Jilid 2
Tapi Ji Pwe-giok masih saja
memandangnya dengan melongo, bahkan mata pun tidak berkedip.
Kembali Lui ji terkejut,
serunya, "He, Sicek ken....kenapa kau tidak bicara?" Waktu ia
merabanya, tangan Pwe-giok ternyata kaku seperti kayu.
Tangan Lui ji sendiripun juga
dingin saking kagetnya, cepat ia menyusup ke dalam tungku, dilihatnya sekujur
badan Pwe giok sama kaku, mata melotot, jelas Hiat-to tertutuk orang.
Waktu ia pandang ujung
belakang tungku, entah sejak kapan di situ sudah tembus satu lubang ingin
terasa meniup masih dari sana, Lui ji mendapat ajaran ilmu Tiam hoat dari
Hong-sam sianseng maka segala kungfu menutuk dari berbagai aliran dan golongan
di dunia persilatan sedikit banyak di pahaminya.
Segera ia menepuk Hiat-to Pwe
giok yang tertutuk sehingga terbuka lalu bertanya, "Sicek, apa kah yang
terjadi, masa ada orang datang ke sini?"
Pwe-giok termenung sejenak,
lalu mengembus napas panjang, ucapnya kemudian, "Betul, ada orang datang
kemari, tapi aku sendiri tidak tahu jelas yang datang ini sesungguhnya manusia
atau setan."
Kiranya tadi baru saja Pwe
giok bermaksud keluar menyusul Lui ji, tiba-tiba sebuah tangan terjulur dari
belakang tanpa suara dan menutuk Hiat-tonya.
"Tangan itu terjulur
melalui lubang ini?" seru Lui ji terkejut.
"Betul." jawab Pwe
giok.
"Jadi dia membuat lubang
tepat di belakang Sicek, tapi sama sekali Sicek tidak mendengar suatu
suara?" Lui ji menegas pula.
"Ya, apapun tidak
kudengar, batu yang khusus digunakan membuat tungku ini memang sangat kuat dan
keras, tapi berada di tangan orang ini telah berubah menjadi empuk seperti
tahu," tutur Pwe giok dengan gegetun.
Membayangkan betapa hebat
tenaga orang, Lui ji merasa ngeri juga, tanyanya kemudian, "Lalu
bagaimana?"
"Lalu kurasakan ada
seseorang menerobos masuk kesini melalui lubang ini.
"Tapi lubang ini hanya
sebesar mangkuk, cara bagaimana dia mampu menerobos masuk?"
"Dengan sendirinya ilmu
yang digunakannya adalah Siok-kut-kang."
Siok-kut-kang atau ilmu
mengerutkan tulang bukan suatu kungfu yang luar biasa, tapi kalau taraf Siok
kutkangnya sudah mampu membuat tubuhnya mengerut sehingga mampu menerobos
lubang kecil ini, maka ilmu mengerutnya boleh dikatakan luar biasa.
Lui-ji termenung sejenak,
katanya kemudian, "Dan kemudian dia lantas menirukan cara bicara Thian-cia-siang
tadi"
Pwe-giok mengiakan.
"Bagaimana bentuk orang
itu, tentunya Sicek melihatnya?" tanya Lui-ji.
Tapi Pwe-giok menggeleng,
jawabnya dengan menyesal, "Tidak, aku tidak melihatnya"
Lui ji terbelalak heran,
"Dia berada di sini dan Sicek tidak melihatnya, apakah dia mahir ilmu
menghilang?"
"Hakikatnya aku tidak
mampu berpaling untuk memandangnya, aku cuma merasakan dia menerobos masuk lalu
merosot keluar lagi dengan cepat."
"Menerobos masuk dan
memberosot keluar lagi, memangnya dia seekor ikan?" ujar Lui ji dengan
geli.
"Bicara sejujurnya,
biarpun ikan dalam air juga tidak segesit dia," tutur Pwe-giok dengan
gegetun. "Tubuh orang ini hakekatnya seperti segumpal asap belaka, siapa
pun jangan harap dapat merabanya."
Lui-ji berkerut kening, ucapnya,
"Dari nada ucapan Thian cia sing tadi, agaknya orang ini datang dari
Hwe-seng-kok, mengapa tidak pernah kudengar nama tempat Hwe-seng-kok. Juga
Sacek tidak pernah bercerita kepadaku. Kalau Thian-cia-sing tidak takut kepada
Sacek, mengapa ketakutan setengah mati terhadap orang ini. Selain itu, tadi Ji
Hong-ho telah memberi isyarat tangan kepada Thian cia sing, apakah tokoh yang
dimaksudkan ialah orang yang suka menirukan bicara orang ini?"
Air muka Pwe-giok tampak
berubah, ia tidak mendengar pertanyaan Lui-ji, tapi bergumam sendiri, "Hwe
seng kok....Hwe seng kok....., Sesungguhnya dimanakah letak Hwe sengkok
ini?"
Lui ji tertawa, katanya,
"Seumpama ku tahu di mana letak Hwe sengkok itu juga aku tidak mau kesana,
paling baik kalau selama hidupku ini jangan bertemu lagi dengan orang dari Hwe
seng kok itu. Pikir saja, bilamana ada orang siang dan malam selalu mengintil
di belakangku, apapun yang kukatakan selalu ditirukannya, andaikan tidak mati
kaku saking gemasnya tentu juga akan gila."
Sungguh ia tidak berani
membayangkan lebih jauh, bila teringat di dunia ini ada orang demikian,
seketika itu merinding seperti lehernya di lilit oleh seekor ular.
Pada saat itulah, mendadak di
luar sana berkumandang suara orang merintih.
Sambil menggenggam tangan Pwe
giok, Lui ji mengintai keluar. Dilihatnya seorang dengan muka berlumuran darah
sedang berdiri sempoyongan di tengah puing sana.
Tampak tubuhnya mengejang,
kedua tangan mendekap muka, apa bila bukan cambang-bauknya yang memenuhi
wajahnya, mungkin tiada orang yang mengenal lagi.
Diam-diam Lui ji menghela
nafas lega, bisiknya kepada Pwe-giok, "Si Hiang brewok, dia belum lagi
mati."
Selagi Pwe giok bermaksud
keluar untuk memeriksa keadaan Hiang brewok itu, tiba-tiba dilihatnya sinar
mata orang gemeredep sambil celingukan kian kemari, sikapnya sangat misterius
seperti kuatir kepergok orang lain.
Tatkala mana tiada bayangan
seorang pun disekitar itu, Li toh tin yang tadinya jaya dan makmur kini telah
berubah menjadi kota kuburan.
Mendadak Hiang brewok tertawa
terkekeh-kekeh, padahal hidung dan kupingnya sudah terpotong, tapi ia masih
sanggup tertawa. Hal ini sungguh mengejutkan.
Mendingan kalau dia tidak
tertawa, lantaran tertawa, maka lukanya pecah lagi, darah mengalir pula, namun
sedikitpun dia tidak merasakan sakit, dia merasa terus tertawa tiada hentinya.
Suara tertawanya kedengaran seram, tampangnya lebih mirip setan.
Tambah kencang Lui ji
menggenggam tangan Pwe-giok.
Terdengar si brewok lagi
terkekeh-kekeh pula dan berseru, "Ji Hong-ho, wahai Ji Hong-ho, biarpun
kau lebih lihay dari pada siapapun juga, tapi kau tetap sia-sia belaka dan yang
makan nangkanya adalah aku si brewok." Sembari bicara ia terus melompat ke
dalam kubangan.
Lui ji terkejut dan bergirang,
katanya dengan suara tertahan, "He, kiranya barang itu sudah ditemukan
olehnya, cuma dia menyadari, sekalipun barang itu diserahkan juga jiwanya tetap
akan amblas, maka diam-diam ia menyembunyikan barang temuannya. Di dalam
kubangan itu tentu penuh batu dan tanah liat, asalkan ditanam begitu saja pasti
tidak terlihat orang."
Mata Pwe giok juga terbeliak.
Didengarnya suara tertawa latah si berewok berkumandang dari kubangan sana.
Cepat Pwe giok dan Lui ji menerobos keluar dari tempat sembunyinya dan merunduk
ke tepi kubangan.
Tampak seperti anak kecil saja
si berewok berduduk di dalam kubangan yang penuh lumpur itu, tubuhnya basah
kuyup, kedua tangannya merangkul erat-erat sebuah peti besi kecil dan sedang
berteriak gembira tertawa, "Ini milikku, ini punyaku, kini tibalah saatnya
si berewok melintang di dunia ini....."
"Hmm, tidaklah terlalu
cepat kau bergirang?!" jengek Lui-ji mendadak.
Serentak Hiang berewok
melompat bangun seperti kerbau gila, tapi ketika diketahuinya yang berdiri di
atas adalah pemuda yang pernah mengalahkan Lo-cinjin itu, seketika ia menjadi
lemas dan lesu, peti besi itu dirangkulnya semakin erat, serunya dengan suara
gemetar, "Ka.....kalian mau apa?"
"Kamipun tidak mau
apa-apa," kata Lui-ji "hanya ingin meminta kembali peti itu."
Dengan kelabakan si berewok
berusaha menyembunyikan peti ke belakang, lalu menjawab dengan terkekeh
"Peti apa maksudmu? Mana ada peti."
Melihat kelakuan orang, Lui-ji
merasa geli dan juga kasihan, ia menggeleng, katanya dengan menyesal,
"Tidak ada gunanya biarpun kau sembunyikan juga tiada gunanya."
Kembali si berewok melonjak
dan meraung gusar, "Sekalipun peti ini berada padaku, lalu mau apa? Peti
ini milikku, kudapatkan dengan imbalan sebuah hidung dan kedua kupingku. Barang
siapa ingin merampasnya dariku harus penggal dulu kepalaku."
"Apakah kau ingin
kepalamu dipenggal? Itukan bukan pekerjaan sulit!" kata Lui ji dengan
tertawa.
Si berewok memandangnya dengan
mata mendelik, teriaknya dengan suara parau, "Kau...kau....."
mendadak tubuhnya mengejang pula, belum lanjut ucapannya lantas roboh terkulai.
Lui ji melompat turun dan
memeriksa napasnya, katanya kemudian sambil menggeleng, "Sudah mati, orang
ini sudah mati, sungguh tak disangka di dunia ini ada orang yang mati gemas
begini.
"Jika seorang lagi
kegirangan, lalu mendadak lenyaplah segala harapan, ku kira siapa pun takkan
tahan oleh pukulan berat ini, apalagi lukanya memang cukup parah," ujar
Pwe giok dengan menyesal.
"Inikan tidak dapat
menyalahkan aku," kata Lui-ji. "Betapapun barang ini kan tidak dapat
kuberikan kepadanya."
"Betul, bukan salahmu,
tapi dia yang terlalu tamak," ucap Pwe giok.
Meski sudah mati, tapi kedua
tangan Hiang berewok masih tetap memeluk peti besi itu sekuatnya, untuk
melepaskannya Lui-ji memerlukan mencongkelnya dengan cangkul.
"Ingin ku lihat
sesungguhnya apa isi peti ini, mengapa orang-orang rela mati demi
mendapatkannya," gumam anak dara itu.
* * *
Isi peti itu ternyata bukan
sesuatu benda mestika segala melainkan cuma sepotong belahan bambu dan satu
buku jurnal, yaitu buku yang biasa terdapat pada dagang.
Belahan bambu hanya sepotong
sebesar telapak tangan, diatasnya terukir sebuah karung, ukirannya sangat
jelek, dipandang dari sudut manapun juga tiada dapat tanda berharga sepotong
bambu ini.
Buku jurnal itupun buku dagang
yang sangat umum, sama seperti buku jurnal yang biasa digunakan catatan sesuatu
perusahaan dagang, malahan buku ini masih polos, tiada satu huruf apapun.
Pwe giok dan Lui-ji sama
melongo, sungguh tak pernah terpikir oleh mereka bahwa barang yang diperebutkan
orang dengan mati-matian ini tidak lebih cuma dua macam benda yang tak berharga
sama sekali.
Sejenak Lui-ji termenung,
katanya kemudian, "Untuk dua macam benda ini Ji Hong-ho tidak sayang
membakar sebuah kota, bahkan tidak sedikit orang yang rela mengorbankan
jiwanya, huh, persetan benar!"
Segera ia buang dua macam
barang itu ke tanah, bahkan hendak disepaknya dengan kaki.
Tapi Pwe giok keburu
mencegahnya, dipungutnya kedua benda itu, katanya, "Apapun juga kedua
barang ini diperoleh secara tidak mudah, boleh kau simpan saja sebagai tanda
kenang-kenangan."
"Mengenang siapa?
Mengenangkan si berewok ini?" tukas Lui-ji dengan tertawa getir,
"Tahu begini, biarkan saja peti ini dibawa pergi oleh dia."
"Menurut pendapatku,
ibumu pasti takkan menyembunyikan dua macam benda yang tak berharga secara
prihatin dengan rahasia begini, bisa jadi nilai benda ini sekarang belum kita
ketahui."
"Tapi kalau cuma satu
buku catatan yang kosong begini, berapa harganya?"
Terpaksa Pwe giok hanya
menyengir saja, sebab ia sendiri tidak dapat menjawabnya.
Dengan tertawa Lui-ji berkata
pula, "Bila Sicek merasa sayang untuk membuangnya, bolehlah kau simpan
saja buat dirimu sendiri, Aku tidak ingin menyimpan satu buku rongsokan begitu,
untuk apa anak perempuan menyimpan barang demikian, kan terlalu tolol?"
"Tapi dipandang bagaimana
pun kau tidak mirip seorang tolol," ujar Pwe giok dengan tertawa. Ia
benar-benar menyimpan barang tak berharga itu ke dalam bajunya. Lalu mayat yang
bergelimpangan di situ diceburkannya ke dalam kubangan dan diuruk dengan tanah
galian tadi.
Lui ji menghela nafas, ucapnya
dengan tersenyum, "Hati Sicek memang sangat baik, entah anak perempuan
mana yang beruntung akan menjadi isteri Sicek."
Pwe-giok ingin tertawa, tapi
tak dapat, sebab lantas teringat olehnya akan Lim Tay-ih, teringat juga kepada
Kim-yan-cu. Tanpa terasa ia menghela nafas panjang, ucapnya dengan rawan,
"Kukira siapa pun juga sebaiknya jangan berkumpul bersamaku, sebab baginya
hanya akan mengalami kesialan belaka."
Lui-ji berkedip-kedip,
tanyanya kemudian, "Dengan ucapanmu ini apakah Sicek hendak menyatakan
takkan membawa serta diriku."
Tanpa menunggu jawaban Pwe
giok, dengan menunduk ia berkata lagi, "Meski aku sudah sebatangkara dan
tiada tempat tujuan, tapi kalau Sicek merasa keberatan membawa serta diriku,
tentu aku pun tidak berani memaksa kehendak Sicek."
Pwe giok menepuk bahu anak
dara itu, katanya dengan tertawa, "Ai, nona cilik jangan berpikir yang
bukan-bukan. Umpama betul Sicek tidak ingin membawa serta dirimu, setelah
mendengar ucapanmu ini, mau tak mau Sicek harus berubah pikiran."
Maka tertawalah Lui-ji sambil
menengadah, katanya, "Jika demikian, sekarang kita akan pergi ke mana?
Padahal Pwe-giok sendiri tidak
tahu harus pergi kemana, sebab ia sendiripun tidak mempunyai rumah lagi.
Setelah berpikir sejenak
barulah ia berkata seperti bergumam sendiri, "Entah orang Tong-keh-ceng
sekarang sudah mengetahui lenyapnya Tong Bu-siang atau tidak, dan entah
Kim-yan-cu sekarang apakah masih berada di sana?"
"Apakah Sicek bermaksud
pergi ke Tong Keh ceng?" tanya Lui-ji.
"Ya, boleh juga ke
sana," kata Pwe giok.
"Bagus sekali,"
Lui-ji berkeplok senang, "memang sudah lama ku dengar Toh-keh-ceng adalah
tempat yang menarik."
Pada saat itulah,
sekonyong-konyong terdengar suara ribut orang banyak dari kejauhan sana, terdengar
pula suara tangis anak kecil dan orang perempuan. Agaknya Ji Hong-ho sudah
melepas pulang penduduk Li-toh-tin ini.
Cepat Lui-ji menarik tangan
Pwe-giok dan diajak berlari pergi dengan jalan memutar.
Setiba di luar kota, hawa
terasa nyaman dan segar, tiada berbau anyirnya darah dan hangusnya puing, hanya
suara tangisan penduduk Li-toh-tin sayup-sayup masih terdengar.
"Sicek," tiba-tiba
Lui-ji bertanya, "kau kira Ji Hong-ho benar-benar akan mengganti rugi
kepada penduduk Li-toh-tin atau tidak?"
"Orang ini sedang
berusaha mencari nama dan menegakkan wibawa, sudah tentu dia tidak mau
kehilangan kepercayaan para pendukungnya," kata Pwe-giok.
"Akan tetapi penderitaan
batin mereka apakah dapat diberi ganti rugi?" ujar Lui-ji. "Seseorang
kalau rumahnya sudah terbakar, biarpun diberi ganti sebuah rumah baru juga rasa
derita itu sukar dihilangkan."
"Tapi luka betapa
dalamnya tentu akan sembuh, betapa berat penderitaan seseorang, lama-lama tentu
juga akan terlupakan, hanya kenangan yang menggembirakan saja yang tetap hidup
abadi, lantaran inilah maka manusia dapat hidup terus."
"Betul juga, seorang
kalau tidak dapat melupakan penderitaan di masa lampau, tentu hidupnya tidak
ada artinya lagi."
Sementara itu sang surya sudah
terbit, tetumbuhan di musim rontok sudah mulai layu, namun padi di sawah
sepanjang tepi jalan justeru menguning dengan suburnya, bumi raya ini penuh
diliputi gairah hidup.
Memang, bau harum bunga apa di
dunia ini yang bisa lebih harum daripada padi yang menguning di sawah?
Lui ji menarik nafas
dalam-dalam, katanya dengan tertawa, "Apa pun juga aku masih tetap hidup
dan akan tetap hidup, aku masih muda, dunia seluas ini, kemanapun aku dapat
pergi, apa yang mesti ku resahkan?"
Dia pentang kedua tangannya
dan berlari ke depan menyongsong semilir angin sejuk.
Melihat senyum si nona yang
cerah, hati Pwe giok tanpa terasa ikut lapang. Pada saat itulah tiba-tiba dari
tengah sawah sana berkumandang suara orang, merintih seorang mengeluh dengan
terputus-putus, "Ai, orang muda tidak....tidak seharusnya putus asa hanya
nenek semacam...semacam diriku saja....."
Cara bicaranya seperti sangat
susah payah, sampai di sini ia terus terbatuk-batuk dengan keras sehingga tidak
sanggup melanjutkan ucapannya.
Mendengar suara itu, Pwe giok
dan Lui-ji terkejut. Cepat Lui-ji berlari balk dan memegang tangan Pwe-giok,
lalu melotot ke arah suara di tengah sawah tadi sambil menegur, "Apakah
kau Oh-lolo?"
Orang itu memang benar
Oh-lolo, dia terbatuk-batuk lagi sejenak, habis itu baru - menjawab dengan
napas megap-megap, "Betul memang diriku O, siauya dan siocia yang berhati
baik, sudilah memberi semangkuk air bagi nenek yang sudah sekarat ini? Berjalan
saja aku tidak sanggup lagi.
Lui-ji mengerling, tiba-tiba
ia terbawa dan berseru, "Hah, kau rase tua ini. kau kira kami dapat kau
tipu?"
"O, nona yang baik,
sekali ini sungguh-sungguh kumohon.....kumohon dengan sangat," Pinta
Oh-lolo dengan suara gemetar. "Mulutku hampir pecah saking...saking
keringnya, ai, terlalu panas sinar matahari ini."
Segera Lui ji menarik tangan
Pwe giok, katanya , "Sicek marilah kita pergi, jangan gubris nenek setan
ini, barang siapa menghiraukan dia tentu akan celaka sendiri."
Mendadak Oh-lolo menongol dari
balik padi yang menguning itu lantas dengan wajahnya yang berlepotan darah,
tapi segera ia roboh lagi sambil berseru dengan suara parau, "Ji-kongcu,
ku tahu engkau orang yang baik hati kumohon sudilah kau beri sedikit air
padaku, matipun aku akan berterima kasih padamu."
Tanpa bicara Pwe giok
melepaskan tangan Lui-ji, lalu berlari pergi. Lui-ji menghela napas, ucapnya,
"Dengarkan, nenek celaka, Sicek sudah pergi mengambil air bagimu, sebab
dia memang orang yang baik hati. Tapi kalau kau berdusta padanya, tentu akan
kupotong lidahmu supaya selanjutnya kau tak bisa membohongi orang lagi."
Sembari bicara ia terus
melompat ke tengah sawah. Maka terlihatlah Oh-lolo meringkuk di semak menjadi
seperti seekor anjing yang terluka, tubuhnya penuh lumpur, bibirnya memang
tampak kering hingga pecah. Melihat Lui-ji, nenek itu seperti mau tersenyum,
tapi baru saja bibirnya bergerak, seketika ia meringis kesakitan, sambil
mendekap kepalanya ia terbatuk-batuk lagi sekian lamanya. lalu berkata dengan
suara gemetar, "Nona yang baik, tidakkah kau lihat nenek sudah hampir
mati? Untuk apa ku tipu orang lagi?"
Lui-ji tidak mengira nenek
celaka ini akan berubah menjadi begini, ia melongo sejenak, katanya kemudian
sambil menggeleng, "bilamana kau tau akan berakhir dengan begini, mungkin
kau takkan menipu orang."
"Ini memang akibat
perbuatanku sendiri, aku pun tidak menyesali orang lain," ucap Oh-lolo
dengan pedih. "Tapi kalau bukan usiaku sudah lanjut, biarpun terluka lebih
parah juga takkan berubah sepayah ini."
Lui-ji tahu keadaan nenek ini
bukan cuma akibat luka luar saja, yang gawat adalah karena hampir sebagian
besar tenaga dalamnya telah disedot oleh Hong-sam-sianseng, karena kehilangan
tenaga terlalu banyak, ditambah lagi sekarang banyak mengeluarkan darah,
biarpun usia jauh lebih muda juga tak tahan.
Padahal usianya sudah selanjut
ini, tampaknya tiada seorang sanak-kadang, apa bila dia mati di sini mungkin
mayatpun tidak terkubur. Tanpa terasa Lui-ji menjadi rada kasihan padanya.
Sampai sekian lama Pwe-giok
belum lagi kembali, Lui-ji menjadi kuatir, barulah ia melongok ke arah sana
sambil menggerundel, "Tentu banyak juga orang lain yang berlalu di sini,
seumpama kau hampir mati kehausan, kenapa tidak kau minta bantuan orang lain,
tapi justeru kami yang kau temukan?"
"Hal ini bisa jadi
lantaran nenek terlalu berbuat dosa sehingga terhadap siapapun tidak percaya
lagi," kata Oh-lolo dengan gegetun.
"Jika demikian, kenapa
kau percaya pada Sicekku?" tanya Lui-ji.
"Di dunia ini memang ada
semacam lelaki yang dapat dipercaya oleh setiap perempuan yang baru sekali
melihatnya," ucap Oh lolo. "Dan dia adalah lelaki yang demikian ini.
Biarpun nenek sudah ompong tapi kan masih tetap perempuan?!"
Luiji tertawa cerah, katanya,
"Apapun juga pandanganmu dalam hal ini tampaknya memang tidak salah."
Oh-lolo terengah-engah
sejenak, tiba-tiba ia berkata pula, "Dan mengapa kau panggil dia Sicek?
Padahal usianya kan selisih tidak banyak dengan kau?"
Lui-ji tidak menjawab, ia
potol sebatang padi dan dibuat mainan.
Oh-lolo meliriknya sekejap,
lalu berkata pula. "Jika aku seusia kau dan ketemu lelaki semacam dia, pasti
takkan kulepaskan dia, dengan cara apapun juga akan ku jadi istrinya dan tidak
nanti ku panggil dia Sicek."
"Apakah kau merasa aku
sudah boleh menjadi isteri orang?" Lui-ji tertawa pula.
"Kenapa tidak?"
jawab Oh-lolo. "Ada orang seusia mu ini malahan sudah menjadi ibu."
Lui-ji menunduk termangu-mangu
memandangi padi yang dipegangnya. Sang surya menyinari wajahnya. gemerdep sinar
matanya, mukanya yang kemerah-merahan juga mencorong, tampaknya dia bukan lagi
seorang dara.
Anak yang tumbuh ditengah penderitaan
sering kali memang jauh lebih cepat dewasa daripada anak lain.
Tiba-tiba Lui-ji merasa nenek
reyot ini tidak terlalu menjemukan lagi. Dia tidak melihat bahwa demi
mengucapkan kata-kata tadi, bukan saja mulut Oh-lolo yang kering semakin
kering. Darahpun mengucur dari lukanya. Nenek yang sudah tua bangka ini sudah
tentu tahu kata-kata apa yang paling di suka oleh nona cilik yang baru mulai
akil baligh, yaitu bilamana orang bilang dia sudah dewasa, hal ini akan
membuatnya sangat senang.
Tapi sebab apakah nenek yang
keji ini berusaha membikin senang hati Lui-ji?
* * *
Akhirnya Ji Pwe-giok muncul
kembali dengan membawa sebuah bumbung bambu yang penuh berisi air. Dahinya
kelihatan berkeringat, nyata air ini diperolehnya secara tidak mudah.
Oh-lolo tampak kegirangan,
katanya," Terima kasih, terima kasih, sejak mula nenek memang sudah tahu
engkau ini seorang yang berhati mulia."
Pwe-giok tidak berucap apapun,
ia hanya menaruh bumbung berisi air itu di depannya. OH-lolo meronta bangun dan
bermaksud memegangnya, tapi tangannya tampak gemetar sehingga tidak kuat
mengangkatnya.
"Hati-hati bilamana air
itu tumpah, tiada orang yang mau mengambilkan lagi bagimu," kata Lui-ji.
"Ku tahu.....ku
tahu....." kata Oh-lolo dengan menggeh-menggeh.
Belum habis ucapannya,
mendadak bumbung itu jatuh dari pegangannya. Untung Lui-ji cukup cekatan dan
sempat meraihnya, kalau tidak air di dalam bumbung pasti tumpah.
"Sudah kukatakan supaya
hati-hati, apakah tidak kau dengar?" omel Lui-ji.
"Ai, sungguh tidak
tersangka nenek akan berubah setidak becus begini," ucap Oh lolo dengan
suara gemetar, Tampaknya aku memang sudah... sudah akan masuk liang
kubur...." bicara punya bicara, bisa juga dia mengucurkan air mata.
Lui-ji menggeleng dan menghela
nafas, ia berjongkok dan menyodorkan ujung bambu ke mulut Oh-lolo. Seketika
sosok itu memegang bumbung seperti bayi yang menetek, air itu terus diminumnya
dengan bernapsu.
Melihat kelakuan orang, Lui-ji
tertawa geli dan berketa, "Sicek, coba kau lihat...." belum habis
ucapannya mendadak ia urung tertawa dan melompat mundur, sisa air di dalam
bumbung tertumpah diatas badah Oh-lolo.
"He, kenapa kau?"
seru Pwe giok terkejut.
Merah padam air muka Lui-ji
saking gemasnya, teriaknya sambil mengentak-entakkan kakinya, "Tua...tua
bangka ini sungguh bukan manusia!"
Sejak mula Pwe giok sudah
kuatir kalau Oh-lolo akan main gila, maka senantiasa ia mengawasi
gerak-geriknya. Tapi nenek itu tidak kelihatan berbuat sesuatu, maka Pwe giok
tidak jadi heran dan kejut, bentaknya dengan gusar," Kau main gila apa
lagi?"
Oh-lolo dengan lagak seperti
menyesal, "Ai, barangkali kuku nenek terlalu panjang tanpa sengaja telah
melukai tangan nona Cu."
Cepat Pwe giok melompat maju
dan memeriksa tangan Lui-ji, dilihatnya punggung tangan anak dara yang putih
bersih itu betul ada bekas goresan kuku.
"Kukunya beracun?"
tanya Pwe giok dengan kuatir.
"Ehm," Lui-ji
mengangguk.
"Apakah berbahaya?"
tanya Pwe giok pula.
"Kalau kumakan racun ini
tentu tidak menjadi soal," tutur Lui-ji. "Tapi sekarang dia melukai kulit
dagingku, racun merembes masuk melalui darah, mungkin....mungkin......"
Pwe giok mengembus napas
panjang-panjang ia berpaling menghadapi Oh-lolo dan bertanya sekata demi
sekata, "Sesungguhnya apa kehendakmu?"
Dengan suara gemetar Oh-lolo
menjawab, "Sungguh nenek tidak......tidak sengaja, nenek memang pantas
mampus, sungguh aku berdosa kepada kalian, boleh....boleh Kongcu bunuh....bunuh
saja diriku."
"Kau tahu tidak nanti ku
bunuh kau." kata Pwe-giok.
Mendadak Oh-lolo tertawa
terkekeh-kekeh, nada bicaranya seketika berubah, katanya, "Dengan
sendirinya ku tahu kau tidak berani membunuhku. Toh sebelah kaki nenek sudah
melangkah ke liang kubur, sedangkan hari depan nona cilik ini masih panjang,
jika jiwanya digunakan menukar jiwaku tentu saja tidak klop."
"Cara bagaimana baru kau
akan menyerahkan obat penawarnya?" tanya Pwe giok.
"Inilah satu-satunya
jalan keselamatan bagi nenek, mana bisa ku simpan obat penawar dalam
bajuku," tutur Oh-lolo dengan adem-ayem. "Jika dalam 72 jam tidak
diberi obat penawar, jiwa si nona cilik yang berharga ini akan amblas."
"Dimana kau simpan obat
penawarnya?" tanya Pwe giok sambil mengusap keringat di jidatnya.
"Bila kau menuruti setiap
perkataan nenek, dengan sendirinya akan kuberikan obat penawarnya," ujar
Oh-lolo dengan tertawa.
Mendadak Lui-ji berteriak.
"Sicek, jangan mau diperas oleh tua bangka ini, ku....." mendadak ia
melolos sebilah pisau kecil dari pinggangnya terus menebas ke pergelangan
tangan sendiri.
Cepat Pwe-giok memegang tangan
si nona, serunya kaget, "He, apa yang hendak kau lakukan?"
"Mumpung racun belum
menjalar ke atas, biarlah ku kutungi tanganku ini dan aku pun takkan
mati," kata Lui-ji.
"Ai, anak bodoh,"
kata Pwe giok. "Jika dia sudah mau memberikan obat penawarnya, buat
apa....buat apa kau...."
Bahwa anak perempuan sekecil
ini ternyata biasa berpikir secepat dan berbuat tegas dan nekat, sungguh hal
ini sangat mengharukan hatinya, seketika kerongkongannya seperti tersumbat dan
tidak sanggup bicara lagi.
Lui-ji lantas mengucurkan air
mata, ucapnya dengan menunduk, "Seumpama dia mau memberikan obat
penawarnya, tapi aku tidak sampai hati membiarkan Sicek di bawah ancamannya.
Biarpun tanganku buntung kan tidak jadi soal?"
Pwe-giok menoleh ke arah lain,
katanya dengan tertawa, "Demi membela Sicek kau tidak sayang membuntungi
tangan sendiri, sekalipun Sicek mengalami sedikit kesusahan bagimu kan juga
tidak apa-apa?"
Mendadak Oh-lolo berkeplok dan
terkekeh-kekeh, "Hehe, sungguh yang perempuan setia dan yang lelaki mulia.
Tampaknya San-pek dan Eng-tay paling-paling juga cuma begini saja. Ai, sudah
berpuluh tahun nenek tidak pernah lagi menyaksikan adegan mesra yang menarik
ini."
Muka Lui-ji menjadi merah,
dampratnya sambil menghentakkan kaki, "Kau...kau tidak boleh sembarangan
mencerca Sicek."
"Hahahaha, meski di mulut
kau maki diriku, tapi di dalam hati tentu kau sangat senang," seru Oh-lolo
sambil bergelak. "Kalau tadi nenek tidak bilang kalian adalah pasangan
yang setimpal sehingga kau lupa daratan, mana kau setan cilik ini dapat ku
tipu."
"Sicek, jangan kau
percaya ocehannya," seru Lui-ji sambil menangis dan mendekap dalam
rangkulan Pwe-giok.
Pwe-giok berdehem, tanyanya
dengan menarik muka, "Sesungguhnya dimana kau simpan obat
penawarnya?"
"Nenek kan juga punya
rumah," jawab Oh-lolo. "Jika dalam waktu tiga hari tiga malam kau
sanggup mengantar pulang nenek, tentu jiwa anak dara ini dapat
diselamatkan."
"Dimana letak
rumahmu?" tanya Pwe-giok.
"Pendek kata, lekas kau
sewa sebuah kereta kuda dan lekas kita berangkat menuju ke timur siang dan malam
tanpa berhenti, dengan demikian mungkin masih keburu. Setiba di tempat tujuan
tentu akan kuberitahukan padamu."
* * *
Sesudah berada di dalam kereta
yang disediakan, Oh-lolo serupa orang sekarat lagi, matanya terpejam dan
napasnya megap-megap, mulut pun tampak berbusa.
Lui-ji melototinya dengan
gemas, katanya, "Rupanya kau sengaja sembunyi di tengah sawah untuk
menjebak kami."
"Sebenarnya tiada
maksudku yang demikian." jawab Oh-lolo dengan tertawa, "Tapi kalau
ada daging disodorkan ke mulut, masa nenek tidak mencaploknya?"
Lui-ji melototinya sejenak
pula, akhirnya ia tertawa dan berkata, "Karena perlakuanmu kepadaku ini,
pada suatu hari akhirnya kau pasti akan menyesal."
Bilamana dia bicara dengan
garang terhadap orang macam Oh-lolo ini, mungkin takkan berguna sama sekali,
sebab ucapan kasar demikian sudah terlalu biasa bagi Oh-lolo, sudah bosan
didengarnya dari setiap korbannya. Akan tetapi sekarang Lui-ji berucap dengan
tertawa manis, hal ini berbalik menimbulkan rasa ngeri bagi Oh-lolo, terpaksa
ia menjawab. "Sesungguhnya tidak pantas kau dendam padaku, tapi harus
berterima kasih padaku."
"Berterima kasih
padamu?" Lui-ji menegas.
"Ya, jika tiada
perbuatanku ini, darimana kau tahu dia sedemikian memperhatikan dirimu?"
ujar Oh-lolo dengan tertawa sambil melirik Pwe-giok.
Pwe-giok lantas terbatuk-batuk
lagi, tiba-tiba ia menyela, "Apakah kau dan Ji.....Ji Hong-ho itu memang
benar ada permusuhan.?"
Oh-lolo tidak menjawabnya, ia
terbelalak, lalu balas bertanya. "Kau sendiri juga she Ji, logatmu juga
seperti orang Kangsoh atau Ciatkang, apakah antara kau dengan dia ada
hubungannya?"
Pedih hati Pwe giok, serunya,
"Mana aku bisa mempunyai hubungan dengan dia?"
"Jika demikian bolehlah
kuberitahukan padamu, bila Ji Hong-ho ini bukan seorang pelupa, tentu dia telah
berganti orang, bisa jadi Ji Hong-ho yang sekarang ini adalah palsu."
Darah sekujur badan Pwe-giok
serasa bergolak. Justeru kata-kata inilah yang setiap saat ingin diteriakkannya
tanpa menghiraukan apa akibatnya. Tak tersangka sekarang kata-kata tersebut
tercetus dari mulut Oh-lolo. Dia mengepal kedua tangannya dengan kencang
sehingga kuku menyocok telapak tangan sendiri, sekuatnya ia menahan emosinya
yang bergolak. Katanya kemudian dengan hambar, "Masa dia memalsu? Mana
keteranganmu ini bisa dipercaya?"
"Aku pun tahu ucapanku
ini takkan dipercaya orang," ujar Oh-lolo. Tapi apa yang kukatakan ini
adalah sungguh-sungguh, bukan bualan."
"Oo? Apa betul?"
Pwe-giok menegas.
"20 tahun yang lalu aku
benar-benar pernah bertemu satu kali dengan Ji Hong-ho, tapi dia tidak berbuat
sesuatu yang tidak baik padaku, sebaliknya dia malah telah menyelamatkan
jiwaku."
"Menyela...menyelamatkan
jiwamu?"
"Ya, waktu dia menolong
aku mungkin dia tidak tahu siapa diriku. Tapi ketika diketahuinya aku inilah
Oh-lolo, tampaknya dia juga tidak menyesal, dia cuma menasehati aku agar
selanjutnya jangan berbuat jahat kepada orang lain," si nenek menggeleng
dan menghela nafas gegetun, sambungnya pula, "Orang baik seperti dia
sekarang sudah sangat jarang, apa bila dia mengungkit kejadian dahulu,
betapapun busuk hatiku juga takkan berbuat sesuatu yang tidak baik kepadanya.
Siapa sangka dia seperti sama sekali tidak tahu apa yang pernah terjadi,
sebaliknya malah mengira ada sesuatu permusuhan dengan nenek. Coba pikir, bukankah
sangat aneh?"
Lui ji berkedip-kedip, katanya
kemudian, "Jika betul Ji Hong-ho ini palsu. Wah, tentu akan sangat
menarik."
Sembari bicara diam-diam ia
melirik Ji Pwe giok. Tapi Pwe-giok tidak memperlihatkan sesuatu perasaan apa
pun.
Kembali Lui-ji mengerling,
katanya pula. "Jika kau tahu rahasia ini, kenapa tidak kau bongkar
saja?"
Oh-lolo menghela nafas,
katanya "Jangan kau kira Ji Hong-ho ini orang yang mudah dihadapi, biarpun
dia barang palsu, tapi menurut pandanganku, kungfunya mungkin jauh lebih lihay
dari pada Ji Hong-ho yang tulen."
"Akan tetapi selama ini
dia tidak pernah memperlihatkan kungfunya," kata Lui-ji.
"Justeru lantaran dia
tidak pernah turun tangan, makanya menakutkan," ujar Oh-lolo.
"sekalipun dalam keadaan tidak kurang sesuatu apa pun nenek juga tidak
berani bergebrak dengan dia."
"Masa kungfunya bisa
lebih tinggi daripada kalian yang tergolong kesepuluh tokoh top?" tanya
Lui-ji dengan tertawa.
"Tentunya kau tahu,
setiap orang Kangouw akan merasa takut bila berhadapan dengan para pemimpin
aliran dan golongan ternama betul tidak?"
"Ya," jawab Lui-ji.
"Dan para pemimpin
berbagai golongan dan aliran besar itu pun takut bila bertemu dengan kesepuluh
tua bangka macam kami ini, begitu bukan?"
"Ya, seumpama tidak takut
juga akan merasa pusing," ujar Lui-ji dengan tertawa.
"Akan tetapi kesepuluh
tokoh seperti kami ini sesungguhnya tidak selihai sebagaimana dibayangkan
orang," tutur Oh-lolo dengan gegetun. "Hal ini cocok benar dengan
pepatah yang mengatakan di luar langit masih ada langit, orang pandai masih ada
yang lebih pandai. Justeru nenek tidak pernah meremehkan siapa pun juga,
makanya aku dapat hidup sampai sekarang."
"Bilamana Ji Hong ho itu
benar orang kosen mengapa dia sudi bertekuk lutut dan minta bantuan
Lo-cinjin?" ujar Lui-ji.
"Mungkin lantaran dia
tidak berani memperlihatkan asal-usulnya, kuatir orang lain akan mengenali gaya
ilmu silatnya," ujar Oh-lolo. "Orang yagn berambisi besar seperti dia
ini, kalau mengalami sedikit penasaran tentu tidak menjadi soal."
"Pantas dia cuma memberi
isyarat tangan kepada si gendut itu, lalu si gendut yang maha lihai itu lantas
melepaskan dia begitu saja," kata Lui-ji.
Mendadak Oh-lolo merasa
tegang, tanyanya, "isyarat tangan apa yang diberikannya?"
"Sayang aku pun tidak
melihatnya," jawab Lui ji sambil menggeleng.
Oh-lolo termenung sejenak,
gumamnya kemudian. "Jangan-jangan karena pergantian hawa udara akhir-akhir
itu, maka kawanan makhluk tua yang sudah lama mengeram di sarangnya itu juga
ingin mencari udara segar. Tampaknya hari-hari selanjutnya akan lebih sulit
dilewatkan, apa bila sekali ini nenek tidak jadi mati, selanjutnya akan lebih
baik menikmati sisa kehidupan tenteram di hari tua di rumah saja,..." lalu
ia memejamkan mata dan tidak bicara lagi.
Udara cerah di luar. Hawa yang
sejuk membuat orang mengantuk. Orang berlalu lalang sangat sedikit, juga tidak
terdengar suara lain kecuali suara cambuk sais kereta yang menggeletar serta
suara detak kaki kuda diselingi suara roda kereta.
Lui ji memandangi cambuk yang
berulang-ulang menerbitkan suara nyaring itu, lalu memandang kaki kuda yagn
dilarikan secepat terbang itu pandang punya pandang, akhirnya air muka Lui-ji
mendadak berubah.
Teringat olehnya Li-toh-tin
sudah menjadi timbunan puing, biasanya juga tiada terdapat kendaraan apapun,
sekarang darimanakah mendadak Pwe-giok bisa mendapatkan kereta besar dan mewah
ini, sampai jok di dalam kabin kereta ini pun terbuat dari alas yang empuk
dilapisi kain satin.
Kereta semewah ini, andaikan
di kota besar juga cuma dimiliki oleh keluarga hartawan atau orang berpangkat
saja, mana bisa kereta ini mengompreng di suatu kota kecil yang sekarang malah
sudah berwujud puing belaka?
Cepat Lui-ji menggoyang tubuh
Pwe giok dan berbisik padanya, "He, Sicek, darimana kau dapatkan kereta
ini?"
Dia mengira Pwe giok juga
pura-pura tidur tak tersangka Pwe giok benar-benar tertidur dengan lelapnya,
sampai lama ia menggoyangi bahunya barulah Pwe giok membuka mata dan masih
kelihatan rasa mengantuknya.
Lui ji menjadi gelisah, ia
menggoyang bahu Pwe giok dengan lebih keras dan bertanya, "Bangun dulu,
Sicek. Coba lihatlah, kereta ini pasti tidak beres!"
"Tidak beres
bagaimana?" tanya Pwe giok.
Ia seperti berusaha membuka
matanya, tapi kelopak matanya terasa sangat berat, baru selarik terpentang
segera terpejam lagi. Apa yang diucapkan juga tidak begitu jelas.
Waktu Lui-ji pandang Oh-lolo,
nenek ini pun tertidur, bahkan terdengar suara mendengkurnya.
Sekujur badan Lui-ji terasa
dingin ia mendorong daun jendela dan berseru keluar, "He, toako pengemudi kereta,
aku tidak enak badan, ingin muntah, maukah kau hentikan keretamu
sebentar?"
Kusir kereta itu menoleh dan
tertawa, jawabnya, "Tidur saja, tentu akan terasa segar lagi."
Maka si kusir memang hitam
kemerah-merahan, karena tertawa, kulit yang kemerah-merahan itu di bagian ujung
mirip disayat oleh pisau. Habis itu kulit yang kelihatan sehat itu mendadak
pula terkelupas sepotong demi sepotong sehingga kelihatan wajahnya yang pucat
seperti mayat.
Keruan Lui-ji terkejut, sekuat
ia mendorong pintu kereta, akan tetapi tangannya terasa lemas, pintu kereta
dirasakan seperti terbuat dari pelat besi dan sukar dibuka. Kusir itu
terkekeh-kekeh, lalu berpaling ke depan lagi dan melarikan keretanya terlebih
cepat.
"He, sesungguhnya kalian
dari golongan mana dan bermaksud mengapakan kami?" seru Lui-ji.
Tapi si kusir tidak
menggubrisnya lagi, cambuknya berbunyi lebih keras, kuda juga berlari lebih
cepat. Kini Lui-ji sendiri pun merasa kelopak matanya mulai berat dan ingin
tidur.
Dia bersandar di jok kereta
kuda itu dan menggigit bibir sekuatnya, maksudnya supaya pikirannya tetap
jernih, tapi dipegangnya pula belatinya. Sekarang ia tahu bahwa Ji Pwe-giok dan
Oh-lolo telah terbius oleh semacam asap yang tak berwarna dan tak berbau,
sedangkan dia sendiri lantaran sudah terlatih memakan berbagai macam racun
sehingga daya tahannya lain dari pada yang lain, maka sampai saat ini dia masih
dapat mempertahankan kejernihan pikirannya.
Tapi apa guna pikiran jernih?
Jelas dia tidak mampu menolong Pwe-giok, bahkan menolong dirinya sendiri juga
tidak bisa, dari pada sadar tanpa berdaya, kan lebih baik ia pun tertidur saja.
Ia tidak tahu siapa yang
mengirimkan kereta kuda ini, jangan-jangan juga perbuatan Ji Hong-ho? Tapi
darimana Ji Hong-ho mengetahui mereka masih berada di Li-toh tin?
Sekonyong-konyong dilihat ada
asap tipis melayang turun dari sebelah kecil atap kereta dengan cepat asap
tipis itu lantas buyar tertiup angin. Dengan menahan napas LUi-ji berdiri,
dengan belatinya ia lantas mengorek sela-sela atap kereta. Akan tetapi kedua
kakinya terasa lemas, begitu tangan menggunakan tenaga, kaki tidak kuat lagi,
"bluk", ia jatuh terduduk pula.
Di luar dugaan, pada saat itu
juga papan atap kereta lantas merekah, kiranya pada atap kereta itu masih ada
satu lapis langit-langit rahasia. Dengan menggertak gigi, sekuatnya Lui-ji
merangkak ke atas jok lagi, ia coba melongok ke atas. Dilihatnya di atas situ
memang ada satu lapis serupa bagasi kendaraan masa kini, di situ penuh tertaruh
barang. Di samping ada setitik lelatu yang masih berkelip membara.
Dengan belatinya Lui-ji
mencongkelnya, lelatu api itu lantas jatuh ke bawah, ternyata sepotong lidi
dupa yang baru terbakar separuh. Hanya setengah batang lidi dupa itu sudah
mampu membius Oh-lolo dan Ji Pwe giok, betapa bagus buatan dupa bius itu
sungguh berbeda jauh daripada dupa bius yang digunakan kaum Lok-lim (penjahat,
bandit, perampok) umumnya.
Cepat Lui ji memadamkan ujung
dupa yang menyala itu, sisa setengah potong itu disimpannya dalam baju, lalu ia
meraba bagasi kereta itu untuk mengetahui barang apa lagi yang tersimpan di
situ.
Ia merasa benda itu empuk,
kenyal seperti kapas, juga seperti gumpalan daging. Ia menghela napas panjang,
sekuatnya ia tolak papan bagasi dan "bluk", barang itu jatuh ke
bawah, ternyata sosok tubuh manusia hidup. Sama sekali Lui ji tidak menyangka
bahwa orang ini ternyata Gin hoa nio adanya.
Padahal jelas diketahuinya Gin
hoa nio telah jatuh dalam cengkeraman Ji Hong-ho, jika sekarang dia berada
dalam kereta ini, maka tidak perlu disangsikan lagi kereta ini tentu milik Ji
Hong-ho.
Tampaknya Ji Hong ho memang
bukan seorang tokoh yang mudah direcoki, setiap tindak-tanduknya selalu diluar
dugaan.
Lui ji menghela nafas ia ingin
tanya mengapa Gin hoa nio bisa dijejalkan di kolong bagasi kereta itu, akan
tetapi Gin hoa nio juga dalam keadaan pingsan terbius, bahkan napasnya sudah
sangat lemah.
Pada saat itulah kereta itu
terasa bergoncang hebat, agaknya jalan pegunungan tidak rata yang dilaluinya.
Selang tak lama mendadak kabin kereta gelap gulita.
Waktu Lui ji membuka daun
jendela ingin memandang keluar, ternyata apa pun tidak terlihat lagi. Yang
terdengar hanya suara gemuruh roda kereta yang bergema dan memekakkan telinga.
Agaknya kereta itu telah memasuki sebuah gua yang gelap, setelah membelok satu
tikungan, tiba-tiba di depan muncul bintik-bintik cahaya api.
Lui-ji mengerling, lalu ia pun
roboh di atas jok.
Pada saat itulah kereta
mendadak berhenti, terdengar ramai suara orang berlari mendekat, ada yang
menahan kuda kereta, ada yang memayang turun si kusir, bahkan ada yang menyapa
dengan mengiring tawa, "Wah Toasuheng tentu sudah lelah."
Si kusir ternyata
"Toa-suheng" orang-orang ini, apakah dia Ciangbun-tecu, murid ahli
waris Ji-Hong-ho? Tapi setiap orang Kangouw sama tahu bahwa Hong-ho Lojin tidak
pernah mempunyai murid.
Terdengar Toa-suheng itu hanya
mendengus saja tanpa berucap apa pun, sikapnya jelas sangat congkak, tapi
mungkin orang-orang ini sudah biasa menghadapi sikap demikian, dengan mengiring
tawa mereka berkata pula, "Apakah Toa-suheng sudah menemukan kembali
Ji-nio (nona kedua)?"
Mendadak terdengar
"plak", yang ditanya itu telah dipersen sekali tamparan.
"Apakah ku temukan dia
kembali atau tidak perduli apa dengan kau?" demikian sang Toa-suheng
menjengek.
Orang yang kena digampar itu
masih juga berkata dengan mengiring tawa, "Ya, ya, lain kali siaute tidak
berani banyak mulut lagi."
Kembali Toa-suheng mendengus,
lalu berkata, didalam kereta masih ada tiga lagi orang lagi yang sengaja kubawa
pulang untuk dipersembahkan kepada upacara sembahyang Kaucu, Ji-nio juga berada
di atas kereta, boleh kalian bawa mereka ke atas panggung sembahyangan, tahu
tidak?" Sembari bicara ia terus melangkah pergi.
Diam-diam Lui ji membatin,
"Aneh, mengapa sang Toa-suheng, demikian ganas terhadap semua saudara
seperguruannya. Dari nada ucapannya, rupanya Gin hoa nio juga sekomplotan
dengan mereka, dan entah siapa lagi Kaucu mereka?
Dia tidak tahu bahwa Gin hoa
nio berasal dari Thian-can kau, tapi sekarang ia tahu orang-orang ini tiada
sangkut pautnya dengan Ji Hong ho, diam-diam ini jadi tambah kuatir.
Apapun juga tindak tanduk Ji
Hong-ho masih pakai pertimbangan, jika jatuh dalam cengkeraman Ji Hong ho
rasanya akan lebih baik dari pada berada dalam genggaman orang-orang ini.
Dalam pada itu pintu kereta
sudah terbuka empat-lima orang berjubel di depan pintu kereta, semuanya memakai
baju ringkas warna perak, air mukanya berbeda dari pada orang biasa. Seorang di
matanya tinggi lagi kurus, mukanya yang pucat kehijauan hampir tiada terdapat
secuil daging pun sekilas pandang serupa benar dengan jerangkong hidup.
Biarpun cukup tabah, tidak
urung Lui-ji merinding juga melihat orang aneh ini, sekali pandang cepat ia
memejamkan mata.
Terdengar orang-orang itu
ramai-ramai berbicara, "He, Ji-nio seperti terluka? Apakah ketiga orang
ini yang melukainya? Siapa dan dari manakah ketiga orang ini?"
"Hah, lihat, nenek ini
tidak punya hidung masa mampu mencelakai Ji-nio?"
"Tapi nona cilik ini
sangat cantik, cuma sayang, belum cukup umur, kalau dua tahun lagi
tentu...."
Begitulah ditengah gelak
tertawa yang memuakkan itu, Lui-ji merasa sebuah tangan yang dingin mencolek
pipinya, saking tak tahan hampir saja ia muntah.
Tiba-tiba seorang berkata,
"Ayo lekas menggotong pergi mereka, bila diketahui Toa-suheng tentu akan
dihajar atau didamprat lagi."
Dari suaranya jelas orang
inilah yang digampar sang Toa-suheng tadi. Lui-ji coba mengintip baru
diketahuinya bahwa orang ini adalah si jerangkong hidup.
Rupanya orang-orang itu memang
sangat takut kepada sang Toa-suheng, begitu si jerangkong menyinggung nama
Toa-suheng, seketika orang-orang itu klakap-klakep, tiada satu pun berani
bersuara lagi. Sementara seorang diantara mereka menyeret Pwe-giok keluar
kereta.
Seorang lagi lantas berkata,
"Jisuheng, apakah kita juga akan membawa Ji-nio ke atas panggung
sembahyang?"
Dengan suara dingin ia
menjawab, "Inikan perintah Toa-suheng." Setelah ragu sejenak, lalu ia
berkata pula, "Biasanya Ji-nio disayang oleh Kaucu, entah mengapa sekali
ini dia telah melanggar peraturan, masa orang seperti dia sampai berbuat
sesuatu kesalahan yang tak terampunkan?"
Lui ji masih mengintip dengan
membuka sedikit kelopak matanya, dilihatnya sekeliling gua itu penuh obor, api
obor yang gemerdep menyinari batu gua yang beraneka ragamnya itu.
Ditengah-tengah gua terdapat empat gunduk api unggun, di sekeliling api unggun
itu adalah sepotong batu besar, mungkin batu inilah yang dimaksudkan sebagai
panggung atau altar sembahyang.
Di luar sudah buntut musim
rontok hawa sudah dingin, tapi di dalam gua ini hanya terasa hangat seperti di
musim semi. Bahkan Lui ji merasa kegerahan dan berkeringat. Ia tidak paham
mengapa orang-orang ini menyalakan obor sebanyak ini apakah mereka takut
dingin?
Tapi segera ia melihat di
samping setiap api unggun dikitari belasan kotak perak yang terukir sangat
indah, dari dalam kotak itu terus menerus mengeluarkan suara kresek-kresek yang
aneh suara seperti ular makan daun. Waktu mula-mula mendengar suara itu tidak
terasa apa-apa, tetapi lama-lama Lui-ji merasa berdiri bulu romanya badan terasa
gatal seolah dirambati oleh ular kecil yang tak terhitung jumlahnya.
Orang yang berada dalam gua
ini tidak banyak, termasuk Ji-suheng si jerangkong itu, seluruhnya cuma enam
orang saja.
Ke enam orang itu menggotong
Lui-ji berempat ke atas altar, lalu mengikat mereka dengan tali berwarna perak,
habis itu mereka lantas berdiri khidmat di samping, tiada satu pun berani
berbicara.
Tidak lama kemudian, orang
yang dipanggil sebagai Toa suheng itu muncul di balik tonggak batu yang
berwarna-warni sana, kini bajunya sudah berganti menjadi baju panjang berwarna
perak mengkilat. Tangannya malah membawa kipas sempit, di pandang dari jauh
tampak ganteng juga. Tapi sesudah dekat, ketika cahaya obor menyinari
mukanya.....Wah, jangankan manusia, sekalipun setan juga tidak lebih menakutkan
daripada wajahnya.
Raut sang Toa-suheng ini
sebenarnya tidak kurus, tapi entah sebab apa daging pada mukanya itu hampir
sebagian besar lenyap entah dimakan apa. Setengah bagian sebelah kiri hidungnya
masih utuh, tapi hidung sebagian kanan juga hilang. Pada satu bagian kulit
dagingnya masih baik, tapi diantara dibagian bawah kulitnya terkelupas sehingga
kelihatan tulangnya yang putih kelabu.
Kedua tangannya juga cacat,
sepuluh jari kini tersisa empat jari saja, tiga jari ditangan kanan dan tangan
kiri cuma tersisa sebuah jari. Enam jari yang lain entah hilang digerogoti
makhluk apa?
Orang ini tampaknya adalah
sisa-sisa dari mangsa segerombolan serigala lapar.
Namun ke enam orang lain
ternyata sangat takut padanya, begitu melihat dia muncul, mereka lantas
menunduk, memandang saja tidak berani mereka menyapa dengan mengiring tawa,
"Perintah Toa-suheng tadi sudah kami laksanakan dengan baik."
Sang Toa-suheng hanya
mendengus saja, sinar matanya yang serupa mata ular itu memang sekejap ke arah
empat orang yang menggeletak di altar itu, lalu berkata dengan tersenyum seram,
"Kukira orang-orang itupun perlu dibangunkan."
Sembari bicara ia terus
pentang kipasnya ia mengipas beberapa kali di atas muka ke empat orang itu,
seketika Lui-ji mengendus semacam bau aneh. Toa-suheng itu menyapu pandang
sekejap pula lalu tertawa terkekeh-kekeh, katanya, "Hehe, tak tersangka
Oh-lolo yang termasyhur kini juga jatuh didalam genggaman aku si Siang
Ji-long."
Mendengar ucapannya, Pwe-giok
dan Oh-lolo yang sudah siuman itu merasa tenang malah. Sedangkan Lui-ji
berlagak terkejut, "He, siapa kau? Mengapa kami dibawa ke sini?"
Siang Ji-long, si Toa-suheng,
mendengus, "Hm, jangan sok ceriwis, nona cilik, bila kau omong lagi segera
ku copot satu biji gigimu!"
Dalam keadaan demikian, Lui-ji
benar-benar tidak berani mengoceh lagi. Kalau di depan Lo-cinjin, Kun Hay-hong
dan lain-lain ia berani bicara tajam untuk membikin marah mereka, sebab cukup
kenal jalan pikiran mereka yang sok menjaga gengsi, biarpun gemas setengah mati
juga takkan bertindak kepadanya.
Akan tetapi Siang Ji-long ini
tidak boleh dibuat permainan, apa yang dikatakannya pasti juga dapat
diperbuatnya, di depan orang demikian tentu saja Lui-ji bisa melihat gelagat
dan membawa diri.
Lalu Siang Ji-long menuding
Pwe-giok dengan kipasnya dan bertanya, "Kau inikah Ji Pwe-giok?"
"Betul," jawab Pwe
giok singkat.
Untuk sekian lamanya Siang
Ji-long melototi Pwe-giok, ucapnya sambil menyeringai, "Ternyata memang
betul seorang anak bagus, pantas ketiga Tongcu agama kami sama terpikat olehmu.
Sebentar kalau tidak ku kembalikan mukamu berubah serupa mukaku, maka anggaplah
aku kurang hormat padamu."
"Mungkin Anda berharap
muka setiap orang di dunia ini akan berubah seperti mukamu, begitu bukan?"
tanya Pwe-giok.
Terpancar sinar mata buas pada
kedua mata Siang Ji-long, mendadak ia gampar muka Pwe-giok sambil membentak
dengan suara parau, "Kau kira mukaku memang begini sejak lahir? Hm, biar
ku katakan padamu, sebenarnya aku....aku....." saking terangsang
perasaannya sehingga dia tidak dapat melanjutkan
"O, kasihan anak
ini," tiba-tiba Oh-lolo menimbrung dengan menghela napas, "Tentunya
kau pernah dihukum "Thian-can-po-te (badan digerogoti ulat), makanya
wajahmu berubah menjadi begini. Tapi dapat kubayangkan, dahulu kau tentu sangat
cakap, betul tidak?"
Napas Siang Ji-long tampak
terengah karena emosi, jengeknya, "Betapapun, Oh-lolo memang
berpengetahuan luas, sampai hukuman digeragoti ular dari agama kami juga tahu,
kau memang seorang Cianpwe sejati."
"Apakah hukuman
Thian-can-po-te itu? Apakah kulit daging pada mukamu itu digeragoti ulat
sehingga seperti sekarang ini?" seru Lui-ji.
Siang Ji-long tertawa seram,
ucapnya, "Kukira kau tidak perlu tanya, sejenak lagi kau sendiri pun akan
mencicipi rasanya digeragoti ulat."
Tiba-tiba Oh-lolo berseru,
"Bocah she Ji dan budak cilik itu tidak ada sesuatu hubungan dengan
diriku, nenek reyot juga tidak ada permusuhan apapun dengan Thian-can-kau,
bilamana mereka hendak kau bunuh, janganlah nenek juga kau masukkan hitungan bersama
mereka."
Tapi Siang Ji-long hanya
mendelik saja, apa pun yang dikatakan Oh-lolo tidak digubrisnya, dianggapnya
tidak mendengar saja.
Oh-lolo menghela napas,
katanya kemudian, Ji Pwe-giok, "Ji kongcu, bukankah kau ini pemuda maha
cerdik, kenapa kali ini kau pun kena dikerjai orang dan menumpang kereta setan
serta dibawa ke sini?"
Diam-diam Pwe-giok menyesal
juga. Waktu itu, yang terpikir olehnya hanya keselamatan Cu Lui-ji sehingga
keanehan kereta ini tidak diperhatikan olehnya.
Melihat Pwe giok hanya
termangu-mangu, Lui-ji menjadi terharu, basah matanya, sambil menggigit bibir
ia berkata, "Ku tahu semua ini dilakukan Sicek demi diriku, jika bukan
lantaran diriku, tidak nanti Sicek terjebak."
"Ah, tidak ada
sangkut-pautnya dengan kau." ujar Pwe-giok dengan tertawa sedapatnya,
"yang harus disesalkan adalah tidak pernah ku duga bahwa Thian-can-kau
tetap tidak mau melepaskan Gin ho nio, dia....."
Pada saat itulah mendadak
Gin-hoa-nio berteriak. "He, Siang Ji-long, mengapa kau pun mengikat diriku
di sini? Lekas bebaskan aku!"
Sejak kehilangan tenaga dalam,
badan Gin hoa nio jadi lebih lemah dari pada seorang yang tidak mahir ilmu
silat. Kalau Pwe-giok bertiga sudah siuman sejak tadi, Gin hoa nio baru
mendusin sekarang.
Siang Ji-long bersikap tak acuh,
jengeknya "Ji-kohnio (nona kedua), apakah sekarang kau bermaksud bersikap
garang lagi padaku?"
"Jangan lupa, orang she
Siang", damprat Gin hoa nio dengan gusar, "waktu kau sekarat dahulu
siapakah yang telah menyelamatkan dirimu?"
"Betul kau yang menyelamatkan
diriku" jawab Siang Ji-long, "tapi kalau kau tidak mengadu kepada
Kaucu bahwa aku telah mengganggu kau mana bisa Kaucu menghukum diriku dengan
Thian-can-po-te?"
Mendadak sorot matanya
memancarkan cahaya buas, ucapnya dengan dingin, "Apalagi sekali ini kau
telah mengkhianati Kaucu, siapa pun tidak mampu lagi menolong kau. Tapi kalau
kau pun tidak meniru diriku, sanggup menahan siksaan digerogoti Thian-can, maka
mengingat hubungan baik kita di masa lampau akan kuberi jalan hidup
padamu,"
Tampaknya Gin hoa nio menjadi
ketakutan sehingga mukanya berkerut-kerut, ucapnya dengan suara gemetar,
"Hendaklah kau tahu, Kaucu adalah ayahku sendiri, mana beliau akan
menghukum diriku sekejam itu."
"Masa tidak?" jengek
Siang Ji-long.
"Sudah tentu tidak, lekas
kau lepaskan diriku," seru Gin hoa nio dengan parau.
"Hm," Siang Ji long
mengejek, "apakah kau tahu, sejak kau curi pusaka Siau hun kiong dan
mengelabui Kaucu diam-diam Kaucu sudah menyuruh kukuntit jejakmu. Ketika di
tanah pekuburan di luar Li toh-tin sana, bila kau mau tunduk dan mengaku salah,
mungkin dosamu akan diberi keringanan....." dia merandek sejenak, lalu
menyambung pula, tapi kau percaya kepada kekuatan orang luar dan mengadakan
perlawanan terhadap Kaucu, dari sini terbuktilah sudah lama ada niatmu akan
berkhianat, sekarang apa pula yang dapat kau katakan?"
"Hah, jadi di tanah
pekuburan dulu itu, kiranya cuma kau saja yang main gila padaku?" seru Gin
hoa nio.
"Memang cuma diriku ini
saja, bilamana Kaucu sendiri, mungkinkah kau hidup sampai saat ini?" kata
Siang Ji long.
"Sejak dulu sudah
kuketahui kau bukan manusia, nyatanya kau memang binatang." ucap Gin hoa
nio dengan gemas.
"Dan sekarang kau telah
jatuh di tangan si binatang," jengek Siang ji long sambil menyeringai
"Kau kira akan dapat lolos dari pengejaran Kaucu kita padahal sudah lama
kutunggu kau di luar Li-toh-tin, baru waktu kau ditangkap oleh anak buah Ji
Hong-ho di tengah kebakaran itu, lalu ku tolong kau, tujuanku justeru ingin
membikin kau juga mencicipi bagaimana rasanya tersiksa seperti apa yang pernah
ku alami."
Dia bergelak tertawa, lalu
menyambung, "Tapi sama sekali tak kusangka ketiga orang ini dapat
mengantarkan nyawa sendiri padaku. Waktu itu kulihat bocah she Ji ini seperti
orang kebingungan begitu melihat aku lantas seperti ketemu bintang penolong,
tak tahunya aku justeru setan pencabut nyawa baginya."
Lui-ji menghela nafas,
katanya, "Baru sekarang ku tahu kiranya demikian adanya, rupanya nasibmu
saja yang lagi mujur."
* * *
Hawa dalam gua semakin panas,
Lui ji dan lain-lain sama basah kuyup oleh air keringat, tapi pada wajah Siang
Ji-long tiada dapat sebutir keringatpun. Dengan perlahan dia menggoyangkan
kipasnya dan mondar-mandir mengelilingi gundukan api unggun, mendadak ia
mengangkat salah satu kotak perak itu dan diketuknya perlahan beberapa kali.
Mendadak kotak yang berada di
tangan itu bergerak-gerak, melonjak-lonjak, mengeluarkan semacam suara aneh,
seperti ada barang apa didalam yang lagi menumbuk kian kemari dan berusaha
menerjang keluar.
Besar kotak perak itu kurang
lebih 20 kali 30 senti, tingginya cuma belasan senti, dengan sendirinya isinya
juga tidak mungkin berbentuk besar, akan tetapi tenaga gentakannya ternyata
cukup keras sehingga kotak perak itu ikut melonjak-lonjak. Siang Ji-long
tertawa terkekeh-kekeh, katanya "Tidak perlu tergesa-gesa, sudah ku
sediakan satu partai daging segar dan sebentar lagi kalian pasti boleh berpesta
pora."
Gin hoa nio tampak ketakutan
memandang kotak yang dipegang Siang Ji-long, mukanya pucat pasi.
"Apakah isi kotak itu Thian-can?"
tanya Lui ji.
"Ehm," Gin hoa nio
mengangguk.
"Apakah Thian can suka
makan manusia?" tanya Lui-ji pula.
Tapi Gin hoa nio tampak
gemetar sehingga giginya gemerutuk, bicara saja sukar.
"Jangan-jangan karena
Thian can tidak tahan dingin, maka di sini dibuat api unggun sebanyak
ini?" kata Lui-ji.
Mendadak Siang Ji-long
mendelik, ucapnya sambil menyeringai, "Kau masih bisa iseng bertanya
macam-macam, sebentar kalau Thian can sudah merayap tubuhmu, mungkin kau akan
menyesal mengapa kau masih hidup di dunia ini."
"Huh, kata-katamu ini
tidak dapat menggertak kami," jawab Lui-ji dengan tak acuh. "Betul
tidak Sicek?"
Tapi waktu ia berpaling ke
sana, dilihatnya bibir Pwe-giok juga pucat, matanya buram, tampaknya juga
ketakutan sehingga tidak mendengar apa yang ditanyakan itu.
Diam-diam Lui-ji menghela
napas, pikirnya "Tak kusangka Sicek sedemikian mementingkan mati hidup,
bisa jadi lantaran selama ini aku tidak kenal betapa bahagianya orang hidup,
makanya aku tidak takut mati."
Dilihatnya Pwe-giok mengangkat
kepala dan tanya Oh-lolo dengan melotot, "Racun pada kukumu itu apakah
betul tak tertolong lagi selewat 3 hari?"
Mendengar ini, Lui-ji jadi
terharu, hampir saja ia mengucurkan air mata, perasaannya entah manis entah
getir.
Baru sekarang diketahuinya
bahwa yang dipikirkan Pwe-giok itu ternyata bukan mati atau hidupnya sendiri,
dalam keadaan demikian yang senantiasa dipikirkannya justeru adalah racun yang
menyerang Cu Lui ji itu dapat ditolong atau tidak.
Seketika Lui-ji
termangu-mangu, apa yang diucapkan Oh-lolo tidak lagi didengar dan
diperhatikannya. Apakah racun yang menyerangnya bakal tertolong atau tidak juga
tidak diperdulikannya lagi.
Cukup kata-kata Pwe-giok yang
didengarnya tadi, andaikan sekarang dia harus mati juga rela. Maklumlah, sejak
kematian ibunya, dia tak pernah terbayang olehnya bahwa di dunia ini masih ada
orang yang sedemikian memperhatikan dirinya tanpa menghiraukan keselamatannya
sendiri.
Entah sudah lewat beberapa
lama lagi, sekonyong-konyong terdengar suara detak kaki binatang dari kejauhan
dan makin mendekat ke arah gua ini.
"Sret", mendadak
Siang Ji long melipat kipasnya, ia melayang kesana dan berdiri di atas sebuah
tonggak batu yang serupa rebung itu lalu membentak, "Siapa itu yang di
luar?"
Tapi tidak ada jawaban apa
pun, sebaliknya suara detak kaki binatang tunggangan itu semakin dekat.
Siang Ji-long memberi tanda,
ke enam orang berseragam perak tadi segera bergerak dan mencari tempat sembunyi
masing-masing di balik tonggak.
Melihat gerak tubuh mereka,
baru sekarang Lui-ji tahu kungfu mereka memang selisih sangat jauh dengan Siang
Ji-long, pantas mereka sangat takut padanya.
Terlihatlah Siang Ji-long
berdiri tegak di ujung rebung batu tanpa bergerak sedikit pun, hanya kedua
matanya tampak gemerdep, bentuknya itu jadi lebih mirip mayat hidup yang baru
keluar dari liang kubur.
Dengan tangan kanan memegang
kipas, tangan kiri Siang Ji-long tetap membawa kotak perak tadi hanya sebelah
ujung kakinya saja yang menempel ujung rebung batu, tapi ternyata kukuh bagai
terpaku di situ.
Oh-lolo bergumam dengan
gegetun, "Pantas bocah ini sedemikian congkak, tampaknya memang punya isi,
bisa jadi kepandaian Thian can Kaucu sendiri juga selisih tidak banyak dengan
dia."
Belum habis ucapannya,
terlihatlah seekor keledai kecil menerobos masuk ke dalam gua. Hampir sebagian
besar bulu keledai ini sudah rontok sehingga mirip seekor anjing buduk yang
menjijikkan.
Di punggung keledai buduk itu
menumpang seorang kakek bermuka jelek, mukanya belang-bonteng penuh keriput,
dengan mata setengah terpejam kelihatan napasnya terengah-engah, dipandang
sepintas lalu kakek ini dan Oh-lolo dapat dikatakan satu pasangan yang
setimpal.
Lui-ji mendesis, "Kakek
ini berani menerjang masuk ke sini, jangan-jangan dia juga seorang kosen? Kau
kenal dia tidak, Oh-lolo?"
Si nenek menggeleng, jawabnya,
"Kebanyakan tokoh Bu-lim yang punya nama tertentu pernah ku lihat sekali
dua kali, tapi rasanya tidak ada seorang tua semacam dia ini."
Dengan kecewa Lui-ji menghela
nafas, dilihatnya setelah keledai kecil itu berlari masuk ke dalam gua, belum
lagi berhenti seakan-akan lantas berubah menjadi buta.
Mata si kakek juga
keriap-keriap seperti tidak dapat melihat apa-apa lagi, orang bersama keledai
itu langsung menerjang lurus ke arah Siang Ji-long, tampaknya sama sekali tidak
menyadari bahaya apa yang sedang menantikan mereka.
Diam-diam Lui-ji ikut
berkuatir bagi mereka.
Siang Ji-long hanya memandang
saja tanpa bersuara, cuma sorot matanya penuh napsu membunuh, dengan sabar dia
menunggu mendekatnya si kakek bersama keledainya.
Tampak keledai itu sudah
hampir menumbuk tonggak batu itu, Lui-ji dan lain-lain tahu apa bila Siang
Ji-long bergerak, maka orang berikut keledainya pasti akan tamat riwayatnya.
Selagi Lui-ji bermaksud
memperingatkan, tak terduga Pwe-giok sudah mendahului berseru, "Di sini
ini bukan tempat yang baik silahkan Lo-sianseng (tuan tua) lekas putar balik ke
sana saja!"
Baru sekarang kakek itu
menengadah, dengan mata setengah terpicing ia memandang ke atas.
Maka menyeringai lah Siang
Ji-long, katanya "Setibanya di sini, apakah kau ingin putar balik
kesana?"
Kakek itu mengucek-ngucek
matanya lalu menjawab, "Mungkin aku kesasar, apakah ini pun melanggar
undang-undang?"
"Ya, anggaplah kau telah
melanggar undang-undangku," bentak Siang Ji-long dengan bengis "Nah,
serahkan nyawamu!"
Mendadak tangan kirinya
bergerak, seketika enam atau tujuh potong benda kuning yang mengeluarkan cahaya
mengkilat terus melarang ke tubuh si kakek.
Lui-ji tahu itulah Thian can
atau ulat langit, ulat yang berpuluh kali lipat lebih jahat daripada ular
berbisa. Tapi tak disangkanya gerakan ulat itu bisa secepat ini, seolah-olah
bisa melayang mengikuti angin.
Ia menjerit keras, disangka
kulit daging si kakek dalam sekejap saja bisa akan dimakan habis oleh kawanan
ilat itu dan akan tersisa seonggok tulang belaka.
Sungguh ia tidak sampai hati
untuk menyaksikan adegan ngeri itu, baru saja hendak memejamkan mata, mendadak
dilihatnya tangan si kakek menggapai perlahan, tahu-tahu beberapa potong benda
mengkilat itu tergulung seluruhnya ke dalam lengan bajunya.
Hampir saja Lui-ji berkeplok
dan bersorak gembira, tampaknya kakek ini memang betul bintang penolong mereka.
Sekali ini jelas Oh-lolo telah salah lihat.
Wajah Siang Ji-long yang
memang jelek itu berubah buruk, teriaknya dengan parau, "Siapa kau
sesungguhnya?"
Begitu pertanyaan diucapkan,
serentak ia pun melayang ke atas terus menubruk ke bawah, kipasnya seolah-olah
berubah menjadi belasan buah, entah serangan mana yang betul dan serangan mana
yang cuma bayangan, yang jelas sebelum bayangan kipasnya menyambar tiba, lebih
dulu tangan kiri sudah menghamburkan secomot titik-titik perak.
Serangan tidak saja keji dan
cepat, bahkan dalam waktu sekejap saja sekaligus melancarkan berbagai serangan
maut.
Betapa kejinya, sampai siapa
pihak lawan juga tidak perlu diketahuinya lagi, tujuannya hanya satu, mematikan
lawan, biarpun salah membunuhnya juga tidak terpikir.
Diam-diam Pwe giok terkejut,
serangan maut yang hebat ini bila ditujukan kepadanya mungkin ia pun sukar
mengelakkannya.
Siapa tahu, pada saat itu juga
mendadak terdengar suara "blang" yang keras, tubuh Siang Ji-long
mendadak pula melayang balk ke belakang lalu terbanting di tanah dengan
terlentang. Ternyata kipasnya sudah berpindah ke tangan si kakek
"Sret", kakek itu
membentang kipas rampasannya dan mengipas perlahan, kedua matanya
sekonyong-konyong memancarkan sinar tajam, ucapnya terhadap Oh-lolo sambil
tersenyum, "Sekarang tentu nya kau tahu, meski kungfu Siang Ji-long memang
hebat, tapi kalau dibandingkan Thian can kaucu jelas masih selisih sangat
jauh."
Ucapan ini kembali membuat
dingin hati Lui-ji.
Kiranya kakek ini samaran
Thian kaucu, bosnya Siang Ji-long sendiri, pantas sekali gebrak saja serangan
maut Siang Ji-long lantas dipatahkan. Kungfu Siang Ji-long memang ajarannya,
dengan sendirinya setiap gerak serangan dapat dibacanya seperti menghitung
jarinya sendiri.
Lui-ji hanya menyengir saja.
Ternyata Thian can kaucu telah disangkanya sebagai bintang penolongnya.
Dalam pada itu Siang Ji-long
telah merangkak bangun dan menyembah kepada kakek dengan ketakutan, ucapnya
dengan gemetar, "Tecu tidak tahu Kaucu yang datang, sungguh dosa Tecu
pantas dihukum mati."
"Hm kudengar akhir-akhir
ini kau sangat temberang, lantaran aku tidak di rumah, kau lantas bertindak sesukamu,
siapa pun tidak kau pandang dengan sebelah mata, semua ini sekarang benar-benar
telah ku saksikan sendiri," demikian si kakek Thian can kaucu menjengek.
Siang Ji-long sangat
ketakutan, mengangkat kepala saja tidak berani, dengan tetap menyembah ia
berkata, "Kaucu mahir mengubah diri seribu macam, Tecu bermata tapi buta
dan tidak tahu akan kedatangan Kaucu, Tecu menyangka ada orang asing berani
menerobos ke daerah terlarang Thian-can-kau kita, karena kuatir sehingga
terburu napsu melancarkan serangan maut."
"Hm, sekalipun begitu,
pantasnya kau tanya dulu asal-usul pihak lawan, mana boleh tanpa membedakan
hitam atau putih dan segera kau lepaskan Thian can," damprat sang Kaucu
dengan gusar "Apakah lantaran kau sendiri sudah menderita digerogoti
Thian-can, maka kau pun ingin membikin orang lain juga mencicipi rasanya
digeragoti Thian-can untuk menyenangkan hatimu?"
"Tecu tidak berani, Tecu
memang pantas mampus," ratap Siang Ji-long.
Dengan suara lantang Thian can
kaucu berkata pula, "Setiap orang Kangouw sama tahu betapa keji kungfu
Thian can kau kita dan tiada bandingannya di dunia ini, tapi semua orang juga
tahu peraturan Kau kita yang tegas membedakan antara budi dan benci, apa bila
ada orang berani melanggar kedaulatan Kau kita, apapun juga akibatnya akan kita
lawan dan kita binasakan. Tapi setiap anak murid Thian can kau tidak boleh
sembarangan membunuh orang yang tak berdosa, dengan perbuatanmu ini bukankah
kau telah sengaja merusak nama baik Kau kita?"
Berulang Siang Ji-long
menyembah lagi hingga jidatnya lecet dan berdarah, ia memohon, "Tecu
menyadari dosanya, mohon Kaucu memberi ampun."
Rasa gusar Thian can kaucu
tampak berkurang, katanya dengan tegas, "Mengingat kau pernah dihukum
terlalu berat, maka ku perlakukan kau dengan lebih baik dari pada yang lain,
siapa tahu kau malah tambah mengganas dan berbuat tidak semena-mena, jika
selanjutnya sifatmu ini bisa berubah akan untunglah kau, kalau tidak, mungkin
mati pun kau takkan terkubur."
Melihat Thian can kau cu ini,
Pwe giok sendiri pun pangling, sebab orang sudah berganti rupa dari pada apa
yang pernah dilihatnya dahulu, yaitu waktu kepergok di istana bawah tanah
tinggalan Siau-hun-kongcu (ibu Cu-Lui-ji, bacalah dalam jilid 9 dan 10 Renjana
Pendekar).
Ucapan dan tindakan si kakek
tegas dan berwibawa sesuai seorang pemimpin besar suatu aliran tersendiri,
sungguh tidak tersangka kakek jelek ini-lah orang tua yang dilihatnya di
Siau-hun-kiong dahulu, padahal waktu itu si kakek berpakaian serba warna perak.
Pantaslah kalau anak muridnya sendiri juga pangling.
Tertampak Siang Ji-long masih
mendekam di atas tanah dan menyembah beberapa kali lagi, mendadak ia merobek
bajunya sendiri. Maka tertampaklah badannya yang penuh bekas luka, hampir boleh
dikatakan tiada satu bagian pun yang utuh, sungguh mengerikan bagi orang yang
memandangnya. Pada pinggangnya terdapat ikat pinggang, di situ terselip tujuh
bilah pisau perak.
Siang Ji-long melepaskan ikat
pinggangnya dengan deretan pisaunya, lalu dibentangkan di depannya serta
menyembah pula.
Bahwa Siang Ji-long yang tadi
tidak kepalang garangnya kini telah berubah menjadi ahli menyembah, hal ini
tidak saja membuat heran Pwe-giok dan lain, bahkan Thian can kaucu sendiri juga
rada terkesiap, ia bertanya, "Apa yang kau lakukan ini?"