Dendam Sembilan Iblis Tua Bab 02 Perjamuan Dedengkot Iblis

Dendam Sembilan Iblis Tua Bab 02 Perjamuan Dedengkot Iblis
02 Perjamuan Dedengkot Iblis

Mendengar ancaman itu, lima orang pemburu itu semakin marah. Tahulah mereka bahwa mereka berhadapan dengan seorang wanita iblis yang amat aneh dan kejam, seorang penculik bayi dan pembunuh.

“Serahkan bayi itu dan menyerahlah, kalau tidak ingin kami bunuh!” bentak mereka.

“Hemm, aku tidak banyak waktu untuk melayani kalian. Membunuh kalianpun tidak ada harganya!” kata wanita itu dan sekali tubuhnya bergerak, ia telah meloncat jauh dan tiba di hutan itu.

Pada saat itu, dua orang pemburu lain keluar dari dalam hutan karena mereka baru saja pulang memasang jerat. Melihat lima orang rekan mereka mengejar seorang wanita cantik yang memondong bayi, mereka tahu bahwa pasti ada sesuatu yang tidak beres dengan wanita itu dan merekapun menghadang di depan wanita itu sambil melintangkan tombak mereka.

“Berhenti dulu!” seru mereka.

Melihat dua orang kawan mereka, lima orang itu berteriak-teriak. “Iblis wanita itu telah membunuh A-ciu dan isterinya dan menculik anak mereka!”

Dua orang pemburu yang memegang tombak itu terkejut bukan main dan tentu saja mereka sudah melintangkan tombak dan mengancam sehingga wanita itu kini berhenti lagi. Akan tetapi ia masih tersenyum-senyum ketika akhirnya lima orang pengejarnya tadi tiba di situ dan tujuh orang pemburu mengepungnya dengan senjata di tangan dan sikap bengis mengancam.

“Agaknya kalian memang sudah bosan hidup,” katanya santai saja.

“Engkau yang bosan hidup, iblis betina jahat!” bentak seorang pemburu termuda yang sudah tak dapat menahan kemarahannya. Dari belakang wanita itu, dia membacokkan goloknya ke arah kepalanya.

Wanita itu nampaknya tidak tahu bahwa dirinya diserang dari belakang, akan tetapi begitu golok menyambar dekat kepalanya dari atas, tubuhnya tiba-tiba miring dan berputar, dan begitu golok lewat menyambar di pinggir tubuhnya, tangan kanannya bergerak menampar, jari-jari tangannya mengenai pelipis penyerang itu dan diapun roboh terpelanting dan berkelojotan sekarat! Wanita itu tersenyum, tangan kirinya memondong dan mendekap bayi yang masih menangis, dan menghadapi enam orang pemburu yang lain dengan tangan kanan yang kosong saja.

Enam orang pemburu sudah menyerangnya dari segala jurusan. Namun, tubuh wanita berpakaian merah itu sungguh gesit bukan main. Bagaikan seekor burung merah, tubuhnya berkelebatan di antara gulungan sinar golok dan tombak, menyelinap dan tak pernah ada senjata mampu menyentuh ujung, baju atau ujung rambutnya.

Sambil berkelebatan, tangan kanannya membagi-bagi tamparan dan setiap kali ada pemburu yang kena ditampar, tentu terpelanting roboh dan tidak dapat bangkit kembali karena tewas seketika. Dalam waktu beberapa gebrakan saja, tujuh orar;g pemburu itu sudah roboh semua. Tewas!

Dan wanita itu berlenggang memasuki hutan, mendaki bukit. Sebentar saja lenyap ditelan pohon-pohon, dan hanya tangis bayi itu saja yang menjadi petunjuk ke arah mana ia pergi.

Tujuh orang pemburu yang lain datang mengejar dari perkampungan mereka. Mereka itu terkejut bukan main melihat mayat kawan-kawan mereka berserakan. Dengan hati gentar mereka mencoba untuk mengikuti jejak wanita itu dan akhirnya mereka menemukan bayi putera rekan mereka yang tadi diculik. Bayi itu telah tewas dengan leher terluka bekas gigitan dan hisapan!

Gegerlah mereka dan dengan hati duka, marah dan juga takut mereka mengurus jenazah rekan-rekan mereka. Tahulah para pemburu itu bahwa wanita baju merah itu tentu seorang iblis betina, seorang wanita yang melatih ilmu sesat dan mengorbankan nyawa dan darah anak-anak bayi. Mereka tidak dapat berbuat apa-apa karena maklum bahwa mereka bukanlah lawan iblis betina itu, apa lagi iblis itu lenyap tanpa meninggalkan bekas lagi.

Para pemburu itu menduga benar. Wanita yang nampak cantik pesolek itu memang seorang iblis betina, seorang datuk sesat yang namanya pernah menggegerkan dunia kang-ouw di selatan. Ia berjuluk indah sekali, yaitu Ang I Sian-li (Dewi baju merah), seolah-olah ia seorang dewi yang selain cantik jelita juga berwatak mulia!

Pada hal, ia seorang di antara Kiu Lo-mo (Sembilan Iblis Tua) yang tersohor itu, dan kejamnya tidak kalah oleh rekan-rekannya. Ia juga hidup kaya raya di pegunungan selatan, dan sudah lama tidak pernah muncul di dunia kang-ouw. Kini, begitu muncul, ia telah memperlihatkan kekejaman yang mendirikan bulu roma, hanya untuk memuaskan “kehausan” akan darah bayi untuk memperkuat ilmunya!

Y

Thai-san Ngo-kwi adalah lima orang tokoh kang-ouw yang sudah lama berkuasa di sekitar Pegunungan Thai-san, mengepalai para penjahat yang jumlahnya tidak kurang dari seratus orang! Pekerjaan mereka adalah menguasai jalan-jalan dan dusun-dusun di sekitar pegunungan itu. Kalau ada orang lewat di jalan yang mereka kuasai, maka orang lewat itu harus membayar pajak, kalau tidak ingin disiksa atau dibunuh.

Dan para kepala dusun juga membayar pajak kepada mereka kalau tidak ingin dusunnya diobrak-abrik. Dari hasil pemerasan dan perampokan inilah mereka hidup, bahkan Thai-san Ngo-kwi dapat hidup cukup mewah karena di beberapa kota di kaki gunung itu, mereka juga menguasai rumah-rumah judi dan rumah-rumah pelesir.

Mereka sendiri selalu tinggal di sarang mereka, di puncak Bukit Hitam, yaitu satu di antara puluhan buah bukit di Pegunungan Thai-san. Di puncak Bukit Hitam itu terdapat perkampungan mereka, dan di tengah-tengah berdiri bangunan besar yang cukup mewah, tempat tinggal Thai-san Ngo-kwi yang tidak pernah berkeluarga itu.

Bangunan ini dikelilingi bangunan-bangunan lain yang menjadi tempat tinggal anak buah mereka yang jumlahnya seratus orang lebih. Juga tidak seorangpun di antara anggauta mereka itu diperbolehkan berkeluarga. Perkampungan para penjahat itu dikelilingi pagar tembok yang tebal dan tinggi, seperti sebuah benteng saja, dan di pintu gerbang siang malam selalu dijaga!

Thai-san Ngo-kwi merupakan lima orang bersaudara seperguruan dan mereka itu rata-rata memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi dan kuat. Usia mereka dari tigapuluh lima sampai empatpuluh lima tahun dan mereka itu dikenal dari yang pertama sampai yang ke lima sebagai Thai-kwi (Setan Pertama), Ji-kwi (Setan Kedua), Sam-kwi (Setan Ketiga), Su-kwi (Setan Keempat) dan Ngo-kwi (Setan Kelima).

Selain lima orang yang memiliki ilmu silat dahsyat dan kuat itu, juga anak buah mereka yang jumlahnya banyak merupakan suatu kekuatan yang disegani lawan. Karena itu, Thai-san Ngo-kwi dapat merajalela tanpa ada yang berani menentang mereka.

Pada pagi hari itu, hari yang istimewa di mana terjadi hal-hal menyeramkan di kaki pegunungan sebelah selatan karena munculnya Kim Pit Siu-cai dan Ang I Sian-li, di sarang gerombolan penjahat itupun terjadi hal yang aneh. Matahari telah naik agak tinggi, telah mengusir embun dan hawa dingin sehingga belasan orang anak buah gerombolan yang berjaga di pintu gerbang, tidak lagi kedinginan.

Api unggun sudah dipadamkan dan mereka duduk berjemur di bawah sinar matahari pagi yang hangat lembut sambil bercakap-cakap. Pintu gerbang sudah sejak tadi dibuka dan para anggauta gerombolan sudah berlalu lalang keluar masuk.

Tiba-tiba para penjaga itu memandang keluar dan belasan orang itu segera bangkit berdiri dan menghadang di pintu gerbang, memandang kepada seorang pria yang entah dari mana datangnya, tahu-tahu telah berada di depan pintu gerbang itu. Hal ini sungguh merupakan suatu keanehan.

Bagaimana mungkin ada orang dapat sampai ke pintu gerbang itu? Pada hal, di bawah bukit sana terdapat banyak anak buah gerombolan dan orang ini pasti telah dihadang sebelum dapat tiba di pintu gerbang! Ataukah orang ini mengambil jalan melalui hutan-hutan dan sengaja bersembunyi, menyelundup sampai ke situ.

“Heii, orang tua! Siapa engkau dan mau apa engkau datang ke sini?” bentak seorang anggauta gerombolan yang mukanya bopeng bekas cacar. “Hayo cepat pergi dari sini kalau tidak ingin kupenggal batang lehermu!”

“Tidak, dia harus berlutut dan minta-minta ampun, lalu kita tangkap dia dan seret dia menghadap pimpinan!” kata orang kedua yang mukanya hitam.

Kakek itu berdiri di depan mereka. Seorang kakek yang usianya enampuluh lima tahun, rambut dan kumisnya sudah putih semua, nampak tua dan ringkih, dengan pakaian yang agak kusut. Kakek ini memegang sebatang tongkat berbentuk ular.

Kalau tongkat itu dari kayu yang diukir, maka sungguh pandai pengukirnya karena mirip ular benar-benar. Gagangnya menjadi kepala ular dan ujungnya menjadi ekor ular.

Ketika dua orang anggauta gerombolan itu mengeluarkan ucapan kasar dan menghina kepadanya, kakek itu memandang kepada mereka dengan sinar mata mencorong, dan beberapa kali, secara aneh sekali, lidah kakek itu menjilat bibir sendiri dengan gerakan cepat, mengingatkan orang akan kebiasaan seekor ular yang suka menjilat bibir dengan lidah secara cepat. Lidah itu hanya nampak sekejap saja, menjulur ke luar dan lenyap lagi ke balik bibir.

Si bopeng dan si muka hitam kini melangkah lebar menghampiri kakek itu.

“Kami tidak menyukai matamu itu! Hayo cepat berlutut dan minta ampun sebelum kami congkel keluar kedua mata setanmu itu!” bentak pula si bopeng, dan kedua orang itu sudah mengangkat golok mereka mengancam dengan sikap bengis. Kawan-kawan mereka hanya menonton saja karena mereka tidak memperdulikan seorang kakek yang tidak mengesankan itu.

Setelah memandang kepada dua orang itu dengan mata mencorong, kakek itu yang berdiri bersandar pada tongkatnya, berkata lirih. “Heeemmm, Thai-san Ngo-kwi memelihara dua ekor anjing buduk yang tidak ada gunanya ini, sungguh merugikan saja!”

Mendengar ucapan kakek itu, si bopeng dan si muka hitam tentu saja menjadi marah bukan main. Orang ini malah berani memaki mereka sebagai dua ekor anjing buduk!

“Tua bangka yang bosan hidup! Kucincang kau!” bentak si muka bopeng sambil mengayun goloknya.

“Buntungi kaki tangannya, penggal lehernya!” teriak si muka hitam yang juga sudah menyerangnya. Dua orang anak buah gerombolan ini memang sudah terbiasa menggunakan kekerasan atau membunuh orang tanpa alasan yang kuat.

Akan tetapi kakek itu agaknya sama sekali tidak perduli akan serangan dua orang kasar itu. Kembali lidahnya mencuat keluar lalu masuk kembali, dan kini mulutnya menyeringai dan mengeluarkan suara mendesis. Uap keabuan menyambar keluar, tersembur dari mulut yang menyeringai itu dan mengenai muka si bopeng dan si muka hitam. Mereka itu terhuyung, golok mereka terlepas, lalu terpelanting roboh, berkelojotan dan tewas dengan muka berubah merah melepuh!

Para penjaga lainnya terkejut dan mereka berteriak-teriak marah. Mendengar teriakan mereka, para anggauta gerombolan yang berada di dalam dan di luar pintu gerbang, datang berlarian dan mereka semua marah melihat betapa dua orang rekan mereka tewas oleh seorang kakek asing. Kini puluhan orang anggauta gerombolan itu mengepung si kakek dengan senjata di tangan, agaknya siap untuk menghancurkan tubuh kakek itu dengan pengeroyokan mereka.

“Bunuh tua bangka ini!”

“Siapakah engkau yang lancang berani mengacau di sini?” bentak yang lain.

Akan tetapi karena semua orang sudah marah dan siap menyerang, kakek itu tidak menjawab, melainkan mengangkat tongkatnya dan menempelkan gagang tongkat itu ke mulutnya. Ketika dia mengembungkan kedua pipinya, terdengarlah suara menggetar lirih dan tinggi, hampir tidak terdengar dan yang terdengar hanya suara desis mengerikan.

Suara ini memanjang, berhenti sebentar, mulai lagi, dan karena semua orang tidak tahu apa artinya ini, perbuatan dan sikap kakek itu membuat mereka sejenak tertegun dan tidak melanjutkan serangan mereka. Akan tetapi, karena tidak terjadi apa-apa, mereka menganggap kakek itu hanya berlagak saja.

“Bunuh dia!”

“Tidak, tangkap dan hadapkan pimpinan!”

“Siksa dia yang telah membunuh dua orang kawan kita!”

Kini puluhan buah senjata tajam, golok, pedang dan tombak, menyambar-nyambar dengan mengancam di sekeliling kakek itu. Namun dia tetap tenang saja dan tiba-tiba, sekali tubuhnya bergerak, nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu kakek itu sudah lenyap dari dalam kepungan puluhan orang itu! Tentu saja semua orang terkejut dan ketika mereka mencari-cari, ternyata kakek itu telah berdiri jauh di luar kepungan, di luar pintu gerbang dalam jarak limapuluh meter!

Melihat ini, semua orang menyerbu keluar untuk mengejar dan menyerang kakek itu. Akan tetapi kakek itu sama sekali tidak melarikan diri, bahkan menghadapi para penyerbu sambil mengangkat-angkat tongkatnya, dan kadang-kadang meniup gagang tongkat yang berbentuk kepala ular itu.

Setelah tiba dekat pria itu, semua orang terbelalak dan serbuan mereka terhenti tiba-tiba. Mereka memandang ke atas tanah dan melihat betapa di depan dan kanan kiri kakek itu, nampak ratusan ekor ular merayap di atas tanah, berlenggang-lenggok menyerbu ke arah mereka! Kakek itu, ternyata dapat memanggil barisan ular dan menggerakkan barisan ular itu untuk menghadapi para anak buah gerombolan!

Biarpun hati mereka merasa ngeri melihat munculnya banyak sekali ular itu, namun anak buah gerombolan penjahat itu tentu saja tidak takut terhadap ular, apa lagi banyak di antara ular-ular itu kecil saja, sebesar ibu jari kaki dan yang paling besar sebetis orang. Mereka menggerakkan senjata dan menyambut ular-ular itu dengan serangan!

Beberapa ekor ular terbabat senjata tajam dan mati, akan tetapi segera terdengar teriakan-teriakan ketika beberapa orang anak buah gerombolan terkena gigitan ular-ular yang seperti nekat itu. Dan ternyata bahwa ular-ular itu sebagian besar adalah ular beracun!

Dalam waktu singkat saja, ada puluhan ular mati, akan tetapi juga ada limabelas orang anak buah gerombolan bergulingan sambil merintih-rintih kesakitan karena kaki mereka digigit ular berbisa!

Keadaan menjadi geger dan pada saat itu muncullah lima orang yang sikapnya gagah dan berpengaruh. “Tahan senjata, semua mundur......!”

Teriakan itu berpengaruh dan semua anak buah gerombolan segera mundur sambil menyeret limabelas orang rekan yang terluka.

Lima orang itu adalah Thai-san Ngo-kwi yang segera berlari keluar ketika mendengar bahwa ada seorang kakek dengan barisan ular mengamuk. Mereka kini melangkah maju dan memberi hormat kepada kakek itu. Thai-kwi, orang pertama yang bertubuh tinggi besar berkulit hitam, segera berseru dengan suara girang.

“Kiranya su-pek (uwa guru) yang datang!”

“Selamat datang, supek!” kata empat orang adik seperguruannya.

Kakek itu meniup tongkat ularnya dan semua ular kini lari keluar menuju ke hutan dan rumpun alang-alang tak jauh dari situ. Kakek itu tertawa bergelak.

“Ha-ha-ha-ha, kalian sudah mengangkat nama! Thai-san Ngo-kwi amat terkenal, akan tetapi sayang, anak buahmu kurang teratur sehingga akan melemahkan kedudukan kalian!”

Lima orang itu memandang ke arah dua orang anak buah mereka yang tewas, dan limabelas orang anak buah yang lain merintih-rintih karena kesakitan. Tahulah mereka bahwa kalau tidak cepat mendapatkan obat penawar, limabelas orang anak buah itu akan tewas pula. Maka, dipimpin oleh Thai-kwi, mereka berlima menjatuhkan diri berlutut menghadap supek itu.

“Harap supek maafkan. Karena selamanya belum pernah bertemu supek, maka mereka tidak mengenalmu. Bahkan kami sendiri hampir tidak percaya supek yang datang, kalau tidak melihat sendiri. Supek, mohon kemurahan hati supek. Berilah obat penawar bagi mereka, dan di dalam nanti tee-cu (murid) berlima akan menghaturkan maaf dan perjamuan selamat datang kepada supek.”

Kakek itu menyeringai dan menggerakkan tongkat ularnya dengan sikap congkak. “Hemm, kalau bukan kalian yang minta, mereka itu tentu akan mampus dalam waktu beberapa jam lagi.”

Dia mengeluarkan sebuah buntalan kain dari dalam saku .jubahnya, mengeluarkan limabelas butir pel hitam dan menyerahkannya kepada Thai-kwi. “Suruh mereka masing-masing menelan pel ini, minum air paling sedikit lima mangkok dan racun itu akan keluar dan mereka akan selamat.”

“Terima kasih, supek!” kata Thai-kwi yang segera membagi-bagi obat itu dan menyuruh anak buah yang lain mengambilkan air. Kemudian, dia dan para sutenya dengan sikap hormat mempersilakan supek mereka masuk ke dalam perkampungan itu dan langsung ke bangunan tempat tinggal mereka.

Akan tetapi, pada saat itu terdengar suara wanita melengking lembut. “Heii, kamipun sudah tiba di sini!”

Semua orang menengok dan nampak dua bayangan berkelebat ke pintu gerbang itu dan Kim Pit Siu-cai dan Ang I Sian-li telah berdiri di situ dengan gagah dan anggunnya!

Kakek tukang ular itu adalah Pek-bwe Coa-ong, seorang di antara Kiu Lo-mo pula, dan yang tertua di antara mereka bertiga. Ketika dia melihat dua orang itu, dia tertawa. “Ha-ha-ha, kiranya kalian sudah datang pula, tepat pada waktunya! Thai-san Ngo-kwi, cepat beri hormat. Mereka ini terhitung susiok (paman guru) dan su-kouw (bibi guru) kalian!”

Kim Pit Siu-cai mengebutkan lengan bajunya yang panjang ketika dia mengamati lima orang laki-laki gagah di depannya itu. “Jadi inikah murid-murid mendiang suheng Siauw-bin Ciu-kwi? Hem, nampaknya cukup boleh diandalkan, bukan, sumoi?” tanyanya kepada Ang I Sian-li.

Ang I Sian-li yang tadi bertemu di lereng bukit Hitam dengan suhengnya, mengangguk. “Mereka cukup gagah.”

Nama besar Kiu Lo-mo (Sembilan Iblis Tua) terkenal di dunia kang-ouw sebagai segerombolan datuk yang saling bantu dan orang mengira bahwa mereka adalah saudara-saudara seperguruan karena mereka saling sebut seperti kakak beradik seperguruan. Pada hal, mereka itu sama sekali tidak ada hubungan perguruan, hanya karena mereka sudah sepakat untuk saling bantu agar memperkuat dan mempertahankan nama besar mereka, maka merekapun menganggap yang lain seperti saudara sendiri. Maka, tidak aneh kalau kini mereka saling menyebut suheng, sute dan sumoi!

Seperti dikatakan Kim Pit Siu-cai tadi, Thai-san Ngo-kwi adalah murid-murid mendiang Siauw-bin Ciu-kwi (Iblis Arak Muka Tertawa), seorang di antara Kiu Lo-mo, maka lima orang pimpinan gerombolan di Thai-san ini masih terhitung murid-murid keponakan, walau hanya dalam sebutan saja. Kiu Lo-mo atau Sembilan Iblis Tua kini hanya tinggal tiga orang itu, Pek-bwe Coa-ong (Raja Ular Ekor Seratus), Kim Pit Siu-cai, dan Ang I Sian-li.

Ke mana lagi yang enam orang lainnya? Mereka sudah meninggal dunia, dan mereka itu adalah Hek-sim Lo-mo (Iblis Tua Berhati Hitam)? Siauw-bin Ciu-kwi guru dari kelima orang kepala gerombolan itu, Lam-hai Mo-ong (Raja Iblis Laut Selatan), Tiat-thouw Kui-bo (Nenek Iblis Kepala Besi), dan dua orang kakek kembar yang dijuluki Lam-san Siang-kwi (Sepasang Iblis Bukit Selatan).

Kini, sisa dari Kiu Lo-mo yang tinggal tiga orang mengadakan pertemuan atas undangan Pek-bwe Coa-ong dan mereka memilih puncak Bukit Hitam karena di situ menjadi sarang gerombolan yang dipimpin Thai-san Ngo-kwi, murid-murid keponakan mereka sendiri.

Tiga orang datuk itu dijamu oleh Thai-san go-kwi dalam sebuah pesta yang meriah. Lima orang pimpinan gerombolan itu sudah lupa sama sekali bahwa dua orang mati konyol dan limabelas orang nyaris tewas pula dari gerombolan mereka. Mereka gembira bukan main mendapatkan kunjungan tiga orang datuk itu, suatu hal yang sama sekali tidak mereka sangka-sangka.

Setelah kenyang makan minum, dan melihat betapa tiga orang datuk itu nampak gembira dan puas, Thai-kwi yang menjadi orang tertua dari Thai-san Ngo-kwi, mengangkat cawan arak menghaturkan selamat datang kepada mereka bertiga, kemudian berkata dengan suara lantang dan gembira.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar