Cula Naga Pendekar Sakti Bagian 21

Baca Cersil Mandarin Online: Cula Naga Pendekar Sakti Bagian 21
Cula Naga Pendekar Sakti Bagian 21

PENGEMIS itu berjalan terpincang-pincang, dengan tongkat cukup panjang ditangan kiri, mengetuk-ngetuk jalanan, sambil- melangkah perlahan-lahan, rupanya dia buta tak bisa melihat. Di tangan kanannya memegang sebuah mangkok untuk tempat menerima derma yang diberikan orang padanya.

Kaki kanannya pincang, dia jalan terseok-seok, mukanya kotor, kumis jenggotnya tak keruan, topinya juga kotor sekali dibeleseki sampai menutup sebagian wajahnya. Usianya mungkin empat puluh tahun. Pengemis ini berjalan terus perlahan-lahan, akhirnya berhenti di sebuah rumah makan, minta sedekah.

Tak ada seorangpun yang memperhatikannya, termasuk pelayan-pelayan rumah makan itu tak mengacuhkannya. Tapi, biarpun buta, biji mata pengemis itu sering menatap bersinar ke dalam ruang rumah makan itu, kemudian dipejamkan lagi, sambil mulutnya komat-kamit minta belas kasihan kepada orang-orang yang lewat di dekatnya, agar memberi sedekah padanya.

Lama juga si pengemis berdiam di depan rumah makan, dia berjalan lagi terseok-seok menyusuri jalan tersebut, akhirnya masuk ke sebuah lorong yang cukup panjang. Dia berjalan terus dengan kepala tertunduk, sampai akhirnya berhenti di depan rumah yang megah dan mewah. Pengemis ini menggumam perlahan: "Tampaknya" sepi, apakah anjing-anjing kaisar lalim itu sudah tak berdiam di rumah ini ?"

Lama pengemis itu memperhatikan rumah tersebut, sedangkan gedung itu tetap sunyi, sepi, tak terlihat seorang manusiapun juga. Daun pintunya yang tebal lebar itu tertutup rapat-rapat. Perlahan-lahan si pengemis melangkah menghampiri pintu. Dia berdiri di situ memperhatikan keadaan di sekitarnya, rupanya dia cuma pura-pura buta sebab matanya bersinar tajam dan bisa melihat apapun juga di sekelilingnya.

Diangkat tongkat pada tangan kirinya, ujung tongkat diketukan cukup keras pada daun pintu. Setelah itu tongkatnya diturunkan lagi, menanti dengan kepala ditundukkan. Daun pintu terbuka, seorang berpakaian sebagai pelayan di rumah tersebut keluar dengan muka masam setelah melihat yang melihat yang mengetuk pintu seorang pengemis kotor dan buta.

"Sial ! Mengapa kau mengganggu ketenanganku ?" bentak si pelayan! "Hayo pergi! Menggelinding dari sini !" bentakan itu disusul dengan tangan kanannya diulurkan buat mendorong pundak si pengemis, sampai tubuh si pengemis terhuyung-huyung mundur ke belakang beberapa langkah, rupanya si pelayan mendorong dengan tenaga yang kuat.

"Toaya... bermurah hatilah memberi sedekah kepadaku si pengemis melarat... Kasihanilah, aku pengemis buta yang tak bisa melihat keindahan alam, tak bisa menikmati keindahan apapun lagi...!"

"Jangan rewel, ayo pergi ! Atau kau mau kulemparkan baru mau menggelinding pergi dari sini ?" si pelayan yang rupanya tadi sedang tertidur dan terbangun kaget karena ketukan tongkat si pengemis pada daun pintu. Semula dia menyangka yang mengetuk pintu sahabat majikannya, tak tahunya hanya seorang pengemis. Dia jadi uring-uringan dan galak.

"Apakah Toaya tak berkasihan padaku ?" tanya si pengemis. "Baiklah, kalau Toaya tak mau memberi derma dan sedekah kepadaku, jelas akupun tak bisa memaksa...!"

Si pelayan rupanya sebal melihat pengemis kotor ini, dia cuma "hemmm! "beberapakali dan menutup daun pintu. Cuma saja, si pelayan jadi kaget campur heran. Daun pintu tidak bisa ditutup rapat, biarpun dia mendorong kuat-kuat. Dia membuka lagi. Si pengemis sedang menurunkan tongkatnya. Tidak ada orang lain disekitar tempat itu. Si pelayan mendeliki si pengemis buta, dia membentak: "Kau masih belum menggelinding pergi, pengemis menyebalkan ?"

"Aku akan segera pergi Toaya, jangan galak-galak...! "kata si pengemis. Pelayan itu kembali mau menutup daun pintu, sama saja hasilnya dengan tadi, yaitu daun pintu tidak bisa ditutup rapat-rapat. Tentu saja dia semakin penasaran dan heran, tapi tidak segera membuka lebar daun pintu, cuma mengintai dari sela daun pintu. Rupanya semua ini akibat ulah si pengemis. Tongkatnya dilintangkan dan ujung tongkat menunjang daun pintu, sehingga pintu tak bisa ditutup.

Karena penasaran, si pelayan mendorong kuat-kuat agar daun pintu rapat. Dia pikir, berapa kuatnya sih tenaga seorang pengemis buta yang tampaknya kurang makan itu ?Tapi dia kecele, karena tetap saja daun pintu iiu tidak bisa didorong rapat biarpun sudah dikerahkan seluruh tenaganya.

Dengan murka dia membuka lebar-lebar daun pintu, sedangkan si pengemis buta sudah menurunkan tongkatnya dan bersiap-siap hendak berangkat meninggalkan tempat itu.

"Gembel busuk, kau harus dihajar.!" teriak si pelayan meloncat ke belakang si pengemis, tangan kanannya diulurkan menjambak punggung pengemis itu, maksudnya dia hendak menarik tubuh si pengemis untuk dibantingnya.

Tapi dia menyambar tempat kosong, jari-jari tangannya yang semula tampak sudah hampir berhasil menjambak baju di punggung si pengemis, cuma terpisah beberapa dim saja, telah menyambar tempat kosong karena tubuh si pengemis mendadak seperti bisa maju ke depan lebih cepat dari sebelumnya, seperti punggung si pengemis ada matanya bisa melihat sambaran tangan si pelayan.

Tidak kepalang marah dan penasaran si pelayan, dia membentak bengis sambil mengulangi jambakannya. Sekali ini dia menjambak dengan mempergunakan tenaga sepenuhnya.

Si pengemis mendadak menjerit : "Aduhhh ! Aduhhh . . . kakiku !" Dan dia memutar tubuhnya ke samping, membungkuk buat melihat kakinya, mungkin dia sudah kesandung batu dan sepatunya yang sudah tak keruan bentuknya itu menyebabkan ibu jari kakinya muncul tercuat keluar tak bisa melindungi lagi jari kakinya dari bongkahan batu yang terantuk itu, sehingga dia menderita kesakitan.

Karena si pengemis membungkuk menyingkir ke samping buat melihat kakinya, akibatnya jelek sekali buat si pelayan yang sedang mengerahkan seluruh tenaganya buat menjambak sambil setengah menghantam dengan tangannya ke punggung si pengemis.

Karena begitu tangannya diulurkan, mendadak lenyap sasarannya, bahkan waktu itu keseimbangan tubuhnya lenyap, tubuhnya terjerunuk mencium tanah sampai mukanya kotor oleh tanah dan abu !

Si pelayan menjerit marah sambil meloncat berdiri, mukanya kotor sekali, hidungnya juga sudah bocor mengeluarkan darah, karena tadi mencium jalanan. Dia loncat ke dekat si pengemis untuk memukul kuat-kuat pada si pengemis. Karena tadi dia sudah mendapat pengalaman pahit, sekali ini biarpun memukul sangat kuat si pelayan tak membabi buta, dia tidak ceroboh dan berhati-hati.

Si pengemis seperti tidak tahu beberapa kali hendak dipukul oleh si pelayan, dia mengayunkan tongkatnya ke belakang, untuk di kempit pada ketiaknya, karena tangannya hendak mengurut-urut ibu jari kakinya.

Ujung tongkatnya muncul di samping ketiak belakang, dan mungkin secara kebetulan saja ujung tongkat itu menyodok perut si pelayan. Sodokan ujung tongkat itu ternyata kuat sekali, sebab si pelayan merasakan perutnya seperti dihantam sesuatu yang beratnya ratusan kaki, membuat isi perutnya jungkir balik, tak bisa dipertahankan lagi badannya kejengkang ke belakang, bergulingan beberapakali sambil teraduh-aduh memegangi perutnya yang sakit sekali.

Si pengemis sudah menggerakkan tongkatnya untuk mulai melangkah pergi, jalannya terseok-seok karena kakinya memang pincang. Dia tetap membawa sikap seperti tidak tahu berulangkali dirinya telah gagal diserang oleh si pelayan.

