Dendam Sembilan Iblis Tua Bab 03 Pendekar Wanita Terhormat

Dendam Sembilan Iblis Tua Bab 03 Pendekar Wanita Terhormat
03 Pendekar Wanita Terhormat

“Teecu berlima merasa gembira sekali dan mendapat kehormatan besar yang tidak kami sangka-sangka dengan kunjungan supek, susiok dan su-kouw ke tempat kami. Teecu merasa yakin bahwa kunjungan sam-wi (anda bertiga) tentu bukan sekedar melancong, pasti membawa hal yang teramat penting. Kalau boleh teecu mengetahui, angin apakah yang meniup sam-wi datang berkunjung ini?”

Pek-bwe Coa-ong yang tadinya nampak gembira tertawa-tawa, kini memandang serius kepada lima orang murid keponakannya. Kemudian, menjawab pertanyaan Thai-kwi, dia berbalik bertanya.

“Apakah kalian berlima masih ingat, berapa lama sudah guru kalian, Siauw-bin Ciu-kwi meninggal dunia?”

Lima orang itu memandang heran mendengar pertanyaan tiba-tiba itu. “Kurang lebih sudah empat tahun, supek,” kata seorang di antara mereka.

“Dan kalian masih ingat bagaimana matinya guru kalian? Siapa pembunuh guru kalian itu?”

Kini Thai-kwi yang menjawab karena para sutenya nampak gentar menghadapi sikap supek yang berubah galak itu. “Tentu saja teecu masih ingat supek. Pembunuhnya adalah Pek-liong-eng dan Hek-liong-li.”

Tiba-tiba supek itu menggebrak meja sehingga mangkok-mangkok berloncatan ke atas. “Bagus! Murid-murid macam apa kalian ini? Tahu guru kalian dibunuh dua orang itu, dan kalian enak-enak saja di sini membuat nama besar, menumpuk harta, sama sekali tidak berusaha untuk membalas kematian guru!”

Lima orang kepala gerombolan itu saling pandang dan nampak pucat, akan tetapi Thai-kwi segera menjawab. “Supek tentu mengetahui jelas mengapa teecu berlima tidak berusaha membalas dendam. Tentu saja kami juga menaruh dendam sakit hati terhadap Pek-liong-eng (Pendekar Naga Putih) dan Hek-liong-li ('wanita Naga Hitam).

“Akan tetapi, kami tidak berdaya. Sedangkan mendiang suhu saja kalah oleh mereka, bagaimana mungkin kami dapat membalas dendam? Sebelum kami berhasil membalas dendam, tentu mereka berdua sudah membunuh kami! Kepandaian dua orang pendekar itu setinggi langit, teecu berlima sama sekali bukan lawan mereka. Bahkan baru satu-dua tahun yang lalu, paman guru Lam-hai Mo-ong dan bibi guru Tiat-thouw Kui-bo di istana kerajaan juga menjadi korban kelihaian Pek-liong-eng dan Hek-liong-li. Kalau mereka berdua saja tewas di tangan dua orang pendekar itu, apa yang dapat kami lakukan?”

Pek-bwe Coa-ong mengepal tinju. “Itulah yang membuat hatiku sakit bukan main! Pek-liong-eng dan Hek-liong-li itu agaknya hendak memusuhi kita Kiu Lo-mo! Pertama kali, mereka membunuh suheng Hek-sim Lo-mo, kemudian membunuh Siauw-bin Ciu-kwi dan paling akhir, membunuh Lam-hai Mo-ong dan Tiat-thouw Kui-bo. Empat orang di antara Lo-mo telah mereka bunuh! Kalau kita tidak cepat turun tangan membalas dendam, tunggu kapan lagi!”

Ang I Sian-li mengangguk-angguk. “Suheng benar. Dua orang muda sombong itu telah membunuh empat orang saudara kita. Sayang bahwa dua saudara kembar kita Lam-san Siang-kwi juga tewas di dalam pertempuran melawan pasukan pemerintah di daerah selatan. Di antara Kiu Lo-mo, tinggal kita bertiga. Sekaranglah saatnya kita membalas dendam!”

“Aku setuju!” kata Kim Pit Siu-cai dengan suaranya yang lembut. “Kalau kita bertiga menyatukan tenaga, ditambah dengan bantuan Thai-san Ngo-kwi dan anak buah mereka, tentu kita akan berhasil membalas dendam kepada Pek-liong-eng dan Hek-liong-li!”

Mendengar ucapan tiga orang datuk itu dan melihat sikap mereka, timbul keberanian dan kegembiraan dalam hati Thai-san Ngo-kwi. Mereka bersemangat lagi untuk membalas kematian para datuk itu. “Teecu sekalian siap untuk membantu sam-wi menghancurkan Pek-liong-eng dan Hek-liong-li!” kata mereka serempak.

“Bagus! Kalau begitu, tidak percuma kalian menerima ilmu dari mendiang guru kalian,” kata Pek-bwe Coa-ong. “Aku memang sengaja mengundang susiok dan su-kouw kalian, agar hari ini kami mengadakan pertemuan di sini. Kami membutuhkan bantuan banyak orang, dan hanya anak buah kalian yang dapat kami percaya.

“Akan tetapi, mulai sekarang, mereka harus diperintah dengan tangan besi agar tidak sembarangan dan tidak boleh bertindak sendiri-sendiri seperti ketika aku datang tadi. Mulai sekarang, kalian berlima dan anak buah kalian harus mentaati semua siasat yang akan kami rencanakan. Menghadapi dua orang macam Pek-liong-eng dan Hek-liong-li tidak bisa dilawan dengan kekuatan dan kekasaran semata. Harus menggunakan siasat yang matang.”

“Supek, kami juga pernah menyelidiki keadaan mereka untuk mencari tahu dan untuk melihat kemungkinan kami membalas dendam. Akan tetapi apa yang kami dapatkan tentang mereka membuat kami jerih dan tidak berani turun tangan karena hal itu sama saja dengan membunuh diri,” kata pula Thai-kwi.

“Ceritakan, apa yang kauketahui dari penyelidikanmu itu?” tanya Kim Pit Siu-cai.

“Pek-liong-eng bernama Tan Cin Hay, kini berusia tigapuluhan tahun dan dia tinggal di dusun Pat-kwa-bun di dekat Telaga See-ouw di Hang-kouw. Dia tinggal menyendiri di dalam rumahnya yang besar dan kokoh kuat, bersama enam orang pelayan pria yang rata-rata memiliki ilmu silat yang tangguh sekali. Selain Pek-liong-eng sendiri sakti dan enam orang pelayannya lihai, juga rumahnya yang kokoh kuat itu lebih sukar diserbu dari pada sebuah benteng! Rumah itu penuh dengan jebakan-jebakan rahasia yang amat berbahaya.”

“Hemm, dan bagaimana dengan Hek-liong-li ?” tanya Ang I Sian-li.

“Kami juga sudah melakukan penyelidikan terhadap wanita itu. Hek-liong-li bernama Lie Kim Cu. Ia amat cantik dan tinggal menyendiri pula di kota Lok-yang, di sebelah ujung barat. Seperti juga rumah Pek-liong-eng, rumah wanita itu kokoh kuat dan sukar ditembus, penuh alat-alat rahasia, jebakan maut, dan selain wanita sakti itu yang sukar dikalahkan, ia masih dibantu sembilan orang gadis pelayan yang rata-rata memiliki ilmu silat yang lihai.”

Pek-bwe Coa-ong mengangguk-angguk. “Bagus laporanmu itu menunjukkan bahwa kalian memang selama ini tidak tinggal diam dan sudah menyelidiki keadaan dua orang musuh besar itu. Kita harus mengatur siasat dan tidak putus asa dengan kenyataan tentang kekuatan mereka itu. Kita harus dapat menghancurkan mereka, dan kita dapat menggunakan siasat melalui sahabat-sahabat mereka.

“Sian-li, bagaimana dengan hasil penyelidikanmu tentang kematian Lam-hai Mo-ong dan Tiat-thouw Kui-bo? Siapa saja sahabat-sahabat baik Pek-liong-eng dan Hek-liong-li yang patut masuk catatan kita?”

“Sudah kuselidiki, suheng. Aku tidak melibatkan para pangeran, apa lagi keluarga kaisar. Akan tetapi, jelas bahwa dua orang musuh besar kita itu bekerja sama dengan dua orang yang kemudian menjadi sahabat baik mereka. Bahkan kini, dua orang itu telah menjadi suami isteri! Mereka adalah Cian Hui atau Cian Ciang-kun yang bekerja sebagai penyelidik, sedangkan orang kedua yang kini menjadi isterinya bernama Cu Sui In, keponakan Ciok Taijin.”

“Hemm, yang pria seorang panglima dan yang wanita keponakan seorang pembesar kota raja?” Pek-bwe Coa-ong mengerutkan alisnya.

“Benar, akan tetapi mereka bukan kerabat istana, dan orang yang bernama Cian Hui itu sudah banyak mencelakakan kawan-kawan di dunia kang-ouw. Sudah kuselidiki ilmu kepandaian silat suami isteri itu.

“Suami itu ilmu silatnya tidak perlu dikhawatirkan, akan tetapi dia cerdik bukan main. Dan sang isteri lebih lihai dari suaminya karena ia murid Kun-lun-pai. Akan tetapi juga tidak perlu dikhawatirkan karena tingkat kepandaiannya tidak lebih tinggi dari pada tingkat seorang di antara Thai-san Ngo-kwi ini.” Wanita cantik baju merah itu mengakhiri keterangannya.

“Kalau begitu, tidak perlu dikhawatirkan benar. Hanya mereka harus dipancing keluar, tidak perlu kita membikin kacau di istana. Di sana banyak sekali jagoan yang pandai. Bahkan di kota raja pun kita tidak boleh membikin ribut agar usaha kita membalas dendam kepada Pek-liong-eng dan Hek-liong-li tidak terganggu. Dan bagaimana dengan hasil penyelidikanmu tentang kematian Siauw-bin Ciu-kwi, Siu-cai?”

Kim Pit Siu-cai tersenyum. “Tidak sukar menyelidiki tentang peristiwa yang terjadi empat tahun yang lalu itu. Suheng Siauw-bin Ciu-kwi memang tewas di tangan Pek-liong-eng dan Hek-liong-li, dan yang membantu dua orang muda sombong itu adalah kakak beradik she Kam. Merekalah yang menggagalkan suheng mendapatkan harta karun, bahkan menemui kematiannya. Kam Sun Ting dan Kam Cian Li itu kakak beradik ahli renang dan ahli selam. Mereka bahkan kabarnya juga kekasih Pek-liong-eng dan Hek-liong-li. Kini mereka hidup dengan makmur dan kaya raya sebagai pedagang kain di Nam-cang.”

“Bagus! Tentu kita dapat mempergunakan mereka. Bagaimana kepandaian silat mereka?”

“Ah, biasa-biasa saja. Mereka bukan ahli silat, melainkan ahli menyelam.”

“Nah, sekarang kuceritakan hasil penyelidikanku tentang kematian suheng Hek-sim-Lo-mo enam tahun yang lalu. Dan biarpun kematian suheng juga di tangan Pek-liong-eng dan Hek-liong-li, namun dalam pertentangan itu, yang membantu Pek-liong-eng dan Hek-liong-li adalah dua orang muda yang sekarang telah menjadi suami isteri. Yang pria bernama Song Tek Hin, dan yang wanita bernama Su Hong Ing, murid Bu-tong-pai. Akan tetapi ilmu silat suami isteri ini tidak ada artinya, dan sudah kuselidiki keadaan mereka. Merekapun merupakan orang-orang penting yang dapat kita pergunakan untuk menjebak dua orang musuh besar kita.”

Tiga orang datuk itu bersama Thai-san Ngo-kwi lalu mengadakan perundingan, mengatur rencana siasat untuk membalas dendam mereka terhadap Pek-liong-eng dan Hek-liong-li!

Y

Semua orang di kota Lok-yang, bahkan sampai jauh di seluruh daerah Lok-yang, mengenal belaka siapa yang tinggal di rumah gedung besar di sudut barat kota Lok-yang itu. Semua orang tahu siapa adanya gadis cantik jelita gagah perkasa yang mereka sebut Liong-lihiap (Pendekar Wanita Naga) atau Liong-li (Wanita Naga) itu.

Ia adalah Lie Kim Cu yang julukannya sebetulnya adalah Hek-liong-li (Pendekar Wanita Naga Hitam). Akan tetapi, orang-orang yang melihat wajah yang cantik jelita dan manis itu, kulit yang putih mulus, merasa sungkan menyebutnya Hek-liong-li. Kata “Hitam” itu agaknya tidak pantas untuk seorang gadis yang kulitnya putih mulus kemerahan seperti itu, walaupun ia selalu mengenakan pakaian sutera hitam. Pakaian yang membuat kulitnya makin nampak putih mulus.

Biarpun Hek-liong-li Lie Kim Cu atau lebih terkenal dengan Liong-li saja usianya sudah duapuluh delapan tahun, namun ia belum menikah. Iapun bukan seorang gadis yang perawan, karena sejak muda sekali ia sudah terjatuh ke tangan seorang pangeran di Lok-yang, diperkosa dan kemudian dijual kepada seorang mucikari sehingga ia dipaksa menjadi seorang pelacur!

Ia berhasil membebaskan diri dari cengkeraman mucikari yang menjadikannya sumber uang itu, dan setelah mempelajari ilmu silat tinggi dari Huang-ho Kui-bo, seorang datuk sesat yang sakti, ia membalas dendam kepada pengeran itu dan kepada sang mucikari. Akan tetapi ia telah kehilangan seluruh keluarganya.

Mendiang ayahnya adalah seorang bangsawan, akan tetapi karena keluarganya sudah habis, Liong-li hidup seorang diri, menjadi pendekar wanita dan petualang yang sebentar saja membuat nama besar bersama Pek-liong-eng yang kemudian menjadi sahabat dan rekannya yang setia walaupun mereka tinggal berpisah agak jauh.

Sebagai seorang pendekar wanita, Liong-li terkenal, ditakuti para penjahat dan disegani para pendekar. Ia bukan seorang petualang asmara, bukan pengejar cinta gairah berahi, akan tetapi, apabila bertemu seorang pria yang berkenan di hati dan saling menyukai, iapun tidak pantang untuk mengadakan hubungan cinta dengan pria itu asalkan dasarnya suka sama suka dan tidak ada ikatan apapun antara mereka. Hanya merupakan petualangan sepintas saja.

Karena ini, banyak pria yang jatuh cinta kepadanya dan menderita patah hati karena terpaksa mereka berpisah lagi sesuai dengan janji yang sebelumnya dituntut oleh Liong-li, yaitu tidak ada ikatan apapun antara mereka!

Tak dapat diragukan lagi, orang yang paling dicintanya, paling disayangnya di dunia ini adalah Pek-liong-eng Tan Cin Hay, rekannya yang sudah sering berjuang bahu-membahu, saling bantu, saling bela dengan taruhan nyawa dalam berbagai petualangan. Seperti juga Pek-liong-eng, Liong-li juga rela mengurbankan nyawanya kalau perlu demi menolong rekannya itu!

Hubungan cinta kasih antara mereka melebihi cinta kasih antar saudara bahkan antar kekasih! Anehnya, kalau Liong-li tidak pantang menyerahkan diri dalam buaian cinta bersama seorang pria yang berkenan di hatinya, dengan Pek-liong hubungannya hanyalah hubungan batin! Belum pernah mereka itu bermesraan, apa lagi berhubungan badan!

Memang aneh, dan keduanya juga merasa aneh, namun nyatanya demikian dan mereka berdua seolah takut kalau sampai berhubungan badan, maka hubungan itu bahkan akan melenyapkan atau mengurangi hubungan batin mereka yang saling menyayang dan saling membela!

Lebih aneh akan tetapi nyata pula, tiap kali ia melihat Pek-l.iong berhubungan cinta dengan wanita lain, ia sama sekali tidak merasa cemburu atau iri karena ia yakin sedalam-dalamnya bahwa Pek-liong-eng hanya menaruh cinta nafsu saja kepada wanita lain, sedangkan cinta sejati pendekar itu hanya untuk ia seorang! Ia rasakan dan yakin benar!

Liong-li memang seorang wanita yang cantik jelita. Usianya membuat ia menjadi seorang wanita yang masak. Wajahnya bulat telur dengan dagu meruncing sehingga nampak manis sekali. Mulutnya kecil, dengan bibir yang merah membasah selalu, tanda bahwa ia sehat dan belahan bibir lembut itu selalu cerah mengandung senyum, dihias lesung pipi di kanan kiri dan sebuah tahi lalat di bawah mata kiri.

Ilmu kepandaiannya tinggi, bahkan semakin meningkat selama ini, karena setiap hari ia berlatih diri dengan para pelayannya yang menjadi lawan berlatihnya. Juga ia tekun sekali mempelajari setiap jurus yang telah dikuasainya, untuk dicari perkembangannya dan selalu memperbaikinya dengan menutup bagian-bagian yang lemah.

Seperti Pek-liong-eng yang mempunyai sebatang pedang pusaka yang disebut Pek-liong-pokiam (Pedang Pusaka Naga Putih), maka Liong-li juga memiliki sebatang pedang pusaka yang disebut Hek-liong-pokiam (Pedang Pusaka Naga Hitam). Dan bersama Pek-liong-eng, Long-li menciptakan ilmu pedang yang mereka namakan Sin-liong-kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Sakti) yang dapat mereka mainkan secara berpisah maupun digabung menjadi satu.
Selain ilmu pedang yang mereka ciptakan bersama itu, Liong-li juga menguasai ilmu pedang istimewa Hek-liong-kiam-sut. Ilmu silatnya tangan kosong juga banyak macamnya, akan tetapi yang membuat ia disegani adalah ilmu silatnya tangan kosong yang disebut Bi-jin-kun (Silat Wanita Cantik) yang gerakannya lemah gemulai dan cantik indah, namun menyembunyikan bahaya maut bagi lawan! Juga ia menguasai Lie-eng-pouw (Langkah Enam Bintang), yang disebut langkah ajaib karena dengan langkah-langkah yang aneh itu ia mudah mengelabui lawan dan dapat menyelamatkan diri dari hujan senjata pengeroyok.

Dalam petualangannya bersama Pek-liong-eng, Liong-li telah mendapatkan harta karun yang membuat ia menjadi kaya raya. Rumah gedung amat indah dan penuh dengan alat rahasia untuk melindungi diri. Rumahnya bertembok putih bersih karena sering dikapur, dengan jendela dan pintu dicat hijau muda, nampak segar dan bersih menyenangkan, apa lagi dihias dengan tanaman bunga-bunga yang membuat rumah itu dikepung daun-daun hijau dan bunga-bunga beraneka warna.

Di depan rumahnya terdapat pekarangan yang luas, dan di tengah pekarangan itu nampak sebuah kolam ikan yang luas, yang ditumbuhi teratai merah dan putih, dan di tengah kolam dipasangi arca yang indah sekali buatannya. Arca seorang wanita cantik berpakaian tipis tembus pandang menunggang seekor angsa!

Keindahan bentuk tubuh wanita dan angsa itu sungguh serasi. Di sebelah kiri dan belakang gedung itu terdapat taman bunga yang mengumpulkan segala macam bunga yang berasal dari luar Lok-yang dan yang terpelihara baik. Perumahan itu dikelilingi pagar tembok yang dua meter tingginya, dan di atas pagar tembok dipasangi tombak-tombak merah. Indah dan juga megah angker!

Liong-li tinggal di gedung mungil itu ditemani sembilan orang pelayannya, semuanya wanita berusia antara duapuluh lima sampai tigapuluh tahun. Para pelayan ini mengenakan pakaian yang beraneka warna, dan mereka nampak cantik dan gesit, karena mereka telah menerima latihan ilmu silat yang lumayan dari majikan mereka.

Mereka itu mempunyai nama dan dikenal baik oleh Liong-li akan tetapi Liong-li lebih sering menyebut mereka dengan warna pakaian mereka saja, seperti Ang-hwa (Bunga Merah), Pek-hwa (Bunga Putih), atau Lan-hwa (Bunga Biru). Dan sembilan orang wanita pelayan ini juga berwatak gagah, dan amat setia kepada Liong-li yang mereka sayang dan mereka hormati sebagai majikan yang royal dalam memberi hadiah, dan guru yang amat baik.

Liong-li berjiwa petualang, maka tentu saja ia tidak betah kalau harus tinggal saja di rumah, walaupun rumahnya indah, taman bunganya indah dan para pelayannya selain pandai silat, pandai pula bermain musik, bernyanyi dan menari. Liong-li sendiri merupakan seorang ahli dalam kesenian, dan seringkali ia dibantu sembiIan orang pelayannya bersenang-senang dan bermain musik di tamannya yang indah di waktu bulan purnama. Kalau sedang begitu, mereka merupakan sepuluh orang bidadari yang cantik dan ahli seni, sedikit pun tidak membayangkan bahwa mereka adalah sepuluh orang wanita yang amat berbahaya bagi siapa saja yang berniat jahat terhadap mereka.

Mungkin karena belum berumah tangga, tidak mempunyai suami dan anak, maka Liong-li kadang-kadang keluar rumah dan makan di rumah makan. Pada hal ia sendiri ahli masak, dan para pelayannya juga pandai masak. Ia menghendaki kesegaran di luar, melihat kehidupan di luar. Bahkan ada kalanya ia tidur di sebuah rumah penginapan, meninggalkan kamarnya sendiri yang jauh lebih indah!

Pada suatu pagi yang indah, Liong-li sudah keluar dari rumahnya. Kepada para pelayannya ia mengatakan bahwa ia hendak pergi berjalan-jalan ke kota. Begitu keluar dari rumah, di sepanjang jalan raya hampir setiap orang tersenyum atau mengangguk kepadanya, ada pula yang mengangkat kedua tangan memberi hormat.

Liong-li memang merupakan seorang wanita yang populer, disuka dan dikagumi semua orang baik-baik, disegani dan ditakuti para penjahat. Bahkan seorang perwira keamanan yang sedang lewat menunggang kuda, begitu melihat Liong-li berjalan seorang diri di tepi jalan, cepat memberi hormat seperti bertemu dengan seorang atasannya!

Liong-li membalas setiap salam orang dengan senyum dan anggukan kepala. Ia pagi itu nampak segar, bagaikan setangkai bunga yang masih basah oleh embun bermandikan cahaya matahari pagi. Berseri dan semerbak.

Rambutnya yang panjang hitam dan gemuk itu digelung ke atas, dilakukan oleh seorang pelayannya yang paling ahli dalam hal membuat sanggul, dan rambutnya yang disanggul tinggi itu dihias jepitan dan tusuk sanggul perak dengan mainan seekor naga kecil di atas bunga teratai. Pakaiannya dari sutera tipis sehingga pakaian dalamnya membayang di sebelah dalam, seluruh pakaian itu dari sutera berwarna hitam sehingga nampak betapa kulit leher dan tangannya putih mulus. Matanya yang tajam kadang mencorong itu nampak ramah berseri setiap kali bertemu orang dan menerima salam mereka.

Sungguh aneh betapa seorang wanita seperti ini belum juga berumah tangga, pada hal banyak sekali perjaka yang bangsawan dan hartawan tergila-gila kepadanya. Akan tetapi, siapa orangnya berani melamar Liong-li, kalau gadis itu tidak mengulurkan tangannya? kalau sekali saja ia menjulurkan tangan, tentu akan ada ratusan pasang tangan yang akan menyambutnya penuh gairah. Liong-li memiliki segalanya. Kecantikan, kelihaian, kekayaan, nama baik dan kepandaian bermacam-macam.

Bau sedap yang keluar dari sebuah rumah makan menarik perhatian Liong-li dan membuat perutnya berkeruyuk lapar. Pagi tadi ia memang menolak hidangan sarapan pagi dari pelayannya dan memang ia bermaksud untuk makan pagi di rumah makan yang paling dulu menarik seleranya.


Rumah makan Lok-hwa itu merupakan rumah makan besar, satu di antara rumah makan langganannya. Ketika ia memasuki rumah makan itu dengan langkah santai, dua orang pelayan tua yang mengenalnya segera menyambutnya dengan ramah.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar