PENGEMIS itu berjalan
terpincang-pincang, dengan tongkat cukup panjang ditangan kiri, mengetuk-ngetuk
jalanan, sambil- melangkah perlahan-lahan, rupanya dia buta tak bisa melihat.
Di tangan kanannya memegang sebuah mangkok untuk tempat menerima derma yang
diberikan orang padanya.
Kaki kanannya pincang, dia
jalan terseok-seok, mukanya kotor, kumis jenggotnya tak keruan, topinya juga
kotor sekali dibeleseki sampai menutup sebagian wajahnya. Usianya mungkin empat
puluh tahun. Pengemis ini berjalan terus perlahan-lahan, akhirnya berhenti di
sebuah rumah makan, minta sedekah.
Tak ada seorangpun yang
memperhatikannya, termasuk pelayan-pelayan rumah makan itu tak mengacuhkannya. Tapi,
biarpun buta, biji mata pengemis itu sering menatap bersinar ke dalam ruang
rumah makan itu, kemudian dipejamkan lagi, sambil mulutnya komat-kamit minta
belas kasihan kepada orang-orang yang lewat di dekatnya, agar memberi sedekah
padanya.
Lama juga si pengemis berdiam
di depan rumah makan, dia berjalan lagi terseok-seok menyusuri jalan tersebut,
akhirnya masuk ke sebuah lorong yang cukup panjang. Dia berjalan terus dengan
kepala tertunduk, sampai akhirnya berhenti di depan rumah yang megah dan mewah.
Pengemis ini menggumam perlahan: "Tampaknya" sepi, apakah
anjing-anjing kaisar lalim itu sudah tak berdiam di rumah ini ?"
Lama pengemis itu
memperhatikan rumah tersebut, sedangkan gedung itu tetap sunyi, sepi, tak
terlihat seorang manusiapun juga. Daun pintunya yang tebal lebar itu tertutup
rapat-rapat. Perlahan-lahan si pengemis melangkah menghampiri pintu. Dia
berdiri di situ memperhatikan keadaan di sekitarnya, rupanya dia cuma pura-pura
buta sebab matanya bersinar tajam dan bisa melihat apapun juga di
sekelilingnya.
Diangkat tongkat pada tangan
kirinya, ujung tongkat diketukan cukup keras pada daun pintu. Setelah itu
tongkatnya diturunkan lagi, menanti dengan kepala ditundukkan. Daun pintu
terbuka, seorang berpakaian sebagai pelayan di rumah tersebut keluar dengan
muka masam setelah melihat yang melihat yang mengetuk pintu seorang pengemis
kotor dan buta.
"Sial ! Mengapa kau
mengganggu ketenanganku ?" bentak si pelayan! "Hayo pergi!
Menggelinding dari sini !" bentakan itu disusul dengan tangan kanannya
diulurkan buat mendorong pundak si pengemis, sampai tubuh si pengemis
terhuyung-huyung mundur ke belakang beberapa langkah, rupanya si pelayan
mendorong dengan tenaga yang kuat.
"Toaya... bermurah
hatilah memberi sedekah kepadaku si pengemis melarat... Kasihanilah, aku
pengemis buta yang tak bisa melihat keindahan alam, tak bisa menikmati
keindahan apapun lagi...!"
"Jangan rewel, ayo pergi
! Atau kau mau kulemparkan baru mau menggelinding pergi dari sini ?" si
pelayan yang rupanya tadi sedang tertidur dan terbangun kaget karena ketukan
tongkat si pengemis pada daun pintu. Semula dia menyangka yang mengetuk pintu
sahabat majikannya, tak tahunya hanya seorang pengemis. Dia jadi uring-uringan
dan galak.
"Apakah Toaya tak
berkasihan padaku ?" tanya si pengemis. "Baiklah, kalau Toaya tak mau
memberi derma dan sedekah kepadaku, jelas akupun tak bisa memaksa...!"
Si pelayan rupanya sebal
melihat pengemis kotor ini, dia cuma "hemmm! "beberapakali dan
menutup daun pintu. Cuma saja, si pelayan jadi kaget campur heran. Daun pintu
tidak bisa ditutup rapat, biarpun dia mendorong kuat-kuat. Dia membuka lagi. Si
pengemis sedang menurunkan tongkatnya. Tidak ada orang lain disekitar tempat
itu. Si pelayan mendeliki si pengemis buta, dia membentak: "Kau masih belum
menggelinding pergi, pengemis menyebalkan ?"
"Aku akan segera pergi
Toaya, jangan galak-galak...! "kata si pengemis. Pelayan itu kembali mau
menutup daun pintu, sama saja hasilnya dengan tadi, yaitu daun pintu tidak bisa
ditutup rapat-rapat. Tentu saja dia semakin penasaran dan heran, tapi tidak
segera membuka lebar daun pintu, cuma mengintai dari sela daun pintu. Rupanya
semua ini akibat ulah si pengemis. Tongkatnya dilintangkan dan ujung tongkat
menunjang daun pintu, sehingga pintu tak bisa ditutup.
Karena penasaran, si pelayan
mendorong kuat-kuat agar daun pintu rapat. Dia pikir, berapa kuatnya sih tenaga
seorang pengemis buta yang tampaknya kurang makan itu ?Tapi dia kecele, karena
tetap saja daun pintu iiu tidak bisa didorong rapat biarpun sudah dikerahkan
seluruh tenaganya.
Dengan murka dia membuka
lebar-lebar daun pintu, sedangkan si pengemis buta sudah menurunkan tongkatnya
dan bersiap-siap hendak berangkat meninggalkan tempat itu.
"Gembel busuk, kau harus
dihajar.!" teriak si pelayan meloncat ke belakang si pengemis, tangan
kanannya diulurkan menjambak punggung pengemis itu, maksudnya dia hendak
menarik tubuh si pengemis untuk dibantingnya.
Tapi dia menyambar tempat
kosong, jari-jari tangannya yang semula tampak sudah hampir berhasil menjambak
baju di punggung si pengemis, cuma terpisah beberapa dim saja, telah menyambar
tempat kosong karena tubuh si pengemis mendadak seperti bisa maju ke depan
lebih cepat dari sebelumnya, seperti punggung si pengemis ada matanya bisa
melihat sambaran tangan si pelayan.
Tidak kepalang marah dan
penasaran si pelayan, dia membentak bengis sambil mengulangi jambakannya.
Sekali ini dia menjambak dengan mempergunakan tenaga sepenuhnya.
Si pengemis mendadak menjerit
: "Aduhhh ! Aduhhh . . . kakiku !" Dan dia memutar tubuhnya ke
samping, membungkuk buat melihat kakinya, mungkin dia sudah kesandung batu dan
sepatunya yang sudah tak keruan bentuknya itu menyebabkan ibu jari kakinya
muncul tercuat keluar tak bisa melindungi lagi jari kakinya dari bongkahan batu
yang terantuk itu, sehingga dia menderita kesakitan.
Karena si pengemis membungkuk
menyingkir ke samping buat melihat kakinya, akibatnya jelek sekali buat si
pelayan yang sedang mengerahkan seluruh tenaganya buat menjambak sambil
setengah menghantam dengan tangannya ke punggung si pengemis.
Karena begitu tangannya
diulurkan, mendadak lenyap sasarannya, bahkan waktu itu keseimbangan tubuhnya
lenyap, tubuhnya terjerunuk mencium tanah sampai mukanya kotor oleh tanah dan
abu !
Si pelayan menjerit marah
sambil meloncat berdiri, mukanya kotor sekali, hidungnya juga sudah bocor
mengeluarkan darah, karena tadi mencium jalanan. Dia loncat ke dekat si
pengemis untuk memukul kuat-kuat pada si pengemis. Karena tadi dia sudah
mendapat pengalaman pahit, sekali ini biarpun memukul sangat kuat si pelayan
tak membabi buta, dia tidak ceroboh dan berhati-hati.
Si pengemis seperti tidak tahu
beberapa kali hendak dipukul oleh si pelayan, dia mengayunkan tongkatnya ke
belakang, untuk di kempit pada ketiaknya, karena tangannya hendak mengurut-urut
ibu jari kakinya.
Ujung tongkatnya muncul di
samping ketiak belakang, dan mungkin secara kebetulan saja ujung tongkat itu
menyodok perut si pelayan. Sodokan ujung tongkat itu ternyata kuat sekali,
sebab si pelayan merasakan perutnya seperti dihantam sesuatu yang beratnya
ratusan kaki, membuat isi perutnya jungkir balik, tak bisa dipertahankan lagi
badannya kejengkang ke belakang, bergulingan beberapakali sambil teraduh-aduh
memegangi perutnya yang sakit sekali.
Si pengemis sudah menggerakkan
tongkatnya untuk mulai melangkah pergi, jalannya terseok-seok karena kakinya
memang pincang. Dia tetap membawa sikap seperti tidak tahu berulangkali dirinya
telah gagal diserang oleh si pelayan.
Pelayan itu biarpun perutnya
masih sakit, mukanya masih meringis, dengan kemarahan meluap sudah melompat
bangun, meraung penasaran dan berlari mengejar si pengemis. "Akan kuhajar
mampus kau! Akan kuhajar mampus kau !" Teriaknya mengancam. Dan memang dia
bermaksud untuk menyiksa pegemis itu, yang dikiranya sudah mempermainkan
dirinya.
Pengemis itu tetap
berlenggang-Ienggok terseok-seok dengan langkah pincang, seperti tak mendengar
teriakan si pelayan. Biarpun si pelayan berlari-lari buat menyusulnya, tetap
saja jarak mereka terpisah satu depa lebih, pelayan itu tak berhasil mendekati
si pengemis. Memang ini luar biasa.
Tampaknya si pengemis jalan
terseokseok, namun tubuhnya itu meluncur ke depan ringan sekali, seperti
melayang tak menginjak tanah sehingga biarpun si pelayan mengejarnya
menggunakan seluruh tenaganya berlari di belakang pengemis itu, tetap saja dia
tak berhasil mendekati pengemis yang luar biasa ini tanpa berapa si pelayan
sudah mengejar si pengemis cukup jauh, tapi tetap saja dia tak berhasil
mengejar pengemis itu, jarak mereka terpisah cukup jauh. Bukan main penasaran
hatinya, dia mengejar mati-matian mengerahkan seluruh sisa tenaganya, tetap
saja dia tak berhasil mencapai si pengemis.
Sampai akhirnya, napasnya
seperti tersendat habis, memburu keras, kerongkongannya kering. Kalau semula
dia memaki-maki sambil mengejar, sekarang cuma mengejar dengan mulut tertutup
rapat-rapat !
Ketika mereka berada dilorong
jalan yang sepi, mendadak pengemis itu berhenti melangkah. Dia berdiri tegak
menghadapi pelayan yang sudah mengejarnya kehabisan tenaga.
"Akan kumampusi kau!"
Serak suara si pelayan, tangannya diangkat untuk memukul. Disangkanya si
pengemis sudah tak kuat berlari menghindar lagi darinya, biarpun dia sudah
kehabisan tenaga, tapi dengan sisa-tenaganya dia ingin memukul pengemis itu.
Si pengemis tak berusaha
mengelak, berdiri diam ditempatnya dengan bibir tersenyum. Waktu tangan si
pelayan hampir mengenai mukanya, tahu-tahu tubuhnya sudah menyingkir ke
samping, sehingga kepalan tangan pelayan itu lewat di samping mukanya.
Pada waktu itulah tongkat si
pengemis menotok punggung pelayan tersebut, hebat kesudahannya. Tubuh pelayan
itu seperti didorong oleh suatu kekuatan yang dahsyat, sehingga tubuhnya
terjerunuk ke depan, mukanya kemudian menghantam tanah, hidungnya patah, darah
mengucur keluar, giginyi juga rontok tiga, matanya berkunang-kunjug, gelap
penglihatannya.
Si pengemis menggunakan ujung
tongkatnya menyontek baju di punggung pelayan tersebut, dia menghentak
perlahan, seperti tak memakai tenaga. Tapi kesudahannya benar benar
mengejutkan, karena badan pelayan itu seperti sehelai daun kering yang ringan
terlempar ke samping, punggungnya membentur keras pada dinding tembok rumah
penduduk, sampai terdengar suara benturan yang nyaring, tubuh si pelayan meloso
jatuh di bawah tembok dengan mata terbuka lebar-lebar dan mulut ternganga
ketakutan, matanya itu biarpun terbuka lebar namun gelap tak ada yang bisa
dilihat, berkunang-kunang.
Tenang sekali si pengemis
menghampiri pelayan dan ujung tongkatnya mengetuk perlahan dagu si pelayan,
segera kepala pelayan itu menengadah.. Dagunya seperti dipukul martil saja,
sakitnya bukan main, suara rintihannya terdengar perlahan.
Pelayan yang semula, begitu
garang dan bengis, sekarang jadi kuncup nyalinya, segera sadar bahwa dia keliru
melihat lawan. Pengemis ini rupanya bukan pengemis sembarangan, dia ternyata
memiliki tenaga yang kuat, tadi rupanya pengemis ini pura-pura saja tak
melayaninya, namun sengaja memancingnya ke-lorong yang sepi dan tak ada orang
lain di situ.
Diam-diam pelayan ini
mengeluh, bila ia tidak terpancing dan ribut di depan rumah majikannya, pasti
kawan-kawannya akan mengetahui keributan itu dan membantuinya, tidak seperti
sekarang dia jadi mati kutu.
"Dengarlah baik
baik," suara si pengemis tawar. "Aku ingin bertanya beberapa hal
kepadamu, kau harus menjawabnya jujur, jangan sekali-sekali berpikir untuk
berbohong, karena aku tak jamin lagi keselamatan jiwamu."
"Apa... apa yang ingin
kau tanyakan?"
Si pelayan lemas tak bertenaga
didukdi bawah tembok menderita kesakitan karena luka terbanting beberapakali,
sikapnya sudah tak bengis dan galak seperti semula, suaranya juga serak gemetar
ketakutan. Yang dikuatirkannya dirinya disiksa lagi oleh pengemis ini.
"Pertanyaanku yang
pertama," kata si pengemis, perlahan-lahan dan suaranya tetap tawar.
" Apa yang sedang dilakukan Siang koan-Giok Lin sekarang ini?"
Kaget dan heran sipelayan. Mau
apa pengemis ini bertanya tentang majikannya. Segera dia menduga pasti pengemis
ini musuh majikannya.
"Loya... loya sedang
dikamar perpustakaannya menghitung... menghitung penghasilan kemarin yang baru
disetor oleh perusahaan-perusahaannya," jawab si pelayan terpaksa.
"Pertanyaanku yang kedua:
Apakah orang-orangnya dari kotaraja masih berada dirumahnya?" tanya
sipengemis tak mengacuhkan sikap ketakutan sipelayan.
"Ooo, kawan-kawan
loya?" tanya si pengemis. "Mereka... mereka masih berdiam dirumah
loya, mungkin sore ini... mereka akan mengadakan pemeriksaan dikota ini."
Si pelayan menyangka sipengemis ini jeri pada utusan kaisar dari kotaraja maka
dia sengaja bilang begitu untuk menggertak. Tapi, hasilnya malah, membuat dia
tambah pecah nyalinya, karena tahu-tahu tongkat si pengemis menyabet pipinya.
Perlahan tampak pukulan gagang tongkat si pengemis, tapi pipi si pelayan segera
bengkak besar dan dia kesakitan sampai rasanya menusuk-nusuk otak dan
uluhatinya.
"Bicara yang jujur,"
suara si pengemis tambah tawar, "Aku tahu kau bicara tidak jujur, sekali
lagi melakukan hal itu maka kepalamu akan ku hantam dengan tongkatku ini dan
akibatnya kau tentu bisa membayangkan sendiri ....!"
"Ampun... ampun... aku
tak berani berdusta lagi, Loya sekarang sedang mempersiapkan ....
keberangkatannya kekota raja."
"Maksudmu majikanmu itu
akan berangkat ke kotaraja?" menegasi pengemis ini tawar. "Bersama
siapa dia berangkat ke kotaraja? Kapan berangkatnya?"
"Loya... berangkat malam
ini, jam tiga. Kepergiannya dikawal oleh empat orang mereka semua dari
kotaraja." pelayan itu kini patuh menjawab sebenarnya.
"Apakah keempat orang
yang akan mengawal majikanmu ke kotaraja berada di rumah majikanmu ?"
"Dua orang berdiam di
rumah loya, dua orang lagi berada di rumah Tihu, jam satu nanti mereka akan
datang menggabungkan diri."
"Siapa dua orang yang
sekarang berada di rumah loyamu itu ?" tanya pengemis itu lagi.
"Thio-taijin dan Cu
kongcu," menyahusi si pelayan.
Yang kau maksudkan Thio-taijin
itu apakah bukan Thio Yu Liang ? Dan yang kau sebut Cu-kongcu ita apakah bukan
Cu Lie Seng ?" tanya si pengemis lagi.
"Be... benar," si
pelayan tambah yakin bahwa pengemis ini bukan pengemis sembarangan, dia menyesal
mengejar-ngejar pengemis ini tadi seperti mencari penggebuk saja.
"Lalu dua orang lainnya
yang akan menjemput loyamu nanti, yang sekarang berdiam di rumah Tihu, siapa
mereka?" tanya si pengemis lagi.
"Aku mendengarnya mereka
adalah... Ban-taijin dan.... dan yang seorang lagi tak begitu jelas... entah
siapa dia, aku tak. mengetahuinya..."
"Plakkkkk!"
tahu-tahu tongkat si pengemis menepuk perlahan pipi si pelayan yang sebelah
kiri, perlahan sampokan tongkat itu, tapi gigi si pelayan copot dua.
"Bicara yang benar dan
jujur. Siapa yang seorang lagi?" bentak si pengemis. "Atau kau hendak
kepalamu itu kuhajar pecah?"
