Cula Naga Pendekar Sakti Bagian 14

Baca Cersil Mandarin Online: Cula Naga Pendekar Sakti Bagian 14
Cula Naga Pendekar Sakti  Bagian 14

Tapi siapa nyana, satu gelombang baru lewat, lain gelombang sudah menyusul. Menurut kebiasaan, jika dalam satu pertempuran, dua musuh berpencar, masing-masing pihak lebih dulu memperbaiki kedudukannya, kemudian baru maju untuk bertempur pula. Akan tetapi, baik Thio Yu Liang maupun si pemuda baju putih ketika itu mempunyai pikiran yang sama, yaitu: Mendahului menyerang sebelum sang lawan dapat memperbaiki kedudukannya. Dalam hal ini Thio Yu Liang yang mempunyai lebih banyak pengalaman, sudah bertindak lebih cepat dari pada lawannya.

Baru saja pedang si pemuda baju putih bergerak, kedua tangan Thio Yu Liang sudah membuat satu lingkaran clan menerobos masuk kedalam garis pembelaan si pemuda baju putih yang kedua tangannya lantas saja "terkunci" dan tak dapat mengerahkan tenaga lagi.

Thio Yu Liang adalah ahli waris Kun-lun-pay yang sudah mendapat segala rahasia ilmu silat partai tersebut. Setiap pukulannya mengandung "kekerasan" dan "kelunakan" serta berubah-ubah secara di luar dugaan.

Walaupun tak mengenal rahasia ilmu silat Kun-lun-pay, akan tetapi Yap Cu Siang mengetahui bahwa dengan sekali menggerakkan tangan, Thio Yu Liang dapat mencelakai si pemuda baju putih. la tahu, biar bagaimanapun juga ia tak akan mendapat memberi pertolongan dan tanpa merasa, sekali lagi ia berteriak "Celaka !"

Dan hampir berbareng dengan teriakan Yap Cu Siang, Tiiio Yu Liang dan si pemuda baju putih bersama-sama menjerit. Mata Yap Cu Siang kabur, ia tak tahu kedua pihak menggunakan pukulan apa. la hanya melihat lengan baju Thio Yu Liang robek dan badan-sempoyongan.

"Sahabat kecil! Bagus ! Sungguh bagus!" Yap Cu Siang berteriak bagaikan kalap lantaran kegirangan. la tidak mengetahui bahwa pergelangan tangan si pemuda baju putih juga sudah terpukul dan jika dihitung-hitung, adalah si pemuda baju putih yang menderita kerugian lebih besar.

Sekarang muka Toa-congkoan itu berubah merah padam, ia merasakan dadanya seperti mau meledak lantaran gusarnya. Mengimpipun ia tak pernah, bahwa tangan bajunya bisa dirobek oleh satu bocah yang belum" hilang bau pupuknya.

Selagi lawannya bergusar, si pemuda baju putih lantas saja mendesak dengan serangan-serangan hebat. Dalam keadaan tenang, sebenarnya Thio Yu Liang masih dapat melayani pemuda itu dengan tangan kosong.

Tapi begitu darahnya naik, semangatnya tak dapat lagi dipusatkan dan dalam sekejap ia sudah terdesak, sehingga ia jadi kaget dan bingung. Tanpa memperdulikan. lagi tingkatannya yang tinggi, ia segera menghunus pedangnya yang mengemblok di punggungnya.

"Nah, sedari tadi aku sudah perintahkan kau mencabut senjata," mengejek si pemuda baju putih sembari tertawa, "Tapi kau tetap membandel. Sekarang bagaimana?" Sedang mulutnya berbicara, tangannya bekerja terus dan menikam tenggorokan Thio Yu Liang bagaikan kilat.

Pedang si pemuda baju putih cepat, tapi gerakan Thio Yu Liang lebih cepat lagi. Dengan sekali mengegos, ia sudah mengelit tikaman itu dan lalu balas menyerang.

Sesudah bergebrak beberapa jurus, dengan gerakan "Souw Cin Pwee Kiam" (Souw Cin menggendong orang) Thio Yu Liang menggetarkan pedangnya, yang dengan mengeluarkan suara mengaung, sudah "mengunci" bagian atas, tengah dan balwah pemuda itu.

"Bagus !" Berseru si pemuda baju putih. Bukannya berkelit atau mengegos, sebaliknya dengan ilmu "Lie Kong Sia Ciok" (Lie Kong Memanah Batu), ia menikam dada Thio Yu Liang !

Gerakan itu sungguh-sungguh di luar dugaan. Menurut ilmu pedang yang biasa, seorang yang sudah "dikunci" secara begitu, harus berusaha menolong diri. Tapi dalam keadaan yang sangat berbahaya itu, si pemuda baju putih telah balas menyerang.

Saat itu Thio Yu Liang terkesiap, sebab ia mendadak teringat, bahwa pedang lawannya adalah pedang mustika. Menurut perhitungan, dalam bentrokan antara kedua pedang itu, pedang si pemuda baju putih mesti jatuh terpental. Tapi pedang Thio Yu Liang bukan pedang mustika, sehingga dalam bentrokan itu meskipun pedang si pemuda baju putih mungkin terpental jatuh, tapi pedangnya sendiri pasti akan putus menjadi dua !

Sebagai seorang yang mempunyai kedudukan tinggi dalam Rimba Persilatan, ia tentu akan menjadi buah tertawaan umum, jika pedangnya sampai diputuskan oleh satu bocah.

Biar bagaimanapun juga bentrokan antara kedua pedang itu sudah dapat dielakkan lagi. Berbareng dengan suara "trangg !" kedua lawan itu segera berpencar. Barusan begitu kedua pedang mereka beradu, Thio Yu Liang menarik pulang tenaga "Yang-kong"" (tenaga keras) dan mengeluarkan tenaga Im-jiu (tenaga lunak), sehingga pedangnya hanya menempel pedang lawan dan lalu mental kembali.

Akan tetapi, walaupun begitu, pedang Thio Yu Liang somplak juga sedikit! Demikianlah, dalam gebrakan itu, si pemuda baju putih telah mendapat kemenangan gemilang !

Tapi sebagai seorang muda, ia tak mengenal batas. Dengan cepat, ia membacok lagi dan barusan untuk mengadu pula pedangnya. Sekali lagi kedua pedang itu berbentrok. tapi.. . aneh" sungguh, sekali mi Jjentrokan itu tidak mengeluarkan suara!

Yap Cu Siang kaget dan heran. la membuka kedua matanya lebar-lebar untuk mencari tahu, apa sebabnya.

Di lain saat, pedang si pemuda baju putih seolah-olah sudah kena "dihisap" oleh pedang Thio Yu Liang. Beberapakali ia berkutet, tapi pedang itu tetap tak dapat di tarik pulang. Ternyata, kali ini Thio Yu Liang sudah mengerahkan tenaga Im-jiu yang sangat tinggi guna "menghisap" pedang lawannya !



Beberapa saat kemudian, keringat sudah mengucur dari dahi pemuda baju putih.

"Bagaimana ?" mengejek Thio Yu Liang.

"Tak apa-apa !" menyahuti si pemuda baju putih sembari mesem tawar, tak tahu dengan ilmu apa, tiba-tiba badan si pemuda baju putih mencelat dan pedangnya sudah terlepas dari "ikatan" musuh.

Kejadian itu adalah karena salah Thio Yu Liang sendiri. Barusan, sesudah berhasil menghisap senjata musuh, dalam sejenak ia "memandang rendah lawannya dan lalu mengejek dan selagi bicara, perhatiannya terpecah.

Si pemuda baju putih yang lihay luar biasa, sungkan menyia-nyiakan ketika baik ini dan dengan sekali membetot, ia melepaskan pedangnya dari "hisapan" tenaga Im-jiu. Berbareng dengan itu, ia meloncat ke samping Thio Yu Liang dan menikam sekali.

Dengan sangat menyesal Thio Yu Liang berkelit dengan gerakan "Tui-po-lian-hoan"" (Mundur berantai) dan kemudian membabat dengan pedangnya dalam usaha untuk "menghisap" pula pedang musuh. Tapi kali ini si pemuda baju putih tak dapat dijebak lagi.

Dengan gerakannya yang sangat gesit, bagaikan kupu-kupu yang beterbangan di antara bunga-bunga, ia melayani Toa Congkoan itu. Thio Yu Liang menjadi kaget, heran dan kagum dengan berbareng.

Beberapakali, pedangnya hampir menempel pedang si pemuda baju putih, akan tetapi pada detik yang terakhir bocah itu selalu dapat meloloskan senjatanya dari "ikatan" Mendadak Thio Yu Liang tergoncang hatinya. Sesudah memperhatikan ilmu pedang si bocah, mendadak ia ingat akan seorang Tayhiap (pendekar besar) yang sekarang sudah mengundurkan diri dari pergaulan umum dan besar kemungkinan sudah meninggal dunia. Apakah bocah ini ahliwaris dari pendekar besar tersebut?

Sesudah bertempur lagi beberapa lama, Thio Yu Liang menjadi sadar dan mendapat jalan untuk menhadapi musuhnya. la segera merobah cara bersilatnya dan mengutamakan pembelaan diri. Akan tetapi, dalam pembelaan diri itu, ia berlaku sangat awas dan segera balas menyerang, begitu ada kesempatan. Dilayani secara begitu, dengan perlahan si pemuda baju putih menjadi lelah dan napasnya mulai tersengal-sengal.

Sementara itu Yap Cu Siang mengawasi jalannya pertempuran dengan hati berdebar-debar. Kedua orang itu sedang bertempur dengan menggunakan ilmu pedang yang paling tinggi dan sekali salah jiwa bisa melayang. Walaupun tidak terlalu paham akan ilmu pedang, ia mengetahui bahwa si pemuda baju putih, tuan penolongnya, berada di bawah angin.

Ketika itu, dengan mengatur jalan pernapasannya, Yap Cu Siang sudah pulihkan kembali aliran darahnya dan perasaan kesemutan sudah menjadi hilang. Maka itu, sambil membentak keras, ia mengambil Biantonya dan bergerak untuk menyerbu ke dalam gelanggang pertempuran.

Sebagai seorang berpengalaman, Thio Yu Liang sangat awas matanya. Begitu Yap Cu Siang bergerak, ia pindahkan pedangnya ke tangan kiri dan merogo sakunya dengan tangan kanan. Sembari membacok dengan tangan kiri sehingga si pemuda baju putih terpaksa mundur dua tindak, ia mengayun tangan kanannya dan melepaskan jumlah Thie-lian-cie ke arah kedua lawannya.

Sekarang Toa-congkoan ini sudah tidak menghiraukan lagi soal tingkatan dan dalam kekuatirannya akan dikerubuti, ia malah tidak merasa malu untuk menggunakan juga senjata rahasia. Yap Cu Siang yang baru terluka kakinya, tak begitu gesit gerakannya, sehingga dua butir Thie-lian-cie mampir di lehernya dan ia kembali jatuh terguling.

Begitu rubuh, ia meloncat bangun lagi dengan gerakan "Lee Hie Ta Teng" ( Ikan Gabus Meletik ) dan pada detik itu ia mendengar si pemuda baju putih berteriak : "Bagus !"

Di Iain saat, seperti hujan gerimis, belasan biji catur berbentuk bulat kecil menyambar ke arah Thio Yu Liang.

"Bagus!!!" teriak Yap Cu Siang, kegirangan.

Dengan gerakan "Pek Ho Ciong Thian" ( Burung Ho Putih Menembus Awan ), Thio Yu Liang meloncat keatas sambil mengebas dengan pedangnya.

Dengan suara ""tringggg !", "trangggg !"", sejumlah biji catur kena dibikin terpental tapi dua antaranya menyambar terus. "Kena kau !" Berteriak si pemuda baju putih sambil melompat menikam.

Biar bagaimana lihaypun, Thio Yu Liang tak dapat berkelit lagi dari dua biji catur itu yang menyambar kedua pundaknya. "Bagus !," ia berseru sambil mengerahkan tenaga dalamnya dan menggoyang pundaknya, Dua biji catur itu tepat mengenai sasarannya, tapi lantas jatuh ke tanah lantaran kena ditolak tenaga dalam Thio Yu Liang, yang berbareng dengan itu sudah mengangkat pedangnya untuk menyambut serangan si pemuda baju putih.

Si pemuda baju putih kaget tak kepalang. Bahwa sepuluh antara duabelas biji caturnya kena dipukul jatuh, sudah cukup mengagumkan. Tapi menolak senjata rahasia itu dengan tenaga dalam adalah kejadian yang tak pernah diduga-duganya.

"Nama besar Thio Yu Liang sungguh bukan nama kosong," ia memuji dalam hatinya. "Tak heran, dalam dunia Kang-ouw ia mempunyai nama yang besar..!"

Melihat keadaan yang berbahaya, tanpa memperdulikan lukanya. Yap Cu Siang kembali putarkan goloknya dan maju ke medan pertempuran.

Sekonyong-konyong si pemuda baju putih bersiul panjang dan nyaring. Di lain saat bagaikan terbang tubuhnya sudah melayang di udara, tangannya menjambret baju Yap Cu Siang, dan ketika ia menjejak kedua kakinya, badannya sudah melesat ke atas, kemudian hinggap di atas punggung kudanya yang terus kabur bagaikan kilat.

"Thio Yu Liang, sebetulnya aku memiliki perhitungan dengan kau, tapi kukira sekarang bukan saatnya! Nanti kita bertemu lagi !" Terdengar suara si pemuda baju putih nyaring menggema ditempat itu.

Thio Yu Liang buru-buru cemplak tunggangannya dan mengubar. Kuda Toa-cing koan ini bukan kuda sembarangan tapi kuda si pemuda baju putih itu cepat sekali, dan dalam waktu singkat sudah terpisah jauh, semakin lama jarak antara mereka jadi semakin jauh dan akhirnya Thio Yu Liang hanya dapat melihat satu titik-putih yang dengan cepat menghilang dari pemandangan.

Toa-congkoan ini tak bisa berbuat apa-apa-apa dia cuma menghela napas jengkel dan penasaran. Tiba-tiba ia merasakan pundaknya sakit, segera dia buka bajunya dan melihat dua tapak biji catur yang berwarna merah di kedua pundaknya. Masih untung senjata itu tak beracun. Kalau beracun tentu kedua tangannya sudah tak dapat digunakan lagi...

Dengan diliputi penasaran yang sangat gusar, Thio Yu Liang melarikan kudanya lagi, dia berusaha untuk mengejar terus. Dia yakin, sejauh-jauhnya pemuda baju putih itu menyingkir, toh akhirnya akan beristirahat juga.

Thio Yu Liang berharap masih bisa mengejar pemuda yang tampaknya masih belum hilang bau pupuknya tapi lihay ilmu silatnya itu...

Yap Cu Siang yang menggemblok di punggung kuda, merasakan seperti juga dibawa terbang di udara. Hatinya berdebar-d-bar, ia tak nyana seekor kuda dapat berlari sedemikian cepat. Selagi ia mau menengok ke belakang untuk menghaturkan terima kasih kepada penolongnya, kuda itu melompati suatu selokan dan hampir-hampir ia jatuh terpelanting. Buru-buru ia menjepit perut kuda terlebih keras dan tidak berani menengok ke belakang.

"Jangan bicara ! Hati-hati !" membentak si baju putih sembari memecut udara dan kuda itu lantas saja lari terlebih keras

Tak lama kemudian fajar sudah menyingsing dan sibaju putih menahan kudanya. "Sekarang sudah boleh berhenti," katanya sembari meloncat turun dari kudanya dengan paras muka tidak berobah dan napasnya juga tidak tersengal-sengal.

"Kuda ini benar-benar kuda yang bagus dan jarang terdapat dalam dunia." memuji Yap Cu Siang kagum memandang kuda itu-Kemudian: "Apa sekarang aku boleh mengetahui nama tuan yang mulia ?"

Pemuda baju putih tak menyahut. Mendadak tangannya dilonjorkan dan golok Bianto yang tergantung di pinggang Yap Cu Siang sudah pindah kedalam tangannya. Bagi seorang ahli silat, melindungi senjatanya adalah satu kebiasaan yang otomatis.

Begitu tangan si baju putih menyambar, tangan Yap Cu Siang pun bergerak, tapi ia kalah cepat dan dilain saat, pemuda itu sudah menyekal Bianto dan mengawasi senjata itu dengan paras muka bersangsi, mukanya berobah. Dia mengamat-amati dua tulisan pada samping gagang golok sebelah bawah: "Yang-kee" (Leluhur Yang).

Yap Cu Siang terkejut.

"Dari mana kau dapat golok mustika ini ?" menanya si baju putih.

"Ini adalah golok Yang Bu In," jawabnya.

Muka si baju putih berobah, matanya tampak berkilat tajam memandang Yap Cu Siang.

"Yang Bu In dari kota Siauw An (sekarang Leng-an) di jalan Yang-ceng ?" menegasi pemuda baju putih.

Yap Cu Siang heran, dia mengawasi si pemuda, kemudian mengangguk.

"Ya," jawabnya kemudian.

Kenapa Yang Bu In menyerahkan golok leluhurnya kepadamu ?" tanya si pemuda.

"Yang Bu In sekeluarga terfitnah, dianiaya orang-orang congtok dan semua itu atas perintah kaisar," menyahuti Yap Cu Siang. Sekeluarga Yang Pehpeh ditangkap dan sekarang ditahan oleh congtok di Leng-an, atas tuduhan Yang Pehpeh diam-diam memihak pada... pada..."

Yap Cu Siang ragu ragu, pemuda baju putih mengawasi tajam. "Pada siapa ?" tanyanya.

"Pada Giam Cu, yang kini tentaranya mulai bergerak dari utara..!" melanjutkan Yap Cu Siang.

"Apakah benar Yang Bu In membantu Giam Cu ?" tanya pemuda baju putih itu.

Yap Cu Siang kembali ragu-ragu. la tidak kenal pemuda baju putih ini. bagaimana ia bisa bicara terus terang ? Tapi, ingat pemuda baju putih ini telah menolongi jiwanya, segera dia bicara terus terang: "Benar ! Setengah tahun yang lalu Yang Pehpeh telah menyumbang selaksa tail untuk mengurangi beban Giam-Cu terhadap belanja tentara pencinta negeri. Bahkan, Yang Pehpeh sudah menjanjikan pada akhir tahun ini akan menyerahkan seluruh harta miliknya yang ada untuk bantu perjuangan Giam Cu, bahkan ia sendiri akan ikut dalam pasukan Giam Cu. Tapi siapa sangka... siapa sangka anjing-anjing Kaisar telah mencium semua itu, sekeluarga Yang Bu In ditangkap..!"

"Hemmm, kapan ditangkapnya?"

"Seminggu yang lalu... itupun atas perintah firman kaisar yang dibawa Kim-cee (utusan Kaisar), yang kini masih berdiam di Leng-an."

"Di mana Yang Bu In ditahan sekarang?" tanya pemuda baju putih itu lagi.

"Di markasnya tiekoan !" menyahuti Yap Cu Siang.

"Selain Yang Bu In, siapa-siapa saja keluarganya yang ditawan ?"

"Yang Pehpeh suami isteri, beberapa orang pelayan, mungkin berjumlah delapan orang."

"Kabarnya Yang Bu In mempunyai seorang puteri, bahkan sudah menikah. Bagaimana dengan puteri dan mantunya ?"

Yap Cu Siang memandang curiga pada pemuda baju putih itu, ia ragu-ragu. Bagaimana pemuda baju putih ini bisa mengetahui begitu jelas tentang keluarga Yang ? Golok leluhurnya, puterinya, mantu dari keluarga Yang..."



"Mereka... mereka sedang berkelana, sehingga lolos dari jaring orang-orang tiekoan dan para pahlawan istana kaisar... yang saat itu ikut mengepung gedung Yang Pehpeh," akhirnya Yap Cu Siang memberikan keterangannya juga. "Hanya sayang, usahaku untuk menolongi Yang Pehpeh dan isterirya gagal, sehingga aku dikejar dan dikuntit oleh anjingnya Kaisar yang tadi telah dihajar oleh In-jin (tuan penolong). Aku bermaksud cepat-cepat memberi laporan kepada Giam Taijin ..."

Pemuda baju putih itu menghela napas, menghunus Bianto yang lalu disabetkan ke udara beberapa kali. la mendongak dan tertawa berkakakan, tertawa yang nadanya menyayatkan hati. la memang pernah melihat golok ini, diperlihatkan oleh Yang Bu In. Benar Yang Bu In mempergunakan pedang sebagai senjatanya, karena ia meyakinkan ilmu pedang, tapi golok Bianto ini adalah golok warisan leluhur yang dihormati keluarga Yang.

Beberapa tahun yang lalu ia pernah bersama Yang Bu In dan keluarganya melihat golok leluhur keluarga Yang beberapakali, karenanya segera ia bisa mengenali golok Bianto ini waktu pertamakali melihatnya di tangan Yap Cu Siang.

"Bagus !" ia berseru. "Biar bagaimana, pun juga Yang Bu In tidaklah mengecewakan, la tidak mensia-siakan harapan rakyat dan juga Giam Cu Tayjin !"

Yap Cu Siang tergoncang hatinya dan mendengar perkataan sipemuda baju putih tampaknya ia mempunyai hubungan yaug rapat dengan keluarga Yang Bu In.

Pemuda itu lalu memasukkan Bian-to ke dalam sarungnya dan gantung senjata itu dipinggangnya sendiri.

"Mohon tuan sudi mengembalikan golok itu kepadaku," kata Yap Cu Siang.

"Kenapa ?" ia menanya.

"Aku dapat mengerti jika In-jin (tuan penolong) menyukai golok ini," kata Yap Cu Siang. "Semenjak dulu orang kata: Golok mustika harus diserahkan kepada orang gagah, pupur wangi harus dipersembahkan kepada wanita cantik. Menurut pantas memang aku harus mempersembahkan senjata itu kepada In-jin. hanya sayang, sungguh sayang, waktu terakhir kali aku bertemu Yang pehpeh sudah berpesan kepadaku supaya menyerahkan golok itu kepada orang lain dan disebelan itu. didalamnya tersembunyi satu urusan besar.

"Urusan apa ?" menanya si baju putih dengan suara tawar.

"Golok ini harus kuserahkan kepada puteri dan mantu Yang Pehpeh, yaitu Yang Lan lihiap dan Khang Thiam Lu, suaminya."

"UntuK apa diserahkan kepada Yang Lan lihiap dan suaminya ?" tanya pemuda baju putih itu.

"Sebagai bukti atas seluruh keterangan yang akan kusampaikan kepadanya, juga meneruskan pesan Yang Pehpeh, agar Yang Lan lihiap bersama suaminya bersama-sama pergi menemui Giam Cu Tayjin, untuk membantu perjuangan Giam Tayjin melawan Kaisar penjajah !"

Pemuda baju putih itu menghela napas, dia menggeleng perlahan. "Biarkan golok ini kuserahkan sendiri kapada Yang Lan lihiap. Sekarang terpenting adalah menolongi Yang Pehpeh !" katanya.

Yap Cu Siang ragu-ragu.

"Siapakah In-jin sebetulnya ?" Tanya Yap Cu Siang akhirnya.

Pemuda baju putih itu memberitahukan namanya sambil bersiap-siap untuk berangkat melompat keatas kudanya. Temyata pemuda baju putih itu tidak lain Giok Han.

"Naiklah," katanya sambil menepuk punggung kudanya menganjurkan Yap Cu Siang. Tanpa berayal lagi Yap Cu Siang melompat kebelakang punggung kuda itu, yang kemudian dilarikan Giok Han mutar kembali menuju ke Leng-an.

Dengan kudanya yang bisa lari sangat cepat, dalam dua hari Giok Han berdua Yap Cu Siang sudah sampai dipintu kota sebelah timur.