Pelayan itu biarpun perutnya masih sakit, mukanya masih meringis, dengan kemarahan meluap sudah melompat bangun, meraung penasaran dan berlari mengejar si pengemis. "Akan kuhajar mampus kau! Akan kuhajar mampus kau !" Teriaknya mengancam. Dan memang dia bermaksud untuk menyiksa pegemis itu, yang dikiranya sudah mempermainkan dirinya.

Pengemis itu tetap berlenggang-Ienggok terseok-seok dengan langkah pincang, seperti tak mendengar teriakan si pelayan. Biarpun si pelayan berlari-lari buat menyusulnya, tetap saja jarak mereka terpisah satu depa lebih, pelayan itu tak berhasil mendekati si pengemis. Memang ini luar biasa.

Tampaknya si pengemis jalan terseokseok, namun tubuhnya itu meluncur ke depan ringan sekali, seperti melayang tak menginjak tanah sehingga biarpun si pelayan mengejarnya menggunakan seluruh tenaganya berlari di belakang pengemis itu, tetap saja dia tak berhasil mendekati pengemis yang luar biasa ini tanpa berapa si pelayan sudah mengejar si pengemis cukup jauh, tapi tetap saja dia tak berhasil mengejar pengemis itu, jarak mereka terpisah cukup jauh. Bukan main penasaran hatinya, dia mengejar mati-matian mengerahkan seluruh sisa tenaganya, tetap saja dia tak berhasil mencapai si pengemis.

Sampai akhirnya, napasnya seperti tersendat habis, memburu keras, kerongkongannya kering. Kalau semula dia memaki-maki sambil mengejar, sekarang cuma mengejar dengan mulut tertutup rapat-rapat !

Ketika mereka berada dilorong jalan yang sepi, mendadak pengemis itu berhenti melangkah. Dia berdiri tegak menghadapi pelayan yang sudah mengejarnya kehabisan tenaga.

"Akan kumampusi kau!" Serak suara si pelayan, tangannya diangkat untuk memukul. Disangkanya si pengemis sudah tak kuat berlari menghindar lagi darinya, biarpun dia sudah kehabisan tenaga, tapi dengan sisa-tenaganya dia ingin memukul pengemis itu.

Si pengemis tak berusaha mengelak, berdiri diam ditempatnya dengan bibir tersenyum. Waktu tangan si pelayan hampir mengenai mukanya, tahu-tahu tubuhnya sudah menyingkir ke samping, sehingga kepalan tangan pelayan itu lewat di samping mukanya.

Pada waktu itulah tongkat si pengemis menotok punggung pelayan tersebut, hebat kesudahannya. Tubuh pelayan itu seperti didorong oleh suatu kekuatan yang dahsyat, sehingga tubuhnya terjerunuk ke depan, mukanya kemudian menghantam tanah, hidungnya patah, darah mengucur keluar, giginyi juga rontok tiga, matanya berkunang-kunjug, gelap penglihatannya.

Si pengemis menggunakan ujung tongkatnya menyontek baju di punggung pelayan tersebut, dia menghentak perlahan, seperti tak memakai tenaga. Tapi kesudahannya benar benar mengejutkan, karena badan pelayan itu seperti sehelai daun kering yang ringan terlempar ke samping, punggungnya membentur keras pada dinding tembok rumah penduduk, sampai terdengar suara benturan yang nyaring, tubuh si pelayan meloso jatuh di bawah tembok dengan mata terbuka lebar-lebar dan mulut ternganga ketakutan, matanya itu biarpun terbuka lebar namun gelap tak ada yang bisa dilihat, berkunang-kunang.

Tenang sekali si pengemis menghampiri pelayan dan ujung tongkatnya mengetuk perlahan dagu si pelayan, segera kepala pelayan itu menengadah.. Dagunya seperti dipukul martil saja, sakitnya bukan main, suara rintihannya terdengar perlahan.

Pelayan yang semula, begitu garang dan bengis, sekarang jadi kuncup nyalinya, segera sadar bahwa dia keliru melihat lawan. Pengemis ini rupanya bukan pengemis sembarangan, dia ternyata memiliki tenaga yang kuat, tadi rupanya pengemis ini pura-pura saja tak melayaninya, namun sengaja memancingnya ke-lorong yang sepi dan tak ada orang lain di situ.

Diam-diam pelayan ini mengeluh, bila ia tidak terpancing dan ribut di depan rumah majikannya, pasti kawan-kawannya akan mengetahui keributan itu dan membantuinya, tidak seperti sekarang dia jadi mati kutu.

"Dengarlah baik baik," suara si pengemis tawar. "Aku ingin bertanya beberapa hal kepadamu, kau harus menjawabnya jujur, jangan sekali-sekali berpikir untuk berbohong, karena aku tak jamin lagi keselamatan jiwamu."

"Apa... apa yang ingin kau tanyakan?"

Si pelayan lemas tak bertenaga didukdi bawah tembok menderita kesakitan karena luka terbanting beberapakali, sikapnya sudah tak bengis dan galak seperti semula, suaranya juga serak gemetar ketakutan. Yang dikuatirkannya dirinya disiksa lagi oleh pengemis ini.

"Pertanyaanku yang pertama," kata si pengemis, perlahan-lahan dan suaranya tetap tawar. " Apa yang sedang dilakukan Siang koan-Giok Lin sekarang ini?"

Kaget dan heran sipelayan. Mau apa pengemis ini bertanya tentang majikannya. Segera dia menduga pasti pengemis ini musuh majikannya.

"Loya... loya sedang dikamar perpustakaannya menghitung... menghitung penghasilan kemarin yang baru disetor oleh perusahaan-perusahaannya," jawab si pelayan terpaksa.

"Pertanyaanku yang kedua: Apakah orang-orangnya dari kotaraja masih berada dirumahnya?" tanya sipengemis tak mengacuhkan sikap ketakutan sipelayan.

"Ooo, kawan-kawan loya?" tanya si pengemis. "Mereka... mereka masih berdiam dirumah loya, mungkin sore ini... mereka akan mengadakan pemeriksaan dikota ini." Si pelayan menyangka sipengemis ini jeri pada utusan kaisar dari kotaraja maka dia sengaja bilang begitu untuk menggertak. Tapi, hasilnya malah, membuat dia tambah pecah nyalinya, karena tahu-tahu tongkat si pengemis menyabet pipinya. Perlahan tampak pukulan gagang tongkat si pengemis, tapi pipi si pelayan segera bengkak besar dan dia kesakitan sampai rasanya menusuk-nusuk otak dan uluhatinya.

"Bicara yang jujur," suara si pengemis tambah tawar, "Aku tahu kau bicara tidak jujur, sekali lagi melakukan hal itu maka kepalamu akan ku hantam dengan tongkatku ini dan akibatnya kau tentu bisa membayangkan sendiri ....!"

"Ampun... ampun... aku tak berani berdusta lagi, Loya sekarang sedang mempersiapkan .... keberangkatannya kekota raja."

"Maksudmu majikanmu itu akan berangkat ke kotaraja?" menegasi pengemis ini tawar. "Bersama siapa dia berangkat ke kotaraja? Kapan berangkatnya?"

"Loya... berangkat malam ini, jam tiga. Kepergiannya dikawal oleh empat orang mereka semua dari kotaraja." pelayan itu kini patuh menjawab sebenarnya.

"Apakah keempat orang yang akan mengawal majikanmu ke kotaraja berada di rumah majikanmu ?"

"Dua orang berdiam di rumah loya, dua orang lagi berada di rumah Tihu, jam satu nanti mereka akan datang menggabungkan diri."

"Siapa dua orang yang sekarang berada di rumah loyamu itu ?" tanya pengemis itu lagi.

"Thio-taijin dan Cu kongcu," menyahusi si pelayan.

Yang kau maksudkan Thio-taijin itu apakah bukan Thio Yu Liang ? Dan yang kau sebut Cu-kongcu ita apakah bukan Cu Lie Seng ?" tanya si pengemis lagi.

"Be... benar," si pelayan tambah yakin bahwa pengemis ini bukan pengemis sembarangan, dia menyesal mengejar-ngejar pengemis ini tadi seperti mencari penggebuk saja.

"Lalu dua orang lainnya yang akan menjemput loyamu nanti, yang sekarang berdiam di rumah Tihu, siapa mereka?" tanya si pengemis lagi.

"Aku mendengarnya mereka adalah... Ban-taijin dan.... dan yang seorang lagi tak begitu jelas... entah siapa dia, aku tak. mengetahuinya..."

"Plakkkkk!" tahu-tahu tongkat si pengemis menepuk perlahan pipi si pelayan yang sebelah kiri, perlahan sampokan tongkat itu, tapi gigi si pelayan copot dua.

"Bicara yang benar dan jujur. Siapa yang seorang lagi?" bentak si pengemis. "Atau kau hendak kepalamu itu kuhajar pecah?"

Rasa sakit yang ditanggung pelayan itu bukan main menyiksanya, akibat terjerunuk. mukanya menubruk jalanan, terbanting membentur tembok rumah dan pipinya duakali dipukul oleh tongkat si pengemis benar-benar merupakan luka yang mendatangkan rasa sakit yang menyiksa benar, kepalanya pusing, matanya gelap, rasa sakit di sekujur punggungnya karena tulang punggungnya seperti patah atau sedikitnya retak akibat benturan kuat pada tembok, membuat dia hampir tak sanggup bicara lebih jauh.

Namun rasa takut yang hebat karena kuatir disiksa lebih jauh oleh pengemis ini, terpaksa dia menyariuii: "Sungguh... aku tak mengetahui siapa orang yang keempat itu... sungguh Toaya... aku tidak bicara bohong." Saking ketakutan dia memanggil si pengemis dengan sebutan Toaya, tuan besar.

"Bohong! Kau rupanya minta dihajar lagi, heh?" mengancam si pengemis.

Pelayan itu merintih dengan muka meringis ketakutan, dia hampir pingsan, menangis ketakutan setengah mati. "Jangan... jangan mempersakiti aku lagi, Toaya, aku sudah bicara yang jujur.... aku tak tahu siapa orang orang keempat itu yang akan mengawal Loya .... Sumpah mati apapun aku mau.... ampuni aku, Toaya.... jangan mempersakitiku lagi.... aku mempunyai lima orang anak dan isteriku juga tak bisa apa-apa, kalau aku mati siapa yang memberi makan pada mereka?"

"Hemmm. kau menyebut-nyebut tentaag isteri dan anak anakmu untuk minta dikasihani, bukan ?" tanya si pengemis dingin. "Tapi, kalau kau tak bicara jujur, sulit aku mengampuni jiwa anjingmu." Tongkatnya diangkat mengancam akan memukul pelayan itu lagi. Keruan saja si pelayan menjerit-jerit ketakutan sambil menutupi kepalanya dengan kedua tangannya, menghiba-hiba minta ampun, air matanya mengucur banyak sekali, tidak malu-malu dan lupa rasa sakit di tubuhnya, dia coba bergerak untuk berlutut.

Tapi, waktu itu tongkat si pengemis sudah turun, menotok jalan darah Yu-ci-hiat nya di tengkuk, seketika si pengemis pingsan tidak sadarkan diri.

"Kau beristirahatlah di situ," kata si pengemis tawar, sambil ngeloyor pergi meninggalkannya, tapi sekarang langkah kakinya tidak terseok-seok seperti tadi, melainkan ringan sekali berlari dengan ginkang yang sangat tinggi"!

oooo)0(oooo

"KITA harus membagi diri menjadi dua rombongan, dan kukira yang paling baik daftar itu dibawa oleh Cu kongcu!"

Orang yang berkata itu adalah seorang bertubuh tinggi besar. memiliki uiat-urat tangan yang kasar bertonjolan pada tangannya, mukanya bengis, dia bicara sambil mengangkat cawan araknya, meneguknya kemudian seakan menantikan jawaban yang lain-nya yang berkumpul di ruangan tersebut.

Orang ini tak lain Ban It Say, dan dia berkumpul di ruangan itu bersama Siangkoan Giok Lin, Thio Yu Liang, Cu Li Seng dan seorang berpakaian penuh tambalan, dilihat dari keadaannya yang kotor dan mesum, dialah seorang pengemis.

Usianya mungkin empat puluh tahun lebih, kumis jenggotnya di biarkan tumbuh kasar di mukanya, waktu Ban It Say bicara, dia cuma memutar-mutar cawan araknya di atas meja dengan tangan kanannya, seperti sedang berpikir keras.

"Apa yang dibilang Ban Toako memang tak salah," kata Siangkoan Giok Lin. "Kita harus membagi diri menjadi dua rombongan, untuk mengalihkan perhatian orang-orang yang mengincar daftar ini. Entah bagaimana pendapat Cu-kongcu ?"

Cu Lie Seng sejak tadi berdiam diri dengan muka yang dingin kaku, waktu Siang-koan Giok Lin minta pendapatnya dia tetap diam tak segera menyahuti, hanya matanya memandang kepada orang-orang yang berkumpul di situ satu persatu.

Kemudian dia baru menghela napas, katanya: "Siapa sih yang memiliki nyali begitu besar untuk menghadang kita dan merampas daftar itu ? Biarpun sudah makan sepuluh nyali macan rasanya sulit buat mereka mengambil daftar itu dari tangan kita ! Rasanya Ban taijin bicara terlalu berlebih-lebihan, kita tak usah kuatir terhadap siapapun juga."

Muka Ban It Say merah merasa malu, dia adalah congkoan Gi-lim-kun berkepandaian tinggi, berkata seperti itu Cu Lie Seng jelas ingin mengatakan bahwa dia seorang pengecut, yang kuatir berlebih-lebihan. Sebetulnya dia bermaksud mempermudah pengiriman daftar-daftar orang kangouw yang sekarang jadi rebutan dan banyak yang mengincar. Tapi, ia tak berani bicara lagi, biarpun hatinya mendongkol terhadap pemuda yang angkuh ini.

Cu Lie Seng tidak peduli sikap congkoan Gi-lim-kun tersebut, dia menoleh pada Thio Yu Liang, tanyanya: "Bagaimana pendapat Thio tai-jin ?"

Thio Yu Liang batuk-batuk, kemudian menyahuti hati-hati : "Kukira memang ada baiknya daftar itu bawa oleh Cu-kongcu. Dengan kepandaian Cu kongcu dan beberapa orang pengawalmu, niscaya daftar itu bisa sampai ditangan Cu-kong-kong dengan selamat. Tentang cara pengiriman itu lebih baik diatur oleh kongcu, kami cuma mematuhi perintah saja."

Senang tampaknya Cu Lie Seng, dia mengangguk-angguk tersenyum, walaupun senyumnya itu tetap tawar dan dingin. "Baiklah, kukira sudah dapat dipastikan sekarang bahwa aku yang akan membawa daftar itu. kalian ikut dalam rombonganku, untuk memperkuat kedudukan kita selama dalam perjalanan ! Kuakui orang-orang Thio Hong Gan dan pihak-pihak lain mengincar daftar ini, tapi kukira kita bisa menghadapi mereka tanpa perlu gentar."

Siangkoan Giok Lin mengangguk-angguk, dia tak berusaha menentang keputusan putera Cu kongkong, yang diketahuinya sangat berkuasa itu. Semua orang yang lainnya berdiam juga. Sedangkan Cu Lie Seng telab berkata lagi: "Yang ingin kujelaskan kepada kalian, baru beberapa hari ini guruku, Tang San Siansu, sudah tiba di sini, beliau yang akan mendamping aku pulang kekota raja."

Semua orang terkejut campur girang. Adanya Tang San Sianau jelas merupakan jaminan bahwa dalam perjalanan mereka tak akan menemui kesulitan berapa banyakpun orang tangguh berusaha menghadang mereka. Karenanya mereka segera tertawa riang.

"Sungguh beruntung kami jika bisa melakukan perjalanan dengan guru kongcu, ini merupakan kehormatan terbesar buat kami. Sekarang kami tak perlu bimbang dan kuatir lagi, rintangan apapun yang terjadi tentu bisa kita atasi!" kata Ban It Say untuk memulihkan suasana, ikut memuji Cu Lie Seng.

Pemuda itu mengangguk, kemudian menjelaskan rencana perjalanan mereka dengan suara perlahan. Semua orang itu menggeser duduk masmg-masing, untuk lebih dekat mendengarkan rencana perjalanan yang diuraikan Cu Lie Seng.

"Di manakah guru kongcu ? Mengapa tak mengajaknya kemari?" tanya Siangkoan Giok Lin. "Aku menyesal sekali tak bisa melayani guru Kongcu yang terkenal sebagai satu-satunya jago tanpa tanding jaman ini!"

Sebal Cu Lie Seng mendengar perkataan Siangkoan Giok Lin, dia tahu orang she Siangkoan ini cuma menjilat-jilat memuji untuk menyenangkan hatinya, sebab Siangkoan Giok Lin memang seorang yang pandai menepuk pantat untuk meraih keuntungan pribadi. Cuma saja mengingat bahwa orang ini diperlukan Hongsiang untuk menundukkan jago-jago kangouw, dia tersenyum.

"Guruku tak mau merepotkan Lopeh, karenanya sekarang dia berdiam di rumah Tihu."

Siangkoan Giok Lin mengangguk-angguk katanya: "Kongcu sendiri memiliki kepandaian demikian tangguh, entah bagaimana hebatnya kepandaian guru kongcu" pujinya lagi. Dia melambaikan tangan memanggil pelayan-pelayan wanitanya untuk menambahi arak dan mengganti makanan yang sudah dingin dengan makanan yang baru.

Ban It Say meremas pantat seorang pelayan dengan sikap ceriwis, dia memang paling tidak boleh melihat muka cantik. Pelayan-pelayan Siangkoan Giok Lin semuanya cantik-cantik dan montok, karenanya tangan Ban It Say jadi gatal. Dia meremas begitu sambil tertawa-tawa senang. Si pelayan tak berani mengelak, cuma senyum-senyum malu saja.

Siangkoan Giok Lin juga tersenyum-senyum, dia memang ingin menyenangkan tamu-tamunya, sengaja telah menampilkan pelayan-pelayan wanita ynng cantik cantik.

Thio Yu Liang, juga rupanya jadi gatal pula tangannya, dia menarik lengan seorang pelayan agar lebih dekat, harum semerbak pelayan itu, gadis berusia 19 atau 20 tahun, berwajah cantik dan montok. Dia melirik pada Siangkoan Giok Lin, katanya: "Kukira Siangkoan Kisu tak keberatan menghadiahkan dia untukku."

"Silahkan... silahkan...!" Tertawa Siangkoan Giok Lin. "jangankan hanya seorang, jika Taijin mau tiga atau empat orang menemanimu, itupun dapat saja Taijin ambil..."

Thio Yu Liang sudah berdiri, dia tertawa-tawa menyeret pelayan yang masih berusia muda dan cantik itu, "Maafkan, perutku sangat sakit dan ingin minta nona manis ini untuk memijitkannya dulu."

Pelayan itu masih gadis. Dia bekerja di gedung Siangkoan Giok Lin sejak berusia delapan rahun, Selama itu tak pernah disentuh laki laki, sekarang ada orang yang menyeretnya seperti itu dan bisa menduga apa yang acan dilakukan Thio Yu Liang, dia jadi ketakutan, mukanya pucat pias.

"Loya..." ratapnya sambil mengawasi Siangkoan Giok Lin.

Siangkoan Giok Lin mendelik, "Ayo temani Thio-taijin, awas jangan membuat Thio thaijin jadi gusar."

Thio Yu Liang tampaknya sudah tak sabar dia menyeret gadis pelayan tersebut menuju kekamarnya. Tentu saja pelayan ini, tambah ketakutan dan bingung, dia hendak meronta dari cekalan Thio Yu Liang, tapi tenaganya mana cukup untuk menghadapi kekuatan Thio Yu Liang? Seperti semut dengan gajah saja.

Bahkan terlalu takut dia menangis "Jangan aku, taijin .... aku . . . aku . . . tak bisa menemani taijin ..."

Thio Yu Liang tertawa-tawa, tak peduli dengan sikap si pelayan, ditariknya terus dan hatinya semakin senang saja. Justeru menjadi kegemarannya adalah gadis-gadis yang memberikan perlawanan seperti ini, untuk lebih menghangati darah dan tubuhnya. Justeru wanita yang menerima dan berdiam saja membuatnya sebal dan muak, membuatnya jadi tak terangsang.

"Thio-taijin, jam tiga kau sudah harus bersiap-siap kita berangkat jam empat!" Bilang Cu Lie Seng. Dia tawar saja menyaksikan ini sama sekali tak coba mencegah kelakuan dan perbuatan Thio Yu Liang, cuma dia mengingatkan agar Thio Yu Liang tidak lupa daratan sehingga lupa bahwa pagi ini mereka akan berangkat jam empat. Perbuatan-perbuatan seperti itu memang sudah jadi biasa di-kalangan mereka.

Thio Yu Liang tertawa. "Kongcu jangan kuatir, jam dua aku sudah siap dan selesai," Teriaknya dan masuk dalam kamarnya menyeret pelayan yang masih gadis itu.

Semua orang diruang itu tertawa, mereka asyik makan minum dan beberapa menit kemudian terdengar jerit yang cukup keras di kamar Thio Yu Liang, Siangkoan Giok Lin geleng-geleng kepala sambil tersenyum, katanya : "Akh. anak itu benar-benar tidak tahu diri, mengapa harus menjerit-jerit segala ? Bukankah Thio-taijin memberikan kesenangan kepadanya ? Oya, apakah Kongcu tak bermaksud istirahat dulu ?"

Cu Lie Seng mengangguk perlahan, dja berdiri untuk kembali ke kamarnya. Siangkoan Giok Lin segera sibuk mengirim beberapa orang pelayannya, yang semuanya masih muda dan cantik-cantik, untuk melayani putera Cu-kongkong ini. Tapi empat orang pelayan yang diutus Siangkoan Giok Lin di usir keluar oleh Cu Lie Seng, karena dia tak mau mensia-siakan latihan lwekangnya dengan main perempuan.

Ban It Say membawa dua orang pelayan yang dianggapnya paling cantik untuk menemaninya di kamar melewati waktu selama belum jam keberangkatan mereka.

Si pengemis tua yang sejak tadi berdiam diri saja, tanpa ikut bicara, cuma memandang semua yang terjadi dengan sorot mata mengiri. Setelah Cu Lie Seng, Ban It Say dan Thio Yu Liang menghilang di kamar masing-masing, si pengemis menoleh pada Siangkoan Giok Lin, yang duduk di sampingnya.

"Toako, semuanya berjalan lancar, mereka tampaknya menyukai aku dan ini sangat penting sekali, agar laporan pada Cu-kong-kong semua bernada baik." Ujar Siangkoan Giok Lin.

"Tentu saja, jasa-jasamu juga akan kulaporkan kepada Cu-kongkong kelak, untuk mendapat tempat yang layak untukmu."

Si pengemis tersenyum.

"Ya. kuharap saja kau tak melupakan aku, Siangkoan-ya," bilang si pengemis. Dia maklum, sebagai seorang yang senang bermuka-muka, seorang penjilat, niscaya Siangkoan Giok Lin selalu harus berusaha mencari jalan untuk menyenangkan orang-orang yang akan jadi "jembatan" nya untuk mencapai cita-citanya.

Siangkoan Giok Lin telah dihubungi Kaisar, diperintahkan untuk merangkul orang-orang kangouw, tentu saja Kai-sarpun sudah tahu dari laporan orang-orangnya bahwa Siangkoan Giok Lin paling pandai mengambil hati siapapun juga, ltulah sebabnya tugas ini diberikan kepada Siangkoan Giok Lin.

Namun, sebagai orang yang cerdik dan licik, Siangkoan Giok Lin tahu bahwa ia harus mendapat muka dari Cu kongkong, orang ke-biri yang paling berkuasa saat itu. Jika Cu-kongkong tak menyukainya, biarpun dia diperintahkan langsung oleh Kaisar, niscaya dirinya terancam bahaya tidak ringan, itulah sebabnya orang-orang Cu-kongkong dijamunya sebaik mungkin, berusaha menyenangkan hati mereka.

Apa lagi pada saat itu hadir Cu Lie Seng, anak Cu-kongkong, maka dia melayani, sedapat mungkin menyenangkan pemuda yang berkepandaian tinggi tersebut, agar kelak menyampaikan kata-kata yang baik tentang dirinya di hadapan Cu-kongkong. Karena itu, walaupun di rumahnya kini merupakan arena perbuatan maksiat, ia tak berusaha menghalangi, juga menyembunyikan perasaan tak senangnya. Jika bisa, dia malah ingin menganjurkan Cu Lie Seng melakukan apa saja disukainya.

Memang begitulah sifat manusia. Jika memerlukan sesuatu tentu akan berusaha menyenangkan orang yang bisa memungkinkan ia berhasil dalam mencapai cita-cita dan keperluannya. Apa pun akan dilakukan untuk menyenangkan orang yang, dianggap bisa menjadi "jembatan" untuk mencapai cita citanya. apa lagi seorang manusia hcik dan cerdik seperti Siangkoan Giok Lin, untuk mencapai cita-citanya ia tak segan-segan mengorbankan harga dirinya.

Sudah lupa apa yang disebut dosa. Sudah lupa apa yang disebut harga diri. Sudah lupa apa itu penderitaan dari korban-korban perbuatannya. Sudah lupa juga pada ancaman hukuman neraka kelak.

Yang terpenting bisa mencapai cita citanya, apapun akan dilakukannya. Dan dia bercita-cita menjadi satu-satunya orang kepercayaan Kaisar.

Sedangkan si pengemis bermuka kasar dan mesum itu tak lain dari Kiu cie Sinkay (pengemis sakti berjari sembilan) Ho Beng Su, di kaipang ia memiliki kedudukan tinggi, sebagai salah seorang Hiocu (pimpinan daerah), namun sifat tamak masih tetap bersemayam di hatinya, ia terbujuk oleh rayuan Siangkoan Giok Lin.

Karenanya juga, ia bersedia bekerjasama dengan Siangkoan Giok Lin, buat Kaisar dan kerajaan, sebab Siangkoan Giok Lin sudah membujuknya bahwa Ho Beng Su akan mendapat kedudukan sangat baik, harta dan pangkat yang akan dihadiahkan oleh Kaisar.

Manusia yang masih mengejar keduniawian, tak akan puas dengan kedudukan yang bagaimana tinggi sekalipun. Biarpun dalam kaipang Ho Beng Su memiliki kedudukan yang sudah tinggi, tapi sifat tamaknya menghendaki untuk mendapat yang lebih lagi.

la sebetulnya mempunyai cita-cita untuk merebut kedudukan Pangcu Kaipang, tapi sejauh itu usahanya tak pernah berhasil. Sebab itu dia akhirnya memutuskan untuk tunduk pada kerajaan dan nanti memanfaatkan kekuatan kerajaan untuk menggempur kaipang dan merampas kedudukan pangcu (ketua) kaipang.

Siangkoan Giok Liu yaag mengetahui cita-cita Ho Beng Su, mempergunakan kesempatan itu untuk membujuknya, menjanjikan kalau Ho Beng Su sudah memperlihatkan beberapa perbuatan yang berjasa kepada kerajaan, maka dijaminnya pihak kerajaan akan membantu dan mendukung Ho Beng Su sebagai pangcu kaipang.

Memang yang dijanjikan Siangkoan Giok Lin bukan janji kosong, kaisarpun lebih senang yang menjadi ketua berbagai perkumpulan dan pintu perguruan silat adalah orang-orang yang telah tunduk dan bekerja untuk kerajaan, sehingga tak ada kesulitan di waktu-waktu mendatang, seluruh perkembangan dalam kalangan kangouw dapat dikuasai dan dikendalikan dengan baik. Ho Beng Su memang akan didukung untuk menjadi pangcu Kaipang.

Ho Beng Su sendiri biarpun sudah mengkhianati pintu perguruannya sendiri, merasa bahwa ia tak keliru jalan, karena dia memang memiliki ambisi yang besar. Sekarang dia mengandalkan Siangkoan Giok Lin, agar dirinya bisa dekat dengan Kaisar, karena di ketahuinya Siangkoan Giok Lin belakangan ini menjadi orang kepercayaan raja untuk membujuk orang orang Kangouw.

Nanti, setelah dia bisa dekat Kaisar, Ho Beng Su akan merebut kedudukan itu, ia yang akan berusaha menjadi orang kepercayaan Kaisar. Selama itu, Ho Beng Su menyimpan saja cita cita dan rencananya, yaitu rencana untuk menjadi pangcu kaipang merangkap menjadi ketua orang-orang kangouw !

Memang demikianlah sifat-sifat orang yang memiliki jiwa dan hati kotor, selalu tak kenal puas dan jika memperoleh kesempatan pasti akan cakar-cakaran, untuk memperebutkan kedudukan, tanpa perduli lagi apakah harus mengorbankan kawan atau memang harus memusnahkan rekan-rekannya, pasti akan dilakukan apa yang dianggapnya bisa membuatnya lebih dekat dengan cita-citanya.

Kepandaian Kiu ci sin-kai sebetulnya tidak rendah, tapi sejauh itu dia tak mau memperlihatkan kepandaiannya di depan Cu Lie Seng, dia pikir pemuda angkuh itu pasti tak senang jika dia ikut-ikutan mengatur, dia membiarkan saja Cu Lie Seng mengatur dia dan reman-temannya.

Dia hanya mendengar dan memperhatikan saja, untuk ikut arus angin ke arah mana yang sekiranya bisa lebih menguntungkan kedudukannya.

Dia sebetulnya senang sekali main perempuan cantik, walaupun dalam kaipang memang terdapat peraturan keras sekali, setiap anggota kaipang dilarang mempermainkan wanita baik-baik, tapi Ho Beng Su sejak menjabat kedudukan Hio-cu kaipang, secara diam-diam dan sembunyi-sembunyi seringkali mempermainkan anak isteri orang.

Pada dasarnya memang dia memiliki sifat-sifat yang tak baik dan buruk, namun orang kangouw sejauh itu belum melihat isi hati sebenarnya dari Hio-cu kaipang tersebut.

Cuma malam ini, dia mempunyai rencana lain. Yang lainnya menghabiskan waktu dengan pelayan-pelayan wanita Siangkoan Giok Lin yang cantik cantik, Ho Beng Su tidak mau mengikuti apa yang dilakukan rckan-rekannya, sebab dia ingin menyimpan tenaga.

Dia cuma berunding dengan Siangkoan Giok Lin, perihal rencana keberangkatan rombongan mereka. "Kita boleh tenang dan gembira, karena Tang San Siansu akan bersama rombongan kita!" Siangkoan Giok Lin tertawa bilang begitu pada kawannya. "Biarpun ada iblis dan jin dari neraka turun, tak mungkin ada yang sanggup mengambil daftar itu dari tangan kita, Tang San Siansu pasti tak akan meinbiarkan hal itu terjadi !"

"Ya, akupun sudah dengar kehebatan Tang San Siansu, dan sejauh ini aku belum pernah bertemu dengannya." Menyahuti Ho Beng Su dengan tawar.

Dia tidak percaya apa yang diceritakan oleh teman-temannya dalam kalangan kangouw bahwa Tang San Siansu merupakan jago nomor satu di jaman itu, biar bagaimana dia merasa itu cuma hanya cerita yang terlalu dilebih-lebihkan. Karenanya hatinya mendongkol melihat Siangkoan Giok Lin begitu kegirangan dan yakin dengan adanya Tang San-Siansu rombongan mereka tak akan menghadapi kesulitan apa-apa.

Sampai jauh malam kedua sahabat itu, bercakap-cakap, membicarakan rencana-rencana mereka selanjutnya setelah tiba dikota raja.

Tapi, tanpa mereka ketahui sepasang mata bersinar tajam tengah mengawasi mereka dari luar jendela, mengintai dengan sikap hati-hati. Sebagian dari percakapan mereka telah didengarnya, tapi sebagian lagi tak terdengar olehnya, karena tadi waktu Cu Lie Seng memberitahukan rencana perjalanan mereka kepada kawan-kawannya. suaranya perlahan sekali.

Setelah melihat Ho-Beng Su dan Siangkoan Giok Lin berdua yang tertinggal diruang tersebut, orang yang mengintai itu, yang berpakaian penuh tambalan, dengan langkah sangat ringan meninggalkan jendela, berindap-indap mencari kamar Cu Lie Seng!

Waktu melewati jendela, Ban It Say, di dengarnya suara isak tangis wanita diseling oleh suara tertawa senang Ban It Say dan juga bujuk rayunya, Orang itu yang tak lain pengemis tua yang tadi telah mempermainkan pelayan Siangkoan Giok Lin, merasa sebel dan tubuhnya ringan sekali menjauhi jendela itu, menghampiri jendela kamar yang lainnya.

Kembali didengar suara lenawa cekikikan dari Thio Yu Liang dan wanita yang tadi diseret masuk ke dalam kamar. Rupanya Thio Yu Liang pandai sekali membujuk gadis pelayan yang tadi begitu ketakutan dan menjerit ketika berada didalam kamar berdua Thio Yu Liang kini sudah jinak dan tertawa cekikikan berdua dengannya.

Pengemis tua itu tidak berhenti di jendela kamar Thio Yu Liang, ringan sekali langkah kakinya, tubuhnya meloncat ke dekat jendela kamar lainnya, dia mendekati jendela itu hati-hati, karena dia yakin inilah jendala dari kamar yang ditempati oleh Cu Lie Seng.

Tanpa menimbulkan sedikit suarapun dia merapatkan diri di dekat jendela mengintai ke dalam.

Dugaaannya tidak salah, itulah kamar Cu Lie Seng. Pemuda bangsawan itu tengah duduk bersemedhi di pembaringan, untuk mengatur pernapasannya. Matanya terpejamkan. Si pengemis mengerutkan alisnya, diam-diam dia kagum bahwa dalam usia semuda itu Cu Lie Seng dapat mengatasi diri tak terlibat dalam urusan wanita.

Hal ini memang memungkinkan Cu Lie Seng mencapai kemajuan yang lebih cepat dalam latihan tenaga dalamnya.

Mendadak terdengar suara tertawa dari arah sebelah kanan, cepat-cepat si pengemis tua melompat ke langkah wuwungan, bersembunyi di situ, Dua orang pelayan Siankoan Giok Lin muncul dari arah dapur sambil bercakap-cakap dan tertawa-tawa. Mereka tampaknya senang sekali, membicarakan perihal kelakuan tamu-tamu terhormat dari majikannya, yang ternyata hampir semuanya doyan wanita cantik.

Setelah kedua pelayan itu menjauh, si pengemis tua meloncat turun kembali ke tanah. Dia bermaksud hendak, mengintai lagi, Waktu itulah terdengar: "Sahabat, mengapa tidak masuk saja?"

Kaget pengemis tua ini, tak disangkanya Cu Lie Seng memiliki pendengaran begitu tajam dan sudah mengetahui kehadirannya. Dia cepat-cepat meloncat hendak menjauhi, tapi daun jendela sudah terbuka, disusul melesat keluar sesosok tubuh gesit sekali. ltulah Cu Lie Seng.

Kepandaian Cu Lie Seng cukup tinggi, dia murid tokoh tangguh seperti Tang San Siansu dan beberapa tokoh persilatan lainnya, karenanya pemuda ini tak kenal takut. Begitu dia mengetahui ada tamu tak diundang yang berkunjung di depan jendelanya, dia tak segera berteriak memanggil orang-orangnya ataupun Siangkoan Giok Lin, melainkan membuka daun jendela dan melompat keluar dari jendela kamarnya itu untuk menangkap sendiri tamu tak diundang tersebut.

Waktu Cu Lie Seng sudah berada di luar jendela kamarnya, dia melihat sesosok tubuh sedang melesat hendak pergi, maka dia meloncat lagi tinggi sekali sambil bentaknya: "Mau lari kemana kau ?" Tubuhnya seperti juga kilat cepatnya menubruk kearah bayangan itu. Namun orang yang ditubruknya juga memiliki kepandaian tinggi, karena tubrukan Cu Lie Seng mengenai tempat kosong.

"Kalau kau mempunyai nyali, ayo ikut denganku !" mengejek si pengemis tua itu untuk membakar hati dan perasaan Cu Lie Seng, dia juga sudah melesat pergi.

Cu Lie Seng cerdik bukan main, jika saja pengemis itu berlari terus tanpa menantangnya, niscaya ia akan mengejarnya untuk membekuk, tapi sekarang mendengar pengemis itu menantangnya, dia malah menahan kakinya berdiri di tempatnya. Hmmm, bukankah dia sedang melaksanakan tipu-daya "memancing harimau meninggalkan kandang" untuk memancingku !" pikirnya.

Maka dia tidak mengejar, berdiri di tempatnya mengawasi kepergian si pengemis.

Pengemis yang tadi mengintai sudah berdiri di atas genteng. Dia menoleh dan kecewa melihat Cu Lie Seng tak mengejarnya, bahkan berdiri di situ mengawasinya saja dengan sorot mata tajam. Pengemis ini segera menyadari bahwa dia sudah gagal memancing Cu Lie Seng untuk mengejarnya, namun dia tidak kehabisan akal maka tantangnya: "Kau ternyata manusia pengecut tak bernyali, jangan kuatir, tak mungkin kau dikeroyok oleh teman-temanku !" Ejeknya.

Cu Lie Seng panas hatinya, tapi dia tetap tidak bergerak dari tempatnya berada. "Siapa kau sahabat ?" tegurnya bengis dan dingin. "Turunlah, kalau kau punya urusan denganku, mari kita bicara di sini! "

"Hu, aku tak menyangka putera tunggal si kebiri yang sudah mau mampus itu adalah manusia paling pengecut di dunia ini, sama seperti bapak-moyangnya yang selalu bersembunyi ekor tapi mencelakai rakyat memakai tangan anak buahnya" mengejek pengemis itu lagi.

Merah mula Cu Lie Seng. Tapi dia sudah yakin pengemis ini hendak memancing-nya, maka dia tetap berdiri di tempatnya. Dengar suara dingin dia bilang: "Kalau kan ingin mengetahui lebih jelas tentang diriku, turunlah, aku akan perlihatkan kepadamu apakah aku ini manusia pengecut atau manusia yang tidak tahu malu seperti yang kau sebutkan ! Turunlah ! "

"Hemmm, sudah jelas kau manusia paling pengecut di dunia ini. Bukankah dengan berdiam terus di situ kau menghendaki nanti teman-temanmu, Ban It say si manusia yang punya tawa yang menyebalkan itu ! Atau kau mengharapkan juga bantuan orang she-Thio untuk bersama-sama mengeroyokku?"

"Aku jamin kau tidak akan dikeroyok! Itu jaminanku, siapa saja yang berani mengeroyokmu, akan kuhukum seberat-beratnya !" Menyahuti Cu Lie Seng tambah gusar.

"Kau tak usah banyak-banyak alasan, pulang saja ke pangkuan ibumu. menyusulah sepuas-puasmu!" mengejek pengemis itu lagi.

Habis kesabaran Cu Lie Seng. Walaupun menduga pengemis ini hendak memancingnya, tapi sekarang dia sulit mengendalikan diri. Dia jadi kalap diejek seperti itu. Walaupun bagaimana Cu Lie Seng masih berusia muda, perasaan yang lebih diutamakan. Dia juga yakin dirinya memiliki kepandaian tinggi, jarang orang bisa melukai dirinya, karenanya biarpun nanti ada teman-teman si pengemis yang tengah menanti di suatu tempat, dia tidak takut.

Tanpa bicara lagi badannya seperti anak panah terlepas dari busur, telah melesat menyambar ke pengemis.

Tapi pengemis itu yang tahu sudah berhasil memanas-manasi hati Cu Lie Seng, tak membuang waktu, sama cepat dan gesitnya dengan ginkangnya melesat pergi meninggalkan rumah Siangkoan Giok Lin. Kedua orang itu jadi saling mengejar. Karena terlalu cepat mereka berlari mempergunakan ginkang tinggi. badan mereka sudah tak bisa dilihat jelas, cuma tampak seperti kedua sosok bayangan yang berkelebat samar; kaki mereka seperti sudah tak menginjak bumi lagi.

Untung saja waktu itu tengah malam dan sepi, kalau saja ada penduduk kota yang melihat kedua sosok bayangan yang saling kejar seperti itu, jelas akan menyangka telah melihat dua setan yang sedang gentayangan di tengah kota !

Si pengemis memang memiliki ginkang tinggi, karena sejauh itu Cu Lie Seng tetap tak berhasil mengejarnya. Biarpun Cu Lie Seng penasaran dan mengerahkan ginkangnya untuk mengejar lebih dekat pada pengemis itu, tetap saja usahanya gagal. Bahkan ketika tiba di sebuah tikungan, ia kehilangan jejak si pengemis.

Bukan main mendongkol dan penasaran Cu Lie Seng, dia berpura-pura di tempat itu mencari si pengemis, yang diduga bersembunyi di sekitar tempat itu. Tapi usahanya tetap saja tak berhasil.

Waktu itulah mendadal dia teringat sesuatu, dia cepat-cepat berhenti mencari jejak si pengemis, malah secepat kilat tubuhnya sudah berlari lari kembali ke rumah Siangkoan Giok Lin. Keadaan di rumah Siangkoan Giok-Lin sepi-sepi saja, tak terjadi sesuatu. Cu Lie-Seng langsung kekamarnya dan melihat barang-barang di dalam kamarnya sudah tak teratur seperti semula, bahkan buntalannya dalam keadaan terbuka. Segera Cu Lie Seng memeriksa buntalannya, tak ada yang lenyap.

"Hemm, tentu dia mencari ini!" menggumam Cu Lie Seng sambil merogoh saku bajunya mengeluarkan segulung kertas." Daftar orang-orang kangouw inilah yang diincarnya !"

Dan dia tertawa dingin, memasukkan lagi gulungan kertas itu ke daiam sakunya. Menutup jendelanya dan pergi tidur!

ooo)0(ooo

Si pengemis tua yang semula jalan terseok-seok dan tampak lerrah yang pernah mempermainkan pelayan Siangkoan Gion Lin, ternyata tak ada apa-apa pada kakinya, dia cuma-pura pura terseok-seok, karena waktu dikejar oleh Cu Lie Seng dia bisa bergerak sangat gesit.

Dia berhasil memancing Cu Lie Seng sampai jauh dan kemudian menyelinap kembali ke-rumah Siangkoan Giok Lin. Segera dia memeriksa kamar Cu Lie Seng, sebab tadi didengarnya banwa daftar orang-orang kangouw yang bersedia tunduk dan bekerja pada kerajaan berada ditangan Cu Lie Seng.

Tetapi pengemis ini tak berhasil menemukannya. Rupanya Cu Lie Seng selalu membawa bawa daftar orang-orang kangouw itu didalam sakunya.

Si pengemis membanting-banting kaki, dia menyesal tadi tak ngadu kepandaian saja dengan Cu Lie Seng, dengan kemungkinan bisa mengambil daftar orang-orang kangkouw disaku pemuda she Cu tersebut.

Dia bersusah payah memancing Cu Lie Seng dengan harapan bisa memeriksa kamar si pemuda she Cu, tapi harapannya ternyata nihil. Barang yang dicarinya tak berhasil ditemukan.

Karena tahu tak lama lagi Cu Lie Seng akan pulang kekamarnya ini tak membuang waktu lagi pengemis meninggalkan kamar itu, cepat luar biasa dia keluar dari rumah Siang koan Giok Lin. Dan memang tak lama kemudian Cu lie Seng kembali kekamarnya, namun tak menemukan si pengemis.

Pengemis itu berlari cepat sekali keluar kota. Dan dia tiba disebuah tempat yang banyak terdapat batu-batu gunung berukuran besar, tubuhnya menyelinap kebelakang batu-batu gunung itu.

"Nona Cang !" panggil si pengemis. perlahan suaranya.

"Kau sudah kembali? "jawaban dari balik batu.

"Ya sudah kuselidiki keadaan dirumah Siangkoan Giok Lin, Dia bersama orang-orang raja lalim itu akan berangkat meninggalkan kota ini pada jam empat malam ini, menuju kekotaraja!" si pengemis duduk sambil meletakkan tongkatnya.

Oraug dibalik bongkahan batu itu, nona Cang berseru kaget. "Kau...kau..." karena dia melihat yang muncul seorang pengemis tua. bukan Giok Han, seperti yang disangkanya.

Si pengemis tertawa dia menarik kumis jenggotnya yang segera terlepas dan membuka baju luarnya, baju penuh tambalan. "A-ku telah menyamar sebagai pengemis, ternyata penyamaranku sangat baik, sampai kau ju ga tak mengenaliku."

Cang In Bwee tertawa geli, "Nakal kau!" katanya. "Aku jadi kaget, kukira pengemis mana yang mau cari urusan denganku ! Aku pernah menyamar sebagai pengemis, sekarang kau menyamar sebagai pengemis jelas kita orang segolongan, dari kalangan pengemis!" Giok Han tertawa. Dia menceritakan "tadi waktu pergi hendak hendak menyelidiki gedung Siangkoan Giok Lin, dia bertemu dengan seorang pengemis. Maka timbul pikiran untuk menyamar sebagai pengemis. Dia membujuk si pengemis agar menjual sepotong pakaian penuh tambalan kepadanya, kemudian diapun memakai kumis dan jenggot palsu, me ngotori mukanya, sehingga tak ada lagi orang yang mengenalinya.

Karena diberi uang cukup banyak oleh Giok Han, pengemis itu tak keberatan memberikan pakaiannya sepotong pada pemuda yang tak dikenalnya ini.

Kemudian Giok Han juga menceritakan pengalamannya menyelidiki gedung Siangkoan Giok Lin, Tentang rencana Stankoan Giok Lin serta rombongannya yang akan berangkat kekotaraja pada jam empat pagi ini.

"Hemmm, tampaknya kita tak mudah merampas daftar orang orang kangouw dari tangan Cu Lie Seng, Di sampingnya masih banyak yang lainnya, yang memiliki kepandaian tak rendah. Yang lebih berbahaya lagi Tang San Siansu akan bersama sama mereka. Ini sulitnya!" menggumam si gadis dengan muka murung.

Giok Han mengangguk.

"Sebetulnya ini menggembirakan," kata Giok Han. "Kita telah memperoleh kesempatan."

"Kesempatan apa yang menggembirakan?" tanya Cang In Bwee tak mengerti.

"Kau bermusuhan dengan Tang San Si-ansu, dia musuh besarmu juga orang yang harus dimusnahkan manurut perintah guruku. Maka kita bisa saja mampergunakan kesempatan ini untuk berurusan dengannya, memancingnya dan kita kemudian menghadapinya bersama-sama. Tak mungkin dia bisa merobohkan kita. Tetapi urusan daftar orang-orang kangouw mempunyai kepentingan yang lebih besar.

Walaupun bagaimana kita harus menyingkirkan dulu urusan pribadi, kita harus berusaha mengambil daftar orang-orang kangouw. Kalau tidak niscaya Thio Hong Gan akan mengalami kesulitan dalam usaha besarnya...!"

Cang In Bwee mengiyakan membenarkan perkataan Giok Han. Lalu mengangkat kepalanya mengawasi si pemuda. "Lalu apa rencanamu ?" tanyanya.

"Kita akan menguntit rombongan mereka, jika ada kesempatan barulah kita rampas daftar orang-orang kangouw dari tangan muridnya, Cu Lie Seng. Tetapi kita harus bekerja hati-hati, jika gagal habislah harapan kita bisa menghadiahkan daftar orang-orang kangouw itu pada Thio Hong Gan."

"Baik! Kita atur begitu saja "

"Tapi..." Giok Han tampak ragu-ragu, dia mengawasi bimbang si gadis.

"Kenapa ?" taaya In Bwee heran.

"Kesehatanmu belum pulih... bagaimana kita bisa menguntit mereka ?"

"Jangan kuatir," tertawa si gadis. "bukankah kita cuma meoguntit mereka, dan belum bermaksud turun tangan? Selama itu aku bisa mempergunakan kesempatan untuk menyembuhkan lukaku. Asal kita hati-hati, bukankah tidak ada kesulitan ?"

Giok Han mengangguk. Mereka bertekad walaupun bagaimana daftar orang-orang kangouw yang berada ditangan Cu Lie Seng harus mereka rampas, untuk diserahkan kepada Thio Hong Gan.

00000C00000

Enam orang gadis berpakaian serba putih dan semuanya cantik-cantik, bertubuh montok dan masih berusia muda, melangkah ringan memasuki sebuah pintu rembulan yang terukir indah sekali. Mereka masing-masing membawa sebuah nampan makanan. Dengan sikap hormat keenam gadis ini masuk ke ruang yang diatur sangat mewah, yang di sekelilingnya terdapat taman bunga yang tumbuh semerbak dengan warna-warnanya yang meriah. Tak jauh dari undakan anak tangga yang menuju ke ruang mewah tersebut, ada kolam yang airnya bening, diatur langat bagus sekali.

Keenam gadis berpakaian patih ita berlutut setelah menaiki undakan anak tangga. "SianIi (Dewi), kami telah menyelesaikan tugas kami," bilang keenam orang gadis itu dengan sikap hormat sekali.

"Hemmm, bagus! Masuklah kalian!" terdengar jawaban dari ruang dalam yang terhalang oleh tirai sutera yang halus dan indah. Dari dalam ruangan ini tersiar harum semerbak yang menyebabkan orang bisa merasakan, dirinya seperti berada di tempat yang sama indahnya di sorga.

Keenam gadis berpakaian serba putih itu mengiyakan, mereka bangkit dan membawa nampan masing-masing masuk ke ruang dalam.

Di dalam ruangan diatur sangat indah, juga luas. Di sudut kiri dari ruangan itu terdapat sebuah pembaringan, di atas pembaringan itu rebah seorang wanita yang cantik luar biasa. Sikapnya angkuh sekali, dia cuma melirik waktu keenam gadis berpakaian serba putih itu berlutut di samping ranjangnya.

"Bagaimana hasil tugas kalian?" tanya wanita cantik yang rebah di ranjang.

"Semuanya berjalan lancar tak ada ha-largan, sianli," menyahuti salah seorang dari keenam gadis berpakaian serba putih itu.

"Berkat doa Sianli, maka kami berhasil mengumpulkan beberapa pemuda yang kami anggap memenuhi persyaratan."

"Bagus. Tapi, apakah tak terjadi pertempuran dalam usaha kalian?" tanya Sianii itu dengan suara tawar.

"Tidak, Sianli. Bahkan lihatlah.... kami berhasil mengambil hadiah-hadiah menarik ini untuk Sianli."

Setelah berkata begitu, wanita berpakaian serba putih tersebut membuka tutup nampannya, ternyata di situ terdapat barang-barang permata yang berkilauan, seperti berlian, mutiara dan giok. Bermacam-roacam perhiasan.

Kelima orang kawannya juga membuka nampan masmg-masing, isinya bukan makanan, sama seperti nampan gadis yang pertama tadi, berisi permata mutu manikam yang nilainya sangat tinggi.

Sianli di atas pembaringan cuma melirik, tersenyum hangat.

"Bagus, simpanlah semuanya di tempat penyimpanan itu !" kata si Dewi sambil menunjuk kepada dinding yang ada di seberangnya.

Keenam gadis cantik berpakaian serba putih itu telah mengiyakan dan pergi ke dekat tembok. Salah seorang diantara mereka, yang rupanya jadi pemimpin dari kelima kawannya, telah menekan sebuah tombol dan dinding itu bisa terbuka.

Rupanya pada tembok itu dipasangi alat rahasia, sebagai tempat penyimpanan barang-barang berharga tersebut. Isi enam nampan itu dipindahkan ke dalam kotak penyimpanan di tembok.

"Sekarang," kata Sianli itu setelah keenam orang gadis berpakaian serba putih tersebut berlutut lagi di samping pembaringan, "kalian bawalah salah satu di antara calon-calon yang terbaik," dia berdiam sejenak, kemudian meneruskan, ,.yang termuda dan yang tergagah !"

"Baik, Sianli. Budak-budakmu akan melaksanakan perintah dengan sebaik-baiknya, agar Sianli tak kecewa !"

Keenam gadis berpakaian serba putih itu yang rupanya pelayan Sianii tersebut, segera mengundurkan diri. Sedangkan Sianli itu duduk di tepi pembaringan. Dia tersenyum. "Besok aku harus mendampingi bocah menyebalkan itu kembali ke kotaraja ! Hu ! Hu ! Kalau saja bukan murid Tang San si gundul, tidak akan kupedulikan permintaannya untuk mengawal keselamatannya !" Tampak-nya dia jadi kesal sekali.

Tak lama kemudian terdengar suara langkah kaki mendekat. Sianli itu menoleh ke pintu, dia melihat seorang pelayannya yang berpakaian serba putih sudah muncul diikuti oleh seorang pemuda berwajah putih halus dan bertubuh cukup gagah. Pemuda itu memandang bingung sekeliling ruangan dan juga pada Sianli itu, rupanya dia tak tahu mengapa dirinya dibawa ke situ.

"Sianli, tugas sudah dilaksanakan !" melapor pelayan itu dengan sikap hormat.

"Bagus A-hiang. Sekarang kau boleh mengundurkan diri, mengasolah ! Nanti kalau kubutuhkan kau, akan kupanggil !"

"Baik, Sianli." Si pelayan melirik pada si pemuda dan melangkah pergi, waktu lewat di sisi si pemuda dia masih sempat berpesan, suaranya perlahan sekali: "Layani Sianli baik-baik, jangan membuat Sianli gusar kalau sayang jiwamu !"

Pemuda itu diam saja, dia tengah kebingungan. Ketika Sianli itu melambaikan tangannya menyuruh dia maju mendekat ke pembaringan, si pemuda melangkah ragu-ragu.

"Siapa namamu?" tanya Sianli. halus suaranya, lirikan matanya genit sekali, bergairah.

"Aku Yao Can," menyahuti si pemuda, dia juga terheran-heran melihat di dunia ada wanita yang cantik luar biasa seperti yang ada di depannya, seperti seorang bidadari dari kahyangan. Entah apa yang diinginkan wanita cantik ini darinya ?

"Berapa umurmu ?" tanya Sianli itu lagi.

"Duapuluh tiga tahun."

"Usia yang masih muda sekali," menggumam Sianli. "Apakah kau sudah menikah ?"

"Belum..."

"Sayang ! Tentunya kau belum berpengalaman!" menggumam Sianli itu lagi, membuat si pemuda yang mengaku bernama Yao Cun bertambah heran dan tidak mengerti cuma mengawasi saja.

"Siapakah Sianli . . . ? Dan mengapa aku diajak kemari ?" tanya si pemuda.

"Tentang siapa diriku, tak perlu kau bertanya-tanya, cukup kau panggil aku dengan Sianli saja. Pertanyaanmu mengapa kau diajak kemari oleh pelayan-pelayanku, tentu kau bisa ketahui nanti. Sekarang aku ingin tanya kepadamu, apakah kau senang berada di sini ?"

Pemuda itu mengawasi keadaan ruangan yang sangat mewah tersebut, kemudian mengangguk. "Senang... tetapi ini tempat yang asing sekali untukku... terlalu mewah..." Sianli turun dari pembaringan, menghampiri pemuda itu, "Jangan pedulikan barang-barang yang tak berjiwa itu, Sekarang lihatlah padaku. Senangkah kau padaku?"

Pemuda itu tambah bingung, tapi melihat sinar mata yang liar dan memancarkan gairah, si pemuda tahu apa yang tengah dihadapinya, wanita yang penuh dengan pengaruh nafsu birahi, yang genit sekali, yang tampak cantik seperti bidadari.

Laki-laki manakah yang tak senang bercakap cakap dengan wanita secantik ini? Orang gila saja masih akan memandang terbengong-bengong pada kecantikan seorang wanita, apa lagi kecantikan yang luar biasa seperti wajah wanita ini yang ada dihadapannya. Maka pemuda itu mengangguk ragu-ragu.

"Tentu saja... aku senang, Tetapi aku tak tahu siap Sianli sebenarnya..."

Sianli melangkah mendekati pemuda itu, menarik tangannya sehingga si pemuda melangkah mendekatinya, diajak duduk di pinggir pembaringan. Pembaringan itu demikian empuk dan hangat.

"Aku menyukai kau, tapi janganlah kau membuatku jadi sebal dengan semua pertanyaanmu yang tetek bengek tak keruan itu. Sekarang aku menginginkan kau mendampingi ku dengan penuh kehangatan!" Waktu bicara tangan Sianli meraba-raba tangan pemuda itu yang diusap-usap lembut sekali.

Tubuh pemuda itu menggigil dia tampak mengalami tekanan batin yang hebat. Darahnya mendesir lebih cepat dari yang normal. Tubuhnya semakin lama menggigil semakin keras. Harum semerbak yang menerpa hidungnya membuat semangatnya seperti melayang-layang meninggalkan raganya, apalagi sekarang tangannya diusap-usap oleh jari-jari tangan lentik berkulit halus lembut sekali membuat dadanya berdegup keras.

"Apa... apa maksud Sianli?" tanya pemuda itu seperti orang tolol.

Sanli tersenyum, dia menarik tangan si pemuda sehingga tubuhnya berada dekat dengannya dan dia merebahkan kepala didada si pemuda.

"Peluklah aku....!" pinta Sianli dengan suara yang sengau serak perlahan, gemetar.

Pemuda itu tambah kebingungan, tapi tangannya tanpa disadari telah memeluk badan Sianli, yang montok padat. Tuburi pemuda ini gemetaran, giginya sampai bergemerutukan. Tapi dia berusaha mengembalikan gemetar tubuhnya, biarpun selalu gagal. Hangatnya tubuh wanita cantik dalam dekapannya membuat dia seperti terbang ke dunia lain.

"Jari-jari tanganmu dingin sekaii," bisik Sianli sambil nengusap perlahan-lahan dada pemuda ini. Dada yang berdegup keras dan cepat.

"Oooo - -" pemuda itu ingin melepaskan dekapannya, menarik tangannya, kaget sekali tampaknya. Tapi Sianli sudah memeluknya. "Biarpun tanganmu dingin, kukira tak apa-apa."

Memang, tangan pemuda itu dingin sekali karena perasaan yang bergolak di dalam hatinya. Dia tak kenal siapa wanita cantik yang genit dan hangat yang berada daiam pelukannya. Tetapi darahnya bergolak semakin lama semakin keras. Apa lagi tangan Sianli itu mulai berkeliaran kemana-mana, sehingga pakaian pemuda itu sudah tak keruan letaknya.

Lupalah pemuda itu terhadap segalanya, dia sudah tak berpikir apa-apa lagi, hanya satu yang diingatnya dan diinginkannya, yaitu tubuh yang montok dan hangat.

Kamar itu tak berpintu, tapi tak ada seorangpun di sekitar tempat itu. Sianli juga tak canggung-canggung bersikap mesra sekali pada pemuda tersebut. Matanya semakin lama semakin redup. Cuma, akhirnya dia kecewa setelah semuanya berlangsung, pemuda ini tak memberikan apa yang diharapkannya.

Tahu-tahu tangan kanannya menyampok dada pemuda itu. Perlahan saja kelihatannya, tapi badan pemuda itu terpental jauh, terbanting di lantai diiringi jerit kematian. Waktu tubuhnya terbanting di lantai, dia kelojotan beberapa kali, kemudian mengejang diam, karena kepalanya telah pecah!

"Hu! Cuma mengotori saja...!" menggerutu Sianli sambil menyambar bajunya dan mengenakannya dengan marah-marah. Kemudian dia menepuk tangan beberapa kali. A-hiang cepat muncul, Dia tak kaget melihat pemuda yang tadi diajak masuk olehnya ke ruang itu sudah menggeletak mati dengan kepala pecah dan tubuh telanjang bulat. Apa yang disaksikannya seperti juga pemandangan yang biasa saja. Dengan sikap hormat dia berlutut.

"Ada perintah lagi, Sianli?"

"Bawa yang kedua," perintah Sianli dengan muka yang masam "manusia apa yang kau bawa ini, apapun dia tak bisa, cuma mengotori tubuhku saja!"

Muka A-hiang jadi pucat, cepat cepat dia mengangguk-anggukkan kepalanya dalam keadaan berlutut. "Ampuni budakmu, Sianli... budakmu akan berusaha mempersembahkan yang diinginkan Sianli."

"Cepat laksanakan tugasmu!" perintah Sianli, tanpa berani berayal, A-hiang segera menggotong Yao Cun yang masih dalam keadaan telanjang bulat dan kepala yang telah pecah hancur menyebabkan kematiannya itu, keluar dari ruangan tersebut. Seorang pelayan lainnya kawan A hiang sudah datang membersihkan lantai dari noda darah.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar