Bab 27 (TAMAT)
Mulailah pemuda yang menjadi
korban perasaan asmara yang menggelora itu melakukan pelayaran di daerah yang
sama sekali asing baginya, melakukan pengejaran terhadap perahu lain yang tidak
dia ketahui ke arah mana perginya. Suma Hoat mengambil keputusan untuk mencari
Maya atau Khu Siauw Bwee sampai dapat. Dia tahu bahwa mereka tentulah berada di
Pulau Es dan dia harus dapat menemukan Pulau Es. Seorang di antara dua orang
dara yang dicintanya itu akan menjadi isterinya.
Perbuatan pemuda itu
benar-benar merupakan perbuatan yang amat nekad. Sudah sejak puluhan, bahkan
ratusan tahun tokoh-tokoh kang-ouw mencari-cari Pulau Es tanpa hasil, sehingga
akhirnya di dunia kang-ouw hanya terdapat semacam dongeng saja tentang Pulau
Es, dianggapnya bahwa pulau itu tidak ada kenyataannya karena tidak pernah ada
yang berhasil menemukannya. Kini, dengan berperahu kecil, tanpa petunjuk hanya
bermodal jejak Kam Han Ki yang dikabarkan melanjutkan perjalanan dengan perahu
dari pantai itu, Suma Hoat mencari Pulau Es. Dia benar-benar sudah nekat karena
cinta kasihnya. Dia seperti seorang yang sudah kelaparan dan kehausan, haus dan
lapar akan cinta karena selama ini dia hanya tenggelam dalam nafsu berahi,
tidak pernah mengenal cinta yang sesungguhnya.
Lebih dari dua bulan dia hidup
di atas perahunya yang mengarungi lautan bebas dan asing. Bekal makanannya
sudah lama habis dan untuk menyambung hidupnya, Suma Hoat terpaksa makan ikan
laut. Kadang-kadang dia mendapatkan binatang darat di atas pulau karena sudah banyak
sekali pulau dia datangi dan yang ternyata bukan Pulau Es, melainkan
pulau-pulau kosong yang tidak ada penghuninya.
Pada hari itu, secara
tiba-tiba badai mengamuk dan menimbulkan gelombang-gelombang sebesar bukit.
Betapapun kuatnya kedua lengan Suma Hoat menggerakkan dayung, namun sama sekali
tidak ada artinya bagi lautan yang sedang mengganas itu. Dia sama sekali tidak
berdaya, seperti seorang bayi dan akhirnya, setelah dia hampir tidak kuat
bertahan lagi, Suma Hoat mengikat tubuhnya, melibatkan tali dengan erat pada
tubuhnya, diikat pada perahu kemudian menyerahkan nasibnya kepada lautan.
Tubuhnya yang terikat pada perahu itu dipermainkan gelombang, diangkat
tinggi-tinggi dan dihempaskan kembali, disambut gelombang lain, dilontarkan ke
atas dan dibanting lagi sampai dia pingsan dan tidak tahu apa yang terjadi
dengan perahu dan tubuhnya.
Dia tidak tahu berapa lama dia
dijadikan permainan gelombang dan sampai berapa jauh dia dihanyutkan. Melihat
keadaan Suma Hoat pada waktu badai mengamuk itu, sungguh mengerikan dan semua
yang melihatnya tidak ada yang akan menduga bahwa dia akan dapat keluar dari
keadaan itu dengan selamat. Akan tetapi apakah yang dapat menentukan mati
hidupnya seorang manusia? Kalau belum tiba saatnya dia mati, tiada kekuasaan di
dunia ini yang akan dapat mematikannya, sebaliknya kalau sudah tiba saatnya dia
mati, tiada kekuasaan apa pun yang akan dapat menyelamatkannya.
Suma Hoat siuman dan membuka
matanya. Kepalanya terasa pening sekali, tubuhnya nyeri semua dan tenaganya
habis. Akan tetapi tubuhnya tidak bergerak-gerak lagi, perahu di mana tubuhnya
terikat itu tidak diombang-ambingkan gelombang lagi. Dia masih mendengar suara
bergemuruh, suara badai mengamuk, akan tetapi perahunya tidak lagi di atas air,
melainkan berada di atas daratan yang kokoh kuat! Dia selamat! Perahunya telah
dilontarkan gelombang ke atas daratan, sedemikian jauhnya sehingga tidak ada
lagi gelombang yang dapat mencapainya.
Suma Hoat mengerahkan tenaga
untuk membikin putus ikatan pada tubuhnya. Namun dia mengeluh dan kaki
tangannya terkulai lemas. Agaknya tidak ada sisa tenaga lagi di tubuhnya. Akan
tetapi tali itu telah mengendur dan dengan perlahan dia meloloskan kedua
lengan, kemudian membuka tali yang mengikat tubuhnya itu dari perahu.
Ketika dia bangun duduk,
kepalanya berdenyut-denyut dan pandang matanya berkunang. Sejenak dia
memejamkan mata, ketika dibukanya kembali dan denyut di kepalanya tidak begitu
hebat, dia memandang ke sekelilingnya. Air laut masih mengganas, ombak membesar
dan angin badai masih mengamuk. Akan tetapi dia telah terdampar ke sebuah pulau
yang cukup besar.
Tiba-tiba dia mendengar suara
mengerikan. Suara melengking dahsyat, suara memekik-mekik seperti bukan suara
manusia. Pekik melengking seperti itu keluar dari dalam dada setan dan iblis,
pikirnya ngeri. Dia lalu menyeret tubuhnya sendiri makin naik ke tengah pulau
agar jangan sampai tercapai gelombang. Tidak lupa dia menggunakan seluruh
tenaga untuk menyeret perahu. Perahu itu telah menyelamatkan nyawanya, dan dia
masih amat membutuhkannya untuk membawanya keluar dari tempat ini.
Setelah melakukan hal itu,
Suma Hoat lalu duduk bersila, mengatur napas untuk memulihkan tenaganya sambil
menanti berhentinya badai yang masih mengamuk dahsyat. Untung bahwa dia telah
memiliki ilmu Jit-goat Sin-kang yang mengandung unsur Yang-kang dan Im-kang.
Dengan Im-kang di tubuhnya, dia dapat melawan hawa dingin yang luar biasa itu,
hawa dingin yang seolah-olah keluar dari dalam tanah pulau yang didudukinya.
Tentu saja pemuda ini sama sekali tidak pernah mengira bahwa dia telah berada
di Pulau Es!
Angin taufan mulai mereda,
agaknya sudah cukup puas mengamuk selama hampir sehari semalam. Suara
bergemuruh pun berhenti. Suma Hoat yang telah beberapa lamanya duduk bersila
mengatur napas, merasa tenaganya sudah pulih sebagian, kepeningan kepalanya
menghilang dan sungguhpun tubuhnya masih lelah dan rasa nyeri-nyeri di seluruh
tubuh masih terasa, dia sudah merasa ringan dan membuka matanya. Laut di pantai
tidak bergelombang hebat lagi, yang terdengar hanyalah suara berkerosoknya air
yang menipis habis di pantai datar.
Suma Hoat teringat akan suara
melengking yang didengarnya ketika badai masih mengamuk tadi. Dia bangkit
perlahan, membalikkan tubuh memandang ke arah tengah pulau yang kini tidak
diselubungi kabut. Ia tercengang dan memandang terbelalak ketika samar-samar
tampak sebuah bangunan di tengah pulau! Hampir dia tidak percaya kepada pandang
matanya sendiri. Digosoknya kedua matanya, lalu memandang lagi. Tidak berubah.
Bangunan itu masih berdiri megah di tengah pulau. Seperti sebuah istana.
Istana....? Istana.... Pulau
Es....?! Tak terasa lagi mulut Suma Hoat berbisik.
Teringatlah dia akan suara
melengking nyaring ketika terjadi badai. Mungkin saja suara manusia kalau
manusianya adalah penghuni Istana Pulau Es yang dia tahu amat sakti. Bangkit
semangatnya setelah timbul dugaan dan harapan di hatinya bahwa dia berada di
Pulau Es, secara kebetulan dan aneh sekali tiba di pulau yang memang
dicari-carinya itu. Jantungnya berdebar keras. Apakah dia akan berjumpa dengan
Khu Siauw Bwee dan Maya? Apakah kedua orang dara yang dicintanya itu berada di
sana?
Ketika ia tiba di depan
bangunan yang indah dan megah itu, Suma Hoat menjadi ragu-ragu untuk masuk. Dua
orang dara itu, sebagai penghuni-penghuni Istana Pulau Es, memiliki ilmu
kepandaian yang dahsyat sekali, apalagi suheng mereka, Kam Han Ki. Mereka
bertiga adalah orang-orang sakti. Tanpa seijin mereka, bagaimana dia berani
memasuki istana itu?
Akan tetapi, setelah
menghadapi ancaman-ancaman maut di lautan ketika dia mencari dua orang dara
itu, ketika mencari Pulau Es, mengapa kini dia merasa takut akan ancaman
kemarahan mereka? Tidak, dia tidak takut karena memang dia sudah nekat. Mereka
adalah orang-orang sakti yang berilmu tinggi, tidak mungkin akan mudah marah hanya
karena dia masuk ke istana tanpa ijin saja. Dengan pikiran ini, melangkahlah
Suma Hoat memasuki istana yang kelihatan sunyi sekali itu. Ruangan depan istana
itu kosong, demikian pula ruangan tengah. Selagi dia kebingungan karena merasa
betapa istana itu menyeramkan dengan kesunyian dan keindahannya, tiba-tiba dia
mendengar suara orang, seperti tengah bersenandung atau membaca doa!
Dia segera menuruni anak
tangga perlahan-lahan dan berhenti di depan sebuah pintu yang tertutup, menahan
napas mendengarkan suara seorang laki-laki yang sedang membaca sajak! Suara itu
gemetar, kadang-kadang terisak, kadang-kadang tersendat-sendat dan diseling
tarikan napas panjang penuh kedukaan. Suma Hoat mendengarkan dengan jantung
berdebar dan hatinya tertarik sekali, akan tetapi dia tidak berani lancang
memasuki ruangan di balik pintu yang tertutup itu. Dia hanya mendengarkan.
Mula-mula suara itu bersajak, dengan nada suara penuh duka, penuh lontaran
pertanyaan dengan suara merintih.
Aduhai sayang, mengapa kalian
begitu kejam?
Mengapa kalian hancurkan cinta
yang indah?
Haruskah cinta berdampingan
dengan benci?
Di mana ada cemburu dan iri,
adakah cinta di sana?
Aduhai sayang,
sesungguhnya siapa yang kalian
cinta?
Akukah.... atau diri kalian
sendiri?
Suma Hoat tertegun dan
bingung. Suara siapakah itu? Dan apa maksudnya? Apa yang telah terjadi dengan
pria itu sehingga mengeluarkan rintihan yang keluar dari hati yang rusak dan
hancur? Dia mendengarkan lagi, karena kembali suara laki-laki itu bersajak,
kini tidak terdengar penuh duka, bahkan berwibawa sungguhpun suara itu masih
menggetar penuh perasaan,
Setiap orang manusia ingin
dicinta
tanpa ada yang menyayang,
hidup terasa hampa,
mengapa....?
Karena hatinya tidak mengenal
cinta!
yang tidak mengenal cinta,
haus akan cinta
dia yang hatinya penuh oleh
cinta sejati
tidak lagi mengharapkan
dirinya dicintai
cinta sejati hanya kenal
memberi
tak tahu minta
tak ingin jasa!
Untuk kedua kalinya Suma Hoat
tertegun. Kini bahkan mukanya terasa panas. Dia merasa seolah-olah dia disindir.
Selama bertahun-tahun, semenjak dia ditinggal mati cinta pertamanya, Ciok Kim
Hwa, dia haus akan cinta kasih wanita. Akan tetapi dia pun tidak pernah jatuh
cinta. Yang ada terhadap wanita-wanita yang diperkosanya hanyalah nafsu semata.
Adakah hatinya tidak mengenal cinta? Setelah bertemu dengan Maya dan Siauw
Bwee, adakah perasaannya terhadap dua orang dara itu pun bukan cinta maka dia
mengharapkan balasan cinta kasih mereka? Aihh, dia tidak mengerti sama sekali,
namun di sudut hatinya, ada sesuatu yang terpesona dan tergetar oleh isi
kata-kata orang yang belum dilihatnya itu. Kembali dia memperhatikan karena
suara itu telah bicara kembali.
Betapa ingin mata memandang
mesra
betapa ingin jari tangan
membelai sayang
betapa ingin hati menjeritkan
cinta
namun Siansu berkata :
Bebaskan dirimu dari ikatan
nafsu!
Mungkinkah pria dipisahkan
dari wanita?
tanpa adanya perpaduan Im dan
Yang,
dunia takkan pernah tercipta!
Betapapun juga, cinta segi
tiga
tidak membahagiakan!
menyenangkan yang satu
menyusahkan yang lain
akibatnya hanya perpecahan dan
permusuhan
ikatan persaudaraan dilupakan
akhirnya yang ada hanyalah
duka dan sengsara!
Kesimpulannya, benarlah pesan
Siansu
bahwa sengsaralah buah dari
nafsu!
Kini Suma Hoat terkejut. Orang
itu menyebut-nyebut Siansu, bukankah yang dimaksudkan itu adalah Bu Kek Siansu,
manusia dewa yang hanya didengarnya dalam dongeng? Dan bukankah murid manusia
dewa itu adalah Maya, Khu Siauw Bwee dan suheng mereka, Kam Han Ki? Kalau
begitu, tentu Kam Han Ki laki-laki di dalam itu! Selagi ia hendak melangkah
maju, tiba-tiba terdengar suara dari balik pintu yang masih tertutup,
Suma Hoat, bagaimana engkau
bisa sampai di sini dan apa kehendakmu?!
Suma Hoat makin kaget. Cepat
dia menjura di tempatnya sambil berkata, Harap Kam-taihiap sudi memaafkan.
Terus terang saja, semenjak perpisahan di medan perang dahulu, saya terus
mengikuti, kemudian mencari-cari Taihiap yang saya duga tentu berada di Pulau
Es. Namun, berbulan-bulan saya tersesat di lautan, dan hanya oleh kehendak
Thian saja maka saya dapat tiba di tempat ini, terbawa hanyut oleh badai yang
mengamuk.!
Daun pintu terbuka dan Suma
Hoat hampir meloncat mundur saking heran dan kagetnya ketika ia melihat orang
yang muncul dari pintu itu. Dia masih mengenal wajah Kam Han Ki, akan tetapi
pakaian orang sakti ini koyak-koyak, rambutnya awut-awutan, mukanya pucat
sekali, matanya merah dan wajah yang tampan itu seolah-olah bertambah tua
belasan tahun dalam waktu tiga bulan ini!
Akan tetapi, kekhawatiran hati
Suma Hoat lenyap ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata Kam Han Ki.
Sama sekali tidak ada tanda marah pada pandang mata itu, pandang mata yang
masih amat tajam menembus jantung dan menjenguk isi hati, akan tetapi begitu
lembut dan penuh pengertian!
Suma Hoat, setelah kami bertiga
melupakan segala urusan pribadi antara kami dengan orang tuamu, mengapa engkau
masih mencari perkara dengan melakukan pengejaran kepada kami? Setelah kini
engkau berhasil mendarat di Pulau Es, apakah kehendakmu?!
Suma Hoat menundukkan mukanya.
Tidak dapat dia menahan pandang mata Han Ki yang begitu lembut namun begitu
penuh kekuatan. Sambil bertunduk dia menjawab,
Maaf, Taihiap. Terus terang
saja, setelah saya mengetahui bahwa Nona Maya dan Nona Khu Siauw Bwee, keduanya
jatuh cinta kepadamu, saya menjadi penasaran dan melakukan pengejaran. Tak
mungkin keduanya menjadi milikmu, tentu seorang di antara mereka akan kautolak
cintanya dan di situlah terbuka harapan dan kesempatanku, Taihiap. Tak perlu
kupungkiri lagi, saya mencinta kedua orang nona itu dan hanya kalau seorang di
antara mereka dapat menjadi isteri saya, hidup saya akan bahagia.!
Mulut di wajah yang pucat itu
tersenyum, senyum yang mengandung iba hati. Alisnya berkerut, kemudian dia
membukakan daun pintu lebar-lebar sambil berkata,
Dua orang nona yang kaucari
sudah tidak ada lagi, Suma Hoat. Yang ada tinggal inilah!!
Suma Hoat memandang ke dalam
dan matanya terbelalak. Di dalam ruangan itu terdapat tiga buah arca dari batu
pualam yang amat indah sekali seolah-olah hidup dan bernapas! Arca tiga orang
yang amat dikenalnya. Yang berdiri di tengah adalah arca Kam Han Ki sendiri,
akan tetapi sayang arca itu bercacat, berlubang dua buah di dahinya, karena
dalam kedukaannya tadi Han Ki telah menusuknya dengan dua buah jari tangannya.
Di sebelah kanan, yaitu di pinggir kiri arca pria itu, adalah arca Khu Siauw
Bwee, cantik jelita, bertubuh ramping dengan wajah yang lemah-lembut, akan
tetapi anehnya, sebelah kaki arca itu buntung! Adapun arca ke tiga yang berdiri
di sebelah kanan arca Han Ki, adalah arca Maya yang amat cantik dan agung,
tanpa cacat, tidak seperti dua arca yang bercacat itu.
Apa.... apa maksudmu? Di mana
mereka? Apa yang telah terjadi?! Hati Suma Hoat merasa tidak enak sekali,
apalagi ketika dia teringat akan keadaan Kam Han Ki yang dihimpit kedukaan dan
teringat akan isi sajak-sajak tadi.
Kam Han Ki menutupkan kembali
daun pintu, kemudian memberi isyarat dengan tangan, mengajak Suma Hoat keluar
dari istana. Setelah tiba di luar istana, dia mempersilakan Suma Hoat duduk di
atas batu hitam yang biasa dipergunakan sebagai tempat berlatih sin-kang.
Setelah mereka berdua duduk, dengan suara yang halus dan tenang, seolah-olah
semua kedukaan telah dihabiskan dalam sajak-sajak tadi, Kam Han Ki lalu
menceritakan betapa dia pun dipermainkan badai dan terlambat mendarat sehingga
tidak berhasil mencegah terjadinya peristiwa yang amat mengerikan, yaitu Maya
dan Khu Siauw Bwee saling bertanding. Maya terluka pundaknya dan Khu Siauw Bwee
buntung kakinya, kemudian kedua orang dara itu terjun ke bawah, ditelan
gelombang yang amat buas di waktu badai mengamuk.
Wajah Suma Hoat menjadi pucat
sekali, matanya terbelalak, mulutnya ternganga dan sampai lama dia tidak dapat
mengeluarkan kata-kata. Tanpa disadarinya, dari kedua pelupuk matanya mengalir
air mata yang turun perlahan-lahan di sepanjang kedua pipinya.
Jadi.... me.... mereka....
telah tewas....?! Akhirnya dia dapat bertanya dengan suara terengah-engah.
Kam Han Ki menggeleng
kepalanya. Hanya Thian yang mengetahuinya. Akan tetapi dapat engkau bayangkan
kalau orang yang terluka melempar diri ke dalam gelombang di waktu badai
mengamuk....!
Ahhhh....!! Suma Hoat
mengeluh, tak dapat menahan air matanya dan diusapnya air mata dengan ujung
lengan bajunya yang koyak-koyak pula karena keadaannya tidak lebih baik dari
Kam Han Ki setelah dipermainkan gelombang seperti itu. Dia tahu bahwa sudah
pasti sekali kedua orang itu tewas. Dia sendiri yang tidak terluka, yang
berperahu, hampir mati dan hanya karena keajaiban saja dia masih hidup. Apalagi
dua orang dara yang terluka, lebih-lebih Khu Siauw Bwee yang sebelah kakinya
buntung, yang melempar diri begitu saja di dalam gelombang!
Mengapa....? Kam-taihiap,
mengapa mereka saling bertanding? Mengapa pula mereka melempar diri ke dalam
gelombang badai? Mengapa....?! dia berteriak penuh penasaran.
Urusan mereka sendiri, Suma
Hoat. Bukan urusanmu dan kiranya tidak ada gunanya kauketahui juga,! Han Ki
berkata tenang dan tegas.
Urusan mereka adalah urusanku
juga, Taihiap! Saya mencinta mereka, saya rela mengorbankan nyawa untuk mereka.
Saya harus mengetahui mengapa mereka melakukan hal itu!!
Kam Han Ki memandang wajah
orang muda itu sambil tersenyum penuh pengertian, lalu berkata, Andaikata kau
ketahui juga, apa gunanya? Yang terpenting adalah untuk mengetahui isi hatimu sendiri,
mengetahui keadaan dirimu sendiri. Engkau berkali-kali menyatakan bahwa engkau
cinta kepada mereka, namun sebenarnya bukan, Suma Hoat. Engkau tidak mencinta
mereka, tidak mencinta siapa-siapa, kecuali mencinta dirimu sendiri. Itu pun
cinta dangkal yang hanya ingin melihat diri sendiri, ingin mencapai kehendak
hati mempersunting si cantik yang menggairahkan hatimu. Setelah kini dua orang
dara yang kaurindukan tidak ada lagi, engkau menjadi kecewa dan berduka, yang
sesungguhnya hanya sedikit selisih dan bedanya dengan keadaanmu apabila engkau
memperoleh seorang di antara mereka karena kulihat tidak ada cinta dalam
hatimu, melainkan cinta berahi belaka!!
Suma Hoat menjadi merah
mukanya, bukan merah karena marah melainkan karena malu. Betapapun menyakitkan
kata-kata itu baginya, namun harus diakui bahwa memang seperti itulah
kenyataannya. Betapapun juga, dia merasa penasaran dan bertanya,
Tentu saja cinta mengandung
sifat-sifat seperti itu, Taihiap. Kalau tidak ada nafsu ingin memperoleh, ingin
bersatu dan berdamping menghilangkan rindu, bukanlah cinta namanya dan mana ada
laki-laki dan wanita bersuami isteri?!
Kam Han Ki menghela napas
panjang. Kedukaan hebat yang menimpanya ketika badai mengamuk, mendatangkan
perubahan luar biasa pada diri pendekar ini, seolah-olah mata batinnya terbuka
dan dia melihat kenyataan-kenyataan yang selama ini tidak dilihatnya. Kenyataan
hidup yang penuh duka dan sengsara, yang kesemuanya timbul karena
kekurangsadaran manusia, yang tercipta oleh keadaan hidup manusia sendiri.
Sebelumnya terjadi peristiwa mengerikan itu memang hatinya sudah mulai terbuka,
maka dia pun ragu-ragu untuk memilih Siauw Bwee yang dicintanya karena maklum
bahwa pemilihan itu hanya terdorong oleh rasa sayang diri dan akibatnya akan
membikin kecewa dan sengsara hati Maya. Namun, sekarang, dia mulai mengerti
hal-hal yang selama ini tidak disadarinya.
Suma Hoat, cinta yang
mengandung kehendak ingin menguasai, ingin memiliki bukanlah cinta yang sejati.
Karena menguasai dan memiliki hanya akan menimbulkan pertentangan dan persoalan
batin, hanya menimbulkan kecewa dan sengsara kalau yang dikuasai dan dimiliki
itu kemudian bersikap tidak sesuai dengan yang kita kehendaki. Bukanlah cinta
yang sejati kalau bersyarat, kalau menuntut balas jasa, menghadapkan hal-hal
yang menyenangkan hatinya sendiri. Cinta macam itu akan menimbulkan cemburu,
iri hati, dengki, amarah dan mungkin berbalik menjadi benci. Padahal di mana
ada cemburu dan lain-lain itu, apalagi benci, di sana tidak mungkin ada cinta!!
Suma Hoat melongo memandang
Kam Han Ki, kemudian menggeleng kepala sampai lama dan berkata, Aihhh.... aku
menjadi bingung, Taihiap.... aku harus merenungkan kata-katamu itu.... aku
tidak mengerti....!
Apabila rasa sayang diri masih
melekat kuat di dalam pikiran, memang sukarlah untuk menjadi waspada, sukar
untuk memandang dan melihat sesuatu sebagaimana adanya, karena kecenderungan
pandangan dikuasai oleh pertimbangan demi kesenangan dan kepentingan diri
pribadi. Sudahlah, Suma Hoat. Karena engkau sudah berada di sini, engkau boleh
tinggal di pulau ini selama yang engkau suka, hanya pesanku, harap engkau
jangan merusak dan mengganggu istana dan isinya.!
Terima kasih atas kebaikan
Taihiap. Memang saya merasa senang sekali tinggal di sini. Setelah kedua orang
nona itu lenyap, hidup tiada artinya bagi saya. Kembali ke dunia ramai hanya
akan berarti mengumbar hawa nafsu berahi belaka. Saya akan bertapa di sini
menjauhkan diri dari dunia ramai, hidup sederhana dan melupakan wanita!!
Kam Han Ki sudah membalikkan
tubuhnya hendak memasuki istana, akan tetapi mendengar ucapan itu, dia
tersenyum dan menoleh, berkata, Apa artinya hidup di tempat sunyi kalau pikiran
dan hatinya masih gaduh dan ribut? Apa artinya hidup sederhana ditandai
pakaian, tempat tinggal, dan makan sederhana kalau semua itu hanya untuk
menutupi hati yang membayangkan kemuliaan hidup? Apa artinya menjauhkan diri
dari wanita dan mencoba melupakannya kalau pikirannya masih penuh dengan
bayangan wanita? Yang perlu sekali dibebaskan adalah batinnya, bukan lahirnya,
Suma Hoat.! Setelah berkata demikian, Han Ki memasuki istana, meninggalkan Suma
Hoat yang makin bengong terlongong mendengarkan semua ucapan itu, merasa
seperti disiram air dingin karena tiba-tiba dia melihat kebenaran nyata
terkandung dalam semua ucapan Kam Han Ki, kebenaran nyata menelanjangi keadaan
hatinya seperti apa adanya sehingga tak mungkin dapat dibantah lagi!
***
Selama beberapa hati, Suma
Hoat memulihkan kesehatannya akibat siksaan badai, kemudian dia menjelajahi
Pulau Es, bukan saja untuk memeriksa keadaan pulau yang menjadi bahan dongeng
ini, juga dengan harapan kalau dia akan bertemu dengan Maya atau Siauw Bwee.
Siapa tahu, dua orang dara itu, atau seorang di antaranya masih hidup. Namun
ada juga kengerian hatinya membayangkan mayat mereka yang akan ditemukannya!
Setelah mengelilingi pulau selama beberapa hari dan tidak melihat bayangan dua
orang dara itu, dia lalu kembali ke tengah pulau dengan niat menemui Kam Han
Ki.
Namun, istana Pulau Es itu
telah kosong! Kam Han Ki tidak ada lagi di situ. Ketika Suma Hoat memasuki
ruangan yang indah di mana beberapa hari yang lalu dia bertemu dengan Kam Han
Ki, dia melihat tiga buah arca itu masih berjajar di situ. Dia mencari dalam
kamar-kamar lain, dan di kamar yang terbesar dia melihat betapa dinding penuh
dengan tulisan-tulisan indah berupa sajak-sajak yang mengandung kedukaan di
samping sajak-sajak mengenai hidup. Sajak yang terpanjang dan ditulis paling
indah membuat dia teringat akan suara Kam Han Ki ketika membaca sajak itu
dengan suara penuh duka, sajak yang dimulai dengan pernyataan keinginan hati
pria yang sedang dibuai asmara :
Betapa ingin mata memandang
mesra
betapa ingin jari membelai
sayang
betapa ingin hati
menjeritkan cinta....
Suma Hoat menghentikan
bacaannya karena kata-kata itu menusuk jantungnya, mengingatkan dia akan
kemesraan cinta dan kelembutan wanita. Dia memeriksa seluruh keadaan istana itu
dan mengagumi bangunan yang amat indah dan halus. Namun hatinya berduka kalau
teringat akan nasib buruk yang menimpa penghuni-penghuninya. Tiga orang manusia
sakti, kakak beradik seperguruan, menjadi cerai-berai oleh cinta yang gagal!
Dan dia sendiri, orang ke empat yang kini secara kebetulan berada di Pulau Es
dan memperoleh ijin untuk menghuni Istana Pulau Es, dia pun seorang manusia
gagal yang rusak oleh cinta gagal pula!
Dengan penekanan mati-matian
terhadap segala keinginan hati mudanya, Suma Hoat hidup sendiri di Pulau Es,
memperdalam ilmu-ilmunya dan terutama sekali melatih Jit-goat Sin-kang. Pulau
Es merupakan tempat yang amat baik untuk melatih sin-kang, karena hawa udara di
situ amat dinginnya. Untuk melawan hawa dingin ini saja sudah merupakan latihan
yang baik dan memperkuat daya tahan tubuhnya. Bertahun-tahun lewat tanpa dia
pedulikan dan tanpa disadarinya, pemuda tampan putera bangsawan yang sudah
biasa hidup mewah itu, hidup menyendiri di Pulau Es selama empat lima tahun
lamanya!
Kurang lebih lima tahun
kemudian, pada suatu pagi, kembali ada badai mengamuk dan air laut naik sampai
beberapa meter tingginya. Pulau Es tergetar dan terguncang hebat, angin bertiup
kencang membuat Suma Hoat yang gagah perkasa itu merasa ngeri juga dan terpaksa
dia menyelamatkan dan menyembunyikan diri ke dalam istana! Karena angin
benar-benar amat kuat, Suma Hoat bersembunyi di ruangan bawah istana itu.
Sampai sehari semalam badai
mengamuk. Suma Hoat tidak dapat keluar dari ruangan bawah karena tiupan angin
menyerbu masuk ke dalam istana. Perutnya terasa lapar dan ketika tiba-tiba
muncul seekor ular dari sebuah lubang di lantai di ruangan bawah tanah itu,
Suma Hoat menjadi girang. Ular itu cukup besar, sebesar lengan tangannya,
berkulit merah dan kelihatan bersih sekali. Sekali melompat, Suma Hoat berhasil
menangkap leher ular dan mencengkeram leher itu sampai putus! Ular mati
seketika, akan tetapi daging dan darahnya masih segar ketika Suma Hoat yang
kelaparan mengulitinya lalu memanggang daging ular di dalam ruangan itu. Bau
yang sedap gurih membuat perutnya makin kelaparan. Dengan lahapnya dimakanlah
daging ular itu sampai habis! Setelah perutnya kenyang, Suma Hoat merebahkan
diri dan tertidur pulas.
Dia mimpi tidur di atas sebuah
ranjang lebar dan indah dalam sebuah kamar mewah dan berbau harum, ditemani
oleh Coa Kim Hwa, Khu Siauw Bwee, dan Maya! Tiga orang dara cantik jelita itu
semua melayaninya dengan manja dan penuh kasih sayang. Bukan main hebatnya
kemesraan yang dinikmatinya itu, yang memeluk dan menciuminya secara bergilir
dan sama sekali tidak bersaing. Gairah ketiga orang dara itu mendatangkan rasa
panas sekali pada tubuhnya, membuat kepalanya berputar rasanya dan matanya
berkunang. Payah juga melayani tiga orang dara yang begitu besar dan panas
gairahnya. Rasa panas makin menghebat sehingga dia terpaksa mendorong mereka ke
samping dan terguling jatuh dari atas ranjang lalu.... sadar dari mimpi!
Aughhhh....!! Suma Hoat
menggosok dahinya, kaget merasa betapa tangannya menjadi basah oleh keringat
yang memenuhi muka dan leher bahkan ketika dia melihatnya, seluruh tubuhnya
berpeluh. Tubuhnya panas bukan main. Agaknya badai telah mereda, tidak terdengar
lagi hembusan angin ribut. Karena tidak dapat menahan panasnya, Suma Hoat
meloncat bangun, terhuyung-huyung dan lari keluar.
Biarpun dia telah berada di
luar istana yang hawanya dingin, tetap saja dia merasa panas. Bukan hanya panas
yang menyiksa, melainkan terutama sekali nafsu berahi yang mengguncangnya dan
menguasainya. Nafsu berahi yang membuat dia membayangkan semua wanita yang
pernah dihubunginya, pernah diperkosanya, membuat dia makin tersiksa.
Auhhh, setan keparat! Iblis
laknat! Ini tentu gara-gara daging ular merah! Celaka sekali, daging itu
mengandung racun perangsang berahi!!
Suma Hoat cepat duduk bersila
dan mengerahkan sin-kangnya untuk melawan rangsangan nafsu berahi yang tidak
sewajarnya itu. Namun, racun ini benar-benar hebat sekaii. Terlalu banyak dia
makan daging ular sehingga amat banyak pula racun yang menguasai dirinya. Suma
Hoat benar-benar tersiksa selama tiga hari tiga malam. Andaikata dia tidak
berada di Pulau Es, di tempat yang sunyi dan kosong tidak ada manusia lainnya,
tentu dia sudah tidak dapat menahan, dan tentu dia sudah melakukan kembali
perbuatan yang menjadi penyakit lamanya, yaitu melampiaskan nafsunya pada
wanita yang mana saja, baik secara halus dengan bujukan maupun secara kasar
dengan perkosaan! Dia menyumpah-nyumpah, bukan hanya memaki ular merah, akan
tetapi juga memaki-maki diri sendiri.
Manusia lemah! Manusia
terkutuk! Bertahun-tahun bertapa, sekarang menghadapi racun yang merangsang
nafsu berahi saja tidak kuat bertahan!! Aduhhh, benar ucapan Kam Han Ki! Sekarang
dia melihat kenyataan ucapan itu, bukan dengan teori, bukan dengan pemikiran,
melainkan kenyataan yang dialaminya sendiri!
Menjauhkan diri dari wanita
bukan berarti dia akan dapat melenyapkan nafsu berahi karena datangnya segala
macam nafsu bukanlah dari luar, melainkan dari dalam diri pribadi, dari pikiran
sendiri! Andaikata dia berada di tengah-tengah antara seribu wanita cantik,
kalau pikirannya menerima kenyataan ini tanpa disertai angan-angan pikiran
membayangkan pengejaran kenikmatan demi si aku, tentu tidak akan terjadi
sesuatu, tidak akan timbul rangsangan yang tidak sehat. Sebaliknya, biarpun
berada di pulau kosong seperti keadaannya sekarang, kalau hatinya masih
mengenangkan dan membayangkan wanita, tentu saja nafsu berahi akan timbul, baik
dengan racun ular merah maupun tidak!
Sambil mengerahkan seluruh
kekuatannya untuk menahan diri agar dia tidak menjadi gila karena rangsangan
nafsu, dalam keadaan tersiksa dan menyendiri itu timbul pula perasaan jemu di
hati Suma Hoat dengan pulau kosong ini. Memang patut dikasihani Suma Hoat.
Demikianlah halnya manusia yang belum terbuka mata batinnya. Batinnya selalu
diamuk pertentangan-pertentangan dalam diri sendiri. Nafsu yang sekarang
dikekang dan ditentang tidak akan hilang, sesaat kelihatannya dapat ditundukkan
akan tetapi di lain saat akan bangkit dan tak dapat dikendalikan lagi.
Keinginan untuk melenyapkan nafsu adalah nafsu itu sendiri dalam kedok lain.
Bagi seorang yang ingin belajar dan mengerti, seyogianya mempelajari dan
mengenal nafsu sendiri apabila nafsu datang, menghadapinya dengan wajar,
meneliti dan waspada akan keadaan diri pribadi, lahir batin.
Hanya orang yang belajar
mengenal diri pribadi setiap saat, meneliti penuh kewaspadaan dan kesadaran
akan sikap diri pribadi terhadap segala sesuatu yang menimpa dirinya, lahir
maupun batin, dia itulah yang akan terbebas dari nafsu, karena dia akan
terbebas pula dari keinginan akan sesuatu demi diri pribadi. Mengenal diri
pribadi, melihat dengan penuh kewajaran bahwa dirinya penuh dengan iri, dengki,
murka, benci, munafik, berahi, dan sebagainya berarti dimulainya pembebasan
akan semua itu.
Sayang sekali Suma Hoat tidak
mau mencari ke dalam, seperti sebagian besar manusia di dunia ini. Setiap
persoalan yang dihadapinya, manusia selalu menunjukkan pandang matanya ke luar,
mencari sasaran, mencari kambing hitam yang akan dipergunakan sebagai penyebab
persoalan. Andaikata manusia suka menunjukkan pandang matanya ke dalam,
mempelajari diri sendiri, sikap diri sendiri menghadapi persoalan itu, maka setiap
persoalan akan dapat diatasi tanpa menciptakan persoalan baru.
Setelah mengerahkan seluruh
tenaganya melawan racun ular merah selama tiga hari, pada pagi hari ke
empatnya, pengaruh racun sudah mulai melemah, sama lemahnya dengan tubuh Suma
Hoat yang selama tiga hari tiga malam mengerahkan tenaga, tidak tidur dan tidak
makan.
Selagi dia menghentikan
perlawanannya terhadap racun, bangkit berdiri dengan lemas dan hendak mencari
makanan, tiba-tiba dia mendengar suara mendesis-desis dari dalam istana. Dia
terkejut dan heran, cepat dia berlari masuk karena memang dia tadinya hendak
mencari bahan makanan yang banyak terdapat di gudang belakang. Mendadak ia
terbelalak dan mencelat ke belakang. Kiranya yang mengeluarkan suara
mendesis-desis itu adalah barisan ular merah yang banyak sekali jumlahnya, ada
ribuan ekor banyaknya, keluar dari dalam istana, dan ada pula yang merayap
datang dari belakang istana. Sukar dikatakan dari mana datangnya ular-ular itu,
mungkin dari bawah istana, mungkin juga dari pantai laut yang letaknya di
belakang istana.
Suma Hoat terkejut dan pucat
wajahnya. Menghadapi ribuan ekor ular beracun itu benar-benar amat menjijikkan
dan mengerikan. Dia lalu melompat dan melarikan diri, menuju ke pantai di mana
dia meninggalkan perahunya. Setelah dia menyeret perahu ke pinggir laut, dia
membalikkan tubuh memandang Pulau Es dan menarik napas panjang berulang-ulang.
Kemudian dia menghampiri sebongkah batu besar. Dia mulai membuat
goresan-goresan pada permukaan batu itu, menulis huruf-huruf dengan tangan
gemetar karena dia memang masih amat lemah sehingga huruf-huruf yang ditulisnya
itu kasar dan buruk jadinya.
Betapa menjemukan ular salju
merah itu! Aku datang ke sini untuk menjauhi wanita, dan daging ular itu
membuat aku menderita hebat! Dan hari ini, tiga hari kemudian, pulau diserbu
ribuan ekor ular salju merah, memaksa aku harus pergi. Keparat! Pulau Es ini
pulau terkutuk agaknya, tanah di bawahnya menjadi istana ular-ular salju merah!
Ataukah nenek moyangku yang terkutuk sehingga Suma Hoat tidak berjodoh dengan
Pulau Es?
Tulisan itu dibuat oleh Suma
Hoat untuk menyatakan penyesalan dan juga diharapkan sebagai peninggalan pesan
untuk Kam Han Ki mengapa dia meninggalkan pulau itu. Kemudian Suma Hoat
mendayung perahunya ke tengah dan mulailah dia meninggalkan Pulau Es untuk
kembali ke daratan yang diperkirakan berada di sebelah selatan atau barat itu.
***
Kegagalan Suma Hoat di Pulau
Es mulai dari kegagalan cinta sampai kegagalan menggembleng diri, membuat
penghidupan pendekar itu menjadi makin rusak! Setelah dia berhasil mendarat,
dunia kang-ouw menjadi gempar lagi dengan munculnya Jai-hwa-sian yang amat
tinggi ilmu kepandaiannya, juga amat berani.
Dalam petualangannya yang
jahat dan berbahaya Suma Hoat tidak mempedulikan anak dara siapa saja yang
disukai, baik dara puteri seorang pembesar tinggi, maupun puteri seorang ketua
partai persilatan besar, anak murid partai besar, asal bertemu dengan dia dan
membangkitkan berahinya, tentu akan dibujuknya atau dipaksanya!
Perbuatannya ini membuat nama
Jai-hwa-sian menjadi makin terkenal sehingga namanya sendiri malah tidak
dikenal orang. Selain itu, juga mendatangkan banyak musuh karena banyak
orang-orang gagah ingin membasminya, dan banyak pula tokoh-tokoh persilatan
merasa sakit hati dan menaruh dendam karena murid wanita atau anak mereka
menjadi korban keganasan Jai-hwa-sian. Namun, sampai belasan tahun Jai-hwa-sian
merajalela, entah sudah berapa ratus orang gagah yang roboh di tangannya, tidak
mampu menandingi kelihaian Dewa Pemetik Bunga ini. Selain lihai, juga
Jai-hwa-sian tidak pernah tinggal lama-lama di sebuah kota, di samping ini dia
jarang memperlihatkan diri sehingga jarang ada orang mengenalnya, kecuali para
wanita korbannya yang sempat hidup setelah diperkosanya. Namun mereka ini,
untuk menjaga kehormatan dan nama sendiri, tentu saja membungkam dan menyimpan
rahasianya sampai mati.
Hampir semua orang gagah di
dunia kang-ouw memusuhinya, tentu saja ada pula yang menganggapnya sebagai
seorang pendekar yang gagah berani karena sesungguhnya, sepak terjang Suma Hoat
memang sebagai seorang pendekar. Di mana pun dia berada dia selalu menentang
kejahatan, membasmi gerombolan perampok, membela yang tertindas dan seringkali
membagi-bagikan harta benda yang dia rampas dari sarang-sarang perampok. Akan tetapi,
tentu saja semua perbuatan baik ini tidak ada artinya karena dikotori oleh
kesukaannya yang terkutuk, yaitu mendapatkan setiap orang wanita yang
menggerakkan hatinya, baik secara halus maupun kasar!
Di antara orang-orang gagah di
seluruh dunia kang-ouw yang menganggapnya sebagai sahabat, adalah Im-yang
Seng-cu, tokoh pelarian Hoa-san-pai yang amat lihai itu. Seringkali mereka
berdua bersama-sama berjuang menghadapi gerombolan-gerombolan penjahat yang
kuat, dan di antara kedua orang ini terdapat kecocokan watak. Namun, semua
nasihat Im-yang Seng-cu tidak dapat mengubah watak buruk, yaitu kesukaannya
memetik bunga dengan paksa (memperkosa wanita)! Kesukaan buruk inilah yang
lagi-lagi memisahkan mereka dan membuat hati Im-yang Seng-cu kecewa dan menyesal
sekali.
Pada suatu pagi, di dalam
sebuah hutan di luar kota Lok-yang, di sebelah utara dekat Sungai Huang-ho,
terdengar jerit mengerikan seorang wanita di antara suara beradunya senjata
tajam dan teriakan-teriakan kesakitan.
Kiranya, sebuah rombongan piauwsu
(pengawal) yang mengantar pelancong dan pengawal barang-barang berharga,
bertanding melawan gerombolan perampok yang hendak merampok barang dan menculik
wanita. Di dalam sebuah kereta yang dikawal, terdapat seorang ibu dengan anak
daranya yang cantik.
Jerit itu keluar dari mulut Si
Dara yang menjadi ketakutan dan berpelukan dengan ibunya yang menangis penuh
rasa takut dan gentar. Sedangkan ayah dara itu pun dengan muka pucat duduk
sambil mengembangkan kedua lengan, seolah-olah hendak melindungi anak isterinya
dengan kedua lengan yang dikembangkan itu!
Biarpun rombongan piauwsu itu
melakukan perlawanan sekuatnya, namun karena jumlah mereka hanya dua puluh
orang sedangkan perampok-perampok itu jumlahnya lebih lima puluh, dikepalai
oleh seorang raksasa tinggi besar bersenjata sepasang ruyung yang mengerikan,
akhirnya rombongan piauwsu itu tewas semua, termasuk para pelayan dan kusir
kereta. Mayat mereka bergelimpangan dan terbenam dalam darah yang memenuhi
tempat itu.
Ha-ha-ha, kumpulkan semua
barang!! kepala rampok itu tertawa-tawa.
Tai-ongya, di dalam kereta
terdapat seorang nona yang amat cantik!! seorang perampok melapor sambil
cengar-cengir.
Ha-ha-ha, bagus. Biar aku
sendiri yang menangkapnya!!
Kepala rampok itu melangkah
lebar, menyingkap tirai jendela kereta dan nampaklah dara remaja itu dipeluk
ibu dan dijaga ayahnya! Sepasang mata kepala rampok itu terbelalak penuh kagum,
air liurnya menitik dan matanya menjadi merah, mulutnya terkekeh genit.
Heh-heh-heh, manis. Marilah
kupondong kau, kusenangkan kau.... ha-ha!!
Pergi! Jangan ganggu anakku!!
Ayah dara itu membentak, akan tetapi sekali saja kepala rampok itu mengayun
tangannya, laki-laki itu terlempar keluar dari kereta!
Jangan ganggu anakku! Setan,
perampok jahat....! Tolooonnggg....!! Ibu dara itu menjerit, akan tetapi
kembali tubuhnya terlempar keluar dari dalam kereta ketika didorong oleh kepala
rampok yang sudah menyambar lengan Si Dara dan ditarik lalu didekapnya. Dara
itu menjadi pucat sekali, tubuhnya menggigil dan tidak ada suara keluar dari
mulutnya saking takut, hanya matanya terbelalak seperti mata seekor kelinci
yang ketakutan.
Karena ibu dara itu pun belum
tua benar dan memang cantik, begitu melihat mereka terlempar dari kereta
sehingga bajunya tersingkap dan kelihatan bentuk dadanya yang masih padat,
seorang perampok segera menubruk dan menciuminya, hendak memperkosanya di
tempat itu juga, di dekat Si Suami yang mulai merangkak bangun sambil memegangi
lengan kiri yang patah tulangnya ketika dia terjatuh tadi!
Bretttt!! Perampok itu sudah
merobek baju wanita itu dan Si Wanita selain meronta-ronta juga menjerit-jerit,
akan tetapi tentu saja dia tidak mampu melawan Si Perampok yang jauh lebih kuat
dan yang tertawa-tawa senang melihat korbannya melakukan perlawanan itu.
Sementara itu Si Dara jelita
yang dipondong oleh kepala rampok, menjerit-jerit dan menggunakan kedua
tangannya memukuli dada perampok itu, akan tetapi Si Kepala Perampok
tertawa-tawa bergelak dan membawa anak dara yang meronta-ronta itu ke belakang
semak-semak, diiringi gelak tawa anak buahnya.
Tiba-tiba kepala rampok itu
terbelalak ketika melihat seorang laki-laki secara aneh sekali tahu-tahu telah
berada di depannya. Seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh lima
tahun, berpakaian mewah dan berwajah tampan, dengan sepasang mata seperti mata
setan, tajam mengerikan!
Lepaskan dara itu!! Laki-laki
itu berkata dengan sikap dingin, suaranya memerintah, seperti seorang bangsawan
memerintah pelayannya saja.
Tahulah Si Kepala Rampok bahwa
dia berhadapan dengan seorang lawan yang hendak menentangnya. Sambil tertawa
dia melempar dara itu ke atas rumput, kemudian berkata, Kiranya masih ada yang
belum mampus, keparat!! Dia menggerakkan ruyungnya, akan tetapi tiba-tiba
tampak sinar berkelebat disusul pekik Si Kepala Rampok yang melihat betapa
lengan kanannya terbang bersama ruyungnya, darah muncrat dari pangkal lengan
kanan yang buntung!
Singgg....! crottt!! Kembali
sinar berkelebat dan kini pangkal lengan kirinya yang buntung!
Si Kepala Rampok menjerit
mengerikan sebelum tubuhnya tcrjengkang rohoh, matanya terbelalak dan ia
berkelojotan dalam sekarat!
Karena para perampok sedang
sibuk dengan kesenangan masing-masing, membongkar-bongkar barang berharga,
mereka tidak melihat peristiwa aneh itu. Ketika Si Perampok tengah berusaha
memperkosa ibu Si Dara yang melakukan perlawanan keras, tiba-tiba perampok itu
memekik nyaring dan tubuhnya terlempar ke belakang, lambungnya robek dan
ususnya keluar.
Barulah para perampok sadar
bahwa ada seorang pengacau! Mereka cepat mengurung laki-laki perkasa itu dan
gegerlah mereka setelah ada yang melihat betapa kepala rampok pemimpin mereka
itu telah berkelojotan dengan kedua lengan buntung! Sisa gerombolan perampok
yang masih ada tiga puluh orang lebih itu kini mengurung dan menyerbu laki-laki
itu dan menghujankan senjata. Akan tetapi, laki-laki itu memutar pedang yang
berubah menjadi sinar bergulung-gulung, tubuhnya berkelebat ke sana-sini dan
terdengar teriakan-teriakan disusul robohnya para perampok itu seorang demi
seorang! Keadaan di tempat itu sungguh mengerikan dan akhirnya, semua perampok
roboh dan tewas, kecuali seorang yang berusaha melarikan diri. Laki-laki itu
menoleh ke arah perampok yang melarikan diri, kakinya mencongkel sebatang golok
yang terletak di atas tanah, menendang dan terdengarlah jerit perampok itu yang
roboh dengan golok menembus punggung!
Selesailah pertandingan itu
dan keadaan menjadi sunyi sekali, kecuali suara isak tangis ibu dan anak yang
saling merangkul, dan suara ayah Si Dara yang menghibur mereka. Di sekeliling
tempat itu penuh dengan mayat! Di tengah-tengah tempat mengerikan itu,
berdirilah laki-laki setengah tua yang tampan tadi, kini tersenyum-senyum dan
matanya ditujukan kepada Si Dara yang sedang menangis bersama ibunya.
Ayah Si Dara itu bangkit dan
mengajak anak isterinya menghampiri pendekar itu, berlutut dan memberi hormat.
Taihiap, kami sekeluarga
menghaturkan banyak terima kasih atas pertolongan Taihiap,! kata Si Ayah.
Bangunlah, sudah sepatutnya
kalau aku menolong kalian, terutama sekali mengingat akan puterimu. Semua ini
berkat nasib puterimu yang amat baik.! Terdengar pendekar itu berkata.
Mendengar suara yang halus
itu, Si Dara mengangkat muka dan tiba-tiba kedua pipinya berubah merah sekali.
Tadi dia melihat wajah menyeramkan dari Si Kepala Rampok yang hampir saja
memperkosanya. Kini melihat wajah amat tampan dan gagah dari pria yang telah
menyelamatkannya, hati siapa yang tidak akan berdebar dan tertarik?
Pertolongan In-kong lebih
berharga daripada nyawa dan sampai mati pun saya tidak akan melupakannya.! Dara
itu berbisik dengan suara mengandung isak karena bersyukur.
Laki-laki perkasa itu
membungkuk, menyentuh kedua pundak dara itu dengan sentuhan mesra, menyuruhnya
bangkit,
Aku pun merasa bahagia sekali
dapat menyelamatkanmu, Nona.!
Taihiap, kami adalah keluarga
Kwa dari Tai-goan hendak pindah ke Lok-yang. Bolehkah kami mengetahui nama
besar Taihiap dan mempersilakan Taihiap singgah di tempat kediaman baru kami?!
kata pula Kwa Liok, ayah Si Dara itu.
Namaku adalah Suma Hoat, dan tentu
saja saya suka singgah, karena memang saya pun hendak ke Lok-yang, sekalian
akan saya kawani kalian sampai ke Lok-yang dengan selamat. Silakan naik kereta,
biar aku yang akan mengemudikannya.!
Ketika keluarga yang terdiri
dari ayah ibu dan anak itu sudah naik kereta, Suma Hoat bertanya, Milik
siapakah barang-barang di dalam kereta ke dua di belakang itu?!
Bukan milik kami Taihiap.
Mungkin barang-barang kiriman yang dikawal oleh rombongan piauwsu. Kami hanya
ikut rombongan dengan membayar biaya pengawalan, kami keluarga miskin tidak
membawa barang apa-apa kecuali bungkusan-bungkusan dalam kereta ini.!
Suma Hoat mengangguk-angguk,
meloncat ke belakang dan setelah memilih dan mengantongi beberapa benda
berharga dari emas permata, dia lalu kembali ke kereta, naik ke tempat di depan
dan mencambuk dua ekor kuda yang tadi ketakutan itu sehingga dua ekor binatang
itu membalap ke depan menarik kereta.
Setelah tiba di rumah keluarga
Kwa di Lok-yang, tentu saja Suma Hoat diterima sebagai tamu agung, dihormati oleh
suami isteri Kwa dan terutama oleh puterinya, Kwa Bi Kiok yang benar-benar
merasa kagum dan berhutang budi kepada penolongnya itu. Dara ini memang cantik
manis, maka tidaklah mengherankan apabila timbul rasa suka di hati Jai-hwa-sian
terhadap gadis itu!
Seperti biasa, begitu hatinya
tergerak, begitu nafsunya terangsang, dia harus mendapatkan gadis itu dan
kebetulan sekali, terhadap Bi Kiok, Suma Hoat tidak perlu mempergunakan
kekerasan karena ketika pada malam harinya dia memasuki kamar gadis itu, dia
diterima dengan penuh kemesraan dan cinta kasih!
Sekali ini tidak seperti
biasanya, Suma Hoat jatuh hati terhadap Bi Kiok. Biasanya, setelah gairah
nafsunya terlaksana terhadap seorang wanita yang dikehendakinya, dia tidak mau
menengok lagi dan meninggalkan si korban begitu saja. Akan tetapi entah
mengapa, terhadap Bi Kiok dia tidak dapat bersikap demikian. Timbul rasa cinta
dan kasihan terhadap gadis ini dan di dalam diri Bi Kiok, dia seolah-olah
menemukan sesuatu yang dicari-carinya, bagaikan seekor burung yang gelisah
menemukan pohon yang cocok untuk berteduh seperti sebuah perahu menentukan
pangkalan yang tepat untuk berlabuh. Ataukah, mungkin juga dia menemukan cinta,
bukan hanya nafsu berahi seperti biasanya?
Malam hari itu dia tinggal di
rumah Kwa Bi Kiok, bahkan dia menghadiahkan semua barang-barang berharga,
perhiasan-perhiasan indah mahal kepada kekasih barunya ini. Dia menjadi amat
jinak!, tidak pernah keluar rumah. Apalagi setelah ayah bunda Bi Kiok
mengetahui akan hubungan antara penolong mereka dan puteri mereka, peristiwa
yang mereka sesalkan akan tetapi mereka tidak berani mencegah atau melarangnya,
Suma Hoat hidup di dalam rumah itu sebagai pengantin baru dengan Bi Kiok yang
ternyata amat mencintanya.
Makin mendalam perasaan Suma
Hoat terhadap Bi Kiok ketika tiga bulan kemudian kekasihnya itu mengandung!
Kalau saja dia tidak khawatir akan datangnya malapetaka, tentu dia akan menikah
secara resmi dengan kekasihnya itu. Akan tetapi betapa mungkin dia melakukan
pernikahan? Begitu namanya tersiar, tentu akan datang musuh-musuh besar yang
selalu mencarinya, dan gadis yang menjadi isterinya tentu akan dimusuhi pula.
Bahkan sampai tiga bulan tinggal di dalam kota Lok-yang ini saja sudah
merupakan hal yang amat berbahaya dan belum pernah dilakukan sebelumnya.
Biasanya dia selalu berpindah-pindah, tidak lebih dari sepekan saja berada di
sebuah kota. Akan tetapi, karena Bi Kiok, dia kini telah tiga bulan berada di
Lok-yang. Biarpun selama tiga bulan itu dia tidak pernah keluar dari dalam
rumah, apalagi melakukan perbuatannya sebagai Jai-hwa-sian, namun sudah amat
berbahaya.
Pada suatu malam, terjadilah
apa yang dikhawatirkan oleh Jai-hwa-sian. Selagi tidur bersama Bi Kiok yang
pulas dalam pelukannya, dia mendengar gerakan yang perlahan sekali di atas rumah!
Dia menengok dan memandang wajah kekasihnya, wajah yang cantik manis dan
gemilang mengeluarkan cahaya cemerlang seperti biasa wajah seorang wanita yang
mengandung, tidur pulas dengan bibir tersenyum penuh kepuasan dan kebahagiaan.
Jantung Suma Hoat seperti ditusuk rasanya. Dia mencinta wanita ini! Hati-hati
sekali dia menarik lengannya yang dijadikan bantal oleh kepala Bi Kiok, cepat
mengenakan pakaian dan sekali berkelebat, dia telah meloncat keluar dari kamar
membawa pedangnya.
Tepat seperti apa yang diduga
dan dikhwatirkannya, begitu tubuhnya melayang naik ke atas genteng, lima orang
telah menghadapinya!
Jai-hwa-sian, iblis keparat,
serahkan nyawamu kepada kami!! seorang di antara mereka membentak. Tanpa
menanti jawaban, lima orang itu telah menerjang maju serentak dengan senjata
mereka.
Suma Hoat tidak ingin
mengagetkan kekasihnya, juga tidak ingin kekasihnya tahu akan keadaan dirinya,
maka dia hanya mengelak lalu melarikan diri untuk memancing musuh-musuhnya itu
melakukan pengejaran. Maka dia tidak berlari terlalu cepat sehingga
musuh-musuhnya mampu menyusulnya keluar dari kota Lok-yang.
Akan tetapi yang mengejar Suma
Hoat hanya empat orang, sedangkan orang ke lima, seorang hwesio, telah melayang
turun dan memasuki rumah keluarga Kwa. Kwa Liok telah bangun karena kaget
mendengar suara berisik tadi, dan melihat seorang hwesio di situ, dia kaget dan
heran sekali. Akan tetapi, hwesio yang berwajah tenang itu segera berkata,
Harap engkau tidak kaget dan
lebih baik kau lekas melihat keadaan puterimu. Pinceng percaya bahwa engkau
tentu mempunyai seorang gadis.!
Tentu saja Kwa Liok bingung
dan heran. Dia menangguk, menelan ludah dan berkata, Memang, Twa-suhu, kami
mempunyai seorang anak perempuan, akan tetapi.... mengapa....?!
Lekas, lihat ke dalam kamarnya!!
Hwesio itu mendekat dengan alis berkerut karena dia khawatir kalau-kalau
Jai-hwa-sian telah memperkosa puteri tuan rumah ini.
Biarpun ragu-ragu dan heran,
Kwan Liok menghampiri kamar puterinya. Tiba-tiba muncul isterinya yang menjadi
pucat melihat seorang hwesio bersama suaminya menghampiri kamar puterinya.
Tanpa bertanya, dia ikut menghampiri kamar itu. Pintu kamar ditekuk perlahan
oleh Kwa Liok yang memanggil-manggil nama anaknya.
Tak lama kemudian terdengar
jawaban, Ehmmm....? Siapa....? Eihh, ke mana perginya....?!
Bi Kiok, engkau tidak
apa-apa?!
Kwa Liok bertanya dan
isterinya memandang bingung.
Daun pintu terbuka dan Bi Kiok
terkejut, cepat-cepat menutupkan bajunya yang terbuka sedikit ketika melihat
seorang hwesio bersama ayah bundanya. Eh, ada apakah, Ayah?!
Omitohud....!! Hwesio itu
menarik napas panjang dan merasa lega. Untung bahwa Tuhan masih melindungi
puterimu dari cengkeraman keji Jai-hwa-sian.!
Kwa Liok, isterinya, dan Bi
Kiok terkejut. Jai-hwa-sian....?! Tentu saja mereka telah mendengar nama
penjahat yang ditakuti ini, dan Kwa Liok menyebut nama itu dengan penuh
pertanyaan.
Ya, benar, baru saja kami
berlima menyerbu setelah mendengar kabar bahwa Jai-hwa-sian, penjahat cabul
yang kami cari-cari itu berada di rumah ini. Dia tadi telah kabur dan dikejar
teman-teman pinceng. Akan tetapi, melihat bahwa anakmu masih selamat, sebaiknya
sekarang juga kalian segera pergi dari tempat ini. Biasanya kalau Jai-hwa-sian
belum berhasil mendapatkan korbannya, dia akan penasaran dan akan terus melakukan
pengejaran.!
Tapi.... tapi....! Kwa Liok
tak dapat melanjutkan kata-katanya karena dia merasa bingung sekali.
Biarpun teman-teman pinceng
tadi mengejarnya, belum tentu mereka dapat menangkap atau membunuhnya. Dia amat
lihai dan kejam. Untung bahwa anakmu masih belum menjadi korban, tadinya
pinceng mengira dan mengkhawatirkan, seperti yang sudah-sudah, anakmu sudah
menjadi mayat.!
Lo-suhu, siapakah yang
kaumaksudkan dengan Jai-hwa-sian itu? Yang berada di sini sama sekali bukan
Jai-hwa-sian, melainkan.... eh, suamiku.... Suma Hoat, bukan Jai-hwa-sian....!
Bi Kiok yang mendengarkan dengan muka pucat ini tiba-tiba tak dapat menahan
hatinya dan berkata dengan tegas. Biarpun dia belum menikah secara resmi dengan
kekasihnya, namun Suma Hoat sudah dianggap sebagai suaminya sendiri, maka kini
mendengar suaminya dituduh sebagai Jai-hwa-sian, penjahat cabul yang sudah
terkenal di mana-mana, tentu saja dia tidak senang dan membantah.
Omitohud.... suamimu....? Apa
artinya ini....? Suma Hoat adalah Jai-hwa-sian, Jai-hwa-sian adalah Suma
Hoat.... haittt!! Tiba-tiba hwesio itu melempar tubuhnya ke belakang untuk
menghindarkan diri dari sambaran sebatang jarum yang datang dari atas. Sambil
bergulingan, hwesio itu memutar toyanya, kemudian melompat bangun dan berhadapan
dengan Suma Hoat yang telah meloncat turun.
Jai-hwa-sian....!! Hwesio itu
membentak, matanya terbelalak penuh kaget dan heran mengapa orang yang
dikejar-kejar empat orang temannya tadi tahu-tahu telah muncul di situ.
Hemmm, agaknya engkau murid Siauw-lim-pai,
ya? Nah, mampuslah seperti empat orang kawanmu!!
Suma Hoat menggerakkan
pedangnya menerjang ke depan. Hwesio itu cepat
menangkis dan terjadilah
pertandingan di dalam rumah keluarga Kwa. Ternyata hwesio itu bukan tandingan
Suma Hoat. Baru dua puluh jurus lebih saja, pundaknya terbabat pedang dan
toyanya terlepas. Hwesio itu meloncat keluar dari rumah, melarikan diri.
Engkau hendak lari ke mana?!
Suma Hoat membentak, akan tetapi tiba-tiba Bi Kiok menubruk. Wanita ini memeluk
dan menangis.
Engkau.... engkau.... benarkah
engkau Jai-hwa-sian....?!
Suma Hoat merangkul pundak
kekasihnya, mengusap rambut yang awut-awutan itu dan menghela napas.
Bi Kiok, kekasihku, dewi
pujaan hatiku calon ibu anakku.... siapa pun adanya aku, engkau yakin bahwa aku
mencintamu, bukan?!
Bi Kiok mengangkat muka
memandang wajah orang yang dicintanya itu, terisak, merangkul leher memaksa
muka Suma Hoat mendekat, lalu menempelkan pipinya pada pipi kekasihnya. Sambil
menangis dia hanya mengangguk-angguk, tak mampu menjawab karena dia bingung
sekali. Pria yang dipeluknya ini adalah laki-laki yang dicintanya, benarkah
orang yang dianggapnya paling mulia di dunia ini adalah Jai-hwa-sian, penjahat
cabul yang telah memperkosa ratusan orang wanita dan membunuh korbannya secara keji?
Benarkah ini? Sukar untuk mempercayai hal ini!
Bi Kiok, hwesio tadi benar.
Aku memang Jai-hwa-sian, bekas penjahat cabul yang kejam. Kukatakan bekas,
karena setelah bertemu denganmu, aku tidak mau lagi melakukan kejahatan itu.
Dan hwesio tadi benar bahwa engkau dan ayah bundamu harus segera pergi dari
sini, malam ini juga. Bukan takut kepadaku, melainkan takut kepada orang-orang
kang-ouw yang memusuhiku. Kalau mereka tahu bahwa engkau telah menjadi
kekasihku, menjadi isteriku, menjadi calon ibu anakku, tentu engkau akan
terbawa-bawa, akan dimusuhinya pula. Sebentar lagi pun mereka tentu akan
menyerbu rumah ini. Bi Kiok, pergilah engkau.!
Suma-koko.... aku mau mati di
sampingmu....! Bi Kiok menangis.
Suma-taihiap, bagaimanakah
ini....?! Kwa Liok akhirnya berkata dengan bingung.
Apa yang kalian dengar dari
hwesio tadi benar semua. Malam ini juga, kalian bertiga harus pergi dari sini.
Saudara Kwa, bawa Bi Kiok pergi dari kota ini. Bawalah pergi ke kota Han-tiong
di lembah sungai di kaki Pegunungan Ta-pa-san. Temui seorang tokoh kang-ouw
bernama Im-yang Seng-cu, kautanya-tanya di sana tentu akan bertemu. Mintalah
perlindungan kepadanya. Dia sahabat baikku, tentu dia akan mellndungi Bi Kiok
kalau membawa surat ini, sampai Bi Kiok melahirkan dan sebelum itu, aku akan
berusaha untuk menyusul ke sana....!
Suma Hoat menyerahkan sepucuk
surat dan sebuah pundi-pundi. Ini adalah uang emas untuk bekal di perjalanan.
Nah, berangkatlah....!
Kwa Liok hanya
mengangguk-angguk tak mampu menjawab saking bingungnya. Dia dan isterinya lalu
lari ke dalam kamar untuk berkemas, mempersiapkan barang yang kiranya dapat
mereka bawa melarikan diri.
Akan tetapi Bi Kiok menubruk
dan memeluk kekasihnya sambil menangis. Sampai ayah bundanya datang lagi
mengajaknya, dia masih menangis sehingga terpaksa Suma Hoat melepaskan
pelukannya dan setengah diseret wanita itu dipaksa meninggalkan rumah di malam
buta.
Suma Hoat berdiri dengan
jantung berdebar, ingin lari menyusul wanita yang tangisnya masih terdengar
olehnya, makin lama makin lirih itu. Semangatnya seperti terbawa pergi,
jantungnya seperti ditusuk-tusuk dan dia makin yakin bahwa dia benar-benar
mencinta Bi Kiok! Bukan cinta berahi, melainkan cinta seorang suami terhadap
isterinya, cinta seorang pria terhadap wanita yang akan menjadi ibu anaknya!
Tiba-tiba ia sadar dari
lamunan ketika mendengar gerakan orang. Dia meloncat keluar rumah dan di depan
rumah itu telah terdapat belasan orang mengurung! Suma Hoat tersenyum mengejek,
lalu berkata,
Apa kalian sudah bosan hidup?
Mau apa kalian mencari Jai-hwa-sian?!
Jai-hwa-sian iblis jahat.
Kalau belum membunuhmu, sampai dunia kiamat kami orang-orang kang-ouw akan
selalu mencarimu!!
Suma Hoat tertawa melengking
dan meloncat ke depan, disambut oleh belasan batang senjata yang mengeroyoknya.
Terdengar suara senjata beradu keras sekali, Suma Hoat mengamuk dan setelah
merobohkan lima orang lawan, dia terpaksa melarikan diri karena para
pengeroyoknya adalah orang-orang yang lihai ilmu silatnya, sedangkan malam
hampir berganti pagi. Dengan cepat dia melarikan diri ke luar dari kota
Lok-yang, menuju ke utara untuk memancing mereka menjauhi arah yang ditempuh Bi
Kiok dan ayah bundanya.
Setelah dapat membebaskan diri
dari para pengejarnya, Suma Hoat mengambil jalan memutar menuju ke kota
Han-tiong menyusul rombongan kekasihnya. Dia sengaja mengambil jalan jauh dan
memutar agar jangan sampai ada orang tahu tempat tinggal Bi Kiok kalau-kalau
ada yang melihat dan membayanginya.
Karena perjalanan yang memutar
ini, setelah tiga bulan barulah dia tiba di kaki Pegunungan Ta-pa-san, memasuki
kota Han-tiong dan mencari kekasihnya. Akan tetapi hasilnya sia-sia. Keluarga
Kwa Liok tidak berada di kota itu. Dia sudah mencari ke sekeliling kota, sudah
bertanya-tanya, akan tetapi tidak ada orang yang tahu akan rombongan tiga orang
itu! Akhirnya Suma Hoat bertemu dengan Im-yang Seng-cu, sahabat lamanya yang
tinggal di dalam pondok kecil di sebuah hutan di luar kota Han-tiong.
Aihhh, Jai-hwa-sian, angin apa
yang membawamu ke sini?! Im-yang Seng-cu cepat menyambut sahabatnya itu dan
menegur gembira.
Dengan singkat Suma Hoat lalu
menceritakan tentang pilihan hatinya yang baru tentang Bi Kiok dan orang tuanya
yang disuruh melarikan diri ke Han-tiong karena dia dikejar-kejar oleh
musuh-musuhnya.
Sudah lebih dari tiga bulan
mereka pergi, mestinya sudah berada di Han-tiong, akan tetapi kucari-cari
mereka di sini tidak ada, bahkan agaknya tidak pernah datang ke Han-tiong.
Jangan-jangan ada halangan di jalan....! Suma Hoat kelihatan gelisah sekali
memikirkan kekasihnya.
Im-yang Seng-cu memandang
heran. Sahabatku, tidak kelirukah pendengaranku dan penglihatanku bahwa agaknya
engkau amat memperhatikan wanita yang kaucari ini?!
Memperhatikan? Im-yang
Seng-cu, aku mencintanya! Mencinta dengan seluruh tubuh dan nyawa!!
Kau? Mencinta? Ha-ha,
Jai-hwa-sian, harap jangan mempermainkan aku! Di waktu muda belia saja tidak
pernah mengenal cinta, apalagi setelah kini rambutmu mulai ada ubannya!!
Sungguh aku tidak main-main.
Aku telah menemukan cintaku, Im-yang Seng-cu. Dia adalah wanita satu-satunya
yang sampai kini berhasil merebut kasihku, menghentikan semua petualanganku,
dan.... dan dia sudah mengandung. Dia isteriku, dan aku harus dapat menemukan
dia....! Ahhh, jangan-jangan dia tertimpa halangan. Aku harus pergi sekarang
juga!! Jai-hwa-sian akan meloncat bangkit dengan wajah keruh dan penuh
kekhawatiran.
Eh-eh, ke mana, sahabatku?!
Aku harus mencarinya. Dia dan
ayah bundanya berangkat dari Lok-yang menuju ke sini, aku akan menyelusuri
jalan itu sampai ke Lok-yang. Sampai jumpa, sahabatku!! Jai-hwa-sian
meninggalkan Im-yang Seng-cu yang berdiri bengong di depan pondoknya,
menggeleng kepala dan menarik napas panjang.
Aihhh.... sungguh kasihan.
Makin tua makin terlibat urusan hati sendiri!! Im-yang Seng-cu yang biasanya
memang suka merantau, menjadi tidak kerasan di pondoknya dan beberapa hari
kemudian, Im-yang Seng-cu juga meninggalkan pondok dan mengambil jurusan ke
Lok-yang karena dia merasa khawatir melihat sikap sahabatnya yang dianggapnya
tidak seperti biasa.
Kedatangan kembali Suma Hoat
ke Lok-yang sama dengan ular mencari penggebuk. Musuh-musuhnya masih berada di
Lok-yang dan masih mencari-carinya di sekitar tempat itu, maka begitu dia
memasuki daerah ini, di luar kota dia sudah bertemu dan dikepung belasan orang
kang-ouw yang dipimpin oleh Ceng San Hwesio, seorang tokoh besar dari
Siauw-lim-pai yang telah dicalonkan menjadi ketua! Ceng San Hwesio ini adalah
murid keponakan Kian Ti Hosiang dan karena dia dianggap seorang calon yang kuat
dan tepat, Kian Ti Hosiang yang sakti berkenan menurunkan beberapa ilmu
kepandaian kepadanya sehingga kini hwesio Siauw-lim-pai ini memiliki tingkat
ilmu silat yang hebat!
Sekilas pandang saja tahulah
Suma Hoat bahwa sekali ini dia harus menghadapi pertandingan berat karena yang
menghadangnya terdiri dari tokoh-tokoh Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai, semua
berjumlah empat belas orang dan dari sikap mereka, para penghadangnya itu
adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Akan tetapi,
kegelisahan hati dan kelakuannya karena kehilangan kekasihnya membuat Suma Hoat
tidak sempat memikirkan diri sendiri, bahkan langsung dia bertanya,
Kalian adalah orang-orang
Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai yang katanya terdiri dari orang-orang gagah di
dunia kang-ouw. Kalau kalian memusuhi Jai-hwa-sian, mengapa kalian mengganggu
seorang wanita yang tidak berdosa dan tidak tahu apa-apa?!
Omitohud....!! Ceng San Hwesio
menggeleng-gelengkan kepalanya yang tidak berambut. Engkau sendiri telah
melakukan dosa besar terhadap ratusan orang wanita yang tidak berdosa, sekarang
menuduh kami mengganggu seorang wanita! Jai-hwa-sian, apa maksud kata-katamu
itu?!
Tidak perlu berpura-pura atau
menyangkal! Di dunia ini yang memusuhi Jai-hwa-sian adalah orang-orang macam
kalian ini! Sekarang, isteriku lenyap, tentu kalian yang telah menyembunyikan
dan menculiknya. Kembalikan isteriku, baru aku akan dapat mengampuni kalian!!
Suma Hoat mencabut pedangnya.
Siancai.... orang ini
benar-benar tak tahu diri!! Seorang tosu Hoa-san-pai berseru marah dan
seruannya ini agaknya merupakan dorongan kepada mereka semua yang serentak
menerjang maju mengeroyok Suma Hoat.
Suma Hoat terkejut juga. Benar
dugaannya. Para pengeroyoknya ini tidak boleh disamakan dengan para pengeroyok
yang lalu. Selain pemimpin hwesio Siauw-lim-pai itu lihai sekali, juga pemimpin
orang-orang Hoa-san-pai adalah wakil Ketua Hoa-san-pai, tentu saja memiliki
kepandaian yang hebat pula.
Namun, dia sudah marah sekali
karena menduga keras bahwa kekasihnya tentu celaka di tangan mereka ini, maka
dia mengamuk seperti seekor naga terluka!
Namun, jumlah musuh terlalu
banyak dan tingkat kepandaian Ceng San Hwesio dan wakil ketua Hoa-san-pai
terlalu tinggi, maka setelah melakukan perlawanan selama satu jam lebih,
biarpun dia berhasil merobohkan tiga orang dan melukai tiga orang lain lagi,
dia sendiri pun menderita luka parah di leher, pundak dan lambungnya! Dengan
luka-luka berat, Suma Hoat terpaksa melarikan diri, dikejar-kejar oleh para
pengeroyoknya. Akan tetapi hujan jarum beracun yang disebarkan oleh Suma Hoat
membuat para pengeroyok dan pengejar itu terpaksa menunda pengejaran dan Suma
Hoat berhasil lolos dan menghilang ke dalam hutan yang lebat. Maklum akan
kelihaian Jai-hwa-sian dengan senjata-senjata rahasianya, Ceng San Hwesio dan
kawan-kawannya tidak berani melakukan pengejaran terus, melainkan kembali ke
tempat tadi untuk mengurus dan merawat teman-teman yang terluka dan tewas.
Luka-luka yang diderita oleh
Suma Hoat amat parah. Dia lelah sekali dan tiga luka di tubuhnya amat nyeri,
juga terlalu banyak mengeluarkan darah. Ini semua masih tidak sehebat derita
yang terasa di hatinya yaitu akan kenyataan bahwa kekasihnya, Kwa Bi Kiok,
calon ibu anaknya, telah lenyap! Penderitaan lahir batin ini membuat Suma Hoat
tergelimpang di dalam hutan dalam keadaan pingsan!
Ketika Jai-hwa-sian siuman
kembali dan membuka matanya, ternyata Im-yang Seng-cu telah berlutut di
dekatnya dan luka-luka di tubuhnya telah diobati oleh sahabat itu.
Luka-lukamu hebat sekali,
engkau perlu beristirahat. Terlalu banyak engkau kehilangan darah,! Im-yang
Seng-cu berkata.
Musuh-musuhku.... terlalu
lihai.... terutama hwesio Siauw-lim dan tosu Hoa-san itu....!
Im-yang Seng-cu mengangguk dan
menarik napas panjang. Sayang sekali engkau tak pernah menghentikan kesenangan
yang sesat sehingga engkau dimusuhi orang-orang gagah di dunia kang-ouw. Tentu
saja mereka itu lihai karena hwesio itu adalah tokoh Siauw-lim-pai calon ketua,
namanya Ceng San Hwesio. Adapun tosu tua itu adalah paman guruku, Thian Cu
Cinjin, juga calon ketua Hoa-san-pai!!
Suma Hoat terkejut. Aahhh....
pantas kalau begitu.... aku tidak penasaran terluka parah.... akan tetapi,
tidak mengapalah, yang memusingkan aku adalah lenyapnya Bi Kiok....! Ia
berhenti sebentar dan menerima air yang diminumkan oleh Im-yang Seng-cu. Tentu
dia celaka di tangan mereka yang memusuhiku.!
Tidak, Jai-hwa-sian. Aku pun
sudah membantumu melakukan penyelidikan. Tidak ada tokoh kang-ouw yang
mengganggu kekasihmu dan ayah bundanya. Aku percaya kalau mereka itu sengaja
melarikan diri darimu, entah bersembunyi di mana.!
Tidak mungkin! Bi Kiok
mencintaku! Tidak mungkin dia lari dariku!! Suma Hoat berkata penuh semangat
dan kepercayaan.
Gadis itu mungkin mencintamu
dan tidak akan meninggalkan, akan tetapi orang tuanya? Orang tua manakah yang
akan senang mempunyai mantu Jai-hwa-sian yang lebih terkenal jahat dan keji?
Tentu mereka tidak rela puterinya menjadi isteri Jai-hwa-sian dan telah
melarikan dan menyembunyikannya.!
Kalau begitu, akan kubunuh
mereka, dan kurampas Bi Kiok!!
Im-yang Seng-cu menghela napas
panjang.
Itulah yang menyedihkan
hatiku, sahabatku. Engkau seorang yang gagah perkasa, akan tetapi dalam hal
satu ini, engkau seorang yang amat lemah dan kelemahanmu membuat engkau mudah
saja berubah menjadi seorang iblis yang amat kejam!!
Ahhhh.... akan tetapi dia
adalah wanita yang kucinta, dan dia sudah mengandung.... anakku....! Suma Hoat
terengah-engah dan memejamkan kedua matanya, merintih penuh kedukaan dan
penasaran.
Melihat ini, Im-yang Seng-cu
merasa kasihan. Agaknya sahabatnya ini mulai memetik buah-buah dari
perbuatannya sendiri, buah-buah yang pahit getir.
Biarlah aku akan membantumu
mencari Bi Kiok, akan tetapi yang terpenting sekarang, luka-lukamu amat parah
darr berbahaya, harus dirawat dan diobati lebih dulu.!
Jangan pedulikan aku, pergilah
kau dan bantu aku mencari Bi Kiok. Im-yang Seng-cu, kalau kau bisa menemukan
dan mengembalikan Bi Kiok kepadaku, selama hidupku aku takkan melupakan
kebaikan budimu.!
Tidak ada budi antara sahabat.
Aku akan membantumu, akan tetapi lebih dulu harus dipikirkan keadaanmu. Kalau
tidak mendapat rawatan yang baik, luka-luka ini bisa menyeret nyawamu. Apa
artinya aku berhasil menemukan Bi Kiok kalau engkau mati karena luka-luka ini?!
Tiba-tiba Suma Hoat memegang
tangan sahabatnya. Aku harus bertemu dengan ayahku. Aku telah berdosa besar
kepadanya. Aku seorang anak yang tidak berbakti. Bawalah aku kepada Ayah,
engkau tahu bukan di mana dia? Aku mendengar dia kini berada di
Tai-hang-san....!
Im-yang Seng-cu mengangguk.
Baiklah, aku pun pernah mendengar bahwa ayahmu itu kini menjadi pertapa di
puncak In-kok-san, di Pegunungan Tai-hang-san.! Im-yang Seng-cu lalu memondong
tubuh sahabatnya dan dibawalah Suma Hoat menuju ke Tai-hang-san.
Sebetulnya, apakah yang
terjadi dengan diri Kwa Bi Kiok dan ayah bundanya? Tepat seperti yang
diperkirakan Im-yang Seng-cu, tidak ada sesuatu menimpa diri wanita muda ini,
karena mereka itu memang tidak memenuhi permintaan Suma Hoat dan tidak
melarikan diri ke kota Han-tiong. Ketika mendapat kenyataan bahwa puterinya
menjadi kekasih Jai-hwa-sian, Kwa Liok menjadi terkejut, menyesal dan penasaran
sekali. Jai-hwa-sian adalah seorang penjahat yang sudah terkenal keganasannya,
tukang perkosa dan tukang bunuh wanita. Mungkin sekarang, sebelum bosan,
anaknya dicinta, akan tetapi siapa tahu kalau penjahat itu sudah bosan? Tentu
anaknya akan dibunuh, dan bersama isterinya tentu tidak akan terluput dari
kebinasaan!
Di samping ngeri akan
kemungkinan menjadi korban kekejaman Jai-hwa-sian ini, juga andaikata dia
membiarkan anaknya menjadi isteri Jai-hwa-sian, tentu selamanya anaknya akan
menjadi korban pula kalau Jai-hwa-sian akhirnya terbunuh oleh orang-orang gagah
dan pemerintah yang sudah lama mencari-cari penjahat itu. Karena pikiran
inilah, biarpun Bi Kiok mengeluh dan menangis minta diantar ke Han-tiong, Kwa
Liok tetap memaksa anak dan isterinya untuk melarikan diri ke lain jurusan,
yaitu jauh ke selatan, menuju ke kota Nan-king!
Rombongan ini tidak
kepalang-tanggung dalam usaha mereka menjauhkan diri karena mereka lari jauh
sekali, sampai memakan waktu berbulan-bulan dan Kwa Liok yang cerdik telah
mengganti nama dan nama keturunan mereka untuk menghilangkan jejaknya.
Akhirnya, Kwa Liok bertempat
tinggal di kota kecil Kam-chi dekat Nan-king. Kepada para tetangga barunya dia
mengatakan bahwa puterinya adalah seorang janda, ditinggal mati suaminya yang
bernama Sie Hoat. Setelah Bi Kiok melahirkan seorang anak laki-laki, Kwa Liok
memberinya nama Sie Bun An dan semenjak kecil Sie Bun An ini dijauhkan dari
segala yang berbau silat! Sie Bun An tumbuh besar dalam didikan bun (sastra)
dan sama sekali buta silat!
Demikianlah, Bi Kiok lenyap
dari kehidupan Suma Hoat dan tak mungkin dapat dicari lagi. Adapun Suma Hoat
sendiri, yang masih amat lemah tubuhnya, diantar oleh Im-yang Seng-cu.
Seperti telah diceritakan di
bagian depan, Suma Kiat bekas panglima besar yang menjadi buronan karena
persekutuan dengan pihak Yucen itu, melarikan diri bersama selirnya yang
tercinta, Bu Ci Goat dan muridnya yang setia, Siangkoan Lee, menuju ke
Tai-hang-san. Di puncak In-kok-san yang indah, mereka mendirikan rumah dan
hidup cukup mewah karena ketika pergi, mereka tidak lupa membawa banyak harta
benda.
Suma Kiat sudah tua sekali,
akan tetapi masih mendelik marah ketika Im-yang Seng-cu membawa Suma Hoat
menghadap.
Aku tidak mempunyai anak
bernama Suma Hoat!! bentaknya. Im-yang Seng-cu, kalau tidak mengingat mendiang
gucumu, Tee Cu Cinjin yang menjadi sahabatku, tentu engkau sudah kubunuh
sekarang juga, berani lancang membawa manusia ini menghadapku!!
Mendengar ucapan ayahnya itu,
Suma Hoat yang masih lemah itu merasa berduka sekali, akan tetapi dia tetap
berlutut dan tidak berkata apa-apa. Sebaliknya Im-yang Seng-cu menjadi
penasaran. Dia sudah mengenal baik Suma Kiat yang dahulu menjadi sahabat
suhunya, bahkan dahulu di waktu dia masih kecil, kalau Suma Kiat mengunjungi
gurunya, Suma Kiat bersikap baik kepadanya dan memperlihatkan rasa sayang
besar. Akan tetapi dia pun maklum siapa adanya Suma Kiat, seorang yang selalu
haus akan kedudukan dan kemuliaan, seorang yang tidak segan-segan melakukan
kekejaman apa pun demi tercapainya cita-citanya mengejar kemuliaan.
Suma-locianpwe,! katanya
dengan berani. Suma Hoat adalah putera tunggalmu, sekarang sedang menderita
luka parah dan perlu perawatan khusus. Saya tidak percaya bahwa Locianpwe akan
tega membiarkannya menghadapi ancaman maut. Andaikata dia telah melakukan
kesalahan-kesalahan terhadap Locianpwe, saya mohon sudilah kiranya memaafkan
putera sendiri.!
Tutup mulut! Sudah kukatakan
bahwa aku tidak mempunyai anak yang bernama Suma Hoat! Im-yang Seng-cu, aku
dahulu menyayangmu di waktu engkau kecil karena engkau seorang anak baik yang
tidak pernah menentangku, akan tetapi kalau sekarang engkau hendak menentangku,
terpaksa aku akan menggunakan kekerasan mengusirmu dari sini!!
Tiba-tiba terdengar suara
tertawa melengking nyaring disusul suara seorang wanita, Bagus sekali, dasar
manusia jahat seperti iblis, anak sendiri pun dikutuknya!!
Maya....!! Tiba-tiba Suma Hoat
yang berlutut dan berusaha melompat akan tetapi roboh kembali karena tubuhnya
masih lemah dan pukulan batin mendengar ucapan ayahnya tadi benar-benar membuat
hatinya makin remuk. Im-yang Seng-cu cepat memeluknya dan dengan mata
terbelalak melihat betapa ada bayangan didahului sinar berkelebat menyambar ke
arah tubuh Suma Kiat!
Kakek yang masih lihai sekali
ini sudah mencabut pedangnya menangkis. Terdengar suara keras dan pedang di
tangan Suma Kiat patah, tubuhnya roboh dan kembali bayangan itu berkelebat
keluar.
Keparat, hendak lari ke mana?!
Siangkoan Lee dan Bu Ci Goat meloncat dan mengejar, akan tetapi baru sampai di
pintu, kedua orang ini roboh dan bayangan itu berkelebat keluar meninggalkan
suara melengking dan mengerikan!
Bu Ci Goat yang lihai itu
telah berhasil bangun lebih dulu daripada Siangkoan Lee yang merangkak dan
terengah-engah karena pukulan jarak jauh yang yang tadi membuat dadanya sesak.
Bu Ci Goat cepat menghampiri suaminya dan terkejut melihat goresan pedang
melukai leher dan dada suaminya. Suma Kiat dipapah bangun, duduk di kursinya
dan melihat Suma Hoat, bangkit lagi kemarahannya, seolah-olah anaknyalah yang
mendatangkan malapetaka itu. Telunjuknya menuding, Pergi....! Pergi kalian dari
sini....!!
Im-yang Seng-cu mengerutkan
alisnya, mengempit tubuh temannya dan membawanya keluar. Anak murid In-kok-san
yang berbaris di depan, hanya memandang bengong. Mereka tidak berani mencampuri
dan tadi ketika ada bayangan berkelebat cepat, mereka pun tidak dapat berbuat
sesuatu.
Bu Ci Goat dan Siangkoan Lee
cepat merawat Suma Kiat. Akan tetapi, biarpun serangan pedang itu mendatangkan
luka yang tidak berapa berat, serangan batin karena munculnya Suma Hoat lebih
hebat dan membuat kakek ini jatuh sakit lagi, tidak mampu meninggalkan
pembaringannya.
Im-yang Seng-cu membawa Suma
Hoat pergi dan berhenti di sebuah lereng puncak pegunungan itu. Suma Hoat
mengeluh minta diturunkan, lalu berkata,
Im-yang Seng-cu, apakah engkau
melihat dia tadi?!
Im-yang Seng-cu menggeleng
kepalanya. Orang itu gerakannya luar biasa sekali. Aku hanya tahu bahwa dia
seorang wanita, entah tua ataukah muda, namun kecepatannya luar biasa sehingga
aku tidak dapat mengenalnya. Tentu dia seorang yang sakti dan musuh Suma Kiat.!
Dia adalah Maya.... penghuni
Pulau Es....!
Im-yang Seng-cu terkejut bukan
main.
Akan tetapi.... mungkin hanya
rohnya saja.... dia.... dia sudah mati....!
Mendengar ini, Im-yang Seng-cu
makin bingung dan meraba dahi sahabatnya.
Engkau panas lagi. Harap
jangan pikirkan apa-apa dan beristirahatiah.!
Im-yang Seng-cu, engkau
satu-satunya sahabatku. Kaupenuhilah permintaanku. Kautinggalkan aku di sini
dan pergilah kaucari Bi Kiok.!
Akan tetapi engkau perlu
perawatan,! Im-yang Seng-cu membantah.
Tiba-tiba terdengar jawaban
seorang wanita,
Biarlah aku yang akan
merawatnya, Im-yang Seng-cu.!
Im-yang Seng-cu menengok dan
melihat bahwa Bu Ci Goat, selir yang lihai dari Suma Kiat, telah berdiri di
situ. Biarpun usianya sudah lima puluhan tahun, namun wanita itu masih tampak
cantik dan pakaiannya mewah.
Jangan kau kawatir, biarpun
ayahnya membencinya, aku tidak. Kau pergilah memenuhi permintaannya, aku yang
akan merawatnya di sini.!
Im-yang Seng-cu masih
ragu-ragu, menoleh kepada sahabatnya. Suma Hoat mengangguk dan berkata lemah,
Pergilah dan cari dia, Im-yang
Seng-cu. Ibu tiriku akan merawatku di sini.!
Legalah hati Im-yang Seng-cu
dan dia segera pergi meninggalkan sahabatnya bersama Bu Ci Goat. Setelah
Im-yang Seng-cu pergi, Bu Ci Goat berlutut di dekat Suma Hoat, memeriksa
keadaannya.
Hemm, kulihat engkau telah
diobati dengan baik dan hanya perlu beristirahat. Eh, Suma Hoat, siapakah
adanya bayangan yang menyerang ayahmu tadi?!
Suma Hoat menggelengkan
kepalanya. Aku tidak tahu....!
Akan tetapi, engkau tadi
menyebut nama Maya....!
Mungkin dia, aku tidak yakin.
Dia sudah mati ditelan badai.... andaikata benar dia, agaknya dia kaget dan
takut dikenal olehku, maka dia pergi lagi. Untung bagi Ayah....!
Dia lihai bukan main!!
Dia penghuni Pulau Es, tentu
saja amat sakti....!
Mengingat akan cinta kasihnya
dahulu, Bu Ci Goat merawat Suma Hoat di lereng itu dan menyuruh anak buahnya
membangun sebuah pondok. Semua itu dilakukan secara diam-diam tanpa diketahui
oleh Suma Kiat yang juga jatuh sakit.
***
Setelah Suma Kiat jatuh sakit,
maka tampaklah betapa Siangkoan Lee merupakan seorang yang pandai memimpin.
Semua urusan berada di tangannya dan semua anak buah In-kok-san yang telah
dikumpulkan untuk menyenangkan hati gurunya, amat tunduk dan setia kepadanya.
Juga ilmu kepandaian Siangkoan Lee menjadi hebat. Boleh dibilang seluruh ilmu
gerakan telah dia kuasai, dan biarpun dibandingkan dengan Bu Ci Goat dia masih
kalah setingkat, namun pada waktu itu, Siangkoan Lee telah menjadi seorang yang
sukar dicari lawannya.
Munculnya Suma Hoat
menimbulkan gairah cinta lama di hati Bu Ci Goat. Biarpun wanita ini secara
diam-diam telah memuaskan nafsunya dengan pelayan-pelayan pria yang menjadi
anak buah In-kok-san, namun begitu melihat Suma Hoat, timbul kembali cintanya,
maka dia lalu melakukan pengejaran dan berhasil menemukan Im-yang Seng-cu dan
Suma Hoat, bahkan dia lalu menawarkan diri untuk merawat anak tiri yang pernah
menjadi kekasihnya itu.
Akan tetapi, dia segera
mengalami kekecewaan. Suma Hoat telah berubah banyak sekali. Suma Hoat telah
menjadi seorang yang sama sekali tidak mempedulikan bujuk rayunya, bahkan
dengan suara dingin bekas Jai-hwa-sian ini berkata,
Bu Ci Goat, harap kau jangan
menimbulkan lagi persoalan hanya untuk melampiaskan nafsu-nafsumu. Hal pertama
kali yang merenggangkan aku dengan Ayah adalah akibat perbuatanmu. Ketahuilah,
pada saat ini, di dunia ini hanya ada seorang saja wanita yang kucinta, dan aku
telah bersumpah tidak akan menyentuh wanita lain kecuali dia! Aku tidak dapat
melayani hasratmu, dan engkau hendak merawatku atau tidak setelah penolakanku
ini terserah kepadamu!!
Tentu saja Bu Ci Goat merasa
malu sekali dan mundur teratur. Akan tetapi, demi kasih sayangnya kepada Suma
Hoat dia masih menyuruh beberapa orang anak buahnya merawat dan memenuhi
kebutuhan anak tirinya itu. Kemudian, untuk memenuhi kebutuhan nafsu berahinya
yang selalu mendesak, mulailah dia menggoda Siangkoan Lee yang biarpun rupanya
buruk seperti seekor kuda, akan tetapi merupakan laki-laki yang tidak pernah
bermain gila dengan wanita sehingga keadaannya itu membangkitkan berahi Bu Ci
Goat yang merasa penasaran apakah dia tidak akan dapat menjatuhkan hati pria
yang berhati teguh ini!
Dan dia berhasil. Akan tetapi,
karena memandang rendah Suma Kiat yang sedang rebah dan sakit, dua orang ini
kurang hati-hati dan mereka berani mengadakan pectemuan di dalam kamar Bu Ci
Goat yang hanya berpisah dinding dengan kamar Suma Kiat. Pada suatu hari, masih
siang, kedua orang yang mabuk nafsu itu sedang berada di dalam kamar, tidak
tahu sama sekali bahwa Suma Kiat mendengar suara mereka, turun dari pembaringan
dan menghampiri pintu kamar Bu Ci Goat.
Ci Goat....!!
Suma Kiat mendorong pintu,
terbuka, dan memandang dengan muka pucat dan mata terbelalak ke atas tempat
tidur Bu Ci Goat di mana selirnya dan muridnya, dua orang yang paling dicinta
dan diperceya, terbelalak penuh rasa kaget memandang kepadanya, kehabisan akal!
Tiba-tiba Suma Kiat mengeluh, menekan dada kiri dengan tangan kanan,
menyemburkan darah dari mulutnya, tubuhnya tergelimpang dan robohlah kakek ini
ke atas lantai!
Serangan batin yang hebat ini
tidak tertahan oleh tubuh yang lemah itu. Suma Kiat roboh pingsan dan tidak
sadar kembali. Setelah jenazahnya dimasukkan peti mati dan dilakukan upacara
sembahyang, Bu Ci Goat dan Siangkoan Lee yang berkabung, menangis sedih di
depan peti mati.
Suma Hoat yang masih lemah,
datang juga untuk bersembahyang ketika mendengar bahwa ayahnya meninggal dunia.
Setelah bersembahyang, Suma Hoat menoleh kepada Bu Ci Goat, berkata perlahan,
Apa gunanya setelah mati
ditangisi?!
Ucapan itu ditujukan kepada
selir ayahnya yang dia tahu merupakan seorang isteri yang berhati palsu, yang
selalu menyeleweng, seorang isteri yang amat dicinta ayahnya, namun yang
sesungguhnya tidak patut mendapatkan cinta seorang suami. Akan tetapi tanpa
disengaja, teguran Suma Hoat itu membuat Siangkoan Lee menjadi merah sekali karena
dia merasa disindir. Sebelum melakukan hubungan rahasia dengan Bu Ci Goat, dia
merupakan seorang murid yang amat setia, dan dia memang selalu merasa berhutang
budi kepada gurunya itu. Kini mendengar ucapan Suma Hoat, dia bangkit berdiri
dan berkata,
Mengapa Suheng berkata
demikian? Budi Suhu amat besar, sampai mati pun takkan terlupa olehku. Biarpun
Suhu bersikap marah kepada Suheng, akan tetapi Suheng adalah puteranya,
bagaimana berkata demikian? Apakah setelah Suhu meninggal, Suheng hendak
menunjukkan kekuasaan di sini menuntut warisan dengan kekeraaan?!
Menggigil tubuh Suma Hoat
saking marahnya mendengar ini. Tubuhnya masih lemah sekali, akan tetapi
kemarahan membuat matanya mendelik memandang Si Muka Kuda itu. Bedebah, kau
sombong sekali, Siangkoan Lee! Engkau yang dahulu hanya seorang pelayan, yang
telah menerima budi semenjak kecil, kini berani bersikap kurang ajar kepadaku?
Apa kaukira aku takut kepadamu?!
Melihat ini, Bu Ci Goat cepat
bangkit berdiri, Harap kalian suka bersabar. Sungguh tidak patut sekali
ribut-ribut di depan peti mati!!
Suma Hoat menarik napas
panjang menyabarkan diri karena dia dapat memahami kebenaran ucapan ibu tirinya
itu. Kalian dengarlah baik-baik. Biarpun aku putera Ayah, namun Ayah sudah
tidak mengakui aku sebagai puteranya. Aku pun tidak haus akan warisan dan aku
tidak akan menuntut dan tidak akan menguasai tempat ini. Bahkan aku tidak sudi
tinggal di In-kok-san, lebih baik tinggal di pondok yang dibuatkan Bu Ci Goat.
Itu pun hanya untuk sementara sambil menanti kembalinya sahabatku.! Setelah
berkata demikian, Suma Hoat pergi meninggalkan mereka dan tidak pernah lagi
datang sampai peti ayahnya dikubur.
Hatinya menjadi makin risau
dan tertekan. Dia merasa betapa hidpnya penuh dengan kekecewaan dan
kesengsaraan. Baru terbuka mata hatinya betapa selama ini dia hidup sebagai
seorang yang amat jahat. Tiap kali dia teringat akan semua perbuatannya,
diam-diam dia merasa menyesal sekali dan berjanji bahwa kalau sampai dia dapat
berkumpul kembali dengan Bi Kiok, dia akan menebus semua kesalahannya, akan
membahagiakan isterinya, anaknya, semua orang!
Akan tetapi, beberapa bulan
kemudian, Im-yang Seng-cu datang dengan wajah lesu dan dengan suara berat
mengatakan bahwa dia tidak berhasil menemukan Bi Kiok.
Hanya ada dua kemungkinan.
Pertama, mereka itu tewas oleh gerombolan orang jahat yang tidak terkenal
sehingga tidak ada yang tahu. Ke dua, mereka memang sengaja menyembunyikan diri
darimu dengan mengubah nama palsu dan pergi jauh sekali dari sini.!
Suma Hoat mengeluh dan semenjak
saat itu, kesehatannya makin memburuk. Im-yang Seng-cu berusaha menghibur dan
merawatnya, namun percuma saja karena Suma Hoat sudah kehilangan pegangan
hidup, kehilangan harapan dan satu-satunya yang dirindukan hanyalah kematian.
Akhirnya, hanya berselisih
setengah tahun dari kematian ayahnya, Jai-hwa-sian yang pernah menggemparkan
dunia persilatan itu meninggal dunia dalam rangkulan Im-yang Seng-cu,
satu-satunya orang yang mengenal betul hatinya, mengenal kelemahan-kelemahan
dan kekuatan-kekuatannya!
Dengan sederhana sekali, tanpa
dihadiri siapa pun, Im-yang Seng-cu mengubur jenazah sahabatnya di lereng
bukit, membuatkan batu nisan yang dipahatnya sendiri dengan huruf-huruf :
MAKAM JAI-HWA-SIAN SUMA HOAT.
Kemudian dia membakar pondok
bekas tempat tinggal sahabatnya, dan meninggalkan lereng bukit sambil
bernyanyi! Memang Im-yang Seng-cu seorang manusia yang berwatak aneh sekali,
berbeda jauh dengan manusia biasa, bahkan kadang-kadang sikapnya merupakan
kebalikan dari sikap manusia biasa sehingga seringkali dia dianggap berotak
miring.
Apakah benar bayangan yang
menyerang Suma Kiat dahulu itu adalah Maya seperti yang diteriakkan oleh Suma
Hoat? Tidak ada seorang pun yang mengetahuinya. Yang sudah jelas, bahwa Maya
maupun Khu Siauw Bwee tidak pernah muncul lagi di dunia ramai, tidak pernah ada
orang yang berterTru dengan seorang di antara mereka.
Juga Kam Han Ki lenyap dan
sebagai gantinya, puluhan tahun kemudian, muncullah nama seorang yang sakti dan
aneh, seorang laki-laki yang membiarkan rambutnya riap-riapan, tak pernah
bersepatu, berpakaian sederhana dan tingkah lakunya seperti orang gila. Dia
disebut Koai-lojin (Kakek Aneh) karena tidak pernah memperkenalkan namanya.
Namun dia memiliki kesaktian yang tidak lumrah manusia.
Keanehannya adalah serupa
dengan keanehan Bu Kek Siansu si manusi dewa yang menjadi dongeng di dunia
kang-ouw. Koai-lojin juga menolong siapa saja, mencinta siapa saja tanpa pilih
bulu! Karena itu, banyak sekali tokoh dunia persilatan yang mendapat rezeki
kebagian ilmu dari kakek sakti ini yang selalu memberi ilmu kepada siapa saja
yang memintanya.
Pembaca tentu dapat menduga
siapa adanya Koai-lojin ini. Dia bukan lain adalah Kam Han Ki! Apakah dia dapat
melupakan kedukaannya? Sukar untuk diketahui karena tak mungkin untuk menanyakan
hal itu kepada Koai-lojin yang jarang sekali muncul di antara manusia. Yang
jelas, duka sengsara harus dihadapi dengan wajar, dimengerti dengan jalan
mengenal diri sendiri. Kalau hanya dijauhi, dilupakan, takkan berhasil karena
berhasil melupakan duka yang satu, akan muncul duka yang lain. Yang penting
mengenal sumber dari segala duka di dalam diri sendiri.
Kalau sudah mengenal diri
sendiri, mengenal sumber segala duka maka apa yang oleh umum disebut duka,
bukanlah menjadi duka lagi baginya. Duka hanyalah hasil angan-angan pikiran
yang mengingat masa lampau. Sekali ingatan akan masa lalu terhapus, lenyap
pulalah duka. Berusaha melupakan duka dengan penekanan, tidak akan
menghilangkan sumber dari segaia macam duka. Akan tetapi menghadapi duka, menyelami,
mengenal duka yang berada di hati sendiri dengan mempelajari dan mengenal diri
sendiri lahir batin, maka akan timbullah keadaan lain yang jauh dari jangkauan
duka.
Koai-lojin yang kelihatan
sebagai seorang kakek sederhana itu, paling suka berkelana di tempat-tempat
sunyi, bergembira dengan alam yang masih bersih dari kotoran akibat
solah-tingkah manusia. Akan tetapi kadang-kadang dia muncul di dalam Istana
Pulau Es yang selalu kosong itu, berdiri bengong di depan tiga arca buatannya
sendiri, dan setelah membersijkan Istana Pulau Es, beberapa hari kemudian dia
sudah meninggalkan lagi Pulau Es. Dia pun tidak pernah berhasil mencari kedua
orang sumoinya, bahkan kemudian sama sekali tidak mencarinya. Namun, sebagai
penebus rasa sesal dan salahnya terhadap Khu Siauw Bwee, diam-diam dia
meninggalkan surat-surat pernyataan menyesal dan cintanya kepada Khu Siauw
Bwee, dan menaruh surat-surat itu di dalam Istana Pulau Es.
Puluhan tahun kemudian,
Koai-lojin datang ke Pulau Es, membawa seekor biruang salju yang berbulu putih,
meninggalkan biruang yang jinak dan terlatih itu di Pulau Es sebagai penghuni
dan penjaga! Kemudian, sampai lama sekali dia tidak pernah muncul lagi di Pulau
Es, juga tidak muncul di dunia ramai.
Sampai di sini, pengarang
mohon diri, Sampai berjumpa kembali dalam Kisah PENDEKAR BONGKOK
TAMAT