Bab 10
***
Im-yang Seng-cu yang maklum
bahwa seorang diri saja dia akan kurang kuat untuk menghadapi lima orang lihai
yang hendak menyerang Siauw-lim-si, maka ia lalu langsung pergi ke kuil itu
yang berada di sebelah barat, di ujung kota.
Saya mohon bertemu dengan Gin
Sim Hwesio yang mengepalai kuil ini, katanya kepada penjaga kuil.
Penjaga kuil itu, seorang
hwesio muda, memandang Im-yang Seng-cu penuh kecurigaan dan menjawab, Suhu
sedang bersamadhi, tidak boleh diganggu. Kalau Sicu hendak bersembahyang,
siauw-ceng dapat melayani Sicu.
Im-yang Seng-cu menjadi tidak
sabar menyaksikan pandang mata hwesio muda itu mengandung kecurigaan, maka
katanya keras, Aku mempunyai urusan penting sekali dengan Gin Sim Hwesio,
urusan yang menyangkut persoalan jatuh bangunnya Siauw-lim-si ini, dan juga
termasuk urusan mati hidupmu. Harap jangan banyak curiga dan lekas minta Gin
Sim Hwesio keluar menemuiku!!
Alis hwesio itu berkerut. Tamu
ini biarpun aneh dan tidak bersepatu, usianya hanya sebaya dengan dia, mengapa
sikapnya begini angkuh? Maaf Sicu,! jawabnya dengan sikap yang sopan namun
keras. Urusan jatuh bangunnya Siauw-lim-si adalah tanggung jawab kami sendiri,
adapun urusan mati hidup siauwceng adalah urusan Tuhan. Sicu tidak ada
hubungannya dengan itu. Kami di sini selalu mengutamakan hidup suci dan damai,
dan hanya melayanl orang-orang yang ingin menikmati sinar kasih Sang Budda dan
bersembahyang.!
Bukan main jengkelnya hati
Im-yang Seng-cu melihat keker asan hati hwesio muda itu. Diam-diam ia memaki
diri sendiri yang suka mencampuri urusan orang. Apakah dia keliru dan
Jai-hwa-sian yang benar? Dia penasaran dan berkata lagi, Engkau sungguh terlalu
curiga dan kleras kepala! Katakanlah kepada suhumu bahwa aku Im-yang Seng-cu
mohon bertemu!!
Sepasang mata hwesio itu
terbelalak. Hwesio-hwesio Siauw-lim-pai bukanlah pendeta-pendeta sembarangan
dan telinga serta mata mereka tajam, pengertian mereka tentang dunia kang-ouw
luas karena hwesio-hwesio Siauw-lim-pai adalah orang-orang yang memiliki ilmu
kepandaian tinggi sehingga terkenal di dunia kang-ouw.
Sambil menjura hwesio itu
berkata, Omitohud..., kiranya orang gagah Im-yang Seng-cu yang datang? Maafkan
Sicu, Siauw-ceng rasa bahwa Siauw-lim-pai tidak mempunyai urusan apa-apa dengan
Hoa-san-pai.!
Aku tidak datang sebagai
utusan Hoa-san-pai, melainkan karena maksud pribadi, dan yang hendak
kubicarakan adalah hal penting yang menyangkut keselamatan Siauw-lim-pai, bukan
hanya mengenai kuil ini, melainkan mengenai Siauw-lim-pai seluruhnya. Lekas
kauberitahukan kepada suhumu sebelum terlambat.!
Tiba-tiba dari sebelah dalam
terdengar suara. halus, Siapakah yang ingin berjumpa dengan pinceng?!
Im-yang Seng-cu memandang.
Yang bicara itu adalah seorang hwesio tinggi, kurus yang usianya sudah empat
puluh tahun lebih, bersikap gagah dan tangan kirinya membawa seuntai tasbeh. Ia
cepat menjura dan bertanya. Apakah aku berhadapan dengan Gin Sim Hwesio yang
mengepalai kuil ini?!.
Benar, Sicu.! Hwesio itu
berkata dan balas menjura dengan hormat.
Aku adalah Im-yang Seng-cu,
ada urusan penting mengenai kuil ini hendak kusampaikan kepada Losuhu.!
Omitohud.... ! Pinceng merasa
menerima kehormatan besar sekali dengan kunjungan seorang pendekar kang-ouw
yang ternama seperti Sicu. Silakan masuk dan mari kita bicara di ruangan
dalam.!
Setelah mereka memasuki
ruangan dalam yang sederhana namun bersih sekali, dan duduk berhadapan, Im-yang
Seng-cu lalu berkata, wajahnya serius, Gin Sim Hwesio, Siauw-lim-pai terancam
bahaya besar. Malam nanti, kuil ini akan diserbu, semua penghuninya akan dibunuh
dan mungkin kuilnya akan dibakar!!
Hwesio tinggi kurus itu
menerima berita ini dengan sikap tenang-tenang saja sungguhpun sinar keheranan
dan tidak percaya terpancar dari kedua matanya. Omitohud! Sungguh luar biasa
sekali berita yang Sicu bawa ini. Siapakah yang begitu gatal tangan hendak
melakukan hal-hal hebat itu? Kami selamanya tidak bermusuhan dengan siapa juga,
kami bersahabat dengan semua golongan....!
Aku mengerti Losuhu!! Im-yang
Seng-cu memotong tak sabar. Aku tahu sikap bijaksana yang menjadi pegangan
Siauw-lim-pai, dan aku kagum serta menghargai sikap yang diambil oleh ketua
kalian, Kian Ti Hosiang-locianpwe yang terhormat. Akan tetapi, justeru sikap
diam tidak mencampuri dan tidak memusuhi siapa-siapa itulah yang menjadi sebab
ancaman yang akan dilakukan orang malam nanti.!
Mulailah hwesio itu tertarik.
Siapakah yang akan melakukan hal yang keji itu, Sicu? Dan kenapa?!
Aku tidak tahu mereka itu
siapa, akan tetapi yang jelas, mereka itu akan menyerbu dan membasmi kuil ini
dengan menyamar sebagai tokoh Hoa-san-pai dan perwira-perwira Kerajaan Sung.!
Dengan singkat namun jelas Im-yang Seng-cu lalu menceritakan tentang lima orang
yang ia lihat dan dengar percakapan mereka di dalam restoran pagi hari itu.
Gin Sim Hwesio adalah murid
Siauw-lim-pai yang lebih condong dengan sikap suhengnya di pusat, yaitu Ceng
San Hwesio yang bersikap keras terhadap orang-orang yang memusuhi
Siauw-lim-pai, tidak seperti sikap Kian Ti Hosiang. Mendengar penuturan Im-yang
Seng-cu, ia mengerutkan alisnya kemudian bangkit berdiri dan menjura kepada
tamunya.
Banyak terima kasih akan
peringatan Sicu. Pinceng tidak percaya bahwa ada orang-orang yang berniat
begitu jahat terhadap kuil ini, dan andaikata benar demikian, pinceng dan
murid-murid akan sanggup menghadapi mereka. Selamat jalan, Sicu.!
Im-yang Seng-cu membelalakkan
mata, Losuhu, aku akan membantumu!!
Tidak baik kalau pihak luar
mencampuri, kami sanggup membela diri dan kami tidak ingin menarik orang luar
sehingga permusuhan akan berlarut-larut. Selamat jalan, Sicu!!
Im-yang Seng-cu hampir tidak
dapat percaya. Dia diusir halus-halusan! Dengan hati mengkal Im-yang Seng-cu
bangkit berdiri, menampar kepalanya sendiri dan mengomel, Dasar si bodoh yang
ingin mencampuri urusan orang-orang besar! Benar sekali pandangan Si
Jai-hwa-sian! Selamat tinggal, Losuhu!! Ia membalikkan tubuhnya hendak pergi.
Tunggu dulu, Sicu. Hendaknya
jangan salah paham. Pinceng berterima kasih sekali, akan tetapi kalau pinceng
menerima bantuan Sicu, bukankah hal ini berarti pinceng perluas permusuhan
dengan orang-orang yang belum kita ketahui dari golongan mana datangnya?
Pinceng kira, kalau pinceng sudah berhadapan dengan mereka, pinceng dapat
membujuk mereka agar tidak melanjutkan niat jahat mereka sehingga perdamaian
dapat dijaga dan dipertahankan.!
Akan tetapi, Im-yang Seng-cu
mendengus marah dan pergi meninggalkan kuil itu. Namun hatinya penasaran. Jiwa
kependekarannya mengalahkan rasa jengkelnya dan biarpun penawarannya untuk
membantu ditolak mentah-mentah, dia masih tetap ingin menjaga dan kalau perlu
membantu pendeta-pendeta Siauw-lim-pai yang ia tahu bersih hatinya namun juga
amat keras kepalanya itu.
Malam itu sunyi sekali di
sekitar kuil. Malam yang gelap, akan tetapi keadaan di dalam dan di luarnya
terang karena para hwesio menyalakan lampu penerangan atas perintah Gin Sim
Hwesio. Biarpun hatinya keras dan kepercayaannya terhadap diri sendiri dan para
muridnya amat besar, namun ketua kuil itu telah siap sedia dan berlaku
hati-hati. Kuil cabang Siauw-lim-pai di Lo-kiu ini tidak begitu besar dan Gin
Sim Hwesio hanya dibantu oleh murid-muridnya, para hwesio muda Siauw-lim-pai
yang jumlahnya ada dua puluh orang. Dia merasa bahwa kedudukannya sudah cukup
kuat karena murid-muridnya telah memiliki ilmu kepandaian yang lumayan. Para muridnya
menjaga di sekeliling kuil, sedangkan Gin Sim Hwesio sendiri duduk bersila
melakukan samadhi di tengah ruangan depan.
Menjelang tengah malam,
tiba-tiba Gin Sim Hwesio berkata, Siap....!! Dan perintah ini segera
disampaikan kepada semua murid sambung-menyambung. Tak lama kemudian tampaklah
berkelebat bayangan enam orang yang gerakannya gesit sekali, tanda bahwa mereka
adalah orang-orang berkepandaian tinggi. Melihat ini, enam orang murid kepala
yang ditugaskan menjaga di dalam, segera keluar membawa obor sehingga sinar
penerangan di ruangan depan itu makin cemerlang menerangi wajah enam orang itu.
Gin Sim Hwesio sudah bangkit
berdiri, tasbeh di tangan kiri, sebatang tongkat hwesio di tangan kanan ,
memandang tajam. Ia mengenal lima orang yang diceritakan Im-yang Seng-cu, yaitu
dua orang kang-ouw, dua orang berpakaian perwira, dan seorang tosu. Akan tetapi
kini bertambah dengan seorang lagi yang membuatnya terkejut karena gerakan dan
sinar mata orang ini menunjukkan bahwa kepandaiannya amat tinggi, orangnya
gendut pendek dan mulutnya tertawa-tawa atau tersenyum-senyum lebar, usianya
kurang lebih empat puluh tahun.
Liok-wi siapakah, malam-malam
mengunjungi kuil kami secara ini?!
Si Perwira Gemuk yang agaknya
memimpin penyerbuan itu, tertawa sambil mencabut pedang panjang dari
pinggangnya, Kami adalah dua orang perwira tinggi ,Kerajaan Sung, datang untuk
membasmi kuil Siauw-lim-si karena para hwesio Siauw-lim-pai bersekutu dengan
berontak!!
Dan pinto Thian Ek Cin-jin
dari Hoa-san-pai!! kata Si Tosu sambil mengejek.
Omitohud! harap Cu-wi tidak
membohong lagi karena pinceng sudah tahu bahwa Ji-wi-ciangkun hanyalah,
perwira-perwira Sung yang palsu, sedangkan Toyu juga hanya menyamar sebagai
tosu Hoa-san-pai. Sebaiknya katakan terus terang, apakah maksud Cu-wi datang
mengganggu? Cu-wi sudah mendengar bahwa Siauw-lim-pai tidak mau mengotorkan
diri dengan pertentangan dan perebutan kekuasaan. Kami tidak mau memusuhi
siapapun juga, dan kalau Cu-wi datang hendak mengobarkan kemarahan
Siauw-lim-pai dan memancing-mancing usaha keji itu tidak akan berhasil,
sebaliknya Cu-wi selamanya akan merasa tidak aman. Sebaiknya Cu-wi pergilah
dengan aman sebelum kita semua melakukan dosa!!
Lima orang itu saling pandang
dengan mata terbelalak, Ahhhh Si Keparat.... tentu mereka yang
membocorkan....!! teriak Si Perwira Kurus.
Tiba-tiba terdengar suara
ketawa dan tahu-tahu di situ telah muncul Im-yang Seng-cu yang tertawa dan
berkata, Ha-ha-ha, kiranya si pemakan lalat yang datang! Eh, apakah engkau
sudah ketagihan lalat lagi dan datang ke sini hendak mencari makanan? Di sini
terlalu bersih, tidak ada lalat hijau, ha-ha!!
Engkau.... Im-yang Seng-cu!!
Tiba-tiba orang pendek gemuk yang tersenyum-senyum tadi melangkah maju dan
menegur.
Im-yang Seng-cu
mengangguk-angguk. Hemm, hemm...., kiranya Thai-lek Siauw-hud Ngo Kee juga
hadir! Sekarang tahulah aku bahwa yang berdiri di belakang semua ini tentulah
Coa Sin Cu!?!
Setan kau!! Dua orang perwira
gendut dan kurus itu sudah menerjang maju, dibantu oleh dua orang kang-ouw,
sedangkan tosu, dan Si Gendut yang bukan lain adalah Thai-lek Siauw-hud Ngo Kee
menerjang Gin Sim Hwesio yang dibantu enam orang muridnya.
Im-yang Seng-cu sudah
menggerakkan tongkatnya dan sinar hitam yang lebar dan panjang bergulung di
depan tubuhnya menangkis serangan empat batang pedang, dan sambil meloncat
mundur mencari tempat luas ia mengejek ke arah ketua kuil cabang Siauw-lim-si,
Bagaimana, Losuhu? Berhasilkah engkau menghadapi mereka dengan pelajaran suci
agamamu? Ha-ha-ha, orang-orang macam mereka ini hanya patut dihadapi dengan
tongkat penggebuk anjing!!
Omitohud...., terpaksa pinceng
melanggar pantangan berkelahi!! Gin Sim Hwesio juga sudah menggerakkan tongkat
hwesionya dan melanjutkan, Im-yang Seng-cu, terima kasih atas bantuanmu akan
tetapi jangan mengotorkan kuil dengan darah atau pembunuhan!!
Akan tetapi, biarpun mulutnya
berkata demikian, hati hwesio ini terkejut sekali menyaksikan kelihaian dua
orang lawannya, terutama Si Gendut yang dengan gerakan golok besarnya di tangan
kanan telah membuat senjata para muridnya menyeleweng, kemudian dorongan tangan
kiri yang amat kuat membuat seorang di antara muridnya roboh terjengkang dan
muntah darah!
Ha-ha-ha, Gin Sim Hwesio.
Kalau kita tidak membunuh tentu kita yang akan terbunuh!! Im-yang, Seng-cu tertawa
lagi, tongkatnya menyambar-nyambar dan dengan ilmu kepandaiannya yang
campuraduk, ia berhasil mengacaukan pertahanan keempat orang pengeroyoknya.
Imyang Seng-cu adalah seorang jagoan Hoa-san-pai, murid Tee Cu Cinjin yang
merupakan orang terpandai di Hoa-san-pai, akan tetapi semenjak bertahun-tahun
ia berkelana, merantau dan mempelajari banyak sekali ilmu silat.
Memang mempelajari ilmu silat
merupakan hobbynya. Tidak seperti para murid Hoa-san-pai yang menjaga kemurnian
ilmu silat Hoasan-pai dan tidak sudi mempelajari ilmu silat golongan atau
partai lain, Im-yang Seng-cu tidak pantang mempelajari ilmu silat apapun juga,
baik ilmu silat kaum putih maupun kaum hitam sehingga dia dianggap murtad dari
Hoa-san-pai. Akan tetapi berkat kesukaannya mempelajari segala macam ilmu silat
dan mengawin-ngawinkan! semua ilmu itu, Im-yang Seng-cu memperoleh kemajuan
hebat dan dia memiliki gerakan yang aneh-aneh, sedangkan keuntungan lain adalah
bahwa dia mengenal dasar-dasar gerakan ilmu silat lawan sehingga memudahkannya
untuk menghadapi lawan itu.
Selain segala keanehan yang
dimilikinya, juga jago kang-ouw yang masih muda akan tetapi wataknya luar biasa
ini mempunyai sebuah keanehan lain, yaitu dia selalu bernyanyi dan mengarang
sajak setiap melakukan pertempuran! Kali ini pun dia sudah memutar tongkatnya
sambil bernyanyi, suaranya lantang dan nyaring:
Betapa dunia takkan
kacau-balau oleh tingkah mahluk bernama manusia
pendeta tidak segan berbuat
dosa
pejabat tidak segan bsrbuat
khianat
Pendekar berubah menjadi penjahat
Si bengcu cerdik menggoyang
kaki
membiarkan anjing-anjing
memperebutkan tulang
tinggal dia menanti hasil
terakhir!
Oh dunia....!Oh manusia....!
Sungguh menyedihkan, ataukah
menggelikan
Pada saat menyanyikan bait
terakhir, ujung tongkatnya yang tadinya dikempit ketika ia menggerakkan ujung
satunya untuk menangkis tiga batang pedang, tiba-tiba mencuat melalui belakang
ketiaknya dan langsung menyambar ke arah kaki Si Perwira kurus.
Pletak!! Tulang kering kaki
kanan Si Perwira Kurus dihajar ujung toya, retak den rasa nyeri menusuk ke
tengah jantung.
Ayaaaa....! Aduh-aduhhh....!!
Perwira kurus itu berloncatan dengan sebelah kaki, pedangnya terlepas dan ia
berjingkrak-jingkrak memegangi kaki yang rasanya patah-patah. Yang terpukul
adalah tulang kering kakinya, namun rasa nyeri menusuk-nusuk jantung.
Ha-ha-ha! Kalau menangis
jangan terlalu lebar membuka mulut, nanti kemasukkan lalat lagi!! Im-yang
Seng-cu mengejek dan mendesak tiga orang pengeroyoknya.
Im-yang Seng-cu, manusia
sombong!! Tiba-tiba sebatang golok besar menyambar dari belakang.
Syuuutt...., tranggg!! Im-yang
Seng-cu mundur dan terkejut karena telapak tangannya tergetar ketika tongkatnya
menangkis golok. Kiranya Thai-lek Siauw-hud Ngo Kee yang menyerangnya. Orang
gendut pendek ini ketika melihat betapa empat orang kawannya tidak mampu
pengalahkan Im-yang Seng-cu, bahkan perwira kurus terluka, segera meninggalkan
Gin Sim Hwesio karena tosu itu sendiri cukup untuk menghadapi Gin Sim Hwesio
yang kini hanya dibantu oleh seorang murid, sedangkan lima orang muridnya telah
roboh dan tewas. Tosu itu ternyata lihai sekali. Pedangnya menyambar-nyambar
merupakan gulungan sinar putih sehingga biarpun Gin Sim Hwesio sudah
menggerakkan tongkat dan tasbihnya, dibantu pula oleh murid kepala, tetap saja
kedua orang hwesio ini terdesak. Betapapun juga, mereka berdua masih mampu
mempertahankan diri, tidak seberat tadi ketika Thai-lek Siauw-hud masih
membantu Si Tosu.
Adapun Im-yang Seng-cu,
biarpun masih tertawa-tawa, namun dia kini bersilat dengan hati-hati sekali.
Setelah para pengeroyoknya tinggal tiga orang, tadinya ia memandang ringan,
akan tetapi begitu Si Gendut Pendek itu maju, dia terdesak dan maklumlah dia
bahwa tingkat kepandaian Thai-lek Siauw-hud tidak kalah jauh olehnya.
Thai-lek Siauw-hud, kematian sudah
di depan mata, engkau masih banyak berlagak?! Im-yang Seng-cu masih mengejek.
Hu-ha-ha! Bualanmu tidak akan
menolongmu Im-yang Seng-cu! Sayang kau tidak pernah bersepatu sehingga kalau
mati, jangankan sorga, neraka pun tidak akan sudi menerima orang tak sopan,
bertelanjang kaki!!
Im-yang Seng-cu tertawa dan
diam-diam ia mendongkol karena sekarang, ia bertemu batunya.Ternyata Si Pendek
itu pun suka tertawa dan suka berkelakar. Ia lalu menjalankan siasatnya yang ia
dapatkan ketika merantau ke utara, di mana ia mempelajari ilmu gulat dari
bangsa Mongol. Ketika tiga batang pedang menyambar, disusul sambaran Si Gendut
yang lihai, ia cepat memutar tongkatnya dengan pengerahan tenaga sehingga tiga
batang pedang itu terpental dan tiga orang pengeroyoknya meloncat mundur dengan
kaget, dan pada saat golok menyambar.
Im-yang Seng-cu sengaja
memperlambat gerakan mengelak. Akan tetapi begitu sinar golok lewat di atas
pundak, ia merendahkan tubuh, menangkap pergelangan tangan lawan! Sedetik
mereka bersitegang, dan tiba-tiba tubuh yang gendut pendek dari Thai-lek
Siauw-hud terlempar ke atas kepala Im-yang Seng-cu! Inilah bantingan dari gulat
yang dimiliki Im-yang Seng-cu. Dalam adu tenaga, ia mendapat kenyataan bahwa
julukan Thai-lek tidaklah kosong Si Gendut Pendek itu kuat sekali maka ia tadi
telah cepat membalikkan tubuh dan melontarkan tuuh si gendut tu dengan kekuatan
dari bokong dan punggungnya.
Ngekkk....broooottt!! Tubuh si
Gendut terbanting dan ketika ia mengerahkan sin-kang untuk melawan bantingan,
tanpa disengaja lubang belakangnya melepaskan kentut besar!
Idiiih....! Bau....! Bau....!!
Im-yang Seng-cu memijat hidung dengan jari tangan kiri sedangkan tangan
kanannya memutar tongkat menyambut serangan perwira gemuk dan dua orang
kang-ouw.
Muka Thai-lek Siauw-hud merah
sekali. Dia tidak terluka akan tetapi telah terbanting sampai terkentut-kentut!
Memang aneh sekali Thai-lek Siauw-hud ini, dia mempunyai semacam penyakit! yang
mungkin timbul karena kesalahan berlatih sin-kang dahulu. Entah terlalu banyak
angin di dalam perutnya yang gendut itu, ataukah karena lubang belakangnya
sudah longgar, akan tetapi setiap kali ia mengerahkan tenaga sin-kang sekuatnya
dan hawa sakti terkumpul di perut, selalu tentu ada saja hawa yang bocor
sedikit ke belakang sehingga menimbulkan suara kentut yang nyaring! Ketika
menghadiri ulang tahun Coa-bengcu di pantai Po-hai dahulu pun, dalam mengikuti
pameran tenaga mengangkat benda berat, ia sudah melepas kentut pula dan
sekarang, karena terbanting ia mengerahkan sin-kang agar tidak terluka, ia
terkentut pula. Rasa malu membuat dia marah sekali dan bagaikan seekor harimau
terluka, ia menerjang maju memutar goloknya sambil memaki,
Im-yang Seng-cu calon bangkai!
Makanlah golokku!! Hebat bukan main serangan Thai-lek Siauw-hud yang marah
sehingga Im-yang Seng-cu tidak berani main-main, cepat mainkan jurus-jurus
pertahanan dengan ketat, menahan serangan golok dan tiga batang pedang yang
bertubi-tubi itu.
Sekali ini ia terdesak hebat
seperti halnya Gin Sim Hwesio dan murid kepalanya.
Gin Sim Hwesio mulai merasa
khawatir karena murid-muridnya yang menjaga di sekitar kuil tidak ada yang
tampak. Tiba-tiba ia berseru, Celaka....!! Dan ia memutar tongkatnya mengirim
serangan hebat kepada Si Tosu yang lihai, akan tetapi tosu itu dapat mengelak
dan bahkan mengirim tusukan dari samping dengan pedangnya. Kekagetan ketua kuil
ini melihat api bernyala di belakang kuil membuat gerakannya kurang cepat dan
ketika ia mengelak, pedang itu berkelebat ke bawah melukai pahanya. Ia
terhuyung dan muridnya cepat mendesak Si Tosu untuk menolong suhunya.
Tiba-tiba terdengar
sorak-sorai menyusul berkobarnya api, akan tetapi sorak-sorai ini segera
terganti teriakan-teriakan kaget dan api pun padam. Tak lama kemudian,
berkelebatlah bayangan orang yang cepat dan ringan sekali, dan di situ muncul
seorang laki-laki tampan yang menerjang dengan pedangnya, sekali terjang ia
telah membuat Si Tosu terlempar ke belakang. Kemudian, laki-laki ini meloncat
dan menerjang mereka yang mengepung Im-yang Seng-cu. Melihat laki-laki ini
Im-yang Seng-cu tertawa dan berseru, Ha-ha-ha! Kiranya engkau benar-benar Sian
(Dewa), bukannya Kwi (Setan)!!
Suma Hoat atau Jai-hwa-sian
tidak menjawab, hanya menggerakkan pedangnya, diputar cepat sekali sehingga dua
orang kang-ouw yang baru menangkis menjadi patah pedangnya dan terluka pundak
dan dadanya.
Siapa engkau....?! Thai-lek
Siauw-hud membentak, kaget menyaksikan kehebatan gerak pedang Suma Hoat. Suma
Hoat tidak menjawab, akan tetapi Im-yang Seng-cu sudah memperkenalkan,
Mau kenal sahabatku ini?
Dialah Jai-hwa-sian!!
Si Gendut terkejut sekali.
Mengapa orang seperti engkau membela Siauw-lim-pai?!
Sebagai jawaban Jai-hwa-sian
menerjang dan Si Gendut terpaksa menangkis dengan golok.
Cringggg!! Golok dan pedang
bertemu dan melekat, pada saat itulah, Si Perwira gemuk sudah menerjang dengan
pedang panjangnya, menyambar ke leher Suma Hoat dari belakang.
Pergilah....!! Suma Hoat
membentak, menggetarkan pedangnya dan mendorong sehingga Thai-lek Siauw-hud
terhuyung ke belakang dan secepat kilat Suma Hoat sudah merendah kan diri
sahingga pedang perwira gemuk menyambar atas kepalanya. Detik itu juga, pedang
Suma Hoat meluncur dari bawah, Si Perwira menjerit, pedangnya terlepas dan ia
terjengkang roboh, darah muncrat-muncrat keluar dari perutnya.
Akan tetapi, puluhan orang
sudah menyerbu datang. Mereka terdiri dari belasan pemuda-pemuda dan belasan
gadis-gadis yang memiliki gerakan gesit dan ringan. Mereka itu adalah anak buah
atau murid-murid dari Coa Sin Cu, bengcu di pantai laut Po-hai. Para murid Kuil
Siauw-lim-si yang menjaga di luar tadi telah roboh oleh mereka dan ketika
mereka mulai membakar kuil, tiba-tiba muncul Suma Hoat yang merobohkan lima
orang yang membakar kuil dan memadamkan kebakaran lalu datang membantu Gin Sim
Hwesio dan Im-yang Seng-cu.
Terjadilah pertadingan yang
berat sebelah karena para penyerbu terdiri dari puluhan orang sedangkan yang
mempertahankan hanyalah Gin Sim Hwesio yang sudah terluka, Im-yang Seng-cu dan
Suma Hoat. Murid kepala Gin Sim Hwesio juga sudah roboh.
Ha-ha-ha! Jai-hwa-sian, mari
kita basmi anjing-anjing keparat ini!! Im-yang Seng-cu tertawa bergelak dan
cepat mengerjakan tongkatnya merobohkan dua pengeroyok karena ingin mengejar
ketinggalannya ketika melihat betapa Suma Hoat sudah lebih dulu merobohkan dua
orang. Gin Sim Hwesio mengeluh ketika melihat kuilnya menjadi kotor oleh darah
manusia, dan karena dia sudah terluka cukup parah, ia hanya dapat menggerakkan
tongkatnya untuk melindungi tubuhnya.
Dari pihak penyerbu, yang
memiliki kepandaian tinggi hanya Thai-lek Siauw-hud, dan tosu yang mengaku
bernama Thian Ek Cinjin, Si Perwira Gemuk telah tewas oleh pedang Suma Hoat, si
Perwira Kurus telah remuk tulang kering kakinya dan dua orang kang-ouw teman
mereka pun telah terluka oleh pedang Suma Hoat. Biarpun kepandaian dua orang
itu cukup hebat, namun Si Tosu kewalahan menghadapi tomgkat Im-yang seng-cu dan
Thai-lek Siauw-hud juga terdesak hebat menghadapi pedang Suma Hoat. Akan tetapi
karena datang puluhan orang anak buah Coa Sin Cu, payah jugalah Im-yang Seng-cu
dan Suma Hoat, sedangkan Gin Sim Hwesio sudah tidak dapat menyerang lawan
kecuali melindungi diri sendiri.
Bunyi senjata beradu
bertubi-tubi nyaring dan terdengar Gin Sim Hwesio mengeluh panjang, tubuhnya
terhuyung dan roboh ke belakang ketika kembali bahu kanannya terluka oleh
sabetan pedang. Dia sudah terluka dan tenaganya makin berkurang sedangkan para
pengeroyoknya yang masih muda-muda itu terlampau banyak. Biarpun ia roboh
terjengkang dan rebah sambil memutar tongkatnya, namun keadaannya terancam bahaya
maut dengan serangan senjata pedang yang amat banyak, yang bagaikan hujan
menimpa dirinya.
Trang-trang-trang....!!
Pedang-pedang yang menyerang tubuh ketua kuil ini terpental, bahkan dua orang
pengeroyok roboh terguling ketika Suma Hoat meloncat datang meninggalkan para
pengeroyoknya untuk menolong Gin Sim Hwesio. Hwesio itu kini sempat bangun
kembali. Darah mengucur dari bahu dan pahanya, namun ia sudah dapat memasang
kuda-kuda dan melintangkan tongkatnya. Suma Hoat kini kembali dikepung dan
pundaknya kena ujung pedang seorang pengeroyok, bajunya robek dan kulitnya ikut
robek sehingga darahnya mulai mengucur keluar. Namun bagaikan seekor naga
mengamuk, ia masih terus memutar pedangnya menyambut datangnya serangan
Thai-lek Siauw-hud dan para murid Coa-bengcu.
Keadaan Im-yang Seng-cu juga
tidak lebih baik. Biarpun ia masih tertawa-tawa, namun dia sudah terluka pula.
Dada kanannya tertusuk pedang, dan untunglah bahwa ia sempat mengerahkan
sin-kang sambil emmbanting diri sehingga hanya kulit dan daging dada saja yang
robek berdarah. Diapun mengamuk hebat, bahkan terdengar dia bernyanyi nyaring:
Malang-melintang di dunia
kang-ouw
menentang kejahatan mengabdi
kebenaran
tongkat di tangan haus darah
dan nyawa
para penjahat angkara murka
biarpun tewas dalam membela
kebenaran
dengan senjata tongkat tetap
di tangan
apa lagi yang membuat
penasaran?
Bress! Prookk!! Kembali dua
orang pengeroyok roboh oleh tongkat di tangan Im-yang Seng-cu, akan tetapi pada
saat itu, pedang Si Tosu yang lihai telah berhasil membacok ke arah lehernya.
Im-yang Seng-cu cepat membuang diri ke belakang, namun sinar pedang menyusul
dan darah muncrat keluar dari pundak kanan Im-yang Seng-cu, sebagian daging
bahu kanannya robek! Ia terhuyung dan memutar tongkatnya sehingga terdengar
suara nyaring ketika tongkatnya berhasil menangkis banyak senjata lawan.
Suma Hoat mengeluarkan
teriakan keras dan pedangnya berubah menjadi gulungan sinar menyilaukan mata
tertimpa api penerangan, membuat Thai-lek Siauw-hud dan teman-temannya mundur,
kesempatan itu dipergunakan Suma Hoat untuk meloncat jauh menyambar tubuh
Im-yang Seng-cu, dibawa ke tempat di mana Gin Sim Hwesio masih mempertahankan
diri.
Kalian berdua mempertahankan
di belakangku!! kata Suma Hoat dan mulailah terjadi pengepungan yang ketat
terhadap tiga orang itu. Gin Sim Hwesio sudah terluka parah, juga Im-yang
Sengcu sudah terluka berat, dan hanya Suma Hoat seorang yang masih mampu
mengirim serangan balasan karena dua orang temannya hanya mampu mempertahankan
diri saja.
Bukan main kagum hati Gin Sim
Hwesio dan Im-yang Seng-cu menyaksikan sepak terjang Suma Hoat. Biarpun
pundaknya sudah berdarah, pemuda tampan itu mengamuk terus, melindungi kedua
orang yang terluka sambil balas menerjang dengan sambaran pedangnya yang amat
luar biasa sehingga sedikit saja ada pengeroyok lengah tentu menjadi korban.
Im-yang Seng-cu kagum dan juga gembira menyaksikan teman barunya itu. Dia
sendiri bersama Gin Sim Hwesio hanya mampu melindungi diri, dan dia pun maklum
bahwa kalau tidak ada Suma Hoat tentu niat buruk anak buah Coa Sin Cu membasmi
para hwesio Siauw-lim-pai dan membakar kuil akan terlaksana, bahkan ditambah
dengan pengorbanan dirinya sendiri. Saking gembiranya menyaksikan sepak terjang
Suma Hoat, ia memutar tongkat sambil bernyanyi
Dia dikatakaan Pemetik Bunga
perbuatannya bergelimang darah
menghitam
kini dia mati-matian membela
kebenaran dengan taruhan nyawa
penuh rela
hitam atau putihkah dia?
Dia disebut berbudi seperti
dewa
tapi betapa banyak air mata
runtuh dari dara-dara
menangis dengan hati merana
setan atau dewakah dia?
Suma Hoat tidak dapat
memperhatikan nyayian ini hanya diam-diam ia pun kagum sekali akan sikap
Im-yang Seng-cu yang dalam himpitan bahaya maut masih sempat bernyanyi-nyanyi.
Betapa gagah perkasanya Si Kaki telanjang itu! Suma Hoat memusatkan
perhatiannya diujung pedang dan amukannya membuat gentar Thai-lek Siauw-hud.
Thian Ek Cinjin dan anak buah
mereka. Malam sudah hampir terganti pagi dsn mulailah para penyerbu merasa
khawatir. Kalau sampai pagi dan mereka belum berhasil sehingga kelihatan oleh
penduduk, tentu rahasia mereka akan pecah dan semua usaha itu akan sia-sia
belaka. Maka Thai-lek Siauw-hud lalu memberi aba-aba rahasia. Semua anak
buahnya mulai mengumpulkan teman-teman yang tewas atau terluka, kemudian
serentak mereka lari meninggalkan tempat itu membawa para korban pihak mereka.
Engkau ikut denganku!!
Tiba-tiba Suma Hoat berseru, tubuhnya berkelebat ke depan dan ia sudah
menyambar pinggang seorang di antara gadis-gadis penyerbu yang sejak tadi
memang sudah diincarnya, bahkan ketika mengamuk tadi ia berlaku hati-hati agar
jangan melukai gadis berpakaian hijau ini. Gadis itu menjerit, meronta dan
menggerakkan pedangnya membacok, akan tetapi sekali mengetuk pergelangan gadis
itu, pedangnya terbang dan di lain saat tubuhnya sudah ditotok dan dikempit
lengan kiri Suma Hoat. Gadis yang cantik itu tak dapat bergerak lagi.
Kemudian, tanpa menoleh lagi,
Suma Hoat meloncat berkelebat dan pergi dari situ tanpa pamit.
Eh, nanti dulu!! Im-yang
Seng-cu berseru.
Taihiap, harap tunggu dulu,
Pinceng hendak menyampaikan terima kasih
Gin Sim Hwesio juga berteriak,
akan tetapi Suma Hoat tidak peduli dan sama sekali tidak menengok atau
menjawab.
Im-yang Seng-cu tertawa dan
berkata kepada Gin Sin Hwesio, Itulah seorang pendekar besar yang rusak hatinya
oleh asmara! Ha-ha-ha-ha, dia terkenal di dunia kang-ouw sebagai Jai-hwa-sian,
akan tetapi siapa kira malam ini dia membela Siauw-lim-pai mati-matian. Losuhu
selamat berpisah!! Im-yang Seng-cu juga berkelebat pergi mengejar bayangan Suma
Hoat yang sudah lenyap di telan keremangan pagi.
Omitohod....!! Gin Sim Hwesio
merangkap kedua tangan, kedua tangan seperti berdoa, diam-diam harus mengakui
bahwa keselamatannya dan keselamatan kuilnya, juga agaknya keselamatan
Siauw-lim-pai sehingga tidak terseret dalam pertentangan adalah jasa
pertolongan orang muda yang di dunia kang-ouw disohorkan sebagai seorang
penjahat cabul yang dikutuk semua orang.
Im-yang Seng-cu, melakuan
pengejaran. Hatinya penuh rasa penasaran dan penuh rasa kekecewaan. Begitu
bertemu dengan Suma Hoat, ia merasa tertarik, merasa suka dan kagum. Ia tahu
bahwa di dasar hatinya, Suma Hoat memiliki watak pen dekar yang besar yang
mengagumkan. Akan tetapi sayang seribu kali sayang watak yang baik itu dikotori
oleh kesukaan lain yang dianggap terkutuk di seluruh dunia yaitu suka
mengganggu wanita!
Bahkan perbuatannya semalam
yang amat mengagumkan, kegagahan serta keberanian disertai tekad untuk membela
kebenaran dengan taruhan nyawa tanpa ditawar-tawar lagi, pada akhirnya
dicemarkan oleh perbuatannya yang amat tercela, yaitu menculik seorang di
antara para penyerbu yang masih muda dan cantik. Penculikan yang jelas
diketahui apa maksudnya! Padahal, di waktu mengamuk tadi, demi membela
kebenaran membersihkan nama Siauw-lim-pai, dia sudah terancam bahaya maut dan
kalau dikehendaki. Jai-hwa-sian yang sudah terluka itu masih sempat melarikan
diri. Akan tetapi, dia sama sekali tidak mau menyelamatkan diri tidak mau
meninggalkan Gin Sim Hwesio dan Im-yang Seng-cu yang terluka parah, bahkan
melindungi mereka dan mengamuk dengan nekat!
Jai-hwa-sian.... bagaimana aku
akan dapat menyadarkanmu dari kebiasaan buruk itu?! Im-yang Seng-cu berlari
terus dan baru setelah matahari naik tinggi ia menemukan jejak Jai-hwa-sian
yang membawa lari korbannya ke dalam sebuah hutan di luar kota Lok-kiu!
Im-yang Seng-cu mencari-cari
di dalam hutan dan akhirnya ia mendengar suara-suara dari balik rumpun yang
itu, dan tahulah ia bahwa Jai-hwa-sian bersama korbannya berada di balik rumpun
itu, di atas tanah yang ditilami rumput tebal hijau seperti permadani! Dia
menyelinap mendekati, siap untuk menolong gadis yang menjadi korban itu.
Betapapun kagumnya terhadap Jai-hwa-sian, di sini terdapat seorang wanita yang
perlu ditolong! Dan dia akan melawan Jai-hwa-sian, demi kebenaran, kalau perlu
berkorban nyawa!
Memang tidak salah bahwa gadis
itu adalah seorang diantara para pnyerbu kuil semalam, seorang anak buah Coa
Sin Cu akan tetapi persoalannya sekarang lain. Gadis itu kini menjadi seorang
wanita yang terancam kehormatannya oleh seorang penjahat cabul tukang
memperkosa, bukan oleh seorang pendekar yang semalam mempertahankan nyawanya
untuk membela kebenaran!
Ia menduga bahwa tentu akan
mendengar gadis itu menangis seperti biasa kalau seorang Jai-hwa-cat (Penjahat
Pemerkosa) menerkam korbannya, dan mendengar suara Jai-hwa-sian membujuk rayu
atau mengancam. Akan tetapi, muka Im-yang Seng-cu menjadi merah sekali, matanya
terbelalak ketika ia mendengar suara gadis itu, penuh kemanjaan penuh rayuan.
Koko.... aku.... aku cinta
padamu! Betapa gagah perkasa engkau.... betapa.... tampan dan mesra! Koko, aku
rela menjadi milikmu selamanya...., aku cinta padamu!!
Dan terdengarlah jawaban
Jai-hwa-sian, suaranya mengandung kegetiran, Aku tidak percaya akan cinta!
Perempuan yang cantik rupanya belum tentu cantik hatinya. Yang ada ini hanya
nafsu! Nafsu berahi! Dan aku....! Tiba-tiba suara itu terhenti kemudian disusul
bentakan,
Im-yang Seng-cu! Aku suka
bersahabat denganmu karena aku kagum padamu, akan tetapi kalau kau mencampuri
urusan pribadiku, aku akan melupakan kekagumanku dan terpaksa engkau akan
kuanggap penghalang. Pergilah, atau seorang di antara kita akan mati!!
Im-yang Seng-cu menarik napas
panjang, merasa malu karena benar-benar keterlaluan baginya untuk mengintai dua
orang yang sedang berkasih mesra, sama sekali tidak ada tanda-tanda perkosaan,
dan kedua telinganya sendiri jelas mendengar pernyataan cinta gadis itu kepada
Jai-hwa-sian! Betapa mungkin ini? Dia menggeleng-geleng kepala dan berkata,
Jai-hwa-sian, aku hanya ingin
melihat engkau sadar bahwa perbuatanmu itu menyeleweng daripada kebenaran.!
Im-yang Seng-cu, perbuatan
yang menyangkut urusan priba diku tidak ada sangkut-pautnya dengan siapapun
juga, dan sama sekali engkau tidak berhak mencampurinya. Pilihlah sekarang, engkau
mau pergi atau aku terpaksa menggunakan kekerasan?!
Im-yang Seng-cu menghela
napas. Apa yang akan ia lakukan? Dia tidak takut menghadapi Jai-hwa-sian,
sungguhpun ia maklum bahwa orang itu lihai sekali, apalagi sekarang dia sudah
terluka cukup parah. Andikata dia mendengar gadis itu menangis dan minta
tolong, jangankan baru orang selihai Jai-hwa-sian, biar sepuluh kali lebih
lihai, dia tidak akan mundur selangkah pun dalam membela wanita yang tertindas
dan terhina.
Akan tetapi wanita yang
suaranya manja dan merayu itu mana membutuhkan pertolongannya!? Bahkan, kalau
ia mencampuri, bukan hanya Jai-hwa-sian yang tidak senang hatinya, jelas bahwa
wanita itu pun akan membecinya! Jadi siapa yang ditolongnya dan untuk apa ia
mencampuri urusan ini? Ia menggerakkan pundak lalu pergi dari tempat itu.
***
Han Ki memandang kedua arca
Maya dan Siauw Bwee den gan mata bersinar-sinar, penuh kegembiraan. Kedua arca
yang berdiri di dekat arcanya sendiri itu amat memuaskan dirinya. Arca-arca itu
sudah jadi, persis seperti kedua orang sumoinya yang amat dikasihinya dan ia
kagum akan hasil seni yang diciptakan tangannya, melainkan kagum akan
kecantikan kedua orang sumoinya. Baru sekarang ia dapat memandangi kecantikan
kedua orang gadis remaja itu sepuas hatinya.
Memang hebat! Sukarlah
menentukan siapa di antara keduanya yang lebih cantik. Kadang-kadang tampak
Maya lebih cantik, akan tetapi kadang-kadang Siauw Bwee lebih manis dan jelita.
Hanya diam-diam ia harus mengakui bahwa sepasang mata Maya amat hebat, luar
biasa hebatnya dan menyinarkan kehangatan yang membuat ia kadang-kadang merasa
jantungnya berdebar, apalagi ditambah bibir yang seolah-olah mengandung senyum
penuh arti itu.
Gerakan harus di belakangnya
pada saat itu amat dikenalnya. Berkat latihan yang tekun, tanpa menengok pun
Han Ki maklum bahwa Maya telah berada dalam kamar kerjanya membuat arca. Dia
mengenal benar gerakan halus kedua orang sumoinya, malah dapat membedakannya.
Apalagi, ada keharuman yang khas pada diri masing-masing dara itu karena
keduanya suka memakai bunga yang berlainan, bunga-bunga yang sering kali
dipetiknya dari pulau-pulau lain, yang dia cari untuk kedua orang sumoinya
karena dia tahu bahwa semua wanita menyukai bunga dan bau-bau harum.
Suheng....!
Han Ki menoleh tersenyum.
Sudah hampir jadi arca-arca
kita, Sumoi. Hanya tinggal menghaluskannya saja, dalam sehari saja tentu
selesai.!
Maya berlutut di dekat
suhengnya.
Suheng, arca siapakah yang
terindah di antara tiga buah arca ini?!
Pertanyaan kanak-kanak, pikir
Han Ki sambil tersenyum dan dia menjawab, suaranya menggoda, Tentu saja arcaku
sendiri!!
Ah, Suheng sombong!! Han Ki
hanya tertawa.
Suheng, kalau dua yang lain
ini, mana lebih cantik?!
Han Ki mengerutkan alisnya,
sejenak tak dapat menjawab. Akan tetapi kemudian terdengar suaranya menggoda
karena dia terpaksa melayani pertanyaan yang manja itu, Wah, tentu saja arcamu
lebih cantik.!
Wajah yang itu berseri, manis
pandang mata yang biasanya hangat itu lebih panas lagi, senyumnya manis
memikat. Suheng....! Maya menyentuh lengan suhengnya, Benarkah engkau anggap
aku paling cantik?!
Han Ki menatap wajah sumoinya
dan memang dia harus mengakui bahwa wajah itu luar biasa cantiknya, kecantikan
khas, yang sukar dilukiskan karena memiliki ciri tersendiri dan mempunyai daya
pikat yang amat kuat. Terpaksa ia mengangguk dan menjawab sungguh-sungguh
Engkau memang cantik jelita, Sumoi.!
Tidak ada wanita di dunia ini
yang melebihi kecantikanku?! Pertanyaan ini makin manja dan Maya mendekatkan
mukanya. Tampak garis-garis muka yang amat indah itu, bulu matanya panjang
lentik melengkung, agak merapat karena mata itu memandang setengah terpejam,
bibir itu terbuka sedikit, tampak sederetan gigi putih dan napas dara itu
seperti agak terengah.
Han Ki hanyalah seorang
laki-laki yang masih muda pula. Jantungnya berdebar dan jakunnya bergerak
ketika ia menelan ludah, Engkau cantik sukar dicari bandingnya di dunia ini,
Maya.!
Maya memandang dengan sinar
mata penuh arti, tangannya memegang lengan Han Ki, suaranya menggetar berbisik,
Suheng, engkau pun bagiku merupakan pria yang paling hebat di dunia ini
Maya....!! Han Ki membantah kaget.
Akan tetapi Maya yang sudah
mabok oleh perasaannya sendiri itu melanjutkan.
Suheng, bukankah aku lebih
cantik pula dibandingkan dengan Sung Hong Kwi?!
Maya-sumoi....!!
Maya sudah menjatuhkan diri ke
dalam pelukan suhengnya dan berbisik, Suheng, aku bersedia menjadi pengganti
Hong Kwi...., aku...., Suheng, bukankah engkau mencintaku seperti aku cinta
padamu....?!
Kali ini benar-benar Han Ki
terkejut karena di luar kesadarannya ia telah memeluk tubuh itu penuh dendam
rindu terhadap Sung Hong Kwi yang selama lima tahun ditahan-tahannya, bahkan
muka Maya yang tengadah itu dekat sekali dengan mukanya sehingga napas yang
keluar dari hidung dara itu menyentuh pipinya. Bagaikan sinar kilat tampak
wajah gurunya dan Han Ki melepaskannya, bangkit berdiri dan membalikkan tubuh
membelakangi Maya, memejamkan mata mengheningkan hati dan pikirannya mengusir
gairah nafsu yang menyesakkan dada.
Suheng....!! Maya juga bangkit
berdiri dan memeluk pinggangnya.
Maya-sumoi, jangan....!! Han
Ki berkata dan melepas kedua lengan yang merangkul pinggang itu, melangkah maju
dua langkah sambil membalikkan tubuh menghadapi sumoinya. Kini ia telah
menguasai nafsunya dan matanya memancarkan pandang mata penuh teguran.
Sumoi, mulai detik ini jangan
engkau ulangi semua sikap dan kata-katamu tadi!!
Suheng....! Aku.... cinta
padamu, Suheng....!
Diam! Keluarlah engkau sebelum
kutampar!!
Maya memandang dengan mata
terbelalak lebar, seperti mata kelinci yang ketakutan, napasnya terengah dan
naiklah sedu-sedan dari dadanya, kemudian membalik dan lari keluar sambil
terisak.
Han Ki memejamkan mata,
menarik napas panjang dan kedua kaki yang lemas itu berlutut, dan kemudian ia
memandangi arca-arca itu. Maya mencintainya! Dan biarpun Siauw Bwee tidak
pernah memperlihatkan sikap dengan terang-terangan, namun ia dapat menduga
bahwa Siauw Bwee juga mencintanya! Dan dia? Ah, cintanya sudah habis, sudah
terbang pergi bersama Hong Kwi. Betapa mungkin ia jatuh cinta lagi? Namun
ahhh...., dia bergidik kalau teringat tadi betapa nafsu berahi menguasainya,
membuat ia ingin memeluk ketat tubuh itu, ingin mencium bibir dan mata itu,
ingin membelai merayu. Ah, betapa mudahnya ia jatuh cinta kepada Maya, dan....
ketika ia memandang arca Siauw Bwee, dia pun tahu bahwa akan amat mudah pula,
semudah tadi, ia jatuh hati kepada Khu Siauw Bwee yang halus wataknya. Celaka!
Kau...., kau mata keranjang!!
Han Ki menampar kepalanya sendiri, terbayanglah wajah Hong Kwi dan dua titik
air mata meloncat ke atas pipinya. Sampai lama ia termenung seperti itu,
berjam-jam dan hanya dengan kekuatan batinnya yang hebat saja akhirnya ia dapat
menindas perasaannya. Kemudian, seperti orang mabok ia melanjutkan pekerjaannya
memperhalus tiga buah arca itu, tidak mempedulikan apa-apa. Bahkan ketika dua
kali Siauw Bwee menjenguknya, mengajaknya makan kemudian setelah bertanya
mengapa dia tidak tidur, dia hanya menjawab tanpa menoleh,
Aku tidak lapar dan tidak
mengantuk. Aku ingin menyelesaikan ini, Khu-siauw-moi, tinggalkan aku sendiri.!
Pada jengukannya yang ke dua,
Siauw Bwee ragu-ragu den memandang suhengnya, kemudian berkata, Ini tentu
kesalahan suci entah apa sebabnya!!
Han Ki terkejut, akan tetapi
menindas perasaannya dan menoleh. Mengapa engkau, berpendapat demikian?!
Kulihat Suci menangis, dia pun
tidak mau makan, tidak mau tidur. Ketika aku bertanya ddan menghiburnya dia
malah membentakku agar aku tidak mencampuri urusannya. Suheng, apakah yang
terjadi?!
Tidak apa-apa. Aku pun tidak
tahu dia mengapa? Sudahlah, tinggalkan aku sendiri,Sumoi!!
Sejenak Siauw Bwee berdiri di
belakangnya, ragu-ragu. Kemudian terdengar ucapannya lirih, Engkau kelihatan
berduka, Suheng. Kenapakah?!
Tidak apa-apa! Tidak apa-apa!!
Suheng, selama lima tahun kita
tinggal di sini, baru sekarang kulihat engkau berduka dan Suci menangis,
Suheng, engkau...., engkau satu-satunya orang yang kumiliki di dunia ini,
disamping ibuku yang entah berada di mana. Suheng, kalau engkau berduka, aku
ikut berduka....!
Han Ki memejamkan mata,
jantungnya seperti ditusuk rasanya. Akan tetapi hanya sebentar ia telah dapat
menguasai dirinya. Ia menoleh, memaksa diri tersenyum dan berkata, Engkau ini
aneh-aneh saja, Sumoi. Aku tidak apa-apa, hanya tekun menyelesaikan arca-arca
ini. Eh, bagaimana dengan perahu yang kaubuat? Telah selesaikah?! Dia sengaja
membe lokkan percakapan untuk mengalihkan perhatian sumoinya itu.
Sudah, Suheng. Layar yang
kauberi sudah kujahit dan kupasang. Besok pagi akan kucoba. Aku ingin
mengunjungi pulau yang kulihat di sebelah selatan itu!
Han Ki tersenyum. Itu Pulau
Kijang. Pulau kosong akan tetapi banyak binatang kijang disana.!
Aku ingin menagkap kijang.!
Boleh, akan tetapi kalau
memburu kijang, cari yang sudah tua agar pembiakannya tidak terganggu.!
Aku ingin menangkap seekor
anak kijang, tidak membunuhnya. Aku ingin memeliharanya, untuk teman disini.!
Han Ki berdiri, membalikkan
tubuh dan memandang sumoinya. Apa? di sini ada aku dan sucimu, dan engkau
hendak mencari kijang untuk teman?!
Siauw Bwee menunduk dan
terdengar suaranya lemah seperti berbisik, Aku...., aku kadang-kadang merasa
kesepian, Suheng tarutama sekali.... sekarang ini....!
Setelah berkata demikian Siauw
Bwee membalikkan tubuhnya dan lari pergi.
Hei....! Khu-sumoi....?! Han
Ki memanggil akan tetapi dara itu tidak menoleh dan lapat-lapat Han Ki
mendengar sumoinya itu terisak! Han Ki berdiri termangu-mangu kemudian
menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
Perempuan....!! gumamnya
dengan hati terheran-heran dan tidak mengerti.
Hatinya makin bingung dan
makin berduka karena perasaannya membisikkan bahwa mulai saat itu ia hanya akan
menjumpai kesulitan-kesulitan dengan kengan kedua sumoinya itu. Untuk melupakan
pekerjaannya. Semalam suntuk dia tidak tidur dan memperhalus ukiran tiga buah
arcanya.
***
Pada keesokan harinya, barulah
pekerjaannya selesai dan selagi ia hendak beristirahat, tiba-tiba ia terlonjak
bangun karena mendengar suara desir angin yang aneh dan yang dikenalnya
baik-baik. Itulah suara pukulan-pukulan dengan tenaga sin-kang yang kuat.
Biasanya, desir angin pukulan itu terdengar di waktu kedua sumoinya berlatih
akan tetapi sekali ini, desir angin hebat itu diseling suara bentakan-bentakan
nyaring orang bertempur.
Ia merasa heran dan khawatir
sekali cepat meloncat bangun dan melesat keluar dari Istana Pulau Es. Ketika ia
tiba di luar, ia berdiri kaget melihat betapa kedua orang sumoinya sudah saling
serang dengan hebatnya! Pohon tumbang batu berhamburan dilanggar angin pukulan
kedua sumoinya yang berkelahi dengan sungguh-sungguh, mengeluarkan semua ilmu
yang selama ini mereka latih. Sekali ini mereka bukan sedang berlatih,
melainkan sedang saling serang sungguhsungguh, setiap serangan mendatangkan
maut. Sekelebatan saja ia dapat mengerti bahwa dalam perkelahian itu, Siauw
Bwee masih bersikap mengalah dan lebih banyak mengelak, akan tetapi Maya
menyerang seperti seekor singa betina kehilangan anaknya.
Maya....! Siauw Bwee....!!
Berhenti....!! Han Ki berteriak sambil lari menghampiri.
Akan tetapi ia tertegun dan
menghentikan larinya ketika melihat kini kedua orang dara itu saling serang
dari jarak dekat, tidak hanya mengandalkan sin-kang seperti tadi, melainkan
menggunakan jari-jari tangan mereka yang lihai dan yang merupakan
cengkeraman-cengkeraman maut, totokan-totokan yang membawa nyawa! Akan tetapi
yang membuat Han Ki tertegun adalah jeritan mereka yang saling menuduh.
Engkaulah yang membuat suheng
berduka! Engkau sungguh seorang adik yang tidak mengenal budi!!
Dan engkau....! Engkau yang
menjadi biang keladinya sehingga dia tidak dapat menerima cintaku!! Maya
membalas dengan teriakan marah.
Begitukah? Kalau benar dia
mencintaku, sepatutnya kau tahu diri!! balas Siauw Bwee.
Kau perempuan tak bermalu!!
Engkau yang tidak tahu malu!!
Sumoi.... !! Jangan
berkelahi!! Han Ki berteriak keras dan tubuhnya mencelat menangkis sambil
mengerahkan tenaga. Akibatnya, tubuh Maya dan Siauw Bwee terlempar ke belakang,
terpental dan terhuyung-huyung.
Kau.... membelanya....!! Siauw
Bwee berkata sambil menangis.
Kau.... kau.... melemparku dahulu,
kau.... benar-benar mencinta bocah kurang ajar ini!! Maya juga menangis.
Ahh, Maya-sumoi dan Khu-sumoi,
apakah kalian berdua telah menjadi gila? Hentikan permusuhan gila ini! Aku....
aku.... ahhh.... !! Han Ki menjambak rambutnya sendiri dan ingin pula dia
menangis!
Suheng! Berterus teranglah,
apakah engkau mencinta Maya-suci?! Siauw Bwee bertanya. Suheng, engkau bilang
aku paling cantik di dunia ini! Bukankah engkau mencintaku? Ataukah.... engkau
cinta kepada Sumoi?! Maya juga menuntut jawaban pasti.
Wajah Han Ki menjadi pucat.
Kemudian ia menggunakan kedua tangan menutupi mukanya karena pandang matanya
terasa berkunang-kunang, dan sambil menggelengkan kepalanya ia berkata, Aku
tidak tahu..., aku tidak tahu kalian adalah kedua orang sumoiku, seperti
adik-adikku sendiri...., aku tidak cinta siapa-siapa....!!
Ia hanya mendengar isak
tertahan dan mendengar berkelebatnya gerakan tubuh mereka pergi dari situ. Dia
tidak peduli, bagi dia asalkan kedua orang dara itu tidak saling serang pada
saat itu, cukuplah. Akan tetapi ketika sampai lama dia tidak mendengar gerakan
mereka, ia membuka kedua tangannya dan memandang. Kedua orang dara itu tidak
tampak lagi dan keadaan di sekelilingnya sunyi. Sunyi dan dingin karena angin
yang bertiup membawa datang salju-salju tipis. Ia mulai merasa khawatir, lalu
melangkahkan kaki mencari kedua orang sumoinya, khawatir kalau-kalau mereka itu
pergi untuk melanjutkan pertandingan mati-matian di bagian lain dari pulau itu.
Akan tetapi, mereka tidak ada di pulau dan betapa kaget hatinya ketika melihat
dua buah perahu ber layar, jauh dari pantai, yang sebuah ke barat, yang sebuah
lagi selatan. Ia mengenal perahu lama dengan layar hitam itu membawa Maya
menuju ke barat, sedangkan yang sebuah lagi adalah perahu buatan Siauw Bwee, dengan
layar kuning meluncur pergi membawa dara itu ke selatan!
Han Ki berlari ke pantai,
berteriak nyaring, Sumoiiii....!! Akan tetapi, samar-samar dia hanya melihat
kedua orang sumoinya itu menoleh dan melambaikan tangan kemudian tangan yang
melambai itu menyentuh muka, seperti menghapus air mata! Tak terasa lagi kedua
mata Han Ki menjadi basah dan dia memandang sampai kedua buah perahu itu lenyap
dari pandang matanya.Di dalam hatinya, semenjak tinggal di situ, dia sudah
mengambil keputusan untuk tidak kembali ke dunia ramai. Akan tetapi, kini kedua
orang sumoinya, dua orang yang paling dicintainya di dunia ini, meninggalkan
Pulau Es, menempuh hidup menghadapi dunia ramai yang penuh bahaya.
Teringat dia akan cita-cita
kedua orang sumoinya membalas dendam, dan terbayanglah dia betapa
sumoi-sumoinya itu akan menghadapi bahaya-bahaya besar. Betapa mungkin ia
mendiamkan saja kedua orang yang dikasihinya itu terancam bahaya di sana?
Tidak, dia harus pergi menyusul, membantu mereka dan kalau mungkin mengakur kan
mereka. Akan tetapi mungkinkah ini? Betapapun juga, dia harus menyusul mereka
dan berusaha.
Setelah dua buah perahu itu
tidak tampak lagi, Han Ki mengalami perasaan yang selama hidupnya belum pernah
dirasainya, yaitu perasaan hati kosong dan nelangsa, seolah-olah semangat dan
segala gairah hidupnya terbang melayang dibawa pergi bayangan dua buah perahu
yang ditumpangi Maya dan Siauw Bwee, lenyaplah semua gairah dan kegembiraan
hidup, seolah-olah kegembiraan hidupnya selama ini berada di tangan kedua sumoinya
itu. Han Ki menjatuhkan diri duduk di pantai, termenung, hatinya kosong,
pikirannya melayang-layang jauh mencari-cari dan terkenanglah ia akan keadaan
hidupnya selama ini
. Semenjak kecil ia sudah
sebatang kara, seorang diri di dunia ini dan selama itu ia dahulu selalu
gembira, tidak pernah merasa kehilangan sesuatu. Kemudian, pengikatan cinta
kasihnya dengan Sung Hong Kwi membuat ia merasa sengsara dan menderita
kehilangan karena dipisahkan dari orang yang dicintanya itu. Namun, rasa
sengsara itu terobati ketika ia tinggal di pulau ini bersama kedua orang
sumoinya. Semua rasa sayangnya ia curahkan kepada kedua orang sumoinya itu. Dan
sekarang timbul pula keruwetan karena cinta, dan akhirnya dia menderita lebih
hebat lagi setelah kedua orang itu pergi meninggalkan Pulau Es, meninggalkan
dia! Maka teringatlah ia akan petuah-petuah Bu Kek Siansu, gurunya yang
bijaksana,
Han Ki, segala hal yang
menimpa dirimu kelak, jangan kaupersalahkan keadaan di luar dirimu, karena
sesungguhnya yang menjadi sebab daripada akibat yang menimpa diri berada di
dalam diri sendiri. Carilah sebab-sebabnya pada dirimu sendiri dan dengan jalan
itu engkau akan dapat memperbaiki diri dan mengenal kekotoran diri sendiri.
Mengenal cacat diri pribadi jauh lebih penting dan berharga daripada mengenal
cacat selaksa orang lain.!
Teringat akan petuah ini, Han
Ki mengangguk-angguk, kemudian termenung lagi karena dalam menderita kekosongan
hati dan kehilangan ini, lapat-lapat terngiang di telinganya petuah gurunya
mengenai hal ini.
Segala peristiwa merupakan
mata rantai yang tak dapat dipisah-pisahkan, karena saling menyambung, saling
mengikat dan saling menjadi sebab. Segala macam perasaan suka-duka, gembira,
marah, puas, kecewa dan lain-lain hanyalah permainan daripada rasa sayang diri dan
iba diri. Yang mau bersuka tentu akan bertemu dengan duka. Ingatlah, Han Ki,
bahwa senang bergandeng tangan dengan susah. Hanya dia yang MEMILIKI saja yang
akan KEHILANGAN! Memiliki itu bersifat senang, akan tetapi memiliki membawa
datang kewajiban paksa yaitu MENJAGA karena di depannya terbentang mengerikan
jurang KEHILANGAN. Karena ada dan tiada itu saling mengait, yang ada tentu akan
tiada, sebaliknya yang tiada tentu akan ada, maka yang memiliki tentu akan
kehilangan! Dan dia yang merasa suka di waktu memiliki, sudah tentu saja akan
menderita duka di waktu kehilangan. Oleh karena itu, Han Ki, berbahagialah si
bijaksana yang TIDAK MEMILIKI APA-APA, karena dia akan bebas daripada suka
maupun duka!!
Han Ki termenung mengerutkan
alisnya. Betapa tepat petuah gurunya itu, betapa cocok dengan keadaan hidupnya.
Bahkan ia yakin bahwa wejangan itu cocok pula dengan kehidupan semua manusia.
Orang yang tidak mempunyai apa-apa takkan khawatir kehilangan. Si pembesar
khawatir kehilangan kedudukannya, si hartawan khawatir kehilangan hartanya, si
terkenal khawatir kehilangan kesohorannya, dan kalau sampai kemudian terjadi
kehilangan, itu akan menimbulkan duka. Seperti dia sekarang, karena dia
memiliki kedua orang sumoinya, mencintainya, maka kini kehilangan dan menimbulkan
duka nestapa di hatinya, menyesal kecewa dan suka!
Dahulu pun, karena dia
memiliki Sung Hong Kwi, mencintainya, dia menjadi berduka ketika kehilangan.
Andaikata dia tidak memiliki kesemuanya itu, pasti sekarang dia akan tetap
hidup tenang gembira!
Janganlah kita sampai dikuasai
nafsu, Han Ki. Sebaliknya kita harus menguasai nafsu perasaan sehingga kita
mempunyai tanpa memiliki, pada lahirnya kita mempunyai namun batin kita tidak
terikat sehingga batin kita tidak tergoncang sewaktu yang kita punyai itu
hilang, karena hal itu sudah wajar. Mata batin yang sadar sudah menjadi
waspada, melihat sesuatu berlandaskan kewajaran sehingga tidak lagi menjadi
kaget, tidak menjadi duka karenanya. Menang dan kalah sudah menjadi rangkaian
maka wajarlah. Berkumpul dan berpisah wajar pula. Tidak ada hal aneh di dunia
ini yang patut disesalkan.!
Han Ki menghela napas panjang.
Melamun dan mengenangkan kembali semua wejangan gurunya dan yang merupakan obat
yang amat mujarab karena dia merasa hatinya ringan kini, tidak seberat tadi,
sungguhpun ia tidak mungkin dapat lenyap gundah gulana yang menyesak dada.
Bukan hanya karena kehilangan dua orang yang dicintainya, melainkan karena
kedua orang sumoinya itu membawa ganjalan hati yang rumit, membawa dendam dan
permusuhan karena cinta, cinta dua orang dara remaja terhadap dirinya!
Mulai saat itu bangkitlah
semangat Han Ki dan lalu dia membuat sebuah perahu dan beberapa pekan kemudian
berangkatlah Han Ki menaiki perahunya yang kecil sederhana,meninggalkan Pulau
Es,meninggalkan tiga buah arca mereka yang seolah-olah menjadi mereka menghuni
Istana Pulau Es yang mereka tinggalkan.
Kalau hati Han Ki merana
karena ditinggal pergi dua orang yang dikasihinya sehingga dunia terasa kosong
olehnya, hati Maya pun merana penuh kekecewaan dan penuh cemburu terhadap
sumoinya. Dia mencintai suhengnya, dan melihat sikap suhengnya selama lima
tahun dia tinggal di Pulau Es, dia pun merasa yakin bahwa suhengnya
mencintainya. Bukan hanya mencinta seperti seorang suheng terhadap sumoinya,
melainkan cinta seorang pemuda terhadap seorang dara!
Hal ini diketahuinya benar
atau diduganya penuh keyakinan, menyaksikan sikap dan pandang mata Han Ki, juga
ketika suhengnya mengukir arcanya, jari-jari tangan suhengnya itu penuh
perasaan dan amat mesra, sehingga ketika ia menonton suhengnya bekerja
menyelesaikan arcanya, dia merasa seolah-olah jari tangan suhengnya itu bukan
meraba-raba arca, melainkan meraba dan membelai tubuhnya sendiri, membuat ia
merasa mesra dan nikmat. Akan tetapi, mengapa suhengnya tidak mau mengaku
cinta? Apakah karena di sampingnya ada Siauw Bwee?
Hatinya kecewa, penasaran, dan
mengkal dan larilah dara ini kepada cita-citanya. Dia harus memenuhi
cita-citanya. Dia harus membalas dendam keluarganya. Membalas kematian ayah
bundanya, membalas kehancuran kerajaan ayahnya. Dia akan membalas dendam kepada
Kerajaan Mongol dan Kerajaan Sung, terutama sekali Kerajaan Sung karena selain
kerajaan ini ikut bertanggung jawab atas kehancuran Kerajaan Khitan dan
tewasnya ayah bundanya, juga Kerajaan Sung telah menewaskan pek-hunya, Menteri
Kam Liong, dan telah membikin sengsara pula kepada suhengnya, Kam Han Ki.
Dia harus membalas Kerajaan
Sung, inilah tugasnya yang paling penting. Biarpun dia tidak tahu bagaimana
caranya membalas dendam kepada sebuah kerajaan, namun dia akan mencari cara
itu, dan tidak akan berhenti sebelum cita-citanya tercapai. Dia percaya bahwa
ilmu kepandaiannya sudah cukup tinggi dan dia tidak takut menghadapi siapapun
juga di Kerajaan Sung!
Perahunya berlayar terus ke
barat. Sampai keesokan harinya, dia beium melihat daratan besar, hanya bertemu
dengan pulau-pulau kecil yang kosong. Akan tetapi pada keesokan harinya,
menjelang tengah hari, ia terkejut melihat sebuah mayat manusia terbawa ombak
lalu didekat perahunya. Mayat seorang laki-laki yang berpakaian tentara! Maya
cepat lari ke pinggir perahu dan kini tampaklah olehnya bahwa bukan hanya
sebuah itu saja mayat yang terapung di laut karena segera tampak banyak sekali
mayat manusia di samping bagian-bagian perahu yang pecah dan peralatan perang
yang terbawa hanyut oleh ombak. Siapakah mereka?
Tentara mana dan mengapa
perahu mereka pecah dan mereka semua tewas? Pada tubuh mayat-mayat itu tampak
luka-luka bekas senjata tajam. Agaknya terjadi pertempuran yang mengakibatkan
semua ini, pikirnya. Tiba-tiba ia makin terkejut melihat asap membubuhg tinggi
di sebelah kiri perahu, agak jauh dari situ.
Maya cepat mengatur kemudi dan
membelokkan perahunya menuju ke arah asap yang membubung tinggi. Perahunya
melawan ombak dan tak lama kemudian tampaklah olehnya penyebab asap itu.
Kiranya ada beberapa buah perahu terbakar dan di atas lautan yang bergelombang
itu tampak olehnya pertempuran yang dahsyat antara dua pasukan di atas per
ahu-perahu besar dan kecil yang berk gerak-gerak naik turun oleh ombak. Udara
yang digelapkan oleh asap itu penuh dengan anak panah yang beterbangan ke
sana-sini mengeluarkan bunyi bersuitan dan amat banyak bagaikan hujan saling
menyerang musuh kedua pihak.
Tampak pula panah-panah yang
dipasangi kain berminyak yang bernyala-nyala menyambar perahu-perahu dan
terbakarlah perahu-perahu yang terkena panah berapi ini. Dahsyat dan
mengerikan, bising oleh suara anak panah, suara perahu memakan perahu, dan
suara teriakan-teriakan manusia sedang berjuang melawan maut. Mayat-mayat
bergelimpangan di atas perahu-perahu, ada yang terapung-apung, ada pula yang
terluka dan belum mati terlempar ke laut, teriakan mereka melolong-lolong
karena ngeri menghadapi maut di laut, sungguh menyayat hati. Banyak sekali di
antara perajurit yang tadinya dengan gagah berani menghadapi maut melawan
musuh, setelah kini berada dalam cengkeraman maut yang berada gelombang lautan,
menjerit-jerit dan minta tolong seperti seorang pengecut yang penakut. Memang
adakalanya orang yang berani mati menghadapi ancaman maut di tangan senjata
tajam musuh menjadi ketakutan menghadapi ancaman maut ditelan air.
Maya memandang semua itu
dengan hati tertarik. Aneh-aneh sekali. Dia tidak merasa ngeri atau takut!
Pengalaman-pengalamannya setelah Kerajaan Khitan hancur, ketika dia dibawa
pasukan Khitan yang berkhianat di bawah pimpinan bekas pengawal Bhutan, amatlah
hebatnya sehingga perang bukan merupakan hal yang baru baginya. Dia sama sekali
tidak merasa takut atau ngeri, bahkan tertarik hatinya untuk ikut pula berperang!
Dia tidak tahu siapa yang berperang, akan tetapi dia ingin membantu pihak yang
terdesak! Karena itu, Maya mempercepat perahunya menghampiri daerah perang yang
mengerikan itu, dan matanya memandang penuh perhatian. Ketika ia melihat sebuah
perahu besar seperti perahu perang dikepung oleh banyak perahu-perahu kecil, ia
mendekatkan perahunya ke tempat itu.
Kagum hatinya menyaksikan
beberapa orang berpakaian perwira dan anak buahnya mempertahankan perahu besar
itu. Setiap kali ada perajurit dari perahu-perahu kecil itu berhasil meloncat
ke atas perahu besar, tentu orang ini roboh lagi dengan tubuh terluka. Gerakan
para perwira di atas perahu besar menunjukkan bahwa mereka memiliki kegagahan
dan kepandaian lumayan. Akan tetapi, serangan anak panah yang seperti hujan
lebatnya, telah meroboh kan banyak anak buah perahu besar sehingga di atas dek
perahu besar itu telah bertumpukan mayat-mayat perajurit.
Hanya beberapa orang perwira
yang masih sempat mempertahankan diri, menggunakan golok besar atau pedang untuk
menangkis semua anak panah yang menyambar ke arah diri mereka. Di antara
beberapa orang perwira itu, ada dua orang yang amat mengagumkan hati Maya
karena mereka itu amat gagah perkasa, dan bukan hanya melindungi diri sendiri
namun juga orang ini membagi-bagi perintah dan berusaha melindungi anak buah
mereka dengan pedang mereka yang panjang. Seorang di antara mereka yang
berpakaian amat indah dan gagahnya dapat ia kenal dari pakaiannya sebagai
seorang panglima besar, berjenggot panjang dan sudah putih.
Adapun orang kedua adalah
seorang berpakaian panglima muda yang brewok dan gagah perkasa, yang berjuang
bahu-membahu dengan Si Panglima Besar. Namun keadaan mereka itu amat terdesak,
tidak hanya karena pihak musuh yang amat banyak jumlahnya, yang meloncat dari
perahu-perahu kecil yang mengepung perahu besar-besar, akan tetapi juga karena
para anak buah mereka itu sibuk memadamkan perahu besar yang sudah terbakar
sebagian!
Gak-goanswe (Jenderal Gak),
engkau sudah memberontak terhadap Kerajaan Sung, sekarang telah terkepung
menyerahlah!! Terdengar teriakan dari perahuperahu kecil, dan mendengar ini,
segera timbul rasa suka di hati Maya terhadap jenderal yang agaknya memberontak
terhadap pemerintah Sung ini. Inilah kesempatannya untuk membalas, pikirnya.
Yang berperahu besar itu adalah seorang jenderal dengan anak buahnya yang
memberontak dan lawan mereka adalah tentara Kerajaan Sung yang harus
dibasminya!
Dengan dayungnya, Maya lalu
mendayung perahunya menuju ke tengah medan pertempuran. Ada anak panah yang
menyeleweng dan menyambar ke arahnya, akan tetapi hanya dengan kebutan tangan
ia berhasil meruntuhkan semua anak panah dan akhirnya ia dapat mendekatkan
perahunya ke perahu besar setelah melalui kobaran api yang memakan perahu.
Dengan gerakan bagaikan seekor burung walet, tubuhnya mencelat ke atas perahu
besar.
Basmi tentara Sung yang
lalim!! teriaknya dan sekali menggerakkan kaki tangan, tiga orang tentara Sung
yang mengeroyok panglima besar pemberontak itu roboh. Dengan ceka tan sekali
Maya merampas sebatang golok dan sebatang pedang, kemudian mengamuklah sang
dara perkasa ini yang membuat Si Jenderal melongo. Baru sekarang ini ia
menyaksikan seorang dara jelita yang masih remaja, bersilat secara aneh, tangan
kiri mainkan golok dengan ilmu golok sedangkan tangan kanan mainkan pedang
dengan ilmu pedang.
Dalam waktu beberapa menit
saja, lima orang pengeroyok roboh dan tubuh mereka mencelat keluar dari perahu
besar terjatuh ke laut karena ditendang kaki-kaki yang kecil mungil itu!
Setelah kepungan terhadap diri Sang Jenderal itu berkurang sehingga Sang
Jenderal dengan leluasa dapat bergerak melindungi dirinya, Maya lalu
meninggalkannya untuk mengamuk dan membabati tentara musuh yang mulai membakar
layar perahu besar.
Amukannya hebat sekali dan
setelah golok dan pedang rampasannya yang buruk itu rusak-rusak, ia menangkap
tengkuk leher seorang perwira Sung yang berhasil naik ke perahu besar, kemudian
merampas pedang dan sarung pedangnya yang indah, dan sekali menggerakkan tangan
ia melempar tubuh sang perwira Sung dari perahu besar pula. Dan kini dara
perkasa itu mengamuk dengan pedang di tangan kanan dan sarung pedang di tangan
kiri.
Akan tetapi di sebelah
belakang perahu besar terjadi keribu tan hebat. Maya cepat menengok dan
alangkah kagetnya ketika ia menyaksikan pemandangan aneh. Dua orang laki-laki
yang tubuhnya menempel satu sama lain, dua orang dampit, mengamuk dan membantu
tentara kerajaan Sung! Gerakan mereka tangkas dan aneh sekali, dan Maya segera
teringat akan cerita suhengnya akan sepasang manusia dampit yang amat lihai,
bersembunyi di tempat keramat Pulau Nelayan. Pada saat itu, perwira pemberontak
yang brewok, yang gagah perkasa menerjang marah kepada sepasang orang dampit
yang merobohkan banyak anak buahnya.
Perwira muda itu menerjang
dengan pedang panjangnya, menyerang dua orang yang tubuhnya menjadi satu dan
bersambung di bagian punggung. Akan tetapi, Si Dampit itu, lihai bukan main
karena empat buah tangan mereka bergerak secara berbareng dan tahu-tahu pedang
di tangan panglima muda itu telah dirampas, pundak Si Panglima Muda dicengkeram
dan di lain saat Sang Panglima Muda pemberontak sudah ditawan dan dikempit
dalam keadaan lumpuh tertotok!
Tawan dan bawa dia ke sini!!
Terdengar perintah dari sebuah di antara perahu kecil.
Maya menjadi marah sekali.
Begitu melihat sepasang manusia dampit, sudah timbul kebenciannya. Apalagi
melihat mereka telah menawan panglima muda pemberontak yang sedang dibelanya,
maka ia pun merobohkan para pengeroyok dengan pedangnya yang digerakkan secara
luar biasa cepatnya, kemudian tubuhnya meloncat ke arah sepasang orang dampit,
pedangnya menyambar, sekaligus membabat dua buah kepala orang dampit itu.
Wuuuuttt.... tranggg....!!
Maya terkejut karena tenaga
manusia-manusia dampit itu ternyata amat kuat sehingga pedangnya tergetar.
Namun, manusia dampit itu lebih kaget lagi karena pedang dara yang ditangkis
itu kini telah melakukan gerakan melengkung dan tahu-tahu sudah menyambar ke
arah empat buah kaki mereka. Cepat mereka meloncat ke atas dan Maya mendapat
kenyataan bahwa dua orang dampit itu tidak saja kuat sin-kangnya, akan tetapi
juga amat lihai gin-kangnya.