Sudah hampir empat bulan Giok Han turun gunung, karena Tai Giok Siansu anggap seluruh kepandaian sudah diwariskan kepadanya dan sudah waktunya pula muridnya ini turun gunung, selain mencari tambahan pengalaman, juga untuk menyelidiki perkembangan terakhir. Yang diutamakan dalam pesan Tai Giok Siansu sebelum keberangkatan Giok Han, muridnya harus menyelidiki keadaan negeri pada saat itu dan apa saja yang dilakukan oleh Tang San Siansu!

Tugas lainnya, kalau memang keadaan memaksa. Giok Han harus segera membantu perjuangan Giam Cu, Tugas yang dipikul oleh Giok Han bukanlah tugas yang ringan, karena selain ia harus menyelidiki tentang Tang San Siansu, juga membantu perjuangan Giam Cu.

Menyelidiki tentang Tang San Siansu memiliki hubungan erat dengan persoalan yang mengancam keselamatan Siauw Lim Sie, sedangkan tugas menghubungi Giam Cu memiliki kepentingan yang jauh lebih penting lagi yaitu untuk membantu perjuangan para pencinta negeri mengusir Kaisar penjajah itu !

Waktu pertama kali turun gunung, yang diingat olch Giok Han adalah Yang Bu In. la bermaksud mengunjungi dan berharap bisa bertemu dengan Lam Sie, pelayan yang setia itu. Juga Khang Thiam Lu diharapkan berada dirumah Yang Bu In, untuk dimintai keterangan sejelas-jelasnya tentang peristiwa pembunuhan keluarga Giok oleh orang-orang Kaisar !

Siapa tahu, dalam perjalanan menuju ke Leng-an, justeru ia melihat Yap Cu Siang tengah terancam oleh Thio Yu Liang, segera ia turun tangan menolongi Yap Cu Siang, yang akhirnya menyebabkan Giok Han mengetahui keluarga Yang telah tertimpa bencana oleh orang-orang Kaisar !



Pada pintu kota sebelah timur tampak banyak sekali serdadu-serdadu penjaga pintu.

Giok Han mengajak Yap Cu Siang ke pintu kota sebelah barat. Disitu tampak gelap dan agak sepi, hanya beberapa orang serdadu penjaga pintu kota.

"Kita pergi kepintu sebelah utara," kata Giok Han dengan suara perlahan. Dengan hati-hati mereka lalu jalan disepanjang tembok, supaya tidak terlihat oleh serdadu-serdadu penjaga. Kuda Giok Han sudah ditambat belasan li jauhnya sebelum mereka tiba dipintu kota Leng-an ini.

Tapi baru saja mau biluk di satu ujung tembok, dari sebelah utara kelihatan mendatangi lima serdadu peronda yang membawa lentera. Mereka kaget dan lalu mepet ke tembok.

Tapi rupanya mereka sudah terlihat oleh para peronda, yang lanta; berhenti dan seorang serdadu yang jalan paling dahulu, angkat lenteranya dan matanya mengawasi keempat penjuru.

"Barusan aku lihat beberapa bayangan hitam, tapi lantas menghilang,"

"katanya pada kawan-kawannya.

"Mana bisa ! Mungkin kau kebanyakan tenggak susu macan!" kata seorang kawannya.

"Jangan bicara main-main ! "kata serdadu itu dengan suara mendongkol. "Aku sama sekali tidak minum arak. Barusan jelas-jelas aku lihat beberapa bayangan. Coba kita cari di bawah tembok." Sehabis berkata begitu ia jalan ke jalan ke arah tembok sembari acungkan lenteranya, diikuti oleh empat kawan-kawannya.

Begitu ia datang dekat, tangan Giok Han menyambar dan tiang lentera jatuh serta padam. Di lain saat, Giok Han sudah menotok jalan darahnya yang membikin ia jadi bungkam tak bersuara. Baru saja tadi ia berteriak: "Penjahat !", empat serdadu lainnya sudah kena dibikin rubuh oleh Yap Cu Siang, yang sudah menotok jalan darah keempat peronda itu.

Penjaga loteng tembok kota rupanya sudah dengar suara ribut-ribut itu. "Penjahat apa ?" seorang berteriak dari atas. Dengan cerdik Yap Cu Siang baru-baru nyalakan lentera yang lantas diangkat tinggi dan menyahut: "Kami ronda malam. Barusan ada beberapa penjahat yang lari ke jurusan selatan!"

Di atas tembok kota lantas muncul beberapa lentera. "Kenapa tidak dikejar ?" berteriak salah seorang di atas.

"Kami juga mau mengejar. Hayo, kalian tolong bantu kami!" berseru lagi Yap Cu Siang. Tingginya tembok kota kurang lebih 3 tombak dan dalam yang gelap, orang-orang yang di atas tentu tidak dapat lihat jelas muka orang-orang yang berada di bawah

Yap Cu Siang lantas saja lari ke arah selatan dan di atas tembok kota segera terdengar suara tindakan yang ramai. Sesudah lari beberapa puluh tindak, Yap Cu Siang kembali berteriak: "Nih, dia ! Hayo lekas ! Cepat !"

Para serdadu yang sudah turun ke bawah lantas mempercepat tindakannya dan lari mengikuti suara Yap Cu Siang.

Selang tidak lama Yap Cu Siang sudah balik dan berkata: "Nah, ini dia penjahat-nya !" Dan dia kerahkan tenaganya, dalam sekejap ia berkelebatan ke sana-sini, maka rubuhlah para pengawal pintu kota itu. Gesit sekali Yap Cu Siang kemudian melompat ke atas tembok kota.

Giok Han pun sudah lompat lincah sekali ke tembok pintu kota. "Kau bersembunyi di sekitar tempat ini, aku akan pergi ke gedung tiekoan" pesan Giok Han.

Sesudah berlari-lari tidak lama di atas genteng-genteng rumah, tibalah Giok Han di gedung tiekoan la memiliki ginkang tinggi, maka mudah saja ia melakukan perjalanan di atas genteng-genteng rumah penduduk tanpa menimbulkan kecurigaan apa-apa. Gedung tiekoan dikurung dengan tembok tinggi.

Giok Han mendekam diatas genteng rumah seorang penduduk dan memandang keadaan di gedung tiekoan, Di bagian belakang pekarangan gedung terdapat tiga atau empat kamar, sedang di sebelah selatan-timur terdapat satu lorong panjang yang di kedua pinggirnya dipasang lankan yang terukir indah sekali.

Giok Han tahu, bahwa itulah ada kamar-kamar yang digunakan oleh keluarga tiekoan. Seperti seekor burung walet, ia hinggap ringan diatas tembok, dan kemudian loncat turun dalam pekarangan gedung tiekoan tanpa mengeluarkan suara. Waktu itu sudah jam dua lewat tengah malam, sedang keadaan di situ sunyi senyap. Hati-hati sekali Giok Han hampiri sebuah kamar yang mempunyai beberapa jendela, terukir dengan kaca yang indah.

la mendekati satu jendela kaca dan mengintip ke dalam kamar yang lampunya masih terang-benaerang. Kamar itu ternyata adalah kamar tulis. Seseorang yang berpakaian indah kelihatan sedang menulis surat, dan tanpa melihat mukanya Giok Han segera dapat pastikan bahwa orang itu adalah tiekoan Leng-an yang bernama Cu Sin Tek.

Sesudah menghunus pedang pendeknya, Giok Han buka pintu, singkap tirai dan loncat ke belakang tiekoan. Melihat api lilin bergoyang. Cu Sin Tek letakkan pitnya dan niat memanggil orang. Tapi pundaknya sudah dicekal dengan tangan yang kuat, sedang sebatang pedang berkelebat di depan matanya. Cu Sin Tek bergidik sebab ia rasakan dinginnya hawa pedang yang sudah menempel pada tenggorokannya.

"Mau mati apa mau hidup ?" tanya Giok Han dengan suara perlahan.

Dengan gemetar sekujur badan dan keringat dingin keluar diri dahinya, Ca Sin Tek manggut-manggutkan kepalanya.

"Beberapa hari berselang, bukankah ada datang satu kim-cee (utusan kaisar) ?" tanya lagi Giok Han.

Cu Sin Tek kembali manggutkan kepalanya.

"Di mana adanya kim-cee itu ?" Giok Han menanya pula. Tiekoan itu menganga dan buat sementara tidak dapat menjawab.



"Kalau kau gagu, tulis saja di atas sepotong kertas," kata Giok Han sembari tertawa.

Cu Sin Tek tahu, ia sekarang sedang berhadapan dengan orang yang berkepandaian tinggi. la tahu, jika membandel, jiwanya bisa melayang. Mengingat begitu, ia lantas angkat pitnya dan menulis di atas kertas.

Giok Han lalu baca bunyinya tulisan yang seperti berikut : "Kim-ce Kui sekarang berdiam di ranggon dalam gedungnya cong-tok Leng-an."

Tanda-tangani !" Giok Han memerintah.

Muka Cut Sin Tek jadi pucat. Melihat ia ayal-ayalan, Giok-Han tandelkan pedang pada lehernya dan membentak : "Lekas !"

Lantaran takut mati, ia terpaksa angkat lagi pitnya dan menulis perkataan : Tiekoan Leng-an Cu Sin Tek." di-bawahnya kertas itu.

Sembari mesem Giok Han lipat kertas itu yang lantas dimasukkan ke dalam kantongnya. "Tiekoan Taijin," kata Giok Han seraya kebaskan pedang di depan mukanya. "Sekarang aku mau minta pertolonganmu. Apa kau dapat menyanggupi ?"

"Bisa, bisa," kata sang tiekoan.

"Bagus ?" kata lagi Giok Han. "Sekarang aku mau tanya: "Apakah kau yang suruh tangkap Yang Bu ln dan keluarganya ?"

Cu Sin Tek manggutkan kepala.

"Mereka merebut kedosaan apa ?" tanya Giok Han lagi.

"Kaisar telah perintah Kim-cee Kui Hoa datang di sini buat membekuk pemberontak. Aku cuma melaksanakan perintah..." menerangkan Cu Sin Tek.

"Dusta !" Giok Han membentak. "Ada orang lihat mereka dirantai dan diseret oleh serdadu-serdadumu dan kau sendiri memperlakukan mereka galak sekali. Mereka adalah keluarga baik-baik, keluarga Yang tidak pernah melakukan kedosaan apapun juga terhadap negara, siapa yang telah fitnah mereka."

"Itu... itulah di luar pengetahuanku. Mohon mohon sudi mengampuni. . ." kata Cu Sin Tek dengan suara meratap.

Giok Han keluarkan suara di hidung dan berkata lagi: "Yah, sudahlah. Sekarang aku mau coret namanya Yang Bu In. Mulai dari sekarang, kau tidak boleh ganggu lagi keluarga Yang. Juga kauharus perintahkan orang membebaskan mereka, Jika kau membandel, aku akan ambil kepala anjingmu. Kau mengerti ?"

Tiekoan itu jadi gemetar sekujur badan. "inilah firmannya Kaisar," kata ia dengan suara serak. "Dan semua ini atas perintah yang telah disampaikan Kim-cee Taijin. Kalau aku tidak . . . tidak melaksanakan perintah . . . aku sendiri bisa celaka."

Mata Giok Han mendelik. "Aku tak perduli !" ia membentak "Jika kau langgar Yang Bu In dan keluarganya, kau harus tahu Liong Kak Sin Hiap tidak boleh dibuat main-main ! "

Mendengar perkataan Giok Han, hati Cu Sin Tek kuncup.

"Baiklah." katanya. "Kalau memang kau memerintah aku begitu . . . aku akan . . . mematuhi."

Giok Han manggut-manggutkan kepalanya. "Sesudah kau berjanji begini, dan akan menuruti setiap perintahku, akan kuampuni jiwa anjingmu. Tapi kalau nanti kau main gila, aku akan binasakan Kim-cee dan kirim surat yang barusan kau tulis kepada pembesar negeri, dengan mengatakan bahwa pembunuhan iiu diperintah olehmu !"

Tiekoan itu mencelos hatinya, kembali keluarkan keringat dingin. "Jangan begitu, hohan. Aku tentu tidak berani main gila," ia meratap dan merintih.

"Sekarang kau perintahkan orangmu untuk membebaskan Yang Bu In dan keluarganya !" bentak Giok Han.

Tiekoan itu ketakutan setengah mati, Giok Han menyeretnya ke dekat tirai, Giok Han berdiri di balik tirai, sedangkan tangan tiekoan dicekal masuk ke balik tirai, mata pedang menandal di punggungnya terhalang hanya tirai. Tiekoan itu menggigil ketakutan, mata pedang yang tajam menembusi jubahnya dan kulitnya lecet perih.

"Cepat kau panggil orangmu dan keluarkan perintahmu agar Yang Bu In dan keluarganya dibebaskan !"

Tiekoan tidak berani main gila, karena sekali pedang itu menghujam, habislah riwayatnya. Segera dia berteriak memanggil orang dengan suara serak, diperintahkan membebaskan Yang Bu In, isterinya dan para pelayannya.

"Perintahkan antar mereka sampai keluar pintu kota !" bisik Giok Han perlahan.

Tiekoan itu tidak berani membantah, dia juga perintahkan orangnya agar mengantarkan Yang Bu ln sekeluarga sampai keluar pintu kota. "Masing-masing diberi seekor kuda !" bisik Giok Han lagi dan tiekoan itupun mengeluarkan perintahnya seperti itu. Orangnya jadi memandang bingung atas sikap tiekoan, tapi tiekoan yang merasa pundaknya sakit karena mata pedang ditekan lebih keras oleh Giok Han, jadi membanting kaki dengan muka meringis: "Cepat laksanakan perintah !" teriaknya ketakutan.

Orang tiekoan tidak berani berayal, segera Yang Bu In sekeluarga dibebaskan, masing-masing diberi seekor kuda dan diantar sampai di luar pintu kota. Di sana Yang Bu In semua disambut oleh Yap Cu Siang, yang girang bukan main. Mereka menjauhi pintu kota, seperti yang telah dipesan Giok Han tadi sebelum ia berpisah dari Yap Cu Siang.

Setelah menunggu setengah jam sejak orang tiekoan melapor perintah telah dilaksanakan, dan setelah pengawal tiekoan mengundurkan diri, Giok Han menyeret tiekoan ke dekat meja tulisnya... Keluarga Yang telah kehilangan hartanya, mereka terpaksa tidak bisa berdiam lagi di Leng-an, berarti rumah dan harta mereka lenyap. Kau perintahkan orangmu untuk mengambil separoh dari hartamu, untuk kubawa dan nanti kuberikan kepada Yang Bu In, agar mereka tidak menjadi susah karena fitnahan ini!"



Kaget Cu Sin Tek. Mendengar Giok Han suruh ia bagi hartanya separuh yang akan dibawa buat Yang Bu In, tubuhnya menggigil keras dan mukanya pucat. Cu Sin Tek sangat kikir mendadak merasakan sesak napasnya dan ia rubuh dalam keadaan pingsan.

"Binatang ini pandang harta seperti juga jiwanya. Benar-benar menyebalkan !" menggerendeng Giok Han. Dengan perasaan mendongkol, ia potong kuping kiri pembesar rakus dan kemudian berlalu dasi kamar itu, buat menyusul Yap Cu Siang.

Yang Bu In dan lain-lainnya di luar pintu kota, yang di ajak untuk berlalu sejauh, mungkin, karena ia yakin dalam waktu dekat pasti ada pasukan tiekoan yang akan mengejar mereka.

Lantaran perasaan sakit, Cu Sin Tek sadar dari pingsannya. Begitu mengetahui hilangnya sebelah kuping, ia segera menjerit sekeras suara. Waktu itu, kepala pengawal tiekoan yang bernama Ciu Leng Kiauw kebetulan baru pulang habis meronda. Hatinya terkesiap mendengar jeritan dari kamar tulisnya tiekoan dan memburu ke situ.

Mendadak ia lihat sesosok bayangan hitam loncat ke atas tembok. "Celaka !" ia berseru dan mengetahui bahwa tiekoan telah disatroni pembunuh, la lantas loloskan gendewanya dari punggungnya dan melepaskan sebutir peluru, tapi bayangan hitam itu, yang gerak kannya luar biasa gesit, sudah loncat turun keluar tembok.

"Ada pembunuh !" Ciu Leng Kiauw berseru buat panggil orang-orangnya. sedang ia sendiri lalu loncat ke atas tembok. la memandang ke bawah, tapi orang itu sudah tidak kelihatan bayang-bayangannya lagi. Mendengar teriakan Ciu Leng Kiauw, belasan pengawal yang menjaga di luar kantor tiekoan memburu ke situ, tapi "penjahat" sudah tidak kelihatan mata-hidungnya lagi.

Pada hari-hari biasa, tiekoan Cu Sin Tek larang para pengawalnya, terhitung juga Ciu Leng Kiauw, masuk ke pekarangan belakang, yaitu ke gedung tempat tinggal keluarganya. Malam itu, sehabis pulang meronda, ia bermaksud untuk istirahat, siapa tahu mendengar jeritan tiekoan dan melihat sesosok bayangan tamu tak diundang. Lantaran begitu, ia lalu masuk ke dalam buat melihat keadaan tiekoan dan hatinya berdebar keras.

Sesudah perintah belasan orang pengawal periksa seluruh pekarangan, ia segera loncat turun dari atas tembok dan pergi ke dalam kamar tulis. Api lilin masih terus menyala terang, sedang semua barang tidak ada yang terganggu. Tapi di atas lantai menggeletak tubuhnya sang tiekoan dengan berlumuran -darah dan dalam keadaan pingsan.

Hati Ciu Leng Kiauw mencelos. la tubruk badan majikannya dan raba dadanya yang ternyata masih hangat dan napasnya masih berjalan seperti biasa. la angkat tubuh pembesar itu dan baru tahu bahwa kuping kiri tiekoan telah "dicuri" oleh tamu malam tak diundang itu.

Ciu Leng Kiauw segera dukung tubuh tiekoan yang dibawa keluar dari kamar tulis. Di luar ia bertemu dengan isteri pembesar itu dan pelayan-pelayan yang pada datang lantaran dengar suara ribut-ribut. Sesudah memesan supaya seorang pelayan sediakan somthung, ia bawa tiekoan ke kamar tidurnya, di mana ia lebih dahulu pakaikan obat luka pada kupingnya tiekoan dan kemudian beri makan Seng-hun-yo (obat buat bikin sadar orang pingsan).

Beberapa saat kemudian, Cu Sin Tek sadar dan lalu dikasih minum Som-thung, supaya pulih kekuatannya. Sesudah semangatnya pulih kembali, Cu Sin Tek segera perintah isteri dan pelayan-pelayannya berlalu dan minta Ciu Leng Kiauw seorang berdiam dalam kamarnya.

Sesudah semua orang tinggalkan kamarnya, Cu Sin Tek segera berkata dengan suara di hidung : "Ciu Leng Kiauw, hukuman apa kau harus dapat ?"

Kepala pengawal tiekoan itu jadi gemetar dan buru-buru berlutut seraya berkata : "Toaya, aku tahu, aku berdosa..."

"Kedudukanmu adalah sebagai kepala pengawal dan kau makan gajinya negara, sedang akupun perlakukan kau cukup baik," kata lagi sang tiekoan. "Tapi ternyata, kau tidak mempunyai kebecusan. Sekarang aku.." Mendadak ia ingat satu kupingnya yang di potong Giok Han. Mukanya jadi merah padam lantaran malu dan gusar, sehingga Ciu Leng Kiauw lah yang menjadi korban hawa amarahnya:

"Ciu Leng Kiauw !" ia membentak. "jiwaku hampir-hampir mampus dalam tanganmu! Sekarang aku mau tanya: "Kau mau bicara apa di hadapanku?"

Kepala pengawal yang lacur itu tak berani angkat mukanya. la cama manggut-manggutkan kepalanya-dan terus berlutut.

Melihat yang ditanya tidak menyahut, tiekoan membentak pula: "Binatang ! Aku beri batas waktu tiga hari. Dalam waktu tiga hari kau harus bekuk pembunuh itu !"

"Toaya, mohon Toaya jangan terlalu bergusar." berkata Ciu Leng Kiauw dengan suara gemetar "Aku mohon tanya, bagaimana romannya pembunuh itu ? Apa dia tinggalkan namanya atau tidak?"

"Biasanya kau suka bicara besar dan bilang banyak mengenal orang-orang Kang-ouw. Tapi sekarang. orang itu yang katanya bergelar Liong Kak Sin Hiap kau masih belum tahu !" kata si tiekoan dengan suara gusar.

Mendengar gelaran Liong Kak Sin Hiap, alis Ciu Leng Kiauw mengkerut. la belum pernah mendengar gelaran itu, sungguh mati dia tidak tahu entah siapa orang yang memakai gelaran Liong Kak Sin Hiap itu, yang berusaha coba membunuh cukongnya ini.

"Pergi! Dalam tiga hari kau mesti membereskan perkara ini !" Demikian Cu Sin Tek membentak dengan suara galak.



Ciu Leng Kiauw tak dapat berbuat Iain dari pada berlalu sambil manggut-manggutkan kepalanya.

Kembali ke kantornya, sambil membentak-bentak ia perintahkan para pengawal untuk melakukan pengejaran. Hatinya mendongkol bukan main. Tapi tak lama kemudian belasan pengawal yang diperintahkan pergi menangkap penjahat pulang dengan beruntun dan hasilnya nihil.

Sekarang giliran Ciu Leng Kiauw buat bersikap galak. Sembari mendelik dan menggebrak meja, ia membentak: "Mana penjahatnya ?"

"Kami sudah pergi ke segala pelosok kota Leng-an. tapi tidak dapatkan orang yang dicurigai," jawab salah seorang di antara pengawalnya itu.

Ciu Leng Kiau melampiaskan kemendongkolan hatinya pada para pengawal itu. la gebrak meja sekuat tenaga, sehingga piring mangkok pada terguling.

"Binatang!" ia membentak seperti caranya tiekoan membentak dia tadi. "Aku beri batas waktu tiga hari ! Dalam tiga hari kalian harus bekuk penjahat itu ! Kalau tidak, seorang akan ku persen tigapuluh rotan ! Hayo, pergi !"

Mendengar makian dan batas waktu itu, belasan pengawal tersebut tentu saja jadi sangat ketakutan. Tapi apa mereka bisa berbuat ? Mereka hanya pergi mencari lagi, dan yang menjadi sasaran adalah beberapa orang rakyat jelata yang tidak tahu apa-apa jadi sasaran kemarahan para pengawal tiekoan ini, yang main bentak dan pukul ! Bahkan ada satu-dua orang yang digusur ke gedung tiekoan buat diperiksa, dengan alasan orang-orang itu harus dicurigai sebagai penjahat!

Sekarang mari kita tengok Giok Han, Dari gedung Tiekoan ia segera menyusul Yap Cu Siang. pertemuan dengan Yang Bu In dan Lam Sie, pelayan tua yang setia itu, mengharukan. Tapi Giok Han sadar mereka tidak boleh buang-buang waktu, segera mengajak mereka berlalu secepat mungkin, semakin jauh semakin baik buat mereka, karenanya rombongan ini tidak beristirahat melakukan perjalanan dua hari dua malam terus menerus.

Barulah akhirnya di sebuah perkampungan kecil mereka beristirahat. Mereka melepaskan rindu. Lam Sie malah sampai memeluk Giok Han sambil menangis, mendengarkan cerita majikan kecilnya, yang kini telah jadi dewasa. Setengah hari mereka melepaskan lelah, akhirnya Giok Han bilang pada Yap Cu Siang: "Yap-toako, kita tak bisa berlama-lama di sini, kalau sampai barisan tiekoan mengejar sampai di sini, kita akan repot. Kita harus segera melanjutkan perjalanan. Yang Pehpeh tentu bersedia ikut dengan Yap-toako pergi menemui Giam Cu Taijin, untuk bergabung dengan mereka ? Aku sendiri harus pergi ke suatu tempat menyelesaikan suatu urusan. Nanti aku akan menyusul kalian bergabung menjadi satu . . .!"

Setelah berunding, memang Yang Bu In dan Yap Cu Siang menyetujui untuk pergi bergabung dengan Giam Cu. Segera mereka berpisah. Lam Sie, berpisah kembali dengan Siauwya nya dengan linangan air mata, rasa rindunya masih belum lagi terpenuhi, sekarang mereka sudah harus berpisah lagi.

Tapi menyadari akan bahaya yang bisa menimpah mereka, maka akhirnya merekapun melanjutkan perjalanan dengan cepat, dipimpin Yap Cu Siang untuk bergabung dengan Giam Cu. Golok leluhur keluarga Yang sudah dikembalikan Yap Cu Siang pada Yang Bu In.

Giok Han mengantarkan kepergian rombongan teman-temannya itu dengan mata merah karena menahan tangis. la pun sangat rindu pada Lam. Sie, pelayan keluarganya yang sangat setia dan kini sudah tua benar.

Tapi, Giok Han memiliki kepentingan mendesak yang mengharuskan mereka berpisah. Setelah rombongan Yang Bu In lenyap dari pandangan matanya, Giok Han menghela napas, memutar kudanya dan dilarikannya keras-keras . . . .

Giok Han melarikan kudanya cepat sekali ke arah utara, ia menuju ke propinsi Kang-souw. Sesudah melakukan perjalanan beberapa lama ia tiba di Hankouw.

Giok Han masuk ke dalam kota kira-kira tengah-hari dan ia merasa lapar sekali. Selagi mencari-cari tempat penangsel perut, ia melihat sebuah restoran besar dipinggir jalanan yang ramai dan memasang merek Kim-hong-louw (Rumah makan Burung Hong mas) dengan huruf-huruf emas yang besar-besar.

"Rumah-makan itu agak luar biasa," pikir Giok Han. la meraba sakunya, ternyata hanya mempunyai seratus lebih uang tembaga, tak cukup untuk makan dan minum arak.

"Biarlah aku makan saja semangkok mie," pikirnya sambil menambat kudanya pada tempat tambatan kuda.

Sesudah itu dengan membawa bungkusannya, periahan-lahan ia naik ke loteng. Melihat baju pemuda itu yang sederhana dan kotor oleh debu, seorang pelayan lantas saja menghadang di tengah jalan seraya berkata: "Tuan, makanan di atas loteng mahal-mahal harganya . . . tidak ada harganya yang murah ...."

Giok Han mengawasi tawar pada pelayan mendadak ia tertawa besar dan berkata dengan suara nyaring : "Asal makanan enak dan arak sedap, berapapun mahalnya harga makanan itu tak kuhiraukan!"

Si pelayan menyingkir dengan rasa sangsi, ia mengawasi Giok Han terus mendaki tangga loteng. Ruangan loteng itu besar, bersih dan diperlengkapi dengan perabotan yang halus nan indah. Para tamu yang sedang makan minum rata-rata berpakaian mentereng mewah, sebagai tanda bahwa mereka orang-orang beruang. Seperti kawannya yang menghalangi di bawah loteng, pelayan di atas lotengpun memandang rendah kepada Giok Han yang berpakaian sederhana dan kotor. Sesudah beberapa lama duduk di situ, masih saja tak seorang pelayan datang menghampirinya.

Giok Han jadi semakin mendongkol. Selagi ia mempertimbangkan apa yang harus dilakukan, di tengah jalan tiba-tiba terdengar suara ribut, disusul dengan suara tertawa seorang wanita.

Giok Han duduk di pinggir jendela Iantas saja melongok ke bawah. la melihat seorang perempuan dengan rambut terurai dan muka serta pakaian berlepotan darah, sedang menari-nari di tengah jalan sambil mencekal sebatang golok, sebentar menangis dan sebentar tertawa. "Ah, orang gila," pikir Giok Han.



Lalu lintas terganggu, banyak yang menonton dari sebelah kejauhan, ada yang ketakutan, ada pula yang kelihatannya merasa kasihan, tapi tak seorangpun yang berani mendekati perempuan sinting itu. Mendadak perempuan edan itu menuding merek Kim-hong lauw dan bertepuk tangan sembari tertawa terpingkal-pingkal...

"Siangkoan loya !" ia berteriak. "Biarlah kau berusia sejuta tahun, kaya dan mulia lengkap semuanya. Aku si tua berlutut di sini, supaya Langit yang mempunyai mata, melindungi kau seumur hidup!"

la berlutut dan membenturkan kepalanya diatas tanah, sehingga jidatnya mengeluarkan darah. Tapi agaknya, sedikitpun perempuan edan itu tak merasa sakit.

la terus manggut-manggutkan kepala sembari berteriak-teriak: "Siangkoan Loya ! Di waktu siang, biarlah kau mendapat segantang emas, di waktu malam segantang mutiara ! Kaya besar, kaya-raya, ratusan anak, ribuan cucu."

Dari dalam rumah makan sekonyong-konyong keluar seorang lelaki yang tangannya memegang kipas. Dilihat dari gerak-geriknya lelaki itu seperti pengurus rumah makan.

"Peng Sieso !" ia membentak. "Kalau mau jual lagak gila pergilah ke tempatmu. Pergi ! Jangan mengacau di sini. Kau dengar ?"

Wanita itu tak menggubris bentakan orang, ia masih terus berlutut sembari sesambatan. Si pengurus rumah makan mengulapkan tangannya dan dari dalam rumah makan segera keluar dua orang lelaki bertubuh tinggi besar kekar.

Seorang merampas golok di tangan Peng Sieso, sedang yang seorang lagi mendorongnya dengan keras, sehingga wanita itu terguling-guling jumpalitan ke tepi jalan.

Peng Sieso berdiri terpaku dengan mulut ternganga, untuk sementara tak mengeluarkan sepatah kata. Mendadak ia memukuli dadanya sendiri dengan kedua tangannya dan berteriak-teriak sembari menangisi:

"Ohhh ! Sayangku ! Sungguh menyedihkan cara kebinasaanmu. Langit mempunyai mata, kau tidak mencuri dan gegares daging ayam orang!"

"Kubacok kau jika kau masih terus rewel !" bentak lelaki yang tadi merampas goloknya.

Peng Sieso tak menjadi jeri, ia menangis semakin keras. Si pengurus rumah makan melirik semua penonton dan ia mencapat kenyataan bahwa mereka semua mengunjukkan wajah tak puas. la mengibaskan kipasnya dan tersenyum tawar, ia mengulapkan tangannya dan masuk kembali ke dalam Kim-hong-lauw bersama dua orang anak buahnya yang bertubuh tinggi besar.

Melihat lelaki gagah menghina seorang wanita lemah, lagi pula wanita sinting, Giok Han sebenarnya sudah ingin menyelak. Akan tetapi mengingat wanita itu adalah seorang tidak beres pikirannya, sedapat mungkin ia menahan sabar.

Tiba-tiba ia mendengar pembicaraan dua tamu yang duduk pada meja sebelah belakang. "Dalam urusan ihi Siangkcan Loya keterlaluan." kata seorang di antaranya dengan perlahan. "Apakah dia merasa enak hati sesudah mengambil jiwa manusia yang mati karena tindasan pengaruhnya ?" Giok Han terkejut.

"Tak dapat kita terlalu menyalahkan Siangkoan Loya," kata seorang lain. "Jika seorang kehilangannya apa, tentu saja ia akan menanyakannya. Siapa suruh perempuan itu berotak miring, membelek perut anaknya sendiri ?"

Giok Han tak dapat menahan sabar lagi. Mendadak ia menengok ke belakang dan kedua orang itu kaget, segera berhenti bicara.

Mereka itu, yang satu gemuk dan yang lain kurus, mengenakan thungsha sutera yang mahal harganya dilihat dari dandanan mereka, kedua orang ini adalah orang orang kaya.

Giok Han tahu kaum pedagang paling sungkan banyak urusan dan jika ia menanya secara biasa mereka pasti tak mau memberi keterangan. Berpikir begitu, ia berkata sambil memberi hormat: "Sejak berpisah di Kwitang sudah berapa tahun kita tak bertemu muka, Apa jiewie (tuan berdua) memperoleh banyak keuntungan ?"

