjadi, dan sepak terjang anak itupun semoga saja tida
sesat."
"Omitohod." Tang Sin
Siansu merangkapkan tangannya memuji kebesaran Sang Buddha. "Besok adalah
hari ketiga kau mendidik Giok Han, ilmu apa yang akan kau ajarkan lagi padanya
?"
"Semula Tecu bermaksud
akan mengajarkan Sin Wan Kun, tapi setelah menerima petunjuk-petunjuk Hongthio,
biarlah anak itu akan tecu perintahkan melatih dulu sebulan jurus-jurus Cap Pen
Lo Han Kun, agar ia lebih mahir."
Tang Sin Siansu mengangguk,
menyetujui rencana Wie Sin Siansu. "Besok jika ia sedang berlatih Loceng
akan pergi melihatnya," kata Hongthio tersebut.
Wie Sin Siansu pamitan
mengundurkan diri dari hadapan Hongthionya, di kamarnya ia duduk bersemedi.
Tapi pikirannya tidak bisa tentram. Sebagai seorang yang sejak kecil melatih
ilmu silat dan hidup sebagai seorang pendeta alim, ia sangat menomor satukan
ilmu silat, semakin tinggi kepandaiannya, semakin besar penghargaannya terhadap
ilmu silat yang lebih sulit.
Juga akan merasa gembira jika
bisa mendidik murid-muridnya memperoleh kemajuan, sekarang Giok Han menjadi
muridnya, bocah itu memiliki bakat dan kecerdasan yang luar biasa tentu saja di
samping kekuatiran terhadap pesan-pesan Hongthionya, ia pun merasa bersyukur,
di mana Giok Han bisa mengharapkan menerima semua ilmunya dengan baik.
Walaupun sebagai pendeta alim,
Wie Sin Siansu tetap saja seorang manusia, yang masih belum keseluruhannya
sanggup melepaskan diri dari perasaan girangnya. Sebab itu ia merasa sayang
kalau bakat yang demikian bagus pada diri si bocah tersia-sia. Hanya saja Wie
Sin Siansu pun berpikir, kalau sampai apa yang dikuatirkan oleh Hongthio Siauw
Lim Sie terjadi, di mana Giok Han berhasil melatih seluruh ilmu Siauw Lim Sie
dalam wakta singkat, kemudian berpaling dari jalan yang lurus, siapa yang bisa
menguasainya ?
Wie Sin Siansu jadi gelisah ia
bcrsemedhi umuk menenangkan pikirannya, sampai akhirnya selesai bersemedhi, si
pendeta alim yang biasanya tidak pernah bingung menghadapi persoalan bagaimana
rumitpun, memutuskan bahwa ia akan mengulur waktu dulu sementara ini, agar bisa
memperhatikan sepak terjang Giok Han, adakah jiwa dan watak si bocah bersih dan
lurus atau kebalikannya, Jika memang terbukti bocah itu memiliki sifat yang
baik dan terpuji, ia tidak akan ragu-ragu lagi meneruskan pendidikan pada bocah
itu.
Keesokan harinya, waktu Wie
Sin Liancu Perintahkan Giok Han melatih kedelapan belas jurus, Cap Peh Lo Han
Kun, secara diam-diam Tang Sin Siansu memperhatikan. Dia ia semakin yakin
dengan dugaannya bahwa Giok Han merupakan seorang bocah luar biasa, yang
memiliki banyak kelebihan dari bocah-bocah sebaya lainnya Delapan belas jurus
Cap Peh Lo Han Kun, dengan setiap jurus ada 6 perobahan gerak, dapat dilakukan
Giok Han dengan baik, tanpa melakukan satu kesalahanpun juga, walaupun ia baru
3 hari mempelajari ilmu Cap Peh Lo Han Kun tersebut. Keputusan Tang Sin Siansu
semakin bulat, bahwa Wie Sin Siansu harus membatasi dulu dan mengulur waktu
dalam mewarisi kepandaiannya pada si bocah.
Hal itupun disampaikan kepada
Wie Sin Siansu. "Kita perhatikan dulu selama tiga bulan, jika selama ini
Giok Han berkelakuan baik, barulah diwarisi secara wajar." perintah Tang
Sin Siansu pada Wie Sin Siansu.
Karena keputusan Tang Sin
Siansu, akhirnya selama sebulan lebih itu Giok Han hanya melatih semacam ilmu
saja, yaitu Cap Poh Lo Han Kun. la melihat delapan belas jurus, jurus ke satu
sampai jurus ke delapan belas, kemudian kembali ke jurus pertama.
Memang membosankan, pernah
Giok Han menanyakan kepada Wie Sin Siansu, apakah tidak ada ilmu lainnya yang
bisa dipelajarinya, selain Cap Peh Lo Han Kun, Giok Han juga memperlihatkan
bahwa ia benar-benar sudah menguasai kedelapan belas jurus ilmu pukulan Arhad
tersebut.
Tapi Wie Sin Siansu selalu
bilang. "Kau harus berlatih sampai benar-benar menguasai ke delapan belas
jurus itu, muridku. Masih banyak kelemahan dan kekurangan yang kau lakukan.
Jika sudah tiba waktunya aku akan mengajarkan lagi ilmu lainnya !"
Karena rasa bosannya harus
terus menerus melatih Cap Peh Lo Han Kun, akhirnya Giok Han lebih sering
memperhatikan Bun An Taysu yang tengah berlatih, Giok Han duduk dan mengawasi
saja latihan yang dilakukan Bun An Taysu. Kalau malam hari, Giok Han pun sering
meniru-niru Bun An Taysu duduk bersemedi, banyak bertanya kepada Toasuhengnya
ini apa yang harus dilakukan melatih ilmu pernapasan.
Karena Bun An Taysu menyukai
sute kecilnya ini, akhirnya ia suka juga memberitahukan cara-cara melatih ilmu
pernapasan. la menyangka Giok Han hanya iseng-iseng meniru setiap gerak-gerik
yang dilakukannya, ikut duduk bersemedhi. Tetapi siapa tahu, Giok Han
benar-benar melatih dengan penuh kesungguhan.
Rasa isengnya malah membuat si
bocah lebih tertarik untuk mendengarkan Toasuhengnya menceritakan berbagai
ilmu-ilmu silat Siauw Lim Sie, yang telah dikuasai Toasuhengnya tersebut.
"Nanti jika kau sudah memperoleh dasar yang cukup kuat, Suhu tentu akan
mengajarkan kau ilmu-ilmu itu,"
Bun An Taysu selalu berkata
begitu jika Giok Han terlalu rewel bertanya sesuatu yang berhubungan dengan
ilmu silat yang diceritakan oleh Bun An Taysu.
Pada suatu malam, ketika
mereka ingin tidur, Giok Han menggoyangkan lengan Toa suhengnya.
"Ada apa, Sute ?"
tanya Bun An Taysu sambil bangkit duduk.