Rasa sakit yang ditanggung
pelayan itu bukan main menyiksanya, akibat terjerunuk. mukanya menubruk
jalanan, terbanting membentur tembok rumah dan pipinya duakali dipukul oleh
tongkat si pengemis benar-benar merupakan luka yang mendatangkan rasa sakit
yang menyiksa benar, kepalanya pusing, matanya gelap, rasa sakit di sekujur
punggungnya karena tulang punggungnya seperti patah atau sedikitnya retak
akibat benturan kuat pada tembok, membuat dia hampir tak sanggup bicara lebih
jauh.
Namun rasa takut yang hebat
karena kuatir disiksa lebih jauh oleh pengemis ini, terpaksa dia menyariuii:
"Sungguh... aku tak mengetahui siapa orang yang keempat itu... sungguh
Toaya... aku tidak bicara bohong." Saking ketakutan dia memanggil si
pengemis dengan sebutan Toaya, tuan besar.
"Bohong! Kau rupanya
minta dihajar lagi, heh?" mengancam si pengemis.
Pelayan itu merintih dengan
muka meringis ketakutan, dia hampir pingsan, menangis ketakutan setengah mati.
"Jangan... jangan mempersakiti aku lagi, Toaya, aku sudah bicara yang
jujur.... aku tak tahu siapa orang orang keempat itu yang akan mengawal Loya
.... Sumpah mati apapun aku mau.... ampuni aku, Toaya.... jangan mempersakitiku
lagi.... aku mempunyai lima orang anak dan isteriku juga tak bisa apa-apa,
kalau aku mati siapa yang memberi makan pada mereka?"
"Hemmm. kau
menyebut-nyebut tentaag isteri dan anak anakmu untuk minta dikasihani, bukan
?" tanya si pengemis dingin. "Tapi, kalau kau tak bicara jujur, sulit
aku mengampuni jiwa anjingmu." Tongkatnya diangkat mengancam akan memukul
pelayan itu lagi. Keruan saja si pelayan menjerit-jerit ketakutan sambil
menutupi kepalanya dengan kedua tangannya, menghiba-hiba minta ampun, air
matanya mengucur banyak sekali, tidak malu-malu dan lupa rasa sakit di
tubuhnya, dia coba bergerak untuk berlutut.
Tapi, waktu itu tongkat si
pengemis sudah turun, menotok jalan darah Yu-ci-hiat nya di tengkuk, seketika
si pengemis pingsan tidak sadarkan diri.
"Kau beristirahatlah di
situ," kata si pengemis tawar, sambil ngeloyor pergi meninggalkannya, tapi
sekarang langkah kakinya tidak terseok-seok seperti tadi, melainkan ringan
sekali berlari dengan ginkang yang sangat tinggi"!
oooo)0(oooo
"KITA harus membagi diri
menjadi dua rombongan, dan kukira yang paling baik daftar itu dibawa oleh Cu
kongcu!"
Orang yang berkata itu adalah
seorang bertubuh tinggi besar. memiliki uiat-urat tangan yang kasar bertonjolan
pada tangannya, mukanya bengis, dia bicara sambil mengangkat cawan araknya,
meneguknya kemudian seakan menantikan jawaban yang lain-nya yang berkumpul di
ruangan tersebut.
Orang ini tak lain Ban It Say,
dan dia berkumpul di ruangan itu bersama Siangkoan Giok Lin, Thio Yu Liang, Cu
Li Seng dan seorang berpakaian penuh tambalan, dilihat dari keadaannya yang
kotor dan mesum, dialah seorang pengemis.
Usianya mungkin empat puluh
tahun lebih, kumis jenggotnya di biarkan tumbuh kasar di mukanya, waktu Ban It
Say bicara, dia cuma memutar-mutar cawan araknya di atas meja dengan tangan
kanannya, seperti sedang berpikir keras.
"Apa yang dibilang Ban
Toako memang tak salah," kata Siangkoan Giok Lin. "Kita harus membagi
diri menjadi dua rombongan, untuk mengalihkan perhatian orang-orang yang mengincar
daftar ini. Entah bagaimana pendapat Cu-kongcu ?"
Cu Lie Seng sejak tadi berdiam
diri dengan muka yang dingin kaku, waktu Siang-koan Giok Lin minta pendapatnya
dia tetap diam tak segera menyahuti, hanya matanya memandang kepada orang-orang
yang berkumpul di situ satu persatu.
Kemudian dia baru menghela
napas, katanya: "Siapa sih yang memiliki nyali begitu besar untuk
menghadang kita dan merampas daftar itu ? Biarpun sudah makan sepuluh nyali
macan rasanya sulit buat mereka mengambil daftar itu dari tangan kita ! Rasanya
Ban taijin bicara terlalu berlebih-lebihan, kita tak usah kuatir terhadap
siapapun juga."
Muka Ban It Say merah merasa
malu, dia adalah congkoan Gi-lim-kun berkepandaian tinggi, berkata seperti itu
Cu Lie Seng jelas ingin mengatakan bahwa dia seorang pengecut, yang kuatir
berlebih-lebihan. Sebetulnya dia bermaksud mempermudah pengiriman daftar-daftar
orang kangouw yang sekarang jadi rebutan dan banyak yang mengincar. Tapi, ia
tak berani bicara lagi, biarpun hatinya mendongkol terhadap pemuda yang angkuh
ini.
Cu Lie Seng tidak peduli sikap
congkoan Gi-lim-kun tersebut, dia menoleh pada Thio Yu Liang, tanyanya:
"Bagaimana pendapat Thio tai-jin ?"
Thio Yu Liang batuk-batuk,
kemudian menyahuti hati-hati : "Kukira memang ada baiknya daftar itu bawa
oleh Cu-kongcu. Dengan kepandaian Cu kongcu dan beberapa orang pengawalmu,
niscaya daftar itu bisa sampai ditangan Cu-kong-kong dengan selamat. Tentang
cara pengiriman itu lebih baik diatur oleh kongcu, kami cuma mematuhi perintah
saja."
Senang tampaknya Cu Lie Seng,
dia mengangguk-angguk tersenyum, walaupun senyumnya itu tetap tawar dan dingin.
"Baiklah, kukira sudah dapat dipastikan sekarang bahwa aku yang akan
membawa daftar itu. kalian ikut dalam rombonganku, untuk memperkuat kedudukan
kita selama dalam perjalanan ! Kuakui orang-orang Thio Hong Gan dan pihak-pihak
lain mengincar daftar ini, tapi kukira kita bisa menghadapi mereka tanpa perlu
gentar."
Siangkoan Giok Lin
mengangguk-angguk, dia tak berusaha menentang keputusan putera Cu kongkong,
yang diketahuinya sangat berkuasa itu. Semua orang yang lainnya berdiam juga.
Sedangkan Cu Lie Seng telab berkata lagi: "Yang ingin kujelaskan kepada
kalian, baru beberapa hari ini guruku, Tang San Siansu, sudah tiba di sini,
beliau yang akan mendamping aku pulang kekota raja."
Semua orang terkejut campur
girang. Adanya Tang San Sianau jelas merupakan jaminan bahwa dalam perjalanan
mereka tak akan menemui kesulitan berapa banyakpun orang tangguh berusaha
menghadang mereka. Karenanya mereka segera tertawa riang.
"Sungguh beruntung kami
jika bisa melakukan perjalanan dengan guru kongcu, ini merupakan kehormatan
terbesar buat kami. Sekarang kami tak perlu bimbang dan kuatir lagi, rintangan
apapun yang terjadi tentu bisa kita atasi!" kata Ban It Say untuk
memulihkan suasana, ikut memuji Cu Lie Seng.
Pemuda itu mengangguk,
kemudian menjelaskan rencana perjalanan mereka dengan suara perlahan. Semua
orang itu menggeser duduk masmg-masing, untuk lebih dekat mendengarkan rencana
perjalanan yang diuraikan Cu Lie Seng.
"Di manakah guru kongcu ?
Mengapa tak mengajaknya kemari?" tanya Siangkoan Giok Lin. "Aku
menyesal sekali tak bisa melayani guru Kongcu yang terkenal sebagai
satu-satunya jago tanpa tanding jaman ini!"
Sebal Cu Lie Seng mendengar
perkataan Siangkoan Giok Lin, dia tahu orang she Siangkoan ini cuma
menjilat-jilat memuji untuk menyenangkan hatinya, sebab Siangkoan Giok Lin
memang seorang yang pandai menepuk pantat untuk meraih keuntungan pribadi. Cuma
saja mengingat bahwa orang ini diperlukan Hongsiang untuk menundukkan jago-jago
kangouw, dia tersenyum.
"Guruku tak mau
merepotkan Lopeh, karenanya sekarang dia berdiam di rumah Tihu."
Siangkoan Giok Lin
mengangguk-angguk katanya: "Kongcu sendiri memiliki kepandaian demikian
tangguh, entah bagaimana hebatnya kepandaian guru kongcu" pujinya lagi.
Dia melambaikan tangan memanggil pelayan-pelayan wanitanya untuk menambahi arak
dan mengganti makanan yang sudah dingin dengan makanan yang baru.
Ban It Say meremas pantat
seorang pelayan dengan sikap ceriwis, dia memang paling tidak boleh melihat
muka cantik. Pelayan-pelayan Siangkoan Giok Lin semuanya cantik-cantik dan
montok, karenanya tangan Ban It Say jadi gatal. Dia meremas begitu sambil
tertawa-tawa senang. Si pelayan tak berani mengelak, cuma senyum-senyum malu
saja.
Siangkoan Giok Lin juga
tersenyum-senyum, dia memang ingin menyenangkan tamu-tamunya, sengaja telah
menampilkan pelayan-pelayan wanita ynng cantik cantik.
Thio Yu Liang, juga rupanya
jadi gatal pula tangannya, dia menarik lengan seorang pelayan agar lebih dekat,
harum semerbak pelayan itu, gadis berusia 19 atau 20 tahun, berwajah cantik dan
montok. Dia melirik pada Siangkoan Giok Lin, katanya: "Kukira Siangkoan
Kisu tak keberatan menghadiahkan dia untukku."
"Silahkan...
silahkan...!" Tertawa Siangkoan Giok Lin. "jangankan hanya seorang,
jika Taijin mau tiga atau empat orang menemanimu, itupun dapat saja Taijin
ambil..."
Thio Yu Liang sudah berdiri,
dia tertawa-tawa menyeret pelayan yang masih berusia muda dan cantik itu,
"Maafkan, perutku sangat sakit dan ingin minta nona manis ini untuk
memijitkannya dulu."
Pelayan itu masih gadis. Dia
bekerja di gedung Siangkoan Giok Lin sejak berusia delapan rahun, Selama itu
tak pernah disentuh laki laki, sekarang ada orang yang menyeretnya seperti itu
dan bisa menduga apa yang acan dilakukan Thio Yu Liang, dia jadi ketakutan,
mukanya pucat pias.
"Loya..." ratapnya
sambil mengawasi Siangkoan Giok Lin.
Siangkoan Giok Lin mendelik,
"Ayo temani Thio-taijin, awas jangan membuat Thio thaijin jadi
gusar."
Thio Yu Liang tampaknya sudah
tak sabar dia menyeret gadis pelayan tersebut menuju kekamarnya. Tentu saja
pelayan ini, tambah ketakutan dan bingung, dia hendak meronta dari cekalan Thio
Yu Liang, tapi tenaganya mana cukup untuk menghadapi kekuatan Thio Yu Liang?
Seperti semut dengan gajah saja.
Bahkan terlalu takut dia
menangis "Jangan aku, taijin .... aku . . . aku . . . tak bisa menemani
taijin ..."
Thio Yu Liang tertawa-tawa,
tak peduli dengan sikap si pelayan, ditariknya terus dan hatinya semakin senang
saja. Justeru menjadi kegemarannya adalah gadis-gadis yang memberikan
perlawanan seperti ini, untuk lebih menghangati darah dan tubuhnya. Justeru
wanita yang menerima dan berdiam saja membuatnya sebal dan muak, membuatnya
jadi tak terangsang.
"Thio-taijin, jam tiga
kau sudah harus bersiap-siap kita berangkat jam empat!" Bilang Cu Lie
Seng. Dia tawar saja menyaksikan ini sama sekali tak coba mencegah kelakuan dan
perbuatan Thio Yu Liang, cuma dia mengingatkan agar Thio Yu Liang tidak lupa
daratan sehingga lupa bahwa pagi ini mereka akan berangkat jam empat.
Perbuatan-perbuatan seperti itu memang sudah jadi biasa di-kalangan mereka.
Thio Yu Liang tertawa.
"Kongcu jangan kuatir, jam dua aku sudah siap dan selesai," Teriaknya
dan masuk dalam kamarnya menyeret pelayan yang masih gadis itu.
Semua orang diruang itu
tertawa, mereka asyik makan minum dan beberapa menit kemudian terdengar jerit
yang cukup keras di kamar Thio Yu Liang, Siangkoan Giok Lin geleng-geleng
kepala sambil tersenyum, katanya : "Akh. anak itu benar-benar tidak tahu
diri, mengapa harus menjerit-jerit segala ? Bukankah Thio-taijin memberikan
kesenangan kepadanya ? Oya, apakah Kongcu tak bermaksud istirahat dulu ?"
Cu Lie Seng mengangguk
perlahan, dja berdiri untuk kembali ke kamarnya. Siangkoan Giok Lin segera
sibuk mengirim beberapa orang pelayannya, yang semuanya masih muda dan
cantik-cantik, untuk melayani putera Cu-kongkong ini. Tapi empat orang pelayan
yang diutus Siangkoan Giok Lin di usir keluar oleh Cu Lie Seng, karena dia tak
mau mensia-siakan latihan lwekangnya dengan main perempuan.
Ban It Say membawa dua orang
pelayan yang dianggapnya paling cantik untuk menemaninya di kamar melewati
waktu selama belum jam keberangkatan mereka.
Si pengemis tua yang sejak
tadi berdiam diri saja, tanpa ikut bicara, cuma memandang semua yang terjadi
dengan sorot mata mengiri. Setelah Cu Lie Seng, Ban It Say dan Thio Yu Liang
menghilang di kamar masing-masing, si pengemis menoleh pada Siangkoan Giok Lin,
yang duduk di sampingnya.
"Toako, semuanya berjalan
lancar, mereka tampaknya menyukai aku dan ini sangat penting sekali, agar
laporan pada Cu-kong-kong semua bernada baik." Ujar Siangkoan Giok Lin.
"Tentu saja, jasa-jasamu
juga akan kulaporkan kepada Cu-kongkong kelak, untuk mendapat tempat yang layak
untukmu."
Si pengemis tersenyum.
"Ya. kuharap saja kau tak
melupakan aku, Siangkoan-ya," bilang si pengemis. Dia maklum, sebagai
seorang yang senang bermuka-muka, seorang penjilat, niscaya Siangkoan Giok Lin
selalu harus berusaha mencari jalan untuk menyenangkan orang-orang yang akan
jadi "jembatan" nya untuk mencapai cita-citanya.
Siangkoan Giok Lin telah
dihubungi Kaisar, diperintahkan untuk merangkul orang-orang kangouw, tentu saja
Kai-sarpun sudah tahu dari laporan orang-orangnya bahwa Siangkoan Giok Lin
paling pandai mengambil hati siapapun juga, ltulah sebabnya tugas ini diberikan
kepada Siangkoan Giok Lin.
Namun, sebagai orang yang
cerdik dan licik, Siangkoan Giok Lin tahu bahwa ia harus mendapat muka dari Cu
kongkong, orang ke-biri yang paling berkuasa saat itu. Jika Cu-kongkong tak
menyukainya, biarpun dia diperintahkan langsung oleh Kaisar, niscaya dirinya
terancam bahaya tidak ringan, itulah sebabnya orang-orang Cu-kongkong dijamunya
sebaik mungkin, berusaha menyenangkan hati mereka.
Apa lagi pada saat itu hadir
Cu Lie Seng, anak Cu-kongkong, maka dia melayani, sedapat mungkin menyenangkan
pemuda yang berkepandaian tinggi tersebut, agar kelak menyampaikan kata-kata
yang baik tentang dirinya di hadapan Cu-kongkong. Karena itu, walaupun di rumahnya
kini merupakan arena perbuatan maksiat, ia tak berusaha menghalangi, juga
menyembunyikan perasaan tak senangnya. Jika bisa, dia malah ingin menganjurkan
Cu Lie Seng melakukan apa saja disukainya.
Memang begitulah sifat
manusia. Jika memerlukan sesuatu tentu akan berusaha menyenangkan orang yang
bisa memungkinkan ia berhasil dalam mencapai cita-cita dan keperluannya. Apa
pun akan dilakukan untuk menyenangkan orang yang, dianggap bisa menjadi
"jembatan" untuk mencapai cita citanya. apa lagi seorang manusia hcik
dan cerdik seperti Siangkoan Giok Lin, untuk mencapai cita-citanya ia tak
segan-segan mengorbankan harga dirinya.
Sudah lupa apa yang disebut
dosa. Sudah lupa apa yang disebut harga diri. Sudah lupa apa itu penderitaan
dari korban-korban perbuatannya. Sudah lupa juga pada ancaman hukuman neraka
kelak.
Yang terpenting bisa mencapai
cita citanya, apapun akan dilakukannya. Dan dia bercita-cita menjadi
satu-satunya orang kepercayaan Kaisar.
Sedangkan si pengemis bermuka
kasar dan mesum itu tak lain dari Kiu cie Sinkay (pengemis sakti berjari
sembilan) Ho Beng Su, di kaipang ia memiliki kedudukan tinggi, sebagai salah
seorang Hiocu (pimpinan daerah), namun sifat tamak masih tetap bersemayam di
hatinya, ia terbujuk oleh rayuan Siangkoan Giok Lin.
Karenanya juga, ia bersedia
bekerjasama dengan Siangkoan Giok Lin, buat Kaisar dan kerajaan, sebab
Siangkoan Giok Lin sudah membujuknya bahwa Ho Beng Su akan mendapat kedudukan
sangat baik, harta dan pangkat yang akan dihadiahkan oleh Kaisar.
Manusia yang masih mengejar
keduniawian, tak akan puas dengan kedudukan yang bagaimana tinggi sekalipun.
Biarpun dalam kaipang Ho Beng Su memiliki kedudukan yang sudah tinggi, tapi
sifat tamaknya menghendaki untuk mendapat yang lebih lagi.
la sebetulnya mempunyai
cita-cita untuk merebut kedudukan Pangcu Kaipang, tapi sejauh itu usahanya tak
pernah berhasil. Sebab itu dia akhirnya memutuskan untuk tunduk pada kerajaan
dan nanti memanfaatkan kekuatan kerajaan untuk menggempur kaipang dan merampas
kedudukan pangcu (ketua) kaipang.
Siangkoan Giok Liu yaag
mengetahui cita-cita Ho Beng Su, mempergunakan kesempatan itu untuk
membujuknya, menjanjikan kalau Ho Beng Su sudah memperlihatkan beberapa
perbuatan yang berjasa kepada kerajaan, maka dijaminnya pihak kerajaan akan
membantu dan mendukung Ho Beng Su sebagai pangcu kaipang.
Memang yang dijanjikan
Siangkoan Giok Lin bukan janji kosong, kaisarpun lebih senang yang menjadi
ketua berbagai perkumpulan dan pintu perguruan silat adalah orang-orang yang
telah tunduk dan bekerja untuk kerajaan, sehingga tak ada kesulitan di
waktu-waktu mendatang, seluruh perkembangan dalam kalangan kangouw dapat
dikuasai dan dikendalikan dengan baik. Ho Beng Su memang akan didukung untuk
menjadi pangcu Kaipang.
Ho Beng Su sendiri biarpun
sudah mengkhianati pintu perguruannya sendiri, merasa bahwa ia tak keliru
jalan, karena dia memang memiliki ambisi yang besar. Sekarang dia mengandalkan
Siangkoan Giok Lin, agar dirinya bisa dekat dengan Kaisar, karena di ketahuinya
Siangkoan Giok Lin belakangan ini menjadi orang kepercayaan raja untuk membujuk
orang orang Kangouw.
Nanti, setelah dia bisa dekat
Kaisar, Ho Beng Su akan merebut kedudukan itu, ia yang akan berusaha menjadi
orang kepercayaan Kaisar. Selama itu, Ho Beng Su menyimpan saja cita cita dan
rencananya, yaitu rencana untuk menjadi pangcu kaipang merangkap menjadi ketua
orang-orang kangouw !
Memang demikianlah sifat-sifat
orang yang memiliki jiwa dan hati kotor, selalu tak kenal puas dan jika
memperoleh kesempatan pasti akan cakar-cakaran, untuk memperebutkan kedudukan,
tanpa perduli lagi apakah harus mengorbankan kawan atau memang harus
memusnahkan rekan-rekannya, pasti akan dilakukan apa yang dianggapnya bisa
membuatnya lebih dekat dengan cita-citanya.
Kepandaian Kiu ci sin-kai
sebetulnya tidak rendah, tapi sejauh itu dia tak mau memperlihatkan
kepandaiannya di depan Cu Lie Seng, dia pikir pemuda angkuh itu pasti tak
senang jika dia ikut-ikutan mengatur, dia membiarkan saja Cu Lie Seng mengatur
dia dan reman-temannya.
Dia hanya mendengar dan memperhatikan
saja, untuk ikut arus angin ke arah mana yang sekiranya bisa lebih
menguntungkan kedudukannya.
Dia sebetulnya senang sekali
main perempuan cantik, walaupun dalam kaipang memang terdapat peraturan keras
sekali, setiap anggota kaipang dilarang mempermainkan wanita baik-baik, tapi Ho
Beng Su sejak menjabat kedudukan Hio-cu kaipang, secara diam-diam dan
sembunyi-sembunyi seringkali mempermainkan anak isteri orang.
Pada dasarnya memang dia
memiliki sifat-sifat yang tak baik dan buruk, namun orang kangouw sejauh itu
belum melihat isi hati sebenarnya dari Hio-cu kaipang tersebut.
Cuma malam ini, dia mempunyai
rencana lain. Yang lainnya menghabiskan waktu dengan pelayan-pelayan wanita
Siangkoan Giok Lin yang cantik cantik, Ho Beng Su tidak mau mengikuti apa yang
dilakukan rckan-rekannya, sebab dia ingin menyimpan tenaga.
Dia cuma berunding dengan
Siangkoan Giok Lin, perihal rencana keberangkatan rombongan mereka. "Kita
boleh tenang dan gembira, karena Tang San Siansu akan bersama rombongan
kita!" Siangkoan Giok Lin tertawa bilang begitu pada kawannya.
"Biarpun ada iblis dan jin dari neraka turun, tak mungkin ada yang sanggup
mengambil daftar itu dari tangan kita, Tang San Siansu pasti tak akan
meinbiarkan hal itu terjadi !"
"Ya, akupun sudah dengar
kehebatan Tang San Siansu, dan sejauh ini aku belum pernah bertemu
dengannya." Menyahuti Ho Beng Su dengan tawar.
Dia tidak percaya apa yang
diceritakan oleh teman-temannya dalam kalangan kangouw bahwa Tang San Siansu
merupakan jago nomor satu di jaman itu, biar bagaimana dia merasa itu cuma
hanya cerita yang terlalu dilebih-lebihkan. Karenanya hatinya mendongkol
melihat Siangkoan Giok Lin begitu kegirangan dan yakin dengan adanya Tang
San-Siansu rombongan mereka tak akan menghadapi kesulitan apa-apa.
Sampai jauh malam kedua
sahabat itu, bercakap-cakap, membicarakan rencana-rencana mereka selanjutnya
setelah tiba dikota raja.
Tapi, tanpa mereka ketahui
sepasang mata bersinar tajam tengah mengawasi mereka dari luar jendela,
mengintai dengan sikap hati-hati. Sebagian dari percakapan mereka telah
didengarnya, tapi sebagian lagi tak terdengar olehnya, karena tadi waktu Cu Lie
Seng memberitahukan rencana perjalanan mereka kepada kawan-kawannya. suaranya
perlahan sekali.
Setelah melihat Ho-Beng Su dan
Siangkoan Giok Lin berdua yang tertinggal diruang tersebut, orang yang
mengintai itu, yang berpakaian penuh tambalan, dengan langkah sangat ringan
meninggalkan jendela, berindap-indap mencari kamar Cu Lie Seng!
Waktu melewati jendela, Ban It
Say, di dengarnya suara isak tangis wanita diseling oleh suara tertawa senang
Ban It Say dan juga bujuk rayunya, Orang itu yang tak lain pengemis tua yang
tadi telah mempermainkan pelayan Siangkoan Giok Lin, merasa sebel dan tubuhnya
ringan sekali menjauhi jendela itu, menghampiri jendela kamar yang lainnya.
Kembali didengar suara lenawa
cekikikan dari Thio Yu Liang dan wanita yang tadi diseret masuk ke dalam kamar.
Rupanya Thio Yu Liang pandai sekali membujuk gadis pelayan yang tadi begitu
ketakutan dan menjerit ketika berada didalam kamar berdua Thio Yu Liang kini
sudah jinak dan tertawa cekikikan berdua dengannya.
Pengemis tua itu tidak
berhenti di jendela kamar Thio Yu Liang, ringan sekali langkah kakinya,
tubuhnya meloncat ke dekat jendela kamar lainnya, dia mendekati jendela itu
hati-hati, karena dia yakin inilah jendala dari kamar yang ditempati oleh Cu
Lie Seng.
Tanpa menimbulkan sedikit
suarapun dia merapatkan diri di dekat jendela mengintai ke dalam.
Dugaaannya tidak salah, itulah
kamar Cu Lie Seng. Pemuda bangsawan itu tengah duduk bersemedhi di pembaringan,
untuk mengatur pernapasannya. Matanya terpejamkan. Si pengemis mengerutkan
alisnya, diam-diam dia kagum bahwa dalam usia semuda itu Cu Lie Seng dapat
mengatasi diri tak terlibat dalam urusan wanita.
Hal ini memang memungkinkan Cu
Lie Seng mencapai kemajuan yang lebih cepat dalam latihan tenaga dalamnya.
Mendadak terdengar suara
tertawa dari arah sebelah kanan, cepat-cepat si pengemis tua melompat ke
langkah wuwungan, bersembunyi di situ, Dua orang pelayan Siankoan Giok Lin
muncul dari arah dapur sambil bercakap-cakap dan tertawa-tawa. Mereka tampaknya
senang sekali, membicarakan perihal kelakuan tamu-tamu terhormat dari
majikannya, yang ternyata hampir semuanya doyan wanita cantik.
Setelah kedua pelayan itu
menjauh, si pengemis tua meloncat turun kembali ke tanah. Dia bermaksud hendak,
mengintai lagi, Waktu itulah terdengar: "Sahabat, mengapa tidak masuk
saja?"
Kaget pengemis tua ini, tak
disangkanya Cu Lie Seng memiliki pendengaran begitu tajam dan sudah mengetahui
kehadirannya. Dia cepat-cepat meloncat hendak menjauhi, tapi daun jendela sudah
terbuka, disusul melesat keluar sesosok tubuh gesit sekali. ltulah Cu Lie Seng.
Kepandaian Cu Lie Seng cukup
tinggi, dia murid tokoh tangguh seperti Tang San Siansu dan beberapa tokoh
persilatan lainnya, karenanya pemuda ini tak kenal takut. Begitu dia mengetahui
ada tamu tak diundang yang berkunjung di depan jendelanya, dia tak segera
berteriak memanggil orang-orangnya ataupun Siangkoan Giok Lin, melainkan
membuka daun jendela dan melompat keluar dari jendela kamarnya itu untuk
menangkap sendiri tamu tak diundang tersebut.
Waktu Cu Lie Seng sudah berada
di luar jendela kamarnya, dia melihat sesosok tubuh sedang melesat hendak
pergi, maka dia meloncat lagi tinggi sekali sambil bentaknya: "Mau lari
kemana kau ?" Tubuhnya seperti juga kilat cepatnya menubruk kearah
bayangan itu. Namun orang yang ditubruknya juga memiliki kepandaian tinggi,
karena tubrukan Cu Lie Seng mengenai tempat kosong.
"Kalau kau mempunyai
nyali, ayo ikut denganku !" mengejek si pengemis tua itu untuk membakar
hati dan perasaan Cu Lie Seng, dia juga sudah melesat pergi.
Cu Lie Seng cerdik bukan main,
jika saja pengemis itu berlari terus tanpa menantangnya, niscaya ia akan
mengejarnya untuk membekuk, tapi sekarang mendengar pengemis itu menantangnya,
dia malah menahan kakinya berdiri di tempatnya. Hmmm, bukankah dia sedang
melaksanakan tipu-daya "memancing harimau meninggalkan kandang" untuk
memancingku !" pikirnya.
Maka dia tidak mengejar,
berdiri di tempatnya mengawasi kepergian si pengemis.
Pengemis yang tadi mengintai
sudah berdiri di atas genteng. Dia menoleh dan kecewa melihat Cu Lie Seng tak
mengejarnya, bahkan berdiri di situ mengawasinya saja dengan sorot mata tajam.
Pengemis ini segera menyadari bahwa dia sudah gagal memancing Cu Lie Seng untuk
mengejarnya, namun dia tidak kehabisan akal maka tantangnya: "Kau ternyata
manusia pengecut tak bernyali, jangan kuatir, tak mungkin kau dikeroyok oleh
teman-temanku !" Ejeknya.
Cu Lie Seng panas hatinya, tapi
dia tetap tidak bergerak dari tempatnya berada. "Siapa kau sahabat ?"
tegurnya bengis dan dingin. "Turunlah, kalau kau punya urusan denganku,
mari kita bicara di sini! "
"Hu, aku tak menyangka
putera tunggal si kebiri yang sudah mau mampus itu adalah manusia paling
pengecut di dunia ini, sama seperti bapak-moyangnya yang selalu bersembunyi
ekor tapi mencelakai rakyat memakai tangan anak buahnya" mengejek pengemis
itu lagi.
Merah mula Cu Lie Seng. Tapi
dia sudah yakin pengemis ini hendak memancing-nya, maka dia tetap berdiri di
tempatnya. Dengar suara dingin dia bilang: "Kalau kan ingin mengetahui
lebih jelas tentang diriku, turunlah, aku akan perlihatkan kepadamu apakah aku
ini manusia pengecut atau manusia yang tidak tahu malu seperti yang kau sebutkan
! Turunlah ! "
"Hemmm, sudah jelas kau
manusia paling pengecut di dunia ini. Bukankah dengan berdiam terus di situ kau
menghendaki nanti teman-temanmu, Ban It say si manusia yang punya tawa yang
menyebalkan itu ! Atau kau mengharapkan juga bantuan orang she-Thio untuk
bersama-sama mengeroyokku?"
"Aku jamin kau tidak akan
dikeroyok! Itu jaminanku, siapa saja yang berani mengeroyokmu, akan kuhukum
seberat-beratnya !" Menyahuti Cu Lie Seng tambah gusar.
"Kau tak usah
banyak-banyak alasan, pulang saja ke pangkuan ibumu. menyusulah
sepuas-puasmu!" mengejek pengemis itu lagi.
Habis kesabaran Cu Lie Seng.
Walaupun menduga pengemis ini hendak memancingnya, tapi sekarang dia sulit
mengendalikan diri. Dia jadi kalap diejek seperti itu. Walaupun bagaimana Cu
Lie Seng masih berusia muda, perasaan yang lebih diutamakan. Dia juga yakin
dirinya memiliki kepandaian tinggi, jarang orang bisa melukai dirinya,
karenanya biarpun nanti ada teman-teman si pengemis yang tengah menanti di
suatu tempat, dia tidak takut.
Tanpa bicara lagi badannya
seperti anak panah terlepas dari busur, telah melesat menyambar ke pengemis.
Tapi pengemis itu yang tahu
sudah berhasil memanas-manasi hati Cu Lie Seng, tak membuang waktu, sama cepat
dan gesitnya dengan ginkangnya melesat pergi meninggalkan rumah Siangkoan Giok
Lin. Kedua orang itu jadi saling mengejar. Karena terlalu cepat mereka berlari
mempergunakan ginkang tinggi. badan mereka sudah tak bisa dilihat jelas, cuma
tampak seperti kedua sosok bayangan yang berkelebat samar; kaki mereka seperti
sudah tak menginjak bumi lagi.
Untung saja waktu itu tengah
malam dan sepi, kalau saja ada penduduk kota yang melihat kedua sosok bayangan
yang saling kejar seperti itu, jelas akan menyangka telah melihat dua setan
yang sedang gentayangan di tengah kota !
Si pengemis memang memiliki
ginkang tinggi, karena sejauh itu Cu Lie Seng tetap tak berhasil mengejarnya.
Biarpun Cu Lie Seng penasaran dan mengerahkan ginkangnya untuk mengejar lebih
dekat pada pengemis itu, tetap saja usahanya gagal. Bahkan ketika tiba di
sebuah tikungan, ia kehilangan jejak si pengemis.
Bukan main mendongkol dan
penasaran Cu Lie Seng, dia berpura-pura di tempat itu mencari si pengemis, yang
diduga bersembunyi di sekitar tempat itu. Tapi usahanya tetap saja tak
berhasil.
Waktu itulah mendadal dia
teringat sesuatu, dia cepat-cepat berhenti mencari jejak si pengemis, malah
secepat kilat tubuhnya sudah berlari lari kembali ke rumah Siangkoan Giok Lin.
Keadaan di rumah Siangkoan Giok-Lin sepi-sepi saja, tak terjadi sesuatu. Cu Lie-Seng
langsung kekamarnya dan melihat barang-barang di dalam kamarnya sudah tak
teratur seperti semula, bahkan buntalannya dalam keadaan terbuka. Segera Cu Lie
Seng memeriksa buntalannya, tak ada yang lenyap.
"Hemm, tentu dia mencari
ini!" menggumam Cu Lie Seng sambil merogoh saku bajunya mengeluarkan
segulung kertas." Daftar orang-orang kangouw inilah yang diincarnya
!"
Dan dia tertawa dingin,
memasukkan lagi gulungan kertas itu ke daiam sakunya. Menutup jendelanya dan
pergi tidur!
ooo)0(ooo
Si pengemis tua yang semula
jalan terseok-seok dan tampak lerrah yang pernah mempermainkan pelayan
Siangkoan Gion Lin, ternyata tak ada apa-apa pada kakinya, dia cuma-pura pura
terseok-seok, karena waktu dikejar oleh Cu Lie Seng dia bisa bergerak sangat
gesit.
Dia berhasil memancing Cu Lie
Seng sampai jauh dan kemudian menyelinap kembali ke-rumah Siangkoan Giok Lin.
Segera dia memeriksa kamar Cu Lie Seng, sebab tadi didengarnya banwa daftar
orang-orang kangouw yang bersedia tunduk dan bekerja pada kerajaan berada ditangan
Cu Lie Seng.
Tetapi pengemis ini tak
berhasil menemukannya. Rupanya Cu Lie Seng selalu membawa bawa daftar
orang-orang kangouw itu didalam sakunya.
Si pengemis membanting-banting
kaki, dia menyesal tadi tak ngadu kepandaian saja dengan Cu Lie Seng, dengan
kemungkinan bisa mengambil daftar orang-orang kangkouw disaku pemuda she Cu
tersebut.
Dia bersusah payah memancing
Cu Lie Seng dengan harapan bisa memeriksa kamar si pemuda she Cu, tapi
harapannya ternyata nihil. Barang yang dicarinya tak berhasil ditemukan.
Karena tahu tak lama lagi Cu
Lie Seng akan pulang kekamarnya ini tak membuang waktu lagi pengemis
meninggalkan kamar itu, cepat luar biasa dia keluar dari rumah Siang koan Giok
Lin. Dan memang tak lama kemudian Cu lie Seng kembali kekamarnya, namun tak
menemukan si pengemis.
Pengemis itu berlari cepat
sekali keluar kota. Dan dia tiba disebuah tempat yang banyak terdapat batu-batu
gunung berukuran besar, tubuhnya menyelinap kebelakang batu-batu gunung itu.
"Nona Cang !"
panggil si pengemis. perlahan suaranya.
"Kau sudah kembali?
"jawaban dari balik batu.
"Ya sudah kuselidiki
keadaan dirumah Siangkoan Giok Lin, Dia bersama orang-orang raja lalim itu akan
berangkat meninggalkan kota ini pada jam empat malam ini, menuju
kekotaraja!" si pengemis duduk sambil meletakkan tongkatnya.
Oraug dibalik bongkahan batu
itu, nona Cang berseru kaget. "Kau...kau..." karena dia melihat yang
muncul seorang pengemis tua. bukan Giok Han, seperti yang disangkanya.
Si pengemis tertawa dia
menarik kumis jenggotnya yang segera terlepas dan membuka baju luarnya, baju
penuh tambalan. "A-ku telah menyamar sebagai pengemis, ternyata
penyamaranku sangat baik, sampai kau ju ga tak mengenaliku."
Cang In Bwee tertawa geli,
"Nakal kau!" katanya. "Aku jadi kaget, kukira pengemis mana yang
mau cari urusan denganku ! Aku pernah menyamar sebagai pengemis, sekarang kau
menyamar sebagai pengemis jelas kita orang segolongan, dari kalangan
pengemis!" Giok Han tertawa. Dia menceritakan "tadi waktu pergi
hendak hendak menyelidiki gedung Siangkoan Giok Lin, dia bertemu dengan seorang
pengemis. Maka timbul pikiran untuk menyamar sebagai pengemis. Dia membujuk si
pengemis agar menjual sepotong pakaian penuh tambalan kepadanya, kemudian
diapun memakai kumis dan jenggot palsu, me ngotori mukanya, sehingga tak ada
lagi orang yang mengenalinya.
Karena diberi uang cukup
banyak oleh Giok Han, pengemis itu tak keberatan memberikan pakaiannya sepotong
pada pemuda yang tak dikenalnya ini.
Kemudian Giok Han juga
menceritakan pengalamannya menyelidiki gedung Siangkoan Giok Lin, Tentang
rencana Stankoan Giok Lin serta rombongannya yang akan berangkat kekotaraja
pada jam empat pagi ini.
"Hemmm, tampaknya kita
tak mudah merampas daftar orang orang kangouw dari tangan Cu Lie Seng, Di
sampingnya masih banyak yang lainnya, yang memiliki kepandaian tak rendah. Yang
lebih berbahaya lagi Tang San Siansu akan bersama sama mereka. Ini
sulitnya!" menggumam si gadis dengan muka murung.
Giok Han mengangguk.
"Sebetulnya ini
menggembirakan," kata Giok Han. "Kita telah memperoleh
kesempatan."
"Kesempatan apa yang
menggembirakan?" tanya Cang In Bwee tak mengerti.
"Kau bermusuhan dengan
Tang San Si-ansu, dia musuh besarmu juga orang yang harus dimusnahkan manurut
perintah guruku. Maka kita bisa saja mampergunakan kesempatan ini untuk
berurusan dengannya, memancingnya dan kita kemudian menghadapinya bersama-sama.
Tak mungkin dia bisa merobohkan kita. Tetapi urusan daftar orang-orang kangouw
mempunyai kepentingan yang lebih besar.
Walaupun bagaimana kita harus
menyingkirkan dulu urusan pribadi, kita harus berusaha mengambil daftar
orang-orang kangouw. Kalau tidak niscaya Thio Hong Gan akan mengalami kesulitan
dalam usaha besarnya...!"
Cang In Bwee mengiyakan
membenarkan perkataan Giok Han. Lalu mengangkat kepalanya mengawasi si pemuda.
"Lalu apa rencanamu ?" tanyanya.
"Kita akan menguntit
rombongan mereka, jika ada kesempatan barulah kita rampas daftar orang-orang
kangouw dari tangan muridnya, Cu Lie Seng. Tetapi kita harus bekerja hati-hati,
jika gagal habislah harapan kita bisa menghadiahkan daftar orang-orang kangouw
itu pada Thio Hong Gan."
"Baik! Kita atur begitu
saja "
"Tapi..." Giok Han
tampak ragu-ragu, dia mengawasi bimbang si gadis.
"Kenapa ?" taaya In
Bwee heran.
"Kesehatanmu belum
pulih... bagaimana kita bisa menguntit mereka ?"
"Jangan kuatir,"
tertawa si gadis. "bukankah kita cuma meoguntit mereka, dan belum
bermaksud turun tangan? Selama itu aku bisa mempergunakan kesempatan untuk
menyembuhkan lukaku. Asal kita hati-hati, bukankah tidak ada kesulitan ?"
Giok Han mengangguk. Mereka
bertekad walaupun bagaimana daftar orang-orang kangouw yang berada ditangan Cu
Lie Seng harus mereka rampas, untuk diserahkan kepada Thio Hong Gan.
00000C00000
Enam orang gadis berpakaian
serba putih dan semuanya cantik-cantik, bertubuh montok dan masih berusia muda,
melangkah ringan memasuki sebuah pintu rembulan yang terukir indah sekali.
Mereka masing-masing membawa sebuah nampan makanan. Dengan sikap hormat keenam
gadis ini masuk ke ruang yang diatur sangat mewah, yang di sekelilingnya
terdapat taman bunga yang tumbuh semerbak dengan warna-warnanya yang meriah.
Tak jauh dari undakan anak tangga yang menuju ke ruang mewah tersebut, ada
kolam yang airnya bening, diatur langat bagus sekali.
Keenam gadis berpakaian patih
ita berlutut setelah menaiki undakan anak tangga. "SianIi (Dewi), kami
telah menyelesaikan tugas kami," bilang keenam orang gadis itu dengan
sikap hormat sekali.
"Hemmm, bagus! Masuklah
kalian!" terdengar jawaban dari ruang dalam yang terhalang oleh tirai sutera
yang halus dan indah. Dari dalam ruangan ini tersiar harum semerbak yang
menyebabkan orang bisa merasakan, dirinya seperti berada di tempat yang sama
indahnya di sorga.
Keenam gadis berpakaian serba
putih itu mengiyakan, mereka bangkit dan membawa nampan masing-masing masuk ke
ruang dalam.
Di dalam ruangan diatur sangat
indah, juga luas. Di sudut kiri dari ruangan itu terdapat sebuah pembaringan,
di atas pembaringan itu rebah seorang wanita yang cantik luar biasa. Sikapnya
angkuh sekali, dia cuma melirik waktu keenam gadis berpakaian serba putih itu
berlutut di samping ranjangnya.
"Bagaimana hasil tugas
kalian?" tanya wanita cantik yang rebah di ranjang.
"Semuanya berjalan lancar
tak ada ha-largan, sianli," menyahuti salah seorang dari keenam gadis
berpakaian serba putih itu.
"Berkat doa Sianli, maka
kami berhasil mengumpulkan beberapa pemuda yang kami anggap memenuhi
persyaratan."
"Bagus. Tapi, apakah tak
terjadi pertempuran dalam usaha kalian?" tanya Sianii itu dengan suara
tawar.
"Tidak, Sianli. Bahkan
lihatlah.... kami berhasil mengambil hadiah-hadiah menarik ini untuk
Sianli."
Setelah berkata begitu, wanita
berpakaian serba putih tersebut membuka tutup nampannya, ternyata di situ
terdapat barang-barang permata yang berkilauan, seperti berlian, mutiara dan
giok. Bermacam-roacam perhiasan.
Kelima orang kawannya juga
membuka nampan masmg-masing, isinya bukan makanan, sama seperti nampan gadis
yang pertama tadi, berisi permata mutu manikam yang nilainya sangat tinggi.
Sianli di atas pembaringan
cuma melirik, tersenyum hangat.
"Bagus, simpanlah
semuanya di tempat penyimpanan itu !" kata si Dewi sambil menunjuk kepada
dinding yang ada di seberangnya.
Keenam gadis cantik berpakaian
serba putih itu telah mengiyakan dan pergi ke dekat tembok. Salah seorang
diantara mereka, yang rupanya jadi pemimpin dari kelima kawannya, telah menekan
sebuah tombol dan dinding itu bisa terbuka.
Rupanya pada tembok itu
dipasangi alat rahasia, sebagai tempat penyimpanan barang-barang berharga
tersebut. Isi enam nampan itu dipindahkan ke dalam kotak penyimpanan di tembok.
"Sekarang," kata
Sianli itu setelah keenam orang gadis berpakaian serba putih tersebut berlutut
lagi di samping pembaringan, "kalian bawalah salah satu di antara
calon-calon yang terbaik," dia berdiam sejenak, kemudian meneruskan,
,.yang termuda dan yang tergagah !"
"Baik, Sianli.
Budak-budakmu akan melaksanakan perintah dengan sebaik-baiknya, agar Sianli tak
kecewa !"
Keenam gadis berpakaian serba
putih itu yang rupanya pelayan Sianii tersebut, segera mengundurkan diri.
Sedangkan Sianli itu duduk di tepi pembaringan. Dia tersenyum. "Besok aku
harus mendampingi bocah menyebalkan itu kembali ke kotaraja ! Hu ! Hu ! Kalau
saja bukan murid Tang San si gundul, tidak akan kupedulikan permintaannya untuk
mengawal keselamatannya !" Tampak-nya dia jadi kesal sekali.
Tak lama kemudian terdengar
suara langkah kaki mendekat. Sianli itu menoleh ke pintu, dia melihat seorang
pelayannya yang berpakaian serba putih sudah muncul diikuti oleh seorang pemuda
berwajah putih halus dan bertubuh cukup gagah. Pemuda itu memandang bingung
sekeliling ruangan dan juga pada Sianli itu, rupanya dia tak tahu mengapa
dirinya dibawa ke situ.
"Sianli, tugas sudah
dilaksanakan !" melapor pelayan itu dengan sikap hormat.
"Bagus A-hiang. Sekarang
kau boleh mengundurkan diri, mengasolah ! Nanti kalau kubutuhkan kau, akan
kupanggil !"
"Baik, Sianli." Si
pelayan melirik pada si pemuda dan melangkah pergi, waktu lewat di sisi si
pemuda dia masih sempat berpesan, suaranya perlahan sekali: "Layani Sianli
baik-baik, jangan membuat Sianli gusar kalau sayang jiwamu !"
Pemuda itu diam saja, dia
tengah kebingungan. Ketika Sianli itu melambaikan tangannya menyuruh dia maju
mendekat ke pembaringan, si pemuda melangkah ragu-ragu.
"Siapa namamu?"
tanya Sianli. halus suaranya, lirikan matanya genit sekali, bergairah.
"Aku Yao Can,"
menyahuti si pemuda, dia juga terheran-heran melihat di dunia ada wanita yang
cantik luar biasa seperti yang ada di depannya, seperti seorang bidadari dari
kahyangan. Entah apa yang diinginkan wanita cantik ini darinya ?
"Berapa umurmu ?"
tanya Sianli itu lagi.
"Duapuluh tiga
tahun."
"Usia yang masih muda
sekali," menggumam Sianli. "Apakah kau sudah menikah ?"
"Belum..."
"Sayang ! Tentunya kau
belum berpengalaman!" menggumam Sianli itu lagi, membuat si pemuda yang
mengaku bernama Yao Cun bertambah heran dan tidak mengerti cuma mengawasi saja.
"Siapakah Sianli . . . ?
Dan mengapa aku diajak kemari ?" tanya si pemuda.
"Tentang siapa diriku,
tak perlu kau bertanya-tanya, cukup kau panggil aku dengan Sianli saja.
Pertanyaanmu mengapa kau diajak kemari oleh pelayan-pelayanku, tentu kau bisa
ketahui nanti. Sekarang aku ingin tanya kepadamu, apakah kau senang berada di
sini ?"
Pemuda itu mengawasi keadaan
ruangan yang sangat mewah tersebut, kemudian mengangguk. "Senang... tetapi
ini tempat yang asing sekali untukku... terlalu mewah..." Sianli turun
dari pembaringan, menghampiri pemuda itu, "Jangan pedulikan barang-barang
yang tak berjiwa itu, Sekarang lihatlah padaku. Senangkah kau padaku?"
Pemuda itu tambah bingung,
tapi melihat sinar mata yang liar dan memancarkan gairah, si pemuda tahu apa
yang tengah dihadapinya, wanita yang penuh dengan pengaruh nafsu birahi, yang
genit sekali, yang tampak cantik seperti bidadari.
Laki-laki manakah yang tak
senang bercakap cakap dengan wanita secantik ini? Orang gila saja masih akan
memandang terbengong-bengong pada kecantikan seorang wanita, apa lagi
kecantikan yang luar biasa seperti wajah wanita ini yang ada dihadapannya. Maka
pemuda itu mengangguk ragu-ragu.
"Tentu saja... aku
senang, Tetapi aku tak tahu siap Sianli sebenarnya..."
Sianli melangkah mendekati
pemuda itu, menarik tangannya sehingga si pemuda melangkah mendekatinya, diajak
duduk di pinggir pembaringan. Pembaringan itu demikian empuk dan hangat.
"Aku menyukai kau, tapi
janganlah kau membuatku jadi sebal dengan semua pertanyaanmu yang tetek bengek
tak keruan itu. Sekarang aku menginginkan kau mendampingi ku dengan penuh
kehangatan!" Waktu bicara tangan Sianli meraba-raba tangan pemuda itu yang
diusap-usap lembut sekali.
Tubuh pemuda itu menggigil dia
tampak mengalami tekanan batin yang hebat. Darahnya mendesir lebih cepat dari
yang normal. Tubuhnya semakin lama menggigil semakin keras. Harum semerbak yang
menerpa hidungnya membuat semangatnya seperti melayang-layang meninggalkan
raganya, apalagi sekarang tangannya diusap-usap oleh jari-jari tangan lentik
berkulit halus lembut sekali membuat dadanya berdegup keras.
"Apa... apa maksud
Sianli?" tanya pemuda itu seperti orang tolol.
Sanli tersenyum, dia menarik
tangan si pemuda sehingga tubuhnya berada dekat dengannya dan dia merebahkan
kepala didada si pemuda.
"Peluklah aku....!"
pinta Sianli dengan suara yang sengau serak perlahan, gemetar.
Pemuda itu tambah kebingungan,
tapi tangannya tanpa disadari telah memeluk badan Sianli, yang montok padat.
Tuburi pemuda ini gemetaran, giginya sampai bergemerutukan. Tapi dia berusaha
mengembalikan gemetar tubuhnya, biarpun selalu gagal. Hangatnya tubuh wanita
cantik dalam dekapannya membuat dia seperti terbang ke dunia lain.
"Jari-jari tanganmu
dingin sekaii," bisik Sianli sambil nengusap perlahan-lahan dada pemuda
ini. Dada yang berdegup keras dan cepat.
"Oooo - -" pemuda
itu ingin melepaskan dekapannya, menarik tangannya, kaget sekali tampaknya.
Tapi Sianli sudah memeluknya. "Biarpun tanganmu dingin, kukira tak
apa-apa."
Memang, tangan pemuda itu
dingin sekali karena perasaan yang bergolak di dalam hatinya. Dia tak kenal
siapa wanita cantik yang genit dan hangat yang berada daiam pelukannya. Tetapi
darahnya bergolak semakin lama semakin keras. Apa lagi tangan Sianli itu mulai
berkeliaran kemana-mana, sehingga pakaian pemuda itu sudah tak keruan letaknya.
Lupalah pemuda itu terhadap
segalanya, dia sudah tak berpikir apa-apa lagi, hanya satu yang diingatnya dan
diinginkannya, yaitu tubuh yang montok dan hangat.
Kamar itu tak berpintu, tapi
tak ada seorangpun di sekitar tempat itu. Sianli juga tak canggung-canggung
bersikap mesra sekali pada pemuda tersebut. Matanya semakin lama semakin redup.
Cuma, akhirnya dia kecewa setelah semuanya berlangsung, pemuda ini tak
memberikan apa yang diharapkannya.
Tahu-tahu tangan kanannya
menyampok dada pemuda itu. Perlahan saja kelihatannya, tapi badan pemuda itu
terpental jauh, terbanting di lantai diiringi jerit kematian. Waktu tubuhnya
terbanting di lantai, dia kelojotan beberapa kali, kemudian mengejang diam,
karena kepalanya telah pecah!
"Hu! Cuma mengotori
saja...!" menggerutu Sianli sambil menyambar bajunya dan mengenakannya
dengan marah-marah. Kemudian dia menepuk tangan beberapa kali. A-hiang cepat
muncul, Dia tak kaget melihat pemuda yang tadi diajak masuk olehnya ke ruang
itu sudah menggeletak mati dengan kepala pecah dan tubuh telanjang bulat. Apa
yang disaksikannya seperti juga pemandangan yang biasa saja. Dengan sikap
hormat dia berlutut.
"Ada perintah lagi,
Sianli?"
"Bawa yang kedua,"
perintah Sianli dengan muka yang masam "manusia apa yang kau bawa ini,
apapun dia tak bisa, cuma mengotori tubuhku saja!"
Muka A-hiang jadi pucat, cepat
cepat dia mengangguk-anggukkan kepalanya dalam keadaan berlutut. "Ampuni
budakmu, Sianli... budakmu akan berusaha mempersembahkan yang diinginkan
Sianli."
"Cepat laksanakan
tugasmu!" perintah Sianli, tanpa berani berayal, A-hiang segera menggotong
Yao Cun yang masih dalam keadaan telanjang bulat dan kepala yang telah pecah
hancur menyebabkan kematiannya itu, keluar dari ruangan tersebut. Seorang
pelayan lainnya kawan A hiang sudah datang membersihkan lantai dari noda darah.