01 Kekejaman Dua Iblis Tua
Thai-san merupakan pegunungan
yang puncak-puncaknya menjulang tinggi, bahkan ada sebagian puncaknya yang
selalu diliputi salju. Pegunungan itu luas sekali, mempunyai banyak lembah yang
penuh dengan hutan-hutan rimba yang liar. Hanya di kaki pegunungan itu dan di
1ereng bagian bawah saja nampak dusun-dusun kecil yang hanya terdiri dari
beberapa puluh buah rumah sederhana.
Penghuni dusun-dusun itu hanya
petani-petani dan sebagian pula adalah pemburu-pemburu binatang. Hidup mereka
amat sederhana dan dusun-dusun itu nampak kecil tidak berarti di pegunungan
yang besar, tinggi dan luas itu.
Pada suatu hari, ketika
matahari pagi mulai mengusiri kabut pagi di lereng-lereng pegunungan Thai-san,
cuaca yang amat cerah itu mendatangkan suasana yang amat gembira dan bahagia.
Di dalam keadaan mereka yang diam, pohon-pohon besar menikmati kehangatan sinar
matahari pagi yang membebaskan mereka dari kedinginan yang menyelimuti mereka
sepanjang malam, yang membuat daun-daun mereka hampir beku dan kini embun-embun
berkilauan tergantung di daun-daun mereka. Embun itu makin menebal dan siap
jatuh musnah di atas tanah di bawah sana. Pada ranting-ranting di mana hinggap
burung-burung kecil yang berloncatan sambil berkicau, embun-embun itu sudah
rontok sejak tadi.
Tempat yang sunyi, liar, luas
dan banyak hutan dan bagian yang sukar sekali dimasuki manusia itu menjadi
tempat yang amat disuka oleh para penjahat dan buruhan pemerintah, sebagai
tempat untuk menyembunyikan diri. Ke situlah para penjahat besar melarikan diri
kalau mereka dikejar oleh pasukan keamanan pemerintah atau oleh para pendekar
yang memusuhi mereka. Oleh karena itu, tidak ada rakyat biasa berani mencoba
untuk mendaki Pegunungan Thai-san, melewati daerah aman di kaki-kaki gunung.
Bahkan para pemburu tidak berani memasuki hutan yang masih asing bagi mereka,
takut kalau bertemu dengan penjahat-penjahat besar yang bersembunyi.
Oleh karena itu, para penduduk
dusun yang melihat seorang pria tua berpakaian sasterawan seorang diri mendaki
bukit pertama di pegunungan itu, memandang dengan heran dan juga khawatir.
Orang itu mencari mati, bisik
mereka, mati konyol! Orang dusun yang miskin dan tidak membawa apa-apa yang
berharga sekalipun tidak akan berani lancang mendaki pegunungan itu.
Dan pria yang naik dari gunung
sebelah selatan ini jelas bukan orang dusun yang miskin. Dia seorang yang
berpakaian sasterawan, pakaian dari sutera putih yang bersih dan halus, membawa
buntalan yang cukup besar dari kain kuning yang terbuat dari sutera pula, tangan
kanan memegang sebuah kipas besar dan di pinggangnya terselip sebatang pena
yang terbuat dari logam kuning berkilauan. Emas!
Dan dengan pakaian seperti
itu, dia berani mendaki Pegunungan Thai-san! Mencari penyakit itu namanya,
demikian para penduduk dusun saling berbisik. Bahkan seorang kakek dusun itu
yang merasa kasihan, tadi menghadangnya dan menasihatinya agar jangan mendaki
terlalu jauh karena pegunungan itu berbahaya. Namun sasterawan tua yang usianya
tentu sudah ada enampuluh tahun itu, hanya mentertawakannya dan melangkah terus
dengan gaya congkak.
Sasterawan itu melenggang,
mendaki bukit dan diikuti pandang mata beberapa orang dusun yang tadi berusaha
untuk memperingatkannya. Tubuhnya yang jangkung kurus itu tidak mengesankan dan
setelah dia lenyap ditelan pohon-pohon di hutan pertama, para penduduk
membicarakannya dengan hati tegang. Tak lama lagi sasterawan itu tentu akan
mati di dalam hutan dan seluruh bawaannya, bahkan pakaiannya yang melekat di
tubuhnya, akan habis dirampok orang dan tubuhnya yang dibiarkan telanjang di
dalam hutan, tak lama lagipun akan habis digeroti binatang hutan yang buas!
Apa yang dikhawatirkan para
penduduk dusun itu memang segera terjadi. Baru saja sasterawan tua itu tiba di
tengah hutan pertama yang berada di lereng bukit, sudah melampaui batas yang
aman, tiba-tiba saja bermunculan sebelas orang yang rata-rata berusia tigapuluh
sampai empatpuluh tahun, bertubuh kekar dan bersikap bengis. Dari wajah dan
gerak gerik mereka saja mudah diduga bahwa mereka adalah orang-orang yang biasa
mempergunakan kekerasan untuk memaksakan kehendaknya kepada orang lain.
Begitu berloncatan keluar dari
balik pohon-pohon dan semak belukar, sebelas orang yang semua memegang golok
besar itu sudah mengepungnya dengan setengah lingkaran. Pemimpin mereka, yang
dahinya dihias codet bekas luka memanjang dari kanan ke kiri, menyeringai
memperlihatkan giginya yang besar-besar, seperti seekor harimau yang mengancam
calon mangsanya.
“Ha-ha-ha, kiranya seorang
sasterawan sinting!” kata seorang di antara mereka sambil terkekeh seolah
melihat sesuatu yang lucu.
Sasterawan itu bersikap tenang
saja dan andaikata sebelas orang itu tidak terlalu mengagungkan diri sendiri
dan selalu meremehkan orang lain, hal ini saja sebenarnya sudah merupakan hal
yang luar biasa. Bagaimana seorang sasterawan tua yang dihadang sebelas orang
penjahat yang demikian menyeramkan, masih dapat bersikap enak-enak saja? Tentu
ada sesuatu yang diandalkan oleh sasterawan itu. Kalau tidak, sepantasnya dia
sudah ketakutan sekali.
Sasterawan itu memandang
kepada orang yang tadi mengatakan dia sinting.
“Kenapa kaubilang aku
sasterawan sinting?” tanyanya, suaranya lembut dan mulutnya tersenyum ramah.
Melihat sikap ini, sebelas
orang itu bukan curiga, bahkan tertawa-tawa geli dan si codet yang menjadi
pemimpin berkata, “Sasterawan gila! Kalau engkau tidak sinting, tentu tidak
akan berani memasuki hutan ini seorang diri, membawa buntalan itu. Setidaknya,
tentu terisi pakaian-pakaian bagus dan uang bekal perjalanan, ha-ha-ha!”
“Engkau benar, buntalan ini
memang terisi pakaian bersih dan ada belasan tail emas limapuluh tail perak.
Habis, kenapa?” tanya sasterawan itu.
“Dan pena di pinggangnya itu
seperti emas!” kata seorang anggauta gerombolan itu sambil menunjuk ke arah
benda yang terselip di pinggang sasterawan itu.
Sasterawan itu menyingkap
bajunya dan meraba benda itu. Sebatang mouw-pit (pena bulu) yang gagangnya
sepanjang dua jengkal sebesar jari telunjuk dan terbuat dari pada emas murni!
“Wah, matamu sungguh jeli,”
katanya memuji orang itu. “Pena ini memang terbuat dari pada emas.”
Para perampok itu, saling
pandang dan kini mereka benar menduga bahwa sasterawan itu tentu gila. Membawa
uang demikian banyak, benda berharga, memasuki hutan itu dan terang-terangan
mengaku tentang uang dan pena emas.
Si codet mengelebatkan
goloknya. “Sasterawan gi1a. Karena engkau berterus-terang, kamipun tidak ingin
membunuhmu, bahkan membiarkan pakaianmu yang menempel di tubuhmu. Berikan
buntalan dan kim-pit (pena emas) itu kepada kami dan kembalilah engkau
cepat-cepat sebelum kami mengubah keputusan kami.”
Sasterawan itu mengangkat
muka, menyapu mereka semua dengan pandang matanya, mengembangkan kipasnya dan
mengebut-ngebutkan kipas untuk mengusir kegerahan, kemudian dia berkata,
suaranya masih lembut namun kini mengandung kesungguhan.
“Nanti dulu! Sebelum aku
memenuhi semua permintaanmu, katakan dulu apakah kalian ini anak buah dari
Thai-san Ngo-kwi (Lima Iblis Thai-san)?”
Sebelas orang itu saling
pandang, dan si codet segera melangkah maju mendekat dan membentak. “Mengapa
engkau menanyakan Thai-san Ngo-kwi?”
Sastrawan itu tersenyum.
“Tidak apa-apa, hanya kalau kalian ini anak buah mereka, bawalah aku menghadap
mereka karena kami adalah kenalan lama. Akan tetapi kalau kalian bukan anak
buah mereka, hem, terpaksa aku harus membunuh kalian.”
Tentu saja sebelas orang itu
menjadi terkejut dan juga marah bukan main mendengar ucapan yang sungguh tak
pernah mereka sangka itu. Sasterawan yang tadinya mereka sangka gila itu
ternyata kini malah mengancam hendak membunuh mereka semua! Biarpun mereka juga
tentu saja tunduk akan kekuasaan Thai-san Ngo-kwi di wilayah pegunungan itu,
namun mereka merupakan gerombolan tersendiri dan bukan anak buah lima orang
kepala gerombolan itu.
“Sasterawan tua gila, berani kau
main-main dengan kami? Andaikata kami anak buah mereka sekalipun, kami tidak
akan sudi mengantar kau menghadap mereka. Dan kami bukan anak buah mereka. Kau
hendak membunuh kami? Ha-ha-ha! Kesombonganmu ini harus kautebus dengan
nyawa.......!”
Si codet mengangkat goloknya
ke atas dan menerjang maju, membacokkan goloknya ke arah sasterawan itu. Akan
tetapi, tiba-tiba saja dia berteriak keras dan terjengkang, terbanting keras
dan berkelonjotan sekarat karena tenggorokannya telah dimasuki sebatang jarum yang
tadi tanpa dapat di lihat mata telah melesat keluar dari ujung gagang kipas
yang dikebut-kebutkan!
Sepuluh orang anak buahnya
terkejut dan marah sekali. Mereka semua menggerakkan golok dan mengepung, lalu
menyerang dari segala jurusan. Namun, sasterawan itu hanya menggerakkan
kipasnya beberapa kali dan sepuluh orang itupun menjerit dan roboh satu demi
satu, semuanya roboh berkelonjotan dan tewas!
Sasterawan berpakaian putih
itu tersenyum mengejek, mengebut-ngebutkan ujung lengan baju dan menggunakan tangannya
mengebut jubah depan, yang agak kotor terkena debu, kemudian tanpa menoleh lagi
dia melanjutkan pendakiannya seolah tidak pernah terjadi sesuatu.
Siapakah sasterawan tua yang
begitu lihai dan berdarah dingin sehingga dalam sekejap mata saja dia mampu
membunuh sebelas orang penjahat seperti orang membunuh semut saja? Kalau
sebelas orang itu mengetahui siapa dia, tentu mereka tidak akan berani berlagak
hendak merampoknya.
Sasterawan itu adalah seorang
datuk besar dunia persilatan, seorang tokoh besar kaum sesat yang termasuk
seorang di antara Kiu Lo-mo (Sembilan Iblis Tua). Tak seorangpun tahu siapa
namanya, hanya mengenal julukannya saja, yaitu Kim Pit Siu-cai (Sasterawan Pena
Emas) karena dia selalu mempergunakan pena emas untuk menulis dan juga untuk
membunuh lawan yang lihai.
Datuk sesat berusia enampuluh
tahun yang bertubuh tinggi kurus ini sebenarnya sudah lama sekali tidak pernah
melakukan aksi di dunia kang-ouw, dan agaknya dia hendak menikmati sisa hidup
di masa tua dengan ketenangan karena dia sudah kaya raya. Oleh karena itu,
kalau sekarang dia turun ke dunia ramai, tentu ada sesuatu yang amat penting
dan dapat diramalkan bahwa setelah datuk ini turun gunung tentu akan terjadi
hal-hal yang mengerikan. Dan ini terbukti di hutan itu, di mana dia membunuh
sebelas orang seenaknya saja!
Kim Pit Siu-cai selama
bertahun-tahun ini seperti bersembunyi saja di rumahnya yang besar, di lereng
sebuah bukit di pantai timur, dan memang sekali ini, dia mendaki Thai-san
membawa kepentingan besar yang akan menggegerkan dunia kang-ouw.
Pada hari itu juga, ketika Kim
Pit Siu-cai mendaki bukit dari selatan bagian timur, dari arah selatan melalui
daerah yang terpisah sepuluh lie saja dari jalan yang ditempuh Kim Pit Siu-cai,
nampak seorang wanita yang juga mendaki bukit pertama Pegunungan Thai-san.
Pagi-pagi sekali, wanita itu
memasuki dusun terakhir di lereng bukit sebelah bawah, sebuah dusun yang hanya
mempunyai limabelas rumah, yaitu rumah keluarga para pemburu. Begitu ia
memasuki dusun itu, terdengar tangis seorang bayi dan ternyata wanita itu
memondong seorang bayi yang usianya paling banyak tiga bulan. Bayi yang gemuk
dan kulitnya masih tipis kemerahan, seorang bayi perempuan yang sehat dan
mungil.
“Diamlah, sayang, diamlah. Ibu
sayang kepadamu, manis. Diamlah, sayang dan jangan menangis......” katanya
dengan suara merdu dan seperti bernyanyi, dan ia mengayun-ayun bayi itu dalam
pondongannya.
Kalau melihat keadaan wanita
itu, tidak mungkin ia ibu anak itu. Wanita itu sedikitnya berusia limapuluh
tahun, atau tentu lebih hanya nampak baru limapuluh tahun karena ia pesolek.
Bentuk tubuhnya masih ramping dan wajahnya masih nampak cantik karena ia
memakai bedak, pemerah bibir dan pipi, penghitam alis dan tepi mata, rambutnya
hanya sedikit terhias uban, dan di sisir rapi, di gelung ke atas.
Pakaiannyapun indah seperti
pakaian wanita hartawan atau bangsawan. Sedangkan bayi perempuan itu, walaupun
sehat gemuk dan mungil, akan tetapi mengenakan pakaian lusuh dari kain kasar,
seperti biasa anak-anak dusun dari orang tua miskin.
Biarpun diayun-ayun, bayi itu
tetap menangis. “Diamlah, sayang, apakah engkau lapar? Haus? Ibumu juga haus,
sayang,” katanya dan wanita itu melihat sebuah bangku di depan pekarangan rumah
kecil. Ia memasuki pekarangan dan duduk di atas bangku itu. Bayi itu
dipondongnya, lalu diciuminya, dahinya, kedua pipinya, lehernya dan sampai lama
ia membenamkan mukanya di leher bayi itu, yang baunya sedap. Anehnya, bayi itu
segera berhenti menangis, berhenti meronta!
Daun pintu rumah kecil itu
terbuka dan seorang ibu petani, isteri pemburu yang tinggal di situ, keluar
sambil menggendong anaknya. Ia menggendong sambil menyusui bayinya dan keluar
karena tertarik oleh tangis bayi tadi.
“Syukurlah anak itu sudah
diam,” kata ibu itu sambil mendekat dan melihat pakaian wanita itu, ia
terbelalak heran. “Eh, nyonya...... dari manakah?” Belum pernah ia melihat
wanita memakai pakaian seindah itu, dan rambut wanita itupun di gelung secara
indah dan dihias emas permata.
Wanita itu masih membenamkan
mukanya di leher anak yang kini terdiam, dan ia hanya mengangkat mukanya
sedikit sehingga nampak hanya sepasang mata ke atas. Ketika melihat seorang
wanita muda menyusui seorang bayi yang montok, matanya bersinar-sinar.
Wanita yang masih
menyembunyikan mukanya di leher bayinya dengan sikap penuh kasih sayang itu,
tanpa memperlihatkan muka, berkata, “Engkau masih menyusui? Tolonglah kaususui
bayiku ini......”
Wanita itu mencabut
payudaranya dari mulut anaknya yang sudah kenyang dan dengan lapang hati ia
bersedia untuk menyusui bayi orang lain.
“Baiklah, mari saya susui anak
itu......”
Ucapanya terhenti dan ia
terbelalak memandang kepada wajah cantik yang kini sudah diangkat dari leher
anak itu. Wajah yang cantik, dengan perhiasan anting-anting dan kalung yang
mewah, akan tetapi wajah yang pantasnya menjadi nenek dari bayi itu. Bukan ini
yang membuat isteri pemburu itu terbelalak, akan tetapi juga sinar mata yang
tajam menusuk dan noda merah berlepotan sedikit pada ujung bibir.
“Nah, susuilah anakku, dan
mana kugendongkan dulu anakmu itu,” kata si wanita cantik.
Isteri pemburu menggeleng
kepala, akan tetapi karena ia tadi sudah menyatakan setuju, iapun tidak melawan
ketika anaknya diraih dari gendongannya dan sebagai gantinya, ia memondong bayi
dari tangan wanita cantik itu.
“Aduh montoknya......! Sayang,
engkau manis sekali, hemm, tentu belum tiga bulan anak ini. Mari ikut ibu,
sayang......” Wanita cantik itu mencumbu bayi montok itu.
Di lain pihak, isteri pemburu
yang payudaranya masih menetes-netes air susu dan siap hendak menyusui bayi
yang dipondongnya, terbelalak ketika melihat keadaan bayi itu. Seorang bayi
perempuan yang badannya montok sehat, akan tetapi ketika ia memandangnya, muka
bayi itu pucat seperti kertas, bahkan kebiruan, matanya mendelik dari lehernya
yang mulus itu berlepotan darah, napasnya tinggal satu-satu!
Ia menjerit. “Iiihhh......
anak ini......!”
Ia mengangkat muka dan melihat
betapa wanita cantik itu melenggang santai meninggalkan tempat itu, keluar dari
pekarangan rumahnya.
“Heiiiii...... tidak.....,
tidaaaaak.......! Kembalikan anakku......!” Ia mengejar keluar.
Mendadak wanita cantik itu
membalikkan tubuhnya, matanya mencorong akan tetapi mulutnya tersenyum dan
ketika ia menyeringai itu, nampak sebelah dalam bibirnya masih berlepotan
darah, juga sebagian giginya!
“Kita tukar saja, bayi ini
untukku dan bayi itu untukmu.”
“Tidak! Kembalikan anakku!
Kembalikan...... tolooonggg......!” Isteri pemburu yang sudah ngeri ketakutan
itu menjerit minta tolong.
Seorang laki-laki yang
bertubuh tegap meloncat keluar dari dalam rumah itu. Dia adalah suami wanita
yang mempunyai anak tadi. Dia heran mendengar jeritan isterinya dan ketika
keluar, ia melihat isterinya mengejar seorang wanita cantik. Wanita itu
membalik dan nampak tangannya bergerak dan tiba-tiba dia melihat isterinya
terjungkal dan roboh dengan bayi masih dalam pondongannya.
“Heiiii......!” Pemburu itu
meloncat dengan kaget dan marah.
Ketika dekat dengan isterinya,
ia berlutut dan dapat dibayangkan betapa kagetnya melihat isterinya sudah rebah
dengan mata mendelik dan nyawa putus! Dan bayi dalam pondongannya yang pucat
sekali itu bukanlah anaknya. Pantas isterinya tadi berteriak minta dikembalikan
anaknya. Isterinya dibunuh wanita cantik itu dan tentu anaknya yang kini dibawa
pergi wanita itu.
Tangis bayi menyadarkan dan
dia menoleh, memandang wanita berpakaian serba merah yang cantik dan bertubuh
ramping itu. Wanita itu menimang-nimang bayinya sambil melangkah pergi.
“Diamlah, sayang,
diamlah...... ibu sayang padamu......”
“Heiii, tunggu......!!”
Pemburu itu bangkit dan lari mengejar, lalu menghadang di depan wanita itu yang
menghentikan langkahnya.
“Engkau siluman! Kenapa kaubunuh
isteriku? Dan itu anakku, kembalikan!” bentak si pemburu dengan marah sekali.
Wanita itu mengangkat muka
memandang kepadanya, tersenyum mengejek. “Minggirlah kalau engkau tidak ingin
menyusul isterimu.”
Tentu saja pemburu itu marah
bukan main. “Siluman jahat!” bentaknya dan diapun menerjang maju sambil
mengangkat tangan kanannya ke atas lalu menghantam ke arah kepala wanita cantik
itu.
Dengan tenang saja, wajahnya
masih tersenyum wanita itu menyambut tangan si pemburu dengan tangan kirinya.
Begitu pergelangan tangan kanan pemburu itu dapat ditangkapnya, si pemburu
mengaduh kesakitan. Seluruh otot pergelangan tangan dan tulang-tulangnya
seperti putus-putus dan patah-patah. Tiba-tiba tangan kecil halus yang
menangkap pergelangan tangan kanan itu lepas dan sebuah tamparan tangan itu
menyambar ke arah dahi si pemburu.
“Plakk!” Pemburu itu mengeluh
dan terpelanting roboh, berkelojotan dan tewas!
Anak bayi itu masih menangis
dan wanita itu mendekapnya sambil menimang-nimang, “Diamlah sayang......
diamlah anakku......” dan iapun melangkah pergi dengan tenang.
Para tetangga mendengar
teriakan-teriakan dan tangis bayi itu. Lima orang pemburu menghambur keluar
dari rumah masing-masing dan lari ke rumah pemburu yang tewas.
Ketika
melihat pemburu dan isterinya menggeletak tak bergerak di pekarangan rumah
mereka, lima orang pemburu itu segera dapat menduga apa yang terjadi. Mereka
melihat sahabat mereka dan isterinya tewas, dan seorang wanita cantik
meninggalkan pekarangan rumah itu sambil memondong seorang bayi yang menangis!
Tentu wanita itu telah menculik bayi mereka dan membunuh suami isteri itu!!
“Heiii...... tunggu......!!”
“Berhenti......!!”
Sambil berteriak-teriak, lima
orang pemburu itu berlari mengejar wanita itu sambil mencabut golok mereka dan
tak lama kemudian, mereka telah dapat menyusul dan menghadangnya, mengepung
setengah lingkaran dengan sikap mengancam. Wanita itu telah tiba di tepi hutan
di luar dusun dan kini ia mengangkat mukanya, memandang kepada lima orang
pemburu yang marah itu dengan bibir tersenyum.
“Kalian mau apa? Biarkan aku
pergi,” kata wanita itu dengan suara lembut.
“Engkau membunuh seorang
kawanku dan isterinya, dan menculik putera mereka?”
Wanita itu tersenyum dan
mengangguk dengan sikap seorang yang tidak merasa bersalah sedikit pun.
“Engkau membunuh dan menculik
dan mau pergi begitu saja?”
“Habis kalian mau apa? Jangan
mencampuri urusanku kalau kalian tidak ingin menyusul dua orang itu.”