Teniu saja mereka heran karena memang tak mengenal Giok Han, Tapi sebagaimana biasa, seorang pedagang selalu bersikap ramah tamah. Maka segera mereka balas hormat. "Boleh juga, terima kasih," jawab mereka.

"Sekarang siauwte datang kesini membawa selaksa tail perak." kata Giok Han. tujuanku adalah untuk membeli barang, tapi karena belum mempunyai kenalan, sedang aku sendiri sangat asing dengan keadaan di sini, aku masih merasa sangsi. Sekarang kebetulan bertemu dengan kalian, aku tentu bisa minta pertolongan."

Mendengar "selaksa tahil perak", wajah kedua orang itu lantas saja berseri-seri. "Tentu saja, tentu saja," kata mereka dan mengundang Giok Han duduk semeja dengan mereka.

Giok Han tidak berlaku sungkan. "Tadi jiewie bercakap-cakap dan aku mendengar kata-kata tentang mengambil jiwa manusia karena tindaan pengaruh," kata Giok Han.

"Bolehkah aku mengetahui, urusan apakah itu ?"

Muka kedua pedagang itu berobah. Waktu mereka mau menolak, Giok Han sudah mengulurkan kedua tangannya memencet tangan mereka, hampir berbareng, kedua orang itu mengeluarkan teriakan tertahan. Muka mereka jadi pucat pias. Mendengar teriakan itu beberapa pelayan dan tamu segera menengok ke arah mereka.

"Tertawa !" bentak Giok Han berbisik. Mereka tak berani membantah. Segera tertawa meringis, melihat di situ tak terjadi apa-apa yang luar biasa, semua orang tidak memperhatikan mereka lagi.



Kedua orang itu mengeluarkan keringat dingin, tangan mereka ssolah-olah dijepit dengan jepitan besi, keras dan menyakitkan sekali. "Dulu aku penjahat besar dan bisa bunuh manusia tanpa berkedip. Sekarang aku sudah jadi orang baik-baik, dengan selaksa tahil perak ingin membeli barang. Tapi sayang aku tak mempunyai uang. Aku ingin meminjam dari jiewie, seorangnya lima ribu tahil..."

Mereka kaget. "Aku . . . aku tak punya," jawab mereka hampir bersamaan.

"Baiklah," kata Giok Han. "Tapi kalian harus menceritakan kepadaku bagaimana manusia itu yang dipanggil Siangkoan Loya mengambil jiwa orang dengan menggunakan tindasan pengaruh. Siapa yang menceritakan yang paling jelas, aku membebaskannya dari tugas meminjamkan uang. Aku akan mencari orang lain sebagai gantinya."

Keruan saja kedua pedagang itu manggut-manggut. "Baik, baik, baiklah," jawab mereka terburu-buru.

Giok Han mesem, hatinya geli bukan main. Melihat si gemuk lebih pandai bicara dia bilang: "Yang gemuk bicara lebih dulu baru yang kurus Siapa yang ceritanya tak jelas, dialah yang harus meminjamkan uang padaku."

Sehabis berkata begitu, Giok Han melepaskan cengkeramannya. Dibuka bungkusannya dan memperlihatkan isinya yang hanya beberapa potong baju dan sebilah pedang pendek yang berkilauan. la mengambil sumpit gading dari aias meja, sekali diketukkan pada pedangnya yang dihunus separuh, sumpit itu menjadi empat potong. Keruan saja kedua pedagang itu tambah ketakutan, keringat dingin mengucur cari sekujur tubuh. Hati mereka berdebar-debar.

"Siauwya," kata si saudagar gemuk. "jangan kuatir, aku akan menceritakan seterang-terangnya. Tanggung... aku tanggung lebih jelas dari dia..."

"Mana boleh begitu?" memotong si kurus. "Biarkan aku cerita lebih dulu, pasti lebih jelas."

"Diam !" bentak Giok Han. "Lebih dulu aku mau dengar cerita si gemuk ini !" dan tangannya menunjuk si gemuk.

"Baik, baik," si kurus ketakutan.

"Siauwya," kata Li gemuk. "Biarlah aku mulai. Tapi aku mengharap supaya ceritaku dirahasiakan, jangan sampai diketahui orang lain."

"Jika kau takut, sudahlah ! Biar dia saja yang bercerita !" kata Giok Han. Sambil berkata begitu dia berpaling pada si kurus.

"Cerita, aku mau cerita," kata si gemuk gugup dan tergesa-gesa. "Orang yang biasa dipanggil Siangkoan Loya itu bernama Siang-koan Giok Lin, orang yang paling kaya dalam kota ini. Dia berjuluk Hiat-sin-cu (Si Malaikat Darah). Disini ia membuka rumah perjudian, juga rumah makan ini dan beberapa tempat usaha merupakan toko-toko besar jadi miliknya. la seorang kaya berpengaruh besar, pergaulannya luas, dianggap sebagai ahli silat nomor satu di seluruh Kang-souw. la pun mewajibkan para pembesar negeri, pintu-pintu perguruan silat, atau para pedagang becar, harus setiap bulannya membayar "pajak" padanya. Tapi urusan itu aku tidak begitu jelas..."

"Ya, ya, aku tahu. Dia hartawan kaya merangkap sebagai perampok besar !" kata Giok Han.

"Gedung Siangkoan Giok Lin sudah besar dan luas, tapi belakangan ini sesudah memiliki gundik ke sebelas ia ingin mendirikan sebuah gedung pula yang nama Cap-it-lauw (Ranggon ke sebelas), untuk dijadikan tempat tinggal gundik ke sebelas itu. la bermaksud mendirikan gedung baru di belakang gedungnya yang sudah ada dan tanah yang ia penuju adalah kebun sayur Peng Sieei.

Kebun itu satu-satunya sumber nafkah Peng Sieso dan suaminya, Ho Sun dan keluarganya berjumlah lima orang. Siangkoan Loya memanggil Ho Sun mengatakan mau membeli tanah itu lima tahil perak. Temu saja Ho Sun menolak. Siangkoan Loya menambah dan menanbah lagi jumlah uang itu tamrai sepuluh tahil, tapi tetap ditolak Ho Sun.

Menurut Ho Sun, uang sangat manis, biar seratus tahil sebentar saja akan habis di makan. Tapi kebun sayur tak bisa habis. Asal mau mengeluarkan tenaga, keluarganya tak akan mati kelaparan. Siangkoan Loya jadi gusar dan mengusir dia. Kemarin muncullah peristiwa mencuri ayam." Si gemuk menyusut keringatnya.

Dia melanjutkan lagi. "Di pekarangan belakang gedung Siangkoan Loya dipiara ratusan ekor ayam. Kemarin ia kehilangan seekor. Pelayan-pelayan Siangkoan Loya mengatakan bahwa pencuri ayam iiu anak kedua dan ketiga keluarga Ho. Mereka mencari di kebun sayur dan benar saja di situ kedapatan banyak bulu ayam. Mentah-mentah Peng Sieso menolak tuduhan itu.

la mengatakan anak-anaknya baik-baik dan tak mungkin mencuri barang orang lain. la balas menuduh bahwa bulu ayam itu sudah sengaja dilemparkan dari dalam tembok gedung Siangkoan Loya. Orang-orang Siangkoan Loya mencari kedua anak Ho Sun, mereka menyangkal mencuri ayam. "Eh, apakah pagi ini kau sudah makan?" ta-nya Siangkoan Loya. Anak ketiga manggut-manggut:

"Makan dengan daging ayam tentu enak ! " kata anak itu yang tak tahu urusan "Anak ini sudah mengaku, kau masih bersikeras tak mau mengakui," kata Siangkoan Loya. Lantas ia mengadu pada tiekoan dan beberapa pengawal tiekoan menangkap Ho Sun.

"Peng Sieso yakin seyakin-yakinnya kedua puteranya tak nanti mencuri ayam, dan tahu memang agaknya ingin sekali makan daging ayam" karenanya ia mengatakan kalau makan dengan daging ayam tentu enak, itulah kata-kata anak-anak. la pergi ke gedung Siangkoan Loya mencari keadilan. Tapi yang diperoleh pukulan dan tendangan.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar