Tapi siapa nyana, satu
gelombang baru lewat, lain gelombang sudah menyusul. Menurut kebiasaan, jika
dalam satu pertempuran, dua musuh berpencar, masing-masing pihak lebih dulu
memperbaiki kedudukannya, kemudian baru maju untuk bertempur pula. Akan tetapi,
baik Thio Yu Liang maupun si pemuda baju putih ketika itu mempunyai pikiran
yang sama, yaitu: Mendahului menyerang sebelum sang lawan dapat memperbaiki
kedudukannya. Dalam hal ini Thio Yu Liang yang mempunyai lebih banyak
pengalaman, sudah bertindak lebih cepat dari pada lawannya.
Baru saja pedang si pemuda
baju putih bergerak, kedua tangan Thio Yu Liang sudah membuat satu lingkaran
clan menerobos masuk kedalam garis pembelaan si pemuda baju putih yang kedua
tangannya lantas saja "terkunci" dan tak dapat mengerahkan tenaga
lagi.
Thio Yu Liang adalah ahli
waris Kun-lun-pay yang sudah mendapat segala rahasia ilmu silat partai
tersebut. Setiap pukulannya mengandung "kekerasan" dan
"kelunakan" serta berubah-ubah secara di luar dugaan.
Walaupun tak mengenal rahasia
ilmu silat Kun-lun-pay, akan tetapi Yap Cu Siang mengetahui bahwa dengan sekali
menggerakkan tangan, Thio Yu Liang dapat mencelakai si pemuda baju putih. la
tahu, biar bagaimanapun juga ia tak akan mendapat memberi pertolongan dan tanpa
merasa, sekali lagi ia berteriak "Celaka !"
Dan hampir berbareng dengan
teriakan Yap Cu Siang, Tiiio Yu Liang dan si pemuda baju putih bersama-sama
menjerit. Mata Yap Cu Siang kabur, ia tak tahu kedua pihak menggunakan pukulan
apa. la hanya melihat lengan baju Thio Yu Liang robek dan badan-sempoyongan.
"Sahabat kecil! Bagus !
Sungguh bagus!" Yap Cu Siang berteriak bagaikan kalap lantaran kegirangan.
la tidak mengetahui bahwa pergelangan tangan si pemuda baju putih juga sudah
terpukul dan jika dihitung-hitung, adalah si pemuda baju putih yang menderita
kerugian lebih besar.
Sekarang muka Toa-congkoan itu
berubah merah padam, ia merasakan dadanya seperti mau meledak lantaran
gusarnya. Mengimpipun ia tak pernah, bahwa tangan bajunya bisa dirobek oleh
satu bocah yang belum" hilang bau pupuknya.
Selagi lawannya bergusar, si
pemuda baju putih lantas saja mendesak dengan serangan-serangan hebat. Dalam
keadaan tenang, sebenarnya Thio Yu Liang masih dapat melayani pemuda itu dengan
tangan kosong.
Tapi begitu darahnya naik, semangatnya
tak dapat lagi dipusatkan dan dalam sekejap ia sudah terdesak, sehingga ia jadi
kaget dan bingung. Tanpa memperdulikan. lagi tingkatannya yang tinggi, ia
segera menghunus pedangnya yang mengemblok di punggungnya.
"Nah, sedari tadi aku
sudah perintahkan kau mencabut senjata," mengejek si pemuda baju putih
sembari tertawa, "Tapi kau tetap membandel. Sekarang bagaimana?"
Sedang mulutnya berbicara, tangannya bekerja terus dan menikam tenggorokan Thio
Yu Liang bagaikan kilat.
Pedang si pemuda baju putih
cepat, tapi gerakan Thio Yu Liang lebih cepat lagi. Dengan sekali mengegos, ia
sudah mengelit tikaman itu dan lalu balas menyerang.
Sesudah bergebrak beberapa
jurus, dengan gerakan "Souw Cin Pwee Kiam" (Souw Cin menggendong
orang) Thio Yu Liang menggetarkan pedangnya, yang dengan mengeluarkan suara
mengaung, sudah "mengunci" bagian atas, tengah dan balwah pemuda itu.
"Bagus !" Berseru si
pemuda baju putih. Bukannya berkelit atau mengegos, sebaliknya dengan ilmu
"Lie Kong Sia Ciok" (Lie Kong Memanah Batu), ia menikam dada Thio Yu
Liang !
Gerakan itu sungguh-sungguh di
luar dugaan. Menurut ilmu pedang yang biasa, seorang yang sudah
"dikunci" secara begitu, harus berusaha menolong diri. Tapi dalam
keadaan yang sangat berbahaya itu, si pemuda baju putih telah balas menyerang.
Saat itu Thio Yu Liang
terkesiap, sebab ia mendadak teringat, bahwa pedang lawannya adalah pedang
mustika. Menurut perhitungan, dalam bentrokan antara kedua pedang itu, pedang
si pemuda baju putih mesti jatuh terpental. Tapi pedang Thio Yu Liang bukan
pedang mustika, sehingga dalam bentrokan itu meskipun pedang si pemuda baju
putih mungkin terpental jatuh, tapi pedangnya sendiri pasti akan putus menjadi
dua !
Sebagai seorang yang mempunyai
kedudukan tinggi dalam Rimba Persilatan, ia tentu akan menjadi buah tertawaan
umum, jika pedangnya sampai diputuskan oleh satu bocah.
Biar bagaimanapun juga
bentrokan antara kedua pedang itu sudah dapat dielakkan lagi. Berbareng dengan
suara "trangg !" kedua lawan itu segera berpencar. Barusan begitu
kedua pedang mereka beradu, Thio Yu Liang menarik pulang tenaga
"Yang-kong"" (tenaga keras) dan mengeluarkan tenaga Im-jiu
(tenaga lunak), sehingga pedangnya hanya menempel pedang lawan dan lalu mental
kembali.
Akan tetapi, walaupun begitu,
pedang Thio Yu Liang somplak juga sedikit! Demikianlah, dalam gebrakan itu, si
pemuda baju putih telah mendapat kemenangan gemilang !
Tapi sebagai seorang muda, ia
tak mengenal batas. Dengan cepat, ia membacok lagi dan barusan untuk mengadu
pula pedangnya. Sekali lagi kedua pedang itu berbentrok. tapi.. . aneh"
sungguh, sekali mi Jjentrokan itu tidak mengeluarkan suara!
Yap Cu Siang kaget dan heran.
la membuka kedua matanya lebar-lebar untuk mencari tahu, apa sebabnya.
Di lain saat, pedang si pemuda
baju putih seolah-olah sudah kena "dihisap" oleh pedang Thio Yu
Liang. Beberapakali ia berkutet, tapi pedang itu tetap tak dapat di tarik
pulang. Ternyata, kali ini Thio Yu Liang sudah mengerahkan tenaga Im-jiu yang
sangat tinggi guna "menghisap" pedang lawannya !
Beberapa saat kemudian,
keringat sudah mengucur dari dahi pemuda baju putih.
"Bagaimana ?"
mengejek Thio Yu Liang.
"Tak apa-apa !"
menyahuti si pemuda baju putih sembari mesem tawar, tak tahu dengan ilmu apa,
tiba-tiba badan si pemuda baju putih mencelat dan pedangnya sudah terlepas dari
"ikatan" musuh.
Kejadian itu adalah karena
salah Thio Yu Liang sendiri. Barusan, sesudah berhasil menghisap senjata musuh,
dalam sejenak ia "memandang rendah lawannya dan lalu mengejek dan selagi
bicara, perhatiannya terpecah.
Si pemuda baju putih yang
lihay luar biasa, sungkan menyia-nyiakan ketika baik ini dan dengan sekali
membetot, ia melepaskan pedangnya dari "hisapan" tenaga Im-jiu.
Berbareng dengan itu, ia meloncat ke samping Thio Yu Liang dan menikam sekali.
Dengan sangat menyesal Thio Yu
Liang berkelit dengan gerakan "Tui-po-lian-hoan"" (Mundur
berantai) dan kemudian membabat dengan pedangnya dalam usaha untuk
"menghisap" pula pedang musuh. Tapi kali ini si pemuda baju putih tak
dapat dijebak lagi.
Dengan gerakannya yang sangat
gesit, bagaikan kupu-kupu yang beterbangan di antara bunga-bunga, ia melayani
Toa Congkoan itu. Thio Yu Liang menjadi kaget, heran dan kagum dengan
berbareng.
Beberapakali, pedangnya hampir
menempel pedang si pemuda baju putih, akan tetapi pada detik yang terakhir
bocah itu selalu dapat meloloskan senjatanya dari "ikatan" Mendadak
Thio Yu Liang tergoncang hatinya. Sesudah memperhatikan ilmu pedang si bocah,
mendadak ia ingat akan seorang Tayhiap (pendekar besar) yang sekarang sudah mengundurkan
diri dari pergaulan umum dan besar kemungkinan sudah meninggal dunia. Apakah
bocah ini ahliwaris dari pendekar besar tersebut?
Sesudah bertempur lagi
beberapa lama, Thio Yu Liang menjadi sadar dan mendapat jalan untuk menhadapi
musuhnya. la segera merobah cara bersilatnya dan mengutamakan pembelaan diri.
Akan tetapi, dalam pembelaan diri itu, ia berlaku sangat awas dan segera balas
menyerang, begitu ada kesempatan. Dilayani secara begitu, dengan perlahan si
pemuda baju putih menjadi lelah dan napasnya mulai tersengal-sengal.
Sementara itu Yap Cu Siang
mengawasi jalannya pertempuran dengan hati berdebar-debar. Kedua orang itu
sedang bertempur dengan menggunakan ilmu pedang yang paling tinggi dan sekali
salah jiwa bisa melayang. Walaupun tidak terlalu paham akan ilmu pedang, ia
mengetahui bahwa si pemuda baju putih, tuan penolongnya, berada di bawah angin.
Ketika itu, dengan mengatur
jalan pernapasannya, Yap Cu Siang sudah pulihkan kembali aliran darahnya dan
perasaan kesemutan sudah menjadi hilang. Maka itu, sambil membentak keras, ia
mengambil Biantonya dan bergerak untuk menyerbu ke dalam gelanggang
pertempuran.
Sebagai seorang berpengalaman,
Thio Yu Liang sangat awas matanya. Begitu Yap Cu Siang bergerak, ia pindahkan
pedangnya ke tangan kiri dan merogo sakunya dengan tangan kanan. Sembari
membacok dengan tangan kiri sehingga si pemuda baju putih terpaksa mundur dua
tindak, ia mengayun tangan kanannya dan melepaskan jumlah Thie-lian-cie ke arah
kedua lawannya.
Sekarang Toa-congkoan ini
sudah tidak menghiraukan lagi soal tingkatan dan dalam kekuatirannya akan
dikerubuti, ia malah tidak merasa malu untuk menggunakan juga senjata rahasia.
Yap Cu Siang yang baru terluka kakinya, tak begitu gesit gerakannya, sehingga
dua butir Thie-lian-cie mampir di lehernya dan ia kembali jatuh terguling.
Begitu rubuh, ia meloncat
bangun lagi dengan gerakan "Lee Hie Ta Teng" ( Ikan Gabus Meletik )
dan pada detik itu ia mendengar si pemuda baju putih berteriak : "Bagus
!"
Di Iain saat, seperti hujan
gerimis, belasan biji catur berbentuk bulat kecil menyambar ke arah Thio Yu
Liang.
"Bagus!!!" teriak
Yap Cu Siang, kegirangan.
Dengan gerakan "Pek Ho
Ciong Thian" ( Burung Ho Putih Menembus Awan ), Thio Yu Liang meloncat
keatas sambil mengebas dengan pedangnya.
Dengan suara
""tringggg !", "trangggg !"", sejumlah biji catur
kena dibikin terpental tapi dua antaranya menyambar terus. "Kena kau
!" Berteriak si pemuda baju putih sambil melompat menikam.
Biar bagaimana lihaypun, Thio
Yu Liang tak dapat berkelit lagi dari dua biji catur itu yang menyambar kedua
pundaknya. "Bagus !," ia berseru sambil mengerahkan tenaga dalamnya
dan menggoyang pundaknya, Dua biji catur itu tepat mengenai sasarannya, tapi
lantas jatuh ke tanah lantaran kena ditolak tenaga dalam Thio Yu Liang, yang
berbareng dengan itu sudah mengangkat pedangnya untuk menyambut serangan si
pemuda baju putih.
Si pemuda baju putih kaget tak
kepalang. Bahwa sepuluh antara duabelas biji caturnya kena dipukul jatuh, sudah
cukup mengagumkan. Tapi menolak senjata rahasia itu dengan tenaga dalam adalah
kejadian yang tak pernah diduga-duganya.
"Nama besar Thio Yu Liang
sungguh bukan nama kosong," ia memuji dalam hatinya. "Tak heran,
dalam dunia Kang-ouw ia mempunyai nama yang besar..!"
Melihat keadaan yang
berbahaya, tanpa memperdulikan lukanya. Yap Cu Siang kembali putarkan goloknya
dan maju ke medan pertempuran.
Sekonyong-konyong si pemuda
baju putih bersiul panjang dan nyaring. Di lain saat bagaikan terbang tubuhnya
sudah melayang di udara, tangannya menjambret baju Yap Cu Siang, dan ketika ia
menjejak kedua kakinya, badannya sudah melesat ke atas, kemudian hinggap di
atas punggung kudanya yang terus kabur bagaikan kilat.
"Thio Yu Liang,
sebetulnya aku memiliki perhitungan dengan kau, tapi kukira sekarang bukan saatnya!
Nanti kita bertemu lagi !" Terdengar suara si pemuda baju putih nyaring
menggema ditempat itu.
Thio Yu Liang buru-buru
cemplak tunggangannya dan mengubar. Kuda Toa-cing koan ini bukan kuda
sembarangan tapi kuda si pemuda baju putih itu cepat sekali, dan dalam waktu
singkat sudah terpisah jauh, semakin lama jarak antara mereka jadi semakin jauh
dan akhirnya Thio Yu Liang hanya dapat melihat satu titik-putih yang dengan
cepat menghilang dari pemandangan.
Toa-congkoan ini tak bisa
berbuat apa-apa-apa dia cuma menghela napas jengkel dan penasaran. Tiba-tiba ia
merasakan pundaknya sakit, segera dia buka bajunya dan melihat dua tapak biji
catur yang berwarna merah di kedua pundaknya. Masih untung senjata itu tak
beracun. Kalau beracun tentu kedua tangannya sudah tak dapat digunakan lagi...
Dengan diliputi penasaran yang
sangat gusar, Thio Yu Liang melarikan kudanya lagi, dia berusaha untuk mengejar
terus. Dia yakin, sejauh-jauhnya pemuda baju putih itu menyingkir, toh akhirnya
akan beristirahat juga.
Thio Yu Liang berharap masih
bisa mengejar pemuda yang tampaknya masih belum hilang bau pupuknya tapi lihay
ilmu silatnya itu...
Yap Cu Siang yang menggemblok
di punggung kuda, merasakan seperti juga dibawa terbang di udara. Hatinya
berdebar-d-bar, ia tak nyana seekor kuda dapat berlari sedemikian cepat. Selagi
ia mau menengok ke belakang untuk menghaturkan terima kasih kepada penolongnya,
kuda itu melompati suatu selokan dan hampir-hampir ia jatuh terpelanting.
Buru-buru ia menjepit perut kuda terlebih keras dan tidak berani menengok ke
belakang.
"Jangan bicara !
Hati-hati !" membentak si baju putih sembari memecut udara dan kuda itu
lantas saja lari terlebih keras
Tak lama kemudian fajar sudah
menyingsing dan sibaju putih menahan kudanya. "Sekarang sudah boleh
berhenti," katanya sembari meloncat turun dari kudanya dengan paras muka
tidak berobah dan napasnya juga tidak tersengal-sengal.
"Kuda ini benar-benar
kuda yang bagus dan jarang terdapat dalam dunia." memuji Yap Cu Siang
kagum memandang kuda itu-Kemudian: "Apa sekarang aku boleh mengetahui nama
tuan yang mulia ?"
Pemuda baju putih tak
menyahut. Mendadak tangannya dilonjorkan dan golok Bianto yang tergantung di
pinggang Yap Cu Siang sudah pindah kedalam tangannya. Bagi seorang ahli silat,
melindungi senjatanya adalah satu kebiasaan yang otomatis.
Begitu tangan si baju putih
menyambar, tangan Yap Cu Siang pun bergerak, tapi ia kalah cepat dan dilain
saat, pemuda itu sudah menyekal Bianto dan mengawasi senjata itu dengan paras
muka bersangsi, mukanya berobah. Dia mengamat-amati dua tulisan pada samping
gagang golok sebelah bawah: "Yang-kee" (Leluhur Yang).
Yap Cu Siang terkejut.
"Dari mana kau dapat
golok mustika ini ?" menanya si baju putih.
"Ini adalah golok Yang Bu
In," jawabnya.
Muka si baju putih berobah,
matanya tampak berkilat tajam memandang Yap Cu Siang.
"Yang Bu In dari kota
Siauw An (sekarang Leng-an) di jalan Yang-ceng ?" menegasi pemuda baju
putih.
Yap Cu Siang heran, dia
mengawasi si pemuda, kemudian mengangguk.
"Ya," jawabnya
kemudian.
Kenapa Yang Bu In menyerahkan
golok leluhurnya kepadamu ?" tanya si pemuda.
"Yang Bu In sekeluarga
terfitnah, dianiaya orang-orang congtok dan semua itu atas perintah
kaisar," menyahuti Yap Cu Siang. Sekeluarga Yang Pehpeh ditangkap dan
sekarang ditahan oleh congtok di Leng-an, atas tuduhan Yang Pehpeh diam-diam
memihak pada... pada..."
Yap Cu Siang ragu ragu, pemuda
baju putih mengawasi tajam. "Pada siapa ?" tanyanya.
"Pada Giam Cu, yang kini
tentaranya mulai bergerak dari utara..!" melanjutkan Yap Cu Siang.
"Apakah benar Yang Bu In
membantu Giam Cu ?" tanya pemuda baju putih itu.
Yap Cu Siang kembali
ragu-ragu. la tidak kenal pemuda baju putih ini. bagaimana ia bisa bicara terus
terang ? Tapi, ingat pemuda baju putih ini telah menolongi jiwanya, segera dia
bicara terus terang: "Benar ! Setengah tahun yang lalu Yang Pehpeh telah
menyumbang selaksa tail untuk mengurangi beban Giam-Cu terhadap belanja tentara
pencinta negeri. Bahkan, Yang Pehpeh sudah menjanjikan pada akhir tahun ini
akan menyerahkan seluruh harta miliknya yang ada untuk bantu perjuangan Giam
Cu, bahkan ia sendiri akan ikut dalam pasukan Giam Cu. Tapi siapa sangka...
siapa sangka anjing-anjing Kaisar telah mencium semua itu, sekeluarga Yang Bu
In ditangkap..!"
"Hemmm, kapan ditangkapnya?"
"Seminggu yang lalu...
itupun atas perintah firman kaisar yang dibawa Kim-cee (utusan Kaisar), yang
kini masih berdiam di Leng-an."
"Di mana Yang Bu In
ditahan sekarang?" tanya pemuda baju putih itu lagi.
"Di markasnya tiekoan
!" menyahuti Yap Cu Siang.
"Selain Yang Bu In,
siapa-siapa saja keluarganya yang ditawan ?"
"Yang Pehpeh suami
isteri, beberapa orang pelayan, mungkin berjumlah delapan orang."
"Kabarnya Yang Bu In
mempunyai seorang puteri, bahkan sudah menikah. Bagaimana dengan puteri dan
mantunya ?"
Yap Cu Siang memandang curiga
pada pemuda baju putih itu, ia ragu-ragu. Bagaimana pemuda baju putih ini bisa
mengetahui begitu jelas tentang keluarga Yang ? Golok leluhurnya, puterinya,
mantu dari keluarga Yang..."
"Mereka... mereka sedang
berkelana, sehingga lolos dari jaring orang-orang tiekoan dan para pahlawan
istana kaisar... yang saat itu ikut mengepung gedung Yang Pehpeh,"
akhirnya Yap Cu Siang memberikan keterangannya juga. "Hanya sayang,
usahaku untuk menolongi Yang Pehpeh dan isterirya gagal, sehingga aku dikejar
dan dikuntit oleh anjingnya Kaisar yang tadi telah dihajar oleh In-jin (tuan
penolong). Aku bermaksud cepat-cepat memberi laporan kepada Giam Taijin
..."
Pemuda baju putih itu menghela
napas, menghunus Bianto yang lalu disabetkan ke udara beberapa kali. la
mendongak dan tertawa berkakakan, tertawa yang nadanya menyayatkan hati. la
memang pernah melihat golok ini, diperlihatkan oleh Yang Bu In. Benar Yang Bu
In mempergunakan pedang sebagai senjatanya, karena ia meyakinkan ilmu pedang,
tapi golok Bianto ini adalah golok warisan leluhur yang dihormati keluarga
Yang.
Beberapa tahun yang lalu ia
pernah bersama Yang Bu In dan keluarganya melihat golok leluhur keluarga Yang
beberapakali, karenanya segera ia bisa mengenali golok Bianto ini waktu
pertamakali melihatnya di tangan Yap Cu Siang.
"Bagus !" ia
berseru. "Biar bagaimana, pun juga Yang Bu In tidaklah mengecewakan, la
tidak mensia-siakan harapan rakyat dan juga Giam Cu Tayjin !"
Yap Cu Siang tergoncang
hatinya dan mendengar perkataan sipemuda baju putih tampaknya ia mempunyai
hubungan yaug rapat dengan keluarga Yang Bu In.
Pemuda itu lalu memasukkan
Bian-to ke dalam sarungnya dan gantung senjata itu dipinggangnya sendiri.
"Mohon tuan sudi
mengembalikan golok itu kepadaku," kata Yap Cu Siang.
"Kenapa ?" ia
menanya.
"Aku dapat mengerti jika
In-jin (tuan penolong) menyukai golok ini," kata Yap Cu Siang.
"Semenjak dulu orang kata: Golok mustika harus diserahkan kepada orang
gagah, pupur wangi harus dipersembahkan kepada wanita cantik. Menurut pantas
memang aku harus mempersembahkan senjata itu kepada In-jin. hanya sayang,
sungguh sayang, waktu terakhir kali aku bertemu Yang pehpeh sudah berpesan
kepadaku supaya menyerahkan golok itu kepada orang lain dan disebelan itu.
didalamnya tersembunyi satu urusan besar.
"Urusan apa ?"
menanya si baju putih dengan suara tawar.
"Golok ini harus
kuserahkan kepada puteri dan mantu Yang Pehpeh, yaitu Yang Lan lihiap dan Khang
Thiam Lu, suaminya."
"UntuK apa diserahkan
kepada Yang Lan lihiap dan suaminya ?" tanya pemuda baju putih itu.
"Sebagai bukti atas
seluruh keterangan yang akan kusampaikan kepadanya, juga meneruskan pesan Yang
Pehpeh, agar Yang Lan lihiap bersama suaminya bersama-sama pergi menemui Giam
Cu Tayjin, untuk membantu perjuangan Giam Tayjin melawan Kaisar penjajah
!"
Pemuda baju putih itu menghela
napas, dia menggeleng perlahan. "Biarkan golok ini kuserahkan sendiri
kapada Yang Lan lihiap. Sekarang terpenting adalah menolongi Yang Pehpeh
!" katanya.
Yap Cu Siang ragu-ragu.
"Siapakah In-jin
sebetulnya ?" Tanya Yap Cu Siang akhirnya.
Pemuda baju putih itu
memberitahukan namanya sambil bersiap-siap untuk berangkat melompat keatas
kudanya. Temyata pemuda baju putih itu tidak lain Giok Han.
"Naiklah," katanya
sambil menepuk punggung kudanya menganjurkan Yap Cu Siang. Tanpa berayal lagi
Yap Cu Siang melompat kebelakang punggung kuda itu, yang kemudian dilarikan
Giok Han mutar kembali menuju ke Leng-an.
Dengan kudanya yang bisa lari
sangat cepat, dalam dua hari Giok Han berdua Yap Cu Siang sudah sampai dipintu
kota sebelah timur.
Sudah hampir empat bulan Giok
Han turun gunung, karena Tai Giok Siansu anggap seluruh kepandaian sudah
diwariskan kepadanya dan sudah waktunya pula muridnya ini turun gunung, selain
mencari tambahan pengalaman, juga untuk menyelidiki perkembangan terakhir. Yang
diutamakan dalam pesan Tai Giok Siansu sebelum keberangkatan Giok Han, muridnya
harus menyelidiki keadaan negeri pada saat itu dan apa saja yang dilakukan oleh
Tang San Siansu!
Tugas lainnya, kalau memang
keadaan memaksa. Giok Han harus segera membantu perjuangan Giam Cu, Tugas yang
dipikul oleh Giok Han bukanlah tugas yang ringan, karena selain ia harus
menyelidiki tentang Tang San Siansu, juga membantu perjuangan Giam Cu.
Menyelidiki tentang Tang San
Siansu memiliki hubungan erat dengan persoalan yang mengancam keselamatan Siauw
Lim Sie, sedangkan tugas menghubungi Giam Cu memiliki kepentingan yang jauh
lebih penting lagi yaitu untuk membantu perjuangan para pencinta negeri mengusir
Kaisar penjajah itu !
Waktu pertama kali turun
gunung, yang diingat olch Giok Han adalah Yang Bu In. la bermaksud mengunjungi
dan berharap bisa bertemu dengan Lam Sie, pelayan yang setia itu. Juga Khang
Thiam Lu diharapkan berada dirumah Yang Bu In, untuk dimintai keterangan
sejelas-jelasnya tentang peristiwa pembunuhan keluarga Giok oleh orang-orang
Kaisar !
Siapa tahu, dalam perjalanan
menuju ke Leng-an, justeru ia melihat Yap Cu Siang tengah terancam oleh Thio Yu
Liang, segera ia turun tangan menolongi Yap Cu Siang, yang akhirnya menyebabkan
Giok Han mengetahui keluarga Yang telah tertimpa bencana oleh orang-orang
Kaisar !
Pada pintu kota sebelah timur
tampak banyak sekali serdadu-serdadu penjaga pintu.
Giok Han mengajak Yap Cu Siang
ke pintu kota sebelah barat. Disitu tampak gelap dan agak sepi, hanya beberapa
orang serdadu penjaga pintu kota.
"Kita pergi kepintu
sebelah utara," kata Giok Han dengan suara perlahan. Dengan hati-hati
mereka lalu jalan disepanjang tembok, supaya tidak terlihat oleh serdadu-serdadu
penjaga. Kuda Giok Han sudah ditambat belasan li jauhnya sebelum mereka tiba
dipintu kota Leng-an ini.
Tapi baru saja mau biluk di
satu ujung tembok, dari sebelah utara kelihatan mendatangi lima serdadu peronda
yang membawa lentera. Mereka kaget dan lalu mepet ke tembok.
Tapi rupanya mereka sudah
terlihat oleh para peronda, yang lanta; berhenti dan seorang serdadu yang jalan
paling dahulu, angkat lenteranya dan matanya mengawasi keempat penjuru.
"Barusan aku lihat
beberapa bayangan hitam, tapi lantas menghilang,"
"katanya pada
kawan-kawannya.
"Mana bisa ! Mungkin kau
kebanyakan tenggak susu macan!" kata seorang kawannya.
"Jangan bicara main-main
! "kata serdadu itu dengan suara mendongkol. "Aku sama sekali tidak
minum arak. Barusan jelas-jelas aku lihat beberapa bayangan. Coba kita cari di
bawah tembok." Sehabis berkata begitu ia jalan ke jalan ke arah tembok
sembari acungkan lenteranya, diikuti oleh empat kawan-kawannya.
Begitu ia datang dekat, tangan
Giok Han menyambar dan tiang lentera jatuh serta padam. Di lain saat, Giok Han
sudah menotok jalan darahnya yang membikin ia jadi bungkam tak bersuara. Baru
saja tadi ia berteriak: "Penjahat !", empat serdadu lainnya sudah
kena dibikin rubuh oleh Yap Cu Siang, yang sudah menotok jalan darah keempat
peronda itu.
Penjaga loteng tembok kota
rupanya sudah dengar suara ribut-ribut itu. "Penjahat apa ?" seorang
berteriak dari atas. Dengan cerdik Yap Cu Siang baru-baru nyalakan lentera yang
lantas diangkat tinggi dan menyahut: "Kami ronda malam. Barusan ada
beberapa penjahat yang lari ke jurusan selatan!"
Di atas tembok kota lantas
muncul beberapa lentera. "Kenapa tidak dikejar ?" berteriak salah
seorang di atas.
"Kami juga mau mengejar.
Hayo, kalian tolong bantu kami!" berseru lagi Yap Cu Siang. Tingginya
tembok kota kurang lebih 3 tombak dan dalam yang gelap, orang-orang yang di
atas tentu tidak dapat lihat jelas muka orang-orang yang berada di bawah
Yap Cu Siang lantas saja lari
ke arah selatan dan di atas tembok kota segera terdengar suara tindakan yang
ramai. Sesudah lari beberapa puluh tindak, Yap Cu Siang kembali berteriak:
"Nih, dia ! Hayo lekas ! Cepat !"
Para serdadu yang sudah turun
ke bawah lantas mempercepat tindakannya dan lari mengikuti suara Yap Cu Siang.
Selang tidak lama Yap Cu Siang
sudah balik dan berkata: "Nah, ini dia penjahat-nya !" Dan dia
kerahkan tenaganya, dalam sekejap ia berkelebatan ke sana-sini, maka rubuhlah
para pengawal pintu kota itu. Gesit sekali Yap Cu Siang kemudian melompat ke
atas tembok kota.
Giok Han pun sudah lompat
lincah sekali ke tembok pintu kota. "Kau bersembunyi di sekitar tempat
ini, aku akan pergi ke gedung tiekoan" pesan Giok Han.
Sesudah berlari-lari tidak
lama di atas genteng-genteng rumah, tibalah Giok Han di gedung tiekoan la
memiliki ginkang tinggi, maka mudah saja ia melakukan perjalanan di atas
genteng-genteng rumah penduduk tanpa menimbulkan kecurigaan apa-apa. Gedung
tiekoan dikurung dengan tembok tinggi.
Giok Han mendekam diatas
genteng rumah seorang penduduk dan memandang keadaan di gedung tiekoan, Di
bagian belakang pekarangan gedung terdapat tiga atau empat kamar, sedang di
sebelah selatan-timur terdapat satu lorong panjang yang di kedua pinggirnya
dipasang lankan yang terukir indah sekali.
Giok Han tahu, bahwa itulah
ada kamar-kamar yang digunakan oleh keluarga tiekoan. Seperti seekor burung
walet, ia hinggap ringan diatas tembok, dan kemudian loncat turun dalam
pekarangan gedung tiekoan tanpa mengeluarkan suara. Waktu itu sudah jam dua
lewat tengah malam, sedang keadaan di situ sunyi senyap. Hati-hati sekali Giok
Han hampiri sebuah kamar yang mempunyai beberapa jendela, terukir dengan kaca
yang indah.
la mendekati satu jendela kaca
dan mengintip ke dalam kamar yang lampunya masih terang-benaerang. Kamar itu
ternyata adalah kamar tulis. Seseorang yang berpakaian indah kelihatan sedang
menulis surat, dan tanpa melihat mukanya Giok Han segera dapat pastikan bahwa
orang itu adalah tiekoan Leng-an yang bernama Cu Sin Tek.
Sesudah menghunus pedang
pendeknya, Giok Han buka pintu, singkap tirai dan loncat ke belakang tiekoan.
Melihat api lilin bergoyang. Cu Sin Tek letakkan pitnya dan niat memanggil
orang. Tapi pundaknya sudah dicekal dengan tangan yang kuat, sedang sebatang
pedang berkelebat di depan matanya. Cu Sin Tek bergidik sebab ia rasakan
dinginnya hawa pedang yang sudah menempel pada tenggorokannya.
"Mau mati apa mau hidup
?" tanya Giok Han dengan suara perlahan.
Dengan gemetar sekujur badan
dan keringat dingin keluar diri dahinya, Ca Sin Tek manggut-manggutkan
kepalanya.
"Beberapa hari berselang,
bukankah ada datang satu kim-cee (utusan kaisar) ?" tanya lagi Giok Han.
Cu Sin Tek kembali manggutkan
kepalanya.
"Di mana adanya kim-cee
itu ?" Giok Han menanya pula. Tiekoan itu menganga dan buat sementara
tidak dapat menjawab.
"Kalau kau gagu, tulis
saja di atas sepotong kertas," kata Giok Han sembari tertawa.
Cu Sin Tek tahu, ia sekarang
sedang berhadapan dengan orang yang berkepandaian tinggi. la tahu, jika
membandel, jiwanya bisa melayang. Mengingat begitu, ia lantas angkat pitnya dan
menulis di atas kertas.
Giok Han lalu baca bunyinya
tulisan yang seperti berikut : "Kim-ce Kui sekarang berdiam di ranggon
dalam gedungnya cong-tok Leng-an."
Tanda-tangani !" Giok Han
memerintah.
Muka Cut Sin Tek jadi pucat.
Melihat ia ayal-ayalan, Giok-Han tandelkan pedang pada lehernya dan membentak :
"Lekas !"
Lantaran takut mati, ia
terpaksa angkat lagi pitnya dan menulis perkataan : Tiekoan Leng-an Cu Sin
Tek." di-bawahnya kertas itu.
Sembari mesem Giok Han lipat
kertas itu yang lantas dimasukkan ke dalam kantongnya. "Tiekoan
Taijin," kata Giok Han seraya kebaskan pedang di depan mukanya.
"Sekarang aku mau minta pertolonganmu. Apa kau dapat menyanggupi ?"
"Bisa, bisa," kata
sang tiekoan.
"Bagus ?" kata lagi
Giok Han. "Sekarang aku mau tanya: "Apakah kau yang suruh tangkap
Yang Bu ln dan keluarganya ?"
Cu Sin Tek manggutkan kepala.
"Mereka merebut kedosaan
apa ?" tanya Giok Han lagi.
"Kaisar telah perintah
Kim-cee Kui Hoa datang di sini buat membekuk pemberontak. Aku cuma melaksanakan
perintah..." menerangkan Cu Sin Tek.
"Dusta !" Giok Han
membentak. "Ada orang lihat mereka dirantai dan diseret oleh
serdadu-serdadumu dan kau sendiri memperlakukan mereka galak sekali. Mereka
adalah keluarga baik-baik, keluarga Yang tidak pernah melakukan kedosaan apapun
juga terhadap negara, siapa yang telah fitnah mereka."
"Itu... itulah di luar
pengetahuanku. Mohon mohon sudi mengampuni. . ." kata Cu Sin Tek dengan
suara meratap.
Giok Han keluarkan suara di
hidung dan berkata lagi: "Yah, sudahlah. Sekarang aku mau coret namanya
Yang Bu In. Mulai dari sekarang, kau tidak boleh ganggu lagi keluarga Yang.
Juga kauharus perintahkan orang membebaskan mereka, Jika kau membandel, aku
akan ambil kepala anjingmu. Kau mengerti ?"
Tiekoan itu jadi gemetar
sekujur badan. "inilah firmannya Kaisar," kata ia dengan suara serak.
"Dan semua ini atas perintah yang telah disampaikan Kim-cee Taijin. Kalau
aku tidak . . . tidak melaksanakan perintah . . . aku sendiri bisa
celaka."
Mata Giok Han mendelik.
"Aku tak perduli !" ia membentak "Jika kau langgar Yang Bu In
dan keluarganya, kau harus tahu Liong Kak Sin Hiap tidak boleh dibuat main-main
! "
Mendengar perkataan Giok Han,
hati Cu Sin Tek kuncup.
"Baiklah." katanya.
"Kalau memang kau memerintah aku begitu . . . aku akan . . .
mematuhi."
Giok Han manggut-manggutkan
kepalanya. "Sesudah kau berjanji begini, dan akan menuruti setiap
perintahku, akan kuampuni jiwa anjingmu. Tapi kalau nanti kau main gila, aku
akan binasakan Kim-cee dan kirim surat yang barusan kau tulis kepada pembesar
negeri, dengan mengatakan bahwa pembunuhan iiu diperintah olehmu !"
Tiekoan itu mencelos hatinya,
kembali keluarkan keringat dingin. "Jangan begitu, hohan. Aku tentu tidak
berani main gila," ia meratap dan merintih.
"Sekarang kau perintahkan
orangmu untuk membebaskan Yang Bu In dan keluarganya !" bentak Giok Han.
Tiekoan itu ketakutan setengah
mati, Giok Han menyeretnya ke dekat tirai, Giok Han berdiri di balik tirai,
sedangkan tangan tiekoan dicekal masuk ke balik tirai, mata pedang menandal di
punggungnya terhalang hanya tirai. Tiekoan itu menggigil ketakutan, mata pedang
yang tajam menembusi jubahnya dan kulitnya lecet perih.
"Cepat kau panggil
orangmu dan keluarkan perintahmu agar Yang Bu In dan keluarganya dibebaskan
!"
Tiekoan tidak berani main
gila, karena sekali pedang itu menghujam, habislah riwayatnya. Segera dia
berteriak memanggil orang dengan suara serak, diperintahkan membebaskan Yang Bu
In, isterinya dan para pelayannya.
"Perintahkan antar mereka
sampai keluar pintu kota !" bisik Giok Han perlahan.
Tiekoan itu tidak berani
membantah, dia juga perintahkan orangnya agar mengantarkan Yang Bu ln
sekeluarga sampai keluar pintu kota. "Masing-masing diberi seekor kuda
!" bisik Giok Han lagi dan tiekoan itupun mengeluarkan perintahnya seperti
itu. Orangnya jadi memandang bingung atas sikap tiekoan, tapi tiekoan yang
merasa pundaknya sakit karena mata pedang ditekan lebih keras oleh Giok Han,
jadi membanting kaki dengan muka meringis: "Cepat laksanakan perintah !"
teriaknya ketakutan.
Orang tiekoan tidak berani
berayal, segera Yang Bu In sekeluarga dibebaskan, masing-masing diberi seekor
kuda dan diantar sampai di luar pintu kota. Di sana Yang Bu In semua disambut
oleh Yap Cu Siang, yang girang bukan main. Mereka menjauhi pintu kota, seperti
yang telah dipesan Giok Han tadi sebelum ia berpisah dari Yap Cu Siang.
Setelah menunggu setengah jam
sejak orang tiekoan melapor perintah telah dilaksanakan, dan setelah pengawal
tiekoan mengundurkan diri, Giok Han menyeret tiekoan ke dekat meja tulisnya...
Keluarga Yang telah kehilangan hartanya, mereka terpaksa tidak bisa berdiam
lagi di Leng-an, berarti rumah dan harta mereka lenyap. Kau perintahkan orangmu
untuk mengambil separoh dari hartamu, untuk kubawa dan nanti kuberikan kepada
Yang Bu In, agar mereka tidak menjadi susah karena fitnahan ini!"
Kaget Cu Sin Tek. Mendengar
Giok Han suruh ia bagi hartanya separuh yang akan dibawa buat Yang Bu In,
tubuhnya menggigil keras dan mukanya pucat. Cu Sin Tek sangat kikir mendadak merasakan
sesak napasnya dan ia rubuh dalam keadaan pingsan.
"Binatang ini pandang
harta seperti juga jiwanya. Benar-benar menyebalkan !" menggerendeng Giok
Han. Dengan perasaan mendongkol, ia potong kuping kiri pembesar rakus dan
kemudian berlalu dasi kamar itu, buat menyusul Yap Cu Siang.
Yang Bu In dan lain-lainnya di
luar pintu kota, yang di ajak untuk berlalu sejauh, mungkin, karena ia yakin
dalam waktu dekat pasti ada pasukan tiekoan yang akan mengejar mereka.
Lantaran perasaan sakit, Cu
Sin Tek sadar dari pingsannya. Begitu mengetahui hilangnya sebelah kuping, ia
segera menjerit sekeras suara. Waktu itu, kepala pengawal tiekoan yang bernama
Ciu Leng Kiauw kebetulan baru pulang habis meronda. Hatinya terkesiap mendengar
jeritan dari kamar tulisnya tiekoan dan memburu ke situ.
Mendadak ia lihat sesosok
bayangan hitam loncat ke atas tembok. "Celaka !" ia berseru dan
mengetahui bahwa tiekoan telah disatroni pembunuh, la lantas loloskan
gendewanya dari punggungnya dan melepaskan sebutir peluru, tapi bayangan hitam
itu, yang gerak kannya luar biasa gesit, sudah loncat turun keluar tembok.
"Ada pembunuh !" Ciu
Leng Kiauw berseru buat panggil orang-orangnya. sedang ia sendiri lalu loncat
ke atas tembok. la memandang ke bawah, tapi orang itu sudah tidak kelihatan
bayang-bayangannya lagi. Mendengar teriakan Ciu Leng Kiauw, belasan pengawal
yang menjaga di luar kantor tiekoan memburu ke situ, tapi "penjahat"
sudah tidak kelihatan mata-hidungnya lagi.
Pada hari-hari biasa, tiekoan
Cu Sin Tek larang para pengawalnya, terhitung juga Ciu Leng Kiauw, masuk ke
pekarangan belakang, yaitu ke gedung tempat tinggal keluarganya. Malam itu,
sehabis pulang meronda, ia bermaksud untuk istirahat, siapa tahu mendengar
jeritan tiekoan dan melihat sesosok bayangan tamu tak diundang. Lantaran
begitu, ia lalu masuk ke dalam buat melihat keadaan tiekoan dan hatinya
berdebar keras.
Sesudah perintah belasan orang
pengawal periksa seluruh pekarangan, ia segera loncat turun dari atas tembok
dan pergi ke dalam kamar tulis. Api lilin masih terus menyala terang, sedang
semua barang tidak ada yang terganggu. Tapi di atas lantai menggeletak tubuhnya
sang tiekoan dengan berlumuran -darah dan dalam keadaan pingsan.
Hati Ciu Leng Kiauw mencelos.
la tubruk badan majikannya dan raba dadanya yang ternyata masih hangat dan
napasnya masih berjalan seperti biasa. la angkat tubuh pembesar itu dan baru
tahu bahwa kuping kiri tiekoan telah "dicuri" oleh tamu malam tak
diundang itu.
Ciu Leng Kiauw segera dukung
tubuh tiekoan yang dibawa keluar dari kamar tulis. Di luar ia bertemu dengan
isteri pembesar itu dan pelayan-pelayan yang pada datang lantaran dengar suara
ribut-ribut. Sesudah memesan supaya seorang pelayan sediakan somthung, ia bawa
tiekoan ke kamar tidurnya, di mana ia lebih dahulu pakaikan obat luka pada
kupingnya tiekoan dan kemudian beri makan Seng-hun-yo (obat buat bikin sadar
orang pingsan).
Beberapa saat kemudian, Cu Sin
Tek sadar dan lalu dikasih minum Som-thung, supaya pulih kekuatannya. Sesudah
semangatnya pulih kembali, Cu Sin Tek segera perintah isteri dan
pelayan-pelayannya berlalu dan minta Ciu Leng Kiauw seorang berdiam dalam
kamarnya.
Sesudah semua orang tinggalkan
kamarnya, Cu Sin Tek segera berkata dengan suara di hidung : "Ciu Leng
Kiauw, hukuman apa kau harus dapat ?"
Kepala pengawal tiekoan itu
jadi gemetar dan buru-buru berlutut seraya berkata : "Toaya, aku tahu, aku
berdosa..."
"Kedudukanmu adalah
sebagai kepala pengawal dan kau makan gajinya negara, sedang akupun perlakukan
kau cukup baik," kata lagi sang tiekoan. "Tapi ternyata, kau tidak
mempunyai kebecusan. Sekarang aku.." Mendadak ia ingat satu kupingnya yang
di potong Giok Han. Mukanya jadi merah padam lantaran malu dan gusar, sehingga
Ciu Leng Kiauw lah yang menjadi korban hawa amarahnya:
"Ciu Leng Kiauw !"
ia membentak. "jiwaku hampir-hampir mampus dalam tanganmu! Sekarang aku
mau tanya: "Kau mau bicara apa di hadapanku?"
Kepala pengawal yang lacur itu
tak berani angkat mukanya. la cama manggut-manggutkan kepalanya-dan terus
berlutut.
Melihat yang ditanya tidak
menyahut, tiekoan membentak pula: "Binatang ! Aku beri batas waktu tiga
hari. Dalam waktu tiga hari kau harus bekuk pembunuh itu !"
"Toaya, mohon Toaya
jangan terlalu bergusar." berkata Ciu Leng Kiauw dengan suara gemetar
"Aku mohon tanya, bagaimana romannya pembunuh itu ? Apa dia tinggalkan
namanya atau tidak?"
"Biasanya kau suka bicara
besar dan bilang banyak mengenal orang-orang Kang-ouw. Tapi sekarang. orang itu
yang katanya bergelar Liong Kak Sin Hiap kau masih belum tahu !" kata si
tiekoan dengan suara gusar.
Mendengar gelaran Liong Kak
Sin Hiap, alis Ciu Leng Kiauw mengkerut. la belum pernah mendengar gelaran itu,
sungguh mati dia tidak tahu entah siapa orang yang memakai gelaran Liong Kak
Sin Hiap itu, yang berusaha coba membunuh cukongnya ini.
"Pergi! Dalam tiga hari
kau mesti membereskan perkara ini !" Demikian Cu Sin Tek membentak dengan
suara galak.
Ciu Leng Kiauw tak dapat
berbuat Iain dari pada berlalu sambil manggut-manggutkan kepalanya.
Kembali ke kantornya, sambil
membentak-bentak ia perintahkan para pengawal untuk melakukan pengejaran.
Hatinya mendongkol bukan main. Tapi tak lama kemudian belasan pengawal yang
diperintahkan pergi menangkap penjahat pulang dengan beruntun dan hasilnya
nihil.
Sekarang giliran Ciu Leng
Kiauw buat bersikap galak. Sembari mendelik dan menggebrak meja, ia membentak:
"Mana penjahatnya ?"
"Kami sudah pergi ke
segala pelosok kota Leng-an. tapi tidak dapatkan orang yang dicurigai,"
jawab salah seorang di antara pengawalnya itu.
Ciu Leng Kiau melampiaskan kemendongkolan
hatinya pada para pengawal itu. la gebrak meja sekuat tenaga, sehingga piring
mangkok pada terguling.
"Binatang!" ia
membentak seperti caranya tiekoan membentak dia tadi. "Aku beri batas
waktu tiga hari ! Dalam tiga hari kalian harus bekuk penjahat itu ! Kalau
tidak, seorang akan ku persen tigapuluh rotan ! Hayo, pergi !"
Mendengar makian dan batas
waktu itu, belasan pengawal tersebut tentu saja jadi sangat ketakutan. Tapi apa
mereka bisa berbuat ? Mereka hanya pergi mencari lagi, dan yang menjadi sasaran
adalah beberapa orang rakyat jelata yang tidak tahu apa-apa jadi sasaran
kemarahan para pengawal tiekoan ini, yang main bentak dan pukul ! Bahkan ada
satu-dua orang yang digusur ke gedung tiekoan buat diperiksa, dengan alasan
orang-orang itu harus dicurigai sebagai penjahat!
Sekarang mari kita tengok Giok
Han, Dari gedung Tiekoan ia segera menyusul Yap Cu Siang. pertemuan dengan Yang
Bu In dan Lam Sie, pelayan tua yang setia itu, mengharukan. Tapi Giok Han sadar
mereka tidak boleh buang-buang waktu, segera mengajak mereka berlalu secepat
mungkin, semakin jauh semakin baik buat mereka, karenanya rombongan ini tidak
beristirahat melakukan perjalanan dua hari dua malam terus menerus.
Barulah akhirnya di sebuah
perkampungan kecil mereka beristirahat. Mereka melepaskan rindu. Lam Sie malah
sampai memeluk Giok Han sambil menangis, mendengarkan cerita majikan kecilnya,
yang kini telah jadi dewasa. Setengah hari mereka melepaskan lelah, akhirnya
Giok Han bilang pada Yap Cu Siang: "Yap-toako, kita tak bisa berlama-lama
di sini, kalau sampai barisan tiekoan mengejar sampai di sini, kita akan repot.
Kita harus segera melanjutkan perjalanan. Yang Pehpeh tentu bersedia ikut
dengan Yap-toako pergi menemui Giam Cu Taijin, untuk bergabung dengan mereka ?
Aku sendiri harus pergi ke suatu tempat menyelesaikan suatu urusan. Nanti aku
akan menyusul kalian bergabung menjadi satu . . .!"
Setelah berunding, memang Yang
Bu In dan Yap Cu Siang menyetujui untuk pergi bergabung dengan Giam Cu. Segera
mereka berpisah. Lam Sie, berpisah kembali dengan Siauwya nya dengan linangan
air mata, rasa rindunya masih belum lagi terpenuhi, sekarang mereka sudah harus
berpisah lagi.
Tapi menyadari akan bahaya
yang bisa menimpah mereka, maka akhirnya merekapun melanjutkan perjalanan dengan
cepat, dipimpin Yap Cu Siang untuk bergabung dengan Giam Cu. Golok leluhur
keluarga Yang sudah dikembalikan Yap Cu Siang pada Yang Bu In.
Giok Han mengantarkan
kepergian rombongan teman-temannya itu dengan mata merah karena menahan tangis.
la pun sangat rindu pada Lam. Sie, pelayan keluarganya yang sangat setia dan
kini sudah tua benar.
Tapi, Giok Han memiliki
kepentingan mendesak yang mengharuskan mereka berpisah. Setelah rombongan Yang
Bu In lenyap dari pandangan matanya, Giok Han menghela napas, memutar kudanya
dan dilarikannya keras-keras . . . .
Giok Han melarikan kudanya
cepat sekali ke arah utara, ia menuju ke propinsi Kang-souw. Sesudah melakukan
perjalanan beberapa lama ia tiba di Hankouw.
Giok Han masuk ke dalam kota
kira-kira tengah-hari dan ia merasa lapar sekali. Selagi mencari-cari tempat
penangsel perut, ia melihat sebuah restoran besar dipinggir jalanan yang ramai
dan memasang merek Kim-hong-louw (Rumah makan Burung Hong mas) dengan
huruf-huruf emas yang besar-besar.
"Rumah-makan itu agak
luar biasa," pikir Giok Han. la meraba sakunya, ternyata hanya mempunyai
seratus lebih uang tembaga, tak cukup untuk makan dan minum arak.
"Biarlah aku makan saja
semangkok mie," pikirnya sambil menambat kudanya pada tempat tambatan kuda.
Sesudah itu dengan membawa
bungkusannya, periahan-lahan ia naik ke loteng. Melihat baju pemuda itu yang
sederhana dan kotor oleh debu, seorang pelayan lantas saja menghadang di tengah
jalan seraya berkata: "Tuan, makanan di atas loteng mahal-mahal harganya .
. . tidak ada harganya yang murah ...."
Giok Han mengawasi tawar pada
pelayan mendadak ia tertawa besar dan berkata dengan suara nyaring : "Asal
makanan enak dan arak sedap, berapapun mahalnya harga makanan itu tak
kuhiraukan!"
Si pelayan menyingkir dengan
rasa sangsi, ia mengawasi Giok Han terus mendaki tangga loteng. Ruangan loteng
itu besar, bersih dan diperlengkapi dengan perabotan yang halus nan indah. Para
tamu yang sedang makan minum rata-rata berpakaian mentereng mewah, sebagai
tanda bahwa mereka orang-orang beruang. Seperti kawannya yang menghalangi di
bawah loteng, pelayan di atas lotengpun memandang rendah kepada Giok Han yang
berpakaian sederhana dan kotor. Sesudah beberapa lama duduk di situ, masih saja
tak seorang pelayan datang menghampirinya.
Giok Han jadi semakin
mendongkol. Selagi ia mempertimbangkan apa yang harus dilakukan, di tengah
jalan tiba-tiba terdengar suara ribut, disusul dengan suara tertawa seorang
wanita.
Giok Han duduk di pinggir
jendela Iantas saja melongok ke bawah. la melihat seorang perempuan dengan
rambut terurai dan muka serta pakaian berlepotan darah, sedang menari-nari di
tengah jalan sambil mencekal sebatang golok, sebentar menangis dan sebentar
tertawa. "Ah, orang gila," pikir Giok Han.
Lalu lintas terganggu, banyak
yang menonton dari sebelah kejauhan, ada yang ketakutan, ada pula yang
kelihatannya merasa kasihan, tapi tak seorangpun yang berani mendekati
perempuan sinting itu. Mendadak perempuan edan itu menuding merek Kim-hong lauw
dan bertepuk tangan sembari tertawa terpingkal-pingkal...
"Siangkoan loya !"
ia berteriak. "Biarlah kau berusia sejuta tahun, kaya dan mulia lengkap
semuanya. Aku si tua berlutut di sini, supaya Langit yang mempunyai mata,
melindungi kau seumur hidup!"
la berlutut dan membenturkan
kepalanya diatas tanah, sehingga jidatnya mengeluarkan darah. Tapi agaknya,
sedikitpun perempuan edan itu tak merasa sakit.
la terus manggut-manggutkan
kepala sembari berteriak-teriak: "Siangkoan Loya ! Di waktu siang, biarlah
kau mendapat segantang emas, di waktu malam segantang mutiara ! Kaya besar,
kaya-raya, ratusan anak, ribuan cucu."
Dari dalam rumah makan
sekonyong-konyong keluar seorang lelaki yang tangannya memegang kipas. Dilihat
dari gerak-geriknya lelaki itu seperti pengurus rumah makan.
"Peng Sieso !" ia
membentak. "Kalau mau jual lagak gila pergilah ke tempatmu. Pergi ! Jangan
mengacau di sini. Kau dengar ?"
Wanita itu tak menggubris
bentakan orang, ia masih terus berlutut sembari sesambatan. Si pengurus rumah
makan mengulapkan tangannya dan dari dalam rumah makan segera keluar dua orang
lelaki bertubuh tinggi besar kekar.
Seorang merampas golok di
tangan Peng Sieso, sedang yang seorang lagi mendorongnya dengan keras, sehingga
wanita itu terguling-guling jumpalitan ke tepi jalan.
Peng Sieso berdiri terpaku
dengan mulut ternganga, untuk sementara tak mengeluarkan sepatah kata. Mendadak
ia memukuli dadanya sendiri dengan kedua tangannya dan berteriak-teriak sembari
menangisi:
"Ohhh ! Sayangku !
Sungguh menyedihkan cara kebinasaanmu. Langit mempunyai mata, kau tidak mencuri
dan gegares daging ayam orang!"
"Kubacok kau jika kau
masih terus rewel !" bentak lelaki yang tadi merampas goloknya.
Peng Sieso tak menjadi jeri,
ia menangis semakin keras. Si pengurus rumah makan melirik semua penonton dan
ia mencapat kenyataan bahwa mereka semua mengunjukkan wajah tak puas. la
mengibaskan kipasnya dan tersenyum tawar, ia mengulapkan tangannya dan masuk
kembali ke dalam Kim-hong-lauw bersama dua orang anak buahnya yang bertubuh
tinggi besar.
Melihat lelaki gagah menghina
seorang wanita lemah, lagi pula wanita sinting, Giok Han sebenarnya sudah ingin
menyelak. Akan tetapi mengingat wanita itu adalah seorang tidak beres
pikirannya, sedapat mungkin ia menahan sabar.
Tiba-tiba ia mendengar
pembicaraan dua tamu yang duduk pada meja sebelah belakang. "Dalam urusan
ihi Siangkcan Loya keterlaluan." kata seorang di antaranya dengan
perlahan. "Apakah dia merasa enak hati sesudah mengambil jiwa manusia yang
mati karena tindasan pengaruhnya ?" Giok Han terkejut.
"Tak dapat kita terlalu
menyalahkan Siangkoan Loya," kata seorang lain. "Jika seorang
kehilangannya apa, tentu saja ia akan menanyakannya. Siapa suruh perempuan itu
berotak miring, membelek perut anaknya sendiri ?"
Giok Han tak dapat menahan
sabar lagi. Mendadak ia menengok ke belakang dan kedua orang itu kaget, segera
berhenti bicara.
Mereka itu, yang satu gemuk
dan yang lain kurus, mengenakan thungsha sutera yang mahal harganya dilihat
dari dandanan mereka, kedua orang ini adalah orang orang kaya.
Giok Han tahu kaum pedagang
paling sungkan banyak urusan dan jika ia menanya secara biasa mereka pasti tak
mau memberi keterangan. Berpikir begitu, ia berkata sambil memberi hormat:
"Sejak berpisah di Kwitang sudah berapa tahun kita tak bertemu muka, Apa jiewie
(tuan berdua) memperoleh banyak keuntungan ?"
Teniu saja mereka heran karena
memang tak mengenal Giok Han, Tapi sebagaimana biasa, seorang pedagang selalu
bersikap ramah tamah. Maka segera mereka balas hormat. "Boleh juga, terima
kasih," jawab mereka.
"Sekarang siauwte datang
kesini membawa selaksa tail perak." kata Giok Han. tujuanku adalah untuk
membeli barang, tapi karena belum mempunyai kenalan, sedang aku sendiri sangat
asing dengan keadaan di sini, aku masih merasa sangsi. Sekarang kebetulan
bertemu dengan kalian, aku tentu bisa minta pertolongan."
Mendengar "selaksa tahil
perak", wajah kedua orang itu lantas saja berseri-seri. "Tentu saja,
tentu saja," kata mereka dan mengundang Giok Han duduk semeja dengan
mereka.
Giok Han tidak berlaku
sungkan. "Tadi jiewie bercakap-cakap dan aku mendengar kata-kata tentang
mengambil jiwa manusia karena tindaan pengaruh," kata Giok Han.
"Bolehkah aku mengetahui,
urusan apakah itu ?"
Muka kedua pedagang itu
berobah. Waktu mereka mau menolak, Giok Han sudah mengulurkan kedua tangannya
memencet tangan mereka, hampir berbareng, kedua orang itu mengeluarkan teriakan
tertahan. Muka mereka jadi pucat pias. Mendengar teriakan itu beberapa pelayan
dan tamu segera menengok ke arah mereka.
"Tertawa !" bentak
Giok Han berbisik. Mereka tak berani membantah. Segera tertawa meringis,
melihat di situ tak terjadi apa-apa yang luar biasa, semua orang tidak
memperhatikan mereka lagi.
Kedua orang itu mengeluarkan
keringat dingin, tangan mereka ssolah-olah dijepit dengan jepitan besi, keras
dan menyakitkan sekali. "Dulu aku penjahat besar dan bisa bunuh manusia
tanpa berkedip. Sekarang aku sudah jadi orang baik-baik, dengan selaksa tahil
perak ingin membeli barang. Tapi sayang aku tak mempunyai uang. Aku ingin meminjam
dari jiewie, seorangnya lima ribu tahil..."
Mereka kaget. "Aku . . .
aku tak punya," jawab mereka hampir bersamaan.
"Baiklah," kata Giok
Han. "Tapi kalian harus menceritakan kepadaku bagaimana manusia itu yang
dipanggil Siangkoan Loya mengambil jiwa orang dengan menggunakan tindasan
pengaruh. Siapa yang menceritakan yang paling jelas, aku membebaskannya dari
tugas meminjamkan uang. Aku akan mencari orang lain sebagai gantinya."
Keruan saja kedua pedagang itu
manggut-manggut. "Baik, baik, baiklah," jawab mereka terburu-buru.
Giok Han mesem, hatinya geli
bukan main. Melihat si gemuk lebih pandai bicara dia bilang: "Yang gemuk
bicara lebih dulu baru yang kurus Siapa yang ceritanya tak jelas, dialah yang
harus meminjamkan uang padaku."
Sehabis berkata begitu, Giok
Han melepaskan cengkeramannya. Dibuka bungkusannya dan memperlihatkan isinya
yang hanya beberapa potong baju dan sebilah pedang pendek yang berkilauan. la
mengambil sumpit gading dari aias meja, sekali diketukkan pada pedangnya yang
dihunus separuh, sumpit itu menjadi empat potong. Keruan saja kedua pedagang
itu tambah ketakutan, keringat dingin mengucur cari sekujur tubuh. Hati mereka
berdebar-debar.
"Siauwya," kata si
saudagar gemuk. "jangan kuatir, aku akan menceritakan seterang-terangnya. Tanggung...
aku tanggung lebih jelas dari dia..."
"Mana boleh begitu?"
memotong si kurus. "Biarkan aku cerita lebih dulu, pasti lebih
jelas."
"Diam !" bentak Giok
Han. "Lebih dulu aku mau dengar cerita si gemuk ini !" dan tangannya
menunjuk si gemuk.
"Baik, baik," si
kurus ketakutan.
"Siauwya," kata Li
gemuk. "Biarlah aku mulai. Tapi aku mengharap supaya ceritaku
dirahasiakan, jangan sampai diketahui orang lain."
"Jika kau takut, sudahlah
! Biar dia saja yang bercerita !" kata Giok Han. Sambil berkata begitu dia
berpaling pada si kurus.
"Cerita, aku mau
cerita," kata si gemuk gugup dan tergesa-gesa. "Orang yang biasa
dipanggil Siangkoan Loya itu bernama Siang-koan Giok Lin, orang yang paling
kaya dalam kota ini. Dia berjuluk Hiat-sin-cu (Si Malaikat Darah). Disini ia
membuka rumah perjudian, juga rumah makan ini dan beberapa tempat usaha
merupakan toko-toko besar jadi miliknya. la seorang kaya berpengaruh besar,
pergaulannya luas, dianggap sebagai ahli silat nomor satu di seluruh Kang-souw.
la pun mewajibkan para pembesar negeri, pintu-pintu perguruan silat, atau para
pedagang becar, harus setiap bulannya membayar "pajak" padanya. Tapi
urusan itu aku tidak begitu jelas..."
"Ya, ya, aku tahu. Dia
hartawan kaya merangkap sebagai perampok besar !" kata Giok Han.
"Gedung Siangkoan Giok
Lin sudah besar dan luas, tapi belakangan ini sesudah memiliki gundik ke
sebelas ia ingin mendirikan sebuah gedung pula yang nama Cap-it-lauw (Ranggon
ke sebelas), untuk dijadikan tempat tinggal gundik ke sebelas itu. la bermaksud
mendirikan gedung baru di belakang gedungnya yang sudah ada dan tanah yang ia
penuju adalah kebun sayur Peng Sieei.
Kebun itu satu-satunya sumber
nafkah Peng Sieso dan suaminya, Ho Sun dan keluarganya berjumlah lima orang.
Siangkoan Loya memanggil Ho Sun mengatakan mau membeli tanah itu lima tahil
perak. Temu saja Ho Sun menolak. Siangkoan Loya menambah dan menanbah lagi
jumlah uang itu tamrai sepuluh tahil, tapi tetap ditolak Ho Sun.
Menurut Ho Sun, uang sangat
manis, biar seratus tahil sebentar saja akan habis di makan. Tapi kebun sayur
tak bisa habis. Asal mau mengeluarkan tenaga, keluarganya tak akan mati
kelaparan. Siangkoan Loya jadi gusar dan mengusir dia. Kemarin muncullah
peristiwa mencuri ayam." Si gemuk menyusut keringatnya.
Dia melanjutkan lagi. "Di
pekarangan belakang gedung Siangkoan Loya dipiara ratusan ekor ayam. Kemarin ia
kehilangan seekor. Pelayan-pelayan Siangkoan Loya mengatakan bahwa pencuri ayam
iiu anak kedua dan ketiga keluarga Ho. Mereka mencari di kebun sayur dan benar
saja di situ kedapatan banyak bulu ayam. Mentah-mentah Peng Sieso menolak
tuduhan itu.
la mengatakan anak-anaknya
baik-baik dan tak mungkin mencuri barang orang lain. la balas menuduh bahwa
bulu ayam itu sudah sengaja dilemparkan dari dalam tembok gedung Siangkoan
Loya. Orang-orang Siangkoan Loya mencari kedua anak Ho Sun, mereka menyangkal
mencuri ayam. "Eh, apakah pagi ini kau sudah makan?" ta-nya Siangkoan
Loya. Anak ketiga manggut-manggut:
"Makan dengan daging ayam
tentu enak ! " kata anak itu yang tak tahu urusan "Anak ini sudah
mengaku, kau masih bersikeras tak mau mengakui," kata Siangkoan Loya.
Lantas ia mengadu pada tiekoan dan beberapa pengawal tiekoan menangkap Ho Sun.
"Peng Sieso yakin
seyakin-yakinnya kedua puteranya tak nanti mencuri ayam, dan tahu memang
agaknya ingin sekali makan daging ayam" karenanya ia mengatakan kalau
makan dengan daging ayam tentu enak, itulah kata-kata anak-anak. la pergi ke
gedung Siangkoan Loya mencari keadilan. Tapi yang diperoleh pukulan dan
tendangan.